Anda di halaman 1dari 21

MENGKAJI BUKU

GAMELAN

Interaksi Budaya
dan Perkembangan Musikal di Jawa
Karya
: SUMARSAM

Oleh

: Winda Nadhi Utami


14208241016

BA
B1
BA
B
2

BAB

BAB
3

DARI HINDU KE ISLAM:


SEJARAH AWAL MUSIK JAWA
Pada periode awal sejarah Jawa, kebudayaan asli
pra-Hindu,
kebudayaan
Islam,
semuanya
berhadapan,
berinteraksi,
bercampur
dan
berkomplemen satu sama lain, membentuk
kebudayaan dan pandangan tradisional Jawa.
Agama adalah fondasi kebudayaan Jawa.
Disamping pengaruh politik dan teknologi, tradisi
Hindu-Budha membawa perkembangan karya
sastra dan seni tontonan Jawa
Popularisasi karya sastra dan puisi-nyanyian
Hindu membawa keakraban suasana di mana
seniman kraton dan pendukungnya hidup dan
bertukar pikiran.
Setelah islam masuk ke jawa tidak mengubah
suasana keakraban karena penyebaran Islam di
Jawa mempunyai sikap positif, saling mertukar
gagasan musikal dan lagu antara musik Ialam
dan Jawa.
Kebudayaan Jawa tidak mengakui pembagian
antara kegiatan keagamaan dan aktivitas sekuler

Abad ke-18 terjadi pemberontakan oleh orang Cina


dan Jawa terhadap kerajaan Kartasura (pimpinan
Paku Buwana II-1742)
Belanda memadamkan pemberontakan dan
memasang kembali Pakubuwana ke tahtanya
Pakubuwana memindahkan istananya yang rusak
dari Kartasura ke Surakarta
Beberapa pangeran, terutama keponakan raja (Mas
Said) dan sepupu raja (Pangeran Singasari)
melanjutkan pemberontakan (sebelumnya mereka
membantu pemberontakan Cina)
Saudara sekandung raja (Mangkubumi) memihak
kepada pemberontak

INTERAKSI ANTARA JAWA DAN


KOLONIALISME EROPA, ISLAM, DAN
CINA PERANAKAN: Periode Kepesatan
Perkembangan Kebudayaan
Kraton Jawa mempunyai dua kubu. Pemberontak,
dipimpin oleh Mas Said dan Mangkubumi melaman
orang-orang dibawah pimpinan Pakubuwana II dan
Belanda
Akibat perang saudara. Kerajaan Mataram terbagi
menjadi dua. Akibatnya timbullah perbedaan gayagaya yang jelas dalam gamelan, tari, dan wayang
antara Kraton Yogyakarta dan Surakarta.

Awal abad ke-19 Pakualaman beraliansi dengan


Mangkunegara namun sejalan dengan waktu pada
awal abad ke- 20 aliansi kraton berubah melalui
jalan perkawinan.
Aliansi dengan jalan perkawinan ini mengakibatkan
penggabungan praktek musikal dan tari-tarian
Kesultanan Mangkunegaran dan penggabungan
praktek musikal Kasunanan ke Mangkunegaraan.
Pakualaman sering mengirim musisi-musisi
terkemukanya ke Kasunanan Surakarta untuk dilatih
musisi terkemuka di sana. Meskipun lokasi
Pakualaman berdekatan dengan Kesultanan namun
praktek gamelannya lebih dekat ke Kasunanan
Surakarta.
Setelah pembagian permanen Mataram, terjadilah
perkembangan kebudayaan dan kehidupan

Kesuburan perkembangan literatur tersebut pada


gamelan terwujud dalam pencocokan dan
penerapan syair-syair puisi ke dalam gendhing dan
penciptaan gendhing-gendhing baru yang lagunya
didasarkan atas lagu-lagu tembang macapat.
Mangkunegara IV menciptakan gendhing-gendhing
baru laras slendro untuk mengiringi wayang madya.
Namun ketika wayang madya dipersembahkan
kepada Paku Buwana X (1893-1939) beliau
memerintah musisi-musisinya mengiringi wayang
madya dengan laras pelog. Mereka mengiringi
wayang badya dengan gendhing sulukan slendro
untuk mengiringi wayang purwa, tetapi dimainkan di
gamelan pelog.
Naskah Serat Pakem Ringgit Purwa (SMP KS 145/6)
menyebut gendhing untuk iringan wayang. Nama
gendhing-gendhing yang sekarang diketahu sebagai

Upacara kesenian yang ramai memicu seniman


kraton membesarkan ukuran dan meningkatkan
jumlah alat-alat upacara mereka, seperti ansamble
gamelan dan repertoar musik dan tari.
Serat Babad Nitik menjelaskan tentang gamelan
slendro dan pelog yang digelar di tempat yang
sama.
Penulis Serat Babad Nitik mengemukakakn tigan
nama gamelan: Kanyut (Hanyut), Mesem (Senyum),
dan Udan Riris (Hujan Gerimis). Kanyut adalah
gamelan slendro dan mesem adalah gamelan pelog.
Sekarang dua perangkat gamelan ini dikenal dengan
nama Kanyut Mesem dan dianggap sebagai tipe
baku gamelan lengkap.
Dua instrument gamelan kanyut mesem (slentho
dan gambang gongsa) jarang diteukan pada
gamelan masa kini.

Berdasarkan penelitian gamelan di Kraton


Kasultanan Yogyakarta, Vetter( 1986: 119)
menemukan bahwa instrumentasi gamelan tua telah
mengalami perubahan, seperti peningkatan
beberapa instrument sehingga menjadi gamelan
lengkap sebagaimana kita ketahui sekarang.
Jumlah nada kenong dan kempul meningkat dari dua
sampai tiga nada menjadi lima atau lebih
Prsaingan suara jawa dan eropa dalam upacara
kraton (antara gamelaan dan meriam) merupakan
alasan dasar pada perkembangan gaya musikal
yang menekankan produksi suara yang keras, maka
terjadilah pembesaran dan peningkatan jumlah
instrumen ansamble.
Contoh lain dari perkembangan ini adalah gamelan
Monggang Kyai Surak. Gong dalam ansambel ini
berukuran besar sekali. Setiap pemain harus
bergantian dan menabuh gong tersebut sekeras

Penampilan kesenian kraton Jawa yang meriah dan


semarak justru menimbulakn suara yang semrawut.
Percampuran berbagai jenis ansambel dan
penampilan kesenian yang membuat sangat
meriahnya pristiwa-peristiwa perayaan,
mendemonstrasikan jepada rakyat tentang
kekuasaan kraton Jawa dalam kungkungan kolonial
Belanda. Justru untuk menampilkan keagungan
krton, para bangsawan malah mengguanakan suara
non-tradisional ke dalam upacara-upacara kraton
itu, yaitu suara meriam, senapan, dan musik Eropa.
Musik Eropa mempunyai fungsi penting sebagai
pertanda hubungan erat antara elit sosial Eropa dan
keluarga aristokrat Jawa
Terkadang musik Eropa dimainkan bergantian
dengan gamelan atau dimainkan kedua-duanya
bersama-sama

PENGARUH CARA PIKIR EROPA


TERHADAP PANDANGAN MUSIK ORANG
JAWA

Teknologi cetak, pendidikan cara Eropa, kesarjanaan


dengan pendekatan ilmiah modern, mesin piringan
hitam, dan usur kehidupan Eropa modern lebih
abnayk terintegrasi ke dalam kehidupan Jawa
daripada apa yang terjadi pada periode sebelumnya
Intelektual-intelektual juga mengetrapkan gagasan
high culture terhadap kebudayaan kraton:
kesenian kraton Jawa adalah hasil kebudayaan adi
luhung; Gamelan Jawa dianalogikan dengen seni
musik klasik Eropa.
Intelektual Jawa seperti Ki Hajar Dewantara merasa
perlu studi kesenian Jawa secara ilmiah seperti
koleganya di Belanda. Notasi untuk gamelan
digunakan oleh priyayi Jawa untuk memberikan
alasan bahwa gamelan adalah kesenian yang adi
luhung, sejajar dengan status seni musik Eropa.
Selain itu perkembangan sistematis tentang
gamelan Jawa terjadi pertama kalinya. Teori ini

Pada masa meningkatnya pengguanaan notasi,


usaha mengangkat status gamelan untuk
merepresentasikan kebudayaan nasionalah
Indonesia menimbulkan depat diantara para
nasionalis Indonesia. Debat dan diskusi tentang
kebudayaan nasional melatarbelakangin pembuatan
sekolah dan akademi gamelan; disana debat tentang
gamelan berkelanjutan. Bersamaan dengan itu
karya tulisan tentang gamelan berkembang,
terutama di institusi kesenian tersebut.
Mulai pertengahan abad ke-20 terbentuk periode
kehidupan intelektual campuran antara Eropa dan
Jawa. Para intelektual Barat, terutama para
etnomusikolog, mulai mengkaji lebih dekat
pandangan musisi Jawa. Banyak etnomusikolog yang
membatasi studinya tidak hanya pada ilmu
pengetahuan gamelan saja, tetapi juga belajar
menabuh gamelan atau menyanyikan tembang.
Salah satu akibatnya, sekarang ansambel dan
perkumpulan gamelan banyak ditemukan di negara

Antara peneliti gamelan orang barat dan musisi-musisi


dan teoretisi Jawa menjadi lebih intensif.

TEORI GENDHING MASAKINI


Lagu Vokal Sebagai Lagu Pendahulu Gendhing:
Pandangan dari serat Chentini, Serat Gulang Rrya,
dan Serat Sesorah Gamelan
Menurut serat chentini, lagu vokal dalam gamelan
teramatlah penting. Yaitu, tembang atau sekar dipakai
sebagai dasar penciptaan gendhing. Bahkan kata
majemuk gendheng-gendhing sering dipakai dalam
Serat Chentini.
Tondhakusuma dalam naskahnya, Serat Gulang Yarya,
juga menggunakan idiom gendheng-gendhing. Ia juga
secara jelas berpendapat tentang pertalian hubungan
erat antara vokal dan instrumental. Fakta ini
mendukung beberapa istilah dan konsep balungan
tidak terdapat dalam Serat Chentini. Balungan
dimengerti sebagai rentetan ketukan-ketukan. Ketukan
ini dibawakan secara jelas oleh instrument jenis saron.

Warsadiningrat (tahun 1920an) percaya bahwa


sumber lagu gendhing adalah lagu tembang. Ia
memperkuat pendapatnya dengan mengutip Serat
Puatakaraja karangan Ronggawarsita (abad ke-19)
yang menunjukkan gendhing kemanak(suatu jenis
gendhing terdiri dari koor bersama diiringi kemanak,
kendhang, gong, kenong, dan kethuk) adalah bentuk
komposisi yang paling tua. Ia menamakan bentuk
gendhing ini gendhing bawa swara. Hal ini
menunjukkan sejauh mana Warsadiningrat percaya
pentingnya lagu vokal dalam gamelan. Dalam
bagian lain di karyanya yang sama, ia memberi
daftar gendhing dengan nama-nama tembang
darimana gendhing-gendhing ini berasal.

a. Gendhing Muncar berasal dari sekar Mas


Kumambang
b. Gendhing Sinom Bedhaya pelog barang berasal dari
sekar Sinom Logondhang
c. Gendhing Endhol-Endhol Bedhaya pelog berang
berasal dari Sekar Nagabonda
d. Gendhing Klewer pelog barang berasal dari sekar
Nagabonda
e. Gendhing Pucung berasal dari sekar Pucung
f. Gendhing Lobong berasal dari sekar Kinanthi
g. Gendhing Kinanti berasal dari sekar Pangukir
Dapat dilihat bahwa struktur lagu baris pertama Mas
Kumambang dan kenongan pertama Muncar
berhubungan dekat. Nada gantungan 5 di paruh
pertama macapat Mas Kumambang sejajar dengan
lagu gantungan nada yang sama di gatra kedua
kenongan pertama Muncar. Gatra ketiga dan keempat

Perkembangan gendhing untuk repertoar gamelan


dalam abad ke-18 dan paruh pertama abad ke-19
berlangsung bersamaan dengan pertumbuhan yang
subur seni sastra dan seni tembang. Dulunya, istilah
yang dipakai untuk membicarakan gendhing
dihubungkan dnegan atau berasal dari istilah yang
dipakai untuk menjelaskan musik vokal. Istilah
cengkong dan wilet menunjukkan hal ini. Ketika
istilah cengkok digunakan dalam pembicaraan
tentang gamelan, artinya menjadi sangat rumit,
meliputi segala aspek gendhing. Istilah cengkok
dapat menjelaskan hal yang terpenting tentang
proses musik gamelan Day (1982:19) mencatat:
Arti kata Jawa cengkok dan wilet menunjuk pada
proses berjalan tentang keberasalan dan
kembangan yang merupakan kedalaman hidup dan
isi kesenian Jawa.

Penggunaan cara pikir Barat, terutama pengenalan


notasi untuk gamelan dan penampilan gagasan
tema lagu gendhing yang terkandung dalam lagu
saron, ikut mengambil bagian mengarahkan
formulasi teori gendhing pada ciri tertentu,
pengarahan yang menampilkan proses komposisi
dalam gamelan yang kurang tepat. Pengarahan ini
membawa kita pada pengertian gatra sebagai unsur
yang penting dalam mencipta gendhing ini;
menunjukkan tidak pentingnya hubungan dekat
antara musik vokal dan gendhing gamelan,
akibatnya asal mula gendhing yang bersifat
heterogen dan sinkretik tidak dijajagi secara
mendalam.

Pembaratan Jawa mengakibatkan pandangan


intelektual campuran Barat-Jawa. Akan tetapi dalam
perkembangan teori gamelan, intelektualisasi Barat
terhadap Jawa yang lebih awal mengakibatkan
formulasi konsep komposisi gamelan yang agak
sempit.

source
Gamelan: Cultural Interaction
and Musical Development in
Central Java. Chicago: The
University of Chicago Press,
1992, 1995. ISBN 0-226-780112. (SUMARSAM)

Anda mungkin juga menyukai