Anda di halaman 1dari 6

Latar Belakang Fikih Kebangsaan

Kondisi geopolitik secara luas yang berubah semakin dinamis, perebutan pengaruh
negara-negara adikuasa, kekerasan dan perang saudara di kawasan-kawasan Arab
yang belum berhenti sejak tragedi Arab Spring (2010) hingga sekarang, secara
langsung maupun tidak, juga mempengaruhi kondisi politik nasional. Apalagi dengan
adanya indikasi upaya-upaya mengimpor konflik Timur Tengah ke dalam negeri.

Perhelatan suksesi kepemimpinan dalam kancah politik praktis juga telah tereksploitasi
sedemikian rupa hingga menjadi bahan bakar konflik horisontal. Aksi-aksi anarkis,
intoleran, sikap anti pemerintah dan adu domba dengan penyebaran hoax (berita
bohong) yang dapat mengakibatkan instabilitas politik dan disintegrasi bangsa, juga
semakin mengemuka dan memanaskan suasana hubungan antaranak bangsa.

Oleh karena itu, para kiai menalar secara lugas urgensi NKRI Harga Mati bagi
keberlangsungan negeri semajemuk Indonesia, Nasionalisme dalam Pandangan Islam,
penegasan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, hingga
penerapan syariat khas ala para Kiai.

Tak hanya itu, para kiai mengawal pemerintahan yang sah secara konstitusional,
kewajiban memghormatinya, larangan memberontak dan etika amr ma’ruf nahi
munkar terhadap Pemerintah yang penuh kebijakan. Pembahasan ini menjadi sangat
penting dalam kondisi kian masifnya gerakan anti pemerintah yang tidak sekedar
oposisi positif, namun justru melompat jauh pada penyebaran propaganda anti
pemerintah bahkan dengan dalil-dalil dan ‘jubah-jubah’ agama.

Ditegaskan bahwa provokasi bukan merupakan ajaran Aswaja an-Nahdliyyah.

Mbah Wahab Hasbullah

“Banyak pemimpin NU di daerah-daerah dan juga pusat yang tidak yakin akan kekuatan
NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. Orang-orang ini terpengaruh oleh
bisikan orang yang menghembuskan propaganda agar tidak yakin dengan kekuatan
yang dimilikinya.”

“Kekuatan NU itu ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam. Tetapi


digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar biasa yang menghasut seolah-olah
senjata itu bukan meriam, tetapi hanya gelugu alias batang kelapa sebagai meriam
tiruan. Pemimpin NU yang tidak mengerti itu tidak sadar siasat lawan dalam
menjatuhkan NU melalui cara membuat pemimpin NU ragu akan kekuatan sendiri.”
Itulah Kredo Pergerakan KH. Abdul Wahab Chasbullah yang diutarakan di Jakarta pada
tahun 1950, sembilan tahun sebelum Muktamar ke-22 Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta.
Dengan kredo tersebut, nahdliyin dan nahkodanya (pemimpin) tergugah dan terbelalak
akan kekuatan organisasinya. Terlepas dari hal itu, Mbah Wahab bukan sekadar
nahkoda pemikir, tapi juga penggerak, baik dalam mengabdi kepada umat, bangsa, dan
negaranya. Ketokohan dan jiwa kepahlawanannya terlihat dengan perjuangan yang tak
kenal henti dalam membimbing umat dan melawan penjajahan oleh kolonial Belanda
dan Jepang.

Dengan pemikiran dan gerakan Mbah Wahab yang hanya lulusan pesantren, namun
ilmu yang dimilikinya sangat komprehensif, buku ini berusaha mengumpulkan tulisan
Kiai Wahab yang tersebar di berbagai media massa dan buku, serta catatan muktamar
dan sidang Konstituante. Sebagai tokoh besar yang memberikan motivasi dan inspirasi
bangsanya, Kiai Wahab Chasbullah pantas untuk diperkenalkan karya tulis pemikirannya
serta menunjukan kembali kiprah dan proses dalam membangun organisasi dan
memperjuangkan bangsa ini.

Sepulang dari Mekkah tahun 1914, Mbah Wahab tidak hanya mengasuh pesantrennya
Tambakberas Jombang, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional karena tidak tega
melihat kondisi bangsanya yang mengalami kemerosotan hidup dan penderitaan yang
mendalam, kurang memperoleh pendidikan, mengalami kemiskinan dan
keterbelakangan yang diakibatkan oleh penindasan dan pengisapan yang dilakukan oleh
penjajah Belanda. Melihat kondisi tersebut, Mbah Wahab bersama kaum muda lain
mendirikan organisasi pergerakan yang dinamakanNahdlatul Wathon (Gerakan
Kebangsaan). Selanjutnya untuk mencermati perkembangan dunia yang semakin
kompleks, maka bersama tokoh pergerakan nasional, Dr. Soetomo, pada tahun 1918,
Kiai Wahab mendirikan Tashwirul Afkar (Gerakan Pemikiran) untuk mendinamisir
pemikiran masalah kebangsaan. Organisasi-organisasi tersebut bersifat non-kooperatif
dengan penjajah Belanda sehingga tidak mendapatkan santunan dana. Sebab itu untuk
memperkuat pendanaan gerakannya tersebut, Mbah Wahab mendirikan Nahdlatut
Tujjar (Gerakan Saudagar) pada tahun 1918 juga sebagai pusat penggalangan dana
bagi perkembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia.

Gerakan Kiai Wahab tidak hanya sampai di situ, ketika membentuk organisasi ulama-
ulama pesantren bernama Komite Hijaz untuk merespon makam Nabi Muhammad saw
hendak dibongkar oleh penguasa baru Hijaz, Raja Abdul Aziz Ibn Saud serta mazhab
Imam empat Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali yang tidak boleh diajarkan dan
diamalkan di Tanah Suci. Usaha ini ditanggapi positif oleh raja sehingga makam Nabi
tidak jadi dibongkar, serta ulama-ulama bermazhab empat dibiarkan hidup, walau tidak
boleh mengajar dan memimpin Haramain. Mengapa Kiai Wahab begitu cepat diterima
Raja Saud dibanding kelompok modernis? Selain Kiai Wahab telah tinggal lama di Arab,
dia juga semua seluk-beluk suku, dan tokoh kuncinya, mengenal para ulama dan
pangeran di sana, termasuk mengenal para jagoan yang ada. Koneksi itulah yang
digunakan untuk menerobos, melakukan lobi sehingga mampu menenemui sang raja
dan dikabulkan beberapa usulannya.

Aktivitas keagamaan, sosial, maupun politik Kiai Wahab adalah untuk menegakkan
ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang telah dirintis selama berabad-abad oleh
Wali Songo dan para ulama sesudahnya. Dia bukan hanya penerus, tetapi juga
mempunyai pertalian darah dengan para penyebar Islam di Tanah Jawa itu. Bahkan Kiai
Wahab secara praktis dan ideologis adalah sebagai penerus perjuangan Pangeran
Diponegoro. Karena itu ia selalu memakai sorban yang ia sebut sendiri sebagai Sorban
Diponegoro sebagai simbol perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan.

Menonjolnya peran Wahab Chasbullah ini berkat kematangannya dalam menempa


dirinya sebagai ulama pergerakan. Jadi bukan sekadar sholeh secara vertikal, tapi juga
sholeh secara horisontal atau sosial. Sehingga seorang ‘alim dapat bermanfaat di semua
lini kehidupan masyarakat. Secara geneologi keilmuannya, semula ia belajar di
Pesantren Langitan Tuban, kemudian ke Pesantren Tawangsari Surabaya, lalu
melanjutkan lagi ke Pesantren Bangkalan Madura, kemudian ke Pesantren Mojosari
Nganjuk, dan menyempatkan diri nyantri di Tebuireng Jombang. Setelah merasa cukup
ilmunya, ia meneruskan belajar ke Mekkah untuk belajar pada ulama terkemuka dari
dunia Islam, termasuk para ulama Jawa yang ada di sana, seperti Syekh Mahfudz
Termas, Syekh Ahmad Chotib al-Minangkabawi, juga Syekh Sya’id al-Yamani, serta
ulama terkemuka lainnya. Selain belajar agama saat di Mekkah, ia juga mempelajari
perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis di seluruh dunia.

Dari karya-karya dan pemikirannya, selama ini Kiai Wahab dikenal hanya sebagai Kiai
politisi, padahal sesungguhnya ia adalah seorang ulama tauhid dan juga fikih yang
sangat mendalam dan luas pengetahuannya. Oleh karena itu, ia dapat dengan mudah
menerapkan prinsip-prinsip fikih dalam kehidupan modern secara progresif, termasuk
dalam bidang siyasah (politik). Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan Fikih Ahlussunnah
Wal Jamaah menunjukan kedalaman penguasaannya di bidang ilmu dasar tersebut.

Kehidupan Kiai Wahab juga lekat dengan kekejaman kolonialis Belanda terhadap
bangsa Indonesia. Pernah suatu ketika umat Islam dilarang untuk mengadakan
pertemuan maupun perkumpulan di Mesjid-mesjid seperti yang sering dilakukan. Mbah
Wahab tidak berpangku tangan atau mengirim surat keringanan. Dengan sikap
kepemimpinannya, ia menemui langsung Gubernur Jenderal di Batavia. Para kolonial
yang kejam, semua disapa dengan keramahan sehingga sang kolonialis pun larut dalam
serba bisa dan terpaksa menerima dengan penuh keramahan dalam menghdapai Kiai
yang supel itu. Akhirnya, pembekuan dapat dicairkan kemudian umat Islam pun
diizinkan kembali mengadakan dakwah atau perkumpulan di dalam Mesjid.
Pasca penjajahan, muncullah gerakan makar atas kedaulatan pemerintah RI oleh
gerakan komunis dan ekstrimis yang tidak mengakui kepemipinan presiden Soekarno.
Kartosuwiryo mengklaim diri sebagai Amirul Mukminin sebagai tandingan pemerintah RI
di bawah Soekarno. Maka NU dibawah pimpinan Kiai Wahab menugaskan Kiai Masykur,
Menteri Agama saat itu untuk mengkoordinasi para ulama Indonesia sejak tahun 1952
menyelanggarakan beberapa kali pertemuan se-Indonesia guna mengatasi dualisme
kepemimpinan Islam itu. Akhirnya para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah yang dipelopori
NU menegaskan dengan memilih Bung Karno sebagai pemerintah yang sah sebagai
waliyul amri pada tahun 1954.

Itulah beberapa gerakan politik, sosial, dan agama dalam frame Ahlussunnah Wal
Jamaah yang dilakukan oleh Kiai Wahab yang terangkum dari beberapa pemikirannya
dalam buku ini. Selain itu, sebagai pencetus gerakan Nahdlatut Tujjar, Kiai Wahab juga
concern dalam persoalan ekonomi bangsa sehingga tujuan politik untuk
menyejahterakan rakyat dapat tercapai seluruhnya.

Sebenarnya, ada beberapa tokoh yang menawarkan metodologi yang dicetuskan. Para


tokoh yang mencentuskan formula tersebut memiliki kesamaan cita-cita yaitu
menginginkan format fikih baru yang sesuai dengan realitas keindonesiaan.

Ada para tokoh Fikih Siyasah. Sebagai misal al-Juwaini, a-Ghazali, al- Mawardi, dan lain
sebagainya. Mereka menetapkan tujuan negara sebagai institusi yang bertujuan untuk
harasati ad-dini (memelihara agama), dan siyati al-dunya  (mengelola negara).

Tujuan negara dibuat dalam rangka menerapkan syariat Islam, menolak kerusakan,
mewujudkan kemaslahatan umum, menegakkan keadilan dan menggapai kesejahteraan
dan kemakmuran lahir-batin, dunia-akhirat.

Bagi para pemikir di atas, bentuk pemerintahan bukan bagian yang esensial dari
pendirian negara. Yang esensial adalah tujuan negara, bukan bentuk pemerintahan.

Sebab, bentuk pemerintahan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan negara. Sistem


demokrasi adalah sarana, bukan tujuan. Begitu pula dengan sistem negara teokrasi,
hanya sekadar sarana, bukan tujuan.

Sejarah panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang telah banyak


mengorbankan ratusan ribu jiwa adalah bukti bahwa Kaum Muslimin berjuang tanpa
pamrih, dan tanpa mengharapkan imbalan.
Perjuangan umat Islam pada masa itu hanyalah satu. Tujuan tersebut semata-
mata ditujukan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan yang kejam dan
tidak berprikemanusiaan.

Sebagai catatan, ada salah satu rumusan penting yang menjadi agenda fiqh Islam
adalah apa yang disebut dengan Maqashid Syari’ah yang ditulis oleh Abu Ishaq al-
Syathiby dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah.

Rumusan tersebut adalah memelihara jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-
aql), memelihara keturunan (hifdz al-nasl), memelihara harta (hifdz al-mal), dan
memelihara agama (hifdz al-din).

Apa yang dimaksud dengan hifdz al-mal adalah memelihara harta dari monopoli,


oligopoli dan eksploitasi yang menyebabkan ketidakadilan di tengah-tengah
masyarakat.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya I’lam alMuwaqqi’in ‘an Rabb


al-‘Alamin menyatakan bahwa sesungguhnya hukum Islam (syariah) disusun dan
didasarkan atas kebijaksanaan dan kemaslahatan umat, baik di dunia maupun di
akhirat.

Syariat adalah adil sepenuhnya dan seluruhnya merupakan rahmat dan maslahah
bagi seluruh umat. Setiap sesuatu yang keluar dari keadilan, rahmat, kebaikan dan
kebijaksanaan tidaklah termasuk dalam syariat walaupun dimasukkan ke dalamnya
segala macam dalil.

Ahmad Mustafa al-Maragi dalam Tafsir al-Maragh menjelaskan bahwa sebagai titik


sentral dari hukum Islam, maslahah selalu menjadi pijakan dalam setiap penetapan
hukum. Sebab, maslahah adalah jiwa dari hukum Islam.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan syariat Islam, sebenarnya yang menjadi
kekuatan hukum Islam adalah kemaslahatan itu sendiri.

Kemaslahatan membuat hukum Islam pun menjadi fleksibel dan mampu menjawab
setiap persoalan yang muncul seiring perkembangan peradaban manusia sebagaimana
penjelasan al-Maragi.

Anda mungkin juga menyukai