Anda di halaman 1dari 4

MENCINTAI ISLAM DAN BANGSA DENGAN MENGINGAT SEJARAH

Oleh : Muhammad Za’im Zainurriza


Membicarakan mengenai Islam dan kebangsaan tidak ada habisnya dan akan selalu
menarik untuk dibahas. Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia
dengan populasi hampir mencapai tiga ratus juta penduduk dan lebih dari 80 persen nya
merupakan umat Islam. Untuk menjamin keberlangsungan kehidupan yang aman dan tentram
di Indonesia, umat Islam tentu punya peranan paling besar mengingat Islam menjadi agama
yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Selain itu Indonesia merupakan negara
bangsa yang sangat plural, artinya tidak hanya satu golongan suku ataupun ras yang mendiami
negara kita Indonesia. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang luasnya
terbentang dari Sabang di ujung barat dan Merauke di ujung timur serta Miangas di ujung utara
dan pulau Rote di ujung selatan Indonesia. Selain itu di Indonesia satu pulau dengan pulau yang
lain penduduknya sangat beragam termasuk dalam hal suku bangsa atau etnis. Berdasarkan
sensus penduduk pada tahun 2010 oleh BPS (Badan Pusat Statistik) ada sekitar 1.340 suku
bangsa yang mendiami bumi Indonesia. Disamping suku bangsa banyak, daerah-daerah di
Indonesia memiliki bahasa daerah sendiri. Tercatat ada 668 bahasa daerah yang tercatat oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2018 lalu. Hal ini yang menyebabkan
Indonesia menjadi negara yang majemuk dan plural. Selain banyak nya suku bangsa atau etnis
serta berbagai bahasa daerah, di Indonesia terdapat enam agama resmi yang telah disahkan
oleh pemerintah Republik Indonesia yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Buddha, dan
Konghucu. Perbedaan inilah yang menjadi tantangan bagi kita untuk selalu menjaga
keharmonisan antar semua elemen bangsa dalam bernegara.

Jika kita tilik kembali tentang pluralisme antar suku bangsa, hal tersebut telah tertuang
dalam Al Quran surah Al-Hujurat ayat 13. Allah berfirman : “Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Surah Al-Hujurat : 13). Dari ayat tersebut kita
tahu bahwa Allah menciptakan manusia secara plural dengan tujuan untuk saling berinteraksi,
saling mengenal, bekerja sama, dan lain sebagainya. Maka dari itu sudah sepatutnya kita
sebagai bangsa Indonesia yang memilki keragaman tersebut harus bisa menyelaraskan dan
menciptakan keharmonisan dengan semua perbedaan dan keragaman yang ada.

Adanya keragaman di Indonesia telah diwadahi dan dikuatkan dengan semboyan negara
kita yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang artinya yaitu meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu
jua. Selain itu untuk mendukung pelaksanaan kehidupan berbangsa dan berengara yang baik,
para founding father telah merumuskan dan menyepakati dasar negara kita yaitu Pancasila
dimana nilai-nilai dalam Pancasila merupakan representasi yang sesuai dengan ajaran Islam.
Disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara tentu melalui jalan yang panjang dan tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Banyak harta, jiwa, raga bahkan nyawa yang
dipertaruhkan demi Pancasila sebagai dasar negara kita Indonesia. Banyak ulama yang juga
mempunyai andil besar dalam perjuangan bangsa dan merumuskan Pancasila dan mereka juga
diberi gelar sebagai pahlawan nasional. Para ulama yang merupakan founding father dan ikut
merumuskan Pancasila hingga sekarang menjadi dasar negara kita antara lain KH. Wahid
Hasyim, H.O.S. Cokroaminoto, KH. Agus Salim, dan Abdul Kahar Mudzakkar. Mereka merupakan
orang-orang yang terlibat langsung dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia. Selain tokoh tersebut ada juga seorang ulama yang berperan dibalik layar dalam
perumusan tersebut akan tetapi memberikan pengaruh yang sangat besar. Beliau merupakan
Hadhrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan seorang ulama ‘alim dan sangat dalam
keilmuannya. Beliau juga merupakan pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan ayah dari KH.
Wahid Hasyim serta kakek dari presiden keempat Republik Indonesia yaitu KH. Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur.

Jika kita melihat kembali sejarahnya bagaimana beliau Hadhrotussyaikh KH. Hasyim
Asy’ari ikut berjuang dalam meraih kemerdekaan tentu tidak bisa kita pungkiri peran beliau.
Dengan memiliki santri yang banyak serta oraganisasi Nahdlatul Ulama yang didirikannya,
beliau banyak sekali berperan untuk bangsa Indonesia. Kyai Hasyim atau Mbah Hasyim sapaan
akrab beliau juga merupakan tokoh yang sentral dimana ketika para pendiri bangsa merasa
kesulitan dalam mengambil keputusan untuk negara maka sering sekali beliau dimintai fatwa
nya untuk negara Indonesia baik itu sebelum merdeka atau setelah merdeka. Sebagai contoh
setelah disahkannya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, isi dari Piagam Jakarta tersebut ada
yang memicu pro kontra dari berbagai kalangan yaitu pada sila pertama yang berbunyi
“Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”. Hal tersebut banyak
ditentang oleh rakyat Indonesia non muslim. Terutama orang-orang Indonesia bagian timur
yang notabene banyak yang bukan beragama Islam. Mereka menganggap bahwa sila pertama
dalam Piagam Jakarta tersebut tidak merepresentasikan persatuan dan tidak mengharagai
perjuangan diluar umat Islam. Hal ini wajar jika mereka tidak setuju dengan sila tersebut
mengingat yang berjuang untuk Indonesia bukan hanya umat Islam saja akan tetapi dari luar
Islam juga banyak. Ada catatan dimana proses perundingan mengenai sila pertama dalam
Piagam Jakarta tersebut tak kunjung menemui titik terang dan Bung Karno pun mengatakan “ini
adalah titik terakhirku dalam memikirkan hal ini”. Alhasil Bung Karno mengutus KH. Wahid
Hasyim untuk menemui ayahnya yaitu KH. Hasyim Asy’ari untuk meminta fatwa terkait sila
pertama dalam pertama Piagam Jakarta. Akhirnya KH. Wahid Hasyim pulang ke Jombang untuk
menemui Kyai Hasyim. Setelah menyampaikan permasalahan tersebut kepada ayahnya, Kyai
Hasyim meminta waktu tiga hari untuk mencari petunjuk atau dalam bahasa pesantren sering
disebut riyadhoh. Menurut penuturan Gus Muwafiq ada beberapa amalan yang dilakukan oleh
Kyai Hasyim dalam riyadhohnya. Diantaranya beliau melakukan puasa selama tiga hari. Selain
itu Kyai Hasyim mengkhatamkan Al Quran dan mengamalkan surah Al Fatihah dimana pada
setiap ayat ” "‫ اياك نعبد واياك نستعين‬diulang sebanyak tiga ratus lima puluh ribu kali. Kemudian
setelah tiga hari melakukan amalan tersebut pada malam harinya Kyai Hasyim melakukan salat
istikharah dua rakaat yang mana pada rakaat pertama membaca surah At-Taubah sebanyak
empat puluh satu kali dan pada rakaat kedua membaca surah Al-Kahfi dengan jumalah yang
sama. Setelah keesokan harinya Kyai Hasyim telah mendapatkan petunjuk mengenai
permasalah tentang sila pertama tersebut lalu memberi tahu kepada putranya KH. Wahid
Hasyim bahwa Pancasila sudah sesuai dengan syariat Islam dan menyuruh menghilangkan tujuh
kata setelah kata “Ketuhanan” yang terdapat sila pertama tersebut dan akhirnya menjadi sila
yang sekarang kita kenal yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ada suatu peristiwa yang juga menujukkan peran sentral KH. Hasyim Asy’ari terhadap
bangsa Indonesia yaitu ketika terjadinya pertempuran dengan Belanda setelah kemerdekaan
dimana belanda berusaha menjajah kembali Indonesia yang telah merdeka. Untuk meyakinkan
rakyat mengenai pentingnya membela dan mempertahankan tanah air maka Bung Karno
meminta fatwa kepada Hadhrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari terkait hal tersebut. Kyai Hasyim
pun memberikan fatwa “barang siapa yang berada pada jarak radius 900 km dari Surabaya atau
ada musuh didepannya maka hukumnya fardhu ‘ain atau wajib bagi setiap orang untuk berjihad
perang melawan musuh.” Dengan fatwa tersebut sontak menggairahkan dan menggugah jiwa
rakyat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa tersebut terjadi pada 22
Oktober 1945 dan dikenal dengan fatwa resolusi jihad. Maka tanggal 22 Oktober dijadikan
sebagai hari santri nasional karena besarnya perjuangan umat Islam terutama oleh para kyai
dan santri. Namun jauh sebelum itu, sebelum Indonesia merdeka Kyai Hasyim telah memiliki
pemikiran besar yang sangat luar biasa dan visoner yaitu Hubbul Wathon Minal Iman yang
artinya Mencitai negara merupakan sebagian dari iman. Slogan tersebut merupakan pemikiran
dan ijtihad beliau untuk bisa menyatukan dan menyelaraskan nilai keagamaan dan kebangsaan.

Dengan mengingat kembali perjuangan para kyai dan santri yang merepresentasikan
umat Islam seyogyanya kita sebagai generasi penerus bangsa terus berjuang dan menjaga apa
yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita. Dengan cara meningkatkan rasa cinta tanah air,
jiwa patrotisme, menjaga ukhwah wathoniyah dan menjunjung toleransi. Itu semua merupakan
manifestasi keharmonisan antara nilai-nilai Islam serta nilai-nilai kebangsaan.

Anda mungkin juga menyukai