Anda di halaman 1dari 3

Deislamisasi Sejarah Indonesia ( judulnya dibuat menarik dong bingung hahaha)

Masih ingatkah kita akan pelajaran sejarah di waktu sekolah dulu ? Atau mungkin sekarang sudah tertutup rapi oleh rumitnya rumus-rumus eksak ? Apapun itu, saya sempat mengingat secara ringkas hasil belajar sejarah saya selama 12 tahun sekolah dan menurut saya kesimpulannya : peran islam, khususnya ulama dan santri, tidak terlalu meraih kemerdekaan Indonesia. Mengapa hal tersebut dapat terjadi ? Sejarah yang merupakan cerita masa lalu seharusnya bisa bersikap jujur mengabarkan segala sesuatu yang terjadi dan bukan mengabarkan apa yang diinginkan oleh penguasa atau kaum yang memiliki kekuatan untuk diketahui dunia luas. Kejujuran tersebut sangat langka, tidak hanya dalam penulisan sejarah Indonesia, tetapi juga dunia. Deislamisasi dimulai dari pemunduran waktu masuk islam ke signifikan dalam

Indonesia. Dahulu ketika di bangku SMP, saya ingat bahwa islam diceritakan masuk ke Indonesia pada abad ke-13, melalui para pedagang dari Gujarat, India. Seperti yang telah diketahui bahwa teori ini dicetuskan oleh seorang orientalis Belanda bernama Snouck Horgunje. Teori ini sendiri juga banyak mendapat pertentangan, salah satunya dari intelektual muslim terkemuka Buya Hamka. Buya Hamka menegaskan bahwa menurut fakta arkeologis dan literature kuno, seperti dari seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada 674 M telah menemukan perkampungan arab muslim yang bermukim di pesisir sumatera. Hamka juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh pencatat sejarah di Pricenton University di Amerika. Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa pada 625 M, atau hanya sekitar 10 tahun sesudah

wahyu pertama diterima, di pesisir pantai sumatera sudah ditemukan perkampungan arab muslim yang masih dalam wilayah kerajaan Sriwijaya. Di perkampungan ini, orang-orang arab bermukim dan berasimiliasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan lokal secara damai. Dari berbagai literature, kampung ini bernama Barus atau Fansur. Kampung ini berada di dekat Sibolga, 414 Km arah selatan dari kota Medan. Jika dalam sejarah setiap gerakan perlawanan terhadap imperialisme, disebut gerakan nasionalisme. Namun, ulama dan santri selaku pelopor perlawanan terhadap imperialisme ternyata tidak ditulis. Padahal, istilah nasional pertama kali dimasyarakatkan oleh Serikat Islam, dalam National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama, Bandung 17-24 Juni 1916. Namun di sejarah indonesi seakan-akan istilah nasional ini disosialisasikan oleh Partai Nasional Indonesia, 4 Juni 1927. Sedangkan istilah Indonesia juga dipelopori oleh Dr. Soekiman Wirjosandojo yang mengubah Indische Veregening menjadi Perhimpunan Indonesia, 1925 M. Karena Dr. Soekiman yang aktif dalam PSII, PII, dan Masyumi, maka hal tersebut menjadi jarang dipublikasikan. Dalam penentuan hari-hari besar di Indonesia, hal tersebut juga tidak luput dari unsur deislamisasi. Penentuan hari kebangkitan nasional yang jatuh pada tanggal 20 Mei, merupakan hari jadi Budi Utomo. Padahal, menurut Mr. A.K Priggodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, sampai tahun 1928 M, Budi Utomo tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia dan tetap mengusung prinsip Djawanisme. Dalam hal ini seharusnya Serikat Islam, pada tahun 1916 M mempelopori tuntutan pemerintahan mandiri melalui National Congres yang sudah disebut diatas. Hari pendidikan nasional pun diperingati setiap tanggal 2 Mei, yang merupakan hari lahir Ki Hajar Dewantara pendiri Taman Siswa, 1922 M. Jikalau begitu, tidakkah pemerintah melihat K.H Ahmad Dahlan, yang sepuluh lebih tahun lebih awal (1912 M) mendirikan Muhammadiyah, dan

pengaruhnya bahkan lebih luas, hingga ke daerah-daerah terpencil seperti Belitong, Kepulauan Riau. Sebenarnya masih banyak lagi contoh deislamisasi terhadap sejarah Indonesia, dan hal tersebut perlu diungkap dan dipublikasikan. Upaya deislamisasi ini sendiri sudah berlangsung cukup lama,dan menjadikan peran ulama dan santri di bidang iptek, politik, serta social dan budaya tidak mendapatkan tempat yang sesuai dalam penulisan sejarah Indonesia. Sementara itu saat ini masyarakat dan cendekiawan muslim kurang memperhatikan hal tersebut. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali, agar semangat dan kontribusi para tokok muslim di masa lalu dapat menjadi inspirasi dan semangat bagi generasi muda saat ini.

Anda mungkin juga menyukai