Anda di halaman 1dari 4

Jawaban Tugas Resume ASWAJA

Nama : Toha Hasan Anwar

NIM : 20202000213

Prodi : MPI 4

Matkul : Aswaja

1. Kiyai Wahhab melakukan perjalanan selama dua tahun, sejak 1924 hingga 1926.
Kiyai Wahhab menggerakkan teman seperjuangan dan jaringan pesantren di Lombok,
Mataram, Banjarmasin, Sulawesi, Sumatera dan pelosok Jawa. Kawan-kawan Kiyai
Wahhab semasa di tanah Hijaz (Makkah-Madinah) juga mendukung dengan penuh
semangat, karena sebelumnya telah satu visi perjuangan. Bahkan, jaringan ulama
Jawa yang menjadi tulang punggung Islam Nusantara, juga turut menjadi bagian dari
lingkaran pengetahuan yang telah dibangun oleh Kiyai Wahhab.
Setelah semuanya matang, NU dideklarasikan pada 30 Januari 1926, dengan
persetujuan dan dukungan dari ulama Nusantara Dalam menggerakkan NU, Kiyai
Wahhab dikenal sebagai Kiyai yang menguasai ilmu Ushul Fiqih, strategi pergerakan
dan diplomasi. Sementara, Kiyai Bisri Syansurie berpegang pada dalil-dalil fiqih yang
ketat, dengan kepentingan untuk menjaga kehati-hatian dalam beribadah maupun
mu’amalah. Di antara keduanya, Kiyai Hasyim Asy’ari yang sering mendamaikan
pendapat-pendapat keduanya, dengan keleluasaan pandangan dan perspektif
pergerakan untuk kebangsaan. Secara sederhana, Kiyai Wahhab berperan menginjak
gas, Kiyai Bisri berfungsi sebagai rem, sementara Kiyai Hasyim Asy’ari memegang
kemudi organisasi untuk menfungsikan gas dan rem pada waktu yang tepat.
Kiprah Kiyai Hasyim Asy’ari, Kiyai Wahhab Chasbullah, Kiyai Bisri Syansurie,
Kiyai Wahid Hasyim, Kiyai Abdurrahman Wahid, Kiyai Sahal Mahfudh dan beberapa
ulama lainnya memainkan peran penting dalam konfigurasi perjuangan kebangsaan.
Sejarah Mukatamar Banjarmasin pada 1936 tentang Darussalam sebagai model
negara Indonesia, Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 dan segenap perjuangan
kebangsaan yang dipraktikkan para Kiyai pesantren menjadi wujud dari hadirnya
semangat untuk berjuang menegakkan bangsa, membela NKRI. Inilah kiprah dari
kiyai dan santri dari komunitas pesantren yang mengukuhkan Islam Nusantara. Dalam
konteks ini, Islam Nusantara menjadi tawaran atas referensi keislaman bagi kaum
Muslim di dunia.
2. Hasyim Asyari ikut mendukung upaya kemerdekaan dengan menggerakkan rakyat
melalui fatwa jihad yang kemudian dikenal sebagai resolusi jihad melawan penjajah
Belanda pada 22 Oktober 1945. Akibat fatwa itu, meledaklah perang
di Surabaya pada 10 November 1945.
Hasilnya pada 22 Oktober 1945, Hasyim dan sejumlah ulama di kantor NU Jatim
mengeluarkan resolusi jihad itu. Karena itulah Hasyim diancam hendak ditangkap
Belanda. Namun Hasyim tak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar
Hizbullah dan Sabilillah melawan penjajah.
Bahkan ketika Bung Tomo meminta Kiai Hasyim mengungsi dari Jombang, Hasyim
berkukuh bertahan hingga titik darah penghabisan. Hingga muncul sebuah kaidah
(rumusan masalah yang menjadi hukum) populer di kalangan kelompok tradisional;
hubb al-wathan min al-iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).
Fatwa atau resolusi jihad Hasyim berisi lima butir. Seperti ditulis Lathiful Khuluq
berjudul "Fajar Kebangunan Ulama, Biografi Kiyai Hasyim Asyari" yang diterbitkan
LKiS pada 2000 lalu, butir Pertama resolusi jihad berbunyi; kemerdekaan Indonesia
yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan.
Butir ke dua; Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus
dijaga dan ditolong. Ke tiga; musuh republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali
ke Indonesia dengan bantuan sekutu inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik
dan militer untuk menjajah kembali Indonesia.
Ke empat; umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan
penjajah Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali. Ke lima;
kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap
muslim yang tinggal dalam radius 94 kilo meter, sedangkan mereka yang tinggal di
luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material terhadap mereka yang
berjuang.
Semangat dakwah antikolonialisme sudah melekat pada diri Hasyim sejak belajar di
Makkah, ketika jatuhnya dinasti Ottoman di Turki. Menurut Muhammad Asad Syihab
(1994), Hasyim pernah mengumpulkan kawan-kawannya, lalu berdoa di depan
Multazam, berjanji menegakkan panji-panji keislaman dan melawan berbagai bentuk
penjajahan.
Semangat itu dia bawa tatkala kembali ke Indonesia dan dia tularkan kepada anaknya,
Wahid Hasyim. Kelak, Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Menteri Agama
pertama pada era Presiden Soekarno.
Hasyim Asyari lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, 10
April 1875 dengan nama lengkap Mohammad Hasyim Asyari. Mendirikan Pondok
Pesantren Tebuireng dan organisasi NU. Kakek almarhum Gus Dur ini meninggal di
Jombang, 25 Juli 1947 pada umur 72 tahun.
Dalam buku lain, 'Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan
Indonesia (1945-1949)' yang ditulis oleh Zainul Milal Bizawie ingin menunjukkan
bahwa sejarah seharusnya mengkaji dengan jernih adanya kepentingan politik yang
terdapat dalam relasi kuasa (power relation), atau yang dikenal dengan politik
pengetahuan (politic of knowledge). Dengan kata lain, perlunya kesadaran akan saling
berkelindannya atau berjalan seiring antara penulisan sejarah dengan kekuasaan.
Bagian pertama buku ini mengungkapkan kajian mistifikasi yang dibangun secara
simbolik sebagai dasar perjuangan ulama-santri. Bagi santri dan masyarakat, seorang
ulama atau Kyai dianggap sebagai pengawal agama dan penunjuk jalan kebaikan.
Posisi ulama atau Kyai sangat penting menjadi symbol perlawanan atau perjuangan.
Kemampuannya dan kesaktiannya yang luar biasa akan memperteguh daya kohesi dan
motivasi bagi santri dan masyarakat untuk memposisikan ulama sebagai panutan
(hal.17), seperti ditulis nu.or.id 24 Februari 2014.
Dari bagian pertama hingga keenam, nampak bahwa ulama-santrilah yang mampu
secara konsisten mengadakan perlawanan terhadap kolonial. Dengan kata lain, ulama
dan pesantren menjadi simbol perlawanan kolonial. Oleh karena itu, dapat dipastikan
bahwa satu-satunya elemen bangsa yang tidak pernah terjajah oleh kolonial adalah
ulama-santri dan pesantren, bahkan menjadi garda depan dalam menumpas
kolonialisme.
3. Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) untuk menghimpun kekuatan melawan penjajahan
Belanda merupakan bagian dari perjuangan NU untuk mem!per!tahankan ideologi
agama dan nasionalismenya sebagai bentuk cinta tanah air (hubbu al-watan). Peran
NU dalam mengusir penjajah Belanda merupakan anjuran agama yang wajib
dijalankan. Hukum tersebut sudah menjadi keputusan para kiai NU, yang akhirnya
melahirkan "resolusi jihad". Resolusi ini menjadi pegangan ampuh para pasukan
santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah maupun laskar Sabilillah. Demikian
juga pandangan NU bahwa prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, membuang segala
bentuk eksploitasi dan penjajahan, merupakan spirit NU untuk menjaga konsistensi
kedaulatan negara, mem!per!kokoh integritas bangsa dan negara. Dengan pen!dekatan
sejarah, penelitian ini menguak peran dan kontribusi NU dalam me!lawan penjajahan
Belanda, merebut kemerdekaan serta mempertahankan kedaulatan bangsa dalam
bingkai negara kesatuan Indonesia (NKRI).
4. Dulu, KH Ahmad Sjaichu menggerakkan roda Konferensi Islam Asia Afrika, Maret
1965, kemudian putra tiri KH Abdul Wahab Chasbullah ini menjadi Sekjen
Organisasi Islam Asia Afrika. Wadah internasional yang bagus ini mulai mengkerut
saat Bung Karno tidak lagi menjadi presiden RI. Berpuluh tahun kemudian, sayap
internasional NU lintas batas digerakkan oleh Gus Dur melalui World Conference on
Religion and Peace (WCRP). Beliau menjadi presidennya. Secara individu, Gus Dur
dengan lincah bergerak ke berbagai jaringan di luar negeri. Dia memainkan
pengaruhnya dan pemikirannya, serta memperluas jaringannya. Sayap internasional
NU mengepak lebih jelas di era KH Hasyim Muzadi dengan dibentuknya Pengurus
Cabang Istimewa (PCI) NU di berbagai negara. Kiai Hasyim kemudian menginisiasi
pelaksanaan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) beberapa angkatan,
yang menghimpun para ulama dari Sunni dan Syiah moderat untuk mewujudkan
perdamaian dunia. Pengganti Kiai Hasyim, KH Said Aqil Siroj punya wadah lain.
Namanya International Summit Of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL). Acara yang
mempertemukan ratusan delegasi ulama dari berbagai negara ini juga mencari format
terbaik yang pas mewujudkan dunia yang berkeadilan. Di era Kiai Said pula, NU
memiliki adik di luar negeri. Di Afganistan, ulama lintas etnis yang capek perang
saudara memcari komposisi yang pas untuk mendamaikan konflik negaranya. Mereka
studi banding ke PBNU, kemudian pulang ke negaranya dan memutuskan mendirikan
Nahdlatul Ulama di berbagai provinsi. Mereka mengkloning NU di negaranya,
menjadikan NU sebagai prototipe organisasi yang menebarkan kedamaian. NU
Afganistan memang tidak punya kaitan struktural dengan PBNU, tapi NU dijadikan
parameter organisatoris dan sumber inspirasi. Kini sudah berdiri 40 cabang NU
Afganistan di berbagai distrik. Dalam acara ISOMIL tahun 2016 itu, beberapa negara
di Eropa juga tertarik mendirikan NU di negaranya masing-masing, sebagaimana
yang telah dilakukan para ulama Afganistan. Pada Juli 2016, Habib Luthbi bin Yahya
menggelar Konferensi Internasional Bela Negara dengan mengundang unsur ulama
dari berbagai kawasan. Ini even kedua yang digelar oleh Jamiyyah Ahlith Thariqah al-
Mu'tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) yang dipimpin Habib Luthfi, setelah beberapa
tahun sebelumnya menggelar Multaqa Shufi Al-'Alami. Melalui berbagai perhelatan
di atas, ulama NU tidak hanya berusaha menjadikan Islam sebagai ajaran universal,
menggerakkan jejaring ulama internasional, serta berusaha mengerem laju
radikalisme berbaju agama, melainkan lebih dari itu, para individu NU maupun secara
organisatoris bergerak dinamis mewujudkan perdamaian dunia. Jika di berbagai
negara di Timur Tengah para ekstremis mengudang kawan kawan seideologinya, lalu
penguasa mengundang sekutunya, sehingga baku bunuh semakin parah dan negaranya
nyaris hancur dan penduduknya menjadi paria, maka para ulama Indonesia beda:
mereka mengundang para ulama yang berusaha menggerakkan simpul-simpul
perdamaian di negara masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai