Awalnya, keanggotaan terbatas hanya pada penduduk Jawa dan Madura, namun pada
akhirnya meluas sampai Bali.
Hal ini dilakukan dengan tidak melihat keturunan, kelamin, atau agama apapun. Pada tahun
1928, Budi Utomo menambahkan suatu asas perjuangan yaitu untuk ikut berusaha
melaksanakan cita-cita bangsa Indonesia.
Kelahiran Budi Utomo menjadi penanda terjadinya perubahan bentuk perjuangan dalam
meraih kemerdekaan, yang tadinya bersifat kedaerahan berubah sifat menjadi nasional
dengan tujuan yang satu. Perjuangan mengusir penjajah yang awalnya hanya mengandalkan
kekuatan fisik, diganti dengan perjuangan baru yang mengutamakan kekuatan pemikiran.
Maka, Budi Utomo menjadi pelopor perjuangan dengan memanfaatkan kekuatan pemikiran,
karena ada organisasi-organisasi yang selanjutnya muncul di berbagai bidang. Seperti
Perhimpunan Indonesia, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain yang berkaitan dengan
Budi Utomo. Meski memiliki ideologi berbeda-beda, organisasi di masa pergerakan memiliki
tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan bangsa.
Keberagaman organisasi di masa itu dapat mempercepat tercapainya kemerdekaan karena
saling melengkapi.
Maka, berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 dianggap sebagai awal gerakan yang
menjadi tonggak kemerdekaan Indonesia.
SAREKAT ISLAM
Latar Belakang Sarekat Islam
Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan Indonesia (PI) merupakan organisasi pergerakan nasional pertama
yang menggunakan istilah "Indonesia". Bahkan Perhimpunan Indonesia menjadi pelopor
kemerdekaan bangsa Indonesia di kancah internasional. Perhimpunan Indonesia (PI)
diprakarsai oleh Sutan Kasayangan dan R. N. Noto Suroto pada 25 Oktober 1908 di Leiden,
Belanda. Mereka adalah para pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di
Belanda.
Sejarah Perhimpunan Indonesia Dilansir Encyclopaedia Britannica (2015), organisasi
pergerakan nasional tersebut awalnya berdiri bernama Indische Vereeniging. Kemudian
pada 1922 ketika nasionalisme Indonesia berkembang, Indische Vereeniging mengubah
namanya menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Perhimpunan Indonesia merupakan pelopor
gerakan nasionalis Indonesia yang mengadvokasi kemerdekaan Indonesia dari Belanda.
Perhimpunan Indonesia adalah organisasi politik pertama yang menggunakan istilah
"Indonesia" di dalam namanya. Ide-ide tersebut dipengaruhi oleh ide sosialis dan Mohandas
(Mahatman Gandhi) di India tentang pembangkangan sipil tanpa kekerasan.
Saat Perhimpunan Indonesia kembali ke Indonesia, mereka aktif dalam studi dan
akhirnya di partai politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Dua tokoh Perhimpunan Indonesia yang terkemuka adalah Sutomo dan Mohammad
Hatta.
Partai Nasional Indonesia (PNI) adalah nama yang digunakan oleh beberapa partai politik
Indonesia sejak tahun 1927 sampai tahun 2000-an. PNI pertama kali didirikan oleh Soekarno pada 4
Juli 1927 di Bandung. Partai Nasional Indonesia sendiri menjadi partai politik tertua yang diketuai
oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, Sartono, Iskak Tjokroadisurjo, dan Sunaryo.
Lahirnya Partai PNI Partai Nasional Indonesia lahir sebagai organisasi untuk
mengekspreksikan rasa nasionalisme Indonesia pada masa pra kemerdekaan. Kemudian pada 4 Juli
1927, Soekarno, membentuk sebuah gerakan yang dinamakan Persatuan Nasional Indonesia.
Kemudian pada Mei 1928, terjadi perubahan nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Tujuan
adanya organisasi ini adalah kemandirian ekonomi dan politik untuk kepulauan Indonesia. PNI
sendiri dibentuk didasarkan pada gagasan untuk tidak bekerja sama dengan pemerintah Hindia
Belanda. Pada akhir Desember 1929, PNI memiliki sebanyak 10.000 anggota. Hal ini kemudian
membuat para pihak berwenang merasa khawatir, sehingga Soekarno dan tujuh pemimpin partai
lainnya ditangkap pada Desember 1929.
Mereka diadili karena dianggap mengancam ketertiban umum. Akibat permasalahan ini, PNI
pun dibubarkan pada 25 April 1931. Sampai akhirnya, pada 19 Agustus, Soekarno yang baru saja
dilantik menjadi Presiden dalam rapat bersama PPKI mengusulkan untuk membentuk negara partai
sebagai media bagi rakyat dalam mendukung pemerintah. PPKI kemudian mendirikan partai negara
yang dinamai Partai Nasional Indonesia, diambil dari nama partai pra-perang Soekarno.
Tokoh Tjipto Mangunkusumo Sartono Iskaw Tjokrohadisuryo Sunaryo Soekarno Moh. Hatta
Gatot Mangkoepradja Soepriadinata Maskun Sumadiredja Amir Sjarifuddin Wilopo Hardi Suwiryo Ali
Sastroamidjojo Djuanda Kartawidjaja Mohammad Isnaeni Supeni Sanusi Hardjadinata Sarmidi
Mangunsarkoro
Perkembangan PNI 1929 PNI dianggap membahayakan Belanda karena menyebarkan ajaran-
ajaran pergerakan kemerdekaan sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah
penangkapan. Perintah tersebut diberikan pada 24 Desember 1929 dan penangkapan baru dilakukan
tanggal 29 Desember 1929 terhadap para tokoh PNI di Yogyakarta. Mereka adalah Soekarno, Gatot
Mangkupraja, Soepriadinata, dan Maskun Sumadiredja. 1930 Para tokoh diadili pada 18 Agustus
1930. Setelahnya mereka dimasukkan ke penjara Sukamiskin, Bandung. 1931 Pimpinan PNI,
Soekarno, diganti oleh Sartono. Kemudian Sartono membubarkan PNI dan membentuk Partindo
pada 25 April 1931. Namun, hal tersebut ditolak oleh Moh. Hatta, sehingga dibentuk kembali PNI-
Baru atau Pendidikan Nasional Indonesia.
1955 PNI memenangkan pemilu 1955 1973 PNI bergabung dengan empat peserta pemilu
1971 dan terbentuk Partai Demokrasi Indonesia 1999 PNI menjadi peserta pemilu 1999. 2002 PNI
berubah nama menjadi PNI Marhaenisme dipimpin oleh Sukmawati Soekarnoputri, anak dari
Soekarno.
Muhammadiyah
Kedekatan Bung Karno dengan Muhammadiyah, ia mulai sejak usia 15 tahun, pada
saat berjumpa dengan KH Ahmad Dahlan di rumah HOS Tjokroaminoto. Semangat
modernitas yang diajarkan Kiai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh membuat Bung
Karno jatuh hati terhadap organisasi Islam modern tertua di republik ini. Semangat
modernitas Muhammadiyah itu mewujud dalam dua istilah yang mampu melampaui
zamannya, yakni: ghirah rasionalitas dan bersifat dinamis.
Modernitas itu menunjukkan progresifitas. Itulah yang dibawa Kiai Dahlan kepada
umat Islam periode kedua awal-awal abad ke-20. Melihat kondisi umat Islam kala itu yang
sangat terbelakang dari segala sisi: pendidikan, kesehatan, ekonomi, yang berakibat
suburnya kebodohan, kehinaan, kemiskinan yang dapat dilihat secara kasat. Hal ini
membuat Kiai Dahlan terpanggil untuk berbuat sesuatu kepada umat. Pada saat Indonesia
sebagai bangsa-negara (nation-state) belum terbentuk, Kiai Dahlan sudah memikirkan umat
yang jauh dari kata maju, akibat berada di bawah tekanan VOC yang sangat menghisap
rakyat jelata.
Spirit berkemajuan dalam jiwa modernitas kala itu mampu menggugah jamaah
Muhammadiyah untuk mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO- saat ini PKU),
lembaga pendidikan sebagaimana yang dilakukan oleh umat Katolik maupun oleh Taman
Siswa. Salah satu tujuan awal didirikannya Muhammadiyah oleh Kiai Dahlan yakni untuk:
“Terwudjudnja masjarakat Islam jang sebenar-benarnja”. Masyarakat yang berorientasi
pada kemajuan umat, bangsa, dan manusia pada umumnya. Sungguh merupakan visi yang
jauh ke depan sehingga tidak ada lagi umat yang terbelakang secara pengetahuan akibat
minimnya akses terhadap dunia pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal.
Kualitas manusia itu pada dasarnya tergantung pada pendidikan yang dimilikinya. Semakin
luas jangkauan pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk berkompetisi secara
positif di dunia yang makin mengecil ini.
Muhammadiyah dan Pendidikan Muhammadiyah berkonsentrasi pada lembaga
pendidikan secara total, profesional, terstruktur dari tingkat PAUD, dasar, menengah hingga
perguruan tinggi. Hingga saat ini tercatat memiliki 7.651 sekolah/madrasah dan 177
perguruan tinggi, yang tersebar di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal yang jauh dari
pusat-pusat ekonomi, politik di negeri ini.
Berikutnya yaitu concern terhadap bidang kesehatan dibuktikan dengan dimilikinya
475 rumah sakit (PKU) serta bidang kesejahteraan lainnya yakni panti asuhan sebanyak 318,
54 panti jompo, dan 82 tempat rehabilitasi cacat. Angka-angka di atas bukan sekadar
statistik semata. Hal tersebut membuktikan bahwa Muhammadiyah mendedikasikan dirinya
untuk terlibat secara aktif mewujudkan cita-cita dan tujuan besar Indonesia didirikan.
Sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, "...untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...". Etos kerja, inilah yang selalu
ditanamkan oleh Kiai Dahlan kepada warga Muhammadiyah di manapun dengan pesannya:
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Motto
Muhammadiyah lainnya yaitu: Sedikit bicara banyak bekerja” dan “Siapa menanam
mengetam”.
Pesan tersebut menjadi pelecut bagi warga Muhammadiyah untuk mengabdikan diri
sesuai dengan kapasitasnya masing-masing untuk bangsa dan negara Indonesia.
Kesejahteraan dan kecerdasan bangsa tidak mungkin terwujud ketika tidak ada upaya untuk
menggerakan dan mengatasi permasalahan-permasahalan kebodohan, keterbelakangan,
kemiskinan, serta sikap-sikap inferior lainnya. Dengan keberadaan lembaga-lembaga
pendidikan, secara perlahan masalah-masalah tersebut dapat diatasi. Tentu saja masih
banyak pekerjaan rumah lainnya di dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah yang perlu
dibenahi sehingga secara kualitas dapat terdistribusi di seluruh pelosok Indonesia.
Pembenahan-pembenahan tersebut dapat dilakukan dengan membangun kemitraan
dengan seluruh pemangku kepentingan di dalam dunia pendidikan baik tingkat lokal,
regional, nasional, dan internasional. Beberapa sudah, sedang, dan akan dilakukan. Baik
dengan pemerintah maupun lembaga-lembaga lainnya. Muhammadiyah dan Ideologi
Negara Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, Muhammadiyah pun sudah terlibat
secara aktif mendukung dasar dan ideologi negara yakni Pancasila.
Begitu juga dengan UUD 1945 sebagai konstitusi serta NKRI sebagai bentuk negara
yang sudah final dan juga Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara. Bahkan Kiai Mas
Mansur yang masuk sebagai empat serangkai, juga Ki Bagus Hadikusumo, dan KH Abdul
Kahar Moezakkir serta Mr Kasman Singodimedjo sebagai representasi Muhammadiyah,
merupakan beberapa tokoh kunci Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kepanitian yang merupakan cikal
bakal tersusunnya Piagam Jakarta yang akhirnya menjadi Pembukaan UUD 1945. Tokoh-
tokoh besar Muhammadiyah tersebut merepresentasikan betapa loyalitas Muhammadiyah
terhadap negara Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Penegasan dan komitmen
Nasionalisme Muhammadiyah terhadap bangsa-negara Indonesia pun terlihat dari dokumen
terbaru Muhammadiyah.
Pada Muktamar Muhammadiyah Ke-47, tanggal 18-22 Syawwal 1436 Hijriyah
bertepatan 3-7 Agusrus 2015 Miladiyah di Makassar ditetapkan konsep "Negara Pancasila
Sebagai Dar Al-Ahdi Wa Al-Syahadah”, sebagai negara kesepakatan nasional dan negara
tempat pembuktian atau kesaksian untuk menjadi negeri yang aman dan damai. “Konsep
ini didasarkan pada pemikiran-pemikiran resmi yang selama ini telah menjadi pedoman dan
rujukan organisasi seperti Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah,
Kepribadian Muhamm adryah, Khittah Muhammadiyah, Membangun Visi dan Karakter
Bangsa, Indonesia Berkemajuan, serta hasil Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012
danTanwir Samarinda tahun 2014.
Pemikiran tentang Negara Pancasila itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan
orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota Muhammadiyah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara secara kontekstual berdasarkan pandangan Islam berkemajuan
yang selama ini menjadi perspektif keislaman Muhammadiyah” (Muhammadiyah 2015).
Berdasarkan dokumen-dokumen resmi sejarah Muhammadiyah, maka
pengejawantahan hubbul wathan minal iman atau nasionalisme dari organisasi Islam
modern pertama di Indonesia ini merupakan sesuatu yang sudah menjadi bagian tonggak
sejarah berdirinya Republik Indonesia. Adapun pasang surut relasi antara Muhammadiyah
dengan pemerintah yang sedang berkuasa dari sejak pra kemerdekaan, kemerdekaan, Orde
Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, hingga Kabinet Kerja di bawah Presiden Jokowi itu hanya
bumbu yang menjadi kerangka betapa dinamisnya Muhammadiyah dalam konteks
berbangsa dan bernegara.
Nasionalisme Muhammadiyah di Era 4.0 Tokoh sekaliber Bung Karno, yang tanpa
ragu menyebut dirinya sebagai anggota Muhammadiyah, bahkan Soeharto, sang penguasa
Orde Baru, juga turut serta memberikan pernyataan publik "Tanpa tedeng aling-aling, saya
adalah bibit Muhammadiyah", merupakan bukti sahih betapa kontribusi Muhammadiyah
terhadap Indonesia dari masa ke masa perlu senantiasa dirawat dan dikelola dengan baik
oleh siapapun yang berkuasa. Demikian pula di Era Revolusi Industri 4.0, di mana internet
dan digitalisasi segala sesuatu menjadi penanda sebuah era baru yang sangat berbeda
dengan era-era sebelumnya.
Tantangan terbesar nasionalisme di era ini bagi Muhammadiyah yakni terlambatnya
penetrasi Muhammadiyah dalam menggunakan media baru ini. Hal tersebut dari riset Pusat
Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta thaun 2017 yang
menunjukkan bahwa situs (websites) dan tokoh-tokoh Muhammadiyah menempati ranking
terbawah dibanding situs-situs maupun tokoh-tokoh Islam baru, yang lahir pasca-reformasi,
bahkan dapat dikatakan baru seumur jagung.
Sumbangan dan kiprah Muhammadiyah yang begitu besar jasanya terhadap republik
ini terkesan tidak diapresiasi oleh generasi millenial (Gen Y) maupun generasi alfa (Gen Z).
Sehingga rujukan-rujukan dalam masalah-masalah keislaman maupun kehidupan lainnya
tidak lagi mengacu pada Muhammadiyah. Justru generasi baru tersebut lebih memilih untuk
merujuk kepada mereka yang dianggap tampil lebih fresh, baik secara performance fisik
maupun kemasan dakwahnya.
Demikian pula pada masalah-masalah kebangsaan, generasi millenial dan alfa ini
cenderung tidak lagi memercayai Muhammadiyah mampu menjawab konstelasi politik-
global. Akibatnya, situasi geopolitik global yang semakin mengarah ke “kanan” pun latah
diikuti oleh sebagian generasi muda Muhammadiyah. Padahal kelahiran Muhammadiyah,
mengklaim sebagai gerakan tajdid: pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan
sebagainya. Sejalan dengan hal tersebut, Muhammadiyah pun sedang bergiat
menggaungkan sebagai gerakan Islam Berkemajuan.
Berkemajuan dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan kemiskinan,
krisis moral dan etika, korupsi, ketenagakerjaan, kerusakan lingkungan, serta sejumlah
masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya lainnya. Sejalan dengan ini, tantangan terbesar
Muhammadiyah yakni terkesan terlambat dalam merespon kebangkitan revolusi industri
4.0. Sehingga nasionalisme awal yang sudah dipelopolori oleh Kiai Dahlan, Kiai Mas Mansur,
Ki Bagus Hadikusumo, Prof Abdul Kahar Muzakir, juga Mr Kasman Singodimedjo, nampakya
membuat generasi muda Muhammadiyah saat ini terkesan gagap dalam meresponnya.
Belum terlambat, jika kemudian para tokoh, pegiat, aktivis, Muhammadiyah tidak saling
melempar masalah, namun duduk bersama dari pusat hingga ranting untuk menggelorakan
nasionalisme Muhammadiyah di era revolusi industri 4.0 yang sedang kita hadapi sekarang.
Wallahu a’lam bil shawab.
---- Subkhi Ridho, adalah intelektual-aktivis muda Muhammadiyah, Wakil Ketua Pimpinan
Cabang Istimewa Muhammadiyah United Kingdom. Mengajar Civic Education, Komunikasi
Politik, di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Konsentrasinya
adalah studi Islam populer, demokrasi, gerakan sosial baru, komunikasi politik, dan
radikalisme agama. Ia aktif melakukan perngorganisasian masyarakat dan merespon
kebjakan publik serta sebagai intermediary actor antara civil society dengan pemerintah dan
corporate.
Nahdlatul Ulama
Sebagai Negara dengan penduduk beragama islam terbesar di dunia, Indonesia
memiliki cerita tersendiri soal organisasi – organisasi islam yang berkembang. Termasuk
kehadiran Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi islam terbesar di Indonesia yang
memiliki sejarah panjang dalam pengaruhnya bagi penganut islam di tanah air. Banyaknya
perbedaan ideologi dan arah politik dalam agama di Indonesia, menjadi tanda munculnya
sejarah NU yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 atas nama kaum tradisionalis dalam
menanggapi fenomena yang ada di dalam dan luar negeri, khususnya di dunia Islam.
Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai perwakilan ulama
tradisionalis yang mendapat bimbingan ideologis dari Ahlus Sunnah wal jamaah, yakni
tokoh- tokoh seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K. H. Wahab Hasbullah dan para ulama lainnya
ketika upaya reformasi mulai meluas. Meskipun terorganisir, mereka sudah memiliki
hubungan yang sangat kuat. Perayaan seperti haul, peringatan wafatnya seorang kyai, yang
kemudian mengumpulkan masyarakat sekitar, para kyai dan mantan santrinya hingga
sekarang masih dilakukan secara rutin di beberapa wilayah di tanah air.
Substansi dan Idelogo NU
Dalam sejarah NU, penciptaan Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan dengan
dukungan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-Qur’an,
Sunnah, dan Ijma (keputusan ulama terdahulu). Qiyas atau contoh kisah Al-Qur’an dan
hadits menurut K.H. Mustofa Bisri memiliki tiga substansi di dalamnya, yakni sebagai
berikut:
Dalam bidang syariat Islam, sesuai dengan salah satu ajaran dari empat Madzhab
(Hanafi, Maliki, Syafiy, Hanbali), dan sebenarnya Kyai NU sangat taat kepada Syafi’i. “Saya
sekolah”
Dari perspektif tauhid (ketuhanan), saya akan mengikuti ajaran Imam Abu Hasan
Almaty Ali dan Imam Abu Mansur Al Maturidi
Dasar-dasar Imam Abu Qosim Al Junaidi di bidang tasawuf Proses mengintegrasikan
ide-ide Sunni berkembang. Cara berpikir Sunni di bidang ketuhanan bersifat eklektik:
memilih pendapat yang benar. Hasan al-Bashri seorang tokoh Sunni terkemuka dalam
masalah Qodariyah dan Qadariyah mengenai personel, memilih pandangan Qadariyah.
Pendapat bahwa pelaku adalah kufur dan hanya keyakinannya yang masih tersisa (fasiq).
Apa ide yang dikembangkan oleh Hasan AL Basri Belakangan justru direduksi menjadi
gagasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Menurut Muhammad Abu Zahrah Islam memiliki dua bentuk utama, yakni praktis
dan teoritis. Perbedaan tersebut justru terlihat pada kelompok-kelompok seperti Ali bin Abi
Thalib, Khawarij, dan Muawiyah. Bentuk keberatan kedua dalam Islam bersifat teoritis
ilmiah, seperti dalam kasus “Aqidah dan Penuh” (Fikhu). Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai
salah satu aliran batin Islam tentunya memiliki nuansa politik dan sangat kental pada saat
kelahirannya. Namun dalam perkembangan wacananya juga merambah bidang-bidang
seperti Aqidah, hukum Islam, tasawuf, dan politik.