Anda di halaman 1dari 27

Nandi Saefurrohman

DIMENSI GAYA MUSIK “ARKHAIK”


DALAM TEMBANG SUNDA CIANJURAN
(Antara Reperensi dan Interpretasi )

Pendahuluaan

Jawa Barat yang disebut juga Pasundan merupakan daerah yang


berpenduduk cukup padat. Daerah Jawa Barat didiami oleh beberapa
kelompok etnis di antaranya etnis Jawa dan etnis Sunda sendiri. Di antara
dua kelompok etnis ini suku bangsa Sunda merupakan kelompok etnis
terbesar yang menempati sebagian besar wilayah Jawa Barat. Sedangkan
suku bangsa Jawa hanya menempati daerah-daerah tertentu saja seperti di
wilayah pesisir Cirebon, sebagian kecil pesisir Indramayu, dan daerah
Banten bagian Utara. Perbedaan yang menyolok di antara kedua kelompok
etnis ini ialah dalam hal penggunaan bahasa, adat istiadat maupun kesenian.1
Keadaan alam Jawa Barat yang beriklim tropis yang umumnya
merupakan daerah persawahan, pegunungan dan perbukitan yang kaya akan
jenis-jenis tumbuhan yang subur memungkinkan menjadi daerah pertanian
yang potensial, baik pertanian sawah maupun pertanian ladang / kebun. Di
antara suasana pertanian inilah maka Daerah Jawa barat banyak melahirkan
jenis kesenian vokal tradisional seperti seni pantun, beluk, Rancag buhun,
Cigawiran, Ciawian, juga kesenian-kesenian yang berfungsi sebagai sarana
ritual dan upacara, seperti angklung, calung, rengkong, tarawangsa,
ngotrek, tutunggulan, dan sebagainya.
Dari peninggalan-peninggalan batu bertulis yang ditemukan di daerah
Ciamis tepatnya di daerah Kawali-Panyalu dan di daerah Bogor, dapat
diperkirakan bahwa sesudah kerajaan Tarumanegara, di tanah Sunda
terdapat dua kerajaan yaitu mula-mula Kerajaan Galuh di Ciamis kemudian
Kerajaan Pajajaran di daerah Bogor dengan pakuan Pajajaran sebagai
pusatnya. Kerajaan Pajajaran ini erat sekali hubungannya dengan seni
tembang Sunda, karena sebagian syair-syair pada lagu-lagu papantunan
dalam tembang Cianjuran mengisahkan tentang Kerajaan Pajajaran. 2

1
A. Surjadi, Masyarakat Sunda Budaya dan Problema, (Bandung: Alumni, 1985), 14-15.
2
2
Depdikbud, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1984), 34.

1
Nandi Saefurrohman

Sesudah runtuhnya Kerajaan Pajajaran, bagian-bagian tanah Sunda


banyak mengalami perubahan terutama di daerah Priangan. Pada mulanya
kira-kira tahun 1595 M sampai dengan tahun 1700 M, sebagian daerah ini
diperintah dan berada di bawah kekuasaan Mataram. 3 Masuknya kekuasaan
Mataram ke wilayah Sunda bagian timur dan tengah membawa pengaruh
besar dalam tatanan budaya (kesenian) masyarakat pada waktu itu, misalnya
masuknya bentuk tembang macapat dengan puisi tembangnya (pupuh) yang
memiliki 17 pupuh. Pupuh yang berasal dari kidungan Jawa Tengah mulai
masuk ke wilayah Sunda kira-kira tahun 1650 yang dibawa oleh para
bangsawan dan para ulama,4 dan di dalam tembang Sunda termasuk
Cianjuran pengaruh dari pupuh ini kelihatan pada syair-syair (rumpaka)
yang dilagukan seperti Sinom, Dandanggula, Asmarandana, kinanti, dan
sebagainya. 5
Tembang macapat atau pupuh menjadi populer sekali dalam sastra
sunda pada abad ke 19 hingga 20. Banyak sekali karya tulis atau karya sastra
yang lahir dalam bentuk tembang pendek (terdiri dari beberapa bait pupuh),
maupun tembang panjang atau yang disebut wawacan (berupa cerita yang
disusun dalam bentuk pupuh dengan menggunakan bermacam-macam
pupuh). Wawacan ini mula-mula menyebar dan masuk ke kalangan para
menak yang ditulis dengan menggunakan aksara Sunda-Jawa, bahasanya
Sunda bercampur Jawa. Sesudah itu menyebar di kalangan pesantren serta
ditulis dengan aksara Arab pegon, dan akhirnya menyebar di masyarakat
ramai setelah ditulis dengan hurup Latin sehingga banyak orang yang
membaca dan mencetaknya. 6 Namun pada akhirnya bentuk tembang ini
dalam perkembangannya mengalami perubahan, tidak sepenuhnya mengacu
pada bentuk tembang macapat Jawa, melainkan disesuaiakan dengan pola
dan lingkungan kebudayaan masyarakat Sunda. Tembang yang pada
mulanya berdasarkan tembang macapat Jawa, kemudian dikembangkan
dengan memasukan pengaruh dari lagu-lagu pantun yang mempunyai
kekhasan tersendiri.
Pantun adalah sejenis teater tutur yang diceritakan atau dilagukan
dengan diiringi kecapi (kecapi pantun), menggunakan bahasa dan syair-
syairnya yang berbentuk puisi Sunda lama. Disebut teater tutur, sebab
dalam pertunjukannya hanya dilakukan dan dituturkan oleh seorang
pencerita (juru pantun) yang mengisahkan sebuah lakon atau hanya
3
Ibid., 36.
4
Pigeaud dalam Van Zanten, “Tembang Sunda: An Ethnomusicological Study of the Cianjuran Music
in West Java”, desertasi, Universitas Leiden, 187, 72.
5
Makmur Danasasmita, Sastra Lagu dalam Tembang Sunda, ( Bandung: ASTI, 1983)
6
Yus Rusyana, Kondisi dan masalah Budaya Sunda Dewasa ini, (Bandung: Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional, 1989), 38.

2
Nandi Saefurrohman

ungkapan liris. Pantun merupakan karya asli masyarakat Sunda, karena


hanya menceritakan pahlawan-pahlawan mitos kerajaan Sunda zama Hindu-
Budha.7 Seni pantun ini menjadi salah satu tolak ukur dalam merumuskan
penciptaan seni Tembang Cianjuran dengan warna atau khas yang tersendiri
pula.
Pada masa pemerintahan Belanda, stratifikasi atau pelapisan sosial
pada masyarakat Sunda pada garis besarnya terbagi atas dua golongan, yaitu
golongan menak atau bangsawan dan golongan cacah atau kaum rakyat
jelata. Dan menurut beberapa penelusuran, dari kelompok menak inilah pada
awalnya kesenian tembang Sunda Cianjuran atau pada saat itu disebut
mamaos ini lahir.
Ringkasan Sejarah Seni Vokal Tradisional Cianjuran
Sampai saat ini belum ada penelusuran atau penulisan mengenai
Tembang Cianjuran yang dianggap sebaga tulisan sejarah yang dapat
dipercaya kebenarannya. Kesulitan untuk mengungkap sejarahnya tersebut
dikarenakan adanya kesulitan dalam menemukan data-data tertulis yang
bersangkut paut dengan asal mula dan kehidupan tembang Sunda Cianjuran
di masa lampau. Namun dengan demikian ada beberapa tulisan yang
mengacu pada hasil penelusuran (meskipun belum dikatakan sebagai tulisan
sejarah) yang setidak-tidaknya dapat memberikan gambaran, walaupun data-
data yang didapatkan masih kebanyakan berupa hasil wawancara dengan
berbagai sumber atau informan. Selain itu dilakukan adanya pendekatan
interpretatif terhadap berbagai cerita lisan atau dongeng-dongeng yang
berkembang di masyarakat yang terkait langsung dengan keberadaan
tembang Cianjuran ini.
Mengenai sejarah Cianjuran sebelum 1900 tidak begitu jelas, namun
yang pasti bahwa Cianjuran lahir di daerah Cianjur dari golongan atas
(menak). Cianjuran digolongkan sebagai karawitan yang halus (lemes). Jenis
karawitan ini sampai sekarang digemari oleh masyarakt Jawa Barat
khususnya oleh golongan atas dan menengah. Kenapa demikian, ada
beberapa alasan, kemungkinan karena syairnya (guguritan) tidak begitu
mudah dapat dimengerti, juga karena faktor musiknya yang sangat rumit
dibandingkan dengan jenis Karawitan lain.8
Sebelum Cianjur resmi menjadi sebuah kabupaten, kebudayaan
tembang (setidak-tidaknya sudah dikenal oleh masyarakat Cianjur terutama
oleh pemimpin pertama masyarakat Cianjur pada saat itu yang bernama

7
Jakob Sumardjo, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun sunda,
(Bandung: Kelir, 2003), 19.
8
Wim Van Zanten, “Ornamen Vibrato dalam Tembang Sunda Cianjuran”, dalam Jurnal Masyarakat
Musikologi Indonesia, tahun II no. 2 1991, 121.

3
Nandi Saefurrohman

Wiratanu I (kira-kira tahun 1677) yang lebih dikenal dengan sebutan Dalem
Cikundul. Selanjutnya pada masa Cianjur diperintah oleh Wiratanu II (1692-
1707) yang lebih dikenal dengan Dalem Tarikolot atau Dalem Pamoyanan,
ada seorang seniman putra pedaleman yang bisa mantun yang bernama
Raden Candramanggala putra dari Aria Cikondang, yang selanjutnya
dianggap sebagai leluhur para juru pantun di Cianjur. Dengan demikian
dapat diduga bahwa pada saat Wiratanu II ini seni pantun dan seni tembang
telah dikenal secara luas di lingkungan pendopo Kabupaten Cianjur. 9
Perhatian para menak Cianjur tehadap kesenian terutama seni
tembang dan seni pantun baru tampak ketika Cianjur diperintah oleh Bupati
Enoh (Wiratanu VI) pada tahun 1776-1813. Pada masa ini seni tembang
rancag buhun hidup dan berkembang dengan baik. Tembang rancag adalah
tembang berbentuk pupuh yang lagunya dipengaruhi oleh macapat Jawa.
Pada waktu Cianjur diperintah oleh Bupati Prawiradireja I, kira-kira tahun
1813-1833, seni tembang rancag buhun tersebut dipadukan dengan seni
beluk yang kemudian menjadi seni tembang beluk. 10
Sebagai puncak dari seni Tembang Cianjuran atau pada waktu itu
disebut Seni Mamaos, berlangsung ketika Cianjur di bawah pemerintahan
Bupati R.A.A. Koesoemaningrat atau sering disebut Dalem Pancaniti pada
tahun 1834-1864. Disebut sebagai dalem Pancaniti karena keahliannya
beliau dalam seni mamaos, pada saat-saat beliau membuat atau mencipta
lagu selalu tinggal di sebuah bangunan yang bernama Pancaniti. Sebagai
Ibukota Priangan yang sekaligus sebagai pusat budaya Sunda pada masa itu,
juga didukung oleh keterlibatan dari Dalem Pancaniti sendiri yang juga ahli
dalam seni mamaos, beliau aktif mengumpulkan para seniman untuk diajak
bekerja sama dalam mengolah dan membuat karya seni khususnya Seni
Mamaos. Pada masa Dalem Pancaniti inilah Seni Tembang Cianjuran lahir,
berdasarkan atas ketekunan Dalem dan para seniman yang terus meramu
dari unsur-unsur seni pantun, tembang rancag buhun, seni wayang golek,
seni degung, seni beluk, pupuh, dan sebagainya.
Setelah dalem pancaniti mangkat pada taun 1864 dan kedudukannya
digantikan oleh putranya yang bernama Raden Alibasyah / R.A.A.
Prawiradiredja II (1964-1910), pada masa ini Seni tembang Cianjuran
mengalami kemajuan dan perkembangannya terutama dalam garap maupun
penyebarannya, dan banyak lagu-lagu baru diciptakan oleh para seniman di
9
Enip Sukanda, Tembag Sunda Cianjuran, Sekitar Pembentukan dan perkembangannya,
(Bandung: ASTI, 1984), 18.
10
Ibid., 19. Beluk adalah nyanyian bertempo bebas yang bernada-nada tinggi (meluk), dengan syair
yang terikat oleh pola pupuh seperti kinanti, asmarandana, sinom, dandanggula, dsb. Biasanya
disajikan sebagai sarana hiburan dan syukuran atas lahirnya seorang bayi.

4
Nandi Saefurrohman

Cianjur dan sekitarnya. Sehingga pada waktu itu Cianjuran bukan lagi
menjadi milik para menak semata tetapi sudah merupakan bagian dari
masyarakat kebanyakan. Selain itu para juru mamaos (penembang) sudah
mulai dilakukan oleh wanita yang sebelumnya dilakukan oleh kaum pria di
lingkungan pendopo kabupaten. Tercatat sebagai juru mamaos wanita
pertama di kalangan menak tersebut ialah yang bernama Raden Siti Saroh, 11
dan selanjutnya bermunculan para penembang wanita yang lain dan terkenal
di masyarakat Sunda, mereka adalah Raden Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu
O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah. 12

Proses Awal Penyebaran Tembang Cianjuran


Sebagaimana telah disebutkan, bahwa pada masa pemerintahan
R.A.A. Kusumaningrat (Dalem Pancaniti) yang memerintah tahun 1834-
1864, merupakan puncak penciptaan seni mamaos (tembang Cianjuran).
Cianjuran pada masa ini merupakan seni yang hanya ada di dalam kalangan
menak atau kaum ningrat di lingkungan kabupaten semata. Meskipun ada
satu dua orang dari kalangan rakyat kebanyakan seperti Bapak Aen dan
Ma’ing Buleng, itupun karena mereka dianggap sudah menjadi keluarga
Bupati dikarenakan oleh kemampuannya dalam menciptakan lagu-lagu
tembang Cianjuran. Para Juru Mamaos pada masa ini terdiri dari kaum pria
dari kalangan menak, mereka diantaranya Rd. Natawiredja, Rd. Adinegara,
Rd. Habib, dan Rd. Suriakusumah.
Setelah Dalem Pancaniti meninggal dunia, selanjutnya diteruskan oleh
R.A.A. Prawiradiredja II yang memerintah pada tahun 1864-1910. Seperti
halnya Dalem Pancaniti, Prawiradiredja juga sangat besar perhatiannya
terhadap seni Sunda, hal ini dibuktikan dengan dijalinnya hubungan dan
kerjasama dengan beberapa seniman pedaleman maupun seniman dari
kalangan masyarakat biasa, untuk membantu mengolah seni Sunda
terutama tembang Cianjuran. Para seniman yang dipercaya tersebut yaitu
Rd. Ece Madjid Natawiredja, Djayalahiman, Rd. Djayawiredja, dan
Mohammad Asikin. Dan pada masa inilah tembang Cianjuran mulai
menyebar ke luar pendopo kabupaten Cianjur.13
Sebagai ibu kota Karesidenan Priangan, Kabupaten Cianjur sering
sekali dikunjungi oleh para tamu, dan para Bupati dari daerah yang lain.
Sehingga pada kesempatan-kesempatan yang resmi maupun tidak resmi,
tembang Cianjuran sering disuguhkan atau dipertontonkan kepada para

11
Ibid., 30-31
12
Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan, Deskrpsi Kesenian Jawa Barat, (Bandung: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Jawa Barat, 2003), 48.
13
Sukanda, 1984, 30-31.

5
Nandi Saefurrohman

tamu tersebut. Akibatnya banyak para tamu terutama para Bupati yang
tertarik serta berminat dan meminta untuk diajarkan tembang Cianjuran di
daerahnya. Maka dari hal seperti inilah mulainya tembang Cianjuran
menyebar ke beberapa daerah priangan lainnya, meskipun masih terbatas
hanya dalam lingkungan para menak Sunda. Keterlibatan Rd. Ece Madjid,
Djayalahiman, Rd. Djayawiredja, dan Mohammad Asikin dalam
menyebarkan tembang Cianjuran ke luar daerah, menjadi awal dari proses
penyebaran yang lebih luas mencangkup seluruh wilayah di tanah Sunda.

Permulaan Istilah “Tembang Sunda Cianjuran”


Tembang Sunda Cianjuran adalah salah satu jenis seni musik vokal
tradisional yang ada di daerah Jawa Barat. Tembang Sunda Cianjuran pada
umumnya tumbuh dan berkembang tersebar di sebagian besar wilayah Jawa
Barat atau Wilayah Priangan, yang meliputi Daerah Bogor, Sukabumi,
Purwakarta, Karawang, Cianjur, Bandung, Garut, Sumedang, Tasikmalaya.
Disebut tembang Sunda Cianjuran karena kesenian ini berasal dari daerah
Cianjur, selain itu untuk membedakan dengan jenis seni musik vokal
tradisional lainnya yang hidup di Jawa Barat seperti Ciawian (berasal dari
daerah Ciawi, Tasik), dan Cigawiran (berasal dari daerah Cigawir, Garut).
Dalam Naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518),
disebutkan bahwa pada mulanya semua jenis seni musik vokal / suara yang
ada di wilayah Sunda disebut kawih. Seperti dalam kutipan terjemaahan di
bawah ini yang menyiratkan bahwa di dalam masyarakt Sunda dahulu,
istilah tembang belum muncul sebagai sebuah istilah yang baku dalam olah
seni musik vokal tradisional.
“Bila ingin mengetahui segala macam lagu: kawih bwatuha,
kawih panjag, kawih lalaguan, kawih panyarama, kawih
sisindiran, kawih pangpeledan, bongbongkaso, pererane, parod
eurih, kawih babahanan, kawih bangbarongan kawih tangtug,
kawih sasambatan, kawih igel-igelan, dan segala macam lagu,
tanyalah paraguna / ahli-ahli karawitan”.14

Namun pada perkembangan selanjutnya, seni musik vokal tradisional


di Jawa Barat pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian menurut bentuk,
karakteristik, serta tehnik melagukannya, yaitu tembang dan kawih. Menurut
R. Machyar Angga Kusumadinata, Tembang adalah lagu-lagu yang tidak
terikat oleh ketukan dan wiletan yang kemudian disebut sekar irama
merdika. Sedangkan kawih yaitu lagu-lagu yang terikat oleh ketukan dan
14
Saleh Danasasmita, Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian, sebuah Terjemaahan, (Bandung:
Pengembangan Permusiuman Jawa barat, 1981).

6
Nandi Saefurrohman

wiletan yang kemudian disebut sekar tandak.15 Khusus dalam Tembang


Sunda Cianjuran terdapat beberapa terminologi yang dipakai oleh
masyarakat Sunda, yaitu: mamaos, Cianjuran, Tembang Sunda, dan
Tembang Sunda Cianjuran.
Selanjutnya mengapa dinakaman ‘Cianjuran’, ‘Tembang Sunda’, dan
‘Tembang Sunda Cianjuran’. Ada seorang pujangga Sunda yaitu M.A.
Salmun yang bereaksi terhadap penggunaan istilah-istilah ini. Bahwa istilah
Cianjuran didapat pada waktu untuk kepentingan siaran di NIROM
(Nederlands Indische Radio Omroep Maatschapij) Bandung. Pada tahun
1932 keadaan siaran-siaran radio di Jawa Barat belum mapan. Salah satu
yang terbesar pada saat itu adalah NIROM. Pada acara-acara yang
menyiarkan kesenian, sering digunakan istilah-istilah yang selalu saling
tumpang tindih. Seperti ketika penyiar akan menyiarkan lagu-lagu tembang
Sunda tetapi yang muncul adalah kawih roronggengan, dan sebagainya. Hal
ini terjadi disebabkan karena belum adanya istilah-istilah yang tetap untuk
beberapa jenis kesenian. Melihat hal yang demikian itu maka M.A. Salmun
mengirim surat kepada NIROM yang isinya mengusulkan agar lebih tertib
dalam membawakan acara-acara kesenian terutama dalam menggunakan
istilah-istilah atau nama-nama jenis kesenian. Atas dasar usulan itu maka
ditetapkan istilah-istilah seperti “tembang Sunda’ yang dipakai untuk semua
lagu warna tembang yang berada di Sunda seperti Bantenan (dari Banten),
Cirebonan (dari Cirebon), Ciawian (dari Tasikmalaya), Cigawiran (dari
Garut), Polos (dari Sumedang), Randegan (dari Ciamis), Kidung (dari
Jampang). Kemudian untuk lagu-lagu tembang yang menggunakan lagu-
lagu khas Cianjur, di sebut Cianjuran.16
Kemudian pada Musyawarah Tembang Sunda ke I yang
diselenggarakan tanggal 30 sampai 31 Maret 1962 di Bandung, diputuskan
bahwa istilah Cianjuran dirumuskan dengan istilah yang lebih umum yaitu
‘Tembang Sunda’, sehingga Cianjuran menjadi Tembang Sunda Cianjuran.17
Meskipun untuk saat ini lagu-lagu dalam Tembang Sunda Cianjuran sudah
bercampur dengan gaya lagu-lagu dari daerah lain, namun bagi masyarakat
Sunda pada umumnya, jika mendengar dan menyaksikan penyajian seni
vokal tradisional dengan diiringi dua buah instrumen Kecapi (kecapi Indung
dan kecapi rincik), dan diperindah denga alunan suara suling atau rebab,

15
R.M.A. Kususmadinata, Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara, (Jakarta: Noordhoff-Kolff, 1960).
1

16 Apung S. Wiraatmaja, Sumbangan Asih Kana Tembang Sunda, Bandung: Purnama Sari, 1964, 84.
1

17
Ibid., 88

7
Nandi Saefurrohman

maka masyarakat menyebutnya dengan pintonan (penyajian) Tembang


Sunda Cianjuran.

Jenis Lagu-Lagu Tembang Sunda Cianjuran


Lagu-lagu tembang Sunda Cianjuran pada dasarnya terbagi menjadi
dua kelompok yaitu yang disebut mamaos atau tembang yang bermetrum
bebas dan lagu-lagu yang disebut panambih yang bermetrum tetap. Lagu-
lagu yang bermetrum bebas masih terbagi lagi menjadi beberapa jenis
(wanda) yaitu: papantunan, jejemplangan, rarancagan, dedegungan, dan
kakawen, sedangkan yang bermetrum tetap terdiri dari lagu-lagu yang
berfungsi untuk menambah atau menyambung setelah tembang itu sendiri di
nyanyikan. Dikatakan bermetrum tetap karena lagu-lagu panambih
(penambah) sangat terikat dengan irama dan struktur lagu yang bersifat
metris. Semua jenis lagu pada umumnya menggunakan tangga nada
pentatonik pelog, sedangkan pentatonic slendro hanya terdapat pada jenis
lagu kakawen dan rarancagan.
Jenis lagu Papantunan dan Jejemplangan adalah jenis lagu yang
berakar dari seni pantun Sunda. Ciri khusus dari lagu papantunan ini
terdapat pada Syair-syair (lirik lagu) dan musik (petikan kecapi) yang
bernuansa pantun. Pada seni Tembang Sunda Cianjuran, pendekatan
terhadap pantun Sunda ini dapat dilihat dari penggunaan instrumen kecapi
besar (kecapi indung / perahu) sebagai alat musik pokoknya. Pada awal
keberadaannya, kecapi semacam ini merupakan satu-satunya alat musik
untuk mengiringi pertunjukan teater tutur Sunda yaitu pantun. Hal lain
yang tercermin dari jenis papantunan ini adalah adanya kaitan antara tema
lirik-lirik lagu dengan isi cerita dalam pantun. Misalnya dalam Cerita
Mundinglaya di Kusumah, untuk melukiskan romantika Dewi Asri yang
sedang menunggu kekasihnya ada dalam lagu Mupu Kembang, untuk
melukiskan gambaran batin Dewi Rajamantri terdapat pada lagu
Rajamantri, untuk melukiskan Mundinglaya sedang terbang mengangkasa
ke langit terdapat dalam lagu pangapungan.
Pengaruh macapat Jawa yang berbentuk pupuh menjadi ciri tersendiri
dalam jenis lagu rarancagan. Sesuai dengan namanya, Rarancagan berasal
dari tembang rancag buhun yang terdapat di Cianjur pada masa Wiratanu
IV. Lagu-lagu rarancagan di dalam tembang Sunda Cianjuran ini merupakan
hasil olahan dari lagu-lagu rancag buhun yang berbentuk pupuh (kinanti,
sinom, Asmarandana, dandanggula), seperti lagu sinom rancag buhun diolah
menjadi lagu pangrawit, sekar gambir, sinom madenda, dan setra. 18

18
Sukanda, 1984, 25

8
Nandi Saefurrohman

Berkembangnya seni Degung Klasik dan wayang golek di Cianjur


ketika di bawah pemerintahan Bupati R.A.A. Prawiradirdja II (1864-1910),
menjadi tolok ukur terciptanya jenis lagu dedegungan dan kakawen dalam
tembang Cianjuran. Karakter dari lagu-lagu dedegungan ini seperti yang
terdapat dalam lagu-lagu degung klasik, melodi dan lagunya mengalir dalam
nada-nada tinggi, tengahan, dan rendah. Sama seperti pada jenis rarancagan,
beberapa lagu dari jenis dedegungan ini liriknya ada yang berbentuk pupuh,
misalnya lagu sinom degung, kinanti degung, asmarandana degung, dan
sebagainya. Dalam jenis lagu kakawen, lagu-lagunya mempunyai karakter
seperti dalam kakawen yang biasa di bawakan oleh dalang wayang golek.
Kakawen berasal dari ka-kawi-an, yang menyiratkan bahwa syair atau lirik
yang dibawakan oleh para dalang berupai bahasa yang meniru bahasa kawi
(kawi adalah orang yang pandai membuat syair), atau sering disebut sebagai
bahasa yang dipakai oleh para pujangga Jawa Kuna. Dalam paparan lain
kakawen berasal dari ka-kawih-an, sedangkan kawih adalah salah satu
bentuk vocalia yang ada dalam karawitan Sunda. Jadi kakawen bisa
dipahami sebaga salah satu bentuk vokalia atau nyanyian yang sering
dibawakan oleh para dalang. 19 Lagu Sebrakan pelog dan Sebrakan
sapuratina adalah contoh lagu-lagu jenis kakawen dalam tembang Sunda
Cianjuran.
Selain jenis lagu-lagu yang termasuk kedalam kelompok Tembang
Sunda Cianjuran (mamaos) tersebut di atas, ada juga lagu-lagu yang
termasuk ke dalam kelompok panambih. Lagu-lagu panambih mulai
terbentuk pada tahun 1930-an.20 Pada mulanya lagu-lagu panambih bukan
merupakan bagian dalam Tembang Cianjuran, yang ada hanyalah berupa
tabuhan gending (instrumentalia) kecapi suling yang bermetrum tetap dan
biasa dibawakan ketika juru tembang beristirahat. Dalam perkembangan
selanjutnya, musik instrumentalia tersebut dimasuki unsur vokal dan lirik
sehingga berubah menjadi lagu sekaran (lagu-lagu yang dibawakan oleh
suara atau vokal). Dengan banyaknya para seniman tembang Sunda
Cianjuran yang menciptakan lagu-lagu panambih ini, maka perkembangan
dan kepopulerannya cenderung melebihi dari lagu-lagu tembang itu sendiri.
Beberapa lagu panambih yang sangat terkenal di masyarakat Sunda di
antaranya ialah lagu Ayun Ambing, Budak Ceurik, Bulan Tumanggal, Angin
Peuting, Kingkilaban, Campaka Kembar, Panineungan, Kembang Ligar,
Jangji Asih, Lara-lara, Asih nu Leungit, Nyawang Asih, Buah Kawung,
Tablo, Kulu-kulu Bem, Ngawisik Diri, Bayu-Bayu, Ngumbar lamuna, Bayu-
1

19
Atik Soepandi, Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan, Bandung: Pustaka Buana, 1984, 29.
20
Sukanda, 1984, 28.

9
Nandi Saefurrohman

Bayu, Ngumbar Lamunan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Tema-Tema dalam Sastra Lagu Tembang Sunda Cianjuran


Sebaga seni musik tradisional Jawa Barat, Tembang Sunda Cianjuran
sudah dikenal meluas di dalam maupun di mancanegara. Musik yang
mendayu, halus, serta riuh-rendahnya diselaraskan dengan suasana yang
akan dibangun dalam mereferentasikan kandungan isi / tema dalam sastra
lagu atau liriknya. Kebanyakan lirik-lirik dalam Tembang Cianjuran di
ambil dari cerita pantun, selain ada lirik baru sebaga akibat dari adanya
perkembangan dan penyebaran secara meluas. Sajak-sajak terbaik dari
cerita pantun yang terdapat pada tembang Sunda Cianjuran biasanya banyak
melukiskan tentang keadaan Kerajaan Pajajaran serta puji-pujian terhadap
kepribadian para bangsawan Pajajaran yang kuat pendiriannya, kelembutan
sikap dan kebijaksanaanya, satria dan perkasa, rendah hati, serta tetap selalu
berusaha menyembunyikan kepandaiannya.21 Sosok tokoh-tokoh dalam
cerita pantun Mundinglaya di Kusumah diungkapkan lewat bait-bait syair
yang sebagian diambil dari naskah asli sastra pantunnya sendiri. Ada lirik
yang melukiskan tentang kecantikan Dewi Asri yang agung dan lembut,
juga ada syair yang melukiskan mengenai terbangnya Raden Mundinglaya
ketika menuju ke “Jabaning Langit” (langit rohani) untuk mencari
Lalayang Salaka domas, azimat yang akan membawa kesejahteraan bagi
rakyat kerajaan Pajajaran. 22
Lirik-lirik tembang Cianjuran yang menggambarkan tentang Masa-
masa kejayaan Pajajaran tersebut memberi gambaran adanya kerinduan dan
kenangan orang Sunda terhadap kerajaan yang pernah hadir dalam sejarah
wilayah dan budayanya. Hal ini tercermin dalam lagu-lagu jenis
papantunan dan jejemplangan, pada setiap akan menyanyikan lagu-lagu dari
jenis tersebut selalu diawali dengan kalimat yang menyiratkan adanya
kerinduan dan kenangan tersebut. Seperti kalimat yang berbahasa Sunda
“Daweung menak Pajajaran”, yang artinya “mari kita merenungkan
sejenak tentang menak-menak di Pajajaran”. Kalimat pembuka lain yang
menggambarkan tentang kerinduan kenangan tersebut, seperti kalimat
berbahasa Sunda “Mukakeun panto bongongong jalan gede sasapuan, sok
emut jaman kapungkur jaman Pajajaran murba” , artinya “Apabila pintu
dibuka lebar-lebar, terlihatlah jalan yang besar dan bersih, suka teringat
jaman dahulu ketika masa jayanya kerajaan Pajajaran”.

21
Saini KM, “ Cianjuran, Ajakan Meditasi” , dalam Buletin Dangiang Pancaniti, Bandung: Yayasan
Tembang Sunda Pancaniti, 1985, 35.
22
Depdikbud, “ Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian”, Jakarta: Direktorat Kesenian, 119.

10
Nandi Saefurrohman

Selain bertemakan tentang masa-masa keemasan kerajaan Pajajaran,


juga banyak syair-syair dalam lagu-lagu tembang Sunda Cianjuran yang
melukiskan tentang keindahan dan kesuburan tanah Pasundan. Keindahan
alam priangan memberikan inspirasi bagi para seniman untuk menciptakan
lagu-lagu dan syair tembang yang melukiskan keindahan pemandangan laut
dengan ombaknya, hijaunya bukit-bukit dan gunung-gunung, sungai, sawah,
serta penduduknya yang ramah dan bersahaja. Salah satu syair lagu yang
terkenal seperti yang diciptakan oleh Rd. Ece Madjid yang berjudul Laut
Kidul dalam bentuk pupuh sinom, yang melukiskan keindahan dan
keganasan laut di wilayah pesisir selatan tanah Sunda.

Pantun Sunda: Dimensi Musik Arkhaik dalam Tembang


Cianjuran
Pada awal perumusannya tembang Cianjuran merujuk pada seni
macapat atau pupuh Jawa, terutama pada satra lagunya. Namun seiring
dengan proses kreatifitas seni yang terus dilakukan oleh seniman-
senimannya, tembang Cianjuran akhirnya menyesuaikan dengan lingkungan
budaya Sunda sendiri dengan memasukan unsur-unsur seni pantun baik
penggunaan sastra lagu, unsur-unsur musikal, instrumen (kecapi) sekaligus
dengan pola tabuhannya.
Musik pantun Sunda dipandang sebagai bentuk musik ‘tempo doeloe’
yang sarat dengan nuansa dan warna musik arkhais (kuna/kolot), yang
dulunya hanya disajikan sebagai media dalam upacara-upacara ritual di
masyarakat Sunda Lama. Meskipun muskalitas dan teknik permainan
instrumen yang sederhana, namun kekuatan karakteristik musiknya sangat
nampak ketika juru pantun memulai memadukannya dengan struktur cerita
pantun yang banyak mengangkat tema-tema seputar kerajaan-kerajan dan
kehidupan masyarakat pedesaan zaman Sunda Lama, atau mengenai
lingkungan dan alam pada zaman tersebut. Penilaian musik dan cerita
pantun sebagai presentasi estetik yang mengandung atau bersumber dari
nilai-nilai filosofis-religius masyarakat Sunda Lama itu, oleh suatu
komunitas/kalangan bangsawan (menak) Sunda yang berada di lingkungan
pendopo kabupaten Cianjur telah dijadikan sebagai rujukan dalam
merumuskan suatu jenis seni vokal yang sekarang disebut tembang
Cianjuran. Dengan demikian karakteristik tembang Cianjuran yang
berkembang saat ini selain terkait dengan tembang macapat Jawa (pupuh)
juga dengan seni pantun Sunda yang mempunyai kekhasan tersendiri. Di
dalam tembang Cianjuran, warna seni pantun Sunda ini menjadi salah satu
wanda sekar mamaos (gaya tembang) Cianjuran yang disebut gaya
papantunan.

11
Nandi Saefurrohman

Dalam budaya Sunda pantun adalah seni pertunjukan berupa teater


tutur yang membawakan cerita yang dilagukan/dinyanyikan dengan diiringi
kecapi (kecapi pantun), syair-syairnya berbentuk puisi Sunda Lama,
sedangkan yang semakna atau sejenis dengan pantun Melayu disebut
sisindiran. Disebut teater tutur, sebab dalam pertunjukannya hanya
dilakukan dan dituturkan oleh seorang pencerita (juru pantun) yang lakon-
lakonnya banyak mengisahkan tentang kerajaan-kerajaan Sunda Lama serta
pahlawan-pahlawan mitos kerajaan Sunda zaman Hindu-Budha.23
Dalam naskah Siksa Kandang Karesian (1518 M), seni pantun telah
ada sejak zaman kerajaan Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, dan
Haturwangi, sehingga cerita-ceritanya banyak menggambarkan kisah-kisah
pada zaman kerajaan tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya cerita-
cerita pantun kian bertambah dan bervariasi seperti adanya cerita Lutung
Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglayadikusumah, Dengdeng Pati
Jayaperang, Ratu Bungsu Kamajaya, Sumur Bandung, dan sebagainya. Dari
banyak cerita pantun yang tersebar di masyarakat sebagaian besar
mengisahkan tentang para anak/keturunan raja Prabu Siliwangi dari zaman
kerajaan Pajajaran.
Bagi masyarakat Sunda saat ini, pantun adalah interpretasi dari mitos-
mitos yang dianggap mempunyai ajaran-ajaran filosofis-religius, etik dan
estetik Sunda Lama yang dapat memperkuat dan menumbuhkan kerohanian
masyarakatnya. Pantun diciptakan berdasarkan alam pikiran mitis-religius
yang dapat dipahami maknanya lewat isi cerita-ceritanya. Cerita dalam
Pantun seolah-olah dapat mengemukakan dan menghadirkan kembali
peristiwa-peristiwa masa lampau yang mengandung kesatuan kosmis ke
masa sekarang untuk dihayati, dialami, disaksikan sendiri oleh masyarakat
sekarang. Dalam beberapa segi cerita-ceritanya dapat dinilai sebagai alat
penyebaran kepercayaan yang berisikan informasi atau pengetahuan
mengenai asal-usul dunia ini, asal-usul padi, dan tentang dunia atas yang
gaib.
Pertunjukan pantun merupakan perpaduan antara upacara, seni musik,
dan seni sastra. Dalam kehidupan masyarakat Sunda Kuna (Sunda Buhun)
yang berkebudayaan agraris, seni pantun disajikan dalam melengkapi
upacara yang berhubungan dengan budidaya pertanian tanaman padi, 24

23
Jakob Sumardjo, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun, Bandung: Kelir, 2003, 19.
24
Kesuburan pertanian padi tidak terlepas dari adanya sukma atau roh suci yang mengelola kesuburannya,
sukma tersebut dipersonifikasikan sebagai Dewi Padi yang disebut Nyi Pohaci Sang Hiang Sri. Menurut
beberapa ahli bahasa Sunda Kuna, kata pantun juga mempunyai pengertian padi, maka petunjukan pantun
berhubungan dengan simbol kesuburan pertanian.

12
Nandi Saefurrohman

upacara/ritus inisiasi25 (berhubungan dengan simbol-simbol perjalanan


rokhani manusia menuju pada tataran kedewasaan dan kematangannya),
upacara untuk menyambut kelahiran sang jabang bayi, upacara sunatan atau
perkawinan, upacara ngaruat/meruat anak nunggal (anak tunggal) yang lahir
pada bulan-bulan yang dikeramatkan seperti bulan sapar, mulud, atau bulan
sura, serampa (empat anak laki-laki), serimpi (empat anak putri), pandawa
(lima anak lelaki), pandawi (empat anak putri), nanggung bugang (kakak
dan adik seorang anak telah meninggal dunia), meruat rumah baru/lama,
tanah, desa, panenan padi, serta benda-benda keramat yang dianggap dapat
memberikan ketentraman hidup seseorang.
Dalam setiap penyajiannya, selalu didahului dengan mantra-mantra
yang ditandai dengan pembacaan rajah bubuka (mantram pembuka) lengkap
dengan sarana upacara seperti dupa dan sesaji. Rajah merupakan bait-
bait/syair-syair do’a atau mantra-mantra dalam bahasa Sunda Kuna (Sunda
Buhun) yang dinyanyikan atau dituturkan oleh Juru Pantun sebagai syarat
ketika akan memulai pertunjukannya. Rajah bertujuan untuk meminta maaf
atau ampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan semoga roh-roh para
leluhur atau roh halus yang dikeramatkan tidak menjadi murka serta
memberikan ijin atas kelancangannya memaparkan cerita atau riwayat
leluhur yang keramat tersebut. Selain itu, rajah dianggap mempunyai
kekuatan magis yang dapat digunakan sebagai penolak bala, sehingga
diharapkan dapat mencegah masuknya roh-roh jahat yang akan
mengganggu jalannya pertunjukan atau upacara ritual yang segera akan di
langsungkan.26
Cerita-cerita yang dibawakan dalam pertunjukan pantun merupakan
karya sastra berupa paduan antara bentuk prosa dan puisi. Juru Pantun
mengucapkan narasi atau dialog-dialog antar tokoh dalam suatu cerita yang
sedang dibawakan biasanya berbentuk prosa yang dinyanyikan atau
diucapkan dengan gaya bertutur seperti biasanya orang berbicara. Sedangkan
bentuk puisi terdapat pada bagian-bagian ketika Ki Juru Pantun sedang
melukiskan atau menggambarkan (mendeskripsikan) situasi adegan per
adegan. Pelukisan secara puitis yang sering muncul berulang-ulang dalam
berbagai cerita berkisar mengenai Raja yang kaya dan bijaksana, negara
yang subur-makmur aman dan tentram, Putri yang cantik, pangeran tampan
yang berbudi luhur atau sebaliknya yang berwatak buruk, senjata-senjata
pusaka yang sakti, dan sebagainya.
25
Dalam berbagai ritus inisiasi yang terdapat di masyarakat Sunda, pertunjukan pantun hadir dalam
upacara untuk menetapkan pergantian atau peralihan kedudukan seseorang dari tingkatan yang satu ke
tingkatan yang lain seperti dari anak-anak menjadi remaja, dari gadis menjadi istri, dari hidup menjadi
mati, dan sebagainya.
26
Ma’mur Danasasmita, Wacana Bahasa dan Sastra Sunda Lama, Bandung: STSI Press, 2001, 139-142.

13
Nandi Saefurrohman

Narasi, dialog, maupun deskripsi cerita, dibawakan dengan nyanyian


atau dengan memakai gaya bertutur yang selalu diiringi dengan musik
kecapi sebagai instrumen pokok. Setiap petikan kecapi memiliki tehnik
permainan yang beragam, sehingga dapat menghantarkan pada suasana
musikal yang berbeda-beda tergantung suasana apa yang hendak atau sedang
dibangun oleh Ki Juru Pantun. Kemahiran juru pantun dalam memetik
kecapi berdasarkan pada kemampuannya dalam berekspresi dan berkreasi
ketika membangun atau menggambarkan suasana-suasana seperti
kegembiraan, kesemarakan, ketenangan, romantisme, kesedihan, kelucuan,
ketegangan, dan lain-lain. Dari hasil kreasinya tersebut, seorang juru pantun
dapat memainkan pola-pola petikan kecapi yang kaya dan variatif sehingga
dapat menemukan ciri khas atau gaya tersendiri yang berbeda dengan juru
pantun lainnya.
Meskipun saat ini seni pantun banyak disajikan bukan pada waktu
yang bertepatan dengan suatu upacara –artinya dapat disajikan kapan,
dimana, dan dalam situasi apapun yang penting bagaimana pertunjukannya
itu dapat menghibur–, tetapi kebiasaan, ciri dan karakteristiknya masih tetap
ditampilkan. Misalkan pada setiap pertunjukan selalu menyediakan sesaji
(sajen) yang jumlahnya selalu tujuh baik jenis maupun rupanya, ada
parukuyam (dupa kemenyan), ada rajah bubuka (doa/mantram pembuka)
dan rajah penutup (doa penutup). Ini menandakan bahwa pertunjukan
pantun saat ini masih tetap mempertahankan nuansa atau aspek ritual
meskipun tidak sedetail dan selengkap ketika zaman masyarakat Sunda lama
(Sunda Buhun).
Selanjutnya bagaimana keterkaitannya dengan tembang Cianjuran.
Dalam seni tembang Cianjuran, pertunjukan cerita-cerita pantun dan unsur
musikalnya telah menjadi dasar perumusan yang terkait dengan
pembentukan lagu-lagu tembang terutama dalam jenis papantunan.
Keterkaitan tersebut dapat diamati dalam tema lagu dan syair-syair tembang,
unsur musikal, serta alat musik pokok yang digunakan yaitu kecapi.
Tembang Cianjuran digolongkan sebagai karawitan yang halus
(lemes). Jenis karawitan ini sampai sekarang digemari oleh masyarakat Jawa
Barat khususnya oleh golongan atas dan menengah. Kenapa demikian, ada
beberapa alasan, kemungkinan karena syairnya (guguritan) tidak begitu
mudah untuk dapat dimengerti, juga karena faktor musiknya yang rumit
dibandingkan dengan jenis karawitan lain.27 Lagu-lagu tembang Cianjuran
terbagi menjadi dua kelompok yaitu lagu-lagu yang bermetrum bebas (sekar
irama merdika) dan lagu-lagu yang bermetrum tetap (sekar panambih).
27
Wim Van Zanten, “Ornamen Vibrato dalam Tembang Sunda Cianjuran”, dalam Jurnal MMI, th II no.2,
1991, 121.

14
Nandi Saefurrohman

Lagu-lagu yang bermetrum bebas masih terbagi lagi menjadi beberapa gaya
(wanda) yaitu: papantunan, jejemplangan, rarancagan, dedegungan, dan
kakawen, sedangkan yang bermetrum tetap terdiri dari lagu-lagu yang
berfungsi untuk menambah atau menyambung setelah tembang itu sendiri di
nyanyikan. Dikatakan bermetrum tetap karena lagu-lagu panambih
(penambah) sangat terikat dengan irama dan struktur lagu yang bersifat
metris. Instrumen yang digunakan adalah kecapi indung (pokok), kecapi
rincik, suling dan rebab. Tangga nada atau laras menggunakan salendro,
pelog, dan madenda
Oleh para ahli tembang Cianjuran gaya papantunan dianggap
sebagai gaya tembang yang mempunyai kesamaan karakteristik dengan seni
pantun Sunda, baik dalam aspek lagu/lirik, maupun teknik atau pola-pola
tabuhan kecapi sebagai instrumentasi pokoknya. Pengaruh pantun semakin
nampak ketika juru tembang mulai menyanyikan sebuah lagu yang liriknya
diambil dari cerita pantun seolah-olah kita dihadapkan pada pertunjukan
pantun yang sebenarnya. Maka banyak praktisi tembang Cianjuran ketika
akan menyanyikan sebuah lagu papantunan, lebih senang apabila disebut ia
akan mantun, karena akan membawakan lagu-lagu panganteb (pokok)
pantun Sunda yang banyak mengisahkan tentang kerajaan Pajajaran.

Bentuk Lagu-Lagu Papantunan


Struktur papantunan dalam tembang Coianjuran adalah bagian-
bagian atau unsur-unsur yang sangat mengikat dalam membentuk sebuah
karakteristik lagu gaya pantun Sunda. Unsur-unsur tersebut menjadi material
dasar yang berada dalam kesatuan mekanisme yang utuh. Hilang satu unsur
saja kemungkinan tidak akan dapat membentuk karakteristik sebuah lagu
gaya papantunan. Ciri khusus dari lagu papantunan ini terdapat pada unsur-
unsurnya yang terdiri dari lagu/vokal, lirik dan musik (petikan kecapi) yang
bernuansakan pantun Sunda. Gaya papantunan dalam tembang Cianjuran
(banyak juga yang menyebut gaya Pajajaran karena lirik lagu-lagunya
sebagian besar bertemakan tentang kisah-kisah kerajaan Pajajaran)
merupakan stilisasi warna dan gaya vokal pantun Sunda dengan mengolah
kembali ornamentasi vokal pantun menjadi lebih halus (lemes).
Lirik pantun dapat dikatakan sebagai syair (rumpaka) berbentuk puisi
Sunda Lama. Salah satu ciri yang menonjol adalah bentuknya yang bebas
dengan struktur pengkalimatan yang kaya (terikat) dengan purwakanti 27,
struktur bunyi terdiri atas delapan suku kata pada setiap baris. Lagu-lagu
(lirik dan vokal) papantunan bersumber dari lagu-lagu pokok (panganteb)
27
yaitu dengan keterpaduan, harmonisasi bunyi antara dua suku kata atau lebih dalam kata atau ucapan
yang beda, baik bunyi vokal maupun konsonan (Puisi Mantra sunda, 1970).

15
Nandi Saefurrohman

juru pantun yang kemudian diolah menjadi lagu-lagu tembang Cianjuran.


Yang dimaksud lagu-lagu panganteb juru pantun yaitu lagu-lagu khusus
yang dibawakan juru pantun dalam menggambarkan berbagai suasana
adegan cerita pantun yang dibawakan.
Lagu-lagu pokok (panganteb) juru pantun, liriknya biasanya
bertemakan atau melukiskan tentang Kerajaan Pajajaran, puji-pujian
terhadap kepribadian para bangsawan Pajajaran yang kuat pendiriannya,
satria, perkasa, rendah hati, lembut, bijaksana, serta tetap selalu berusaha
menyembunyikan kepandaiannya.28 Sosok tokoh-tokoh dalam cerita pantun
semisal dalam lakon Mundinglaya di Kusumah diungkapkan lewat bait-bait
syair yang sebagian besar diambil dari naskah asli sastra pantunnya sendiri.
Kaitan antara tema lirik lagu tembang dengan isi cerita dalam pantun,
misalnya dalam lagu mupu kembang (Canjuran) mengambil dari Cerita
Mundinglaya di Kusumah yang melukiskan kecantikan, kelembutan dan,
keagungan putri Dewi Asri, serta romantika percintaan sang putri dengan
kekasihnya. Pada lagu rajamantri, melukiskan gambaran batin Dewi
Rajamantri. Pada lagu pangapungan melukiskan Raden Mundinglaya yang
sedang mengangkasa menuju langit ke tujuh, menembus Jabaning Langit
(langit rohani) untuk mencari azimat berupa Lalayang Salaka domas yang
akan membawa kesejahteraan bagi rakyat kerajaan Pajajaran.29

Contoh tembang Cianjuran gaya Papantunan yang lagu/liriknya


dibuat untuk mengenang kebesaran kerajaan Pajajaran :
1. Papatet (laras pelog), bentuk lirik puisi bebas
5 5 5 5 5 54 5 45 2
Pa---ja---ja---ran ka---ri nga----------ran
(Kerajaan Pajajaran kini tinggal nama)

2 15 5 5434 51 2 15 5 22215
Pang----------ra---------ngo----------------geus na-------rik ko------lot
(Gunung Pangrango sudah semakin kelihatan menua)
5 5 5 5 5 45 5 45 123-
Man-----da-----la-----wa------ngi nga-----leu-----ngit
(Gunung Mandalawangi menghilang)

3- 3- 2 12 2 2 2 2123 3345 5 5

28
Saini KM, “ Cianjuran, Ajakan Meditasi” , dalam Buletin Dangiang Pancaniti, Bandung: Yayasan
Tembang Sunda Pancaniti, 1985, 35.
29
Depdikbud, Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian, Jakarta: Direktorat Kesenian, 119.

16
Nandi Saefurrohman

Nya da-----------yeuh geus ja--di leu--------weung


(Dan kota sudah menjadi hutan lagi)

2 1 5 5 5 5 5 5
Na----ga----ra geus la---was pin----dah
(Negara sudah lama pindah)

5 5 5 5 4 5 5 5
Sa----bu----rak----na Pa----ja----ja----ran
(setelah runtuhnya Pajajaran)

3- 3-2 1221 2 2 2 12 3 3
Di gu------nung gu-----mu------ruh, su-----wung
(Gunung-gunung tak indah lagi)

3 32 2 2 2 12 234 5 45 43 34 5 5 5
Geus ti----lem jeung na--------ga-------------ra----na
(Bersamaan musnahnya negara/Pajajaran)

2. Mupu Kembang (laras pelog), bentuk puisi kauger/terikat purwakanti

Burudul menak ti kidul


(beriringan datang para bangsawan dari selatan)
Iringan para tumenggung
(iringan para tumenggung)
Candakna parabot degung
(membawa seperangkat gamelan degung)
Tutup krndang kulit lutung
(tutup kendang kulit lutung/kera hitam)
Dirarawat hoe wulung
(diikat rotan yang sudah tua)
Hoe wulung nu ti gunung
(rotan yang dari gunung)
Ditepak ku nu jarangkung
(Dimainkan oleh orang yang tinggi)

Selain contoh lagu atau lirik tersebut di atas, masih banyak lagu dan
lirik yang intinya/isinya dicuplik dari cerita-cerita pantun Sunda seperti
cerita Putri Tejamantri, Dewi Asri, Raden Mundinglaya di Kusumah, dan
lain-lain. Gaya bahasanya berupa puisi kauger (terikat), puisi merdika

17
Nandi Saefurrohman

(bebas), atau berupa rangkaian bahasa/kalimat yang murwakanti. Judul lagu


tembang Cianjuran yang dicuplik dari cerita pantun Sunda tersebut pada
dasarnya merupakan intisari dari setiap adegan/babak dari sebuah cerita
pantun.
Salah satu anggapan dari para tokoh mengenai kenapa lirik-lirik
tembang Cianjuran banyak mengambil dari lirik-lirik cerita pantun yang
pada umumnya selalu menggambarkan tentang masa-masa kejayaan
Pajajaran, pada dasarnya adalah sebagai ungkapan dan renungan terhadap
nilai-nilai budaya dari suatu generasi (Sunda Lama), untuk tetap dilestarikan
dan diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya salah satunya melalui
penciptaan seni tembang Cianjuran.37 Syair lagu-lagunya dapat memberikan
gambaran bahwa masih adanya kerinduan dan kenangan orang Sunda
terhadap kerajaan yang pernah hadir dalam sejarah wilayah dan budayanya.
Pada setiap akan menyanyikan lagu-lagu jenis papantunan dan
jejemplangan selalu diawali dengan kalimat yang menyiratkan adanya
kerinduan dan kenangan tersebut. Seperti bait atau kalimat pendek:
“Daweung menak Pajajaran”, yang artinya “mari kita merenungkan
sejenak tentang menak-menak di Pajajaran”. Kalimat lain: “Mukakeun
panto bongongong jalan gede sasapuan, sok emut jaman kapungkur jaman
Pajajaran murba” , artinya “Apabila pintu dibuka lebar-lebar, terlihatlah
jalan yang besar dan bersih, suka teringat jaman dahulu ketika masa
jayanya kerajaan Pajajaran”.

Musik dan Pola Tabuhan Instrumentasi Papantunan


Kecapi sebagai instrumen pokok penyajian Tembang Cianjuran,
bentuk serta motifnya sangat mendekati dengan bentuk kecapi dalam
pantun. Baik kecapi pantun maupun kecapi Cianjuran pada dasarnya
mempunyai bentuk yang sama menyerupai perahu, meskipun terdapat
sedikit perbedaan dalam ukuran maupun aksesoris serta jumlah dawai/kawat.
Bentuk kecapi untuk tembang Cianjuran ukurannya lebih besar serta jumlah
dawainya lebih banyak (18 buah) dibandingkan dengan kecapi pantun yang
hanya 6-8 dawai. Dalam seni pantun, kecapi merupakan alat musik pokok
selain kadangkala disertai dengan rebab Sunda. Bentuknya mengandung
aspek perlambangan atau sebagai simbol. Bagian atas ujung kiri dan kanan
kecapi perahu adalah simbol adanya dunia atas atau dunia para dewa atau
roh para leluhur (makrocosmos). Bagian tengah sekitar posisi dawai simbol
dunia tengah atau dunia manusia (mikrocosmos). Bagian bawah seputar
resonansi/ruang kosong simbol dunia bawah (alam kesadaran manusia).
Simbol-simbol tersebut terkait dengan konsep religi orang Sunda
37
Saini KM, ibid, 42.

18
Nandi Saefurrohman

Lama/Kuna yang dalam pantun Sunda konsep tersebut tertuang dalam


bentuk dan fungsi pertunjukannya sebagai seni untuk upacara-upacara ritual
semisal slametan, nadzar, maupun ruatan.
Tangga nada yang digunakan dalam kecapi pantun dan tembang
Cianjuran (kecapi indung) adalah tangga nada pentatonik slendro dan pelog
(degung), yang dalam penggunaannya baik pada pantun (pola adegan)
maupun Cianjuran (tema/jenis lagu) slendro dipergunakan untuk
membangun suasana gembira dan chaos (tegang), sedangkan pelog untuk
membangun suasana sedih, tenang, dan agung. Susunan nada-nada pelog-
slendro (tangga nada da-mi-na-ti-la)dalam perbandingan interval sebagai
berikut:
Pelog degung : da mi . . . na . ti la . . . da
1 2 . . . 3 . 4 5 . . . 1
100 400 200 100 400
Slendro : 1 . .2. . 3 . 4 . .5 . . 1
250 250 200 250 250
Dalam musik kecapi indung (Cianjuran), nada-nada tersebut dalam
penggunaannya tergantung kepada pengolahan ruang-waktu (panjang-
pendek kerangka sebuah lagu) yang di dalamnya terkait dengan pengolahan
melodi, irama/ritme, tempo, dan dinamika. Selanjutnya pengolahan tersebut
menghasilkan berbagai pola/teknik tabuhan yang pada dasarnya merunut
dari pola-pola tabuhan pantun yang kemudian diolah dan distilisasi kembali.
Fungsi musikal kecapi dalam seni pantun dan tembang Cianjuran
mempunyai kesamaan yaitu sebagai musik ilustrasi (masieup), mengiringi
lagu atau cerita (pirigan). Pola tabuhan kecapi pantun yang disebut
kemprangan 29, dalam kecapi tembang Cianjuran pola tabuhan ini dipakai
dalam mengiringi vokal tembang yang berirama bebas (free meter/tidak
konstan) sebagai tanda ketika vokal tembang akan dimulai. Teknik
kemprangan pantun menjadi lebih variatif ketika teknik ini diterapkan ke
dalam kecapi tembang Cianjuran yang mempunyai 18 dawai. Yang tadinya
hanya berupa pola tabuhan akord (kempyung/kwint), setelah diolah
terbentuklah serentetan nada-nada akord yang dapat dirangkai menjadi
suatu melodi yang panjang dan “rumit” karena penggunaan nada-nada dari 1
sampai 4 oktav. Biasanya tehnik tabuhan kecapi pantun sangat sederhana
tidak terlalu rumit melodinya, namun kaya akan motif-motif melodi
meskipun nada-nada setiap motif melodi berkisar antara tiga sampai enam
nada (satu oktav), hal ini kemungkinan karena kecapi pantun hanya
mempunyai 8 dawai.
29
Dalam teknik menabuh kecapi pantun, pola ini hanya membunyikan secara bersamaan dua buah nada
menjadi akord (kempyung/kwint) misalnya nada pelog 5 dan 2.

19
Nandi Saefurrohman

Pantun dan tembang dalam Relasi Makna Budaya


Suatu seni (teks) mampu mewariskan makna-makna ‘adiluhung’
dalam mengatur gerak langkah dan aktivitas kehidupan (konteks) suatu
masyarakat. Seni sebagai suatu bentuk presentasional (makna reperensial)
selalu terkait dengan interpretasional (makna budaya). Makna budaya yang
dimaksud di sini adalah isian atau bobot yang terkandung dari segala
aktifitas budaya manusia yang dapat memberikan stimulus ke pencerahan
hidup, dan menimbulka kesadaran baru atas perenungan terhadap tingkah
laku kemanusiaan (humanism
behavior), tingkah laku religi (spiritual behavior), dan tingkah laku sosial
(social behavior). 30
Keterkaitan antara pantun Sunda dan tembang Cianjuran dalam ruang
yang lebih besar, oleh masyarakat tembang Cianjuran diasumsikan karena
terdapatnya suatu relasi antar makna dimana nilai dan fungsi seni (budaya)
terkait dengan citra kehidupan suatu zaman, dari suatu generasi masyarakat
ke generasi masyarakat berikutnya, dari masyaakat Sunda buhun
(lama/kuna) ke Masyarakat Sunda kiwari (saat ini). Melalui seni akan dapat
dilihat kedudukan, otoritas, status sosial, filosofis-religius dan sistem
kepercayaan individu atau suatu kelompok orang/masyarakat.
Sebagian besar produk budaya (seni) masa lalu pada umumnya
tercipta, dijalin, dan selalu berhubungan dengan aspek kepercayaan dan
mitos, di dalamya terkandung makna-makna filosofis-religius akan totalitas
hidup dan kehidupan. Ketika sebuah komunitas masyarakat mencoba
membentuk jati diri lewat lingkungan tempat tinggalnya, maka di situlah
beragam proses penciptaan seni budaya terjadi dan dibentuk sesuai dengan
tatacara, adat, kepercayaan/religi yang berlaku. Hasil dari semua proses
penciptaan seni budaya (kesenian) itu di kemudian hari mampu memberi arti
terhadap kedudukan, status sosial, serta dapat menguatan identitas budaya
daerah dan masyarakatnya. Maka kehadiran seni budaya di masyarakat
diibaratkan sebagai ‘pendamping’ dalam membangun spirit kehidupan
religiusitas maupun sosial.
Ketika seni tercipta dalam lingkungan masyarakat non bangsawan
misalnya kesenian rakyat, akan tampak sebagai sebuah perwujudan budaya
masyarakat yang bersahaja. Cirinya adalah, bahwa nilai-nilai budaya yang
terjalin merupakan refleksi dari cara hidup sehari hari yang didukung oleh
mitos-mitos yang melingkupinya. Namun apabila kesenian itu hadir sebagai
tanda dalam menguatkan status sosial individu maupun sebuah komunitas
30
Donald Walters, Crises in Modern Thought (Solutions to the Problem of Meaninglessness), Terjemahan,
Jakarta: Gramedia, 2003.

20
Nandi Saefurrohman

masyarakat “ekslusif”, maka yang terdapat adalah satu wujud kesenian yang
ekslusif pula. Fenomena seperti itu sering kita temukan pada jenis-jenis
kesenian yang datang atau tercipta di lingkungan kaum bangsawan/keraton
yang dikatagorikan sebagai kesenian yang memiliki cita rasa tinggi dengan
lebih mementingkan kekuatan bentuk, struktur, teknik yang rumit, proses
pembelajarannya yang khusus, serta nilai-nilai yang didukung dapat bersifat
profan maupun bersifat sakral. Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa
kesenian yang tercipta dilingkungan keraton, pada dasarnya bentuk dan
makna-makna filosofisnya berakar dari nilai-nilai budaya masyarakat yang
ada di luar tembok keraton.31 Seperti halnya tembang Cianjuran yang
material seninya dirumuskan dari seni pantun yang isinya banyak
merepresentasikan nilai-nilai kehidupan dan makna budaya masyarakat
Sunda Lama, masyarakat buhun dan agraris.
Jika melihat awal proses penciptaan dan perkembangannya,
penciptaan tembang Cianjuran penekanannya lebih mengutamakan visi
spiritual, dan penguatan status sosial kaum menak Sunda. Artinya ia
merupakan hasil dari sebuah proses pemahaman yang mengacu pada
keagungan tradisi masyarakat bangsawan Cianjur, masyarakat peodal, dan
masyarakat yang cenderung patuh pada doktrin (tatanan sosial, nilai-nilai
religi, estetik dan etik), keterampilan, serta pengetahuan budaya yang seiring
dengan segala aktifitas generasi atau masyarakatnya waktu itu. Generasi
pertamanya memandang bahwa nilai-nilai yang ada dalam kesenian ini harus
dipahami, dihayati, dan dirasakan dengan sikap hormat, sebagai sebuah
penghargaan yang langsung diterapkan dan diaflikasikan dengan
menjadikanya sebagai miliknya sendiri yang harus dijaga dan dirawat dalam
lingkungan sosialnya.32
Syair-syair tembangnya memiliki kandungan makna yang dalam,
sehingga memerlukan tingkat penghayatan yang tinggi. Lagu-lagunya
bersifat sekar daria (lagu serius) dan lebih bersifat kanggo renungkeuneun
(untuk kontemplasi). Gaya melagukanya bersifat ‘ngagalindeng’ (mendayu-
dayu, mengalir) menggambarkan suasana hati dalam untaian suara/nada
yang penuh ornamen, maka dalam praktek menembangnya harus
dinyanyikan dengan baik dan dihayati dengan baik pula, agar dapat
menghantarkan kearah perenungan yang dalam.33 Seseorang ketika sedang
tembang sekar daria, lebih mengutamakan pada usaha merepresentasikan
bentuk keindahan musik/lagu dan menangkap makna teks nyanyian, dan dua

31
Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta, 1977, 260, 312.
32
William, Sean, “The Urbanization of Tembang Sunda an Aristocratic Musical Genre of West Java
Indonesia”, Wasingthon Univercity, 1990. 28.
33
Wahyu Wibisana, Mencari Ciri-Ciri Mandiri dalam Tembang Sunda, Bandung: Pancaniti, 1976, 8.

21
Nandi Saefurrohman

hal inilah oleh masyarakat tembang Cianjuran sering disebut usaha menuju
dangiang Cianjuran (jiwa lagu).34
Melalui bentuk musiknya yang memiliki tingkat kerumitan yang
tinggi –berhubung berhubungan dengan teknik oleh vokal–, lagu-lagu
tembang Cianjuran harus memiliki jiwa atau daya bathin sehingga dapat
memposisikan juru tembang maupun pendengarnya berada pada sebuah
dimensi perenungan, pengkayaan bathin, dan pengalamannya sebagai
manusia yang berada pada nilai-nilai filosofis dan tatanan Kabudayan
Urang Sunda. Seorang juru tembang dalam membawakan lagu-lagu
Cianjuran tidak hanya dituntut menguasai lirik, lagu dan musiknya saja,
namun lebih dari itu ia harus mampu menyentuh batin pendengarnya.
Kenapa demikian, karena karakter dari lagu-lagu tembang Cianjuran lebih
banyak memberikan tekanan untuk membangkitkan seseorang dalam
menghayati dan merenungi nilai-nilai budaya Sunda seperti yang tersirat
dalam seni pantun, maka para ahli selalu mengatakan bahwa tembang
Cianjuran adalah sarana kontemplasi ketimbang hiburan.35 Namun seiring
dengan perkembangan budaya dan masyarakat yang semakin cepat, telah
memberi isyarat adanya perubahan dalam setiap lingkup tata nilai. Kita
menyadari bahwa setiap terjadinya sebuah perkembangan kehidupan
membawa dampak atau pengaruh yang mengakibatkan berbagai aspek
kehidupan budaya masyarakat berubah, mulai dari perubahan dalam lingkup
gagasan (idea), tindakan (activity), sampai perubahan pada bentuk-bentuk
hasil (productivity) budaya masyarakat tersebut.
Sekarang tembang Cianjuran telah menempati seluruh wilayah
dalam lapisan sosial masyarakat Sunda yang beragam. Ia tumbuh dan
berkembang dari masyarakat menak, seterusnya menyebar pada seluruh
lapisan masyarakat yang lebih luas, dari masyarakat golongan ekonomi kelas
atas, sampai menengah ke bawah, baik yang ada di perkotaan maupun di
pedesaan. Ia telah memberikan fungsi dan manfaat kepada generasi-generasi
penerusnya mulai dari yang bersifat praktis dalam keseharian
(hiburan/rekreatif), sampai ke pada tatanan-ranah yang paling ideal yaitu
dalam memenuhi kebutuhan berekspresi-estetis melalui kesenian yang
bercita rasa seni tinggi.

34
Yang saya ketahui dari para juru pantun Sunda ketika memberi wejangan, Dangiang adalah sifat suci
para kadewan (para dewa) yang memiliki pancaran (wibawa) dan kekuatan (kesaktian), yang menuntun
manusia ke arah pencerahan jiwa dan kesempurnaan hidup. Dalam naskah/cerita pantun Sunda tersirat
bahwa pada masyarakat Sunda Lama, Dangiang menjadi sebuah konsep filosofis-religius yang oleh
sebagian masyarakat Sunda kiwari (saat ini) masih dipertahankan, terutama di masyarakat pedesaan yang
masih kental dengan unsur-unsur budaya hindu-isme (Sumarta, wawancara, Sumedang, 20 November
2004).
35
Enip Sukanda, diramu dari hasil wawancara, Bandung: 12 Juli 2004.

22
Nandi Saefurrohman

Secara kuantitas, tembang Cianjuran lebih berkembang di lingkungan


masyarakat perkotaan. Hal ini ditandai dengan banyaknya perkumpulan seni
mamaos (Tembang Sunda) Cianjuran yang berdiri, baik di lingkungan
masyarakat umum, kantor-kantor swasta, maupun di instansi-instansi
pemerintahan, dari golongan ekonomi kelas bawah, menengah dan atas.
Ada yang mempelajarinya secara serius sampai memenuhi tingkat kualitas
yang memadai, ada juga yang hanya sekedar untuk menyalurkan
kesenangannya semata-mata. Selain itu lahirnya para juru tembang atau juru
mamaos yang berkualitas dan terkenal di masyarakat Jawa Barat adalah
mereka-mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan. Melalui wadah
perkumpulannya mereka sering mengadakan pertemuan-pertemuan rutin
untuk berdiskusi dan menyajikan tembang Cianjuran. Selain itu sering
diadakannya pertemuan antar perkumpulan, misalnya di wilayah kota
Bandung mereka bertemu dalam sebuah acara rutin yang disebut
Panglawungan Mitra Tembang Sunda.
Bagi mereka-mereka yang hanya berminat dan mempelajarinya
bukan untuk tujuan menjadi seorang ahli dan mencari popularitas, sebagian
besar adalah dari golongan ekonomi menengah ke atas. Mereka sering
menyelenggarakan dan mengundang secara pribadi para juru mamaos untuk
sama-sama berkumpul dan menyajikan tembang Cianjuran di rumahnya.
Selain sebagai media untuk berkomunikasi, penyajian tembang Cianjuran
diduga dijadikan sebagai instrumen atau “alat” seseorang untuk menunjukan
tingkat dan kondisi sosialnya di masyarakat terutama mereka-mereka yang
masih terkait dengan silsilah atau keturunan kaum bangsawan Sunda.
Meskipun materi dasarnya banyak mengambil unsur-unsur seni
pantun, namun dalam penyajiannya tembang Cianjuran bukan sebagai seni
yang ditempatkan dalam ruang dan suasana upacara ritual seperti halnya
pantun. Dalam pergerakannya saat ini –terutama dalam lingkup budaya
kota– telah merambah pada ruang-ruang yang berbasis komoditi-ekonomi,
resepsi dan ceremonial. Kita bisa melihat pertunjukannya di ruang loby
hotel-hotel berkelas dan restoran-restoran termahal, kita bisa
menyaksikannya di “emperan toko”, kita bisa menikmatinya di rumah dari
media elektronik, ditunjang pula oleh perkembangan media rekam yang
sangat menjanjikan kita untuk banyak memiliki koleksi-koleksi rekaman
audio-visual. Di satu sisi keadaan tersebut dapat menyumbangkan andil dan
memberikan peranan dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya
masa lampau, meskipun di sisi lain telah terjadi pergeseran dan
pendangkalan makna seni karena lebih mementingkan nilai harfiah bukan
filosofinya.36
36
Kusumah, Ahmad R., Orsinalitas Rumpaka dina Tembang Sunda Kiwari, Tasik: Madina,1994, 14.

23
Nandi Saefurrohman

Sementara itu bagi kaum bangsawan, tembang Cianjuran telah


menjadi cultural identity para menak Sunda yang melestarikan pewarisan
nilai-nilai dan makna kebudayaan Urang Sunda Buhun. Bahkan dianggap
bahwa pantun dan tembang Cianjuran adalah interpretasi dari mitos-mitos
yang dianggap mempunyai ajaran etika-religius yang dapat memperkuat dan
menumbuhkan nilai-nilai kerohanian, serta berfungsi sebagai alat
penyebaran kepercayaan yang berisikan informasi atau pengetahuan
mengenai asal-usul jagat raya, tentang dunia atas yang gaib, dunia tengah
(dunia manusia) yang nyata dan dunia bawah (alam kesadaran manusia)
yang samar-samar. Kekuatan pantun ada dalam cerita-ceritanya yang
disusun berdasarkan alam pikiran mitis-religius masyarakat Sunda Lama
yang maknanya hanya dapat dipahami melalui lakon-lakon yang tertulis
maupun ketika menyimak ceritanya lewat juru pantun. Sedangkan kekuatan
tembang Cianjuran ada pada kerumitan musik dan karakteistik bahasanya
yang halus mengandung inti sari cerita-cerita pantun., dan para tokoh
mengatakan bahwa Cianjuran tercipta sebagai seni “masa kini” yang
mewarisi nilai-nilai budaya masa lalu (Sunda buhun) yang karakteristiknya
terformat dari lingkup lembaga kebangsawanan (menak) Sunda.
Sebagai seni yang berakar dari generasi pantun, tembang Cianjuran
dapat menghantarkan seseorang untuk menghayati dan merepresentasikan
spirit Ke-Sunda-annya, yaitu hal-hal yang terkait dengan cara pandangnya
dalam menilai sikap, fungsi, dan kedudukan dirinya untuk tetap menjadi
bagian yang integral dalam ranah budaya sendiri. Melalui Cianjuran, orang
Sunda dapat mengemukakan dan menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa
masa lampau (isi cerita-cerita pantun) untuk dihayati, dialami, dan
disaksikan sendiri tanpa harus merepresentasikannya kedalam suasana dan
bentuk upacara ritual. Maka mereka berusaha untuk memanifestasikannya
lewat berbagai cara, misalnya dengan terlibat secara aktif dalam kegiatan-
kegiatan yang berhubungan dengan proses pembelajaran dan penyajiannya.

24
Nandi Saefurrohman

SUMBER BACAAN

Atmadibrata, Enoch, Khasanah Kesenian Daerah Jawa Barat,


Bandung: Pelita Masa, 1983.

Atik Soepandi, Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan, Bandung:


Pustaka Buana, 1984.
-----------------, Lagu Pupuh, Pengetahuan dan Notasinya,
Bandung: Pustaka Buana, 1977.

Danasasmita, Makmur, Sastra Lagu dalam Tembang Sunda,


Bandung: ASTI, 1983.

Danasasmita, Saleh, Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian, sebuah Terjemaahan,


Bandung: Pengembangan Permusiuman Jawa barat, 1981.

Depdikbud, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat, Jakarta:


Pusat Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1984.
--------------, Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian, Jakarta: Direktorat Kesenian,
1981.

Ekadjati, Edi (ed), Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, Jakarta: Girimukti,


1984.

Endang S., Pangajaran Tembang Sunda, Bandung: Pelita Masa, 1979.

Ganjar Kurnia dan Nalan, Arthur S., Nalan, Deskrpsi Kesenian Jawa Barat,
Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, 2003

Harsojo, pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta, 1977.

Kususmadinata, R.M.A., Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara, Jakarta:


Noordhoff-Kolff, 1960.

Rosidi, Ajip, Manusia Sunda: Sebuah esai tentang tokoh-tokoh sastra dan
sejarah,

25
Nandi Saefurrohman

Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.

Rusyana, Yus, (ed), Kondisi dan masalah Budaya Sunda Dewasa ini, Bandung:
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989.

Satjadibrata, R., Rasiah Tembang Sunda, Jakarta: Balai Pustaka, 1953.

Saini K.M, “Cianjuran, Ajakan Meditasi” ,dalam Buletin Dangiang Pancaniti,


Bandung: Yayasan Tembang Sunda Pancaniti, 1985.

Surjadi, A., Masyarakat Sunda Budaya dan Problema, Bandung: Alumni, 1985.

Sukanda,Enip,Tembang Cianjuran, Sekitar Pembentukan dan


Perkembangannya,
Bandung: ASTI, 1984.

Sumardjo, Jakob, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun,


Bandung: Kelir, 2003.

Wiraatmaja, Apung. S., Sumbangan Asih Kana Tembang Sunda,


Bandung: Purnama Sari, 1964.

Williams, Sean, “The Urbanizaton of Tembang Sunda an Aristocratic Musical


Genre
of West Java, Indonesia”, dissertation, University of Washington,
1990.

an Zanten, Wim, “Tembang Sunda: An Ethnomusicological Study of the


Cianjuran Music in West Java”, desertasi, Universitas Leiden, 1987.
--------------------- - “Ornamen Vibrato dalam Tembang Cianjuran”,
dalam Jurnal Masyarakat Musikologi Indonesia, tahun II no. 2
1991.

Nara Sumber:

Drs. Enip Sukanda: Tokoh/praktisi, Pengamat, dan Dosen Mata Kuliah Tembang
Cianjuran di STSI Bandung. Wawancara tanggal 21 Juli
2004.

Sumarta, 76 Tahun, Juru Pantun, Sumedang. Wawancara tanggal 20 November


2004.

26
Nandi Saefurrohman

27

Anda mungkin juga menyukai