Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

DINAMIKA PERKEMBANGAN NU
Di susun untuk memenuhi tugas mandiri

Di susun oleh :

ABDUL HAMID

Mata kuliah : ASWAJA

Dosen pengampu : SARI RAHAYU

Prodi : HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS HUKUM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA'HAD ALI CIREBON
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
SEJARAH NU
Nahdlatul Ulama, disingkat NU, yang artinya kebangkitan ulama. Sebuah organisasi yang
didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H2 di kampung
Kertopaten Surabaya. Untuk memahami NU sebagai organisasi keagamaan secara tepat,
belumlah cukup jika hanya melihat dari sudut formal semenjak ia lahir. Sebab jauh sebelum NU
lahir dalam bentuk jam’iyyah, ia terlebih dulu ada dan berwujud jama’ah (community) yang
terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakteristik sendiri.

Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan
politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924 di Arab Saudi sedang terjadi arus pembaharuan.
leh Syarif Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukan oleh Abdul Aziz bin Saud
yang beraliran Wahabi. Pada tahun 1924 juga, di Indonesia K.H Wahab Chasbullah mulai
memberikan gagasannya pada K.H. Hasyim Asyari untuk perlunya didirikan NU. Sampai dua
tahun kemudian pada tahun 1926 baru diizinkan untuk mengumpulkan para ulama untuk
mendirikan NU.3Berdirinya Nahdlatul Ulama tak bisa dilepaskan dengan upaya
mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-
qur’an, Sunnah, Ijma’(keputusan-keputusan para ulama’sebelumnya) dan Qiyas (kasus-kasus
yang ada dalam cerita alQur’an dan Hadits) seperti yang dikutip oleh Marijan dari K.H. Mustofa
Bisri ada tiga substansi, yaitu:

1. Dalam bidang-bidang hukum-hukum Islam menganut salah satu ajaran dari empat
madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), yang dalam praktiknya para Kyai NU
menganut kuat madzhab Syafi’i.
2. Dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan AlAsy’ari dan Imam
Abu Mansur Al-Maturidzi.
3. Dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim AlJunaidi. Proses
konsulidasi faham Sunni berjalan secara evolutif. Pemikiran Sunni dalam bidang teologi
bersikap elektik, yaitu memilih salah satu pendapat yang benar.4Hasan Al-Bashri (w. 110
H/728) seorang tokoh Sunni yang terkemuka dalam masalh Qada dan Qadar yang
menyangkut soal manusia, memilih pendapat Qodariyah, sedangkan dalam masalah
pelaku dosa besar memilih pendapat Murji’ah yang menyatakan bahwa sang pelaku
menjadi kufur, hanya
imannya yang masih (fasiq).

PENDAHULUAN
Nahdatul Ulama adalah organisasi ulama tradisional yang tidak bisa dilepaskan dari
keberadaan pesantren, mengingat sebagian besar pendiri dan pendukung utamanya adalah
para kiai yang berasal dari pesantren.Sejak pembentuknya pada tahun 1926, Nahdatul Ulama
menempati posisi sentral dan memainkan peranan sangat penting di kalangan masyarakat
santri, terutama di pedesaan. Ia menunjukan kemampuan membangkitkan tidak hanya
kesadaran beragama di kalangan umat islam, tetapi juga kesadaran komitmen sosial dalam
kehidupan kolektif umat islam. Nahdatul Ulama tidak hanya merupakan organisasi umat islam
terbesar di Indonesia, tetapi juga di dunia islam. Organisasi non pemerintah ini didukung oleh
ribuan pesantren yang memainkan peranan vital sebagai lembaga sosial, agama, dan
pendidikan dalam masyarakat santritradisional (Al Qurtuby, 2002).Pada 31 Januari 1926,
sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka berkumpul di rumah Wahab
Chasbullah (1888-1971) di kertopaten, Surabaya. Sebagian besar mereka datang dari Jawa
Timur dan masing-masing adalah tokoh pesantren. Jarang terjadi, kiai senior berkumpul dalam
jumlah sebanyak itu, namun dalam kesempatan ini mereka memikirkan langkah bersama untuk
mempertahankan kepentingan mereka dan bentuk Islam tradisional yang mereka praktikkan.
Setelah melalui diskusi, mereka memutuskan mendirikan Nahdatul Ulama untuk mewakili dan
memperkokoh Islam tradisional di Hindia-Belanda. Keputusan itu merupakan langkah
bersejarah.

Sebelumnya, tokoh-tokoh tradisional Sejak PBNU membidani pendirian PKB dan naiknya
Gus Dur sebagai presiden RI tahun 1999 melalui voting di MPR, semangat berpolittik praktis
kembali menggema di lingkungan Nahdatul Ulama. Memori masa lalu saat Nahdatu Ulama
menjadi partai politik kembali terbayang. Romantisme Nahdatul Ulama dengan kekuasaan Bung
Karno dan Orde Lama kembali muncul dibenak kiai. Begitu pula sebaliknya, memori lama saat
dipinggirkan Soeharto dan Orde Baru mulai dikenang sebagai bagian dari sejarah Nahdatul
Ulama (Al Qurtuby, 2002).Sebagai catatan akhir, konsekuensi lain dianutnya paham ahlu
sunnah wal jamaah adalah keharusan bagi seluruh warga NU untuk menghormati ulama dan
mengakui kepemimpinan serta otoritasnya. Dalam hal pemilihan nama organisasi sebagai
Nahdatul Ulama pun tergambar jelas posisi sentral ulama di dalamnya. Berdasarkan latar
belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah perkembangan politik
nahdtul ulama pasca khittah 1984-1999.

PEMBAHASAN
DINAMIKA PERKEMBANGAN NU
A.Sejarah Nu 1926-1945
Gesekan antara kelompok Islam modern dengan kelompok adat yang terjadi di Sumatera telah
meluas ke wilayah Jawa. Gerakan pembaruan Islam ini banyak mendapat inspirasi dari gerakan
Wahabi Mekkah yang berjaya pada tahun 1803. Gerakan tersebut lahir sebagai usaha untuk
melepaskan ajaran Islam dari penyakit TBC (Tahayyul, Bid’ah, dan Khurafat). Awal abad 20 kritik
terhadap kelompok Islam tradisional semakin tajam, terutama setelah berdirinya Sarekat Islam
dan Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912. Sarekat Islam pada awalnya bernama Sarekat
Dagang Islam dengan tujuan memajukan pedangan-pedangan Islam. Sedangkan,
Muhammadiyah adalah organisasi yang bertujuan Penarikan tersebut dinilai telah mengurangi
wewenang lemabaga Kepenghuluan yang menjadi peradilan tertinggi keagamaan dan memiliki
dimensi khusus, yaitu pemeliharaan tertib masyarakat dalam keagamaan (religious order).
Selain itu, peristiwa dinilai sebagai pelanggaran terhadap Artikel 119 Regeringreglement dan
Artikel 173 Indische Staatsregeling tentang sikap netral agama yang berlaku sejak tahun 1885.

Lembaga kepenghuluan sangat penting bagi agama, bahkan menjadi ujung tombak dari agama
itu sendiri. Dengan adanya lembaga kepenghuluan di Hindia Belanda, NU kemudian
menyatakan Hindia Belanda sebagai negara Islam, merujuk pada kitab bughayatul mustarsyidin
karya Imam al-Hadrami pada bab al-Hudnah wa al-Imamah. Meskipun demikian, hal itu tidak
menjadikan NU sebagai kaki tangan Belanda, dalam kesempatan berbeda NU justru menolak
menjadi milisi Hindia Belanda.Berbeda dengan Hindia Belanda, ketika Indonesia dikuasai Jepang
NU justru bersikap lebih kooperatif. Sejak dekade dua puluhan Jepang sudah meriset tentang
perkembangan Islam. Jepang juga mendirikan masjid Kobe di Jepang dan mengundang umat
Islam dalam acara pameran Islam di Tokyo. Selain itu, ketika berhasil menguasai Indonesia
Jepang menjalankan kebijakan yang mampu menyentuh Islam hingga ke akar rumput (Nippon
Islamic Grass Root Policy).
Meski Jepang mendapat sambutan baik dari umat Islam, akan tetapi di awal kedatangannya
Jepang mengalami masalah karena penerapan aturan seikerei. Sebagaimana yang terjadi
terhadap K.H. Zainal Musthafa dari Singaparna yang dijatuhi hukuman mati karena tidak mau
melakukan seikerei. K.H. Hasyim Asy’ari juga pernah menolak melakukan seikerei sehingga
beliau dengan K.H. Mahfudz Shiddiq ditangkap dan ditahan selama empat bulan pada tahun
1942. Keduanya dibebaskan setelah terjadi aksi massa yang menuntut pemerintah Jepang
membebaskan tokoh kharismatik itu meningkat. Setelah peristiwa itu, Jepang mulai bersikap
lunak dan cenderung memberi perhatian utama tehadap Islam, salah satunya adalah
mendirikan Kantor Urusan Agama Pusat, yaitu shumubu. Kebijakan Jepang lainnya adalah
memberi izin operasional MIAI, mengakui NU dan Muhammadiyah, membentuk pasukan
militer PETA, laskar Hizbullah dan juga membentuk gerakan 3A yang merupakan organisasi
persatuan yang disponsori Jepang. Tidak hanya itu, Jepang juga mengganti MIAI dengan
Masyumi dan menunjuk K.H. Hasyim Asy'ari.
menyatakan diri sebagai negara merdeka. Kemerdekaan itu disambut dengan rasa suka cita dan
mendapat dukungan penuh dari berbagai elemen masyarakat, tokoh agama, maupun tokoh
penting lainnya. Akan tetapi, Belanda dan Jepang tampaknya tidak suka dengan kemerdekaan
Indonesia. Jepang berusaha menggagalkan kemerdekaan dengan membubarkan beberapa
organisasi, seperti PETA, Heiho, dan organisasi militer lainnya. Usaha Jepang untuk
menggagalkan kemerdekaan Indonesia terus berlanjut sampai pada pertempuran melawan
pemuda RI. Pertempuran pertama antara Jepang dan RI terjadi di Surabaya pada bulan
September 1945 di gudang senjatan Don Bosco. Selain dengan Jepang, RI juga harus
menghadapi tentara NICA yang dibantu oleh Sekutu sebagai pemenuhan perjanjian Civil Affair
Agreement (CAA) tahun 1945 dengan Belanda yang mana Inggris (Sekutu) harus membantu
Belanda berkuasa kembali di Indonesia. Pasukan Sekutu di bawah Brigadir Bethel tiba di
Semarang pada 20 Oktober 1945. Mereka disambut dengan baik, bahkan gubernur Jawa
tengah, Wongsonegoro menjanjikan bantuan logistik selama mereka bertugas. Dalam
pelaksanaannya, Sekutu ternyata memberikan senjata kepada para internieran yang
dibebaskan.

Mengetahui hal itu, Kolonel Soedirman mengirimkan pasukan dari Divisi V ke Ambarawa untuk
menghentikan laju Sekutu. Perang antara Sekutu dan TKR tidak dapat dihindari, Sekutu dapat
dipukul mundur oleh TKR. Soekarno sebagai pimpinan tertinggi RI megirimkan utusan menemui
K.H Hasyim Asy’ari untuk menyampaikan pesan terkait dasar hukum bela negara dalam agama.
Sebagai respons dari pertanyaan itu, K.H. Hasyim Asy’ari mengundang konsul-konsul NU se-
Jawa dan Madura untuk rapat di gedung HBNO pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Rapat
tersebut menghasilkan sebuah resolusi terhadap pemerintah RI untuk menentukan tindakan
yang sepadan sekaligus mewajibkan umat Islam melanjutkan perjuangan jihad fisabilillah
mempertahankan Negara Republik Indonesia. Keputusan HBNO 22 Oktober 1945 berdampak
pada peristiwa pertempuran 10 November di Surabaya. Dengan adanya seruan jihad ini,
organisasi Islam lain, seperti Masyumi menyerukan jihad fisabilillah dalam muktamarnya pada
tanggal 7-8 November 1945. Begitu juga dengan Muhammadiyah di bawah pimpinan K.H. Fadil
dan K.H Amir mereka mendukunga penuh fatwa K.H. Hasyim Asy’ari tentang jihad
mempertahankan Negara Republik Indonesia. Resolusi jihad adalah upaya

B.Nu Menjadi Parpol 1945-1984


Nahdlatul Ulama (NU), adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah) terbesar di Indonesia.
Awal kelahiran NU sendiri tidak dapat dilepaskan dari kehadiran dua faktor utama, yakni
realitas ke-Islaman dan realitas ke-Indonesia-an. pada realitas ke-Islaman NU lahir sebagai
suatu wadah bergabungnya para ulama dalam memperjuangkan “tradisi pemahaman dan
pengalaman ajaran Islam yang sesuai dengan kultur Indonesia”. <> NU dilahirkan oleh ulama
pesantren sebagai wadah persatuan bagi para ulama serta para pengikutnya, guna
mempertahankan paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti pengikut Nabi Muhammad
SAW. Sedangkan, dalam realitas ke-Indonesiaan, kelahiran NU merupakan bagian dari pengaruh
politik etis yang diterapkan Belanda dalam konteks perjuangan mewujudkan kemerdekaan.
Dalam perjalanannya, sedikit demi sedikit NU memulai langkahnya berkiprah dalam dunia
politik. Berawal dari MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), NU akhirnya terlibat dalam masalah-
masalah politik. Namun, eksistensi MIAI tidak berlangsung lama, pada Oktober 1943, MIAI
akhirnya membubarkan diri dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Pada awalnya, Masyumi merupakan sebuah organisasi non politik, tetapi, setelah Indonesia
merdeka, Masyumi akhirnya ditahbiskan menjadi partai politik, dan memutuskan NU sebagai
tulang punggung Masyumi. Pada tahun 1940-1950, Masyumi akhirnya menjadi partai politik
terbesar di Indonesia. Masyumi merupakan partai yang heterogen anggotanya, sehingga
perbedaan kepentingan politik banyak terjadi didalamnya. Dan hal tersebutlah yang telah
menyebabkan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik yang bernama sama, yaitu
NU. Setelah menjadi partai politik, NU mengukir sejarah yang monumental, NU berhasil
mendapatkan suara yang cukup besar dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen pada
pemilu 1955. Perolehan suara NU tidak hanya terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu
selanjutnya, yaitu pemilu 1971 NU juga berhasil memperoleh suara yang cukup besar.
Keberhasilan NU ini dinilai karena kemampuan NU menggalang solidaritas dilingkungan kaum
santri, serta adanya dukungan penuh dari basis tradisionalnya.

Melihat sejarah diatas, dapat dikatakan bahwa NU memiliki pengalaman dan basis politik yang
kuat. Namun, pada tahun 1983, atas hasil Munas ke-86, telah diputuskan bahwa NU sudah
tidak lagi berkecimpung didalam politik dan menjadi organisasi keagamaan yang murni. Tetapi
perlu diketahui bahwa hal tersebut tidak menghilangkan status NU sebagai organisasi massa
yang besar dan solidaritas massa yang kuat. Hal tersebut terbukti pada pemilu pasca orde baru
tahun 1998, dimana pada pemilu 1998, PKB yang merupakan partai baru dan partai yang
menjadi wadah berpolitik warga NU, memperoleh suara yang cukup besar. Kesatuan suara
warga NU untuk memilih PKB sebagai wadah berpolitiknya tidak berlangsung lama, karena pada
pemilu 2009, PKB mengalami penurunan suara yang cukup signifikan. Hal tersebut dikarenakan
adanya konflik internal antar para elite yang ada didalam tubuh PKB, dan kemudian berakibat
pada perpecahan di basis masa PKB khususnya warga NU. Seperti yang telah diketahui bahwa
ada tiga pilar utama yang menjadi penyangga kekuatan NU, yaitu Kiai, Pesantren, dan aktor
politiknya. Konflik kepentingan sebenarnya tidak hanya terjadi di masa PKB. Pada saat NU
masih berkecimpung dalam dunia politik konflik kepentingan juga sering terjadi, seperti pada
saat NU masih bergabung dengan Masyumi dan PPP. Dan sebenarnya, karena hal-hal
tersebutlah NU memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926. NU merasa bahwa dengan terlalu
asyik dalam politik, NU telah melalaikan tugas-tugas sosial keagamaan dan pendidikan.
Orientasi praktis yang serba politis itu mengakibatkan NU terjerumus kedalam pola yang serba
taktis politis untuk memperebutkan keuntungan politik yang sifatnya hanya sementara. Sikap
dan tindakan NU selalu dikaitkan dengan orientasi untung rugi dari segi kepentingan politik
semata. Selain itu, dengan terjun ke dalam politik, NU takut akan kehilangan tujuan utamanya,
yaitu mempersatukan umat Islam ke dalam suatu wadah yang bernama NU, yang disebabkan
oleh perbedaan kepentingan dalam politik. Oleh karena itu, pada pemilu 2014 NU tidak lagi
menjadi alat pencapai kepentingan para elite-elite politik, yang hanya memanfaatkan kekuatan
solidaritas massa NU. Dan menjadikan warga NU yang berada dibawah tercerai berai karena
kepentingan para aktor politiknya. Izzato Millati, pengajar di Pondok Pesantren Putri
Alkenaniyah, Pulomas, Jakarta Timur. Alumni hubungan internasional UMY dan Pascasarjana
Fisip UI.

C.Nu Kembali Ke Khittah 1984 Sampai Sekarang


Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) setiap lima tahun sekali. Forum permusyawaratan tertinggi organisasi tersebut
bertujuan untuk membahas laporan pertanggungjawaban PBNU masa khidmat sebelumnya,
membahas Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), membahas program kerja
lima tahun mendatang, rekomendasi tentang solusi masalah nasional dan internasional dalam
perspektif fiqih dan ilmu-ilmu pendukung lainnya, serta memilih Rais dan Ketua Umum PBNU
untuk lima tahun mendatang.

Dalam periode awal, Muktamar NU diselenggarakan setiap tahun sekali karena begitu
banyaknya masalah yang dibahas oleh para alim ulama dan sekaligus sebagai syi'ar Islam ala
ahlussunnah wal jamaah atau aswaja. Karena merupakan syi'ar Islam aswaja, muktamar jauh
dari hiruk pikuk politik praktis, melainkan NU hadir memberikan solusi terhadap permasalahan
yang ada dan sekaligus melindungi umat dari tekanan-tekanan dari kaum penjajah dengan
menggelorakan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman.Pada periode awal tersebut,
agenda utama NU adalah merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
serta memperkuat integrasi nasional dengan memperkuat ideologi nasional Pancasila dan
konstitusi UUD 1945. Sebagai puncaknya lahir pernyataan Presiden RI berupa Dekrit Presiden 5
Juli 1959 kembali pada Pancasila dan UUD 1945 setelah kegagalan majelis konstituante dalam
merumuskan dasar negara dan tidak diterimanya UUDS 1950.

Setelah itu, NU disibukkan dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan terhadap


pemerintahan yang sah, sehingga NU mengeluarkan pernyataan tentang status Presiden RI
sebagai waliyul amri dlaruri bi syaukah. Pada tahun 1955 NU berubah dari organisasi sosial
keagamaan menjadi peserta pemilu sebagai partai politik dengan memperoleh suara tiga besar
setelah PNI dan Masyumi. Namun demikian Muktamar tidak lagi diselenggarakan setiap tahun,
melainkan setiap lima tahun sekali hingga sekarang, meskipun sejak 1984 melalui Muktamar ke-
27 NU di Situbondo Jawa Timur tahun 1984 menyatakan diri bukan sebagai partai politik atau
bagian dari partai politik, melainkan kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi sosial
kemasyarakatan keagamaan.Kembalinya NU sebagai organisasi keagamaan karena disinyalir
bahwa setelah pemilu 1971 pemerintah orde baru melakukan penyederhanaan partai politik
sehingga NU difusikan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Meskipun dukungan massa
NU cukup besar, kader NU tidak diperbolehkan menjadi Ketua Umum PPP. Dari sini nampak
adanya upaya 'mengecilkan yang besar' dan 'membesarkan yang kecil'. Sinyalemen tersebut
tidak sepenuhnya benar, karena faktor utama NU kembali ke khittah 1926 karena evaluasi diri
atau muhasabah terhadap kinerja NU bahwa tujuan berdirinya organisasi para ulama tersebut
adalah untuk memberlakukan ajaran Islam aswaja. Karena itu sesuai hasil muhasabah tersebut
dinyatakan bahwa NU akan lebih bermanfaat atau efektif kinerjanya jika bergerak sebagai
organisasi keagamaan dan bukan sebagai partai politik atau bagian dari partai politik.

Kini 37 tahun sudah NU kembali ke khittah 1926 yang berarti khidmat NU kepada bangsa dan
negara dalam bidang agama, pendidikan, dakwah, ekonomi, dan sosial mulai dirasakan
manfaatnya. Namun demikian diakui, NU terlihat masih tertinggal dalam bidang ekonomi,
namun sangat menonjol dalam bidang politik kebangsaan dengan memperkuat integrasi
bangsa.Karena itu setelah 37 tahun kembali ke khittah, seyogyanya NU menjadikan Muktamar
sebagai ajang silaturahim, tasyakuran atas pembangunan Indonesia, tukar gagasan dan
sekaligus tholabil ilmi untuk perbaikan khidmat jamiyah dengan program atau rencana kegiatan
yang lebih bermanfaat, khususnya bidang ekonomi guna meningkatkan taraf hidup masyarakat
di seluruh pelosok tanah air Indonesia. Wallahu a'lam bisshawab

Anda mungkin juga menyukai