Himbauan kepada para pemimpin dan ummat Islam Indonesia untuk merenungkan,
memikirkan dan meluruskan sejarah Partai Islam sebagai landasan mewujudkan
persatuan dalam ummat Islam dibidang politik
Terbentuknya Partai Politik Islam Masyumi sesungguhnya adalah merupakan suatu
kesalahan karena Masyumi itu didirikan sebagai Majelis Permusyawatan Para Ulama
Indonesia dan kolompok / organisasi Islam yang ada pada waktu itu untuk tujuan
mendirikan majelis imamah dan bukan untuk menjadi partai politik. Idenya sebagai
kelanjutan dari MIAI (Al Majlisul Islamil A’la Indonesia) yang didirikan tahun 1937
di Surabaya untuk menyelesaikan perbedaan dan perselisihan paham dikalangana
ummat islam.
Hal ini adalah merupakan suatu kealpaan dan kelengahan tokoh PSII yang tidak
menyadari bahwa PSII sedang dalam keadaan uzur (tidak bubar)
Para tokoh PSII seharusnya mendeklarasikan lebih dahulu aktifnya kembali PSII
sebagai partai politik Islam dan mengajak para pemimpin Islam itu menggunakan PSII
sebagai satu-satunya partai politik Islam dan mencegah berdirinya Masyumi sebagai
partai politik Islam karena tindakan tersebut dapat diibaratkan mendirikan sebuah
mesjid baru disamping mesjid yang sudah ada dalam sebuah lingkungan. Hukumnya
adalah membuat firkah yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah dalam Al Qur’an
surat Ali Imran (103).
Lahirnya Partai Syarikat Islam Inodesia (PSII)
Bahwa dengan ketentuan dan izin Allah, Partai Syarikat Islam Indonesia atau PSII
sebagai sebuah organisasi politik dan kemasyarakatan yang pertama di Indonesia,
didahului oleh kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tanggal 16 Oktober 1905
oleh Haji Samanhudi di Surakarta (Solo). Lahir dizaman bangsa Indonesia berada
dibawah kekuasaan penjajah kaum kolonial Belanda yang telah menguras kekayaan
dan menjadikan bangsa Indonesia sebagai hamba sahaya dan budak mereka selama
lebih dari tiga abad.
Untuk meluaskan gerakan dan memenuhi aspirasi ummat Islam yang berkembang
waktu itu, setelah para pemimpin SDI mengadakan perhubungan dengan HOS
Tjokroaminoto maka pada tahun 1912 dikukuhkanlah nama Syarikat Islam sebagai
badan pergerakan, ditetapkan Anggaran Dasarnya, kemudian tanggal 14 September
1912 dimintakan pengesahan Akte Notaris Pendiriannya (Recht Persoon) dari
pemerintahan Kolonial Belanda. Setelah itu SI menjadi Partai Syarikat Islam Hindia
Timur (PSIHT) melalui Kongres (Majelis Tahkim) tahun 1927 di Madiun, lalu menjadi
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) melalui Majelis Tahkim di Batavia tahun 1930.
PSII sebagai peletak nilai dasar sejarah dan pelopor dalam barisan organisasi politik
pada zaman pra kemerdekaan telah memiliki nilai historis yang amat berarti dan telah
melakukan peranan yang amat penting dalam kontek peletakan nilai dasar sejarah
pergerakan bangsa Indonesia dan telah melahirkan proses pembangunan semangat
juang yang tinggi untuk melepaskan bangsa dari cengkeraman kaum yang menjajah
dan memperbudak bangsa Indonesia.Partai Syarikat Islam Indonesia dizaman
penjajahan adalah organisasi yang paling ditakuti oleh pemerintah kolonial Belanda
karena sepak terjangnya yang nyata nyata akan membawa bangsa Indonesia kepada
kemerdekaan sebagai bangsa, dan kemerdekaan yang lebih luas yang disebut
kemerdekaan sejati, yaitu kemerdekaan yang bebas dari segala macam perhambaan
dan penindasan serta penghinaan diri dan dari segala ketakutan dalam segala aspek
kehidupan dan pergaulan karena kaum Syarikat Islam hanya akan menghambakan diri
kepada Allah SWT semata-mata, tiada kepada yang lainnya. PSII akan menwujudkan
persamaan derajat bangsa Indonesia dengan bangsa bangsa lainnya di dunia yang
dilandasi etika dan moral sesuai dengan ajaran Islam.
Persatuan dalam Ummat Islam adalah kebutuhan dan perintah Allah
Dengan kesadaran akan perlunya ada persatuan dalam ummat Islam dalam bidang
politik untuk dapat terhimpunnya kekuatan supaya dapat menjalankan Islam dengan
sepenuh-penuhnya asas dan seluas-luasnya syari’at, sehingga akan memerdekakan
bangsa Indonesia dari penjajahan kaum kolonial dan dari segala macam bentuk
perbudakan dan perhambaan, maka Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
menetapkan: “PERSATUAN DALAM UMMAT ISLAM” sebagai landasan utama dalam
program asasnya, yang lengkapnya berbunyi: “Kaum Partai Syarikat Islam Indonesia
percaya bahwa untuk menjadikan Ummat Islam yang bersatu, lebih dahulu di dalam
seluruh Indonesia mesti dibangunkan suatu kaum (Partai) yang tidak berpecah pecah
atau berbahagi-bahagi sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam
Qur’an suart Ali ‘Imram ayat ke 103:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, (QS:Ali Imran:103).
Kemudian pada surat Ali 'Imran ayat ke 105 Allah berfirman:
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang
yang mendapat siksa yang berat.
Kemudian Allah berfirman lagi dalam surat Al Al Anfal ayat 73:
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian
yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Allah itu (keharusan adanya persaudaraan yang teguh antara kaum
muskimin), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.
Sudah sangat jelas sekali dari keterangan diatas bahwa Allah memerintahkan dan
mewajibkan kepada ummat Islam untuk bersatu, tidak bercerai berai dan membangun
kerja sama dengan senantiasa menggugah serta menggerakkan hati nurani, akal dan
budi untuk menghimpun kearifan demi tercapai dan terpeliharanya islam dalam wujud
kemerdekaan, tegaknya keadilan, tercipta dan terpeliharanya perdamaian, adanya
kemak-muran dan kesejahteraan dalam keridhaan dan ampunan Allah SWT.
Persatuan yang demikian itulah dibangunkan oleh kaum Partai Syarikat Islam
Indonesia yang didalam persatuannya itu menjadi sebagian pula dalam Persatuan
Ummat Islam se dunia.
Tokoh-tokoh pendahulu PSII telah terlibat dalam berbagai peristiwa penting proses
perjuangan dan peletakan sendi dasar sistem kehidupan bangsa Indonesia, seperti
Sumpah Pemuda, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Piagam Jakarta,
penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya,
serta dalam cikal bakal dan pembangunan Angkatan Perang Republik Indonesia dan
berbagai kegiatan politik setelah kemerdekaan Indonesia.
Hal ini adalah merupakan suatu kealpaan dan kelengahan tokoh PSII yang tidak
menyadari bahwa PSII sedang dalam keadaan uzur (tidak bubar)
Para tokoh PSII seharusnya mendeklarasikan lebih dahulu aktifnya kembali PSII
sebagai partai politik Islam dan mengajak para pemimpin Islam itu menggunakan PSII
sebagai satu-satunya partai politik Islam dan mencegah berdirinya Masyumi sebagai
partai politik Islam karena tindakan tersebut dapat diibaratkan mendirikan sebuah
mesjid baru disamping mesjid yang sudah ada dalam sebuah lingkungan. Hukumnya
adalah membuat firkah yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah dalam Al Qur’an
surat Ali Imran (103).
Setelah terlanjur berdirinya partai politik Islam Masyumi dimana terdapat para
pemimpin dan tokoh-tokoh PSII didalamnya, maka para tokoh PSII dari Sumatera
Barat (Sumatera Tengah pada waktu itu) menyampaikan peringatan kepada para
tokoh PSII yang ada dalam Masyumi, bahwa PSII yang sedang uzur harus diaktifkan
kembali sebagai partai politik Islam. Maka sebagian besar tokoh PSII yang
menyadari dan taat sebagai kader yang telah mengucapkan bai’at sebagai anggota
PSII, kembali mengaktifkan PSII pada tahun 1947 di Yogyakarta sebagai partai
politik dan keluar dari Masyumi.
Kejadian tersebut menimbulkan salah paham dan friksi yang pertama dari sebagian
pemimpin Islam yang ada di Masyumi kepada para tokoh dan kaum PSII yang
mengaktifkan kembali PSII, yang dipandang sebagai telah keluar dan tidak taat
dalam persatuan Islam dengan mendirikan PSII itu, pada hal keadaannya adalah
karena taat kepada azas partai tentang uzur dan taat kepada bai’at yang tercantum
dalam anggaran dasar PSII. Kondisi kesalah pahaman ini berkembang dan berlanjut
hingga saat ini tanpa pernah adanya clarifikasi dan penjernihan serta pemecahan
masalah tentang pemahaman arti persatuan dalam ummat Islam dibidang politik.
Berdasarkan hal hal yang diuraikan tersebut diatas kita tidak dapat menyalahkan
betul keterlanjuran berdirinya Masyumi pada waktu itu, akan tetapi kita juga tidak
dapat menyalahkan tokoh-tokoh PSII mengaktifkan kembali Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII). Keadaan yang demikian itu telah menyebabkan terjadinya firkah
partai politik Islam di Indonesia. Persoalan selanjutnya adalah bahwa partai Masyumi
telah dibubarkan oleh pemerintah Sukarno, karena alasan terlibat dalam
pemebrontakan PRRI dan PERMESTA. Jika secara hukum hal pembubaran itu sah
adanya, maka partai Masyumi tidak memenuhi syarat lagi untuk diaktifkan atau
dihidupkan kembali, akan tetapi jika tindakan Sukarno membubarkan Masyumi
dianggap tidak syah secara hukum, hanya sah secara politik maka Masyumi menurut
pandangan demokrasi liberal boleh hidup lagi jika keadaan politik mengizinkannya.
Akan tetapi jika ditinjau dari sudut pandangan Islam berdasarkan Qur’an surat Ali
‘Imran (103), bila telah ada partai Islam maka tindakan mendirikan lagi partai Islam
adalah termasuk tindakan membuat firkah. Apalagi jika ditinjau dari sejarah
terbentuknya Masyumi dimana telah ada Partai Syarikat Islam Indonesia yang
sedang uzur, maka seharusnya Partai Syarikat Islam Indonesialah yang mesti
digunakan sebagai wadah partai bagi Ummat Islam Indonesia. Silahkan para
pemimpin, cendekiawan dan tokoh Islam berkiprah didalammnya. Dan menggunakan
nama Partai Syarikat Islam Indonesia sebagai satu-satunya Partai Islam milik kaum
muslimin Indonesia tidaklah boleh diartikan memenangkan kepentingan dan untuk
kebanggaan kaum Syarikat Islam akan tetapi hendaklah dianggap sebagai
melaksanakan perintah Allah untuk bersatu dalam wadah (jamaah) yang telah ada,
dan yang menang dan bangga adalah ummat Islam Indonesia.
Cita-cita PSII untuk mewujudkan suatu kaum (jamaah) yang tidak terpecah belah
belum dapat terwujud karena kenyataan, muncul banyak partai Islam di Indonesia
dan ikut dalam Pemilu Pertama (1955), yaitu partai Islam NU, PERTI, Masyumi dan
PSII.
PSII semasa dan setelah orde baru
Pada zaman orde baru, berdasarkan Undang-undang Parpol dan Ormas yang
memasung hak demokrasi dan hak politik rakyat, PSII terpaksa dengan berat hati
dibawah tekanan politik yang amat berat memfusikan kegiatan politiknya kedalam
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yaitu partai yang didirikan dengan memfusikan
kegiatan politik dari 4 partai politik Islam: NU, MI, PSII dan PERTI. Setelah itu
PSII berubah menjadi organisasi kemasyarakatan non politik dengan nama Syarikat
Islam.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dibentuk semasa orde baru itu meskipun
dilahirnya sangat sesuai dengan doktrin atau paham kemasyarakatan Syarikat Islam
tentang persatuan dalam ummat Islam, akan tetapi usaha tersersebut disinyalir kuat
berbau rekayasa untuk mengendalikan dan memecah kekuatan dan persatuan dalam
kelompok kelompok ummat Islam. Hal tersebut menjadi dasar keengganan sebagaian
besar kaum Syarikat Islam untuk memfusikan kegiatan politiknya kepada PPP dan lagi
pula karena hal itu bertentangan dengan Anggaran Dasar, keyakinan dan i’tiqad kaum
Syarikat Islam bahwa PSII itu tidak dapat bubar atau dibubarkan sebagaimana yang
dinyatakan oleh anggaran dasarnya.
Pencabutan asas Islam kemudian diberlakukan pula kepada semua ormas Islam yang
ada termasuk SI yang telah menjadi ormas, menggantinya dengan Pancasila, sebagai
syarat untuk memperoleh legalitas atau syarat perizinan melakukan kegiatannya
secara formil.
PPP yang telah berhasil dijadikan ornament pemerintah ini lebih jauh telah menjadi
partai per ”SATE” an bagi kehidupan ormas pendiri PPP. Politik belah bambu yang
sering diterapkan para fungsionaris PPP terhadap ormas-ormas pendiri PPP karena
tekanan politik penguasa yang dalam istilahnya dikenal dengan nama operasi TUNTAS
yaitu TUNTUNAN DARI ATAS dan ditambah lagi dengan berkembangkanya usaha-
usaha untuk memperjuangkan kepentingan kelompok sendiri didalam partai telah
menghasilkan perpecahan dalam tubuh ormas-ormas pendiri PPP. Organisasi kaum
Syarikat Islam adalah salah satu korban yang tercabik-cabik oleh rekayasa sistem
politik orde baru itu disamping NU, MI dan PERTI. Pernyataan NU kembali kepada
khitah tahun 26 menjelang pemilu 1987 adalah sebagai akibat dan jawaban dari sepak
terjang kebijakan penguasa orde baru yang menekan dan mendorong PPP untuk
menjalankan politik belah bambu yang sangat merugikan organisasi NU itu. Kelompok
MI yang tidak terorganisir secara formil dan tidak pernah melaksanakan kongres
ataupun munas, seperti mendapat penunjukan dari penguasa untuk memegang kendali
yang mengontrol PPP. Tidak pernah PPP di ketua umumi oleh orang bukan MI setelah
tidak menjadi partai Islam.
Dengan kondisi PPP yang seperti itu maka seluruh ormas pendiri PPP secara tidak
resmi menganggap gugur arti dan makna serta kesepakatan fusi partai-partai Islam
pada tanggal 5 Januari 1973 yang menjadi tumpuan harapan ummat Islam itu. Dan
dilain pihak penguasa orde baru melalui undang-undang parpol yang menerapkan
sistem massa mengambang yang direkayasa sejalan dengan perekayasaan
pembentukan anggota DPR dan MPR-nya tidak memberi kesempatan kepada seluruh
anggota ormas pendiri PPP melakukan kegiatan politik praktis kecuali sebagian kecil
anggota yang menduduki jabatan dalam PPP yang dalam istilahnya adalah orang-orang
yang berada dalam sistem, yaitu maksudnya berada dalam sistem kekuasaan politik.
Hakikatnya semua partai politik waktu itu (zaman orde baru) berada dibawah suatu
kontrol dan kendali kekuasaan politik. Dengan demikian PPP sebagai partai Islam
harus dianggap sudah tidak ada lagi, dan seharusnya partai itu ditinggalkan dan
dibubarkan, dan para anggotanya kembali bergabung kepada organisasi masing-
masing sebelum PPP. Dengan demikian PPP sebagai salah satu sumber pemecah belah
ummat pada organisasi pendirinya dapat diakhiri.
Setelah berlalunya masa orde baru, dengan adanya gerakan moral oleh para
mahasiswa yang mendorong dilakukannya reformasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, untuk mengembalikan kehidupan demokrasi dan melepaskan pemasungan
hak politik rakyat, maka Syarikat Islam sebagai organisasi perintis dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia yang telah mengantarkan bangsa Indonesia kedepan pintu
gerbang kemerdekaan 17 Agustus 1945, serta turut aktif dalam kegiatan politik dan
kemasyarakatan mengisi kemerdekaan, telah mengambil sikap dan langkah
mengembalikan kiprahnya sebagai partai politik pada tanggal 29 Mei 1998 yaitu
mengaktifkan kembali PSII dengan berasaskan dienul Islam sebagaimana semula.
Dalam awal arus reformasi yang sedang berembus itu para tokoh dan para pemimpin
masyarakat dari berbagai golongan dengan riang gembira ramai-ramai mendirikan
partai-partai politik menyambut datangnya era demokrasi. Tidak ketinggalan para
tokoh Islam atau yang menganggap dirinya tokoh Islam turut pula mendirikan
berbagai partai Islam dengan berbagai latar belakang pemikiran.
Apabila tindakan mendirikan partai Islam itu dirujuk kepada Al Qur’an surat Ali
Imran (103), maka hal tersebut menurut paham kaum Syarikat Islam dapat
dikategorikan sebagai membuat firkah yaitu mendirikan partai Islam setelah adanya
partai Islam sebelumnya. Termasuk dalam hal ini PPP diklassifikasikan sebagai
mendirikan partai Islam baru, dikarenakan PPP yang lama sudah dianggap tidak ada
karena tidak lagi memegang amanat fusi yang dirusak orde baru serta dipaksa
berasas Pancasila dan tertutupnya kesempatan aktifis ormas untuk bisa aktif dalam
partai dan PPP sudah tidak berasas Islam.
Perolehan kursi tidak berarti legitimasi hukum sebagai partai Islam sesuai Al
Qur’an
Diperolehnya banyak kursi oleh PPP dalam DPR pada pemilu 1999 belum dapat
dianggap sebagai legitimasi PPP sebagai partai Islam yang keberadaannya sesuai
dengan Al Qur’an, melainkan hanya karena emosinal ke islaman para pendukung yang
tidak menyadari keadaan dan hukum tentang keberadaan partai Islam menurut Al
Qur’an.
Mencari titik temu dengan membuka hati dan berlapang dada, ikhlas karena
Allah, meletakkan kepentingan Islam diatas kepentingan pribadi dan kepentingan
golongan
Kalau kita mengerti benar-benar dan dengan sungguh sungguh hati menjalankan
perintah perintah Islam, maka selama-lamanya kita tidak akan dapat dihinggapi
nafsu egoisme, individualisme, despotisme, kapitalisme, dan lain-lain nafsu “isme”
yang jahat itu.
Sebaliknya apabila ada orang Islam masih juga menjadi seorang egois, individualis,
despoot, kapitalis dan lain-lain nafsu isme yang jahat itu, maka hilanglah sebagian
kecil atau sebagian besar dari keislamannya atau keislamannya gugur sama sekali….
Nauzubillahi minzaliq
Billahi fi sabilil haq.