Anda di halaman 1dari 14

Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

PROSESI ARAK MANTEN PADA UPACARA PERNIKAHAN:


tradisi yang hidup pada komunitas masyarakat kampung Jatisobo Desa
Jatisobo-Polokarto-Sukoharjo

Di desa Jatisobo-Polokarto-Sukoharjo ada sebuah tradisi masyarakat yang masih


hidup yaitu kebiasaan untuk mengarak atau membawa pengantin dari rumah
hajatan dengan diiringi musik rebana/hadrah menuju ke sebuah Mesjid Agung
Desa yang sangat dibanggakan, untuk melakukan kegiatan / semacam ritual yang
dinggap kramat yaitu berjalan kaki mengitari atau mengelilingi Masjid Agung.
Upacara ini dilakukan berdasarkan adanya sikap religiusitas dan mithos yang
hadir pada warga masyarakat setempat, serta sebagai penghormatan tehadap
nilai-nilai spiritualitas yang telah dibangun atau dihadirkan oleh seorang Ulama
Kerajaan yang juga sebagai pendiri komunitas masyarakat Jatisobo.1
………………………………………………………………………………………...

Tentang Kampung Jatisobo

Nama kampung Jatisobo atau identik dengan nama Desa Jatisobo tidak

dapat dipisahkan dengan berdirinya Masjid Agung Jatisobo yang konon untuk

mendirkannnya berasal dari sebatang pohon jati yang tinggi dan besar (kira-kira

berdiameter 1,5 m). Dari buah tutur orang-orang tua yang berhasil diwawancarai, 2

mereka menuturkan bahwa Jatisobo merupakan tanah perdikan yang dibangun oleh

Kyai Khatib Imam, beliau adalah putra dari Kyai Muhammad Usul seorang

punggawa serta ulama kerajaan Mataram-Kartasura. Pada waktu terjadi perang

Cina atau sering disebut dengan istilah Geger Pecinan tahun 1740-1743 pada masa

Paku Buwana II, banyak para punggawa kerajaan yang melarikan diri atau

menghindar dari Kotaraja sebagai akibat peperangan antara gabungan orang Jawa

dan Tionghoa dalam melawan prajurit Mataram yang dibantu oleh VOC Belanda.

1
Disamping mempunyai keunikan tersendiri, tradisi ini hanya ada di desa jatisobo dari sekian banyak desa-
desa yang ada di wilayah kabupaten Sukoharjo da sekitanya.
2
2
Salah satunya adalah Bapak sularno,BA., salah seorang tokoh masyarakat setempat yang mengetahui asal-
usul berdirinya desa Jatisobo.

1
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

Pada waktu itu Kyai Muhammad Usul dan keluarganya pergi ke arah timur

dari Kotaraja Mataram yaitu di suatu desa kecil yang bernama Kedhung Gedhe

(kira-kira tujuh kilometer arah utara Pabrik Gula Tasikmadu-Karanganyar). Kyai

Muhammad Usul memerintahkan putranya untuk mensiarkan agama Islam ke

daerah selatan.3 Maka di sebuah hutan yang masih alami penuh tumbuh pohon-

pohon jati di tepi sebuah sungai (disebut dengan nama sungai Samin) mulailah Kyai

Khatib Imam membabat alas/hutan untuk membangun tempat tinggal, Masjid, serta

pondok pesantren.4 Tahun demi tahun pondok pesantren semakin berkembang dan

banyak santri yang datang dari segenap penjuru wilayah seperti dari

Bagelan/Banyumas, Ponorogo, Kediri, serta dari wilayah terdekat di sekitarnya.

Mengenai nama Jatisobo itu sendiri dimulai ketika Kyai Khatib Imam

membangun sebuah masjid, pada waktu itu di hutan tersebut tumbuh pohon-pohon

jati yang tinggi dan berdiameter besar, namun di antaranya terdapat satu pohon yang

mempunyai ketinggian dan lingkaran yang amat besar dibandingkan dengan pohon-

pohon yang lainnya, sampai-sampai –menurut cerita- bayangan dari pohon tersebut

mencapai radius lima kilometer ketika jam-jam tertentu. Pohon tersebut oleh Kyai

Khatib Imam dijadikan sebagai bahan/kayu dalam pembuatan Masjid Agung yang

bentuk atau arsitekturnya mirip dengan arsitektur Masjid Agung Alun-Alun Keraton

Surakarta Hadiningrat. Karena bayangan dari pohon jati tersebut sampai pada jarak

yang jauh, maka pada saat itu Masjid tersebut di beri nama Masjid Agung Jatisobo,

artinya ada pohon jati yang bayangannya seba atau marak- sowan atau hadir ke
3
Yaitu sekitar daerah Polokarto yang temasuk wilayah Kabupaten Sukoharjo, tepatnya sepuluh kilometer
dari arah kota Karanganyar
4

4
Pesantren tersebut dinamai Pondok Pesantren Pamulangan.

2
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

berbagai tempat. Seiring dengan pekembangan dari desa tersebut maka oleh

pemerintahan Pakubuwono III desa Jatisobo dijadikan sebagai daerah perdikan.5

Tentang Masyarakat Kampung Jatisobo

Sebagian besar Masyarakat Jatisobo adalah petani dan buruh, sebagian kecil

ada yang menjadi pedagang, pegawai swasta dan pemerintah. Kehidupan

Komunitas Warga pada umumnya merupakan masyarakat tradisional 6 yang masih

mempertahankan sistem kekerabatan (primordialisme) sebagai hal yang pokok

dalam mempertahankan adat-istiadat yang sudah berlangsung sekian lama. Sebuah

masyarakat pedusunan yang masih konsisten terhadap adat-istiadat para leluhurnya

yang selalu menekankan sikap hidup bersahaja dan sederhana, selalu menjaga

lingkungan, senantiasa menjaga kerukunan antar warga, dan sebagainya. Meskipun

wilayah Jatisobo dikelilingi oleh tiga situasi sosial perkotaan yang saling berdekatan

yaitu kota Solo di sebelah barat berjarak hanya sepuluh kilometer, kota

Karanganyar di sebelah utara-timur berjarak hanya tujuh kilometer, kota Sukoharjo

di sebelah selatan berjarak hanya duabelas kilometer, namun berbeda dengan

kampung-kampung atau desa-desa di sekitarnya yang tarap kehidupan sosial-

ekonomi dan pendidikan yang lebih maju akibat pengaruh tiga situasi sosial

5
Pada saat itu, jauh setelah Pakubuwana II memindahkan pusat pemerintahannya dari Kartasura ke Surakarta
Hadiningrat sampai pergantian pemerintahan (raja) pada Pakubuwana III. Perdikan artinya daerah atau tanah
yang dihadiahkan Raja sebagai penghargaan atas jasa dan pengabdian seseorang terhadap kerajaan,
diberikan keleluasaan untuk mengembangkan dan mengelola wilayahnya sendiri sesuai aturan-aturan yang
berlaku di kerajaan.
6
Setelah diamati, penulis melihat bahwa kedudukan generasi tua senantiasa terhormat, dipatuhi, dianut,
tempat bertanya dan meminta. Mereka adalah para pengambil keputusan, memberi arah dan bimbingan,
sumber restu dan berkat

3
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

perkotaan itu, sebagai bekas sebuah tanah perdikan hal tersebut kurang nampak

berada dalam lingkungan Jatisobo.

Menurut penuturan Bapak Muhammad Yusuf Ikhrami, S.Ag., 7 bahwa

masyarakat Jatisobo ---jika diruntut mengenai asal-usul keturunannya--- sebagian

besar adalah keturunan langsung dari Kyai Khatib Imam serta sebagian lagi adalah

warga pendatang.8 Namun demikian, mereka yang menjadi keturunan langsungpun

saat ini sudah banyak yang keluar dari wilayah Jatisobo, menyebar serta menetap di

berbagai tempat seperti Kota Solo, Semarang, Jogjakarta, Bandung, Surabaya,

Jakarta, dan daerah-daerah lainnya.

Mereka yang menjadi keturunan langsung membuat kelompok-kelompok

keluarga besar sendiri sesuai dengan silsilah berdasarkan garis keturunan dari

putra-putri Kyai Khatib Imam.9 Ada yang termasuk pada Keluarga Besar Imam

Sudarmo, Keluarga Besar Cokro Sudarmo, dan Keluarga Besar Wongsodinomo.

Mereka selalu mengadakan pertemuan yang biasanya setahun sekali bertepatan

dengan hari raya Idul Fitri. Pada saat itu di kampung Jatisobo akan terlihat ramai

kedatangan anggota-anggota keluarga besar tersebut dari berbagai tempat diluar

wilayah JatisoboTentang Kehidupan Religius dan kepercayaan Masyarakat

Jatisobo

7
Beliau adalah Kepala Kelurahan Jatisobo, sebagai salah seorang keturunan dari Kyai Khatib Imam yang
pernah diajak ngobrol-ngobrol tentang kehidupan masyarakat Jatisobo.
8
8
Warga Pendatang yang di maksud adalah mereka-mereka yang bukan keturunan Kyai Khatib Imam yang
membeli tanah di sana untuk membangun rumah serta menetap di Jatisobo, atau mereka yang mendapatkan
jodoh orang Jatisobo selanjutnya menetap sebagai warga kampung.
9
9
Menurut Bapak Sularno,BA., Kyai Khotib Imam mepunyai putra empat orang. Yang ada di Jatisobo saat
ini pada umumnya merupakan generasi ke tujuh, delapan dan sembilan.

4
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

Sebagai pendiri komunitas masyarakat Jatisobo yang juga sebagai seorang

ulama Kerajaan Surakarta Hadiningrat, Kyai Imam selalu menekankan kepada

anak-cucunya tentang kesungguhan dalam menjalankan syari’at Islam dengan

sebaik-baiknya. Ketika membangun kampung yang diawali dengan membangun

Pondok Pesantren dan Mesjid, Kyai Imam selalu mengajarkan prinsip-prinsip

spiritualitas dan keagamaan salah satunya dengan pendekatan fatwa.

Warga masyarakat yang bedomisili secara turun-temurun, menjadikan fatwa-

fatwa (amanat dan wejangan) yang di anjurkan Kyai Imam sebagai sesuatu aturan

sentral yang tak tertulis. Mereka percaya siapa saja yang melanggar anjuran-anjuran

tersebut, selain melanggar adat juga diyakini akan membawa malapetaka bagi

keluarga, diri sendiri, bahkan pada situasi kampungnya sendiri. 10 Selain fatwa-

fatwa yang berhubungan langsung dengan ajaran syariat dan aqidah dalam Islam,

Ada juga fatwa-fatwa yang isinya untuk memperbolehkan dan tidak diperbolehkan

melakukan sesuatu tindakan yang dianggap merugikan atau tidak bemanfaat bagi

kehidupan masyarakat khususnya di Jatisobo. Kenyataannya, segala sesuatu

tindakan atau kegiatan yang dilakukan setiap warga yang berhubungan dengan

ritual, sosial dan budaya selalu diputuskan dengan pertimbangan-pertimbangan

terhadap adanya fatwa-fatwa tersebut.11

Sebagai tempat beribadah dan kegiatan-kegiatan kerohanian lainnya, Masjid

Agung Jatisobo juga dijadikan sebagai tempat bermusyawarah dalam menentukan


10
Hal ini tercermin dalam larangan terhadap warga (keturunan langsung) untuk tidak menabuh,
membunyikan,
menanggap gendihing / gamelan pada setiap bentuk upacara apapun, terutama dalam setiap upacara
pernikahan dan khitanan.
11
Menurut bapak Sularno, BA.,tradisi prosesi mengarak manten, mengelilingi masjid agung adalah
cerminan sikap dalam mentaati fatwa sebagai wujud dalam menjungjung tinggi nila-nilai religiusitas yang
dibangun oleh Kyai Khatib Imam.

5
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

keputusan dan kebijakan kampung khususnya yang berhubungan dengan persoalan

lingkungan, ketertiban-keamanan, sosial dan gotong-royong, serta berbagai

keputusan dalam menentukan sendi-sendi kehidupan warga kampung. Mesjid juga

menjadi tempat segala macam aktifitas yang berhubungan dengan seni budaya

Islami seperti Trebangan, Hadrah masjid, Seni Barjanzi, Seni Macapat-Khidung

Shalawat Nabi, dan lain-lain.12 Jika pada sore hari Masjid penuh dengan anak-anak

mengaji, ketika di malam hari / ba’da isya para pemuda dan orang tua mengaji dan

mendengarkan ceramah serta berdiskusi. Pada bulan Ramadhan segudang kegiatan

keagamaan terpusat di Masjid Agung sehngga menambah semaraknya suasana

Masjid yang dibangun dari sebuah pohon jati tinggi dan besar di pinggiran hutan

tepi kali samin.

Seperti biasanya pada masyarakat Jawa pedesaan bahwa mistik, mithos,

serta unsur-unsur yang dianggap berbau takhayulpun sudah menjadi sesuatu

yang mewarnai kehidupan dan kepercayaan mereka sehari-hari. Maka sering sekali

tampak pada masyarakat tradisional Kampung Jatisobo, bahwa segala sesuatu

tindak laku yang berhubungan dengan kronologis spiritual (seperti bentuk-bentuk

upacara atau ritual apapun) selalu mengikatkan asumsinya pada kepercayaan (mistis

atau mithos) sebagai sesuatu yang sudah terbangun dari generasi ke generasi.

Namun seiring dengan perkembangan zaman dan pergantian generasi yang sebagian

besar sudah mengenyam pendidikan dasar dan menengah, yang secara otomatis

akan bedampak adanya perubahan sekecil apapun terhadap pola pikir dan
1

12
Banyak warga yang menyukai keroncong-langgam jawa, campur sari, serta gendhing-gendhing /
gamelan jawa tetapi mereka tidak berani untuk menanggapnya terkecuali hanya dari perangkat audio-visual
saja.

6
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

pandangannya, saat ini hanya kalangan orang-tua sajalah yang masih berpandangan

demikian, sedangkan sebagaian besar kaum muda sudah tidak begitu

menanggapinya. Namun meskipun demikian mereka masih sangat menghormati

para orang-tua dengan selalu mengikuti petunjuk-petunjuk serta keputusan yang

diberikan oleh para sesepuh dan para orang tua.

Tentang Tradisi Arak Manten

Setelah mengamati pada tradisi ini (telah mengamati sebanyak dua kali

peristiwa upacara pernikahan) bahwa mengarak pengantin bagi masyarakat Jatisobo

tidak terlepas dari historis-kronologis berdirinya kampung dan masyarakat Jatisobo

itu sendiri. Mereka yang masih ada dalam garis keturunan Kyai Khatib Imam sangat

ta’at terhadap anjuran-anjuran yang sudah ditetapkan yang dipercaya akan

memberikan berkah dan keselamatan kalau anjuran/fatwa tersebut dilaksanakan.

Sebaliknya dipercaya juga kalau anjuran tersebut tidak dilaksanakan akan

membawa malapetaka bagi diri sendiri, keluarga, dan situasi kampung itu sendiri. 13

Salah satu bentuk dari fatwa tersebut yaitu setiap anak-cucu yang masih

keturunan dari kyai Imam yang akan melaksanakan upacara pernikahan sebaiknya

harus melangsungkan ijab Kabul pernikahan di Mesjid yang sudah dibangun

dengan susah payah, namun pekembangan selanjutnya ijab Kabul banyak

dilaksanakan di rumah hajatan. Kedua pengantin terlebih dahulu diarak dari rumah

hajatan menuju Mesjid Agung dengan diiringi Shalawat Nabi. Anjuran ini
13
Menurut penuturan Bapak Sularno, pernah terjadi kejadian ketika ada keluarga keturunan Kyai Imam yang
menyelenggarakan resepsi pernikahan tidak melaksanakan beberapa anjuran seperti tidak melakukan Zarah
terhadap makam leluhur, menanggap karawitan / wayang kulit, serta tidak melakukan prosesi arak manten,
maka ketika resepsi sedang berlangsung tiba-tiba terjadi mendung disertai hujan badai yang dahsyat sehingga
menyebabkan rumah yang dipakai hajatan tersebut roboh.

7
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

diutamakan bagi mereka yang tetap tinggal di kampung Jatisobo, Sedangkan bagi

mereka yang tinggal di tempat lain tidak menjadi keharusan tetapi lebih baik kalau

mereka melakukannya. Tradisi yang sudah berlangsung lama ini, awal mulanya

diwajibkan bagi warga yang berada pada garis keturunan dari Kyai Imam saja,

tetapi perkembangan selanjutnya mereka yang bukan keturunannyapun dan

bertempat tinggal di Jatisobo sudah menganggap sebagai keharusan untuk

melaksanakannya. Sehingga sampai sekarang kebiasaan ini sudah merupakan

tradisi atau adat-istiadat tersendiri yang memberikan warna dan ciri dari komunitas

masyarakat Jatisobo.

Bentuk dan Tatacara Prosesi

Upacara atau resepsi pernikahan di Kampung Jatisobo biasa dilakukan pada

siang hari atau malam hari. Setelah melaksanakan akad nikah di rumah hajatan,

serta serangkaian upacara adat/ tradisional pada acara pernikahan yang lajim dalam

adat Jawa seperti Panggih, Sungkeman, dan sebagainya, maka kedua pengantin

dipersiapkan untuk melakukan prosesi arak manten yaitu sebuah perjalanan keliling

kampung menuju masjid Agung Desa. Tetapi apabila ijab Kabul atau akad nikah

akan dilaksanakan di Mesjid, upacara adat lainnya biasanya dilaksanakan setelah

prosesi selesai dan kedua pengantin sudah kembali ke tempat hajatan. Mengenai

jarak yang harus ditempuh tidak menjadi persoalan, karena letak Mesjid berada di

tengah-tengah kampung. Dari ujung utara kampung kearah Mesjid kira-kira satu

kilometer, dari ujung selatan kampung ke arah Mesjid kira-kira tiga perempat

8
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

kilometer, dari ujung barat dan ujung timur kampung ke arah Mesjid kira-kira

setengah kilometer.

Dengan berpakaian kebesaran raja sehari (baju pengantin), kedua mempelai

diarak dipayungi payung kebesaran, paling depan berjejer kelompok Shalawatan

yang berjumlah sekitar 20 orang dengan membawa instrumen musik terbangan-

hadrah, sementara di belakangnya dua orang pembawa kembar mayang mengapit

sepasang pengantin yang selanjutnya diikuti oleh sanak- saudara, para kerabat dan

sahabat. Ditabuhi terbangan-hadrah serta puji-pujian terhadap Nabi Muhammad

SAW dalam alunan nyanyian Sholawat Nabi (dinyanyikan kelompok terbangan-

hadrah Masjid Agung), ditaburi harumnya kembang warna-warni, serta dihiasi

senyuman kekaguman dari setiap penonton yang berjejer di tepi jalan kampung

yang mengarah ke masjid Agung Desa, maka jadilah prosesi arak manten tersebut

sebagai sebuah tontonan dan hiburan tersendiri bagi warga kampung. Di setiap

tempat yang dilewati banyak para gadis dan perjaka ikut bergabung dengan

rombongan prosesi, mereka berebut untuk mendapatkan taburan bunga-bunga

dengan harapan mendapatkan berkah untuk cepat-cepat mempunyai pasangan

hidup.

Setelah sampai di halaman masjid, 14 rombongan pengantin disambut oleh

sesepuh sebagai Imam Masjid yang sekaligus akan pemandu upacara berikutnya.

Imam Mesjid selanjutnya menanyakan apakah akad nikah atau ijab kabul sudah

dilangsungkan di rumah atau mau di Mesjid. Jika akad nikah mau dilaksanakan di
14
Masjid Agung Desa terletak di tengah-tengah perkampungan. Arsitekturnya bergaya Masjid alun-alun
Surakarta Hadiningrat. Di belakang Masjid merupakan tempat pemakaman Kyai Khatib Imam, putra, cucu,
serta keturunannya. Masjid Agung ini sudah berumur kira-kira 250 tahun dan sekarang sudah
dilaporkan/tercatat di Dinas Purbakala kabupaten Sukoharjo.

9
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

Mesjid, beliau langsung mempersilahkan kedua pengantin dan rombongan untuk

memasuki sebuah ruangan khusus untuk selanjutnya menunggu acara akad nikah

dilaksanakan. Namun apabila akad nikah sudah dilaksanakan di rumah hajatan,

beliau hanya menyampaikan beberapa amanah dan wejangan serta makna dan

falsafah yang terkandung dari adat istiadat atau upacara tersebut kepada kedua

pengantin. Setelah Imam Mesjid menyampaikan beberapa hal, maka dengan diiringi

rebana dan Sholawat Nabi selanjutnya kedua pengantin diharuskan untuk

mengeliling Masjid Agung sebanyak tiga sampai sembilan putaran. 15 Selama

mengelilingi Masjid, pengantin serta para pengiring membacakan Tahlil dan

Takbir.

Setelah mengelilingi Mesjid selesai dilaksanakan, rombongan prosesi ini

diijinkan kembali oleh sesepuh Mesjid untuk kembali ke rumah hajatan. Sama

seperti pada saat berangkat, kerdua pengantin beserta seluruh rombongan prosesi

kembali berjalan kaki menuju tempat hajatan dengan tetap diringi terbangan-

hadrah Mesjid serta alunan Sholawat Nabi. Sementara itu ditempat hajatan sudah

bersiap berjejer para penyambut rombongan prosesi dengan berpakaian adat Jawa

yang lengkap.

Makna yang Terkandung

Peristiwa tradisi ini adalah sesuatu yang terwujud dari lingkungan

masyarakat Jatisobo. Seperti penuturan Bapak Sularno, BA., semenjak Kyai Imam

membangun komunitas kampung, membangun Mesjid dan Pesantren yang bernama


1
15
Perubahan yang terjadi saat ini, bahwa pengantin bisa juga hanya mengelilingi halaman Masjid saja
namun tidak mengurangi niai-nilai yang terkandung di dalamnya.

10
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

Pamulangan beliau selalu mengajarkan kepada putra dan santri-santrinya untuk

tetap menjungjung tinggi, menjalankan, dan menegakkan ajaran Islam dengan

sesungguh-sungguhnya, menjaga serta memelihara lingkungan kampung dengan

suasana yang bersahaja dan Islami. Kyai Imam selalu menganjurkan kepada

warganya “dekatlah selalu dengan Mesjid, jangan jauh-jauh dengan Mesjid, jaga

dan rawatlah Mesjid, bemusyawarahlah di Mesjid, dan menikahlah / ijab Kabul di

Mesjid”.

Apabila di dalami lebih jauh bahwa Mesjid merupakan sentral atau tempat

untuk beribadah mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Yang Maha Tinggi, Allah

SWT. Pergi ke Mesjid untuk mengenal kebaikan, untuk belajar kebaikan, dan akan

melakukan kebaikan, pulang dari Mesjid telah mengenal kebaikan, telah melakukan

kebaikan, dan telah mempelajari kebaikan untuk selanjutnya disampaikan atau

diajarkan kepada orang lain.

Makna lain yang terkandung pada prosesi mengarak manten (berjalan

kaki pergi menuju Mesjid dengan berpakaian seperti Raja dan Ratu) adalah bahwa

pengantin baru yang akan menjalani bahtera rumah tangga harus sama-sama

seiring-sejalan menuju kebaikan yang sesuai dengan ajaran agama Islam meskipun

banyak rintangannya, pelan-pelan namun pasti. Sesudah berumah tangga dan kalau

sampai Menjadi Raja / ratu atau orang terhormat dan terpandang jangan melupakan

orang tua, saudara, kerabat, dan tetangga, sambutlah mereka-mereka itu dengan

sapaan ramah dan senyuman yang indah karena mereka itu sesungguhnya adalah

yang mejadikannya berhasil. Seperti ketika waktu melangsungkan pernikahan,

11
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

dengan senyum dan sapaannya mereka turut mendo’akan, mengantarkan,

mengiringi, memayungi, mendukung perjalanan menuju ke tempat yang paling

mulya (Mesjid). Intinya adalah, setelah berumah tangga dan jika dianugrahi

kemulyaan dunia tidak diperbolehkan untuk menyombongkan diri, seperti ketika

berada di dalam Mesjid semua manusia derajatnya sama dihadapan Tuhan Yang

Maha Kuasa.

Penutup

Tidak jauh berbeda dengan kebanyakan adat-istiadat dan tradisi-tradisi

masyarakat Jawa pada umumnya, warga kampung Jatisobo menjadikan tradisi arak

manten ini dalam urutan tata cara yang disesuaikan dengan sendi-sendi kehidupan

religius-spiritual Islam, namun juga nampak dipengaruhi dengan hal-hal yang

berbau mitos, antara yang ditabukan dan yang disyahkan. Analoginya semuanya

demi kepentingan dalam mempertahankan eksistensi ikatan primordialisme,

keutuhan dan persatuan warga, serta menjaga dan melindungi lingkungan kampung

dari pengaruh-pengaruh luar.

Dari yang sudah diuraikan pada tulisan ini, maka minimal kita bisa

mengetahui bagaimana sosok sebuah masyarakat kampung atau desa mampu

mempertahankan tradisinya yang cenderung kokoh dan statis. Masyarakat Jatisobo

memandang bahwa kehadiran sebuah “kebiasaan” adat-istiadat sebagai warisan

leluhur yang turun-temurun harus dipertahankan kelangsungannya. Di satu sisi

dapat mencerminkan sikap yang ta’at dan patuh terhadap apa yang sudah menjadi

12
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

ketentuan yang diberlakukan oleh leluhurnya, pada sisi yang lain mereka

mempertahankan tradisi ini sebagai sesuatu yang dapat menguatkan ikatan keluarga,

memperjelas dan mengetahui silsilah (garis keturunan) yang setiap saat terus

bergenerasi.

13
Tugas MK: Sejarah Kebudayaan Indonesia Nandi Saeffurrohman

14

Anda mungkin juga menyukai