Anda di halaman 1dari 12

Sejarah berdirinya IPNU-IPPNU

1) Masa Pra Kelahiran (1926-1954)

Maraknya Organisasi-organisasi Pelajar NU

Sejak berdirinya, Nahdlatul Ulama telah melahirkan neven-neven berdasarkan kelompok usia
dengan faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Muslimat NU, GP Ansor, dan Fatayat NU yang
terbentuk kala itu ternyata masih menyisakan suatu celah lowongnya pengkaderan, khususnya bagi
para remaja usia sekolah.(1) Pemikiran untuk menghimpun para pelajar yang berusia belia ini bukan
tidak ada, alih-alih beberapa organisasi pelajar yang berfaham Aswaja pada waktu itu sudah marak
sejak masa pra kemerdekaan. Pada tanggal 11 Oktober 1936, putra-putra warga NU di Surabaya
mendirikan perkumpulan bernama ‘Tsamrotul Mustafidin’. Di kota yang sama pada tahun 1939
didirikan pula sebuah perkumpulan yang dinamakan ‘Persatoean Santri NO’ (PERSANO). Di kota
Malang menyusul lahirnya sebuah perkumpulan bernama ‘Persatoean Anak Moerid NO’ (PAMNO)
pada tahun 1941 dan ‘Ikatan Moerid NO’ tahun 1945.

Di luar pulau Jawa berdiri beberapa perkumpulan diantaranya ‘Ijtimauttolabah NO’ (ITNO) tahun
1946 di Sumbawa yang memiliki persatuan sepak bola dengan nama ‘Ikatan Sepak Bola Peladjar NO’
(ISPNO).(2) Selain itu di Pulau Madura pada tahun 1945 didirikan sebuah perkumpulan bernama
‘Syubbanul Muslimin’. Lahirnya perkumpulan-perkumpulan pelajar di atas pada masa revolusi
kemerdekaan merupakan bukti bahwa semangat berorganisasi dan berjuang di kalangan generasi
muda, khususnya yang berfaham Aswaja, senantiasa menyala-nyala.

Pada tanggal 22 Oktober 1945 rapat besar wakil-wakil daerah Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh
Jawa/Madura mengeluarkan “Resolusi Jihad Fii Sabilillah” untuk mempertahankan dan menegakkan
agama dan kedaulatan Republik Indonesia Merdeka. Situasi ini mendorong seluruh perkumpulan
pelajar di kota-kota di atas untuk terjun langsung dalam kancah revolusi fisik menentang kembalinya
penjajah Belanda. Hal ini merupakan sumbangsih para pelajar NU sekaligus bukti bahwa sejak mula
generasi muda NU telah menunjukkan tebalnya semangat nasionalisme yang dilandasi kesadaran
menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan negara RI yang diproklamasikan tahun 1945.

Selama kurang lebih lima tahun sejak berdirinya republik, seluruh kekuatan bangsa Indonesia sedang
diarahkan pada upaya mempertahankan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama
kurun itu ribuan syuhada gugur di medan laga dengan meninggalkan semangat yang terwariskan ke
generasi berikutnya. Perjuangan diplomasi di kancah internasional pun tak kurang dilakukan oleh
para pemimpin RI kala itu. Setelah perjuangan panjang yang melelahkan, akhirnya Belanda secara
resmi mengakui kedaulatan RI pada bulan Desember 1949. Upacara pengakuan kedaulatan berjalan
paralel di Jakarta dan di Belanda. Kehidupan di tanah air kemudian mulai berjalan normal, orang
kembali sibuk dengan kegiatan kesehariannya, beberapa perkumpulan mulai marak mengadakan
kegiatan, demikian pula Nahdlatul Ulama dan neven-nevennya.
Pada awal dekade 50-an mulai muncul semangat baru di kalangan generasi muda NU untuk
bergerak. Perkumpulan-perkumpulan berfaham Aswaja yang lahir sebelum itu dipandang terlalu
bersifat lokal di samping efektivitas organisasinya melemah seiring dengan pudarnya gaung revolusi
yang mendominasi kelahiran perkumpulan-perkumpulan tersebut sehingga dipandang perlu
mendirikan perkumpulan baru yang lebih berorientasi pada pengkaderan pelajar dan bersifat
nasional. Kesadaran ini memperoleh bentuk yang kongkrit di beberapa tempat dengan berdirinya
organisasi seperti ‘Ikatan Siswa Muballighin NO’ (IKSIMNO) pada tahun 1952 di Semarang dan
‘Persatuan Peladjar NO’ (PERPENO) pada tahun 1953 di Kediri.(3)Disusul oleh kota Bangil beberapa
bulan kemudian dengan berdirinya ‘Ikatan Peladjar Islam NO’ (IPINO). Sementara itu pada awal
tahun 1954 di kota Medan, Sumatera Utara, didirikan pula IPNO singkatan dari ‘Ikatan Peladjar NO’,
yang sudah mirip dengan nama organisasi IPNU (singkatan dari ‘Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’)
yang lahir kurang lebih dua bulan kemudian.

Kelahiran IPNU

Realitas akan keberadaan perkumpulan yang demikian banyak tersebut menunjukkan betapa tinggi
antusiasme berorganisasi di kalangan remaja NU. Namun, pada masa itu keberadaan mereka
masing-masing tidak saling mengenal kendati memiliki beberapa titik kesamaan, khususnya pada
nilai-nilai kepelajaran dan faham Aswaja. Titik-titik kesamaan ini memberikan inspirasi bagi para
pelopor pendiri organisasi -yang nantinya bernama IPNU- untuk menyatukan seluruh perkumpulan
tersebut ke dalam satu wadah resmi di bawah payung PB Nahdlatul Ulama. Gagasan ini disampaikan
dalam Konperensi Besar LP Ma’arif NU pada bulan Februari 1954 di Semarang oleh pelajar-pelajar
dari Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang, yaitu M. Sofyan Kholil, Mustahal, Ahmad Masyhud, dan
Abdulgani Farida M. Uda. Atas usul para pelajar ini, pada tanggal 24 Februari 1954 bertepatan
dengan 20 Jumadil Akhir 1373 H, konbes Ma’arif menyetujui berdirinya organisasi Ikatan Peladjar
Nahdlatul Ulama (IPNU) dengan Ketua Pimpinan Pusat Mohammad Tolchah Mansoer yang saat itu
tidak hadir dalam konperensi.

IPNU ketika didirikan adalah sebagai anak asuhan LP Ma’arif NU. Baru pada kongres yang keenam di
Surabaya, IPNU -dan juga nantinya IPPNU- menjadi badan otonom di bawah PBNU. IPNU tampak
semakin melangkah maju dengan diadakannya Konperensi Segi Lima yang terdiri dari utusan-utusan
dari Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Jombang dan Kediri pada tanggal 29 April-1 Mei 1954 di
Surakarta. Dalam konperensi tersebut diputuskan bahwa organisasi ini berasaskan Ahlussunnah wal
Jama’ah, hanya beranggotakan putra saja yang berasal dari pesantren, madrasah, sekolah umum
dan perguruan tinggi. Pendirian IPNU bertujuan untuk menegakkan dan menyiarkan agama Islam,
meninggikan dan menyempurnakan pendidikan serta ajaran-ajaran Islam, dan menghimpun seluruh
potensi pelajar Islam yang berfaham Ahlussunnah wal jama’ah, tidak hanya mereka yang berasal dari
sekolah-sekolah NU saja.(4)

Untuk lebih memperkokoh eksistensinya, IPNU mengirimkan wakil dalam Muktamar NU ke-20 pada
tanggal 9-14 September 1954 di Surabaya. Delegasi PP IPNU terdiri dari M. Sofyan Kholil, M. Najib
Abdulwahab, Abdulgani Farida M. Uda, dan M. Asro yang dipimpin sendiri oleh ketua PP IPNU M.
Tolchah Mansoer. Dalam sidang tanggal 14 September 1954, Tolchah mengemukakan urgensi
organisasi IPNU yang kemudian mendapat pengakuan bulat oleh Muktamar NU sebagai organisasi
pelajar dalam lingkungan NU dengan persyaratan bahwa anggota IPNU hanya putra saja, sedangkan
untuk putri diadakan suatu organisasi secara sendiri.(5) Bahkan dalam sidang gabungan delegasi
Muslimat-Fatayat dalam muktamar tersebut diputuskan bahwa harus ada organisasi serupa IPNU
untuk menampung pelajar-pelajar putri di lingkungan NU ke dalam suatu wadah tersendiri.(6)
Keputusan mengenai “suatu wadah tersendiri” inilah yang tampaknya nanti akan mewarnai
berdirinya organisasi yang kelak bernama IPPNU.

Muktamar Surabaya ini adalah muktamar pertama semenjak NU menjadi partai politik, sehingga
tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh perhatian muktamirin dicurahkan pada persoalan politik untuk
menghadapi pemilu 1955 yang akan berlangsung pada 29 September 1955 untuk anggota DPR dan
15 Desember untuk anggota Konstituante. Gagasan penggalangan potensi pelajar di lingkungan NU
tampaknya memberikan tenaga tambahan sebagai upaya konsolidasi seluruh potensi NU
menghadapi momentum pemilu. Tidak heran jika pada akhirnya muktamirin menerima secara bulat
dibentuknya organisasi pelajar di lingkungan NU. Terlebih Masyumi yang dianggap sebagai rival
utama NU, sudah memiliki organisasi pelajar yang tertata rapi yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII).

Beberapa bulan kemudian, yakni pada tanggal 28 Februari-5 Maret 1955, IPNU mengadakan
muktamar yang pertama di kota Malang, Jawa Timur. Dalam kurun waktu setahun sejak berdirinya -
menjelang muktamar yang pertama tersebut- IPNU berhasil meluas hingga ke propinsi-propinsi Jawa
Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah,
Kalimantan Timur dan DKI Jakarta.(7) Muktamar ini diikuti oleh lebih dari tiga puluh cabang dan
beberapa undangan dari pesantren. Gegap gempitanya muktamar ini semakin meriah dengan
kehadiran Presiden Soekarno bersama Wakil PM Zainul Arifin dan Menteri Agama K.H. Masykur yang
berkenan memberi wejangan kepada muktamirin serta warga Malang yang saat pembukaan
muktamar tumpah ruah di halaman pendopo kabupaten Malang. Hadir pula Rois ‘Aam NU K.H.
Abdulwahab Chasbullah, Ketua Umum Partai NU K.H. Dachlan dan Ketua Umum PB Ma’arif NU K.H.
Syukri Ghozali. Maraknya pemberitaan media massa tentang Muktamar I IPNU di tengah suasana
menjelang pemilu pertama sejak Indonesia merdeka dan dikonsolidasikannya segenap kekuatan NU
yang sejak tahun 1952 berubah menjadi partai politik tersendiri setelah terpisah dari Masyumi, tak
pelak lagi membawa nuansa politik yang teramat kental di arena kongres. Terlebih lagi kongres
tersebut dibuka secara langsung oleh Presiden Soekarno yang memang sedang menggalang
dukungan di tingkat grass root yang mulai pudar karena rakyat disibukkan dengan konsolidasi partai-
partai politik menjelang pemilu 1955.

Delegasi dari cikal bakal IPPNU sebenarnya ikut hadir dalam pembukaan muktamar, namun
kontribusi mereka terhadap perhelatan nasional organisasi pelajar NU tampak masih belum terlalu
menyolok. Dalam uraian selanjutnya akan dibahas awal kelahiran IPPNU dan bagaimana perjalanan
para pelajar putri NU sampai mereka hadir di ajang muktamar IPNU di atas.

=============

Catatan-catatan:
(1) Gerakan Pemuda Ansor didirikan pada tanggal 24 April 1934 di Banyuwangi Jawa Timur.
Dibesarkan dalam tradisi kepanduan, Ansor banyak berperan dalam pembentukan barisan Hizbullah
semasa perang kemerdekaan. Tokoh-tokoh pendiri Ansor diantaranya K.H. Thohir Bakri, K.H.
Machfudz Sidiq, K.H.A Wahid Hasyim dan K.H. Abdullah Ubaid (lihat “Direktori Organisasi Pemuda
Indonesia”, Jakarta: Kantor Menpora, 1997).

(2) Keterangan ini dikutip dari “Sedjarah Perdjuangan IPNU dari Masa ke Masa” (Jakarta: Yayasan
Lima empat, 1966) h. 7. Selanjutnya dikutip “Sedjarah Perdjuangan IPNU”. Namun organisasi yang
memiliki nama yang hampir serupa yaitu ‘Ijtimaut Tholabiyah’ didirikan di Madura pada tahun 1945
menurut buku “IPNU-IPPNU Jawa Timur dari Masa ke Masa” (Surabaya: PW IPNU-IPPNU Jawa Timur,
1982) h. 4. Selanjutnya dikutip “IPNU-IPPNU Jawa Timur”.

(3) “Sedjarah Perdjuangan IPNU” h. 8. Dalam “IPNU-IPPNU Jawa Timur” disebutkan lahirnya Ikatan
Muballigh NU di Semarang pada tahun 1950.

(4) “Sedjarah Perdjuangan IPNU” h. 8.

(5) Ibid h. 9.

(6) Fatayat NU didirikan di Surabaya pada tanggal 24 April 1950 dengan prakarsa Nihayah Bakri,
Aminah Mansur, dan Chuzaimah Mansur.

(7) Sambutan ketua umum PP IPNU pada Buku Panduan Muktamar I IPNU 28 Februari-5 Maret 1955
di Malang.

SEJARAH berdirinya IPNU-IPPNU

2) Masa Kelahiran (1954-1955)

Sekitar akhir tahun 1954, di kediaman Nyai Masyhud yang terletak di bilangan Keprabon, Surakarta,
beberapa remaja putri yang kala itu sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta,
mencoba merespon keputusan Muktamar NU ke-20 di Surabaya tentang perlunya organisasi pelajar
di kalangan nahdliyyat.(8) Diskusi-diskusi ringan dilakukan oleh Umroh Machfudzoh, Atikah
Murtadlo, Lathifah Hasyim, Romlah, dan Basyiroh Saimuri. Dengan panduan ketua Fatayat cabang
Surakarta, Nihayah, mereka berbicara tentang absennya pelajar putri dalam tubuh organisasi NU.
Lebih-lebih setelah kelahiran Muslimat NU (29 Maret 1946) yang beranggotakan wanita-wanita
paruh baya, dan Fatayat NU (24 April 1950) yang anggota-anggotanya banyak didominasi oleh ibu-
ibu muda.(9) Pembicaraan itu kemudian berkembang dengan argumentasi Nihayah tentang
pentingnya didirikan satu wadah khusus bagi para pelajar putri NU. Apalagi keputusan muktamar ke-
20 NU tahun 1954 menyatakan, bahwa IPNU adalah satu-satunya organisasi pelajar yang secara
resmi bernaung di bawah NU dan hanya untuk laki-laki, sedangkan pelajar putri sebaiknya diwadahi
secara terpisah. Nihayah juga berdalih bahwa banyak pelajar-pelajar putri dari kalangan NU yang
dimanfaatkan oleh ormas-ormas yang kebanyakan berafiliasi kepada partai politik tertentu di luar
NU. Nihayah bahkan menjabat sebagai Ketua Departemen Keputrian Pelajar Islam Indonesia (PII)
yang berafiliasi kepada Partai Masyumi, padahal menjelang pemilu 1955 NU sudah berpisah menjadi
partai sendiri. Obrolan ringan yang biasanya dilakukan seputar waktu senggang setelah sekolah itu
akhirnya berkembang menjadi sebuah gagasan kemungkinan pengiriman pelajar putri NU
mendampingi pelajar-pelajar putra yang memang pada awal tahun 1955 sedang mempersiapkan
muktamar I IPNU yang akan diadakan di Malang, Jawa Timur.

Gagasan ini menjadi semakin matang dengan diusulkannya pembentukan sebuah tim kecil oleh
Ahmad Mustahal -ketua NU cabang Surakarta yang juga secara rajin memantau perkembangan
gagasan nahdliyyat muda tersebut- untuk membuat draf resolusi pendirian IPNU-Putri. Tim yang
diketuai Nihayah dan sekretaris Atikah Murtadlo ini menyusun draf resolusi di kediaman Haji Alwi di
daerah Sememen, Kauman, Surakarta dan memutuskan untuk memberitahukan adanya rencana
resolusi tersebut kepada PP IPNU yang berkedudukan di Yogyakarta. Tim juga menetapkan dua
orang anggotanya yaitu Umroh Machfudzoh dan Lathifah Hasyim sebagai utusan untuk menemui PP
IPNU di Yogyakarta. Selanjutnya utusan tersebut berangkat ke Yogyakarta dan diterima langsung
oleh Ketua Umum PP IPNU, M. Tolchah Mansoer. Dalam pertemuannya, Umroh menyampaikan
permintaan tim resolusi IPNU-Putri agar PP IPNU dapat menyertakan cabang-cabang yang memiliki
pelajar-pelajar putri untuk menjadi peserta/wakil putri pada Kongres I IPNU di Malang. Selanjutnya
disepakati pula dalam pertemuan tersebut bahwa peserta putri yang akan hadir di Malang nantinya
dinamakan IPNU-Putri.

Konperensi Panca Daerah

Sesuai dengan permintaan dihadirkannya utusan IPNU-Putri sebelumnya, selain dihadiri oleh peserta
putra dari cabang-cabang IPNU seluruh Indonesia, pembukaan Muktamar I IPNU di pendopo
kabupaten Malang dihadiri pula oleh peserta putri yang ternyata hanya berasal dari lima cabang
(berikut nama-nama utusannya) yaitu:

1. Cabang Yogyakarta: Asiah Dawami

2. Cabang Surakarta: Umroh Machfudzoh Wahib, Atikah Murtadlo

3. Cabang Malang: Mahmudah Nahrowi

4. Cabang Lumajang: Zanifah Zarkasyi

5. Cabang Kediri: Maslamah

Setelah selesai acara pembukaan, negosiasi formal dilakukan oleh para peserta putri dengan
pengurus teras PP IPNU tentang kelanjutan eksistensi IPNU-Putri yang berdasarkan rencana
sebelumnya secara administratif akan hanya menjadi departemen di dalam tubuh organisasi IPNU.
Pembicaraan tentang kemungkinan ini berjalan cukup alot karena PP IPNU secara formal tidak
pernah merasa mendirikan IPNU-Putri dan berakhir buntu pada keputusan diadakannya pertemuan
intern lebih lanjut di antara utusan putri yang hadir mengenai kedudukan IPNU-Putri. Hasil akhir
negosiasi dengan pengurus teras PP IPNU telah membentuk semacam kesan di antara para peserta
putri bahwa organisasi IPNU kelak hanya akan lebih serius untuk menggarap anggota dari kalangan
putra. Terlebih melihat keputusan-keputusan Konperensi Segi Lima IPNU di Surakarta dan hasil
Muktamar ke-20 NU di Surabaya yang memang mengukuhkan eksklusivitas IPNU, hanya untuk
pelajar putra. Melihat hal tersebut, pada hari ke-2 kongres, para peserta putri yang ternyata hanya
dikirimkan oleh lima cabang itu sepakat untuk mengadakan pertemuan terpisah dari arena kongres
IPNU.

Kelima cabang tersebut kemudian mengadakan pertemuan di kediaman K.H. Nachrowi Thohir di
daerah Jagalan, Malang. Selama pembicaraan pendahuluan, di dalam forum tersebut sempat
berkembang usulan agar IPNU-Putri hanya merupakan satu departemen khusus dalam organisasi
IPNU. Pemikiran ini hampir merata di antara seluruh utusan putri yang hadir karena alasan-alasan
sebagaimana akan dikemukakan nanti. Tetapi setelah mengadakan konsultasi dengan dua orang
jajaran pengurus teras badan otonom NU yang diserahi tanggung jawab dalam pembinaan organisasi
pelajar yaitu, Ketua PB Ma’arif NU, K.H. M. Syukri Ghazali, dan Ketua PP Muslimat NU, Mahmudah
Mawardi, yang juga sesekali hadir dalam pertemuan itu, keinginan agar untuk selanjutnya IPNU-Putri
adalah badan yang terpisah dari IPNU semakin menyala. Akhir dari pembicaraan selama beberapa
hari itu berhasil menelurkan keputusan-keputusan sebagai berikut:

1. Pertemuan yang berlangsung pada 28 Februari-5 Maret 1955 dan dihadiri oleh utusan dari lima
cabang IPNU-Putri itu selanjutnya disebut sebagai “Konperensi Panca Daerah”.

2. Pembentukan organisasi IPNU-Putri yang secara organisatoris dan administratif terpisah dari
IPNU.

3. Tanggal 2 Maret 1955 bertepatan dengan 8 Rajab 1374 H, yaitu hari deklarasi resolusi
terbentuknya IPNU-Putri ditetapkan sebagai hari lahir IPNU-Putri (kelak menjadi IPPNU).

4. Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya pembentukan cabang-cabang selanjutnya


ditetapkan susunan pengurus Dewan Harian (DH) IPPNU sebagai berikut:

Ketua : Umroh Machfudzoh Wahib

Sekretaris : Syamsiah Muthoyib

dengan tugas-tugas: (a). Mensosialisasikan pembentukan IPNU-Putri kepada pelajar-pelajar putri NU


di seluruh Indonesia. (b). Membentuk wilayah-wilayah serta cabang-cabang di seluruh Indonesia. (c).
Mengadakan konperensi besar sekaligus peresmian berdirinya IPNU-Putri. (d). Menyusun dan
menetapkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sementara sampai
ditetapkannya secara resmi dalam forum muktamar atau konbes. AD IPPNU berhasil disusun oleh DH
dan ditetapkan sebagai AD sementara pada tanggal 11 Maret 1955.

5. Dewan Harian ini bertugas sampai dengan terbentuknya Pimpinan Pusat definitif yang dipilih
melalui forum muktamar atau konperensi besar. PP IPNU-Putri selanjutnya berkedudukan di
Surakarta, Jawa Tengah.

6. Memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU-Putri kepada PB Ma’arif-NU.


Pada tanggal 4 Maret 1955, dikeluarkan surat persetujuan resolusi berdirinya IPNU-Putri dari PB
Ma’arif NU. Selain itu PB Ma’arif juga mengusulkan perubahan nama menjadi IPPNU (Ikatan Pelajar
Putri Nahdlatul Ulama).(10)

Demikianlah untuk selanjutnya IPPNU berjalan berkelindan dengan IPNU bahu-membahu dalam
upaya mengkader pelajar-pelajar di lingkungan NU demi kesinambungan kepemimpinan organisasi
yang didirikan para alim ulama ini.

=============

Catatan-catatan:

(8) Nyai Masyhud adalah ibu dari Ny. Mahmudah Mawardi, ketua umum PP Muslimat NU 1952-
1979, dan nenek dari Farida Mawardi, ketua umum PP IPPNU periode 1963-1966.

(9) Nihayah berperan aktif dalam pembentukan IPPNU hanya sampai akhir tahun 1954 karena harus
meninggalkan Surakarta dan menikah dengan K.H. Ahmad Siddiq. Kyai Siddiq adalah Rais ‘Aam PBNU
hasil muktamar NU ke-27 di Situbondo dan terpilih lagi pada muktamar ke-28 di Yogyakarta tahun
1989.
(10) Wawancara terpisah dengan Umroh M., Nihayah Ahmad Siddiq, dan Mahmudah Nachrowi.

SEJARAH berdirinya IPNU-IPPNU

3) Masa Pertumbuhan (1955-1963)

Konbes Surakarta Berbekal mandat sebagai Ketua Dewan Harian, Umroh segera menyusun dan
menetapkan PD/PRT (waktu itu masih AD/ART) pada tanggal 11 Maret 1955. Umroh juga
mengeluarkan keputusan tentang diresmikannya pembentukan cabang-cabang yang tergabung
dalam Konperensi Panca Daerah. Selanjutnya Umroh melakukan perjalanan untuk konsolidasi dan
pembentukan cabang-cabang baru, khususnya yang ada di Pulau Jawa. Pada saat itu pembentukan
cabang di luar Jawa belum terlalu mendapatkan prioritas karena masih menghadapi kendala jarak
dan komunikasi. Dalam upaya lebih mempercepat terbentuknya cabang-cabang, Umroh
menugaskan beberapa orang sebagai wakil Pimpinan Pusat untuk pembentukan cabang. Di antara
anggota IPPNU yang mendapat penugasan ini adalah Zuhara Arifin yang bertanggung jawab
terhadap pembentukan cabang-cabang di Jawa Barat dan DKI Jakarta.(11) Umroh sendiri kemudian
lebih banyak berkonsentrasi dalam pembentukan cabang-cabang di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Safari pembentukan cabang ini bukan tanpa kendala. Hampir di setiap cabang yang dikunjungi,
Umroh selalu menemukan keengganan para pelajar putri untuk turut ambil bagian dalam
kepengurusan meskipun keberadaan IPPNU sendiri cukup mendapat dukungan. Keengganan ini lebih
disebabkan karena sedikitnya jumlah pelajar putri yang bersekolah secara formal (baik di madrasah
maupun di sekolah umum). Di samping itu mereka rata-rata lebih banyak memilih untuk tidak turut
serta sebagai pimpinan karena mobilitas yang rendah, sehingga urusan-urusan organisasi yang
bersifat ekstern lebih banyak diserahkan kepada pimpinan IPNU setempat. Begitu sulitnya upaya
menumbuhkan kepercayaan diri para pelajar putri ini terungkap dalam pernyataan Umroh:

“… pelajar putri kalau sudah agak meningkat sudah tidak keluar lagi. Jadi masih banyak yang menjadi
satu dengan IPNU. Sampai saya dan kawan-kawan Dewan Harian ini judek sehingga mempunyai
pendapat: “Kalau begitu baiknya dijadikan satu saja dengan IPNU lalu putri menjadi departemennya
…” (12)

Munculnya kembali pemikiran mengenai peleburan IPPNU ke dalam IPNU pasca Konperensi Panca
Daerah ini bukan tanpa alasan. Hampir seluruh penggagas IPPNU memiliki kekhawatiran yang
beralasan akan absen dan minimnya partisipasi pelajar putri dalam organisasi yang baru didirikan itu
jika keberadaanya terpisah dari IPNU. Di samping karena batasan budaya, kekhawatiran juga
disebabkan oleh keterbatasan alat komunikasi dan transportasi yang memang belum terlalu
bersahabat bagi kaum wanita. Umroh, sebagai ketua DH IPPNU yang menyadari betul hal ini
menyatakan kekecewaannya akan ketergantungan pelajar putri kepada badan-badan otonom lain,
sebagai berikut:

“… kebanyakan utusan (dalam konbes Surakarta – penulis) dari daerah-daerah itu diantarkan
Muslimat, kadang-kadang Ansor dan kadang-kadang pula IPNU …” (13)

Selain tourne dalam rangka pembentukan cabang-cabang, Umroh dan beberapa pengurus teras
IPPNU juga turut berpartisipasi sebagai juru kampanye partai NU, yang baru pertama kali turut serta
dalam pemilihan umum. Setelah bersafari ke cabang-cabang, tibalah saatnya IPPNU mengadakan
konperensi besar yang kemudian disahkan sebagai muktamar IPPNU yang pertama. Semula konbes
itu direncanakan pada liburan sekolah, bulan Oktober 1955. Tetapi karena kendala teknis,
pelaksanaan muktamar IPPNU tersebut diundur menjadi tanggal 18-21 Januari 1956 di Surakarta.
Konbes yang kepanitiaannya diketuai Mutmainnah Chayyun ini mendapat perhatian yang cukup
besar dari masyarakat, tergambar dengan banyaknya dukungan yang tercantum dalam buku
kenangan konperensi.

Konbes yang dilaksanakan tepat 10 bulan 16 hari setelah deklarasi pendirian IPPNU ini memiliki arti
penting untuk menentukan dan menyempurnakan langkah-langkah IPPNU ke depan dan lebih
mengkongkritkan rencana kerja untuk kelancaran dan kemajuan organisasi selanjutnya.(14) Ketua
Umum PP Muslimat NU, Ny. Mahmudah Mawardi, yang hadir dalam pembukaan konbes bahkan
menyatakan:

“… kebangkitan pelajar-pelajar putri NU ini saya artikan sebagai “renaissance” daripada geraknya
kaum putri yang didorong oleh gelora jiwa yang ingin dinamis dan disinari oleh api keramat daripada
semboyan itu …” (15)

Sementara itu, Ketua Umum PP IPNU, M. Tolchah Mansoer, dalam acara yang sama mengatakan:

“Hanyalah satu yang setiap orang harapkan dari IPPNU, semoga tidak silau oleh intelektualisme dan
berarti hal ini tidak melupakan dasar-dasar pokok agama, dan pula adalah kewajiban tiap mereka
yang beragama Islam untuk memegang teguh ajaran itu, sebagai syuhada’ alannaas menjadi saksi,
menjadi ukuran, menjadi kriterium. Bagaimana ukuran bisa benar, kalau alat pengukurnya juga ikut
hanyut ?” (16)

Konbes ini dihadiri oleh sekitar 30 cabang yang semuanya berasal dari pulau Jawa.(17) Konbes ini
menghasilkan beberapa keputusan penting, diantaranya:

1. Pembentukan Pimpinan Pusat yang berkedudukan di Surakarta yang terdiri dari Basyiroh Saimuri,
Umroh Machfudzoh, dan Syamsiah Muthoyib, masing-masing sebagai Ketua Umum, Ketua I dan
Sekjen PP IPPNU. Sedangkan departemen-departemen dalam PP terdiri atas departemen-
departemen pendidikan/pengajaran, penerangan, kesenian dan olahraga, kader dan sosial.

2. Pengesahan perubahan redaksional Anggaran Dasar

Dalam AD tercantum tujuan organisasi IPPNU adalah kembang dan tegaknya agama Islam,
kesempurnaan nilai pendidikan dan pengajaran agama Islam, terjaminnya ukhuwah pelajar putri
ahlussunnah wal jama’ah.

3. Pengesahan Anggaran Rumah Tangga.

Pada ART ini ditetapkan bahwa muktamar diadakan oleh PP IPPNU setiap dua tahun kecuali jika ada
permintaan dari setengah jumlah cabang-cabang yang ada ditambah satu untuk memajukan atau
mengundurkannya.

4. Pengesahan lencana (insigne) IPPNU.

Lencana yang disahkan berbentuk segitiga yang berarti iman, Islam dan ihsan. Di dalamnya memuat
bintang sembilan sebagaimana pada lambang NU yang bermakna, empat buah bintang
melambangkan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Empat buah bintang lainnya melambangkan
khulafa’ur rasyidin/madzhab empat dan satu bintang yang paling besar melambangkan Rasulullah
SAW. Dua bulu dan dua buku menuntut anggota-anggota IPPNU agar mempelajari pengetahuan
agama dan pengetahuan umum dengan aktif membaca dan menulis. Sedangkan dua bunga
melambangkan perpaduan antara putri-putri pondok pesantren dan putri-putri pelajar umum.

5. Pembentukan Perwakilan Pimpinan Pusat (P3) IPPNU di Jakarta.

6. Pembuatan serangkaian resolusi sekitar pendidikan, kesenian, kebudayaan dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan pelajar (khususnya putri), untuk disampaikan kepada PB Ma’arif NU dan
pemerintah.(18)

Upaya Mempertahankan Eksistensi Pasca Konbes

Meskipun tidak semeriah Muktamar I IPNU di Malang setahun sebelumnya, muktamar I IPPNU yang
diadakan di Surakarta memberikan semangat baru bagi para pelajar putri, bahwa mereka mampu
bekerja sebagai organisasi yang berdiri sendiri. Tahun-tahun sesudah muktamar Surakarta ini masih
banyak diwarnai dengan upaya pembentukan cabang-cabang baru dan konsolidasi organisasi ke
dalam. Tak ubahnya dengan Dewan Harian, PP IPPNU mengirimkan surat kepada cabang-cabang
Muslimat, Ma’arif, dan IPNU di seluruh Indonesia untuk turut serta membantu mengusahakan
berdirinya IPPNU di daerah masing-masing tersebut. Surat-surat ini mendapat sambutan yang sangat
baik, sehingga dalam waktu singkat saja telah bertambah cabang-cabang dalam jumlah yang cukup
banyak. Dalam harlah yang pertama, IPPNU pada waktu itu telah memiliki beberapa cabang di luar
Jawa yaitu Sumatera, Kalimantan Selatan, Sulawesi dan Nusatenggara.(19) Hal ini tentu tidak
terlepas dari upaya gigih para pengurus Pimpinan Pusat serta kerja sama yang baik dari bapak-bapak
di jajaran cabang-cabang Nahdlatul Ulama dan badan otonom lainnya.

Pada peringatan harlah pertama IPPNU bulan Maret 1956 yang bersamaan dengan diadakannya
peringatan Isra’ Mi’raj, PP mengadakan peninjauan ke cabang-cabang yang berada di wilayah Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sedangkan di Jawa Barat tidak diadakan kunjungan
karena baru terbentuk satu cabang yaitu Bandung. Kunjungan ini membuahkan hasil yang
menggembirakan, bahkan di Kalimantan Selatan sekaligus terbentuk enam cabang. Ketika diadakan
muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember 1956, PP IPPNU mendapat kesempatan mengikuti
atas tanggungan PP Muslimat NU. PP yang pada saat itu diwakili langsung oleh Basyiroh
memanfaatkan kesempatan ini untuk mengadakan pembicaraan dengan utusan dari cabang-cabang
Muslimat dan Fatayat tentang IPPNU. Pada prinsipnya, Basyiroh meminta agar mereka tidak
keberatan untuk membantu pendirian IPPNU di daerah masing-masing.

Pada tanggal 21-27 Juli 1957, PP IPPNU mengadakan Kursus Kader yang pertama di kota Jombang,
bersamaan dengan diadakannya muktamar Madaris Muallimin / Muallimat NU se-Indonesia di kota
yang sama. Kursus kader itu diikuti oleh 60 orang peserta dari cabang-cabang di seluruh Indonesia.
Pada masa itu, jika IPPNU mengadakan acara yang bersifat nasional sering dilakukan upaya
menyatukan waktu dengan jadwal badan-badan otonom lain di lingkungan NU. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, hal ini jamak terjadi karena para pelajar putri belum terlalu berani
mengadakan perjalanan sendiri ke luar kota sehingga harus didampingi oleh yang lebih tua. Terlebih
lagi pandangan bapak-bapak di NU belum terlalu mendukung hal tersebut, seperti terungkap dalam
pernyataan Umroh:

“… bagaimana nanti pendapat bapak-bapak di NU terhadap kami, mana bisa anak putri mau pergi
sendirian saja tidak pakai muhrim …” (20)

Pada tahun 1957 ini nama IPPNU semakin dikenal dengan pengiriman dua anggotanya yaitu
Ghaniyah dan Sa’diyah Marwan (keduanya dari cabang Malang) pada acara Pekan Pemuda seluruh
Indonesia di Surabaya.
Dalam rangka menjaga kesinambungan roda organisasi tercatat 2 kali sesudah konbes Surakarta
IPPNU masih mengadakan kongres secara terpisah dari IPNU yaitu kongres kedua bulan Desember
1957 di Yogyakarta dan kongres ketiga tahun 1960 di Malang, Jawa Timur. Pada kongres di
Yogyakarta, kembali Basyiroh ditetapkan sebagai Ketua Umum, dibantu oleh Zanifah sebagai Ketua I
dan Lathifah Z. Mawardi sebagai Sekjen. Muktamar ini dihadiri oleh 60 cabang atau sekitar dua kali
lipat dari muktamar pertama, sebuah bukti bahwa perkembangan IPPNU begitu pesat. Di sisi lain,
keberadaan IPPNU yang tengah tumbuh itu masih menyisakan kesangsian akan mampunya
organisasi pelajar-pelajar putri ini bertahan. Bahkan pada upacara pembukaan kongres kedua ini
Menteri Agama RI, K.H.M. Ilyas sempat menyatakan:

“…saya sangsi sebelumnya apakah putra-putri kita akan bisa mengadakan/memimpin rapat/kongres,
tetapi kesangsian saya kini lenyap ketika saya melihat resepsi pada malam ini…” (21)

Pada periode ini PP mengadakan Sekolah Kilat Guru Taman Kanak-kanak (SGTK) dan Kepanduan
Putri di Surakarta di bawah asuhan Departemen Kader dan Departemen Penerangan yang masing-
masing dijabat oleh Mahmudah Nachrowi dan Zamroh. Hasil dari sekolah kilat yang diikuti sekitar 20
peserta membuat IPPNU lebih dikenal karena kiprah alumninya yang terjun langsung sebagai guru di
masyarakat. PP juga menerbitkan brosur organisasi di bawah pembinaan Departemen Penerangan.
Meskipun demikian, dalam Berita Organisasi yang diterbitkan PP IPNU pada bulan Januari 1958
masih juga diberikan rubrik khusus mengenai IPPNU -sebuah kenyataan yang menunjukkan eratnya
kerja sama antara dua organisasi termuda Nahdlatul Ulama ini.

Pada akhir dekade 50-an, suhu politik tanah air mulai mengeruh. NU, sebagai induk IPPNU, pada
tahun 1955 keluar sebagai 4 besar partai pemenang pemilu bersama Masyumi, PNI, dan PKI. Atas
kemenangannya itu, NU turut ambil bagian dalam pemerintahan. Padahal ketidakpuasan di daerah
akibat ketidakadilan ekonomi yang dijalankan pemerintah pusat mulai terwujud dalam
pemberontakan yang dilakukan beberapa kelompok bersenjata di bawah PRRI (Sumatera Tengah)
dan Permesta (Makasar). Sementara itu rongrongan DI/TII Kartosuwiryo di wilayah Jawa Barat belum
juga usai. Ketidakpuasan kepada pemerintah pusat ini menimpa NU pula, sehingga sempat
berkembang pemikiran di kalangan pelajar-pelajar NU untuk meninggalkan atribut NU di belakang
nama organisasi pelajarnya.(22) Tetapi keinginan-keinginan itu dapat terkikis sehingga IPNU dan
IPPNU tetap mengenakan atribut Aswaja sebagaimana saat berdirinya.

Kembali ke Kota Kelahiran

Pada awal dekade 60-an, peran partai-partai politik jatuh ke titik nadir sebagai akibat diterapkannya
Demokrasi Terpimpin sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante dan
kemudian parlemen hasil pemilu 1955. NU sebagai salah satu partai penopang kabinet diterpa badai
politik dahsyat akibat sentralisasi kepemimpinan di tangan Bung Karno. Masyumi, sebagai partai
terbesar, bersama PSI tidak luput dari tangan besi Bung Karno yang menyudahi riwayat kedua partai
tersebut karena tuduhan keterlibatan beberapa pemimpinnya dalam pemberontakan
PRRI/Permesta. Agresivitas PKI yang semakin tampak karena merasa diberi angin oleh Presiden
Soekarno dianggap sebagai upaya merongrong kekuatan politik lainnya termasuk NU. Oleh karena
itu pada muktamar ke-22 bulan Desember 1959 di Jakarta, NU memutuskan untuk bersikap defensif
menghadapi ketidakpastian politik saat itu. Sementara itu NU tetap melakukan konsolidasi
organisasi ke dalam. Kesempatan ini dipahami cukup baik oleh para generasi muda NU. Seiring
dengan kegigihan organisasi mahasiswa komunis CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia)
yang berhasil mendominasi organisasi PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia),
beberapa mahasiswa NU yang selama ini aktif dalam Departemen Perguruan Tinggi IPNU membidani
lahirnya PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).(23) Mereka memandang masanya telah tiba
bagi mahasiswa-mahasiswa berhaluan Aswaja untuk berhimpun sendiri di bawa suatu organisasi.
Tepat pada tanggal 17 April 1960, dalam sebuah musyawarah mahasiswa NU di Kota Pahlawan
Surabaya, PMII lahir sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa di lingkungan NU.(24) Keberadaan
PMII ini mau tak mau telah membagi konsentrasi pemuda-pemudi NU kepada IPNU-IPPNU di satu
sisi dan PMII di sisi lain. Namun dengan adanya PMII, nama pelajar yang melekat pada IPNU-IPPNU
tampak menjadi semakin kental mewarnai kegiatan kedua organisasi ini ke depan.

Setelah dua kali mengadakan kongres, kali ini IPPNU kembali pada kota kelahirannya di Jawa Timur
untuk menyelenggarakan kongres yang ketiga. Bertempat di kota Malang, kongres IPPNU -yang
diikuti oleh cabang-cabang yang semakin bertambah dan hal ini berarti semakin mengukuhkan
keberadaan IPPNU sebagai satu-satunya organisasi pelajar putri NU- menjawab keragu-raguan
sementara pihak pada saat berdirinya enam tahun silam. Dalam kongres ketiga ini berhasil dipilih
Mahmudah Nachrowi dan Lathifah Mawardi masing-masing sebagai Ketua dan Sekjen PP IPPNU.

Pada tanggal 25-31 Juli 1962, IPPNU, bersama IPNU dan PMII, mengadakan Pekan Pelajar &
Mahasiswa Nahdlatul Ulama di Kota Batik Ponorogo. Acara ini dihadiri sedikitnya oleh 500 pelajar
dan mahasiswa NU dari seluruh pelosok tanah air. Dalam pekan ini diadakan Work Camp di desa-
desa yang merupakan kuliah kerja bagi para mahasiswa dalam bidang sosial, ekonomi, koperasi,
agama, pendidikan, dan kebudayaan. Selain itu diadakan pula indoktrinasi Manipol-Usdek oleh Dr.
Ruslan Abdulgani yang menjabat Bapak Pembina jiwa Revolusi.(25)

Khusus untuk IPNU diadakan pula Pekan Olahraga (POR) II dan Konperensi Besar II untuk membahas
kemajuan program kerja organisasi. Pada kesempatan ini kepada utusan-utusan IPPNU diberikan
kursus-kursus praktis kerumahtanggaan seperti Home Nursing/Economics, merangkai bunga, PPPK,
pengawetan makanan, dan mencuci dengan alat-alat modern.(26)

Disparitas jenis kegiatan antara ketiga organisasi yang bernaung di bawah Persemakmuran Keluarga
Besar NU masing-masing menunjukkan lahan garapan yang sangat jelas. Sejak semula IPPNU sendiri
dalam kegiatannya -di luar pembinaan pelajar- memang cenderung meneruskan gagasan emansipasi
dengan paradigma, yang pada waktu itu, bertitik berat pada keseimbangan tanggung jawab
domestik dan publik kaum wanita. Meskipun satu dua tokoh wanita NU cukup menonjol di bidng
politik, secara keseluruhan nahdliyyat khususnya dan wanita Indonesia pada umumnya masih belum
terlibat secara aktif dalam kancah politik nasional. Namun demikian, agitasi tentang belum
tuntasnya revolusi yang diteriakkan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya mau tidak mau selalu
mendorong masyarakat Indonesia hidup dalam partisipasi politik yang tinggi terhadap proses
bernegara. Keadaan ini tidak terkecuali berlaku untuk para pelajar yang dengan mudah menjadi
sasaran propaganda partai politik yang leluasa mengembangkan sayap hingga masuk ke sekolah-
sekolah. Hanya saja, pada era parlementer ini gerakan pemuda -yang umumnya dimotori para
mahasiswa- memang lebih banyak diisi dengan kegiatan sosial seperti piknik, olahraga, jurnalistik,
dan klub belajar.(27) Sehingga dalam hal ini tidak berarti anggota-anggota IPPNU apolitik, lebih
tepatnya barangkali memilih untuk tidak ambil bagian dalam politik praktis karena sudah terwakili
dengan baik oleh PBNU.

=============

Catatan-catatan:

(11) Zuhara Arifin adalah putri dari Zainul Arifin, Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroamidjojo I.
(12) Umroh Machfudzoh, surat kepada PP IPNU tanggal 7 Oktober 1955.

(13) Umroh Machfudzoh, surat kepada PP IPNU tanggal 27 Juli 1956.

(14) Emma Wardatie, “Hari Ulang Tahun Berdirinya IPPNU: Mengapa IPPNU Berdiri ?”, harian DUTA
MASYARAKAT, 2 Maret 1956. Selanjutnya dikutip “Hari Ulang Tahun”.

(15) Mahmudah Mawardi, Sambutan Ketua PB Muslimat NU, “Buku Kenangan Konperensi Besar
Ikatan Peladjar Puteri Nahdlatul Ulama” seluruh Indonesia di Surakarta h. 9 (Surakarta: Panitia
Konperensi Besar I, 1955). Selanjutnya dikutip sebagai “Konbes Surakarta”.

(16) M. Tolchah Mansoer, Sambutan Ketua Umum PP IPNU, ibid. h. 4.

(17) Basyiroh Saimuri, surat kepada PP IPPNU tanggal 27 April 1965.

(18) “Konbes Surakarta” h. 11.

(19) “Hari Ulang Tahun”.

(20) Umroh Machfudzoh, surat kepada PP IPNU tanggal 27 Juli 1956.

(21) “Berita Organisasi IPNU” No. 2/I/58 h. 8, Januari 1958.

(22) “Sedjarah Perdjuangan IPNU” h. 12.

(23) PPMI didirikan pada tahun 1947 dalam Kongres Mahasiswa Indonesia di Malang oleh beberapa
organisasi mahasiswa seperti Perserikatan Mahasiswa Jakarta, Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta,
Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI). Setelah kongres V PPMI pada tahun
1961, banyak jabatan penting dalam kepengurusan PPMI yang diduduki oleh kader CGMI. Akibatnya,
HMI sebagai organisasi terbesar di tanah air saat itu melakukan konfrontasi terbuka terhadap CGMI
(lihat Adi Surya Culla, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Jakarta: Rajagrafindo, 1999. Selanjutnya
dikutip Patah Tumbuh).

(24) Ketua Departemen Perguruan Tinggi PP IPNU, Ismail Makky, sangat mempengaruhi peserta
musyawarah dengan argumentasinya tentang pentingnya dibentuk sebuah organisasi yang khusus
mewadahi potensi para mahasiswa yang berafiliasi di bawah partai-partai politik yang ada
diantaranya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) kepada PNI, CGMI kepada PKI, Gerakan
Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) kepada PSI, dan HMI kepada Masyumi.

(25) MANIPOL adalah pidato kenegaraan Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 yang kemudian
ditetapkan oleh DPAS sebagai GBHN. Sedangkan USDEK adalah pidato presiden di hadapan Kongres
Pemuda Indonesia pada bulan Februari 1960 di Bandung yang kemudian oleh DPAS dianggap sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari Manipol sehingga jadilah Manipol-Usdek.

(26) “Risalah Organisasi IPNU” No. 10/I/62 bulan Juni 1962.

(27) Burhan D. Magenda, “Gerakan Mahasiswa dalam Hubungannya dengan Sistem Politik: Suatu
Tinjauan dalam Prisma” no. 12 (Jakarta: LP3ES, 1977) dikutip dari “Patah Tumbuh” h. 33.

Like,Share & Follow ⤵

Nahdliyin Online

Anda mungkin juga menyukai