Anda di halaman 1dari 74

0

Daftar Isi
Awal Mula Pergerakan Islam di Indonesia........................
1. Berdirinya SDI 1
2. Masa Peralihan kepada SI 1
3. Awal Perpecahan dalam SI 3
4. Lahirnya Sikap Hijrah SI 4
5. Menyimpangnya beberapa Tokoh SI dari Garis Hijrah 5
Realisasi Sikap Hijrah Ummat Islam Bangsa
Indonesia.......................................................................
1. Mengenal Pribadi S.M. Kartosoewirjo 9
2. Lahirnya KPK PSII 16
3. Lahirnya Institut Suffah 19
Peranan Ummat Islam Dalam Pergerakan Nasional.........
1. Golongan Islam Parlementer dan MIAI 23
2. Masa Pendudukan Jepang dan Berdirinya BPUPKI
25
3. Peranan Umat Islam Masyumi 27
4. Proklamasi RI Yang Sekuler 29
5. Masa Penjajahan Belanda Yang Kedua Kali 30
PROSES BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA (NII)
....................................................................................
1. Sikap S.M. Kartosoewirjo terhadap Perjuangan Nasional
35
2. Pembentukan TII dan Majlis Islam (MI) 37
3. Tindakan Belanda Terhadap TII 40
4. Awal Perang Segitiga 47
5. Saat-saat menjelang Proklamasi NII 50
6. Proklamasi Negara Islam Indonesia52
PERJUANGAN NII PADA MASA PEMERINTAHAN RIS...........
1. KMB dan Hakikat RIS 57
2. Taktik RIK dalam menghadapi NII 58

1
BAB I
Awal Mula Pergerakan Islam di Indonesia
1. Berdirinya SDI
Syarikat Dagang Islam (SDI) didirikan di Solo, pada
tanggal 16 Oktober 1905 oleh K.H. Samanhoedi
dibantu M. Asmadimejo, M. Kertoteruno dan M. Haji
Abdul Razak. Motif utama didirikannya organisasi ini adalah
berusaha menerapkan sistem ekonomi Islam dalam dunia
perdagangan Indonesia, khususnya bagi pedagang batik di
Solo. Menjelang lahirnya SDI, terjadi diskriminasi tajam yang
sengaja dilakukan oleh pihak bangsawan terhadap
masyarakat biasa, juga sangat menonjol sikap angkuh dan
superioritas dari kalangan pedagang-pedagang Cina yang
banyak mendominasi perdagangan saat itu. Maka SDI
dimaksudkan sebagai benteng untuk menentang sikap
superioritas dan dominasi pedagang-pedagang Cina,
sekaligus mendobrak diskriminasi bangsawan yang bertindak
sewenang-wenang terhadap masyarakat awam.
Sesungguhnya, didalam jiwa pendiri SDI ini terkandung
maksud yang jauh lagi, yaitu ingin menegakkan Al-Islam
sebagai satu-satunya sistem hidup yang berlaku di bumi
Indonesia. Namun karena terbatasnya kemampuan beliau,
ditambah pula dengan kondisi penjajahan yang sangat keras
dan ketat dalam mengawasi dan menghambat setiap bentuk
gerakan bangsa Indonesia , maka untuk sementara waktu,
beliau K.H. Samanhoedi hanya berorientasi pada masalah
ekonomi saja. Meski demikian, SDI tetap dianggap miqat
(awal pemberangkatan/ starting point) bagi perjalanan
sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia yang secara
estafet dan melalui beberapa periode berlanjut hingga masa
sekarang ini.
Menyadari akan keterbatasan dan kemampuan ini, K.H.
Samanhoedi selalu mencari dan menghubungi tokoh-tokoh
Islam lainnya untuk diajak bersama-sama mengelola
lembaga perjuangan ini. Sekitar bulan Mei 1912, SDI
memperoleh seorang tokoh tangguh yang ikut
mewarnai perjalanan sejarah ini yaitu: H. Oemar Said
Tjokroaminoto, setelah ada persesuaian antara keduanya
dalam pandangan mengenai garis-garis perjuangan Islam
menurut Sunnah Rasulullah SAW.

1
2. Masa Peralihan kepada SI
Setelah HOS Tjokroaminoto bergabung kedalam SDI,
beliau mencoba menyusun sebuah anggaran dasar organisasi
yang dapat diberlakukan di seluruh Indonesia, dengan tidak
memperhatikan persyaratan dari Residen Surakarta yang
gigih menghambat perkembangan organisasi tersebut. Beliau
mengemukakan untuk membentuk Pan-Islamisme, artinya
membentuk Dunia Islam (Kholifatulloh fil Ardhi). Untuk
merealisasikan gagasan tersebut, beliau membagi tahapan-
tahapan perjuangan sebagai berikut:
a. Kemerdekaan Indonesia (mengusir pihak penjajah dari
bumi Indonesia)
b. Kemerdekaan Islam di Indonesia, artinya Islam sebagai
satu-satunya sistem yang Haq bisa berlaku di Indonesia
dengan sempurna dan dilindungi oleh kekuasaan (Negara
Islam Indonesia)
c. Kemerdekaan Islam di seluruh dunia, artinya membentuk
kholifah fil Ardhi, struktur pemerintahan yang
memberlakukan hukum Islam sebagai penjabaran dari
Mulkiyah Alloh (Kerajaan Alloh) di permukaan bumi.
Langkah lanjut dari gerakan tersebut, maka pada tanggal
11 November 1912, SDI diganti dengan nama Syarikat
Islam (SI), yang orientasinya bukan hanya sekedar masalah
ekonomi saja melainkan sudah mencakup kepada seluruh
Manahijul Hayat (meliputi segala aspek kehidupan) untuk
diwarnai dengan corak Islam saja.
Dalam kongres SI pertama di Surabaya tahun 1913 telah
diputuskan untuk membentuk cabang-cabangnya di seluruh
tanah air, yang dibagi dalam tiga wilayah yaitu: Wilayah Jawa
Barat (meliputi Sumatera dan pulau sekitarnya), Jawa Tengah
(meliputi Kalimantan), dan Jawa Timur (meliputi Sulawesi,
Bali, Lombok, dan Sumbawa).
Kemudian pada tahun-tahun berikutnya bergabung pula
beberapa tokoh Islam lainnya seperti Raden Gunawan dari
Sumatera Selatan, Abdul Moeis dari Bukit Tinggi, dan lain-
lainnya. Inilah tokoh-tokoh yang banyak berperan aktif pada
tahun-tahun awal sejak berdirinya SI.
HOS Tjokroaminoto lahir di Bakur, Madiun, Jawa
Timur, pada tangal 16 Agustus 1882 dari keluarga yang
taat kepada Islam. Beliau pernah belajar di Sekolah
Administrasi Pemerintahan, serta mengikuti kursus-kursus
dalam soal teknik mesin. Kepribadian beliau menampilkan

2
sikap tidak pernah kompromi terhadap pihak kolonial
Belanda. Sikap beliau yang tegas terhadap orang-orang kafir
(dalam hal ini pihak kolonial Belanda) ini dibuktikan ketika
beliau dipanggil pemerintah Belanda untuk menghadap,
dengan langkah tegap dan menampilkan sikap kstaria
dihadapan orang Belanda. Tidak seperti sikap orang-orang
pribumi pada umumnya yang apabila menghadap Belanda
harus duduk di lantai, tidak boleh duduk di kursi serta
dilarang memekai alas kaki. HOS Tjokroaminoto menyadari
hal itu, yakni suatu penghinaan terhadap bangsa Indonesia
yang mayoritas Islam oleh pihak Belanda yang Nasrani.
Kira-kira lima tahun pertama sejak HOS Tjokroaminoto
bertindak sebagai ketua, dia banyak menyumbangkan pikiran
dan gagasan demi Kemajuan SI. Dalam anggaran dasar yang
beliau susun, banyak mewarnai kehidupan SI berikutnya.
Sehingga dalam anggaran dasar pun SI menekankan dan
mencerminkan pelaksanaan ajaran Islam secara keseluruhan
(Kaffah), mencakup semua aspek kehidupan, baik berupa
pemahaman Aqidah Islam, Ekonomi, Politik, Sosial Budaya
dan Pemerintahan menurut tuntunan Al-Quran dan Sunnah
Rosul.
Untuk merealisasikan gagasan membentuk dunia Islam
ini, HOS. Tjokroaminoto mempersiapkan kader-kader militan
yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswa berjiwa progresif.
Diantaranya Ir. Soekarno, Semaun, dan Sukarmadji Marijan
Kartosoewirjo. Sukarno diharapkan dapat menghimpun dan
mengelola kaum intelektual serta cendikiawan dalam satu
wadah dan satu arah perjuangan menentang penjajah.
Semaun diarahkan untuk menyadarkan masyarakat awam
akan pentingnya kemerdekaan sekaligus melibatkannya
kedalam perjuangan menentang sistem penjajah. Sementara
S.M. Kartosoewirjo ditugaskan untuk mempengaruhi para
ulama dan para kiyai sekaligus diajak bersama-sama
berjuang menegakkan Al-Islam menjadi satu-satunya sistem
hidup yang berlaku di Indonesia. Meski akhirnya, kedua kader
pertama yaitu Soekarno dan Semaun, beberapa tahun
kemudian menyimpang dari garis SI, lalu membentuk wadah
baru yang tidak berdasarkan Islam.
Selama dibawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto, SI
mengalami kemajuan yang sangat pesat terutama pada
periode 1916 - 1921, dan 1921-1927. Ini terbukti dengan
berdirinya cabang-cabang SI diseluruh daerah kecuali Irian

3
Jaya hingga mencapai 135 cabang, didukung oleh jutaan
angota. Sampai akhirnya kegemilangan SI mulai menurun
pada periode-periode berikutnya, dengan terjadinya
perselisihan-perselisihan pendapat dalam intern pimpinan
yang berakibat munculnya berbagai partai dan organisasi lain
yang tidak sejalan dengan SI.

3. Awal Perpecahan dalam SI


Malapetaka ini bermula dengan hadirnya dua orang
Belanda yang bernama Hendricus Yosephus Fransiscus Marie
Sneevliet dan Adolf Baars yang datang ke Indonesia pada
tahun 1913. Pada mulanya dia bekerja sebagai pimpinan
redaksi Handelsblad Surabaya selama dua bulan, kemudian
menjadi sekretaris Kamar Dagang Semarang pada tahun
yang sama. Keduanya adalah kader-kader Komunis yang
telah dididik di Rusia, kemudian mendirikan ISDV (Indische
Sociaal Democratische Vereniging) pada tahun 1914 di
Semarang, yang merupakan partai sosialis kemudian
berkembang menjadi partai komunis terutama setelah
berhasilnya revolusi Rusia pada tahun 1917.
Menurut analisa tokoh-tokoh SI, munculnya ISDV yang
dikembangkan oleh dua orang Belanda tersebut adalah
usaha pemerintah Belanda untuk menggoncangkan
kestabilan SI, sekaligus memecah belah dari dalam tubuh SI,
karena pemerintah memang khawatir dengan semakin
kuatnya posisi SI ini. Usaha Sneevliet berhasil setelah mampu
mempengaruhi pimpinan SI Semarang, yang waktu itu
dipegang Semaun, Alimin, dan Darsono dengan masuknya
mereka kedalam ISDV. Kegiatan mereka senantiasa
menciptakan kekeruhan dan pertentangan dalam tubuh SI,
terutama menyebar fitnah keji terhadap pribadi pimpinan SI.
Kemudian setelah merasa posisi mereka kuat, mereka
mendirikan Partai Komunis India (Hindia) pada tanggal 23 Mei
1920 yang merupakan transformasi dari ISDV. Tindakan
mereka semacam itu tercium oleh pimpinan SI. Dalam satu
kongres pada tahun 1921, mereka dikeluarkan dari
keanggotaan SI. Ini merupakan akibat dicanangkannya
disiplin partai, dimana dinyatakan bahwa anggota SI tidak
diperkenankan merangkap menjadi anggota atau partai lain.
Sekeluarnya mereka dari SI, mereka semakin giat
melakukan propaganda dalam usaha memasyarakatkan
fahamnya. Bahkan tidak sekedar propaganda, mereka juga

4
melakukan move-move yang bersifat physic. Puncak
peristiwa adalah ketika mereka memproklamirkan berdirinya
Partai Komunis Indonesia (PKI), yang kemudian mengadakan
pemberontakan di daerah Jawa Tengah dan Sumatera Barat
pada tahun 1926. Kelompok ini lebih dikenal dengan sebutan
SI merah (Sosialis Indonesia).
Pada tahun berikutnya, tegasnya pada tahun 1927,
Soekarno yang tadinya diharapkan jadi kader SI militan
ternyata menyimpang atau bertentangan faham dengan HOS
Tjokroaminoto mengenai dasar dan tujuan perjuangan.
Soekarno berpendapat bahwa hanya faham kebangsaanlah,
bukan agama yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia
dalam mempersatukan langkah menghadapi kolonial
Belanda. Kemudian ia mendirikan Partai Nasional
Indonesia (PNI), yang berdasarkan Nasional Sekunder.

4. Lahirnya Sikap Hijrah SI


Hijrah sebagai suatu sikap politik SI yang dilancarkan
untuk pertama kalinya dalam tahun 1923, sebagai akibat
ketidakpercayaan partai terhadap pemerintah kolonial, dan
keyakinan pemimpin partai bahwa kerja sama denga pihak
pemerintah kolonial (kafir) hanya akan menimbulkan kerugian
dunia akhirat, dan mengakibatkan tergelincirnya partai lebih
jauh dari tujuan yang sebenarnya.
Hijrah adalah strategi ilahi, yang telah ditetapkan sebagai
satu-satunya pola perjuangan para Rosul-Nya dalam
mengemban risalah menegakkan Dienul Haq atas dien-dien
lainnya. Termasuk Muhammad SAW, pola perjuangannya
adalah Hijrah, tegasnya: iman-hijrah-jihad.
Pimpinan SI menyadari benar, bahwa berjuang
menegakkan Islam adalah ibadah. Oleh karenanya dalam
pelaksanaannya harus mengikuti cara yang telah dicontohkan
oleh Rosululloh SAW, apapun risiko yang harus dihadapi, tidak
boleh membuat cara sendiri. Inilah kiranya motivasi yang
melatarbelakangi ditetapkannya hijrah sebagai garis politik
yang resmi dari SI. Ditambah dengan kondisi yang ikut
mendorong untuk mengambil sikap tegas semacam ini,
dimana pada saat itu semakin jelas, bahwa pihak pemerintah
Belanda dengan volksraadnya (dewan rakyat) bukan memberi
keuntungan terhadap perjuangan SI, justru sebaliknya mereka
berusaha mengikat dan meringkus dengan halus tokoh-tokoh
SI agar tunduk dan patuh terhadap segala kehendak mereka

5
(pemerintah kolonial), tanpa membantah apalagi
menghalanginya. Juga dengan menyimpangnya Semaun cs
dan Soekarno dari garis Islam dengan membentuk PKI dan
PNI, yang keduanya sangat menentang Islam yang telah
menjadi dasar perjuangan SI, inipun faktor yang mendorong
untuk mengambil sikap hijrah dengan lebih tegas lagi.
Terutama terlihat dari langkah-langkah partai yang semakin
menampakkan permusuhan terhadap pemerintah Belanda
pada tahun 1930, yang telah berubah nama menjadi
Partau Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Tahun 1933 mencatat suatu penyelesaian struktur partai,
juga dasar perjuangan partai yang dihasilkan dalam tahun itu
dianggap sesuatu yang telah sempurna. Para pemimpinnya,
terutama dengan HOS. Tjokroaminoto dibantu oleh S.M.
Kartosoewirjo sebagai sekretaris pribadinya, berusaha
mewarnai lembaga PSII ini dengan warna Islam saja, tanpa
ada warna-warna lain. Ini bisa dilihat dari dasar dan strategi
partai yang Islami.

5. Menyimpangnya beberapa Tokoh SI dari Garis


Hijrah
Setelah SI menetapkan dan mempertegas politik hijrahnya,
yang berarti tidak ada kerja sama dan garis taat pada
pemerintah Belanda, maka pihak pemerintah segera
menyambutnya dengan tindakan-tindakan keras dan tegas.
Mereka mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat ketat
sehingga mempersempit ruang gerak SI.
Memang demikianlah risiko daripada sikap hijrah
sebagaimana yang pernah dialami oleh Muhammad
Rosululloh SAW. Beliau dengan sikap hijrahnya telah
mendapatkan perlakuan yang kasar dan kejam yang penuh
sikap permusuhan dari pihak pemerintah Quraisy. Beliau
dengan para sahabatnya dicari-cari, dikecam, difitnah,
diancam, diintimidasi, diblokade, diusir bahkan direncanakan
untuk dibunuh. Tapi Alloh telah menyelamatkannya atas
orang-orang kafir itu karena memang hijrah adalah strategi
Alloh untuk menyelamatkan dan memenangkan Rosululloh
beserta umatnya dalam berjuang menegakkan Al-Haq.
Melihat tindakan pemerintah Belanda yang makin keras
terhadap SI akibat dari sikap politik hijrahnya ini, maka
beberapa tokoh SI diantaranya Sukiman dan Wali Al-Fatah
serta beberapa orang pemimpin Muhammadiyah termasuk

6
ketua umumnya yaitu K.H. Mas Mansyur bersama-sama
mengusulkan kepada pimpinan SI agar mengubah politik
hijrahnya, karena menurut pendapat mereka bahwa politik
semacam itu merupakan suatu langkah taktis saja dan bukan
suatu prinsip yang tidak bisa dirubah.
Mereka melihat politik hijrah seperti yang dilaksanakan
oleh SI terlalu bersifat ketat dan kaku, sehingga menjadi
penghambat perjuangan partai sendiri, karena tidak
memungkinkan penyesuaian dengan situasi. Disamping itu,
orang-orang ini mengusulkan kepada SI agar partai ini
membatasi diri pada bidang politik saja dan mempercayakan
aspek-aspek sosial dan pendidikan pada organisasi lain dalam
rangka pergerakan kebangsaan yang memang didirikan untuk
menghadapi bidang itu. Mereka juga meminta agar tindakan
disiplin terhadap Muhammadiyah yang telah dilakukan SI
pada tahun 1927 itu dicabut kembali (dibatalkan).

Keluarnya Sukiman Cs
Dalam menghadapi usulan-usulan itu, HOS Tjokroaminoto
sebagai pimpinan puncak dan penanggung jawab PSII telah
bertindak cukup tegas, beliau menolak seluruh usulan-usulan
tersebut dengan alasan: Pertama, tentang Hijrah; bahwa
hijrah bukanlah sekedar taktis, akan tetapi merupakan prinsip
yang tidak bisa dirubah, bahkan merupakan faktor yang
menentukan sah tidaknya amal ibadah dan amal jihad umat
Islam dihadapan Alloh Robbul Izzati. Bergeser dari hijrah
berarti bergeser pula dari kemurnian Islam, menuju kepada
pencampuran haq dan bathil. Sebab hijrah adalah salah satu
usaha untuk memurnikan Ibadah atau pengabdian kepada
Alloh (realisasi dari tauhidul ibadah), yang lawannya adalah
musyrik.
Kedua, tentang pembatasan ruang lingkup SI; bahwa SI
adalah gerakan Islam yang bersifat universal, mempunyai
tujuan menegakkan kholifatulloh fil Ardhi, artinya
pemerintahan Alloh di bumi. Tentu saja hal ini tidak dapat
dilakukan dalam satu bidang atau parsial saja, tetapi harus
mencakup selurh aspek kehidupan; baik politik, ekonomi,
sosial, pendidikan, juga termasuk aqidah, dan ubudiyah.
Terakhir, tentang tindakan disiplin terhadap
Muhammadiyah; bahwa tindakan tersebut sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam SI setelah sebelumnya pihak
pimpinan memberikan beberapa kali peringatan terhadap

7
Muhammadiyah untuk tidak bertindak sendiri dan harus
merasa terikat dengan peraturan-peraturan SI, namun hal ini
selalu diabaikan oleh Muhammadiyah. Karena itu tidak ada
jalan lain untuk menjunjung tinggi peraturan-peraturan SI
yang berlandaskan Islam ini kecuali dengan mengeluarkan
Muhammadiyah dari SI. Orang-orang ini (Sukiman dan Wali Al-
Fatah cs) tidak mau menerima alasan-alasan tersebut dan
mereka bersikeras berusaha agar usulannya diterima oleh
partai, bahkan mereka mengancam akan mendirikan partai
baru diluar SI. Setelah jalan untuk islah tidak dapat dicapai,
maka HOS Tjokroaminoto mengambil tindakan yang lebih
tegas lagi, yaitu skorsing. Sukiman cs dikeluarkan dari PSII.
Tindakan ini mendapat kecaman dari beberapa kalangan,
terutama dari pers Indonesia dan pihak-pihak yang tidak
setuju dengan politik hijrah. Mereka menghimbau agar HOS.
Tjokroaminoto meninjau kembali tindakannya terhadap
Sukiman cs tersebut. Namun beliau tidak goyah dengan
sikapnya tersebut. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1933, yang
kemudian orang-orang ini dengan kekecewaannya berusaha
membentuk suatu panitia yang bernama Persatuan Islam
Indonesia yang mempunyai dasar campuran; Islam,
Nasionalisme dan Swadaya. Panitia ini menjalin kerja sama
dengan PSII Merdeka di Yogyakarta (termasuk yang tidak
setuju dengan politik hijrah) untuk sama-sama membentuk
Partai Islam Indonesia (PARTII). Tetapi usaha ini segera
mundur pada tahun berikutnya, walaupun mendapat
sambutan dari berbagai tempat di Jawa. Hanya dapat
disimpulkan bahwa kegiatan seperti ini merupakan permulaan
dari apa yang dalam 4 Desember 1938 menjadi Partai Islam
Indonesia (PII), yang diketuai oleh Raden Wiwoho dan
Sukiman.

Keluarnya Agus Salim


Selain Sukiman cs, sesungguhnya masih ada kelompok yang
tidak setuju dengan politik hijrah, yang menurut pendapat
mereka, politik seperti itu hanya akan menimbulkan kesulitan
dan keruwetan belaka, atau menurut istilah mereka
dikatakan: bak membenturkan kepala ke tembok saja.
Kelompok ini dimotori oleh H. Agus Salim, namun pada saat
itu, ketika pimpinan partai masih dipegang oleh HOS
Tjokroaminoto, kelompok ini masih belum berani secara
terang-terangan mengatakan ketidaksetujuannya pada politik

8
hijrah. Bagaimanapun mereka masih segan dengan karisma
pribadi dan kepemimpinan HOS Tjokroaminoto. Baru setelah
beliau wafat 1934, dan kepemimpinan partai beralih ke
tangan saudaranya yaitu Abi Kusno Cokro Suyoso dan
wakilnya S.M. Kartosoewirjo maka kelompok Salim mulai
berani angkat suara untuk menentang politik hijrah. Hal ini
dapat dilihat pada bulan Maret 1935, H. Agus Salim yang
pada saat itu sebagai ketua dewan partai, meminta dengan
sangat kepada Lajnah Tanfidziyah untuk meninjau kembali
kebijaksanaan politik hijrah sehubungan dengan keluarnya
peraturan-peraturan yang lebih ketat dari pemerintah.

Antaranya Mr. Moch. Room dan Sobirin pada bulan Januari


1937. Bulan berikutnya dipecat pula H. Agus Salim, AM
Sangaji dan 24 tokoh Penyadar lainnya. Abi Kusno dan kawan-
kawan merasa perlu untuk membenarkan tindakan tersebut
dalam mempertahankan politik hijrah terhadap seluruh
anggota partai. Demikianlah sekitar April dan Mei 1937,
diadakan rapat-rapat dari cabang-cabang Partai untuk
menerangkan politik hijrah dan kebenaran tindakan pemimpin
partai menskoring orang-orang Penyadar yang dengan keras
menentang Hijrah.
Tidak cukup dengan rapat-rapat saja, penjelasan tentang
politik hijrah ini, disusul dengan penerbitan sebuah brosur
yang berjudul Sikap Hijrah Partai Syarikat Islam Indonesia
terdiri dari dua jilid disusun oleh S.M. Kartosuwirjo yang saat
itu menjabat sebagai wakil ketua Lajnah Tanfidziyah PSII. Jilid
pertama dalam brosur tersebut Kartosuwirjo berhasil
menguraikan secara panjang lebar tentang pendirian Ad-Dien
(Agama) yang menyangkut seluruh aspek kehidupan, dan
tentang sikap serta perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW
yang menjadi pola dan strategi perjuangannya, sekaligus
harus menjadikannya satu-satunya pedoman serta pola
perjuangan oleh seluruh Ummatnya. Sesudah pembahasan
arti hijrah, S.M. Kartosuwirjo melanjutkan dengan
mengatakan, hampir pada setiap tempat dimana kata
Hijrah digunakan dalam Al-Quran, kata ini diasosiasikan
dengan jihad. Maka sehubungan dengan itu ia menulis, tiada
tindakan hijrah dianggap absah, bila dalam hijrah, cita-cita
jihad tidak dilaksanakan.
Demikian S.M. Kartosuwirjo dengan brosurnya tersebut
telah mencoba menjabarkan pengertian hijrah dan jihad

9
secara panjang lebar dan menekankannya untuk segera
direalisasikan dalam kenyataan.

10
BAB II
Realisasi Sikap Hijrah Ummat Islam Bangsa
Indonesia

1. Mengenal Pribadi S.M. Kartosoewirjo


Beliau adalah seorang tokoh Syarikat Islam yang cukup
gigih dan konsekuen dalam mempertahankan politik hijrah,
meskipun harus menghadapi tantangan dan kecaman dari
berbagai pihak, sampai-sampai beliau harus dipecat dari
semua jabatan dan keanggotaan PSII, oleh ketuan umumnya
sendiri yaitu Abi Kusno Cokro Suyoso, karena beliau menolak
untuk berpindah haluan, dari hijrah ke parlementer.
Sukarmadji Marijan Kartosoewirjo, demikian nama
lengkapnya. Sebuah nama gabungan dari namanya sendiri,
ayah, dan nama kakeknya. Nama aslinya Sukarmaji, ayahnya
Marijan, sementara kartosoewirjo adalah nama kakeknya.
Marijan sang ayah, adalah seorang menteri hutan kecamatan
mantingan. Tidak benar kalau ayah Sukarmaji dikatakan
sebagai pedagang candu, itu hanya fitnah belaka yang
sengaja dilontarkan orang-orang non-muslim unetuk
menjatuhkan martabat puteranya yang kemudian dipercayai
mengemban tugas ilahi, menegakkan pemerintahan Alloh di
bumi Indonesia ini.

a. Jenjang Pendidikan Umum


Sukarmadji dilahirkan di Cepu, sebuah kota kecil
antara Blora dan Bojonegoro, pada tanggal 7
Februari 1905. Pada usia 6 tahun beliau masuk
Inlandsche School der Tweede Klasse atau sekolah bumi
putera kelas dua, selama empat tahun. Ketika selesai
sekolah di sekolah desa Sukarmadji dibawa oleh uwanya ke
paman dari uwanya yang kemudian dibawa kakeknya yaitu
Bupati Bodjonegoro. Sukarmadji kemudian melanjutkan
sekolahnya ke Sekolah Dasar kelas satu, mulai dari
Hollandsche Inlandsche School (HIS) yaitu sekolah bumi
putera bahasa Belanda. Selanjutnya beliau masuk ke
Europeeshe Lagere School (ELS) Sekolah Dasar Eropa. Bagi
seorang putera pribumi keduanya merupakan sekolah elite.
Sekolah bumi putera bahasa Belanda (HIS) dimaksudkan
untuk anak-anak anggota kelas atas masyarakat pribumi.
Syarat-syarat untuk masuk anggota kelas atas masyarakat
pribumi. Syarat-syarat untuk masuk ke ELS adalah yang

11
paling ketat dari semuanya. Sesuai dengan namanya,
sekolah ini direncanakan sebagai lembaga pendidikan
hanya untuk orang Eropa dan masyarakat Indo-Eropa,
walaupun dalam jumlah terbatas, pribumi juga
diperkenankan masuk. Bagian terakhir ini terutama anak-
anak yang dapat terjamin berdasarkan latar belakang
sosialnya, diharapkan melanjutkan pelajarannya pada
lembaga yang mendidik dokter bumi putera, ahli hukum
atau pegawai negeri. Diterimanya S.M. Kartosoewirjo di
sekolah elite tersebut karena termasuk kategori kedua,
yaitu beliau memiliki bakat (keistimewaan) khusus. Setelah
menyelesaikan ELS, beliau berangkat ke Surabaya untuk
melanjutkan studi di Nederlandsche Indische Artsen School
(NIAS) atau sekolah Dokter Hindia Belanda, memulai
pelajaran di NIAS ini pada tahun 1923 dalam usianya ke 18.
Sesungguhnya, di sekolah kedokteran ini harus ditempuh
paling sedikit selama enam tahun, kemudian menjadi
dokter pribumi. Tetapi beliau gagal di tengah jalan, karena
pada tahun 1927 beliau harus keluar dari sekolahnya
akbibat kegiatan politik anti penjajahannya terlalu terbuka,
yaitu saat beliau aktif memimpin Jong Islamiten Bond,
sebuah organisasi pemuda Islam. Setelah dikeluarkan dari
NIAS beliau kemudian mengajar di sekolah dasar di
Bodjonegoro, yang kemudian bertemu dengan
Tjokroaminoto yang saat itu sedang mengadakan
propaganda partai SI. Tjokroaminoto yang terlibat dalam
perdebatan dengan Sukarmadji, melihat bahwa Sukarmadji
memiliki minat yang besar terhadap ide-ide SI.
Tjokroaminoto kemudian mengajaknya ikut ke Bandung. Di
Bandung Sukarmadji bekerja di Fadjar Asia yaitu sebuah
penerbitan milik SI. Sekaligus Sukarmadji menjadi kader SI
yang mendapat pendidikan dan pengkaderan di rumah
Tjokroaminoto. S.M. Kartosoewirjo banyak belajar,
menyerap ilmu dan akhlak dari tokoh ini, terutama dalam
bidang tauhid dan politik Islam. Tahun 1926 S.M.
Kartosoewirjo terlibat dalam perdebatan sengit dengan
Soekarno yang juga kader SI dan tinggal di rumah
Tjokroaminoto tentang ide Soekarno untuk mencapai
kemerdekaan dengan mengikuti idiologi Komunis.
Tjoktoaminoto yang mengetahui perdebatan itu memanggil
Soekarno dan ketika Soekarno tetap bertahan dengan ide
komunisnya maka Tjokroaminoto memutuskan

12
hubungannya dengan Soekarno, yaitu dalam hal kepartaian
Soekarno bukan lagi kader SI, dalam hal pekerjaan
Soekarno bukan lagi pegawai Fadjar Asia, dan dalam
hubungan keluarga Soekarno bukan lagi menantu
Tjokroaminoto.
S.M. Kartosoewirjo sendiri kemudian dibaiat
menjadi anggota partai, selanjutnya diangkat
menjadi Sekretaris pribadi Tjokroaminoto tahun
1927 dan fungsi ini berlajut sampai tahun 1929. Di
samping itu, S.M. Kartosoewirjo pernah ditunjuk
menjadi wakil Lajnah Tanfidziyah ke Sulawesi.
Sebagai pembantu dan sekretaris pribadi, beliau banyak
memberikan ide-ide dan gagasan-gagasan Islami terhadap
Tjokroaminoto dalam mempertegas garis Islamnya,
terutama dalam mempertahankan dan merealisasikan
politik Hijrah PSII yang diputuskan oleh kongres. Hal inilah
yang menyebabkan Tjokroaminoto semakin percaya
terhadap diri S.M. Kartosoewirjo bahwa ia benar-benar
seorang kader Muslim Mujahid yang militan, yang
dipercayai untuk melanjutkan perjuangan Islam ini. Maka
pada kongres tahun 1931 beliau diangkat menjadi
sekretaris jenderal PSII sampai akhir hayat
Tjokroaminoto yang wafat pada tahun 1934. Pada
periode ini, periode bersatunya S.M. Kartosoewirjo dengan
Tjokroaminoto, akan semakin terlihat arah perjuangan PSII
yang semakin berusaha memurnikan azas dan warna
Islamnya dari campuran-campuran lainnya semacam
Nasionalisme sekuler, Sosialisme, dan Komunisme.
Akibatnya Tjokroaminoto dan PSII-nya ditinggalkan dan
diisolir oleh tokoh-tokoh sosialis komunis yang dulu pernah
bersama-sama dalam syarikat Islam. Apalagi setelah
ditetapkannya politik hijrah sebagai politik resmi dari PSII,
semakin banyak tokoh-tokoh yang mengecam dan keluar
dari PSII. Bila dilihat dari lahirnya memang PSII semakin
kecil dan lemah, akibat sikap hijrah ini, tetapi di hadapan
Alloh bukanlah demikian, sebaliknya PSII semakin bernilai
dan semakin dekat dengan karunia Alloh. Sebab yang
dinilai Alloh Robbul Izzati bukanlah besarnya kuantitas
melainkan tingginya kualitas dan kebersihan iman.

b. Pendidikan Islamnya

13
Tentang pengetahuan Islamnya, S.M. Kartosoewirjo
berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya yang mendapat
pengetahuan tentang Islam melalui pendidikan pesantren
atau madrasah-madrasah, beliau mendapatkannya dengan
cara autodidak (belajar sendiri) dan sering berkonsultasi
pribadi dengan ulama-ulama yang konsekuen dan sholeh.
Setelah dikeluarkan dari NIAS, beliau mempelajari Al-Islam
di bawah bimbingan Tjokroaminoto. Dari tokoh inilah beliau
banyak mendapat pengetahuan tentang Islam, terutama
dalam bidang tauhid dan politik Islam, juga beliau banyak
mewarisi sifat-sifat kepemimpinan Tjokroaminoto, terutama
dalam ketegasannya memegang prinsip kebenaran (al-
Haq).
Pada tahun 1929, karena alasan kesehatan di samping
tugas dari pimpinannya, terpaksa beliau harus berpisah
dengan Tjokroaminoto untuk pindah ke Jawa Barat,
kemudian bermukim di Malangbong, sebuah kota kecil
dekat kota Garut dan Tasikmalaya. Di sana beliau berguru
kepada ulama-ulama setempat, antara Kiyai Yusuf Taujiri
dan Kiyai Ardiwisastra, yang disebut belakangan ini di
samping sebagai guru juga sebagai mertuanya, setelah
S.M. Kartosoewirjo menikah dengan putrinya yang bernama
Dewi Ummi Kultsum pada tahun 1929.
Kiyai Ardiwisastra adalah seorang ulama yang cukup
masyhur di daerah Malangbong, di samping sebagai tokoh
PSII terkemuka di daerah tersebut. Beliau juga seorang sufi
yang selalu berusaha membersihkan jiwa dari kotoran-
kotoran dosa dan meningkatkan martabat diri di hadapan
Alloh dengan melaksanakan amalan-amalan nawafil, di
samping ibadah fardu yang terbatas itu. Bidang inilah yang
sangat menarik perhatian S.M. Kartosoewirjo untuk
mempelajari lebih dalam. Sebab menurut pendapatnya
untuk menjadi seorang mujahid (pejuang Islam) yang baik,
mesti membutuhkan kebersihan jiwa dari penyakit-penyakit
ria, ujub, iri hati, syirik, dan semacamnya. Bagaimana
seseorang akan memperjuangkan berlakunya Islam untuk
orang lain, sedangkan dirinya sendiri belum Islam secara
konsekuen lahir dan batin. Apalagi untuk menjadi
pemimpin Islam, mesti mempunyai sifat-sifat warosatul
anbiya, menjadi kekasih Alloh (waliyulloh). Dengan
bimbingan mertua sekaligus gurunya, beliau melaksanakan
praktik-praktik sufi, mengkonsentrasikan jiwa hanya untuk

14
zikir kepada Alloh saja. Dengan maksud mencontoh
perilaku Muhammad Rasululloh SAW menjelang menerima
wahyu pertama, beliau selalu mengadakan khalwat
(mengasingkan diri dari kesibukan dunia), tabbatul
(membulatkan perhatian dan perasaan jiwa hanya untuk
dzikrullah semata), dan taqorrub (mendekatkan diri kepada
Alloh dan memperbanyak ibadah nawafil). Yang dilakukan
di goa Hiro dalam beberapa puluh hari, juga bermaksud
mengamalkan sebuah hadis Qudsi yang diriwayatkan
Bukhori dari Abi Hurairoh yang bunyinya:

Artinya: Barang siapa yang memusuhi wali-Ku (kekasih-


Ku) maka sungguh aku telah mengumumkan perang
terhadapnya. Dan tidaklah sesuatu yang dapat
mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih aku sukai
daripada melaksanakan apa yang telah Aku wajibkan
atasnya dan henti-hentinya hamba-Ku bertaqorrub kepada-
Ku dengan mengamalkan ibadah nawafil, sehingga Aku
mencintainya maka bila Aku cinta padanya, Akulah
pendengarannya (membimbing pendengarannya dengan
hidayah dan taufiq-Nya) yang mana dia mendengar
dengannya, Akulah penglihatannya yang dia melihat
dengannya, Akulah tangannya yang dia memukul
dengannya, dan Akulah kakinya yang dia berjalan
dengannya. Apabila dia meminta sesuatu kepada-Ku, pasti
Aku perbuat, sebagaimana raga-Ku ketika mengambil ruh
orang mukmin karena ia tidak suka mati dan Aku tidak suka
mengganggunya.
S.M. Kartosoewirjo telah berusaha mengamalkan konsep
ini dengan memanfaatkan sebuah tempat yang
menyerupai gua alam. Di sanalah beliau berkhalwat dan
bertabattul, mengasingkan diri dari kesibukan-kesibukkan
duniawi, menjernihkan jiwa dari rodzail-rodzail (kotoran-
kotoran dosa dan maksiat), selama beberapa puluh hari
beliau bertaqorrub dengan melaksanakan ibadah-ibadah
fardu dan nawafil. Alloh SWT menepati janji-Nya, dia
mencintai hamba-Nya yang ini, yang telah bermujahad
sekuat kemampuannya, berjalan di atas fardu dan nawafil
menuju riho-Nya. Akhirnya Alloh menurunkan cahaya
hidayah dan taufiq atasnya, yang membimbing dan

15
menuntun pendengarannya, penglihatannya, tangannya,
dan kakinya, banyak diijabah doanya dan beliau sering
mendapat perlindungan Alloh pada saat-saat kritis dari
ancaman musuh-musuhnya, musuh-musuh Alloh dan
musuh-musuh Islam.

c. Ubudiyahnya
Menurut keterangan teman dekatnya yaitu Ustadz H.
Masduki, seorang ulama yang sejak usia muda telah hafal
Al-Quran dan terpelihara sampai sekarang ini, bukan hanya
sekadar hafal, tetapi juga paham terhadap makna yang
tersirat di dalamnya, serta mampu menjabarkannya.
Karena kemampuannya inilah, beliau diangkat oleh S.M.
Kartosoewirjo sebagai penasehat pribadinya sehingga
beliau banyak tahu tentang S.M. Kartosoewirjo, tentang
ubudiyah, akhlaq, dan sifat-sifat Kartosoewirjo, ustadz ini
menerangkan: Pak Karto adalah seorang abid (ahli
ibadah) yang khusyu dan istiqomah, shalat-shalat fardu
selalu dilakukan awal waktu dan selalu dilengkapi shalat
sunat rawatib. Kalau malam sedikit sekali waktu yang
digunakannya untuk tidur, hanya dua sampai tiga jam,
selebihnya digunakan untuk qiyamul lail (shalat malam)
serta menyusun konsep dan program-program perjuangan
Islam, terlebih-lebih setelah beliau menjabat sebagai Imam
Negara Islam, Panglima tertinggi Tentara Islam, pendekatan
diri kepada Alloh lebih diperketat lagi. Beliau selalu rajin
membangunkan keluarganya pada dua pertiga malam
untuk qiyamul lail. Pada suatu saat beliau pernah bercerita
kepada saya tentang suatu keanehan yang terjadi pada
dirinya yaitu pada suatu malam menjelang hari keempat
puluh beliau berkhalwat dan bertabattul, tiba-tiba datang
cahaya yang terang benderang menerangi alam sekitar
beliau, yang saat itu sedang dalam keadaan gelap gulita.
Dengan cahaya itu beliau mampu melihat darah yang ada
dalam pembuluh nadinya dan sumsum yang ada dalam
tulangnya, beliau merasa ajaib dengan peristiwa itu
terlebih tatkala beliau membuka-buka buku berbahasa
Arab yang gundul, beliau menjadi mampu untuk membaca
dan memahaminya. Padahal sebelumnya beliau belum
pernah belajar ilmu-ilmu alat seperti nahwu, shorof,
balaghoh, ushul fiqh, mantiq dan lain sebagainya secara
mendalam, namun sejak saat itu hingga akhir hayatnya

16
beliau memiliki kemampuan untuk menggunakan ilmu-ilmu
tersebut untuk membaca dan memahami ayat-ayat Al-
Quran dan tafsirnya serta kitab-kitab hadits. Ilmu semacam
ini biasa disebut ilmu laduni, yang artinya ilmu yang
langsung dikaruniakan Alloh kepada hamba yang dicintai-
Nya tanpa melalui proses belajar sebagaimana biasanya.
Ini sesuai dengan yang telah dijanjikan Rosulullah SAW:
Barang siapa mengamalkan ilmu yang telah diketahui
maka Alloh akan memberikan kepadanya ilmu yang belum
ia ketahui. Demikian keterangan ustadz H. Masduki dalam
suatu wawancara dengan penulis tentang usaha-usaha
S.M. Kartosoewirjo dalam mempelajari dan memahami al-
Islam yang bersumberkan Al-Quran dan Al-Hadits.

d. Akhlaqnya
S.M. Kartosoewirjo adalah zuhud (sederhana dalam
kehidupan dunia), tidak senang terhadap kemewahan dan
berlebih-lebihan. Sebagai seorang tamatan ELS dan pernah
mengenyam pendidikan kedokteran, sesungguhnya beliau
bisa hidup cukup baik dalam sosial ekonominya, kalau saja
beliau mau menjadi pegawai pemerintah atau bekerja di
kantor suatu perusahaan. Tetapi rupa-rupanya beliau lebih
suka hidup sederhana dengan bertani alakadarnya dan
mencurahkan seluruh tenaga dan fikirannya untuk
perjuangan Islam. Orientasi hidupnya bukan lagi duniawi
tetapi ukhrowi. Kehidupan duniawinya hanya dijadikan
sebagai mazroatul akhirat, artinya ladang tempat beramal
dan mempersiapkan bekal untuk menuju kebahagiaan
akhirat. Kata seorang ajengan teman dekatnya yang
pernah satu rumah dengannya, yang tidak mau disebutkan
namanya. Zuhudnya (kesederhanaannya) itulah salah satu
kepribadian Sukarmadji. Hampir setiap pagi kalau turun ke
sawah, saya selalu melihat Sukarmadji memakai celana
hitam model kuno, tetapi dia tidak lama di sawah, agaknya
sekadar mencari keringat dan udara segar saja. Pada sore
ini, apabila dia bersilaturahmi ke rumah kerabatnya atau ke
rumah anggota pengurus PSII setempat untuk
membicarakan langkah-langkah perjuangan, dia selalu
kelihatan memakai baju yang itu-itu saja. Sepasang jas
tertutup dan celana dari kain yang murah. Ia selalu
berjalan dengan menundukkan kepala, penuh rasa
ketawadhuan selalu bersikap hormat kepada setiap orang

17
yang ditemuinya. Sehingga tidak seorang pun mengira
kecuali yang sudah mengenalnya bahwa dia seorang
ningrat dan terpelajar. Demikian ajengan itu melanjutkan
keterangannya tentang S.M. Kartosoewirjo, Sukarmadji
seorang penyantun, suka meringankan kesulitan orang lain,
terutama kepada faqir miskin dan yatim piatu dia sangat
dekat sekali. Inilah yang memikat hati masyarakat
sekitarnya sehingga mereka benar-benar percaya terhadap
kepemimpinannya. Demikian ajengan tersebut mengakhiri
keterangannya.
Ustadz H. Masduki menambahkan keterangan tentang
akhlak S.M. Kartosoewirjo, beliau adalah seorang yang
tawadhu dan rendah hati, toleransinya sesama ikhwan
sangat tinggi, seorang pemaaf dan sabar dan mampu
melaksanakan itsar alan nafsi (lebih memerlukan
kepentingan orang lain sekalipun dirinya memerlukan).
Pernah suatu saat, saya terpisah dari pasukan, karena
menghindari TNI yang sedang patrol. Kemudian saya
bertemu dengan Pak Imam dan putanya Dodo, yang
sama-sama terpisah dari pasukan. Kami akhirnya berjalan
bersama menuju induk pasukan. Setelah cukup lelah
berjalan menelusuri hutan belantara, kami beristirahat dan
membuat kemah alakadarnya untuk tempat berlindung.
Ransel saya yang berisi perbekalan terbawa oleh pasukan
sehingga saat itu saya tidak membawa apa-apa kecuali
pakaian yang dipakai saja. Pak imam pun perbekalannya
sangat tipis sekali, tinggal beras beberapa sendok saja,
yang kemudian dimasak Dodo yang menghasilkan
sepiring kecil nasi saja, piringnya pun cuma satu-satunya.
Tiba-tiba Pak Imam menyodorkan piring itu kepada saya
sambil berkata, silakan ustadz, ini adalah haq ustadz,
makanlah. Karena saya merasa bahwa beliaulah yang
lebih berhak, sebab beliau lebih tua dan lebih
membutuhkan dari pada saya maka saya pun
menolaknya.tidak, ini adalah milik Bapak, Bapak lebih tua
dan lebih memerlukan dari pada saya, saya lebih muda dan
lebih kuat menahan lapar, silakan ini untuk bapak saja.
Namun beliau memaksa dengan mengeluarkan alasan
yang kuat, Ustadz, ini memang milik saya, tapi hak ustadz
karena ustadz adalah tamu saya, maka berilah saya
kesempatan untuk melaksanakan ayat Alloh (QS. Al-Hasyr :

18
9)1, terimalah ini dan makanlah, ini adalah hak ustadz.
Akhirnya saya tidak bisa menolak lagi, lalu saya makan.
Tidak sampai habis, kemudia saya serahkan nasi itu kepada
beliau, barulah beliau makan dan dibagi dua dengan
anaknya. Demikian ustadz H. Masduki berkisah tentang
pengalamannya, kemudian melanjutkan: pada malam
harinya menjelang tidur, Pak Imam memberikan kain yang
hanya satu-satunya kepada saya untuk selimut sambil
berkata, Ustadz, pakailah selimut ini, karena udara malam
hari sangat dingin. Sekali lagi berilah saya kesempatan
untuk melaksanakan sunnah Rosul, janganlah ustadz
menolaknya. Ini hak ustadz. Saya tidak bisa berbuat apa-
apa selain menerimanya. Namun perasaan saya tidak
enak, sebab beliau lebih tua, lebih tidak tahan kondisi
badannya menghadapi udara yang sangat dingin, udara
pegunungan di malam hari. Maka ketika terlihat beliau
telah tidur, tetapi ketika tengah malam saya terbangun
kain sarung itu telah berpindah menyelimuti tubuh saya
dan beliau tidur nyenyak tanpa selimut, kemudian saya
kembalikan kain sarung tersebut untuk menyelimuti beliau
sehingga saat saya terbangun terakhir kalinya kain itu ada
pada saya dan beliau saya lihat sedang shalat tahajud.
Demikian keterangan ustadz H. Masduki tentang akhlak
S.M. Kartosoewirjo adalah figure ulama pewaris para nabi
yang mampu merealisasikan sunnah Rosul dan layak
menjadi Imam umat Islam di Indonesia.

2. Lahirnya KPK PSII


Ternyata Abi Kusno, Aruji Kartawinata,
Wondoamiseno, dan kawan-kawannya belum siap mental
untuk menghadapi risiko pada pelaksanaan sikap hijrah itu.
Semangat hijrahnya yang menggebu-gebu pada beberapa

Artinya: Dan orang-orang yang telah menempati Darul (Islam) dan telah beriman
(Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai'
orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada
menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri
mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang falah.

19
tahun belakangan ini, dengan melaksanakan tindakan tegas
kepada sikap penentangnya seperti skorsing yang dijatuhkan
kepada H. Agus Salim, Moh. Roem, dan kawan-kawannya dari
barisan Penyadar, ternyata kandas setelah melihat kenyataan
betapa sulit dan rumitnya perjalanan ini.
Tekanan dan kecurigaan dari pemerintah Belanda terhadap
partai-partai yang berhaluan non kooperasi yang semakin hari
semakin ketat dan menurunnya kualitas anggota-anggota PSII
yang merosoot sangat drastis, akibat pengaruh provokasi dari
orang-orang Barisan Penyadar adalah faktor-faktor yang
mendorong Abi Kusno cs berputar haluan meninggalkan
politik hijrah beralih pada garis parlementer. Pada tahun
1938, Abi Kusno mempelopori terbentuknya GAPI
(Gabungan Politik Indonesia) dan H. Agus Salim
dengan barisan Penyadarnya untuk masuk bergabung
ke dalam GAPI sebagai suatu federasi partai politik
Indonesia yang tujuannya untuk membentuk parlemen yang
benar-benar representatif. Tindakan Abi Kusno ini sama sekali
di luar pengetahuan S.M. Kartosoewirjo yang saat itu
menjabat sebagai wakilnya (wakil presiden PSII). Setelah
mengetahui akan hal itu, Kartosoewirjo berusaha menegur Abi
Kusno agar menarik kembali langkahnya yang sudah
menyimpang dari garis hijrah garis kebenaran. Namun Abi
Kusno tidak menanggapinya, bahkan ia membujuk
Kartosoewirjo agar mau mengubah haluan dengan alasan,
bahwa hijrah itu salah satu taktik perjuangan saja, bukan
prinsip sehingga bisa berubah menurut tuntutan situasi dan
kondisi. Maka untuk situasi semacam sekarang ini, demi
menyelamatkan dan mempertahankan partai dari kesulitan
dan kebangkrutan, perlu adanya perubahan taktik/siasat dari
hijrah ke parlemen, dari non-kooperatif ke kooperatif.
Kartosoewirjo menolak mentah-mentah ajakan ini, menurut
pendiriannya bahwa hijrah bukanlah sekadar taktik melainkan
suatu prinsip yang tidak bisa diubah-uabh dalam situasi dan
kondisi yang bagaimanapun juga. Perjuangan Islam tanpa
tanpa hijrah adalah batal, sebab tanpa hijrah akan terjadi
pencampuran antara hak dan batil dalam satu wadah
perjuangan yang mengakibatkan gugurnya haq (kebenaran)
tersebut. Karena itu hijrah harus dipertahankan, apapun risiko
yang harus dihadapi, menyimpang dari hijrah sama halnya
dengan menyimpang dari Islam. Begitu pendirian
Kartosoewirjo dalam mempertahankan prinsip perjuangannya,

20
yaitu sikap hijrah, meskipun dia harus menghadapi mayoritas
pengurus elite PSII yang berakibat ancaman pemecatan
terhadap dirinya dari PSII. Padahal dalam satu atau dua tahun
yang telah lalu, kedua pihak tampak begitu akrab dan mesra,
sama-sama berada dalam satu kubu, mempertahankan politik
hijrah. Pada saat Kartosoewirjo mendapat kehormatan dari
kongres partai tahun 1936 untuk menguraikan tentang politik
hijrah secara terperinci dalam brosurnya yang terdiri dari dua
jilid yang berjudul Sikap Hijrah PSII pihak Abi Kusno dan
kawan-kawannya memberikan dukungan penuh atas usaha
ini. Bahkan dalam kata pengantar yang ditandatangani Abi
Kusno sebagai presiden dan Aruji Kartawinata sebagai
sekretaris PSII, pada jilid kedua dia membuat pernyataan
bahwa, Pandangan-pandangan, pendapat-pendapat, dan
gagasan-gagasan tentang penafsiran sikap Hijrah PSII yang
diuraikan dalam brosur ini telah dibicarakan panjang lebar
dengan presiden terpilih Dewan Pimpinan Partai dan Komite
Eksekutive Partai sebelum dan sesudah (brosur ini) ditulis
pengarang.
Namun pada saat itu, tepatnya pada tahun 1938,
mereka terlibat dalam pertengkaran dan perselisihan
pendapat yang cukup sengit, tentang perlu dirubahnya atau
tidak politik hijrah ini, mengingat tekanan pemerintah yang
semakin ketat. Untuk mengatasi kemelut ini, Abi Kusno telah
menggunakan wewenangnya selaku presiden partai, dengan
tindakan mengeluarkan Kartosoewirjo dari PSII, karena
telah dianggap membangkang terhadap perintah-perintah
pucuk pimpinan untuk merubah haluan dan menarik kembali
serta menghentikan penyebaran brosur tersebut, yang
mengandung fikiran-fikiran yang bersifat anakronisme.
Keputusan pengeluaran Kartosoewirjo dan beberapa
pendukungnya termasuk Kiayi Jusuf Taujiri dan Kamran
Hidayatulloh, yang saat itu menjadi pemimpin bagian
muda PSII, diambil Komite Eksekutive Partai pada 30
Januari 1939. Kemudian disetujui kongres partai pada
bulan Januari 1940. Tetapi mereka yang dicabut
keanggotaannya menolak keputusan tersebut. Kartosoewirjo
berpendirian bahwa PSII bukanlah lembaga milik pribadi Abi
Kusno dan kelompoknya, tetapi lembaga milik Allah, sebagai
wadah perjuangan dalam mendhohirkan mulkiyah (struktur
kerajaan Allah) dimuka bumi ini. Karena itu lembaga ini harus
segera diselamatkan dari pengkhianatan oknum pimpinannya

21
yang telah menyimpang dari rel sabilillah, garis yang telah
ditentukan Allah SWT. Maka atas prakarsa Kartosoewirjo
dibentuklah komite tantangan, Komite Pembela Kebenaran
PSII (KPK PSII). Karena dimaksudkan untuk bergerak didalam
PSII, komite ini mengabaikan resolusi pemecatan. Ketika itu
ternyata tidak mungkin dilakukan maka pada rapat umum
komite di Malangbong pada tanggal 24 Maret 1940
diputuskan untuk membentuk partai yang bebas,
sebgai upaya penyelamatan politik hijrah, yang merupakan
amanah Allah, amanah Rosulloh dan amanah umat yang telah
diputuskan dalam kongres-kongres partai pada tahun-tahun
yang silam. Pada saat itu juga ditegaskan satu
kebulatan tekad untuk tetap melanjutkan membentuk
Daulatul Islamiyah dengan pola Hijrah.
Partai yang baru ini, yang juga biasa disebut PSII kedua,
dimana Kartosoewirjo diangkat sebagai ketuanya, diharapkan
bisa berkembang menjadi PSII yang sebenaarnya untuk
mempertahankan dan merealisasikan nilai-nilai dan tujuan
Islami yang menjadi ciri khas yang telah dipancangkan
pendirinya, HOS Tjokroaminoto. Terutama dimaksudkan untuk
merealisasikan politik hijrah lebih kongkrit lagi, sebagaimana
yang telah diputuskan kongres partai di Surabaya tahun 1937.
Oleh karena PSII Abi Kusno Tjokro Suyoso tidak bisa
diharapkan untuk mengemban tugas suci ini. Dengan
demikian mereka tidak lagi berhak memakai nama PSII, sebab
telah bergeser dari rel Islam. Hal ini Nampak lebih jelas
tatkala Abi Kusno memindahkan corak perjuangannya dari
Islam ke corak nasional, seperti terlihat dalam GAPI, sudah
tidak ada identitas Islam lainnya.
Upaya S.M. Kartosoewirjo ini rupanya mendapat dukungan
yang cukup besar dari masyarakat yang masih konsekuen
dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan yang
cukup pesat, dari dua cabang saja pada saat didirikannya KPK
PSII telah meningkat menjadi dua puluh satu cabang pada
bulan maret 1940. Bahkan boleh dikatakan Dimana ada PSII
Abi Kusno, disitu akan berdiri pula cabang PSII kedua yang
tetap konsekuen dengan politik hijrah.

3. Lahirnya Institut Suffah


Dalam rangka mewujudkan hasil kesepakatan kongres
tahun 1938 yang dinuansai oleh uswah Rosulloh SAW dalam
awal pergerakan hijrah ke Yastrib maka S.M. Kartosoewirjo

22
berusaha mendirikan sebuah lembaga pendidikan dan
pengkaderan yang bernama Institut Suffah. Lembaga ini
diharapkan menjadi modal utama dalam usaha melahirkan
Darul Islam dikemudian hari. Gagasan ini sesungguhnya
sudah lama dicanangkan, dicetuskan sejak kongres partai
tahun 1938 di Surabaya. S.M. Kartosoewirjo yang sungguh
mengerti akan pentingnya lembaga kaderisasi kepemimpinan,
dan yang memberikan perhatian pada bidang ini dalam
brosur hijrahnya, diberikan kepercayaan untuk mendirikan
suatu lembaga yang direncanakan guna melatih kader-kader
pimpinan Islam yang militan oleh kongres pada saat itu.
Tetapi ketika pimpinan PSII memutar haluan politiknya ke
parlemen, maka partai tak ada lagi minat terhadap rencana
tersebut. Namun S.M. Kartosoewirjo dengan kesungguhan hati
meneruskan persiapan guna pembentukan lembaga
pengkaderan dan penyesuaian gagasan itu dengan pola
perjuangan Rosulloh SAW. Lembaga yang dimaksudnya tidak
lagi terikat dengan PSII lama, pimpinan Umat Islam di
Indonesia. Lembaga ini akan menjadi lembaga pendidikan
yang terikat dan diawasi oleh PSII kedua, tegasnya PSII hijrah.
Setelah rencana ini disahkan oleh kongres kedua pada
bulan maret 1940, didirikanlah Institut Suffah yang
berlokasi di Malangbong. Dengan institut ini paling tidak ada
dua target yang dapat digarap. Pertama, membentuk para
mujahid, kader-kader militan, yang kuat akidahnya dan
menguasai ilmu Islam, yang nantinya akan mampu
menggerakkan jihad fisabilillah, termasuk jihad dalam arti
fisik menumbangkan dominasi penguasa-penguasa dzolim,
dalam rangka menegakkan Daulah Islamiyah. Kedua,
menciptakan masyarakat yang Islami, dengan mulai dengan
dari pengenalan dan pengerapan nilai dan sistem hidup Islam
bagi setiap pribadi. Masyarakat Malangbong dan sekitarnya
menjadi objek dari pelaksanaan program ini, yang bisa
diharapkan menjadi basis kekuatan dan pusat komando
gerakan jihad umat Islam dikemudian hari. Jihad adalah
merupakan tindak lanjut daripada hijrah, sebab sikap hijrah
tidak dianggap abash bila tida diiringi dengan jihad.
Lembaga pendidikan suffah ini disusun menurut sistem
pesantren dan madrasah, yang menghasilkan hubungan
sangat erat dan akrab antara guru dan murid/siswanya. Guru
disini, disamping sebagai pendidik dan pengajar juga
berfungsi sebagai contoh suri tauladan bagi para siswanya

23
dalam menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-
hari, sekaligus sebagai pemimpin dan pembimbing yang
membawa para siswanya kearah mardhotillah di dunia dan
akhirat. Disini para siswa akan digembleng selama empat
sampai enam bulan, sehingga mereka menjadi kader mujahid
yang tangguh dan militan, yang bisa diharapkan
menanamkan dan menyebarkan ide serta cita-cita Islam di
kalangan masyarakat dimana mereka akan kembali.
Kebanyakan yang datang menjadi siswa disini adalah para
pemuda yang berasal dari daerah Priangan, ada juga yang
dari jauh, seperti dari Banten, Wonorejo, Cirebon bahkan dari
Toli-toli di Sulawesi Utara. S.M. Kartosoewirjo selaku pimpinan
lembaga ini banyak mengambil peranan aktif dalam
pengelolaan pengkaderan ini, beliau memegang pelajaran
ilmu tauhid, untuk menanamkan aqidah dan keyakinan pada
siswa. Diuraikan pengertian kalimah:
Yang merupakan dasar dan sumber ilmu tauhid dan juga
merupakan dasar serta sumber segala aspek kehidupan
Islam. Uraiannya secara sepintas bisa kita lihat seperti
dibawah ini.

Artinya: Tidak ada yang maujud kecuali atas ijin dan taqdir
Allah.
Hal ini untuk mebulatkan aqidah dan keyakinan, bahwa
setiap kejadian, baik yang terjadi maupun menjadi, baik yang
disengaja oleh manusia ataupun tidak, baik yang sesuai
dengan keinginan ataupun tidak, yang bersifat biasa atau luar
biasa, yang manis atau pahit, yang baik maupun yang buruk,
itu semua adalah qudrat dan irodat Allah, atas kuasa dan
kehendak Allah SWT.
Disini posisi makhluk termasuk manusia tidak ada peran
sama sekali yang sama sekali berpengaruh dalam
mewujudkan sesuatu, ia hanya dijadikan saluran dan
sambungan belaka. Daya ikhtiyar dan akal manusia hanya
berfungsi sebagai sarana dan penyambung kuasa dan
kehendak Allah yang Maha Mutlak. Karena itu manusia harus
menyadari akan kelemahan dan kekerdilannya dihadapan
Allah Robbul izzati. Segala hidup dan kehidupan, bergantung
mutlak kepada kuasa dan kehendak Allah, manusia tidak

24
punya daya dan kuasa sedikitpun, kecuali atas kehendak dan
kuasa Allah. Inilah yang dikatakan Wahdatul wujud.

Artinya: Tidak ada yang berhak disembah (diibadati)


kecuali Allah.
Setelah meyakini wahdatul wujud, artinya segala sesuatu
yang maujud selain Allah, itu semua bergantung kepada
Qudrat dan Iradat Allah, kita harus meyakini bahwa semua
yang dijadikan atas takdir Allah itu tidak ada yang sia-sia,
tetapi semua kejadian itu dijadikan untuk sarana dan medan
pengabdian manusia kepada Allah. Seorang mukmin harus
bertekad bahwa segala taqdir yang menimpa dirinya, dimana
saja, dan bagaimana saja, akan dijadikan sarana beribadah
dan mengabdi kepada Allah. Sebab kalau kosong dari nilai
ibadah kepada Allah, dia akan terjebak kedalam syirik
(mengabdi kepada selain Allah), atau maksiyat (durhaka
kepada Allah). Hal ini bisa disebut wahdatul mabud atau
tauhidul ibadah.

Artinya: Tidak ada yang dicari untuk ditaati dan dicari


untuk dihindari, kecuali perintah dan larangan Allah.
Setelah meyakini bahwa setiap takdir yang datang kepada
kita adalah sarana ibadah (pengabdian) kepada Allah, maka
kita harus yakin bahwa setiap takdir yang datang kepada kita
itu mengandung perintah dan larangan dari Allah yang
terperinci, perintah melaksanakan sistem hidup yang telah
digariskan Allah (Al-Islam) dan larangan melaksanakan sistem
hidup yang bukan dari Allah, pada setiap saat dan setiap
keadaan. Kita harus berusaha mewarnai kehidupan sehari-
hari dengan warna Islam saja, jangan sampai sesaatpun kita
lepas dari Islam, yang telah kita yakini sebagai satu-satunya
Dienulloh; sistem hidup yang telah digariskan Allah yang
dapat membawa kemaslahatan kehidupan di dunia dan di
akhirat. Inilah wahdatul mathlub artinya kebulatan gerak dan
langkah sepanjang aturan-aturan Allah.

25
Artinya: Tidak ada yang dituju (dimaksud) kecuali
keridhoan Allah.
Setelah kita berada di jalan Allah, dengan melaksanakan
sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari,
jangan sampai kita menyimpang dari arah dan tujuan hakiki,
yaitu keridhoan Allah. Jauhkan diri kita dari sifat riya, takabur,
ambisi, dan tujuan-tujuan duniawi lainnya, yang bisa
menghapus nilai amal kita.
Jadi, kita melaksanakan perintah-perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya, melaksanakan sistem-sistem Islam
dan menjauhi sistem thogut, itu tujuannya semata-mata
ikhlas mencari keridhoan Allah, bukan yang lainnya. Inilah
wahdatul maqsud (satu tujuan hanya untuk Allah).
Empat pembahasan diatas itu adalah merupakan inti dari
ajaran tauhid yang diterapkan dalam Institut Suffah, dalam
usaha membentuk pribadi muwahhid (serba satu), satu dalam
aqidah, satu dalam niat (niat ibadah), satu dalam perbuatan,
yaitu menurut sistem Allah, dan satu dalam tujuan yaitu
mencari ridho Allah. Dalam istilah lain dikatakan minalloh
(dari Allah). alalloh (diatas jalan Allah), dan Ilalloh (menuju
keridhoan Allah).
Disamping ilmu tauhid dan ilmu-ilmu Islam lainnya, seperti
ubudiyah, akhlak, tasawuf, dan juga ilmu pengetahuan
umum, dan kertrampilan diajarkan disini, seperti bahasa
belanda, bahasa arab, bercocok tanam, menenun dan
membuat anyaman-anyaman. Kemudian pada awal tahun
1944 dalam masa penjajahan jepang, Institut Suffah
meningkatkan aktifitasnya menjadi pusat latihan militer untuk
daerah Priangan. Dari sana terbentuklah kesatuan militer
yang bernama Sabilillah yang nantinya akan menjadi inti
Tentara Islam Indonesia (TII) dikemudian hari.
Demikianlah sekilas lintas melintas dasar, sistem,
kurikulum, dan tujuan pendidikan serta pengkaderan lembaga
Suffah, yang sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam
lainnya, semacam pesantren-pesantren, dan madrasah-
madrasah yang tidak mempunyai arah yang pasti dalam
perjuangan menegakkan Islam. Juga di Suffah ini
diselenggarakan sistem baiat, yaitu ikrar dan janji setia
kepada Allah yang disaksikan oleh pimpinan, yang merupakan
syarat berjamaah dalam Islam sehingga mereka terikat
dengan sikap, mendengar dan taat terhadap pimpinan, juga

26
ukhuwah (persaudaraan) dikalangan para siswanya terjalin
kuat.

27
BAB III
Peranan Ummat Islam Dalam Pergerakan Nasional

1. Golongan Islam Parlementer dan MIAI


Diluar jalur Syarikat Islam, ada beberapa organisasi Islam
yang didirikan. Meskipun sesungguhnya tidak dibenarkan oleh
Islam adanya lebih dari satu jamaah dalam waktu dan
tempat yang sama. Namun demikianlah kenyataan sejarah,
sesuai dengan fitrah Allah dalam surat Al-Mukminun ayat 52
dan 53* yang dalam istilah Al-Quran dan Al Hadits disebutkan,
diluar jamaah alah firqoh dan firqoh itu dilarang dalam
Islam, sebab firqoh itu akan menimbulkan bencana yang
besar bagi umat Islam seluruhnya. Diantaranya, sebuah
organisasi sosial Islam yang didirikan pada tanggal 18
November 1912 di Yogyakarta, yang bernama
Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan oleh pendirinya,
yaitu K.H. Ahmad Dahlan, atas saran yang diajukan beberapa
muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo, untuk
merealisasikan program sosial dan mendirikan suatu lembaga
pendidikan yang bersifat permanen. Jadi Muhammadiyah
bukanlah organisasi politik yang mempunyai gagasan untuk
menegakkan Daulah Islamiyah, sebagai syarat berlakunya
sistem Islam secara keseluruhan, tapi ia hanya merupakan
suatu organisasi sosial yang bergerak dalam bidang
pendidikan saja, yang merupakan satu keeping dari sistem
Islam yang sempurna. Atas kebijakan HOS Tjokroaminoto,
organisasi ini sempat masuk bergabung kedalam PSII. Namun
penggabungannya rupanya tidak luar dalam, artinya
setengah-setengah, hal ini bisa dilihat dengan tidak mau
menanggalkan baju muhammadiyahnya.
*QS. Al Mukminun ayat 52-53

Artinya: dan inilah ummat kalian ummat yang satu, dan Aku-lah Rabb
kalian, maka bertakwalah kepadaku. Maka kemudian mereka
(pengikut-pengikut ajaran Islam) menjadikan urusan mereka
terpecah-belah menjadi beberapa hizb (partai). Tiap-tiap golongan
bangga dengan apa yang ada dalam pengasaan mereka.

28
Setelah diberi peringatan berkali-kali, dan tidak
ditanggapi maka pimpinan PSII mengadakan tindakan
disiplin terhadap organisasi-organisasi ini. Muhammadiyah
dikeluarkan dari PSII pada tahun 1927. Dalam bidang furu
(cabang-cabang ubudiyah) organisasi ini membawa aliran
faham Muhammad bin Abdul Wahab yang bersifat reformis
(pembaharuan), menentang sistem taqlid buta dan
fanatisme madzhab, untuk kembali ke as-Sunnah. Tentu saja
langkah ini mendapat tantangan keras dari umat Islam
umumnya yang mayoritas berada dibawah ulama-ulama
konserfatif (yang berhaluan madzhab). Menurut faham
mereka, melaksanakan syariat tanpa melalui saluran salah
satu madzhab yang empat, dianggap sebagai
mempermainkan dan merusak syariat itu sendiri. Maka
wajarlah bila mereka memandang wahabi yang dilancarkan
Muhammadiyah ini sebagai bahaya besar dan fitnah dalam
agama.
Mereka tergerak hatinya untuk segera mengadakan
usaha-usaha membendung pengaruh gerakan tersebut,
demi mempertahankan faham yang mereka sebut sebagai
faham ahlussunnah wal jamaah. Untuk keperluan ini pada
tahun 1926 didirikan organisasi sosial yang bernama
Nahdatul Ulama (NU) yang berarti kebangkitan para ulama,
oleh pendirinya K.H. Hasyim Asari, seorang ulama yang
memimpin pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa
Timur. Dengan melalui pondok-pondok pesantren yang
tersebar ditiap-tiap pelosok, organisasi ini dalam waktu
singkat berhasil meraih banyak anggota dari kalangan
masyarakat awam yang sejak lama dicekoki dengan faham
taqlid buta.
Dengan berdirinya NU ini, umat Islam tenggelam dalam
pertentangan sengit antara sesamanya, hanya
memperebutkan masalah-masalah kecil saja. Sedangkan
masalah-masalah besar dari prinsip seperti masalah aqidah,
jihad dan Daulah Islamiyah, mereka lupakan dan mereka
tinggalkan. Pertengkaran-pertengkaran ini akhirnya
meningkat menjadi permusuhan. Orang-orang
muhammadiyah menganggap orang-orang NU sebagai

29
musuh yang telah keluar dari sunnah. Sebaliknya orang-
orang NU menganggap orang-orang muhammadiyah adalah
musuhnya, bukan yang lain. Melihat kenyataan ini, para
pemimping dari kedua belah pihak merasa prihatin. Untuk
itu mereka sepakat untuk mengadakan pertemuan yang
dihadiri oleh utusan-utusan dari kedua belah pihak. Dari
pertemuan yang diadakan di Cirebon itu, menghasilkan
suatu permufakatan, untuk segera membentuk suatu
wadah/federasi yang dapat menampung aspirasi dari kedua
organisasi tersebut. Maka pada tahun 1937 berdirilah Majlis
Islam Ala Indonesia (MIAI). Namun Abi Kusno Cokro Suyoso
yang saat itu menjadi ketua partai dan masih konsisten
dengan sikap hijrahnya, menolak ajakan tersebut. Bahkan ia
balik mengajak untuk bergabung saja ke dalam PSII, karena
menurut pendirinya, PSII-lah yang berhak disebut al-
jamaaah, dan yang paling awal berdirinya dan yang lainnya
adalah firqoh - yang dilarang dalam Islam. Tetapi setelah
kelompok Abi Kusno berputar haluan, dari hijrah ke
parlementer, dan setelah ia bergabug kepada GAPI, ajakan
MIAI yang dulu ditolaknya sekarang diterima dengan kedua
belah tangan terbuka. Dengan motif untuk menciptakan
wahdatul ummah. Maka pada tahun 1939 Abi Kusno resmi
bergabung dengan MIAI, berarti PSII parlementer dan GAPI-
nya. Dengan demikian MIAI menjadi satu-satunya wadah
perjuangan politik umat Islam yang berhaluan parlementer.
Karena konsisten dengan sikap hijrahnya, tidak terdapat
tanda-tanda bahwa S.M. Kartosoewirjo beserta PSII
keduanya mempertimbangkan kemungkinan masuk kedalam
MIAI. Sebab menurut pendapatnya betapapun besarnya
persatuan umat Islam, kalau tanpa hijrah, maka tidak akan
ada harganya sama sekali dalam perjuangan Islam.

2. Masa Pendudukan Jepang dan Berdirinya BPUPKI


Hindia Belanda terlibat dalam perang Asia Pasific segera
setelah serangan udara Jepang terhadap Pearl Harbour
tanggal 8 Desember 1941. Segera setelah mendengar berita
tentang serangan itu dan pernyataan perang jepang
terhadap Amerika dan Inggris, pemerintah Belanda dalam
pengasingan London menyatakan perang terhadap Jepang.
Pernyataan itu diasampaikan kepada Menteri Luar Negeri
Jepang tanggal 10 Desember 1941. Pasukan Jepang
memasuki wilayah Hindia Belanda pada awal bulan

30
berikutnya. Tentara Hindia Belanda yang tidak siap ternyata
bukan imbangan pasukan Jepang, maka pasukan Hindia
Belanda pun menyerah pada tanggal 8 Maret 1942
tanpa mampu memberikan perlawanan yang berarti.
Dengan pergantian majikan ini, pada mulanya bangsa
Indonesia terutama yang bergabung dalam MIAI menaruh
harapan pada Jepang akan mengikutsertakan orang
Indonesia turut ambil bagian yang lebih aktif dan memegang
peranan yang lebih menentukan dalam kebijakan politik dan
memperbaiki sosial bangsa Indonesia. Ternyata harapan itu
buyar sama sekali dengan diumumkannya Dekrit Panglima
Militer Jawa (Maklumat no.3) pada tanggal 20 Maret yang
melarang membicarakan dalam bentuk apapun struktur
politik di Indonesia. Dekrit ini dilanjutkan dengan tindakan
keras membekukan dan membubarkan semua organisasi
politik dari semua aliran, baik yang sosialis komunis, yang
nasionalis sekuler, maupun nasionalis Islam. Termasuk
didalamnya MIAI. Barulah mereka tahu bahwa Jepang tidak
lebih baik dari Belanda, bahkan tentara Dai Nipon ini lebih
kejam, lebih licik, lebih sadis tanpa ada pertimbangan
perikemanusiaan lagi. Namun para pemimpin pergerakan
bangsa Indonesia, khususnya tokoh-tokoh MIAI, selalu
berusaha memohon dan mendesak penguasa militer Jepang,
agar diberi hak berkumpul dan berorganisasi, untuk dapat
berkiprah dalam pelayanan sosial masyarakat. Akhirnya
pihak Jepang pun mengabulkan permohononan mereka
untuk mengizinkan kembali organisasi-organisasi yang telah
dibubarkan dengan persyaratan yang ketat dan pengawasan
yang tajam. Maka pada bulan November 1943 atas restu
penguasa didirikanlah organisasi Islam MASYUMI (Majelis
Syura Muslim Indonesia) sebagai penjelmaan MIAI yang
telah dibekukan itu.
Sesungguhnya S.M. Kartosoewirjo dan PSII keduanya pun
pernah dipaksa mengakhiri segala kegiatannya, sebagai
realisasi dari dekrit militer itu. Namun S.M. Kartosoewirjo
yang saat itu mencurahkan segala perhatiannya untuk
mengelola institut Suffah, karena sikap hijrahnya yang
melarang mentaati selain Allah, tidak menghiraukan dekrit
militer tersebut. Dibantu oleh faktor lokasi yang letaknya
agak jauh dari pusat politik dan pemerintahan, yang
memungkinkan lemahnya kontrol dan pengawasan dari
penguasa, S.M. Kartosoewirjo melanjutkanprogram-program

31
Suffahnya tanpa pernah berhenti. Meskipun kadang-kadang
demi untuk mengelabui pengawasan penguasa, dia harus
mengubah siasat dan taktik, misalnya dengan cara
sembunyi-sembunyi atau dengan cara mengurangi jumlah
siswanya dalam setiap angkatan.
Ketika pasang perang beralaih, dimana posisi Jepang
terdesak oleh pihak Sekutu, maka dengan mengharap
memperoleh dukungan bangsa Indonesia dalam usaha
perangnya, Jepang merubah sikapnya terhadap kaum
Nasionalis Indonesia, dengan memperkenankan mereka
mengambil peran yang lebih aktif dalam urusan Negara,
serta kebebasan bergerak yang lebih leluasa. Orang
Indonesia kini diperkenankan membentuk organisasi
bersenjata sendiri, dengan harapan bisa membantu tentara
Jepang dalam menghadapi tentara Sekutu. Pertama-tama
pada bulan Oktober 1943, PETA (Pembela Tanah Air) dan
kemudian pada tahun 1944 dibentuk Hizbullah sebagai
pasukan bersenjata Masyumi. Hal ini dipandang oleh S.M.
Kartosoewirjo sebagai kesempatan baik, untuk
meningkatkan kegiatan Institusi Suffah dari pendidikan biasa
menjadi pusat latihan militer, sehingga siswa-siswa Suffah
nantinya akan menjadi kader-kader mujahid yang militan.
Karena dia sadar betul, bahwa perjuangan Islam tidak
mungkin berhasil tanpa didukung oleh kegiatan senjata
(militer), seperti telah dinyatakan oleh Allah dalam surat Al-
Hadid : 25, bahwa besi yang mengandung kekuatan besar
itu diciptakan untuk mengawal perjuangan Islam.




Artinya : Sesungguhnya kami telah mengutus Rosul-rosul dengan
Al-Bayinah dan kami turunkan beserta mereka Al-Kitab dan Al-
Mizan, agar manusia dapat menegakkan Al-Qistbi (keadilan), dan
kami turunkan pula Al-Hadid yang didalamnya terdapat kekuatan
yang amat dahsyat serta manfaat bagi manusia, agar Allah
menempatkan siapa yang menolong-Nya dan menolong Rosul-Nya
padahal Allah Al-Ghoib (tidak dilihat). Sesungguhnya Allah
Qowiyyun Aziz (maha kuat lagi maha perkasa)

32
Dari kader-kader Suffah inilah kemudian dibentuk keder-
kader gerilyawan Islam yang utama, yaitu Sabilillah dan
Hizbullah yang akan menjadi tentara Islam indonesia
dikemudian hari.
Posisi Jepang semakin hari semakin terdesak dalam perang
melawan Sekutu. Diperkirakan tidak akan bertahan lebih lama
lagi Jepang menduduki daerah jajahannya. Dengan
pertimbangan dari pada Indonesia jatuh ke tangan Sekutu,
lebih baik diserahkan kepada pemimpin nasional negeri itu
sendiri. Maka pada tanggal 1 maret 1945 Panglima tertinggi
Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, sebagai
penegasan dari janji yang pernah disampaikan oleh Perdana
Menteri Koiso pada tanggal 7 September 1944. Untuk
keperluan ini, maka dibentuklah sebuah panitia Penyidik
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, atau biaa disebut BPUPKI
(Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Susunan panitia diumumkan pada tanggal 29 April 1945
terdiri dari 62 orang, dengan Dr. Radjiman Widyodiningrat
sebagai ketuanya.

3. Peranan Umat Islam Masyumi


Panitia Penyelidik ini terdiri dari beberap aliran ideologi
dan agama yang ada di Indonesia. Sosialis Komunis,
Nasionalis Sekuler, Nasionalis Islam. Pihak Islam hanya
menduduki 25 persen saja dalam panitia ini, yakni 15 orang.
Komposisi panitia ini dititikberatkan kepada faktor ideologi.
Oleh karenanya golongan Nasionalis Islam menjadi pihak
mayoritas sehingga sedikitnya bisa mempengaruhi keputusan
dari musyawarah nanti. Disana duduk tokoh-tokoh Islam
terkenal, Abi Kusno Cokro Suyoso, Agus Salim, Sukiman, Mas
Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Hakim, Kahar Muzakir,
Ahmad Sanusi, abdul wahid Hasyim, dan sejumlah tokoh
Islam lainnya, berdampingan dengan tokoh-tokoh sekuler
terkenal seperti Sukarno, Hatta, Yamin dan yang lainnya.
Dalam langka sidangnya Panitian Penyelidik ini, yang
diadakan dua tahap, pertama dari tanggal 29 Mei sampai 1
Juni dan yang kedua berlangsung dari tanggal 10 sampai 16
Juli 1945, terjadi perselisihan pendapat yang tajam yang
menentukan bentuk dan dasar Negara yang akan lahir nanti.
Satu pihak menginginkan dasar kebangsaan, dan pihak lain
menghendaki dasar Islam, sementara pihak lain mengusulkan
dasar sosialis komunis. Setelah diadakan pemungutan suara,

33
ternyata hanya 15 suara saja dari 60 suara yang memilih
dasar Islam, selebinya memilih dasar kebangsaan. Dasar
kebangsaan (Nasionalis Sekuler) ini yang intinya telah
disampaikan oleh Ir. Sukarno dalam pidatonya pada tanggal 1
Juni diakhir sidang pertama BPUPKI, yang kemudian dikenal
dengan Pancasila, itu merupakan suatu Falsafah yang
bersumber dari pikiran Dr. Sun Yat Sen melalui tulisannya
berjudul Shan Min Chui atau The TreePeoples Principles
dan digabung dengan buah pikiran Adolf Baars tentang
sosialisme, ini seperti diakui oleh Sukarno sendiri. Kemudian
untuk memenuhi tuntutan dari pihak Nasionalis Islam agar
dasar kebangsaan itu diwarnai Islam mengingat bangsa
Indonesia mayoritas adalah pemeluk agama Islam, maka
dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari 9 orang. Dari
sidangnya yang diselenggarakan pertengahan bulan Juni
panitia ini berhasil memutuskan suatu kesepakatan yang
akhirnya disebut Piagam Jakarta yang ditandatangani
bersama pada tanggal 22 Juni 1945. Ada sedikit warna Islam
yang tercantum dalam prembule Piagam Jakarta ini, yaitu
kalimat ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi para pemeluknya. Sesungguhnya kalau kita
analisa secara cermat hal ini adalah sesuatu yang tidak
mungkin,mengingat mayoritas panitia didominasi oleh
Nasionalis Sekuler yang seleranya bertentangan dengan
Islam.
Namun golongan Nasionalis Islam cukup merasa puas dengan
hasil ini, mereka tidak perlu lagi merasa curiga dengan sikap
kaum sekuler, yang setiap saat selalu mencari kesempatan
untuk menghapus nilai-nilai Islam dari dasar Negara, dan dari
peri kehidupan bangsa Indonesia, setelah merdeka nanti.
Kemerdekaan yang dijanjikan oleh pihak Jepang adalah
sekitar bulan September yang akan datang, tapi saat itu akan
datang lebih cepat dari rencana, setelah pihak Sekutu
menjatuhkan bom ke Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 8
Agustus 1945. Disusul dengan pernyataan Jepang menyerah
tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945.
Oleh sebab itu, sebelum penguasa Jepang meninggalkan
Indonesia, mereka memanggil anggota-anggota Panitia
Penyelidik untuk cepat bersiap-siap menerima kemerdekaan
sebelum tentara Sekutu masuk ke Indonesia.

34
4. Proklamasi RI yang Sekuler
Maka tiga hari setelah pernyataan menyerah Jepang,
tegasnya tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta atas
nama Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus 1945 Panitia
Persiapan Kemerdekaan yang baru dibentuk segera
bersidang. Panitia persiapan ini dibentuk atas izin Jepang,
terdiri dari 21 orang, dengan Sukarno sebagai ketua dan
Hatta sebagai wakilnya. Kemudian atas usul Sukarno, enam
orang anggota ditambahkan. Sidang panitia kali ini
dimaksudkan akan membahas secara final, tentang dasar
Negara yang telah dirumuskan oleh Panitia Penyelidik, yang
dianggap masih mengambang. Terutama tentang Piagam
Jakarta yang dianggap oleh golongan non-muslim sebagai
tidak adil. Bahkan mereka, yang berasal dari Indonesia bagian
timur mengancam akan memisahkan diri dari RI apabila
Piagam Jakarta tidak dihapus.
Pihak nasionalis Islam yang minoritas hanya empat orang
saja dalam panitian ini, yaitu Kasman Singodimedjo, Teuku
Muhammad Hasan, Ki Bagus Hadikusumo, dan Wahid Hasyim,
dibuat tidak berdaya dalam menghadapi tekanan-tekanan
pihak sekuler yang berusaha untuk menghapus Piagam
Jakarta, yang dianggap penghalang besar bagi tercapainya
cita-cita rendah mereka. Akhirnya setelah dibujuk, dirayu dan
ditekan, keempat orang wakil golongan Islam itu menyerah,
merelakan dihapusnya Piagam Jakarta dan semua kalimat-
kalimat yang bercorak Islami, dari Pembukaan dan Batang
Tubuh Undang-Undang Dasar. Maka pada hari itu juga,
tepatnya jam 13.45 mereka beserta anggota Panitia Persiapan
yang lain, menandatangani Preambule dan Batang Tubuh UUD
yang telah dibersihkan dari nilai-nilai Islam. Maka lahirlah
Republik Indonesia sebagai Negara sekuler murni, yang
menolak hukum-hukum Allah secara keseluruhan. Melalui
sidangnya, yang terakhir kali diselenggarakan pada 22
Agustus. Panitia Persiapan berhasil membentuk struktural
pemerintah yang sebagian besar dikuasai oleh tokoh-tokoh
Sekuler Sosial Komunis, yang menggiring umat Islam bangsa
Indonesia kedalam lumpur kekufuran, kemusyrikan, dan
kemungkaran. Perjuangan Masyumi yang berhaluan
Parlementer ternyata gagal total, hasilnya nol besal. Ini sesuai
ketentuan Allah yang diabadikan Al-Quran, sebagai mana
telah dibahas dalam muqadimah. Bahwa perjuangan Islam

35
dengan jalan kerjasama dalam satu wadah (parlementer)
dengan orang-orang non muslim (Kafir, Musyrik, dan Munafiq)
akan menimbulkan kerugian dan kegagalan serta kemurkaan
Allah semata.

5. Masa Penjajahan Belanda yang Kedua Kali


Setelah Jepang menyerah dan harus segera meninggalkan
Indonesia, maka tentara Sekutu bersiap-siap untuk
mengambil alih Indonesia dari tangan Jepang. Tentara
Sekutu yang diwakili oleh Inggris masuk ke Indonesia
tanggal 29 September 1945 melalui Jakarta dan
Surabaya, dengan maksud segera memulangkan
tentara Jepang ke negaranya sendiri. Namun rakyat
Indonesia terutama Umat Islamnya, yang sedang dilanda
demam kemerdekaan menentang kehadiran negara Sekutu.
Maka pada tanggal 10 November 1945, Bung Tomo
dengan kalimat Allohu Akbar berhasil menggerakkan
umat Islam di Surabaya untuk melawan Sekutu, yang
menjadi marah setelah rakyat menculik dan
membunuh seorang Jendral Sekutu yang bernama
Malaby sehari sebelumnya. Arek-arek Surabaya ternyata
bukan imbangan tenra Sekutu yang telah profesional itu,
mereka pun leluasa di Indonesia. Belanda tidak menyia-
nyiakan kesempatan yang telah ditunggu-tunggu itu, mereka
pun kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara
Sekutu. Setelah pihak Sekutu meninggalkan Indonesia, maka
dengan ambisi kolonialnya, Belanda mencengkramkan kuku
penjajahannya di negeri ini untuk kedua kalinya. Belanda
menuduh bahwa Negara yang diproklamirkan tanggal 17
Agustus itu tidak sah, karena bikinan Jepang yang telah takluk
pada Sekutu. Republik yang masih muda dengan angkatan
perang yang masih lemah itu, ternyata tidak berdaya dalam
menghadapi tentara Belanda yang sudah berpengalaman itu.
Tentara Jepang memang tidak mau menyerahkan
persenjataanya kepada pihak Republik, kecuali yang direbut
rakyat secara paksa yang sudah muak dengan penjajahan,
sebab Jepang takut bila dituduh pihak Sekutu menghidupkan
dan membantu republik, padahal itu bertentangan dengan
penjanjian yang dibuat bersama. Akhirnya, RI yang tidak
mempunyai persenjataan yang banyak ini, hanya dapat
bersikap mengalah saja terhadap tekanan Belanda, meskipun
ada perlawanan gerilya dari satuan-satuan militer, tetapi itu

36
tidak banyak berarti untuk menggoyahkan kekuatan kolonial.
Oleh karena itulah pimpinan republik banyak memilih jalan
diplomasi dari pada kekerasan dalam menghadapi Belanda,
padahal jalan kompromi itulah yang akan mendatangkan
kerugian bahkan kehancuran bagi republik ini di kemudian
hari. Logis memang, RI sebagai pihak yang lemah akan kalah,
Belanda pihak yang kuat dan menang, tentu saja mereka
akan bisa mendikte dan memaksakan setiap kehendaknya
dalam setiap diplomasi dan perundingan.
Pada bulan Maret 1947 diadakanlah perundingan
diantara kedua belah pihak yang terkenal dengan
perjanjian Linggar Jati. Isinya sangat merugikan pihak
Republik, karena Republik hanya diberi wilayah Jawa
dan Sumatera saja, sedangkan wilayah lain yang terhampar
sangat luas dinyatakan sebagai daerah pendudukan. Baru
empat bulan perjanjian itu berlangsung, Belanda telah
membuat pengkhianatan dengan melancarkan agresi
yang pertama, pada bulan Juli tahun itu juga. Mereka
berusaha menguasai Jawa dan Sumatera. Ambisinya bergolak
lagi ingin mengembalikan kejayaannya yang telah dicapainya
pada masa lalu, ingin menguasai kembali bumi nusantara
secara total. Menghadapi agresi militer ini, Republik tidak bisa
berbuat banyak. Akhirnya mereka ditekan oleh Belanda
untuk menandatangani perjanjian baru, yaitu
Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948.
Dengan perjanjian Renville ini akan terlihat jelas bahwa
ternyata pimpinan Republik ini terdiri dari para pengecut yang
tidak memiliki harga diri dan mengabaikan tanggung jawab
sama sekali. Pimpinan RI sampai hati menyerahkan sebagian
rakyat dan wilayah Indonesia kepada pihak penjajah, untuk
ditindas dan diperas, sebab isi perjanjian Renville ini
diantaranya adalah:
1. Wilayah RI hanya Yogya dan sekitarnya yang terdiri dari
tujuh (7) karesidenan, yang biasa disebut daerah
demarkasi Van Mook.
2. Ibukota RI harus pindah dari Jakarta ke Yogyakarta
3. Seluruh kesatuan-kesatuan TNI dan gerilya lainnya harus
ditarik dari kantong-kantongnya untuk menuju
Yogyakarta.
Akibat dari naskah Renville itu, maka RI harus
memboyong seluruh aparatur pemerintahannya dan
perlengkapan administrasi Negara dari Jakarta ke Yogyakarta,

37
juga menarik seluruh satuan-satuan gerilyanya dari berbagai
daerah untuk berhimpun di Yogyakarta. Dalam hal ini
termasuk divisi Siliwangi yang menguasai Jawa Barat, harus
meninggalkan daerah dan rakyatnya. Secara logika dengan
tindakan ini berarti, Siliwangi telah menghianati rakyat Jawa
Barat yang mayoritas muslim, dengan menyerahkannya
kedalam cengkraman kaum penjajah yang ganas dan kejam.
Sementara Siliwangi sendiri menyelamatkan diri ke
Yogyakarta. Padahal sudah cukup besar jasa dan bantuan
yang diberikan oleh rakyat Jawa Barat terhadap pertumbuhan
dan kehidupan Siliwangi.
Setelah pimpinan pemerintah Republik dan satuan-satuan
tentaranya berkumpul di Yogyakarta, timbul rasa was-was dan
khawatir mencengkram jiwa mereka. Was-was dan khawatir
terhadapkemungkinan Belanda pada suatu saat nanti akan
mengepung dan menyerang mereka. Karena memang
Belanda sudah tidak bisa dipercaya lagi untuk teguh
memegang janji, sebagaimana tindakannya dalam agresi
militer pertama yang mengkhianati perjanjian Linggar Jati.
Untuk menghadapi kemungkinan itu, maka Dewan Siasat
Militer yang diketuai oleh Sukarno-Hatta, yang beranggotakan
antara lain: Jenderal Sudirman, A.H. Nasution, T.B.
Simatupang, mengadakan musyawarah yang memutuskan
untuk bergerilya mengadakan perlawanan dengan sekuat
tenaga. Bahkan untuk Sukarno-Hatta telah disiapkan
tempatnya di daerah Galuh Yogyakarta. Keputusan untuk
bergerilya ini dikuatkan pula dengan adanya pertemuan yang
dihadiri Hamengkubuwono IX, Sudirman, dan Sukarno-hatta,
pada bulan Mei 1948 yang memutuskan bahwa, apabila
Belanda melancarkan serangan ke pusat pemerintahan
Republik di Yoyakarta.
Perkiraan itupun akhirnya menjadi kenyataan. Menjelang
shubuh, ahad 19 Desember 1948, pasukan khusus
Belanda menduduki lapangan udara Manguwo, yang
sekarang bernama Adi Sucipto. Dan beberapa jam
kemudian, ibukota negara , Yogya diduduki Belanda.
Sukarno dan Hatta sebagai pimpinan negara menjadi kecut
dan panik menghadapi kenyataan tersebut. Tekadnya
melawan dan gerilya serta semangat pantang mundur yang
telah diumumkan dihadapan para pemimpin militer menjadi
luntur ditelan sikap kepengecutan yang memalukan. Sukarno
merasa ragu dengan kekuatan militernya untuk mampu

38
menjamin keselamatannya dalam bergerilya, juga mentalnya
belum siap menhadapi penderitaan hidup di hutan belantara.
Maka dalam sidang di gedung Agung Yogyakarta, Sukarno
memutuskan untuk menyerah saja dan tidak memilih jalan
gerilya. Berkibarlah bendera putih menggantikan sang dwi
warna, sebagai tanda menyerah tanpa syarat kepada pihak
penjajah Belanda. Sukarno-Hatta pun segera ditangkap
beserta ketua KNIP dan beberapa menteri kabinet. Pimpinan
militer jadi kecewa dengan perubahan Sukarno-Hatta yang
secara tidak langsung telah meremehkan pihak militer,
apalagi dengan pernyataan menyerah yang berarti
menyerahkan negeri dan rakyatnya kepada pihak penjajah,
sekaligus menghancurkan nilai-nilai proklamasi 45. Dalam
kekecewaannya ini, Sudirman walau dalam keadaan sakit,
memimpin pasukannya untuk meninggalkan Yogya dan
bergerilya di hutan-hutan. Namun tidak banyak yang dapat
diperbuat oleh pasukan gerilya ini, karena terbentur oleh
beberapa faktor antara lain:
Pengkhianatan pihak sipil yang tidak konsekuen dengan
sikap dan strategi yang telah diputuskan bersama.
Sakitnya Jenderal Sudirman yang semakin parah sehingga
sebagai panglima ia tidak dapat menyusun strategi yang
akurat.
Perlengkapan dan kemampuan militer yang masih
sanagat lemah.
Kalau toh sekarang ada tambahan sejarah tentang
serangan umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Suharto,
sehingga bisa menguasai Yogya selama enam jam, ini perlu
dicek kebenarannya. Sebab sebelum Suharto menjadi
presiden, peristiwa itu belum pernah terdengar dan tercatat
dalam sejarah. Memang dengan kekuasaan, sejarah itu bisa
diubah dan diputarbalikkan menurut selera penguasa.
Dengan peristiwa 19 Desember 1948 pengamat sejarah
yang jujur akan mencatat dan menilai jatuhnya Republik
sebagai suatu Negara baik secara de facto maupun de jure.
De jure karena dengan berkibarnya bendera putih tanda
menyerah, jatuhlah martabatnya sebagai Negara. Lalu
Indonesia mengalami masa vacum, tidak ada pemerintahan
yang sah. Tiga hari kemudian, tepatnya tanggal 22 Desember
1948 dari Bukit Tinggi Sumatera Barat terdengar
pengumuman terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Syafrudin Prawiranegara

39
sebagai presiden sekaligus merangkap menteri pertahanan.
Perlu diingat, sesuai dengan pengakuan Syafrudin sendiri
(wawancara majalah tempo no. 43 thn XV 21 Desember 1985)
bahwa, PDRI dibentuk atas dasar inisiatif sendiri beserta
kawan-kawan. Bukan atas mandat Sukarno baik hitam diatas
putih maupun secara lisan. Jadi Sukarno benar-benar
menyerah seratus persen kepada Belanda kala itu, tanpa
memedulikan jerih payah rakyat Indonesia yang telah
mengorbankan jiwa raganya untuk mempertahankan
kemerdekaan. Hal yang sangat mengecewakan Mr. Syarifudin.
Kekecewaannya bertambah, segera setelah diketahui bahwa
Sukarno tidak memedulikan bahkan meremehkan PDRI. Ini
terbukti setelah Sukarno memberikan mandat kepada Moh.
Roem untuk berunding dengan Van Royen dari Belanda, tanpa
sepengetahuan apalagi persetujuan PDRI. Padahal baik de
facto maupun de jure Sukarno bukanlah presiden lagi.
Perundingan Roem-Royen pun berlangsung dan
ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 yang intinya
antara lain : Belanda segera menarik pasukkannya dari
Yogya, karena republik sudah bersedia menjadi Negara
boneka semacam Negara Pasundan dan yang lainnya.
Selanjutnya para pemimpin Republik yang ditawan segera
dikeluarkan karena sudah siap menjadi aparat (kaki tangan)
pemerintah kolonial Belanda, untuk memeras dan menindas
rakyatbangsa Indonesia terutama umat Islam.
Untuk pengaturan teknis dan administrasinya sebagai
Negara Boneka, akan segera dibicarakan pada sidang
KMB (Konferensi Meja Bundar) yang akan
diselenggarakan di Den Haag pada bulan September
mendatang. PDRI tidak berdaya menghadapikenyataan ini,
karena memanglah pengaruh Sukarno yang licik dan lihai dan
mempunyai bakat orator sehingga mampu mempengaruhi
banyak pihak terutama masa rakyat. Mr. Syarifuddin kembali
ke Yogya dan menyerahkan mandat kepada Sukarno setelah
keluar dari tahanan. Dengan demikian tamatlah riwayat PDRI
dan tamat pula riwayat RI sebagai negara merdeka telah
berubah menjadi Negara Boneka kolonia, dimasukkan ke
dalam kebun binatang modern, diikat dan dikurung.

40
BAB IV
PROSES BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA (NII)

1. Sikap S.M. Kartosoewirjo Terhadap Perjuangan


Nasional
Tidak ada tanda-tanda S.M. Kartosoewirjo terlibat dalam
pergerakan nasional menjelang kemerdekaan yang
diprakarsai Jepang. Sikap hijrahnya mendarah daging,
membuatnya tidak berminat sama sekali untuk ikut
bergabung dengan MIAI yang kemudian atas campur tangan
Jepang, berubah menjadi Masyumi untuk menjadi anggota
BPUPKI, yang dibentuk atas restu dan prakarsa Jepang. Sebab
menurut pendiriannya, BPUPKI adalah salah satu wadah yang
berfungsi untuk mencampuradukkkan haq dan bathil. Disana
duduk tokoh-tokoh muslim dan non-muslim yang terdiri dari
kelompok sekuler dan sosialis komunis. Bahkan golongan
yang kedua ini menduduki posisi mayoritas dalam komposisi
panitia penyelidik tersebut. Sudah barang tentu dari
sidangnya nanti akan menghasilkan suatu ideologi campuran
dan Undang-undang dasar campuran, yaitu dasar Islam dan
non-Islam (jahiliyah), atau mungkin tidak ada warna Islamnya
sama sekali. S.M. Kartosoewirjo yang melihat gerakan politik
nasionalis Muslim yang berhaluan parlementer ini dengan
kacamata wahyu, meyakini bahwa, akhirnya mereka akan
gagal dan masuk perangkap kaum sekuler yang lihai dan licik
(kaum munafikin). Sebagaimana telah digariskan Allah dalam
Al-Quran dibeberapa surat dan ayat yang telah dibahas di
muqaddimah dalam artikel ini.
Dan keyakinan ini akhirnya menjadi kenyataan, tatkala
pada 17 Agustus 1945, dikumandangkan Proklamasi
Kemerdekaan RI, tanpa ada warna Islam sama sekali. Sebab
sehari kemudian, Piagam Jakarta yang diandalkan sebagai
pengawal pancasila dan UUD 45 untuk menuju Islam dihapus
oleh panitia persiapan. Disusul dengan dibentuknya struktral
pemerintah yang didominasi oleh golongan sekuler. Saat itu
pihak Masyumi (Nasionalis Muslim) benar-benar masuk kotak.
Melihat kenyataan ini S.M. Kartosoewirjo tergerak hatinya
untuk mendekati tokoh-tokoh Masyumi, terutama dari
golongan generasi mudanya dengan harapan mereka dapat
mengambil ibroh dari kegagalannya itu dan kemudian mau
kembali pada khittoh perjuangan Islam yang benar yang
telah dijabarkan dalam As-Sunnah, yaitu garis-garis hijrah dan

41
jihad. Kemudian dengan bersama-sama dengan K.H. Wahid
Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Mukti, DR. Sukiman,
S.M. Kartosoewirjo ikut membentuk Masyumi Baru pada
November 1945. Dalam organisasi ini, yang akhirnya menjadi
partai politik, S.M. Kartosoewirjo menduduki jabatan
sekretaris Umum sementara jabatan ketua dipegang oleh DR.
Sukiman.
Masyumi baru ini dimaksudkan untuk mengganti
Masyumi Lama yang dibentuk pada masa Jepang dan
diharapkan akan menjadi satu-satunya wadah politik dan
perjuangan bagi semua kelompok Islam. Anggaplah ini
merupakan salah satu usaha untuk menciptakan wahdatul
ummah (kesatuan ummat Islam) guna menghadapi kekuatan
golongan sekuler dan sosialis komunis. S.M. Kartosuwiyo
selaku sekretaris umum berusaha membawa Masyumi Baru
ini ke garis Hijrah, melepaskan ikatan dengan Republik yang
telah dikuasai pihak sekuler. Sehingga akan tampak jelas
bahwa Masyumi berjalan diatas garis perjuangan Islam ,
sementara mereka telah terlibat dalam perjuangan yang
bercorak kebangsaan (ashobiyyah) yang tidak dibenarkan
oleh Islam. Padahal kalau tokoh-tokoh Islam ini mau berdiri
sendiri tanpa bergantung pada lembaga sekuler, mereka
cukup mempunyai potensi yang besar karena memang
mayoritas masyarakat indonesia adalah muslim. Disamping
itu mereka juga mempunyai kekuatan militer yang cukup
besar, yaitu Hizbullah dan Sabilillah.
Inilah rupanya yang menjadi sasaran S.M. Kartosoewirjo
yang telah merangkul orang-orang Masyumi untuk
menghimpun seluruh kekuatan ummat Islam demi
menegakkan Daulah Islamiyah. Sukarno yang Presiden RI,
melihat Masyumi baru ini sebagai suatu ancaman yang
berbahaya bagi keutuhan Republik. Maka Sukarno berusaha
merangkul mereka untuk ikut duduk dalam kursi kabinet,
tentu saja kursi yang tidak terlalu memegang peranan.
Termasuk S.M. Kartosoewirjo pun melalui P.M. amir Syarifudin
pernah ditawari kursi wakil menteri pertahanan. Namun,
tawaran itu ditolak S.M. Kartosoewirjo melalui sepucuk surat
yang disampaikan kepada Sukarno. Sikap hijrah pula yang
mendasari penolakan S.M. Kartosoewirjo tersebut. Tetapi
tokoh-tokoh Masyumi lainnya seperti Syarifuddin
Prawiranegara, Moh. Roem dan yang lain-lain menerima

42
tawaran tersebut dan duduklah mereka dalam kabinet
Republik.
S.M. Kartosoewirjo merasa kecewa dengan sikap tokoh-
tokoh masyumi ini yang masih mau mengikatkan diri kepada
lembaga sekuler. Ternyata darah nasional mereka lebih besar
daripada darah Islamnya sehingga tidak bisa ditarik ke garis
Islam sebenarnya. Akhirnya, S.M. Kartosoewirjo mengambil
keputusan untuk menjauhi Masyumi kembali ke Malangbong.
Dengan tetap memegang jabatan sekretaris umum dan
komisaris Masyumi Jawa Barat, beliau mengalihkan
perhatiannya dan menyusun kembali pasukan gerilya Islam
didaerah ini.
Pada tahun 1957 S.M. Kartosoewirjo mendirikan
Dewan Pertahanan Oemat Islam (DPOEI) di garut dan
Majelis Pertahanan Oemat Islam (MPOEI) di Tasik
malaya atas nama Masyumi. Kedua organisasi ini
direncanakan untuk memperdalam dan mengkoordinasi
perjuangan ummat Islam (masyarakat Islam) untuk melawan
Belanda. Organisasi perjuangan gerilya dirasakan sangat
perlu, mengingat keadaan. Dalam tiga minggu sesudah
Belanda mengadakan aksi militer besarnya, apa yang disebut
aksi polisionil pertama, dan menduduki kota-kota utama di
Priangan, seperti Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.

Dengan kedua organisasi ini, S.M. Kartosoewirjo berusaha


memurnikan perjuangan Islam, dengan menarik semua
kesatuan-kesatuan yang terdiri dari Sabilillah, Hizbulloh, dan
gerakan pemuda Islam Indonesia (GPII) yang selama ini telah
bergabung ke dalam organisasi nasionalis dan sekuler, yang
diprakarsai oleh Sanusi Harjadinata, wakil presiden Priangan
yang bernama Perjuangan Pembelaan Nasional (PPN) yang
merupakan federasi semua partai politik dan organisasi
gerilya yang beroperasi di Priangan. Selain organisasi Islam,
juga masuk ke dalam federasi ini ogranisasi-organisasi lain
seperti PKI, PNI, Parkindo, Bobsi, dan BTI. Dengan usaha S.M.
Kartoseowirjo tersebut, maka kekuatan Islam berada dalam
kubu tesendiri, terpisah dari kekuatan non Islam (sekuler dan
komunis). Tampaklah dengan jelas, mana sabilillah (jalan
Alloh) dan mana sabilith thogut (jalan setan).

43
2. Pembentukan TII dan Majlis Islam (MI)
Akibat persetujuan Renville yang ditandatangani pada
bulan Januari 1948, maka seluruh kekuatan republik ditarik
dari kantong-kantong gerilya, untuk berhimpun di Yogya.
Termasuk divisi Siliwangi yang menguasai Jawa Barat pun
ditarik. Jawa Barat menjadi kosong tidak ada yang melindungi
dan menjaga rakyatnya. Belanda sudah siap mengambil alih,
untuk menancapkan kuku penjajahannya kembali.
Menghadapi saat kritis, di Jawa Barat ini, S.M. Kartosoerwirjo
yang memimpin MPOEI san DPOEI yang tidak tertarik dengan
republik segera mengadakan pembicaraan dengan pimpinan
Hizbullah dan Sabilillah, termsuk Oni Qital, yang saat itu
menjadi komandan sabilillah di daerah Peuteuy Tunggal
sekitar Tasikmalaya, guna menjawab (membahas)
kegentingan situasi politik dan militer dewasa ini. Mereka
bersepakat, pasukan-pasukan Islam harus diberada di Jawa
Barat, (tidak perlu ikut berhimpun di Yogya), demi
mempertahankan dan melindungi rakyat Jawa Barat yang
mayoritas muslim dari cengkraman Belanda. Mereka pun
bersepakat perlu mengadakan pertemuan yang lebih luas dan
lebih lengkap lagi guna mengatur strategi dan siasat dalam
menghadapi situasi yang selalu berubah. Pertemuan tersebut
harus dihadiri oleh wakil-wakil umat Islam di Jawa Barat.
Pertemuan itu akhirnya diadakan pada tanggal 10-
12 Februari 1948 di desa Pangwedusan, kecamatan
Cisayong dalam daerah Segitiga Malangbong-Garut-
Tasikmalaya. Hadir para pemimpin organisasi Islam, GPII,
serta pemimpin Hizbulloh dan Sabilillah.
Keputusan terpenting yang diambil dalam konfrensi
Cisayong ini antara lain:
a. Merubah ideologi Islam dalam bentuk kepartaian menjadi
bentuk kenegaraan yang konkrit,
b. Membekukan Masyumi Jawa Barat,
c. Membentuk Majlis Islam (MI) sebagai pemerintahan Islam
sementara di Jawa Barat, maka seluruh organisasi Islam
harus bergabung ke dalamnya, dan,
d. Mebentuk tentara Islam Indonesia (TII) yang merupakan
peleburan dari Hizbulloh dan Sabilillah.

Untuk memimpin TII ini diangkatlah Raden Rohani Qital


(R. Oni Qital) sebagai Panglima dengan tugas merencanakan

44
sesuatu struktur yang konkrit bagi TII. Mula-mula TII yang
berjumlah lebih
Batalyon I dipimpin oleh Ahmad Sungkawa
Batalyon II Sapujagat dipimpin oleh Zainal Abidin
Batalyon III Halilintar oleh Nur Lubis
Batalyon IV dipimpin oleh Adah Jaelani Tirtapraja
Komandan Resimen dipegang oleh Oni Qital sendiri.
Batalyon Nur Lubis bertugas di daerah kecamatan Cikoneng
dan Cihaurbeuti, sebagai daerah pemodal pertama bagi NII.
Selain TII, dibentuk pula korps-korps khusus seperti PADI
(Pahlawan Darul Islam) dan BARIS (Barisan Rakyat Islam).
Untuk mengetahui keadaan musuh, baik kekuatan maupun
kelemahannya, dibentuklah pasukan Polisi Rahasia (Intelejen)
yang bernama Mahdiyyin, yang berarti terpimpin secara
benar. Semua pasukan-pasukan khusus ini langsung dipimpin
oleh Oni Qital sebagai Amirul Jaisy (Kepala Tentara).
Pada akhir konferensi Cisayong, juga dibahas tentang
pentingnya mengangkat seorang imam, yang merupakan
syarat utama dalam melaksanakan syariat Islam. Ada dua
sistem yang digunakan dalam pemilihan ini, yaitu
musyawarah dan istikoroh (memohon petunjuk dari Alloh,
dengan sholat dua rakaat). Akhirnya para peserta yang tidak
kurang dari seribu ulama (pimpinan-pimpinan Islam) sepakat
untuk memilih S.M. Kartosoewirjo sebagai imam. Ternyata
shuroh (gambaran) yang ditunjukan Allah, seperti yang diakui
oleh Ustadz H. Masduki, salah seorang peserta konferensi,
adalah gambaran S.M. Kartosoewirjo. Kedua, memohon
petunjuk Allah mengenai apakah orang yang ditunjuk Alloh
pada tahap pertama istikoroh termasuk orang yang ikhlas.
Jawabannya adalah kalimat:

Yang artinya: termasuk golongan orang-orang yang ikhlas.


Dengan tidak ada keraguan, seluruh ulama yang hadir
sepakat untuk memilih dan mengangkat S.M. Kartosoewirjo
sebagai imam untuk ummat Islam di Jawa Barat dan
akhirnya untuk seluruh Indonesia. Jadi jelaslah bahwa
tampilnya S.M. Kartosoewirjo sebagai imam, bukan karena
ambisi pribadi sebagaimana yang dituduhkan orang-orang
sekuler (kafir, munafik), karena beliau pun menyadari betapa
berat tanggungjawab seorang pemimpin di dalam Islam.
Kalau toh diperbolehkan menolak, tentu beliau lebih suka
menolak kemudian memilih orang lain. Tetapi dalam Islam,

45
tidak ada kamus menolak tugas (amanat) dalam rangka
penegakan hukum Alloh, kecuali harus menjawab aku dengar
aku taat, sebagai mana termaktub dalam Al-Quran surah An-
Nur ayat 51:

Artinya: pernyataan orang-orang yang beriman jika diseru


kepada Alloh dan rasulnya untuk ditetapkan hukum diantara
mereka, hanyala berkata, kami mendengar dan kami taat.
Merekalah orang-orang yang fallah.

Kemudian, S.M. Kartosoewirjo selaku imam, berusaha


menyempurnakan struktur dan administrasi lembaga MI
sebagai persiapan lahirnya NII. Pada suatu konferensi
yang diadakan di Cijoho, desa Pasir Tamiyang,
Kecamatan Cihaurbeuti - Ciamis, tanggal 1 Mei 1948,
telah disusun sebuah rancangan konstitusi yang
disebut Qanun Asasi serta dibentuk Dewan Imamah
(Dewan Kabinet) dan Dewan Fatwa (Dewan
Penasehat). Di dalam Qanun Asasi antara lain ditegaskan
bahwa, NII adalah sebuah negara berbentuk jumhuriyah
(republik Islam) yang dipimpin oleh seorang imam. Hukum
yang tertinggi yang pertama, dibentuk pada saat ini adalah
sebagai berikut:
1. Imam merangkap kuasa usaha
(Ketua Majlis Luar Negeri) : S.M.
Kartosoewirjo
2. Ketua Majlis Pertahanan : Kamran Hidayatulloh
3. Wakil Ketua Majlis Pertahanan : R. Oni Qital
4. Ketua Majlis Keuangan : Sanusi
Partawijaya
Chodimuddin
5. Ketua Majlis Dalam Negeri : Sanusi
Partawijaya
6. Ketua Majlis Penerangan : Toha Arsyad
Susunan dewan imamah ini lebih disempurnakan lagi pada
konferensi-konferensi selanjutnya, terutama setelah
proklamasi NII akan tampak lebih lengkap dan lebih
sempurna.

46
Langkah-langkah S.M. Kartosoewirjo seperti ini tentu saja
bertentangan dengan tokoh-tokoh Masyumi yang telah
melibatkan diri dengan republik sekuler, dan otomatis terikat
dengan perjanjian Renville, yang mengharuskan mereka
berpindah ke Yogya. Mulai saat itulah S.M. Kartosoewirjo
secara resmi memisahkan diri dari Masyumi.

3. Tindakan Belanda Terhadap TII


Setelah pasukan Siliwangi meninggalkan Jawa Barat,
Belanda segera mempersiapkan diri untuk masuk ke seluruh
pelosok Jawa Barat guna menancapkan kuku-kuku
penjajahannya kembali. Namun langkahnya terhenti setelah
mengetahui masih adanya satuan-satuan gerilya yang tidak
mematuhi perjanjian Renville itu, yang kemudian
mengkoordinasikan diri menjadi tentari Islam Indonesia.
Belanda menghubungi Jenderal Sudirman sebagai
penanggung jawab perjanjian Renville untuk segera
memerintahkan satuan gerilya yang masih ada di Jawa Barat
untuk mengosongkan daerah itu. Sudirman mengirimkan
utusannya, Sutoko untuk memerintahkan atau membujuk
S.M. Kartosoewirjo berserta TII nya untuk segera
meninggalkan Jawa Barat. Tapi S.M. Kartosoewirjo yang
merasa tidak terikat dengan republik, apalagi dengan
perjanjian Renville menolak perintah itu. Dengan tegas beliau
mengatakan: ..... apapun resiko yang terjadi, kami akan
tetap mempertahankan Jawa Barat, dan melindungi rakyatnya
yang mayoritas Muslim. Lebih baik mati berkalang tanah
menjadi syuhada daripada harus tunduk kepada penjajah, dan
menyerahkan umat Islam Jawa Barat ke dalam cengkraman
mereka. Begitu tinggi sifat kesatria S.M. Kartosoewirjo dalam
usaha melindungi umat, tidak seperti pemimpin republik
hanya mementingkan keselamatan dirinya tanpa
menghiraukan nasib rakyatnya yang akan segera di tindas
dan dijajah kembali oleh Belanda.
Setelah mengetahui usaha Sudirman untuk membujuk
S.M. Kartosoewirjo dan TII nya gagal, Belanda segera
mengerahkan pasukannnya untuk menyerang posisi-posisi
tentara Islam . Pada tanggal 17 Februari, baru saja enam hari
dibentuknya TII, Belanda dengan kekuatan empat batalyon
infantri yang bersenjata lengkap menyerang markas TII yang
berada di daerah gunung Cupu, meliputi dua kecamatan,
yaitu Cikoneng dan Cihaurbeuti. Belanda masuk di arah

47
Tasikmalaya di pinggir sungai Citanduy. Sedangkan pihak TII
dari arah gunung Cupu pinggir sungai Citanduy. Tentara Islam
terdiri dari satu batalyon III Halilintar dibawah pimpinan
mayor M. Nur Lubis, ditambah dengan satu peleton daro
batalyon IV Arsyad dengan komandan batalyon mayor Adah
Djaelani, Resimen XII Cirebon dibawah pimpinan Agus
Abdulloh dengan komandan batalyon VIII Abdul Hanan.
Batalyon III mengambil posisi di Cikoneng menghadap ke
Tasikmalaya, sedangkan Batalyon IV Arsyad di Cihaurbeuti
menghadapi Rajapolah dan Indihiang. Persenjataan hanya
tujuh belas pucuk senjata api saja. Oni Qital yang kebetulan
ada disitu, langsung memegang komandan taktis, maka
berhadapanlah dua pasukan dari dua kekuatan yang sangat
berbeda ideologi dan tujuannya. Yang pertama, pasukan Islam
yang berdiri tegak diatas landasan aqidah dalam rangka
mempertahankan, menegakan dienullah, dengan mengharap
ridho Alloh semata. Mereka mencintai kebahagian ukhrowi
yaitu jannah dan mereka juga mencintai mati sebagai
syuhada. Karena tanpa mati dalam jihad, tak mungkin akan
bertemu dengan jannah. Dengan ini mereka mempunyai
kekuatan jiwa yang besar, dan mental yang kokoh. Sedikitnya
senjata mereka dan besaranya persenjataan musuh tidak
mempengaruhi jiwa mereka, bahkan iman mereka semakin
mantap dan semakin besar kepasrahan terhadap Alloh.
Mereka hanya menungu satu diantara dua kebaikan, terbunuh
menjadi syuhada, atau pun hidup dalam kemenangan dan
kemuliaan. Sementara pihak lawan adalah pasukan kafir yang
berdiri atas fasalfah (idiologi yang rapuh). Motivasinya adalah
hawa nafsu yang penuh dengan kepalsuan. Orientasi duniawi,
oleh karena itu mereka cinta dunia dan pasti takut mati.
Kekuatan persenjataan tanpa didukung oleh kekuatan jiwa,
tidak berarti.
Pertempuran tidak bisa dielakan lagi, karena memang
tidak ada kompromi dan diplomasi bagi tentara Islam.
Belanda memulai serangannya dengan gencar dan membabi
buta, menggunakan senjata otomatis dan senjata berat
lainnya. Tatara Islam tidak menjadi kecut dan kecil hati,
dengan penuh ketenangan dan kewaspadaan mereka
mengatur siasah. Menyadari persenjataan yang relatif sedikit
dan peluru yang sangat terbatas, maka mereka berusaha
menggunakan seefisien mungkin. Mereka tidak menembak
kalau tidak tepat mengenai sasaran. Kemudian penguasa

48
medan yang sangat baik sampai ke detailnya memberi
keuntungan besar bagi tentara Islam. Alloh Maha Benar untuk
menepati janji-Nya memeberi pertolongan kepada tentaranya
yang ada di bumi (TII) dengan menurunkan tentara-Nya yang
ada di langit (malaikat) dan menunjukan ajaran (siasat) dalam
menghadapi musuh-musuh-Nya sesuai dengan firman Alloh
dalam surat Al-Anfaal ayat 9:

Artinya: tatkala kalian melakukan istighosah kepada robb


kalian, maka Dia menjawab kepada kalian, sesungguhnya
Aku membantu kalian dengan seribu malaikat yang
diturunkan secara berombong-rombongan.

Dengan keberanian yang luar biasa, satu pasukan TII


berhasil menguasai posisi strategis yang menjadi titik
kelemahan pasuskan Belanda. Kemudian mereka
melancarkan tembakan-tembakan yang tepat pada sasaran-
sasaran vital. Tentara Belanda terkejut, mereka panik
mendapatkan serangan dari arah yang tidak diduga-duga.
Mereka seperti melihat kekuatan baru pada tentara Islam
yang jumlahnya seolah-olah lebih besar dari jumlah mereka
sendiri. Menurut penglihatan mata mereka. Ini lah mungkin
yang digambarkan Alloh dalam surat Ali Imran ayat 13, yang
berbunyi:




Artinya: sesungguhnya telah ada bagi kalian ayat dalam
dua kelompok yang saling berhadapan satu kelompok
berperan fisabilillah dan lainnya kufur yang melihat dengan
mata dan kepala mereka sendiri jumlah fisabilillah dua kali
jumlah mereka. Dan Alloh menguatkan dengan
pertolongannya siapa-siapa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian benar-benar terdapat
ibroh bagi ulil albab.
Posisi tentara Belanda menjadi porak poranda, mereka
jatuh mental, jiwanya dicekam oleh perasaan takut mati,
ngeri melihat mayat-mayat kawannya yang mulai berjatuhan.

49
Tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri. Pertempuran
berhenti setelah berlangsung selama satu hari penuh.
Kemanangan mutlak ditangan tentara Islam yang telah
berhasil menewaskan puluhan pasukan Belanda dan
merampas senjata sebanyak 57 pucuk. Kini jumlah senjata
tentara Islam menjadi 70 pucuk. Alhamdulillah. Mereka
memanjatkan syukur kehadirat Alloh swt yang telah berkenan
memberikan pertolongan dan karunia-Nya kepada mereka.
Imam S.M. Kartosoewirjo pada saat itu tidak ada di fron,
beliau sedang sibuk melanjutkan musyawarah dengan tokoh-
tokoh MI lainnya dalam menyusun dan menyempurnakan
struktur pemerintahan Majlis Islam, yang kemudian
dilanjutkan dengan konferensi Cijoho dan Cipeundeuy. Beliau
telah memberikan mandat kepada Oni Qital sebagai panglima
TII soal itu, untuk mengatur taktik dan strategi dalam
menghadapi serangan Belanda. Dengan pertimbangan,
mungkin Belanda akan melancarkan serangan besar-besaran
untuk membalas kekalahannya, maka Oni Qital yang
merangkap sebagai komandan Resimen menyusun kekuatan
baru dengan cara mengkonsentrasikan semua pasukan yang
ada di luar front. Batalyon pak Danu dengan membawa dua
buah brand ditambah satu brand dari pasukan Zainal Abidin
yang bermarkas di daerah Garut. Daerah Gunung Cupu yang
meliputi kecamatan Cikoneng dan Cihaurbeuti merupakan
daerah de facto Majlis Islam. Kecamatan Cikoneng dengan
penduduk berjumlah 53 ribu, dipimpin ustadz Masduki yang
bertindak sebagai camat dan komandan Pertahanan
Kecamatan. Sementara kecamatan Cihaurbeuti dengan
jumlah penduduk 43 ribu dipimpin oleh H. Jazuli.
Dua kecamatan ini kemudian dijadikan front pertahanan
utama. Yang didukung oleh batalyon TII. Dengan persenjataan
3 buah brand dan sekitar 170 pucuk senjata biasa. Untuk
beberapa bulan Belanda tidak masuk daerah ini, bahkan
mereka memasang pengumuman bahwa daerah ini adalah
daerah bahaya.
Sekitar 1 Juni 1948, barulah Belanda bisa mengerahkan
pasukannya secara besar-besaran untuk tindakan balas
dendam, setelah mengadakan persiapan matang selama tiga
bulan lebih. Dengan mengerahkan pasukan yang tidak kurang
14 batalyon yang diperkuat dengan tank baja serta dukungan
angkatan udara, Belanda bermaksud mengepung dan
menghancurkan daerah gunung Cupu, sebagai basis

50
pertahanan TII. Jenderal Sepoor yang menjabat gubernur
militer sekaligus pucuk pimpinan tertinggi memerintahan
kolonial di Indonesia memimpin langsung pasukan ini.
Belanda sebagai kekuatan nasrani (kafir) sangat benci
terhadap gerakan-gerakan Islam. Oleh karenanya mereka
ingin sekali menghancurkan dengan tuntas dengan waktu
sesingkat mungkin. Mereka merencanakan untuk masuk dan
mengepung daerah pertahanan gunung Cupu dari segala
arah, kemudian membombardir dengan meriam dan kanon.
Ternyata usaha mereka tidak bisa terlaksana dengan
secepatnya, karena daerah pertahanan tentara Islam itu
dibentengi oleh sungai Citanduy yang cukup lebar dan dalam
dari sebelah selatan, sedangkan dari daerah utara ada bukit-
bukit yang sudah dijaga oleh tentara Islam. Memang sudah
diatur sedemikian rupa oleh Oni Qital yang ahli strategi.
Sehingga Belanda cukup sulit mendobrak pertahanan itu.
Pasukan-pasukan pilihan Belanda yang dipilih untuk
berjibaku dengan didukung oleh pasukan tank baja, mencoba
melintasi jembatan Citanduy (Cirahong) yang panjangnya
sekitar 150 meter, sedangkan disebelah seberang sana,
tentara Islam dengan memakai tiga buah brand siap untuk
menembak musuh yang coba-coba melintasi jembatan.
Setalah dikomando, tentara Belanda mulai masuk ke
jembatan. Tapi sampai di tengah mereka mulai diberondong
oleh brand dan mayat pun berlimpangan jatuh ke sungai.
Datang lagi menyusul, setelah dipaksa oleh komandannya
untuk maju dan mereka pun menjadi sasaran peluru-peluru
tentara Islam dari seberang sana. Tentara Belanda terus maju
dengan bergelombang, setelah tidak kurang dari dua ribu
tentara merka yang tewas, dan tentara Islam pun semakin
menipis amunisinya. Dan akhirnya bobolah pertahanan TII
dari daerah selatan yang dipimpin H. Zaenal Abidin dan
Belanda pun masuk. Tentara Islam memundurkan daerah
pertahanannya, dengan meninggalkan tujuh desa, yaitu
Sindang Tasik sebelah timur, Nasal, Panarangan, Cimahi,
Darma Caang, gegempalan, dan desa Cikoneng yang
kemudian diduduki tentara Belanda. Dari sini lah mereka
menggempur posisi-posisi TII dengan tembakan kanon dan
meriam dengan tidak henti-hentinya. Angkatan udara dengan
pesawat tempurnya membantu serangan ini, dengan
tembakan dari atas. Posisi TII menjadi terkepung dari
berbagai arah dan semakin terjepit. Ustadz Masduki sebagai

51
komandan pertahanan Cikoneng melihat kejadian ini
kemudian melakukan ihtisabunafsi (introspeksi diri ke dalam),
kenapa pertahanan Islam bisa didobrak musuh padahal tidak
ada sunnahnya dari Rasulullah. Waktu perang Khandak tidak
ada musuh yang bisa masuk ke dalam wilayah pertahanan
kecuali untuk mati. Setelah diperiksa ternyata ada
pelanggaran syari yang dilakukan oleh beberapa anggota TII,
dia dicurigai kemudian ditangkap. Dengan melalui
pemeriksaan yang cermat, maka terbongkarlah kegiatannya
selaku mata-mata Belanda untuk mencari data-data kekuatan
TII. Hukuman mati adalah yang paling tepat untuk
penghianat. Saking marah dan gemasnya beberapa anggota
TII anak buah H. Zaenal Abidin melakukan tindakan yang
melampaui batas, yaitu memotong-motong kemaluan orang
yang telah ditembak itu. Ini lah kiranya yang menyebabkan
penyebab datangnya malapetaka itu, sebagai peringatan dari
Alloh dengan bobolnya pertahanan H. Zaenal Abidin.
Pimpinan TII memerintahkan agar semuanya bertaubat,
memohon ampunan kepada Allah dari perbuatan isrof yang
telah mereka lakukan. Kemudian para pemimpin mengadakan
musyawarah untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya
menghadapi situasi yang genting itu. Ustadz Masduki sebagai
salah seorang komandan merangkap pimpinan daerah setelah
mendapat mandat dari pimpinan Resimen untuk mengatur
siasat mengajukan sebuah gagasan yang sangat tepat sekali,
beliau berkata dihadapan pimpinan batalyon, saat ini kita
sedang benar-benar terjepit, terkepung musuh dari segala
arah, dari utara mulai Ciamis-Kawali sampai Panjalu rapat
dengan tentara musuh. Begitu pula dengan arah barat-
Panumbangan sudah dikuasai musuh. Sebelah selatan jalan
raya sampai Banjar sudah penuh dengan tenk baja.
Beruntung kita memiliki pertahanan alam yaitu Citanduy.
Tetapi karena kekuatan kita sangat terbatas, kita akan
mempertahankan daerah ini, apalagi brigade barisan musuh
yang membawa peralatan berat sudah sampai Pasir Ipis,
dibelakang kita. Untuk mengatasi situasi yang penting ini
saya telah diberikan mandat oleh komandan tempur untuk
mencari jalan keluar. Karena itu saya memutuskan , seluruh
anggota TII supaya berusaha keluar dari blokade ini,
kemudian membuat front yang lebih terbuka dengan sistem
gerilya. Kita bukan firor (meninggalkan perang), tetapi kita

52
bersiasat melaksanakan surah Al-Anfal ayat 16, yang
berbunyi :

Artinya : Barangsiapa yang pada hari pertempuran


berbalik kebelakang kecuali karena siasat atau untuk
bergabung dengan pasukan yang lebih besar, maka sungguh
ia telah membawa murka Allah dan tempatnya jahanam
sebagai tempat seburuk-buruknya tempat kembali.

Kita tinggal bermunajat kepada Allah, pasti Allah


memberikan cara dan jalan keluar. Karena, kalau kita melihat
dhohirnya, sulit untuk bisa keluar sebab harus menembus
senjata dan tank baja.

Yang artinya: dan orang-orang berjihad pada jalan kami ,


dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang muhsinin ( QS.
Al-Ankabut;69).

Demikianlah Ustadz Masduki memutuskan. Dan diluar


dugaan mereka sama sekali, dan atas pertolongan Allah jua
adanya, tiba-tiba hari itu juga datang seorang TII yang
bertugas di Tasikmalaya, yang menjabat stoot Resimen
bersama Syaifulloh. Dia mendapat tugas dari bupati MI
tasikmalaya H. Ahmad Sobari, untuk meminta bantuan satu
regu saja untuk menghadapi keganasan para CV-CV belanda
(orang-orang pribumi yang menjadi kaki tangan Belanda),
yang selalu memeras dan minindas rakyat. Inilah rupanya
jalan yang diberikan Allah untuk memecahkan kesulitan.
Akhirnya diputuskan bukan hanya satu regu yang dikirim,
tetapi semua pasukan yang terdiri dari tiga batalyon, akan
dikeluarkan dari daerah ini, dan ditempatkan didaerah
Rajapolah-Tasikmalaya. Siasatpun diatur, untuk mngelurkan
pasukan dan keluarganya serta orang-orang yang luka kena
tembakan.
Kemudian ditawarkan kepada komandan-komandan, siapa
yang bersedia untuk menyamar dan menipu musuh ,
resikonya kalau ketahuan ditembak mati oleh musuh.

53
Syaefulloh tampil menyanggupkan diri, lalu ia mengganti
pakaian untuk menyamar sebagai rakyat biasa. Tugasnya
adalah untuk datang ke markas Belanda, minta izin untuk
membawa keluar rakyat yang kena tembakan kanon dan
meriam, dan melaporkan bahwa tentara Islam (sabilillah)
sudah meninggalkan tempat. Siasat itu rupanya berhasil
Syafulloh diizinkan keluar dengan membawa orang-orang
sakit yang jumlahnya mencapai 40 orang, diantar oleh
keluarga-keluarga TII, yang mengaku sebagai keluarga yang
sakit. Rombongan ini selamat sampai tempat tujuan.
bersamaan dengan itu, pasukan TII pun bergerak keluar
melalui cijoho daerah Cihaur, tepat jam 12 malam. Tentara
Belanda yang ada di pos sebelah barat demi melihat iring-
iringan tentara Islam, mereka terkejut dan panik. Kemudian
meninggalkan posnya tanpa mengadakan perlawanan.
Dengan demikian tentara Islam dapat melewati pos-pos
tentara Belanda yang telah kosong dengan aman dan leluasa
dan mereka baru sampai ditempat tujuan yaitu daerah
Tejamaya-rajapolah-Tasikmalaya, pada jam tiga dini hari.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 juni. Siang harinya
Belanda mulai melancarkan serangan serangan dengan
gencar sekali dengan mengunakan senapan otomatis biasa
sampai persenjataan arteleri barat, dari atas dan dari bawah,
semuanya memuntahkan peluru-peluru menuju satu sasaran
yaitu markas-markas TII yang mereka belum tahu bahwa
tempat itu telah dikosongkan . jejak-jejak TII sewaktu
menorobos keluar sempat dihapus oleh rakyat setempat pada
malam hari itu juga. Sehingga Belanda sama sekali tidak
melihat jejak bahwa TII sudah keluar. Serangan pun
dihentikan setelah tidak ada reaksi dari lawan, dan ternyata
tempat itu sudah kosong. Sementara itu, TII yang sudah
sampai ditempat tujuan kemudian cepat menyebar, memilih
tempat-tempat strategis dan melancarkan serangan gerilyan
secara mendadak. Belanda yang mendapatkan serangan
mendadak dari belakang itu menjadi jatuh mentalnya,
mereka kalang kabut dan lari meninggalkan medan. Sekali
lagi Belanda mengalami kekalahan besar, dengan tewasnya
ribuan tentara mereka, secara sia-sia. Mereka melihat sesuatu
kekuatan besar, yang tidak pernah dilihat sebelumnya.
Jenderal Spoor sebagai gubernur militer yang memimpin
langsung pasukan raksasa tersebut tidak tahan menanggung

54
malu dan aib atas kekalahannya ini dan langsung mengambil
jalan pintas bunuh diri.
Peristiwa gunung Cupu ini sangat penting artinya bagi
perjuangan tentara Islam, peristiwa yang penuh dengan
karomah, dan merupakan awal kemenangan tentara Islam.
Maka untuk menghargai peristiwa ini, imam memberikan
gelar G.T (gunung Tjupu) bagi pasukan-pasukan yang
terlibat perang ini. Sesuai dengan sunnah, dimana Rosululloh
memberikan gelar ahlul Badri sebagai penghargaan
terhadap pasukan-pasukanya yang ikut ambil bagian dalam
perang Badar.
Tentara Islam, kini dapat menyusun strategi dan siasat
yang lebih penting lagi. Mereka menguasai daerah lebih
banyak lagi, dan umatpun semakin besar simpati dan
dukungannya terhadap perjuangan TII. Sekarang mereka
tidak lagi menggunakan sistem konsentrasi dan frontal, tetapi
menggunakan sistem gerillya malam hari. Sasaran-sasaran
vital markas Belanda dihancurkan, tetapi diberikan
kesempatan untuk memberikan perlawanan yang cukup
berarti. Akhirnya Belanda dipaksa meninggalkan daerah-
daerah Jawa Barat. Mereka hanya mengusai kota-kota besar
saja seperti Bandung dan Jakarta dengan pertahanan yang
cukup tangguh.
Melihat kemenangan yang dicapai TII dalam melawan
tentara Belanda. Jenderal Sudirman yang dulu
memerintahkan S.M. Kartosoewirjo dan TII-nya meninggalkan
Jawa Barat, bahkan secara diam-diam dia mengirimkan
persenjataan dari Yogya. Tindakan Sudirman ini sempat
tercium oleh pihak Belanda. Yang kemudian hal ini dijadikan
alasan untuk menyerang Yogya, dengan agresi militernya
yang kedua pada tanggal 19 desember 1948.

4. Awal Perang Segitiga


Setelah pihak Belanda terpaksa mengundurkan diri dari
daerah Jawa Barat. TII dengan cepat mengadakan perluasan
daerah kekuasaannya. Daerah priangan Timur sebagian besar
dikuasai TII, dengan pembagian tugas sebagai berikut :
a. Batalyon III menguasai daerah Ciamis Selatan dan Utara
b. Batalyon II masuk dan menguasai Garut
c. Batalyon IV menguasai daerah Tasikmalaya

55
Tiga daerah kabupaten inilah yang dijadikan basis utama
MI dan TII, dan pada akhirnya menjadi basis Negara Islam
Indonesia setelah agustus nanti.
Untuk menertibkan administrasi pemerintaha , maka di Jawa
Barat dibentuk struktur daerah dengan susunan sebagai
berikut :
Daerah satu (D.I): yaitu daerah yang telah dikuasai oleh
MI, TII, baik de facto maupun de jure. Pemerintahannya,
rakyatnya maupun hukumnya adalah Islam. Ini meliputi
Ciamis Selatan, Barat dan Utara. Garut Timur dan Ciamis
Utara sebelah timur dan sekitarnya.
Daersh Dua (D.II): Daerah yang hanya de jure milik MI,
rakyat kebanyakan mendukung MI, sedangkan secara de
facto dikuasai oleh Belanda. Disini ada dua pemerintahan
Belanda dan MI secara bayangan. Ini seperti kota-kota
kabupaten dan sekitarnya seperti Cirebon, Kuningan ,
Indramayu, dan sekitarnya.
Daerah Tiga (D.III) : daerah yang dikuasai musuh
(Belanda), hanya ada pengaruh-pengaruh MI di
masyarakat ini, yaitu ibu kota propinsi Bandung, Jakarta
dan daerah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah, Cilacap-
Brebes.
Demikianlah posisi Masjlis Islam dan tentara Islam
indonesia yang semakin mantap menguasai sebahagiaan
besar daerah-daerah Jawa Barat.
Sebaliknya, akibat agresi militer Belanda ke II,
pemerintah RI jatuh ketangan musuh, para pemimpinnya
ditangkap. Jenderal Sudirman beserta anak buahnya masuk
hutan, dan divisi siliwangi yang tak punya pilihan lain
memutuskan kembali ke Jawa Barat. Setelah melalui
perjalanan yang cukup jauh, apa yang disebut dengan Long
March, pasukan Siliwangi akhirnya sampai keperbatasan
Jawa Barat. Jelas sekali terlihat bahwa, perjalanan long
march ini bukan perjalanan para pahlwan bangsa. tidak
ada nilai kepahlawanan sama sekali. Lebih tepat dikatakan
perjalanan para pengecut yang telah mengkhianati dan
mengorbankan rakyatnya kepihak musuh, dan mereka
sendiri masuk kedalam perangkap yang telah dibuat
musuh, kemudian diserang habis-habisan tanpa dapat
mengadakan perlawanan, apalagi para pemimpinnya sudah
menyerah. Dalam keadaan kalah perang inilah Siliwangi
berjalan jauh, kembali kepada rakyat yang telah

56
dikhianatinya di Jawa Barat. Sementara disana telah tegak
dengan kokohnya para pahlawan sejati yang telah berhasil
melindungi rakyatnya dari cengkraman penjajah dan
sekaligus mengusir penjajah itu dari Jawa barat. Mereka
adalah Majlis Islam dan Tentara Islam Indonesia. Mereka
telah mematangkan system pemerintahan Islam yang adil
dan bijaksana, sehingga rakyat merasa tentram dan damai.
Kedatangan pasukan Siliwangi di Jawa Barat disambut
dengan ramah dan penuh rasa persaudaraan oleh MI dan TII,
mengingat bahwa Siliwangi itu banyak yang berasal dari
unsur Hizbulalloh dan sabilillah, maka besar harapan MI agar
Siliwangi bisa lebur diri ke dalam TII. Untuk itu pimpinan MI
dan TII menyampaikan beberapa alternative kepada pihak
Siliwangi untuk menentukan sikap, diantaranya :
a. Silahkan masuk ke daerah-daerah de facto MI dan
bersama-sama melawan Belanda dengan status TII yang
mencerminkan perlawanan rakyat (umat Islam),
sementara pemerintahan RI sudah menyerah kepada
Belanda, dan tidak punya harga sama sekali di forum
internasional;
b. Kalau keberatan, silakan masuk kedaerah-daerah yang
belum de facto MI dan bersama-sama melawan Belanda
tanpa ada permusuhan dengan TII, atau
c. Letakan senjata, kemudian menjadi rakyat biasa dibawah
perlindungan TII.
Menghadapi alternatif ini pasukan siliwangi terpecah
menjadi tiga bagian, sesuai dengan latar belakang ideologi
masing-masing, yang berasal dari hizbulloh dan masih
memiliki ruhul Islam, mereka memilih point a, bergabung
dengan TII, seperti Kadar Solihat dan Mia Rasyid Ibrahim
beserta pasukannya masing-masing. Ada juga yang memilih
point b (tidak mau bergabung ke dalam TII), dan ini adalah
yang terbanyak, mereka adalah yang berideologi nasionalis
sekuler (PNI, PESINDO) diantaranya pasukan-pasukan di
bawah pimpinan Moh. Rivai, Aang Kurnaeti, Nasukhi, Amir
Machmud, Sueb dan Umar Wirahadikusumah. Yang lainnya
ada yang memilih point c, yaitu meletakkan senjata dan
menjadi rakyat biasa.
Demikian tampak sekali kebesaran jiwa pimpinan MI,
bijaksana dan toleran, tidak ada niat untuk memusuhi atau
menganggap musuh terhadap pasukan siliwangi, bahkan
menganggapnya sebagai kawan seperjuangan dalam

57
menghadapi penjajah. Namun ternyata pasukan siliwangi
yang nasionalis sekuler (kafir) ini tidak menghargai atas
kebaikan pimpinan TII, mereka masuk kedaerah de facto MI,
kemudian merampas dan memeras hak-hak rakyat dengan
penuh kesombongan dan kecongkakan dan mereka pun mulai
berani menampakkan sikap-sikap bermusuhan terhadap TII.
Puncak permusuhan dan pengkhiatan mereka itu terjadi pada
hari Selasa 25 Januari 1949 di Desa Antralina Kecamatan
Ciawi daerah Tasikmalaya Utara-Barat. Mereka menyerang
dari belakang terhadap markas TII sehingga puluhan TII gugur
akibat pengkhianatan mereka. Pasukan TII pun akhirnya
mengadakan perlawanan terhadap mereka untuk membalas
pengkhianatan mereka, terjadilah pertempuran yang cukup
sengit antara kedua belah pihak pada hari itu juga.
Setelah melihat adanya pengkhianatan besar dari
pasukan siliwangi yang sudah tidak bisa ditolelir lagi, S.M.
Kartosoewirjo selaku imam dan panglima tertinggi TII
mengeluarkan maklumatnya, dengan kode Maklumat militer
no 1 tertanggal 25 Januari 1949 yang isinya antara lain.
Setelah mengingat dan menimbang beberapa hal, kemudian
memutuskan bahwa divisi Siliwangi (TNI) yang kemudian
disebut Tentara Liar (TL) dianggap sebagai penghambat
revolusi Islam dan musuh Negara Islam Indonesia yang harus
dihadapi dengan tindakan militer. Untuk itu diperintahkan
kepada seluruh angkatan perang Negara Islam Indonesia
untuk melakukan tindakan :
a. Melucuti tentara liar itu, dan
b. Merampas harta benda kesatuan (gerombolan/golongan
itu), yang perlu bagi kepentingan Negara Islam Indonesia
Tentara Islam pun dikerahkan untuk melaksanakan
maklumat tersebut, melucuti dan merampas persenjataan
beserta seluruh perlengkapan pasukan siliwangi. Ternyata
pasukan siliwangi yang dalam keadaan grogi tidak berdaya
dalam menghadapi tindakan militer TII. Hanya dalam
beberapa minggu saja kekuatan siliwangi sudah biasa
ditundukkan. Sebagian ditangkap dan ditawan, sebagian lagi
dibunuh karena membangkang dan melakukan perlawanan,
dan yang lain ada yang berlindung dan bergabung kepada
pemerintahan boneka bikinan Belanda yaitu Negara
Pasundan.
Peristiwa 25 Januari yang kemudian dikenal dengan
peristiwa Antralina itu dinyatakan sebagai awal perang

58
segitiga, TII melawan Belanda dan Siliwangi, dan TNI
melawan Belanda.
Belanda telah mengalami kekalahan dan melihat
kekuatan TII, berniat untuk mnegundurkan diri dari kancah
pertempuran, supaya tidak terlibat langsung dengan TII, tapi
cukup menggunakan poin-poin nya (Negara-negara boneka)
termasuk RI yang sudah menyerahpun dipersiapkan untuk
menjadi poin mereka guna menghadapi kekuatan Islam
dengan melalui perundingan Roem-Van Royyen.

5. Saat-Saat Menjelang Proklamasi NII


Semenjak pertamakali menerjunkan diri kedalam kancah
perjuangan politik mulai dari PSII-nya sampai masa
penjajahan Jepang dan Belanda keduakalinya, S.M.
Kartosoewirjo telah mendasari perjuangannya dengan Islam,
untuk menuju satu arah perjuangan yaitu lahirnya Negara
Islam Indonesia yang merdeka, yang dapat menjamin seluruh
umat Islam menjalankan pengabdiannya kepada Rabbul
izzati dengan murni tanpa tercampuri kemusyrikan. Tidak
pernah terlintas dalam hatinya untuk ikut terlibat dalam
perjuangan nasional, yang bertujuan mendirikan sebuah
negara yang berdasarkan nasionalisme. Namun beliau selalu
lapang dada untuk menghargai pejuang-pejuang Islam yang
menggunakan jalan nasionalisme. Dan dengan penuh
kesadaran memperingati dan mengajak mereka untuk
memutar haluan menyesuaikan langkah perjuangan dengan
sunnah Rasululloh SAW. Ini bisa di buktikan dengan melihat
tindakan-tindakan beliau, baik sebelum atau sesudah
proklamasi RI.
Segera setelah proklamsi RI dikumandangkan dan melihat
umat Islam yang bergerak dengan jalan parlementer gagal,
beliau berusaha mengajak tokoh-tokoh Islam yang gagal itu
untuk menghimpun potensi umat Islam guna menentukan
langkah-langkah perjuangan Islam selanjutnya. Ajakan beliau
disambut dengan baik, terutama oleh tokoh-tokoh muda
seperti Moh Natsir, Moh Room, A. Wahab Hasyim, dan yang
lainnya. Akhirnya dibentuklah Masyumi baru. Namun tokoh-
tokoh ini kemudian menerima tawaran Soekarno untuk duduk
dalam kabinet dan mengikat loyalitas Masyumi kepada
republik sekuler. S.M. Kartosoewirjo segera menarik diri dari
Masyumi dan kembali ke Malangbong untuk mengelola
Sabilillah dan Hizbulloh sebagi kekuatan inti untuk mengawal

59
revolusi Islam. Namun beliau tidak memutuskan tali
silaturahmi dengan tokoh-tokoh Masyumi yang telah
bergabung dengan pemerintahan RI itu. Selalu saja beliau
memperhatikan gerak langkah mereka yang membawa jutaan
umat, dan cepat memberikan teguran dan peringatan, bila
terlihat ada penyimpangan yang terlalu jauh, dengan menjual
umat kepada penjajah. Seperti terjadi saat
diselenggarakannya perjanjian Linggarjati Maret 1947, yang
membuahkan agresi militer Belanda pertama, yang
mengakibatkan penderitaan besar bagi umat Islam. Beliau
mengirim statement (peringatan-peringatan) tetapi tidak
dihiraukan oleh pimpinan Republik. Demikian juga ketika
pihak republik menandatangani naskah Renvile yang
akibatnya harus menyerahkan bagain terbesar wilayah dan
rakyat Indonesia ke tangan penjajah. Beliau memberikan
peringatan keras bahkan mengecamnya, tapi juga tidak ada
perhatian dari mereka. Mereka sampai hati meninggalkan
rakyatnya di sebagain banyak wilayah, untuk segera
diserahkan kepada Belanda, dan mereka sekarang hanya
menguasai tujuh residen saja sesuai dengan garis demokrasi
Van Mook, yaitu : Yogya, Solo, Magelang, Kediri, Madiun,
Bojonegoro dan Malang. Republik benar-benar dalam keadaan
kritis, baik politik maupun militer, dan ekonomi di ambang
kehancuran. Saat itulah S.M. Kartosoewirjo mempersiapkan
diri dengan menggalang kekuatan Sabilillah dan Hizbulloh di
Jawa Barat, untuk mengalihkan gerakan-gerakan umat kepada
revolusi yang bercorak Islam. Setelah Belanda melancarkan
serangan ke Yogya sebagai ibukota Republika, dengan agresi
militer kedua 19 Desember 1948, yang mengakibatkan
jatuhnya Republik ke tangan Belanda. Maka S.M.
Kartosoewirjo mengeluarkan maklumat nomor 5 tertanggal 20
Desember 1948. Isinya adalah komando umum kepada
seluruh lapisan umat Islam bangsa Indonesia untuk
melakukan perang suci mutlak, jihad fi sabilillah, mengusir
penjajah Belanda dan menegakkan Daulah Islamiyah.
Karena melihat keadaan Vacum, tidak ada pemerintahan
yang sah dan tanggungjawab (Gezage en Regerings vacuum)
maka pada tanggal 21 Desember 1948, S.M. Kartosoewirjo
bermaksud segera memproklamirkan pemerintah NII. Namun
maksud itu tidak jadi dilaksanakan, setelah keesokan harinya
22 Desember 1948, Mr. Syafrudin Prawiranegara

60
memproklamirkan PDRI (Pemerintah Darurat Republik
Indonesia) di Bukit Tinggi, Sumatra Barat.
Tanggal 7 Mei 1949 di tandatangani perjanjian Room-
Royen. S.M. Kartosoewirjo mengecam keras perjanjian ini
melalui statementnya yang diedarkan ke berbagai pihak.
Diantaranya belai menyatakan Dengan adanya statement
Room-Royen ini maka Moh. Room telah menyelesaikan
tugasnya, sebagai wakil Masyumi, wakil umat Islam
sungguh amat memalukan sekali. Kalau dulu jaman naskah
Linggarjati Masyumi mati-matian anti Linggarjati, sekarang
wakil Masyumi dalam kabinet dan wakil umat Islam sendiri
yang mendapat giliran terakhir menjual Negara sampai habis
ledis. Republik Indonesia sebagai Negara yang merdeka
benar-benar sudah bangkrut. Sementara PDRI tidak punya
peranan apa-apa. Sebab Kemudian Safrudin menyerahkan
kembali mandatnya pada Soekarno.

6. Proklamasi Negara Islam Indonesia


Apapun alasannya perjanjian Room-Royen adalah
tindakan pengecut dari Pimpinan RI, mereka sampai hati
menjual kemerdekaan yang telah diperjuangkan dan
dipertahankan dengan darah dan keringat rakyat, hanya
sebagai imbalan pembebasan Soekarno cs dari penjara dan
siap untuk masuk kedalam kebun binatang modern, yaitu
sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai Negara
boneka kolonial. Formilnya akan segera dilaksanakan pada
Kabinet meja bundar (KMB) di Den Haag bulan September
mendatang.
Untuk menghadiri KMB, RI mengirim sebuah delegasi
yang di pimpin Moh Hatta, dan mereka berangkat ke negeri
Belanda tanggal 6 agustus 1949. S.M. Kartosuwiryo
memandang dengan keberangkatan delegasi Hatta ini,
sebagai titik kulminasi kehancuran RI yang di proklamirkan 17
Agustus 1945 dan tumbangnya martabat PDRI. Maka saat ini
benar-benar vacuum, saat Gezags en Regerings Vacuum, baik
di pandang dari segi politik dan militer, baik de facto maupun
de jure.
Gambaran situasi ini lebih jelas diungkapkan dalam
maklumat no. 1197 yang di susun oleh S.M. Kartosoewirjo :
Bismillahirrohmanirrohiim
Maklumat Pemerintah Negara Islam Indonesia Nomor
1197

61
Syahdan, maka perjuangan kemerdekaan Nasional yang
di awali proklamasi berdirinya Republik Indonesia, 17 Agustus
1945, sudahlah mengakhiri riwayatnya. Orang boleh member
tafsir yang muluk-muluk, yang membumbung tinggi
menembus angkasa, orang boleh lagi mencari alasan lebih
licin, lebih yuridis, lebih staatsrechterijk, lebih
volcanrechtelijk, tetapi meski diputar balik betapapun orang
tak kuasa membalik hitam menjadi putih, bathil menjadi haq,
haram menjadi halal.... sepandai-pandai manusia bersilat,
tidaklah kuasa timur menjadi barat, setinggi-tinggi bangau
terbang kembali kekubang juga. Maka Republik jatuh ke
tingkat sebelum proklamasi kembali kepada pokok pangkal
pertama di tangan musuh, di tangan penjajah Belanda.
Alhamdulillah, pada saat kosong (Vacuum), saat dimana
tidak ada kekuasaan dan pemerintahan yang
beratanggungjawab (Gizags en Regerings vacuum) maka
pada saat yang kritis (membahayakan) dan psikologis yang
lemah itulah umat Islam bangsa Indonesia memberanikan
dirinya menyatakan sikap dan pendiriannya yang jelas dan
tegas kepada seluruh dunia, proklamasi berdirinya Negara
Islam Indonesia 7 Agustus 1949. Pada saat itu maka otomatis
(dengan sendirinya) perjuangan kemerdekaan Indonesia
beralih arah, bentuk, sifat, corak, dan tujuannya, menjadilah
perjuangan Islam Indonesia. atas nama umat Islam
Indonesia kemudian dengan di dorong oleh perintah Alloh
dalam surat Al-isro ayat 81 yang di awali dengan lafadz yang
artinya proklamasikanlah! Ayat tersebut selengkapnya
sebagai berikut :

Yang artinya : Katakanlah, telah datang al-Haq dan telah
hancur al-bathil, sesungguhnya Al-Bathil adalah sesuatu yang
pasti binasa (Al Israa: 81).
Maka tanggal 7 Agustus 1949 yang bertepatan dengan 12
syawal 1368 H, S.M. Kartosoewirjo memproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia, yang telah dipersiapkan
secara matang dan cermat. Proklamasi dilakukan di
Cisantang, Desa Cidugaleun, Cigalontang , Tasikmalaya.
Teks lengkapnya sebagai berikut :
PROKLAMASI
BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA

62
Bismillahirrohmanirrohiim
Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna
Muhammadarrasululllaah
Kami umat Islam Bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan
Berdirinya Negara Islam Indonesia. Maka hukum yang
berlaku atas Negara Islam Indonesia tersebut adalah hukum
Islam.
Allohu akbar! Allohu Akbar! Allohu akbar!
Madinah Indonesia, 12 Syawal 1368 H / 7 Agustus
1949

Atas nama Umat Islam Bangsa Indonesia


Imam Negara Islam Indonesia
S.M. Kartosoewirjo
Penjelasan singkat :
1. Alhamdulillah, maka Alloh telah berkenan
menganugerahkan karuniaNya yang maha besar atas
Umat Islam Bangsa Indonesia ialah Negara Karunia Alloh
yang meliputi seluruh Indonesia.
2. Negara Karunia Alloh itu adalah Negara Islam Indonesia
atau dengan kata lain Ad-daulatul Islamiyyah atau Daarul
Islam atau dengan singkatan yang sering di pakai orang
DI. Selanjutnya hanya dipake satu istilah yang resmi :
Negara Islam Indonesia.
3. Sejak bulan September 1945, ketika turunnya Belanda di
Indonesia, khususnya di Pulau jawa, atau sebulan setelah
Proklamasi Republik Indonesia, maka revolusi nasional
yang dimulai menyala pada tanggal 17 Agustus 1945 itu,
merupakan perang, sehingga sejak masa itu seluruh
Indonesia dalam keadaan perang.
4. Negara Islam Indonesia tumbuh pada masa perang, yang
pada akhirnya, setelah naskah Renville dan umat Islam
bangun serta bangkit melawan keganasan penjajah dan
perbudakan yang dilakukan oleh Belanda, beralih sifat
dan wujudnya menjadi revolusi Islam dan perang suci.
5. Insya Alloh perang suci atau revolusi Islam itu akan
berjalan terus hingga:
a. NII berdiri dengan sentausa dan tegak teguhnya keluar
dan kedalam 100% de facto dan de jure di seluruh
Indonesia.
b. Lenyapnya segala bentuk penjajahan dan perbudakan.

63
c. Terusirnya segala musuh Alloh, musuh agama, dan
musuh NII.
6. Selama itu NII merupakan Negara Islam pada masa
perang atau Darul Islam fi waktil harbi.
7. Maka segala hukum yang berlaku pada masa itu di dalam
NII ialah hukum Islam di masa perang .
8. Proklamasi ini disiarkan ke seluruh dunia, karena Umat
Islam Bangsa Indonesia berpendapat dan berkeyakinan
bahwa kini tibalah saatnya melakukan wajib suci, yang
serupa itu bagi menjaga keselamatan NII dan segenap
rakyatnya serta bagi memelihara kesucian agama,
terutama sekali bagi melahirkan keadilan Alloh di dunia.
9. Pada masa ini perjuaangan kemerdekaan nasional yang
diusahakan selama hampir 4 tahun itu kandaslah sudah.
10.Semoga Alloh membenarkan proklamasi berdirinya
Negara Islam Indonesia itu jua adanya.
Insya Alloh, Amieen
Bismillahirrohmanirrohiim. Allohu akbar !

Catatan :
1. Karena dilakukan saat vacuum, maka proklamasi NII
adalah sah menurut hukum manapun juga. Bukan
mendirikan Negara di dalam Negara sebab RI telah masuk
ke dalam RIS. Mengakibatkan statusnya sama dengan
Negara boneka lainnya, semacam Negara Pasundan,
Negara Sumatera, Negara Kalimantan, dan lain-lainnya.
Yang fungsinya ikut memeras dan menjajah bangsa dan
rakyatnya sendiri.
2. Berbeda dengan Proklamsi RI 1945, yang dilakukan atas
diplomasi dan prakarsa Jepang, serta dilakukan sangat
terburu-buru, maka proklamasi NII di tegakkan di atas
tetesan darah Syuhada dan ribuan mayat para mujahid
serta melalui persiapan yang matang dan tidak tergesa-
gesa.
3. Negara Islam Indonesia adalah penjabaran dari
pemerintahan dan kerajaan (Mulkiyah) Alloh di Bumi
Indonesia, dengan memberlakukan hukum Alloh, hukum-
hukum Islam. Maka sejak diproklamirkannya NII menjadi
wajib hukumnya bagi seluruh umat Islam Bangsa
Indonesia untuk menerima, mendukung dan
mempertahankannya sampai hukum-hukum Islam bisa

64
berlaku secara keseluruhan. Menolak NII berarti menolak
pemerintahan Alloh, menolak hukum-hukum Alloh dan
hukum-hukum Islam secara keseluruhan.Tidak ada hujjah
sama sekali di hadapan Alloh nanti, bagi Umat Islam
Bangsa Indinesia untuk menolak NII.
4. Negara Islam Indonesia adalah satu-satunya jamaah di
Indonesia yang di benarkan oleh Islam, berdiri tegak di
atas sabilillaah dan shirotholmustaqiim. Maka Seluruh
kelomok-kelompok (firqoh-friqoh) umat Islam di Indonesia
harus meleburkan diri masuk ke dalam struktural NII.
Karena yang benar (Haq) itu hanya satu saja, di luar yang
benar adalah salah,seperti yang dikatakan dalam surat
Yunus ayat 32 yang selengkapnya berbunysi sebagai
berikut :



Artinya : Maka itulah Alloh, Rab kalian yang Maha Haq,
maka tidak ada setelah AL-Haq melainkan kesesatan.
Maka bagaimanakah kalian dapat dipalingkan.

65
BAB V
PERJUANGAN NII PADA MASA PEMERINTAHAN RIS

1. KMB dan Hakikat RIS


Setelah mendapat pengalaman perang gunung Cupu
melawan TII, Belanda berkesimpulan bahwa TII merupakan
suatu kekuatan yang cukup besar, yang bisa mengancam
dominasinya di Indonesia. Dan merekapun menjadi kecut
hatinya, bila harus menghadapi TII secara langsung. Mereka
melihat dengan mata kepalanya sendiri, adanya kekuatan
yang luar biasa pada diri tentara Islam yang kadang-kadang
diluar perhitungan ratio. Oleh karena itulah mereka membuat
siasat baru, siasat yang licik sekali yaitu menjadikan tokoh-
tokoh RI yang non muslim, yang telah menyerah baik sipil
maupun militernya sebagai boneka yang bisa diperalat untuk
menghadapai kekuatan tentara Islam Indonesia.
Kemudian ditawarkan perundingan kepada pimpinan
republik yang telah menyerah dan berada dalam tahanan,
mereka pun menerimanya dengan gembira. Sukarno
memberikan mandat untuk menerima tawaran perundingan
yang isinya selalu di dikte oleh Belanda. Maka lahirlah apa
yang biasa disebut statement Room-van Royen, yang isinya
antara lain :
a. Cease fire atau penghentian tembak-menembak
b. Round table conference, atau konferensi Meja Bundar
(KMB), dan
c. Kerjasama atau semen working antara pihak Republik
dan Belanda.
Natijah dari statement ini adalah, pemerintahan RI siap
untuk menjadi pemerintah boneka Belanda dalam
melaksanakan sistem politik, ekonomi, sosial, dan undang-
undang kolonial yang memeras dan menindas rakyat
terutama umat Islam Bangsa Indonesia. Statement ini
kemudian dimatangkan dalam konferensi Meja Bundar
(KMB) yang berlangsung sejak 23 Agustus sampai 2
November 1949 di Den Haag dengan membentuk
sebuah Negara Federasi , merupakan gabungan dari
Negara-negara boneka yang ada di Indonesia, yang
selanjutnya dinamakan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Dalam konferensi itu pula Belanda menyerahkan kedaulatan
RIS pada tanggal 27 Desember 1949, dan di Indonesia
terjadi hal yang sama dari RI kepada RIS, sementara RIS itu

66
sendiri masih berada di bawah Pengawasan Belanda. Jadi
hakekatnya, RIS itu merupakan persekongkolan (kerjasama)
antara kaum Munafik (tokoh-tokoh sekuler) dan kaum kafirin
(pemerintah Belanda) dalam menghadapi kekuatan umat
Islam Bangsa Indonesia yang telah bernaung dalam NII.
Inilah yang dimaksudkan oleh Firman Alloh dalam surat Al
Anfaal ayat 73 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Artinya : Adapun orang-orang kafir sebahagiaan dari


mereka menjadi pelindung sebahagiaan yang lain (bekerja
sama dalam menghadapi orang-orang yang beriman) jika
kamu (kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang
diperintahkan Alloh itu (persaudaraan yang teguh antara
kaum muslimin) niscaya akan terjadi kekacauan di muka
bumi dan kerusakan yang besar.
Sangat disesalkan sekali tokoh-tokoh Masyumi dan partai-
partai Islam lainnya yang mengaku memperjuangkan Islam,
tidak waspada terhadap permainan kotor dan licin ini,
sehingga mereka terjerumus kedalam perangkap
persekongkolan antara munafik dan kafirin. Mereka menerima
dan mendukung RIS serta menolak NII, padahal sebagai
seorang muslim mestinya wajib menerima dan mendukung
NII yang jelas-jelas sah dan Islami, serta menolak RIS yang
nyata-nyata sekuler (kafir) dan tidak sah kelahirannya di bumi
Indonesia ini. Tentunya tindakan mereka itu semata-mata
berdasar perhitungan rasio yang telah ditunggangi hawa
nafsu, tidak berdasarkan wahyu sama sekali, karena mungkin
orientasi kehidupannya tidak lagi ukhrowi tetapi duniawi
(Materialisme). Berkat dukungan mereka itulah RIS sebagai
Negara sekuler yang rapuh menjadi kuat dan kokoh
kedudukannya, terutama setelah M. Natsir sebagai pimpinan
Masyumi mengajukan mosi integralnya kepada parlemen RIS
tanggal 3 April 1950 yang menuntut agar semua Negara
bagian menggabungkan diri dengan RI. Mosi ini diterima oleh
parlemen, dan setelah melalui berbagai sidang, akhirnya
pada tanggal 15 Agustus 1959 disetujui untuk merubah RIS
mejadi Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI) atau
Republik Indonesia Kesatuan (RIK), dengan tetap Sukarno
sebagai presiden didampingi Moh Hatta sebagai wakilnya.

67
2. Taktik RIK dalam menghadapi NII
Sebagai realisasi KMB Belanda mulai menarik diri secara
perlahan-lahan dari Indonesia, setelah dilihat Negara
bonekanya yaitu RIS cukup kokoh dan kuat pijakannya, baik
politik maupun militer. Sehingga sudah di pandang mampu
untuk merealisir program utamanya yaitu de Islamisasi atau
pendangkalan nilai-nilai Islam di kalangan Umat Islam Bangsa
Indonesia, terutama dalam menghadapi NII dan TII nya.
Posisi-posisi strategis, perlengkapan dan markas-markas
militer, serta wilayah kota yang tadinya dikuasai oleh Belanda
kini telah diserahkan pada republik serta TNI nya. Pihak NII
tetap saja hanya menguasai wilayah-wilayah pedesaan dan
pegunungan, sebab proses penyerahan kedaulatan kepada
RIS berjalan dengan sangat ketat, sehingga pihak NII tidak
berhasil merebutnya.
Sukarno memandang masalah NII sebagai masalah besar
yang harus dihadapi secara serius. Dan ia berpendapat bahwa
kekuatan NII itu disebabkan dukungan umat Islam. Untuk
menghadapi hal ini, Sukarno mencoba merangkul tokoh-tokoh
umat Islam dalam hal ini Masyumi, yang memang telah
banyak berjasa dalam mempertahankan dan menyelamatkan
Negara sekuler ini. Untuk turut serta dalam mengelola Negara
kesatuan yang baru dibentuk, sebagai kelanjutan dari RIS.
Tentu saja hal ini bukan berarti Sukarno telah berubah haluan
dari sekuler menjadi Islam, Tidak!! tapi semata-mata sebagai
taktik saja untuk memperalat tokoh-tokoh Masyumi dalam
rangka merekrut umat Islam yang selama ini mendukung NII,
terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian Barat. Maka
di tampilkanlah M. Natsir sebagai perdana menteri yang
pertama dalam RIK, yang dibantu oleh beberapa tokoh
lainnya dari Masyumi yang ikut serta dalam kabinet yang baru
dibentuk bulan September 1950.
Tugas utama dari kabinet ini adalah menyelesaikan
secepatnya masalah kelompok-kelompok gerilya liar,
terutama sekali masalah NII dengan TII nya. Maka program
pemerintah yang terdiri dari 7 pasal, kabinet mengutamakan
pasal ke lima yaitu penyempurnaan dan reintegrasi anggota-
anggota angkatan bersenjata serta kelompok-kelompok
gerilya yang berlebihan kedalam masyarakat, yang mana inti
dari program ini ditujukan kepada NII dan TII nya.
Pada mulanya, dalam merealisir program ini, kabinet
Natsir, menemukan jalan luwes dan halus, membujuk para

68
gerilyawan TII untuk segera menyerah. Pemerintah RIK
mengumumkan tawaran Amnesti pada tanggal 14 November
1950, yang isinya memberikan kesempatan pada para
gerilyawan untuk segera melaporkan diri kepada pejabat
pemerintah atau distrik stempat, mulai tanggal 28 November
sampai tanggal 14 Desember. Kepada mereka di janjikan
diterima menjadi anggota angkatan bersenjata (TNI) atau
angkatan kepolisian jika mereka menghendaki. Bila tidak,
pemerintah akan membantu mereka mencarikan mata
pencaharian baru agar dapat hidup layak dalam masyarakat.
Juga secara pribadi Natsir berusaha meyakinkan
pimpinan-pimpinan NII, bahwa perjuangan menuju berlakunya
hukum Islam di Indonesia sudah mencapai tahap-tahap akhir,
yaitu dengan melalui pemilihan umum yang akan segera
dilaksanakan dimana akan dipastikan dimenangkan umat
Islam. Sedangkan Sukarno dan Hatta menjamin untuk
memberlakukan hukum Islam di Negara ini apabila umat
Islam mencapai suatu mayoritas dalam pemilihan umum
nanti. Oleh karena itu tidak diperlukan lagi tindakan
kekerasan, yang hanya akan menimbulkan kerugian, bahkan
mungkin banjir darah di kalangan umat Islam sendiri.
Bersamaan dengan itu pemerintah megeluarkan
petunujuk-petunjuk terperinci mengenai prosedur
penyerahan. Takut kalau-kalau para gerilyawan mencari
peluang dari kesempatan itu untuk melakukan penyerangan
secara tiba-tiba atau secara diam-diam menggerakkan
pasukan mereka. Maka pemerintah republik memerintahkan
mereka harus secara terbuka membawa senjata yang mereka
miliki. Pasukan-pasukan yang bergerak menuju kantor-kantor
distrik untuk menyerah, selanjutnya diserahkan memakai
tanda janur kuning, disilangkan di badan sebagai tanda
ketulusan hati mereka.
S.M. Kartosoewirjo selaku imam NII dan Panglima tertinggi
TII menolak mentah-mentah tawaran amnesti tersebut
dengan argumentasi yang sangat kuat dan tidak bisa di
bantah, baik secara yuridis maupun secara historis. Beliau
menyatakan bahwa NII adalah satu-satunya pemerintahan
yang sah yang ada di Indonesia, bukan gerombolan liar atau
gerombolan pengacau yang harus menyerahkan diri. Justru
RIK yang tidak sah kelahirannya, sebab dia lahir dari perut
penjajah dengan seperangkat sistem penjajahannya. Pada
saat di Indonesia telah ada pemerintahan dan Negara yang

69
sah yang telah diproklamirkan yaitu NII, dimana selama
proses berdirinya tidak pernah menyerah kepada pihak
penjajah. Bahkan beliau sangat menyesalkan sekali, kenapa
M. Natsir yang muslim ini mau diperalat orang-orang sekuler
dan boneka-boneka kolonial untuk menghancurkan NII, yang
nyata-nyata telah memberlakukan hukum Islam berdasarkan
Al-quran dan hadist shaheh serta telah meminta
pengorbanan ribuan syuhada.
Beliau juga menegaskan, bahwa Natsir bukan pemegang
kekuasaan tertinggi dalam republik, tetapi dia hanya sebagai
alat dari pemimpin-pemimpin sekuler, yang apabila sudah
tidak diperlukan dia akan dicampakkan lagi menjadi rakyat
biasa.
Karena itulah S.M. Kartosoewirjo segera menginstruksikan
kepada seluruh jajaran TII untuk tidak menanggapi apalagi
mentaati seruan amnesti dari kabinet Natsir itu. Kebanyakan
yang menyerahkan amnesti ini adalah dari gerombolan-
gerombolan liar seperti organisasi yang bernama polisi
gerilyawan, barisan berani mati, yang beroperasi di daerah
Purwokerto juga dari gerombolan brigade Citarun dan divisi
bamboo runcing yang beraliran sosialis banyak menyerahkan
diri. Sedangkan dari pihak TII hanya sebagian kecil saja yang
terpengaruh oleh amnesti ini, yaitu yang berada di daerah-
daerah terpencil sehingga sulit sekali berkomunikasi dengan
pimpinan pusat, atau karena terpengaruh oleh bujukan-
bujukan ulama setempat yang memang ditugaskan oleh
pemerintah. Seperti di beberapa daerah di Jawa Barat dan
Jawa Tengah bagian barat, beberapa pasukan TII mendatangi
kantor distrik untuk menyerah, namun mereka tidak disambut
dengan baik seperti yang telah di janjikan dalam
pengumuman amnesti, tetapi mereka disambut pasukan TNI
yang siap dengan berondongan senjata, sebagian dibantai
dan sebagian ditangkap. Peristiwa ini dikenal dengan
peristiwa janur kuning, yang merupakan pengkhianatan
besar dari pasukan sekuler TNI dan secara tidak langsung M.
Natsir pun terlibat dalam pengkhianatan ini yang kemudian
menjadi lembaran hitam dalam sejarah NII.
Namun demikian, tawaran amnesti ini dianggap
kegagalan besar kabinet Natsir dalam merealisasikan
program reintegrasi terutama oleh kalangan militer yang
merasa kecewa terhadap langkah ini. Mereka menganggap
bahwa jalan lunak itu tidak akan ada artinya lagi. Sebab

70
sebelumnya juga telah ditempuh jalan pendekatan dengan
mengutus tokoh-tokoh ulama untuk berunding dengan S.M.
Kartosoewirjo ternyata gagal total. Di antaranya Wali Al Fatah
yang merasa yakin dapat menundukkan hujjah-hujjah S.M.
Kartosoewirjo segera menyanggupkan diri untuk membujuk
S.M. Kartosoewirjo supaya menghentikan kegiatan itu, maka
pada bulan Mei 1950 dengan didampingi oleh ketiga orang
pembantunya yaitu Tasikwira, Muslikh, dan Zaenudin, Wali Al
Fatah berusaha mengadakan kontak hubungan dengan
pimpinan-pimpinan TII di Cipamurayan, dan lereng
Cakrabuana untuk bertemu S.M. Kartosoewirjo.
Pertemuan berhasil diselenggarakan, dan kedua tokoh ini
saling mengeluarkan hujjah syarI dalam mempertahankan
pendiriannya masing-masing. Ternyata Wali Al Fatah tidak
berkutik menghadapi hujjah-hujjah yang disampaikan S.M.
Kartosoewirjo yang kesimpulannya bahwa NII lah Negara yang
sah, baik menurut pandangan Islam maupun pandangan
Internasional. Oleh karena itu umat Islam justru mendukung
NII, bukan mendukung Negara sekuler warisan Belanda.
Namun rupanya Wali Al Fatah belum terbuka hatinya untuk
menerima kebenaran ini karena di pandang terlalu berat
resikonya. Diapun kembali ke republik dengan membawa
kekecewaan ini, dia mengatakan kepada pemerintah bahwa
tidak ada alternatif lain untuk menghadapi gerakan NII,
kecuali dengan aksi militer.
Memang demikian akhirnya, setelah himbauan Natsir
gagal maka tentara republik melancarkan Operasi merdeka
yaitu operasi militer terhadap TII dan bekas-bekas gerilyawan
lainnya. Kurang lebih selama delapan bulan saja M. Natsir
bisa bertahan menjadi perdana menteri sebab pada bulan
April 1951 dia harus meletakkan jabatannya yang kemudian
di gantikan oleh Sukiman, juga seorang politisi dari kalangan
Masyumi.

71

Anda mungkin juga menyukai