• Kelima, perkampungan itu makin ramai, lalu menjadi kota (arja). Sebutan
kota atau arja waktu itu dipakai untuk menunjukkan posisi Demak
sebagai titik penghubung lalu lintas pergerakan manusia dan juga sebagai
salah satu jalur peradaban. Ini kons-truksi kehidupan kosmopolit dan
kebangsaan Nusantara.
arja kadi datu
• Keenam, terakhir, baru kemudian kota Demak itu jadi datu, kerajaan atau
kesultanan dengan Raden Patah sebagai raja pertama. Setelah itu para
Wali Songo bangun Mesjid Agung Demak di kota itu seperti kita
kenal kini.
Ki Hajar Dewantara: “Pesantren (Sistem Pondok)
sebagai Sistem (Pendidikan) Nasional” (1928)
• Menempatkan pesantren sejajar dengan sistem sekolah modern,
bahkan sebagai penentu dalam konstruksi kebangsaan, “nationaal
onderwijs” atau “pengajaran kebangsaan”.
• Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI ) di Surabaya pada 30 Agustus-2 September
1928, menekankan pentingnya sebuah sistem pendidikan nasional
yang tidak mengikuti model sekolah pemerintah kolonial, dan
tidak pula menggantungkan diri pada subsidi pemerintah yang,
menurutnya, “bisa mengurangi kemerdekaan kita”
Dr. Soetomo: “Sekolah-sekolah Belanda adalah racun
bagi anak Indonesia”, “Faedah Pondok dan Pesantren-
systeem itu sungguh tidak dapat diabaikan” (1933)
•“Lihatlah buah dari perguruan asli kita [pesantren] itu, coba bercakap dengan kiai-kiai itu, sungguh
mengherankan pada siapa yang berdekatan dengan mereka, logic mereka, pengetahuan mereka yang didapati
dari buku-buku yang dipelajari mereka, pengetahuan yang sungguh ‘hidup’. Janganlah orang memandang
‘cara mengaji’ saja yang oleh beberapa debaters dipandang buruk itu. Timbanglah juga semua keuntungan dan
kerugian yang didapati secara perguruan pesantren itu dan yang didapati secara Barat dan lazim pada waktu
ini, barulah orang mendapat bandingan yang sepadan. Bandingkan kegembiraan orang-orang yang hanya
keluaran pesantren dengan orang didikan cara yang lazim sekarang. Orang akan heran bahwa mereka yang
disebut pertama itu biasa memasuki semua lapangan pekerjaan, bisa menduduki pekerjaan-pekerjaan yang
seakan-akan bersifat merdeka, sedang angan-angan anak-anak kita zaman sekarang hanya akan mencari
pemburuhan [yakni sebagai pegawai adminsitrasi atau kuli yang digaji – AB], kebanyakan.
•--- Dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo, dalam Polemik Kebudayaan (tahun 1930-an).
Penutup dan Kesimpulan:
Berbicara pendidikan pemerdekaan dari pesantren, bukan dari cara berpikir
pengusaha start up ... dari pesantren muncul karakter manusia "pandito mardiko",
bukan manusia serakah-kapitalis, bukan pula manusia yang bergantung pada subsidi
....
•Kalangan nasionalis yang mendukung pesantren melihat Indonesia untuk Indonesia, Indonesia untuk
pembentukan karakter peradaban bangsa.
•Pesantren adalah aktor pengisi imajinasi kebangsaan maupun aktor dekolonisasi imajinasi dan kebudayaan.
Dari konteks pesantren ini “bangsa” digodok, diracik, dimapankan. Sehingga, apapun yang termasuk dalam
wilayah kebudayaan, yang dianggap sebagai unsur-unsur bangsa, dirumuskan sesuai dengan hakikat
kepesantrenan itu.
•Dari sana mereka berbicara tentang “jiwa dan sanubari” bangsa, tentang “kebudayaan kita” (cultuur) yang
terjaga dalam pesantren, dan tentang arti kemandirian, kemerdekaan dan persatuan.
•Dari pesantren kalangan nasionalis pro-pesantren mengembangkan “bentuk-bentuk otonom dalam
berimajinasi tentang komunitas” (autonomous forms of imagination of the community). Bentuk-bentuk otonom
kebudayaan itu yang mereka temukan dalam pesantren – sesuatu yang belum dirusak oleh pengaruh
kebudayaan Barat dalam system pendidikan nasional.
•Kalau ada sebagian menyebut orang-orang pesantren sebagai “pandito mardiko”, itu adalah cara mereka
berkiblat ke pesantren dan mengisi pemaknaan hakikat kebangsaan keindonesiaan kita.