Anda di halaman 1dari 6

HARI SANTRI NASIONAL & REFLEKSI KEINDONESIAAN

Oleh : Wakyudi

Tanggal 22 Oktober lalu ditetapkan sebagai hari santri


nasional oleh Presiden Jokowi. Konon penetapan hari santri
nasional tersebut merupakan salah satu janji presiden terpilih
ke-7 ini pada saat kampanye ajang Pilpres 2014 lalu. Namun
tidak lepas dari itu, penetapan Hari santri nasional memiliki
nilai historis tersendiri bagi perjalanan terbentuknya bangsa
Indonesia yang merupakan identitas karakter bangsa yang
terbentuk sejak sebelum Zaman kemerdekaan. Berbicara
santri berarti kita berbicara pesantren yang merupakan
menjadi wadahnya. Nurcholish Madjid, menyebutkan bahwa
pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian
(indigenous) Indonesia. Kata "pesantren" mengandung
pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri"
diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek huruf", atau dari bahasa
Jawa "cantrik" yang berarti seorang yang mengikuti gurunya kemana pun pergi
Tidak ada data resmi tentang kapan pondok pesantren pertama muncul di
Indonesia. Namun dari catatan para sejarawan, pesantren mulai dikenal di Nusantara sejak
masuknya Islam di Indonesia. Menurut para ahli, pondok pesantren sebagai sebuah model
lembaga pendidikan Islam mulai dikenal di Pulau Jawa sekitar permulaan abad ke-15 atau
kurang lebih 500 tahun yang lalu. Selama kurun waktu hampir setengah milenium itu,
lembaga pesantren telah mengalami banyak perubahan di berbagai segi dan telah
memainkan berbagai macam peran strategis dalam masyarakat dan bangsa Indonesia.
Pada era walisongo, peranan terpenting dari pondok pesantren tampak dalam penyebaran
agama Islam di pulau Jawa. Pesantren dengan figur kiayi atau wali juga memiliki kekuatan
politis untuk melegitimasi sebuah kekuasaan seperti yang terjadi pada kasus kerajaan
Demak dan Pajang. Peran politis tersebut semakin menguat pada zaman penjajahan
Belanda, dimana hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda
bersumber atau paling tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari pesantren.
Adapun perkembangan pondok pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan tertua
di Indonesia mulai menjamur khususnya di tanah Jawa sejak abad ke-17. Keberadaan
pesantren dalam sejarah Indonesia telah melahirkan hipotesis yang barangkali memang
telah teruji, bahwa pesantren dalam perubahan sosial bagaimanapun senantiasa berfungsi
sebagai “platform” penyebaran dan sosialisasi Islam. Dalam perkembangannya, pesantren
tetap kokoh dan konsisten mengikatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang
mengajarkan dan mengembangkan nilai-nilai Islam. Realitas ini tidak saja dapat dilihat
ketika pesantren menghadapi banyak tekanan dari pemerintah kolonial Bbelanda, namun
pada masa pasca-proklamasi kemerdekaan pesantren justru dihadapkan pada suatu
tantangan yang cukup berat yaitu adanya ekspansi sistem pendidikan umum dan madrasah
modern. Di tengah kondisi yang demikian, di mana masyarakat semakin diperkenalkan
dengan perubahan-perubahan baru, eksistensi lembaga pendidikan pesantren tetap saja
menjadi alternatif bagi pelestarian ajaran agama Islam. Pesantren justru tertantang untuk
tetap survive dengan cara menempatkan dirinya sebagai lembaga yang mampu bersifat
adaptatif menerima dinamika kehidupan. Berdasarkan fakta-fakta historis, sangat sulit
dipungkiri keterlibatan pondok pesantren dalam membentuk dan mencerdaskan bangsa
Indonesia. Namun perkembangan konstelasi politik dan sistem pendidikan di Indonesia telah
sedikit banyak mengkaburkan peran tersebut sehingga seakan-akan pondok pesantren tidak
memiliki kontribusi yang memadai bagi lahirnya Indonesia sebagai sebuah bangsa dan
negara yang berdaulat serta berketuhanan.
Peran Pesantren pada Masa Kolonial
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, penyebaran ajaran Islam merupakan
kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Begitu pula yang terjadi ketika Belanda mulai
bercokol di bumi Nusantara, penyebaran Islam dan pendidikan Islam masih menjadi salah
satu peran pokok dari pondok pesantren. Namun disamping itu, pada masa awal penjajahan
Belanda banyak tokoh-tokoh pesantren yang terpanggil menjadi tokoh-tokoh perjuangan
bangsa Indonesia dan gigih terlibat dalam berbagai perlawanan menentang Belanda.
Sebagai contoh misalnya dalam perang Dipenogoro di Jawa. selain Pangeran Diponegoro
sendiri adalah santri- ia juga dibantu oleh Kyai Mojo dan Sentot Prawirodirjo yang
merupakan elit pesantren. Mereka bahu membahu menentang penjajah Belanda yang
dalam pemahaman mereka adalah kafir. Selain Pangeran Diponegoro, kasus yang hampir
sama terjadi pada Perang Paderi dengan tokoh sentralnya Imam Bonjol yang juga tergolong
dari kaum santri. Perang Aceh mengenalkan kita pada Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Cut
Nyak Muthia, Panglima Polim, Teuku Cik Di Tiro dan kawan-kawan yang kesemuanya
merupakan didikan dayah di Aceh. Bahkan yang paling akhir kita mengenal KH. Zenal
Mustofa dari Tasikmalaya dengan santrinya memberontak penjajah Jepang, sehingga
banyak diantara mereka yang gugur di medan perang menjadi syuhada. Kemudian ketika
Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kyai
dan santri mendirikan tentara Hizbullah dan Sabilillah sebagai bentuk manifestasi jihad
melawan kekafiran. Laskar Hizbullah dan Sabilillah kemudian yang berkontribusi pada
terbentuknya BKR dan TKR  yang merupakan cikal bakal TNI.
Pesantren yang hadir hingga di pelosok-pelosok pedesaan, mampu
mengembangkan masyarakat Muslim yang solid, yang pada gilirannya berperan sebagai
kubu pertahanan rakyat dalam melawan penjajah. Masyarakat Muslim yang solid ini kelak
menjadi modal yang kuat bagi persatuan bangsa Indonesia sehingga bangsa ini bisa berdiri
sebagai bangsa yang merdeka.  Pengaruh kyai dari pesantren ternyata tidak hanya terbatas
pada masyarakat awam, tapi juga menjangkau istana-istana. Kiai Hasan Besari, dari
pesantren Tegalsari Ponorogo, misalnya berperan besar dalam meleraikan pemberontakan
di Keraton Kartasura. Bukan hanya itu, pesantren dulu juga mampu melahirkan pujangga.
Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah santri Kiai Hasan Besari yang berhasil menjadi
Pujangga Jawa terkenal. Pada awal abad ke-20 Kyai Kholil, Bangkalan-Madura mendorong
dan merestui KH Hasyim Asy'ari untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun menjadi
organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia. Di jalur yang sedikit
berbeda, rekan seperguruan KH Hasyim Asy'ari di Makkah, yaitu KH Ahmad Dahlan pun
mengambil peran yang kemudian mempengaruhi kelahiran "pesantren moderen" .
Awal abad ke-20 antara tahun 900-1930 adalah periode kebangkitan intelektual di
wilayah yang kemudian disebut sebagai Nusantara. Pada periode ini berdirilah Syarekat
Islam (sebelumnya Syarekat Dagang Islam) yang di arsiteki H. Samanhudi dan HOS
Cokroaminoto yang lagi-lagi orang pesantren. Bahkan menurut banyak sumber, kelahiran
Syarekat Dagang Islam sebagai sebuah organisasi nasional lebih dahulu dari pada Budi
Utomo.   Pada periode ini berdiri pula beberapa pesantren seperti Pesantren Salafiyah
Syafi’iah Situbondo (1914), Pesantren Cipasung (1931), Pesantren DDI (Darul Dakwah wal
Irsyad) Mangkoso (1939) dan sebagainya. Pondok-pondok tersebut lahir dan berkembang
sebagai respon atas hegemoni kolonial Belanda yang tidak memberi kesempatan
masyarakat untuk mendapatkan hak-hak dasarnya, terutama hak memperoleh pendidikan.
Peran Pesantren pada Masa Kemerdekaan
            Di zaman pergerakan pra-kemerdekaan, peran para elit pesantren juga sangat
menonjol, lagi-lagi melalui alumninya. HOS Cokroaminoto pendiri gerakan Syarikat Islam
dan guru pertama Soekarno di Surabaya, adalah juga alumni pesantren. KH. Mas Mansur,
KH.Hasyim Ash’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir dan
beberapa orang lagi adalah alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat yang sangat
berpengaruh. Di tengah masyarakat mereka adalah guru bangsa, tempat merujuk segala
persoalan di masyarakat. Di tengah percaturan politik menjelang kemerdekaan Republik
Indonesia peran mereka tidak diragukan lagi.
Dalam konteks mempertahankan kemerdekaan, sejarah perjuangan bangsa
Indonesia mencatat sebuah peristiwa dahsyat di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Hari tersebut saat ini diperingati sebagai hari pahlawan. Dalam peristiwa tersebut Sutomo
yang didukung oleh arek-arek Surabaya berjuang mati-matian mempertahankan setiap
jengkal tanah air. Bahkan KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 20 November 1945
mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad untuk mempertahankan tiap jengkal tanah air Indonesia.
Keterlibatan pesantren dan kaum santri dalam peristiwa-peristiwa perlawanan terhadap
penjajah sangat sulit untuk dipungkiri, cuma sangat disayangkan bahwa dalam penulisan
sejarah peran mereka sepertinya sengaja dimarjinalkan.  
Pada perkembangan selanjutnya, alumni-alumni pesantren terus memainkan
perannya dalam mengisi kemerdekaan. Mohammad Rasyidi, alumni pondok Jamsaren
adalah Menteri Agama RI pertama, Mohammad Natsir alumni pesantren Persis, menjadi
Perdana Menteri, KH.Wahid Hasyim, alumni pondok Tebuireng, KH.Kahar Muzakkir dan
lain-lain menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan; KH. Muslih Purwokerto dan KH. Imam
Zarkasyi alumni Jamsaren menjadi anggota Dewan Perancang Nasional; KH. Idham Khalid
menjadi wakil Perdana Menteri dan ketua MPRS. Ditambah lagi dari kalangan 'moderen'
sempat menyumbangkan tokoh-tokoh penting di pemerintahan, seperti Mukti Ali di lingkup
Departemen Agama, Muhammad Natsir yang pernah menjadi perdana menteri, serta
Syafrudin Prawiranegara yang sempat menjadi perancang ekonomi nasional maupun
perdana menteri. Singkatnya, di awal-awal kemerdekaan RI para kyai dan alumni pesantren
berpatisipasi hampir di setiap lini perjuangan bangsa. Perlu dicatat bahwa jabatan-jabatan
itu bukan diraih untuk tujuan politik sesaat, tapi untuk sarana membela dan
memperjuangkan agama, negara dan bangsa.
Peran Pesantren pada Masa Orde Lama
            Pada Orde Lama dimana Soekarno semakin nampak sebagai seorang diktator sejak
ia diangkat menjadi presiden seumur hidup. Sebenarnya, sedikit banyak ada juga peran dari
pesantren dalam proses pencitraan Soekarno yang kemudian berhasil menjadi penguasa
mutlak di Indonesia. Elit pesantren NU bahkan pada tahun 1954 malah menyematkan gelar
waliyul amri adh dhorury bi asy syaukah bagi Soekarno yang berarti menambah legitimasi
kekuatannya. Keputusan ini sangat ditentang oleh Masyumi dan pesantren-pesantren yang
menyokongnya sebab bisa menghalangi perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar
Negara yang akan diperjuangkan dalam sidang konstituante.
Pada masa Soekarno menggalakkan ideologi yang saling bertentangan, yaitu Islamisme,
Nasionalisme dan Komunisme (Nasakom), maka kyai-kyai NU kemudian mengambil jalan
tengah mendukung konsep Nasakom yang digagas oleh Soekarno yang saat itu benar-
benar sebagai penguasa mutlak. Kyai-kyai NU juga mendukung terhadap keputusan
Presiden Soekarno untuk melakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai cara untuk
mengakhiri perdebatan di dalam Sidang Konstituante yang berlarut-larut selama 3,5 tahun.
Perdebatan ini akhirnya tidak menghasilkan keputusan tentang dasar negara apakah Islam,
Komunisme atau Pancasila. Menurut Soekarno, Dekrit Presiden untuk kembali ke Pancasila,
UUD 1945 dan NKRI merupakan keputusan yang harus diambil karena menghindarkan
keterpecahbelahan kesatuan dan persatuan bangsa.
Peran Pesantren pada Masa Orde Baru
Di era Orde Baru pembangunan fisik di segala bidang digalakkan oleh Soeharto.
Akan tetapi kekuatan Islam yang dahulu ikut menaikkannya ke tampuk kekuasaan ternyata
oleh Soeharto sengaja di marginalkan. Proses marginalisasi peran politik ummat Islam
semakin menjadi ketika pemerintah memaksakan fusi bagi partai-partai Islam menjadi satu
partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Tokoh-tokoh partai Islam yang kebanyakan
berasal dari peantren kemudian balik ke ‘kandang’ masing-masing sehinggga pesantren
berusaha menempatkan dirinya pada wilayah yang netral, yang bersih dari efek pergesekan
dengan dunia politik. Meski demikian, terdapat pula beberapa pesantren yang tumbuh
sebagai identitas keIslaman yang berbeda suara dengan pemerintah. Pada periode ini lahir
beberapa pesantren seperti Pesantren Istiqlal Ciranjang Cianjur (1963), Pesantren al-
Mukmin Ngruki (1967), Pesantren Darul Istiqomah Maccopa Maros (1967), dan Pesantren
Qomarul Huda Bagu, Lombok Tengah (1972)
Pada periode 1980-an, pesantren lebih banyak mencerminkan peran sosialnya,
terutama sebagai penguat masyarakat sipil ditengah hegemoni negara yang mencengkeram
kuat rakyatnya, adapun peran politiknya bisa dikatakan terkebiri sejak LB Moerdani dan Ali
Murtopo menjadi orang penting di ring I Soeharto. Pada periode ini lahir pesantren-
pesantren seperti Pondok Modern Muhammadiyah (1983), Pesantren Edi Mancoro Salatiga
(1984) dan sebagainya. Pada masa Orde Baru ini, ditengah kekuasaan yang hegemonic,
kalangan pesantren secara umum mengambil sikap oposisi terhadap kekuasaan karena
banyak kebijakan-kebijakan LB Moerdani dan Ali murtopo yang sengaja menyudutkan umat
Islam. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa masyoritas masyarakat pesantren tidak
berafiliasi terhadap partai mayoritas. Namun peran yang lebih tegas ditunjukkan pasca
tahun 1984 dimana kalangan pesantren mulai menjadi tempat persemaian kekuatan
masyarakat sipil. Gerakan pemberdayaan masyarakat melalui pesantren mulai gencar
dilakukan. Relasi yang awalnya oposisi mutlak dengan penguasa mengalami dinamisasi
menjadi lebih taktis. Dengan cara yang demikian tanpa mengurangi kemandirian dan
kekritisannya pesantren dapat bekerjasama dengan pemerintah untuk tujuan pemberdayaan
masyarakat.
Harus diketahui, bahwa pada periode ini tumbuhlah pemikir-pemikir Islam kaliber
Internasional yang berasal dari kaum santri seperti Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid,
Amin Rais, Musthofa Bisri di bidang budaya, dan sebagainya.  Pada gilirannya nanti, tokoh-
tokoh di atas lah yang dengan lantang berani mengemukakan isu-isu perubahan nasional
dan isu suksesi yang pada masa Soeharto adalah sesuatu yang tabu.
Peran Pesantren pada Masa Reformasi  
Dari masa ke masa, ranah pendidikan tetaplah menjadi wilayah strategis bagi
pondok pesantren untuk menunjukkan perannya. Tapi, di era reformasi para elit pesantren
banyak yang terseret arus untuk terjun dalam percaturan politik. Akibatnya banyak
pesantren-pesantren yang secara akademis “terlupakan” oleh para kyainya sendiri karena
disibukkan oleh kegiatan politik. Bahkan ada beberapa pesantren yang iklimnya “memanas”
gara-gara para elitnya berseberangan partai. Kasus pesantren di Jawa Timur sangat unik
karena banyak pesantren yang para pengelolanya mengalami konflik internal karena di
sebuah pesantren saja ada kyai yang di PKB, kemudian kyai satunya di PKNU, satunya lagi
PPP, atau di Partai Golkar dan sebagainya. Kran demokrasi era reformasi yang terbuka
lebar seakan-akan menjadi kesempatan emas bagi para elit pesantren untuk berkiprah di
dunia politik dimana di era Orde Baru akses untuk ini tertutup rapat.
Alam reformasi telah memunculkan sejumlah nama tokoh yang tidak lepas dari peran
pendidikan pesantren, baik langsung maupun tidak langsung. Amien Rais, pendiri PAN dan
mantan Ketua MPR; Abdurrahman Wahid, pendiri PKB sekaligus mantan Presiden RI ke-4;
Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden PKS sekaligus Mantan Ketua MPR; Hasyim Muzadi,
mantan Ketua PB NU dan mantan Wakil Presiden RI; Nurcholis Madjid, Rektor Paramadina;
dan selainnya adalah beberapa nama tokoh dari dunia pesantren yang aktif berperan dalam
pembangunan dan penataan kembali bangsa Indonesia. Hal ini tidak saja menunjukkan
kualitas pendidikan pesantren dalam mencetak pemimpin dan tokoh-tokoh bangsa tapi
membuktikan besarnya kepedulian santri terhadap problematika bangsa ini. Setelah lebih
dari sepuluh tahun reformasi bergulir, sepanjang itu pula pesantren berperan bagi
pembangunan negara. Dalam kondisi seperti ini posisi pesantren semakin diperhitungkan
dalam interaksi riil sosial, politik dan budaya. Dalam kancah politik, kaum santri tidak lagi
menjadi obyek dari kepentingan sesaat para politisi dan partai politik, akan tetapi dinamika
perpolitikan Indonesia diwarnai pula oleh politisi santri yang tidak lagi malu dengan identitas
kesantriannya, atau munculnya partai-partai politik yang berbasis massa kaum sarungan
seperti PKB, PKU, PNU, PBR, PKNU dan sebagainya.
Momentum Hari Santri dan Refleksi Keindonesiaan
Peran besar kalangan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan tentu patut
menjadi refleksi bagi kita semua. Refleksi ini penting karena di tengah gegap gempita
perayaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, kiprah pesantren bagi kemerdekaan
Indonesia makin hari makin dilupakan orang, bahkan oleh kalangan pesantren sendiri. Ini
tentu menyedihkan karena perjuangan kalangan pesantren terhadap eksistensi Negara
Republik Indonesia tidak hanya berhenti setelah proklamasi, tetapi terus dilanjutkan di
masa-masa kemudian. Dalam pemberontakan DI/TII misalnya, kalangan pesantren tidak
memberikan dukungan meskipun yang pemberontakan itu dilakukan oleh orang Islam dan
ditujukan untuk mendirikan negara Islam. Pondok Pesantren Cipasung misalnya, yang
didirikan tahun 1931 oleh KH Ruhiat, beberapa kali bentrok dengan kelompok DI/TII karena
menolak mendukung dan bergabung dengan pemberontak tersebut. Padahal DI/TII lahir di
wilayah yang sama dengan Pesantren Cipasung. Sebagai organisasi yang memayungi
kalangan pesantren, NU juga dengan gigih menolak pemberontakan DI/TII, PRRI dan
Permesta, karena NKRI sudah dianggap final. Kesetiaan kalangan pesantren terhadap visi
kebangsaan Indonesia mulai mendapat tantangan serius ketika muncul kalangan Islam garis
keras yang mencoba menawarkan Islam sebagai solusi bagi penyelesaian berbagai krisis di
Indonesia. Sebagian pesantren sudah mulai tergoda oleh gerakan yang antara membawa
gagasan formalisasi syariat Islam. Ini menjadi persoalan karena kalangan pesantren sangat
kental dengan ciri moderat, menghargai keberagaman memandang wahyu dan akal sebagai
acuan kebenaran yang saling membutuhkan serta menghagai nilai-nilai tradisi dan budaya
lokal. Sementara Islam garis keras cenderung menolak prinsip-prinsip ini. Pasca reformasi,
eksistensi keindonesiaan memang menghadapi banyak tantangan serius. Dengan modal
sejarah yang gemilang dalam memperjuangkan kemerdekaan, pesantren mestinya bisa
berbuat banyak untuk turut membantu penyelesaian berbagai masalah kebangsaan.
Sayangnya, para pemimpin pesantren yang belakangan marak terlibat dalam politik praktis
tidak banyak yang memiliki visi kebangsaan seperti para pendahulu mereka. Kita berharap,
pesantren melalui para kiai, santri dan alumninya di masa-masa mendatang dapat
memainkan lagi peran kebangsaan seperti yang dilakukan oleh para pendahulu mereka.

Penulis :
Ketua Umum HMI Komisariat Untirta Periode 2009-2010
Pengurus Keluarga Mahasiswa Banten (KMB) Bogor Bidang Kajian
Strategis periode 2015-2016.

Biodata Penulis

Nama : Wakyudi
Tempat, tgl lahir : Pandeglang, 14 -03-1987
Alamat : Kecamatan Cikeusik, Kab. Pandeglang Banten
Tempat Tinggal : Jln Batu Hulung KelurahanMarga Jaya, Kec. Bogor Barat, Kota
Bogor
No HP : 087773525980
Pedidikan :
1. SDN Sukamulya 1
2. SMPN 2 Cikeusik
3. SMAN 1 Wanasalam
4. S-1 Fakultas Pertanian UNTIRTA SERANG
5. S-2 Program studi Arsitektur Lanskap IPB - Bogor
Pengalaman Organisasi
1. Tim Pendiri Ikatan Mahasiswa Cilangkahan (IMC) Lebak
2. Ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam HMI Kom. Untirta periode 2009
3. Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Serang bidang
kewirausahaan dan pengembangan profesi
4. Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pemuda Cibaliung (HMPC)
Pandeglang
5. Keluarga Mahasiswa Banten (KMB)-Bogor
6. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UNTIRTA
Pegalaman Kerja
1. Penyluh Pertanian Swadaya Masyarakat Pandeglang
2. Wartawan Harian Radar Banten.
3. Konsultan Lingkungan dan Enginering

Anda mungkin juga menyukai