Anda di halaman 1dari 23

Sarekat Islam

Syarikat Islam (disingkat SI) dahulu bernama Sarekat


Dagang Islam (Disingkat SDI) didirikan pada tanggal 16
Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi SDI merupakan
organisasi yang pertama kali lahir di Indonesia, pada
awalnya Organisasi yang dibentuk oleh Haji Samanhudi ini
adalah perkumpulan pedagang-pedagang Islam yang
menentang masuknya pedagang asing untuk menguasai
komplar ekonomi rakyat pada masa itu. Selanjutnya pada
tahun 1912 berkat keadaan politik dan sosial pada masa
tersebut HOS Tjokroaminoto menggagas SDI untuk
mengubah nama dan bermetamorfosis menjadi organisasi
pergerakan yang hingga sekarang disebut SYARIKAT
ISLAM, Hos Tjokroaminoto mengubah yuridiksi SDI lebih
luas yang dulunya hanya mencakupi permasalahan ekonomi dan sosial. kearah politik dan
Agama untuk menyumbangkan semangat perjuangan islam dalam semangat juang rakyat
terhadap kolonialisme dan imperialisme pada masa tersebut.
Sejarah awal
Sarekat Dagang Islam
Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-
pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905,
dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang
batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-
pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status
yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia Belanda lainnya. Kebijakan yang sengaja
diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial
karena timbulnya kesadaran di antara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.
SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian
rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini
berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisurjo pada
tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo
mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S.
Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama
Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat
kabar SI, Oetusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah
nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji
Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar
organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti
politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan jiwa dagang.
2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.
5. Hidup menurut perintah agama.
SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI
adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan
mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat
muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral
Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran
dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar
terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan
kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum
pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI
berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917, yaitu HOS
Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel Moeis yang juga tergabung dalam CSI menjadi anggota
volksraad atas namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan bukan mewakili Central SI
sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang menjadi tokoh terdepan dalam Centraal Sarekat
Islam. Tapi Tjokroaminoto tidak bertahan lama di lembaga yang dibuat Pemerintah Hindia
Belanda itu dan ia keluar dari Volksraad (semacam Dewan Rakyat), karena volksraad
dipandangnya sebagai "Boneka Belanda" yang hanya mementingkan urusan penjajahan di
Hindia ini dan tetap mengabaikan hak-hak kaum pribumi. HOS Tjokroaminoto ketika itu telah
menyuarakan agar bangsa Hindia (Indonesia) diberi hak untuk mengatur urusan dirinya sendiri,
yang hal ini ditolak oleh pihak Belanda.
Syarikat Islam
Potret bersama rapat Sarekat Islam di Kaliwungu. Hadir para anggota dari Kaliwungu,
Peterongan, dan Mlaten, serta anggota Asosiasi Staf Kereta Api dan Trem (VSTP)
[1]
Semarang.
Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI
diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam
bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya,
dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan jiwa dagang.
2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.
5. Hidup menurut perintah agama.
SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI
adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan
mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat
muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral
Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran
dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar
terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan
kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum
pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI
berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
Kongres-Kongres Awal
Kongres pertama diadakan pada bulan Januari 1913. Dalam kongres ini Tjokroaminoto
menyatakan bahwa SI bukan merupakan organisasi politik, dan bertujuan untuk meningkatkan
perdagangan antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang mengalami kesulitan ekonomi
serta mengembangkan kehidupan relijius dalam masyarakat Indonesia.
Kongres kedua diadakan pada bulan Oktober 1917.
Kongres ketiga diadakan pada tanggal 29 September hingga 6 Oktober 1918 di Surabaya. Dalam
kongres ini Tjokroaminoto menyatakan jika Belanda tidak melakukan reformasi sosial berskala
besar, SI akan melakukannya sendiri di luar parlemen.
Masuknya pengaruh komunisme
SI yang mengalami perkembangan pesat, kemudian mulai disusupi oleh paham sosialisme
revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV
(Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah
mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak berakar di
dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga
usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai
"Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang
sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.
Dengan usaha yang baik, mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen,
Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI
Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen. SI
merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme.
Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam tubuh SI antar lain:
1. Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang
lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin cabang
memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal ini Semaoen
adalah ketua SI Semarang.
2. Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat
pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-politik.
Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya dari 1700
orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela kesibukannya
sebagai Ketua SI Semarang.
3. Akibat dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan
membumbungnya harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk
mengimbangi kas pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat memihak
pada ISDV.
4. Akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka (sistem
liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes yang
melanda pada tahun 1917 di Semarang.
SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo)
berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono)
berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah
penengah di antara kedua kubu tersebut.
Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern
(Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Pada saat kongres SI
Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur
yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan
komunis karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu Agus Salim mengecam SI
Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam beleid
(Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga menentang pencampuran
agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI haluan kanan
(SI Putih).







Penegakan disiplin partai
Pecahnya SI terjadi setelah Semaoen dan Darsono dikeluarkan dari organisasi. Hal ini ada
kaitannya dengan desakan Abdul Muis dan Agus Salim pada kongres SI yang keenam 6-10
Oktober 1921 tentang perlunya disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Anggota SI
harus memilih antara SI atau organisasi lain, dengan tujuan agar SI bersih dari unsur-unsur
komunis. Hal ini dikhawatirkan oleh PKI sehingga Tan Malaka meminta pengecualian bagi PKI.
Namun usaha ini tidak berhasil karena disiplin partai diterima dengan mayoritas suara. Saat itu
anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah dan Persis pun turut pula dikeluarkan, karena disiplin
partai tidak memperbolehkannya.
Keputusan mengenai disiplin partai diperkuat lagi dalam kongres SI pada bulan Februari 1923 di
Madiun. Dalam kongres Tjokroaminoto memusatkan tentang peningkatan pendidikan kader SI
dalam memperkuat organisasi dan pengubahan nama CSI menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).
Pada kongres PKI bulan Maret 1923, PKI memutuskan untuk menggerakkan SI Merah untuk
menandingi SI Putih. Pada tahun 1924, SI Merah berganti nama menjadi "Sarekat Rakyat".
Partai Sarekat Islam Indonesia
Pada kongres PSI tahun 1929 menyatakan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai
kemedekaan nasional. Karena tujuannya yang jelas itulah PSI ditambah namanya dengan
Indonesia sehingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun itu juga PSII
menggabungkan diri dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI).
Akibat keragaman cara pandang di antara anggota partai, PSII pecah menjadi beberapa partai
politik, di antaranya Partai Islam Indonesia dipimpin Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII
Abikusno, dan PSII sendiri. Perpecahan itu melemahkan PSII dalam perjuangannya. Pada Pemilu
1955 PSII menjadi peserta dan mendapatkan 8 (delapan) kursi parlemen. Kemudian pada Pemilu
1971 pada zaman Orde Baru, PSII di bawah kepemimpinan H. Anwar Tjokroaminoto kembali
menjadi peserta bersama sembilan partai politik lainnya dan berhasil mendudukkan wakilnya di
DPRRI sejumlah 12 (dua belas orang).






Tentang ISDV, Cikal Bakal PKI di Indonesia
ISDV merupakan sebuah organisasi atau partai yang berpaham Sosialis. Seiring berjalannya
waktu, partai ini berhaluan atau berpaham komunis (cikal-bakal lahirnya PKI). Pada tahun 1914,
Sneevliet dan kawan-kawan giat melebarkan jaringan-jaringannya di kota Semarang dan
Surabaya. Sneevliet telah berhasil memikat beberapa orang pengurus dan anggota Serikat Islam
cabang Semarang, di antaranya Semaun dan Darsono. Semaun adalah Ketua Cabang Serikat
Islam Semarang, sedangkan Darsono adalah seorang wartawan. Sneevliet sering diundang oleh
Semaun untuk memberikan ceramah tentang sosialisme di gedung Serikat Islam cabang
Semarang.







ISDV, Semarang 1917, H. Sneevliet di Tengah
Ideologi Marxisme datang ke Hindia pada masa sebelum perang dunia pertama. Paham tersebut
dibawa pemimpin buruh Belanda bernama H.J.F.M Sneevliet. Pada 9 Mei 1914 dengan orang
sosialis lainnnya seperti J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan P.Bregsma mendirikan Indischee
Sociaal-demokratische Vereniging (atau disingkat ISDV) di Surabaya.

J. A. Brandstender HW. Dekker atau Multatuli






P. Bergsma dan Keluarga
Perkembangan ISDV sangat lambat sehingga mereka bersekutu dengan Insulinde. Karena tidak
sepaham, ISDV terpisah dari Insulinde. Seiring waktu, mereka bersekutu dengan SI atau Sarekat
Islam. Sneevliet berhasil menyusup ke dalam kubu SI dengan membuat keanggotaan ganda di
antara anggota SI dengan ISDV. Pada tahun 1917, Semaun dan Darsono resmi menjadi anggota
ISDV, merangkap sebagai pimpinan Serikat Islam cabang Semarang. Semaun berhasil
meningkatkan jumlah keanggotaan SI Semarang menjadi 1700 anggota di tahun 1916 dan
20.000 orang setahun setelahnya.
Karena membawa ideologi Marxis dari pengaruh ISDV, mereka berseberangan dengan CSI
(Central Sarekat Islam) pimpinan H.O.S Cokroaminoto. Pada saat Revolusi Bolsyewick di Rusia
tahun 1917, ISDV telah bersih dari pengaruh-pengaruh moderat dan lebih condong ke sifat yang
komunistis. Kemenangan Bolsyewik atas Dinasti Tsar Rusia mendorong elemen komunis yang
ada di negara Hindia Belanda untuk mengikuti jejak yang ada.
Pada tahun 1917, ISDV mengerahkan pelaut Belanda untuk mengumpulkan 3000 orang untuk
melakukan aksi atau gerakan ISDV, yaitu demonstrasi sehingga memicu bentrokan dengan polisi
Hindia. Sementara itu, partai moderat mendesak pemerintah agar menggantikan Volksrad
dengan parlemen pilihan rakyat.
Krisis tersebut segera mereda setelah Gubernur Jenderal van Limburg Stirum menjanjikan akan
mengadakan perubahan yang luas. Setelah semua terkendali, pemerintah kolonial segera
mengambil tindakan keras. Anggota militer yang indisipliner dihukum berat. Sneevliet diusir,
sedangkan Darsono, Abdul Muis, dan beberapa pemimpin lainnya ditangkap. ISDV pun menjadi
mati suri.
Tahun 1919 merupakan tahun yang sulit bagi ISDV. Karena pemimpin mereka banyak yang
ditangkap. Di sisi lain, pada tahun 1918, Darsono diangkat sebagai propagandis resmi SI dan
Semaun diangkat sebagai Komisaris wilayah Jawa Tengah. Di dalam SI, Semaun dan Darsono
berupaya untuk meningkatkan pengaruhnya agar SI menjadi lebih radikal.







Darsono dan Anaknya
Komintern didirikan pada tahun 1919 yang pengaruhnya terasa di Indonesia. Komintern menilai
banyak sekali terjadi kegagalan dalam merencanakan program komunisnya di Asia. Lenin
menyatakan bahwa untuk Asia, garis politik komintern harus bekerja sama dengan kaum borjuis
nasional (kaum terpelajar yang memimpin pergerakan Nasional) dan menggunakan organisasi
rakyat terjajah.
Pada tanggal 5 Maret 1919 M, di Moskow, Rusia, diadakan Kongres Komunis Internasional
III. Lenin, pemimpin Kongres Komintern, menyerukan penyeragaman nama bagi semua gerakan
Komunis sedunia. Social Democratische Arbeideispartij (SDAP) di Belanda juga
mengumumkan dirinya sebagai Partai Komunis Belanda (CPN) sehingga para anggota ISDV
dari golongan Eropa mengusulkan untuk mengikuti jejak itu. Pada 23 Mei tahun 1920, ISDV
mengubah namanya menjadi Perserikatan Komunis Indonesia Hindia, kemudian pada bulan
Desember tahun 1920 diubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia di gedung Serikat
Islam cabang Semarang dengan susunan pengurus:
Ketua : Semaun
Wakil Ketua : Darsono
Sekretaris : Bergsma
Bendahara : Dekker
Anggota : Adolf Baars



Adolf Baars
Di SI sendiri mulai terjadi perpecahan karena adanya perbedaan tujuan dan taktik perjuangan
antara golonangan kiri dan kanan. Pemimpin di golongan kiri adalah Semaun, Alimin, dan
Darsono. Sedangkan, kubu kanan yang berpusat di Yogyakarta dipimpin oleh Abdul Muis, Agus
Salim, dan Suryoranoto. Golongan kiri kemudian mendirikan Revolutionnaire Vak Centrale
(RVC) dan berkedudukan di Semarang.
Di dalam kongres SI tanggal 6-10 Oktober 1921, pertentangan semakin memuncak. Agus Salim
dan Abdul Muis mendesak agar segera dilakukan disiplin partai, yaitu melarang keanggotaan
rangkap. Namun, Tan Malaka meminta agar peraturan disiplin partai itu tidak diterapkan bagi
PKI karena perjuangan Islam sejak awal telah bersama-sama komunis. Disiplin partai diterima di
dalam kongres dengan suara mayoritas sehingga langkah untuk mengakhiri penyusupan PKI ke
dalam tubuh SI berhasil.

Sebuah Rapat Sarekat Islam
Pada tahun 1922, terjadi pemogokan secara besar-besaran yang melibatkan PKI dan SI.
Akibatnya, Abdul Muis, Tan Malaka, dan Bergsma ditangkap dan diasingkan sehingga muncul
kekosongan kepemimpinan pada tubuh PKI. Semaun segera mengambil alih kepemimpinan
dalam PKI. Ia berusaha memperbaiki hubungan dengan SI. Akan tetapi, usaha tersebut gagal
karena pada bulan Februari tahun 1923, di Madiun, Cokroaminito mempertegas aturan disiplin
organisasi SI.
PKI kemudian menggerakan kubu SI-Merah untuk menandingi SI-Putih yang dipimpin oleh
Cokroaminoto. Pada kongres PKI, pada bulan Maret tahun 1923, diputuskan untuk mendirikan
SI-Merah di tempat yang terdapat SI-Putih. Untuk membedakan dengan lawannya, golongan kiri
dalam SI mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat pada bulan April tahun 1924. Mulai saat
itu, pendidikan komunis dilakukan secara intensif.
PKI tumbuh menjadi partai politik dengan jumlah masa yang besar. Akan tetapi jumlah anggota
intinya sedikit sehingga kurang dapat mengontrol dan menanam disiplin kepada anggotanya.
Akibatnya, pada akhir tahun 1924 beberapa cabang Sarekat Rakyat di daerah-daerah
menjalankan aksi terornya sendiri-sendiri. Hal itu menyebabkan munculnya antikomunis di
masyarakat Islam dan menimbulkan tindakan tegas dari pemerintah Belanda. Pada Desember
1924 di Yogyakarta, para pemimpin PKI berinisiatif untuk melebur Sarekat Rakyat dalam PKI.

Lambang Partai Komunis Indonesia
PKI telah menempatkan diri sebagai partai yang besar sehingga PKI merasa kuat untuk
melakukan pemberontakan pada tahun 1926. Pemberontakan dirancang oleh Sarjono, Budi
Suciarto dan Sugono. Tokoh lain seperti Tan Malaka tidak menyetujui pemberintakan tersebut,
namun Alimin dan kawan-kawannya tetap meneruskan persiapan tersebut.

Tan Malaka
Pemberontaan meletus pada bulan November 1926 di Batavia. Disusul tindak kekerasan di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam satu hari, pemberontakan di Batavia dapat diredam
dan dalam satu minggu pemberontakan di seluruh Jawa dapat dihentikan.

PKI di Batavia
Di Sumatra, pemberontakan meletus pada tanggal 1 Januari tahun 1927 dan dalam tiga hari,
pemberontakan ini dapat dihentikan. Akhirnya, puluhan ribu pengikut PKI ditangkap dan
dipenjarakan. Ada juga yang dibuang ke daerah lain seperti Papua, Tanah Merah, dan Digul
Atas. Sejak pemberontakan itu, organisasi pergerakan nasional Indonesia juga ikut merasakan
imbasnya. Mereka mengalami penindasan oleh pemerintah Belanda sehingga sama sekali tidak
dapat bergerak.
Hampir sepuluh tahun kemudian, Komintern mengirimkan Musso pada bulan April 1935.
Dengan bantuan Joko Sujono, Pamuji, dan Achmad Sumadi mendirikan PKI ilegal. Musso
dikirimkan untuk menjalankan kebijakan baru yang bernama Doktrin Dmitrov. Georgi Dmitrov
adalah sekretaris jenderal Komintern tahun 1935-1945. Isi doktrin adalah gerakan komunis harus
bekerja sama dengan kekuatan manapun juga. Sehubungan dengan doktrin tersebut, Musso
beranggapan bahwa pemerintah kolonial dapat melunakan sikapnya terhadap kaum Komunis
Indonesia. Tetapi, harapan itu tidak terealisasi sampai Jepang datang ke Indonesia. Bahkan, pada
tahun 1936 Musso sudah meninggalkan indonesia lagi.

Musso
Akhirnya, kegiatan komunis Indonesia disalurkan melalui Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)
yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin.

Amir Syarifuddin
Perpecahan demi Perpecahan Sarekat Islam
Hubungan para pendirinya dan Sarekat Islam ibarat pepatah (yang dipelesetkan): Pucuk tak
dicita, malah ulam tiba. Betapa tidak. Keempat tokoh pendiri Sarekat Islam, yakni Haji
Samanhudi, Tirto Adi Suryo, Martodarsono, dan Joyomargoso, tidak pernah bercita-cita
membentuk Sarekat Islam, sebagaimana Wahidin Sudirohusodo dan para siswa Sekolah Dokter
Pribumi dengan Budi Utomo. Mereka berempat boleh dikata hanya terjebak ke dalam peristiwa,
yang dilihat dari segi cita-cita, tidak berkaitan dengan pembentukannya. Boleh jadi karena itu
Sarekat Islam sejak awal sudah mengandung benih perpecahan yang lebih rawan daripada
organisasi-organisasi pergerakan lain.
Peristiwa itu adalah perkelahian antara dua perkumpulan sosial, yaitu Kong Sing dan Rekso
Rumekso. Kong Sing merupakan perkumpulan tolong-menolong untuk penguburan milik orang
Tionghoa, sedang Rekso Rumekso perkumpulan jagamalam milik para pengusaha batik Pribumi
di bawah pimpinan Haji Samanhudi di Lawean, Surakarta.
Semula, Samanhudi anggota Budi Utomo, hal yang rupanya membuat para pengusaha batik
Tionghoa cemas jangan-jangan Budi Utomo mendirikan organisasi pengusaha batik di bawah
pimpinan Samanhudi. Segera mereka mengajak Samanhudi bergabung ke dalam Kong Sing.
Samanhudi setuju, dan dengan dia ikut-serta banyak pengusaha batik Pribumi, konon jumlahnya
melebihi pengusaha batik Tionghoa.
Namun, bulan madu mereka tidak berlangsung lama. Akhir 1911, bentrokan antara kedua
perkumpulan mulai pecah dan seterusnya makin gawat. Mungkin gara-garanya adalah
kemenangan Revolusi Tiongkok terhadap penguasa Dinasti Qing, 10 Oktober 1911. Segera
setelah kemenangan tersebut, rasa kebangsaan Tionghoa memuncak dan bagi orang Pribumi
mungkin terkesan berlebihan. Samanhudi dan pengikutnya keluar dari Kong Sing, dan Rekso
Rumekso segera dibentuk.
Polisi campur-tangan. Samanhudi merasa terpojok karena dimintai bukti status badan hukum
Rekso Rumekso. Jangankan bukti, Samanhudi dan semua pengikutnya samasekali tidak paham
mengenai seluk-beluk status badan hukum tersebut. Ia pun minta tolong kepada temannya,
Joyomargoso, pegawai di Kepatihan. Giliran Joyomargoso minta tolong pada temannya,
Martodarsono, bekas anggota redaksi suratkabar Medan Prijaji, dan akhirnya Martodarsono
minta tolong kapada Tirto Adi Suryo, pemilik suratkabar itu dan pendiri beberapa organisasi
berstatus badan hukum di Batavia dan Bogor, seperti Sarekat Prijaji, Sarekat Dagang Islamijah,
dan Sarekat Dagang Islam.



Jejak Tan Malaka di Kampung Gendong,
Kelurahan Sarirejo, Semarang Timur
Di manakah Tan Malaka, salah satu pahlawan nasional RI kelahiran Suliki, Sumatera Barat ini,
saat ia ke Semarang pada tahun 1921? Masih adakah jejak bangunan-bangunan bersejarah yang
saat ini masih selamat, yang pernah dipergunakannya untuk memimpin rapat-rapat umum di
masa silam? Di manakah sekolah rakyat yang pernah didirikannya di kota ini?
Sejarah mencatat bahwa ia pernah mendirikan Sekolah Sarekat Islam (SI) Semarang di masa SI
Semarang dipimpin Semaun. Sejarah pula mencatat ia adalah pemimpin pemogokan umum di
Semarang, yang kemudian tindakannya itu membuat Pemerintah Kolonial mengusirnya ke
Kupang.
Dengan memperhatikan buku-buku sejarah Semarang, kita akhirnya mendapati jejak-jejaknya.
Setidaknya masih ada satu gedung yang terlacak, yang hingga kini masih berdiri tegap, namun
kondisinya memprihatinkan dan diperkirakan akan roboh apabila tidak terselamatkan jika
Pemkot Semarang tidak tidak melindunginya sebagai bagian dari cagar budaya atau calon cagar
budaya, sebab saat ini memang belum ada Surat Keputusan Wali Kota Semarang yang
menetapkan gedung ini sebagai cagar budaya.
Gedung tersebut adalah Gedung Rakyat Indonesia (GRI) yang berlokasi di Kampung Gendong,
Kelurahan Sarirejo, Semarang Timur, Kota Semarang. Lokasinya sangat dekat dengan lokasi
kelurahan. Jika Anda ingin ke sana, bisa ke Kelurahan Sarirejo dan minta tolong agar
ditunjukkan di mana gedung bekas kantor Sarekat Islam, Anda pasti akan ditunjukkan.
Di sinilah Tan Malaka dahulu memimpin rapat-rapat umum kalau malam, dan kalau siang tempat
ini dipergunakan untuk sekolah.
Soekirno, Ackting Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang, memberi petunjuk keberadaan
Tan Malaka di situ, lewat bukunya yang berjudul Semarang, terbitan tahun 1956, sebagai
berikut:
-Gedung Rakyat Indonesia (GRI) didirikan Semaun dkk pada tahun 1919 dan selesai tahun 1920,
dengan beriuran. 1 sen-2 sen. Yang tidak memiliki uang, menyumbangkan bahan bangunan
seperti bata dll.
-Kalau siang, GRI dipergunakan untuk sekolah dan kalau malam dimanfaatkan untuk rapat-rapat
umum.
-Ketika Sarekat Islam pecah, timbullah Sarekat Rakyat, onderbouw Partai Komunis Indonesia
(PKI). Pemimpinnya yang memanfaatkan gedung itu antara lain adalah Tan Malaka.
-Ketika terjadi pemberontakan 1926-1927, seiring pembuangan para pemimpinnya ke Digul,
Papua, gedung ini ditutup.
Saat Tan Malaka tiba di Semarang pada tahun 1921 dan bertemu ketua PKI Semaun, serta mulai
terjun ke kancah politik, ia mendapati kota ini sebagai pusatnya kaum merah.
Dalam buku otobiografinya yang berjudul Dari Penjara ke Penjara, menuliskan secara khusus
tentang kota ini dengan judul bab: Semarang Kota Merah.
Saat itu, pemimpin buruh berdarah Belanda, Henk Sneevliet, sudah dibuang dari Indonesia.
Sneevliet adalah bule Belanda, pemikir sosialis, juga seorang Katolik yang taat, namun menjadi
filsuf dan memberi pengaruh kuat bagi arekat Islam Semarang dengan ide-ide kemerdekaan dari
penjajahan kolonial Belanda.
Keistimewaan SI Semarang

Inilah yang membedakan dan memberi nilai unik pada diri Sarekat Islam Semarang, dibanding
pergerakan lainnya. Di tangan Semaun, muslim dan nonmuslim menyatu pada diri SI Semarang.
Di tangan Semaun pula, bule berdarah Belanda dan pribumi menyatu untuk melawan
penindasan. Dan di tangan Semaun serta Sneevliet, SI Semarang menunjukkan ide-ide dan
praktik rintisan ke arah kemerdekaan bangsa Indonesia. SI Semarang di tangan Semaun jauh
lebih memiliki konsep dan arah gerakan yang lebih nyata dibanding katakanlah Boedi Utomo
dan lainnya. Cabang-cabang yang memusatkan diri pada SI Semarang pun lebih menusantara. Di
Jawa dan Sumatera, gerakan kaum Islam Merah yang menginduk Semarang, sangatlah kuat.
Ketika SI Semarang menjadi kekuatan yang kian meluas, kekuatannya mulai mampu
mengimbangi pusatnya, Surabaya. Dalam keadaan tak terbendung, SI pun pecah, menjadi SI
Surabaya pimpinan HOS Cokroaminoto dan SI Semarang pimpinan Semaun. SI Semarang inilah
yang kemudian menjadi Sarekat Rakyat (SI Merah), onderbouw dari Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Kehadiran Tan Malaka di Semarang, menjadi angin baru bagi pergerakan Islam Merah (PKI)
dengan kaum Islam Surabaya. Baginya, seperti ia nyatakan sendiri dalam otobiografinya, kalau
sudah berteman dengan Cokroaminoto, susah untuk memutus tali persaudaraan. Tan Malaka
menyatakan rasa hormatnya yang tinggi terhadap Raja Jawa Tak Bermahkota tersebut.
Pergerakan Islam di Semarang, sangat welcome terhadap ide-ide komunisme. Di Sarekat Islam
Semarang, antara Islam dan komunisme sudah seperti unsur H2 dan O dalam senyawa air.
Sarekat Islam Semarang inilah yang kemudian bermetamorfosa menjadi Sarekat Islam
Merah/Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketua PKI pertama adalah Semaun. Ini merupakan
partai komunis pertama di Asia. Semaun kemudian bergabung dengan Komunis Internasional
(Komintern) dan berangkat ke Uni Soviet, dan Tan Malaka menjadi ketua PKI menggantikan
Semaun.
Januari 1922 Tan Malaka ditangkap dan dibuang ke Kupang, lantaran aktivitas politiknya
sebagai pemimpin gerakan buruh. Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan
mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda. Ia menjadi mewakili Indonesia dalam Kongres
Komunis Internasional (Komintern) IV, kemudian diangkat sebagai Wakil Komintern di Asia
dan berkedudukan di Kanton.
Begitulah jejak Tan Malaka di Semarang hingga akhirnya ia diusir dari tanah Jawa, dan
berkelana ke berbagai penjuru dunia, karena mengalami kesulitan pulang ke Tanah Air. Ia
menjadi buronan pemerintah Inggris, Amerika, Perancis, Belanda, dan Australia. Sebab di mana
saja ada Tan Malaka, di situ selalu saja ada pergerakan kemerdekaan bangsa dan pergerakan
sosialisme.
Tan Malaka baru bisa pulang ke Indonesia ketika fasisme Jepang mulai berkuasa, dan segera
setelah itu ia dimata-matai Jepang karena sikap dan sifatnya yang antifasis. Ketika Jepang
menyerah kalah melawan Sekutu, pada 16 Agustus 1945 para pengikutnya seperti Sukarni dan
Chaerul Saleh, dll, tanpa sepengetahuannya mengadakan penculikan terhadap Soekarno-Hatta
dan memaksa keduanya agar memproklamirkan kemerdekaan RI.
Ketika proklamasi dilakukan pada 17 Agustus 1945, proklamasi itu tidak berani diumumkan ke
radio karena RI masih dalam pengawasan tentara Jepang yang menunggu kedatangan Sekutu.
Hingga sebulan sesudahnya, proklamasi itu tidak dipublikasikan, maka Tan Malaka mengarsiteki
para pengikutnya agar mengumpulkan seluruh rakyat Jakarta di Lapangan Ikada Jakarta, dan
kembali menculik Soekarno dan Hatta, membawa keduanya di tengah lapangan, dan memaksa
agar Soekarno mengumumkan ke rakyat bahwa Indonesia sudah memproklamasikan
kemerdekaan. Melihat keberanian rakyat Jakarta yang bergerak ke Lapangan Ikada, Jepang tidak
berani berbuat apa-apa, bahkan melukai satu orang pun saat itu, tidak dilakukan. Mengenai
kegiatan Tan Malaka di sekitar Proklamasi ini, dapat Anda baca di buku Tan Malaka, Gerakan
Kiri, dan Revolusi Indonesia karya Harry A Poeze, peneliti KITLV Belanda.
Tan Malaka segera ditahan karena mengganggu langkah perundingan yang dilakukan Pemerintah
RI dengan Pemerintah Belanda waktu itu. Tan Malaka dan pengikut-pengikutnya menolak
berunding dengan maling di rumah sendiri, dan merencanakan membakar seluruh aset Balanda
di Indonesia, supaya Belanda tidak punya apa-apa lagi, jika Belanda ingin kembali bercokol di
Indonesia.
Dalam otobiografinya Dari Penjara ke Penjara yang ia tulis di tahanan, tahun 1946, ia
menggambarkan kondisi di Kota Semarang saat ia memimpin pergerakan di kota ini.
Dikatakannya, pergerakan revolusi Indonesia prakemerdekaan, Revolusi Agustus (Proklamasi
Indonesia), dan revolusi mempertahankan Proklamasi Indonesia, tidak bisa lepas dari
pergerakannya Semarang Kota Merah.
Selain memberi penghargaan tinggi pada gerakan Sarekat Islam Semarang, Tan Malaka juga
memberi penghargaan tinggi terhadap pergerakan Indische Partij di Semarang yang pimpinannya
adalah Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara.
Masih dalam otobiografinya, Tan Malaka pun menuliskan pesan kepada bangsa Indonesia, jika
di suatu masa rakyat Indonesia betul-betul berkuasa penuh, supaya jasa-jasa Henk Sneevliet
terhadap Republik Indonesia tersebut dikenalkan kepada generasi penerus.
Kisah GRI Selanjutnya

Setelah GRI Gendong ditutup lantaran pemimpin-pemimpinnya dibuang ke Digul, sebagai akibat
mereka melakukan pemberontakan bersenjata melawan kolonial Belanda, kisah gedung ini tak
selesai sampai di situ. Riwayatnya masih panjang.
Soekirno dkk dalam buku Semarang, halaman 47, menggambarkan riwayat GRI Gendong
pascapemberontakan sbb:
-Tahun 1930, GRI Jl Gendong itu dibuka lagi oleh panitia yang terdiri dari PBI (Persatuan
Bangsa Indonesia), Partindo (Partai Indonesia), PNI (Pendidikan Nasional Indonesia), dan lain-
lain, dan selanjutnya untuk rapat-rapat.
-Ketika keadaan berkembang (1930-1938), GRI Gendong itu pernah didatangi di antaranya Bung
Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, AK Gani, Amir Syarifudin, Muhammad Yamin,
Woejaningrat, dr Soetomo, dll.
-Ketika Jepang masuk, menurut buku Semarang tersebut, gedung eks SI ini tidak untuk apa-
apa, hanya dijaga saja.
-Di waktu Proklamasi Kemerdekaan RI, gedung itu tidak terpakai.
-Pada waktu Pertempuran Lima Hari di Semarang, gedung eks SI itu dipergunakan sebagai Pos
Palang Merah.
-Setelah itu dikuasai Bapri yang diketuai Mr Ichsan.
-Oleh Mr Ichsan, GRIS Gendong ini selanjutnya diserahkan ke PAGRI (Panitia Gedung Rakyat
Indonesia) yang dipimpin Mohammad, Soekamsi, dan Soedarso.
Pada penjelasan tentag GRI di halaman 47 buku Semarang tersebut, tidak langsung disebut
alamat GRI. Namun pada halaman lain, yakni pada halaman 191-197, selain organisasi-
organisasi yang sudah disebutkan tadi, disebutkan organisasi-organisasi buruh yang pernah
beralamat di GRI Gendong No 1144 Semarang. Jika Anda ke GRI Kampung Gendong, sampai
sekarang ubin bertuliskan S.I itu masih ada, hanya ubinnya itu kini mulai rusak dan tak terawat.
Susunan tiang-tiang bangunan itu pun masih sama persis dengan foto Tan Malaka bersama
murid-muridnya pada buku The Raise of Indonesian Communism karya Ruth T McVey, Cornell
University.
Mengingat tingginya sejarah GRI Semarang peninggalan Sarekat Islam ini, kita berharap gedung
bersejarah ini nantinya dapat menjadi cagar budayanya Kota Semarang.
Saya perlu menekankan ini mengingat pada tahun 2008 silam Pak Masduki dkk (mantan wakil
bupati Kendal era Hendy Boedoro periode pertama) dan Prof Rifki Muslim (dari Yayasan Balai
Muslimin Semarang) maju ke wali kota Semarang untuk mendirikan bangunan tiga lantai di atas
lahan gedung GRI itu.
Rencananya lantai tiga untuk pendidikan, lantai dua untuk bidang kesehatan, dan lantai pertama
untuk disewa-sewakan. Atas rencananya itu, Pak Masduky menyatakan dirinya sebagai wakil
dari NU, dan rencana itu kabarnya juga diketahui wakil dari DPC Muhammadiyah Semarang
(Pak Abdul Rosyid) dan wakil dari SI (Pak Baharuddin), dan PC NU Kota Semarang (KH
Hadlor Ihsan).
Itu artinya gedung asli GRI ini akan hilang, bila rencana Masduki dkk ini berjalan. Baru-baru ini
Pak Masduky dkk maju lagi ke wali kota Semarang, untuk melanjutkan rencananya itu.
Kita berharap wali kota Semarang sekarang memiliki wawasan cagar budaya, sehingga gedung
itu tetap dipertahankan keasliannya, dan diperbaiki dengan mempertahankan keasliannya, agar
nilai sejarah bangsa ini yang ada di gedung itu tetap aman. Nantinya pun, kalau itu dipugar
seperti aslinya, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan keagamaan dan pendidikan sebagaimana
semangat Sarekat Islam, dan dapat wisata sejarah. Masjid Demak yang sudah berabad-abad saja
bisa dipugar seperti aslinya, apalagi GRI Semarang yang usianya saat ini baru hampir satu abad.
Harusnya bisa!
Kiprah Tan Malaka Berikutnya

Kisah Tan Malaka selepas dirinya diusir dari Indonesia oleh Pemerintah Kolonial akan teramat
panjang kalau dilukiskan. Secara singkat, sebagainana ditulis Wikipedia, digambarkan sebagai
berikut:
-Tahun 1924, diangkat sebagai Ketua Biro Buruh Lalu Lintas dalam sebuah Konferensi Pan-
Pasifik yang diselenggarakan oleh utusan-utusan Komintern dan Provintern.
-Tahun 1925, menerbitkan buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia)
yang berisi konsep tentang negara Indonesia yang tengah diperjuangkan. Lebih dulu dari pleidoi
Mohammad Hatta didepan pengadilan Belanda di Den Haag yang berjudul Indonesia Vrije
(Indonesia Merdeka) (1928) atau tulisan Soekarno yang berjudul Menuju Indonesia Merdeka
(1933)
-Tahun 1925, masuk Filipina dengan nama Elias Fuentes dan berhasil menghubungi salah
seorang sahabat Semaun di sana, selanjutnya mendorong didirikannya Partai Komunis Filipina.
-Tahun 1926, masuk Singapura dengan nama Hasan Gozali, bertemu dengan Subakat, Sugono
dan Djamaluddin Tamim yang berhasil meloloskan diri dari Indonesia.
-Tahun 1927, bersama Subakat, Sugono, dan Djamaluddin Tamim mendirikan PARI (Partai
Republik Indonesia).
Pada tahun 1926-1927, di Tanah Air terjadi pemberontakan PKI melawan Belanda. Ini adalah
pemberontakan pertama di Indonesia.
-Tahun 1932, berhasil masuk Hongkong dengan nama Ong Soong Lee, kemudian tertangkap
oleh Polisi Rahasia Inggris. Setelah lebih kurang 2 bulan ditahan dalam penjara Hongkong,
Tan Malaka mendapat keputusan dikeluarkan ke Shanghai.
-Tahun 1936, mendirikan dan mengajar pada School for Foreign Languages di Amoy, Cina.
-Tahun 1937, Tan Malaka masuk Burma kemudian ke Singapura, bekerja sebagai guru bahasa
Inggris di Sekolah Menengah Tinggi Singapura.
-Tahun 1942, Tan Malaka masuk Penang menuju Medan, Padang, dan akhirnya tiba di Jakarta.
-Tahun 1943, menulis buku dan menyusun kekuatan bawah tanah (ilegal), dengan menjadi buruh
(romusha) pada tambang batu bara di Bayah (Banten) dengan nama Husein.
-Tahun 1945, mendorong para pemuda yang bekerja di bawah tanah pada masa pendudukan
Jepang (Sukarni, Chairul Saleh, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Maruto, dan lain-lain) untuk
mencetuskan revolusi yang kemudian terjadi dengan Proklamasi Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945.
-Tahun 1946, menjadi promotor Persatuan Perjuangan yang mengikatkan persatuan antara
sejumlah 141 organisasi terdiri dari pimpinan partai, serikat-serikat buruh, pemuda, wanita,
tentara, dan laskar.
-Tahun 1947, menentang politik Perundingan Linggarjati.
-Tahun 1948, menentang politik Perundingan Renville. Mendirikan Partai Murba dan Gerilya
Pembela Proklamasi.
-21 Februari 1949, Tan Malaka mati terbunuh di Kediri, Jawa Timur.
-1963, Presiden Soekarno memberi gelar pahlawan nasional kepada Tan Malaka.
Demikian sejarah Tan Malaka dan jejak-jejaknya di Semarang. Salam.
-Tulisan ini dibuat hari ini (1/6) di bus, perjalanan dari Semarang menuju ke Denpasar. Penulis
adalah editor di Harian Suara Merdeka, pehobi sejarah, tinggal di Semarang.


Penyelamatan Eks Kantor Sarekat Islam Semarang,
Selamatkanlah Juga Keaslian Bangunannya
SEJAK Mei 2008 silam kabar keberadaan bangunan bersejarah eks kantor Sarekat Islam (SI)
Semarang tersiar di media massa, hingga kini beluma ada progres dari Pemkot Semarang dan
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah untuk menyelamatkan bangunan yang saat ini
kondisinya kian memprihatinkan tersebut.
Padahal bangunan yang berlokasi di Jl Gendong Kelurahan Sarirejo Kecamatan Semarang Timur
ini memiliki jejak sejarah yang luar biasa, dari masa ke masa. Riwayat Sarekat Islam (SI)
Semarang atau yang dikenal juga sebagai Sarekat Islam (SI) Merah, kita boleh juga menyebutnya
sebaga SI Merah Semarang, merupakan sejarah internasional yang nilai kesejarahannya sudah
tidak mungkin akan dihapuskan.
Di markas Sarekat Islam Jl Gendong, Kelurahan Saridejo, Kecamatan Semarang Timur, Kota
Semarang, dulu Sekolah SI Semarang didirikan pahlawan nasional kita, Tan Malaka. Sekolah SI
Semarang merupakan sekolah bagi anak-anak kaum buruh yang miskin di era kolonialisme.
Dari pergerakan SI Merah Semaranglah kelak partai komunis pertama di Asia bediri. Dari sini
pula, kelak terlahir konsep pergerakan bangsa menuju negara Indonesia yang merdeka, yang
bernama Republik Indonesia. Konsep tertulis Menuju Republik Indonesia dan strateginya untuk
menggapai kemerdekaan, kali pertama ditulis salah satu pimpinan SI Merah Semarang, Tan
Malaka, pada tahun 1924. Delapan tahun kemudian, Bung Hatta menulis risalah Ke Arah
Indonesia Merdeka (1932). Setahun setelah Bung Hatta menulis risalah itu, atau sembilan tahun
setelah brosur Tan Malaka itu beredar, Bung Karno menulis risalah Mencapai Indonesia
Merdeka (1933).
Dari SI Semaranglah, pada tahun 19-belasan berkembang gerakan semacam teologi pembebasan,
perkawinan Islam dan sosialisme, berkembang tanpa memandang muslim atau nonmuslim atau
ras dan suku, untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Di Amerika Latin gerakan macam
teologi pembebasan ini baru berkembang pada tahun 1960-an.
Dari generasi-generasinya SI Semarang ini pun nantinya terlahir pemberontakan bersenjata untuk
kali pertamanya sepanjang masa penjajahan kolonial, terjadi pada tahun 1926-1927, yang
pemberontakannya menjalar ke seluruh Jawa dan hingga Sumatera. Kisah pemberontakannya ini
menjadi inspirasi bagi kaum pergerakan sesudahnya, dan riwayatnya menjadi buku pengantar
tidur para tokoh pendiri RI seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, dan banyak lagi.
Kita dapat membaca riwayat pergerakan SI Semarang pada buku-buku seperti Di bawah Lentera
Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang (1917-1920) karya Soe Hok Gie. Kemudian di buku
otobiografinya Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, yang pada salah satu babnya ia
menorehkan tinta tentang Semarang kota Merah. Tan Malaka adalah salah satu pemimpin SI
Merah Semarang yang pada tahun 1963 diberi kehormatan gelar pahlawan nasional oleh
Presiden Soekarno.
Pembaca yang budiman dapat pula mempelajari riwayat SI Semarang yang ditulis sejumlah
sejawaran dunia di luar negeri, antara lain di buku Kemunculan Komunisme Indonesia (1965)
karya Ruth McVey, sejarawan Cornell University. Kemudian di buku Nationalism and
Revolution in Indonesia (1952), Cornell University Press, karya George McTurnan Kahin.
Panjenengan pun bisa menikmati riwayat SI Semarang di buku biografi Tan Malaka yang ditulis
Harry A Poeze, peneliti dari KITLV Belanda, yang seumur hidupnya mengabdikan diri untuk
meneliti dan menulis sejarah Tan Malaka.
Mempertahankan Keaslian Bangunan

Pada 12 Juni 2008 silam pernah ada sejumlah pihak yang mengusulkan ke wali kota Semarang
untuk memanfaatkan lahan di atas bangunan bekas kantor SI Semarang ini, supaya diizinkan
membangun bangunan tiga lantai di atas lahan eks kantor SI Semarang di Jl Gendong itu.
Bangunan tiga lantai itu butuh dana Rp 5 miliar dan itu menjadi konsekuensi pemohon. Waktu
itu yang ditemui adalah Plt Wali Kota Semarang Mahfudz Ali, sebab wali kotanya, Pak Sukawi
Sutarip sedang cuti lantaran maju sebagai cagub dalam ajang Pemilihan Gubernur Jateng 2008.
Pak Mahfudz Ali kemarin saya konfirmasi mengenai itu, ia membenarkan pernah ada pengajuan
tersebut.
Mengganti bangunan lawas menjadi bangunan baru tiga lantai, berarti mayoritas keaslian
bangunan eks kantor SI Semarang tersebut akan dihilangkan. Menurut saya, kalau mau
mendirikan pusat layanan kesehatan yang mengedepankan pertimbangan bisnis atau
kesejahteraan ketimbang mempertahankan keaslian dan nilai sejarah bangunan lawas yang ada
sekarang, rasanya kok lebih baik mencari tempat lain saja.
Bayangkan seandainya bangunan Lawangsewu waktu banyak kerusakan dulu itu dipugar dengan
menghilangkan mayoritas keasliannya, setelah itu dibangun (misalnya) sebuah menara seperti
Menara Suara Merdeka atau hotel seperti Hotel Best Western Star, kemudian pada menara atau
hotel tersebut ditulisi Lawangsewu, apa jadinya?
Memang iya bangunan itu kondisinya memprihatinkan, namun sebenarnya masih bisa
diselamatkan. Kita semua berharap ke depan negara dalam hal ini Pemkot Semarang bisa
mengambil alih dan memperbaiki bangunan bersejarah ini dan mengelolanya, entah akan
dikelola bersama masyarakat atau akan dikelola Pemkot sendiri.
Status lahan dan bangunan eks kantor SI sekarang ini masih perlu ditelusuri. Sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan
Mangkrak, kalau memang suatu bangunan itu mangrak dan kepemilikannya tidak jelas, maka
haknya bisa dicabut menjadi milik negara. Danm karena bangunan tersebur usianya sudah di atas
50 tahun dan kriterianya sudah memenuhi syarat-syarat yang dipersyaratkan UU Cahar Budaya
No 11/2010, pemerintah dapat menjadikan itu sebagai cagar budaya.
Kalau Pemkot tidak memiliki anggaran, asal ada political will, Pemkot dan masyarakat setempat
bisa saja melibatkan masyarakat umum yang peduli.
Untuk sementara waktu kalau memang niatnya mau menyelamatkan kesejarahan bangunan itu,
tidak perlu dana Rp 5 miliar, tetapi mungkin dana sebesar harga satu rumah di Semarang tipe 29,
yakni sekitar Rp 100 juta atau Rp 150 juta, sudah cukup. Setelah itu nanti dipikirkan proses
menuju cagar budayanya dan pemugarannya.
Sementara waktu untuk menyelamatkan bangunan ini dari keruntuhan, warga sekitar, RT/RW
setempat mungkin bisa saja mengajukan dana bantuan sosial ke wali kota, dan nanti gedung itu
bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum warga, misalnya untuk pengajian, les anak sekolah,
untuk acara 17an, bisa untuk balai pertemuan warga tingkat RT dan RW, dapat juga untuk
pameran event kesenian. Yang penting warga dan Pemkot sudah sepakat menyelamatkan gedung
bekas kantor SI Semarang itu dulu.
Penemuan
Kita sepertinya harus berterima kasih kepada Mas Rukardi, sang penemu gedung eks SI
Semarang itu. Saya katakan penemu, ialah karena ia yang membaca buku-buku sejarah
Semarang, salah satunya buku Riwayat Semarang karya Liem Thian Joe (terbitan tahun 1933),
kemudian menelusuri ke Jl Gendong Semarang Timur, bertemu penjaganya, namanya Pak
Abdulrosjid, dan Pak Abdulrosyid membenarkan kalau itu eks kantor SI.
Mas Rukardi yang sekarang pemimpin redaksi Tabloid Cempaka ini menelusuri bekas kantor SI
ini sendirian. Dia pulalah yang kemudian mewartakan temuannya terhadap lokasi eks kantor SI
Semarang itu di harian Suara Merdeka pada tanggal 23 Mei dan 24 Mei 2008. Ia menulis dalam
tulisan berseri selama dua hari.
Tapi Mas Rukardi menolak disebut penemu. Menurutnya kalau menyebut dirinya itu sebagai
penemu, adalah terlalu berlebihan. Namun kalau disebut yang mewartakan, menurutnya itu lebih
pas. Saya saat itu pula kan saya wartawan Suara Merdeka yang floating, karena floating ya saya
banyak membaca bukku tentang sejarah Semarang, jadi mencari beritanya ya blusukan gitu,
kata dia pada saya.
Baiklah, bolehlah Mas Rukardi ini menolak disebut sebagai penemu, tetapi bagaimana pun ia
adalah penemu. Dia itu pemerhati sejarah, dan dia pulalah sejarawan yang menemukan dan
mewartakan ke publik. Jadi apa salahnya kalau disebut sebagai orang yang menemukan eks
kantor SI Semarang dan penjaganya, Pak Abdulrosyid.
Pekan lalu hari Jumat ((17/5), saya mendapat pinjaman buku dari Mas Pratono, jurnalis Radar
Semarang (Grup Jawa Pos), buku itu berjudul Semarang (1956), karya Soekirno dkk. Pada
halaman 47, ada penjelasan mengenai eks kantor SI Semarang. Saya tunjukkan buku itu ke Mas
Rukardi dan menurutnya ada data baru dari buku tersebut, bahwa ternyata gedung eks SI
Semarang itu dahulu jadi markas kaum pergerakan yang lintasindeologi.
Menurut Soekirno dkk, dalam buku itu, disebutkan, eks kantor SI Semarang itu dulunya berbama
Gedung Rakjat Indonesia (GRI), beralamat di Jl Gendong 1144 Semarang. Diceritakan di situ
sebagai berikut:
-GRI Jl Gendong dibuat pada tahun 1919 dan selesainya pada tahun 1920. Dibuat oleh Semaun
dan kawan-kawannya, dengann biaya yang didapat dari pengumpulan masyarakat 1 sen-2 sen,
dan ada pula bagi yang tidak punya uang menyumbangkan barang, misalnya bata dan
sebagainya.
-Jika siang, GRI Jl Gendong ini dimanfaatkan untuk sekolah, malam pada waktu lowong
difungsikan untuk rapat-rapat umum, pada waktu itu yang mempergunakan gedunng hanyalah
Sarekat Islam. Lama kelamaan, setelah pecahnya SI, muncullah Sarekat Rakjat (SR), yang
menjadi onderbouw-nya PKI (Partai Komunis Indonesia), di antara pemimpin/penganjur yang
memanfaatkan gedung itu adalah Tan Malaka.
-Antara tahun 1926-1927, bersamaan waktu penangkapan dan pembuangan terhadap pemimpin-
pemimpin dan rakyat Semarang yang mengadakan pemberontakan bersenjata terhadap
Pemerintah Kolonial Belanda ke Digul, gedung itu ditutup.
-Tahun 1930, GRI Jl Gendong itu dibuka lagi oleh panitia yang terdiri dari PBI (Persatuan
Bangsa Indonesia), Partindo (Partai Indonesia), PNI (Pendidikan Nasional Indonesia), dan lain-
lain, dan selanjutnya untuk rapat-rapat.
(Sebagai catatan, Pendidikan Nasional Indonesia, kita tahu, organisasi ini merupakan
organisasi pergerakan yang didirikan Bung Hatta, dan Bung Syahrir segera bergabung dalam
organisasi ini. Sedang Partindo, ialah partai yang berdiri karena dilatarbelakangi adanya
penangkapan para pemimpin PNI. Pimpinan partai kemudian dipegang Sartono SH, namun
Sartono menghawatirkan kelanjutan dan perkembangan PNI. Ia khawatir jika PNI dianggap
sebagai partai terlarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Akhirnya demi keselamatan, PNI
dibubarkan dan berdiri partai baru yaitu Partai Indonesia (Partindo). Namun, anggota PNI
yang tidak setuju dengan pembubaran, yakni Bung Hatta, Sutan Syahrir, dan kawan-kawan,
membentuk partai lain bernama PNI Pendidikan yang berpusat di Bandung. Setelah Bung karno
dibebaskan pada tahun 1931, ia memilih bergabung dengan Partindo. Adapun PBI, sejarahnya
begini, ini ada kaitannya dengan Indische Studie Club di Surabaya yang dipimpin Dr Sutomo.
Pada tahun 1931, perkumpulan itu diubah menjadi dengan tujuan perjuangannya untuk
menyempurnakan derajat bangsa Indonesia dengan melakukan hal nyata dan dapat dirasakan
oleh rakyat. Kemudian pada tahun 1935, PBI dan Budi Utomo bergabung dan selanjutnya
membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra) yang bertujuan untuk mencapai Indonesia Raya
dengan diketuai Dr Sutomo dan berpusat di Surabaya).
-Ketika keadaan berkembang (1930-1938), GRI Gendong itu pernah didatangi di antaranya Bung
Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, AK Gan, Amir Syarifudin, Muhammad Yamin, Woejaningrat,
dr Soetomo, dll.
-Ketika Jepang masuk, menurut buku Semarang tersebut, gedung eks SI ini tidak untuk apa-
apa, hanya dijaga saja.
-Di waktu Proklamasi Kemerdekaan RI, gedung itu tidak terpakai.
-Pada waktu Pertempuran Lima Hari di Semarang, gedung eks SI itu dipergunakan sebagai Pos
Palang Merah.
-Setelah itu dikuasai Bapri yang diketuai Mr Ichsan.
(Sekadar catatan, Mr Ichsan adalah tokoh penting di Semarang, namanya sekarang diabadikan
sebagai nama salah satu gedung di lingkungan Balai Kota Semarang).
-Oleh Mr Ichsan, GRIS Gendong ini selanjutnya diserahkan ke PAGRI (Panitia Gedung Rakyat
Indonesia) yang dipimpin Mohammad, Soekamsi, dan Soedarso.
Pada penjelasan tentag GRI di halaman 47 buku Semarang tersebut, tidak langsung disebut
alamat GRI. Namun pada halaman lain, yakni pada halaman 191-197, selain organisasi-
organisasi yang sudah disebutkan tadi, disebutkan organisasi-organisasi yang pernah beralamat
di GRI Gendong No 1144 Semarang, yaitu:
-SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) Cabang Semarang
-Perbum (Persatuan Buruh Minyak) Cabang Semarang
-SBKP (Serikat Buruh Kementerian Pertahanan) Cabang Semarang
-SBPI (Serikat Buruh Percetakan Indonesia) Cabang Semarang
-BTI (Barisan Tani Indonesia) Cabang Semarang
-Komite Rakyat Cabang Semarang
-Pemuda Rakyat Cabang Semarang
Demikian penjelasan Soekirno dkk. Dari penjelasan buku Soekirno, tak disangkal lagi bahwa
bangunan di Jl Gendong Sarirejo, Semarang Timur, Kota Semarang, yang ditunjukkan Pak
Abdulrosyid ke Mas Rukardi itu adalah bekas kantor SI Semarang yang sepeninggalan SI itu
menjadi markasnya kaum pergerakan yang punya latar belakang ideologinya bermacam-macam.

Anda mungkin juga menyukai