Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PEMBERONTAKAN BERIDEOLOGI ISLAM: STUDI KASUS DARUL ISLAM


TAHUN 1949-1962 (DI/TII)
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Masyarakat Islam

Dosen Pengampu: La Ode Rabahni, S.S., M.Hum.

Disusun Oleh:
Hadzrat Maulana Muhammad Z. 121811133033
Gabriel Pratama Adi 121811433052
Imaniar Sukma Saputri 121911433052
Irkham Ulumuddin 121911433056

UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PRODI ILMU SEJARAH
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami ucapkan kepadaTuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas makalah
Sejarah Masyarakat Islam yang berjudul “Pemberontakan Berideologi Islam: Studi Kasus
Darul Islam Tahun 1949-1962 (DI/TII)” ini. Tugas Sejarah Masyarakat Islam ini dibuat
dalam rangka menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan oleh dosen pengampu kami
yakni bapak La Ode Rabani, S.S., M. Hum. Selain itu sebagai media pembelajaran terkait
materi Masyarakat Islam dengan titik pusat kajian terkait pemberontakan berideologi Islam
yang pernah terjadi di Indonesia
Makalah ini kami susun dengan sebaik mungkin dengan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan untuk para pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh
dari sempurna. Karena itu kami mengharapkan saran dan kritik demi perbaikan makalah.
Kami sangat berharap semoga dari makalah ini dapat diambil manfaatnya.
Terselesaikannya makalah ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran tangan berbagai
pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya kami mengungkapkan rasa terimakasih dan
penghargaan kepada seluruh teman yang membantu kami mencari struktur makalah hingga
materi-materi yang akan disampaikan dan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

Surabaya, 21 April 2021


Penyusun

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... . i


DAFTAR ISI ………………………………………………………………....….ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang …………………………………………….............................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 DI/TII Jawa Barat............................................................................................3
2.2 DI/TII Jawa Tengah ........................................................................................4
2.3 DI/TII Aceh .....................................................................................................5
2.4 DI/TII Kalimantan Selatan...............................................................................6
2.5 DI/TII Sulawesi Selatan...................................................................................7
2.6 Dampak Peristiwa DI/TII.................................................................................8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12

ii
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kemerdekaan Indonesia merupakan suatu hal yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat
Indonesia khususnya. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia beramai-ramai menyambut
dibacakannya Proklamasi sebagai simbol untuk menyatakan kemerdekaannya atas penjajahan
yang telah dilakukan oleh negara-negara Eropa selama beratus-ratus tahun. Namun, walaupun
telah diproklamasikan dan didukung penuh oleh suara rakyat Indonesia, ternyata sikap
pemerintah dan rakyat Indonesia tidak kompak. Hal ini berawal dari pihak Belanda yang pada
masa itu masih tidak bisa mengakui kemerdekaan Indonesia dan keinginan untuk kembali
menguasai maka mereka membonceng tentara sekutu untuk menyerang Indonesia. Dengan
adanya permasalahan ini muncul perbedaan pendapat di mana pihak pemerintah yang
mengetahui keadaan militer Indonesia beranggapan bahwa kekuatan militer Indonesia tidak
sebanding dengan tentara sekutu pada saat itu, sehingga lebih memilih jalur perundingan
diplomatik dengan pihak Belanda dan berusaha meraih simpati Internasional melalui PBB. Di
lain pihak, kekuatan militer dan politisi Indonesia memandang strategi perundingan
diplomatik ini sebagai menjual diri kepada Belanda sehingga mereka menghendaki agar
Indonesia 100 persen merdeka1 dengan bertempur melawan Belanda hingga akhir. Kondisi
ini yang berikutnya menjadi penyebab pecahnya perang kemerdekaan atau Revolusi Nasional
dan mengakibatkan munculnya gerakan DI/TII di Indonesia. Pergerakan yang bermula dari
gerakan Darul Islam yang kemudian berkembang menjadi Negara Islam Indonesia ini
merupakan suatu gerakan untuk mempertahankan kemerdekaan yang berasal dari kelompok
sosial dengan agama Islam sebagai ideologi.
Darul Islam (bahasa Arab dar al Islam) secara harfiyah berarti “rumah” atau “keluarga”
Islam, yaitu “dunia atau wilayah Islam.” Adapun yang dimaksud adalah negara atau
pemerintahan yang menerapkan hukum Islam sebagai hukum pemerintahan. Warga negara
atau orang-orang yang tinggal di wilayah kekuasaannya yang tidak beragama Islam harus
tunduk kepada hukum yang berlaku, dan mereka mendapat perlindungan. Pemerintahan yang
pertama kali menerapkan hukum Islam menjadi hukum negara adalah pemerintahan Islam
jaman Nabi Muhammad SAW.2 Darul Islam (DI) yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi “Negara Islam Indonesia” (NII) atau bisa disebut juga dengan “N sebelas”

1
Colin Wild & Peter Carey, Gelora Api Revolusi: Sebuah Antrapologi Sejarah, 1986, hlm 174.
2
E. Nugroho, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1988), hlm. 236.

1
adalah kelompok orang-orang yang ingin membentuk sebuah negara yang berdasarkan
Islam.3 Gerakan ini pertama kali muncul dengan Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo yang
mencetuskan pemikirannya mengenai masyarakat Islam dengan model hijrah. Namun
gerakan ini justru menjadi suatu pemberontakan pada pemerintahan Indonesia dengan
dibentuknya Tentara Islam Indonesia dan dilakukan lewat kekerasan di mana masyarakat
sipil turut menjadi imbas karena merasa keresahan, ketidaknyamanan, dan ketakutan dengan
adanya pertempuran ini. Gerakan ini pertama kali muncul di Jawa Barat dan kemudian
menyebar luas ke Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan, hingga Sulawesi Selatan dengan
pimpinannya masing-masing karena merasa memiliki tujuan yang sama dengan Kartosuwiryo
sebagai pencetus pertama gerakan DI/TII di Indonesia.

BAB II
3
Afadlal,dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), hlm. 226.

2
Pembahasan
2.1 DI/TII Jawa Barat

Awal permulaan dari Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia yaitu tentara yang
dibentuk dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yakni sebuah negara dalam
negara yang didirikan oleh Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo di Jawa Barat. NII didirikan di
negara bagian Belanda, karena pada tahun 1948 Indonesia terikat dengan Perjanjian Renville
yang menyatakan jika Jawa Barat bagian dari wilayah Belanda. Gerakan DI/TII Jawa Barat
dikoordinasikan oleh Kartosuwiryo, pada tanggal 7 Agustus 1949. NII di Jawa Barat berpusat
di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kewedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kelompok yang dianggap radikal ini mengakui syariat Islam sebagai sumber hukum dan satu-
satunya pedoman yang valid. Tujuan DI di Jawa Barat ini yang menjadi pedoman dari
gerakan serupa di seluruh Indonesia yakni dengan keinginan untuk mendirikan sebuah negara
atas dasar syariat Islam berupa Al Qur'an dan Hadist di seluruh wilayah Indonesia karena
mayoritas penduduk yang beragama Islam.

Latar belakang terjadinya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat ini dilandasi


ketidakpuasan dari Kartosuwiryo terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Pada masa itu,
kemerdekaan RI masih dibayangi kehadiran Belanda yang masih ingin berkuasa atas
Indonesia. Di awal tahun 1948, terjadi pertemuan antara SM Kartosuwiryo dengan Panglima
Laskar Sabilillah dan Raden Oni Syahroni lantaran ketiga tokoh tersebut menentang adanya
Perjanjian Renville karena anggapan bahwa bahwa perjanjian tersebut tidak melindungi
warga Jawa Barat. NII bertahan belasan tahun dengan cara gerilya di hutan-hutan di tanah
Sunda untuk mempertahankan diri dari kejaran militer Republik Indonesia. Gerakan NII
justru meresahkan masyarakat di mana dapat dilihat dari tulisan Ifan Teguh yang berjudul
Digorok Gerombolan: Kesaksian kekejaman DI/TII di Bandung, yang mengungkap kesaksian
seorang warga bernama Emeh. Pada masa itu, Emeh mengingat bagaimana ia dan warga
lainnya hampir setiap hari harus menyediakan nasi untuk orang-orang DI/TII dan sering
diperlakukan kasar oleh pasukan Kartosuwiryo.
Tindakan NII yang semena-mena mengakibatkan kecurigaan oleh pemerintah, ulama
besar, dan masyarakat hingga pemerintah membentuk Badan Musyawarah Alim Ulama yang
bertugas memantau pergerak DI/TII. Puncaknya tanggal 4 Juni 1962, operasi Pagar Betis
yang dilancarkan oleh militer Indonesia berhasil menangkap para anggota DI/TII beserta
jajaran petingginya termasuk Kartosuwiryo dan berdasarkan keputusan Pengadilan
Mahkamah Darurat Perang tanggal 16 Agustus 1962, Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati

3
karena telah memberontak terhadap pemerintahan Indonesia. Pada 5 September 1962,
Kartosuwiryo dibawa ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu, dekat Teluk Jakarta untuk di
eksekusi hingga berakhirlah pemberontakan DI/TII Jawa Barat.
2.2 DI/TII Jawa Tengah
Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terhadap pemerintahan
Indonesia di Jawa Tengah terjadi pada 23 Agustus 1949 dipimpin oleh Amir Fatah yang
merupakan komandan laskar Hizbullah Tulangan, Sidoarjo, dan Mojokerto. Latar Belakang
DI/TII Jawa Tengah Menurut Menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah
Pemberontakan (1987:128), Amir Fatah memimpin pasukan Hizbullah yang menyertai
Kartosuwiryo ke Malang untuk menghadiri sidang paripurna kelima Komite Nasional
Indonesia Pusat sebagai semacam pengawal pada Februari 1947. Di Malang, Amir Fatah
menjadi Kepala Staf Divisi 17 Agustus, sebuah pasukan yang menentang Perjanjian
Linggarjati karena menguntungkan Belanda. Berdasarkan catatan Eko Loren dalam Gerakan
DI/TII di Jawa Tengah: Pemberontakan Eks Batalyon 426 dan Pengaruhnya Terhadap
Kehidupan Masyarakat di Klaten Tahun 1950-1952, TNI pada masa itu pergi ke
Banjarnegara sedangkan pasukan Hizbullah pindah ke Wonosobo. Akan tetapi, terdapat
beberapa kubu yang merasa tidak setuju dengan Perjanjian Renville dan mengakibatkan
munculnya percikan-percikan aksi di beberapa daerah Jawa Tengah, seperti Tegal-Brebes,
dan Pemalang. Amir Fatah bergabung dengan Pasukan Hizbullah yang ketika itu dipimpin
oleh Abas Abdullah untuk pergi ke wilayah sengketa Indonesia-Belanda, Brebes, Jawa
Tengah. Di sana, ia mendirikan pasukan Mujahidin dengan pemerintahan sementara yang
disebut sebagai Majelis Islam (MI).
Mengutip tajuk "Dari Kroya ke Korea: Sejarah Hidup Panglima DI.TII Amir Fattah",
ketika pertengahan 1948, Amir Fatah pergi ke Brebes dan akhirnya menjadi Jenderal Mayor
pasukan pimpinan Abas Abdullah dan pada 23 Agustus 1949, Amir Fatah menyatakan
bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang sebelumnya sudah dideklarasikan
berdiri oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat. Amir Fatah dengan kelompoknya melakukan
penyerangan terhadap TNI dan beberapa desa ketika itu, seperti desa Rokeh Djati,
Pagerbarang, Gumelar, Tegal Selatan serta Diasem dan Wonosari. Pemberontakan ini
berakhir ketika Letnan Kolonel Ahmad Yani mulai ambil sikap terhadap pemberontakan
DI/TII Jawa Tengah dengan mengirim pasukan Banteng Raider ke desa Ciawi, Tasikmalaya
yang berhasil melemahkan kekuatan tentara Amir Fatah. Kejadian ini berlangsung pada
pertengahan Desember dan ketika itu beberapa pasukan Mujahidin berhasil dikalahkan
namun Amir Fatah berhasil lolos dari tangkapan TNI. Pada 22 Desember 1950, Amir Fatah

4
berhasil dibekuk saat berada di Desa Cisayong, Tasikmalaya dan dipenjara selama dua tahun
lalu dibebaskan, kemudian dia mendapatkan izin untuk berpergian ke negara lain dan
menetap di Korea.
2.3 DI/TII Aceh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dipelopori oleh Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh. Salah
satu alasan terjadinya pemberontakan ini adalah karena ketidakpuasan rakyat Aceh terhadap
pemerintah pusat. Menurut salah seorang pelaku sejarah yaitu Tgk. M. Nur El Ibrahimy
mengemukakan bahwa peristiwa yang menjadi problema nasional tersebut erat kaitannya
dengan kecenderungan pusat (Jakarta) yang munafik dan pemerintahan Republik yang telah
mengecewakan tokoh-tokoh ulama di Aceh.4 Selain ingin menjadikan Islam sebagai ideologi
negara, kunci utama adanya pemberontakan ini adalah pada masa itu, Aceh merasa dikhianati
oleh pemerintahan karena sebelum tahun 1948 Presiden Soekarno pernah berjanji kepada
Daud Beureu-eh dan pemuka-pemuka masyarakat di Banda Aceh bahwa Aceh akan
mendapatkan otonomi khusus namun pada pertengahan tahun 1950 Aceh mendapat kabar
bahwa Divisi X dan Provinsi Aceh akan dibubarkan, sehingga timbul keresahan dari rakyat
Aceh terutama yang terlibat dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda karena merasa
perjuangannya tidak di hargai. Daud Beureu-eh memukul gong pemberontakan dengan
pernyataan Aceh memisahkan diri dari Indonesia. Pernyataan ini terjadi setelah kongres
ulama di Titeue Pidie. Dia mengumumkan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia
mengikuti Kartosuwiryo di Jawa Barat dan pada tanggal 21 September 1593 meletus suatu
peristiwa berdarah di Tanah Rencong yang bagi rakyat Aceh merupakan sebuah tragedi besar
bagi negeri Aceh. Pada tanggal tersebut Tgk. M. Daud Bereu-eh yang merupakan mantan
Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo dan merupakan mantan Gubernur Aceh
yang pertama mengangkat senjata terhadap Pemerintah Pusat dan memproklamasikan Aceh
sebagai negara Islam.5
Sejak meletusnya pemberontakan yang dilakukan oleh Daud Bereu-eh kondisi Aceh
menjadi keruh karena pertempuran-pertempuran yang terjadi. Banyak masyarakat yang
memutuskan untuk melarikan diri dari tempat tinggal mereka dan memilih untuk mengungsi
ke daerah yang aman seperti Sumatera Timur khususnya kota Medan. Pekerjaan-pekerjaan
penduduk seperti pertanian, perdagangan, dan kepegawaian terhambat kemudian suasana
menjadi lenggang daripada hari biasanya karena masyarakat lebih mementingkan
4
Misri A. Muchsin, Potret Aceh Dalam Bingkai Sejarah, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007), hlm.
86.
5
M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Bereu-eh dalam Pergolakan Aceh, (Jakarta : Media
Da’wah, 2001), hlm. 1.

5
keselamatan diri mereka.6 Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menumpas
pemberontakan DI/TII Aceh ini tidak seperti saat menumpas gerakan DI/TII lainnya karena
untuk menekan pergerakan Daud Bereu-eh dilakukan dengan jalur negosiasi. Melalui
Pangdam Aceh yang baru yakni M. Jasin, serangkaian upaya dilakukan untuk memadamkan
pemberontakan tersebut dengan jalan damai walaupun berjalan lambat namun tidak sia-sia.
Daud Beureu-eh akhirnya bersedia mundur dengan syarat diberlakukannya unsur-unsur
syariat Islam bagi masyarakat Aceh hingga pada 1960 Beureu-eh menyerah dan disambut
dengan pengumuman Konsepsi Pelaksanaan Unsur-Unsur Syariat Islam bagi Daerah
Istimewa Aceh. Daud Beureu-eh resmi mundur dan menyerah pada 9 Mei 1962 beserta
pasukan setianya yang di pimpin oleh Teungku Ilyas Leube.
2.4 DI/TII Sulawesi Selatan
Pemberontakan DI/TII di wilayah Sulawesi Selatan ini dipimpin oleh Abdul Kahar
Muzakar terjadi selama lima belas tahun antara tahun 1950-1965. Abdul Kahar Muzakar
sendiri adalah salah satu bagian dari tentara yang memperjuangkan wilayah Sulawesi Selatan
dari serangan Belanda. Dalam mempertahankan perjuangannya Abdul Kahar Muzakar
menjadi salah satu pelopor berdirinya KGSS atau Kesatuan Geriliya Sulawesi Selatan yang
mana organisasi militer ini merupakan gabungan dari organisasi geriliyah yang ada di
wilayah Sulawesi Selatan. Pembentukan KGSS ini dilakukan di Maros melalui sebuah
konferensi namun harus dibubarkan karena sebuah konflik yang menyebabkan kekecewaan
dari Abdul Kahar Muzakar sehingga beliau tergabung kedalam DI/TII pada tanggal 7
Agustus 1953.7 Terbentuknya DI/TII Sulawesi Selatan pada awalnya disebabkan kerena
kekecewaan Abdul Kahar Muzakar terhadap pemerintah negara kerena ditolaknya sejumlah
anggota KGSS sebagai bagian dari APRI.
Selama menjadi bagi dari DI/TII Kahar Muzakar melakukan pemberontakan kepada
negara Indonesia. Kahar Muzakar menganggap bahwa pemerintah pusat mengabaikan kerja
keras mereka sebagai bagian dari tentara yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Konflik ini semakin meluas dengan memakan banyak korban bakan dari warga sipil dalam
hal ini kedua belah pihak menjadi faktor bagaimana seorang warga sipil harus terbunuh. 8

6
Ali Basyah Talsya, Sejarah dan Dokumen-dokumen Pemberontakan di Aceh, (Jakarta: Kusuma, n.d),
hlm. 66.
7
Nur Aisyah, Patahhuddin dan H. M. Rasyid Ridha, Barakah: Basis pertahanan DI/TII di Sulawesi
Selatan (1953-1965), Jurnal Pattingalloang, Vol. 5, No. 2, 2018. hlm 50.
8
Sahajuddin, Abdul Hafid, dan Rosdiana Hafid. “Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dalam Kajian
Sumber Sejarah Lisan 1950-1965”. Jurnal Seminar Series in Humanitis and Social Sciences, No. 1,
2019, hlm 59.

6
Terbunuhnya warga sipil ini terjadi karena kecurigaan satu sama lain yang mana ada satu
orang yang dianggap sebagai golongan tertentu. Selain itu deklarasi sebagai negara islam
juga menjadi alasan kenapa pemberontakan ini harus segerah diatasi. Berbicara mengenai
kenapa negara islam ini menjadi alasan pemberontakan adalah perubahan pada sila pertama
di pancasila. Menurut Kahar Muzakar perubahan sila pertama ini menyebabkan berbagai
ideologis masuk ke Indonesia selain itu dengan tetap menggunakan sila pertama mungkin
saja tidak akan ada pemberontakan yang dilakukan atas nama agama. 9 Pemberontakan yang
dilakukan oleh DI/TII di Sulawesi Selatan ini terjadi selama lima belas tahun. Dalam upaya
pemerintah untuk menumpas gerakan DI/TII ini ternyata tidak mudah karena pasukan yang
dikirim ke Sulawesi Selatan mengalami kesulitan dengan medan yang dihadapi. Namun
pasukan militer Indonesia berhasil menumpas gerakan DI/TII Sulawesi Selatan dengan
terbunuhnya Abdul Kahar Muzakar pada tanggal 3 Februari 1965.
2.6 DI/TII Kalimantan Selatan
Pemberontakan yang terjadi di wilayah Kalimantan Selatan juga tidak lepas dari
kekecewaan yang dialami oleh tentara gerilyawan yang ada di Kalimantan Selatan.
Pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan ini dipimpin oleh Ibnu Hajar yang
merupakan seorang pasukan gerilyawan yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia
diwilayah Kalimantan Selatan. Munculnya pemberontakan yang dilakukan oleh Ibnu Hajar
ini disebabkan karena pemerintah pusat menolak untuk menjadikan para anggota gerilyawan
menjadi bagian dari APRI karena untuk masuk kedalam APRI harus sesuai dengan prosedur
sehingga Ibnu Hajar kecewa karena merasa perjuangannya dalam melawan Belanda tidak
dihargai. Selain itu tergabungnya beberapa mantan anggota KNLI kedalam APRI membuat
kekecewan Ibnu Hajar semakin tinggi, dia menganggap bahwa tindakan yang dilakukan
pemerintah pusat dengan mengangkat anggota KNLI kedalam bagian dari pasukan militer
dirasa sangat merugikan karena KNLI adalah peninggalan Belanda. Pengiriman pasukan
Teritorial yang digagas oleh Nasution menurut Ibnu Hajar menjadi tindakan yang menghina
kekuatan dari pasukan geriliya Kalimantan Selatan. Dengan masuknya pasukan APRI ini
membuat ketidakpercayaan pemerintah pusat akan pasukan Gerilya yang ada di Kalimantan
Selatan ditambah lagi militer di wilayah Kalimantan Selatan kebanyakan diduduki oleh
orang-orang Jawa.
Akibat tindakan ini Ibnu Hajar mendirikan organisasi militer sendiri yang diberi nama
Kesatuan Rakjat Jang Tertindas atau RKjT. Sebelum membangun RKjT Ibnu Hajar
tergabung dalam pasukan geriliyah yang bernama Bataliyon rahasia yang mana nama ini
9
Ibid, hlm 54-55.

7
kemudian diubah menjadi Divisi IV ALRI. Setelah tergabung dalam divisi IV ALRI karena
kekacauan yang cukup parah di Kalimantan, maka dibentuk pasukan yang terdiri dari
gabungan divisi IV ALRI dan beberapa anggota dari KNLI yang kemudian diberi nama
Divisi Lambung Mangkurat. Seiring berjalannya waktu nama divisi ini semakin memudar,
hal ini disebabkan karena terjadi pemindahan tugas dalam setiap anggotanya sehingga sudah
jarang terlihat lagi.10 Dari beberapa anggota ada beberapa pasukan yang tidak mau
dimobililasasi dan memilih untuk tetap berada di wilayah hutan Kalimantan Selatan yang
kemudian membentuk TKjT yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Dalam laporan pada masa orde
baru TKjR ini dianggap sebagai bagian dari DI/TII karena masuknya Ibnu Hajar diiming-
imingi menjadi Panglima Angkatan Perang Tentara Islam diwilayah kalimantan.11
Dalam menumpas gerakan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar ini pemerintah melakukan dua
kali operasi militer. Pertama yakni Operasi Delima pada tahun 1959 yang dilakukan untuk
menyadarkan masyarakat agar tidak terpengaruh dengan organisasi Ibnu Hajar dan
dimaksudkan untuk menghentikan pasokan logistik terhadap pasukan Ibnu Hajar. Operasi
yang terjadi selama 15 hari ini berhasil menggugurkan beberapa pasukan pemberontak
namun tidak semua. Operasi kedua yakni Operasi Segi Tiga yang berhasil mendesak pasukan
dari Ibnu Hajar dan membuat Ibnu Hajar melarikan diri ke perbatasan Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur. Dua operasi yang dijalankan oleh pasukan militer Indonesia ini
membuat kelompok Ibnu Hajar terdesak dan terpecah menjadi kelompok kecil dan keadaan
ini membuat kelompok Ibnu Hajar kehabisan bekal sehingga menyerahkan diri ke tangan
pasukan militer dan menerima hukuman mati. 12 Pemberontakan ini berakhir pada tahun 1959
setelah Ibnu Hajar tertangkap.
2.6 Dampak Peristiwa DI/TII
Secara umum, gerakan NII yang dikenal dengan DI/TII mengakibatkan berkembangnya
gerakan dan aksi terorisme secara kultural hingga struktural. Bentuk kemunculan gerakan
terorisme secara struktural yang paling berpengaruh adalah dengan keluarnya Abu Bakar
Ba’asyir dan Abdullah Sungkar dari gerakan DI/TII tahun 1983 di Jawa Tengah bersama
Hispran (H. Ismail Pranoto).13 Bermula dari redamnya gerakan DI/TII dan tertangkapnya
Hispran hingga pada waktu kemudian dirinya menjadi pemimpin GUPPI (organisasi Islam

10
Muhammad Iqbal, “Pemberontakan KRjT di Kalimantan Selatan 1950-1963”, Jurnal Khazanah,
Vol. 16, No. 1, 2018. hlm 108-110.
11
Ibid, Hlm 112.
12
Ibid, Hlm 114-115.
13
Beda NII dan Jamaah Islamiyah, https://www.viva.co.id/berita/nasional/218858-ba-asyir-
provokasi-anggota-nii-untuk-keluar, diakses pada tanggal 23 April 2020, pukul 17.00.

8
dalam Keluarga Golklar), Hispran tiba-tiba menghilang pasca pemilu 1970. Ketika Pangdam
VI Siliwangi bernama Himawan Sutanto mengadakan acara silaturahmi dengan seluruh bekas
DI/TII Jawa Barat dan mengingatkan bahwa Hispran yang hilang harus segara ditemukan dan
disadarkan. Pada pertemuan itu ternyata Hispran datang dan dapat dipahami bahwa Hispran
mulai memunculkan gerakan DI/TII kembali dengan nama Komando Jihad didukung dengan
upaya penghasutan Hispran pada umat muslim di Jawa Tengah dan Jawa Timur (terakhir
berada di Bondoringgit, Kabupaten Blitar).14
Salah satu gerakan Hispran di Jawa Tengah tahun 1983 diikuti oleh Abu Bakar Ba’asyir
dan Abdullah Sungkar. Dua tokoh ini meninggalkan gerakan yang dibentuk oleh Hispran dan
sepeninggal Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir dituduh oleh badan intelijen membentuk
gerakan struktural sebagai pengembangan dari DI/TII yang dinilai terlalu lokal. Abu Bakar
Ba’asyir pada tahun 1985 dituduh salah satunya oleh pemerintah AS membentuk gerakan
Jamaah Islammiyah dan menjalin hubungan dengan Al-Qaeda agar cita-cita DI/TII tidak
hanya sebatas lokal tetapi juga global. Pada tahun 1999, Abu Bakar Ba’asyir terlibat pula
dalam kelopok Majelis Mujahidin Indonesia dan menjabat sebagai ketua selepas pulang dari
pelariannya di Malaysia. Ketika di Indonesia, beragam teror diperbuat oleh Abu Bakar
Ba’asyir mulai dari propaganda anti pancasila sebagai asas tunggal pada bulan April 2002
dan disebut oleh majalah TIME tanggal 23 September 2002 sebagai konspirator rencana
peledakan bom di Masjid Istiqlal serta puncaknya adalah pendanaan dan dukungan latihan
teroris terkait Al-Qaeda di Aceh tanggal 16 Juni 2011.
Sebelum peristiwa ini juga bermunculan pengikut paham serupa yang dicetuskan DI/TII
yakni konsep takfiri (mengkafirkan sistem non Islam dan pengikutnya) sehingga melahirkan
gerakan jihadi (teror/kekerasan).15 Peristiwa serupa dapat dilihat pada kejadian pembajakan
pesawat terbang Woyla oleh kelompok fundamentalis Jamaah Imron bin Muhammad Zein
tahun 1981 dan peledakan Candi Borobudur oleh Hussein Al-Habsy yang diduga berafiliasi
dengan kelompok Syiah pada tahun 1985. Serangkaian peristiwa ini merupakan dampak dari
munculnya gerakan DI/TII yang tidak hanya melahirkan gerakan terorisme secara gerakan
dan kelompok struktural, melainkan juga kultural dalam bentuk propaganda.
Bagi masyarakat pemberontakan DI/TII telah menimbulkan keresahan. Hal ini karena
adanya aksi-aksi penculikan terutama kepada tokoh masyarakat yang berpengaruh di suatu
14
Achmad Hasan, “DI/TII Pasca Kartosoewirjo (Studi Kasus Gerakan Komando Jihad 1976-1981)”.
Skripsi pada Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Tahun 2011.
15
Takfiri-Jihadi dan Terorisme di Indonesia, https://epaper.mediaindonesia.com/detail/takfiri-jihadi-
dan-terorisme-di-indonesia, diakses pada tanggal 23 April, pukul 17.30.

9
kampung dengan harapan menjadi kaki tangan DI/TII dalam gerakan massa. Mereka yang
akan dijadikan kaki tangan oleh DI/TII yang paling utama adalah guru sekolah dan guru
mengaji karena status sosial dan kedudukan mereka, disamping kharismanya yang
diharapkan dapat menarik simpati rakyat yang kemudian mendukung gerakan DI/TII. Selain
dua unsur (tokoh masyarakat) tersebut yang tidak lepas dari incaran untuk dipengaruhi adalah
para kepala kampung dan kepala kepala distrik di setiap daerah. Namun, tidak jarang dari
para tokoh masyarakat tersebut yang tidak setuju atau tidak mau bekerjasama dengan DI/TII
dan memilih untuk melarikan diri ke tempat yang aman di mana ada aparat keamanan untuk
melindungi nyawa mereka. Karena itu banyak warga yang  harus menyingkir meninggalkan
kampung halamannya demi menyelamatkan diri dan kelangsungan hidupnya. Selain
melakukan penculikan dan pembunuhan pasukan DI/TII juga melakukan perampokan untuk
upaya penghimpunan dana dalam rangka mobilisasi dan kelangsungan gerakan DI/TI
(Khususnya di Maros). Akibat dari tindakan mereka itu, maka ketika mereka memasuki suatu
kampung, para warga pun berlarian menjauhkan diri dan bersembunyi karena ketakutan
kecuali bagi mereka yang setuju atau mau bekerja sama dengan DI/TII.

BAB III
PENUTUP

3.6 Kesimpulan
Dari Uraian di atas dapat dipahami bahwa Darul Islam (DI) dalam bahasa Indonesia
berarti “Negara Islam Indonesia” (NII) merupakan kelompok orang-orang yang ingin

10
membentuk sebuah negara yang berdasarkan Islam. Gerakan ini pertama kali muncul dengan
Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo yang mencetuskan pemikirannya mengenai masyarakat
Islam dengan model hijrah. Namun gerakan ini justru menjadi suatu pemberontakan pada
pemerintahan Indonesia dengan dibentuknya Tentara Islam Indonesia dan dilakukan lewat
kekerasan atau konsep jihadi. Gerakan ini pertama kali muncul di Jawa Barat dan kemudian
menyebar luas ke Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan, hingga Sulawesi Selatan dengan
pimpinannya masing-masing karena merasa memiliki tujuan yang sama dengan Kartosuwiryo
sebagai pencetus pertama gerakan DI/TII di Indonesia.
Dampak paling utama yang dihasilkan dari seluruh rangkaian pemberontakan yang
dilakukan DI/TII adalah lahirnya rangkaian-rangkain baru dalam aksis terorisme. Peristiwa
pertama yang menjadi dampak dari gerakan ini adalah lahirnya kelompok-kelompok
struktural dan gerakan kultural yang menyebarkan konsep takfiri dan jihadi yang Semakin
masif. Tindakan ini berlangsung hingga pada masa pasca orde baru seperti yang dilakukan
oleh Abu Bakar Ba’asyir. Hal ini mampu menghambat integrasi bangsa dan memicu konflik
antara agama dan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Afadlal,dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press


Djamhari, Saleh. 1979. Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI (1945 – Sekarang). Djakarta :
Pusjarah Abri.

11
Hasan, Achmad. “DI/TII Pasca Kartosoewirjo (Studi Kasus Gerakan Komando Jihad 1976-
1981)”. Skripsi pada Program Studi Ilmu Politik. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 2011.
Hafid, Rosdiana, Sahajuddin, dan Abdul Hafid. 2019. “Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan
dalam Kajian Sejarah Lisan 1950-1965”. Dalam Jurnal Seminar Series in Humanitis and
Social Sciences, Vol. 1.
Ibrahimy, M. Nur El. 2001. Peranan Tgk. M. Daud Bereu-eh dalam Pergolakan Aceh.
Jakarta: Media Da’wah.
Iqbal, Muhammad. 2018. “Pemberontakan KRjT di Kalimantan Selatan 1950-1963”. Dalam
Jurnal Khazanah, Vol. 16, No. 1.
Muchsin, Misri A. (2007) Potret Aceh Dalam Bingkai Sejarah. Banda Aceh: Ar-Raniry
Press.
Nugroho, E. (1988). Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Ridha, M. Rasyid, Nur Aisyah, dan Patahudi. 2018. “Baraka: Basis Pertahanan DI/TII di
Sulawesi Selatan 1953-1965”. Dalam Jurnal Pattingalloang, Vol. 5, No. 2.
Ruslan, 2008. Mengapa Mereka Memberontak? Dedengkot Negara Islam Indonesia. Bio
Pustaka Indonesia.
Santoso, Lukman. 2014. Sejarah Terlengkap Gerakan Separatis Islam. Jogjakarta : Palapa
Usman, Syafaruddin. 2010. Tragedi Patriot dan Pemberontakan Kahar Muzakkar. Jakarta :
PT. Suka Buku Kita.

12

Anda mungkin juga menyukai