Anda di halaman 1dari 12

Sejarah Pendidikan Indonesia:

Pesantren & Pembentukan


Karakter Peradaban Nusantara
(Kajian Naskah dan Sejarah)
Ahmad Baso
UNSIQ Wonosobo, 28 September 2021
Peradaban Jawi-Nusantara dalam Dawuh Kangjeng Sunan Ampel Denta
kepada Raden Patah untuk buka hutan glagah wangi, Bintara, Demak:
Babad Cirebon (Br 36/PNRI) tentang konstruksi peradaban Nusantara
Asal-usul Pembentukan Pesantren
• “[Mijil] Yata kesah Raden Patah nuli; amanggih ing gon; kang acukul gelagah wangine; caketan
desa Bintara adi; ing kana akardi; panggenan satuhu.
• Malah ngadek Jum’ahe wus dadi; jum’ah hing wong; masyhur Pasantren Demak arane; lami-lami
katah angungsi; umah-umah dadi; arja kadi datu.”
• (Dikisahkan: Raden Patah mengikuti petunjuk gurunya [Sunan Ampel di Sura-baya] untuk menuju
ke arah barat, ke daerah tempat tumbuhnya pohon gelagah yang wangi. Setelah hutan itu dibabat,
muncul kemudian satu perkampungan dan desa yang diberi nama Desa Bintara. Di sana Raden
Patah kemudian mendirikan Shalat Jumat bersama para jemaah di Hari Jumat. Sehingga daerah itu
dikenal dengan nama Pesantren Demak. Banyak orang kemudian pindah ke sana, mendirikan rumah
dan perkampungan baru. Lama-kelamaan menjadi sebuah kota yang ramai, lalu menjadi pusat
kerajaaan atau kesultanan).
ing kana akardi
• Pertama, itu dimulai dari babad alas atau membuka hutan Glagah Wangi
untuk lahan pertanian dan pengairan. Ini merupakan tahap membangun
basis ekonomi masya-rakat. Artinya, bagi para ulama dan pendakwah
Islam ini—sebelum membangun peradaban Indonesia—yang dipikirkan
pertama-tama adalah bagaimana rakyat kita itu sejahtera dan terpenuhi
kebutuhan pangan, sandang dan papannya (tempat ting-gal) terlebih
dahulu.
panggenan satuhu.

• dari babad alas muncul perkampungan baru. Orang-orang kemudian meng-


ungsi ke perkampungan baru tersebut, kemudian diberi nama Desa Bintara.
Ini me-rupakan konstruksi basis sosial kemasyarakatan Islam Nusantara.
Masyarakat yang dibangun itu berdasarkan semangat “berkampung” atau
“jamaah”: yakni guyub, tolo-ng-menolong, suka gotong royong, dan
musyawarah-mufakat dalam mengatasi masa-lah. Dari pembukaan lahan
untuk pertanian dan perkampungan ini, muncul pasar dan kegiatan
berekonomi lainnya yang menggambarkan menyatunya kehidupan ekonomi
dan komunitas guyub berkampung ini.
Malah ngadek Jum’ahe wus dadi; jum’ah hing
wong
• Ketiga, setelah berhimpun banyak rumah, perkampungan terbentuk, desa
dan pasar dibangun, maka didirikanlah mesjid pertama untuk Shalat
Jumat. Sebelum mesjid berdiri, masyarakat menunaikan ibadah sehari-hari
di langgar. Setelah terpenuhi jumlah warga yang memungkinkan sahnya
didirikan Shalat Jumat, barulah warga itu mendirikan mesjid jami’. Dari
sinilah kemudian mesjid menjadi pusat peradaban per-kampungan itu,
sekaligus menjadi pusat kegiatan keislaman. Ini adalah konstruksi basis
religiusitas masyarakat Nusantara, dimana mesjid jadi jangkarnya.
masyhur Pasantren Demak arane
• Keempat, setelah basis sosial dan keagamaan berdiri, anak-anak pun butuh
pen-didikan. Raden Patah kemudian membangun pesantren. Namanya
Pesantren Demak. Ini merupakan rintisan membangun basis pendidikan
dan pengajaran kebangsaan untuk penduduk Nusantara. Jadi dari sini bisa
kita lihat nama Demak pertama-tama bukan nama untuk sebuah kerajaan,
tapi nama pesantren!
lami-lami katah angungsi; umah-umah dadi

• Kelima, perkampungan itu makin ramai, lalu menjadi kota (arja). Sebutan
kota atau arja waktu itu dipakai untuk menunjukkan posisi Demak
sebagai titik penghubung lalu lintas pergerakan manusia dan juga sebagai
salah satu jalur peradaban. Ini kons-truksi kehidupan kosmopolit dan
kebangsaan Nusantara.
arja kadi datu
• Keenam, terakhir, baru kemudian kota Demak itu jadi datu, kerajaan atau
kesultanan dengan Raden Patah sebagai raja pertama. Setelah itu para
Wali Songo bangun Mesjid Agung Demak di kota itu seperti kita
kenal kini.
Ki Hajar Dewantara: “Pesantren (Sistem Pondok)
sebagai Sistem (Pendidikan) Nasional” (1928)
• Menempatkan pesantren sejajar dengan sistem sekolah modern,
bahkan sebagai penentu dalam konstruksi kebangsaan, “nationaal
onderwijs” atau “pengajaran kebangsaan”.
• Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI ) di Surabaya pada 30 Agustus-2 September
1928, menekankan pentingnya sebuah sistem pendidikan nasional
yang tidak mengikuti model sekolah pemerintah kolonial, dan
tidak pula menggantungkan diri pada subsidi pemerintah yang,
menurutnya, “bisa mengurangi kemerdekaan kita”
Dr. Soetomo: “Sekolah-sekolah Belanda adalah racun
bagi anak Indonesia”, “Faedah Pondok dan Pesantren-
systeem itu sungguh tidak dapat diabaikan” (1933)
•“Lihatlah buah dari perguruan asli kita [pesantren] itu, coba bercakap dengan kiai-kiai itu, sungguh
mengherankan pada siapa yang berdekatan dengan mereka, logic mereka, pengetahuan mereka yang didapati
dari buku-buku yang dipelajari mereka, pengetahuan yang sungguh ‘hidup’. Janganlah orang memandang
‘cara mengaji’ saja yang oleh beberapa debaters dipandang buruk itu. Timbanglah juga semua keuntungan dan
kerugian yang didapati secara perguruan pesantren itu dan yang didapati secara Barat dan lazim pada waktu
ini, barulah orang mendapat bandingan yang sepadan. Bandingkan kegembiraan orang-orang yang hanya
keluaran pesantren dengan orang didikan cara yang lazim sekarang. Orang akan heran bahwa mereka yang
disebut pertama itu biasa memasuki semua lapangan pekerjaan, bisa menduduki pekerjaan-pekerjaan yang
seakan-akan bersifat merdeka, sedang angan-angan anak-anak kita zaman sekarang hanya akan mencari
pemburuhan [yakni sebagai pegawai adminsitrasi atau kuli yang digaji – AB], kebanyakan.
•--- Dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo, dalam Polemik Kebudayaan (tahun 1930-an).
Penutup dan Kesimpulan:
Berbicara pendidikan pemerdekaan dari pesantren, bukan dari cara berpikir
pengusaha start up ... dari pesantren muncul karakter manusia "pandito mardiko",
bukan manusia serakah-kapitalis, bukan pula manusia yang bergantung pada subsidi
....
•Kalangan nasionalis yang mendukung pesantren melihat Indonesia untuk Indonesia, Indonesia untuk
pembentukan karakter peradaban bangsa.
•Pesantren adalah aktor pengisi imajinasi kebangsaan maupun aktor dekolonisasi imajinasi dan kebudayaan.
Dari konteks pesantren ini “bangsa” digodok, diracik, dimapankan. Sehingga, apapun yang termasuk dalam
wilayah kebudayaan, yang dianggap sebagai unsur-unsur bangsa, dirumuskan sesuai dengan hakikat
kepesantrenan itu.
•Dari sana mereka berbicara tentang “jiwa dan sanubari” bangsa, tentang “kebudayaan kita” (cultuur) yang
terjaga dalam pesantren, dan tentang arti kemandirian, kemerdekaan dan persatuan.
•Dari pesantren kalangan nasionalis pro-pesantren mengembangkan “bentuk-bentuk otonom dalam
berimajinasi tentang komunitas” (autonomous forms of imagination of the community). Bentuk-bentuk otonom
kebudayaan itu yang mereka temukan dalam pesantren – sesuatu yang belum dirusak oleh pengaruh
kebudayaan Barat dalam system pendidikan nasional.
•Kalau ada sebagian menyebut orang-orang pesantren sebagai “pandito mardiko”, itu adalah cara mereka
berkiblat ke pesantren dan mengisi pemaknaan hakikat kebangsaan keindonesiaan kita.

Anda mungkin juga menyukai