Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ada kekuatan-kekuatan besar dalam sejarah yang tidak bisa di hapus oleh kekuatan

manapun dan oleh peradaban apapun dalam kehidupan suatu umat, suatu bangsa dan golongan.

Kekuatan ini merupakan pusat grafitasi sejarah yang menggerakkan dinamika manusia, bukan

saja karena eksistensinya yang terikat oleh zaman, ruang dan waktu, tetapi juga karena mereka

lahir bukan menghamba dan mengabdi kepada sejarah. Mereka lahir karena ada misi meluruskan

sejarah manusia, merubah tragedi dan bencana menjadi rahmat yang gemilang, menyalakan api

yang terang benderang ketika dunia di selimuti jubah hitam, bahkan ketika mega kelabu berarak

menjadi ratapan, mereka sudah menyibakkannya untuk suatu cahaya yang tak pernah berhenti.

Mereka adalah orang-orang pilihan. Allah memilih bukan karena kehendak sejarah,

bahkan bukan karena kerinduan dan kedahagaan akan kebenaran yang telah dipegang zaman

kedzaliman. Allah memilihnya bukan pula karena kemauan-kemauan manusia, bukan karena

prediksi-prediksi alamiyah dan rekayasa peradaban, mereka lahir bukan oleh legitimasi

kebudayaan, bahkan, oleh rekayasa politik yang menyesatkan. Allah memilih mereka karena

Allah sendiri yang berkehendak, menurt cakrawala mata pandang dan Amanah-nya.1

Merekalah para Rosul, para Nabi, para Wali, dan para Ulama. Ketika para rosul dan nabi

berlalu, tugas-tugas besar dalam sejarah dunia dan kemanusiaan ini di serahkan sepenuhnya

kepada para ulama. Dan karena itulah, tak ada pilihan lain bagi para rosul dan anbiya itu menuju

waktu yang berlalu.

1 Muhammad Luqman Hakim, “NU ditengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat” (Yayasan
Pondok PETA, Tulungagung, 1994), hal: 1-2
Terlintas kembali dalam ingatan kita bahwa ketika Indonesia Merdeka adalah merupakan

babak baru saat itu bagi bangsa indonesia setelah bertahun-tahun terjajah, namun bukan berarti

perjuangan telah tuntas, bangsa Indonesia saat itu harus menentukan kemana arah dan tujuan

bangsa ini? Mau di bawa kemana negara ini? Apakah menjadi sekuler ataukah menjadi negara

islam.

Ada nuansa sejarah yang tak bisa di lupakan di negeri ini, bahawa sejak awal para ulama

memerankan diri dalam konstelasi bela negara secara tidak tanggung-tanggung. Hal demikian

bukan semata-mata karena kebutuhan sosio politis, bahwa indonesia sebenarnya identik dengan

umat islam namun karena kesadaran sejarah akan kelangsungan ajaran islam itulah maka para

ulama mambangun struktur institusional yang besar lewat organisasi atau jamiyah keagamaan.2

Jurang pemisah dalam masyarakat Indonesia antara pendukung Negara sekular atau

netral-agama dan Negara islam tampak sudah menganga lebar pada saat jepang menyerah pada

bulan agustus 1945. Bukan tujuan untuk mengutarakan semua gagasan besar dalam peradaban

sengit mengenai bentuk Negara sejak tahun 1920-an. Namun, perlu di catat persamaan pendapat

yang terdapat di kalangan tokoh nasionalis Indonesia, dari soekarno hingga Moh. Hatta, dari

suparno hingga Ki Hadjar Dewantara: lebih mementingkan “kebersamaan” kolektivisme, prinsip

kekeluargaan dan gotong-royong ketimbang individualisme, intelektualisme, materialisme dan

demokrasi parlementer model barat serta keyakinan bahwa kebijaksanaan tradisional indonesai

bisa di gunakan sebagai penunjuk jalan untuk memilih hal-hal baik yang bisa di serap dari dunia

barat.3 Sampai terjadi perselisihan panjang dan sengit terutama di antara kalangan kaum

nasionalis (Kebangsan) dan kalangan islam yang ingin mendirikan islam di Indonesia. Tentu saja

2 Ibid, hal: 31

3 Andree Feillard, “NU Vis-a-Vis Negara Mencari Isi Bentuk dan Makna”, (Yogyakarta, Lkis 1999),
hal: 30
perdebatan ini menjadi keretakan dan perpecahan di tubuh bangsa ini. Walaupun di Indonesia

mayoritas penduduknya muslim, tetapi hal itu bukan menjadi dasar, bagai mana dengan

sekelompok masyarakat yang non islam apakah bisa menerima indonesia menjadi negara islam,

mungkin hal ini menjadi pertanyaan bagi bangsa Indonesai.

Sebuah aspek lain dari pertentangan ideologi antara Islam dan Marxisme-Leninisme

dapat di lihat pada fungsi kemasyarakatn masing-masing. Dalam kerangka ini, Marxisme-

Leninisme adalah sebuah paham sekuler yang berusaha mengatur kehidupan bermasyarakat

secara menyeluruh atas wawasan-wawasan rasional belaka, sedangkan Islam justru menolak

sekulerisme seperti itu. Menurut ajaran formal islam, pengaturan kehidupan bermasyarakat harus

di selaraskan dengan semua ketentuan-ketentuan yang datang dari Allah.

Melihat pola hubungan diametral seperti itu memang mengherankan. Bahwa masih saja

ada kelompok-kelompok Marxis-Leninis dalam masing-masing lingkungan bangsa muslim mana

pun di seluruh dinia. Bahkan di kalangan minoritas muslim di negara yang mayoritas

penduduknya beragama bukan islam, seperti Sri-langka, Filipina. bukan karena adanya orang-

orang yang berpaham Marxis-Leninis. karena memang mereka ada di mana-mana.4

Dalam hubungan dengan negara, islam memiliki tiga pandangan utama, pertama,

adanya pandangan untuk mendirikan sebuah negara yang khusus islam, seperti di Iran, Arab

Saudi, dan Pakistan. Kedua, Pandangan bahwa islam adalah agama resmi Negara, namun

negaranya sendiri bukan negara Islam, Seperti Malaysia. Dan Ketiga, antara negara dan agama

tidak di kaitkan secara konstitusional, namun hak melaksanakan syari’ah di benarkan oleh

negara, seperti indonesia. Kenyataan seperti itu mengharus kita untuk menerima kenyataan

4 Abdurrahman Wahid, “Mengurai Hubungan Agama dan Negara” (Jakarta, Grmedia Widiasarana
Indonesia, 1999), hal: 136-138
sejarah bahwa dimayoritas kawasan dunia islam hanyalah bentuk hubungan ketiga yang dapat di

lestarikan, yaitu negara menjamin hak kaum muslimin untuk melaksanakan syari’ah agama

mereka, walaupun negara itu tidak mencantumkan islam sebagai agama resmi. dalam kaitan

inilah harus “di baca” penegasan Presiden Soeharto kepada sesepuh NU bahwa Pancasila

menjamin hak umat beragama islam untuk melaksanakn syari’ah agamanya tersebut. Pancasila

tidak berada pada kedudukan yang lebih tinggi dari islam atau agama lain, karena ia hanya

menjamin hak pemeluk untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing.5

Oleh karena itu penerimaan pancasila sebagai asas itu juga dilakukan secara keagamaan,

dalam arti mendudukkan agama dan pancasila pada tempat masing-masing, tanpa harus

dipertentangkan. Antara pancasila sebagai landasan ideologis-konstitusional dan aqidah islam

menurut faham ahlus sunnah waljama’ah sebagai landasan keimanan, tidak dapat saling

dipertrentangkan, karena pada hakikatnya orang berasas pancasila karena kepercayaannya

kepada tuhan yang maha esa (dan dengan demikian mengambil salah satu dasar dalam

pancasila), sedangkan beraqidah adalah tindakan mengkongkritkan pancasila dalam salah satu

bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama.6

Meskipun pada ahirnya Negara Indonesia tidak menjadi Negara islam dan bukan juga

sekuler, tetapi Indonesia menjadi Negara yang mempunyai asas ideology pancasila yang

berlandaskan islam yang menguntungkan semua pihak dan itu merupakan suatu keberhasilan.

Keberhasilan itu tentu saja tidak terlepas dari perjuangan para pejuang yang

menginginkan Negara ini tetap satu di atas banyaknya perbedaan. Salah satunya adalah islam

sebagai agama yang menghendaki persatuan dan kesatuan serta menghargai perbedaan, dan

5 Ibid, hal 91-92

6 Einar Martahan Sitompul, “M. Th, NU dan Pancasila”, (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal: 12
mampu menyisihkan cita-cita keagamaan demi mencapai kemaslahatan bersama.

Islam melalui salah satu wadah organisasi keagamaan yang bernama Nahdlatul Ulama

(NU) telah mampu memberikan kontribusi yang sulit di timbang dengan nuansa fisik, karena

kontribusi para Ulama dan Kiyai dalam membimbing spiritualitas kebangsaan, melalui motifasi

keagamaan telah sampai pada batas-batas tertentu, yang tak di miliki oleh Negara islam lainnya.

Bahwa NU telah memberikan inspirasi setiap even paling penting dan sekaligus ketika Negara

dalam keadaan kritis, untuk munculnya suatu perubahan dan stabilitas. Di samping itu juga

Nahdlatu Ulama telah membuktikan dirinya telah mampu meredam keinginan Umat Islam untuk

mendirikan Negara islam dan mempunyai andil besar dalam perumusan Ideologi Negara

Indonesia.7

Kalau di telusuri dengan tekun, dapatlah di buat garis linear dari sikap NU tehadap

berbagai aspek pemerintahan dan Negara kita. Sebagaimana dikemukakan diatas. Pada tahun

1945 Nahdlatul Ulama turut menerima dan merumuskan pancasila dan Undang-undang dasar

1945 (Melalui kehadiran KH. A. Wahid Hasim, KH. Mansyur dan Zainul Arifin). Keterlibatan

mereka dalam berbagai kegiatan nasional untuk menyongsong lahirnya kemerdekaan.8

Begitu besarnya perana Nahdlatul Ulama dalam sejarah bangsa Indonesia, dengan

semangat perjuangannya membela bangsa indonesia dari segala bentuk penjajahan, terutama

ketika masa-masa awal kemerdekaan Indonesia untuk menjadikan Negara islam, walaupun itu

tidak terlaksana. Tetapi dengan semangat keagamaan dan patriotismenya Nahdlatul Ulama

mampu menyelaraskan kepentingan keagamaan dan negaranya.

Meskipun masih banyak anggapan bahwa Nahdlatul Ulama yang sering di kelompokkan
7 Luqman Hakim, Op.Cit. “NU ditengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat” hal: 54

8 Ibid, hal:
sebagai kaum tradisionalis tapi bukan berarti Nahdlatul Ulama tidak membuka diri terhadap

modernisasi dan perkembangan zaman. Tidak juga berarti Nahdlatul Ulama tidak peka terhadap

permasalahan yang melanda negeri ini. Setidaknya anggapan negatif terhadap NU tidak lagi

merebak secara berlebihan terutama mengenai kontribusinya terhadap bangsa ini. Sejarah

membuktikan bahwa NU mampu turut menentukan nasib bangsa ini dengan memberikan

peranan besar pada saat perumusan ideologi Negara.

Dengan kata lain, apa yang harus dilakukan oleh NU tak bisa dilepaskan dengan upaya-

upaya mengikuti program-program modernisasi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun

untuk kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan. hal ini sudah menjadi komitmen yang

mengemuka dalam pemikiran-pemikiran Gus Dur, sebagai seorang tokoh NU progresif pada

tahun 1980, dengan menyatakan “apa yang sangat dibutuhkan adalah upaya menciptakan rasa

menjadi sebuah bangsa dan mengtasi persoalan-persoalan yang sangat fundamental seperti

kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.9 Cara berpikir NU untuk mempertahankan

tradisi tak lain adalah menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan islam sambil terus

melakukan perubahan yang lebih baik. Kaidah yang akrab di kalngan Nahdliyyin adalah

“mempertahankan warisan lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik”

inilah yang menjadi pondasi NU tetap mempertahankan tradisi meski tetap melahirkan sesuatu

yang baru.10 Oleh karena itulah masalah mengenai peranan NU dalam perumusan ideologi

Negara ini sangat penting dalam kaca mata penulis dan menjadi prioritas utama dalam penelitian

ini. Karena sepatutnya bahwa kita tidak bisa melupakan sejarah yang memberikan kita lemah

dalam setiap peristiwanya, terutama dalam hal perjuangan para pahlawan bangsa seperti

9 Laode Ida, “NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru”, (Jakarta, Erlangga 2004), hal: 64

10 Khamami Zada dkk, “Nahdlatul Ulama Dinamika Idologi dan Politik Kenegaraan”, (Jakarta, Kompas,
2010), hal: 131
Nahdlatul Ulama dan para pejuang lainnya. Untuk itulah mengapa kemudian penulis merasa

perlu mengabadikan peranan Nahdlatul Ulama terutama dalam perumusan ideologi negara ini

dengan merefleksikannya kedalam karya ilmiyah yang berupa skripsi dengan judul “ Peranan

Nahdlatul Ulama dalam Perumusan ideology Negara Indonesia 1945”.

B. Perumusan Masalah

Dengan adanya latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan beberapa rumusan

masalah yaitu:

1. Bagaimana sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama dan perkembangannya di Indoneisa?

2. Bagaimana kondisi Bangsa Indonesia pada tahun 1945?

3. Bagaimana peranan Nahdlatul Ulama dalam perumusan Ideologi Negara Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Adapun dari beberapa rumusan masalah yang ada terdapat tujuan yang akan di capai di

antaranya yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah lahirnya Nahdlatul ulama dan perkembangannya

di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana kondisi bangsa Indonesia pada tahun 1945.

3. Untuk mengetahui bagaimana peranan Nahdlatul Ulama dalam perumusan ideologi

Negara Indonesia.

D. Kerangka Pemikiran
Nahdlatul Ulama sejak berdirinya tahun 1926 telah memberikan banyak pengaruh besar

dalam dunia islam di Indonesia, bukan itu saja NU yang merupakan simbol dari kebangkitan

ulama yang secara otomatis bernilai keagaman, juga mampu memberikan nafas kehidupan

dalam membangun bangsa Indonesia menjadi Negara yang memiliki ideologi nasionalis namun

juga memakai agama islam sebagai landasan.

Disamping itu juga sejak enam puluh delapan tahun lalu, NU di dirikan, kehidupan umat

islam di Indonesia telah terbangunkan oleh kultur yang berlandaskan ajaran ahlisunnah Wal-

Jama’ah. Bangunan besar umat islam ini, termasuk bangunan kebangsaan Indonesia tentu tidak

bisa di lepaskan sama sekali dari peran para ulama itu sendiri. Tetapi lambat laun, ketika

kemajuan demi kemajuan di petik, kemerdekaan di raih oleh bangsa Indonesia.11 Begitu

pentingnya peranan Nahdlatul Ulama dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia,

sehingga penelitian-penelitian dan study-study mengenai NU banyak di lakukan, tidak hanya

oleh kaum intelektual di Indonesia saja melainkan juga oleh kaum intelektual mancanegara.

Di Indonesia sendiri salah satu study atau penelitian tentang NU pernah di lakukan oleh

Einar Martahan Sitompul. M. Th. Seorang kristiani namun mampu secara gemilang mengungkap

sisi positif NU sebagai organisasi keagamaan yang juga peka terhadap nasionalisme.

Dalam karyanya yang berjudul NU Pancasila. Einar Martahan Sitompul memberikan

pandangan bahwa NU berdirinya di pandang sebagai kaitan yang erat dengan perkembangan

islam di nusantara, ia juga berpendapat bahwa NU bersifat fleksibel tetapi tidak terlepas dari

sikap keagamaan. Ini terlihat ketika NU secara tepat memutuskan bahwa pancasila dapat di

terima sebagai ideologi Negara meskipun terjadi pergolakan yang kontroversial di tubuh bangsa

11 Muhammad Luqman Hakim, “NU ditengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat”,
(Tulungagung, Yayasan Pondok PETA, 1994), hal: 20
Indonesia dalam menanggapi pancasila.

Namun dalam studynya mengenai masalah NU, Einar Martahan Sitompul, meski

memakai beberapa pendekatan sejarah tapi ia tidak menjadikan studynya sebagai uraian sejarah,

ia lebih condong kepada uraian bidang keagamaan dan politiknya saja. Oleh karena itu penulis

dalam kesempatan ini ingin melakukan penelitian (study) mengenai peranan NU dalam

perumusan Ideologi Negara Indonesia 1945 dengan mengsignifikasikan pendidikan ini sebagai

uraian sejarah seutuhnya dengan menggunakan metode penelitian sejarah yaitu tahap Heuristik,

kritik, interprestasi dan historiografi.

Dengan demikian dapatlah di ajukan Hipotesa-hipotesa mengenai Peranan NU, dalam

perumusan Ideologi Negara Indonesia ini dengan beberapa hipotesa yaitu:

1. Nahdlatul Ulama (NU) berdirinya sebagai organisasi keagamaan atau politik juga dipandang

sebagai reaksi para ulama yang ingin mengadakan kebangkitan bagi umat islam

mempertahankan kepentingannya di bidang keagamaan dan memperjuangkan nasib bangsa

yang hidup dalam penjajahan tanpa kemerdekan. Oleh sebab itu dengan alasan ini perlu juga

kiranya kita mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi bangsa Indonesia sebelum

kemerdekaan.

2. Sikap NU yang sangat fleksibel dalam menghadapi pergolakan-pergolakan di Indonesia yang

menunjukkan kesanggupan mereka untuk mengilhami perlawanan kepada penjajah belanda

yang selama ini menjajah Negara Indonesia.

3. Peranan NU yang sangat besar dalam perumusan ideologi Negara Indonesia memberikan

implikasi positif terhadap tegaknya Negara Indonesia yang memiliki asas pancasila sebagai

ideologi Negara yang isinya:


a. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara republik Indonesia bukan agama, dan tidak dapat

menggantikan kedudukan agama, dan tidak dapat di gunakan untuk menggantikan

kedudukan agama.

b. Sila ketuhanan yang maha esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia, menurut pasal 29

ayat (1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian

keimanan dalam islam.

c. Bagi nahdlatul Ulama, islam adalah aqidah dan syari’ah meliputi aspek hubungan manusia

dengan allah dan hubungan antar manusia.

d. Penerimaan dan pengalaman pancasila merupakan wujud upaya umat islam Indonesia untuk

menjalankan syari’at agamanya.

e. Konsekuensi dari sikap itu , Nahdlatul Ulama wajib mengamankan pengertian yang benar

tentang pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.12

E. Langkah-langkah Penelitian

1. Tahapan Heuristik

Heuristik berasal dari bahasa Yunani ”Heurishein” yaitu memeliki arti memperoleh,

heuristic disini merupakan suatu teknik seni yaitu suatu teknik dan seni umtuk mencari dan

mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Oleh karena itu dalam tahap penelitian ini penulis akan

menggunakan study pustaka (Library Research) yaitu mencari sumber dari berbagai buku yang

berkaitan dengan topic penelitian yang penulis dapatkan dari beberapa perpustakaan dan koleksi

pribadi. Kemudian sumber-sumber yang di dapat ini penulis mengklasifikasikan kedalam dua

12 Khamami Zada dkk, “Nahdlatul Ulama Dinamika dan Politik Kenegaraan” (Jakarta, PT Kompas
Media Nusantara, 2010), hal: 80
bentuk yaitu sumber perimer dan sumber sekunder.

Pertama: sumber perimer ini penulis gunakan referensi utama dalam proses penelitian ini,

terdapat tiga buah buku yang dapat digunakan pada sumber perimer ini yaitu: Muhammad

Luqman Hakim, dalam NU di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat, Tulungagung:

Yayasan Pondok Peta, 1994. Abdurrahman Wahid, dalam Mengurai Hubungan Agama dan

Negara, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999. Dan Einar Martahan Sitompul, M.Th.,

dalam NU dan Pancasila, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989.

Kedua: Sumber skunder yaitu sebagai sumber referensi pembantu pada referensi utama

yaitu berupa buku-buku diantaranya: Laode Ida, dalam NU Muda Kaum Progresif Dan

Sekularisme Baru, Jakarta: Erlangga, 2004. Andree Feillard, dalam NU Vis-à-vis Negara

Pencarian isi Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKIS, 1999. Dan Khamami Zada dan A. Fawaid

Sjadzili, adalam Nahdlatul Ulama Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Kompas,

2010.

F. Tahapan Kritik

Tahapan Kritik adalah tahapan di mana penulis melakukan kritik untuk memperoleh

keabsahan sumber. Dan pada tahapan ini penulis menggunakan kritik intern yaitu suatu tahap

pengujian keabsahan tentang kesahihan sumber (Kredibilitas)

G. Tahapan Interpretasi

Dalam tahapan ini penulis mencoba untuk menafsirkan data dan fakta yang sudah di

dapat untuk merekontruksi ulang dan penulis mengadakan analisis terhadap sumber yang di

dapat agar menjadi saling keterkaitan.


H. Tahapan Historiografi

Tahapan ini merupakan tahapan ahir penelitian. Yaitu penulis menuangkan hasil

penelitian ini secara imajinatif kedalam sebuah penulisan sejarah dengan menempuh proses

penelitian sejarah dan menggunakan metode sejarah.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam skripsi ini penulis akan menerapkan sistematika pembahasan yang termuat

kedalam beberapa bab diantaranya:

Bab I. Pendahuluan Membahas: Latar BelakangMasalah. Perumusan Masalah. Tujuan Penelitian.

Kerangka Pemikiran. Langkah-langkah Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab II. Sejarah Lahirnya NU dan Perkembangannya di Indonesia meliputi: Latar belakang

Lahirnya NU. NU Sebagai Organisasi Keagamaan dan perkembangan NU di Bidang Politik.

Bab III. Kondisi Bangsa Indonesia Tahun 1945 Meliputi: Masa Pendudukan Belanda. Persiapan

Kemerdekaan.

Bab IV. Peranan NU Dalam Perumusan Ideologi Negara Indonesia Meliputi: Piagam Jakarta

dan Perumusan PancasilaTahun 1945. Dasar-dasar Pemikiran NU dalam Menerima Pancasila

Sebagai Ideologi Negara. Langkah-langkah NU Sebelum Kemerdekaan.Penerimaan NU terhadap

Pancasila.

Bab V. Penutup Meliputi: Kesimpulan. Dan Saran-saran.


BAB II
SEJARAH LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA

DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

A. Latar belakang lahirnya Nahdlatul Ulama

Selama abad ke IX Indonesia mengalami efek pengaruh barat yang membawa akibat

ganda sekaligus yaitu alinasi politik dan kemerosotan ekonomi yang semakin buruk1. Pemerintah

colonial belanda dalam usaha menunjang kebutuhan dalam negerinya menerapkan politik kerja

paksa untuk menenam tanam paksa (1830-1870). Setelah itu disusul para pemodal besar untuk

mengembangkan usahanya memasukkan barang-barang hasil produksi industry belanda ke

Indonesia dan sekaligus menanamkan modal mereka dengan membuka perkebunan besar untuk

diekspor hasilnya keluar negeri. Tentu saja kebijaksanaan politik itu tidak bisa tidak memerlukan

mekanisme politik yang otoriter dengan mengontrol sejumlah bsar elite priyayi dan pamong
praja sebagai bemper pengaman yang tangguh atas kebijaksanaan itu. Sudah tentu mereka

memperoleh keuntungan ekonomis atas jerih payah mereka, namun pada sisi lain menimbulkan

alinasi antara kelas priyayi dengan para petani kian melebar. Kebijaksanaan itu kemudian diusul

liberalisasi ekonomi dan kelonggaran impor barang konsumtif yang menimbulkan kemerosotan

ekonomi petani, tidak mampu bersaing melawan pengusaha besar. M. Ali Haidar, Nahdlatul

Ulama Dan islam Di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 1998, hal 38

Situasi ini membawa akibat disintegrasi dan keresahan sosia yang hampir merata di

seluruh Indonesia.2 Ibid hal 38 peang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-

1912), perang Paderi (1821-1838), serta pemberontakan petani banten (1888), merupakan

sebagian dari fenomena diatas.3 Ibid hal 39 walaupun pemberontakan pada umumnya

pembrontakan-pemberontakan itu dapat dipadamkan melalui oprasi militer pemerintah

colonial, namun benih ketidakpuasan para petani it uterus tumbuh dengan suburnya dan

mempengaruhi rakyat pedesaan umumnya. Akibatnya rasa ketidakpuasan itu berubah

menjadi sikap anti pemerintah asing yang “kafir” setelah mereka memperoleh legitimasi

kepemimpinan para ulama. Kombinasi dari dua hal tersebut bertaut menjadi satu sudah

tentu akan tumbuh menjadi kekuatan yang merepotkan pemerintah colonial. Pada

umumnya ulama menurut konsep hidup keagamaan yang mereka pegang teguh tidak

mungkin menerima kehadiran penjajah belanda yang langsung atau tidak langsung

membawa misi agama Kristen yang merugikan mereka, disamping kenyataan yang

mereka rasakan sendiri kehadiran penjajah itu membawa akibat buruk bagi kehidupan

para petani ummat mereka sendiri.4 ibid hal 39 pada sisi lain para petani sendiri

memerlukan para ulama itu sebagai tumpuan harapan menghadapi kesulitan-kesulitan


mereka terhadap kebijaksanaan kolonial yang merugikan mereka.

Seiring dengan gerakan perlawanan yang menyertai keresahan sosial di banyak tempat

itu bermunculan pula gerakan kebangkitan kembali agama yang menampakkan diri dalam

bentuk-bentuk sekolah dan perkumpulan tarekat dibanyak tempat di seluruh jawa dan

luar jawa.5 Ibid hal39 bagaikan tanaman tersiram air hujan, kegelisahan para petani

memperoleh wadah penyaluran aktualisasi diri bersama dengan menjamurnya lembaga-

lembaga sosial keagamaan dibawah kepemimpinan para ulama.

Menginjak tahun-tahun pertama abad ini belanda kemudian mengubah kebijaksanaan

politik dengan menerapkanpolitik etis untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial dan

politik yang langgeng dan member kemakmuran rakyat.6 Ibid hal 40 untuk itu maka

dilakukan pembaruan sosial politik antara lain membantu pendidikan rakyat dengan

membuka sekolah-sekolah untuk pribumi, perbaikan perasaan dan fasilitas perekonomian

dan member otonomi daerah kepada pribumi.7 ibid hal 40 sayangnya kebijaksanaan

politik etis itu tidak di sertai pemahaman yang baik tentang lembaga-lembaga kekuasaan

tradisional yang telah mapan dalam kehidupan sosial ekonomi pribumi. Pemerintah tetap

menjalankan kekuasaan otoriter memaksakan kehendaknya, akibatnya lembaga-lembaga

kekuasaan itu mengalami erosi yang pada ahirnya menimbulkan kegelisahan social yang

berkepanjangan.8 Ibid hal 40

Tidak seluruh proses modernisasi yang dijalankan pemerintah dengan kebijaksanaan

politik etis itu membawa hasil negatif Bagi rakyat pribumi. Sebagian dari mereka yang

mengenyam pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial tumbuh menjadi

pemimpin rakyat. Tumbuhlahlah di awal abad ini sejumlah perhimpunan social

pendidikan, yang walaupun pada mulanya bersifat kedaerahan terus berkembang menjadi
gerakan kebangkitan nasional.9Ibid hal 40

Dalam konteks islam peralihan abad yang lalu juga ditandai munculnya gerakan

pembaruan di mesir, turki dan india. Meskipun titik tolak mereka berangkat dari latar

belakang yang berbeda, namun asumsi mereka memiliki titik persamaan . kesadaran

sosial politik yang di ilhami pengenalan mereka terhadap kebudayaan barat yang telah

maju, menjadikan mereka lebih kritis dalam melihat realitas umat islam dinegeri meraka.

Sementara dimesir dan sebagian timur tengah lainnya muncul gagasan Pan islamisme

yang dipelopori Jamal Al-Din Al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia islam, di

turki muncul gagasan nasionalisme yang meruntuhkan Khalifah Usmani.10Ibid hal 40

Walaupun Pan Islamisme pada mulanya memperoleh sambutan luar biasa di negeri-

negeri muslim, termasuk turki pada mulanya, namun lambat laun surut ditengah

gelombang gerakan nasionalisme negeri-negeri muslim untuk memperjuangkan

kemerdekaan mereka dari penjajahan barat sepanjang paruh pertama abad ke XX.

Pada waktu itu di Indonesia sendiri, seperti telah disinggung di muka, tumbuh

organisasi sosial kebangsaan maupun social keagamaan yang bertujuan untuk memajukan

kehidupan umat seperti seperti antara lain Budi Utomo11 dan SarIkat Islam12 yang

kemudian disusul Muhammadiyah.13

Peristwa ini membangkitkan obsesi sejumlah pelajar Indonesia yang menuntut

pelajaran di Makkah antara lain Abdul Wahab Chasbullah, Muhammad Dahlan, Asnawi

dan Abbas merka kemudian mendirikan cabang SI di Makkah.14 belum sempat mereka

mengembangkan organisasi tersebut karena mereka segera segera pulang ke Indonesia

setelah perang dunia pecah. Namun obsesi mereka untuk memajukan kaum muslimin

tidak berhenti setelah pulang ke Indonesia. Terbukti sekitar tahun 1914 sebagian dari
mereka mendirikan sebuah organisasi pendidikan dan dakwah yang di beri nama

Nahdlatul Watan (kebangkitan tanah air) yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan

(pengajaran) formal berupa sekolah (madrasah) dan kursusu-kursus praktis

kepemimpinan (waktu itu istilahnya perjuangan), organisasi dan administrasi.15

selanjutnya pada tahun 1918 berdiri organisasi lain yaitu Taswirul Afkar (Representasi

gagasan-gagasan) di Surabaya yang bergerak dalam kegiatan yang sama dengan

pendahulunya tetapi lebih menekankan aspek sosialnya.16

Kedua organisasi itu dirintis bersama oleh pemuda Abdul Wahab dan Mas

Mansyur dan dibantu oleh beberapa orang lain. Keduanya pernah bertemu di mekkah

ketika belajar sama-sama di sana. Abdul Wahab dan Mas Mansyur mempunyai

pengalaman belajar dipesantren, Mas Mansyur menghargai Wahab Hasbullah sebagai

senior bahkan beliau sebagai tempat bertanya soal-soal pelajaran yang dia terima,

sebaliknya Abdul Wahab menghargai Mas Mansyur sebagai pelajar yang cerdas dan

memiliki potensi untuk menjadi pemimpin umat.17 setelah akhirnya keduanya bertemu

kembali di Surabaya sepulang mereka dari perantauan belajar di luar negeri, mereka pun

kemudian giat dalam aktifitas kemasyarakatan dan pendidikan. Salah satu hasil rintisan

mereka adalah dua organisasi yang berdiri di Surabaya.

Nahdlatul Watan dirintis tahun tahun 1914 mendapat pengkuan badan hokum

tahun 1916 dengan bantuan pemimpin SI Tjokroaminoto dan seoarang arsitek bernama

soejoto.18 menyadari gerakan social pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit

mereka melibatkan seorang saudagar kaya yang menaruh perhatian besar persoalan kaum

muslimin bernama H. Abdul Qahar berasal dari kawatan , perkampungan di sebelah

selatan tugu pahlawan, Surabaya. Saudagar itu kemudian di tunjuk sebagai direktur yang
segera memelopori pembangunan gedung sekolah. Mas Mansyur di percaya sebagai guru

kepala, sementara Abdul Wahab sendiri sebagai guru.

Kegiatan yang dilakukan Nahdlatul Watan tidak hanya pengajaran sekolah formal

belaka melainkan juga kursus-kursus kepemudaan, organisasi, Dakwah (Ketika itu

menggunakan istilah Nadwah berarti pertemuan pengajian untuk menyeru kebenaran),

dan perjuangan. Kyai Mas Mansyur lebih berperan memimpin sekolah sementara Kyai

Abdul Wahab di bagian kursusnya. Sejumlah Kyai muda turut serta dalam kursus itu

yang kelak kemudian mereka inilah yang ikut membidani kelahiran komite Hijaz yang

kemudian berubah menjadi NU19.

Adapun alasan komite hijaz itu muncul ialah dimana penguasa baru hijaz

mengemukakan rencananya untuk menyelenggarakan pertemuan internasional guna

membahas pengaturan Mekkah dan Madinah. Adanya rencana baru ini menimbulkan

kesibukan khusus para pemimpin Indonesia. Siding khilafah berlangsung intensif dan

kongres Al-Islam meningkatkan frekuensinya setelah kongres 1924 yang membicarakan

tentang khilafah. Maka kongres berikutnya agustus 1925, Februari 1926, September

1926, dan desember 1926.

Kemenangan Ibn Sa’ud dan rencananya untuk menyelenggarakan pertemuan

mekkah menimbulkan polirisasi orientasi baru islam di Indonesia, khususnya Jawa.

Kalangan pesantren menganggap kemenangan itu akan membawa dampak perubahan

tradisi keagamaan menurut ajaran mazhab, sebab Ibn Sa’ud dikenal beraliran Wahabi.20

Pengalaman traumatis masa lalu mereka yang dipelopori Abdul Wahab amat keras

menentang segala pendirian yang tidak sejalan dengan mereka, maka kalangan pesantren

cukup khawatir akan tradisi keagamaan mereka menghadapi penguasa baru di hijaz yang
beraliran wahabi itu. Melalui kyai Wahab mereka mencemaskan kehawatiran itu dalam

siding-sidang komite khilafah. Sementara sayap yang lain tetap menghendaki agenda

lama dipertahankan untuk dibawa ke makkah. Menurut mereka penyerbuan Ibn Sa’ud

atas Husin bertujuan baik untuk memperbaiki tata laksana ibadah haji yang di waktu

sebelumnya kacau, sering terjadi perampokan dan banyak suku arab yang melarikan

diri.21

Berita-berita yang di muat surat kabar tersebut tidak menggoyahkan kecemasan

kalangan pesantren. Pengalaman trumatis masa lalu terus membayangi mereka.

Sebenarnya mereka menghendaki agenda masalah yang sederhana saja untuk dibawa

kemekkah yaitu tuntutan pelestarian tradisi keagamaan berdasakan ajaran mazhab

Ahlusunnah Waljama’ahdan perbaikan tata laksana ibadah haji, khususnya tradisi tarekat

sufi dan wirid, pembacaan solawat Nabi dan pengajaran kitab-kitab mazhab agar tetap di

izinkan.22 polarisasi orentasi ini di pertegas oleh sekelompok aliran baru nonpesantren

yang menyelenggarakan pertemuan di cianjur sebelum kongres Al-Islam di bandung,

mereka mengadakan loby yang dihadiri kalangan mereka sendiri untuk merancang

keputusan kongres bandung tentang delegasi ke mekkah. Sebenanya delegasi ke mekkah

itu sudah di putuskan setelah kongres di Yogyakarta sebelumnya. 23 tetapi kemudian di

ubah lagi dalam kongres bandung. Kongres bandung memutuskan delegasi ke kekkah:

Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansyur (Muhammadiyah).24 kyai Wahab memang tidak

menghadiri seluruh acara kongres karena ditengah acara tersebut dating telegram bahwa

ayahandanya sakit keras.25 Kyai Wahab kemudian meninggalkan medan kongres.

Ketika merancang pertemuan komite hijaz dialog antara kyai Abdul Wahab

dengan Kyai Abdul Halim mempersoalkan tujuan komite hijaz yang hendak dicantumkan
dalam surat undangan.26 Kyai Abdul Wahab menjawab: “tentu syarat tujuan nomer satu

untuk menuntut kemerdekaan. umat islam menuju kejalan itu. Umat islam tidak leluasa

sebelumnya Negara kita merdeka.27

Komite hijaz yang di bentuk sebelum januari 1926 di ketuai Hasan Gipo dan

wakil Saleh Jamil, sekretaris Muhammad Shadiq Setijo dan wakil Abdul Halim,

penasehat KH. Abdul Wahab, KH. Masjhoeri, dan KH. Khalil.28 mereka ini

mempersiapkan pertemuan komite hijaz 31januari 1926. Pertemuan ini selanjutnya di

jadikan hari lahir NU, sebab dalam pertemuan tersebut diputuskan mengirim delegasi ke

mekkah,29 lalu timbul masalah atas nama organisasi yang di kirim. KH. Mas Alwi

mengusulkan nama Nahdlatul Ulama mengambil nama organisasi pendahulunya

Nahdlatul Watan, usul itu disepakati siding maka komite hijaz di bubarkan.30

Mengapa bukan Nahdlatul Watan dikukuhkan kembali dan di perluas tetapi

membentuk perhimpunan baru, barang kali ada beberapa aspek yang dapat di pakai

sebagai pertimbangan. Latar belakang orientasi keagamaan yang ahirnya melahirkan

pembentkan komite hijazsebelumnya memerlukan wadah organisasi yang berciri

keagamaan islam, sebab misi yang hendak di bawa ke mekkah berada dalam lingkup

agama maka di pakailah nama Nahdlatul Ulama. Jika tetap menggunakan Nahdlatu

Watan, maka nama organisasi itu tidak mengesankan sebagai organisasi yang

berkecimpung dalam soal agama. Dengan nama Watan mengesankan organisasi itu

sebagai organisasi politikdan social, bukan keagamaan. Mungkin juga nama ulama dapat

memberi bobot pengaruh yang luas kepada umat islam.

Tiga tahun kemudian, dalam tahun 1929 Nahdlatul Ulama berhasil mengirim

utusan yang terdiri dari KH. Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Genaim Al Amir Al
Misri untuk menghadap Raja Ibnu Sa’ud.

Setelah pulang dari delegasi hijaz ke mekkah ahirnya KH. Wahab Hasbullah

membawa berita yang menggembirakan, mengenai ibadah dan pengajian yang dia dakan

dalam Masjidil Haram oleh guru dari empat mazhab. Disamping itu juga utusan

Nahdlatul Ulama juga telah berhasil mencegah dirusaknya beberapa makam ddari

keluarga nabi dan dapat dicegah pula di rusaknya makam dari imam empat yang ada di

sekitar Ka’bah.31 Solihin Salam dkk, Sejarah Ringkas Nahdlatul Ulama, Jakarta,

1966 hal49.

Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan bertepatan dengan

tanggal 16 Rajab 1344 H. dan resmi berbadan hokum pertama kali pada tanggal 06

Februari 1930. Dengan menunjuk Khdlratus Saikh KH. Hasyim Asyari sebagai rais

Akbar (Pemimpin besar). Nahdlatul ulama (NU) menganut faham Ahlussunah

Waljama’ah, yaitu suatu pila nalar dalam islam yang merujuk pada Al-Qur’an, Sunnah

Nabi Muhammad SAW, serta sunnah Khulafar’ rasyidin (Empat khalifah islam yang

sekaligus merupakan para sahabat utama Nabi) yang secara teoritis dan faktual banyak

terkait dengan konsep teologis Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan

empat Mazhab dalam fikih, yaitu Imam Hanafi, maliki, Syafi’I dan Hanbali, serta tradisi

tasawuf Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi.32 Drs. H. Achmad Djauhari, M.SI dkk,

Potret Gerakan Dakwah NU (Hasil Mukernas IV Lembaga Dakwah Nahdlatul

Ulama), PP LDNU Publishing, Yogyakarta 2007 hal 3-6

Prinsip dasar Ahlusunnah wal jama’ah, yang bersumber kepada Al-Qur’an,

sunnah, ijma, dan qias ini telah menjadi paradigma sosial kemasyarakatan warga NU

yang terus di kembangkan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat islam dan
pemikirannya. Prinsip-prinsip dasar itu meliputi:

Prinsip Tawassuth

Yaitu, jalan tengah, tidak ekstrim kanan atau kiri. Dalam paham Ahlusunnah wal

jama’ah, baik di bidang hukum (syari’ah) bidang aqidah, maupun bidang akhlak,

selalu di kedepankan prinsip tengah-tengah. Juga di bidang kemasyarakatan selalu

menempatkan diri pada prinsip hidup menjungjung tinggi keharusan berlaku adil,

lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Sehingga ia menjadi panutan dan

menghindari segala bentuk pendekatan ekstrim.

Prinsip Tasamuh

Yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hl yang

bersifat Firu’iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling

memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (Ukhuwah

islamiyyah)

Prinsip Tawazun

Yaitu, menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara

seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan pribadi dan

masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa yang akan datang.

Prinsip Amar ma’ruf nahi munkar

Yaitu menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran . dengan prinsip ini,

akan timbul kepekaan dan mendorong perbuatan yang baik dalam kehidupan

bersama serta kepekaan menolak dan mencegah semua hal yang dapat

menjerumuskan kehidupan kelembah kemungkaran. Jika empat prinsip ini

diperhatikan secara seksama, maka dapat di lihat bahwa ciri dan inti ajaran
Ahlusunnah wal jam’ah adalah pembawa rahmat bagi alam semesta.33 Tim

Pimpinan Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, Nahdlatul Ulama Ideologi

Garis Politik dan Cita-cita Pembentukan Umat, PP. Lembaga Pendidikan

Ma’arif NU, Jakarta, 2004, hal 33-36

Pertemuan ulama pesantren awal tahu 1926 di Surabaya menyepakati pendirian

suatu organisasi yang akan menghimpun kegiatan mereka dengan nama Nahdlatul Ulama

kurang lebih empat bulan sesudah itu telah di rintis penyelenggaraan muktamar yang

pertama. Salah satu masalah yang menjadi perhatian para pendiri organisasi itu ialah

mengenailambang organisasi sehubung dengan akan di laksanakan muktamar. Kyai

Abdul Wahab Hasbullah kemudian meminta kepada KH. Ridwan untuk menciptakan

lambing dengan cirri-ciri orisinal, tidak meniru lambang yang sudah ada, tahan lama, dan

mencerminkan sifat ulama.34

Selama kurang lebih empat bulan Kyai Ridwan belum berhasil menciptakan

lambang tersebut. Dengan bekerja keras mencari inspirasi dan ilham siang dan malam

ahirnya inspirasi dan ilham itu dating di tengah malam beberapa minggu menjelang

muktamar di buka. Segera kemudian kyai Ridwan membuat sketsa di tengah malam itu

dan menyelesaikan penyempurnaannya keesokan harinya. Setelah lambang itu tercipta

timbul kesulitan untuk mendapatkan kain warna hijau untuk bahan membuat bendera

petaka yang di kala itu memang agak sulit di dapat. Kira-kira dua hari menjelang

muktamar di buka bendera petaka dengan lambang NU berhasil di gelar di depan

jembatan penilih kota Surabaya, dekat tempat berlangsungnya muktamar.

Kemudian timbul persoalan lagi dalam muktamar itu ketika seorang pejabat

pemerintah Hindia Belanda menanyakan arti lambang. Tidak seorang pun dalam siding
muktamar yang dapat memberi jawaban apa arti lambang. Ketika Kyai Ridwan di

hubungi untuk menjelaskan arti lambang yang di ciptakan beliau agak tertegun ditengah

kesibukan kepanitiaan muktamar, sebab lambang yang di ciptakannya tidak dibayangkan

mempunyai arti falsafah tertentu. Kyai Wahab pun ketika memintanya untuk membuat

lambang NU tidak disertai permintaan semacam itu. Tidak urung karena desakan Kyai

lain terutama kyai Wahab sendiri ahirnya Kyai Ridwan tanpa ekspresi yang menunjukkan

kesiapannya mengenakan jas dan sorban memasuki ruang sidang. Tanpa di duga tiba-tiba

Kyai Ridwan lancer sekali menguraikan makna dan falsafah lambang NU yang di

ciptakannya sendiri.

Gambar bola dunia dan tali yang melingkar melambangkan asas persatuan dan

perdamaian, Sembilan bintang salah satu yang paling besar terletak di bagian paling atas

melambangkan Nabi Muhammad sebagai panutan umat, empat bintang di bawahnya

melambangkan Khulafa rasyidin, dan empat bintang di bawahnya lagi melambangkan

empat imam mazhab. Seluruh jumlah bintang ada Sembilan buah melambangkan Wali

Songo, sebuah metodologi islam yang sangat popular di nusantara.34

Proses penciptaan lambang NU tersebut di yakini oleh sebagian besar

anggota NU mempunyai arti mistis sebagai petunjuk tuhan melalui kontemplasi dan

ibadah. Demikian pula arti lambang di yakini sebagai rahmat tuhan karena Kyai Ridwan

ketika menjelaskan arti lambang di hadapan pesrta muktamar dan pejabat pemerintah

sedang dalam keadaan Irtijal (Tnpa persiapan), kondisi luar biasa yang di percaya di atas

kesadaran normal manusia.35 M. Ali Haidar Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia

Pendekatan Fikih dalam Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, Hal

63.
B. NU Sebagai Organisasi Keagamaan

Bagi orang yang kurang akrab dengan NU, apabila mendengar nama itu di sebut,

maka akan berasosiasi pada sosok ulama berjubah dan bersorban, yang bergerak perlahan

menjaga keanggunandirinya, yang hanya paham akan hokum-hukum agama saja, dan

kalau ia tampil di arena politik maka sosok itu akan bertampang kaku. Itu hanya

gambaran lahiriyah saja. Apabila kita membalik lembaran sejarah, segera terpampang

bahwa NU adalah sebuah organisasi islam yang telah banyak merasakan garam

pergolakan sejarah dan badai perubahan zaman, namun selalu mampu berdiri tegak.

Perkumpulan Nahdlatul Ulama seperti yang kita kenal skarang ini adalah pewaris

dan penerus tradisi kyai………NU telah mampu mengembangkan suatu organisasi yang

stabilitasnya sangat mengagumkan, walau ia sering menghadapi tantangan-tantangan dari

luar yang cukup berat. Modal utamanya ialah karena para kyai memiliki suatu perasaan

kemasyarakatan yang dalam dan tinggi dan selalu menghormati tradisi. Rahasia

keberhasilan kyai dalam mengembangkan system organisasi yang kuat dan stabil itu

terletak pada kebijaksanaan dan kesadaran mereka bahwa struktur social yang mana pun

haruslah mempercayai general consensus, bukan mempercayakan atau menggantungkan

persetujuan yang di paksakanatau system organisasi yang rumit.36 Einar Martahan

Sitopul , M.Th, NU dan Pancasila, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal 58

Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan bertujuan

membangun mengembangkan manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan

bertaqwa, berahlak mulia, cerdas, terampil, tentram, adil dan makmur dalam naungan

ridla Allah SWT. Drs. H. Achmad Djauhari, M.Si dkk, Potret Gerakan Dakwah NU

Hasil Mukernas IV Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, PP LDNU Publishing,


Yogyakarta, 2007, hal 45-46

Pada saat di dirikan, NU merupakan Jam’iyah Diniyah (Organisasi Keagamaan)

melengkapi organisasi-organisasi sosial kebangsaan dan organisasi sosial keagamaan

(Islam) yang sudah ada sebelumnya, seperti Budi Utomo (1908) sebagai gerakan cultural

politik, Serikat Islam (1911) bercirikan politik keagamaan, Muhammadiyah (1912)

gerakan modernis islam bercorak pendidikan keagamaan,37 dan NU mengambil bentuk

dan peran keagamaan sebagai gerakansayap tradisionalis islam. keberadaan NU sebagai

gerakan sayap tradisionalis seperti di tunjukkan oleh istilah Nahdlatul Ulama bukan

Nahdlatul Umat atau yang lain, bukanlah merupakan suatu yang sifatnya kebetulan, tetapi

mengndung konotasi sebagai sebuah organisasi perjuangan, berupa kebangkitan

pergerakan para ulama, yang mengandung unsur berupa dinamika, kesadaran yang tinggi

dan keterlibatan warganya menjadi organisasi sebagai alat perjuangan ulama di dalam

NU memberikan cirri diferensiasi yang menjadi salah satu unsure pembeda dari

fenomena organisasi islam selain NU. Demikian penting dan sentralnya kedudukan ulama

di dalam organisasi bukan sebagai pemakarsa atau pendiri, tetapi karena otoritas

tradisional yang melekat pada keberadaa dan kedirian ulama. Kehadiran NU sebagai

Jam’iyah Diniyah yang bermotif keagamaan sudah semestinya “menjadikan Agama

sebagai landasan sikap, prilaku, dan karakteristik perjuangannya” disesuaikan dengan

norma-norma ajaran agama islam menurut paham Ahl al-sunnah Wa al-jama’ah.38

Pada dua dasawarsa pertama setelah pendiriannya, kegiatan NU lebih fokus pada

usaha pembinaan keagamaan sesuai dengan aliran paham yang di yakininya, di samping

pembinaan masyarakat di bidang pendidikan, social, dan perekonomian, seperti

tergambar di dalam anggaran dasar organisasi. Selanjutnya pada 1935, sebagai hasil
evaluasi terhadap keberadaannya dan kendala utama yang menghambat kemampuan umat

sehingga tidak bisa berperan sebagai Khaira Ummah, maka di cenangkan suatu gerakan

keagamaan, Mabadi Khaira Ummah yang mengarah pada semangat tolong menolong

(Mu’awanah) di lapangan ekonomi bangsa Indonesia dengan meningkatkan pendidikan

moral yang bertumpu pada tiga prinsip, yaitu: Alsidqu (Jujur), Alamanah Wa-alwafa bi-

al’ahdi (Dapat dipercaya, menetapi segala janji) Al-ta’awun (Tolong menolong)8 gerakan

Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan umat terbaik, yaitu suatu

umat yang mapu melaksanaka tugas Amar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan bagian

terpenting dari peranan NU. Karena kedua hal tersebut merupakan sendi yang di perlukan

untuk dapat mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang diridlai Allah SWT. Pada

awalnya gerakan ini dapat menumbuhkan semangat berorganisasi dalam berbagai bidang

kegiatan organisasi yang membawa dampak positif bagi pembinaan internal dan

pengembangan NU keluar. Akan tetapi, kemudian mengalami stagnasi, sehingga pada

tahun 1992 (setelah Khittah) gerakan ini perlu di tumbuhkan kembali dengan menambah

nilai prinsip dasar sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan kehidupan

bangsa.39 H. Rozikin Daman, Membidik NU Dilema Percaturan Politik NU Pasca

Khittah, Gama Media, Yogyakarta, 2001, hal 43-48

Seperti telah di singgung dalam uraian terdahulu, maka pembentukan Jam’iyah

NU tiada lain merupakan upaya pengorganisasian potensi dan peran ulama pesantren

yang sudah ada, untuk di tingkatkan dan di kembangkan lebih luas lagi. Dengan kata lain,

didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usaha memersatukan dan menyatukan

langkah para ulama pesantren di dalam tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada

soal kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan belaka, tetapi lebih di tingkatkan lagi
pada kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi maupun persoalan

kemasyarakatan pada umumnya. Khoirul Anam Pertumbuhan dan Perkembangan

Nahdlatul Ulama, Jatalu Sala, Surabaya, 1984, hal 15

Adanya dua kekuatan dalam diri NU sebagai organisasi keagamaan, pertama, NU

Jam’iyah dan NU Jama’ah, merupakan kelebihan yang dimiliki oleh organisasi islam

terbesar di Indonesia ini. Kelebihan ini merupakan kekuatan yang dahsyat, asalkan di

kelola secara terarah, terpadu, dan terjaga. NU Jam’iyah dan NU Jama’ah ialah two in

one, tak terpisahkan. NU Jama’ah tannpa NU Jam’iyah hanya akan menjadikan NU

sebagai sebuah paguyuban seperti arisan atau rukun kematian. Sebaliknya, NU jam’iyah

tanpa NU jama’ah hanya akan menjadikan NU sebagai organisasi yang kering, tidak

berakar di masyarakat. Agar NU menjadi besar dan berwibawa, kedua-duanya tidak boleh

bertabrakan atau berselisih jalan.

Menurut Mbah Muchith, NU jam’iyah dapat jadi pengikat, NU Jama’ah

dan di harapkan menjadi tempat berkumpulnya para tokoh NU. Berkumpul bukan hanya

untuk silaturrahmi, melainkan juga untuk mempersatukan pendapat, pendirian, dan

langkah agar seluruh warga NU dapat di kerahkan dan diarahkan menuju cita-cita

bersama.40 Ayu Sutarto, Menjadi NU menjadi Indonesia, Kelompok Peduli Budaya

dan Wisata Daerah Jawa timur, Surabaya, 2005, hal 20-21. Karena misi NU ialah:

1. Mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahiriah maupun batiniah, debgan

mengupayakan system perundang-undangan dan mempengaruhi kebijakan yang

menjamin terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera.

2. Mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dengan melakukan upaya

pemberdayaan dan advokasi masyarakat


3. Mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berakhlakul karimah.

C. NU Dan Perkembangannya Dalam Bidang Politik

Dalam pertemuan Rembang Jilid 2 yang di hadiri sejumlah ulama NU structural

dan cultural, KH. Sahal Mahfudz menyampaikan tujuh seruan kepada Nahdliyin sebagai

panduan untuk menyikapi kondisi politik dalam tubuh organisasi yang ahir-ahir ini

mengalami krisis, pada butir pertama seruan itu di sebutkan tiga model politik yang

selama ini di laksanakan NU, yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan,dan politik

kekuasaan.41

Bagi NU, dari tiga macam politik itu, politik kekuasaan (praktis) menempati

kedudukan paling rendah. Pernyataan ini implicit untuk mengingatkan para politisi NU

yang sudah keluar dari khittah 1926. Pertanyaannya, mengapa banyak tokoh NU lebih

meminati politik kekuasaan praktis, padahal jenis politik ini banyak menimbulkan

perpecahandalam tubuh organisasi? Di kalangan NU ada asumsi, politik kerakyatan dan

kenegaraanakan mendapatkan puncak pada peraihan politik kekuasaan.

Secara historis kelahiran Nahdlatul Ulama di bidani Hadratus Syekh Hasyim

Asy’ari dan ulama-ulama terkemuka lain, seperti: KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri

Sansuri, tahun 1926. Salah satu tujuannya untuk melindungi praktik dan pemikiran

keagamaan muslim Indonesia yang beda dengan praktik dan pemikiran keagamaan

muslim di timur tengah, khususnya Arab Saudi.

Meminjam kerangka teori Elnerst Gellner, NU berdiri untuk membela praktis

islam yang cenderung dekat dengan local islam. Dalam kitab Qonun Asasi LI Jami’ati

Nahdlatul ulama, KH. Hasyim Asy’ari memprihatinkan adanya geerakan keagamaan baru
yang menyerukan pemberantasan Bid’ah (heterodoksi) dengan “kedok” kembali kepada

Al-Qur’an. Padahal, gerakan baru inilah yang sebenarnya memproduksi bid’ah.

Pernyataan KH. Hasyim Asy’ari ini bisa di anggap (1) merespon situasi Internasional

tentang maraknya gerakan Wahabisme di timur tengah, dan (2) terhadapsituasi nasional

tentang maraknya gerakan pembaharuan (puritanisme) islam

Dari sini bisa di simpulkan, pendirian NU bukan untuk tujuan politik kekuasaan,

tetapi politik (keagamaan) kerakyatan. Maka, bagi umat islam Indonesia yang

menginginkan pelaksanaan praktik dan pemikiran keagamaannya dekat dengan tradisi

lokalnya, kehadiran NU di nilai member perlindungan. Bila ini bisa di sebut tindakan

politik kerakyatan dalam pengartian luas maka politik jenis inilah yang patut di sebut

tingkatan politik tertinggi NU. Politik kenegaraan belum muncul karena saat itu (1926)

diskursus tentang Negara belum ada.42

Seiring kompleksitas perkembangan politik Indonesia, perjalanan politik NU juga

berkembang. NU mulai bersentuhan dengan politik kenegaraan (kebangsaan), terutama

menjelang pasca kemerdekaan. Persentuhan ini merupakan pengaruh gerakan

nasionalisme di beberapa Negara yang bergerak menuju kemerdekaan. Kontribusi politik

kenegaraan NU yang paling jelas adalah dukungan Wahid hasyim, wakil NU pada PPKI,

untuk tidak mencantumkan piagam Jakarta didalam dasar Negara kita.

Selain itu, selama menjadi organisasi sosial, juga politik keagamaan, NU tidak

pernah terlibat kasus kasus pemberontakan islam. Komitmen terhadap Negara dan bangsa

di letakan diatas segala-galanya karena NU menyadari, eksistensi Negara adalah haal

utama bagi kehidupan agama dan manusia sesuai dengan garis Ahlus Sunnah wal

Jamaah.
Dua model politik NU itu kerakyatan dan kenegaraan merupakan pengalaman

paling ideal dalam sejarah NU. Mengapa? Dua model ini menjadikan NU sebagai

organisasi keagamaan yang berorientasi pada kebaikan dan kepentingan umum

(mashlahah ‘ammah). Namun, NU ternyata tidak mampu mempertahankan dua model

politik ini Karena godaan poltik kekuasaan, baik dari tokoh NU sendiri maupun dari luar

NU.43

Keterlibatan pertama NU dengan politik kekuasaan adalah dukungan organasasi

terhadap pendirian masyumi. Ketika menjadi organisasi penyangga masyumi, tokoh-

tokoh NU terlibat perebutan kekuasaan baik untuk jabatan dalam tubuh partai maun di

luar partai (eksekuip). Politik kekuesaan masa ini akhiri dengan perpecahan keterlibatan

paling pekat dengan politik kekuasaan saat NU berdiri sebagai partai politik (1952) pasca

pecah dari masyumi. Khamami Zada, Nahdlatul Ulama Dinamika Ideologi dan

Politik Kenegaraan, Kompas, Jakarta, 2010, hal 3-5.

Pada tanggal 3 November 1945 pemerintah RI yang baru di proklamasikan

kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 mengumumkan member kesempatan kepada

rakyat untuk membentuk partai politik agar segala aliran dapat di arahkan kejalan yang

teratur. Keputusan ini kemudian di sambut hangat oleh rakyat dan para politisi.

Muktamar islam Indonesia yang di selenggarakan di Yogyakarta tanggal 7-8 November

memutuskan membentuk partai politik Masyumi yang di anggap sebagai satu-satunya

partai islam.45

Tujuan ini ternyata tidak sepenuhnya tercapai karena pada tahun itu juga

organisasi persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang berpusat di Sumatra Barat

menyatakan tidak bersedia bergabung ke dalam Masyumi dan membentuk partai sendiri
dengan nama Perti. Muhammad Nasir yang dating ke Sumatra barat selaku utusan

Masyumi untuk membentuk partai ini di Sumatra barat segera stelah Masyumi berdiri,

tidak berhasil meyakinkan pemimpin organisasi Perti untuk bergabung kedalam

Masyumi. Barang kali ini akibat dari pengaruh negative pertentangan “Kaum Tua”

dengan “Kau Muda” yang berkembang di Sumatra barat tidak sejalan dengan kalangan

“kaum tua” yang berada di belakang perti. Bahkan sebelumnya memang sudah terjadi

ketidak sesuaian paham dalam Majlis Islam Tinggi (MIT) suatu organisasi islam untuk

seluruh sumatra barat yang kemudian di rubah menjadi Masyumi. 46

Dukungan NU kepada Masyumi pada mulanya memang tampak bergelora dengan

suaranya kepada para anggota sendiri maupun kepada umat islam untuk bergabung ke

dalam masyumi. Dalam kongres NU Di Purwokerto tahun 1946 diserukan agar warga

NU membanjiri partai politik Masyumi dan di putuskan NU akan menjadi tulang

punggung Masyumi.47 perbedaan kepentingan politik antar berbagai kelompok dalam

Masyumi kemudian segera menyusul. Persatuan yang sejak awal kemerdekaan dengan

menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai islam tidak dapat di pertahankan lagi.

Setelah NU keluar dari Masyumi di putuskan dalam kongres ke 19, April 1952, di

Palembang. Keputusan itu sebelumnya di dahului kritik dan protes yang di lancarkan

terhadap Masyumi. Dalam kongres Masyumi tahun 1949 di Yogyakarta ketegangan

sempat terjadi karena salah seorang tokoh Masyumi, Muhammad Saleh (Walikota

Yogyakarta) mengatakan”……politik ini saudara-saudara, tidak bisa di bicarakan sambil

memegang tasbih,” 48 Selanjutnya di katakana bahwa urusan politik ini cukup luas, tidak

hanya berada disekeliling pondok pesantren. Politik itu luas menyebar ke seluruh

dunia.234 Segera saja ucapan itu dip rotes delegasi dari NU meninggalkan ruangan. hal
yang mirip dengan itu juga terjadi di bogr dalam sidang dewan partai Masyumi tahun

1952. peristiwa senada barangkali juga terjadi di tempat lain, karena memang hubungan

antara pemimpin NU dengan Masyumi kurang serasi, umumnya politisi dan pemimpin

NU terdiri atas ulama atau tenaga lain keluaran pesantren, kalaupun ada yang

berpendidikan model barat, seperti Zainul Arifin dan Muhammad Iljas, jumlahnya tidak

banyak. Sementara dari kalangan Masyumi memandang rendah lulusan pesantren dan

dengan demikian juga memandang rendah pemimpin-pemimpin NU. Mungkin hal ini

adalah salah satunya alasan NU keluar dari Masyumi.49 M. Ali Haidar, Nahdlatul

Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan fikih Dalam Politik, PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hal 102-105

Keterlibatan NU secara organisatoris dalam pentas politik sering

dinyatakan beawal pada tahun 1952, saat NU menyatakan keluar dari Masyumi dan

menegaskan dirinya sebagai partai politik. Mulai saat itu sebutan “Partai NU” lebih

popular karena keterlibatannya secara langsung dalam kegiatan-kegiatan dan proses-

proses politik, disamping masih tetap melakukan kegiatan keagamaan. keadaan demikian

berlangsung sampai dengan tahun1984, tatkala NU secara organisatoris resmi

menanggalkan aktifitas politiknya lewat PPP. pada periode 1952-1984 para ulama dan

politisi NU mempunyai peran berlebih terutama para ulamanya disampaing pelaku politik

juga sebagai pembimbing umat, sehingga prilaku politiknya merupakan refleksi dan

paham keagamaan yang bersumber dari tradisi keberagamaannya, dan sebaliknya prilaku

keagamaannya bernuansa politik. Sehubungan dengan itu, berbagai perubahan dan

pergeseran dalam politik NU tidak terlepas “Dimensi kepentingan ideologis dan politis”,

yakni kepenti
Ngan mempertahankan dan mengembangkan paham Ahl al-sunnah Wa al-jama’ah dan

kepentingan memperoleh kekuasaan politik dalam pemerintahan. Oleh karena itu, secara

nyata NU menampakkan sikap politiknya, baik dalam percaturan politik diantara sesama

tokoh-tokoh islam (Kalangan modernis)yang sering menampakkan adanya persaingan

dan menimbulkan ketegangan, maupun ketegangannya dengan pemerintah. berbagai

peristiwa apenting berikut ini dapat memberikan gambaran sikap politik NU dalam

percaturan di pentas politik pada masa antara 1952-1984.50

Penglaman politik selama kurang lebih lima tahun bersama Masyumi merupakan

pelajaran berharga bagi NU dalam memasuki babak baru percaturan politiknya, setelah

menyatakan diri sebagai partai politik pada tahun 1952. Para ulama akan terlibat secara

langsung di dalam prmainan politik di samping tetap harus mengurus pesantren, sehingga

era ini menendai perpolitikan pesantren, karena NU tidak bisa di lepaskan dan berbasis

dari pesantren. Kekurangan kader politisi yang matang dan mapan dari kalangan

pesantren menyebabkan NU harys merekrut tenaga-tenaga muda yang berpendidikan,

sebab tidak semua ulama atau kiai pesantren berkesempatan dan tertarik mengurus partai

dan terjun langsung dalam percaturan politik. dalam muktamar di Palembang, NU juga

menyampaikan pokok-pokok pikiran yang berkaitan politik pemerintahanagar segera

mengadakan pemilihan umum.51

Pemilihan umum bagi NU mempunyai makna yang sangat penting dan strategis.

Lewat pemilu ini NU akan mempunyai perwkilan dengan mendudukkan orang-orangnya

di DPR dan konstituante yang akan merupakan arena pembukuan bagi kemampuan

bermain di pentas politik yang sekaligus berfungsi sebagai sarana dalam rangka pencarian

legitimasi kekuasaan politiknya berdasar dukungandari pengikutnya yang selama ini di


ragukan oleh Masyumi. Dengan pelaksanaan yang semakin dekat dan mendesak,

menjadikan persiapan NU relative kurang, sebab waktu yang ada lebih banyak di

gunakan untuk menata dan membenahi intern organisasi, terutama pembentukan

pengurus partai di daerah-daerah (Wilayah dan cabang) sampai ke desa-desa, dengan

memanfaatkan pengurus Jam’iyah NU yang sudah ada. oleh karena itu pada muktamar

ke 20 di Surabaya September 1954, disamping membicarakan masalah diniyah yang

menjadi garapan pokok NU juga membahas masalah strategi yang akan di laksanakan

dalam rangka menghadapi pemilu 1955.52 untuk melapangkan jalan dalam percaturan

politik, pada dasarnya sikap politik NU bersifat Akomodasionis luwes di bidang politik

dan lebih suka mengambil bagian dalam pemerintahan. Diantara langkah-langkah penting

yang menunjukkan sikap akomodasionis NU adalah: mengadakan pendekatan dan koalisi

dengan partai-partai yang seiramadalam tradisi poitiknya dan dekat dengan pusat

kekuasaan, ikut serta dalam percaturan memperoleh kedudukan dalam cabinet, dan

melakukan pendekatan dengan pusat kekuasaan (Presiden). Sehubungan dengan itu, maka

langkah yang dilaksanakan NU adalah mengajak PSII, Perti, dan Masyumi membentuk

sebuah federasi dan ajakan tersebut mendapat tanggapan positif kecuali dari Masyumi,

sehingga pada Agustus 1952 Liga muslimin Indonesia. sebagai badan federasi antara PSII

dan Perti terbentuk di sisi lain dalam banyak hal politisi NU lebih dekat dengan kaum

nasionalis sekuler (PNI) dari pada dengan elite Masyumi yang berpendidikan barat,

karena NU sebagai mana juga PNI, berbasis kuat di jawa. dan di liputi nilai-nilai tradisi

jawa. Kedua partai ini lebih berorientasi ke dalam dari pada keluar dan lebih menghargai

gaya kepemimpinan tradisional dari pada cita-cita demokrasi barat. oleh karena itu, tidak

heran apabila dalam polarisasi hubungan antar partai, kemudian NU menjadi lebih dekat
dengan PSII dan Perti (Kelompok tradisional islam-sekuler), dan menjadi makin dekat

dengan Soekarno. Sebaliknya Masyumi lebih menunjukkan sikap oposisi dan semakin

menjadi penentang soekarno. Akibatnya, dalam berbagai hal NU sering bersilang

pandangan dengan Masyumidalam merespon perkembangan politik.53

Dengan pola hubungan akomodasionis ini mengantarkan NU semakin berperan

dalam percaturan politik nasional selama era kepemimpinan Presidn Soekarno dan

sebaliknya Masyumi semakin terpuruk sampai ahirnya harus bubar pada tahun 1960

keberhasilan ini antara laindi tandai oleh: pertama, perolehan suara yang diraih NU dalam

pemilu pertama (1955) yang menempati urutan ke tiga dari 28 partai yang memperoleh

kursi di DPR. Kedua, tidak pernah absen dalam emerintahan (Kabinet) sejak awal

kehadirannya sebagai partai politik bahkan pada masa krisis menjelang pelaksanaan

demokrasi terpimpin, sampai dengan akhir dekade 1960 an keikut sertaan NU dalam

pemerintahan masih bisa di pertahankan.54 H. Rozikin Daman, Membidik NU Dilema

percaturan Politik NU Pasca Khittah, Gama Media, Yogyakarta, 2001, hal 93-114

Ketika Orde Baru berkuasa, NU menjadi organisasi terpinggirkan. NU dituduh

pernah memiliki hubungan mesra dengan Soekarno sehingga penguasa orde baru

memangkas akses politik NU. Departemen agama tidak lagi di hunu oleh aktifis NU,

seakan jalur politik NU di bending di semua area. Akibatnya, tidak hanya di departemen

agama, di hampir semua wilayahpolitik NU juga termarjinalkan.

Di partai Persatuan Pembangunan (PPP), setelah NU berfusi dalam partai ini

dengan beberapa partai islam lainnya, NU kembali menempati posisi pinggiran. Masa NU

terbesar di berbagai wilayah seakan menjadi Silent Majority (Mayoritas yang bisu)

karena tidak mendapatkan akses untuk menyuarakankepentingandan aspirasi mereka.


Waktu itu warga NU hanya menjadi kumpulan “Suara Politik” yang di sapa ketika

musim pemilihan umum tiba.

Maka, Khittah NU yang mencuat pada muktamar Situbondo 1984 Hendaknya di

maknai sebagai reaksi atas rasa sakit hati yang di derita NU. Khittah NU diarsiteki

kalangan muda NU progresif, di antaranya KH.Ahmad Siddiq dan Gus dur. Intinya

adalah ingin mengembalikan NU ke ide dasar pendirian organisasi massa (Ormas), yakni

sebagai Jam’iyah Islamiyah dan atau ormas islam yang mengurusi masalah social

(Mabarot), Ekonomi (Iqhtishadiyah), pendidikan (Tarbiyah), dan Dakwah.54 Khamami

Zada, Opcit, hal 27-28

BAB III

K0NDISI BANGSA INDONESIA TAHUN 1945

Masa Kedudukan Kolonial Belanda

Pengalaman sejarah Indonesia menunjukkan bahwa hidup dan kehidupan

bangsa ini mempunyai hubungan yang erat dengan keadaan dan kebijaksanaan politik

(dan ekonomi), baik yang dijalankan oleh Negara pada tingkat nasional atau kebijakan

politik (dan ekonomi) mancanegara di tingkat internasional. Kehadiran pemerintah

kolonial belanda dengan berbagai kebijaksanaan politiknya juga telah memberi

pengaruh yang besar terhadap berbagai aspek maritim di Negara kepulauan ini,
termasuk di kawasan pantai barat Sumatra. Kehadiran kaum kolonialis telah

menggiring aktifitas bahari Indonesia umumnya dan daerah-daerah negara kepulauan

ini hususnya kedalam suatu tatanan ekonomi kolonial, sebuah tatanan ekonomi yang

antara lain menciptakan adanya daerah “Pusat” dan “Pinggiran”. Pada tahap

selanjutnya, tidak hanya daerah-daerah di Indonesia yang di jadikan sebagai bagian

dari tatanan kegiatan ekonomi hindia belanda semata, tetapi hindia belanda itu sendiri

juga menjadi bagian tatanan kegiatan ekonomi internasional. Artinya, hindia belanda

sendiri menjadi sebuah daerah dari sebuah pusat dalam tatanan ekonomi dunia global.1

Potret lain dari kolonialisme yang tergambar dalam kegiatan perdagangan dan

pelayaran di pantai barat Sumatra adalah politik “ Subur garap; tandus –tinggalkan”.

Politik ini adalah analog perilaku eksploitatif anak manusia terhadap hutan untuk di

jadikan perladangan atau lahan garapan. Bila sebuah perladangan atau lahan garapan

tidak produktif lagi maka akan di tinggalkan begitu saja. Dengan kata lain gagasan di

atas adalah sebuah gambaran sikap dan politik eksploitatif pemerintah kolonial

terhadap sumber daya yang terdapat di daerah-daerah. Bila sebuah daerah memiliki

sumber daya ekonomi atau posisi geopolitis yang bisa mendatangkan keuntungan bagi

Negara pusat, maka daerah itu akan mendapat perhatian yang besar.2 Gusti Asnan,

Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra, Ombak, Yogyakarta, 2007, hal 12-14.

Selama tiga setengah abad bangsa Indonesia telah dijajah oleh belanda. Pada

masa penjajahan dahulu, Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya, Belanda

telah menjalankan politik kolonial yang terkenal. Adapun politik Kolonial Belanda

yang di praktekkan di Indonesia, antara lain ialah:

Melaksanakan politik “divide et impera”.


Mencekoki rakyat dengan teori kolonial,”White man’s Burden”, mengatakan bahwa

kedatangan bangsa eropa ke Indonesia adalah untuk melakukan tugas suci.

Menanamkan “Values” yang dapat menimbulkan “Inveriority Complex” di kalangan

Bangsa Indonesia.

Dalam melaksanakan politik Kolonialnya, pertama-tama Belanda menjalankan

siasat Adu Domba dan memecah belah bangsa Indonesia. Di pecahnya bangsa in

donesia menjadi berkeping-keping, dan kemudian diadu domba antar suku, antar

daerah, antar golongan, antar agama, bahkan juga sesama kaum muslimin. Dengan

sengaja di carinya jalan dan cara untuk dapat memecah belah Bangsa Indonesia. Sudah

barang tentu dengan timbulnya penyakit kedaerahan, kesukuan, kegolongan, malahan

di antara kaum muslimin juga di tanamkan rasa permusuhan dan kebencian satu sama

lain, ini yang menjadikan pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa, dan menyebabkan

patah serta lumpuhnya kekuatan islam pada waktu itu.

Seperti di ketahui, bahwa Belanda selama di Indonesia tidak hanya melakukan

penjajahan di lapangan politik, ekonomi dan militer saja, akan tetapi juga menjajah di

lapangan kebudayaan. Bahkan bukan rahasia lagi, bahwa kegiatan agama sekalipun

telah di pergunakan Belanda untuk kepentingan politik kolonialnya. Sebagai contoh

misalnya, dengan dalih menjalankan suatu “Mission Sacree” Belanda melakukan pula

“Imperialisme kebudayaan”. Rakyat Indonesia di ajar untuk hidup, makan dan minum,

berpakaian, bersekolah, bercakap, dan bergaul secara Belanda. Sehingga maunya

rakyat Indonesia ini hendak di belandakan dalam segala hal. Di tanamkannya kepada

rakyat bahwa apa saja yang datang dari Belanda adalah serba baik dan modern,

sedangkan yang bukan berasal dari Belanda di nilainya jelek.


Melihat politik Kolonial Belanda yang amat merugikan umat islam dan kaum

muslimin, para alim ulama tidak tinggal diam, melainkan memberikan reaksi spontan

dan menoloak konsepsi Kolonial Belanda yang merugikan umat islam. 3 Solichin

Salam dkk, Sejarah Ringkas Nagdlatul Ulama, Jakarta, 1966, hal 44

Bila kita melihat kembali pada sejarah bangsa Indonesia pada masa silam,

tepatnya pada tahun 1945, tidak sedikit organisasi-organisasi islam atau bahkan yang

lainnya menorehkan tinta emasnya guna memperjuangkan kemerdekaan Indonesia

salah satunya adalah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) peranan dan sepak terjang yang

dilakukan Nahdlatul Ulama sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat

muslim Indonesia pada saat itu. Namun, tidak seperti organisasi-organisasi yang

lainnya Nahdlatul Ulama tidak menyebut kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya.

Pada masa kedudukan Kcolonial Belanda tidak menyurutkan niat dan tekad

para ulama dan santri NU untuk terus menyerukan kemerdekaan, dan menentang

ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan adat budaya bangsa Indonesia seperti yang di

tulis oleh Choirul Anam, tujuan melawan penjajah tampak implisit bila kita menyimak

jawaban kiai Wahab mengenai masalah kemerdekaan sehari sebelum lahirnya NU,

tahun 1926: “tentu, itu sarat nomor satu, umat islam menuju kejalan itu, umat islam

kita tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.” Kemudian ditanya lagi apakah usaha

semacam itu bisa menuntut kemerdekaan. Kiai Wahab menjawab : ini bisa

menghancurkan bangunan perang, kita jangan putus asa kita harus yakin tercapai

negeri merdeka.4 Dari kutipan tersebut sudah jelas bahwa walaupun Nahdlatul Ulama

tidak menyebut kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya namun berupaya dan

memperjuangkan bangsa Indonesia menjadi Negara merdeka tanpa ada intervensi


tekanan Negara lain yang menjajah bangsa Indonesia. Selai itu juga, para ulama

melarang para santri memakai kebudayaan kolonial belanda apabila niat

penyerupaannya itu dimaksudkan untuk keseluruhannya termasuk kesombongannya,

kekafirannya, dan kegagahannya orang belanda.

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan mengambil sikap tegas

dalam urusan keagamaan, dan mengadukkan campur tangan Belanda dalam urusan

agama islam. Peraturan pemerintah mengenai guru-guru sekolah (guru ordonantil)

merupakan sumberutama ketidak puasan dengan memberlakukan administrasi yang

lebih ketat terhadap sekolah-sekolah, termasuk pesantren, penguasaan kolonial

mengancam kehidupan sekolah yang pengelolaannya kurang teratur. NU juga

memprotes ketika tahun 1931 masalah-masalh warisan di tarik dari wewenang

pengadilan agama, artinya hokum adat kembali di berlakukan di jawa, Madura dan

Kalimantan selatan. Bukan semata-mata hokum adat yang menjadi soal, melainkan

penggerogotan kekuasaan pengadilan agama yang merupakan lambing wewenang

kaum muslimin yang lebih menimbulkan rasa tidak senang tersebut. Selama masa

penjajahan, NU juga menentang sebuah rencana undang-undang perkawinan,

keluasaan mengutarakan kritik terhadap agama islam dan meminta supaya

pengetahuan keagamaan para pegawai yang di tugaskan di bagian urusan umat islam

di awasi.3 Penentangan tersebut dilakukan karena hokum-hukumyang berkaitan

dengan pernikahan jauh menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan Hadits.5 Andree

Feillard, NU Vis-à-vis Negara, LKiS,Yogyakarta, 1999, hal 15.

Ibid. hal 16.

Ibid. hal 17
Tampilnya KH. A. Wahid Hasyim sebagai ketua dewan MIAI, jelas merupakan

usaha mengibarkan bendera NU sebagai penggerak persatuan umat islam Indonesia.

Dan kemudian menempatkan posisi umat islam sebagai diperhitungkan oleh pihak

lain, terutama pihak pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Terlebih lagi

penampilan KH. A. Wahid Hasyim di arena percaturan politik cukup gemilang, baik di

masa pra kemerdekaan, revolusi, maupun pada masa kemerdekaan. Semua itu telah

memaksa kita mengakui keterlibatan NU dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam

arti yang seluas-luasnya.6

Dalam muktamar ke 15 pada 15-21 Juni 1940 di Surabaya merupakan

muktamar terahir bagi NU di masa penjajahan Belanda. Pada muktamar tersebut

memutuskan berbagai masalah keagamaan, juga mendesak pemerintah hindia belanda

untuk segera mengadakan perbaikan dan tindakan terhadap beberapa hal, diantaranya

ialah:

Memberikan pertolongan jama’ah haji Indonesia yang menderita di Mekkah akibat

pecahnya perang antara Jerman dan Bbelanda.

Mencabut “Goeroe Ordonanti 1925.

Memberikan kebebasan kebebasan kepada mubaligh dan guru agama untuk

mengajarkan islam.

Memberikan kuasa penuh kepada pengurus masjid untuk mempergunakan kas-kas

masjid bagi kepentingan kemaslahatan islam.

Menindak tegas para penghina islam dan memindahkan pelanggar makam islam

ketempat lain.

Meniadakan pemberian subsidi karena menyalahi prinsip netral terhadap agama.


Mengadakan aksi pengembalian pelajar Indonesia dari Saudi arbia semata-mata karena

pecahnya perang dunia II.

Melarang pemuda Indonesia khususnya pemuda islam untuk memasuki milisi

Bbelanda.

Mengharamkan pemberian sumbangan darah bagi kepentingan militer belanda.7

Beberapa uraian di atas memberikan kesan bahwa, semacam penjajahan

Belanda selain NU tetap berikhtiar memajukan bidang pendidikan, dakwah maupun

sosial, juga peka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan terutama masalah

perjuangan menuju tercapainya kemerdekaan yang hakiki.

Dari pernyataan tersebut diatas bahwa dapat penulis simpulkan ada satu corak

pemikiran yang luas yang dilakukan NU sebagai organisasi islam yaitu pertama,

membentuk dan menjadikan masyarakat Indonesia yang relegius yang di syariatkan

Rosulullah yang tertuang dalam Al-quran dan Hadits. Kedua, menjaga bangsa

Indonesia dari tekanan intervensi bangsa belanda dan yang ketiga, memperjuangkan

kemerdekaan Indonesia walaupun disadari betul bahwa NU berkembang pesat di

bawah penjajahan Belanda. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan

Nahdlatul Ulama, Jatalu Sala, Surabaya, 1985, hal 110

Opcit hal 111

Persiapan Kemerdekaan

Setelah pendudukan belanda berhasil di tekan oleh NU lewat para ulama tokoh dan

aktifis muda, maka persiapan kemerdekaan Indonesia menjadi langkah awal gerakan

Nahdlatul Ulama dalam perjuangan nasional kemerdekaan Indonesia. Meskipun tidak

melibatkan diri secara langsung dalam dunia politik. Para pemimpin NU


memperhatikan juga bentuk Negara akan datang. Pada muktamar XV yang

berlangsung bulan Juni 1940 (Muktamar terahir masa pemerintahan Kolonial

Belanda), suatu rapat tertutup yang di hadiri oleh sebelas ulama di bawah pimpnan

Mahfudz Shiddiq membicarakan calon yang pantas untuk di jadikan presiden pertama

Indonesia mendatang. Sebelas tokoh NU menentukan pilihandi antara dua nama yang

di sebut disitu, yaitu: Soekarno dan Muhammad Hatta. Para Ulama memilih Soekarno

dengan suara 10 banding satu.8 keputusan ini perlu mendapat perhatiankhusus karena

diambil berlangsungnya perdebatanseru mengenai apakah indonesiaakan dijadikan

Negara islam atau bukan? Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, LKiS,

Yogyakarta, 1999, hal 10-11

Kesempatan yang lama di tunggu-tunggu kaum nasionalis untuk berkumpul

guna merencanakan suatu Negara merdeka di masa depan, direalisasikan dengan

bantuan jepang pada tanggal 28 Mei 1945. Keenam puluh dua anggota Badan

Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekan Indonesia atau BPUPKI yang diresmikan

pada hari itu, diberikan kebebasan besar oleh jepang untuk membicarakan persoalan-

persoalan konstitusional dan ideologi. Bagi Soekarno dan rekan-rekan nasionalisnya

iilah kesempatan untuk membuktikan bahwa penghinaan yang diderita di bawah

penguasa jepang tidaklah sia-sia. Terutama Soekarno yang mengobarkan semangat

sehinggapanitia didorong mengambil suatu kesimpulan dengan kecepatan yang

mencengangkan pihak jepang.

Setelah sidang selama tiga hari, yang terutama di pergunakan untuk membahas

manifesto-manifesto ideologis, BPUPKI membentuk suatu sub komite yang terdiri

dari tujuh orang anggota di bawah pimpinan Soekarno untuk menyelesaikan persoalan
agama yang ruwet. Panitia lengkap bertemu lagi dari tanggal 1 s/d 17 Juli dalam

suasana yang lebih tegas dan dalam waktu singkat menerima sebuah Undang-undang

Dasar yang terdiri dari lima belas pasal minoitas paling sulit merupakan wakil-wakil

muslim yang selalu menyampaikan pendapat bahwa di butuhkan suatu Negara islam di

mana syari’at agama berlaku. Posisi Soekarno yang di gariskan dalam pidatonya

pacasila yang termasyhur pada tanggal 1 Juni, menekankan bahwa Negara harus di

dasarkan atas “Percaya kepada Allah yang maha Esa”, apakah disembah menurut

agama islam atau Kristen. Kalau pihak islam menghendaki lebih dari itu, mereka harus

memperjuangkannya melalui proses demokratis.9 wakil-wakil muslim sama sekali

tidak puas dan Soekarno mengerahkan seluruh kuasa kepribadiannya untuk mencapai

suatu kompromi.

Pada tanggal 22 Juni sub komite menghasilkan suatu konsep mukadimah

Undang –undang dasar yang mengakui “keharusan bagi mereka yang memeluk agama

islam untuk mematuhi syari’at islam.8 sidang BPUPKI pada bulan Juli membuat

konsesi selanjutnya bahwa presiden harus seorang islam. Walaupun tidak memenuhi

harapan-harapan umat islam, ini merupakan hasil maksimal dalam upayanya

mendirikan Negara islam. Anthony J.S.Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka

Sinar Harapan, Jakarta,1996, hal 31

Ibid hal 32

Pada tanggal 06 Agustus 1945 sebuah. Bom Atom di jatuhkan di atas kota

Hirosima di Jepang, oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat

tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi

PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk lebih menegaskan keinginan


dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 09 Agustus 1945, bom

atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah

kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen inipun di manfaatkan oleh Indonesia

untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai

mantan ketua BPUPKI di terbangkan ke dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon,

Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka di kabarkan bahwa pasukan

Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada

Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan

Syahrirtelah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada

sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI,

dan menolak bentuk kemerdekaan yang di berikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir

member tahu penyair Chairil Anwar tentang di jatuhkannya bom atom di Nagasakidan

bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari sekutu untuk menyerah.10

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di dalat,

Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah

Jepang akan segera memberikan kemerdekaan. Dua hari kemudian, saat Soekarno,

Hatta dan Radjiman kembali ketanah air dari Dalat, syahrir mendesak agar Soekarno

segera memproklamasikan Kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat

sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada

sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan

pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu. Tentara dan
angkatan laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena jepang telah berjanji akan

mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Syahrir, Wikana, Darwis,

dan Khaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas

desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk

segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tu tidak ingin

terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat

proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak

menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh

Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan

pemberian Jepang.11

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan

kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Rapat

PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta

tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok. Para

pemuda pejuang, termasuk Khaerul Saleh yang tergabung dalam gerakan bawah tanah

kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco

Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka menculik Soekarno

(Bersama Fatmawati dan Guntur yang baru usia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya

ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta

tidak terpengaruh oleh Jepang. Disini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa

Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apapun

resikonya.

Di Jakarta, golongan muda, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo
melakukan perundingan. Mr. Ahmad Aeobardjo menyetujui untuk memproklamasikan

kemerdekaan indonesia di Jakarta. Maka di utuslah Yusuf Kunto untuk mengantar

Ahmad Soebardjo kerengasdengklok untuk menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh

Hatta kembali ke Jakarta. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera

memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilan kekuasaan.

Ahirnya Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Letnan Jendral

Moichiro Yamamoto, komandan angkatan darat pemerintah militer Jepang di Hindia

Belanda dengan sepengetahuan Mayor Jendral Otoshi Nishimura, kepala departemen

urusan umum pemerintah militer Jepang. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan

kanan komandan Jepang di Jawa. Soekarno menjadi yakin bahwa Jepang telah

menyerah kapada sekutu, dan tidak mempunyai wewenang lagi untuk memberikan

kemerdekan.

Setelah itu mereka bermalam dikediaman Laksamana Maeda untuk melakukan

rapat dan menyiapkan teks proklamasi, rapat tersebut di hadiri oleh Ir. Soekarno, Drs.

Moh Hatta, Ahmad Soebardjo, Soekarni dan Sayuti Melik. Dalam penyusunan teks

proklamasi kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02:00-04:00 dini hari. Teks

proklamasi di tulis di ruang makan di kediaman Soekarno, para penyusun teks

proklamasi itu ialah Ir. Soekarno, Drs, Moh . Hatta, dan Mr, Ahmad Soebardjo.

Konsep teks proklamasi di tulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M.

Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Sudiro. Sukarni mengusulkan agar yang menanda

tangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Atas nama Bngsa

Indonesia. Teks proklamasi inonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya. Pada

tanggal 17 Agustus 1945 Soekano membacakan teks Proklamasi, kemudian bendera


Merah Putih, yang telah di jait oleh ibu Fatmawati, di kibarkan.12

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-undang Dasar

sebagai dasar Negara Republik Indonesi, yang selanjutnya di kenal sebagai UUD 45.

Dengan demikian terbentuklah pemerintah Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk

Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang di lakukan sepenuhnya

oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan di bemtuk kemudian.

http:www.topix.com/world/Malaysia/T70N1UH1UM90MCLBG

BAB IV

PERANAN NAHDLATUL ULAMA DALAM PERUMUSAN IDEOLOGI

NEGARA INDONESIA

Piagam Jakarta Dan Perumusan Pancasila Tahun 1945

Pada tanggal 18 Juni 1945 di bentuklah sebuah panitia 9 orang anggota untuk

merumuskan rancangan keputusan. Panitia 9 itu ialah Drs. Moh. Hatta, Subardjo,

Maramis, Ir. Soekarno, Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Abukusno Tjokorsujoso,


dan Agus Salim. selanjutnya panitia inilah yang berhasil merumuskan suatu

persetujuan kompromi antara dua belah pihak yang oleh Sukiman di sebut gentlemen

agreement dan oleh yamin di sebut Jakarta Cahrter atau piagam jakarta.1

Dalam teks Piagam Jakarta “Pembukaan” Bahwa sesungguhnya kemerdekan

itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus

dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Dan

perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang

berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu

gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu berdaulat, adil dan makmur. Atas

berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan di dorongkan oleh keinginan

luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia

menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk

suatu pemerintah negara Indonesia merdeka yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah

Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik

Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ketuhanan, dengan

kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,, dan kerakyatan yang di

pimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan dengan

mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.2

Dari rangkaian pemikiran yang akan dijadikan sebagai dasar ideologi, corak
berfikir dan pandang bangsa indonesia yang berhasil dirumuskan oleh panitia 9

(sembilan) atas dasar satu persetujuan dan kompromi kedua belah pihak antara

golongan islam (NU) dan kebangsaan yang Sukiman sebut gentlement agreement dan

oleh yamin di sebut Jakarta cahrter atau di sebut dengan sebutan piagam jakarta.

Namun dari piagam jakarta yang dirumuskan oleh panitia 9 tersebut menuai protes

dari golongan protestan (Latuharhary) keberatan dengan kalimat yang terdiri dari tujuh

kata “Dengan kewajiban menjalankan menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya.3” akibatnya mungkin besar terhadap agama lain. Karena itu diminta

supaya dalam UUD diadakan pasal yang terang, kalimat tersebut bisa juga

menimbulkan kekacauan misalnya terhadap adat istiadat. Agus Salim menjawab,

pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru dan pada umumnya

telah selesai.

Kontroversi mengenai tujuh kata itu terus berlangsung, meskipun untuk

sementara untuk diredakan oleh ketua sidang. Soekarno yang berkali-kali menegaskan

bahwa kalimat itu merupakan kompromi yang bisa di capai dengan susah payahdan

melihat sudah tidak ada keberatan yang diajukan dalam sidang panitia 9 (sembilan),

maka pokok-pokok dalam preambule dianggap sudah diterima.4 namun ketika sidang

membicarakan detil pasal-pasal UUD, Wahid Hasyim mengaitkan salah satu inti yang

telah di sepakati mengenai preambule dengan pasal yang mengatur tentang presiden

dan wakil presiden dan mengenai agama dan negara. Wahid Hasyim mengusulkan

perubahan pasal 4 ayat 2 agar hanya orang yang beragama islam yang dapat diterima

sebagai presiden dan wakil presiden, dan agama negara ialah islam, dengan jaminan

kemerdekaan bagi penganut agama lain untuk beribadah menurut agama masing-
masing.5

Menurut Supomo, sistem negara berdasar ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya, berarti negara memperhatikan

keistimewaan penduduk yang terbesar yang beragama islam. Rumusan itu merupakan

hasil gentlement agreement dari dua golongan islam dan kebangsaan. Artinya, sudah

dapat di capai kompromi supaya kita bangsa indonesia dapat bersatu atas dasar

memberi dam menerima. Prinsip dari gentlement agreement ialah bahwa kedua belah

pihak tidak boleh menghendaki lebih dari apa yang telah di kompromikan. Di ingat

pula bahwa kedua belah pihak telah di wakili dalam panitia, dari golongan islam

Wahid Hsyim dan Agus Salim sedang pihak lain Maramis dan Latuharhary.6

Sekali-kali bukan maksudnya akan mengganggu, dan membatasi golongan-

golongan lain yang beragama lain, saka sekali tidak. Itu juga di terangkan. Memang

kita menghendaki dasar ke-tuhanan dan dasar kemanusiaan, dan atas dasar-dasar itu

dengan sendirinya kita harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agama lain dan beribadah menurut kepercayaan masing-masing...ini adalah

suatu kompromis, artinya bahwa kaum kebangsaan atau salah seorang yang bukan

beragama islam tidak boleh-umpamanya-minta atau mendesak supaya mengurangi

jaminan kepada kaum islam, sebab sudah menjadi kompromis, perjanjian moral yang

sangat luhur, dan begitu sebaliknya....janganlah golongan agama minta jaminan lebih

lagi untuk di tambahkan dalam pasal apapun...jadi kedua belah pihak sudah cukup

terjamin kepentingannya. Golongan kebangsaan tidak akan mendesak terhadap agama

islam dan sebaliknya agama islam tidak akan meminta jaminan lagi terhadap agama

lain...tetapi saya kemukakan lagi bahwa hal itu sudah menjadi gentlement agreement
yang tidak boleh di kurangi dan di tambah.7 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan

Islam di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 1998, hal 244

Ibid hal 245

Ibid hal 246

Ibib hal 249

Ibid hal 250

Bertolak pada kontroversi yang terjadi tentang perumusan UUD dan Pancasila

pada tahun 1959, NU bersedia kembali ke UUD ’45 dengan syarat Piagam Jakarta

diakui “Menjiwai” dan “Satu rangkaian” dengan Undang-undang dasar tersebut.

Meskipun pengurus besar NU merasa puas dengan kompromi ini, namun tidaklah

demikian halnya dengan beberapa cabang daerah. PBNU terpaksa menyebarkan

edaran yang menjelaskan usaha-usaha yang telah di lakukan untuk mendukung piagam

jakarta. dan usaha-usaha itu tidak berhenti disitu. Pada tahun 1962, dalam

muktamarnya yang ke 23 Nahdlatul Ulama meminta pemerintah supaya

mengupayakan seluruh perundang-undangan organik dari UUD secara otomatis di

jiwai oleh piagam Jakarta.8 artinya bahwa seluruh aktifitas harus di jiwai dengan UUD

(Piagam Jakarta) karena UUD dijadikan sebagai falsafah dan tolak ukur dalam

menjalankan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua itu keterikatan

pada Piagam Jakarta di tegaskan pada bulan-bulan berikutnya pada pertemusn ke-7

para pengurus partai, bulan April 1966 di bogor, di keluarkan sebuah statemen yang

menyatakan:

Karena Negara di landaskan pada pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang
tudak dapat di pisahkan dari Piagam Jakart, jalan terbuka untuk mewujudkan cita-

cita partai. Sebab, bila Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945benar-benar di

jalankan dalam kehidupan negara dan bila piagam jakarta benar-benar di jalankan

dalam Masyarakat, hasilnya adalah masyarakat yang sesuai dengan cita-cita partai.

Dengan demikian, perjuangan partai harus di tujukan untuk mempertahankan

pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan piagam jakarta yang mengilhaminya.9

Melihat hal tersebut Nahdlatul Ulama tidak menuntut di lakukannya

perubahan Undang-undang Dasar 1945 demi piagam jakarta, namun lebih pada

penjabaran Dekrit 5 Juli 1959 secara islami. Nahdlatul Ulama tidak

mempertentangkan Pancasila dan Piagam Jakarta seperti ketika dalam majlis

Konstituante, melainkan memadukan keduanya. Andree Feillard, NU Vis-a-Vis

Negara, LkiS, Yogyakarta, 1999, hal 121

Opcit hal 123

Opcit hal 124

Dasar-dasar Pemukiran NU Dalam Menerima Pancasila Sebagai Ideologi Negara

Mengutip pendapat Drs. Moh. Hatta yang menegaskan bahwa dalam negara

kesatuan seperti indonesia, masalah kenegaraan harus di pisahkan dari masalah agama.

Selanjutnya Supomo mengatakan adanya dua pendapatmengenai masalah tersebut.

Pendapat pertama, dari para ahli agama menyatakan bahwa indonesia haruslah

menjadi negara islam. Dan pendapat kedua, yang di sarankan Drs. Moh. Hatta, satu

negara kesatuan nasional yang memisahkan masalah kenegaraan dari masalah

keagamaan, dengan kata lain negara indonesia bukan negara islam.10

Supomo mengingatkan agar jangan sekedar meniru negara lain di timur tengah
yang dianggap sebagai negara islam sebab berbagai kondisi dan latar belakangnya

berbeda. Dikatakan oleh Supomo bahwa di negra-negara islam sendiri juga terjadi

perbedaan, khususnya mengenai bagai mana syari’ah islam harus di sesuaikan dengan

kebutuhan internasional, dengan persaratan masa kini, dengan pikiran modern. ‘Jadi

seandainya kita disini mendirikan negara islam, pertentangan itu pasti akan timbul

juga’.8 Supomo mengutip pendapat Muhammad Abduh bahwa syari’ah islam bisa di

ubah melalui ijma asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Juga di kutip

pendapat Ali Abd Al-Raziq yang dikatakan lebih radikal, bahwa agama terpisah dari

hukum yang mengenai kepentingan negara. Dengan demikian dapat di simpulkan

bahwa dalam negara-negara islam sendiri masih ada pertentangan pendirian tentang

bagaimana seharusnya bntuk hukum negara, supaya sesuai dengan aliran.11 M. Ali

Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam

Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hal 242

Ibid hal 243

Inilah gejolak perebutan ideologi bangsa, apakah indonesia akan di jadikan

sebagai negara islam atau negara demokrasi karena melihat sebagian besar penduduk

indonesia kebanyakan beragama islam dan para ulama ikut serta dalam perebutan

kemerdekaan RI dari tangan penjajah.

Sementara menurut Kyai Ahmad, pencantuman asas islam sama dengan

mencantumkan asas marxisme, libralisme, dan sebagainya. Berarti, menjadikan islam

sejajar dengan isme-isme lain. Islam yang di jadikan asas adalah islam dalam arti

ideologi, bukan agama. Ideologi adalah karya manusia, tidak akan mencapai derajat

menjadi agama, tidak terkecuali pancasila. Dalam hubungan antara agama islam dan
pancasila, keduanya dapat berjalan saling menunjang dan saling mengokohkan.

Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh di pertentangkan. Juga tidak harus di

pilih salah satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain.12 Khamami

Zada dkk, Nahdlatul Ulama Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan,

Kompas, Jakarta, 2010, hal 79

Lain halnya NU penerimaan NU atas pancasila benar-benar dipikirkan oleh

NU secara matang dan mendalam. NU adalah organisasi kemasyarakatan yang

pertama menuntaskan penerimaannya atas pancasila.13 sementara Muhammadiyah

menerima pancasila setelah terbitnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang

organisasi kemasyarakatan.13 penerimaan Nahdlatul Ulama terhadap pancasila bukan

hanya omong kosong belaka namun ada dasar yang melatarbelakangi sehingga NU

menerima pancasila sebagai ideologi negara.

Konsep Fitrah

Penerimaan NU benar-benar telah di pikirkan dari sudut pandang

keagamaan. Dalam muktamarnya NU memahami ulang dasar-dasar keagamaannya

dan dari sana merumuskan sikapnya terhadapa perkembangan yang sedang

dihadapinya. Dasar-dasar keagamaan paham Ahlusunnah Wal Jama’ah di jabarkan

sebagai berikut:

Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa islam adalah agama

yang fithri, yang bersifat menyempurnakansegala kebaikan yang sudah di

milikioleh manusia. Faham keagamaanyang di anut oleh Nahdlatul Ulama bersifat

menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta

ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan
menghapus nilai-nilai tersebut.14

Fitrah adalah dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk

menemukan tuhan, demikian Ali Issa Othman mngawali bukunya tentang manusia

menurut Al-Ghazali.15

Bila di analisis lebih lanjut, maka pengertian islam menurut Al-

Qur’an mencakup hal-hal sebagai berikut: sebagai mana di rumuskan oleh

Othman,

Pertama: Islam dari Kosmos

Kedua : Islam dari segala yang bernyawa (dawab) dan tidak bernyawa

Ketiga : Islam dari semua manusia, baik sukarela maupun terpaksa

Keempat : Islam dari mereka yang mengikatkan diri kepada Allah secara

suka rela

Kelima : Islam dari mereka yang mengikuti agama dari Allah, islam di

turunkan melalui Muhammad, dengan di dahului oleh Nabi-nabi

lainnya.

Dengan kata lain islam secara suka rela atau terpaksa dan hal itu adalah

konsekuensi, segala sesuatu adalah ciptaannya sebab tidak ada di dalamnya yang di

luar jangkauannya.16

Itulah gambaran dasar pemikiran NU dalam menerima pancasila sebagai

ideologi negara di lihat dari dasar fitrah yang titik sudut pandangnya didasarkan atas

islam sebagai agama yang dinamit. Dan ketika NU mulai mengambil sikap untuk

kembali menjadi organisasi keagamaan maka ia dapat menilai secara lebih realistis.

Pancasila di nilai sebagai falsafah bangsa sedangkan agama adalah wahyu. Pada
dasarnya sila-sila dalam pancasila tidak bertentangan dalam ajaran islam. Dalam

deklarasi termaktub penerimaan atas pancasila terputuskan sebagai dasar dan jalan

bagi NU untuk menjalankan syari’at (Hukum agama islam).17

Konsep Ketuhanan

NU menilai rumusan ketuhanan yang maha Esa menurut pasal 29

(Ayat 1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila lainnya mencerminkan tauhid menurut

pen

gertian keimanan islam. Pasal 29 UUD 1945 berbunyi: Negara berdasarkan atas

ketuhanan Yang Maha Esa. Secara teoritis terdapat empat kemungkinan hubungan

antara negara dan agama:

Negara memperalat masyarakat politik.

Agama menguasai masyarakat politis. Dengan demikian pemerintah dianggap

dilakukan menurut kehendak Ilahi seperti di wahyukan menurut kepercayaan

agama tertentu.

Agama dan negara di pisahkan. Itu dapat di lakukan secara radikal dan dalam

semangat anti agama, sehinggamerugikan agama.

Pola pembedaan dan kerjasama di antara negara dan agama tanpa

mencampuradukkan kedua itu: misalnya seperti di cita-citakan dalam negara

pancasila yang murni di indonesia.

Perinsip ketuhanan yang merupakan pokok perdebatan sengit

diantara kalangan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler sejak sebelum

kemerdekaan diselesaikan secara tuntas oleh Nahdlatul Ulama dengan menyatakan

bahwa sila itu mencerminkan tauhid islam. Mencerminkan berarti membayangkan


atau menggambarkan sesuatu perasaan, keadaan, batin, dan sebagainya.18

Pemahaman Sejarah

Pertimbangan di atas dalam menerima pancasila di perkuat oleh

muktamar dengan mengetengahkan peran umat islam menentang penjajahan dan

mempertahankan kemerdekaan bangsa. Beberapa pokok pikiran KH. Ahmad

Siddiq menegaskan:

Perjuangan umat islam indonesia untuk menolak penjajahan dan memperjuangkan

kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah telah berlangsung sejak lama.

Ketika perjuangan merebut merebut kemerdekaan sudah mendekati

keberhasilannya, umat islam memberikan saham yang sangat besar dalam

persiapan lahirnya indonesia merdeka.

Setelah Negara Repubik Indonesia di proklamasikan, umat islam tanpa ragu-ragu

membela dan mempertahankan kemerdekaan itu, bukan saja sebagai

kewajiban nasional, melainkan juga sekaligus sebagai kewajiban agama.

Ketika refolusi fisik telah selesai, umat islam memberikan saham pula dalam

pengisian kemerdekaan yang di capai dengan penuh pengorbanan.19

Dari rangkaian dasar pemikiran NU yang di tuangkan dalam konsep

fitrah, ketuhanan dan sejarah secara mutlak NU menerima pancasila sebagai

dasar pandang, corak berfikir, falsafah dan ideologi negara sebagai acuan

dalam mengembangkan ide pokok fikiran serta perencanaan pembangunan

indonesia di masa yang akan datang.

Penerimaan NU atas pancasila di tegaskan di didalam anggaran Dasar.

NU menerima dengan panjang lebar ia menerima dengan sikap positif,


menerima dalam rangka perjuangan bangsa dan negara mencapai masyarakat

adil dan makmur. Yang penting bagi NU adalah pembedaan (Bukan

pemisahan) asas berarti pengakuan atau dukungan terhadap negara di mana ia

hidup dan bergerak dan negara itu diakui sah secara islam, sedangkan Aqidah

menyatakan dengan tegas ciri-ciri keislaman yang di anutnya yaitu Ahlussunah

Wal jama’ah. Perubahan anggaran dasar merupakan penjabaran langsung dan

tegas dari perkembangan pemikiran keagamaan di dalam NU, kalau negara

adalah final, seluruh bangsa khususnya umat islam dan kalu wawasan

keagamaan negara sudah di akui sah, maka pencantuman pancasila sebagai

asas merupakan suatu konsekuensi logis. Karena persoalan pancasila sudah

tuntas maka yang tinggal sekarang bagi NU adalah bagaimana memberlakukan

islam menurut aqidah (keyakinan) Ahlusunnah Wal Jama’ah di bumi negara

pancasila.20 Einar Martahan Sitompul, M.th. NU dan Pancasila, Pustaka

Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal 168

Ibid hal169

Ibid hal 170

Ibid hal 173

Ibid hal 174

Ibid hal 176

Ibid hal 180

Ibid hal 181

Ibid hal 187

Langkah-langkah NU Sebelum Kemerdekaan


Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan di tengah-tengah

bublik masyarakat indonesia yang di janjikan jepang, NU sebagai organisasi islam

terbesar di indonesia yang membawa pengaruh besar terhadap kemerdekaan,

pembuatan Piagam Jakarta dan lain-lain sebagainya. Ada langkah-langkah yang di

ambil NU berkenaan dengan sebelum kemerdekaan indonesia sesuai dengan anggaran

dasar 1926.

Nahdlatul Ulama (NU) tetap mengembangkan islam yang berlandaskan ajaran

keempat Mazhab dengan tujuan:

Mempererat persatuan di kalangan umat.

Meneliti kitab-kitab yang akan di pergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan

ajaran Ahlusunnah Wa al jama’ah.

Mnyebarkan ajaran islam yang sesuai dengan ajaran empat Mazhab.

Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan islam dan memperbaiki organisasinya.

Membantu pembangunan mesjid, suarau dan pondok pesantren serta membantu

kehidupan anak yatim dan orang miskin.

Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.21

Nahdlatul Ulama mengirim utusannya ke Raja Sa’ud di tanah suci Mekkah agar di

berlakukannya kemerdekaan (Kebebasan) menjalankan salah satu dari ke empat

mazhab

Nahdlatul Ulama meminta kepada pemerintah Belanda agar pendidikan agama islam

di masukkan di dalam kurikulum sekolah-sekolah umum.

Nahdlatul Ulama dalam melakukan sesuatu hal dengan Bermusyawarah

Membangun sikap toleransi dan terbuka denga golongan islam lainnya.


Membentuk Organisasi GAPI (Gabungan Aksi Politik Indonesia) dan MIAI (Majlis

Islam A’la Indonesia) sebagai awal dan menghimpun kekuatan dalam menangkal

serangan penjajah.

Nahdlatul Ulama berperan menjadi partai politik agar menyesuaikan diri dengan

perkembangan dan keadaan asal di dalam dasarnya tidak bertentangan dengan

pokok-pokok islam.22

Nahdlatul Ulama dibawah pimpinan KH. A. Wahid Hasyim, NU mulai

nampak zaman baru, yaitu zaman perjuangan politikbersama golongan pergerakan

lainnya agar NU seperti yang dikatakannya sendiri, senantiasa dapat mengikuti dan

menyesuaikan diri dengan perkembangan, asal di dalam dasarnya tidak bertentangan

dengan pokok-pokok islam.23 Beberapa bulan setelah bangsa indonesia

memproklamasikan kemerdekaan (17 Agustus 1945), NU Mmenutup periode sebagai

organisasi keagamaan (Jami’yah diniyah) dengan gemilang , NU mengeluarkan

Resolusi Jihad. (Resolusi Perjuangan) pada tanggal 22 Oktober 1945 (Tiga minggu

sebelum pertempuran10 November di Surabaya di kemudian hari tanggal tersebut di

tetapkan sebagai Hari Pahlawan yang mengajak umat islam menentang aksi

pendudukan tentara sekutu.23 Resolusi itu berbunyi:

Kemerdekaan Indonesia yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib

di pertahankan.

Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah yang sah, wajib di bela dan di

selamatkan.

Musuh Republik Indonesia, terutama belanda yang datang kemudian dengan

membonceng tugas-tugas tentara sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang


bangsa jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk

kembali menjajah indonesia.

Umat islam terutama Nahdlatul Ulama mengankat senjata melawan belanda dan

kawan-kawannya yang hendak kembal menjajah Indonesia.

Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang islam

(Fardu ain) yang berada pada jarak radius 94 km (Jarak dimana umat islam di

perkenankan sembahyang jama dan qasar).24

Kita melihat betapa NU sangat prihatin terhadap Negara Indonesia

yang di tegaskannya harus di bela sebagai kewajiban menjalankan tugas

keagamaan.25 Ia menyadari sepenuhnya bahwa Pemerintah Republik Indonesia

adalah hasil perjuangan eluruh rakyat indonesia termasuk NU. Didalam semangat

kegamaan NU ikut membela kemerdekaan bangsa Indonesia sehingga umat islam

terasing secara keagamaan dengan semangat perjuangan bangsa.

Demikian penulis gambarkan yang tercermin dalam bingkai

Nahdlatul Ulama dalam lanhkah-lanhkahnya yang di ambil NU sebeluk

kemerdekaan Indonesia diproklamirkan yang pada tujuannya adalah

mempersatukan bangsa Indonesia, umat islam khususnya agar penindasan yang

dilakukan para penjajah dapat di tepis di samping itu pula ujung tombak dari

peranannya adalah menyelaraskan serta menyeimbangkan antara dasar-dasar

Ideologi negara dengan hukum-hukum islam, serta fatwa ulama tidak bertabrakan

dan tidak berat sebelah. Einar Martahan Sitompul M.th. NU dan Pancasila,

Pustaka Sinar Harapan, 1989, hal 77-93

Penerimaan NU Terhadap Pancasila


Telah di singgung bahwa pada dasarnya Nahdlatul Ulama (NU) menerima

Pancasila melihat tolak ukur yang sangat relevan dan dinamis serta bersifat terbuka

dalam menerima perubahan zaman sehingga pancasila di jadikan sebagai dasar

ideologi Bangsa. Kerangka yang mungkin baik untuk di kembangkan saat ini adalah

mendudukkan agama dan pancasila pada sebuah pola hubungan yang jelas dan

fungsional. Selama ini pancasila di lihat sebagai pengatur lalu lintas hubungan antar

agama belaka, agar tidak timbul pertentangan hebat antara para pemeluk berbagai

agama.

Memang benar, agama dan pancasila tidak boleh di identikkan secara

menyeluruh, karena fungsi masing-masing saling berbeda. Pancasila berfungsi sebagai

landasan hidup berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, menjadi kerangka

kemasyarakatan kita sebagai bangsa. Dalam keadaan demikian, pancasila haruslah

mewadahi aspirasi agamadan menopang kedudukannya secara fungsional. Agama

merupakan landasan keimanan warga masyarakatdan menjadi unsur motifasi, yang

memberikan warna spiritual kepada kegiatan mereka.26 Agama adalah faktor utama

yang memberikan perspektif dinamis bagi kehidupan dalam pengertian yang paling

dasar pertanggungan jawab manusia kepada sang maha pencipta.

Sikap menerima dan menolak, yang di lakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU)

terhadap soal-soal kebangsaan dan kenegaraan, semata-mata karena unsur agamis, plus

historis. NU merasa memegang amanah bagi kelestarian ajaran islam di indonesia, dan

segala hal yang brkaitan dengan upaya-upaya yang mengancam tradisi dan keislaman,

biasanya juga mengancam eksistensi kebangsaan dan kenegaraan. Hal ini sudah di

buktikan oleh sejarah republik, sejak zaman kolonial sampai saat ini. Bahwa secara
ideal maupun real, konstelasi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, sama sekali tidak

bisa dilepaskan dengan dinamika nilai-nilai islam di dalamnya, yang punya sifat-sifat

universal dan khusus, punya sifat mendunia, dan punya sifat yang nasional-

kebangsaan.27

Oleh sebab itu, setiap upaya-upaya ideologis ataupun politis yang mengancam

pancasila, selalu berhadapan dengan NU. Sementara pancasila sendiri, memiliki

sejarah dinamika yang mengalami gelombang pasang surut. Namun sejarah

membuktikan ketika pancasila mulai di praktekkan dan di terjemahkan, sebagai arti

yang melenceng dari “Ruh” dan hakikat sebenarnya, sebagai mana kemauan dari para

pendiri negrara ini, maka akan selalu muncul ketidak stabilan bangsa ini. Manakala

pancasila, di tafsirkan menurut kemauan dan kepentingan aliran atau kelompok,

bahkan kepentingan ideologi tertentu, yang menyimpang dari nilai-nilai tauhid, akan

terpeleset dalam sejarah. Begitu pula ketika pancasila hanya ada dalam mulut dan

nampak pada kulit-kulit kebudayaan, kelak spirit kebangsaan dan kenegaraan

terancam kehancuran.28

Nahdaltul Ulama (NU) melihat ideologi sebagai realitas historis, oleh karena

itu, ideologi merupakan cerminan kultur suatu bangsa. Walaupun cerminan ideologis

tersebut memberikan warna islami, tidak berarti bahwa ideologi yang demikian

tersebut di klaim sebagai “Ideologi Islam”.

Islam hanya patut di kaitkan dengan agama sementara ideologi hanyalah

instrumen, dan suplemen bagi nuansa kebangsaan dimana umat beragama hidup

bersama dalam suatu ikatan ideologis itu sendiri. Bagi islam, ideologi hanyalah

perangkat belaka. Bukan sebagai tujuan atau sebagai sesuatu yang di perebutkan.
Ideologi adalah refleksi dan dilahirkan oleh sejarah, diproduk dalam fikiran, tidak bisa

dijadikan landasan keimanan dan keyakinan dalam beragama. Tetapi ideologi di

perlukan untuk menjaga kelestarian kehidupan beragama itu sendiri.

Nahdlatul Ulama (NU) menerima pancasila, karena selain hasil kesepakatan

wakil-wakil bangsa, pancasula tidak bertentangan dengan doktrin Ahlusunnah Wal

Jama’ah. Dengan kata lain, islam akan berkembang di Indonesia, manakala pancasila

menjadi landasan ideologisnya. Sebaliknya, akan semakinpelik persoalannya,

manakala ajaran islam di formalkan untuk kepentingan-kepentingan sejarah ke

indonesia.29

Umat islam memang pernah mengalami fase”perdebatan ideologis”, dalam

proses pembentukan landasan kebangsaan dan kenegaraan. Apalagi, sebelum pancasila

terumuskan sebagai mana adanya saat ini, warna islam begitu formal, sebagaimana

tertera dalam Piagam Jakarta. Kenyataan ini mewarnai perdebatan ideologis, setelah

akhirnya mengalami jalan buntu dan “dead lock” sejak dekrit presiden 5 Juli 1959

rumusan ketatanegaraan, dan kebangsaan indonesia, kembali kepancasila dan UUD

1945. namun, persaingan ideologis terus berlanjut, karena justru munculnya ancaman

ideologi itu sendiri. Situasi ini baru selesai, setelah dengan tegas, di sepakatinya,

pancasila sebagai satu-satunya asas bernegara dan berbangsa. Muhammad Lukman

Hakim, NU di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat, Yayasan

Pondok PETA, Tulungagung, 1994, hal 56

Ibid hal 57

Ibid hal 58

Ibid hal 61
Ibid hal 62

Disamping itu pula penerimaan Ulama (NU) atas pancasila di tegaskan dalam

anggaran dasar. NU menerima dengan panjang lebar, NU menerima dengan sifat

positif menerima dalam rangka perjuangan bangsa dan negaramencapai masyarakat

adil dan makmur. Penerimaan atas pancasila sudah di muat didalam muqaddimah

(Pembukaan) anggaran dasar, bahwa kemaslahatan dan kesejahteraan warga Nahdlatul

Ulama adalah bagian mutlak dari kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat

Indonesia, maka dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yang

menjadi cita-cita sluruh masyarakat indonesia, dengan Allah SWT, Organisasi

Nahdlatul Ulama berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan

beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.30

Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahnya

memperoleh dasar kokoh, yang memerintahkan berbuat benar melaksanakan keadilan,

kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan. Dengan politik pemerintahan yang

berpegang kepada moral yang tinggi di ciptakan tercapainya “Suatu keadilan bagi

seluruh Rakyat Indinesia”. Lembaga Soekarno Hatta, Sejarah Lahirnya UUD 1945

dan Pancasila, Intidayu Pres, Jakarta1986, hal 56.

Dengan menerima pancasila sekaligus NU juga menyatakan dirinya kembali

menjadi organisasi keagamaan yang terkenal dengan semaboyan Kembali Kepada

Khittah (Semangat )1946. Suatu langkah untuk mengukuhkan kembali peranan ulama

sebagaimana hakikatnya ketika didirikan tahun 1926, agar ulama memegang kendali

sepenuhnya dalam peranan NU sebagai organisasi keagamaan (Jamiah diniyah). Sebab


bila NU sudah mengakui negara dan pancasila sah menurut islam maka peranan

sebagai partai politik menjadi tidak relefan lagi. Apalagi NU sudah menyadari selama

menjadi partai poalitik ia telah banyak menghabiskan tenaga untuk prestasi politik

sedangkan usaha-usaha keagamaan terbengkalai.31 Einar Martahan Sitompul, NU

dan Pancasila, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal 187

Dari pernyataan tersebut NU menetapkan dan menggambarkan sebagai eksperi

dari penerimaan terhadap pancasila, sehingga dalam bertingkah laku sebagai warga

masyarakat harus sesuai dengan pancasila, dan ketika mengambil sebuah kebijakan

oleh elite politik juga bersandar atas pancasila agar dampak yang di timbulkan dari

sebuah pengambilan kebijakan publik tidak berdampak negatif demi kesejahteraan

rakyat, jadi antara pancasila dan agama berada di tengah-tengah beground bangsa

Indonesia harus berjalan beriringan selaras dan serasi agar cita-cita luhur bangsa

Indonesia dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Sitompul, Martahan Einar, M.th, NU dan Pancasila, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1989.

Luqman Hakim, Muhammad, NU di Tengah Kelemahan Ulama dan

Kemunduran Umat, Tulungagung: Yayasan pondok PETA, 1994.

Feillard, Andree, NU Vis-a-Vis Negara Pencari Isi Bentuk dan Makna,

Yogyakarta: LkiS, 1999.

Wahid, Abdurrahman, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta:


Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999.

Zada, Khamami dkk, Nahdlatul Ulama Dinamika Idologi dan Politik

Kenegaraan, Jakarta: Kompas, 2010.

Daman, H. Rozikin, Membidik NU Dilema Percaturan Politik NU Pasca

Khittah, Yogyakarta: Gama Media, 2001.

Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih

Dalam Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.

Ida, Laode, NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, Jakarta:

Erlangga, 2004.

Djauhari, Dr. H. Ahmad, M.Si, Potret Gerakan Dakwah NU Hasil Mukerns

IV Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, Jakarta: PP LDNU Publishing, 2007.

Anam, Choirul, Petumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama,

Surabaya: Jatayu Sala, 1985.

Sutarto, Ayu, Menjadi NU Menjadi Indonesia, Jember: Kelompok Peduli

Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur (Kompawisda Jatim), 2005.

Soekarno-Hatta, Lembaga, Sejarah Lahirnya Undang-Undang 1945 dan

Pancasila, Jakarta: Inti Idayu Press, 1986.

Salam, Solichin dkk, Sejarah Ringkas Nahdlatul Ulama, Jakarta: 1966.

Reid, Anthony J.S, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1996.

Asnan, Gusti, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Yogyakarta: Ombak,

2007.

Tim Pimpinan Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, Nahdlatul Ulama


Ideologi Garis Politik dan Cita-cita Pembentukan Umat, Jakarta: PP Lembaga

Pendidikan Ma’arif NU, 2004.

Http: www.topix.com/World/Malaysia/T70N IUH IUM 90 MCLBG.

OUTLINE

PERANAN NAHDLATUL ULAMA DALAM PERUMUSAN IDEOLOGI

NEGARA INDONESIA (1945)

(Kajian Historis)

BAB I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Perunusan Masalah

Tujuan Penelitian
Kerangka Pemikiran

Langkah-Langkah Penelitian

Sistematika Pembahasan

BAB II. SEJARAH LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA DAN

PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

Latar Belakang Lahirnya NU

NU Sebagai Organisasi Keagamaan

NU dan Perkembangannya Dalam Bidang Politik

BAB III. KONDISI BANGSA INDONESIA TAHUN 1945

Masa Kedudukan Kolonial Belanda

Persiapan Kemerdekaan Indonesia

BAB IV, PERANAN NAHDLATUL ULAMA DALAM PERUMUSAN

IDEOLOGI NEGARA INDONESIA (1945)

Piagam Jakarta dan Perumusan Pancasila Tahun 1945

Dasar-dasar Pemikiran NU Dalam Menerima Pancasila Sebagai Ideologi

Negara

Langkah-langkah NU Sebelum Kemerdekaan

Penerimaan NU Terhadap Pancasila

BAB V. PENUTUP

Kesimpulan

Saran-saran

Anda mungkin juga menyukai