Anda di halaman 1dari 21

Contoh Semangat Nasionalisme dan Patriotisme

1. Semangat menentang dominasi asing dalam segala bentuk


2. Semangat pengorbanan seperti pengorbanan harta benda dan jiwa raga.
3. Semangat tahan derita dan tahan uji.
4. Semangat kepahlawan
5. Semangat persatuan dan kesatuan
6. Percaya pada diri sendiri

Awalnya, keanggotaan terbatas hanya pada penduduk Jawa dan Madura, namun pada
akhirnya meluas sampai Bali.
Hal ini dilakukan dengan tidak melihat keturunan, kelamin, atau agama apapun. Pada tahun
1928, Budi Utomo menambahkan suatu asas perjuangan yaitu untuk ikut berusaha
melaksanakan cita-cita bangsa Indonesia.

Peran Budi Utomo Terhadap Kebangkitan Nasional

Kelahiran Budi Utomo menjadi penanda terjadinya perubahan bentuk perjuangan dalam
meraih kemerdekaan, yang tadinya bersifat kedaerahan berubah sifat menjadi nasional
dengan tujuan yang satu. Perjuangan mengusir penjajah yang awalnya hanya mengandalkan
kekuatan fisik, diganti dengan perjuangan baru yang mengutamakan kekuatan pemikiran.
Maka, Budi Utomo menjadi pelopor perjuangan dengan memanfaatkan kekuatan pemikiran,
karena ada organisasi-organisasi yang selanjutnya muncul di berbagai bidang. Seperti
Perhimpunan Indonesia, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain yang berkaitan dengan
Budi Utomo. Meski memiliki ideologi berbeda-beda, organisasi di masa pergerakan memiliki
tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan bangsa.
Keberagaman organisasi di masa itu dapat mempercepat tercapainya kemerdekaan karena
saling melengkapi.
Maka, berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 dianggap sebagai awal gerakan yang
menjadi tonggak kemerdekaan Indonesia.

Sarekat Dagang Islam


Kebangkitan nasionalisme di Indonesia pada awal abad ke-20 Masehi berawal dari
kemunculan organisasi-organisasi pergerakan nasional di Indonesia. Salah satu organisasi
pergerakan nasional yang teguh dalam memeperjuangkan hak-hak masyarakat pribumi
adalah Sarekat Islam. Awal pembentukan Pada awalnya, Sarekat Islam adalah organisasi
dagang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh K.H Samanhudi pada 16
Oktober 1905.
Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam dengan tujuan untuk menggalang kerja
sama antara pedagang Islam demi memajukan kesejahteraan pedagang Islam pribumi.
Selain itu, Samanhudi juga ingin meruntuhkan dominasi pedagang-pedagang etnis China di
sektor perekonomian Indonesia. Pada tahun 1912, H.O.S Tjokroaminoto mengubah nama
organisasi Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam.
Perubahan nama tersebut bertujuan agar keanggotaan organisasi tidak hanya
terbatas pada golongan pedagang, namun juga terbuka bagi seluruh umat Islam di
Indonesia. Tujuan Sarekat Islam Dalam jurnal Sarekat Islam dalam Pergerakan Nasional
Indonesia (1912-1927) (2009) karya Yasmis, Sarekat Islam merupakan organisasi yang secara
lantang menentang segala ketidakadilan dalam sistem kolonialisme di Indonesia. Pendirian
Sarekat Islam memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1. Mengembangkan jiwa dagang dan kesejahteraan masyarakat pribumi
2. Mengembangkan pendidikan dan pengajaran bagi masyarakat pribumi
3. Memperbaiki citra Islam di kalangan masyarakat luas
4. Membantu kesulitan yang dialami anggota dalam sektor ekonomi
5. Mengembangkan eksistensi agama Islam di Indonesia

Perkembangan Sarekat Islam


Pada masa kepemimpinan H.O.S Tjokroaminoto, arah organisasi Sarekat Islam
merambah di bidang sosial, politik dan pemerintahan. Sarekat Islam selalu menyuarakan
semangat perjuangan Islam dalam perlawanan terhadap kolonialisme dan Imperialisme.
Cita-cita Sarekat Islam berhasil mendapat simpati masyarakat pribumi dan berkembang
hingga ke desa-desa pedalaman. Rakyat pedesaan menganggap Sarekat Islam adalah wadah
dalam perjuangan melawan struktur kekuasaan lokal. Dalam buku Sejarah Indonesia
Modern: 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, Sarekat Islam semakin berkembang pesat
pada tahun 1912. Keanggotaan Sarekat Islam tidak hanya berasal dari
1. Jawa,
2. namun meluas hingga pulau Sumatera,
3. Sulawesi,
4. Dan Maluku

Sarekat Dagang Islam


Pada tahun 1917, Pemerintah kolonial Belanda meminta kepada Sarekat Islam untuk
mengirimkan wakil untuk menduduki kursi Volksraad (Dewan Rakyat). Tjokroaminoto dan
Abdoel Moeis dipilih sebagai perwakilan Sarekat Islam di Volksraad. Pada
perkembangannya, Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis tidak dapat berbuat banyak karena
Volksraad hanyalah dewan boneka bentukan pemerintah Belanda.
Perpecahan Pada tahun 1914, beberapa anggota Sarekat Islam mendapatkan
pengaruh ideologi Komunis dari tokoh Indische Social Democratische Vereniging (ISDV)
bernama Henk Sneevliet. Anggota-anggota Sarekat Islam seperti Semaoen, Darsono, Alimin,
dan Tan Malaka berusaha mengubah perjuangan Sarekat Islam ke arah yang lebih radikal
sesuai dengan semangat komunisme.
Namun, upaya mereka mendapatkan perlawanan dari golongan Islam konservatif
seperti Kartosuwiryo, Agus Salim dan Abdoel Moeis. Pada akhirnya Sarekat Islam pecah
menjadi dua, yaitu Sarekat Islam Merah di bawah pimpinan Semoen dan Sarekat Islam Putih
di bawah pimpinan Tjokroaminoto.

SAREKAT ISLAM
Latar Belakang Sarekat Islam

 Perlawanan terhadap para pedagang perantara (penyalur) oleh orang Cina.


 Isyarat pada umat Islam bahwa telah tiba waktunya untuk menunjukkan
kekuatannya
 Membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putera.
 Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang
kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Oetusan Hindia.
 Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI
menjadi Sarekat Islam (SI). Pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir terhadap
perkembangan SI yang begitu pesat. SI dianggap membahayakan kedudukan
pemerintah Hindia Belanda, karena mampu memobilisasikan massa. Namun
Gubernur Jenderal Idenburg (1906-1916) tidak menolak kehadiran Sarekat Islam.
 Keanggotaan Sarekat Islam semakin luas. Perkumpulan ini semakin berkembang
pesat ketika Tjokroaminoto memegang tampuk pimpinan dan mengubah nama
perkumpulan menjadi Sarekat Islam.
 
Tujuan Sarekat Islam
Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan jiwa dagang.
2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.
Hidup menurut perintah agama islam.
SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk golongan Priyayi (bangsawan)
masyarakat Jawa dan Madura saja sebagaimana organisasi Boedi Oetomo. Tujuan SI adalah
membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan
mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan
masyarakat muslim.
Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan
kekhawatiran pemerintah Belanda. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum,
awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal.
Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam
kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang
ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Jika di telaah kebijakan pemerintah penjajah dengan tidak memberi izin kepada Si
pusat namun memberi izin badan hokum SI local merupakan trik untuk memecah
belah/mengkotak-kotak perjuangan rakyat Indonesia. Keadaan hubungan yang tidak
harmonis antara Jawa dan Cina mendorong pedagang-pedagang Jawa untuk bersatu
menghadapi pedagang-pedagang Cina. Di samping itu agama Islam merupakan faktor
pengikat dan penyatu kekuatan pedagang-pedagang Islam.
Politik Kanalisasi Idenburg cukup berhasil, karena Central Sarekat Islam baru diberi
pengakuan badan hukum pada bulan Maret 1916 dan keputusan ini diambil ketika ia akan
mengakhiri masa jabatannya. Idenburg digantikan oleh Gubernur Jenderal van Limburg
Stirum (1916-1921). Gubernur Jenderal baru itu bersikap agak simpatik terhadap Sarekat
Islam. Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan
Hukum pada bulan Maret tahun 1916.
Namun sebelum Kongres Sarekat Islam Kedua tahun 1917 yang diadakan di Jakarta
muncul aliran revolusionaer sosialistis yang dipimpin oleh Semaun. Pada saat itu ia
menduduki jabatan ketua pada SI lokal Semarang. Walaupun demikian, kongres tetap
memutuskan bahwa tujuan perjuangan Sarekat Islam adalah membentuk pemerintah
sendiri dan perjuangan melawan penjajah dari kapitalisme yang jahat.
Dalam Kongres itu diputuskan pula tentang keikutsertaan partai dalam Voklsraad.
HOS Tjokroaminoto (anggota yang diangkat) dan Abdul Muis (anggota yang dipilih) mewakili
Sarekat Islam dalam Dewan Rakyat (Volksraad).
Pada Kongres Sarekat Islam Ketiga tahun 1918 di Surabaya, pengaruh Sarekat Islam
semakin meluas. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah
menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917, yaitu HOS
Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel Moeis yang juga tergabung dalam CSI menjadi anggota
volksraad atas namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan bukan mewakili Central SI
sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang menjadi tokoh terdepan dalam Central
Sarekat Islam.
Tapi Tjokroaminoto tidak bertahan lama di lembaga yang dibuat Pemerintah Hindia
Belanda itu dan ia keluar dari Volksraad (semacam Dewan Rakyat), karena volksraad
dipandangnya sebagai “Boneka Belanda” yang hanya mementingkan urusan penjajahan di
Hindia ini dan tetap mengabaikan hak-hak kaum pribumi. HOS Tjokroaminoto ketika itu
telah menyuarakan agar bangsa Hindia (Indonesia) diberi hak untuk mengatur urusan
dirinya sendiri, yang hal ini ditolak oleh pihak Belanda.
Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral
Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran
dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian
besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak
sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.

Pengaruh Sarekat Islam dalam Pergerakan Nasional


Serikat Islam pada mulanya bernama Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh H.
Samanhudi yang berdasarkan pada Agama dan Perekonomian Rakyat sebagai dasar dalam
pergerakannya, tujuannya pula adalah melindungi hak-hak pedagang pribumi dari monopoli
dagang yang dilakukan oleh pedagang-pedagang besar tionghoa. Dan dengan lahirnya
Sarikat Dagang Islam yang menghimpun pedagang Islam pribumi pada saat itu, diharapkan
dapat bersaing dengan pedagang asing seperti Tionghoa, India, dan Arab.
Pada 1912 Sarekat Dagang Islam berganti nama menjadi Sarekat Islam oleh H.O.S.
Tjokroaminoto,  pergantian nama ini didasarkan agar Sarekat Islam ini tidak hanya bergerak
dalam bidang agama dan Ekonomi saja, tetapi dapat bergerak dalam Politik pula, sehingga
membuat ruang gerak Sarekat Islam pun bertambah luas. Setelah menjadi SI sifat gerakan
menjadi lebih luas karena tidak dibatasi keanggotaannya pada kaum pedagang saja. Dalam
Anggaran Dasar tertanggal 10 September 1912,
tujuan perkumpulan ini diperluas, antara lain:
1. Memajukan perdagangan;
2. Memberi pertolongan kepada anggota yang mengalami kesukaran (semacam usaha
koperasi);
3. Memajukan kecerdasan rakyat dan hidup menurut perintah agama;
4. Memajukan agama Islam serta menghilangkan faham-faham yang keliru tentang
agama Islam.
Program yang baru tersebut masih mempertahankan tujuan lama yaitu dalam bidang
perdagangan namun tampak terlihat perluasan ruang gerak yang tidak membatasi pada
keanggotaan para pedagang tetapi terbuka bagi semua masyarakat.
Tujuan politik tidak tercantumkan karena pemerintah masih melarang adanya partai
politik. Perluasan keanggotaan tersebut menyebabkan dalam waktu relatif singkat
keanggotaan Serikat Islam meningkat drastis. Mobilisasi terhadap rakyat pun bertambah
luas, karena pada saat itu muncul Nasionalisme dalam pengertian politik baru saat Sarekat
Islam ini diketuai oleh HOS Tjokroaminoto. Sebagai organisasi poltik pelopor Nasionalisme,
saat itu Tjokroaminoto pun memberikan batasan :
“Pengertian Nasional sebagai usaha meningkatkan seseorang pada tingkat natie berjuang
menuntut pemerintahan sendiri atau sekurang-kurangnya bangsa Indonesia diberi hak
untuk mengemukakan suaranya dalam masalah politik.” (Muhibin : 2009).
Dalam Sarekat Islam pun terdapat beberapa program kerja, program kerja dibagi
atas delapan bagian yaitu: Mengenai politik Sarekat Islam menuntut didirikannya dewan-
dewan daerah, perluasan hak-hakVolksraad dengan tujuan untuk mentransformasikan
menjadi suatu lembaga perwakilan yang sesungguhnya untuk legelatif. Sarekat Islam juga
menuntut penghapusan kerja paksa dan sistim izin untuk bepergian.
Dalam bidang pendidikan, Serikat Islam menuntut penghapusan peraturan
diskriminatif dalam penerimaan murid di sekolah-sekolah. Dalam bidang agama, Serikat
Islampun menuntut dihapuskannya segala peraturan dan undang-undang yang
menghambat tersiarnya agama Islam. Sarekat Islam juga menuntut pemisahan lembaga
kekuasaan yudikatif dan eksekutif dan menganggap perlu dibangun suatu hukum yang sama
bagi menegakkan hak-hak yang sama di antara penduduk negeri.
Partai juga menuntut perbaikan di bidang agraria dan pertanian dengan
menghapuskan particuliere landerijen (milik tuan tanah) serta menasonalisasi industri-
industri monopolistik yang menyangkut pelayanan dan barang-barang pokok kebutuhan
rakyat banyak. Dalam bidang keuangan SI menuntut adanya pajak-pajak berdasar
proporsional serta pajak-pajak yang dipungut terhadap laba perkebunan.
Kemudian Serikat Islam inipun menuntut pemerintah untuk memerangi minuman
keras dan candu, perjudian, prostitusi dan melarang penggunaan tenaga anak-anak serta
membuat peraturan perburuhan yang menjaga kepentingan para pekerja dan menambah
poliklinik dengan gratis
Benda dalam Padmo (2007) menyatakan bahwa “SI mempunyai daya tarik yang jauh
jangkauannya di luar penduduk kota yang berpendidikan Barat. Tujuh tahun setelah
Tjokroaminoto memimpin SI, partai ini memusatkan perhatiannya secara eklusif pada orang
Indonesia dengan merekrut semua kelas, baik di kota maupun desa.
Mereka adalah pedagang muslim, pekerja di kota, kyai dan ulama, beberapa priyayi,
dan tak kurang pula petani ditarik dalam partai politik yang pertama pada masa kolonial di
Indonesia ini”. Serikat Islam meratakan kesadaran Nasional terhadap seluruh lapisan
masyarakat, baik itu lapisan masyarakat atas maupun lapisan masyarakat tengah, dan rakyat
biasa di seluruh Indonesia, terutama melalui Kongres Nasional Senntral Islam di Bandung
pada 1916.
Pada periode awal perkembanganya, Sarekat Islam dapat memobilisasi massa
dengan sangat baik, hal iti terbukti pada empat tahun berjalannya Serikat Islam yang telah
memiliki anggota sebanyak 360.000 orang, kemudian menjelang tahun 1919, anggotanya
telah mencapai hampir dua setengah juta orang.
Para pendiri Serikat Islam mendirikan organisasinya ini tidak hanya untuk
mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Cina, tetapi untuk membuat front melawan
semua penghinaan terhadap rakyat bumi putera. Oleh karena itu, Serikat Islam berhasil
mencapai lapisan bawah masyarakat yang berabad–abad hampir tidak mengalami
perubahan dan paling banyak menderita.
Pada mulanya Serikat Islam bersifat loyal dan membantu pemerintah. Kongresnya
yang pertama yang diadakan di Bandung pada tahun 1916, kebijakan yang diambil pada saat
itu adalah untuk membantu pemerintah.  Namun pada saat kongres Nasional di Madiun
pada 17 – 20 Februari 1923, kongres mengambil keputusan untuk membentuk sebuah
Partai yaitu partai Serikat Islam (PSI), kongres ini pula membicarakan sikap politik partai
terhadap pemerintah, pada kongres ini dibahas mengenai perubahan sikap terhadap
pemerintah.
Perubahan sikap politik ini adalah partai tidak mempercayai lagi pemerintah, dan
partai menolak kerjasama dengan pemerintah, sikap politik ini biasa disebut juga sebagai
sikap “Politik Hijrah.”

Penyebab Perpecahan dalam Sarekat Islam


Pada mulanya Sarekat Islam (SI) dilarang untuk menjalankan organisasinya oleh
pemerintah Belanda pada Agustus 1912. Setelah diadakan perubahan pada anggaran dasar
SI maka diperbolehkan untuk menjalankan aktivitasnya kembali. Rutgers (2012; 4)
menerangkan bahwa, “…pada Juni 1913, pengaktifan Pimpinan Pusat SI tidak diizinkan, dan
untuk sementara waktu, yang diizinkan itu hanya cabang-cabangnya belaka. Baru pada 1916
Pimpinan Pusat SI diperkenankan sesudah pengawasan pemerintah diperkuat.”
Pada tanggal 26 Januari 1913 diadakan kongres Sarekat Islam pertama di Surabaya.
Pada kongres tersebut pimpinan SI Oemar Said Tjokroaminoto mengutarakan intinya bahwa
SI setia terhadap pemerintahan Belanda. Hal ini disebutkan dalam Rutgers (2012; 4), “SI
bukanlah suatu partai politik yang menghendaki revolusi seperti yang disangka kebanyakan
orang.
Jika nanti diadakan pengejaran-pengejaran, kita harus meminta perlindungan
terhadap gubernur Jenderal. Kita setia dan puas terhadap kekuasaan Belanda. Sungguh
tidak benar, kalau kita dikatakan hendak menyebabkan huru-hara, sungguh tidak benar,
kalau kita dikatakan berontak. Itu semua tidak benar, tidak, seribu kali tidak.”
Kongres Sarekat Islam I menghasilkan keputusan bahwa Sarekat Islam bukan lagi
sebagai organisasi daerah Surakarta melainkan organisasi terbuka yang cakupannya meliputi
Hindia Belanda. Oleh karena itu disahkan tiga kota sebagai sentral dari Sarekat Islam
meliputi Surabaya, Yogyakarta dan Bandung. Fungsi dari tiga kota sentral Sarekat Islam
menurut Suryanegara (2012; 380) yaitu :
Pertama, dari centraal Sjarikat Islam (CSI) Surabaya, membangkitkan kesadaran
berpolitik nasional umat Islam yang bergabung dalam Sjarikat Islam di Jawa Timur hingga
seluruh wilayah Indonesia Timur;
Kedua, dari Centraal Sjarikat Islam (CSI) Yogyakarta, membangkitkan kesadaran
politik nasional umat Islam yang bergabung dalam Sjarikat Islam di Jawa Tengah hingga
seluruh wilayah Indonesia Tengah;
Ketiga, dari Centraal Sjarikat Islam (CSI) Bandung, membangkitkan kesadaran politik
nasional umat Islam yang bergabung dalam Sjarikat Islam di Jawa Barat hingga Indonesia
barat.
Dalam penetapan fungsi tersebut memang disebutkan pembagian wilayah. Tetapi
perlu diingatkan kembali bahwa pembagian daerah teritorial seperti Indonesia Timur,
Indonesia Tengah dan Indonesia Barat masih belum jelas. Hal ini dikarenakan belum adanya
pembagian wilayah seperti sekarang pada masa itu.
Dalam waktu beberapa bulan semenjak kongres Sarekat Islam pertama, SI sempat
dibekukan. Menurut Kartodirdjo (Mulyanti, 2010: 22-23) bahwa:
“Sarekat Islam yang berdiri di Semarang sempat menyulut perkelahian antara orang
Cina dengan anggota Sarekat Islam Semarang. Perkelahian tersebut terjadi di kampung
Brondongan pada tanggal 24 Maret 1913. Penyebab perkelahian adalah kebencian seorang
Cina penjual tahu dan nasi, bernama Liem Mo Sing terhadap orang-orang Sarekat Islam.
Semula warung Liem Mo Sing tergolong laku, buruh yang bekerja di perusahaan di
dekat warungnya hampir sebagian besar menjadi langganan. Setelah di kampung
Brondongan berdiri Sarekat Islam dan buruh perusahaan tersebut menjadi anggota maka
berdiri toko dan koperasi. Sebagai akibat warung Liem Mo Sing tidak laku. Oleh karena itu
Liem Mo Sing menjadi benci terhadap Sarekat Islam dan berusaha mengganggu orang-orang
yang sedang salat, memaki-maki orang-orang Sarekat Islam dan sebagainya.
Pada hari Kamis malam tanggal 27 Maret 1913, seorang bernama Rus setelah salat
Isa” melihat Liem sedang bersembunyi di bawah surau. Karena diketahui Liem melarikan
diri, kemudian dikejar oleh orang-orang yang sedang di surau. Akhirnya Liem tertangkap dan
dipukuli, sedangkan orang-orang Cina yang berusaha melarikan diri karena takut ikut
dipukuli penduduk karena dikira akan membantu Liem.”
Perselisihan dengan Tinghoa tersebut juga dituliskan oleh Rutgers (2012: 5),
“kejadian-kejadian seperti merampoki Tinghoa adalah juga tergolong kelompok “nasional”
ini. Dalam sikap terhadap bangsa Tinghoa terdapat perubahan antara lain disebabkan oleh
meletusnya Revolusi Tiongkok 1911-1912 yang menyebabkan banyak penduduk Tinghoa
berubah sikap dan menyakinkan akan benarnya gerakan kemerdekaan di Indonesia juga.
Sebaliknya rakyat Indonesia mulai ikut serta dalam demonstrasi-demonstrasi yang amat
menguntungkan gerakan revolusioner Tionghoa.
 
Kemunduran Sarekat Islam
Kehancuran atau kemunduran Partai Serikat Islam ini dimulai pada saat struktur
organisasi partai yang dianggap telah sempurna, lalu adanya pemecatan terhadap Dr.
Soekiman yang merupakan salah satu elit pengurus partai. Kemudian Dr. Soekiman beserta
pengikutnya membentuk sebuah partai lagi yang diberi nama Partai Islam Indonesia (PII),
kemudian adanya konflik di dalam partai juga membuat partai ini semakin melemah.
Melemahnya partai juga terlihat pada saat “Kongres Partai Sarekat Islam tahun 1927
menegaskan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan
agama Islam. Karena tujuannya adalah untuk mencapai kemerdekaan nasional maka Partai
Sarekat Islam menggabungkan diri dengan Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI)” (Hasyim, 2010).
Kemudian, hal ini terlihat pada tahun 1938 ketika Abikusno sudah mulai tidak
konsisten dengan ia memilih menggabungkan PSII ke dalam GAPPI yang dianggap sebagai
wadah Organisasi Nasional. Tujuan GAPPI adalah mempersatukan semua partai politik
Indonesia Raya. Dasar aksinya adalah hak mengatur diri sendiri, kebangsaan yang
bersendikan demokrasi menuju cita-cita bangsa Indonesia.
Kemudian juga kelemahan dan kehancuran partai pun semakin terlihat pada tahun
1939, ketika secara resmi S.M. Kartosuwiryo mengundurkan diri dari kepengurusan Partai,
Kartosuwiryo pada saat itu jabatannya adalah sebagai sekjen yang merangkap sebagai wakil
Presiden dalam partai, dan setelah ia keluar dari Partai Serikat Islam Indonesia, ia
membentuk sebuah lembaga yang dinamakan lembaga Suffah (Pusat Pendidikan Kaderisasi
Gerakan).
 
Tokoh Sarekat Islam
Berikut ini terdapat beberapa tokoh sarekat islam, terdiri atas:
1. Kiai Haji Samanhudi
Kiai Haji Samanhudi nama kecilnya ialah Sudarno Nadi.(Laweyan, Surakarta, Jawa
Tengah, 1868–Klaten, Jawa Tengah28 Desember 1956) adalah pendiri Sarekat Dagang
Islamiyah, sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi para
pengusaha batik di Surakarta.
Dalam dunia perdagangan, Samanhudi merasakan perbedaan perlakuan oleh
penguasa penjajahan Belanda antara pedagang pribumi yang mayoritas beragama Islam
dengan pedagang Cina pada tahun 1911. Oleh sebab itu Samanhudi merasa pedagang
pribumi harus mempunyai organisasi sendiri untuk membela kepentingan mereka. Pada
tahun 1911, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam untuk mewujudkan cita-citanya.Ia
dimakamkan di Banaran, Grogol, Sukoharjo.Sesudah itu,Serikat Islam dipimpin oleh Haji
Oemar Said Cokroaminito.
2. H.O.S. Cokro Aminoto
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6 Agustus
1882 – meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun) adalah seorang
pemimpin organisasi Sarekat Islam (SI) di Indonesia.
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama
R.M.Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M.
Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah satu
pelopor pergerakan nasional, ia mempunyai tiga murid yang selanjutnya memberikan warna
bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang
nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis.
Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam. Ia
dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI
di Banjarmasin. Salah satu kata mutiara darinya yang masyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu,
semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan
Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang
kemerdekaan.
3. Semaun
Semaun (lahir di Curahmalang, kecamatan Sumobito, termasuk dalam kawedanan
Mojoagung, kabupaten Jombang, Jawa Timur sekitar tahun 1899 dan wafat pada tahun
1971) adalah Ketua Umum Pertama Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemunculannya di
panggung politik pergerakan dimulai di usia belia, 14 tahun.
Saat itu, tahun 1914, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) afdeeling Surabaya.
Setahun kemudian, 1915, bertemu dengan Sneevliet dan diajak masuk ke Indische Sociaal-
Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV) afdeeling
Surabaya yang didirikan Sneevliet dan Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel,
serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) afdeeling Surabaya.
Pekerjaan di Staatsspoor akhirnya ditinggalkannya pada tahun 1916 sejalan dengan
kepindahannya ke Semarang karena diangkat menjadi propagandis VSTP yang digaji.
Penguasaan bahasa Belanda yang baik, terutama dalam membaca dan mendengarkan,
minatnya untuk terus memperluas pengetahuan dengan belajar sendiri, hubungan yang
cukup dekat dengan Sneevliet, merupakan faktor-faktor penting mengapa Semaoen dapat
menempati posisi penting di kedua organisasi Belanda itu.
Di Semarang, ia juga menjadi redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu, dan
Sinar Djawa-Sinar Hindia, koran Sarekat Islam Semarang. Semaoen adalah figur termuda
dalam organisasi. Di tahun belasan itu, ia dikenal sebagai jurnalis yang andal dan cerdas. Ia
juga memiliki kejelian yang sering dipakai sebagai senjata ampuh dalam menyerang
kebijakan-kebijakan kolonial.
Pada tahun 1918 dia juga menjadi anggota dewan pimpinan di Sarekat Islam (SI).
Sebagai Ketua SI Semarang, Semaoen banyak terlibat dengan pemogokan buruh.
Pemogokan terbesar dan sangat berhasil di awal tahun 1918 dilancarkan 300 pekerja
industri furnitur. Pada tahun 1920, terjadi lagi pemogokan besar-besaran di kalangan buruh
industri cetak yang melibatkan SI Semarang. Pemogokan ini berhasil memaksa majikan
untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan uang makan 10 persen.
Bersama-sama dengan Alimin dan Darsono, Semaoen mewujudkan cita-cita
Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda. Sikap
dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan
anggota SI lainnya. Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis
Hindia.
Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan
Semaoen sebagai ketuanya. PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam, tapi akibat
perbedaan paham akhirnya membuat kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada bulan
Oktober 1921.
Pada akhir tahun itu juga dia meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow, dan
Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum. Setelah kembali ke Indonesia pada
bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum dan mencoba untuk meraih
pengaruhnya kembali di SI tetapi kurang berhasil
4. Abdul Muis
Abdoel Moeis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 –
meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang
sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah
kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak
tamat.
Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada tahun 1918 mewakili Centraal
Sarekat Islam.[1] Ia dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung dan dikukuhkan sebagai
pahlawan nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).
5. Indische Partij
Indische Partij (Partai Hindia) atau sering disingkat dengan istilah “IP” ini adalah
organisasi dalam bidang politik yang didirikan pada masa pergerakan nasional tepatnya
pada tanggal 25 Desember 1912 di kota Bandung dan merupakan pengganti organisasi
Indische Bond. IP merupakan organisasi yang terdiri dari orang Indo dan Eropa yang berada
di Indonesia. Pendirinya merupakan tokoh-tokoh nasional yang dikenal dengan sebutan tiga
serangkai. Anggota tiga serangkai yaitu Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi), dr. Cipto
Mangunkusumo, dan  Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat).
IP dibentuk atas dasar semangat nasionalisme yang terhadap bangsa Indonesia.
Organisasi ini memiliki cita-cita untuk menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia,
baik golongan asli Indonesia maupun keturunan Belanda, Cina, Arab yang mengakui
Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya.
Pemerintah kolonial Belanda mulai melihat adanya unsur-unsur radikal di dalam IP
sehingga mereka pun mengambil sikap tegas. Pada tanggal 4 Maret 1913, permohonan
untuk mendapat pengakuan sebagai badan hukum yang diberikan kepada gubernur jendral
pun ditolak. Hal ini karena organisasi ini dianggap dapat mengancam dan merusak
keamanan umum. 

Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan Indonesia (PI) merupakan organisasi pergerakan nasional pertama
yang menggunakan istilah "Indonesia". Bahkan Perhimpunan Indonesia menjadi pelopor
kemerdekaan bangsa Indonesia di kancah internasional. Perhimpunan Indonesia (PI)
diprakarsai oleh Sutan Kasayangan dan R. N. Noto Suroto pada 25 Oktober 1908 di Leiden,
Belanda. Mereka adalah para pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di
Belanda.
Sejarah Perhimpunan Indonesia Dilansir Encyclopaedia Britannica (2015), organisasi
pergerakan nasional tersebut awalnya berdiri bernama Indische Vereeniging. Kemudian
pada 1922 ketika nasionalisme Indonesia berkembang, Indische Vereeniging mengubah
namanya menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Perhimpunan Indonesia merupakan pelopor
gerakan nasionalis Indonesia yang mengadvokasi kemerdekaan Indonesia dari Belanda.
Perhimpunan Indonesia adalah organisasi politik pertama yang menggunakan istilah
"Indonesia" di dalam namanya. Ide-ide tersebut dipengaruhi oleh ide sosialis dan Mohandas
(Mahatman Gandhi) di India tentang pembangkangan sipil tanpa kekerasan.
Saat Perhimpunan Indonesia kembali ke Indonesia, mereka aktif dalam studi dan
akhirnya di partai politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Dua tokoh Perhimpunan Indonesia yang terkemuka adalah Sutomo dan Mohammad
Hatta.

Tujuan Perhimpunan Indonesia Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan


Kebudayaan (Kemendikbud), jika kegiatan-kegiatan politik Perhimpunan Indonesia (PI)
sangat menarik perhatian dunia internasional. Salah satu aksi yang paling dikenal adalah
manifesto politik yang dikeluarkan pada 1925. Kegiatan tersebut berdampak hingga
membuat pemerintah Belanda merasa terancam akan keberadaan organisasi pergerakan
nasional Indonesia tersebut. Karena tidak ada yang menyangka sebelumnya kalau organisasi
yang awalnya didirikan dengan sifat sosial berubah menjadi organisasi pergerakan nasional.
Bahkan aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di kancah internasional. Penggunaan
istilah “Indonesia” menunjukan sifat radikal yang menuntut Indonesia merdeka. Bukan
hanya nama organisasi, perubahan nama juga terjadi pada majalah terbitan Perhimpunan
Indonesia yang semula bernama Hindia Putra menjadi Indonesia Merdeka dengan
semboyannya “Indonesia merdeka, sekarang!”. Sifat organisasi berubah drastis dari
organisasi sosial menjadi organisasi politik. Mereka mengambil keputusan untuk memegang
prinsip non-kooperasi.
Pada 1923, Perhimpunan Indonesia mengeluarkan Deklarasi Perhimpunan Indonesia
yang dimuat dalam majalah Hindia Putra. Dalam deklarasi tersebut memakai kata “Bangsa
Indonesia” yang menunjukkan cita-cita Perhimpunan Indonesia akan sebuah negara baru
yang merdeka.
Pada 1925 deklarasi tersebut berkembang menjadi manifesto politik. Karena
menyakini hanya kemerdekaan yang dapat mengembalikan harga diri bangsa Indonesia.
Perkembangan teknologi media cetak  dan jurnalisme memiliki peran penting dalam
menyebarkan manifesto politik ini.
Ide-ide tentang persatuan, nasionalisme yang digagas Perhimpunan Indonesia tidak
hanya beredar di Belanda, tetapi juga beredar di Hindia Belanda. Dampaknya, ide-ide
tersebut memengaruhi organisasi pergerakan nasional di tanah air. Para pejuang
kemerdekaan di Hindia Belanda menjadi sadar bahwa mereka adalah satu bangsa walaupun
berbeda suku bangsa dan agama. Kesadaran inilah yang memunculkan lahirnya Sumpah
Pemuda pada 1928.
Berkembang Aktivitas Perhimpunan Indonesia (PI) semakin meningkat sejak
bergabungnya Mohammad Hatta dan Ahmad Subarjo dalam kepenggurusan. Mereka
menegaskan bahwa tujuan Perhimpunan Indonesia yaitu Indonesia merdeka yang akan
dicapai melalui aksi bersama. Mereka juga mendapatkan dukungan internasional, sehingga
Perhimpunan Indonesia aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi internasional menentang
penjajah. Organisasi internasional seperti Liga Demokrasi Internasional, Liga Penentang
Imperialisme dan penindasan kolonial. Bahkan Perhimpuan Indonesia memiliki pengaruh
cukup besar di Indonesia. Banyak organisasi-organisasi pergerakan nasional berdiri karena
terinspirasi dari Perhimpunan Indonesia. Organisasi tersebut, yakni Perhimpunan Pelajar-
Pelajar Indonesia (PPPI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Jong Indonesia (Pemuda
Indonesia). Walaupun perjuangan yang dilakukan bersifat internasional, dampaknya juga
dirasakan dalam lingkup nasional.

Partai Komunis Indonesia


Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik yang dibentuk pada 23 Mei 1914.
PKI sempat menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia, sebelum akhirnya dibubarkan
pada 1965. Setelah itu, eksistensi PKI juga dilarang pada tahun berikutnya.
Berawal dari ISDV Berdirinya PKI diawali dengan organisasi komunis yang didirikan
oleh Henk Sneevliet pada 1914, yaitu Indische Social Democratische Vereniging (ISDV). Pada
awal pembentukan, ISDV memiliki 85 anggota yang berasal dari dua partai sosialis Belanda,
yaitu Partai Buruh Sosial Demokratis dan Partai Sosial Demokratis yang bergerak di Hindia
Belanda. Sneevliet mempunyai sebuah misi untuk menanamkan paham marxisme-
komunisme terhadap perjuangan nasional Indonesia. Salah satu cara agar misinya dapat
berjalan adalah dengan menyebarkan pahamnya lewat organisasi buruh kereta api di
Semarang. Selain itu, Sneevliet juga menyebarkan paham komunisme lewat organisasi
Sarekat Islam (SI), organisasi besar di Indonesia saat itu. Sneevliet menyebarkan
pemahamannya lewat Semaun, Alimin, Darsono, dan tokoh SI lainnya. Sejak bertemu
Sneevliet pada 1914, Semaun langsung tertarik dan mulai belajar membaca serta bahasa
Belanda.
Segera setelah itu, Semaun menjadi sekretaris ISDV di Surabaya. Kemudian, pada
1917, Sneevliet bertemu dengan anggota SI lainnya, yakni Darsono yang kemudian juga ikut
bergabung.

Perpecahan Sarekat Islam Pada perkembangannya, Semaun dan rekan-rekannya berniat


untuk mengubah perjuangan Sarekat Islam ke arah komunis. Namun, hal ini tentu tidak
langsung diterima begitu saja oleh anggota SI lainnya, hingga akhirnya timbul perpecahan.
Munculnya PKI merupakan akibat dari perpecahan pada tubuh Sarekat Islam menjadi dua
kubu, yaitu SI Merah (komunis) dan SI Putih (agamis). Semaun bersama anggota SI Merah
dan tokoh komunis kemudian mengadakan Kongres ISDV di Semarang pada Mei 1920.
Hasilnya, nama ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH), yang diketuai
oleh Semaun dan Darsono sebagai wakilnya.
Sedangkan yang menjabat sebagai sekretaris dan bendahara adalah orang Belanda.
Empat tahun kemudian, yakni pada 1924, PKH mengadakan kongres Komintern kelima yang
menghasilkan perubahan nama dari PKH menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak saat
itu, PKI terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan menentang kolonialisme
Belanda. Akan tetapi, cara PKI melawan kolonialisme Belanda terkenal radikal dan condong
anarkis.
Sejak berdiri, PKI terlibat dalam beberapa pemberontakan, salah satunya Peristiwa
PKI Madiun pada 1948. Untuk menghentikan Pemberontakan PKI Madiun 1948, Kolonel AH
Nasution melakukan operasi penumpasan pada 20 September 1948.
Dilembagakan oleh Soekarno Pemberontakan PKI di Madiun tidak menghentikan
dukungan dari sebagian rakyat Indonesia. Pada 1955, PKI ikut pemilu dan berakhir
menduduki posisi keempat. Dua tahun berselang, Partai Masyumi, yang merasa tersaingi,
menuntut agar PKI dilarang. Tidak berselang lama, terbentuklah Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) yang ditugaskan untuk menangkap ribuan kader PKI. Mengetahui
peristiwa ini, Soekarno, yang mendukung sayap kiri mengeluarkan Undang-undang Darurat.
Pada 1960, Soekarno mencetuskan slogan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan
Komunisme). Lewat Nasakom, PKI pun dilembagakan oleh Soekarno.
Namun, PKI akhirnya dibubarkan pada 1965 setelah peristiwa G30S.

Partai Nasional Indonesia

Partai Nasional Indonesia (PNI) adalah nama yang digunakan oleh beberapa partai politik
Indonesia sejak tahun 1927 sampai tahun 2000-an. PNI pertama kali didirikan oleh Soekarno pada 4
Juli 1927 di Bandung.  Partai Nasional Indonesia sendiri menjadi partai politik tertua yang diketuai
oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, Sartono, Iskak Tjokroadisurjo, dan Sunaryo.
Lahirnya Partai PNI Partai Nasional Indonesia lahir sebagai organisasi untuk
mengekspreksikan rasa nasionalisme Indonesia pada masa pra kemerdekaan.  Kemudian pada 4 Juli
1927, Soekarno, membentuk sebuah gerakan yang dinamakan Persatuan Nasional Indonesia.
Kemudian pada Mei 1928, terjadi perubahan nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Tujuan
adanya organisasi ini adalah kemandirian ekonomi dan politik untuk kepulauan Indonesia. PNI
sendiri dibentuk didasarkan pada gagasan untuk tidak bekerja sama dengan pemerintah Hindia
Belanda. Pada akhir Desember 1929, PNI memiliki sebanyak 10.000 anggota.  Hal ini kemudian
membuat para pihak berwenang merasa khawatir, sehingga Soekarno dan tujuh pemimpin partai
lainnya ditangkap pada Desember 1929.

Mereka diadili karena dianggap mengancam ketertiban umum. Akibat permasalahan ini, PNI
pun dibubarkan pada 25 April 1931.  Sampai akhirnya, pada 19 Agustus, Soekarno yang baru saja
dilantik menjadi Presiden dalam rapat bersama PPKI mengusulkan untuk membentuk negara partai
sebagai media bagi rakyat dalam mendukung pemerintah. PPKI kemudian mendirikan partai negara
yang dinamai Partai Nasional Indonesia, diambil dari nama partai pra-perang Soekarno. 

Tokoh Tjipto Mangunkusumo Sartono Iskaw Tjokrohadisuryo Sunaryo Soekarno Moh. Hatta
Gatot Mangkoepradja Soepriadinata Maskun Sumadiredja Amir Sjarifuddin Wilopo Hardi Suwiryo Ali
Sastroamidjojo Djuanda Kartawidjaja Mohammad Isnaeni Supeni Sanusi Hardjadinata Sarmidi
Mangunsarkoro

Perkembangan PNI 1929 PNI dianggap membahayakan Belanda karena menyebarkan ajaran-
ajaran pergerakan kemerdekaan sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah
penangkapan. Perintah tersebut diberikan pada 24 Desember 1929 dan penangkapan baru dilakukan
tanggal 29 Desember 1929 terhadap para tokoh PNI di Yogyakarta. Mereka adalah Soekarno, Gatot
Mangkupraja, Soepriadinata, dan Maskun Sumadiredja. 1930 Para tokoh diadili pada 18 Agustus
1930. Setelahnya mereka dimasukkan ke penjara Sukamiskin, Bandung. 1931 Pimpinan PNI,
Soekarno, diganti oleh Sartono. Kemudian Sartono membubarkan PNI dan membentuk Partindo
pada 25 April 1931. Namun, hal tersebut ditolak oleh Moh. Hatta, sehingga dibentuk kembali PNI-
Baru atau Pendidikan Nasional Indonesia.

1955 PNI memenangkan pemilu 1955 1973 PNI bergabung dengan empat peserta pemilu
1971 dan terbentuk Partai Demokrasi Indonesia 1999 PNI menjadi peserta pemilu 1999. 2002 PNI
berubah nama menjadi PNI Marhaenisme dipimpin oleh Sukmawati Soekarnoputri, anak dari
Soekarno.

Muhammadiyah
Kedekatan Bung Karno dengan Muhammadiyah, ia mulai sejak usia 15 tahun, pada
saat berjumpa dengan KH Ahmad Dahlan di rumah HOS Tjokroaminoto. Semangat
modernitas yang diajarkan Kiai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh membuat Bung
Karno jatuh hati terhadap organisasi Islam modern tertua di republik ini. Semangat
modernitas Muhammadiyah itu mewujud dalam dua istilah yang mampu melampaui
zamannya, yakni: ghirah rasionalitas dan bersifat dinamis. 
Modernitas itu menunjukkan progresifitas. Itulah yang dibawa Kiai Dahlan kepada
umat Islam periode kedua awal-awal abad ke-20. Melihat kondisi umat Islam kala itu yang
sangat terbelakang dari segala sisi: pendidikan, kesehatan, ekonomi, yang berakibat
suburnya kebodohan, kehinaan, kemiskinan yang dapat dilihat secara kasat. Hal ini
membuat Kiai Dahlan terpanggil untuk berbuat sesuatu kepada umat. Pada saat Indonesia
sebagai bangsa-negara (nation-state) belum terbentuk, Kiai Dahlan sudah memikirkan umat
yang jauh dari kata maju, akibat berada di bawah tekanan VOC yang sangat menghisap
rakyat jelata.
Spirit berkemajuan dalam jiwa modernitas kala itu mampu menggugah jamaah
Muhammadiyah untuk mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO- saat ini PKU),
lembaga pendidikan sebagaimana yang dilakukan oleh umat Katolik maupun oleh Taman
Siswa. Salah satu tujuan awal didirikannya Muhammadiyah oleh Kiai Dahlan yakni untuk:
“Terwudjudnja masjarakat Islam jang sebenar-benarnja”. Masyarakat yang berorientasi
pada kemajuan umat, bangsa, dan manusia pada umumnya. Sungguh merupakan visi yang
jauh ke depan sehingga tidak ada lagi umat yang terbelakang secara pengetahuan akibat
minimnya akses terhadap dunia pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal. 
Kualitas manusia itu pada dasarnya tergantung pada pendidikan yang dimilikinya. Semakin
luas jangkauan pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk berkompetisi secara
positif di dunia yang makin mengecil ini.
Muhammadiyah dan Pendidikan Muhammadiyah berkonsentrasi pada lembaga
pendidikan secara total, profesional, terstruktur dari tingkat PAUD, dasar, menengah hingga
perguruan tinggi. Hingga saat ini tercatat memiliki 7.651 sekolah/madrasah dan 177
perguruan tinggi, yang tersebar di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal yang jauh dari
pusat-pusat ekonomi, politik di negeri ini.
Berikutnya yaitu concern terhadap bidang kesehatan dibuktikan dengan dimilikinya
475 rumah sakit (PKU) serta bidang kesejahteraan lainnya yakni panti asuhan sebanyak 318,
54 panti jompo, dan 82 tempat rehabilitasi cacat.  Angka-angka di atas bukan sekadar
statistik semata. Hal tersebut membuktikan bahwa Muhammadiyah mendedikasikan dirinya
untuk terlibat secara aktif mewujudkan cita-cita dan tujuan besar Indonesia didirikan.
Sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, "...untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...". Etos kerja, inilah yang selalu
ditanamkan oleh Kiai Dahlan kepada warga Muhammadiyah di manapun dengan pesannya:
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Motto
Muhammadiyah lainnya yaitu: Sedikit bicara banyak bekerja” dan “Siapa menanam
mengetam”.
Pesan tersebut menjadi pelecut bagi warga Muhammadiyah untuk mengabdikan diri
sesuai dengan kapasitasnya masing-masing untuk bangsa dan negara Indonesia. 
Kesejahteraan dan kecerdasan bangsa tidak mungkin terwujud ketika tidak ada upaya untuk
menggerakan dan mengatasi permasalahan-permasahalan kebodohan, keterbelakangan,
kemiskinan, serta sikap-sikap inferior lainnya. Dengan keberadaan lembaga-lembaga
pendidikan, secara perlahan masalah-masalah tersebut dapat diatasi. Tentu saja masih
banyak pekerjaan rumah lainnya di dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah yang perlu
dibenahi sehingga secara kualitas dapat terdistribusi di seluruh pelosok Indonesia.
Pembenahan-pembenahan tersebut dapat dilakukan dengan membangun kemitraan
dengan seluruh pemangku kepentingan di dalam dunia pendidikan baik tingkat lokal,
regional, nasional, dan internasional. Beberapa sudah, sedang, dan akan dilakukan. Baik
dengan pemerintah maupun lembaga-lembaga lainnya.  Muhammadiyah dan Ideologi
Negara Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, Muhammadiyah pun sudah terlibat
secara aktif mendukung dasar dan ideologi negara yakni Pancasila.
Begitu juga dengan UUD 1945 sebagai konstitusi serta NKRI sebagai bentuk negara
yang sudah final dan juga Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara. Bahkan Kiai Mas
Mansur yang masuk sebagai empat serangkai, juga Ki Bagus Hadikusumo, dan KH Abdul
Kahar Moezakkir serta Mr Kasman Singodimedjo sebagai representasi Muhammadiyah,
merupakan beberapa tokoh kunci Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kepanitian yang merupakan cikal
bakal tersusunnya Piagam Jakarta yang akhirnya menjadi Pembukaan UUD 1945. Tokoh-
tokoh besar Muhammadiyah tersebut merepresentasikan betapa loyalitas Muhammadiyah
terhadap negara Indonesia tidak perlu diragukan lagi.  Penegasan dan komitmen
Nasionalisme Muhammadiyah terhadap bangsa-negara Indonesia pun terlihat dari dokumen
terbaru Muhammadiyah.
Pada Muktamar Muhammadiyah Ke-47, tanggal 18-22 Syawwal 1436 Hijriyah
bertepatan 3-7 Agusrus 2015 Miladiyah di Makassar ditetapkan konsep "Negara Pancasila
Sebagai Dar Al-Ahdi Wa Al-Syahadah”, sebagai negara kesepakatan nasional dan negara
tempat pembuktian atau kesaksian  untuk menjadi negeri yang aman dan damai.  “Konsep
ini didasarkan pada pemikiran-pemikiran resmi yang selama ini telah menjadi pedoman dan
rujukan organisasi seperti Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah,
Kepribadian Muhamm adryah, Khittah Muhammadiyah, Membangun Visi dan Karakter
Bangsa, Indonesia Berkemajuan, serta hasil Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012
danTanwir Samarinda tahun 2014.
Pemikiran tentang Negara Pancasila itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan
orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota Muhammadiyah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara secara kontekstual berdasarkan pandangan Islam berkemajuan
yang selama ini menjadi perspektif keislaman Muhammadiyah” (Muhammadiyah 2015).
Berdasarkan dokumen-dokumen resmi sejarah Muhammadiyah, maka
pengejawantahan hubbul wathan minal iman atau nasionalisme dari organisasi Islam
modern pertama di Indonesia ini merupakan sesuatu yang sudah menjadi bagian tonggak
sejarah berdirinya Republik Indonesia. Adapun pasang surut relasi antara Muhammadiyah
dengan pemerintah yang sedang berkuasa dari sejak pra kemerdekaan, kemerdekaan, Orde
Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, hingga Kabinet Kerja di bawah Presiden Jokowi  itu hanya
bumbu yang menjadi kerangka betapa dinamisnya Muhammadiyah dalam konteks
berbangsa dan bernegara. 
Nasionalisme Muhammadiyah di Era 4.0 Tokoh sekaliber Bung Karno, yang tanpa
ragu menyebut dirinya sebagai anggota Muhammadiyah, bahkan Soeharto, sang penguasa
Orde Baru, juga turut serta memberikan pernyataan publik "Tanpa tedeng aling-aling, saya
adalah bibit Muhammadiyah", merupakan bukti sahih betapa kontribusi Muhammadiyah
terhadap Indonesia dari masa ke masa perlu senantiasa dirawat dan dikelola dengan baik
oleh siapapun yang berkuasa. Demikian pula di Era Revolusi Industri 4.0, di mana internet
dan digitalisasi segala sesuatu menjadi penanda sebuah era baru yang sangat berbeda
dengan era-era sebelumnya.
Tantangan terbesar nasionalisme di era ini bagi Muhammadiyah yakni terlambatnya
penetrasi Muhammadiyah dalam menggunakan media baru ini. Hal tersebut dari riset Pusat
Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta thaun 2017 yang
menunjukkan bahwa situs (websites) dan tokoh-tokoh Muhammadiyah menempati ranking
terbawah dibanding situs-situs maupun tokoh-tokoh Islam baru, yang lahir pasca-reformasi,
bahkan dapat dikatakan baru seumur jagung.
Sumbangan dan kiprah Muhammadiyah yang begitu besar jasanya terhadap republik
ini terkesan tidak diapresiasi oleh generasi millenial (Gen Y) maupun generasi alfa (Gen Z).
Sehingga rujukan-rujukan dalam masalah-masalah keislaman maupun kehidupan lainnya
tidak lagi mengacu pada Muhammadiyah. Justru generasi baru tersebut lebih memilih untuk
merujuk kepada mereka yang dianggap tampil lebih fresh, baik secara performance fisik
maupun kemasan dakwahnya.
Demikian pula pada masalah-masalah kebangsaan, generasi millenial dan alfa ini
cenderung tidak lagi memercayai Muhammadiyah mampu menjawab konstelasi politik-
global. Akibatnya, situasi geopolitik global yang semakin mengarah ke “kanan” pun latah
diikuti oleh sebagian generasi muda Muhammadiyah. Padahal kelahiran Muhammadiyah,
mengklaim sebagai gerakan tajdid: pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan
sebagainya.  Sejalan dengan hal tersebut, Muhammadiyah pun sedang bergiat
menggaungkan sebagai gerakan Islam Berkemajuan.
Berkemajuan dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan kemiskinan,
krisis moral dan etika, korupsi, ketenagakerjaan, kerusakan lingkungan, serta sejumlah
masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya lainnya.  Sejalan dengan ini, tantangan terbesar
Muhammadiyah yakni terkesan terlambat dalam merespon kebangkitan revolusi industri
4.0. Sehingga nasionalisme awal yang sudah dipelopolori oleh Kiai Dahlan, Kiai Mas Mansur,
Ki Bagus Hadikusumo, Prof Abdul Kahar Muzakir, juga Mr Kasman Singodimedjo, nampakya
membuat generasi muda Muhammadiyah saat ini terkesan gagap dalam meresponnya.
Belum terlambat, jika kemudian para tokoh, pegiat, aktivis, Muhammadiyah tidak saling
melempar masalah, namun duduk bersama dari pusat hingga ranting untuk menggelorakan
nasionalisme Muhammadiyah di era revolusi industri 4.0 yang sedang kita hadapi sekarang.
Wallahu a’lam bil shawab. 
---- Subkhi Ridho, adalah intelektual-aktivis muda Muhammadiyah, Wakil Ketua Pimpinan
Cabang Istimewa Muhammadiyah United Kingdom. Mengajar Civic Education, Komunikasi
Politik, di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Konsentrasinya
adalah studi Islam populer, demokrasi, gerakan sosial baru, komunikasi politik, dan
radikalisme agama. Ia aktif melakukan perngorganisasian masyarakat dan merespon
kebjakan publik serta sebagai intermediary actor antara civil society dengan pemerintah dan
corporate. 

Nahdlatul Ulama
Sebagai Negara dengan penduduk beragama islam terbesar di dunia, Indonesia
memiliki cerita tersendiri soal organisasi – organisasi islam yang berkembang. Termasuk
kehadiran Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi islam terbesar di Indonesia yang
memiliki sejarah panjang dalam pengaruhnya bagi penganut islam di tanah air. Banyaknya
perbedaan ideologi dan arah politik dalam agama di Indonesia, menjadi tanda munculnya
sejarah NU yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 atas nama kaum tradisionalis dalam
menanggapi fenomena yang ada di dalam dan luar negeri, khususnya di dunia Islam.
Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai perwakilan ulama
tradisionalis yang mendapat bimbingan ideologis dari Ahlus Sunnah wal jamaah, yakni
tokoh- tokoh seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K. H. Wahab Hasbullah dan para ulama lainnya
ketika upaya reformasi mulai meluas. Meskipun terorganisir, mereka sudah memiliki
hubungan yang sangat kuat. Perayaan  seperti haul, peringatan wafatnya seorang kyai, yang
kemudian mengumpulkan masyarakat sekitar, para kyai dan mantan santrinya hingga
sekarang masih dilakukan secara rutin di beberapa wilayah di tanah air.
 
Substansi dan Idelogo NU
Dalam sejarah NU, penciptaan Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan dengan
dukungan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-Qur’an,
Sunnah, dan Ijma (keputusan ulama terdahulu). Qiyas  atau contoh kisah Al-Qur’an dan
hadits menurut K.H. Mustofa Bisri memiliki tiga substansi di dalamnya, yakni sebagai
berikut:
Dalam bidang syariat Islam, sesuai dengan salah satu ajaran dari empat Madzhab
(Hanafi, Maliki, Syafiy, Hanbali), dan sebenarnya Kyai NU sangat taat kepada Syafi’i. “Saya
sekolah”
Dari perspektif tauhid (ketuhanan), saya akan mengikuti ajaran Imam Abu Hasan
Almaty Ali dan Imam Abu Mansur Al Maturidi
Dasar-dasar Imam Abu Qosim Al Junaidi di bidang tasawuf Proses mengintegrasikan
ide-ide Sunni berkembang. Cara berpikir Sunni di bidang ketuhanan bersifat eklektik:
memilih  pendapat yang benar. Hasan al-Bashri seorang tokoh Sunni  terkemuka dalam
masalah Qodariyah dan Qadariyah mengenai personel, memilih pandangan Qadariyah.
Pendapat bahwa pelaku adalah kufur dan hanya keyakinannya yang masih tersisa (fasiq).
Apa ide yang dikembangkan oleh Hasan AL Basri Belakangan justru direduksi menjadi
gagasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Menurut Muhammad Abu Zahrah Islam memiliki dua bentuk utama, yakni praktis
dan teoritis. Perbedaan tersebut justru terlihat pada kelompok-kelompok seperti  Ali bin Abi
Thalib, Khawarij, dan Muawiyah. Bentuk keberatan kedua  dalam Islam bersifat  teoritis
ilmiah, seperti  dalam kasus “Aqidah dan Penuh” (Fikhu). Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai
salah satu aliran batin Islam tentunya memiliki nuansa politik dan sangat kental pada saat
kelahirannya. Namun dalam perkembangan wacananya juga merambah bidang-bidang
seperti Aqidah, hukum Islam, tasawuf, dan politik.

Perserikatan Perempuan Indonesia


Perjuangan untuk untuk mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan, tidak hanya
dilakukan oleh kaum laki-laki. Para perempuan Indonesia juga turut berjuang untuk
memperbaiki nasib. Dilansir dari Harian Kompas terbit pada 22 Desember 1982, Kongres
Perempuan I menjadi permulaan bersatunya perempuan-perempuan di Indonesia. Kongres
Perempuan Indonesia I diadakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta di sebuah
gedung Dalem Joyodipuran milik Raden Tumenggung Joyodipero. Kongres Perempuan
Indonesia I dihadiri sekitar 30 organisasi wanita yang tersebar di kota Jawa dan Sumatera.
Perempuan-perempuan tersebut terinpirasi dari perjuangan wanita era abad ke-19 untuk
berjuang melawan penjajah. Hadir pula wakil-wakil dari Boedi Oetomo, PNI, PSI, Jong Java,
Muhammadiyah, dan organisasi pergerakan lainnya.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa
Akhir Hindia Belanda (2009) oleh Marwati Djoened dan Nugroho, Kongres Perempuan
Indonesia diprakarsai oleh tujuh organisasi wanita, yaitu: Wanita Taman Siswa Wanita
Utomo Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling Jong Java Dames Afdeeling Wanita Katholik
Aisyiyah Putri Indonesia Hasil Kongres Perempuan Indonesia I Tujuan Kongres Perempuan
Indonesia Pertama adalah untuk mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan wanita
Indonesia. Selain itu menjadi pertalian antara perkumpulan-perkumpulan wanita Indonesia.
Kongres ini berhasil merumuskan tujuan mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan
wanita Indonesia. Selain itu juga, memutuskan untuk mendirikan gabungan atau federasi
perkumpulan wanita bernama Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI).
Pada tanggal 28-31 Desember 1929, PPI mengubah nama menjadi Perserikatan
Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Kongres Perempuan II, III, dan IV Perkembangan
Kongres Perempuan Indonesia tidak hanya berhenti pada kongres pertama saja. Berikut
perkembangannya: Kongres Perempuan Indonesia II Anggota PPII sepakat mengadakan
Kongres Perempuan Indoensia II yang dilaksanakan pada 20-24 Juli 1935 di Jakarta. Kongres
tersebut dipimpin oleh Sri Mangoensarkoro.
Berdasarkan buku Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempertahankan
Kemerdekaan (2002) karya Sudiyo, berikut beberapa hasil Kongres Perempuan II, yaitu:
Dibentuk badan perserikatan dengan nama Kongres Perempuan Indonesia Tiap-tiap tiga
tahun sekali diadakan Kongres Perempuan Pencanangan tentang kewajiban semua wanita
Indonesia ialah menjadi Ibu bangsa yang artinya berusaha menumbuhkan generasi baru
yang sadar akan kebangsaannya. Dalam kongres tersebut juga dibahas mengenai masalah
perburuhan perempuan dan anak-anak, perkawinan, dan pemberantasan buta huruf.
Kongres Perempuan Indonesia III diadakan di Bandung pada 23-27 Juli 1938.
Asas-asa yang dibawa pada kongres tersebut adalah menuntut persamaan hak dan
harga antara laki-laki dan wanita, persamaan harus didasarkan pada kodrat dan kewajiban
masing-masing. Dalam kongres ini juga disetujui RUU tentang perkawinan modern yang
disusun oleh Ny Maria Ulfah. Kongres Perempuan Indonesia menetapkan tanggal lahir PPI
pada 22 Desember sebagai Hari Ibu. Kongres Perempuan Indoensia IV Menurut Buku
Peringatakan 30 Tahun Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia (1958), Kongres Perempuan
Indonesia IV berlangsung di Semarang pada 25-28 Juli 1941. Kongres ini menjadi kongres
terakhir sebelum Jepang menjajah Indonesia. Keputusan-keputusan pada Kongres
Perempuan Indonesia IV, sebagai berikut: Menganjurkan kepada anggota-anggota Dewan
Rakyat supaya mengusulkan bahasa Indonesia dimasukkan sebagai mata pelajaran sekolah
menengah atas. Mendesak kepada Fraksi Nasional dalam Dewan Rakyaqt dan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda agar hak memilih anggota Dewan Kota dari golongan Indonesia juga
diberikan untuk kaum wanita. Kongres setuju dan akan membantu aksi GAPI ke arah
Indoensia Berparlemen. Kongres setuju dengan penolakan GAPI dan organisasi lainnya
terhadap ordonansi wajib militer terbatas bagi bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai