Anda di halaman 1dari 6

BIOGRAFI K.

H ABDUL CHALIM LEWIMUNDING


JURNAL
Disusun untuk Memenuhi Tugas UAS Mata kuliah Sejarah perjuangan umat Islam
Indonesia
Dosen Pengampu: Dr. Abdul Haris, M.Pd

OLEH :
JUANDA 22101015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH & ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
TASIKMALAYA
2023
KH. Abdul Chalim dilahirkan di Leuwimunding pada tanggal 2 Juni 1898. Ia
putra Kedung Wangsagama dan ibu Satimah. Ayahnya seorang Kuwu (kepala desa dengan
wilayah yang luas) dan ia sangat disegani. Putra dari seorang kuwu juga, bernama Kedung
Kertagama, putra dari Buyut Liuh yang merupakan seorang pejuang republik. Putra seorang
Pangeran Cirebon, sehingga silsilah KH. Abdul Chalim pun bersambung kepada Sunan Gunung
Djati (Syarif Hidayatullah). KH. Abdul Chalim menghabiskan masa kecilnya bersekolah di
Sekolah H I S (Hollandsch Inlandsche School). Kemudian, Ia belajar di beberapa pesantren di
wilayah Leuwimunding dan Rajagaluh, di antaranya Pondok Pesantren Banada, Pondok Pesantren
al-Fattah Trajaya, dan Pondok Pesantren Nurul Huda al Ma’arif Pajajar. Pada tahun 1913,
KH. Abdul Chalim naik haji dan belajar di Mekkah.

KH. Abdul Chalim pada saat belajar di Mekkah bertemu dan berkawan antara lain dengan KH.
Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Asnawi Kudus. Ia tercatat sebagai anggota SI (Syarikat Islam)
termuda cabang Mekkah. Ia berguru kepada beberapa ulama Mekkah, yang antara lain KH.
Mahfud Termas, dan pada tahun 1914 KH. Abdul Chalim bersama dengan beberapa temannya
kembali ke IndonesIa

KH. Abdul Chalim sekembalinya dari Mekkah Ia berkhidmat kepada kedua orang tuanya, yaitu
membantu untuk menyelesaikan tugas tugas ayahnya. Setelah ayahnya meninggal dunia Ia teringat
akan temannya KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan komitmennya untuk ikut serta
memerdekakan Indonesia . Maka pada tahun 1922 Ia berangkat ke Surabaya dengan berjalan kaki
selama 14 hari untuk menanamkan dan menebalkan nasionalisme dan kecintaanya terhadap tanah
air. Pada hari ke-12 beliau singgah di Pondok Pesantren Tebuireng dan tinggal sehari semalam di
Tebuireng untuk mendapatkan bimbingan, pengarahan dan nasehat dari KH. Hasyim Asy’ari, dari
sinilah mulai terbangun komunikasi intensif dengan KH. Hasyim Asy’ari.

KH. Abdul Chalim setibanya di Surabaya. Ia langsung bergabung dengan KH. Abdul Wahab
Hasbullah. Untuk membantu menangani dan memanage organisasi organisasi yang telah dirintis
oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, yaitu Nahdlatul Wathan dan Taswirul Afkar.

Dengan kepiawaian dan kepandaiannya dalam memanage organisasi maka organisasi-organisasi


tersebut berkembang pesat sehingga terbentuk Nahdlatul Wathan di berbagai cabang, yaitu
Sidoarjo dan Gresik dan cabang cabang yang lain. Nahdlatul Wathan yaitu tempat pengkaderan
dan pengkursusan para pemuda yang dipersiapkan untuk menjadi para pemimpin bangsa, untuk
periode 1924 dipimpin langsung oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Chalim
sebagai sekretarisnya dengan jumlah peserta sebanyak 65 peserta. Mereka berdua juga bertindak
sebagai tutor dan karena kepandaian mereka dalam melakukan Tahrikil Afkar (memotivasi dan
membangkitkan semangat) utamanya untuk kemerdekaan maka Nahdlatul Wathan pada periode
ini setelah menyelesaikan program kurikulumnya menjelma menjadi Syubbanul Wathan yang
diketuai oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Chalim bertindak sebagai sekretarisnya

KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Chalim mulai tahun 1922 merupakan dua orang
sahabat senior dan juniornya yang tidak pernah berpisah, saling harga menghargai dan saling
menghormati, keduanya adalah anak-anak muda yang cerdas antisipatif dan penuh kreatif.

Mereka senantiasa mendapatkan bimbingan dan pantauan serta pengarahan dari KH. Hasyim
Asy’ari. Sehingga pada saat mereka memimpin Syubbanul Wathan mereka mendirikan komite
Hijaz yang bertugas untuk mengundang ulama-ulama pesantren dengan agenda untuk mendirikan
organisasi Ulama – ulama Pesantren, meresponkejadian yang terdapat di Hijaz dan agenda
utamanya adalah untuk kemerdekaan IndonesIa.

Susunan kepengurusan komite Hijaz ini penasehatnya adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan
KH. Abdul Chalim ditempatkan sebagai wakil sekretaris untuk memudahkan
percepatan penjabaran konsep-konsep organisasi. Ketuanya Hasan Gipo, sedangkan wakil
ketuanya Shaleh Syamil dan sekretarisnya Muhammad Shodiq.

KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Chalim setelah mendirikan komite Hijaz segera
mereka mengkonsep surat yang ditulis oleh KH. Abdul Chalim di Kertopaten, Surabaya.
Kemudian surat tersebut dikirimkan ke ulama – ulama besar pesantren seluruh Jawa dan Madura
yang pengirimannya dikoordinir oleh KH. Abdul Chalim. Yang agendanya adalah untuk
mengkonsep surat yang ditujukan kepada Raja Abdul Azis dalam rangka merespon apa yang
rencana dilakukan oleh Raja abdul Azis, untuk menghancurkan situs-situs Nabi termasuk makam
Nabi.

Agenda kedua adalah untuk mendirikan organisasi para Ulama Pesantren, sedangkan agenda
utamanya adalah untuk kemerdekaan Negara Republik IndonesIa. Surat yang ditulis dan
dikirimkan kepada Ulama – ulama pesantren dan pengirimannya dikoordinir oleh KH. Abdul
Chalim mendapatkan respon yang luar bIasa dari para ulama, mereka semuanya hadir untuk
memenuhi undangan tersebut.

Komite Hijaz pada tanggal 31 Januari 1926 yang bertepatan dengan 16 Rajab 1344
H menyelenggarakan pertemuan yang diikuti oleh 65 ulama, yang antara lain KH. Hasyim Asy’ari
Tebuireng, KH. Ahmad Dahlan Ahyat Surabaya, KH. Abdul Wahab Hasbullah Surabaya, KH.
Abdul Chalim, KH. Abdullah Ridhwan Surabaya , KH. Mas Alwi Surabaya, KH. Dara Muntaha
Bangkalan, KH. Ridhwan Semarang, KH. Zubeir Sarang, KH. Asnawi Kudus, KH. Mas Nawawi
Sidogiri.

Dengan menelurkan beberapa keputusan, antara lain ;

1. Pokok – pokok pikiran dari surat yang dikirim kepada Raja Abdul Azis di Makkah

2. Memutuskan nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama sebagai pengirim dari surat yang akan dikirim.
Nahdlah diambilkan dari nama Nahdlatul Wathan, sedangkan ulama

dari para ulama yang hadir saat itu.

3. Menetapkan delegasi yang akan mengirimkan surat adalah KH. Asnawi Kudus 4. Terus
mengobarkan semangat untuk kemerdekaan.

Setelah ditetapkannya pengirim surat ini adalah Nahdlatul Ulama, maka saat itu pula
disusun pengurus intinya Syuriah, Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ari, Wakil Rais KH. Ahmad
Dahlan Ahyat, Katib Awwal KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Katib Tsani KH. Abdul Chalim.

Sedangkan susunan Tanfidziyahnya diambilkan dari pengurus komite Hijaz, ketuanya


Hasan Gipo, Wakilnya Shalih Syamil dan sekretarisnya Muhammad Shodiq dan Bendaharanya
H. Burhan. Kelengkapan susunan pengurusnya diserahkan kepada pengurus inti dan
dikoordinir oleh KH. Abdul Chalim.

Dari hal tersebut di atas, yang membedakan KH. Abdul Chalim dengan 65 pendiri NU yang
lainnya, KH. Abdul Chalim sebagai penulis surat dan koordinator pengiriman surat, KH. Abdul
Chalim yang mengusulkan agar isi surat tersebut tujuan pertamanya yaitu kemerdekaan Republik.

KH. Abdul Chalim sejak tahun 1922 bertempat tinggal di Kedung Sroko gg. 5 Surabaya untuk
terus berjuang bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah menggerakkan dan memanage organisasi
dan mendirikan sekolah – sekolah, antara lain sekolah – sekolah yang didirikannya di Kedung
Sroko Surabaya, di Bubutan dan Kebon Dalem Surabaya, tetapi sesekali juga pulang ke Jawa
Barat, ke Cirebon dan Majalengka untuk mendirikan cabang – cabang Nahdlatul Ulama di Jawa
Barat dan menggerakkan semangat perlawanan terhadap penjajah.

Selanjutnya, KH. Abdul Chalim juga ditugaskan di Semarang untuk mendirikan cabang – cabang
Nahdlatul Ulama di Jawa Tengah dan membina sekolah – sekolah di Semarang. Ia terus berjuang
bersama dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah untuk mengembangkan Nahdlatul Ulama. Ia
senantiasa hadir dalam setIap muktamar Nahldatul Ulama hingga akhir hayatnya, ikut serta aktif
dan memberikan kontribusi.

KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Chalim sempat tersendat komunikasi mereka saat
penjajahan Jepang, karena Jepang mengawasi ketat terhadap keberadaan organisasi – organisasi.
tetapi setelah berakhirnya penjajahan Jepang, Kembali aktif komunikasi KH. Abdul Wahab
Hasbullah dan KH. Abdul Chalim, dan mereka juga terus mendapatkan bimbingan dan pengarahan
dari KH. Hasyim Asy’ari.

KH. Abdul Chalim selain sebagai teman kepercayaan KH. Abdul Wahab Hasbullah, Ia juga
sebagai orang kepercayaan KH. Hasyim Asy’ari. Pada tahun 1945 di Bulan November sebagai
orang yang pernah menempuh rute Cirebon ke Surabaya pada tahun 1922,

Ia diminta oleh KH. Hasyim Asy’ari untuk bersama – sama dengan KH. Abbas Buntet
dalam membawa pasukan ke Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945. KemudIan di
zaman kemerdekaan, sebagai seorang ahli hikmah dan pemberani Ia melakukan
tugasnya menyadarkan para Kyai yang terprovokasi oleh PKI yang memplesetkan singkatannya
Parta Kyai IndonesIa dan menyadarkan para Kyai yang terpengaruh oleh propaganda DI TII
(Darul Islam Tentara Islam IndonesIa) untuk kembali ke pangkuan Republik, baik di Jawa
Barat ataupun di Makassar.

Perjalanan dan pengalaman KH. Abdul Chalim dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah pada saat di
Makkah, KH. Abdul Chalim menjadi pendamai dari ketegangan yang kadang- kadang terjadi
anatara KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Asnawi Kudus. Dan pada saat di Surabaya, di
Nahdlatul Wathan menjadi pendamai dari ketegangan yang kadang terjadi antara KH. Abdul
Wahab Hasbullah dan KH. Mas Alwi Surabaya, dan menjadi komunikator yang intensif antara
KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Hasyim Asy’ari dalam pendirIan organisasi Nahdlatul
Ulama, Sehingga KH. Abdul Chalim mendapatkan laqob “Mushlikhu Dzatil Bain” (pendamai dari
kedua pihak yang berselisih).

Gelar lain yang dimiliki KH. Abdul Chalim yaitu Muharrikul Afkar yaang artinya penggerak dan
pembangkit semangat perjuangan. Dan KH. Abdul Wahab Hasbullah memilki juga
gelar Muharrikul Afkar dan secara khusus beliau memiliki gelar Badrul Ihtifal yang artinya Singa
Podium atau pusat perhatian hadirin.

KH. Abdul Chalim wafat dan dikebumikan di Leuwimunding pada tanggal 12 Juni 1972 dalam
keadaan terkelungkup. Di sebelahnya terbuka buku tergeletak bulpoin tengah menuliskan sya’ir
yang menggambarkan ketika seseorang akan meninggalkan kehidupan, pada pukul 11.30
menjelang Dhuhur, setelah sebelumnya pada pukul 10.00 mengumpulkan seluruh anggota
keluarganya untuk diberikan nasehat. KH. Abdul Chalim kedapatan meninggal dunia oleh istrinya
saat mengantarkan makan siang.

*) Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA adalah putra ke-21 KH Abdul Chalim yang kini Ketua
Umum Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) dan pendiri serta pengasuh
Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto Jawa Timur

Anda mungkin juga menyukai