Anda di halaman 1dari 12

Peran Umat Islam dalam Sumpah Pemuda dan sejarah Nama Indonesia

Sumpah pemuda yang ditetapkan tanggal 28 Oktober

Sebenarnya, Sumpah Pemuda yang ditetapkan tanggal 28 Oktober itu Peristiwa Apa?
Yang sekarang dinamakan “Sumpah Pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928 sebenarnya hari
terakhir Kongres Pemuda ke-2. Kongres pemuda pertama diselenggarakan sekitar tahun 26, dan
tahun 28’ kumpul kembali. Para pemuda ini melihat gerakan pemuda dari berbagai daerah seperti
Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Java, Jong Sumatera, juga seperti Jong Islamieten Bond (JIB) dan
menginspirasi sebagian pemuda seperti Moh. Hatta, Yamin, Soekarno, termasuk Natsir juga, dan
lain-lain yang merasa harus berkumpul dan dikumpulkan pada suatu kongres.
Rapat pada kongres itu sampai menghasilkan sebuah keputusan yaitu memberikan nama, apa
sebenarnya yang mereka perjuangkan. Selama ini, mereka memperjuangkan yang sifatnya parsial.
Harus diberi nama apa yang mereka perjuangkan.
Akhirnya, populer nama ‘Indonesia’ dari kongres pemuda itu. Nama Indonesia dikenal sebelumnya
hanya pada kalangan pelajar, khususnya mahasiswa Indonesia di Belanda yang mempelajari ilmu
geografi, ada istilah ‘indo nesos’ (kepulauan Hindia), juga dalam pelajaran biologi, maka para pelajar
ini mengusulkan nama ‘Indonesia’ dalam kongres.
Mula-mula terjadi korespondensi mahasiswa Indonesia di Belanda, dengan mahasiswa Indonesia di
Mesir. Akhirnya ketika mereka pulang ke Indonesia, dipatenkan nama Indonesia untuk menyebut
apa yang mereka perjuangkan berupa tanah air, Indonesia. Bangsa (nation) Indonesia, sekalipun
penamaan baru ini agak absurd, dan bahasa melayu sekalian saja dinamakan bahasa Indonesia.
Yang menarik dan rumit di sini ialah nation atau bangsa yang sebenarnya merujuk konsep
kebudayaan.  Mereka para pemuda berkeinginan dalam keragaman etnis, disatukan dalam budaya
Indonesia. Lalu apa itu kebudayaan Indonesia? Jadi disimpulkan seperti hanya penjejeran etalase
dari kebudayaan-kebudayaan yang ada, disebutlah kebudayaan Indonesia.
Hal ini dapat menimbulkan dengan kebudayaan komunitas lain. Misal, ada ditemukan batik dan reog
di Malaysia. Ini bukan persoalan Indonesia dan Malaysia! Sejak lama, orang–orang Ponorogo ada
yang pindah ke Malaysia, dan akar kebudayaannya tetap Ponorogo, bukan Indonesia. Karenanya,
bangsa ini istilah politik saja, yang hari ini mewujudkan Indonesia dalam kebudayaan.

Bagaimana Umat Islam memandang Kongres Pemuda Tersebut?


Pejuang dan pemuda Islam pada saat itu ikut terlibat dan memberikan nama apa yang mereka
perjuangkan. Terjadi juga korespondensi antara mahasiswa Indonesia di Belanda dan di Mesir yang
juga para mahasiswa Islam. Juga yang berkumpul di sana, pada kongres ialah umat Islam, walaupun
karena sekulerisme telah kokoh, terjadi perbedaan pandangan.
Dalam pandangan Islam, hasil konges jangan sampai dibawa pada nasionalisme yang sempit. Orang-
orang sekuler memperjuangkan wilayah secara saklek. Dalam Islam, memang ini kampung kita. Kita
perjuangkan nasib kampung kita yang terdekat. Kampung yang berisi umat Islam. Namun, kita
membuka ruang dengan umat-umat Islam pada komunitas lain. Ada persatuan umat Islam di sana,
dan kampung kita yang diperjuangkan hanya target antara.
Harus memungkinkan dipersatukan komunitas muslim laiinya, ukhuwah Islamiyah, pan Islam,
khilafah, apapun namanya itu. Pada saat itu, disetujui namanya ‘Indonesia’ sebagai persetujuan
perjuangan. Hal itu bukan bersifat sakral hidup atau mati. Bahwa para pemuda memperjuangkan
Indonesia waktu itu benar, karena bercokolnya kolonialisme.
Peran umat islam dalam Sejara Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Partisipasi warga indonesia yang bersemangat keislaman dalam perjuangan untuk pertahannnya
tentu sangat menentukan, sehingga para pendiri republik ini secara arif bijaksana mengenangnya
dengan mendirikan masjid monumen syuhada (Pahlawan) dan istiqlal (Kemerdekaan). Dengan jelas
kedua monumen itu melambangkan pengakuan tentang adanya keindonesiaan dengan keislaman,
serta antara kemerdekaan dengan peran besar warga negara yang bersemangat keislaman.

Islam dan Substansiasi Ideologi dan etos nasional

Telah dikemukakan bawah ideologi pancasila, untuk meminjam ungkapan kiai Ahmad Shiddiq,
adalah final berkenaan dengan fungsinya sebagai dasar kehidupan bernegara dan bermasyarakat
dalam konteks kemajemukan indonesia. Kefinalan itu juga berkenaan dengan perumusan atau
pengkalimatan formalnya sebagi mana tercantum dalam pembukaan UUD 46
Kita ketahui bahwa proses menuju kepada kefinalan itu telah sempat menimbulkan polemik dan
kontroversi yang tajam dalam masyarakat ini. Kini dengan lega hati kita menyaksikan bahwa banyak
sekali dari kekuatiran yang ada di balik polemikdan kontroversi itu ternyata tidak ada. Bahkan
terhadap tanda tanda tentang adanya perkembangan yang lebih positif yang diduga semula.
Tetapi untuk memperoleh agak lebih jauh dalam garis argumen ini dirasa perlu disinggung beberapa
hal. Banyak dari kekuatiran di balik sikap enggan menerima kefinalan pancasila (Dalam perngertian
kiai Ahmad Shiddiq itu) yang timbul dari dugaan bahwa pancasila akan diarahkan kepada posisi
sebagai padanan(Equivalent(, Jika bukannya malah saingan, bagi suatu agama. Atau,
lebihsederhananya, pancasila “Akan diagamakan”, menggantikan suatu agama atau agama agama
yang ada. Secara common sense memang segera nampak oleh kebanyakan pengamat kemustahilan
gagasan serupa itu.
Tetapi dari sudut pandangan mereka yang bersemangat keislaman, kekuatiran itu seharusnya tidak
pernah terjadi, teidak saja akhir kahir ini tapi juga di masa lalu yang lebih jauh, kalau saja terdapat
kesadaran yang mantap bahwa pancasila itu dari beberapa fungsi dan kedudukannya antara lain
merupakan titik temu(Common platform, kalimah sawa)dalam bangsa kita, terutama komunitas
keagamaan. Dan sistem keislaman, pencarian titik temu antara berbagai agama yang berkitab suci
seharusnya tidak merupakan hal baru, karena hal itu telah menjadi perintah Allah kepada
Rasulnya,Muhammad SAW “Katakanlah olehmu, Muhammad: ‘wahai para pengikut kitab Suci!
Marilah kamu semua menuju kepada ajaran dasar kesamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa
kita tidak menyembah kecuali Allah-Tuhan Yang Maha Esa, dan bahwa sebagian dari kita seesama
manusia –tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai tuhan tuhan merka selain Allah Tuhan Yang
Maha Esa!’ Tapi Jika merka –para pengikut kitab suci itu menolak maka katakanlah oleh mu sekalian
wahai kaum yang beriman, kepada para pengikut kita suci itu:’Bersaksilah kamu semua bahwa kami
adalah orang orang yang berserah diri –Kaum Muslim’”
Dapat Diliat sebagaimana bahwa Pancasila yang utama dan paling utama ialah Tuhan Yang Maha Esa
,pandangan tawhid atau paham ketuhanan yang Maha Esa merupakan prinsip paling dasar yang
mempertemukan agama agama dalam keasliannya dengan sangat kukuh menjadi pandangan sistem
keislaman. Namun apabila ketiga tawhid itu menuntut konsekwensi tidak adanya pemitosan sesama
manusia, atau sesama mahkluk, dan usaha menemukan titik temu itu gagal atau ditolak, maka
masing masing harus diberi hak untuk secara bebas mempertahankan sistem keimanan yang di
anutnya.
Note :
1. Kenyataan ini terlihat, misalnya, dalam kerajaan Hindu Vija yanagar yang meskipun bertahan
dengan Hinduismenya namun menyadarkan diri dari tentara muslim dan menggunakan tata
cara islam dalam lingkungan istana.(Lihat Marshall Hodson, The venture of islam, 3 Jilid)
(Chicago:the university of chicago presss, 1974), jil.2 h.532.
Peranan Islam dalam Pergerakan Kemerdekaan

Oleh : Mohamad Roem (Tokoh Masyumi dan Mantan Wakil Perdana Menteri RI)
Hari kebangkitan nasional ditentukan pada tanggal 20 Mei 1908, yaitu hari lahirnya perkumpulan
Budi Utomo. Pada waktu itu tercantum sebagai tujuan Budi Utomo: “de harmonische ontwikkeling
van Land en volk van Java en Madura.” Dalam bahasa sekarang: “kemajuan yang harmonis bagi nusa
dan bangsa Jawa dan Madura”. (hal. 12 dari Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, karangan Drs.
Susanto Tirtoprodjo SH). Bagi Budi Utomo bangsa adalah Jawa dan Madura.
Begitulah pada waktu itu perkataan “nasional” belum mempunyai arti seperti pada saat ini. Nasional
pada saat sekarang mempunyai arti yang meliputi seluruh tanah air, dan tanah air itu adalah
Indonesia, yang daerahnya meliputi seluruh kepulauan bekas jajahan Nederland.
Perkumpulan yang kedua sesudah Budi Utomo, ialah Sarekat Islam yang dalam sejarah lahirnya
ditentukan dengan tahun 1912.
Sebelum pergerakan nasional yang pertama itu didirikan, dengan sendirinya sudah ada kesadaran di
kalangan bangsa pribumi, bahwa dengan mengadakan perkumpulan orang dapat mencapai sesuatu
tujuan. Kalangan bangsa pribumi sudah merasakan dan menyadari keadaan masyarakat, dan
merasakan majalah “Medan Priyayi” yang terbit di Bandung, waktu RM Tirtoadisurjo mendirikan
Sarekat Dagang Islam di Bogor, memberikan keterangan sebagai berikut:
“Bagi tiap orang sudah jelas, bahwa masa sekarang ini, adalah dinamakan zaman kemajuan. Cita-cita
kita ialah, kemajuan itu tidak hanya kata-kata belaka.  Juga bagi kita orang Islam terletak kewajiban
untuk memberikan darma bakti kita dan karena itu kita memutuskan mendirikan perkumpulan
Sarekat Dagang Islam.”
Marilah kita catat dua hal dalam kata sambutan tersebut:
1. Cita-cita untuk mencapai kemajuan jangan hanya kata-kata belaka.
2. Kewajiban umat Islam untuk memberikan darma baktinya.
Kalau Budi Utomo membatasi langkah=langkahnya untuk mencapai kemajuan di Jawa dan Madura,
maka Tirtoasudirjo  alam pikirannya ditujukan kepada umat Islam, yang daerahnya tentu lebih luas,
sebab di luar Jawa dan Madura, juga terdapat umat Islam.
Sarekat Dagang Islam yang didirikan di Surakarta mendapat sukses besar. Salah satu aktivitasnya
ialah dapat bertindak atau mengadakan reaksi terhadap golongan Cina, antara lain mengadakan
pemboikotan.
Bagi yang berkuasa di Solo, sepak terjang anggauta-anggauta perkumpulan baru itu menimbulkan
kekhawatiran, dan pada tanggal 12 Agustus 1912, Sarekat Dagang Islam atas perintah Residen Solo
“dischors” oleh Pemerintah Kerajaan Surakarta.  Rumah-rumah pemimpin digeledah, akan tetapi
karena tidak terdapat bukti apa-apa, maka ‘schorsing” dicabut pada tanggal 26 Agustus 1912.
Tujuan Sarekat Dagang Islam di Solo di formulir sebagai berikut:
1. Mencapai rasa persaudaraan antara anggauta-anggautanya
2. Mengusahakan persatuan dan rasa saling membantu antara umat Islam
3. Dengan segala usaha yang sah, dan tidak bertentangan dengan peraturan negara dan
pemerintah, berusaha meningkatkan rakyat untuk mencapai kemajuan, kesejahteraan dan
kebesaran kerajaan.
Meskipun Sarekat Dagang Islam didirikan di Solo, tapi perhatian sudah ditujukan ke lain daerah.
Karena itu sudah diadakan propaganda  ke Jawa Timur. Salah satu aksi yang diadakan oleh
perkumpulan tersebut yaitu mengadakan aksi terhadap orang Cina yang menutup tokonya serta
mengakibatkan rakyat mendapat kesulitan. Adapun aksi orang Cina itu disebabkan oleh karena
tindakan polisi terhadap orang Cina.
Waktu itu hanya ada pers Belanda dan Cina Melayu. Atas dorongan pemimpin-pemimpin Sarekat
Dagang Islam, di Surabaya diusahakan agar bangsa pribumi mempunyai pers sendiri untuk keperluan
macam-macam, antara lain periklanan.
Karena waktu mendirikan perkumpulan di Solo belum tegas bahwa SDI tidak hanya untuk Surakarta
saja, maka pada tanggal 10 September 1912 SDI didirikan lagi di Surabaya dengan akte notaris. Pada
saat ini muncullah nama Umar Said Tjokroaminoto, akan tetapi yang menjadi pemimpin-
pemimpinnya masih semua dari Solo. Dari 10 orang pendiri itu ada 5 pedagang batik, 4 orang
pegawai kesunanan dan seorang partikelir, yaitu Tjokroaminoto. Nama perkumpulan: Sarekat Islam.
Dengan surat permohonan tanggal 14 September 1912, statute perkumpulan tersebut dimajukan
kepada Pemerintah untuk mendapat pengesahan. Daerah perkumpulan tersebut tidak dibatasi pada
suatu tempat saja.
Sebagai tujuan perkumpulan dinyatakan:
1. Mengembangkan semangat berdagang di kalangan bumi putera
2. Memberi bantuan kepada anggautanya, yang mendapat kesulitan di luar kesalahan sendiri
3. Mengusahakan peningkatan perkembangan spirituil dan kepentingan materiil golongan
bumiputera
4. Memberantas pengertian yang salah tentang agama Islam, dan memajukan hidup diantara
rakyat menurut hukum dan kebiasaan agama Islam
5. Semua itu akan diusahakan dengan daya upaya yang sah dan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan.
Dengan tidak menunggu pengesahan dari pemerintah, Sarekat Islam mengadakan Kongresnya yang
pertama di Surabaya pada tanggal 13 Januari 1913. Rapat Raksasa di stadium Surabaya
menggemparkan masyarakat, terutama masyarakat Belanda dan Pemerintahnya.
Sampai saat ini tanda-tanda kebangkitan terdapat di kalangan golongan terpelajar saja. Akan tetapi
dengan adanya rapat terbuka yang pertama ini terbukti semangat itu juga meliputi kalangan rakyat.
Kalangan Belanda terkejut dan bertanya-tanya dari mana pemimpin-pemimpin baru ini yang berdiri
di luar kalangan yang berkuasa, mendapatkan haknya untuk menamakan dirinya sebagai pemimpin
rakyat dan menjadi pembela kepentingan rakyat. Rupa-rupanya masyarakat bumiputera sedang
menuntut hak menempatkan wakail-wakil mereka sendiri di samping badan-badan pemerintah yang
resmi, sebagai “pembela dan penuntut yang permanen” dan senantiasa bersedia untuk menuntut
dan mengeluh. Dan tidak saja di daerah-daerah yang langsung diperintah oleh Pemerintah Belanda
tetapi juga di daerah kerajaan Solo beribu-ribu orang dating dari golongan rakyat untuk
mendengarkan, bagaimana keluhan-keluhan mereka dan keinginan-keinginan mereka diucapkan dan
dibicarakan dengan cara terbuka. Beribu-ribu rakyat mendengarkan dengan cara terbuka bagaimana
dengan tidak takut keluhan  mereka dan keinginan mereka menurut pemimpin-pemimpin baru ini
dapat dilaksanakan.
Karena itu Sarekat Islam mencapai sukses. Tidak saja karena member kesempatan untuk memajukan
pengaduan tentang tidak keadilan yang dirasakan secara pribadi, tapi juga menyoroti kelakuan-
kelakuan yang tidak layak para pejabat. Juga untuk menyatakan keberatan-keberatan tentang
keadaan yang tidak baik di bidang sosial, hukum dan ekonomi.
Para petugas pemerintah baik golongan Belanda maupun golongan bumiputra, yang sudah biasa
menjalankan tugasnya tanpa kritik terbuka, terutama bagian pamong praja, sangat terkesan oleh
tanda-tanda kebangkitan kesadaran rakyat ini, yang tidak member ampun kepada siapapun juga.
Siapa pun juga dikritik tanpa tedeng aling-aling.
Di kalangan pers Belanda tanda-tanda itu sudah disambut dan macam-macam berita dan hasutan
sudah dikeluarkan agar Pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan.
Untuk menjawab segala fitnahan pihak Belanda itu, Umar Said Tjokroaminoto yang memimpin
kongres tesebut mengatakan: “Kita loyal terhadap pemerintah, kita puas di bawah pemerintah
Belanda, tidak benar, bahwa kita bermaksud mengacau, tidak benar bahwa kita ingin berkelahi,
siapa mengatakan hal itu atau mengira, ia tidak benar dalam fikirannya; semua itu tidak benar,
seribu kali tidak benar.”
Dalam pidatonya yang sangat mengesankan itu, ia mengatakan bahwa Sarekat Islam bukan partai
politik, dan bukan partai yang menghendaki revolusi.
Dalam pada itu dalam kongres itu untuk pertama kalinya apa yang menjadi isi hati rakyat mendapat
kesempatan dikemukakan dengan cara yang terbuka, isi hati rakyat tentang kedudukannya dalam
masyarakat dan Negara.
Intisari apa yang dinamakan politik mendapat manifestasi dalam kongres pertama di Surabaya itu.
Kongres partai yang belum mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tanggal 30 Juni 1913 keluarlah keputusan pemerintah Hindia Belanda yang menolak untuk
memberi  pengesahan kepada Sarekat Islam, tapi Pemerintah mengatakan akan memberi
pengesahan kalau Sarekat Islam minta izin bagi Sarekat Islam yang bersifat lokal.
Dalam bukunya LM Sitorus: “Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia” (Cetakan kedua, 1951, hal
14) tersebut: “Ketika penganjur-penganjur Sarekat Islam memajukan permintaan untuk mensyahkan
Sarekat Islam sebagai “badan hukum” (rechtspersoon) dan dengan itu mengakui Sarekat Islam
sebagai pergerakan di seluruh Indonesia, permintaan yang semacam itu ditolah oleh GG Idenburg.
Beliau mengetahui bahwa Sarekat Islam yang menjadi satu pergerakan adalah satu ancaman besar
bagi kedudukan Hindia Belanda.”
Mr Susanto Tirtoprodjo dalam bukunya “Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia” halaman 27,
mengatakan: “Nyatalah bahwa perkumpulan Sarekat Islam ini adalah berlainan dengan Budi Utomo
yang dalam praktek mendapat anggauta hanya dari kalangan atas saja. Sarekat Islam berhasil
mendapat anggauta-anggauta di kalangan rakyat banyak, sehingga dalam waktu singkat meluas
menjadi perkumpulan yang banyak anggautanya.”
Di samping itu Sarekat Islam tidak membatasi daerahnya, dan daerahnya adalah seluruh wilayah
kekuasaan Hindia Belanda.
Ada dua ikatan dalam itu, ikatan negatif dan positif.
Ikatan negatif ialah suatu kekuasaan dari luar yaitu Belanda, yang sangat menentukan segala hal
yang berkenaan dengan nasib rakyat.
Ikatan yang positif adalah Agama Islam, agama bagian besar rakyat di seluruh tanah air.
Ada suatu factor lagi yang penting yang terdapat dalam agama Islam. Rakyat Indonesia pada waktu
sudah sadar akan nasibnya dan sudah bangun untuk berusaha memperbaiki nasib. Masyarakat pada
waktu itu merupakan mayarakat yang terbagi dalam tiga lapisan:
-Lapisan golongan Belanda yang kedudukannya terbaik, karena mereka tergolong kepada yang
berkuasa.
-Lapisan Cina dan golongan Timur Asing, yang ekonomis lebih baik dan ikut menghisap dan memeras
rakyat Indonesia.
-Lapisan rakyat sendiri, yang meskipun di rumah sendiri dan Negara sendiri, nasibnya paling buruk.
Agama Islam adalah agama yang mengajarkan keadilan dan mengajarkan bahwa semua bangsa dan
manusia itu sama. Maka kita mengerti bahwa agama Islam tidak saja menjadi ikatan bagi seluruh
rakyat di seluruh tanah air, tapi ajarannya tentang persatuan segala bangsa dan manusia pegangan
yang kuat bagi kebangkitan nasional yang sedang lahir.
Dapat dikatakan bahwa juga di kalangan bangsa Indonesia umumnya, golongan Jawa khususnya,
yang masih mengenal sekedar pembagian antara golongan rendah dan tinggi. Agama Islam adalah
pedoman yang kuat dalam cita-cita mencapai kedudukan berdasarkan persamaan.
Penolakan untuk mengesahkan Sarekat Islam untuk seluruh daerah Hindia Belanda, disertai
kesediaan memberi pengesahan kepada Sarekat Islam sebagai perkumpulan Lokal.
Melalui konsultasi dengan Pemerintah maka dibuatlah model statuten untuk Sarekat Islam lokal,
yang pada garis besarnya sama dengan tujuan Sarekat Islam untuk seluruh wilayah.
Dalam pada itu maka usaha untuk mempersatukan Sarekat Islam seluruh wilayah diteruskan. Pada
tahun 1914 sudah terbentuk 56 Sarekat Islam lokal dan pada tahun 1915 diadakan usaha untuk
membentuk Central Sarekat Islam.
Di tahun 1916 maka terdapat pengesahan untuk Central Sarekat Islam sebagai Badan Hukum,
dimana anggauta-anggautanya ialah Lokal Sarekat Islam.
Maka datanglah saatnya untuk mengadakan Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam, yang
diadakan di Bandung dari tanggal 17 sampai 24 Juni 1916.
Kongres ini dihadiri oleh 80 utusan dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali dan Sulawesi. Dari
pemimpin-pemimpin pusat yang hadir adalah nama-nama seperti Tjokroaminoto, Abdul Muis, Hasan
Djajadiningrat, Ardiwinata, Muhamad Jusuf.
Soal-soal yang dibicarakan dalam kongres tersebut, antara lain:
“Langkah-langkah yang harus diusahakan agar dengan jalan bertahap dan sesuai dengan hukum
mencapai pemerintahan sendiri atau setidaknya hak ikut serta dalam menjalankan urusan
negara,”oleh Tjokroaminoto.
“Soal tanah partikelir”, oleh Abdul Muis. Abdul Muis juga mengadakan ceramah tentang kebutuhan
adanya sekolah untuk mendidik guru agama Islam.
Yang menjadi intisari Kongres tersebut ialah pidato ketuanya, Tjokroaminoto dalam rapat terbuka di
alun-alun Bandung pada hari Minggu tanggal 18 Juni. Pidato itu semata-mata pidato politik,
mengenai soal kenegaraan, keinginan rakyat untuk ikut serta dalam menentukan nasib
sendiri(Bacalah karangan saya “Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam”, Abadi, tanggal 18
Juni tahun 1970).
Kemudian dengan cepat sekali Sarekat Islam mencapai kemajuan, yang berarti mencapai rakyat
banyak di seluruh tanah air, yang meliputi wilayah Hindia Netherland dan membangkitkan semangat
untuk menjadi satu bangsa yang merdeka.
Tiap tahun Sarekat Islam mengadakan kongres yang dinamakan Kongres Nasional. Nasional berarti
menyangkut atau meliputi seluruh daerah tanah air.
Kongres Nasional kedua diadakan di Jakarta Nopember 1917. Dalam Kongres ini Pimpinan Pusat
Central Sarekat Islam tetap berpendirian, bahwa maksud dan tujuan seperti diterangkan oleh
Tjokroaminoto dalam kongres pertama, akan dicapai dengan jalan parlementer dan damai. Akan
tetapi ditambahkan, jika jalan damai itu terbukti sia-sia dan jalan parlementer tidak mendatangkan
hasil, karena ia senantiasa terbentur pada benteng-benteng kesewenang-wenangan dan penindasan,
maka anggauta-anggauta Sarekat Islam akan cukup ikhlas mengorbankan diri bagi negara dan
kawan-kawan senegara, jika hal yang demikian itu benar-benar perlu.
Kongres kedua ini menentukan keterangan asas sebagai berikut:
Central Sarekat Islam berusaha agar pengaruh rakyat dalam pemerintahan semakin meningkat
supaya mencapai pemerintahan sendiri.
Central Sarekat Islam tidak mengakui hak rakyat manapun untuk memerintah rakyat lain atau
sebagian rakyat lain.
Karena sebagian rakyat hidup dalam keadaan yang menyedihkan, maka Central Sarekat Islam akan
berjuang memberantas penjajahan oleh “kapitalisme yang berdosa”.
Kongres Nasional Ketiga yang diadakan di Surabaya, akhir September sampai awal Oktober 1918
menyatakan, menyatakan Central Sarekat Islam menentang Pemerintah jika menjadi pelindung
“kapitalisme yang berdosa”.
Pada waktu itu sudah terasa pengaruh gerakan sosialisme yang sudah sampai di tanah air. Gagasan
perjuangan kelas sudah sampai disini, akan tetapi Central Sarekat Islam masih dapat memelihara
kepribadiannya. Perjuangan kelas ditafsirkan dengan kaum sana dan kaum sini. Golongan kapitalis
adalah pihak Belanda, golongan proletariat adalah golongan bumiputera, yang keadaannya
sebenarnya tidak berlainan dengan kedudukan proletariat.
Kongres Nasional keempat diadakan di Surabaya akhir Oktober sampai awal Nopmeber tahun 1919.
Dalam kongres ini sudah dibentuk “Indische Vakcentrale”, yaitu Gabungan Sarekat-Sarekat Buruh.
Sesuai dengan tafsir asas dan program usaha, maka tujuan Vakcentrale itu adalah: “mendapatkan
kekuasaan untuk mengadakan perubahan dalam masyarakat secara revolusioner yang wajar.” Dalam
berjuang mencapai tujuan itu, maka golongan buruh harus disiapkan untuk menjalankan tugasnya
yang akan dipikul dalam masyarakat yang sosialistis.
Central Sarekat Islam berusaha mencapai tujuan ini dengan tiga macam jalan, yaitu: politik yang
sosial demokratis, perjuangan buruh dengan dasar perjuangan klas dan gerakan koperasi.
Timbul pertanyaan: Apakah peranan Islam dalam semua ini?
Ketua Central Sarekat Islam (Tjokroaminoto –pen) menjawab: “Memberantas nafsu penjajahan dan
kapitalisme Belanda, yang menindas beribu-ribu, sekali lagi beribu-ribu rakyat, sehingga mereka
menjadi melarat. Apakah nanti yang akan datang, apakah sosialisme atau nasososiolisme, kita harus
menunggu dengan sabar. Sekarang perjuangan ditujukan terhadap penjajahan dan kapitalisme.
Untuk itu Sarekat Islam harus mempersatukan rakyat untuk berjuang dengan segala tenaga.”
Reference
1. http://www.laskarislam.com/ (Peran umat islam dalam sejarah indonesia)
2. Muslim Daily, Peran umat islam dalam sumpah pemuda dan sejarah nama Indonesia

Anda mungkin juga menyukai