Anda di halaman 1dari 37

1.

Budi Utomo

Organisasi Budi Utomo (BU) didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para
mahasiswa STOVIA di Batavia dengan Sutomo sebagai ketuanya.
Terbentuknya organisasi tersebut atas ide dr. Wahidin Sudirohusodo yang
sebelumnya telah berkeliling Jawa untuk menawarkan idenya membentuk
Studiefounds.

Gagasan Studiesfounds bertujuan untuk menghimpun dana guna memberikan


beasiswa bagi pelajar yang berprestasi, namun tidak mampu melanjutnya
studinya. Gagasan itu tidak terwujud, tetapi gagasan itu melahirkan Budi
Utomo. Tujuan Budi Utomo adalah memajukan pengajaran dan kebudayaan.

Tujuan tersebut ingin dicapai dengan usaha-usaha sebagai berikut:

1) memajukan pengajaran;
2) memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan;
3) memajukan teknik dan industri
4) menghidupkan kembali kebudayaan.

Dr Sutomo
Dilihat dari tujuannya, Budi Utomo bukan merupakan organisasi politik
melainkan merupakan organisasi pelajar dengan pelajar STOVIA sebagai
intinya. Sampai menjelang kongresnya yang pertama di Yogyakarta telah
berdiri tujuh cabang Budi Utomo, yakni di Batavia, Bogor, Bandung,
Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo.

Untuk mengonsolidasi diri (dengan dihadiri 7 cabangnya), Budi


Utomo mengadakan kongres yang pertama di Yogyakarta pada tanggal 3-5
Oktober 1908. Kongres memutuskan hal-hal sebagai berikut.
1) Budi Utomo tidak ikut dalam mengadakan kegiatan politik.
2) Kegiatan Budi Utomo terutama ditujukan pada bidang pendidikan dan
kebudayaan.
3) Ruang gerak Budi Utomo terbatas pada daerah Jawa dan Madura.
4) Memilih R.T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar sebagai ketua.
5) Yogyakarta ditetapkan sebagai pusat organisasi.

Sampai dengan akhir tahun 1909, telah berdiri 40 cabang Budi Utomo dengan
jumlah anggota mencapai 10.000 orang. Akan tetapi, dengan adanya kongres
tersebut tampaknya terjadi pergeseran pimpinan dari generasi muda ke
generasi tua. Banyak anggota muda yang menyingkir dari barisan depan, dan
anggota Budi Utomo kebanyakan dari golongan priayi dan pegawai negeri.
Dengan demikian, sifat protonasionalisme dari para pemimpin yang tampak
pada awal berdirinya Budi Utomo terdesak ke belakang. Strategi perjuangan
BU pada dasarnya bersifat kooperatif.

Mulai tahun 1912 dengan tampilnya Notodirjo sebagai ketua menggantikan


R.T. Notokusumo, Budi Utomo ingin mengejar ketinggalannya. Akan tetapi,
hasilnya tidak begitu besar karena pada saat itu telah muncul organisasi-
organisasi nasional lainnya, seperti Sarekat Islam (SI) dan Indiche Partij (IP).

Namun demikian, Budi Utomo tetap mempunyai andil dan jasa yang besar
dalam sejarah pergerakan nasional, yakni telah membuka jalan dan
memelopori gerakan kebangsaan Indonesia. Itulah sebabnya tanggal 20 Mei
ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati setiap
tahun hingga sekarang.

2. Sarekat Islam (SI)

H Samanhudi
Tiga tahun setelah berdirinya Budi Utomo, yakni tahun 1911 berdirilah Sarekat
Dagang Islam ( SDI ) di Solo oleh H. Samanhudi, seorang pedagang batik dari
Laweyan Solo.
Organisasi Sarekat Dagang Islam berdasar pada dua hal berikut ini.

a. Agama Islam.
b. Ekonomi, yakni untuk memperkuat diri dari pedagang Cina yang berperan
sebagai leveransir (seperti kain putih, malam, dan sebagainya).

Atas prakarsa H.O.S. Cokroaminoto, nama Sarekat Dagang Islam kemudian


diubah menjadi Sarekat Islam ( SI ), dengan tujuan untuk memperluas
anggota sehingga tidak hanya terbatas pada pedagang saja.

Berdasarkan Akte Notaris pada tanggal 10 September 1912, ditetapkan


tujuan Sarekat Islam sebagai berikut:

1) memajukan perdagangan;
2) membantu para anggotanya yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha
(permodalan);
3) memajukan kepentingan rohani dan jasmani penduduk asli;
4) memajukan kehidupan agama Islam.

Melihat tujuannya tidak tampak adanya kegiatan politik. Akan tetapi, Sarekat
Islam dengan gigih selalu memperjuangkan keadilan dan kebenaran terhadap
penindasan dan pemerasan oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian, di
samping tujuan ekonomi juga ditekankan adanya saling membantu di antara
anggota. Itulah sebabnya dalam waktu singkat, Sarekat Islam berkembang
menjadi anggota massa yang pertama di Indonesia. Sarekat
Islam merupakan gerakan nasionalis, demokratis dan ekonomis, serta
berasaskan Islam dengan haluan kooperatif.

Mengingat perkembangan Sarekat Islam yang begitu pesat maka timbullah


kekhawatiran dari pihak Gubernur Jenderal Indenberg sehingga
permohonan Sarekat Islam sebagai organisasi nasional yang berbadan hukum
ditolak dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal. Pada tahun 1914 telah
berdiri 56 Sarekat Islam lokal yang diakui sebagai badan hukum.

Pada tahun 1915 berdirilah Central Sarekat Islam (CSI) yang berkedudukan di
Surabaya. Tugasnya ialah membantu menuju kemajuan dan kerjasama
antar Sarekat Islam lokal. Pada tanggal 17–24 Juni 1916 diadakan Kongres SI
Nasional Pertama di Bandung yang dihadiri oleh 80 Sarekat Islam lokal
dengan anggota 360.000 orang anggota. Dalam kongres tersebut
telah disepakati istilah "nasional", dimaksudkan bahwa Sarekat
Islam menghendaki persatuan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia
menjadi satu bangsa.

Sifat Sarekat Islam yang demokratis dan berani serta berjuang terhadap
kapitalisme untuk kepentingan rakyat kecil sangat menarik perhatian kaum
sosialis kiri yang tergabung dalam Indische Social Democratische Vereeniging
(ISDV) pimpinan Sneevliet (Belanda), Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan
Alimin (Indonesia).

Itulah sebabnya dalam perkembangannya Sarekat Islam pecah menjadi dua


kelompok berikut ini.

1) Kelompok nasionalis religius ( nasionalis keagamaan) yang dikenal


dengan Sarekat Islam Putih dengan asas perjuangan Islam di bawah pimpinan
H.O.S. Cokroaminoto.
2) Kelompok ekonomi dogmatis yang dikenal dengan nama Sarekat
Islam Merah dengan haluan sosialis kiri di bawah pimpinan Semaun dan
Darsono.

3. Indische Partij (IP)

Douwes Dekker
Indische Partij (IP) didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh
Tiga Serangkai, yakni Douwes Dekker (Setyabudi Danudirjo), dr. Cipto
Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).

Organisasi ini mempunyai cita-cita untuk menyatukan semua golongan yang


ada di Indonesia, baik golongan Indonesia asli maupun golongan Indo, Cina,
Arab, dan sebagainya. Mereka akan dipadukan dalam kesatuan bangsa dengan
membutuhkan semangat nasionalisme Indonesia. Cita-cita Indische
Partij banyak disebar-luaskan melalui surat kabar De Expres. Di samping itu
juga disusun program kerja sebagai berikut:

1) meresapkan cita-cita nasional Hindia (Indonesia).


2) memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan, baik di bidang
pemerintahan, maupun kemasyarakatan.
3) memberantas usaha-usaha yang membangkitkan kebencian antara agama
yang satu dengan yang lain.
4) memperbesar pengaruh pro-Hindia di lapangan pemerintahan.
5) berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.
6) dalam hal pengajaran, kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan
ekonomi Hindia dan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.

Melihat tujuan dan cara-cara mencapai tujuan seperti tersebut di atas maka
dapat diketahui bahwa Indische Partij berdiri di atas nasionalisme yang luas
menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa Indische Partij merupakan partai politik pertama di Indonesia dengan
haluan kooperasi. Dalam waktu yang singkat telah mempunyai 30 cabang
dengan anggota lebih kurang 7.000 orang yang kebanyakan orang Indo.

Oleh karena sifatnya yang progresif menyatakan diri sebagai partai politik
dengan tujuan yang tegas, yakni Indonesia merdeka sehingga pemerintah
menolak untuk memberikan badan hukum dengan alasan Indische
Partij bersifat politik dan hendak mengancam ketertiban umum. Walaupun
demikian, para pemimpin Indische Partij masih terus
mengadakan propaganda untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.

Satu hal yang sangat menusuk perasaan pemerintah Hindia Belanda adalah
tulisan Suwardi Suryaningrat yang berjudul Als ik een Nederlander was
(seandainya saya seorang Belanda) yang isinya berupa sindiran terhadap
ketidakadilan di daerah jajahan. Oleh karena kegiatannya sangat
mencemaskan pemerintah Belanda maka pada bulan Agustus 1913 ketiga
pemimpin Indische Partij dijatuhi hukuman pengasingan dan mereka memilih
Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya.

Dengan diasingkannya ketiga pemimpin Indische Partij maka


kegiatan Indische Partij makin menurun. Selanjutnya, Indische Partij berganti
nama menjadi Partai Insulinde dan pada tahun 1919 berubah lagi menjadi
National Indische Partij (NIP). National Indische Partij tidak pernah
mempunyai pengaruh yang besar di kalangan rakyat dan akhirnya hanya
merupakan perkumpulan orang-orang terpelajar.

4. MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada
tanggal 18 November 1912. Asas perjuangannya ialah Islam dan kebangsaan
Indonesia, sifatnya nonpolitik. Muhammadiyah bergerak di bidang
keagamaan, pendidikan, dan sosial menuju kepada tercapainya kebahagiaan
lahir batin.

Tujuan Muhammadiyah ialah sebagai berikut.

1) memajukan pendidikan dan pengajaran berdasarkan agama Islam;


2) mengembangkan pengetahuan ilmu agama dan cara-cara hidup menurut
agama Islam.

Untuk mencapai tujuan tersebut, usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah


adalah sebagai berikut:

1) mendirikan sekolah-sekolah yang berdasarkan agama Islam ( dari TK


sampai
dengan perguruan tinggi);
2) mendirikan poliklinik-poliklinik, rumah sakit, rumah yatim, dan masjid;
3) menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Muhammadiyah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan


Al-Qur'an dan Hadis. Itulah sebabnya penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran agama Islam secara modern dan memperteguh keyakinan tentang
agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Kegiatan
Muhammadiyah juga telah memperhatikan pendidikan wanita yang
dinamakan Aisyiah, sedangkan untuk kepanduan disebut Hizbut Wathon (
HW ).

Sejak berdiri di Yogyakarta (1912) Muhammadiyah terus mengalami


perkembangan yang pesat. Sampai tahun 1913, Muhammadiyah telah
memiliki 267 cabang yang tersebar di Pulau Jawa. Pada tahun 1935,
Muhammadiyah sudah mempunyai 710 cabang yang tersebar di Pulau Jawa,
Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.

5. Gerakan Pemuda

Gerakan pemuda Indonesia, sebenarnya telah dimulai sejak berdirinya Budi


Utomo, namun sejak kongresnya yang pertama perannya telah diambil oleh
golongan tua (kaum priayi dan pegawai negeri) sehingga para pemuda kecewa
dan keluar dari organisasi tersebut. Baru beberapa tahun kemudian, tepatnya
pada tanggal 7 Maret 1915 di Batavia berdiri Trikoro Dharmo oleh R. Satiman
Wiryosanjoyo, Kadarman, dan Sunardi.

Trikoro Dharmo yang diketui oleh R. Satiman Wiryosanjoyo merupakan


oeganisasi pemuda yang pertama yang anggotanya terdiri atas para siswa
sekolah menengah berasal dari Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo, artinya
tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan perkumpulan ini adalah
sebagai berikut:

1) mempererat tali persaudaraan antar siswa-siswi bumi putra pada sekolah


menengah dan perguruan kejuruan;
2) menambah pengetahuan umum bagi para anggotanya;
3) membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan
budaya.
Tujuan tersebut sebenarnya baru merupakan tujuan perantara. Adapun
tujuan yang sebenarnya adalah seperti apa yang termuat dalam majalah
Trikoro Dharmo yakni mencapai Jawa raya dengan jalan memperkokoh rasa
persatuan antara pemuda-pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok.
Oleh karena sifatnya yang masih Jawa sentris maka para pemuda di luar Jawa
(tidak berbudaya Jawa) kurang senang.

Untuk menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12


Juni 1918 namanya diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai dengan
anggaran dasarnya, Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para anggotanya
supaya kelak dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa raya
dengan jalan mempererat persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta
pada budaya sendiri.

Sejalan dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda di daerah lain juga


membentuk organisasi-organisasi, seperti Jong Sumatra Bond, Pasundan,
Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Batak, Pemuda Kaum
Betawi, Sekar Rukun, Timorees Verbond, dan lain-lain. Pada dasarnya semua
organisasi itu masih bersifat kedaerahan, tetapi semuanya mempunyai cita-
cita ke arah kemajuan Indonesia, khususnya memajukan budaya dan daerah
masing-masing.

6. Taman Siswa

Ki Hajar Dewantara
Sekembalinya dari tanah pengasingannya di Negeri Belanda (1919), Suwardi
Suryaningrat menfokuskan perjuangannya dalam bidang pendidikan. Pada
tanggal 3 Juli 1922 Suwardi Suryaningrat (lebih dikenal dengan nama Ki
Hajar Dewantara) berhasil mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta.
Dengan berdirinya Taman Siswa, Suwardi Suryaningrat memulai gerakan
baru bukan lagi dalam bidang politik melainkan bidang pendidikan, yakni
mendidik angkatan muda dengan jiwa kebangsaan Indonesia berdasarkan
akar budaya bangsa.

Sekolah Taman Siswa dijadikan sarana untuk menyampaikan ideologi


nasionalisme kebudayaan, perkembangan politik, dan juga digunakan untuk
mendidik calon-calon pemimpin bangsa yang akan datang.

Dalam hal ini, sekolah merupakan wahana untuk meningkatkan derajat


bangsa melalui pengajaran itu sendiri. Selain pengajaran bahasa (baik bahasa
asing maupun bahasa Indonesia), pendidikan Taman Siswa juga memberikan
pelajaran sejarah, seni, sastra (terutama sastra Jawa dan wayang), agama,
pendidikan jasmani, dan keterampilan (pekerjaan tangan) merupakan
kegiatan utama perguruan Taman Siswa.

Penididikan Taman Siswa dilakukan dengan sistem "among" dengan pola


belajar "asah, asih dan asuh". Dalam hal ini diwajibkan bagi para guru untuk
bersikap dan berlaku "sebagai pemimpin" yakni di depan memberi contoh, di
tengah dapat memberikan motivasi, dan di belakang dapat memberikan
pengawasan yang berpengaruh. Prinsip pengajaran inilah yang kemudian
dikenal dengan pola kepemimpinan "Ing ngarsa sung tulodho, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani ". Pola kepemimpinan ini sampai sekarang
masih menjadi ciri kepemimpinan nasional.

Berkat jasa dan perjuangannya yakni mencerdaskan kehidupan menuju


Indonesia merdeka maka tanggal 2 Mei (hari kelahiran Ki Hajar Dewantara)
ditetapkant sebagai hari Pendidikan Nasional. Di samping itu, "Tut Wuri
Handayani" sebagai semboyan terpatri dalam lambang Departemen
Pendidikan Nasional.

7. Partai Komunis Indonesia (PKI)

Benih-benih paham Marxis dibawa masuk ke Indonesia oleh seorang Belanda


yang bernama H.J.F.M. Sneevliet. Atas dasar Marxisme inilah kemudian pada
tanggal 9 Mei 1914 di Semarang, Sneevliet bersama-sama dengan J.A.
Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bersgma berhasil mendirikan Indische
Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Ternyata ISDV tidak dapat
berkembang sehingga Sneevliet melakukan infiltrasi (penyusupan) kader-
kadernya ke dalam tubuh SI dengan menjadikan anggota-anggota ISDV
sebagai anggota SI, dan sebaliknya anggota-anggota SI menjadi anggota ISDV.

Dengan cara itu Sneevliet dan kawan-kawannya telah mempunyai pengaruh


yang kuat di kalangan SI, lebih-lebih setelah berhasil mengambil alih
beberapa pemimpin SI, seperti Semaun dan Darsono. Mereka inilah yang
dididik secara khusus untuk menjadi tokoh-tokoh Marxisme tulen. Akibatnya
SI Cabang Semarang yang sudah berada di bawah pengaruh ISDV semakin
jelas warna Marxisnya dan selanjutnya terjadilah perpecahan dalam tubuh SI.
Pada tanggal 23 Mei 1923 ISDV diubah menjadi Partai Komunis Hindia dan
selanjutnya pada bulan Desember 1920 menjadi Partai Komunis Indonesia.
(PKI). Susunan pengurus PKI , antara lain Semaun (ketua), Darsono (wakil
ketua), Bersgma (sekretaris), dan Dekker (bendahara).

PKI semakin aktif dalam percaturan politik dan untuk menarik massa maka
dalam propagandanya PKI menghalalkan secara cara. Sampai-sampai tidak
segan-segan untuk mempergunakan kepercayaan rakyat kepada ayat-ayat Al -
Qur'an dan Hadis bahkan juga Ramalan Jayabaya dan Ratu Adil.

Kemajuan yang diperolehnya ternyata membuat PKI lupa diri sehingga


merencanakan suatu petualangan politik. Pada tanggal 13 November 1926 PKI
melancarkan pemberontakan di Batavia dan disusul di daerah-daerah lain,
seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Barat
pemberontakan PKI dilancarkan pada tanggal 1 Januari 1927. Dalam waktu
yang singkat semua pemberontakan PKI tersebut berhasil ditumpas.
Akhirnya, ribuan rakyat ditangkap, dipenjara, dan dibuang ke Tanah Merah
dan Digul Atas (Papua).

8. Partai Nasional Indonesia (PNI)

Algemene Studie Club di Bandung yang didirikan oleh Ir. Soekarno pada
tahun 1925 telah mendorong para pemimpin lainnya untuk mendirikan partai
politik, yakni Partai Nasional Indonesia ( PNI). PNI didirikan di Bandung
pada tanggal 4 Juli 1927 oleh 8 pemimpin, yakni dr. Cipto Mangunkusumo, Ir.
Anwari, Mr. Sartono, Mr. Iskak, Mr. Sunaryo, Mr. Budiarto, Dr. Samsi, dan Ir.
Soekarno sebagai ketuanya. Kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota
Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang baru kembali ke tanah air.

Radikal PNI telah kelihatan sejak awal berdirinya. Hal ini terlihat dari
anggaran dasarnya bahwa tujuan PNI adalah Indonesia merdeka dengan
strategi perjuangannya nonkooperasi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka
PNI berasaskan pada self help, yakni prinsip menolong diri sendiri, artinya
memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang telah rusak
oleh penjajah dengan kekuatan sendiri; nonkooperatif, yakni tidak
mengadakan kerja sama dengan pemerintah Belanda; Marhaenisme, yakni
mengentaskan massa dari kemiskinan dan kesengsaraan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI telah menetapkan program kerja


sebagaimana dijelaskan dalam kongresnya yang pertama di Surabaya pada
tahun 1928, seperti berikut.

1) Usaha politik, yakni memperkuat rasa kebangsaan (nasionalisme) dan


kesadaran atas persatuan bangsa Indonesia, memajukan pengetahuan sejarah
kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia, dan
menumpas segala rintangan bagi kemerdekaan diri dan kehidupan politik.
2) Usaha ekonomi, yakni memajukan perdagangan pribumi, kerajinan, serta
mendirikan bank-bank dan koperasi.

3) Usaha sosial, yaitu memajukan pengajaran yang bersifat nasional,


meningkatkan derajat kaum wanita, memerangi pengangguran, memajukan
transmigrasi, memajukan kesehatan rakyat, antara lain dengan mendirikan
poliklinik.

Untuk menyebarluaskan gagasannya, PNI melakukan propaganda-


propaganda, baik lewat surat kabar, seperti Banteng Priangan di Bandung dan
Persatuan Indonesia di Batavia, maupun lewat para pemimpin khususnya Ir.
Soekarno sendiri. Dalam waktu singkat, PNI telah berkembang pesat sehingga
menimbulkan kekhaw-tiran di pihak pemerintah Belanda. Pemerintah
kemudian memberikan peringatan kepada pemimpin PNI agar menahan diri
dalam ucapan, propaganda, dan tindakannya.

Dengan munculnya isu bahwa PNI pada awal tahun 1930 akan mengadakan
pemberontakan maka pada tanggal 29 Desember 1929, pemerintah Hindia
Belanda mengadakan penggeledahan secara besar-besaran dan menangkap
empat pemimpinnya, yaitu Ir. Soerkarno, Maskun, Gatot Mangunprojo dan
Supriadinata. Mereka kemudian diajukan ke pengadilan di Bandung.

Dalam sidang pengadilan, Ir. Soerkarno mengadakan pembelaan dalam judul


Indonesia Menggugat. Atas dasar tindakan melanggar Pasal "karet" 153 bis
dan Pasal 169 KUHP, para pemimpin PNI dianggap mengganggu ketertiban
umum dan menentang kekuasaan Belanda sehingga dijatuhi hukuman penjara
di Penjara Sukamiskin Bandung. Sementara itu, pimpinan PNI untuk
sementara dipegang oleh Mr. Sartono dan dengan pertimbangan demi
keselamatan maka pada tahun 1931 oleh pengurus besarnya PNI dibubarkan.
Hal ini menimbulkan pro dan kontra.

Mereka yang pro pembubaran, mendirikan partai baru dengan nama Partai
Indonesia (Partindo) di bawah pimpinan Mr. Sartono. Kelompok yang kontra,
ingin tetap melestarikan nama PNI dengan mendirikan Pendidikan Nasional
Indonesia (PNI-Baru) di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta dan Sutan Syahrir.

9. Gerakan Wanita
RA Kartini
Munculnya gerakan wanita di Indonesia, khusunya di Jawa dirintis oleh R.A.
Kartini yang kemudian dikenal sebagai pelopor pergerakan wanita Indonesia.
R.A. Kartini bercita-cita untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia
melalui pendidikan.

Cita-citanya tersebut tertulis dalam surat-suratnya yang kemudian berhasil


dihimpun dalam sebuah buku yang diterjemahkan dalam judul Habis Gelap
Terbitlah Terang. Cita-cita R.A. Kartini ini mempunyai persamaan dengan
Raden Dewi Sartika yang berjuang di Bandung.

Semasa Pergerakan Nasional maka muncul gerakan wanita yang bergerak di


bidang pendidikan dan sosial budaya. Organisasi-organisasi yang ada, antara
lain sebagai berikut.

1) Putri Mardika di Batavia (1912) dengan tujuan membantu keuangan bagi


wanita-wanita yang akan melanjutkan sekolahnya. Tokohnya, antara lain R.A.
Saburudin, R.K. Rukmini, dan R.A. Sutinah Joyopranata.

2) Kartinifounds, yang didirikan oleh suami istri T.Ch. van Deventer (1912)
dengan membentuk sekolah-sekolah Kartinibagi kaum wanita, seperti di
Semarang, Batavia, Malang, dan Madiun.

3) Kerajinan Amal Setia, di Koto Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus
(1914).
Tujuannya meningkatkan derajat kaum wanita dengan cara memberi
pelajaran membaca, menulis, berhitung, mengatur rumah tangga, membuat
kerajinan, dan cara pemasarannya.

4) Aisyiah, merupakan organisasi wanita Muhammadiyah yang didirikan oleh


Ny. Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan (1917). Tujuannya untuk memajukan
pendidikan dan keagamaan kaum wanita.
5) Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, misalnya Pawiyatan
Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun
Santoso di Malang, Budi Wanito di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919),
Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920), Wanito Utomo dan Wanito Katolik di
Yogyakarta (1921), dan Wanito Taman Siswa (1922).

Organisasi wanita juga muncul di Sulawesi Selatan dengan nama


Gorontalosche Mohammadaanche Vrouwenvereeniging. Di Ambon dikenal
dengan nama Ina Tani yang lebih condong ke politik. Sejalan dengan
berdirinya organisasi wanita, muncul juga surat kabar wanita yang bertujuan
untuk menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan kewanitaan. Surat kabar
milik organisasi wanita, antara lain Putri Hindia di Bandung, Wanito Sworo di
Brebes, Sunting Melayu di Bukittinggi, Esteri Utomo di Semarang, Suara
Perempuan di Padang, Perempunan Bergolak di Medan, dan Putri Mardika di
Batavia.

Puncak gerakan wanita, yaitu dengan diselenggarakannya Kongres


Perempuan Indonesia I pada tanggal 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Kongres menghasilkan bentuk perhimpunan wanita berskala nasional dan
berwawasan kebangsaan, yakni Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Dalam
Kongres Wanita II di Batavia pada tanggal 28–31 Desember 1929 PPI diubah
menjadi Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Kongres Wanita I
merupakan awal dari bangkitnya kesadaran nasional di kalangan wanita
Indonesia sehingga tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari Ibu.

Demikianlah Materi Organisasi Pergerakan Nasional (Budi Utomo, Sarekat


Islam, Indische Partij, Muhammadiyah dan Lainnya), semoga bermanfaat.

Konferensi Asia–Afrika
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gedung Merdeka saat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika

Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika (disingkat KTT Asia Afrika atau KAA; kadang juga
disebut Konferensi Bandung) adalah sebuah konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika,
yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA diselenggarakan oleh Indonesia,
Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh
Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario. Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955,
di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi
dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika
Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.[1]
Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu
mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai
ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengkonsultasikan dengan mereka tentang
keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka
mengenai ketegangan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat; keinginan mereka
untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan
pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Perancis di Afrika
Utara dan kekuasaan kolonial perancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk
mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat.[2]
Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung,
yang berisi tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kerukunan dan kerjasama dunia".
Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-
prinsip Nehru.[3] Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-
Blok pada 1961.

Daftar isi
[sembunyikan]

 1Sejarah
 2Pelopor
 3Pertemuan kedua (2005)
 4Pertemuan ketiga (2015)
 5Peserta
 6Lihat pula
 7Referensi
 8Bacaan lebih lanjut
 9Pranala luar

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Peserta Konferensi Asia–Afrika, 1955

 23 Agustus 1953 - Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (Indonesia) di Dewan Perwakilan


Rakyat Sementara mengusulkan perlunya kerjasama antara negara-negara di Asia dan
Afrika dalam perdamaian dunia.[4]
 25 April–2 Mei 1954 - Berlangsung Persidangan Kolombo di Sri Lanka. Hadir dalam
pertemuan tersebut para pemimpin dari India, Pakistan, Burma (sekarang Myanmar), dan
Indonesia. Dalam konferensi ini Indonesia memberikan usulan perlunya adanya Konferensi
Asia–Afrika.[4]
 28–29 Desember 1954 - Untuk mematangkan gagasan masalah Persidangan Asia-Afrika,
diadakan Persidangan Bogor. Dalam persidangan ini dirumuskan lebih rinci tentang tujuan
persidangan, serta siapa saja yang akan diundang.[4]
 18–24 April 1955 - Konferensi Asia–Afrika berlangsung di Gedung Merdeka, Bandung.
Persidangan ini diresmikan oleh Presiden Soekarno dan diketuai oleh PM Ali Sastroamidjojo.
Hasil dari persidangan ini berupa persetujuan yang dikenal dengan Dasasila Bandung.[4]

Nasionalisme Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Nasionalisme Indonesia adalah suatu gerakan kebangsaan yang timbul pada bangsa
Indonesia untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sejak abad 19 dan abad
20 muncul benih-benih nasionalisme pada bangsa Asia Afrika khususnya Indonesia.

Daftar isi
[sembunyikan]

 1Faktor-Faktor Nasionalisme Indonesia


o 1.1Faktor dari dalam (internal)
o 1.2Faktor dari luar (eksternal)
 2Pertumbuhan dan Perkembangan Nasionalisme Di Indonesia
o 2.1Tumbuhnya Nasionalisme di Indonesia
o 2.2Perkembangan Nasionalisme di Indonesia
 3Peranan Nasionalisme di Indonesia

Faktor-Faktor Nasionalisme Indonesia[sunting | sunting sumber]


Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya nasionalisme :
Faktor dari dalam (internal)[sunting | sunting sumber]

 Kenangan kejayaan masa lampau


Bangsa-bangsa Asia dan Afrika sudah pernah mengalami masa kejayaan sebelum masuk dan
berkembangnya imperialisme dan kolonialisme barat. Bangsa India, Indonesia, Mesir, dan Persia
pernah mengalami masa kejayaan sebagai bangsa merdeka dan berdaulat. Kejayaan masa
lampau mendorong semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan. Bagi Indonesia kenangan
kejayaan masa lampau tampak dengan adanya kenangan akan kejayaan pada masa kerajaan
Majapahit dan Sriwijaya. Dimana pada masa Majapahit, mereka mampu menguasai daerah
seluruh Nusantara, sedangkan masa Sriwijaya mampu berkuasa di lautan karena maritimnya
yang kuat.

 Bersatunya negara-negara Asia dan Afrika sejak zaman dahulu kala


Faktor yang mendorong rasa nasionalisme bangsa Asia bukanlah akibat penjajahan yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Asia, Afrika, melainkan rasa persatuan
itu sudah dimiliki sejak zaman dahulu kala terutama sesama ras, ataupun kerjasama
perdagangan yang telah saling melengkapi antara suku produsen benda yang berlainan
(sehingga terjadi pertukaran tanpa adanya keserakahan seperti yang dilakukan bangsa barat).
Mereka saling menghormati dan menjaga. Namun kedatangan bangsa barat yang menjajah
mengakibatkan mereka hidup miskin dan menderita sehingga mereka ingin menentang
imperialisme barat.

 Munculnya golongan cendekiawan


Perkembangan pendidikan menyebabkan munculnya golongan cendekiawan baik hasil dari
pendidikan barat maupun pendidikan Indonesia sendiri. Mereka menjadi penggerak dan
pemimpin munculnya organisasi pergerakan nasional Indonesia yang selanjutnya berjuang untuk
melawan penjajahan.

 Paham nasionalis yang berkembang dalam bidang politik, sosial ekonomi, dan
kebudayaan

1. Dalam bidang politik, tampak dengan upaya gerakan nasionalis menyuarakan aspirasi
masyarakat pribumi yang telah hidup dalam penindasan dan penyelewengan hak asasi
manusia. Mereka ingin menghancurkan kekuasaan asing/kolonial dari Indonesia.
2. Dalam bidang ekonomi, tampak dengan adanya usaha penghapusan eksploitasi
ekonomi asing. Tujuannya untuk membentuk masyarakat yang bebas dari kesengsaraan
dan kemelaratan untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia.
3. Dalam bidang budaya, tampak dengan upaya untuk melindungi, memperbaiki dan
mengembalikan budaya bangsa Indonesia yang hampir punah karena masuknya
budaya asing di Indonesia. Para nasionalis berusaha untuk memperhatikan dan
menjaga serta menumbuhkan kebudayaan asli bangsa Indonesia.
Faktor dari luar (eksternal)[sunting | sunting sumber]

 Kemenangan Jepang atas Rusia (1905)


Pada tahun 1904-1905 Jepang melawan Rusia dan tentara Jepang berhasil mengalahkan Rusia.
Hal ini dikarenakan, modernisasi yang dilakukan Jepang yang telah membawa kemajuan pesat
dalam berbagai bidang bahkan dalam bidang militer. Awalnya dengan kekuatan yang dimiliki
tersebut Jepang mampu melawan Korea tetapi kemudian dia melanjutkan ke Manchuria dan
beberapa daerah di Rusia. Keberhasilan Jepang melawan Rusia inilah yang mendorong lahirnya
semangat bangsa-bangsa Asia Afrika mulai bangkit melawan bangsa asing di negerinya.

 Perkembangan Nasionalisme di Berbagai Negara


 Pergerakan Kebangsaan India
India untuk menghadapi Inggris membentuk organisasi kebangsaan dengan nama ”All India
National Congres”. Tokohnya, Mahatma Gandhi, Pandit Jawaharlal Nehru, B.G. Tilak, dsb.
Mahatma Gandhi memiliki dasar perjuangan :

1. Ahimsa (dilarang membunuh) yaitu gerakan anti peperangan.


2. Hartal, merupakan gerakan dalam bentuk asli tanpa berbuat apapun walaupun mereka
masuk kantor atau pabrik.
3. Satyagraha, merupakan gerakan rakyat India untuk tidak bekerja sama dengan
pemerintah kolonial Inggris.
4. Swadesi, merupakan gerakan rakyat India untuk memakai barang-barang buatan negeri
sendiri.
Selain itu adanya pendidikan Santiniketan oleh Rabindranath Tagore.

 Gerakan Kebangsaan Filipina
Digerakkan oleh Jose Rizal dengan tujuan untuk mengusir penjajah bangsa Spanyol di wilayah
Filipina. Novel yang dikarangnya berupa Noli Me Tangere (Jangan Sentuh Aku). Jose ditangkap
tanggal 30 September 1896 dijatuhi hukuman mati. Akhirnya dilanjutkan Emilio Aquinaldo yang
berhasil memproklamasikan kemerdekaan Filipina tanggal 12 Juni 1898 tetapi Amerika Serikat
berhasil menguasai Filipina dari kemerdekaan baru diberikan Amerika Serikat pada 4 Juli 1946.

 Gerakan Nasionalis Rakyat Cina
Gerakan ini dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen, yang mengadakan pembaharuan dalam segala
sektor kehidupan bangsa Cina. Dia menentang kekuasaan Dinasti Mandsyu. Dasar gerakan San
Min Chu I: 1. Republik Tiongkok adalah suatu negara nasional Cina 2. Pemerintah Cina disusun
atas dasar demokrasi (kedaulatan berada di tanggan rakyat) 3. Pemerintah Cina mengutamakan
kesejahteraan sosial bagi rakyatnya.
Apa yang dilakukan oleh Dr. Sun Yat Sen sangat besar pengaruhnya terhadap pergerakan
rakyat Indonesia. Terlebih lagi setelah terbentuknya Republik Nasionalis Cina (1911)

 Pergerakan Turki Muda (1908)
Dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha menuntut pembaharuan dan modernisasi di segala sektor
kehidupan masyarakatnya.

 Pergerakan Nasionalisme Mesir
Dipimpin oleh Arabi Pasha (1881-1882) dengan tujuan menentang kekuasaan bangsa Eropa
terutama Inggris atas negeri Mesir. Adanya pandangan modern dari Mesir yang dikemukakan
oleh Muhammad Abduh mempengaruhi berdirinya organisasi-organisasi keagamaan di
Indonesia seperti Muhammaddiyah.
Intinya dengan gerakan kebangsaan dari berbagai negara tersebut mendorong negara-negara
lain termasuk Indonesia untuk melakukan hal yang sama yaitu melawan penjajahan dan
kolonialisme di negaranya.

 Munculnya Paham-paham baru


Munculnya paham-paham baru di luar negeri seperti nasionalisme, liberalisme, sosialisme,
demokrasi dan pan islamisme juga menjadi dasar berkembangnya paham-paham yang serupa di
Indonesia. Perkembangan paham-paham itu terlihat pada penggunaan ideologi-ideologi (paham)
pada organisasi pergerakan nasional yang ada di Indonesia.

Pertumbuhan dan Perkembangan Nasionalisme Di


Indonesia[sunting | sunting sumber]
Tumbuhnya Nasionalisme di Indonesia[sunting | sunting sumber]
Nasionalisme tumbuh diindonesia dimulai setelah munculnya Serikat Islam. Budi Oetomo yang
sudah terbentuk dahulu merupakan organisasi "elit" sehingga tidak berkontribusi dalam
menumbuhkan nasionalisme diseluruh kalangan masyarakat. Serikat Islam melakukan berbagai
upaya dalam menumbuhkan nasionalisme di seluruh daerah hindia belanda pada waktu itu.
Karena adanya faktor pendukung diatas maka di Indonesiapun mulai muncul semangat
nasionalisme. Semangat nasionalisme ini digunakan sebagai ideologi/paham bagi organisasi
pergerakan nasional yang ada. Ideologi Nasional di Indonesia diperkenalkan oleh Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. PNI bertujuan untuk memperjuangkan
kehidupan bangsa Indonesia yang bebas dari penjajahan. Sedangkan cita-citanya adalah
mencapai Indonesia merdeka dan berdaulat, serta mengusir penjajahan
pemerintahan Belanda di Indonesia. Dengan Nasionalisme dijadikan sebagai ideologi maka akan
menunjukkan bahwa suatu bangsa memiliki kesamaan budaya, bahasa, wilayah serta tujuan dan
cita-cita. Sehingga akan merasakan adanya sebuah kesetiaan yang mendalam terhadap
kelompok bangsa tersebut.
Perkembangan Nasionalisme di Indonesia[sunting | sunting sumber]
Sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme di Indonesia diawali dengan pembentukan
identitas nasional yaitu dengan adanya penggunaan istilah “Indonesia” untuk menyebut negara
kita ini. Dimana selanjutnya istilah Indonesia dipandang sebagai identitas nasional, lambang
perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan. Kata yang mampu mempersatukan
bangsa dalam melakukan perjuangan dan pergerakan melawan penjajahan, sehingga segala
bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia bukan atas nama daerah lagi. Istilah
Indonesia mulai digunakan sejak :
1. J.R. Logan menggunakan istilah Indonesia untuk menyebut penduduk dan kepulauan
nusantara dalam tulisannya pada tahun 1850.
2. Earl G. Windsor dalam tulisannya di media milik J.R. Logan tahun 1850 menyebut
penduduk nusantara dengan Indonesia.
3. Serta tokoh-tokoh yang mempopulerkan istilah Indonesia di dunia internasional.
4. Istilah Indonesia dijadikan pula nama organisasi mahasiswa di negara Belanda yang
awalnya bernama Indische Vereninging menjadi Perhimpunan Indonesia.
5. Nama majalah Hindia Putra menjadi Indonesia Merdeka
6. Istilah Indonesia semakin populer sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Melalui
Sumpah Pemuda kata Indonesia dijadikan sebagai identitas kebangsaan yang diakui
oleh setiap suku bangsa, organisasi-organisasi pergerakan yang ada di Indonesia
maupun yang di luar wilayah Indonesia.
7. Kata Indonesia dikukuhkan kembali dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945.

Peranan Nasionalisme di Indonesia[sunting | sunting sumber]


Perkembangan nasionalisme yang mengarah pada upaya untuk melakukan pergerakan nasional
guna seakan melawan penjajah tidak bisa lepas dari peran berbagai golongan yang ada dalam
masyarakat, seperti golongan terpelajar/kaum cendekiawan, golongan profesional, dan golongan
pers.

 Golongan Terpelajar
Golongan terpelajar dalam masyarakat Indonesia saat itu termasuk dalam kelompok elite sebab
masih sedikit penduduk pribumi yang dapat memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh
pendidikan merupakan sebuah kesempatan yang istimewa bagi rakyat Indonesia. Mereka
memperoleh pendidikan melalui sekolah-sekolah yang didirikan kolonial yang dirasa memiliki
kualitas baik. Dengan pendidikan model barat yang mereka miliki, golongan terpelajar dipandang
sebagai orang yang memiliki pandangan yang luas sehingga tidak sekadar dikenal saja tetapi
mereka dianggap memiliki kepekaan yang tinggi. Sebab selain memperoleh pelajaran di kelas
mereka akan membentuk kelompok kecil untuk saling bertukar ide menyatakan pemikiran
mereka mengenai negara Indonesia melalui diskusi bersama. Meskipun mereka berasal dari
daerah yang berbeda tetapi mereka merasa senasip sepenanggunagan untuk mengatasi
bersama adanya penjajahan, kapitalisme, kemerosotan moral, peneterasi budaya, dan
kemiskinan rakyat Indonesia. Hingga akhirnya mereka membentuk perkumpulan yang
selanjutnya menjadi Oragnisasi Pergerakan Nasional. Mereka membentu organisasi-organisasi
modern yang berwawasan nasional. Mereka berusaha menanamkan pentingnya persatuan dan
kesatuan bangsa, menanamkan rasa nasionalisme, menanamkan semangat untuk
memprioritaskan segalanya demi kepentingan nasional daripada kepentingan pribadi melalui
organisadi tersebut. Selanjutnya melalui organisasi pergerakan nasional tersebut mereka
melakukan gerakan untuk melawan penjajahan yang selanjutnya membawa Indonesia pada
kemerdekaan.
Jadi Golongan terpelajar memiliki peran yang besar bagi Indonesia meskipun keberadaannya
sangat terbatas (minoritas) tetapi golongan terpelajar inilah yang menjadi pelopor pergerakan
nasional Indonesia hingga akhirnya kita berjuangan melawan penjajah dan memperoleh
kemerdekaan.

 Golongan Profesional
Golongan profesional merupakan mereka yang memiliki profesi tertentu seperti guru, dan
dokter.Keanggotaan golongan ini hanya terbatas pada orang seprofesinya. Golongan profesional
ini lebih banyak ada dan mengembangkan profesinya didaerah perkotaan. Golongan profesional
pada masa kolonial memiliki hubungan yang dekat dengan rakyat, sehingga mereka dapat
mengetahui keberadaan rakyat Indonesia pada saat itu. Sehingga golongan ini dapat
menggerakkan kekuatan rakyat untuk menentang kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
a) Peran Guru

1. Guru merupakan ujung tombak perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai


kemerdekaannya dan berjuang memajukan bangsa Indonesia dari keterbelakangan.
2. Guru memberikan pendidikan dan pengajaran kepada generasi penerus bangsa melalui
lembaga-lembaga pendidikan yang ada baik itu sekolah yang didirikan oleh pemerintah
kolonial maupun sekolah yang didirikan oleh tokoh-tokoh bangsa Indonesia.
3. Melalui pendidikan tersebut guru dapat menanamkan rasa kebangsaan/ rasa
nasionalisme yang tinggi. Sehingga anak-anak kaum pribumi dapat menyadari dan
tekanan dari pemerintah kolonial Belanda.
4. Guru telah membangun dan membangkitkan kesadaran nasional bangsa Indonesia.
5. Guru telah mendidik dan melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang dapat diandalkan dalam
memperjuangkan kebebasan bangsa Indonesia dari cengkeraman kaum penjajah.
6. Orang-orang pribumi mulai menghimpun kekuatan dan berjuang melalui organisasi-
organisasi modern yang didirikannya. Organisasi-organisasi perjuangan yang didirikan
oleh kaum terpelajar bangsa Indonesia dijadikan sebagai wadah perjuangan di dalam
menentukan langkah-langkah untuk mengusir pemerintah kolonial Belanda dan
berupaya membebaskan bangsa dari segala bentuk penjajahan asing.
Bagi guru tempat perjuangan mereka adalah lembaga-lembaga pendidikan yang ada, di sekolah
tersebut guru membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai
kemerdekaannya.
Contoh lembaga pendidikan yang ada, yaitu :

1. Perguruan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara


2. Lembaga Pendidikan Perguruan Muhammadiyah didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan
Melalui gurulah dihasilkan tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia maupun tokoh-tokoh besar
dunia. Di tangan gurulah terletak maju mundurnya sebuah bangsa. Jadi jika tidak ada guru maka
mungkin Indonesia tidak dapat terbebas dari Kekuasaan kolonial.
b) Peran Dokter

1. Pada masa kolonial dokter memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kehidupan
rakyat.
2. Dokter dapat merasakan kesengsaraan dan penderitaan yang dialami rakyat Indonesia
melalui penyakit yang dideritanya. Ia mendengarkan berbagai keluhan yang dialami oleh
rakyat Indonesia. Penderitaan dan kesengsaraan yang dialami oleh rakyat Indonesia
adalah akibat dari berbagai tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial Belanda.
3. Ketergerakan hati mereka diwujudkan melalui perjuangan dengan membentuk wadah
organisasi yang bersifat sosial dan budaya yang diberinama Budi Utomo yang didirikan
20 Mei 1908 oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo, Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr.
Gunawan Mangunkusumo.

1. Golongan Pers
Pers sudah mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-19, dan masuknya pers di Indonesia
memberikan pengaruh yang cukup besar bagi bangsa Indonesia. Wujud perkembangan pers
dapat dilihat dalam bentuk surat kabar maupun majalah. Awalnya surat kabar yang beredar
hanya digunakan untuk orang-orang asing tetapi karena untuk mengejar pelanggan dari
masyarakat pribumi maka muncul surat kabar yang di modali orang Cina tetapi menggunakan
bahasa Melayu. Peran media :

1. Melalui surat kabar terdapat pendidikan politik, sebab melalui surat kabar tersebut
ternyata dimuat isu-isu mengenai masalah politik yang sedang berkembang sehingga
secara tidak langsung melalui surat kabar tersebut telah memberikan pendidikan politik
kepada masyarakat Indonesia.
2. Melalui Surat kabar/ majalah mempunyai fungsi sosial dasar yaitu memperluas
pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat membentuk pendapat (opini) umum.
3. Pendidikan sosial politik dapat disalurkan melalui tulisan-tulisan di surat kabar dan media
masa sehingga menumbuhkan pemikiran dan pandangan kritis pembaca yang dapat
membangkitkan kesadaran bersama bagi bangsa Indonesia.
4. Surat kabar merupakan media komunikasi cetak yang paling potensial untuk memuat
berita, wawasan dan polemik (tukar pikiran melalui surat kabar), bahkan ide dan
pemikiran secara struktural dapat dikomunikasikan kepada masyarakat luas.
5. Meskipun pada masa itu ruang gerak pers dibatasi dan dikontrol ketat oleh pemerintah
kolonial. Tetapi melalui surat kabar tersebut sebagai sarana untuk menyampaikan
segala sesuatu yang dikehendaki dan diprogramkan oleh pemerintah sehingga sedapat
mungkin bisa diinformasikan kepada masyarakat luar. Dimana pemberitahuannya lebih
memihak pada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pada masa pergerakan nasional Indonesia, surat kabar mempunyai peranan yang sangat
penting bahkan organisasi pergerakan nasional Indonesia telah memiliki surat kabar sendiri-
sendiri, seperti Darmo Kondo (Budi Utomo), Oetoesan Hindia (Sarekat Islam), Het
Tiidsriff dan De Expres (Indische Partij), Indonesia Merdeka (Perhimpunan Indonesia), Soeloeh
Indonesia Moeda (PNI), Pikiran Rakyat (Partindo), Daulah Ra’jat (PNI Baru)
Surat kabar yang dimiliki oleh organisasi-organisasi tersebut menjadi salah satu sarana untuk
menyampaikan bentuk-bentuk perjuangan kepada rakyat, agar rakyat dapat mengetahui dan
memberikan dukungan kepada organisasi-organisasi itu.
Tahapan perkembangan nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut.

 ) Periode Awal Perkembangan


Dalam periode ini gerakan nasionalisme diwarnai dengan perjuangan untuk memperbaiki situasi
sosial dan budaya. Organisasi yang muncul pada periode ini adalah Budi Utomo, Sarekat
Dagang Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah.

 ) Periode Nasionalisme Politik


Periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia mulai bergerak dalam bidang politik untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia. Organisasi yang muncul pada periode ini adalah Indische
Partij dan Gerakan Pemuda.

 ) Periode Radikal
Dalam periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia ditujukan untuk mencapai kemerdekaan
baik itu secara kooperatif maupun non kooperatif (tidak mau bekerjasama dengan penjajah).
Organisasi yang bergerak secara non kooperatif, seperti Perhimpunan Indonesia, PKI, PNI.

 ) Periode Bertahan
Periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia lebih bersikap moderat dan penuh pertimbangan.
Diwarnai dengan sikap pemerintah Belanda yang sangat reaktif sehingga organisasi-organisasi
pergerakan lebih berorientasi bertahan agar tidak dibubarkan pemerintah Belanda. Organisasi
dan gerakan yang berkembang pada periode ini adalah Parindra, GAPI, Gerindo.
Dari perkembangan nasionalisme tersebut akhirnya mampu menggalang semangat persatuan
dan cita-cita kemerdekaan sebagai bangsa Indonesia yang bersatu dari berbagai suku di
Indonesia. Nasionalisme adalah rasa luhur yang dimiliki bangsa Indonesia, cerminan dari
komitmen yang pernah diikrarkan berpuluh-puluh tahun lampau, bertolak dari rasa
persaudaraan, senasib sepenanggungan.
Indische Vereeniging
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Indonesische Vereeniging

Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia adalah organisasi pelajar dan mahasiswa
Hindia di Negeri Belanda yang berdiri pada tahun 1908.
Indische Vereeniging berdiri atas prakarsa Soetan Kasajangan Soripada dan R.M. Noto
Soeroto yang tujuan utamanya ialah mengadakan pesta dansa-dansa dan pidato-pidato.
Sejak Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) masuk,
pada 1913, mulailah mereka memikirkan mengenai masa depan Indonesia. Mereka mulai
menyadari betapa pentingnya organisasi tersebut bagi bangsa Indonesia. Semenjak
itulah vereeningingini memasuki kancah politik. Waktu itu pula vereeniging menerbitkan sebuah
buletin yang diberi nama Hindia Poetera, namun isinya sama sekali tidak memuat tulisan-tulisan
bernada politik.

Daftar isi
[sembunyikan]

 1Perhimpunan Indonesia
 2Akhir organisasi dan dikuasai komunis
o 2.1Dipimpin Hatta
 3Rujukan
 4Pranala luar

Perhimpunan Indonesia[sunting | sunting sumber]


Semula, gagasan nama Indonesisch (Indonesia) diperkenalkan sebagai
pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan
itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia)[1](Lihat: Sejarah nama
Indonesia).
Pada September 1922, saat pergantian ketua antara Dr. Soetomo dan Herman
Kartawisastra organisasi ini berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Saat itu istilah
"Indonesier" dan kata sifat "Indonesich" sudah tenar digunakan oleh para pemrakarsa Politik
Etis. Para anggota Indonesische juga memutuskan untuk menerbitkan kembali majalah Hindia
Poetra dengan Mohammad Hatta sebagai pengasuhnya. Majalah ini terbit dwibulanan, dengan
16 halaman dan biaya langganan seharga 2,5 gulden setahun. Penerbitan kembali Hindia
Poetra ini menjadi sarana untuk menyebarkan ide-ide antikolonial. Dalam 2 edisi pertama, Hatta
menyumbangkan tulisan kritik mengenai praktik sewa tanah industri gula Hindia Belanda yang
merugikan petani.[2]
Saat Iwa Koesoemasoemantri menjadi ketua pada 1923, Indonesische mulai menyebarkan ide
non-kooperasi yang mempunyai arti berjuang demi kemerdekaan tanpa bekerjasama dengan
Belanda. Tahun 1924, saat M. Nazir Datuk Pamoentjak menjadi ketua, nama majalah Hindia
Poetra berubah menjadi Indonesia Merdeka. Tahun 1925 saat Soekiman Wirjosandjojo nama
organisasi ini resmi berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta menjadi Voorzitter (Ketua) PI terlama yaitu sejak awal tahun 1926 hingga 1930,
sebelumnya setiap ketua hanya menjabat selama setahun. Perhimpunan Indonesia kemudian
menggalakkan secara terencana propaganda tentang Perhimpunan Indonesia ke luar negeri
Belanda.
Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota organisasi ini antara lain: Achmad Soebardjo, Soekiman
Wirjosandjojo, Arnold Mononutu, '''Soedibjo Wirjowerdojo''', Prof Mr Sunario
Sastrowardoyo, Sastromoeljono, Abdul Madjid, Sutan Sjahrir, Sutomo, Ali
Sastroamidjojo, Wreksodiningrat, dll.

Akhir organisasi dan dikuasai komunis[sunting | sunting sumber]


Dipimpin Hatta[sunting | sunting sumber]
Pada 1926, Mohammad Hatta diangkat menjadi ketua Perhimpunan Indonesia/Indische
Vereeniging.[3] Di bawah kepemimpinannya, PI memperlihatkan perubahan. Perhimpunan ini
lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan nasional di Indonesia dengan
memberikan banyak komentar di media massa di Indonesia.[4] Semaun dari PKI datang kepada
Hatta sebagai pimpinan PI untuk menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum
kepada PI.[4] Stalin membatalkan keinginan Semaun dan sebelumnya Hatta memang belum bisa
percaya pada PKI.[5]
Pada masa kepemimpinannya, majalah PI, yakni Indonesia Merdeka banyak disita pihak
kepolisian, maka masuknya majalah ini dengan cara penyelundupan.[
Hubungan internasional
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lihat pula: Kebijakan luar negeri

Bagian dari seri artikel tentang

Politik

Topik utama[tampilkan]

Sistem politik[tampilkan]

Disipilin akademik[tampilkan]

Administrasi publik[tampilkan]

Kebijakan[tampilkan]

Organ pemerintahan[tampilkan]

Topik lain[tampilkan]

Subseri[tampilkan]

Portal politik

 L

 B

 S

Hubungan Internasional (HI; sering disebut Studi Internasional (SI), meski keduanya tidak
sama) adalah ilmu yang mempelajari hubungan antarnegara, termasuk peran
sejumlah negara, organisasi antarpemerintah (IGO), organisasi nonpemerintah
internasional (INGO), organisasi non-pemerintah (NGO), dan perusahaan multinasional (MNC).
HI merupakan sebuah bidang akademik dan kebijakan publik dan dapat
bersifat positif atau normatif, karena keduanya berusaha menganalisis dan
merumuskan kebijakan luar negeri negara-negara tertentu. HI sering dianggap sebagai
cabang ilmu politik (khususnya setelah tata nama UNESCO tahun 1988), namun
pihak akademisi lebih suka menganggapnya sebagai bidang studi yang interdisipliner. Aspek-
aspek hubungan internasional telah dipelajari selama ribuan tahun sejak masa Thucydides,
namun baru pada awal abad ke-20 HI menjadi disiplin yang terpisah dan tetap.[1]
Berbeda dengan ilmu politik, HI menggunakan berbagai bidang ilmu
seperti ekonomi, sejarah, hukum internasional, filsafat, geografi, kerja
sosial, sosiologi, antropologi, kriminologi, psikologi, studi gender, dan ilmu budaya/kulturologi. HI
mencakup rentang isu yang luas, termasuk globalisasi, kedaulatan negara, keamanan
internasional, kelestarian lingkungan, proliferasi nuklir, nasionalisme, pembangunan
ekonomi, keuangan global, terorisme, kejahatan terorganisasi, keamanan
manusia, intervensionisme asing, dan hak asasi manusia.

Daftar isi
[sembunyikan]

 1Sejarah
o 1.1Studi HI
 2Teori
o 2.1Epistemologi dan teori HI
o 2.2Teori positivis
 2.2.1Realisme
 2.2.2Liberalisme/idealisme/Internasionalisme liberal
 2.2.3Neoliberalisme
 2.2.4Teori rezim
o 2.3Teori pascapositivis/reflektivis
 2.3.1Teori masyarakat internasional (aliran Inggris)
 2.3.2Konstruktivisme sosial
 2.3.3Teori kritis
 2.3.4Marxisme
o 2.4Teori kepemimpinan
 2.4.1Sudut pandang kelompok kepentingan
 2.4.2Sudut pandang strategis
 2.4.3Model keyakinan buruk tersirat
o 2.5Teori pascastrukturalis
 3Konsep
o 3.1Konjungtur
o 3.2Konsep level sistemik
 3.2.1Kekuatan
 3.2.1.1Polaritas
 3.2.2Saling ketergantungan
 3.2.3Ketergantungan
 3.2.4Peralatan sistemik
o 3.3Konsep level unit
 3.3.1Tipe rezim
 3.3.2Revisionisme/Status quo
 3.3.3Agama
o 3.4Konsep individu atau level subunit
 4Institusi
o 4.1Organisasi antarnegara umum
 4.1.1Perserikatan Bangsa-Bangsa
 4.1.2OIC
 4.1.3Lainnya
o 4.2Institusi ekonomi
o 4.3Badan hukum internasional
 4.3.1Hak asasi manusia
 4.3.2Hukum
o 4.4Organisasi keamanan regional
 5Lihat pula
 6Referensi
 7Bacaan lanjutan
o 7.1Teori
o 7.2Buku teks
o 7.3Sejarah hubungan internasional

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Rangkaian dari

Ilmu

Ilmu formal[tampilkan]

Ilmu fisik[tampilkan]

Ilmu kehidupan[tampilkan]

Ilmu sosial[tampilkan]

Ilmu terapan[tampilkan]

Antardisiplin[tampilkan]

 Portal

 Kategori

 L

 B

 S

Sejarah hubungan internasional dapat ditelusuri hingga ribuan tahun yang lalu; Barry Buzan dan
Richard Little, misalnya, menganggap interaksi antara beberapa negara-kota kuno di Sumeria,
yang berawal pada tahun 3.500 SM, sebagai sistem internasional paling dewasa pertama di
dunia.[2]
Potret resmi Raja Władysław IV dengan pakaian model Perancis, Spanyol, dan Polandia yang
merefleksikan kerumitan politik Persemakmuran Polandia-Lituania selama Perang Tiga Puluh Tahun

Sejarah hubungan internasional berdasarkan negara berdaulat dapat ditelusuri


hingga Perdamaian Westfalen (Westphalia) tahun 1648, sebuah batu loncatan dalam
perkembangan sistem negara modern. Sebelumnya, organisasi otoritas politik Eropa abad
pertengahan masih didasarkan pada ordo keagamaan hierarkis yang tidak jelas. Berlawanan
dengan kepercayaan masyarakat, Westfalen (Westphalia) masih menerapkan sistem kedaulatan
berlapis, khususnya di dalam Kekaisaran Romawi Suci.[3] Selain Perdamaian Westfalen
(Westphalia), Traktat Utrecht tahun 1713 dianggap mencerminkan suatu norma baru bahwa
negara berdaulat tidak memiliki kesamaan internal di dalam wilayah tetapnya dan tidak ada
penguasa luar yang dapat menjadi penguasa mutlak di dalam perbatasan sebuah wilayah
berdaulat.[butuh rujukan]
Tahun-tahun antara 1500 hingga 1789 menjadi masa kebangkitan negara-negara berdaulat yang
merdeka, institusionalisasi diplomasi dan angkatan bersenjata. Revolusi Perancis turut
menambahkan ide baru bahwa yang dapat ditetapkan sebagai berdaulat bukanlah pangeran
atau oligarki, tetapi warga negara yang didefinisikan sebagai bangsa. Suatu negara yang
bangsanya berdaulat dapat disebut sebuah negara-bangsa (berbeda dengan monarki atau
negara keagamaan). Istilah republik mulai menjadi sinonimnya. Sebuah model alternatif negara-
bangsa dikembangkan sebagai tanggapan atas konsep republik Perancis oleh bangsa Jerman
dan lainnya, yang bukannya memberikan kedaulatan kepada warga negara, malah
mempertahankan pangeran dan kerajaan, tetapi menetapkan kenegarabangsaan dalam hal
etnolinguistik, sehingga menetapkan ide yang jarang terwujud bahwa semua orang yang
mempertuturkan satu bahasa dimiliki oleh satu negara saja. Klaim yang sama terhadap
kedaulatan dibuat untuk kedua bentuk negara-bangsa. Perlu diketahui bahwa di Eropa saat ini,
beberapa negara mengikuti kedua definisi negara-bangsa: banyak yang melanjutkan sistem
kerajaan berdaulat, dan sedikit sekali negara yang homogen etnisnya.
Sistem Eropa yang mengusung kesetaraan kedaulatan negara-negara dibawa ke Amerika,
Afrika, dan Asia melalui kolonialisme dan "standar peradaban" mereka. Sistem internasional
kontemporer akhirnya ditetapkan melalui dekolonisasi selama Perang Dingin. Tetapi, hal ini
malah terlalu disederhanakan. Meski sistem negara-bangsa dianggap "modern", banyak negara
belum memberlakukan sistem ini dan dianggap "pra-modern".
Lebih jauh lagi, beberapa negara telah bergerak keluar dari penuntutan kedaulatan penuh, dan
dapat dianggap "pascamodern". Kemampuan kuliah HI kontemporer untuk menjelaskan
hubungan antara jenis-jenis negara ini masih diragukan. "Tingkat analisis" adalah cara
memandang sistem internasional, yang mencakup tingkat individual, kondisi domestik sebagai
satu kesatuan, tingkat internasional berupa persoalan transnasional dan antarpemerintah, dan
tingkat global.
Hal yang secara eksplisit diakui sebagai teori Hubungan Internasional belum dikembangkan
hingga akhir Perang Dunia I. Meski begitu, teori HI sudah lama bergantung pada karya ilmu
sosial lain. Pemakaian huruf kapital "H" dan "I" dalam Hubungan Internasional bertujuan untuk
membedakan disiplin akademik Hubungan Internasional dari fenomena hubungan internasional.
Banyak orang merujuk The Art of War karya Sun Tzu (abad ke-6 SM), History of the
Peloponnesian War karya Thucydides (abad ke-5 SM), Arthashastrakarya Chanakya (abad ke-4
SM) sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan penjelasan yang lebih dalam
oleh Leviathan karya Hobbes dan The Prince karya Machiavelli.
Demikian pula, liberalisme bergantung pada karya Kant dan Rousseau, dengan karya Kant yang
sering dirujuk sebagai penjelasan pertama mengenai teori perdamaian demokratis. Meski hak
asasi manusia kontemporer dianggap berbeda daripada tipe hak asasi yang tergambar
dalam hukum kodrat, Francisco de Vitoria, Hugo Grotius dan John Lockememberikan penjelasan
langsung mengenai penetapan universal terhadap hak-hak tertentu atas dasar kemanusiaan
umum. Pada abad ke-20, selain teori kontemporer internasionalisme liberal, Marxisme telah
menjadi dasar hubungan internasional.
Studi HI[sunting | sunting sumber]

Bendera negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa

Awalnya, hubungan internasional sebagai bidang studi yang terpisah hampir


sepenuhnya Britania-sentris. HI baru muncul sebagai 'disiplin' akademik formal pada tahun 1918
melalui pembentukan jabatan dosen ilmu HI pertama, Woodrow Wilson Chair di Aberystwyth,
Universitas Wales (sekarang Universitas Aberystwyth[4]) atas sumbangan David Davies, dan
menjadi jabatan akademik pertama dalam bidang HI. Hal ini dengan cepat diikuti oleh
pembukaan studi HI di berbagai universitas Amerika Serikat dan Jenewa, Swiss. Pada awal
1920-an, departemen Hubungan Internasional London School of Economics didirikan atas
sumbangan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Philip Noel-Baker, dan merupakan institut
pertama yang memiliki berbagai macam gelar dalam bidang ini. Selain itu, departemen Sejarah
Internasional di LSE terus berfokus pada sejarah HI pada periode modern awal, kolonial,
dan Perang Dingin.
Universitas pertama yang didirikan khusus studi HI adalah Graduate Institute of International
Studies (sekarang Graduate Institute of International and Development Studies), yang didirikan
tahun 1927 untuk menghasilkan para diplomat yang berhubungan dengan Liga Bangsa-Bangsa,
yang didirikan di Jenewa beberapa tahun sebelumnya. Graduate Institute of International Studies
memberikan gelar Ph.D. pertama dalam bidang hubungan internasional. Edmund A. Walsh
School of Foreign Service di Universitas Georgetown adalah fakultas hubungan internasional
tertua di Amerika Serikat; didirikan tahun 1919. Committee on International
Relations di Universitas Chicago adalah institusi pertama yang memberi gelar sarjana dalam
bidang ini pada tahun 1928.

Teori[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Teori hubungan internasional
Epistemologi dan teori HI[sunting | sunting sumber]
Teori hubungan internasional

Realisme[tampilkan]

Liberalisme[tampilkan]

Konstruktivisme[tampilkan]
Marxisme[tampilkan]

Teori lain[tampilkan]

Klasifikasi[tampilkan]

Pendekatan lain[tampilkan]

Portal Politik

 L

 B

 S

Teori HI dapat dibagi menjadi dua kelompok epistemologis: "positivis" dan "pascapositivis". Teori
positivis bertujuan untuk mereplikasi metode -metode ilmu alam dengan menganalisis dampak
kekuatan material. Teori tersebut biasanya berfokus pada fitur hubungan internasional seperti
interaksi negara, ukuran pasukan militer, keseimbangan kekuasaan, dll. Epistemologi
pascapositivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan
bebas nilai. Teori ini menolak ide-ide sentral berupa neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan
rasional, atas dasar bahwa metode ilmiah tidak dapat diaplikasikan ke dunia sosial dan bahwa
'ilmu pengetahuan' HI mustahil ada.
Perbedaan utama antara kedua posisi tersebut adalah bahwa meski teori positivis, seperti neo-
realisme, memberikan penjelasan yang bersifat sebab (seperti mengapa dan bagaimana
kekuasaan dijalankan), teori pascapositivis berfokus pada pertanyaan yang konstitutif, misalnya
apa yang dimaksud dengan 'kekuasaan'; hal apa saja yang menciptakannya, bagaimana
kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan direproduksi. Teori pascapositivis secara eksplisit
sering mempromosikan pendekatan normatif terhadap HI dengan mempertimbangkan etika. Ini
adalah sesuatu yang sering diabaikan oleh HI 'tradisional', karena teori positivis membuat
perbedaan antara 'fakta' dan penilaian normatif, atau 'nilai'.
Pada akhir 1980-an dan 1990-an, perdebatan antara kaum positivis dan pascapositivis menjadi
perdebatan yang dominan dan telah disebut sebagai "Perdebatan Besar" Ketiga (Lapid 1989).
Teori positivis[sunting | sunting sumber]
Realisme[sunting | sunting sumber]
Realisme berfokus pada keamanan dan kekuasaan negara di atas segalanya. Para penganut
pertama seperti E.H. Carr dan Hans Morgenthau berpendapat bahwa negara adalah aktor
rasional yang egois dan mengejar kekuasaan, yang berusaha memaksimalkan keamanan dan
kemungkinan keselamatan mereka. Kerja sama antarnegara adalah cara memaksimalkan
keselamatan masing-masing negara (berbeda dengan alasan yang lebih idealis). Sama halnya,
tindakan perang apapun harus didasarkan pada kepentingan pribadi, alih-alih idealisme. Banyak
realis memandang Perang Dunia II sebagai pendukung teori mereka.
Perlu diketahui bahwa penulis klasik seperti Thucydides, Machiavelli, Hobbes dan Theodore
Roosevelt, sering disebut sebagai "bapak pendiri" realisme oleh para realis kontemporer.[butuh
rujukan]
Meski begitu, sementara karya mereka bisa mendukung doktrin realis, kecil
kemungkinannya bahwa mereka telah mengelompokkan diri sebagai realis (dalam artian ini).
Para realis biasanya terpisah menjadi dua kelompok: Klasik atau Realis Sifat Alami Manusia
(seperti yang dijelaskan di sini) dan Struktural atau Neorealis (di bawah).
Realisme politik yakin bahwa politik, seperti masyarakat pada umumnya, dipimpin oleh hukum
objektif yang berasal dari sifat alami manusia. Untuk memperbaiki masyarakat, pertama mereka
perlu memahami hukum yang menjadi acuan hidup masyarakat. Pelaksanaan hukum-hukum
tersebut tidak berubah dengan pilihan kita, masyarakat akan menantangnya jika muncul risiko
kegagalan.
Realisme, yang juga percaya terhadap objektivitas hukum politik, juga harus percaya terhadap
kemungkinan mengembankan sebuah teori rasional yang merfleksikan hukum-hukum objektif ini
sekalipun tidak sempurna dan memihak. Realisme juga percaya pada kemungkinan pemisahan
dalam politik antara fakta dan pendapat-antara apa yang benar secara objektif dan rasional,
diperkuat oleh bukti dan dicerahkan oleh alasan, dan apa yang berupa penilaian subjektif,
dipisahkan dari fakta sebagaimana adanya dan diinformasikan oleh pemikiran yang buruk
sangka dan penuh harapan.
Penempatan realisme di bawah positivisme jauh dari keadaan tanpa masalah. What is
History karya E.H. Carr merupakan kritik pribadi terhadap positivisme, dan tujuan Hans
Morgenthau dalam Scientific Man vs Power Politics, sebagaimana judulnya, adalah menghapus
semua pendapat bahwa politik internasional/politik kekuasaan dapat dipelajari secara ilmiah.
Liberalisme/idealisme/Internasionalisme liberal[sunting | sunting sumber]
Teori hubungan internasional liberal muncul setelah Perang Dunia I sebagai respon atas
ketidakmampuan negara-negara untuk mengendalikan dan membatasi perang dalam hubungan
internasional mereka. Para penganut pertamanya meliputi Woodrow Wilson dan Norman Angell,
yang berpendapat keras bahwa negara dapat makmur melalui kerja sama dan bahwa perang
bersifat sangat destruktif serta sia-sia.
Liberalisme belum diakui sebagai sebuah teori yang koheren sampai akhirnya secara kolektif
dan mengejek disebut idealisme oleh E. H. Carr. Sebuah versi baru "idealisme" yang berfokus
pada hak asasi manusia sebagai dasar legitimasi hukum internasional dikemukakan oleh Hans
Köchler.

Informasi lebih lanjut: Internasionalisme liberal


Neoliberalisme[sunting | sunting sumber]
Neoliberalisme mencoba memperbarui liberalisme dengan menerima anggapan neorealis
bahwa negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional, namun masih mengakui
pentingnya aktor non-negara dan organisasi antarpemerintah (IGO). Pendukung seperti Maria
Chattha berpendapat bahwa negara-negara akan saling bekerja sama tanpa memandang hasil
relatifnya, dan lebih melihat hasil absolutnya. Ini juga berarti bahwa bangsa-bangsa, pada
dasarnya, bebas membuat pilihan mereka sendiri tentang bagaimana mereka menjalankan
kebijakan tanpa adanya organisasi internasional yang menghalang-halangi hak sebuah bangsa
untuk berdaulat.
Neoliberalisme juga memiliki teori ekonomi yang didasarkan pada pemanfaatan pasar terbuka
dan bebas dengan sedikit intervensi pemerintah, jika ada, untuk mencegah munculnya monopoli
dan konglomerat lain. Saling ketergantungan yang muncul sepanjang dan setelah Perang Dingin
melalui institusi internasional mendorong penetapan neo-liberalisme sebagai institusionalisme;
bagian baru dari teori ini didukung oleh Robert Keohane dan Joseph Nye.

Informasi lebih lanjut: Saling ketergantungan kompleks


Teori rezim[sunting | sunting sumber]
Teori rezim berasal dari tradisi liberal yang berpendapat bahwa institusi atau rezim internasional
mempengaruhi kelakuan negara-negara (atau aktor internasional lainnya). Teori ini berasumsi
bahwa kerja sama dapat dilaksanakan pada sistem negara yang anarkis. Memang, dilihat dari
definisinya, rezim merupakan contoh kerja sama internasional.
Sementara realisme memperkirakan bahwa konflik harus menjadi norma dalam hubungan
internasional, teoriwan rezim mengatakan bahwa terjadi kerja sama meski bersifat anarki.
Mereka sering merujuk pada kerja sama perdagangan, hak asasi manusia dan keamanan
kolektif. Contoh kerja sama ini adalah rezim. Definisi rezim yang sering dikutip berasal
dari Stephen Krasner. Krasner mendefinisikan rezim sebagai "institusi yang memiliki norma,
aturan keputusan, dan prosedur yang memfasilitasi konvergensi harapan."[kutipan ini butuh rujukan]
Tidak semua pendekatan terhadap teori rezim bersifat liberal atau neoliberal; sejumlah
sarjana realis seperti Joseph Greico telah mengembangan teori hibrid yang mengambil
pendekatan berbasis realis terhadap teori ini yang pada dasarnya liberal. Para realis tidak
berkata kerja sama tidak pernah terjadi, namun karena itu bukanlah normanya; kerja sama
adalah perbedaan derajat).
Teori pascapositivis/reflektivis[sunting | sunting sumber]
Teori masyarakat internasional (aliran Inggris)[sunting | sunting sumber]
Teori masyarakat internasional, juga disebut Aliran Inggris, berfokus pada norma dan nilai
bersama negara-negara dan bagaimana mereka mengatur hubungan internasional. Contoh-
conton norma tersebut adalah diplomasi, ketertiban, dan hukum internasional. Tidak seperti neo-
realisme, teori ini tidak positivis. Para teoriwan lebih memperhatikan intervensi kemanusiaan,
dan terbagi antara solidaris, yang lebih mendukung intervensi, dan pluralis, yang mendukung
ketertiban dan kedaulatan. Nicholas Wheeler adalah solidaris terkenal, sementara Hedley
Bull dan Robert H. Jackson adalah pluralis terkenal.
Konstruktivisme sosial[sunting | sunting sumber]
Konstruktivisme sosial mencakup serangkaian teori yang bertujuan menjawab pertanyaan-
pertanyaan ontologi, seperti perdebatan struktur dan lembaga, serta pertanyaan epistemologi,
seperti perdebatan "material/ideasional" yang memperhatikan peran relatif kekuatan material
versus ide. Konstruktivisme bukan merupakan teori HI dalam artian neo-realisme, tetapi
sebuah teori sosial yang lebih bagus dipakai untuk menjelaskan tindakan-tindakan yang diambil
oleh negara dan aktor-aktor besar lain, serta identitas yang memandu negara dan aktor-aktor ini.
Konstruktivisme dalam HI dapat dibagi menjadi sesuatu yang Hopf (1998) sebut konstruktivisme
'konvensional' dan 'kritis'. Hal yang umum terhadap segala jenis konstruktivisme adalah
kepentingan terhadap peran yang dimainkan kekuatan-kekuatan ideasional. Sarjana
konstruktivis ternama, Alexander Wendt, menulis dalam artikelnya di International
Organization tahun 1992 (yang diikuti oleh buku Social Theory of International Politics (1999))
bahwa "anarki adalah sesuatu yang dihasilkan negara". Dengan ini, ia berusaha mengatakan
bahwa struktur anarkis yang diklaim para neo-realis mengatur interaksi negara faktanya
merupakan suatu fenomena yang dibangun secara sosial dan direproduksi oleh negara.
Misalnya, jika sistem ini didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi
hidup atau mati (yang disebut Wendt sebagai anarki "Hobbesian"), sistem tersebut akan ditandai
dengan peperangan. Di sisi lain, jika anarki dilihat sebagai sesuatu yang membatasi (anarki
"Lockean"), sistem yang lebih damai akan tercipta. Anarki dalam pandangan ini dibentuk oleh
interaksi negara, alih-alih diterima sebagai fitur kehidupan internasional yang alami dan kekal
sebagaimana dikatakan para teoriwan HI neo-realis.
Teori kritis[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Teori hubungan internasional kritis
Teori hubungan internasional kritis adalah penerapan 'teori kritis' terhadap hubungan
internasional. Para pendukungnya seperti Andrew Linklater, Robert W. Cox dan Ken
Boothberfokus pada perlunya emansipasi manusia dari negara. Karena itu, teori ini "kritis"
terhadap teori HI arus utama yang bersifat negara-sentris.
Marxisme[sunting | sunting sumber]
Teori Marxis dan Neo-Marxis HI menolak pandangan realis/liberal terhadap konflik atau kerja
sama negara; mereka berfokus pada aspek ekonomi dan material. Ini menciptakan asumsi
bahwa ekonomi mengalahkan masalah lainnya, sehingga memungkinkan peningkatan kelas
menjadi fokus studi. Para Marxis memandang sistem internasional sebagai satu sistem kapitalis
terpadu yang terus menambah modal. Jadi, masa kolonialisme membawa sumber bahan baku
dan pasar terkurung untuk ekspor, sementara dekolonialisasi membawa kesempatan baru dalam
bentuk ketergantungan.
Teori yang terhubung dengan Marxis adalah teori ketergantungan yang berpendapat bahwa
negara-negara maju, dalam mencapai kekuasaannya, menyusup ke negara-negara berkembang
melalui penasihat politik, misionaris, para ahli, dan MNC untuk mengintegrasikan mereka ke
sistem kapitalis demi mendapatkan sumber daya alam yang cukup dan mendorong
ketergantungan.
Teoriwan Marxis kurang mendapat perhatian di Amerika Serikat, karena negara tersebut tidak
memiliki partai sosialis besar. Teori ini lebih mencuat di sebagian wilayah Eropa dan merupakan
salah satu kontribusi teori terpenting di kalangan akademisi Amerika Latin, misalnya
melalui teologi pembebasan.
Teori kepemimpinan[sunting | sunting sumber]
Sudut pandang kelompok kepentingan[sunting | sunting sumber]
Teori kelompok kepentingan mengatakan bahwa pendorong perilaku negara adalah kelompok
kepentingan subnegara. Contoh-contoh kelompok kepentingan adalah pelobi politik, militer, dan
perusahaan. Teori kelompok berpendapat bahwa meski kelompok-kelompok kepentingan ini
konstitutif terhadap negara, mereka juga merupakan tenaga pendorong pelaksanaan kekuasaan
negara.
Sudut pandang strategis[sunting | sunting sumber]
Sudut pandang strategis adalah pendekatan teoretis yang memandang individu memilih tindakan
mereka dengan mempertimbangkan tindakan yang diantisipasi dan respon individu lain dengan
tujuan memaksimalkan kesejahteraan mereka.
Model keyakinan buruk tersirat[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Keyakinan buruk dan model keyakinan buruk tersirat
"Model keyakinan buruk tersirat" dalam pemrosesan informasi adalah teori psikologi politik yang
pertama kali dikemukakan Holsti untuk menjelaskan hubungan antara keyakinan John Foster
Dulles dan model pemrosesan informasinya.[5] Model ini merupakan model saingan yang paling
banyak dipelajari.[6] Sebuah negara dianggap sebagai musuh, dan segala indikator yang
menyatakan sebaliknya justru tidak diakui. Indikator-indikator ini dianggap sebagai propaganda
atau tanda kelemahan. Contohnya adalah sikap John Foster Dulles terhadap Uni Soviet, atau
sikap awal Israel terhadap Organisasi Pembebasan Palestina.[7]
Teori pascastrukturalis[sunting | sunting sumber]
Teori pascastrukturalis HI berkembang pada tahun 1980-an dari studi pascamodernis dalam ilmu
politik. Pascastrukturalisme mempelajari dekonstruksi konsep-konsep yang secara tradisional
tidak problematis dalam HI, seperti 'kekuasaan' dan 'lembaga' dan menguji bagaimana
pembuatan konsep-konsep ini membentuk hubungan internasional. Pengujian 'narasi'
memainkan peran penting dalam analisis pascastrukturalis, misalnya karya pascastrukturalis
feminis telah menguji peran bahwa 'wanita' turut berpartisipasi dalam masyarakat global dan
bagaimana mereka dibangun dalam perang sebagai sosok 'tidak bersalah' dan 'warga sipil'.
Contoh-contoh penelitian pascapositivis meliputi:

 Feminisme (perang "gender")


 Pascakolonialisme (menantang sifat eurosentrisme HI)
 Pascarealisme (berfokus pada teori HI sebagai retorika ilmiah dan politik)

Konsep[sunting | sunting sumber]


Konjungtur[sunting | sunting sumber]
Dalam pembuatan keputusan hubungan internasional, konsep konjungtur, bersama kebebasan
bertindak dan kesetaraan, adalah elemen penting. Para pembuat keputusan perlu
mempertimbangkan rangkaian kondisi internasional dalam mengambil inisiatif yang akan
menghasilkan berbagai jenis respon.
Konsep level sistemik[sunting | sunting sumber]
Hubungan internasional sering dipandang dalam hal level analisis. Konsep level
sistemik adalah konsep-konsep luas yang menetapkan dan membentuk suatu lingkungan
internasional yang ditandai dengan anarki.
Kekuatan[sunting | sunting sumber]

Negara biru sangat gelap sering dianggap kekuatan super, negara biru gelap kekuatan besar, negara biru
pucat kekuatan menengah, dan negara biru sangat pucat juga kadang dianggap kekuatan menengah.[8]

Konsep kekuatan dapat dideskripsikan sebagai tingkat sumber daya, kemampuan, dan
pengaruh dalam masalah internasional. Konsep ini sering dibagi menjadi konsep kekuatan
keras dan kekuatan lunak; kekuatan keras berkaitan dengan kekuatan koersif, seperti
pemakaian kekuatan, dan kekuatan lunak yang biasanya mencakup
pengaruh ekonomi, diplomasi, dan budaya. Meski begitu, tidak ada garis pemisah yang jelas
antara kedua bentuk kekuatan tersebut.
Polaritas[sunting | sunting sumber]
Polaritas dalam hubungan internasional merujuk pada pengaturan kekuatan di dalam sistem
internasional. Konsep ini muncul dari bipolaritas pada Perang Dingin, dengan sistem
internasionalnya didominasi oleh konflik antara dua kekuatan super, dan telah diterapkan secara
retrospektif oleh para teoriwan. Tetapi, istilah bipolar sering digunakan oleh Stalin yang
mengatakan bahwa ia memandang sistem internasional sebagai sistem bipolar dengan dua
basis kekuatan dan ideologi yang saling bertentangan. Akibatnya, sistem internasional sebelum
1945 bisa disebut multi-polar, dengan kekuatan terbagi-bagi antara kekuatan besar.

Imperium dunia pada tahun 1910.

Kejatuhan Uni Soviet tahun 1991 telah mendorong munculnya unipolaritas, dengan Amerika
Serikat sebagai kekuatan super tunggal. Tetapi, karena pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang
cepat (pada tahun 2010, Cina menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia), ditambah posisi
internasional yang patut diperhitungkan di dunia politik serta kekuasaan yang dimiliki pemerintah
Cina terhadap rakyatnya (populasi terbesar di dunia), muncul perdebatan apakah Cina sekarang
merupakan kekuatan super atau kandidat potensial pada masa depan.
Sejumlah teori hubungan internasional berasal dari ide polaritas:
Keseimbangan kekuatan adalah konsep yang menonjol di Eropa sebelum Perang Dunia I,
pemikiran bahwa dengan menyeimbangkan blok-blok kekuatan, mereka dapat menciptakan
stabilitas dan mencegah perang. Teori keseimbangan kekuatan mendapat perhatian lagi
selama Perang Dingin dan menjadi mekanisme utama dalam Neorealisme Kenneth Waltz. Di
sini, konsep menyeimbangkan (berkuasa untuk melawan lainnya) dan menempel (berpihak pada
lainnya) dikembangkan.
Teori kestabilan hegemon (dikembangkan oleh Robert Gilpin) juga berasal dari ide Polaritas,
terutama keadaan unipolaritas. Hegemoni adalah pembesaran kekuatan di satu kutub sistem
internasional, dan teori ini berpendapat bahwa ini merupakan konfigurasi yang stabil dikarenakan
manfaat bersama dari kedua kekuatan yang dominan dan kekuatan lain di sistem internasional.
Hal ini bertentangan dengan argumen Neorealis, terutama Kenneth Waltz, yang menyatakan
bahwa akhir Perang Dingin dan keadaan unipolaritas merupakan konfigurasi yang tidak stabil
dan kelak akan berubah.
Pernyataan tersebut dapat dijelaskan dalam teori peralihan kekuatan, yang menyatakan bahwa
sebuah kekuatan besar tidak mungkin menantang sebuah hegemoni setelah periode tertentu,
sehingga menghasilkan perang besar. Teori ini menyatakan bahwa meski hegemoni dapat
mengendalikan munculnya perang, mereka juga menciptakan perang. Pendukung
utamanya, A.F.K. Organski, berpendapat bahwa hal ini didasarkan pada terjadinya perang-
perang sebelumnya antara hegemoni Britania, Portugal, dan Belanda.
Saling ketergantungan[sunting | sunting sumber]
Banyak ahli menyatakan bahwa sistem internasional saat ini ditandai dengan tumbuhnya saling
ketergantungan; pertanggungjawaban dan ketergantungan bersama satu sama lain. Para
pendukung merujuk pada globalisasi yang semakin tumbuh, terutama dengan interaksi ekonomi
internasional. Peran institusi internasional, dan penerimaan sejumlah prinsip operasi dalam
sistem internasional, memperkuat ide bahwa hubungan ditandai oleh saling ketergantungan.
Ketergantungan[sunting | sunting sumber]

Pasukan Pembantu Keamanan Internasional NATO di Afghanistan.

Teori ketergantungan adalah teori yang sering dikaitkan dengan Marxisme, menyatakan bahwa
sejumlah negara Inti mengeksploitasi beberapa negara Periferal yang lebih lemah demi
kemakmuran mereka. Berbagai versi teori ini menyatakan bahwa hal ini bisa bersifat tidak
terhindarkan (teori ketergantungan standar) atau memakai teori tersebut untuk menekankan
perlunya perubahan (Neo-Marxis).
Peralatan sistemik[sunting | sunting sumber]

 Diplomasi adalah praktik komunikasi dan negosiasi antara sejumlah perwakilan negara.
Sampai batas tertentu, semua alat hubungan internasional lainnya dapat dianggap sebagai
kegagalan diplomasi. Pemakaian alat lain adalah bagian dari komunikasi dan negosiasi tetap
di dalam diplomasi. Sanksi, kekuatan, dan menyesuaikan regulasi perdagangan, meski tidak
dianggap bagian dari diplomasi, adalah alat yang sebenarnya berharga demi kepentingan
pengaruh dan penempatan dalam negosiasi.
 Sanksi biasanya merupakan pilihan pertama setelah gagalnya diplomasi, serta salah satu
alat utama yang digunakan untuk mendorong perjanjian. Sanski bisa berupa sanksi
diplomatik atau ekonomi dan mencakup pemutusan hubungan dan pemberlakuan batasan
komunikasi atau perdagangan.
 Perang, pemakaian kekuatan, sering dianggap sebagai alat utama dalam hubungan
internasional. Sebuah definisi yang diterima luas oleh Clausewitz mengenai perang adalah,
"penyambungan politik dengan cara lain". Ada studi baru yang mempelajari 'perang baru'
yang melibatkan aktor, bukan negara. Studi perang dalam hubungan internasional dicakup
oleh disiplin 'Studi perang' dan 'Studi strategis'.
 Pengungkitan aib internasional dapat dianggap sebagai alat hubungan internasional. Ini
adalah usaha mengubah tindakan suatu negara melalui 'penyebutan nama dan
pengungkitan aib' di tingkat internasional. Ini biasanya dilakukan oleh sejumlah LSM HAM
besar seperti Amnesty International (terutama ketika mereka menyebut Teluk Guantanamo
sebagai "Gulag"),[9] atau Human Rights Watch. Alat ini sering dipakai oleh prosedur 1235
Komisi HAM PBB, yang secara terbuka mengekspos pelanggaran HAM di suatu
negara. Dewan Hak Asasi Manusia juga menggunakan mekanisme ini.
 Pembagian keuntungan ekonomi dan/atau diplomatik. Contohnya adalah kebijakan
perluasan Uni Eropa. Negara-negara kandidat diizinkan masuk UE hanya jika
memenuhi kriteria Kopenhagen.
Konsep level unit[sunting | sunting sumber]
Sebagai suatu level analisis, level unit sering disebut sebagai level negara, karena level ini
menempatkan penjelasannya di tingkat nevara, alih-alih sistem internasional.
Tipe rezim[sunting | sunting sumber]
Sering dianggap bahwa bentuk pemerintahan suatu negara dapat menentukan cara negara
tersebut berinteraksi dengan negara lain dalam sistem internasional.
Teori Perdamaian Demokratis adalah teori yang mengemukakan bahwa sifat demokrasi berarti
bahwa negara-negara demokrasi tidak akan berperang satu sama lain. Pembenaran untuk hal ini
adalah bahwa negara demokrasi menyampingkan norma mereka dan hanya berperang dengan
alasan yang pasti, dan bahwa demokrasi mendorong kepercayaan dan penghargaan terhadap
satu sama lain.
Komunisme mendukung revolusi dunia, yang akan menimbulkan kehidupan berdampingan
yang damai berdasarkan masyarakat global yang proletar.
Revisionisme/Status quo[sunting | sunting sumber]
Negara dapat dikelompokkan menurut apakah mereka menerima status quo internasional, atau
bersifat revisionis, yaitu menginginkan perubahan. Negara revisionis berusaha mengubah aturan
dan praktik hubungan internasional secara dasar, merasa tidak diuntungkan oleh status quo.
Mereka melihat sistem internasional sebagai suatu bentukan dunia barat yang mengukuhkan
realitas yang ada. Jepang adalah contoh negara yang beralih dari negara revisionis ke negara
yang puas dengan status quo, karena status quo kini menguntungkan mereka.
Agama[sunting | sunting sumber]
Sering muncul anggapan[oleh siapa?] bahwa agama dapat mempengaruhi cara negara bertindak di
dalam sistem internasional. Agama terlihat sebagai suatu prinsip pengorganisasi, terutama pada
negara-negara Islam, sementara sekularisme ada di ujung lain spektrum dengan pemisahan
negara dan agama menjadi dasar teori hubungan internasional liberal.
Konsep individu atau level subunit[sunting | sunting sumber]
Level di bawah unit (negara) bisa bermanfaat untuk menjelaskan faktor-faktor dalam Hubungan
Internasional yang tidak dapat dijelaskan oleh teori-teori lain, dan untuk menjauhi pandangan
hubungan internasional yang negara-sentris.

 Faktor psikologis dalam Hubungan Internasional - Penilaian faktor psikologis dalam


hubungan internasional berasal dari pemahaman bahwa negara bukanlah sebuah 'kotak
hitam' seperti yang dikemukakan Realisme, dan bahwa mungkin ada pengaruh-pengaruh
lain terhadap keputusan kebijakan luar negeri. Meneliti peran kepribadian dalam proses
pembuatan keputusan bisa memiliki sejumlah kekuatan penjelas, sebagaimana halnya
dengan peran mispersepsi antara berbagai aktor. Penerapan utama dalam faktor psikologis
level subunit dalam hubungan internasional adalah konsep pemikiran kelompok. Penerapan
lainnya adalah kecenderungan para pembuat kebijakan untuk berpikir secara analogis.
 Politik birokrat - Melihat peran birokrasi dalam pembuatan keputusan, dan melihat
keputusan sebagai hasil pertarungan internal birokratik, dan dibentuk oleh berbagai kendala.
 Kelompok keagamaan, etnis, dan separatis - Melihat aspek-aspek level subunit ini
memiliki kekuatan penjelas yang berkaitan dengan konflik etnis, perang
agama, diasporatransnasional (politik diaspora) dan aktor lain yang tidak menganggap
dirinya pas dengan batas negara yang sudah ditetapkan. Ini berguna dalam konteks dunia
negara lemah pra-modern.
 Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Hubungan Internasional - Bagaimana iptek
mempengaruhi kesehatan, bisnis, lingkungan, teknologi, dan pembangunan global.
 Ekonomi politik internasional, dan faktor ekonomi dalam hubungan internasional.[10]
 Kulturologi politik internasional – Memandang bagaimana budaya dan variabel budaya
memengaruhi hubungan internasional.[11][12][13]

Institusi[sunting | sunting sumber]


Lihat pula: Organisasi internasional

Gedung Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New


York City.
Kantor pusat Bank Dunia di Washington, D.C.

E-3A NATO terbang bersama F-16 AU AS pada sesi latihan NATO.

Institusi internasional membentuk bagian penting dalam Hubungan Internasional kontemporer.


Sebagian besar interaksi pada tingkat sistem diatur oleh mereka, dan mereka menyingkirkan
sejumlah institusi dan praktik Hubungan Internasional tradisional, seperti
pelaksanaan perang (kecuali demi mempertahankan diri).
Ketika manusia memasuki fase peradaban keplanetan, sejumlah ilmuwan dan teoriwan
politik[siapa?] melihat sebuah hierarki institusi global yang menggantikan sistem negara-bangsa
berdaulat yang sudah ada sebagai komunitas politik utama. Mereka berpendapat bahwa bangsa
adalah suatu komunitas khayalan yang tidak mampu menangani tantangan-tantangan global
seperti efek "Dogville" (orang asing di dalam komunitas homogen), status hukum dan politik
masyarakat dan pengungsi tanpa negara, dan perlunya mengingatkan dunia tentang masalah-
masalah seperti perubahan iklim dan wabah.
Futuris Paul Raskin membuat hipotesis bahwa bentuk politik global yang baru dan lebih sah
dapat didasarkan pada "pluralisme yang dibatasi". Prinsip ini mendorong pembentukan institusi
berdasarkan tiga karakteristik: iredusibilitas, ketika sejumlah isu harus diputuskan pada tingkat
global, subsidiaritas, yang membatasi cakupan otoritas global terhadap isu-isu yang memang
bersifat global, sementara isu-isu pada cakupan yang lebih kecil diatur pada tingkatan yang lebih
rendah; dan heterogeneitas, yang memungkinkan pendirian berbagai bentuk institusi lokal dan
regional selama mereka memenuhi kewajiban global.
Organisasi antarnegara umum[sunting | sunting sumber]
Perserikatan Bangsa-Bangsa[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perserikatan Bangsa-Bangsa
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah sebuah organisasi internasional yang
mendeskripsikan dirinya sebagai "asosiasi pemerintahan seluruh dunia yang
memfasilitasi kerja sama dalam hukum internasional, keamanan
internasional, pembangunan ekonomi, dan kesetaraan sosial"; PBB merupakan institusi
internasional paling terkenal. Banyak institusi hukum mengikuti struktur organisasi yang
sama seperti PBB.
OIC[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Organisasi Kerja Sama Islam
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) adalah sebuah organisasi internasional yang terdiri
dari 57 negara anggota. Organisasi ini berusaha menjadi corong kolektif bagi
suara dunia Muslim (umat) dan melindungi kepentingan serta menjamin kemajuan dan
kesejahteraan umat Islam.
Lainnya[sunting | sunting sumber]

 Uni Afrika
 ASEAN
 Liga Arab
 CIS
 Uni Eropa
 G8
 G20
 Liga Bangsa-Bangsa
 Organisasi Negara-Negara Amerika
Institusi ekonomi[sunting | sunting sumber]

 Bank Pembangunan Asia


 Bank Pembangunan Afrika
 Bank of International Settlements
 Bank Pembangunan Inter-Amerika
 Dana Moneter Internasional
 Bank Pembangunan Islam
 Bank Dunia
 Organisasi Perdagangan Dunia
Badan hukum internasional[sunting | sunting sumber]
Hak asasi manusia[sunting | sunting sumber]

 Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa


 Komite Hak Asasi Manusia
 Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika
 Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa
 Pengadilan Kriminal Internasional
 Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda
 Pengadilan Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia
Hukum[sunting | sunting sumber]

 Mahkamah Afrika
 Mahkamah Eropa
 Mahkamah Internasional
 Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut
Organisasi keamanan regional[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Keamanan kolektif

 CSCAP
 GUAM
 Rezim keamanan maritim
 NATO
 SCO
 SAARC
 UNASUR

Lihat pula[sunting | sunting sumber]


Wikimedia
Commons memiliki galeri
mengenai:

Hubungan internasional

 Development Cooperation Issues


 Sejarah diplomatik
 Studi global
 Daftar lembaga dan organisasi hubungan internasional
 Daftar jurnal ilmiah hubungan internasional
 Multilateralisme

Anda mungkin juga menyukai