INDONESIA
KELOMPOK 4
1. ASSYIFA RIFKA AHYANI
2. DESTI NURLITA
3. INTAN MUTHIA SUTISNA N.
4. MUHAMAD FADHIL RAHMAN
5. NAZWA KARNIA ACHMAD
6. RAIHAN YAZID ZAKKY
XII MIPA 4
A. Kesimpulan………………………………………………………………………………………..………… 9
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………..…… 10
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang
"Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia". Tidak lupa juga kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan
kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika
tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik
dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena
itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia yang harus dipertahankan, karena
merupakan jati diri bangsa. Ideologi merupakan pegangan dan pandangan hidup
dalam melaksanakan sistem pemerintahan. Pemerintahan maupun rakyat Indonesia,
wajib mempertahan ideologi agar tidak hilang atau diganti dengan ideologi yang lain.
Akan tetapi, pemberontakan untuk mengganti ideologi Pancasila pernah dialami oleh
bangsa Indonesia salah satunya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia merupakan gerakan yang bertujuan untuk
mendirikan Negara Islam Indonesia(NII). Gerakan ini, ingin mengganti ideologi
Pancasila dengan ideologi islam. Hal ini akan menjadikan negara Indonesia sebagai
negara yang bersifat satu golongan saja yaitu islam. Hal tersebut tentu bertentangan
dengan kebhinekaan yang dianut oleh bangsa Indonesia.
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui latar belakang dan tujuan pemberontakan DI/TII
2. Untuk mengetahui kronologi Pemberontakan DI/TII
3. Untuk mengetahui dampak pemberontakan DI/TII
4. Untuk mengetahui akhir dari pemberontakan DI/TII
C. RUMUSAN MASALAH
1. Apa tujuan dari pemberontakan DI/TII?
2. Bagaimana kronologi pemberontakan DI/TII?
3. Apa dampak yang ditimbulkan?
4. Bagaimana akhir dari pemberontakan DI/TII?
1
BAB II
PEMBAHASAN
B. KRONOLOGI
1. Pemberontakan di Jawa Barat
Latar belakang peristiwa ini adalah ketidakpuasan
Kartosoewirjo terhadap kemerdekaan Republik
Indonesia yang masih dibayang-bayangi oleh kehadiran
Belanda yang ingin berkuasa lagi. Perundingan Renville
pada 7 Januari 1948 antara pihak Indonesia dan Belanda
menimbulkan masalah baru. Kubu Kartosoewirjo
2
menganggap pemberian wilayah Jawa Barat sebagai bagian Belanda bukan arti
kemerdekaan sebenarnya. Bahkan, kebijakan tersebut membawa Kartosoewirjo
mengklaim Jawa Barat bukan bagian Indonesia lagi.
Dalam Darul Islam: Suatu Pemberontakan (1955), C. van Dijk menerangkan, saat
itu, Kartosoewirjo bertemu dengan Raden Oni dari Laskar Sabilillah Tasikmalaya.
Mereka berniat mempertahankan Jawa Barat bersama Sabilillah dan Hizbullah.
Bulan Februari 1948, dibentuk Tentara Islam Indonesia (TII) serta pengangkatan
Raden Oni menjadi panglimanya di Priangan. Penetapan ini terjadi dalam
pertemuan di Desa Pangwedusan, Cisayong, Tasikmalaya. Laskar Hizbullah,
Sabilillah, dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) hadir di forum tersebut.
Upaya pendirian NII di Jawa Barat tercium oleh pemerintah Indonesia.
Kartosoewirjo dan kawan-kawan rupanya tidak mendapatkan informasi terbaru
terkait perkembangan kedaulatan Indonesia setelah Perundingan Roem-Royen dan
Konferensi Meja Bundar (KMB). Tokoh Islam Indonesia, Mohammad Natsir, yang
nantinya menjabat sebagai perdana menteri, mengungkapkan, ia ditugaskan oleh
Presiden Sukarno untuk mengirim surat kepada Kartosoewirjo perihal
perkembangan kondisi terbaru. Namun, surat yang ditulis tanggal 4 Agustus 1959
itu tidak sampai seperti yang diperkirakan. Lantaran tidak tahu perkembangan
yang terjadi, ketidakpuasan Kartosoewirjo akhirnya mencapai puncak.
Proklamasi hadirnya NII sebagai negara dikumandangkan di Cisayong,
Tasikmalaya, Jawa Barat, tanggal 7 Agustus 1949. NII dalam maklumat pemerintah
No II/7, menuliskan bahwa 17 Agustus 1945 atau hari kemerdekaan Indonesia
adalah akhir masa kehidupan bangsa Indonesia. Kartosoewirjo telah
memantapkan langkahnya untuk mengklaim seluruh wilayah Indonesia sebagai
kekuasaan NII. Sahabat masa remaja Sukarno ini merangkai konsep bentuk dan
sistem pemerintahan baru dengan dirinya sebagai imam negara. Selain itu, dalam
susunan pemerintahan NII ada wakil imam yang diisi oleh Karman. Terdapat juga
menteri dalam negeri dan penerangan yang posisinya dijabat Sanusi Partawidjaja
dan Thaha Arsyad. Terakhir, ada beberapa posisi menteri lagi, seperti Menteri
Keuangan (Udin Kartasasmita), Menteri Pertahanan (Raden Oni), dan Menteri
Kehakiman (Ghazali Thusi).
NII bertahan belasan tahun dengan cara gerilya di hutan-hutan di tanah Sunda
untuk mempertahankan diri dari kejaran militer Republik Indonesia. Namun,
gerakan NII ternyata juga meresahkan masyarakat. NII ternyata bukan hanya
berperang melawan TNI, namun juga bertindak semena-mena hingga mulai timbul
perasaan curiga antara ulama, pemerintah, dan masyarakat akhirnya menimbulkan
peristiwa fitnah. Menanggapi masalah ini, maka dibentuklah Badan Musyawarah
Alim Ulama yang bertugas memantau pergerakan DI/TII sebagai upaya membantu
pemerintah Indonesia. Tanggal 4 Juni 1962, operasi Pagar Betis yang dilancarkan
oleh militer Indonesia berhasil menangkap para anggota DI/TII beserta jajaran
petingginya. Mereka ditangkap, termasuk sang imam, Kartosoewirjo. Berdasarkan
keputusan Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) tanggal 16 Agustus
3
1962, Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati karena telah memberontak terhadap
pemerintahan Indonesia. Pada 5 September 1962, Kartosoewirjo dibawa ke salah
satu pulau di Kepulauan Seribu, dekat Teluk Jakartaa untuk dieksesukusi.
4
Indonesia Serikat (RIS). Selanjutnya, akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda di
bawah kekuasaan Kerajaan Belanda.
Sebagian kalangan menilai keputusan ini bertentangan dengan cita-cita
proklamasi kemerdekaan RI yang kemudian menyepakati bahwa Indonesia adalah
negara kesatuan. Hasil KMB juga mengatur pembubaran Tentara Kerajaan Hindia
Belanda (KNIL) yang dibentuk Belanda pada masa penjajahan atau sebelum
Indonesia merdeka. Mantan anggota KNIL akan diseleksi untuk bergabung dengan
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang sebelumnya bernama
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Yang menjadi persoalan, KNIL dianggap sebagai
musuh republik selama berlangsungnya perang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia pada 1945 hingga 1949. Hal ini membuat orang Indonesia yang mantan
anggota KNIL kesulitan untuk menjadi anggota APRIS.
Sejak tanggal 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi
negera kesatuan sehingga APRIS berganti nama menjadi Angkatan Perang Republik
Indonesia (APRI). Salah satu elemen penyusun APRI adalah Angkatan Laut Republik
Indonesia (ALRI). APRI menyeleksi ulang anggota-anggotanya, termasuk di
Kalimantan Selatan. Banyak anggota ALRI Divisi IV Kalimantan Selatan yang
dianggap tidak memenuhi syarat, juga para mantan prajurit KNIL yang dulu pernah
bekerja untuk Belanda. Sebaliknya, posisi-posisi penting justru diduduki oleh
orang-orang dari luar Kalimantan, khususnya dari Jawa. Dari sinilah kekecewaan
Ibnu Hadjar bermula. Ibnu Hadjar akhirnya membentuk pasukan gerilya sendiri
bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas. Ibnu Hajar menjadi komandan satuan
gerilya di Kandang, Hulu Sungai, Kalimantan Selatan.
Kesatuan Rakyat yang Tertindas pimpinan Ibnu Hadjar bergabung dengan DI/TII
Jawa Barat di bawah komando Kartosoewirdjo. Oleh DI/TII Kartosoewirdjo, Ibnu
Hadjar kemudian diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Tentara Islam (APTI)
yang bertugas di wilayah Kalimantan. Pada Maret 1950, pasukan Ibnu Hadjar mulai
menyerang pos tentara Indonesia. Setelah penyerangan itu, pengikut Ibnu Hadjar
bertambah menjadi 250 orang dan memiliki 50 pucuk senjata. Padahal, saat masih
berpangkat letnan dua, anggota kesatuan yang dipimpin Ibnu Hadjar tidak lebih
dari 50 orang. APTI pimpinan Ibnu Hadjar yang merupakan bagian dari DI/TII terus
melakukan penyerangan terhadap pos-pos militer Indonesia di Kalimantan Selatan.
Situasi ini membuat TNI dan pemerintah bersiap untuk bertindak. Upaya TNI untuk
menghentikan Pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan yaitu menggunakan
strategi diplomasi dan operasi militer.
Diplomasi dilaksanakan pada Oktober 1950 saat Ibnu Hadjar masuk ke
Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Dalam pertemuan tersebut,
Ibnu Hadjar dan pasukannya diimbau untuk menyerahkan diri. Namun, upaya itu
sepertinya tidak membuahkan hasil lantaran DI/TII Ibnu Hajar masih bertahan
hingga beberapa tahun kemudian.
5
Penumpasan DI/TII Ibnu Hadjar Angkatan perang Indonesia atau TNI
melakukan operasi militer yang pertama pada 23 November 1959 yakni Operasi
Delima yang terbagi atas Sektor A dan Sektor B. Operasi Delima dilakukan selama
15 hari. Beberapa anggota DI/TII Kalimantan Selatan tewas dalam peristiwa ini.
Target untuk menuntaskan gerakan DI/TTI di Kalimantan Selatan adalah sebelum
tahun 1962. Maka, TNI segera menggelar operasi militer selanjutnya, yaitu Operasi
Segi Tiga yang terdiri atas tiga sektor yaitu sektor A, Sektor B, dan Sektor C.
Fase pertama Operasi Segi Tiga dilaksanakan pada 10 Maret 1960. TNI
menangkap 9 anggota DI/TII Kalimantan Selatan, menewaskan 12 orang, serta
menyita 16 pucuk senjata dan beberapa dokumen penting. TNI menemukan alasan
mengapa kekuatan pasukan Ibnu Hadjar dapat bertahan lama di dalam hutan,
yaitu dengan memanfaatkan warga yang keluar masuk hutan dan bertukar barang
untuk bertahan hidup. Maka, dikeluarkanlah larangan bagi penduduk untuk
melakukan hubungan dengan orang-orang Ibnu Hadjar sehingga banyak anggota
DI/TII Kalimantan Selatan yang terpaksa menyerahkan diri karena kelaparan,
termasuk Kastam Djaja yang punya posisi penting dalam gerakan tersebut.
Ibnu Hadjar dan para anggotanya yang tersisa kemudian melakukan serangan
gerilya agar bisa melarikan diri ke perbatasan Kalimatan Selatan dan Kalimantan
Timur. TNI bereaksi dengan melancarkan operasi militer yang disebut Operasi Riko.
Operasi Riko membuat pasukan Ibnu Hadjar harus mundur kembali ke selatan.
Kekuatan DI/TII Kalimantan Selatan pun mengalami perpecahan. Puncaknya, Ibnu
Hadjar menyerahkan diri pada Juli 1963 lantaran dijanjikan akan diberikan
pengampunan. Penangkapan Ibnu Hadjar secara resmi baru dilakukan pada
September 1963 dan diterbangkan ke Jakarta. Tanggal 11 Maret 1965, Ibnu Hadjar
menjalani pengadilan Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati.
6
beragama Islam, namun hanya bisa bergerak dengan cara bergerilya di hutan. Saat
itu, kelompoknya disebut Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) dan bermarkas
di Gunung Latimojong, Enrekang, Sulawesi Selatan. Mereka bersembunyi di balik
rimbunnya hutan-hutan hingga sulit ditemukan oleh pasukan yang ingin
menumpasnya. Tidak jarang, malah masyarakat sipil yang sering melihat lalu lalang
Kahar Muzakkar dan pasukannya ketika hendak ke sungai.
Pada awal Februari 1965, keberadaan tempat persembunyian Kahar Muzakkar
mulai terendus oleh Tentara Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Pembantu Letnan
Satu Umar Sumarsana. Berdasarkan tulisan Kodam Siliwangi dalam buku Siliwangi
dari Masa ke Masa (1979), terungkap bahwa saat itu di seberang Sungai Lasalo,
terdapat beberapa orang yang mandi. Para pasukan Umar mengamini bahwa ada
pemukiman gerombolan di sekitar sungai tersebut. Tanggal 3 Februari 1965 pukul
03.00 WITA, Umar memimpin pasukannya hingga menemukan beberapa buah
gubuk. Kahar Muzakkar keluar dari sebuah gubuk dan memegang granat di
tangannya. Sontak, Ili Sadeli, Kopral Dua Siliwangi, menembakkan peluru panasnya
tepat ke arah dada Kahar Muzakkar. Di waktu itu juga, pemimpin RPII tersebut
tumbang.
5. Pemberontakan di Aceh
7
Menanggapi kedatangan para petinggi negara di Aceh, Daud Beureueh
meminta agar dilakukannya pertimbangan kembali terkait penyatuan Aceh
menjadi bagian Sumatera Utara. Yang terjadi justru sebaliknya. Mohamad Natsir
selaku perdana menteri malah melakukan pembubaran terhadap Provinsi Aceh
resmi pada 23 Januari 1951. Reaksi keras dari pun datang dari sejumlah tokoh Aceh
yang oleh pemerintah pusat kemudian dikategorikan sebagai gerakan
pemberontakan. Daud Beureueh, baik sebagai ulama atau pemimpin Aceh,
memotori aksi perlawanan. Daud Beureueh semakin kesal karena Presiden
Sukarno, pada Juni 1948 pernah berjanji bahwa Aceh diperbolehkan menerapkan
syariat Islam dan tetap menjadi salah satu provinsi di Indonesia. Merasa dibohongi,
Daud Beureueh amat kecewa. Terlebih peran masyarakat Aceh dalam perjuangan
amat besar, dari masa perlawanan terhadap penjajah, mendukung kemerdekaan
RI termasuk dengan menyumbang dana pembangunan hingga memberikan
bantuan berupa pesawat terbang.
Munculnya gerakan DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh Maridjan
Kartosoewirjo yang mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada
7 Agustus 1949 semakin memantapkan Daud Beureueh untuk turut melawan. Dari
Aceh, Daud Beureueh menyatakan bergabung dengan gerakan DI/TII yang
dipelopori oleh Kartosoewirjo. Pemberontakan DI/TII di Aceh pimpinan Daud
Beureueh terjadi mulai 20 September 1953. Kebijakan penyatuan Aceh ke dalam
Provinsi Sumatera Utara ditentang. Daud Beureueh dan kelompoknya bahkan
menuntut diberikannya hak otonom untuk Aceh. Pemerintah pusat tidak tinggal
diam menyikapi ini dan memutuskan untuk melakukan tindakan kepada DI/TII
Daud Beureueh di Aceh.
Ada dua jalur yang ditempuh pemerintah pusat, yakni upaya militer dan
diplomasi. Operasi militer dilakukan dengan menggelar “Operasi 17 Agustus” dan
“Operasi Merdeka”. Sedangkan cara diplomasi diterapkan dengan mengirim
utusan ke Aceh untuk berdialog dengan Daud Beureueh dalam upaya meredam
perang saudara. Persoalan ini akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai
melalui proses negosiasi. Diputuskan bahwa diberikan hak otonomi sebagai
provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan boleh menerapkan syariat Islam
sebagai aturan daerah yang berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Tanggal 18-22 Desember 1962, sebuah upacara besar bertajuk “Musyawarah
Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA)” dihelat di Blangpadang, Aceh, sebagai simbol
perdamaian.
8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Gerakan DI/TII merupakan gerakan ilegal untuk mengganti ideologi Pancasila
dengan ideologi negara islam. Hal tersebut, tentu melanggar sistem kebhinekaan yang
dianut oleh bangsa Indonesia. Berbagai faktor menjadi alasan dibentuknya NII salah
satunya ialah ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, dan ingin mengambil
kekuasaan pemerintahan. Sebagai warga negara Indonesia, tentunya kita harus
menjaga ideologi bangsa kita agar tidak hilang atau terganti dengan ideologi yang lain.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.kompas.com/stori/read/2022/07/28/150000879/penyeb
ab-pemberontakan-di-tii
2. https://tirto.id/penyebab-sejarah-pemberontakan-di-tii-daud-
beureueh-di-aceh-gaCY
3. https://tirto.id/pemberontakan-di-tii-kahar-muzakkar-sejarah-
kronologi-penumpasan-gaQ5
4. https://tirto.id/sejarah-pemberontakan-di-tii-ibnu-hadjar-alasan-
tujuan-akhir-giE5
5. https://tirto.id/sejarah-pemberontakan-di-tii-kartosoewirjo-di-jawa-
barat-gajF
10