Pendahuluaan
1
A. Surjadi, Masyarakat Sunda Budaya dan Problema, (Bandung: Alumni, 1985), 14-15.
2
2
Depdikbud, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1984), 34.
1
Nandi Saefurrohman
2
Nandi Saefurrohman
7
Jakob Sumardjo, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun sunda,
(Bandung: Kelir, 2003), 19.
8
Wim Van Zanten, “Ornamen Vibrato dalam Tembang Sunda Cianjuran”, dalam Jurnal Masyarakat
Musikologi Indonesia, tahun II no. 2 1991, 121.
3
Nandi Saefurrohman
Wiratanu I (kira-kira tahun 1677) yang lebih dikenal dengan sebutan Dalem
Cikundul. Selanjutnya pada masa Cianjur diperintah oleh Wiratanu II (1692-
1707) yang lebih dikenal dengan Dalem Tarikolot atau Dalem Pamoyanan,
ada seorang seniman putra pedaleman yang bisa mantun yang bernama
Raden Candramanggala putra dari Aria Cikondang, yang selanjutnya
dianggap sebagai leluhur para juru pantun di Cianjur. Dengan demikian
dapat diduga bahwa pada saat Wiratanu II ini seni pantun dan seni tembang
telah dikenal secara luas di lingkungan pendopo Kabupaten Cianjur. 9
Perhatian para menak Cianjur tehadap kesenian terutama seni
tembang dan seni pantun baru tampak ketika Cianjur diperintah oleh Bupati
Enoh (Wiratanu VI) pada tahun 1776-1813. Pada masa ini seni tembang
rancag buhun hidup dan berkembang dengan baik. Tembang rancag adalah
tembang berbentuk pupuh yang lagunya dipengaruhi oleh macapat Jawa.
Pada waktu Cianjur diperintah oleh Bupati Prawiradireja I, kira-kira tahun
1813-1833, seni tembang rancag buhun tersebut dipadukan dengan seni
beluk yang kemudian menjadi seni tembang beluk. 10
Sebagai puncak dari seni Tembang Cianjuran atau pada waktu itu
disebut Seni Mamaos, berlangsung ketika Cianjur di bawah pemerintahan
Bupati R.A.A. Koesoemaningrat atau sering disebut Dalem Pancaniti pada
tahun 1834-1864. Disebut sebagai dalem Pancaniti karena keahliannya
beliau dalam seni mamaos, pada saat-saat beliau membuat atau mencipta
lagu selalu tinggal di sebuah bangunan yang bernama Pancaniti. Sebagai
Ibukota Priangan yang sekaligus sebagai pusat budaya Sunda pada masa itu,
juga didukung oleh keterlibatan dari Dalem Pancaniti sendiri yang juga ahli
dalam seni mamaos, beliau aktif mengumpulkan para seniman untuk diajak
bekerja sama dalam mengolah dan membuat karya seni khususnya Seni
Mamaos. Pada masa Dalem Pancaniti inilah Seni Tembang Cianjuran lahir,
berdasarkan atas ketekunan Dalem dan para seniman yang terus meramu
dari unsur-unsur seni pantun, tembang rancag buhun, seni wayang golek,
seni degung, seni beluk, pupuh, dan sebagainya.
Setelah dalem pancaniti mangkat pada taun 1864 dan kedudukannya
digantikan oleh putranya yang bernama Raden Alibasyah / R.A.A.
Prawiradiredja II (1964-1910), pada masa ini Seni tembang Cianjuran
mengalami kemajuan dan perkembangannya terutama dalam garap maupun
penyebarannya, dan banyak lagu-lagu baru diciptakan oleh para seniman di
9
Enip Sukanda, Tembag Sunda Cianjuran, Sekitar Pembentukan dan perkembangannya,
(Bandung: ASTI, 1984), 18.
10
Ibid., 19. Beluk adalah nyanyian bertempo bebas yang bernada-nada tinggi (meluk), dengan syair
yang terikat oleh pola pupuh seperti kinanti, asmarandana, sinom, dandanggula, dsb. Biasanya
disajikan sebagai sarana hiburan dan syukuran atas lahirnya seorang bayi.
4
Nandi Saefurrohman
Cianjur dan sekitarnya. Sehingga pada waktu itu Cianjuran bukan lagi
menjadi milik para menak semata tetapi sudah merupakan bagian dari
masyarakat kebanyakan. Selain itu para juru mamaos (penembang) sudah
mulai dilakukan oleh wanita yang sebelumnya dilakukan oleh kaum pria di
lingkungan pendopo kabupaten. Tercatat sebagai juru mamaos wanita
pertama di kalangan menak tersebut ialah yang bernama Raden Siti Saroh, 11
dan selanjutnya bermunculan para penembang wanita yang lain dan terkenal
di masyarakat Sunda, mereka adalah Raden Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu
O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah. 12
11
Ibid., 30-31
12
Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan, Deskrpsi Kesenian Jawa Barat, (Bandung: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Jawa Barat, 2003), 48.
13
Sukanda, 1984, 30-31.
5
Nandi Saefurrohman
tamu tersebut. Akibatnya banyak para tamu terutama para Bupati yang
tertarik serta berminat dan meminta untuk diajarkan tembang Cianjuran di
daerahnya. Maka dari hal seperti inilah mulainya tembang Cianjuran
menyebar ke beberapa daerah priangan lainnya, meskipun masih terbatas
hanya dalam lingkungan para menak Sunda. Keterlibatan Rd. Ece Madjid,
Djayalahiman, Rd. Djayawiredja, dan Mohammad Asikin dalam
menyebarkan tembang Cianjuran ke luar daerah, menjadi awal dari proses
penyebaran yang lebih luas mencangkup seluruh wilayah di tanah Sunda.
6
Nandi Saefurrohman
15
R.M.A. Kususmadinata, Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara, (Jakarta: Noordhoff-Kolff, 1960).
1
16 Apung S. Wiraatmaja, Sumbangan Asih Kana Tembang Sunda, Bandung: Purnama Sari, 1964, 84.
1
17
Ibid., 88
7
Nandi Saefurrohman
18
Sukanda, 1984, 25
8
Nandi Saefurrohman
19
Atik Soepandi, Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan, Bandung: Pustaka Buana, 1984, 29.
20
Sukanda, 1984, 28.
9
Nandi Saefurrohman
21
Saini KM, “ Cianjuran, Ajakan Meditasi” , dalam Buletin Dangiang Pancaniti, Bandung: Yayasan
Tembang Sunda Pancaniti, 1985, 35.
22
Depdikbud, “ Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian”, Jakarta: Direktorat Kesenian, 119.
10
Nandi Saefurrohman
11
Nandi Saefurrohman
23
Jakob Sumardjo, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun, Bandung: Kelir, 2003, 19.
24
Kesuburan pertanian padi tidak terlepas dari adanya sukma atau roh suci yang mengelola kesuburannya,
sukma tersebut dipersonifikasikan sebagai Dewi Padi yang disebut Nyi Pohaci Sang Hiang Sri. Menurut
beberapa ahli bahasa Sunda Kuna, kata pantun juga mempunyai pengertian padi, maka petunjukan pantun
berhubungan dengan simbol kesuburan pertanian.
12
Nandi Saefurrohman
13
Nandi Saefurrohman
14
Nandi Saefurrohman
Lagu-lagu yang bermetrum bebas masih terbagi lagi menjadi beberapa gaya
(wanda) yaitu: papantunan, jejemplangan, rarancagan, dedegungan, dan
kakawen, sedangkan yang bermetrum tetap terdiri dari lagu-lagu yang
berfungsi untuk menambah atau menyambung setelah tembang itu sendiri di
nyanyikan. Dikatakan bermetrum tetap karena lagu-lagu panambih
(penambah) sangat terikat dengan irama dan struktur lagu yang bersifat
metris. Instrumen yang digunakan adalah kecapi indung (pokok), kecapi
rincik, suling dan rebab. Tangga nada atau laras menggunakan salendro,
pelog, dan madenda
Oleh para ahli tembang Cianjuran gaya papantunan dianggap
sebagai gaya tembang yang mempunyai kesamaan karakteristik dengan seni
pantun Sunda, baik dalam aspek lagu/lirik, maupun teknik atau pola-pola
tabuhan kecapi sebagai instrumentasi pokoknya. Pengaruh pantun semakin
nampak ketika juru tembang mulai menyanyikan sebuah lagu yang liriknya
diambil dari cerita pantun seolah-olah kita dihadapkan pada pertunjukan
pantun yang sebenarnya. Maka banyak praktisi tembang Cianjuran ketika
akan menyanyikan sebuah lagu papantunan, lebih senang apabila disebut ia
akan mantun, karena akan membawakan lagu-lagu panganteb (pokok)
pantun Sunda yang banyak mengisahkan tentang kerajaan Pajajaran.
15
Nandi Saefurrohman
2 15 5 5434 51 2 15 5 22215
Pang----------ra---------ngo----------------geus na-------rik ko------lot
(Gunung Pangrango sudah semakin kelihatan menua)
5 5 5 5 5 45 5 45 123-
Man-----da-----la-----wa------ngi nga-----leu-----ngit
(Gunung Mandalawangi menghilang)
3- 3- 2 12 2 2 2 2123 3345 5 5
28
Saini KM, “ Cianjuran, Ajakan Meditasi” , dalam Buletin Dangiang Pancaniti, Bandung: Yayasan
Tembang Sunda Pancaniti, 1985, 35.
29
Depdikbud, Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian, Jakarta: Direktorat Kesenian, 119.
16
Nandi Saefurrohman
2 1 5 5 5 5 5 5
Na----ga----ra geus la---was pin----dah
(Negara sudah lama pindah)
5 5 5 5 4 5 5 5
Sa----bu----rak----na Pa----ja----ja----ran
(setelah runtuhnya Pajajaran)
3- 3-2 1221 2 2 2 12 3 3
Di gu------nung gu-----mu------ruh, su-----wung
(Gunung-gunung tak indah lagi)
3 32 2 2 2 12 234 5 45 43 34 5 5 5
Geus ti----lem jeung na--------ga-------------ra----na
(Bersamaan musnahnya negara/Pajajaran)
Selain contoh lagu atau lirik tersebut di atas, masih banyak lagu dan
lirik yang intinya/isinya dicuplik dari cerita-cerita pantun Sunda seperti
cerita Putri Tejamantri, Dewi Asri, Raden Mundinglaya di Kusumah, dan
lain-lain. Gaya bahasanya berupa puisi kauger (terikat), puisi merdika
17
Nandi Saefurrohman
18
Nandi Saefurrohman
19
Nandi Saefurrohman
20
Nandi Saefurrohman
masyarakat “ekslusif”, maka yang terdapat adalah satu wujud kesenian yang
ekslusif pula. Fenomena seperti itu sering kita temukan pada jenis-jenis
kesenian yang datang atau tercipta di lingkungan kaum bangsawan/keraton
yang dikatagorikan sebagai kesenian yang memiliki cita rasa tinggi dengan
lebih mementingkan kekuatan bentuk, struktur, teknik yang rumit, proses
pembelajarannya yang khusus, serta nilai-nilai yang didukung dapat bersifat
profan maupun bersifat sakral. Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa
kesenian yang tercipta dilingkungan keraton, pada dasarnya bentuk dan
makna-makna filosofisnya berakar dari nilai-nilai budaya masyarakat yang
ada di luar tembok keraton.31 Seperti halnya tembang Cianjuran yang
material seninya dirumuskan dari seni pantun yang isinya banyak
merepresentasikan nilai-nilai kehidupan dan makna budaya masyarakat
Sunda Lama, masyarakat buhun dan agraris.
Jika melihat awal proses penciptaan dan perkembangannya,
penciptaan tembang Cianjuran penekanannya lebih mengutamakan visi
spiritual, dan penguatan status sosial kaum menak Sunda. Artinya ia
merupakan hasil dari sebuah proses pemahaman yang mengacu pada
keagungan tradisi masyarakat bangsawan Cianjur, masyarakat peodal, dan
masyarakat yang cenderung patuh pada doktrin (tatanan sosial, nilai-nilai
religi, estetik dan etik), keterampilan, serta pengetahuan budaya yang seiring
dengan segala aktifitas generasi atau masyarakatnya waktu itu. Generasi
pertamanya memandang bahwa nilai-nilai yang ada dalam kesenian ini harus
dipahami, dihayati, dan dirasakan dengan sikap hormat, sebagai sebuah
penghargaan yang langsung diterapkan dan diaflikasikan dengan
menjadikanya sebagai miliknya sendiri yang harus dijaga dan dirawat dalam
lingkungan sosialnya.32
Syair-syair tembangnya memiliki kandungan makna yang dalam,
sehingga memerlukan tingkat penghayatan yang tinggi. Lagu-lagunya
bersifat sekar daria (lagu serius) dan lebih bersifat kanggo renungkeuneun
(untuk kontemplasi). Gaya melagukanya bersifat ‘ngagalindeng’ (mendayu-
dayu, mengalir) menggambarkan suasana hati dalam untaian suara/nada
yang penuh ornamen, maka dalam praktek menembangnya harus
dinyanyikan dengan baik dan dihayati dengan baik pula, agar dapat
menghantarkan kearah perenungan yang dalam.33 Seseorang ketika sedang
tembang sekar daria, lebih mengutamakan pada usaha merepresentasikan
bentuk keindahan musik/lagu dan menangkap makna teks nyanyian, dan dua
31
Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta, 1977, 260, 312.
32
William, Sean, “The Urbanization of Tembang Sunda an Aristocratic Musical Genre of West Java
Indonesia”, Wasingthon Univercity, 1990. 28.
33
Wahyu Wibisana, Mencari Ciri-Ciri Mandiri dalam Tembang Sunda, Bandung: Pancaniti, 1976, 8.
21
Nandi Saefurrohman
hal inilah oleh masyarakat tembang Cianjuran sering disebut usaha menuju
dangiang Cianjuran (jiwa lagu).34
Melalui bentuk musiknya yang memiliki tingkat kerumitan yang
tinggi –berhubung berhubungan dengan teknik oleh vokal–, lagu-lagu
tembang Cianjuran harus memiliki jiwa atau daya bathin sehingga dapat
memposisikan juru tembang maupun pendengarnya berada pada sebuah
dimensi perenungan, pengkayaan bathin, dan pengalamannya sebagai
manusia yang berada pada nilai-nilai filosofis dan tatanan Kabudayan
Urang Sunda. Seorang juru tembang dalam membawakan lagu-lagu
Cianjuran tidak hanya dituntut menguasai lirik, lagu dan musiknya saja,
namun lebih dari itu ia harus mampu menyentuh batin pendengarnya.
Kenapa demikian, karena karakter dari lagu-lagu tembang Cianjuran lebih
banyak memberikan tekanan untuk membangkitkan seseorang dalam
menghayati dan merenungi nilai-nilai budaya Sunda seperti yang tersirat
dalam seni pantun, maka para ahli selalu mengatakan bahwa tembang
Cianjuran adalah sarana kontemplasi ketimbang hiburan.35 Namun seiring
dengan perkembangan budaya dan masyarakat yang semakin cepat, telah
memberi isyarat adanya perubahan dalam setiap lingkup tata nilai. Kita
menyadari bahwa setiap terjadinya sebuah perkembangan kehidupan
membawa dampak atau pengaruh yang mengakibatkan berbagai aspek
kehidupan budaya masyarakat berubah, mulai dari perubahan dalam lingkup
gagasan (idea), tindakan (activity), sampai perubahan pada bentuk-bentuk
hasil (productivity) budaya masyarakat tersebut.
Sekarang tembang Cianjuran telah menempati seluruh wilayah
dalam lapisan sosial masyarakat Sunda yang beragam. Ia tumbuh dan
berkembang dari masyarakat menak, seterusnya menyebar pada seluruh
lapisan masyarakat yang lebih luas, dari masyarakat golongan ekonomi kelas
atas, sampai menengah ke bawah, baik yang ada di perkotaan maupun di
pedesaan. Ia telah memberikan fungsi dan manfaat kepada generasi-generasi
penerusnya mulai dari yang bersifat praktis dalam keseharian
(hiburan/rekreatif), sampai ke pada tatanan-ranah yang paling ideal yaitu
dalam memenuhi kebutuhan berekspresi-estetis melalui kesenian yang
bercita rasa seni tinggi.
34
Yang saya ketahui dari para juru pantun Sunda ketika memberi wejangan, Dangiang adalah sifat suci
para kadewan (para dewa) yang memiliki pancaran (wibawa) dan kekuatan (kesaktian), yang menuntun
manusia ke arah pencerahan jiwa dan kesempurnaan hidup. Dalam naskah/cerita pantun Sunda tersirat
bahwa pada masyarakat Sunda Lama, Dangiang menjadi sebuah konsep filosofis-religius yang oleh
sebagian masyarakat Sunda kiwari (saat ini) masih dipertahankan, terutama di masyarakat pedesaan yang
masih kental dengan unsur-unsur budaya hindu-isme (Sumarta, wawancara, Sumedang, 20 November
2004).
35
Enip Sukanda, diramu dari hasil wawancara, Bandung: 12 Juli 2004.
22
Nandi Saefurrohman
23
Nandi Saefurrohman
24
Nandi Saefurrohman
SUMBER BACAAN
Ganjar Kurnia dan Nalan, Arthur S., Nalan, Deskrpsi Kesenian Jawa Barat,
Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, 2003
Rosidi, Ajip, Manusia Sunda: Sebuah esai tentang tokoh-tokoh sastra dan
sejarah,
25
Nandi Saefurrohman
Rusyana, Yus, (ed), Kondisi dan masalah Budaya Sunda Dewasa ini, Bandung:
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989.
Surjadi, A., Masyarakat Sunda Budaya dan Problema, Bandung: Alumni, 1985.
Nara Sumber:
Drs. Enip Sukanda: Tokoh/praktisi, Pengamat, dan Dosen Mata Kuliah Tembang
Cianjuran di STSI Bandung. Wawancara tanggal 21 Juli
2004.
26
Nandi Saefurrohman
27