Anda di halaman 1dari 9

Kawih, Tembang, dan Cianjuran

Dian Hendrayana

Hingga saat ini kerap terjadi kekeliruan penggunaan istilah kawih dan tembang di
kalangan masyarakat luas, terlebih dalam pengajaran di sekolah dan perguruan tinggi.
Kekeliruan yang dimaksud adalah pengertian yang menyebutkan bahwa kawih merupakan
kebalikan dari tembang, juga sebaliknya. Cara mengartikannya pun kemudian dinegasikan,
bahwa kawih sebagai materi lagu yang memiliki irama tandak (terikat, memiliki aturan serta
memiliki ketukan yang konstan), sedangkan istilah tembang diartikan sebagai materi lagu yang
memiliki irama merdeka (bebas, tidak memiliki aturan atau tidak memiliki ketukan yang
konstan).
Kondisi ini berimbas pada istilah cianjuran. Istilah cianjuran, dalam kehidupan sehari-
hari di masyarakat, sering diidentikkan maknanya dengan tembang. Tidak jarang pengertian
cianjuran pun disamakan dengan tembang Sunda, mamaos, juga dengan tembang sunda cianjuran.
Padahal masing-masing istilah tersebut; tembang, tembang sunda, mamaos, tembang sunda
cianjuran, dan cianjuran memiliki makna serta silsilahnya masing-masing.

Kawih
Istilah kawih muncul pada naskah Sunda kuno Sanghyang Siksakandang Karesian (SSKK,
1518 M). Mengutip apa yang pernah dikemukakan Saleh Danasasmita, Nurhamsah pun
mengungkapkan istilah kawih yang terdapat dalam naskah SSKK diduga kuat memiliki arti
sebagai seni suara khas Sunda yang di dalamnya terdiri atas berbagai jenis lagu dan besar
kemungkinan materi tersebut dinyanyikan (2019, hlm. 89). Terlebih istilah kawih tersebut
dihubungkan dengan istilah paraguna yang berarti sebagai ahli karawitan (karagunan). Pun
demikian dengan Wibisana dkk., yang menyebutkan bahwa kawih-kawih yang terdapat pada
naskah SSKK seperti Kawih Bwatuha, Kawih Sisindiran, Kawih Porod Eurih dan sebagainya
merupakan lagu atau nyanyian (Wibisana, 2000, hlm. 388). Hanya saja, jenis serta bentuk kawih-
kawih atau lagu yang tertulis pada naskah SSKK tersebut tak lagi dikenali. Sebagaimana pernah
diungkapkan Ayatrohaedi dalam sebuah seminar tahun 1998, beberapa kawih bisa ditelusuri
ihwal amsalnya, seperti kawih sisindiran yang dicurigai sebagai lagu yang bersumber pada
sisindiran (puisi pantun dalam sastra Indonesia), kawih sasambatan yang dicurigai sebagai lagu
bertemakan kepedihan hati hingga harus nyambat (merajuk, memohon) sambil terisak dan
menghiba.
Hal yang patut digarisbawahi di sini adalah, melalui naskah SSKK, terdapat keterangan
bahwa hingga tahun 1518 M (abad XVI), masyarakat Sunda telah memiliki materi seni suara
atau nyanyian yang dinamakan kawih. Dua naskah Sunda kuno lainnya Kawih Pangeuyeukan
(Kropak 407) dan Kawih Paningkes (Kropak 419) yang oleh para ahli diperkirakan ditulis pada
kisaran abad XVI, bahkan dalam judulnya telah menyebutkan istilah kawih. Bahkan pada
naskah Kawih Pangeuyeukan yang kemudian diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia dalam bentuk buku berjudul Kawih pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Sunda dan Teks-
teks Lainnya, disebutkan bahwa teks naskah kuno tersebut pada masa lampau diduga sudah
biasa dinyanyikan (2014, hlm. 6). Dengan kata lain, istilah kawih dalam naskah Sunda kuno
memiliki arti lagu atau nyanyian, atau teks puisi untuk dinyanyikan.
Sejalan dengan uraian di atas, Moriyama (2005, hlm. 55) menuliskan bahwa masyarakat
Sunda zaman dulu (hingga abad XIX) telah mengenal lagu atau nyanyian yang disebut dengan
istilah kawih. Wibisana (2000, hlm. 387) menyebutkan kawih atau yang disebut kakawihan sudah
berlaku pada masyarakat Sunda sejak lama dan biasa dilantunkan di kalangan masyarakat
kebanyakan, bukan kaum bangsawan. Sementara itu sastrawan Sunda yang juga sangat
mengerti seni karagunan (ilmu musik Sunda), MA Salmun, dalam Musyawarah Tembang Sunda
1962 menyebutkan nyanyian yang biasa dilantunkan pada seni pantun sebagai kawih pantun,
yakni golongan kawih kolot (lagu orang dewasa) di samping kawih dalam dongeng, kawih untuk
menimang, kawih kamonesan, dan kawih roronggengan.
Hal yang sangat menarik adalah apa yang oleh MA Salmun disebut sebagai kawih
pantun. Menurut MA Salmun, kawih pantun adalah lagu pada seni pantun terutama pada bagian
rajah pamuka, nataan, serta rajah pamunah. Baik pada bagian rajah pamuka, maupun bagian nataan,
serta rajah pamunah jika ditransliterasi akan jelas terlihat berbentuk puisi (oktasilabik). Sang juru
pantun (pemantun, semacam dalang pada seni wayang golek), dalam melantunkan ketiga bagian
tersebut menggunakan lagu berirama merdeka, terbebas dari ketukan yang konstan. Sekali lagi,
terhadap lagu pada seni pantun tersebut MA Salmun menyebutnya sebagai kawih pantun, yang
memiliki pola musikal berirama merdeka.
Selain kawih pantun, kawih-kawih peninggalan leluhur masyarakat Sunda yang berirama
merdeka adalah beluk. Beluk sejatinya merupakan teriakan melengking yang dilantunkan dan
digunakan di saat seseorang yang tengah bekerja di ladang atau di hutan (Hendrayana, 2012,
hlm. 186). Pelantunan beluk dimaksudkan untuk mengetahui apakah seseorang yang tengah
berada di ladang atau di hutan tersebut masih berkawan atau sendirian. Beluk bisa disamakan
pula fungsinya dengan kode. Jika kebetulan seseorang itu masih berkawan, maka sang kawan
akan menyahutinya dengan teriakan melengking pula. Teriakan melengking yang memiliki
nada-nada serta kontur melodi yang khas tersebut kemudian berkembang dan dibubuhi nilai
estetika berupa kontur melodi yang lebih sempurna (Hendrayana, 2012, hlm. 188). Maka
menjelmalah teriakan melengking tersebut menjadi komposisi melodi yang lebih utuh bernilai
musikal.
Contoh lantunan dengan menggunakan gaya beluk yang lebih tegas akan terdengar
(diterapkan) dalam komposisi melodi (non verbal) lantunan ngawuluku (membajak sawah);
sang pembajak sawah akan melantunkan melodi-melodi tersebut secara bebas dan penuh
improvisasi, memiliki struktur melodi berirama merdeka. Gaya lantunan beluk juga kerap
diterapkan pada lantunan kawih pantun dan tembang wawacan (Hendrayana, 2016, hlm. 24).
Dalam perkembangannya, selain terdapat kawih yang ada dan berkembang hingga
abad XVIII, maka muncullah kemudian seni suara baru, yakni pupujian dan tembang. Yus
Rusyana (dalam Rosidi, 2011, hlm. 89) menyebutkan bahwa kawih pupujian adalah lagu
masyarakat Sunda yang berupa puja-puji kepada Allah Swt., do’a dan permohonan tobat,
sholawat kepada rosul-Nya, memohon safaat kepada rosulullah, nasihat, serta pengajaran
keagamaan. Rosidi (2011, hlm. 90) menyebutkan lagu pupujian banyak berupa syair dan biasa
dilantunkan di mesjid-mesjid dan pesantren; pupujian ini merupakan pengaruh Islam yang
pada abad XVII di wilayah Sunda mulai berdiri masjid-mesjid dan pesantren.
Setelah pupujian, kemudian muncul pula kawih baru yang disebut dengan tembang
sekitar abad XVIII. Kawih pupujian merupakan lagu yang teksnya merupakan syair-syair dari
bangsa Timur-tengah, sedangkan kawih atau nyanyian yang berbentuk tembang adalah lagu
yang menggunakan aturan pupuh; lagu ini merupakan pengaruh dari Mataram. Biasanya
dilantunkan dalam pembacaan naskah wawacan (Rosidi, 2011, hlm. 11). Tentang keberadaan
wawacan, Wibisana (2000, hlm. 767), menyebutkan bahwa tradisi menembangkan wawacan
sangat populer di akhir abad XIX dan awal XX, bahkan seperti yang disebutkan Rosidi (2013,
hlm. 32) bentuk wawacan ini dianggap sebagai puncak cita-cita kesusastraan Sunda yang paling
indah.
Hingga pertengahan abad XIX, masyarakat Sunda telah mengenal jenis-jenis kawih atau
jenis nyanyian seperti kawih sisindiran, kawih pantun, kawih beluk, kawih kaulinan, kawih pupujian,
serta kawih tembang. Jenis-jenis kawih Sunda yang berkembang hingga saat ini sudah begitu
banyak. Pembeda dari berbagai jenis tersebut bisa jelas terlihat di antaranya dari alat musik
yang mengiringinya. Maka dikenallah kawih degung, kawih celempungan, kawih kacapian, kawih
calung, kawih reog, kawih cianjuran, kawih jaipongan, hingga kawih pop Sunda. Pada perkembangan
selanjutnya, sering ditemukan materi kawih degung diadopsi menjadi kawih pop Sunda seperti
yang terjadi pada lagu Cinta gubahan Nano S; ada lagu kawih kacapian yang diadopsi menjadi
kawih pop Sunda seperti yang terjadi pada lagu Dalingding Asih gubahan Ubun Kubarsah; ada
juga lagu dari kawih kliningan yang kemudian diadopsi menjadi kawih pop Sunda seperti yang
terjadi pada lagu Bangbung Hideung. Ataupun sebaliknya, lagu Ulah Ceurik gubahan Oon B yang
kita kenal sebagai lagu pop Sunda kemudian diadopsi menjadi lagu kliningan (album Ulah
Ceurik dengan sinden Uun, produksi Jugala Recording).

Tembang
Nyaris di setiap media massa, para jurnalis kerap keliru mendudukkan istilah tembang.
Tak jarang para jurnalis menuliskan tembang untuk seluruh materi lagu Sunda. Para jurnalis
tersebut boleh jadi mengunduh istilah tembang yang berlaku pada musik Indonesia, seperti
penggunaan istilah tembang kenangan untuk lagu-lagu bernuansa nostalgia; atau dalam
penggunaan frasa tembang-tembang hit untuk lagu-lagu populer mutakhir (Komarudin, 2001,
hlm. 50). Istilah tembang yang dimaksud jelas merujuk pada lagu, apapun jenisnya.
Merujuk pada apa yang ditulis Ajip Rosidi (2013, hlm. 70-81), materi tembang bukanlah
asli milik masyarakat Sunda. Materi ini merupakan kiriman dari Mataram saat invansi ke tatar
Sunda pada abad XVII. Materi ini berbentuk aturan puisi yang disebut pupuh. Materi pupuh
yang dikenal di masyarakat Sunda terdiri atas 17 aturan. Masing-masing aturan memiliki nama
tersendiri yang kita tahu sebagai Asmarandana, Kinanti, Magatru, Mijil, Dangdanggula, Sinom, dan
sebagainya. Dalam budaya Jawa, pupuh yang biasa dilantunkan pada tembang macapat hanya
terdiri atas 11 (sebelas) jenis saja, sedangkan dalam budaya Bali hanya dikenal 10 (sepuluh)
pupuh saja (Hendrayana, 2015, hlm. 24).
Kamus Umum Basa Sunda LBSS (1985, hlm. 521), menerangkan istilah tembang sebagai
lemesna tina sekar, basa dangdingan make aturan pupuh; nembang, lemesna mamaos, ngalagukeun
tembang. Sementara itu dalam Kamus Sacadibrata (2004, hlm. 489) dituliskan tembang, nembang
(mamaos) ngalagu nurutkeun aturan pupuh (menyanyi berdasarkan lirik yang menggunakan
aturan pupuh: Sinom, Asmarandana, dst). Sedangkan Kamus Danadibrata (2006, hlm. 692)
menuliskan bahwa tembang, lagu jelema dina pupuh (nyanyian manusia yang menggunakan teks
dengan aturan pupuh). Dalam khazanah sastra Sunda, Ruhaliah (2019, hlm. 69) menyebutkan
guguritan sebagai puisi yang berupa ungkapan hati seperti rasa gembira, asmara, kenangan,
kesedihan, amarah dan ditulis dengan manggunakan aturan pupuh. Guguritan adalah puisi
(dangding) yang ditulis dengan aturan pupuh untuk mengekspresikan perasaan hati,
sedangkan wawacan adalah puisi dangding yang ditulis untuk menceritakan kisahan atau
mendeskripsikan atau menguraikan suatu bahasan (Ruhaliah, 2018, hl. 10). Pupuh, atau aturan
menulis dangding, yang terdapat dalam khazanah sastra Sunda terdapat 17 (tujuh belas), yakni
Kinanti, Sinom, Asmarandana, Dangdanggula, Mijil, Pangkur, Durma, Gurisa, Gambuh, Ladrang,
Lambang, Maskumambang, Balakbak, Magatru, Pucung, Wirangrong, dan Jurudemung.
Pengertian tembang yang diambil dari ketiga kamus bahasa Sunda tadi, diperoleh
gambaran bahwa yang dimaksud tembang adalah lagu yang menggunakan lirik berbentuk
dangding (puisi Sunda yang ditulis menggunakan aturan pupuh, terdiri atas dua jenis yakni
wawacan dan guguritan). Artinya jika ada lagu yang menggunakan lirik dari wawacan atau
guguritan, maka serta-merta lagu tersebut disebut tembang.
Tradisi tembang bagi masyarakat Sunda baru populer setelah Pajajaran runtuh dan
terkena pengaruh Mataram (Sumardjo, 2011, hlm. 108). Budaya membaca terhadap naskah
wawacan tentu saja merupakan pengaruh Mataram, setelah kesultanan Mataram di era Sultan
Agung merangsek ke wilayah pulau Jawa bagian Barat di pertengahan paruh pertama abad
XVII.
Materi tembang ada yang memiliki irama merdeka, ada juga yang memiliki irama tandak.
Demikian halnya dengan materi kawih, yang secara kodrati memiliki komposisi musikal irama
tandak dan irama merdeka. Materi tembang yang berirama tandak di antaranya seperti yang bisa
kita temui pada lagu panambih dalam seni cianjuran, yakni lagu yang menggunakan pupuh
Kinanti adalah Campaka, Ditilar, Soropongan, Sukingki, Lembur Singkur, Padepokan, Padesan,
Kapigandrung, Panembrama, Tablo, Panineungan, Gaya Sari, Duh Asih, Ceurik Abdi, dll;
Asmarandana Candana, Duda, Lumengis, Midangdam, Panglejar, Puspawangi, Sungkawa Manah,
Lara-lara, Haliwawar, Kasawang, Kumalayang, dll; Sinom Rénggong Gedé, Puspawana, Gandrung
Gunung, Bulan Pangharepan, Iraha, Karang Gantung, Lalagasan, Pageuh Tekad, Toropongan,
Muntang Ngeumbing, Pangrumat, Sangkuriang, dll; Dangdanggula Gunung Putri, Méga Malang,
Déwi Asri, serta Udeg-udeg. Bahkan lirik lagu kawih kacapian Wengi Enjing Tepang Deui gubahan
Mang Koko (lirik karya Tatang Sastrawiria) menggunakan pupuh Kinanti.

Tembang Sunda
Istilah tembang Sunda merujuk pada tembang yang ada pada masyarakat Sunda. Merujuk
pada etnografi atau etnologi, label Sunda yang disematkan di belakang variabel tembang, harus
dibaca sebagai pembeda dari tembang Jawa dan tembang Bali (Hendrayana, Tribun Jabar, 2015).
Sebagaimana kita ketahui, pada masyarakat Bali dan terutama Jawa, dikenal pula entitas sastra
(lagu, sekar) yang bernama pupuh.
Sedikitnya, masyarakat Sunda mengenal dua materi tembang Sunda; yakni tembang
ciawian, dan tembang cigawiran. Tembang ciawian adalah lagu pasantrenan dari daerah Ciawi
Tasikmalaya, sedangkan tembang cigawiran adalah lagu pasantrenan dari daerah Limbangan
Garut. Baik tembang ciawian maupun tembang cigawiran keduanya merupakan lagu di
lingkungan pesantren dengan bersumber pada materi pupuh (puisi dangding), baik wawacan
maupun guguritan. Keduanya dibedakan oleh lagam dan gaya.

Tembang Sunda Cianjuran


Istilah tembang sunda cianjuran merujuk pada lagu-lagu tembang yang berada dalam seni
cianjuran. Lagu-lagu ini tertuju pada materi wanda Rarancagan dan wanda Dedegungan, karena
kedua jenis (wanda) materi lagu tersebut sama-sama menggunakan teks yang menggunakan
aturan pupuh (Hendrayana, 2015, hlm. 30).
Selain wanda Rarancagan dan wanda Dedegungan, lagu poko dalam cianjuran terdiri atas
lagu-lagu wanda Papantunan (dan Jemplang), serta Kakawen. Baik lagu wanda Papantunan maupun
wanda Kakawen, keduanya tidak menggunakan teks berbentuk dangding (pupuh); wanda
Papantunan menggunakan puisi pantun, sedangkan wanda Kakawen menggunakan puisi sekar
Kawi. Oleh karena itu, baik wanda Papantunan dan wanda Kakawen tidak bisa disebut sebagai
sebagai tembang Sunda Cianjuran, karena keduanya tidak menggunakan teks berbentuk pupuh.
Lagu-lagu panambih pada seni cianjuran pun banyak yang menggunakan lirik dengan
menggunakan puisi guguritan. Karenanya, terhadap lagu-lagu panambih tersebut bisa
disebutkan sebagai tembang sunda cianjuran, yakni materi tembang yang berada dalam wilayah
seni cianjuran.

Cianjuran
Cianjuran adalah seni suara khas Sunda dari daerah Cianjur yang hidup hingga
sekarang. Seni cianjuran bermula dari lagu-lagu kreasi hasil olah pikir dan kreativitas Bupati
Cianjur, RAA Kusumaningrat (atau yang lebih dikenal dengan nama Dalem Pancaniti), yang
memerintah Kabupaten Cianjur pada periode 1834-1863 M. Lagu-lagu kreasi yang dikerjakan
Bupati Cianjur tersebut tercipta dan terinspirasi dari kawih atau nyanyian yang terdapat pada
seni pantun, yang disebut dengan kawih pantun. Adapun cerita pantun yang dijadikan sumber
insprirasi adalah kisah Mundinglaya di Kusumah. Pada perkembangannya, lagu-lagu kreasi yang
tercipta dari kawih pantun tersebut kemudian diberikan istilah Papantunan, Lagu Pantun, atau
Lagu Pajajaran. Dengan kata lain, kawih pantun yang terdapat pada seni pantun diadaptasi
menjadi kawih-kawih papantunan (atau lagu Pantun, Lagu Pajajaran), serta kawih-kawih
papantunan inilah yang merupakan bagal (cikal bakal) seni cianjuran seperti yang dikenal pada
saat ini.
Sejak terbentuknya lagu papantunan di paruh kedua abad XIX tersebut, materi seni suara
khas daerah Cianjur ini telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Hingga tahun
1930-an, materi seni suara khas Cianjur tersebut setidaknya telah memiliki 6 (enam) wanda
(jenis) yakni Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan, Dedegungan, Kakawen, dan Panambih
(Sukanda, Enip, dkk., 2016, hlm. 23). Keenam materi ini, menjadi penanda bahwa seni cianjuran
memiliki berbagai jenis dengan latar belakang serta silsilahnya masing-masing hingga
memunculkan pembedanya secara mandiri di antara jenis-jenis tersebut.
Sebetulnya, penamaan Papantunan baru diberlakukan sekitar tahun 1950, di saat
masyarakat pecinta dan peminat cianjuran mulai menggeliat kembali setelah masa vacuum
akibat zaman pendudukan Jepang dan masa revolusi kemerdekaan. Adapun yang memberikan
nama Papantunan adalah para pengamat atau para pemikir seni cianjuran. Masyarakat Cianjur
sendiri, terutama mereka yang hidup di dalam Pendopo dan sekitarnya, menyebut materi yang
dikreasikan oleh R.A.A. Kusumaningrat ini sebagai kawih pantun, atau lagu pantun, atau pantun
saja, atau lagu pajajaran (Sukanda dalam Wiradiredja, 2014, hlm. 23).
Pada awal kemunculannya, materi kawih papantunan ini biasa dilantunkan hanya di
lingkungan padaleman. Itupun berlaku di antara sang bupati (Kangjeng Dalem Pancaniti)
bersama para seniman padaleman (Sukanda dalam Wiradiredja, 2014, hlm. 12). Kegiatan
tersebut dilakukan pada malam hari, sebagai upaya penghalusan dan penajaman konsep atas
gubahannya dari materi kawih pantun tadi. Biasanya, sang bupati meminta pertimbangan
kepada para seniman kadaleman atas materi yang dikreasikannya itu demi berkembang ke arah
yang lebih sempurna. Seperti biasa pula, para seniman kadaleman selalu menyetujuinya sebagai
hasil olah kreasi yang sangat bagus dan bernilai luhung.
Kegiatan melantunkan materi lagu papantunan seraya dibarengi dengan kegiatan
evaluasi dan penajaman konsep tersebut senantiasa dilakukan pada malam hari, di kala santai
setelah siang harinya suntuk melakukan pekerjaannya masing-masing. Bahkan setelah
Kangjeng Dalem wafat (tahun 1863) terhadap materi kawih papantunan ini masih sering
dilantunkan di lingkungan padaleman hingga akhir abad XIX.
Secara musikal, lagu-lagu papantunan yang dikreasikan sang Dalem Cianjur ini memiliki
ciri khas tersendiri, yakni didominasi dengan nada 2 (mi) dan 5 (la). Lagu-lagu papantunan
yang merupakan hasil kreasi RAA Kusumaningrat tersebut adalah Pangapungan, Mupu
Kembang, Kaléon, Putri Ninun, Layar Putri, Balagenyat, Manyeuseup, Randegan Kendor, Randegan
Gancang, Rajamanatri, Tatalégongan, Mangu-mangu, serta Nataan Gunung. Dalam
perkembangannya, terutama di akhir abad XIX hingga awal abad XX, muncul lagu kreasi baru
(masih) dari para seniman kadaleman dengan memunculkan lagu berdominasi nada 1 (da,
barang) dan 4 (ti). Adapun jika ditransliterasi, lirik dari teks tersebut bisa berupa sisindiran
(paparikan), atau berupa puisi pantun. Karena secara teknik dalam melantunkannya masih
seperti gaya papantunan, maka para seniman dan masyarakat sekitarnya kerap menyebutnya
sebagai Pantun Barang (Hendrayana, 2016, hlm. 10). Istilah ini untuk melabelisasi lagu
Papantunan, namun bertumpu pada nada barang dan nada ti. Selanjutnya, lagu-lagu pantun
barang ini dikenal sebagai wanda jejemplangan.
Baru pada awal abad XX, di saat Kabupaten Cianjur berada di bawah Bupati R.A.A.
Prawiradiredja II (1862-1910), dengan generasi seniman padaleman yang sudah berganti, terjadi
pengembangan atas kreasi yang sudah digagas oleh Kangjeng Dalem Pancaniti. Pengembangan
tersebut merupakan pengayaan materi baru (yang berbeda dengan kawih Papantunan) dan
pengayaan lagu-lagu. Pengayaan lagu tersebut bukan berdasarkan seni pantun, melainkan dari
tembang rancag, yakni lantunan lagu sederhana berdasarkan teks dangding, biasa berlaku pada
seni mamaca atau membaca teks wawacan. Tradisi tembang rancag dengan menggunakan naskah
wawacan di abad XIX berlaku hampir di daerah-daerah yang termasuk wilayah Priangan,
termasuk di Kabupaten Cianjur.
Para seniman padaleman di bawah arahan Bupati Prawiradiredja II inilah yang kemudian
mengkreasikan tembang rancag dengan cara memperhalus dan memperindah dalam sisi
lantunan. Penghalusan materi tembang rancag menjadi materi baru tersebut, menurut para ahli,
hampir sama prosesnya dengan kreativitas Kangjeng Dalem Pancaniti ketika menggubah
materi baru dari materi kawih pantun. Kalau saja Kangjeng Dalem Pancaniti menggubah kawih
pantun dan di kemudian hari dikenal sebagai materi Papantunan, maka pada zaman Kangjeng
Dalem Prawiradiredja II materi hasil dari kreasi tersebut di kemudian hari dikenal sebagai
Rarancagan (Hendrayana, 2015, hlm. 32).
Secara sederhana yang disebut Rarancagan adalah lantunan kreasi baru di zaman Bupati
R.A.A. Prawiradiredja II yang dikreasikan oleh para seniman kadaleman (dengan arahan sang
bupati) dengan bersumber dari tembang rancag. Terhadap kreasi baru yang digubah atas dasar
seni mamaca ini orang Cianjur kerap menyebutnya sebagai mamaos, yakni bentuk bahasa halus
dari kata mamaca, artinya membaca teks wawacan yang dilantunkan. Istilah mamaos bagi orang
Cianjur sejatinya adalah penyebutan bagi materi cianjuran wanda Rarancagan, yang lagunya
berdasarkan teks dangding.
Pada tahun 1912, kedudukan Bupati Cianjur dipegang oleh R.A.A. Wiranatakusumah V
yang menggantikan R. Demang Natakusumah (1910-1912). R.A.A. Wiranatakusumah ini
merupakan menantu dari R.A.A. Prawiradiredja II. Pada era Kangjeng Dalem R.A.A.
Wiranatakusumah V inilah muncul lagi kreasi lagu baru. Lagu hasil kreasi zaman bupati ini
tidak bersumber pada materi seni pantun atau juga seni mamaca, melainkan bersumber pada
seni degung. Perlu diketahui bahwa hingga saat itu (tahun 1910-1920-an) seni degung hanya
berupa musik instrumentalia. Pada era ini, para seniman kadaleman dengan arahan R.A.A.
Wiranatakusumah V melakukan kreasi baru dengan melahirkan lagu-lagu bentukan baru
dengan bersumber pada melodi-melodi tabuhan degung instrumentalia. Lagu baru ini muncul
dengan menggunakan materi dangding, terutama dari materi guguritan; di kemudian hari, lagu
gubahan baru tersebut dikenal sebagai wanda Dedegungan, atau lebih tepatnya tembang
Dedegungan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada dasawarsa 1920-an, di Cianjur muncul lagi
gubahan baru yang dikreasikan bukan dari seni pantun, tembang rancag, atau seni degung,
melainkan dari kawih seni wayang. Lagu gubahan baru tersebut menggunakan lirik seperti
yang berlaku pada kawih pawayangan (yang banyak menggunakan Bahasa Jawa). Materi kreasi
baru tersebut di kemudian hari dikenal sebagai wanda Kakawen.
Masih dalam dasawarsa 1920-an, muncul juga gubahan bentuk baru yang dikreasikan
dari kawih-kawih tandak (berirama konstan) yang tersebar di masyarakat. Sukanda (1990, hlm.
12) menyebutnya sebagai kawih-kawih gamelan, atau kawih rakyat yang biasa disenandungkan
dalam saat-saat tertentu. Pada perkembangan selanjutnya, materi bentuk baru ini dinamakan
sebagai Lagu Panambih.
Maka hingga tahun 1930, di Cianjur terdapat materi seni suara yang bersandar pada
lagu-lagu Papantunan yang digagas Kangjeng Dalem Pancaniti, yakni materi Papantunan,
Jejemplangan, Rarancagan, Dedegungan, Kakawen, dan Panambih. Keenam jenis lagu ini di
kemudian hari dikenal sebagai kelompok seni suara yang khas yang muncul di daerah
Kabupaten Cianjur, dan kemudian oleh masyarakat luar Cianjur disebutnya sebagai materi
Cianjuran.
Pengamat seni dari Belanda, Wim van Zanten, lebih cenderung memilih istilah cianjuran
untuk seni suara khas asal Kabupaten Cianjur ini, seperti yang tampak pada judul bukunya
Sundanese Music in The Cianjuran Style (1989). Berbeda dengan Yus Wiradiredja yang masih
menggunakan istilah tembang Sunda cianjuran seperti yang tertera pada judul bukunya Tembang
Sunda Cianjuran di Priangan (1834-2009). Demikian pula dengan Deni Hermawan yang
beranggapan cianjuran sama dengan tembang Sunda Cianjuran seperti yang tampak pada judul
bukunya Gender dalam Tembang Sunda Cianjuran; atau Heri Herdini yang menggunakan istilah
tembang sunda cianjuran untuk materi cianjuran seperti yang terbaca pada artikelnya berjudul
Estetika Karawitan Tradisi Sunda yang dimuat pada Jurnal Panggung (2012, hlm. 260) yang
menyebutkan bahwa tembang sunda cianjuran sebagai materi hiburan para menak; atau Apung
SW yang kerap menuliskan cianjuran dengan istilah tembang sunda seperti yang terbaca dalam
buku-bukunya Sumbangan Asih keur Tembang Sunda, Kuring jeung Tembang Sunda: Pamanggih
jeung Papanggihan, atau pada buku Nu Sarimbag & Unak-anik dina Tembang Sunda. Padahal,
sekali lagi, istilah tembang, tembang Sunda, tembang Sunda cianjuran, dan cianjuran memiliki
pengertiannya masing-masing, serta satu sama lain memiliki makna yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Danadibrata. (2006). Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Hendrayana, Dian, (2012). Mendudukkan Istilah Kawih dan Tembang. Bandung: Jurnal Sundalana
(hlm. 185-194).
- (2016). Dina Kawih Aya Tembang. Bandung: CV Geger Sunten.
- (2016). Serat keur Emay. Bandung: Pustaka Jaya
- (2015). Mengapa Bukan Cianjuran (tulisan rubrik Opini). Tribun Jabar, edisi 28
September 2015
Herdini, Heri. (2012). Estetika Karawitan Tradisi Sunda. Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22,
No. 3, Juli - September 2012: 256 - 366
Hermawan, Deni. (2016). Gender dalam Tembang Sunda. Bandung: Sunan Ambu Press
Komarudin. (2002). Menelusuri Pengertian Istilah Kawih dan Tembang dalam Karawitan Sunda.
Jurnal Panggung Nomor XVIII April 2001 (49-54)
LBSS. (2007). Kamus Umum Basa Sunda (edisi revisi). Bandung: CV Geger Sunten
Moriyama, Mikihiro. (2005). Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda
Abad ke-19. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Nurhamsah, Ilham. (2019). Siksa Kandang Karesian: Teks dan Terjemahan. Jakarta: Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia.
Rosidi, Ajip. (2013). Mengenal Kesusastraan Sunda (Edisi Revisi, cetakan pertama). Jakarta: Pustaka
Jaya
- (2011). Sawer jeung Pupujian. Bandung: Kiblat Buku Utama
- (2011). Wawacan. Bandung: Kiblat Buku Utama
- (2013). Tembang jeung Kawih. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Ruhaliah. (2018). Wawacan Sebuah Genre sastra Sunda. Bandung: Pustaka Jaya
- (2019). Sajarah Sastra Sunda. Bandung: UPI Press
Ruhimat, Mamat, dkk. (2012) Kawih pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Sunda Kuna dan Teks-teks
Lainnya. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Sacadibrata. (2004). Kamus basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama
Sukanda, Enip. dkk. (2016). Riwayat Pembentukan dan Perkembangan Cianjuran. Bandung:
Disparbud Jawa Barat bekerjasama Yayasan Pancaniti
Sumardjo, Jakob. (2002). Filsafat Seni. ITB Press
- (2011). Sunda: Pola Rasionalitas Budaya. Bandung: Kelir
SW, Apung. (2006). Nu sarimbag & Unak-anik dina Tembang Sunda. Bandung: Paguyuban
Seniman Tembang Sunda bekerja sama dengan Yayasan Pusat Kebudayaan
Wibisana, Wahyu, dkk. (2000). Lima Abad Sastra Sunda. Bandung: CV Geger Sunten
Wiradiredja, Moch. Yusuf. (2014). Tembang Sunda Cianjuran di Priangan (1834-2009). Bandung:
Sunan Ambu Press.
Wiratmadja, Apung S. (2009). Salawe Sesesbitan Hariring. Bandung: PT Kiblat Buku Utama

Anda mungkin juga menyukai