Anda di halaman 1dari 14

Latar Belakang Dan Nasab

KH. Abdul Wahab Hasbullah lahir di Jombang, 31 Maret 1888. Ayah beliau adalah Kiai Hasbullah Said, pengasuh
Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah. Kiai Hasbullah adalah
putra dari Nyai Fatimah binti Abdus Salam (Kiai Sihah) yang tak lain adalah saudara kandung Nyai Layyinah binti
Abdus Salam, ibu dari Nyai Halimah (ibunda Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari).

Pendidikan

Masa pendidikan KH. Abdul Wahab dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama
kurang lebih 20 tahun, beliau secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena
tumbuh di lingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini beliau diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat
dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barzanji, diba’, dan sholawat.
Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah
ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul.

Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan
malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Kiai Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan
membaca Al-Qur’an dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang
paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul
Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Abdul Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir,
Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.

Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan
cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, beliau dididik
langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, KH. Abdul Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka
beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.

Di antara pesantren yang pernah disinggahi KH. Ahmad Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy‘ari.

Khusus di Pesantren Tebuireng, beliau cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun,
beliau menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah
pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut.

Setelah merasa cukup bekal dari para ulama di Jawa dan Madura, beliau ke Makkah untuk belajar pada ulama
terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama Jawa yang ada di sana seperti Syaikh Mahfudz Termas dan
Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selain belajar agama saat di Makkah itu, beliau juga mempelajari
perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.

Peranan Dalam Bidang Sosial Dan Kebangsaan

KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan ummat Islam Indonesia, khususnya di
lingkungan Nahdhiyyin. Beliau merupakan seorang ulama besar Indonesia yang menekankan pentingnya
kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu KH. Abdul Wahab
membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada tahun 1914 M.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan
berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan
kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di
kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan
dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum
saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi
tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula
kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan
dan dunia politik.

Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul
Afkar merupakan warisan terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Beliau telah mencontohkan kepada
generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa
keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme
umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum
muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan analisis keislaman.

Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, KH. Abdul Wahab bersama KH. Mas Mansyur
menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan
kedudukan badan hukumnya pada 1916 M. Dari organisasi inilah KH. Abdul Wahab mendapat kepercayaan dan
dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu
adalah KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH. Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), KH. Alwi Abdul Aziz,
KH. Ma’shum (Lasem) dan KH. Cholil (Kasingan Rembang).

Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 M. KH. Abdul Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan
saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia.
KH. Hasyim Asy’ari memimpin organisiasi ini. Sementara KH. Abdul Wahab menjadi sekretaris dan
bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah KH. Bisri Syansuri.

Di tengah gencarnya usaha melawan penjajahan muncul persoalan baru di dunia Islam, yaitu terjadinya ekspansi
gerakan Wahabi dari Najed, Arab Pedalaman yang menguasai Hijaz tempat suci Makkah dikuasai tahun 1924 M
dan menaklukkan Madinah 1925 M.

Persoalan menjadi genting ketika aliran baru itu hanya memberlakukan satu aliran, yakni Wahabi yang puritan dan
ekslusif. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali yang selama ini hidup berdampingan di Tanah
Suci itu, tidak diperkenankan lagi diajarkan dan diamalkan di Tanah Suci. Anehnya, kelompok modernis Indonesia
setuju dengan paham Wahabi.

KH. Abdul Wahab lantas membentuk Komite Khilafat beranggotakan para ulama pesantren, dengan nama Komite
Hijaz atas izin KH. Hasyim Asy’ari. Komite ini bertujuan untuk mencegah cara beragama model Wahabi yang
tidak toleran dan keras kepala, yang dipimpin langsung Raja Abdul Aziz.

Untuk mengirimkan delegasi ini diperlukan organisasi yang kuat dan besar, maka dibentuklah organisasi yang
diberi nama Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926. KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama Syaikh
Ghonaim al-Misri yang diutus mewakili NU untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibnu Saud. Usaha ini direspon baik
oleh raja Abdul Aziz.

Beberapa hal penting hasil dari Komite Hijaz ini di antaranya adalah, makam Nabi Muhammad SAW dan situs-
situs sejarah Islam tidak jadi dibongkar serta dibolehkannya praktik madzhab yang beragam, walaupun belum
boleh mengajar dan memimpin di Haramain.

Seorang Inspirator GP Ansor

Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan
antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang
bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah,
tokoh tradisional dan KH. Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang
berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun
setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH. Abdul Wahab Hasbullah -yang kemudian
menjadi pendiri NU- membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).

Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami
perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama
(ANO).

Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah —ulama besar sekaligus guru besar kaum muda
saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah
yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO
dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para
sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai
dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan
membentengi ajaran Islam.

Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur
organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau
24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU. Dimasukkannya ANO
sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH.
Mahfudz Siddiq, KH. Wahid Hasyim, KH. Dachlan.

Karya Dan Pemikiran

Selain ahli dalam bidang politik, KH. Abdul Wahab adalah seorang ulama tauhid dan juga fiqih yag sangat
mendalam dan luas pengetahuannya. Dengan ilmunya itu, itu dengan mudah mampu menerapkan prinsip-prinsip
fiqih dalam kehidupan modern secara progresif, termasuk dalam bidang fiqih siyasah.

Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan Fikih Ahlussunnah Wal Jama’ah, menunjukkan kedalaman penguasanya di
bidang ilmu dasar tersebut. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi perjalanan Ahlusunnah Waljamaah di
lingkungan NU.

Dalam tiap bahtsul masail muktamar NU, beliau selalu memberikan pandangannya yang mampu menerobos
berbagai macam jalan buntu (mauquf) yang dihadapi ulama lain.

KH. Abdul Wahab sadar betul mengenai pentingnya pendidikan masyarakat umum. Karena itu dirintis beberapa
majalah dan surat kabar seperti Berita Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Soeara Nahdlatoel
Oelama, Duta Masyarakat, dan sebagainya. Beliau sendiri aktif salah seorang penyandang dananya dan sekaligus
sebagai penulisnya. Propaganda di sini juga sangat diperlukan dan media ini sangat strategis dalam
mepropagandakan gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu semakin memperoleh relevansinya ketika
KH. Mahfudz Siddiq dan KH. Wahd Hasyim turut aktif dalam menggerakkan pengembangan media massa itu.

Keluarga

Pada tahun 1914 M. KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan putri Kiai Musa yang bernama Maimunah.
Sejak itu beliau tinggal bersama mertua di kampung Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak
laki-laki pada tahun 1916 M bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun,
pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua
menjalankan ibadah haji pada tahun

1921 M.

Setelah itu KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, putri Kiai Alwi.
Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebab setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu
juga untuk ketiga kalinya beliau menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah
nama istri ketiganya ini. Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena istrinya
meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, putri Kiai Sa’id, seorang pedagang
dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang
selanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas. Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai
Asnah meninggal dunia.

Kemudian KH. Abdul Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah,
anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah beliau
memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama KH. A. Syaichu.

Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku KH. Abdul Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang
menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setelah itupun beliau menikah kembali untuk yang keenam
kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak
berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini
beliau dikaruniai empat orang anak.

Pernikahan beliau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah.
Dengan perempuan inilah pernikahan KH. Abdul Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir
hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah,
Muhammad Hasib dan Raqib.

Wafat

KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pads tanggal; 29 Desember 1971, empat hari setelah beliau terpilih kembali
sebagai Rais Aam pada Muktamar NU di Surabaya.
KH Abdul Wahab Hasbullah Pemikir Progresif NU
Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualitas umat beragama dan
kadar keimanan seorang Muslim.

KH Abdul Wahab Hasbullah adalah salah satu ulama besar yang dimiliki Indonesia. Kiai Wahab
merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), bersama dengan KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri
Syansuri.

Ketokohan dan keilmuan yang dimilikinya, telah diakui sejumlah kalangan, apalagi di lingkungan organisasi
Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Wahab merupakan pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dan
membaginya dalam dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai upaya menyatukan dua generasi berbeda, yakni
kalangan tua dan muda.

Tahun 1916, ia mendirikan organisasi Islam bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Kemudian pada
1926, ia ditunjuk sebagai ketua Tim Komite Hijaz yang dikirim ke Makkah untuk bertemu dengan Raja Saud
(Arab Saudi), yang bermazhab Wahabi, Ketika itu, gerakan Wahabi di Makkah berencana untuk menghancurkan
berbagai situs Islam agar tidak menjadi ‘berhala’ bagi umat. Kiai Wahab meminta kebijakan Raja Saud untuk
situs-situs Islam tidak dihancurkan. Tujuannya agar umat bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari situs-situs
tersebut. Persoalan ini pula yang melandasi pemikiran KH Hasyim Asy’ari untuk mendirikan Nahdlatul Ulama
tahun 1926.

Saat pendudukan Jepang di Indonesia, Kiai Wahab pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah). Dan
ketika melawan Jepang ini, bersama pasukannya, Kiai Wahab berhasil membebaskan KH M Hasyim Asy’ari dari
penjara. Dan setelah Indonesia merdeka, pengasuh pondok pesantren Tambak Beras, Jombang, ini pernah pula
menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), bersama dengan Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa.

Haus akan Ilmu


KH Wahab Hasbullah dilahirkan pada Maret 1888, di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, dan wafat pada 29
Desember 1971. Ayahnya, Kiai Said, adalah pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, sedangkan
ibunya bernama Fatimah.

Semenjak kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan.
Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup seorang santri. Ia diajak shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan
malam hari untuk shalat tahajud.

Tak hanya itu, sang ayah juga membimbingnya untuk menghafalkan Juz Amma dan membaca Alquran dengan
tartil dan fasih. Lalu ia dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil (tipis) dan isinya
diperlukan untuk amaliyah sehari-hari hingga yang tebal. Misalnya, Kitab Safinah Annaja, Fath al Qorib, Fath al-
Mu’in, Fath al-Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Ia juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulum al-Qur’an, Hadits,
dan Ulum al-Hadits.

Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan
cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun Abdul Wahab berada dalam asuhan
langsung ayahnya.

Kemudian, ia menghabiskan masa remajanya dengan menimba ilmu di sejumlah pesantren. Ia pernah belajar di
Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang. Ia juga pernah berguru
kepada Syekh R Muhammad Kholil dari Bangkalan Madura dan KH M Hasyim Asy’ari, pengasuh Pesantren
Tebuireng Jombang.
Tak puas hanya belajar di pesantren-pesantren tersebut, pada usia sekitar 27 tahun, pemuda Abdul Wahab pergi ke
Makkah untuk menuntut ilmu. Di tanah suci itu, ia mukim selama lima tahun dan belajar pada Syekh Mahfudz at-
Tirmasi (Termas, Pacitan) dan Syekh al-Yamani. Setelah pulang ke Tanah Air, ia langsung diterima oleh umat
Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan.

Tashwirul Afkar
Di kalangan pesantren, sosok KH Abdul Wahab Hasbullah dikenal sebagai seorang ulama yang berpandangan
modern. Ia selalu menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagaman, terutama kebebasan berpikir dan
berpendapat di kalangan umat Islam Indonesia.

Untuk itu, ia mendirikan surat kabar, yaitu harian umum Soeara Nahdlatul Oelama atau juga dikenal dengan
Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama.

Kiai Wahab juga membentuk kelompok diskusi antarulama, baik di lingkungan NU, Muhammadiyah, dan
organisasi Islam lainnya, pada 1914 di Surabaya. Kelompok diskusi bentukan Kyai Wahab ini diberi nama
Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran).

Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi, berkat prinsip kebebasan
berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan
kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di
kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan
dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum
saling tukar informasi antartokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi
tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan, gaungnya
sampai ke daerah-daerah lain di seluruh Jawa.

Tak hanya mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul, kelompok ini juga menggalang kaum
intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan
progresivitas berpikir dan bertindak, akhirnya kelompok diskusi ini menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda
yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.

Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kiai Wahab bersama KH Mas Mansur
menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya
pada 1916. Dari organisasi inilah KH Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren
yang sepaham dengan pemikirannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kiai Bisri Syamsuri (dari
Denanyar Jombang), Kiai Abdul Halim (Leimunding Cirebon), KH Alwi Abdul Aziz, Kiai Ma’shum (Lasem), dan
Kiai Cholil (Kasingan Rembang). Sementara di kalangan pemudanya disediakan wadah, Syubban al-Wathan
(Pemuda Tanah Air).
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kiai Wahab dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan
warisan terpenting bagi kaum Muslim Indonesia.

Ia telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat
dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan
mengurangi ruh spiritualitas umat beragama dan kadar keimanan seorang Muslim. Dengan prinsip kebebasan
berpikir dan berpendapat, kaum Muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan
pisau analisis keislaman.

Pada 1920, Kiai Wahab bersama dengan Dr Soetomo merintis terbentuknya Islam Studie Club. Melalui Islam
Studie Club, kedua tokoh pergerakan ini merintis sebuah gerakan yang kelak menjadi cikal bakal munculnya
pemikiran yang memberikan arah bagi kerja sama antara kekuatan Islam dan Nasionalis menuju terciptanya
tatanan masyarakat maju dan modern tanpa mengenyampingkan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan sumbangan
terbesar yang diberikan seorang ulama kepada bangsa.

Melalui Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Syubban al-Wathan, maupun Islam Studie Club solidaritas di
kalangan kaum pergerakan dan tokoh keagamaan kian memuncak. Hal ini menimbulkan dampak makin
bergeloranya semangat cinta Tanah Air di kalangan pemuda. ed:sya
Mengembangkan Dakwah Melalui Media

Bersama tokoh NU lainnya, Kiai Wahab pernah membeli sebuah percetakan beserta sebuah gedung sebagai pusat
aktivitas NU di Jalan Sasak 23 Surabaya. Dari sini kemudian ia merintis tradisi jurnalistik modern dalam NU. Ini
dilandasi oleh pemikirannya yang sederhana, yaitu bagaimana menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan
efisien yang selama ini dijalankan melalui dakwah panggung dan pengajaran di pesantren.

Dari percetakan ini kemudian diterbitkan majalah tengah bulanan Soeara Nahdlatul Oelama. Selama tujuh tahun
majalah ini dipimpin Kiai Wahab sendiri. Teknis redaksional dari majalah tersebut lalu disempurnakan oleh Kiai
Machfudz Siddiq dan namanya diganti menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Di samping itu diterbitkan pula Suluh
Nahdlatul Ulama, lalu Terompet Anshor, dan majalah berbahasa Jawa Penggugah. Dari tradisi kepenulisan ini NU
pernah melahirkan jurnalis-jurnalis ternama, seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri, dan Mahbub Junaidi. Juga
memiliki surat kabar prestisius seperti Duta Masyarakat. nidia ed:sya

Inspirator GP Ansor

Keberadaan Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor) tidak terlepas dari peran KH Abdul Wahab Hasbullah.
Kelahiran organisasi pemuda NU ini berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang
muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan
mubaligh, dan pembinaan kader.

KH Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya
menempuh arus gerakan yang berbeda justru di saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi
kepemudaan Islam.

Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924, para pemuda yang mendukung KH Abdul Wahab Hasbullah
membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal
bakal berdirinya GP Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU
(PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).

Penggunaan nama Ansor ini merupakan saran KH Wahab Hasbullah. Nama ini diambil dari nama kehormatan
yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela
dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian, keberadaan GP Ansor dimaksudkan dapat mengambil hikmah
serta teladan terhadap sikap, perilaku, dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor
tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong,
pejuang, dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan, dan membentengi ajaran Islam.

Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur
organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada 10 Muharram 1353 H atau 24 April
1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU.

Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai
muda seperti KH Machfudz Siddiq, KH A Wahid Hasyim, KH Dachlan Kertosono, Thohir Bakri, dan Abdullah
Ubaid serta dukungan dari ulama senior KH Abdul Wahab Hasbullah.

Pada masa penjajahan Jepang, keberadaan organisasi-organisasi pemuda, termasuk ANO, diberangus. Setelah
revolusi fisik (1945-1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Mohammad Chusaini Tiway, mengemukakan ide untuk
mengaktifkan kembali ANO. Ide ini mendapat sambutan positif dari KH A Wahid Hasyim, Menteri Agama RIS
kala itu. Maka, pada 14 Desember 1949 lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan nama baru, yakni
Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih pupuler disingkat GP Ansor).
an Memori Kuliah yang Tercecer

 Beranda
 Profil

15 April 2013

NAHDLATUL ULAMA

Diposkan oleh kelas C di 20.17

Label: Materi PAI

Oleh:

Mad Solihin FITK PAI IIC

1. Pengertian Nahdlatul Ulama


Nahdlatul Ulama1[1], disingkat NU, artinya kebangkitan ulama. Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama
pada tanggal 31 Januari 1926 M/ 16 Rajab 1344 H. Tujuan organisasi ini adalah untuk melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan menmganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali).

2. Sejarah Nahdlatul Ulama

Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan polotik dunia islam
kala itu. Pada tahun 1924, Syarif Husein, Raja Hijaz (Mekkah) yang berpaham Sunni ditaklukan oleh Abdul Aziz bin Saud
yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliyah keagamaan ala kaum
Sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantikannya dengan model Wahabi.
Pengalaman agama dengan sistem bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi akan segera dilarang. Petilasan-
petilasan penting dalam sejarah islam, seperti makam para sahabat Nabi, bahkan Makam Rasululloh SAW pun akan
digusur.

Tidak hanya itu, Raja Saud ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia islam. Dengan dalih demi
kejayaan islam, ia berencana meneruskan kekhilafahan islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah Usmaniyah.
Yaitu kesultanan Khalifah Islamiyah di Turki yang terjungkal akibat revolusi yang dipimpin oeleh Kemal Ataturk. Untuk itu
dia berencana menggelar Muktamar Khilafah di Kota Suci Mekkah sebagai penerus Khilafah yang terputus itu.

Seluruh negara Islam diundang untuk menghadiri muktamar tersebut , termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang
direkomendasiakan adalah HOS Cokroaminoto (SI), K.H. Mas Maskur (Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah
(pesantren). Namun, ada permainan licik dia antara kelompok yang mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan
alasan K.H. Wahab Hasbullah tidak mewakili organisasi resmi, maka namanya dicooret dari daftar calon utusan.

Peristiwa itu menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi para ulama pengasuh pesantren sekaligus
menyadarkan akan pentingnya sebuah organisasi. Oleh karena itu, dibentuklah “Komite Hijaz”, sebuah panitia yang
bertugas untuk memobilisasi kekuatan dan dukungan umat, serta untuk menyuarakan aspirasi ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah Indonesia terkait dengan tindakan yang akan dilakukan oleh Raja Saudi Arabia yang melarang dan membid’ahkan
beberapa amalan kaum Sunni.

Delegasi dalam Komite Hijaz tersebut terdiri dari KH. Wahab Hasbullah sebagai Ketua, Syaikh Ghonaim seorang
warga Mesir sebagai penasehat dan KH. Dahlan Nganjuk 2[2] seorang warga Indonesia yang bermukim di Mekkah sebagai

1[1] Nama Nahdlatul Ulama ini diciptakan oleh KH. Mas Alwi Abdul Aziz dari Surabaya yang bermula dari ide KH. Abdul
Hamid dari Sedayu, Gresik.

2[2] Dalam sebuah literatur lain mennyebutkan bahwa nama dari santri yang bermukim di Mekkah adalah Dahlan Abdul
Qohar.
sekretaris (untuk menghemat biaya). Akhirnya rekomendasi tersebut berhasil disetujui oleh pihak Kerajaan Saudi. Dengan
demikian, akhirnya hingga kini umat islam sedunia yang melakukan Haji bisa berziarah ke makam Rasulllah SAW.

3. Kelahiran dan Perkembangan NU

Sejak Komite Hijaz berhasil melakukan misinya, maka kemudian disepakati bahwa komite ini tidak dibubarkan ,
akan tetapi ditrasnformasikan menjadi organisasi/jam’iyyah dengan nama Nahdlatul Ulama pada tanggal 16 Rajab 1344 H/
31 Januari 1926 M di rumahnya KH. Ridwan Abdullah (Bubutan, Surabya). Dengan susunan pengurus PBNU pertama (1912)
sebagai berikut :

Syuriah :

Rois Akbar : KH. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari

Wakil Rois Akbar : KH. Dahlan Ahyad, Kebondalem (Surabaya)

Katib Awal : KH. Abdul Wahab Hasbullah (Jombang)

Katib Tsani : KH. Abdul Chalim (Cirebon)

A’wan : KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)

KH. Ridwan Abdullah (Surabaya)

KH. Said (Surabaya)

KH. Bisri Syansuri (Jombang)

KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)

KH. Nahrowi (Malang)

KH. Amin (Surabaya)

KH. Masjkuri (Lasem)

KH. Nahrowi (Surabaya)

Mustasyar : KH. Asnawi (Kudus)

KH. Ridwan(Semarang)
KH. Mas Nawawi, Sidogiri (Pasuruhan)

KH. Doro Muntoho (Bangkalan)

Syaikh Ghonaim al-Misri (Mesir)

KH. R. Hambali (Kudus)

Tanfidziyah :

Ketua : H. Hasan Gipo ( Surabaya)

Sekretaris : M. Sidiq Sugeng Jododiwirjo (Pemalang)

Bendhara : H. Burhan (Gersik)

Pembantu : H. Soleh Sjamil ( Surabaya)

H. Ichsan (Surabay)
H. Dja’far Alwan (Surabaya)

H. Usman (Surabaya)

H. Ahzab (Surabaya)

H. Nawawi (Surabaya)

H. Dachlan (Surabaya)

H. Mangun (Surabaya)

Jam’iyyah Nahdlatul Ulama pada hakekatnya merupakan kelanjutan dari organisasi yang telah ada sebelumnya,
dilatarbelakangi oleh keprihatinan para Kiai dalam melihat realitas kehidupan ekonomi umat islam dibawah cengkraman
kolonial Belanda yang bertambah menjadi-jadi, mengakibatkan terjebaknya masyarakat Indonesia dalam kemiskinan
struktural dan termajinalkannya kaum santri dari pusat-pusat gerakan ekonomi, menambah kelemahan umat dari upaya
memperdayakan diri sebagai suatu bangsa. Maka dibentuklah organisasi yang disebut Nahdlatut Wathan (Kebangkitan
Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri
(Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya
didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Baru kemudian setelah kelahiran
beberapa organisasi di atas, dibentuklah Kmite Hijaz (1924) yang kemudian ditransformasikan menjadi Jami’yyah Nahdlatul
Ulama pada tahun 1916.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip
dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan
dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial,
keagamaan dan politik.

4. Lambang NU
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa setiap organisasi pastilah mempunyai lambang yang didalamnya
mengandung filosofi tersendiri. Begitupun dengan Nahdlatul Ulama, organisasi ini mempunyai lambang yang diciptakan
oleh KH. Ridwan Abdullah (Surabaya) dari hasil istikharahnya.

Lambang NU ini terdiri dari gambar bumi yang dikelilingi oleh tampar yang mengikat dengan untaian tampar
tersebut berjumlah 99,lima bintang dia tas bumi ( yang tengah berukuran paling besar) dan empat bintang dibawah bumi,
dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf arab yang melintang dari sebelah kanan gambar bumi ke sebelah kiri,
semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.

Makna lambang NU :

a. Bumi (bola dunia) : bumi adalah tempat manusia berasal, menjalani hidup dan kembali. Sesuai dengan Surat Thaha ayat 55.
b. Tampar yang melimpar dalam porsi mengikat : tali ukhuwah (persaudaraan) yang kokoh. Sesuai dengan ayat 103 Surat Ali
Imron.
c. Peta Indonesia : melambangkan bahwa Nahdlatul Ulama didirikan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan Republik
Indonesia.
d. Dua simpul ikatan di bagian bawah melambangkan hubungan vertikal kepada Allah (hablum minallah), dan hubungan
horisontal dengan sesama manusia (hablum minannas).
e. Untain tampar berjumlah 99 melambangkan nama-nama Allah terpuji bagi Allah (Asmaul Husna) yang 99.
f. Empat bintang melintang diatas bumi bermakna Khuulafaur Rasyidin yang terdiri dari Abu Bakar as-Shiddiq ra, Umar bin
Khatab ra, Utsman bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib kw.
g. Satu bintang besar terletak di tengah melambangkan Rasullah SAW.
h. Empat bintang di bawah bumi melambangkan empat imam madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah yang terdiri dari Hanafi,
Hambali, Maliki dan Syafi’i.
i. Jumlah bintang seluruhnya sembilan, bermakna Walisongo (sembilan wali) penyabar isalm di tanah Jawa.
j. Tulisan Nahdlatul Ulama dengan huruf arab melintang bumi, berarti nama organisasi yang berarti kebangkitan ulama.
k. Warna dasar hijau bermakna kesuburan.
l. Tulisan warna putih bermakna kesucian.
5. Struktur Kepengurusan
Struktur Organisasi NU

1. PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) untuk tingkat Pusat.


2. PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) untuk tingkat Propinsi.

3. PCNU (PengurusCabang Nahdlatul Ulama) untuk tingkat Kabupaten/Kota.

4. MWC (Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama) untuk tingkat Kecamatan.

5. Pengurus Ranting untuk tingkat Desa/Kelurahan.

Stuktur Lembaga Kepengurusan NU


1. Mustasyar (Penasehat)
2. Syuriah (Pimpinan Tertinggi)

 Rois Aam
 Wakil Rois Aam
 Beberapa Rois
 Katim Aam
 Beberapa Wakil Katib
 A’wan

3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

 Ketua Umum
 Beberapa Ketua
 Sekretaris Jendral
 Beberapa Wakil Sekjen
 Bendahara
 Beberpa Wakil Bendahara
Stuktur Organisasi Lajnah, Banom, dan Lembaga

1. PP (Pimpinan Pusat)
2. PW (Pimpinan Wilayah) Untuk tingkat Provinsi
3. PC (Pimpinan Cabang) untuk tingkat Kabupaten/Kota
4. PAC (Pimpinan Anak Cabang) untuk tingkat kecamatan.
5. Ranting untuk tingkat kelurahan/desa dan Komesariat untuk tingkat di suatu tempat tertentu.
6. Perangkat
1. Badan Otonom
Badan Otonom adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi melaksanakan kebijakan Nahdlatul
Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.

Badan Otonom dikelompokkan dalam katagori Badan Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu, dan Badan
Otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya.

Jenis Badan Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu adalah:

(1) Muslimat Nahdlatul Ulama disingkat Muslimat NU untuk anggota perempuan Nahdlatul Ulama.

(2) Fatayat Nahdlatul Ulama disingkat Fatayat NU untuk anggota perempuan muda Nahdlatul Ulama berusia maksimal 40
(empat puluh) tahun.
(3) Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama disingkat GP Ansor NU untuk anggota laki-laki muda Nahdlatul Ulama yang
maksimal berusia 40 (empat puluh) tahun.

(4) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama disingkat IPNU untuk pelajar dan santri laki-laki Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia
30 (tiga puluh) tahun.

(5) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama disingkat IPPNU untuk pelajar dan santri perempuan Nahdlatul Ulama yang
maksimal berusia 30 (tiga puluh) tahun.

Badan Otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya:

Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah untuk anggota Nahdlatul Ulama pengamal tharekat yang mu'tabar.

(2) Jam'iyyatul Qurra Wal Huffazh, untuk anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi Qori/Qoriah dan Hafizh/Hafizhah.

(3) Ikatan Sarjana Nahdlalul Ulama disingkat ISNU adalah Badan Otonom yang berfungsi membantu melaksanakan
kebijakan Nahdlatul Ulama pada kelompok sarjana dan kaum intelektual.

(4) Serikat Buruh Muslimin Indonesia disingkat SARBUMUSI untuk anggota Nahdlatul ulama yang berprofesi sebagai
buruh/karyawan/tenagakerja.

(5) Pagar Nusa untuk anggota Nahdlatul Ulama yang bergerak pada pengembangan seni bela diri.

(6) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama disingkat PERGUNU untuk anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi sebagai guru dan
atau ustadz.

2. Lajnah
Lajnah adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama untuk melaksanakan program Nahdlatul Ulama yang
memerlukan penanganan khusus.

1. Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, disingkat LFNU, bertugas mengelola masalah ru'yah, hisab dan pengembangan IImu
Falak.

2. Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama, disingkat LTNNU, bertugas mengembangkan penulisan, penerjemahan dan
penerbitan kitab/buku serta media informasi menurut faham Ahlussunnah wal Jamaah.

3. Lajnah Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama, disingkat LPTNU, bertugas mengembangkan pendidikan tinggi Nahdlatul
Ulama.

3. Lembaga
Lembaga adalah perangkat departementasi organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan
Nahdlatul Ulama, khususnya yang berkaitan dengan bidang tertentu.

1. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama disingkat LDNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang
pengembangan agama Islam yang menganut faham Ahlussunnah wal Jamaah.

2. Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama disingkat LP Maarif NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama
dibidang pendidikan dan pengajaran formal.

3. Rabithah Ma'ahid al Islamiyah disingkat RMI, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama dibidang
pengembangan pondok pesantren dan pendidikan keagamaan.

4. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama disingkat LPNU bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang
pengembangan ekonomi warga Nahdlatul Ulama.

5. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama disingkat LPPNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul
Ulama di bidang pengembangan pertanian, lingkungan hidup dan eksplorasi kelautan.

6. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama disingkat LKKNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama
di bidang kesejahteraan keluarga, sosial dan kependudukan.

7. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia disingkat LAKPESDAM, bertugas melaksanakan kebijakan
Nahdlatul Ulama di bidang pengkajian dan pengembangan sumber daya manusia.

8. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama disingkat LPBHNU, bertugas melaksanakan pendampingan,
penyuluhan, konsultasi, dan kajian kebijakan hukum.

9. Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia disingkat LESBUMI, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama
dibidang pengembangan seni dan budaya.

10. Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama disingkat LAZISNU, bertugas menghimpun, mengelola dan
mentasharufkan zakat dan shadaqah kepada mustahiqnya.

11. Lembaga Waqaf dan Pertanahan Nahdlatul Ulama disingkat LWPNU, bertugas mengurus, mengelola serta
mengembangkan tanah dan bangunan serta harta benda wakaf lainnya milik Nahdlatul Ulama.

12. Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama disingkat LBMNU, bertugas membahas masalah-masalah maudlu'iyah
(tematik) dan waqi'iyah (aktual) yang akan menjadi Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

13. Lembaga Ta'mir Masjid Nahdlatul Ulama disingkat LTMNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang
pengembangan dan pemberdayaan Masjid.

14. Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama disingkat LKNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang
kesehatan.

7. Garis-garis Besar Pemikiran Nahdlatul Ulama


Nahdlatul Ulama mendasarkan paham Keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’
(kesepakatan para sahaabt dan Ulama) dan al-Qiyas (analogi).

Dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya di atas, NU mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jama’ah
dan menggunakan jalan pendekatan madzhab :

1. Dalam bidang aqidah, NU mengikuti paham Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipelopori oleh imam Abul Hasan al-Asy’ari dan
Imam Abu Mansur al-Maturidi.
2. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab) salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man,
Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bi Idris as-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
3. Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghozali, serta imam-imam lainnya.

Anda mungkin juga menyukai