Kelas : KPI B
NIM : 43010230057
2. Mengapa para pendiri bangsa dulu menerima dengan baik kekuasaan kolonial
Jepang?
Jepang masuk ke Indonesia pada Januari 1942 melalui Ambon dan menguasai
seluruh Maluku. Saat itu tentara Jepang dapat dengan mudah menguasai
berbagai daerah di Indonesia, kekuatan Jepang mulai berkembang sejak
menjadi Negara industri hingga imperialis.
Jepang diterima dengan baik oleh bangsa Indonesia karena pada saat ini
Jepang mengeluarkan doktrin Hakko Ichiu yaitu alat propaganda atau alat
politik untuk mencapai tujuan pemerintahan Jepang. Slogan Hakko Ichiu ini
menyatakan bahwa bangsa Jepang dan Indonesia segolongan atau satu
keturunan.
Selain itu Jepang juga melakukan propaganda lainnya yang bertujuan agar
mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, seperti :
• Memperdengarkan lagu Indonesia Raya selain lagu Kimigayo yang
menjadi lagu kebangsaan Jepang melalui radio di Tokyo.
• Memperbolehkan mengibarkan bendera merah putih berdampingan
dengan bendera hinomaru milik Jepang.
Alasan lainnya Jepang diterima baik di Indonesia yaitu Jepang mendirikan
atau membentuk gerakan 3A, yaitu Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung
Asia dan Nippon Pemimpin Asia.
Diangkatnya penduduk Indonesia sebagai pegawai administrasi di
pemerintahan Jepang. Jepang berhasil membebaskan tokoh-tokoh nasional
yang diasingkan oleh Belanda seperti Soekarno, Moh.Hatta dan Sultan
Syahrir.
Pelarangan bahasa Belanda dan lebih mengutamakan penggunaan bahasa
Indonesia dalam urusan formal maupun informal. Selain itu bangsa Indonesia
memiliki simpatik terhadap Jepang karena adanya pengaruh dari Jayabaya.
Dikutip dari Kemdikbud, “Pindah tangan penjajahan atas Indonesia dari
Belanda kepada Jepang disepakati dalam perjanjian Kalijati. Setelah
penyerahan kekuasaan itu, Jepang dapat menarik hati rakyat Indonesia, bahkan
disambut gembira”.
3. Mengapa penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta pada naskah Pancasila
menimbulkan kontroversi?
Dalam sidang BPUPKI yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juli 1945
Ir.Soekarno menjelaskan tentang kesepakatan Piagam Jakarta. Ir. Soekarno
juga menyampaikan bahwa Panitia Sembilan telah berhasil merumuskan dasar
negara dan menerima Piagam Jakarta sebagai rumusan terbaik pembukaan
UUD 1945. Dan dalam pidato nya yang paling menonjol atau menjadi
perhatian yaitu termuatnya tujuh kata yang berbunyi “…dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Yang kemudian
menjadi perdebatan dikalangan anggota BPUPKI pada sidang-sidang
selanjutnya.Seorang anggota BPUPKI yang beragama Kristen menyatakan
keberatannya atas kata-kata tersebut. Karena dikhawatirkan akibatnya akan
besar terhadap agama lain, juga menimbulkan kekacauan.
Piagam Jakarta memang dijadikan pembukaan UUD 1945. Namun ada tujuh
kata yang dihapus. Tujuh kata itu yakni, “…dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya “.
Penghapusan tujuh kata itu terjadi setelah proklamasi kemerdekaan, yaitu pada
sore hari tanggal 17 Agustus 1945, Moh.Hatta didatangi oleh Maeda seorang
angkatan laut Jepang. Maeda menyampaikan keberatan para tokoh Indonesia
bagian Timur atas pemakaian kata-kata tersebut, sebab berarti rumusan itu
tidak berlaku bagi pemeluk agama lain. Untuk mengindari perpecahan,
esoknya sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
Hatta berbincang dengan tokoh-tokoh Islam.
Alasan perubahan sila pertama dasar Negara dari Piagam Jakarta 22 Juni 1945
sebelum disahkan menjadi dasar Negara adalah karena adanya keberatan dari
wakil-wakil Katolik dan Protestan terhadap bunyi pasal “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, mereka
menyatakan bahwa bagian kalimat tersebut tidak mengikat mereka, tapi hanya
mengenai rakyat yang beragam Islam saja, wakil-wakil Katolik dan Protestan
memandang ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap mereka golongan
minoritas atau non-muslim.
Namun bagi sejumlah tokoh Islam penghapusan tujuh kata pada Piagam
Jakarta sulit untuk diterima. Keputusan dihapuskan kata “ Syariat Islam ”
akhirnya diprotes oleh sebagian kecil umat Islam. Sebagian kelompok masih
berjuang untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu. Ada
kelompok yang kemudian mengekspresikannya dengan bentuk pemberontakan
bersenjata.