Anda di halaman 1dari 16

Pada zaman kolonial pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam bagi orang

Indonesia untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang khas dari sekolah-
sekolah ini ialah tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu. Namun lambat laun, dalam
berbagai macam sekolah yang terpisah-pisah itu terbentuklah hubungan-hubungan sehingga
terdapat suatu sistem yang menunjukkan kebulatan. Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula
terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertical sehingga anak-
anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui
jalan yang sulit dan sempit.

Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah
demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh
kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun di Hindia Belanda.

Skip to content

Pedagogi Kritis

Praksis pendidikan untuk transformasi sosial

 Beranda
 Pengelola
 Tentang Web Ini
 Ulasan Buku
 Kritik Praktik Pendidikan
 Teori Kritis dan Pendidikan
 Tokoh Pedagogi Kritis

Ki Hadjar Dewantara, Peletak Dasar


Pendidikan Indonesia
Pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia, situasi politik belum stabil hingga
menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan pendidikan Indonesia. Pada awal
kemerdekaan pemerintah Republik Indonesia (RI) telah membentuk kementerian yang
mengurus dunia pendidikan disebut sebagai “Kementerian Pengajaran.” Ketika terjadi agresi
Belanda, Kementerian Pengajaran ditempatkan di Surakarta, pemindahan tersebut terjadi
pada Januari 1946. Pada waktu itu juga nama kementerian diubah menjadi “Kementerian
Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan” atau yang disingkat menjadi Kementerian PP dan K
(Sjamsudin, 1993: 9).

Ki Hadjar dan Bung Karno

Lebih dari itu, ketika Belanda menyerang pada Desember 1948, banyak kantor kementerian
dipindahkan, termasuk Kementerian PP dan K. Waktu itu organisasi kementerian berjalan
sebagaimana mestinya dan terkenal dengan sebutan “Kementerian Gerilya.” Ketika sudah
pulih, maka pada Juni 1949, Kementerian PP dan K dipindah lagi dari Surakarta ke
Yogyakarrta dan dibentuk tiga jawatan baru: Jawatan Inspeksi Pengajaran, Jawatan
Pendidikan Masyarakat, dan Jawatan Kebudayaan. Pada awal masa kemerdekaan itulah, dan
juga tahun-tahun menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, seorang
tokoh pergerakan nasional dan pejuang pendidikan yang besar sekali perannya adalah Ki
Hadjar Dewantara.
Sekarang tanggal kelahirannya, 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional sebagai
bentuk penghormatan dari pemerintah dan masyarakat Indonesia kepada beliau yang telah
begitu besar jasanya dalam meletakkan dasar pendidikan nasional. Sumbangannya bagi
Indonesia, terutama dalam dunia pendidikan adalah hadirnya Perguruan Taman Siswa dengan
substansi ideologis kebangsaan, keindonesiaan dan kerakyatan. Gagasan dan pemikiran Ki
Hadjar tentang pendidikan dan kebudayaan sampai sekarang masih selalu dikaji dan dianggap
relevan diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional. Salah satunya adalah prinsip
Tut Wuri Handayani yang menjadi semboyan resmi dari implementasi sistem pendidikan
nasional.

Riwayat Suwardi dan Taman Siswa

Nama kecilnya adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat dan setelah dewasa ia mengganti
namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Penggantian nama tersebut pun pada hakikatnya
merupakan simbol filosofi dan perjuangannya. Dari nama kecil sebagai bangsawan bergelar
Raden, kemudian ia memilih bergelar Ki yang merepresentasikan dirinya sebagai bagian dari
orang kebanyakan. Ki Hadjar adalah jenis bangsawan yang sadar dan rela untuk menjadi
sama dengan manusia lainnya. Dengan begitu, sejatinya dalam sejarah pergantian namanya
dari Raden menjadi Ki saja, sudah tersirat filosofi anti-feodal dan anti-penjajahannya.

Suwardi lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Tanggal itulah yang kelak di kemudian hari
dikenang dan ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional oleh pemerintah Indonesia. Ia
berasal dari keluarga keraton, tepatnya Pura Pakualaman, Yogyakarta. Suwardi merupakan
cucu dari Sri Paku Alam III, ayahnya bernama K.P.H. Suryaningrat. Dari pihak Ibu adalah
Raden Ayu Sandiyah yang merupakan keturunan Sunan Kalijaga. Ketika kecil Suwardi
mendapatkan pendidikan agama dari K.H. Abdurrahman, beliau seorang kyai dari Pesantren
Kalasan. Pendidikan formalnya ia dapatkan di Europeesche Lagere School (ELS) yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Setelah tamat Suwardi melanjutkan ke
Kweekschool (sekolah guru Belanda) selama satu tahun dan kemudian pindah ke School tot
Opleding voor Inlandsche Arsten (Stovia) di Jakarta dengan beasiswa.

Namun sayang Suwardi tidak selesai dan terpaksa keluar karena sakit selama empat bulan
yang menjadikannya tidak naik kelas hingga beasiswanya dicabut. Namun sebenarnya
terdapat alasan politis dibalik pencabutan beasiswa tersebut, yakni karena Suwardi
membacakan sebuah sajak kepahlawanan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo (panglima perang
Pangeran Diponegoro). Konon pagi harinya setelah membacakan sajak tersebut, Suwardi
dipanggil oleh Direktur Stovia dan dimarahi habis-habisan. Ia dituduh membangkitkan
semangat memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Kemudian ia bekerja sebagai
wartawan di beberapa surat kabar waktu itu, antara lain Sedya Tama, Midden Java, De
Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Selain itu ia juga
menerbitkan Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak.

Selain itu ia juga aktif di Budi Oetama pada 1908 dan mendapat tugas yang cukup menantang
di biro propaganda. Di situlah ia mencoba untuk mengobarkan semangat dan kesadaran
masyarakat akan pentingnya kesatuan dan persatuan Indonesia. Pada 25 Desember 1912 ia
mendirikan Indische Partij sebagai partai politik pertama beraliran nasionalis di Indonesia
bersama dr. Douwes Dekker (Danudirja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangunkusumo. Indische
Partij menjadi partai politik pertama berideologi nasionalis dengan tujuan tegas, yakni
Indonesia merdeka. Oleh karena itu pula, Indische Partij kemudian ditolak menjadi badan
hukum oleh pemerintah Belanda pada 11 Maret 1913 dengan alasan organisasi ini dapat
membangkitkan nasionalisme rakyat untuk menentang Belanda.

Pada tahun itu juga Suwardi mengkritik perayaan seratus tahun bebasnya Belanda dari
penjajahan Perancis pada November 1913. Ia mendirikan Komite Bumiputera yang
merupakan komite tandingan dari komite perayaan seratus tahun kemerdekaan bangsa
Belanda dari Perancis. Komite Bumiputera mengkritik perayaan tersebut yang akan
dirayakan secara besar-besaran dengan menarik uang dari rakyat jajahannya. Kritikan Ki
Hadjar tersebut dimuat di surat kabar milik Douwes Dekker berjudul “Seandainya Aku
Seorang Belanda” (Als ik Eens Nederlander Was). Kontan saja hal itu membuat pemerintah
Belanda berang pada Suwardi. Pemerintah kolonial meminta bantuan Sri Paku Alam II dan
K.P.H. Suryaningrat agar mereka mendatangi Suwardi di Bandung untuk membujuknya agar
tidak radikal. Namun mereka berdua justru berpesan, “Ingatlah, seorang bangsawan tidak
akan menelan ludahnya sendiri.”

Gubernur Jenderal Idenburg kemudian menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan pada
Suwardi berupa hukuman internering atau pembuangan ke Pulau Bangka. Kedua sahabatnya,
dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo pun turut dibuang karena membela Ki
Hadjar. Dalam hukuman tersebut mereka menginginkan untuk dibuang ke Negeri Belanda
saja karena dianggap akan lebih bermanfaat dengan mempelajari banyak hal ketimbang
dibuang ke daerah terpencil sebelumnya. Ternyata permintaan tersebut dikabulkan, dan mulai
Agustus 1913 mereka berada di Belanda sebagai pelaksanaan hukuman. Hal itu tentu saja
tidak disia-siakan oleh mereka, terutama Ki Hadjar dengan memperdalam tentang pendidikan
dan pengajaran, hingga berhasil mendapatkan Europeesche Akte. Di negeri Belanda, Suwardi
juga bekerja sebagai jurnalis guru Taman Kanak-Kanak (Frobel School) untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan menabung untuk pulang ke Indonesia.

Pada tahun 1919 Suwardi dapat kembali ke Indonesia dan setelah itu berusaha mencurahkan
perhatiannya di dunia pendidikan sebagai alat untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Kemudian pada 3 Juli 1922 ia mendirikan sebuah perguruan bercorak nasional, yakni
Nationaal Onderwijjs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Taman Siswa). Corak
pendidikannya dapat dikatakan sebagai paduan pendidikan gaya Eropa yang telah ia pelajari
selama di Belanda dan seni-budaya Jawa tradisional yang merupakan latar sosialnya sejak
mula. Ketika genap berusia 40 (empat puluh) tahun menurut perhitungan tahun Caka,
Suwardi mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, tepatnya pada tanggal 23
Februari 1928 ia resmi melepas gelar Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Sebagaimana sedikit
dijelaskan di depan, agar ia dapat lebih dekat dengan rakyat dan menjadi bagian dari mereka.

Setelah Taman Siswa berkembang di berbagai daerah, Ki Hadjar kemudian mewakafkan


seluruh perguruan Taman Siswa kepada Persatuan Taman Siswa pada 7 Agustus 1930.
Perkembangan Taman Siswa yang begitu pesat dan mendapat apresiasi dari rakyat banyak
tentu membuat gelisah pemerintah Hindia Belanda waktu itu. Kemudian diterbitkanlah
ordonansi sekolah liar (Wilde Schoolen Ordonantie) yang melarang sekolah swasta
(partikelir) beroperasi tanpa izin dari pemerintah berkuasa. Ditentukan bahwa sekolah-
sekolah swasta harus menggunakan kurikulum dari pemerintah dan gurunya harus tamatan
dari sekolah guru pemerintah. Kalau Taman Siswa menaati ordonansi tersebut, maka Taman
Siswa akan tutup karena Taman Siswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong (guru)
dari sekolah guru Taman Siswa sendiri (Rahardjo, 2009: 57).
Ki Hadjar dan Taman Siswa tidak tinggal diam, perlawanan dilakukan dengan menjalankan
Taman Siswa seperti biasa, tidak terpengaruh oleh ordonansi tersebut. Pamong yang
ditangkap dan tidak boleh mengajar harus diganti oleh pamong lain. Semboyan “ditangkap
satu tumbuh seribu” muncul. Selain itu Ki Hadjar juga mengirim surat kepada Gubernur
Jenderal Belanda di Bogor yang isinya ia akan melawan ordonansi tersebut sekuat-kuatnya
dan selama-lamanya dengan cara diam (Lijdelik Verset) (bandingkan dengan gerakan Ahimsa
dari Mahatma Gandhi di India). Akhirnya pada 1934 ordonansi tersebut dicabut karena
Taman Siswa mendapat dukungan dari gerakan politik nasional, termasuk Budi Utomo untuk
terus melawan ordonansi yang merugikan pendidikan pro-rakyat tersebut.

Di bawah pendudukan Jepang, pada 1943 ketika Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera), Ki Hadjar duduk sebagai salah seorang pemimpin di situ bersama Soekarno, Hatta,
K.H Mas Mansyur. Setelah proklamasi kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi
Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (PP dan K) Indonesia yang pertama.
Secara resmi dunia akademik pun memberikan penghormatan kepada Ki Hadjar dengan
memberikan gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1957.
Dua tahun setelah itu, tepatnya pada 26 April 1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia.
Sebelum wafat ia pernah berkata pada anaknya, Bambang Sukowati (dalam Rahardjo, 2009:
21):

[…] apapun yang dikatakan orang tentang diriku (kau) wajib menerimanya. Namun, kalau
suatu ketika ada orang meminta pendapatmu, apakah Ki Hadjar seorang nasionalis, radikalis,
sosialis, humanis, tradisionalis ataupun demokrat? Maka katakanlah, aku hanya orang
Indonesia biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia.

Setelah Ki Hadjar wafat, kepemimpinan Taman Siswa diampu oleh istrinya, Nyi Hadjar
Dewantara. Pada masa kepemimpinannya itulah terdapat upaya dari gerakan komunis untuk
menyusup dalam tubuh Taman Siswa, salah satunya ditunjukkan oleh hasil kongres Taman
Siswa tahun 1963 yang didominasi oleh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan
sampai menjadikan Semaun (salah seorang tokoh komunis Indonesia waktu itu) sebagai
Badan Pembina Persatuan Taman Siswa. Melihat hal tersebut Nyi Hadjar menggunakan hak
prerogatifnya dengan membubarkan kepengurusan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
dan menggantinya dengan orang-orang yang non-komunis.

Namun sayang, pasca Nyi Hadjar sampai sekarang Perguruan Taman Siswa justru tidak
secemerlang dulu. Sekolah-sekolah Taman Siswa bahkan menjadi pilihan terakhir bagi anak-
anak yang tidak diterima di sekolah negeri dan swasta lainnya. Dilihat dari sisi ketokohan
agaknya juga tidak ada lagi tokoh dari Taman Siswa yang mampu mencapai level seperti Ki
Hadjar Dewantara. Beberapa tokoh intelektual memang muncul seperti Ki Supriyoko, Ki
Darmaningtyas dan lainnya, namun juga agaknya belum dapat membawa Taman Siswa
sesuai dengan gagasan Ki Hadjar Dewantara pada mulanya. Sekarang kalau kita melihat
praktik pendidikan di Taman Siswa tidak banyak berbeda dengan sekolah swasta lainnya.
Sistem pendidikan asrama perlahan-lahan luntur, demikian juga dengan konsep Taman Siswa
sebagai pusat kebudayaan dan gerakan sosial.

Rahardjo (2009: 58-59) menyatakan bahwa titik awal kemunduran Taman Siswa terjadi sejak
1965. Banyak pamong yang kritis ditangkap, termasuk mereka yang berada di cabang-cabang
Taman Siswa. Sementara itu pamong pengganti lebih banyak diam dan tidak berani kritis
untuk menjaga keselamatan perguruan. Tidak kritisnya Taman Siswa tersebut yang jelas
berbeda dari sikap kritis Ki Hadjar pada akhirnya menjadikan Taman Siswa tidak lagi
diperhitungkan dalam konteks politik dan pendidikan nasional. Selain itu kebijakan Orde
Baru dalam mendirikan Sekolah Dasar (SD) Inpres secara masal juga menjadikan sekolah-
sekolah Taman Siswa sepi peminat, karena SD Inpres dianggap lebih prestise, murah
biayanya dan berkualitas.

Menjadi Menteri PP dan K Indonesia Pertama

Ki Hadjar Dewantara mendapat kehormatan sebagai Menteri PP dan K Republik Indonesia,


yakni mulai 19 Agustus 1945 sampai 14 November 1945 (sekitar tiga bulan). Pada tahun
1945 sampai 1950 adalah masa revolusi fisik, di mana perjuangan bangsa Indonesia melawan
Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dilakukan secara fisik. Praktis dalam waktu
yang sesingkat itu tidak banyak program yang dapat dijalankan oleh Ki Hadjar ketika
menjabat sebagai Menteri PP dan K. Tidak banyak cerita yang dapat digali dari masa tiga
bulan tersebut. Peran besarnya justru memang tidak terlihat ketika menjadi pejabat resmi
negara, melainkan dalam lingkup yang lebih luas ketika meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional Indonesia.

Walaupun begitu, secara resmi sebelum menjadi Menteri PP dan K, Ki Hadjar Dewantara lah
yang menjelang detik-detik proklamasi dalam “Sub Panitia Pendidikan dan Pengajaran” telah
menyusun rencana pengajaran bagi Indonesia Merdeka. Rencana tersebut antara lain adalah
berkaitan dengan: (1) Undang-undang kewajiban belajar; (2) Pendidikan dan pengajaran
nasional bersendikan agama dan kebudayaan bangsa; (3) Perkembangan kebudayaan bangsa;
(4) Pendirian sekolah-sekolah swasta yang dibiayai oleh pemerintah; (5) Susunan pelajaran
pengetahuan dan kepandaian umum sesuai dengan rencana pelajaran; (6) Susunan/sistem
persekolahan; (7) Ketentuan pelajaran bahasa dan kebudayaan; (8) Ketentuan tentang
Pendidikan Rakyat; (9) Pendirian “Balai Bahasa Indonesia;” dan (10) Pengiriman pelajar-
pelajar ke seluruh dunia.

Rencana tersebut memang tidak dapat diselesaikan dalam waktu ketika Ki Hadjar menjabat
sebagai menteri selama tiga bulan, dan bahkan beberapa kabinet setelahnya juga tidak banyak
bisa menyelesaikan agenda tersebut. Antara tahun 1945 sampai 1950 memang dikenal
sebagai masa revolusi bangsa Indonesia yang tidak hanya membutuhkan negosiasi politik
saja, namun bahkan perjuangan bersenjata. Berbagai agresi yang dilakukan Belanda yang
ingin kembali menjajah Indonesia telah menjadikan pemerintah Indonesia di bawah
kepemimpinan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankan perannya secara
penuh. Banyak program kependidikan gagal karena masih tidak amannya kondisi politik saat
itu. Setelah November 1945 Ki Hadjar Dewantara kembali menekuni Taman Siswa dengan
tetap membantu perjuangan revolusioner pemerintah Republik Indonesia.

Amanat sebagai Menteri PP dan K dimaknai Ki Hadjar sebagai tanggung jawab dan
perjuangan. Ia dipilih karena memang layak untuk menjabat sebagai Menteri PP dan K,
bukan karena negosiasi politik kekuasaan sesaat saja. Oleh karena itu, setelah lepas sebagai
Menteri PP dan K, Ki Hadjar tetap konsisten dalam upaya membangun Indonesia terutama
melalui dunia pendidikan. Tidak ada rasa enggan, gengsi atau kecil hati ketika ia harus
berada di bawah koordinasi Menteri PP dan K yang baru ketika semua itu diniatkan untuk
membangun pendidikan Indonesia. Pada tahun 1947 misalnya, ketika Menteri PP dan K
dipegang Mr. Suwandi, Ki Hadjar bersedia menjadi pemimpin “Panitia Penyelidik
Pendidikan dan Pengajaran” dan menyusun Rencanan Pelajaran Sekolah Rakyat. Namun
panitia tersebut tidak sempat menyelesaikan tugasnya karena pecah agresi militer Belanda.
Jika kita melihat kondisi pendidikan sekarang, di mana tradisi pengangkatan seseorang
sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan/atau Menteri Pendidikan Nasional sekarang
tidak banyak melihat pada kemampuan penguasaan pedagogik dan latar akademiknya, maka
hal tersebut amatlah disayangkan. Banyak kepentingan politik praktis kekuasaan, ideologi
ekonomi-politik dan lainnya yang menyeret praksis pendidikan di pemerintahan tidak lagi
sebagaimana yang diinginkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Logika politik struktural dan
gerakan kebudayaan memang tidak selalu sejalan, dan ketika Ki Hadjar hanya sempat
menjadi Menteri PP dan K selama tiga bulan, maka relatif tidak banyak fondasi struktural dan
apalagi kultural yang dapat ia bangun dalam pemerintahan.

Pemikiran dan Karya

Ki Hadjar Dewantara jelas orang besar yang meninggalkan karya besar. Tidak hanya berupa
lembaga pendidikan Perguruan Taman Siswa, namun juga gagasan-gagasan besarnya tentang
pendidikan yang telah ia tuangkan dalam berbagai tulisan. Sejak muda ketika bergabung
dalam suratkabar di Jakarta ia telah banyak menulis tentang pendidikan, kebudayaan dan
politik.

Pada mulanya Taman Siswa adalah forum diskusi “Sarasehan Malem Selasa Kliwonan” yang
diselenggarakan Ki Hadjar dan kawan-kawan di rumahnya. Dari forum itulah muncul
gagasan-gagasan pendidikan. Ki Hadjar kemudian ditunjuk untuk menangani pendidikan
anak dan kaum muda, sedangkan kaum dewasa ditangani oleh Ki Ageng Suryomentaram
(salah seorang putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang juga menanggalkan gelar
kebangsawanannya sama seperti Ki Hadjar). Taman Siswa di Yogyakarta kemudian memiliki
banyak bagian-bagian khusus, seperti Taman Indriya (Taman Kanak-Kanak), Taman Muda
(sekolah dasar), Taman Dewasa (sekolah menengah pertama), Taman Madya (sekolah
menengah atas), Taman Karya Madya (sekolah menengah kejuruan), Taman Guru (sekolah
pendidikan guru), dan Sarjanawiyata (perguruan tinggi).

Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa Taman Siswa yang didirikan untuk kepentingan
rakyat. Dalam konteks perjuangan nasional, Taman Siswa adalah bagian dari gerakan sosial
dan politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia pada waktu itu, dibuktikan oleh
hubungannya dengan Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan lainnya. Taman
Siswa digagas tidak untuk menjadi cenderung pada satu golongan saja, hal tersebut
dibuktikan dengan berdirinya Taman Siswa di Sumatera dan Borneo yang mengakomodasi
nilai dan kultur lokal dalam pembelajarannya. Nasionalisme Taman Siswa dalam pelajaran
yang diberikan pada siswa antara lain dapat dilihat dari bahasa yang digunakan. Ki Hadjar
([1930] 2004: 11) berkata:

Anak yang sejak kecil selalu dibiasakan pada bahasa asing dan dijauhkan dari bahasanya
sendiri, ia akan kehilangan perhubungan batin dengan orang-orang tuanya sendiri, dan kelak
di kemudian hari ia juga akan terasing perasaannya terhadap kepada bangsanya sendiri.

Selain itu, Taman Siswa juga tidak sependapat dengan model pendidikan Barat yang waktu
itu didasarkan pada perintah (regering), hukuman (tucht) dan ketertiban (orde). Model-model
seperti itu dianggap oleh Ki Hadjar Dewantara hanya akan mendatangkan tekanan batin dan
intelektual belaka pada siswa. Anak-aanak tidak akan dapat berkembang dengan baik budi
pekerti, emosionalnya dan bahkan nalarnya. Ketika pola ini dilakukan terus menerus, maka
mereka nantinya tidak akan dapat bekerja kalau tidak diperintah. Bagi Ki Hadjar, kalau kita
hanya meniru saja model pendidikan seperti itu, maka kita tidak dapat membentuk orang
yang punya kepribadian.

Lebih dari itu, dalam pengertian yang lebih luas, yakni perannya sebagai peletak dasar
pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara ([1930] 2004: 20) menyatakan bahwa yang
dinamakan pendidikan adalah:

[…] tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu:
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.

Dengan demikian hal utama yang harus diingat adalah: pendidikan sekadar sebagai tuntunan
di dalam hidup dan tumbuh kembangnya anak-anak kita. Hal itu artinya kehidupan anak-anak
tersebut berada di luar kemampuan dan kehendak kita kaum pendidik, anak-anak harus
dilihat sebagai manusia yang memiliki kehendak dan fitrahnya sendiri, hingga biarkanlah
mereka untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah kehidupannya sendiri
(Dewantara, [1930] 2004: 21).

Pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar adalah pendidikan yang nir-paksaan. Ia menyatakan
bahwa istilah opvoeding atau pedagogiek sebenarnya tidak dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa kita secara tepat. Istilah yang hampir mendekati adalah momong, among dan
ngemong. Di Taman Siswa kemudian dikenal dengan sistem Among sebagai dasar
pendidikannya. Caranya tidak dengan memaksa, seorang guru baru diharuskan
mengintervensi kehidupan si anak ketika memang si anak tersebut salah. Dalam sistem
Among inilah familiar metode Ing Ngarsa Sung Tuladha (bila berada di depan harus dapat
memberi contoh), Ing Madya Mangun Karsa (bila di tengah-tengah harus dapat memberi
gagasan yang mendorong kemajuan), dan Tut Wuri Handayani (ketika di belakang harus
dapat memberikan dukungan atau dorongan).

Konsep dan praksis pendidikan di Perguruan Taman Siswa adalah pendidikan yang terlibat
dalam masyarakat, tidak menjadikan dirinya terpisah dan menjadi entitas yang berbeda dari
masyarakat. Konteks sosio-kultural dan politik menjadi perhatian utama dalam praksis
pendidikan Taman Siswa. Ki Hadjar ([1930] 2004: 16) menyatakan:

[…] anak-anak Taman Siswa kita dekatkan hidupnya kepada perikehidupan rakyat, agar
supaya mereka tidak hanya memiliki ‘pengetahuan’ saja tentang hidup rakyatnya, akan tetapi
juga dapat ‘mengalaminya’ sendiri, dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakyatnya.

Jika dilihat dari gagasan pendidikan kritis kontemporer, Taman Siswa yang dimaksud Ki
Hadjar Dewantara tersebut tidak sekadar menjadi pusat pendidikan saja, melainkan juga
sebagai pusat kebudayaan masyarakat sekitarnya dan pusat gerakan sosial-masyarakat. Untuk
mendukung terciptanya siswa yang berkepribadian dan dekat dengan rakyat itulah Taman
Siswa menggunakan sistem pondok atau asrama. Dalam asrama tersebut anak-anak harus
dapat belajar menolong diri sendiri dan hidup bersahaja.

Secara garis besar Ki Hadjar Dewantara berupaya untuk mengkontekstualisasikan gagasan-


gagasan pendidikan yang ia peroleh ketika belajar di Belanda dengan nilai-nilai budaya
Indonesia. Konon Ki Hadjar sangat terpengaruh oleh Frobel karena ia juga pernah menjadi
jurnalis guru Taman Kanak-Kanak (Frobel School) ketika di Belanda. Selain itu juga ia
banyak mempelajari Montessori yang bahkan pernah berkunjung ke Yogyakarta untuk
melihat praksis pendidikan Taman Siswa pada tahun 1940. Ki Hadjar pun mengagumi
gagasan pendidikan Rabindranath Tagore (seorang pendidik dari India yang terkenal dengan
sistem asrama Shanti Niketan) yang juga pernah berkunjung ke Taman Siswa pada tahun
1927. Baik Montessori maupun Tagore menganggap bahwa model pendidikan Barat sangat
memuja intelektualisme, hingga mematikan perasaan dan menjadikan manusia ibarat “mesin”
belaka (Dewantara, [1941] 2004: 131-132).

Setidaknya berangkat dari gagasan pendidikan Frobel, Montessori dan Tagore itulah Ki
Hadjar Dewantara membangun dasar filosofis dan praksis pendidikan a la Taman Siswa.
Nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, dan terutama nilai-
nilai tradisional Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari istilah-istilah, semboyan dan prinsip-
prinsip (seperti Tut Wuri Handayani dan lainnya) yang menggunakan idiom-idiom Jawa.
Bagi sebagaian orang hal tersebut dilihat sebagai salah satu kelemahan Ki Hadjar yang belum
dapat melepaskan diri dari rasa primordialisme Kejawen. Hal itu jugalah yang agaknya
menjadi salah satu sebab sekolah-sekolah Taman Siswa tidak begitu menarik lagi bagi
masyarakat sekarang yang menghamba pada modernitas. Filosofi Jawa yang relatif kental
dalam Taman Siswa dianggap tidak relevan digunakan untuk menghadapi tantangan
globalisasi sekarang.

Gagasan pendidikan, kebudayaan dan politik Ki Hadjar Dewantara sekarang dapat dibaca
melalui dua jilid buku yang memuat kumpulan artikel dan karya tulisnya, yakni Karya Ki
Hadjar Dewantara bagian Pertama: Pendidikan (cetakan ketiga tahun 2004) dan Karya Ki
Hadjar Dewantara bagian Kedua: Kebudayaan (cetakan kedua tahun 1994) yang diterbitkan
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Pada buku bagian pertama (Pendidikan) dapat kita
lihat luasnya minat dan penguasaan Ki Hadjar terhadap praksis pendidikan, mulai dari
membahasa tentang filosofi pendidikan, politik pendidikan, sampai pada teknis pendidikan
anak-anak, di keluarga, pendidikan kesenian, ilmu adab (budi pekerti) dan pendidikan bahasa.
Pada buku kedua (Kebudayaan) juga akan kita lihat minatnya yang luas pada tema-tema
budaya. Berdasarkan pada nasionalisme ia berupaya untuk menggagas konsep kesatuan
kebudayaan, ungkapnya:

Untuk menghindari reaksi yang dapat menyukarkan pemulihan kesatuan kebudayaan tadi,
hendaknya janganlah kita menyatukan apa yang tidak mungkin dan tidak perlu dipersatukan;
cukuplah kita hanya menyatukan pokok-pokoknya saja. […] Kebudayaan nasional Indonesia
ialah puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan yang bernilai di seluruh kepulauan, baik yang
lama maupun yang ciptaan baru, yang berjiwa nasional. (Dewantara, [1952] 1994: 86)

Sebagian besar gagasan Ki Hadjar tersebut disampaikan melalui majalah Wasita yang
didirikan oleh Taman Siswa Yogyakarta pada Oktober 1928. Wasita terbit sekali dalam
sebulan dengan nuansa sebagai majalah untuk pendidik dan orangtua bertujuan untuk
memberikan informasi kepada mereka yang bergelut dalam bidang pendidikan dan para
orangtua yang memiliki anak-anak usia sekolah. Wasita menggunakan bahasa Melayu dan
Jawa. Lebih dari itu sebagaimana lazimnya pers milik pribumi waktu itu, Wasita juga
menjadi media pergerakan kaum nasionalis (Rahardjo, 2009: 30-32).

Pribadi yang Merakyat

Sebagia anak bangsawan ternyata sejak kecil Ki Hadjar memang sudah dekat dengan rakyat
sekitarnya. Konon sejak kecil ia sudah terbiasa untuk mengajak anak-anak kecil seusianya
masuk ke Pura Pakualaman, misalnya untuk menonton wayang kulit dan pertunjukan seni
lainnya. Ia juga sering berkelahi dengan sinyo-sinyo Belanda yang menghina anak-anak
pribumi. Ketika akan diangkat menjadi Sri Paku Alam III ia memilih untuk mengundurkan
diri karena melihat keretakan hubungan keluarga. Ia berkata pada orangtuanya:

Mohon ampun bila keputusan saya tidak sesuai dengan keinginan ayah-bunda. Namun, demi
pertimbangan kemanusiaan, saya berkeberatan untuk menerima mahkota dan singgasana
kerajaan. Bagi saya tidaklah penting siapa yang duduk di atas singgasana dan menjadi raja,
sebab kunci pelepas kesengsaraan kaum pribumi yaitu seluruh bangsa kita tidak terletak pada
soal siapa yang menjadi raja, namun jawaban atas satu pertanyaan, siapakah yang mau
berjuang membebaskan bangsa kita dari penjajahan Belanda. (Rahardjo, 2009: 95)

Konon Suwardi (Ki Hadjar kecil) memiliki teman sepermainan bernama Sariman yang
berasal dari keluarga rakyat biasa. Ketika Suwardi akan disekolahkan ke ELS ia juga
meminta agar Sariman dapat ikut serta, tapi memang jelas tidak mungkin. Hal itu jugalah
yang secara personal membuat Suwardi kelak bercica-cita untuk membuat pendidikan yang
dapat dicapai oleh semua orang, terutama oleh mereka yang dipinggirkan oleh pemerintah
berkuasa. Keinginan untuk dekat dengan rakyat jugalah yang membuat ia melepaskan gelar
Raden Mas-nya pada usia 40 tahun. Ki Hadjar tidak pernah mempromosikan namanya, selain
gelar kebangsawanannya, pun gelar doktor honoris causa yang diterimanya dari UGM tidak
pernah ia lekatkan pada namanya. Metode menyanyi tembang (lagu) Jawa yang
diciptakannya tidak ia sebut metode Dewantara, melainkan metode Sari Swara.

Di mata sahabatnya Ki Hadjar dikenal sebagai orang yang keras dan tegas, namun tidak
kasar. Ia juga pemberani tidak sekadar dalam tulisan-tulisannya yang memerahkan telinga
pemerintah Hindia Belanda saja. Ketika peristiwa Ikada pada 19 September 1945 yang
bertujuan untuk menunjukkan eksistensi pemerintah Republik Indonesia (RI) pada dunia,
pemerintah dihadapkan pada tantangan menembus pasukan Jepang yang berada di sekeliling
lapangan. Soekarno-Hatta akhirnya bersepakat untuk hadir, tapi siapa menteri yang berani
membuka jalan untuk masuk lapangan Ikada yang sudah sesak dipenuhi rakyat dan tentara
Jepang? Di situlah Ki Hadjar Dewantara bersama Mr. Achmad Subardjo (Menteri Luar
Negeri) dan Mr. Iwa Kusuma Sumantri (Menteri Sosial) menyediakan diri mereka sebagai
pembuka jalan dan tameng. Padahal waktu itu Ki Hadjar sudah tidak muda lagi (Rahardjo,
2009: 101-102).

Konon ketika menjabat sebagai Menteri PP dan K yang pertama Ki Hadjar hampir selalu
pulang larut malam dan selalu menceritakan apa saja aktivitasnya pada anak dan istrinya di
meja makan sambil makan malam. Seringkali juga karena persediaan lauk pauk habis, Nyi
Hadjar menyuruh salah satu anaknya membeli mi godok di pinggir jalan, dan jadilah makan
malam seorang menteri terhormat tersebut dengan mi godok serantang untuk seluruh
keluarga. Dalam hal yang sesederhana itu Ki Hadjar sebenarnya juga dalam rangka
menerapkan gagasan pendidikannya dalam lingkungan keluarga yang harus dibangun dari
komunikasi yang hangat (lihat Dewantara [1936] 2004: 120-121; Rahardjo, 2009: 107-108).
Dalam konteks sekarang, adakah di antara pejabat negara dan menteri—terutama menteri
pendidikan—yang meneladani kehidupan dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara?

Referensi
Dewantara, K.H. (2004). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Cetakan
ketiga. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Dewantara, K.H. (1994). Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan. Cetakan
kedua. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Rahardjo, S. (2009). Ki Hajar Dewantara: Biografi Singkat 1889-1959. Yogyakarta: Garasi.

Sjamsudin, H. (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Depdikbud, Direktorat


Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Iklan

Share this:

 Bagikan

Terkait

Kritik atas Pendidikan Profesi Gurudalam "Kritik Praktik Pendidikan"

Salah Paham tentang Ujian Nasionaldalam "Berita Pendidikan"

Menuju Pembelajaran Transformatifdalam "Kritik Praktik Pendidikan"

Penulis: edi subkhan


Saya peminat kajian pedagogi kritis (critical pedagogy), kajian kurikulum (curriculum
studies), teknologi pendidikan perspektif kritis (critical educational technology), critical
cyber studies, dan juga critical education policy studies. Lihat semua pos milik edi subkhan

Penulis edi subkhanDiposkan pada Desember 14, 2011Kategori Tokoh Pedagogi


Kritis

8 thoughts on “Ki Hadjar Dewantara, Peletak Dasar


Pendidikan Indonesia”

1. anggiafriansyah berkata:

Maret 9, 2017 pukul 9:04 am


Ulasan yang sangat bermanfaat.

Salam,

Anggi

Balas

2. Ping-balik: Kemerdekaan Indonesia dan Ki Hajar Dewantoro – SMP Negeri 15 Kota


Cirebon

3. indonesiainmyhaiku berkata:

Oktober 22, 2015 pukul 10:51 am

Reblogged this on Listen, The Spice Whispers.

Balas

4. iwaza berkata:

Desember 29, 2014 pukul 1:50 am

Reblogged this on Life of Iwaza and commented:


Pendidikan Berbasis Kodrat, Pendidikan Berbasis Fitrah

Balas

5. xNiallHoranx berkata:

Mei 10, 2014 pukul 2:34 pm

terimaa kasih atas bantuan jawabannya.bantu buat tugas banget nih

Balas

6. liana berkata:

Maret 29, 2014 pukul 11:09 pm

terimakasih untuk informasi yang sangat berguna ini..

Balas
1. Bobby berkata:

Mei 8, 2017 pukul 6:44 pm

Gratulerer masse med NY bil :)Godt varmeapparat har MYE å si for


ikke å glemme visnsnviukerde! Håper alle andre er SNILLE med bilen din
– skulle bare mangle!!Klem fra meg!

Balas

7. Ahmad Ghilman berkata:

Oktober 21, 2013 pukul 3:40 am

cukup sulit untuk menemukan tokoh pendidikan yang memiliki pandangan dan
kebijakan yang sepaham dengan Ki Hadjar Dewantoro. Namun selama pendidikan di
negeri ini masih berjalan, harapan itu tetap masih ada. Yaitu harapan untuk kembali
melahirkankan kembali pendidikan berkualitas dan dapat menempa karakter sebagai
pembangun Indonesia. mungkin saat ini pendidikan kita masih berada dalam
lingkaran setan. dibutuhkan inisiatif kuat dari setiap pion pendidikan untuk move on
dari sistem pendidikan semu dan dungu yang selama ini kita jalankan.

Balas

Tinggalkan Balasan

Navigasi pos
Sebelumnya Previous post: Learning Futures: Education, Technology and Social Change
Berikut Next post: Menuju Pembelajaran Transformatif

Top Posts & Halaman

Ki Hadjar Dewantara, Peletak Dasar Pendidikan Indonesia


Kurikulum dan Guru Menurut Winarno Surakhmad

Menuju Pembelajaran Transformatif

Cari untuk:

Kalender
Desember 2011
S S R K J S M
« Nov Mar »
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18
19 20 21 22 23 24 25
26 27 28 29 30 31

Artikel Terkini
 Pedagogi Universitas untuk Emansipasi dan Transformasi
 Menuju Pembelajaran Transformatif
 Ki Hadjar Dewantara, Peletak Dasar Pendidikan Indonesia
 Learning Futures: Education, Technology and Social Change
 Pilihan Strategi dan Lintasan Kehidupan Seorang Intelektual
 Kritik atas Pendidikan Profesi Guru
 Ideologi dan “Kebijakan” Pendidikan
 Jejak Intelektual Romo Mangun
 Salah Paham tentang Ujian Nasional
 Yogya dan Pendidikan Sejarah Kritis

Arsip
 April 2012
 Maret 2012
 Desember 2011
 November 2011
 Oktober 2011
 April 2011
 Maret 2011
Kategori Artikel
 Berita Pendidikan (1)
 Kritik Praktik Pendidikan (5)
 Teori Kritis dan Pendidikan (5)
 Tokoh Pedagogi Kritis (2)
 Ulasan Buku (6)
 Uncategorized (1)

Penulis

 edi subkhan
o Pedagogi Universitas untuk Emansipasi dan Transformasi
o Menuju Pembelajaran Transformatif
o Ki Hadjar Dewantara, Peletak Dasar Pendidikan Indonesia
o Learning Futures: Education, Technology and Social Change
o Pilihan Strategi dan Lintasan Kehidupan Seorang Intelektual

Blogroll
 Critical Feminist Pedagogy
 Critical Literacy: Theory and Practice
 Critical Pedagogy – Iowa
 Discourse, Power, Resistance in Education
 Douglas Kellner
 Edi Subkhan
 Education Free for All (Routledge journal of education)
 Henry Giroux
 Journal of Educational Controversy
 Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities
 Journal of the Canadian Association for Curriculum Studies
 Marxists Internet Archive
 Montessori
 Paulo Freire Project
 Peter McLaren
 Rethinking Schools
 Social Partnerships in Learning Research Consortium
 Teknologi Pendidikan Perspektif Kritis
 the encyclopaedia of informal education

Paling Digemari
 Tidak ada

Langganan Weblog ini


Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan
tulisan-tulisan baru melalui surel.

Bergabunglah dengan 29 pengikut lainnya

Halaman
 Beranda
 Pengelola
 Tentang Web Ini

Paulo Freire

Paulo Freire
Pedagogi Kritis Blog di WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai