Anda di halaman 1dari 18

DINAMIKA SEREKAT ISLAM: POLITIK DAN EKONOMI DALAM PERIODE 1911-1942

Nur Nafisa Salsabila1, Izza Ilma Maula Zain2, Raras Dayinta Hastuti3, Fakrurrozi Zain4, Iqbal
Habibi5
1,2,3,4,5
Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Usuluddin Adab dan Humaniora, UIN Kiai Haji Achmad
Shiddiq Jember
Correspondence: nurnafisasalsabila@gmail.com

Abstract
Sarekat Islam is a pioneering organization of the movement to revive harmony for the people of
Indonesia. Sarekat Islam originated from the Sarekat Dagang Islam (SDI) which focused on
organizations in the socio-economic field under the leadership of Haji Samanhudi, after the change
of leader, SI led by Tjokroaminoto and began to move in the political field. This article aims to
analyze how Sarekat Islam made a very large contribution to nationalism in Indonesia, especially in
the political and economic fields. This research uses a qualitative approach method kind of
descriptive, so with this the research will work in a descriptive-analysis, until this article can produce
very useful social history works. From the results of this study, it shows that Sarekat Islam greatly
contributes to Indonesian nationalism, especially in the political and economic fields. In various
ways carried out by the leaders and members of the Sarekat Islam, the nationalism of the Indonesian
people burned so that they could resist colonial threats even with various obstacles.
Keywords: Sarekat Islam; Politic; Economic

Abstrak
Sarekat Islam merupakan organisasi pelopor gerakan kebangkitan kesadaran bagi rakyat Indonesia.
Sarekat Islam berawal dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang memfokuskan pada organisasi dibidang
sosial-ekonomi dibawah pimpinan Haji Samanhudi, sehingga setelah pergantian pemimpin yang
dipimpin oleh Tjokroaminoto SI mulai bergerak pada bidang politik. Artikel ini bertujuan untuk
menganalisis bagaimana Sarekat Islam memberikan kontribusi yang sangat besar kepada
nasionalisme di Indonesia terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Penelitian ini menggunakan
metode pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, sehingga dengan ini penelitian akan bekerja
secara analisis-deskriptif, hingga artikel ini dapat menghasilkan karya sejarah sosial yang sangat
bermanfaat. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sarekat Islam sangat berkontribusi besar
terhadap nasionalisme Indonesia terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Dengan berbagai cara
yang dilakukan oleh pemimpin dan para anggota Sarekat Islam, jiwa nasionalisme para rakyat
Indonesia membara sehingga dapat melawan ancaman-ancaman kolonial meskipun dengan berbagai
macam rintangan.
Kata Kunci: Sarekat Islam; Politik; Ekonomi
PENDAHULUAN
Gerakan- gerakan nasional di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonialisme Belanda, salah
satunya adalah gerakan Sarekat Islam yang dinilai sebagai pelopor kebangkitan nasional Indonesia.
Sarekat Islam merupakan salah satu organisasi yang berpengaruh dalam perkembangan politik di
Indonesia pada masa orde lama. Organisasi ini awalnya hanyalah sarekat dagang yang akhirnya
mampu memperluas cakupan kekuasaanya hingga ke ranah politik.
Sarekat Islam mengawali karirnya dengan dipimpin oleh H. Samanhudi, saat itu Sarekat
Islam masih berlabel dagang, jadi namanya adalah Sarekat Dagang Islam. Pergadangan pada zaman
kolonial Belanda masih di dominasi oleh bangsa Tionghoa, dominasi Tionghoa pada perdagangan
bahan batik membuat SDI yang bergerak di bidang ekonomi dan keagamaan mendorong kalangan
pribumi agar usahanya lebih maju. SDI dinilai membahayakan kedudukan pemerintahan Belanda
karena berhasil membangkitkan kesadaran kebangsaan di kalangan pribumi (Lathifa, 2020).
Semakin bertambahnya waktu, Sarekat Dagang Islam atau SDI tidak lagi terfokus hanya pada
bidang perdagangan saja. SDI mulai merubah namanya menjadi Sarekat Islam dan melebarkan sayap
kekuasaannya di bidang politik Indonesia. Sarekat Islam berperan penting dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Gerakan politik modern di Indonesia ditandai dengan munculnya Sarekat
Islam yang memiliki cara terbaru dalam perjuangannya mencapai kemerdekaan (Shiraishi, 2011).
Hadirnya sarekat Islam sebagai partai politik dan ideologinya mewarnai kehidupan perpolitikan di
Indonesia.
Dari masa ke masa perkembangan Sarekat Islam sudah mengalami berbagai pergantian nama
sampai bisa menjadi Partai Politik pertama di Indonesia. Meskipun begitu, tujuannya tetap sama
yaitu ingin membebaskan masyarakat Indonesia dari belenggu penindasan dan diskriminasi yang
dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Adanya latar belakang yang sedikit mendeskripsikan ini, penulis berhasil mendapatkan
sebuah rumusan masalah dari pokok penelitian ini yaitu bagaimana Sarekat Islam berkontribusi
terhadap nasionalisme di Indonesia? Tujuan penelitian ini, penulis sangat berharap agar dapat
mendeskripsikan dari fenomena sejarah dimasa lampau yang ditinjau dari sudut pandang ilmiah.

METODE
Didalam penulisan jurnal ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah yaitu heuristik,
verivikasi, interpretasi dan juga historiografi (Zulaichah, 2004) (Huda, 2028). Dalam pendekatannya
penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif (Sugiyono, 2008). Penelitian
kualitatif yang bersifat sistematis guna mendapatkan sumber yang bersifat ilmiah dengan tahapan-
tahapan inquiri. Penulis mengambil sumber-sumber literatur atau kepustakaan yang diperoleh dari
buku-buku, tulisan jurnal-jurnal, internet maupun hasil penelitian terdahulu. Dokumen-dokumen ini
tentu memenusi segala aspek kaidah-kaidah dokumen ilmiah yang kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan. Penting sekali untuk menganalisis data dari penelitian deskriptif kualitatif
untuk menggunakan pendekatan refleksi dan membuka diri dalam berbagai interpretasi yang
mungkin saja terkait dengan data yang dimaksud. Dari data kualitatif yang telah ditemukan perlunya
melibatkan proses-prose yaitu ketelitian, pemahaman yang mendalam dan juga kreativitas dalam
upaya menggambarkan dan menjelaskan temuan-temuan dari data kualitatif ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sarekat Islam Periode Pertama: 1911-1916
Lahirnya Sarekat Islam Surakarta
1. Proses Pembentukan
Sarekat Islam (SI) Surakarta merupakan perkembangan dari Sarekat Dagang Islam Surakarta
yang terbentuk atas inisiatif haji Samnhudi. Ia melihat adanya kepincangan pemerintahan dalam
menilai bangsa pribumi. Bersama dengan beberapa rekannya, Haji Samanhudi mengadakan rapat
untuk pertama kalinya mengenai posisi rakyat pribumi yang menjadi bangsa terendah di tanah
lahirnya sendiri, bahkan dianggap sebagai bangsa “kelas kambing” dan disebut inlander (Djaja,
1975).
Terbentuknya Sarekat Dagang Islam di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh Tirtoadisuryo.
Haji Samnhudi bekerjasama dengan tokoh pendiri Sarekat Dagang Islam di Bogor tersebut.
Penghapusan kata “dagang” dilakukan pada tahun 1912 dengan banyaknya pertimbangan agar
keanggotaan bersifat lebih terbuka, bukan hanya untuk kaum pedagang. Syarat utama untuk masuk
menjadi anggota SI adalah beragama Islam. Masalah profesi, bisa dilonggarkan. Karena keterbukaan
yang sedemikian lebar, maka massa SI membengkak dengan sangat cepat.
Pembentukan SI Surakarta berawal dari keperhatian haji Samanhudi melihat keadaan
bangsanya yang menjadi tanah bawah pemerintah kolonial. Pemikirannya menjadi nasionalis.
Bahkan menurutnya tekanan intensif pemerintah kolonial terhadap Bumiputera kian menjadi-jadi
setelah kegagalannya di Perang Diponegoro. Kesempatan penjajah untuk mengeksploitasi semakin
besar. Sejak itu di kalangan bangsa Indonesia mulai timbul gejala rendah diri yang lama-kelamaan
menjadi rasa perbudakan. Rakyat Indonesia kehilangan semangat dan mengiyakan segala permintaan
dan perintah meskipun mereka menyadari tindakan pemerintah itu tidak adil. Jika jiwa budak
iyudibiarkan berkelanjutan, akibatnya kelangsungan hidup bangsa Indonesia akan hancur. Karena
itulah timbul pikiran-pikiran untuk menguatkan bidang agama dan perdagangan. Tak cukup dengan
dua hal itu, ia juga menginginkan adanya pendidikan yang maju. Jawaban dari keinginan-
keinginannya adalah pembuntukan SI yang pada waktu itu telah menunjukkan adanya kesadaran
berbangsa, bukan hanya sekedar komersil (Yulianti, 2011).
Sebelum sampai pada masa-masa pembentukan SI, Samanhudi tergabung dalam sebuah
kelompok tolong menolong untuk pemakaman Kong Sing. Organisasi milik orang Cina ini
sesungguhnya merupakan sisa jaringan opium yang pernah sangat kuat dan dibangun oleh modal
serikat rahasia Cina. Samnhudi ditarik untuk bergabung ke dalam perkumpulan itu dan
meninggalkan Budi Utomo yang dikhawatirkan akan membentuk koperasi untuk Bumiputera yang
nantinya menjadi pesaing yang dijalankan oleh Kong Sing.
Pribumi yang memasuki Kong Sing semakin bertambah banyak, bahkan jumlahnya lebih dari
50% mengalahkan orang Tionghoa. Samanhudi berinisiatif untuk mendirikan organisasi serupa
untuk upaya bangsanya. Maka, dibentuknya Rekso Roemekso. Dalam perjalanannya Rekso
Roemekso menjadi semacam perkumpulan yang melindungi Kong Sing, antara dua kelompok itu
sering terjadi konflik.
Konflik-konflik yang terjadi menarik perhatian pemerintah kolonial yang akhirnya
mengantarkan Rekso Roemekso kepada proses pencarian badan hukum. Ketika dipertanyakan
perihal keabsahan perkumpulan yang ia bentuk, Samanhudi tidak dapat menunjukkan bukti apa-apa.
Samanhudi dan semua pengikutnya tidak paham mengenai seluk beluk status badan hukum tersebut.
Ia pun minta tolong kepada temannya Djojomargoso pegawai di Kepatihan. Djojomargoso minta
tolong kepada temannya, Martodarsono, bekas anggota redaksi surat kabar Medan Prijaji dan
akhirnya Martodarsono meminta tolong kepada Tirtoadisuryo pemilik surat kabar itu dan pendiri
beberapa organisasi berstatus badan hukum di Batavia dan Bogor.
Upaya pencarian badan hukum itu mempertemukan Haji Samanhudi dengan Tirtoadirsuryo.
Pertemuan antara mereka justru melahirkan nama baru Sarekat Dagang Islam yang selama satu tahun
kemudian menjadi Sarekat Islam. Terbentuknya Sarekat Islam berawal dari organisasi Sarekat
Dagang Islam (SDI) yang terdiri di Batavia (1909) dan di Bogor (1911) oleh Tirtodisuryo.
Pada tahun 1911 Tirtoadisuryo diminta oleh Samanhudi untuk membantu mengorganisir
terbentuknya Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta. Tirtoadisuryo tiba di Surakarta sekitar akhir
Januari awal Februari 1911 untuk menyusun Anggaran Dasar SDI Surakarta dirumuskan dan
ditandatangani oleh tirtoadisuryo pada tanggal 9 November 1911. Atas bantuan Tirtoadisuryo, SDI
terbentuk dan berstatus badan hukum.
SDI Surakarta bukanlah cabang dari SDI Bogor, melainkan merupakan perkembangan dari
Rekso Roemekso. Karena SDI dalam perkembangannya berubah menjadi SI, maka diperlukan
adanya Aggaran Dasar dan status badan hukum yang baru. Proses perjuangan mendapatkan status
badan hukum tidaklah mudah. SI harus mempunyai Anggaran Dasar yang jelas. Anggaran Dasar SI
disahkan di Surakarta pada tanggal 10 September 1912 di hadapan notaris B. Ter Kuille atas nama
saudagar di Solo (Surakarta). Bertindak sebagai kuasa ialah Tjokroaminoto yang saat itu menjadi
handels-employee (pegawai kantor dagang) di Surabaya. Tirtoadisuryo kala itu telah kembali ke
organisasi semula.
Sarekat Islam (SI) Surakarta terlahir dan berpusat di Lawayen. Lawayen kala itu membentuk
komunitas tersendiri dengan saudagar sebagai pusat hierarki. Wilayah ini sekaligus menjadi pusat
gerakan ekonomi dan keagamaan serta menjadi lahan yang subur bagi tumbuh kembangnya SI
Surakarta. Pada awal abad XX, Lawayen sudah menjadi pusat dunia usaha.
Kehadiran SI oleh Gubernur Jendral Idenburg dilihat sebgaia munculnya kesadaran orang-
orang pribumi dan dinilai sejalan dengan kebijakan Politik Etis. Idenburg melihat adanaya
kesamaan-kesamaan tujuan antara SI dan Politik Etis menyentuh nurani Pemerintah Kolonial
Belanda untuk siap menampung dan menanggapi keluhan-keluhan yang diajukan oleh SI. Dengan
cara ini pemerintah meneruskan salah satu tujuan Politik Etis untuk membantu dan melanjutkan
setiap gerakan yang tampaknya berasal dari orang pribumi. Bagi sebagian orang Eropa terutama bagi
penganut Etis, SI berbicara untuk seluruh rakyat, lalu mereka (para penganut Etis) mendahului
organisasi untuk melapangkan jalan bagi kemajuan organisasi itu (Robert, 1984).
Terbentuknya SI merupakan jawaban sekaligus solusi bagi para saudagar batik di Surakarta
yang kala itu mengalami kesulitan pengadaan bahan-bahan produksi batik. SI juga menjadi
organisasi yang menyalurakn bentuk protes terhadap ketidakseimbangan kondisi politik yang sedang
berlangsung pada zaman itu. Ideologi Islam yang dianut SI juga berfungsi sebagi semacam
pembangkit revivalisme keagamaan sebagai counter atas dilakukan misi penyebara Injil di Surakarta.
Keadaan-keadaan itu merangsang SI untuk waspada dan merapatkan barisan untuk bergerak maju
mencapai maksud dan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan bersama dalam wadah organisasi.

2. Keorganisasian
Kemunculan SI walaupun lebih bersifat sosial-ekonomi, namun tetap berlatar belakang
politik. Munculnya organisasi itu juga merupakan suatu isyarat bagi kaum muslim bahwa telah tiba
saatnya untuk menunjukkan kekuatan mereka. Ideologi Islam menjadi dasar pengikat yang kuat bagi
para anggota. SI juga sangat peduli terhadap kesadaran budaya kolektif.
Maksud didirikannya SI sebagaimana yang dilihat dari rumusan Anggaran Dasar organisasi.
Menurut Anggaran Dasar SI yang disahkan di hadapan notaries B. Ter Kuille. Organisasi ini
memiliki tujuan yaitu:
1. Memajukan perdagangan
2. Memberi pertolongan kepada para anggota yang mendapat kesukaran yang terjadi bukan
karena disengaja.
3. Memajukan kecerdasan dan pengetahuan serta segala sesuatu yang membuat Bumiputera
senang dan bangga sehingga derajat anak negeri terangkat.
4. Memajukan agama Islam dan melawan semua pengertian yang sesat tentang agama Islam.
Dalam Anggaran Dasar tersebut SI belum berhaluan politik. Karena pemerintah belum
mengizinkan untuk terbentuknya organisasi politik. Peraturan tersebut secara tegas tertuang dalam
artikel 111 Regerings Reglement.
Sarekat Islam berdiri dengan maksud dan tujuan mempertahankan dan mengimbangi
penyebaran perdagangan Cina. Kesadaran orang pribumi terhadap perdagangan semakin terasa
tertinggal, dikarenakan para pedagang Cina telah berkembang sedemikian kuatnya. Kasadaran kaum
pribumi inilah yang baru terbangun pada tahun 1911 saat SI didirikan. Sarekat Islam jugan ingin
mempertinggi mutu perekonomian para anggotanya, juga ingin melakukan pembelaan terhadap
penghinaan agama Islam yang sangat disengajakan. Karena pada dasarna nasionalisme Jawa
merupakan reaksi terhadap domisili orang asing dan campur tangan yang semakin banyak dalam adat
istiadat Jawa, oleh karena itu SI mencari dukungan kepada Sunan maupun pembesar istana lainnya
untuk melawan pegawai pemerintah yang telah banyak dipengaruhi oleh pemerintah Belanda.
SI pada awalnya merupakan gerakan reaktif terhadap situasi kolonial. Pada fase selanjutnya,
gerakan SI bergerak pada konstruksi kehidupan masyarakat, kemudian pada penentuan identitas,
hingga akhirnya arah gerakan SI terfokus pada perjuangan politik untuk menentukan nasib sendiri. SI
menggunakan agama sebagai pengikat anggotanya untuk memicu kebangkitan agama Islam dan
mengembangkan nasionalisme.
Kegiatan-kegiatan SI terarah guna kesejahteraan para anggotanya. Upaya Sarekat Islam
dalam untuk meningkatkan kesejahteraan terbagi menjadi empat jenis, yaitu:
1. Meningkatkan semangat dagang dan kepentingan materiil rakyat pribumi dalam lapangan
dagang, kerajinan dan pertanian
2. Selalu memberi bantuan terhadap anggota yang sedang kesulitan
3. Meningkatkan pendidikan
4. Meningkatkan kehidupan beragama untuk para anggotanya (Korver, 1984).
Untuk menjadi anggota SI sangat longgar. Calon anggota berumur kurang lebih 18 tahun
dengan mengharuskan mengucapkan sumpah setia yang bersifat setengah keagamaan, iuran
keagamaan juga rendah hanya sebesar 0,30. Mematuhi para pemimpin dan mematuhi peraturan-
peraturan perkumpulan.
Pada tahun 1913 syarat menjadi anggota SI mengalami perkembangan, para calon anggota
yang hendak masuk SI diharuskan untuk bersih kelakuannya. Bagi mereka yang memiliki catatan-
catatan buruk diberi waktu untuk masa percobaan selama setengah tahun, diwaktu itulah ua harus
menunjukkan bahwa kehidupannya telah diperbaiki dan diperbarui, barulah ia diperkenankan untuk
menjadi anggota SI. Para anggota juga harus sanggup menjalankan semua yang diperintahkan oleh
SI, di antaranya:
a. Para anggota harus mengalah demi kemaslahatan umum, tapi bukan berarti mau dikalahi
b. Para nggota tidak boleh berkelakuan seperti binatang, panas hati, iri dengki, jahil dan
sebagainya
c. Para anggota tidak diperbolehkan melakukan kejahatan terhadap orang yang tidak bersalah
d. Para anggota tidak diperbolehkan menyukai anak, istri ataupun ibu dari anggota SI
e. Para anggota tidak diperbolehkan merusak organisasi (Yulianti, 2011).
Semua peraturan yang dibuat oleh SI tidak memberatkan para anggotanya dengan tujuan-
tujuannya yang bersifat praktis, sehingga dalam waktu singkat SI dapat menarik jutaan massa.
A. Tahap Awal Pembentukan Sarekat Islam Surakarta (1911-1912)

1. Usaha Pencarian Status Badan Hukum


Adanya sarekat Islam sangat disambut baik oleh masyarakat terutama oleh para pengusaha
batik yang mengharapkan mendapatkan bahan-bahan batik yang lebih murah. Terbentuknya Sarekat
Islam berawal dari organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) yang berdiri di Batavia (1909) dan di
Bogor (1911) oleh Tirtoadisuryo. Pada tahun 1911 ia diminta oleh Samanhudi untuk membantu
mengorganisir terbentuknya Sarekat Dagang Islam di Surakarta. Atas bantuan Tirtoadisuryo, SDI
terbentuk dan berstatus badan hukum.
Hubungan Tirtoadisuryo dan Samanhudi dengan cepat merenggang. Tirto menganggap
bahwa SDI yang didirikan di Solo merupakan cabang dari organisasinya terdahulu. Samanhudi
menganggap itu adalah proyeknya sendiri (Poespoprodjo, 1986).
Pilihan Samanhudi akhirnya tertuju pada Tjokroaminoto seorang pelajar Indonesia yangsaat
itu bekerja pada perusahaan dagang di Surabaya. Ia adalah seorang priyai Jwa yang jujur dalam
berbicara dan berani dalam menentang pemerintah yang sedang berkuasa. Selama bertukar pikiran,
Tjokroaminoto memiliki gagasan untuk mengubah Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Sarekar
islam (SI) dengan pertimbangan bahwa anggota tidak harus dari kalangan pedagang. Dan akhirnya
gagasan Tjokroaminoto diterima baik oleh Samanhudi.

2. Schorsing untuk Sarekat Islam


Pada tahun 1912, SI sama sekali tidak memiliki tujuan politik. SI kala itu hanya ingin
mencita-citakan perbaikan keadaan sosial, keagamaan dan ekonomi. Setahun demikian SI
menyatakan bahwa tidak menjalankan politik seperti Indische Partij. Dalam kongres SI di Surakarta
Tjokroaminoto menyatakan bahwa SI bukan sebuah partai politik dan bukan partai yang
menghendaki revolusi (Korver, 1984).
Pada tanggal 10 Agustus 1912 SI dijatuhkan schorsing dengan alasan telah mengganggu
ketentraman umum (verstoring van openbare rust en orde). Menurut pemerintah, perluasan
keanggotaan SI telah menggangu kepemerintahan dan SI dinyatakan sebagai gerakan legal. SI juga
dituduh terlibat dalam beberapa gerakan sosial. Hingga Residen Surakarta dan Patih Kasunanan
Surakarta menggeledah rumah-rumah yang dihuni oleh para pengurus SI. Tetapi pada akhirnya tidak
ditemukan surat-surat yang membahayakan. Akhirnya schorsing terhadap SI dicabut pada tanggal 26
Agustus 1912.
3. Konsekuensi Pencabutan Schorsing bagi Sarekat Islam Surakarta
Pencabutan schorsing terhadap Sarekat Islam tidak serta merta menghilangkangkan rasa ke
khawatiran keapa para pejabat colonial di Hindia Belanda. Dampak dari kejadian iyu masih terus
terjadi. Para kelompok-kelompok yang sangat kontra dengan Sarekat Islam melakukan tindakan
hingga berlebih-lebihan dengan membeli alat persenjataan hingga stok persediaan senjata habis.
Karena menurut mereka Sarekat Islam sangat mengancam keselamatan negeri dan membahayakan
kedudukan pemerintah dan penduduk nonmuslim.
Pada tanggal 29 Maret 1913 pimpinan SI yang diwakili oleh H.O.S. Tjokroaminoto
mengadakan audiensi dengan Gubernur Jendral Idenburg di Istana Buitenzorg. Dalam pertemuan itu
Tjokroaminoto menyatakan bahwa SI tidak memusuhi bangsa asing dan tidak memusuhi agama
selain Islam.
Pada tanggal 30 Juni 1913 status hukum SI baru jelas secara keseluruhan. Tetapi pengakuan
atas keputusan badan hukum SI secara resmi disampaikan pada tanggal 10 Juli 1913 di Surakarta
oleh Residen Surakarta kepada wakil Centraal Comite SI Surakarta. Dan pada hari yang sama
Centraal Comite SI mengadakan rapat umum yang menghasilkan sebuah keputusan bahwa SI
Afdeling yang akhirnya disebut sebagai SI Lokal. Dengan itu SI mulai menyusun Anggaran Dasar SI
yang disususn oleh Samanhudi dengan sebaik-baiknya. Pemikiran-pemikiran yang digagas oleh
Samanhudi memberikan banyaknya corak watrna baru bagi poros pergerakan SI Surakarta pada usia
muda organisasi ini.
B. Tahap Kepengurusan Haji Samanhudi dalam Sarekat Islam Surakarta (1913-1914)
Sejak didirikan Sarekat Islam hingga tahun 1914, SI telah mengadakan kongres besar-besaran
sebanyak 3 kali, yaitu:
1. Pada tanggal 26 Januari 1913, kongres pertama SI dilaksanakan di Taman Kota Surabaya
2. Pada tanggal 25 Maret 1913, kongres kedua SI dilaksanakan di Taman Sriwedari Surakarta
3. Pada tanggal 18-20 April 1914, kongres selanjutnya dilaksanakan di Yogyakarta
Dan selanjutnya SI mengadakan kongres nasional untuk pertama kalinya pada tanggal 17-24
Juni 1916 di bandung.
1. Kongres Sarekat Islam Pertama di Surabaya
Pada sabtu, 25 Januari 1913, malam menjelang kongres pertama SI, Samanhudi datang ke
kota Surabaya dengan kereta exspress dan sisambut oleh 5000 orang dari kalangan SI. Dan di malam
harinya di tanggal yang sama, para pemimpin cabang mengadakan rapat di kantor Oetoesan Hindia.
Tjokroaminoto yang memimpin rapat tersebut, hingga hasil dari rapat tersebut mencapai keputusan
bahwa SI akan dipecah menadi 3 bagian, yakni Jawa Barat, Jawa Tenggah dan Jawa Timur. Masing-
masing dari bagian tersebut akan mengadakan Hoofdbestuur dan ketiga bagian itu juga akan
dipimpin oleh masing-masing Centraal Comite yang akan berkedudukan di Solo. Untuk kedudukan
tempat Hoofdbestuur di Jawa Barat dan Jawa Tenggah sementara belum ditemukan dan
Hoofdbestuur di Jawa Timur sudah disepakati akan berkedudukan di Surabaya (Hindia, 1913).
Tepat pada hari minggu 26 Januari 1913, kongres pertama SI diselenggarakan di Taman Kota
Surabaya yang dihadiri oleh ± 10.000 anggota di dalam taman, ditambah ± 2.000 anggota di luar
taman. Dalam pertemuan ini dihadiri oleh beberapa bangsa Eropa, Tionghoa dan Arab. Angenda
kongres itu bertujuan untuk menerangkan maksud dan tujuan organisasi SI, jika tujuan organisasi ini
tercapai maka Bumiputera akan terlepas dari hinaan.
2. Kongres Sarekat Islam Kedua di Surakarta: Mencapai Kerjasama dengan Birokrat
Kerajaan
Pada tanggal 25 Maret 1913, kongres kedua dilaksanakan di Taman Sriwedari Surakarta,
dalam kongres ini bertujuan untuk memilih pengurus besar yang selanjutnya diberi nama yaitu
Centraal Comite. Dalam kongres ini, Samanhudi masih bertahan menjadi ketua dan Tjokroaminoto
sebagai Wakil Ketua dan yang bertindak sebagai pelindung adalah Pangeran Hangabehi (Putra
Pakubuwana X).
Menurut Pringgodigdo, sebenarnya latar belakang tebentuknya Sarekat Islam adalah sebab
berdirinya Sarekat Islam adalah adanya adat lama di daerah kerajaan Jawa yang dirasakan sebagai
penghinaan (Pringgodigho, 1994). Tetapi hal tersebut tidak seperti apa yang ada.
Selaku pemimpin SI, Samanhudi memberikan masukan kepada raja dan ia mengatakan
bahwa raja adalah khalifah, penerus Nabi dan wakil Tuhan. Tidak pantas jika raja tunduk kepada
orang-orang kafir. Dengan adanya pernyataan demikian merupakan upaya SI untuk dapat menarik
dukungan pihak keraton agar legitimasi orgabisasi itu semakin kokoh. Dan SI memilih Pangeran
Hangabehi sebagai pelindung pada Kongres SI Tahun 1913 di Sriwedari (Pringgodigho, 1994).
Para Sunan juga merasa diuntungkan akan kehadiran SI sebab adanya organisasi ini dapat
dimanfaatkan untuk menegakkan kmbali kekuasaannya yang telah berkurang akibat penetrasi
pemerintah kolonial. SI meeupaka jawaban dari persoalan itu. Pada kongres kedua ini hadir Dr
Rinkes selaku Adjunct Adviseur voor Inlandsche Zaken, Asisten Residen Surakarta, M. Ng.
Dwidjosewojo dan M. Dahlan dari Yogyakarta, dan sejumlah besar peminat yang ditaksir mencapai
7000 (tujuh ribu) sampai 20.000 (dua puluh ribu orang). Pada kongres ini diwartakan bahwa usaha
batik di Surakarta mengalami kemunduran dikarenakan naiknya harga bahan-bahan pembuatan batik,
untuk mengatasi hal tersebut SI menawarkan solusi untuk disirikannya koperasi SI Surakarta yang
mana para anggota diwajibkan menyetorkan uang andil sejumlah f 1,05.
Kongres dibuka oleh Presiden SI yaitu Haji samanhudi tetapi didalam kongres ini Samanhudi
tidak menjadi tokoh utama dalam mengendalikan jalan acara kongres. Tetapi yang memandu
kesempatan itu akan dibicarakan oleh Tjokroaminoto, Atmo Soeharjo, Sekertaris Bestuur dan lain-
lainnya.
3. Kongres Sarekat Islam Ketiga di Yogyakarta: Awal Penurunan Pamor Haji Samanhudi
Kongres ketiga SI dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 18-20 April 1914 bertujuan
untuk menetapkan Anggaran Dasar dan memilih Centraal Comite yang baru. Adanya pemilihan ini
memberi kemenangan bagi Tjokroaminoto atas Samanhudi dan menempatkan Samanhudi cukup
sebagai ketua Kehormatan SI (eerevoorzitter) pengurus pusat. Pergantian kepemimpinan ini bukan
berlangsung tanpa pertarungan. Pertarungan antara golongan terpelajar yaitu pengikut Tjokroaminoto
dengan golongan tua yang kurang berpendidikan yaitu pengikut Samanhudi berlangsung alot.
Samanhudi yang terkenal sebagai “bapak” SI terpaksa menelan derita yang pahit dengan
kedudukannya sebagai Ketua Kehormatan yang pasif. Kongres di ogyakarta juga mengahasilkan satu
keputusan penting lainnya, yakni dijadikannya Surakarta sebagai pusat dari Centraal Sarekat Islam
(Kuntowijoyo, 2004). Terbentuknya Centraal Sarekat Islam sebenarnya tidak sesuai dengan
kehendak samanhudi, namun keputusan tersebut terpaksa disepakati oleh Samanhudi agar hambatan
yang merintangi dapat diatasi sehingga eksistensi Sarekat Islam sebagai organisasi yang
mempersatukan Bumiputera dapat terus melakukan kegiatannya (Muljoyo, 1984). Hal tersebut
dilakukan karena Tjokroaminoto diyakini lebih dapat mengola SI dengan cara yang lebih sesuai
dengan keadaan zaman.
Meskipun perselisihan antara pengikut Tjokroaminoto dan Samanhudi masih berlanjut yang
akhirnya kemudian dilanjutkan dalam pers, hal tersebut yang mengakibatkan SI ditumbuhi
permasalahan internal. Tetapi disisi lain jangkauan SI semakin meluas dan peningkatan anggota
dengan cepat bertambah secara signifikan.
4. Keteguhan Hati Haji Samanhudi Pasca Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta
Kendati telah mendapatkan kenyataan pahit yang dirasakan oleh Samanhudi pada saat
Kongres SI di Yogyakarta. Dan pada tahun 1914 SI Surakarta sedang mengalami puncak-puncaknya.
Kepedulian Samanhudi terhadap SI tetap ia lakukan dengan banyak hal yang ia kerjakan, di
antaranya:
a. Kerjasama Untuk Menjaga Keamanan Kampung
Pada tanggal 5 Agustus 1914 Samanhudi menghadap Asisten Residen untuk membicarakan
perihal keamanan kampung. Karena menurutnya keamanan kampung belum terkendali terutama
ketika berlangsung hajatan. Para polisi memang telah terlibat dalam segala pengamanan, tetapi
Samanhudi belum merasakan kepuasannya terhadap pihak polisi. Samanhudi memberikan solusi
kepada Asisten Residen beripa keterlibatan anggota SI untuk berupaya dalam membantu tugas polisi,
hal tersebut mendapatkan tanggapan positif dari Asisten Residen. Untuk itu SI sementara
mendapatkan tugas untuk mencari tau siapa yang telah berulah dan untuk tahap selanjutnya biar
ditangani oleh pihak kepolisian.
b. Perhatian Terhadap Perdagangan Batik Pribumi
Stabilisasi industry batik yang ada di Indonesia pada dekada kedua adab ke XX dipengerahui
oleh situasi yang berlangsung di Eropa, pasalnya bahan-bahan pewarna batik merupakan bahan yang
diimpor dari luar Indonesia. Karena menurut Samanhudi jika industry batik tidak beroprasi secara
maksimal maka banyak pihak yang akan dirugikan terutama para masyarakat yang menggantungkan
hidupnya dalam industry batik. Saran yang diberikan oleh Samanhudi adalah agar neagara juga bisa
ikut serta dalam mengatur harga bahan-bahan batik.
c. Sanitasi Melalui Peraturan Woning Verbetering (Pernaikan Rumah)
Pemerintah bekerjasama dengan SI untuk menjalankan peraturan Woning Verbetering.
Rumah-rumah yang tidak memenuhi standar Kesehatan dibongkar, sehingga pemilik rumah mau
tidak mau untuk sementara waktu meninggalkan rumahnya. Kejadian ini marak dilakukan saat
wabah pes menyerang Surakarta. Namun nyatanya peraturan Woning Verbetering menimbulkan
kecemburuan karena tidak semua rumah berkesempatan direnovasi. Dalam menghadapi hal ini, SI
menjadi penengah antara penduduk dengan pemerintahan.
d. Bimbingan Untuk Para Anggota Sarekat Islam
Pada hari Minggu tanggal 28 Mei 1916, SI Surakarta mengadakan bestuurvergadering yang
dihadiri oleh kurang lebih 200 orang. Pengurus yang hadir adalah president, vice president,
penningmeester, secretaris commisseur, dan kringbestuur Laweyan, Serengan, Pengging, Kartasura,
Kalioso, Sukoharjo, dan seorang lidbestuur (tamu dari Delanggu). Acara tersebut dibuka oleh Haji
Samanhudi. Pertemuan tersebut akan membahas pekerjaan SI, kontribusi SI, kongres CSI di
Bandung, Comite Kromo Dalem, gade, dan permintaan dari bestuur afdelingsbank kepada
Samanhudi untuk sudi menjadi lid, serta membahas surat-surat yang masuk. Banyak hal yang
dibahas dalam pertemuan itu, antara lain membahas kinerja SI.
Diakuinya status hukum SI Surakarta merupakan hal yang melegakan. Merupakan suatu hal
lumrah jika diadakan sebuah perayaan untuk menandai hari penting tersebut. Akan tetapi, Samanhudi
tidak menyetujui gagasan tersebut. Ia lebih menganjurkan SI Surakarta cukup mengadakan
algemeene vergadering (pertemuan umum) sebagaimana biasanya. Hal ini menut Samanhudi lebih
menghemat biaya. Dan acara algemeene vergadering direncanakan akan diadakan di Taman
Sriwedari.
e. Bukan Rasialis
Sarekat Islam terbentuk salah satunya disebabkan oleh diskriminasi pemerintah kolonial
terhadap pribumi yang meninggikan derajat orang-orang Cina (sejajar dengan Eropa). Selain itu juga
disebabkan oleh superioritas bangsa Cina dalam hal perdagangan. Sebenarnya Sarekat Islam
bukanlah organisasi yang secara penuh bersikap anti-Cina. Mereka yang ditentang hanyalah oknum-
oknum yang rasialis, sombong, dan menekan pribumi. Fakta bahwa SI tidak memusuhi Cina didapati
pada saat-saat menjelang berlangsungnya pesta orang-orang Cina pada tanggal 28-29 Mei 1912. Haji
Samanhudi sebagai Presiden SI mengeluarkan surat edaran yang berisi anjuran untuk lebih mengalah
jika orang-orang pribumi/anggota SI mendapat perlakuan tidak baik dari orang Cina. Apabila sikap
mengalah dari para anggota itu menyebabkan orang-orang Cina menjadi congkak, maka wajib
melapor kepada polisi. Selama pesta berlangsung juga diadakan ronda di bawah pimpinan para
anggota SI. Berkat kebijaksanaan Samanhudi, maka pesta orang Cina dapat berjalan meriah dan
aman.

C. Tahap Kemunduran Peran Haji Samanhudi dalam Sarekat Islam (Juni 1916)
1. Persepsi Tentang Kemunduran Peran Haji Samanhudi
Pasca Kongres di Yogyakarta Samanhudi tetap berperan sebagai Ketua Kehormatan, tetapi
keberadaannya itu hanya sebagai formalitas saja, karena bukan Samanhudi yang mengendalikan
jalannya SI. Akan tetapi setelah Kongres Nasional di Bandung pada bulan Juni 1916 ia tidak
berperan lagi dan pasif total dalam organisasi SI. Perjalanan karir Samanhudi dalam SI nyatanya
menukik tajam di akhir perannya.
2. Sebab Kemunduran Peran Haji Samanhudi Dalam Sarekat Islam
Samanhudi memiliki alasan yang kuat mengapa ia menghilang dari organisasi SI karena
terdapat faktor internal maupun eksternal. Meskipun dirinya sudah tidak dianggap oleh SI yang
nyatanya ia sendiri yang mendirikan organisasi ini, Samanhudi tetap melakukan hal-hal positif
lainnya. Berikut merupakan uraian singkat alasan Samanhudi dari SI, yaitu:
a. Pro-Kontra Orang-Orang Dalam
Tahun 1915 merupakan tahun kemenangan bagi organisasi Bumiputera karena pemerintah
telah menghapus artikel 111 Regeerings Reglement yang berisi larangan adanya segala vereeninging
dan vergadering yang berbau politik, hal-hal yang menggangu ancaman politik. Hal yang tidak ingin
terjadi dalam tubuh SI ternyata berlabu juga, perselisihan internal dirasakan dengan melihat beberapa
kasus seperti:
1) Perebutan Zetel Centraal Sarekat Islam (CSI)
Ketika SI melakukan Kongres ketiga yang dilaksanakan di Pakualaman Yogyakarta pada
tanggal 18-20 April 1914, Samanhudi berpidato dan menyampaikan ketidakmampuannya dalam
memimpin Sarekat Islam yang begitu berkembang sangat pesat, ia berfifat rendah hati dan mengakui
memang ia tidak berpendidikan tinggi yang sebagian orang menilai tidak seimbang dengan
kebesaran SI.
Adanya perebutan Zetel Centraal Sarekat Islam yang mengharuskan Samanhudi kala itu
menyeruakan pendapatnya, untuk tetap berada di Surakarta. Perselisan tentang kedudukan CSI
diatasi dengan metode pemungutan suara, dan hasil akhirnyapun mendudukkan di Surakarta, hal
tersebut akhirnya memenuhi keinginan Samanhudi.
2) Desakan Dari Kaum Terpelajar
Setelah Samanhudi berpidato dalam Kongres di Yogyakarta kemudian dijawab oleh
Dwidjosewojo. Ia mengibaratkan Samanhudi dan SI sebagai seorang ayah dan anaknya yang sangat
saling mencintai. Bentuk pengungkapan rasa cinta itu ia terangkan menjadi dua macam yakni
kecintaan yang menuntun kepada kesengsaraan dan kecintaan yang menuntun kepada kemulian. Jika
Samanhudi sangat mencintai SI maka ia harus rela jika keberlangsungan hidup SI dupimpin orang
yang pandai, hal tersebut langsung mendapatkan sorakan yang sangat riuh oleh piha geleerde (kaum
terpelajar). Untuk menghormati peran pendiri SI yaitu Samanhudi maka R. Hasan Djajadiningrat
seorang urusan SI Serang menyampaikan untuk menggangkat Samanhudi menjadi Ketua Pimpinan
SI. Hal tersebut yang menjadikan Samanhudi tidak terlalu aktif sedia kala.
3) Jabatan Haji Samanhudi Diabaikan
Pada tahun 1916 diamana SI dalam kekacauan yang disebabkan oleh pemimpin-pemimpin
baru yang tidak begiru respect kepada pemimpin lama. Samanhudi sepertinya tidak anggap dan
bahkan penyelenggaraan kegiatan SI banyak yang tidak ditembusi kepada Presiden SI. Hal tersebut
yang membuat Samanhudi juga sudah harus mundur secara perlahan.
4) Perubahan Haluan Sarekat Islam
Sebenarnya kemunduran SI dapat dikalatan bermula dari tahun 1914 yang mana saat itu SI
mengalami kesulitan dalam hal keuangan. Oetoesan Hindia yaitu surat kabar organisasi yang didanai
oleh bangsa Arab terhambat. Dan para pedagang Cina-lah yang akhirnya menjadi pendana untuk
tetap menghidupkan Oetoesan Hindia. Dengan hal itu SI secepatnya mengahapus pasal-pasal anti
Cina sehingga SI kehilangan prinsip anti-Cina yang diantunya semula (Yulianti, 2011).
Haluan sarekat Islam yang berubah ialah tujuan SI didirikan sudah jauh berbeda pada tahun
1916, pasalnya SI sudah menampakkan dirinya dalam ranah perpolitian, padahal semula SI didirikan
karena ingin meningkatkan ekonomi perdagangan. Adanya hal semacam itulah yang mengakibatkan
samanhudi sudak tidak ingin menampakkan dirinya kembali (Noer, 1996).
5) Transparansi Keuangan Centraal Sarekat Islam (CSI)
Minggu 9 April 1916, Samanhudi diminta menghadiri Algemeene Vergadering meskipun ia
sudah tidak menjabat sebagai Presiden CSI. Jika ia tidak berkenan hadir, maka para anggota akan
menarik uang yang telah disetorkan kepada SI. Bapak SI tersebut akhrnya datang di pertemuan
walaupun kehadirannya membuat seseorang merasa “dilampaui”. Menurut pihak-pihak yang tidak
menyukai Samanhudi berpendapat bahwa semasa ia menjabat dalam organisasi SI, Samanhudi tidak
melakukan transparansi keuangan yang ada.
6) Kebangkrutan Usaha Dagang Haji Samanhudi
Samanhudi yang sangat royal kepada SI tanpa tanggung-tanggung dan berpikir panjang,
semua harta yang ia miliki ia berikan untuk SI Surakarta. Bahkan saat Tjokroaminoto mendirikan SI
Surabaya samanhudi juga yang mendanai pembentukan tersebut.
Tidak hanya itu, semua putra putri Haji samanhudi tidak terampil dalam menejemen
keuangan perdagangan. Pihak keluargapun tidak banyak membantu. Bahkan ironisnya dimasa
tuanya Samanhudi disangka sebagai peminta-minta. Ditemani oleh anaknya ia berkeliling
menyusuri rumah-rumah yang sempat ia beri pinjaman uang. Sebenarnya kedatangannya bermaksud
untuk menagih hutang namum karena adanya kesalahpahaman, maksud penagihan hutan tersebut
justru disangka sebagai peminta- minta.
Sempitnya kehidupan ekonomi mendorong Samanhudi untuk melayangkan surat kepada
Perdana Menteri Wilopo pada tanggal 2 Oktober 1952. Ia mempertanyakan bentuk penghargaan
pemerintah terhadap para pejuang. Melalui surat itu ia menyampaikan perihal kehidupannya yang tak
layak. Rumah pun sudah tidak punya. Ia menumpang di rumah anaknya di Jalan Pemuda 36 Klaten.
Hal ini terbukti dengan adanya surat Haji Samanhudi kepada Perdana Menteri Mr. Wilopo di Jakarta
yaitu Arsip Nasional Republik Indonesia.
c. Nilai Keteladanan Haji Samanhudi
Nilai-nilai keteladanan yang dapat dipetik dari Haji Samanhudi di antaranya ialah semangat
kerja keras, kesahajaan, sifat dermawan, keikhlasan dalam menolong, semangat kebersamaan dan
sikap kooperatif, serta idealisme dan nasionalismenya yang kuat di tengah-tengah keadaan terhimpit.
Ia memang seorang pengusaha, tetapi dirinya tidak memperhitungkan untung-rugi. Semua yang ia
punya, secara totalitas ia pergunakan untuk memperjuangkan kesejahteraan bangsa. Segi
pengetahuannya memang sederhana, tetapi penampilannya luwes dan terampil.
Haji Samanhudi dalam setiap pidatonya selalu menyampaikan kalimat- kalimat singkat dan
sederhana. Walaupun singkat, ia mempunyai alasan yang kuat dan nyata. Tulisan Samanhudi
jarang/bahkan sulit dijumpai karena ia tidak begitu berbakat dalam menulis, namun ia telah menjadi
inspirator bagi teman-temannya ataupun generasi selanjutnya.
Peran Samanhudi dipahami dengan teori gerhana. Ia ibarat bulan yang menjadi penengah
antara matahari dan bumi. Melalui dirinya, Tuhan menyertakan cahaya yang demikian kemilau untuk
menghalau kegelapan yang menutup pandangan rakyat Bumiputera.
Pemuka SI ini meninggal pada tanggal 28 Desember 1956. Jenazah dimakamkan di Grogol,
Banaran, Kabupaten Sukoharjo (arah timur dari wisma pahlawan Haji Samanhudi). Untuk
mengenang dan menghormati jasa-jasa perjuangan yang telah ia berikan kepada bangsa ini,
Samanhudi dianugerahi gelar pahlawan Kemerdekaan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan
Presiden RI No. 590 Tahun 1961. Penghargaan ini disampaikan oleh Presiden Soekarno kepada salah
seorang putra Haji Samanhudi –Sadjad Soekamto Samanhudi. Kepada keluarga juga dihadiahkan
sebuah rumah di Kampung Belukan Pajang pada tahun 1962 yang kabarnya diarsitekturi oleh
Presiden Soekarno. Nama Haji Samanhudi itu sendiri diabadikan sebagai salah satu nama jalan
yang terletak di antara Lapangan Banteng dan Pasar Baru di Jakarta Pusat.

Sarekat Islam Periode Kedua: 1916-1921

Organisasi Sarekat Dagang Islam yang sudah berganti nama menjadi Sarekat Islam di bawah
kepemimpinan HOS Tjokroaminoto mengalami masa kejayaannya di periode keduanya ini. Sarekat
Islam mulai menunjukkan taringnya ke dunia politik saat menyelenggarakan kongres nasional
pertamanya pada 17-24 Juni tahun 1916 di Bandung yang dihadiri hampir seluruh cabang Sarekat
Islam dari Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi (Lathifah, Arifin, dkk: 2020).
Kongres ini merupakan pertanda bahwa Sarekat Islam sudah menyebar ke seluruh pulau
dengan menyebarkan cita-cita perjuangan mereka dengan Islam sebagai dasar perjuangannya. Dalam
kongres nasional yang pertama ini membahas permasalahan-permasalahan yang diantaranya usaha
pemisahan Central Sarekat Islam (CSI) yang dilakukan oleh Gunawan serta mendapat dukungan dari
Haji Samanhudi, rencana pemebentukan sekolah kweekschool, pembentukan dari Dewan Kolonial
(Koloniale Raad), tanah pribadi (particuliere landerijen), serta masalah pertahan dari Hindia
Belanda (Indie Weerbaar) (Setiawati dan Samsudin: 2020).
Dalam kongres nasional keduanya di Batavia pada 20 sampai 27 Oktober 1917, organisasi
Sarekat Islam menuntut berdirinya dewan-dewan daerah dan perluasan hak Volksraad untuk menjadi
lembaga legislatif yang sesungguhnya. Lalu pada 18 Mei 1918 Pemerintah Belanda menyetujui
terbentuknya Volksraad atau Dewan Rakyat yang telah diusulkan sebelumnya. HOS Tjokroaminoto
dan Abdul Muis menjadi perwakilan dari Sarekat Islam dalam menduduki parlemen Volksaad
(Prasetyo: 2014).
Setelah berhasil menduduki Volksraad keduanya memberikan reaksi terhadap pemerintah
sebagai oposisi. Gagasan dari Tjokroaminoto dan Abdul Muis mengenai pemilihan anggota dewan
yang harus dipilih dari dan oleh rakyat serta pembentukan pemerintahan yang bertanggung jawab
terhadap parlemen ditolak oleh pemerintah. Karena hal tersebut Tjokroaminoto dan Abdul Muis
dikeluarkan dari Volksraad. Pada realitanya, mereka berdua tidak bisa berbuat banyak karena
Volksraad sendiri merupakan dewan boneka bentukan pemerintah Belanda.
Terdapat cerita sejarah tersendiri mengenai kongres nasional kedua yang diadakan oleh
Sarekat Islam, yaitu pada saat pembicaraan mengenai permasalahan-permasalahan yang sedang
dibahasan. Terjadi banyak pro dan kontra terutama antara Abdul Muis dan Semaun. Saat
pembentukan Volksraad Abdul Muis berpendapat bahwa dewan ini bisa dimanfaatkan untuk
membela hak-hak rakyat. Sementara dilain sisi Semaun menyatakan tidak setuju Central Sarekat
Islam mengirimkan perwakilannya untuk menjadi kandidat di Volksraad. Semaun menggagp bahwa
pemebentukan dari Volksraad hanyalah sebagai “pertunjukan kosong”. Tetapi, pada akhrnya Central
Sarekat Islam tetap memutuskan untuk bergabung dalam pembentukan Volksraad serta mengirimkan
Tjokroaminoto dan Abdul Muis untuk menjadi perwakilan dari Sarekat Islam (Setiawati dan
Samsudin: 2020).
Bukan hanya perbedaan pendapat mengenai Volksraad saja, Abdul Muis dan Semaun juga
kemabli berselisih terkait dengan Pertahanan Hindia (Indie Weerbar). Abdul Muis dan beberapa
anggota lainnya setuju dengan adanya Indie Weerbar ini sedangkan Semaun mencoba menolak
gagasan tersebut tetapi tidak berhasil. Dilihat dari perselisihan yang ada dapat disimpulkan bahwa
benih-benih kehancuran dari Sarekat Islam mulai ada sejak tahun 1917 saat terjadinya kongres ini.
Pada tahun selanjutnya tepatnya di Surabaya pada tanggal 29 September sampai 6 Oktober
1918, Sarekat Islam mengadakan Kongres nasionalnya yang ketiga dan dihadiri sekitar 87 cabang
dari Sarekat Islam. Pada kongres ini kembali terjadi pertentangan antara Abdul Muis dan Semaun,
yang mempermasalahkan mengenai agama, nasionalisme dan kapitalisme. Lalu pada tahun ini juga
Tjokroaminoto dan Abdul Muis maju menjadi perwakilan dari Sarekat Islam dalam Volksraad.
Kongres nasional selanjutnya dilaksanakan di Surabaya pada 26 Oktober – 2 November tahun
1919 dan kongres ini diselenggarakan oleh Central Sarekat Islam. Pada tahun pencapaian anggota
Sarekat Islam mencapai 2,5 Juta dan merupakan pencapaian terbanyak sepanjang berdirinya
organisasi ini (Noer: 1980). Permasalahan pokok yang dibahas dalam kongres ini yaitu mengenai
organisasi sentral dari kaum buruh yang dipengaruhi oleh Sarekat Islam cabang Semarang yang
termasuk ke dalam golongan sosialis-revolusioner.
Sarekat Sekerja Pabrik Gula, Sarekat Sekerja Pegadaian, dan Sarekat Sekerja Kereta Api
merupakan hasil dari kongres Sarekat Islam pada tahun 1919 ini. Ketiga sarekat tersebut tergabung
dalam ikatan federasi yang didirikan pada 15 Desember 1919 bernama Revolusioner Sosialistische
Vakcentrale, yang kemudian berubah nama menjadi Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB).
Karena upah yang diberikan sedikit, maka para buruh ini melakuan pergerakan dan menuntut adanya
perubahan. Perjuangan yang dilakukan oleh kaum buruh yang tergabung di PPKB ini dimulai dengan
aksi pemogokan para buruh. Para buruh menuntut adanya kenaikan gaji, tunjangan hari raya,
peraturan cuti yang ditetapkan setiap tahunnya, serta pemberian upah tambahan jika bekerja dihari
libur.
Nyatanya pergerakan yang dilakukan tidak banyak berarti karena telah adanya benih-benih
perpecahan dalam Sarekat Islam sebelumnya. Benih-benih perpecahan tersebut menimbulkan
munculnya dua kekuatan dalam Sarekat Islam yaitu kekuatan yang berpusat di Yogyakarta di bawah
kepemimpinan Surjopranoto dan kekuatan di bawah kepemimpinan Semaun yang berpusat di
Semarang yang telah terpengaruh oleh berbagai paham sosialis.
Pada tahun 1920, perpecahan dalam Sarekat Islam mulai terlihat. Dimulai dar perubahan
orientasi dari pergerakan Sarekat Islam di Semarang dari gerakan kaum menengah menjadi gerakan
kaum buruh tani dengan perjuangan mereka yang radikal (Hayamwuruk: 2004) , tentu saja hal
tersebut tidak lepas dari pengaruh Sneevliet dan Semaun. Hendricus Josephus Franciscus Marie
Sneevliet merupakan salah satu pendiri dari ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging)
dan aktif di VSTP (Vereeniging voor Spoor en Traamweg Personeel) yang terbuka bagi bumiputra
dan bergerak secara radikal dalam membela kepentingan pegawi-pegawai bumiputra yang miskin
(Triyana: 2005).
Dalam perkembangan selanjutnya, diselenggarakan Kongres Istimewa oleh Sneevliet dengan
Semaun dan dihadiri 40 orang anggota memutuskan bahwa ISDV secara resmi telah bergabung
menjadi anggota Komintern (Internasionale Komunis), lalu pada 23 Mei 1920 mengubah nama
menjadi Perserikatan Komunis Hindia. Hal tersebut menambah panas perpecahan dalam tubuh
Sarekat Islam (Setiawati dan Samsudin: 2020).
Lalu pada tahun selanjutnya, yaitu tahun 1921 Sarekat Islam melaksanakan dua kali Kongres
di tempat yang berbeda. Kongres yang pertama dilaksanakan pada tanggal 1-7 Maret 1921 di
Yogykarta. Dalam kongres ini terjadi pertentangan lanjutan antara Abdul Muis dan Semaun, lalu
Tjokroaminoto sebagai ketua dari Central Sarekat Islam mengungkapkan bahwa lebih baik
mengutamakan persatuan dan kesatuan di dalam Sarekat Islam sebagi tanggapan dari pertentangan
yang terjadi antara pemimpin Sarekat Islam tersebut.
Kongres kedua pada tahun yang sama dilaksanakan di Surabaya pada 6-10 Oktober. Kongres
ini dinamakan sebagai Konres Luar Biasa Sarekat Islam. Kongres ini dipimpin oleh Abdul Muis
sebagai wakil dari Central Sarekat Islam karena Tjokroaminoto ditangkap oleh polisi di Surabaya
atas keterlibatannya dalam kasus Afdeling B yang merupakan pemberontakan masyarakat Priangan
terhadap Pemerintah Belanda yang dipimpin Sarekat Islam. Dalam kongres ini terjadi pertentangan
antara kader PKI yang diwakili oleh Semaun dengam anggota CSI yang diwakili Agus Salim.
Akhirnya Abdul Muin mengeluarkan ketetapan bahwa setiap anggota Sarekat Islam dilarang menjadi
bagian atau anggota dari perhimpunan lain. Tujuannya adalah sebagai salah satu upaya untuk
membersihkan golongan komunis yang ada dalam tubuh Sarekat Islam. Akibat dari pengeluaran
keputusan tersebut menyebabkan Sarekat Islam terpecah menjadi dua aliran yaitu Sarekat Islam
Merah yang berkedudukan di Semarang dan Sarekat Islam Putih yang berkedudukan di Yogyakarta.
Sarekat Islam Merah yang berpusat di Semarang memiliki lebih banyak anggota karena
pergerakannya yang lebih militan terhadap pemerintah Belanda dan rakyat sendiri sudah tidak
tertarik dengan gerakan evolusioner tanpa tindakan yang berarti. Keanggotaannya terdiri dari kaum
buruh, saudagar, kaum terpelajar dan kaum perempuan yang sudah mendirikan Sarekat Islam
Perempuan (Muryati: 2006).
Sarekat Islam Periode Ketiga: 1921-1927

Periode ketiga Sarekat Islam (SI) pada tahun 1921-1927 merupakan periode yang
menentukan dalam sejarah organisasi ini. Pada masa ini, SI mengalami dinamika yang kompleks,
baik dalam hal internal maupun eksternal. Pada awal periode ini, SI masih merupakan organisasi
yang kuat dan memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat pribumi Indonesia. Namun, pada
saat yang sama, organisasi ini juga mulai mengalami perselisihan internal yang cukup serius.
Perselisihan ini terjadi antara kelompok moderat yang ingin tetap menjaga hubungan dengan
pemerintah kolonial Belanda dan kelompok radikal yang ingin melakukan perlawanan terhadap
kebijakan kolonial. Perselisihan ini mencapai puncaknya pada Kongres SI ke-5 di Surabaya pada
tahun 1921. Di kongres ini, kelompok radikal yang dipimpin oleh Semaoen berhasil merebut kendali
organisasi dari kelompok moderat yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Hal ini membuat HOS
Tjokroaminoto dan kelompok moderatnya keluar dari SI dan mendirikan organisasi baru yang diberi
nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Setelah kongres ke-5, SI yang baru dipimpin oleh Semaoen
menjadi lebih radikal dan aktif dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Organisasi ini juga berhasil membentuk sayap militer yang diberi nama Serikat Islam Militer (SIM).
Sayap ini melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial, seperti yang terjadi pada
pemberontakan di Banten pada tahun 1926. Namun, pada saat yang sama, SI juga mengalami
tekanan dari dalam dan luar organisasi. Dari dalam organisasi, Semaoen mengalami perselisihan
dengan anggota sayap militer SIM, yang akhirnya membuatnya terpaksa mengundurkan diri dari
pimpinan SI pada tahun 1923. Setelah itu, SI dipimpin oleh Sukiman Wirjosandjojo yang cenderung
lebih moderat. Dari luar organisasi, pemerintah kolonial Belanda juga melakukan tekanan terhadap
SI. Pemerintah menganggap SI sebagai organisasi yang berbahaya dan mencoba untuk mengambil
alih kendali atas organisasi ini. Pada tahun 1927, pemerintah Belanda berhasil membubarkan SI
dengan alasan aktivitas yang tidak sah dan mengancam keamanan negara. Dengan demikian,
dinamika periode ketiga Sarekat Islam pada tahun 1921-1927 mencerminkan kompleksitas dan
tantangan yang dihadapi oleh organisasi dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial
Belanda. Meskipun SI berhasil melakukan beberapa tindakan perlawanan yang signifikan, namun SI
juga mengalami perselisihan internal dan tekanan dari luar yang mengakibatkan organisasi ini
akhirnya dibubarkan oleh pemerintah kolonial.
HOS. Tjokroaminoto yang merupakan salah satu tokoh Sarekat Dagang Islam yang
membawa perubahan besar bagi organisasi tersebut dan tokoh penting dalam pembentukan
pandangan ekonomi Islam saat itu, dalam pandangannya tentang ekonomi Islam menjelaskan
bahwa : pertama, sedekah akan menjadi sesuatu yang bernilai lebih, jika diniatkan untuk keteguhan
beribadah kepada Tuhan. Kedua, zakat sebagai sebagai dasar distribusi dan pemerataan kekayaan
untuk seluruh masyarakat, Islam mengatur zakat baik zakat maal dan zakat fitrah sebagai suatu alat
ukur keadaan sosial ekonomi masyarakat, dimana secara tidak langsung zakat dapat dijadikan
barometer kemakmuran rakyat. Ketiga, persaudaraan Islam, dimana dalam Islam antara muslim satu
dengan yang lain adalah saudara. semuanya sejajar di mata Tuhan. Akan sulit bagi umat untuk bisa
membangun sendi perekonomian yang baik jika hubungan mereka hanya berdasar pada hubungan
konsumen-produsen, penguasa-rakyat, atau manajer-buruh. Sehingga dengan persaudaraan inilah
komunikasi antar pelaku ekonomi dapat terjalin dengan lebih baik, sehingga dapat menghasilkan ide
dan tindakan yang tidak saling merugikan satu sama lain (Ulfasari, dkk, 2016).
Sarekat Islam (SI) pada tahun 1921-1927 mengalami beberapa dinamika penting, di antaranya:
1. Pertumbuhan anggota: Sarekat Islam terus mengalami pertumbuhan anggota pada periode ini,
terutama di Jawa dan Sumatera. Pada tahun 1927, anggota SI mencapai sekitar 3 juta orang.
2. Perselisihan dalam organisasi: Sarekat Islam mengalami perselisihan antara kelompok moderat
dan radikal. Kelompok moderat dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto, sedangkan kelompok radikal
dipimpin oleh Kartosuwiryo dan Masjumi. Perselisihan ini terutama terkait dengan pendekatan SI
terhadap kolonial Belanda.
3. Konflik dengan pemerintah kolonial Belanda: Sarekat Islam seringkali berkonflik dengan
pemerintah kolonial Belanda, terutama karena kebijakan-kebijakan yang dirasa merugikan rakyat
pribumi. Pada tahun 1926, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang Politik
Etis yang diharapkan dapat menyelesaikan konflik dengan SI.
4. Pembentukan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII): Pada tahun 1924, kelompok moderat di SI
membentuk Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) sebagai wadah politik untuk memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Namun, PSII tidak diakui oleh pemerintah kolonial Belanda.
5. Pengaruh kaum komunis: Sarekat Islam pada periode ini mulai dipengaruhi oleh gerakan
komunis. Banyak anggota SI yang menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), meskipun
HOS Tjokroaminoto sendiri menentang pengaruh PKI di SI.
6. Perpecahan dalam SI: Pada akhir periode ini, Sarekat Islam mengalami perpecahan yang
menyebabkan kelompok radikal memisahkan diri dan membentuk Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII) yang lebih radikal.
SI pada awalnya didirikan sebagai organisasi yang bersifat sosial untuk membantu
kepentingan rakyat kecil. Namun, dalam perkembangannya, SI mengalami perpecahan dan konflik
internal antara kelompok moderat dan radikal. Kelompok moderat berusaha memperbaiki hubungan
dengan pemerintah kolonial Belanda, sementara kelompok radikal menentang keras kebijakan
kolonial dan ingin mendirikan negara Islam yang merdeka. Konflik internal ini memuncak pada
pemecatan pemimpin SI, Haji Misbach, yang dipandang sebagai tokoh moderat pada tahun 1921.
Pada tahun 1924, kelompok radikal SI membentuk partai politik bernama Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII) yang menuntut kemerdekaan Indonesia dan mendirikan negara Islam. Hal ini
memunculkan ketegangan dengan kelompok moderat yang masih mengusung Sarekat Islam.
Kelompok moderat merasa bahwa pendirian PSII bertentangan dengan tujuan awal SI yang lebih
bersifat sosial. Pada tahun 1926, Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan di Jawa
yang berujung pada kegagalan dan kekerasan. Pemberontakan ini memicu reaksi keras dari
pemerintah kolonial Belanda yang menuduh SI dan PSII sebagai organisasi yang terlibat dalam
pemberontakan tersebut. Pemerintah Belanda kemudian melakukan penggerebekan dan penangkapan
terhadap banyak anggota SI dan PSII. Hal ini memuncak pada pembubaran SI pada tahun 1927.
Selain itu, pada periode ini terjadi juga pengaruh pergerakan nasionalis yang semakin kuat di
Indonesia. Pergerakan nasionalis yang diwakili oleh organisasi-organisasi seperti Partai Nasional
Indonesia (PNI) dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), menuntut kemerdekaan Indonesia dari
penjajahan kolonial Belanda. Hal ini memicu persaingan antara SI dan pergerakan nasionalis dalam
memperebutkan dukungan rakyat.
Secara keseluruhan, pemicu-pemicu di atas memicu dinamika yang signifikan pada Sarekat
Islam pada tahun 1921-1927, termasuk perpecahan internal, pembentukan partai politik, peristiwa
pemberontakan PKI, dan pengaruh pergerakan nasionalis yang semakin kuat.
Sarekat Islam Periode Keempat: 1927-1942

Dakwah Syarikat Islam dan Kontribusinya dalam Masyarakat Indonesia


Akibat peristiwa tersebut, Kompeni Islam terpecah menjadi dua arus, yaitu: (1) Kompeni
Islam Merah (SI Merah), dipimpin oleh Semaoen dan berbasis Sosial Komunis dan berpusat di
Semarang, dan (2) Muslim Putih. Perusahaan (SI Putih). yang dipimpin oleh Agus Salim melalui
suku dan agama dan berpusat di Yogyakarta (Noer, 1973). Setelah pecahnya badan Kompeni Islam,
berbagai masalah mulai bermunculan. Tersirat dalam masalah penurunan keanggotaan, karena
keanggotaan Umat Islam terbagi menjadi dua bagian, yaitu anggota yang tetap mempertahankan
prinsip kebangsaan dan agama (SI Putih) dan anggota yang berubah haluan untuk menganut prinsip
sosialis-komunis (SI Merah). Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar ketika
pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) menentang cita-cita Pan-Islamisme. Selain
itu, Agus Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Darsono menanggapi kritik tersebut
dengan mengkritik kebijakan keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga menentang percampuran
agama dan politik di SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI kanan (SI putih)
(Priyono, 1990).
Masa konsolidasi (1921-1927) disebabkan oleh efek pemisahan yang tampaknya meningkatkan
permusuhan di kedua sisi. Persaingan antara cabang Syarikat Islam dan Sarekat Rakyat membawa
PKI ke dalam lingkungan yang keras dan semakin radikal atau anarki. Akhirnya, PKI memberontak
terhadap organisasi ini, karena tidak dapat memutuskan apakah akan membubarkan Kongres Rakyat
yang semakin banyak pengikut proletarnya. Suasana kurang kondusif bagi pergerakan nasional
berlangsung lama dan berlangsung lama. Gerakan kiri terjebak dalam situasi yang tidak
menguntungkan, terutama setelah Semaoen menemui nasib tragis ketika dia diusir oleh pemerintah
kolonial Belanda pada tahun 1923 karena menyerukan pemogokan buruh (Noer, 1973). Perpecahan
SI terjadi setelah Semaoen dan Darsono dipecat dari organisasi tersebut. Hal itu tak lepas dari
tuntutan Abdul Muis dan Agus Salim pada Kongres VI SI pada 6-10. pada Oktober 1921 tentang
perlunya disiplin partai, yang melarang keanggotaan ganda. Anggota SI harus memilih antara SI atau
organisasi lain untuk menjaga SI bersih dari unsur-unsur komunis. Pada tahun 1920, Syarikat Islam
menerbitkan aturan disiplin partai yang menyatakan bahwa anggota suatu perkumpulan atau partai
lain tidak dapat sekaligus menjadi anggota Syarikat Islam. Bagi anggota Syarikat Islam, ini berarti
mereka harus memilih antara menjadi anggota Syarikat Islam atau mereka keluar dari Perusahaan
Islam (Firdaus,1997). Keputusan mengenai disiplin partai selanjutnya dikukuhkan dalam Kongres SI
bulan Februari 1923 di Madiun. Dalam kongres tersebut, Tjokroaminoto fokus pada peningkatan
pelatihan kader SI dalam penguatan organisasi dan transformasi CSI menjadi Partai Bisnis Islam
(PSI) (Muljiana, 2008).
Masa bela diri (1927-sekarang), hal ini ditunjukkan dengan adanya Kongres PSI tahun 1929
yang menyatakan bahwa tujuan perjuangan adalah untuk mencapai kemerdekaan nasional. Dengan
tujuan yang jelas tersebut, PSI menambah nama Indonesia menjadi Syarikat Islam Indonesia Partei
(PSII). Perubahan nama PSII diusulkan untuk mewujudkan visi misi yang lebih nasional atau
menyeluruh terhadap bangsa Indonesia. Lagi-lagi, pergantian nama ini mengikuti perubahan iklim
politik yang menjadi alasan dilakukannya pergantian nama partai. Pada tahun yang sama, PSII
masuk dalam Konsensus Persatuan Politik Nasional Indonesia (PPPKI) yang didirikan oleh Soekarno
pada tahun 1927 (Muljiana, 2008). Penggabungan tersebut ternyata tidak memberikan jalan yang
baik bagi PSII. Hingga PSII ogah-ogahan bergabung dengan PPPKI dan berpisah pada 28 Desember
1930. Hingga tahun 1973 (PSII) dan Dewan Tahkim (Kongres Nasional) ke-35 di Garut pada tahun
2003 berubah nama menjadi Syarikat Islam (disingkat SI). Sejak kongres ini, keberadaan dan
gerakan perusahaan Islam yang masih eksis dan berlanjut hingga saat ini disebut Perusahaan Islam
(Muljiana, 2008). Usai Sidang Tahkim ke-0 di Bandung tahun 2015 lalu, Dr. Hamdan Zoelva, SH.,
MH membenarkan. Sebagai direktur umum organisasi Kompani Islam, dengan keputusan tertinggi
organisasi, Kompani Islam kembali ke perannya sebagai gerakan dakwah ekonomi. Pada masa
penjajahan, Syarikat Islam mempengaruhi masyarakat Indonesia. Syarikat Islam jelas menolak
praktek kolonialisme di Hindia Belanda. Mereka menentang eksploitasi pemerintah kolonial, seperti
memungut pajak yang terlalu tinggi untuk masalah upah dan jam kerja. Pergerakan internal SI
muncul ketika terjadi pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda pada tahun 1923 akibat isu
buruh kereta api di Semarang. di lingkungan perkotaan Semarang (Machmudi, 2013). Orde baru
selama ini, menjadikan organisasi ini sebagai media Sosialisasi umat Islam dalam beberapa aspek
antara lain: Pertama, pendidikan. Pada masa Orde Baru saat ini, Perusahaan Islam terus terlibat
dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan. Sebanyak sekolah SI didirikan di berbagai daerah,
baik di Jawa maupun di luar Jawa. Sekolah biasanya menggunakan nama Cokroaminoto dalam
upaya membangkitkan kembali semangat Cokroaminoto. Untuk pendidikan, seperti mendirikan
sekolah kochroaminotoga di Banjarnegara, Surakarta dan berbagai tempat dengan jenjang Taman
Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Institut Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) ( Perusahaan Umum Islam Tata Tertib dan Tata Tertib Rumah Perusahaan Islam. Hasil
Rapat Takhlim). Banyak sekolah atau lembaga pendidikan Islam di Cokroaminoto tergabung dalam
organisasi SI yang terbesar di wilayah Jawa Tengah yaitu kabupaten Banjarnegara.

Anda mungkin juga menyukai