Anda di halaman 1dari 2

Nama : Junaidi

Lokal : 2C
Nimko : 2023.213415.86208.4062
Mata Kuliah : Ke-NU-an / Aswaja
Dosen Pengampu : Rian Chandra, S.Pd, MH

Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama


(Faktor Internal dari Aspek Sosial, Politik, Kultural Nusantara)
Nahdlatul Ulama (NU) diketahui berdiri pada 31 Januari 1926 M atau bertepatan dengan
16 Rajab 1344 H. Pendirian NU pada 31 Januari 1926 di Surabaya tak bisa dilepaskan dari
dua kiai besar dari Jombang: KH Hasyim Asy'ari (Pondok Tebuireng) dan KH Abdul Wahab
Chasbullah (Pondok Tambakberas). Kiai Wahab dapat diposisikan sebagai penggerak
lapangan berdirinya NU. Sebagai kiai Islam Tradisional dengan kemampuan membangun
solidarity maker yang kuat dan luas, Kiai Wahab mampu mengorganisasi dan mengoordinasi
kiai-kiai Islam Tradisional di tanah Jawa dan Madura yang mulai risau dengan serbuan
paham baru yang mengancam kelanggengan Islam Sunni di Pulau Jawa. Di sisi lain, KH
Hasyim Asy'ari dengan kapasitas keilmuan dan otoritas keulamaannya yang mumpuni lebih
berperan sebagai legitimator dan konseptor kelahiran NU di Surabaya.
Pada awal abad 20, Kiai Hasyim menjadi sosok kiai yang sangat mumpuni dalam
perspektif keilmuan agama dan kharismanya sangat kuat dan tersebar luas di tanah air. Kiai
Hasyim yang merumuskan dasar-dasar ideologis dan perjuangan NU. Sejak awal berdirinya
hingga saat ini, kontribusi Nahdhatul Ulama (NU) dalam pembangunan juga selalu terlihat
dari waktu ke waktu. Peran NU di berbagai bidang kehidupan termasuk keterlibatannya di
ranah politik membuat makin dikenal dan diperhitungkan. Lahirnya NU ini dilatarbelakangi
oleh beberapa faktor internal sebagai berikut.

 Faktor Sosial
Lahirnya NU bisa dikatakan karena adanya pengaruh faktor sosial , yangmana K.H.
Abdul Wahab Chasbullah merintis organisasi Nahdatul Wathan (Kebangkitan tanah
air), Tasywirul Afkar (potret pemikiran), dan Nahdlatuttujjar (kumpulan organisasi
pengusaha dan pedagang), dari tiga ormas inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya
organisasi Nahdlatul Ulama.
 Faktor Politik
kelahiran NU merupakan bagian dari pengaruh politik etis yang diterapkan Belanda
dalam konteks perjuangan mewujudkan kemerdekaan. Dalam perjalanannya, sedikit
demi sedikit NU memulai langkahnya berkiprah dalam dunia politik. Berawal dari
MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), NU akhirnya terlibat dalam masalah-masalah
politik. Namun, eksistensi MIAI tidak berlangsung lama, pada Oktober 1943, MIAI
akhirnya membubarkan diri dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia). Pada awalnya, Masyumi merupakan sebuah organisasi non politik, tetapi,
setelah Indonesia merdeka, Masyumi akhirnya ditahbiskan menjadi partai politik, dan
memutuskan NU sebagai tulang punggung Masyumi. Pada tahun 1940-1950,
Masyumi akhirnya menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi merupakan
partai yang heterogen anggotanya, sehingga perbedaan kepentingan politik banyak
terjadi didalamnya. Dan hal tersebutlah yang telah menyebabkan NU keluar dari
Masyumi dan menjadi partai politik yang bernama sama, yaitu NU. Setelah menjadi
partai politik, NU mengukir sejarah yang monumental, NU berhasil mendapatkan
suara yang cukup besar dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen pada pemilu
1955. Perolehan suara NU tidak hanya terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu
selanjutnya, yaitu pemilu 1971 NU juga berhasil memperoleh suara yang cukup besar.
Keberhasilan NU ini dinilai karena kemampuan NU menggalang solidaritas
dilingkungan kaum santri, serta adanya dukungan penuh dari basis tradisionalnya.

 Faktor Kultural Nusantara


Di Mesir dan Turki, gerakan pembaruan muncul akibat kesadaran politik atas
ketertinggalan mereka dari Barat, sementara di Arab Saudi tampil gerakan Wahabi
yang bergulat dengan persoalan internal umat Islam sendiri, yaitu reformasi faham
tauhid dan konservasi dalam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh
khurafat dan kemusyrikan yang melanda umat Islam. Penghapusan kekhalifahan di
Turki dan kejatuhan Hijaz ke tangan Ibn Sa’ud yang menganut Wahabiyah pada tahun
1924 memicu konflik terbuka dalam masyarakat Muslim Indonesia. Perubahan-
perubahan ini mengganggu sebagian besar ulama Jawa, termasuk kyai Hasbullah. Dia
dan ulama sefaham menyadari serta melakukan usaha-usaha untuk melawan ancaman
bid’ah tersebut serta merupakan kebutuhan yang mendesak, yang mana ini bisa
menimbulkan konflik terhadap masyarakat Islam yang ada di Nusantara, yang
notabene Islamnya berkultural dengan kebudayaan yang ada di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai