PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada kekuatan-kekuatan besar dalam sejarah yang tidak bisa di hapus oleh kekuatan
manapun dan oleh peradaban apapun dalam kehidupan suatu umat, suatu bangsa dan golongan.
Kekuatan ini merupakan pusat grafitasi sejarah yang menggerakkan dinamika manusia, bukan
saja karena eksistensinya yang terikat oleh zaman, ruang dan waktu, tetapi juga karena mereka
lahir bukan menghamba dan mengabdi kepada sejarah. Mereka lahir karena ada misi meluruskan
sejarah manusia, merubah tragedi dan bencana menjadi rahmat yang gemilang, menyalakan api
yang terang benderang ketika dunia di selimuti jubah hitam, bahkan ketika mega kelabu berarak
menjadi ratapan, mereka sudah menyibakkannya untuk suatu cahaya yang tak pernah berhenti.
Mereka adalah orang-orang pilihan. Allah memilih bukan karena kehendak sejarah,
bahkan bukan karena kerinduan dan kedahagaan akan kebenaran yang telah dipegang zaman
kedzaliman. Allah memilihnya bukan pula karena kemauan-kemauan manusia, bukan karena
prediksi-prediksi alamiyah dan rekayasa peradaban, mereka lahir bukan oleh legitimasi
kebudayaan, bahkan, oleh rekayasa politik yang menyesatkan. Allah memilih mereka karena
Allah sendiri yang berkehendak, menurt cakrawala mata pandang dan Amanah-nya.1
Merekalah para Rosul, para Nabi, para Wali, dan para Ulama. Ketika para rosul dan nabi
berlalu, tugas-tugas besar dalam sejarah dunia dan kemanusiaan ini di serahkan sepenuhnya
kepada para ulama. Dan karena itulah, tak ada pilihan lain bagi para rosul dan anbiya itu menuju
1 Muhammad Luqman Hakim, “NU ditengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat” (Yayasan
Pondok PETA, Tulungagung, 1994), hal: 1-2
Terlintas kembali dalam ingatan kita bahwa ketika Indonesia Merdeka adalah merupakan
babak baru saat itu bagi bangsa indonesia setelah bertahun-tahun terjajah, namun bukan berarti
perjuangan telah tuntas, bangsa Indonesia saat itu harus menentukan kemana arah dan tujuan
bangsa ini? Mau di bawa kemana negara ini? Apakah menjadi sekuler ataukah menjadi negara
islam.
Ada nuansa sejarah yang tak bisa di lupakan di negeri ini, bahawa sejak awal para ulama
memerankan diri dalam konstelasi bela negara secara tidak tanggung-tanggung. Hal demikian
bukan semata-mata karena kebutuhan sosio politis, bahwa indonesia sebenarnya identik dengan
umat islam namun karena kesadaran sejarah akan kelangsungan ajaran islam itulah maka para
ulama mambangun struktur institusional yang besar lewat organisasi atau jamiyah keagamaan.2
Jurang pemisah dalam masyarakat Indonesia antara pendukung Negara sekular atau
netral-agama dan Negara islam tampak sudah menganga lebar pada saat jepang menyerah pada
bulan agustus 1945. Bukan tujuan untuk mengutarakan semua gagasan besar dalam peradaban
sengit mengenai bentuk Negara sejak tahun 1920-an. Namun, perlu di catat persamaan pendapat
yang terdapat di kalangan tokoh nasionalis Indonesia, dari soekarno hingga Moh. Hatta, dari
demokrasi parlementer model barat serta keyakinan bahwa kebijaksanaan tradisional indonesai
bisa di gunakan sebagai penunjuk jalan untuk memilih hal-hal baik yang bisa di serap dari dunia
barat.3 Sampai terjadi perselisihan panjang dan sengit terutama di antara kalangan kaum
nasionalis (Kebangsan) dan kalangan islam yang ingin mendirikan islam di Indonesia. Tentu saja
2 Ibid, hal: 31
3 Andree Feillard, “NU Vis-a-Vis Negara Mencari Isi Bentuk dan Makna”, (Yogyakarta, Lkis 1999),
hal: 30
perdebatan ini menjadi keretakan dan perpecahan di tubuh bangsa ini. Walaupun di Indonesia
mayoritas penduduknya muslim, tetapi hal itu bukan menjadi dasar, bagai mana dengan
sekelompok masyarakat yang non islam apakah bisa menerima indonesia menjadi negara islam,
Sebuah aspek lain dari pertentangan ideologi antara Islam dan Marxisme-Leninisme
dapat di lihat pada fungsi kemasyarakatn masing-masing. Dalam kerangka ini, Marxisme-
Leninisme adalah sebuah paham sekuler yang berusaha mengatur kehidupan bermasyarakat
secara menyeluruh atas wawasan-wawasan rasional belaka, sedangkan Islam justru menolak
sekulerisme seperti itu. Menurut ajaran formal islam, pengaturan kehidupan bermasyarakat harus
Melihat pola hubungan diametral seperti itu memang mengherankan. Bahwa masih saja
pun di seluruh dinia. Bahkan di kalangan minoritas muslim di negara yang mayoritas
penduduknya beragama bukan islam, seperti Sri-langka, Filipina. bukan karena adanya orang-
Dalam hubungan dengan negara, islam memiliki tiga pandangan utama, pertama,
adanya pandangan untuk mendirikan sebuah negara yang khusus islam, seperti di Iran, Arab
Saudi, dan Pakistan. Kedua, Pandangan bahwa islam adalah agama resmi Negara, namun
negaranya sendiri bukan negara Islam, Seperti Malaysia. Dan Ketiga, antara negara dan agama
tidak di kaitkan secara konstitusional, namun hak melaksanakan syari’ah di benarkan oleh
negara, seperti indonesia. Kenyataan seperti itu mengharus kita untuk menerima kenyataan
4 Abdurrahman Wahid, “Mengurai Hubungan Agama dan Negara” (Jakarta, Grmedia Widiasarana
Indonesia, 1999), hal: 136-138
sejarah bahwa dimayoritas kawasan dunia islam hanyalah bentuk hubungan ketiga yang dapat di
lestarikan, yaitu negara menjamin hak kaum muslimin untuk melaksanakan syari’ah agama
mereka, walaupun negara itu tidak mencantumkan islam sebagai agama resmi. dalam kaitan
inilah harus “di baca” penegasan Presiden Soeharto kepada sesepuh NU bahwa Pancasila
menjamin hak umat beragama islam untuk melaksanakn syari’ah agamanya tersebut. Pancasila
tidak berada pada kedudukan yang lebih tinggi dari islam atau agama lain, karena ia hanya
Oleh karena itu penerimaan pancasila sebagai asas itu juga dilakukan secara keagamaan,
dalam arti mendudukkan agama dan pancasila pada tempat masing-masing, tanpa harus
menurut faham ahlus sunnah waljama’ah sebagai landasan keimanan, tidak dapat saling
kepada tuhan yang maha esa (dan dengan demikian mengambil salah satu dasar dalam
pancasila), sedangkan beraqidah adalah tindakan mengkongkritkan pancasila dalam salah satu
Meskipun pada ahirnya Negara Indonesia tidak menjadi Negara islam dan bukan juga
sekuler, tetapi Indonesia menjadi Negara yang mempunyai asas ideology pancasila yang
berlandaskan islam yang menguntungkan semua pihak dan itu merupakan suatu keberhasilan.
Keberhasilan itu tentu saja tidak terlepas dari perjuangan para pejuang yang
menginginkan Negara ini tetap satu di atas banyaknya perbedaan. Salah satunya adalah islam
sebagai agama yang menghendaki persatuan dan kesatuan serta menghargai perbedaan, dan
6 Einar Martahan Sitompul, “M. Th, NU dan Pancasila”, (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal: 12
mampu menyisihkan cita-cita keagamaan demi mencapai kemaslahatan bersama.
Islam melalui salah satu wadah organisasi keagamaan yang bernama Nahdlatul Ulama
(NU) telah mampu memberikan kontribusi yang sulit di timbang dengan nuansa fisik, karena
kontribusi para Ulama dan Kiyai dalam membimbing spiritualitas kebangsaan, melalui motifasi
keagamaan telah sampai pada batas-batas tertentu, yang tak di miliki oleh Negara islam lainnya.
Bahwa NU telah memberikan inspirasi setiap even paling penting dan sekaligus ketika Negara
dalam keadaan kritis, untuk munculnya suatu perubahan dan stabilitas. Di samping itu juga
Nahdlatu Ulama telah membuktikan dirinya telah mampu meredam keinginan Umat Islam untuk
mendirikan Negara islam dan mempunyai andil besar dalam perumusan Ideologi Negara
Indonesia.7
Kalau di telusuri dengan tekun, dapatlah di buat garis linear dari sikap NU tehadap
berbagai aspek pemerintahan dan Negara kita. Sebagaimana dikemukakan diatas. Pada tahun
1945 Nahdlatul Ulama turut menerima dan merumuskan pancasila dan Undang-undang dasar
1945 (Melalui kehadiran KH. A. Wahid Hasim, KH. Mansyur dan Zainul Arifin). Keterlibatan
Begitu besarnya perana Nahdlatul Ulama dalam sejarah bangsa Indonesia, dengan
semangat perjuangannya membela bangsa indonesia dari segala bentuk penjajahan, terutama
ketika masa-masa awal kemerdekaan Indonesia untuk menjadikan Negara islam, walaupun itu
tidak terlaksana. Tetapi dengan semangat keagamaan dan patriotismenya Nahdlatul Ulama
Meskipun masih banyak anggapan bahwa Nahdlatul Ulama yang sering di kelompokkan
7 Luqman Hakim, Op.Cit. “NU ditengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat” hal: 54
8 Ibid, hal:
sebagai kaum tradisionalis tapi bukan berarti Nahdlatul Ulama tidak membuka diri terhadap
modernisasi dan perkembangan zaman. Tidak juga berarti Nahdlatul Ulama tidak peka terhadap
permasalahan yang melanda negeri ini. Setidaknya anggapan negatif terhadap NU tidak lagi
merebak secara berlebihan terutama mengenai kontribusinya terhadap bangsa ini. Sejarah
membuktikan bahwa NU mampu turut menentukan nasib bangsa ini dengan memberikan
Dengan kata lain, apa yang harus dilakukan oleh NU tak bisa dilepaskan dengan upaya-
upaya mengikuti program-program modernisasi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun
untuk kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan. hal ini sudah menjadi komitmen yang
mengemuka dalam pemikiran-pemikiran Gus Dur, sebagai seorang tokoh NU progresif pada
tahun 1980, dengan menyatakan “apa yang sangat dibutuhkan adalah upaya menciptakan rasa
menjadi sebuah bangsa dan mengtasi persoalan-persoalan yang sangat fundamental seperti
tradisi tak lain adalah menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan islam sambil terus
melakukan perubahan yang lebih baik. Kaidah yang akrab di kalngan Nahdliyyin adalah
“mempertahankan warisan lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik”
inilah yang menjadi pondasi NU tetap mempertahankan tradisi meski tetap melahirkan sesuatu
yang baru.10 Oleh karena itulah masalah mengenai peranan NU dalam perumusan ideologi
Negara ini sangat penting dalam kaca mata penulis dan menjadi prioritas utama dalam penelitian
ini. Karena sepatutnya bahwa kita tidak bisa melupakan sejarah yang memberikan kita lemah
dalam setiap peristiwanya, terutama dalam hal perjuangan para pahlawan bangsa seperti
9 Laode Ida, “NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru”, (Jakarta, Erlangga 2004), hal: 64
10 Khamami Zada dkk, “Nahdlatul Ulama Dinamika Idologi dan Politik Kenegaraan”, (Jakarta, Kompas,
2010), hal: 131
Nahdlatul Ulama dan para pejuang lainnya. Untuk itulah mengapa kemudian penulis merasa
perlu mengabadikan peranan Nahdlatul Ulama terutama dalam perumusan ideologi negara ini
dengan merefleksikannya kedalam karya ilmiyah yang berupa skripsi dengan judul “ Peranan
B. Perumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan beberapa rumusan
masalah yaitu:
C. Tujuan Penelitian
Adapun dari beberapa rumusan masalah yang ada terdapat tujuan yang akan di capai di
antaranya yaitu:
di Indonesia.
Negara Indonesia.
D. Kerangka Pemikiran
Nahdlatul Ulama sejak berdirinya tahun 1926 telah memberikan banyak pengaruh besar
dalam dunia islam di Indonesia, bukan itu saja NU yang merupakan simbol dari kebangkitan
ulama yang secara otomatis bernilai keagaman, juga mampu memberikan nafas kehidupan
dalam membangun bangsa Indonesia menjadi Negara yang memiliki ideologi nasionalis namun
Disamping itu juga sejak enam puluh delapan tahun lalu, NU di dirikan, kehidupan umat
islam di Indonesia telah terbangunkan oleh kultur yang berlandaskan ajaran ahlisunnah Wal-
Jama’ah. Bangunan besar umat islam ini, termasuk bangunan kebangsaan Indonesia tentu tidak
bisa di lepaskan sama sekali dari peran para ulama itu sendiri. Tetapi lambat laun, ketika
kemajuan demi kemajuan di petik, kemerdekaan di raih oleh bangsa Indonesia.11 Begitu
pentingnya peranan Nahdlatul Ulama dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia,
oleh kaum intelektual di Indonesia saja melainkan juga oleh kaum intelektual mancanegara.
Di Indonesia sendiri salah satu study atau penelitian tentang NU pernah di lakukan oleh
Einar Martahan Sitompul. M. Th. Seorang kristiani namun mampu secara gemilang mengungkap
sisi positif NU sebagai organisasi keagamaan yang juga peka terhadap nasionalisme.
pandangan bahwa NU berdirinya di pandang sebagai kaitan yang erat dengan perkembangan
islam di nusantara, ia juga berpendapat bahwa NU bersifat fleksibel tetapi tidak terlepas dari
sikap keagamaan. Ini terlihat ketika NU secara tepat memutuskan bahwa pancasila dapat di
terima sebagai ideologi Negara meskipun terjadi pergolakan yang kontroversial di tubuh bangsa
11 Muhammad Luqman Hakim, “NU ditengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat”,
(Tulungagung, Yayasan Pondok PETA, 1994), hal: 20
Indonesia dalam menanggapi pancasila.
Namun dalam studynya mengenai masalah NU, Einar Martahan Sitompul, meski
memakai beberapa pendekatan sejarah tapi ia tidak menjadikan studynya sebagai uraian sejarah,
ia lebih condong kepada uraian bidang keagamaan dan politiknya saja. Oleh karena itu penulis
dalam kesempatan ini ingin melakukan penelitian (study) mengenai peranan NU dalam
perumusan Ideologi Negara Indonesia 1945 dengan mengsignifikasikan pendidikan ini sebagai
uraian sejarah seutuhnya dengan menggunakan metode penelitian sejarah yaitu tahap Heuristik,
1. Nahdlatul Ulama (NU) berdirinya sebagai organisasi keagamaan atau politik juga dipandang
sebagai reaksi para ulama yang ingin mengadakan kebangkitan bagi umat islam
yang hidup dalam penjajahan tanpa kemerdekan. Oleh sebab itu dengan alasan ini perlu juga
kemerdekaan.
3. Peranan NU yang sangat besar dalam perumusan ideologi Negara Indonesia memberikan
implikasi positif terhadap tegaknya Negara Indonesia yang memiliki asas pancasila sebagai
kedudukan agama.
b. Sila ketuhanan yang maha esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia, menurut pasal 29
ayat (1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian
c. Bagi nahdlatul Ulama, islam adalah aqidah dan syari’ah meliputi aspek hubungan manusia
d. Penerimaan dan pengalaman pancasila merupakan wujud upaya umat islam Indonesia untuk
e. Konsekuensi dari sikap itu , Nahdlatul Ulama wajib mengamankan pengertian yang benar
tentang pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.12
E. Langkah-langkah Penelitian
1. Tahapan Heuristik
Heuristik berasal dari bahasa Yunani ”Heurishein” yaitu memeliki arti memperoleh,
heuristic disini merupakan suatu teknik seni yaitu suatu teknik dan seni umtuk mencari dan
mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Oleh karena itu dalam tahap penelitian ini penulis akan
menggunakan study pustaka (Library Research) yaitu mencari sumber dari berbagai buku yang
berkaitan dengan topic penelitian yang penulis dapatkan dari beberapa perpustakaan dan koleksi
pribadi. Kemudian sumber-sumber yang di dapat ini penulis mengklasifikasikan kedalam dua
12 Khamami Zada dkk, “Nahdlatul Ulama Dinamika dan Politik Kenegaraan” (Jakarta, PT Kompas
Media Nusantara, 2010), hal: 80
bentuk yaitu sumber perimer dan sumber sekunder.
Pertama: sumber perimer ini penulis gunakan referensi utama dalam proses penelitian ini,
terdapat tiga buah buku yang dapat digunakan pada sumber perimer ini yaitu: Muhammad
Luqman Hakim, dalam NU di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat, Tulungagung:
Yayasan Pondok Peta, 1994. Abdurrahman Wahid, dalam Mengurai Hubungan Agama dan
Negara, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999. Dan Einar Martahan Sitompul, M.Th.,
Kedua: Sumber skunder yaitu sebagai sumber referensi pembantu pada referensi utama
yaitu berupa buku-buku diantaranya: Laode Ida, dalam NU Muda Kaum Progresif Dan
Sekularisme Baru, Jakarta: Erlangga, 2004. Andree Feillard, dalam NU Vis-à-vis Negara
Pencarian isi Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKIS, 1999. Dan Khamami Zada dan A. Fawaid
Sjadzili, adalam Nahdlatul Ulama Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Kompas,
2010.
F. Tahapan Kritik
Tahapan Kritik adalah tahapan di mana penulis melakukan kritik untuk memperoleh
keabsahan sumber. Dan pada tahapan ini penulis menggunakan kritik intern yaitu suatu tahap
G. Tahapan Interpretasi
Dalam tahapan ini penulis mencoba untuk menafsirkan data dan fakta yang sudah di
dapat untuk merekontruksi ulang dan penulis mengadakan analisis terhadap sumber yang di
Tahapan ini merupakan tahapan ahir penelitian. Yaitu penulis menuangkan hasil
penelitian ini secara imajinatif kedalam sebuah penulisan sejarah dengan menempuh proses
I. Sistematika Pembahasan
Dalam skripsi ini penulis akan menerapkan sistematika pembahasan yang termuat
Bab II. Sejarah Lahirnya NU dan Perkembangannya di Indonesia meliputi: Latar belakang
Bab III. Kondisi Bangsa Indonesia Tahun 1945 Meliputi: Masa Pendudukan Belanda. Persiapan
Kemerdekaan.
Bab IV. Peranan NU Dalam Perumusan Ideologi Negara Indonesia Meliputi: Piagam Jakarta
Pancasila.
Selama abad ke IX Indonesia mengalami efek pengaruh barat yang membawa akibat
ganda sekaligus yaitu alinasi politik dan kemerosotan ekonomi yang semakin buruk1. Pemerintah
colonial belanda dalam usaha menunjang kebutuhan dalam negerinya menerapkan politik kerja
paksa untuk menenam tanam paksa (1830-1870). Setelah itu disusul para pemodal besar untuk
Indonesia dan sekaligus menanamkan modal mereka dengan membuka perkebunan besar untuk
diekspor hasilnya keluar negeri. Tentu saja kebijaksanaan politik itu tidak bisa tidak memerlukan
mekanisme politik yang otoriter dengan mengontrol sejumlah bsar elite priyayi dan pamong
praja sebagai bemper pengaman yang tangguh atas kebijaksanaan itu. Sudah tentu mereka
memperoleh keuntungan ekonomis atas jerih payah mereka, namun pada sisi lain menimbulkan
alinasi antara kelas priyayi dengan para petani kian melebar. Kebijaksanaan itu kemudian diusul
liberalisasi ekonomi dan kelonggaran impor barang konsumtif yang menimbulkan kemerosotan
ekonomi petani, tidak mampu bersaing melawan pengusaha besar. M. Ali Haidar, Nahdlatul
Ulama Dan islam Di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, PT Gramedia Pustaka
Situasi ini membawa akibat disintegrasi dan keresahan sosia yang hampir merata di
seluruh Indonesia.2 Ibid hal 38 peang Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-
1912), perang Paderi (1821-1838), serta pemberontakan petani banten (1888), merupakan
sebagian dari fenomena diatas.3 Ibid hal 39 walaupun pemberontakan pada umumnya
colonial, namun benih ketidakpuasan para petani it uterus tumbuh dengan suburnya dan
menjadi sikap anti pemerintah asing yang “kafir” setelah mereka memperoleh legitimasi
kepemimpinan para ulama. Kombinasi dari dua hal tersebut bertaut menjadi satu sudah
tentu akan tumbuh menjadi kekuatan yang merepotkan pemerintah colonial. Pada
umumnya ulama menurut konsep hidup keagamaan yang mereka pegang teguh tidak
mungkin menerima kehadiran penjajah belanda yang langsung atau tidak langsung
membawa misi agama Kristen yang merugikan mereka, disamping kenyataan yang
mereka rasakan sendiri kehadiran penjajah itu membawa akibat buruk bagi kehidupan
para petani ummat mereka sendiri.4 ibid hal 39 pada sisi lain para petani sendiri
Seiring dengan gerakan perlawanan yang menyertai keresahan sosial di banyak tempat
itu bermunculan pula gerakan kebangkitan kembali agama yang menampakkan diri dalam
bentuk-bentuk sekolah dan perkumpulan tarekat dibanyak tempat di seluruh jawa dan
luar jawa.5 Ibid hal39 bagaikan tanaman tersiram air hujan, kegelisahan para petani
politik yang langgeng dan member kemakmuran rakyat.6 Ibid hal 40 untuk itu maka
dilakukan pembaruan sosial politik antara lain membantu pendidikan rakyat dengan
dan member otonomi daerah kepada pribumi.7 ibid hal 40 sayangnya kebijaksanaan
politik etis itu tidak di sertai pemahaman yang baik tentang lembaga-lembaga kekuasaan
tradisional yang telah mapan dalam kehidupan sosial ekonomi pribumi. Pemerintah tetap
kekuasaan itu mengalami erosi yang pada ahirnya menimbulkan kegelisahan social yang
politik etis itu membawa hasil negatif Bagi rakyat pribumi. Sebagian dari mereka yang
pendidikan, yang walaupun pada mulanya bersifat kedaerahan terus berkembang menjadi
gerakan kebangkitan nasional.9Ibid hal 40
Dalam konteks islam peralihan abad yang lalu juga ditandai munculnya gerakan
pembaruan di mesir, turki dan india. Meskipun titik tolak mereka berangkat dari latar
belakang yang berbeda, namun asumsi mereka memiliki titik persamaan . kesadaran
sosial politik yang di ilhami pengenalan mereka terhadap kebudayaan barat yang telah
maju, menjadikan mereka lebih kritis dalam melihat realitas umat islam dinegeri meraka.
Sementara dimesir dan sebagian timur tengah lainnya muncul gagasan Pan islamisme
yang dipelopori Jamal Al-Din Al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia islam, di
Walaupun Pan Islamisme pada mulanya memperoleh sambutan luar biasa di negeri-
negeri muslim, termasuk turki pada mulanya, namun lambat laun surut ditengah
kemerdekaan mereka dari penjajahan barat sepanjang paruh pertama abad ke XX.
Pada waktu itu di Indonesia sendiri, seperti telah disinggung di muka, tumbuh
organisasi sosial kebangsaan maupun social keagamaan yang bertujuan untuk memajukan
kehidupan umat seperti seperti antara lain Budi Utomo11 dan SarIkat Islam12 yang
pelajaran di Makkah antara lain Abdul Wahab Chasbullah, Muhammad Dahlan, Asnawi
dan Abbas merka kemudian mendirikan cabang SI di Makkah.14 belum sempat mereka
setelah perang dunia pecah. Namun obsesi mereka untuk memajukan kaum muslimin
tidak berhenti setelah pulang ke Indonesia. Terbukti sekitar tahun 1914 sebagian dari
mereka mendirikan sebuah organisasi pendidikan dan dakwah yang di beri nama
selanjutnya pada tahun 1918 berdiri organisasi lain yaitu Taswirul Afkar (Representasi
Kedua organisasi itu dirintis bersama oleh pemuda Abdul Wahab dan Mas
Mansyur dan dibantu oleh beberapa orang lain. Keduanya pernah bertemu di mekkah
ketika belajar sama-sama di sana. Abdul Wahab dan Mas Mansyur mempunyai
senior bahkan beliau sebagai tempat bertanya soal-soal pelajaran yang dia terima,
sebaliknya Abdul Wahab menghargai Mas Mansyur sebagai pelajar yang cerdas dan
memiliki potensi untuk menjadi pemimpin umat.17 setelah akhirnya keduanya bertemu
kembali di Surabaya sepulang mereka dari perantauan belajar di luar negeri, mereka pun
kemudian giat dalam aktifitas kemasyarakatan dan pendidikan. Salah satu hasil rintisan
Nahdlatul Watan dirintis tahun tahun 1914 mendapat pengkuan badan hokum
tahun 1916 dengan bantuan pemimpin SI Tjokroaminoto dan seoarang arsitek bernama
soejoto.18 menyadari gerakan social pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit
mereka melibatkan seorang saudagar kaya yang menaruh perhatian besar persoalan kaum
selatan tugu pahlawan, Surabaya. Saudagar itu kemudian di tunjuk sebagai direktur yang
segera memelopori pembangunan gedung sekolah. Mas Mansyur di percaya sebagai guru
Kegiatan yang dilakukan Nahdlatul Watan tidak hanya pengajaran sekolah formal
dan perjuangan. Kyai Mas Mansyur lebih berperan memimpin sekolah sementara Kyai
Abdul Wahab di bagian kursusnya. Sejumlah Kyai muda turut serta dalam kursus itu
yang kelak kemudian mereka inilah yang ikut membidani kelahiran komite Hijaz yang
Adapun alasan komite hijaz itu muncul ialah dimana penguasa baru hijaz
membahas pengaturan Mekkah dan Madinah. Adanya rencana baru ini menimbulkan
kesibukan khusus para pemimpin Indonesia. Siding khilafah berlangsung intensif dan
tentang khilafah. Maka kongres berikutnya agustus 1925, Februari 1926, September
tradisi keagamaan menurut ajaran mazhab, sebab Ibn Sa’ud dikenal beraliran Wahabi.20
Pengalaman traumatis masa lalu mereka yang dipelopori Abdul Wahab amat keras
menentang segala pendirian yang tidak sejalan dengan mereka, maka kalangan pesantren
cukup khawatir akan tradisi keagamaan mereka menghadapi penguasa baru di hijaz yang
beraliran wahabi itu. Melalui kyai Wahab mereka mencemaskan kehawatiran itu dalam
siding-sidang komite khilafah. Sementara sayap yang lain tetap menghendaki agenda
lama dipertahankan untuk dibawa ke makkah. Menurut mereka penyerbuan Ibn Sa’ud
atas Husin bertujuan baik untuk memperbaiki tata laksana ibadah haji yang di waktu
sebelumnya kacau, sering terjadi perampokan dan banyak suku arab yang melarikan
diri.21
Sebenarnya mereka menghendaki agenda masalah yang sederhana saja untuk dibawa
Ahlusunnah Waljama’ahdan perbaikan tata laksana ibadah haji, khususnya tradisi tarekat
sufi dan wirid, pembacaan solawat Nabi dan pengajaran kitab-kitab mazhab agar tetap di
izinkan.22 polarisasi orentasi ini di pertegas oleh sekelompok aliran baru nonpesantren
mereka mengadakan loby yang dihadiri kalangan mereka sendiri untuk merancang
ubah lagi dalam kongres bandung. Kongres bandung memutuskan delegasi ke kekkah:
Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansyur (Muhammadiyah).24 kyai Wahab memang tidak
menghadiri seluruh acara kongres karena ditengah acara tersebut dating telegram bahwa
Ketika merancang pertemuan komite hijaz dialog antara kyai Abdul Wahab
dengan Kyai Abdul Halim mempersoalkan tujuan komite hijaz yang hendak dicantumkan
dalam surat undangan.26 Kyai Abdul Wahab menjawab: “tentu syarat tujuan nomer satu
untuk menuntut kemerdekaan. umat islam menuju kejalan itu. Umat islam tidak leluasa
Komite hijaz yang di bentuk sebelum januari 1926 di ketuai Hasan Gipo dan
wakil Saleh Jamil, sekretaris Muhammad Shadiq Setijo dan wakil Abdul Halim,
penasehat KH. Abdul Wahab, KH. Masjhoeri, dan KH. Khalil.28 mereka ini
jadikan hari lahir NU, sebab dalam pertemuan tersebut diputuskan mengirim delegasi ke
mekkah,29 lalu timbul masalah atas nama organisasi yang di kirim. KH. Mas Alwi
Nahdlatul Watan, usul itu disepakati siding maka komite hijaz di bubarkan.30
membentuk perhimpunan baru, barang kali ada beberapa aspek yang dapat di pakai
keagamaan islam, sebab misi yang hendak di bawa ke mekkah berada dalam lingkup
agama maka di pakailah nama Nahdlatul Ulama. Jika tetap menggunakan Nahdlatu
Watan, maka nama organisasi itu tidak mengesankan sebagai organisasi yang
berkecimpung dalam soal agama. Dengan nama Watan mengesankan organisasi itu
sebagai organisasi politikdan social, bukan keagamaan. Mungkin juga nama ulama dapat
Tiga tahun kemudian, dalam tahun 1929 Nahdlatul Ulama berhasil mengirim
utusan yang terdiri dari KH. Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Genaim Al Amir Al
Misri untuk menghadap Raja Ibnu Sa’ud.
Setelah pulang dari delegasi hijaz ke mekkah ahirnya KH. Wahab Hasbullah
membawa berita yang menggembirakan, mengenai ibadah dan pengajian yang dia dakan
dalam Masjidil Haram oleh guru dari empat mazhab. Disamping itu juga utusan
Nahdlatul Ulama juga telah berhasil mencegah dirusaknya beberapa makam ddari
keluarga nabi dan dapat dicegah pula di rusaknya makam dari imam empat yang ada di
sekitar Ka’bah.31 Solihin Salam dkk, Sejarah Ringkas Nahdlatul Ulama, Jakarta,
1966 hal49.
tanggal 16 Rajab 1344 H. dan resmi berbadan hokum pertama kali pada tanggal 06
Februari 1930. Dengan menunjuk Khdlratus Saikh KH. Hasyim Asyari sebagai rais
Waljama’ah, yaitu suatu pila nalar dalam islam yang merujuk pada Al-Qur’an, Sunnah
Nabi Muhammad SAW, serta sunnah Khulafar’ rasyidin (Empat khalifah islam yang
sekaligus merupakan para sahabat utama Nabi) yang secara teoritis dan faktual banyak
terkait dengan konsep teologis Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan
empat Mazhab dalam fikih, yaitu Imam Hanafi, maliki, Syafi’I dan Hanbali, serta tradisi
tasawuf Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi.32 Drs. H. Achmad Djauhari, M.SI dkk,
sunnah, ijma, dan qias ini telah menjadi paradigma sosial kemasyarakatan warga NU
yang terus di kembangkan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat islam dan
pemikirannya. Prinsip-prinsip dasar itu meliputi:
Prinsip Tawassuth
Yaitu, jalan tengah, tidak ekstrim kanan atau kiri. Dalam paham Ahlusunnah wal
jama’ah, baik di bidang hukum (syari’ah) bidang aqidah, maupun bidang akhlak,
menempatkan diri pada prinsip hidup menjungjung tinggi keharusan berlaku adil,
Prinsip Tasamuh
Yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hl yang
islamiyyah)
Prinsip Tawazun
masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa yang akan datang.
Yaitu menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran . dengan prinsip ini,
akan timbul kepekaan dan mendorong perbuatan yang baik dalam kehidupan
bersama serta kepekaan menolak dan mencegah semua hal yang dapat
diperhatikan secara seksama, maka dapat di lihat bahwa ciri dan inti ajaran
Ahlusunnah wal jam’ah adalah pembawa rahmat bagi alam semesta.33 Tim
suatu organisasi yang akan menghimpun kegiatan mereka dengan nama Nahdlatul Ulama
kurang lebih empat bulan sesudah itu telah di rintis penyelenggaraan muktamar yang
pertama. Salah satu masalah yang menjadi perhatian para pendiri organisasi itu ialah
Abdul Wahab Hasbullah kemudian meminta kepada KH. Ridwan untuk menciptakan
lambing dengan cirri-ciri orisinal, tidak meniru lambang yang sudah ada, tahan lama, dan
Selama kurang lebih empat bulan Kyai Ridwan belum berhasil menciptakan
lambang tersebut. Dengan bekerja keras mencari inspirasi dan ilham siang dan malam
ahirnya inspirasi dan ilham itu dating di tengah malam beberapa minggu menjelang
muktamar di buka. Segera kemudian kyai Ridwan membuat sketsa di tengah malam itu
timbul kesulitan untuk mendapatkan kain warna hijau untuk bahan membuat bendera
petaka yang di kala itu memang agak sulit di dapat. Kira-kira dua hari menjelang
Kemudian timbul persoalan lagi dalam muktamar itu ketika seorang pejabat
pemerintah Hindia Belanda menanyakan arti lambang. Tidak seorang pun dalam siding
muktamar yang dapat memberi jawaban apa arti lambang. Ketika Kyai Ridwan di
hubungi untuk menjelaskan arti lambang yang di ciptakan beliau agak tertegun ditengah
mempunyai arti falsafah tertentu. Kyai Wahab pun ketika memintanya untuk membuat
lambang NU tidak disertai permintaan semacam itu. Tidak urung karena desakan Kyai
lain terutama kyai Wahab sendiri ahirnya Kyai Ridwan tanpa ekspresi yang menunjukkan
kesiapannya mengenakan jas dan sorban memasuki ruang sidang. Tanpa di duga tiba-tiba
Kyai Ridwan lancer sekali menguraikan makna dan falsafah lambang NU yang di
ciptakannya sendiri.
Gambar bola dunia dan tali yang melingkar melambangkan asas persatuan dan
perdamaian, Sembilan bintang salah satu yang paling besar terletak di bagian paling atas
empat imam mazhab. Seluruh jumlah bintang ada Sembilan buah melambangkan Wali
anggota NU mempunyai arti mistis sebagai petunjuk tuhan melalui kontemplasi dan
ibadah. Demikian pula arti lambang di yakini sebagai rahmat tuhan karena Kyai Ridwan
ketika menjelaskan arti lambang di hadapan pesrta muktamar dan pejabat pemerintah
sedang dalam keadaan Irtijal (Tnpa persiapan), kondisi luar biasa yang di percaya di atas
kesadaran normal manusia.35 M. Ali Haidar Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia
Pendekatan Fikih dalam Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, Hal
63.
B. NU Sebagai Organisasi Keagamaan
Bagi orang yang kurang akrab dengan NU, apabila mendengar nama itu di sebut,
maka akan berasosiasi pada sosok ulama berjubah dan bersorban, yang bergerak perlahan
menjaga keanggunandirinya, yang hanya paham akan hokum-hukum agama saja, dan
kalau ia tampil di arena politik maka sosok itu akan bertampang kaku. Itu hanya
gambaran lahiriyah saja. Apabila kita membalik lembaran sejarah, segera terpampang
bahwa NU adalah sebuah organisasi islam yang telah banyak merasakan garam
pergolakan sejarah dan badai perubahan zaman, namun selalu mampu berdiri tegak.
Perkumpulan Nahdlatul Ulama seperti yang kita kenal skarang ini adalah pewaris
dan penerus tradisi kyai………NU telah mampu mengembangkan suatu organisasi yang
luar yang cukup berat. Modal utamanya ialah karena para kyai memiliki suatu perasaan
kemasyarakatan yang dalam dan tinggi dan selalu menghormati tradisi. Rahasia
keberhasilan kyai dalam mengembangkan system organisasi yang kuat dan stabil itu
terletak pada kebijaksanaan dan kesadaran mereka bahwa struktur social yang mana pun
Sitopul , M.Th, NU dan Pancasila, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal 58
bertaqwa, berahlak mulia, cerdas, terampil, tentram, adil dan makmur dalam naungan
ridla Allah SWT. Drs. H. Achmad Djauhari, M.Si dkk, Potret Gerakan Dakwah NU
(Islam) yang sudah ada sebelumnya, seperti Budi Utomo (1908) sebagai gerakan cultural
gerakan sayap tradisionalis seperti di tunjukkan oleh istilah Nahdlatul Ulama bukan
Nahdlatul Umat atau yang lain, bukanlah merupakan suatu yang sifatnya kebetulan, tetapi
pergerakan para ulama, yang mengandung unsur berupa dinamika, kesadaran yang tinggi
dan keterlibatan warganya menjadi organisasi sebagai alat perjuangan ulama di dalam
NU memberikan cirri diferensiasi yang menjadi salah satu unsure pembeda dari
fenomena organisasi islam selain NU. Demikian penting dan sentralnya kedudukan ulama
di dalam organisasi bukan sebagai pemakarsa atau pendiri, tetapi karena otoritas
tradisional yang melekat pada keberadaa dan kedirian ulama. Kehadiran NU sebagai
Pada dua dasawarsa pertama setelah pendiriannya, kegiatan NU lebih fokus pada
usaha pembinaan keagamaan sesuai dengan aliran paham yang di yakininya, di samping
tergambar di dalam anggaran dasar organisasi. Selanjutnya pada 1935, sebagai hasil
evaluasi terhadap keberadaannya dan kendala utama yang menghambat kemampuan umat
sehingga tidak bisa berperan sebagai Khaira Ummah, maka di cenangkan suatu gerakan
keagamaan, Mabadi Khaira Ummah yang mengarah pada semangat tolong menolong
moral yang bertumpu pada tiga prinsip, yaitu: Alsidqu (Jujur), Alamanah Wa-alwafa bi-
al’ahdi (Dapat dipercaya, menetapi segala janji) Al-ta’awun (Tolong menolong)8 gerakan
Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan umat terbaik, yaitu suatu
umat yang mapu melaksanaka tugas Amar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan bagian
terpenting dari peranan NU. Karena kedua hal tersebut merupakan sendi yang di perlukan
untuk dapat mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang diridlai Allah SWT. Pada
awalnya gerakan ini dapat menumbuhkan semangat berorganisasi dalam berbagai bidang
kegiatan organisasi yang membawa dampak positif bagi pembinaan internal dan
tahun 1992 (setelah Khittah) gerakan ini perlu di tumbuhkan kembali dengan menambah
nilai prinsip dasar sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan kehidupan
NU tiada lain merupakan upaya pengorganisasian potensi dan peran ulama pesantren
yang sudah ada, untuk di tingkatkan dan di kembangkan lebih luas lagi. Dengan kata lain,
didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usaha memersatukan dan menyatukan
langkah para ulama pesantren di dalam tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada
soal kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan belaka, tetapi lebih di tingkatkan lagi
pada kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi maupun persoalan
Jam’iyah dan NU Jama’ah, merupakan kelebihan yang dimiliki oleh organisasi islam
terbesar di Indonesia ini. Kelebihan ini merupakan kekuatan yang dahsyat, asalkan di
kelola secara terarah, terpadu, dan terjaga. NU Jam’iyah dan NU Jama’ah ialah two in
sebagai sebuah paguyuban seperti arisan atau rukun kematian. Sebaliknya, NU jam’iyah
tanpa NU jama’ah hanya akan menjadikan NU sebagai organisasi yang kering, tidak
berakar di masyarakat. Agar NU menjadi besar dan berwibawa, kedua-duanya tidak boleh
dan di harapkan menjadi tempat berkumpulnya para tokoh NU. Berkumpul bukan hanya
langkah agar seluruh warga NU dapat di kerahkan dan diarahkan menuju cita-cita
dan Wisata Daerah Jawa timur, Surabaya, 2005, hal 20-21. Karena misi NU ialah:
dan cultural, KH. Sahal Mahfudz menyampaikan tujuh seruan kepada Nahdliyin sebagai
panduan untuk menyikapi kondisi politik dalam tubuh organisasi yang ahir-ahir ini
mengalami krisis, pada butir pertama seruan itu di sebutkan tiga model politik yang
selama ini di laksanakan NU, yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan,dan politik
kekuasaan.41
Bagi NU, dari tiga macam politik itu, politik kekuasaan (praktis) menempati
kedudukan paling rendah. Pernyataan ini implicit untuk mengingatkan para politisi NU
yang sudah keluar dari khittah 1926. Pertanyaannya, mengapa banyak tokoh NU lebih
meminati politik kekuasaan praktis, padahal jenis politik ini banyak menimbulkan
Asy’ari dan ulama-ulama terkemuka lain, seperti: KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri
Sansuri, tahun 1926. Salah satu tujuannya untuk melindungi praktik dan pemikiran
keagamaan muslim Indonesia yang beda dengan praktik dan pemikiran keagamaan
islam yang cenderung dekat dengan local islam. Dalam kitab Qonun Asasi LI Jami’ati
Nahdlatul ulama, KH. Hasyim Asy’ari memprihatinkan adanya geerakan keagamaan baru
yang menyerukan pemberantasan Bid’ah (heterodoksi) dengan “kedok” kembali kepada
Pernyataan KH. Hasyim Asy’ari ini bisa di anggap (1) merespon situasi Internasional
tentang maraknya gerakan Wahabisme di timur tengah, dan (2) terhadapsituasi nasional
Dari sini bisa di simpulkan, pendirian NU bukan untuk tujuan politik kekuasaan,
tetapi politik (keagamaan) kerakyatan. Maka, bagi umat islam Indonesia yang
lokalnya, kehadiran NU di nilai member perlindungan. Bila ini bisa di sebut tindakan
politik kerakyatan dalam pengartian luas maka politik jenis inilah yang patut di sebut
tingkatan politik tertinggi NU. Politik kenegaraan belum muncul karena saat itu (1926)
kenegaraan NU yang paling jelas adalah dukungan Wahid hasyim, wakil NU pada PPKI,
Selain itu, selama menjadi organisasi sosial, juga politik keagamaan, NU tidak
pernah terlibat kasus kasus pemberontakan islam. Komitmen terhadap Negara dan bangsa
utama bagi kehidupan agama dan manusia sesuai dengan garis Ahlus Sunnah wal
Jamaah.
Dua model politik NU itu kerakyatan dan kenegaraan merupakan pengalaman
paling ideal dalam sejarah NU. Mengapa? Dua model ini menjadikan NU sebagai
politik ini Karena godaan poltik kekuasaan, baik dari tokoh NU sendiri maupun dari luar
NU.43
tokoh NU terlibat perebutan kekuasaan baik untuk jabatan dalam tubuh partai maun di
luar partai (eksekuip). Politik kekuesaan masa ini akhiri dengan perpecahan keterlibatan
paling pekat dengan politik kekuasaan saat NU berdiri sebagai partai politik (1952) pasca
pecah dari masyumi. Khamami Zada, Nahdlatul Ulama Dinamika Ideologi dan
rakyat untuk membentuk partai politik agar segala aliran dapat di arahkan kejalan yang
teratur. Keputusan ini kemudian di sambut hangat oleh rakyat dan para politisi.
partai islam.45
Tujuan ini ternyata tidak sepenuhnya tercapai karena pada tahun itu juga
menyatakan tidak bersedia bergabung ke dalam Masyumi dan membentuk partai sendiri
dengan nama Perti. Muhammad Nasir yang dating ke Sumatra barat selaku utusan
Masyumi untuk membentuk partai ini di Sumatra barat segera stelah Masyumi berdiri,
Masyumi. Barang kali ini akibat dari pengaruh negative pertentangan “Kaum Tua”
dengan “Kau Muda” yang berkembang di Sumatra barat tidak sejalan dengan kalangan
“kaum tua” yang berada di belakang perti. Bahkan sebelumnya memang sudah terjadi
ketidak sesuaian paham dalam Majlis Islam Tinggi (MIT) suatu organisasi islam untuk
suaranya kepada para anggota sendiri maupun kepada umat islam untuk bergabung ke
dalam masyumi. Dalam kongres NU Di Purwokerto tahun 1946 diserukan agar warga
Masyumi kemudian segera menyusul. Persatuan yang sejak awal kemerdekaan dengan
menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai islam tidak dapat di pertahankan lagi.
Setelah NU keluar dari Masyumi di putuskan dalam kongres ke 19, April 1952, di
Palembang. Keputusan itu sebelumnya di dahului kritik dan protes yang di lancarkan
sempat terjadi karena salah seorang tokoh Masyumi, Muhammad Saleh (Walikota
memegang tasbih,” 48 Selanjutnya di katakana bahwa urusan politik ini cukup luas, tidak
hanya berada disekeliling pondok pesantren. Politik itu luas menyebar ke seluruh
dunia.234 Segera saja ucapan itu dip rotes delegasi dari NU meninggalkan ruangan. hal
yang mirip dengan itu juga terjadi di bogr dalam sidang dewan partai Masyumi tahun
1952. peristiwa senada barangkali juga terjadi di tempat lain, karena memang hubungan
antara pemimpin NU dengan Masyumi kurang serasi, umumnya politisi dan pemimpin
NU terdiri atas ulama atau tenaga lain keluaran pesantren, kalaupun ada yang
berpendidikan model barat, seperti Zainul Arifin dan Muhammad Iljas, jumlahnya tidak
banyak. Sementara dari kalangan Masyumi memandang rendah lulusan pesantren dan
dengan demikian juga memandang rendah pemimpin-pemimpin NU. Mungkin hal ini
adalah salah satunya alasan NU keluar dari Masyumi.49 M. Ali Haidar, Nahdlatul
dinyatakan beawal pada tahun 1952, saat NU menyatakan keluar dari Masyumi dan
menegaskan dirinya sebagai partai politik. Mulai saat itu sebutan “Partai NU” lebih
proses politik, disamping masih tetap melakukan kegiatan keagamaan. keadaan demikian
menanggalkan aktifitas politiknya lewat PPP. pada periode 1952-1984 para ulama dan
politisi NU mempunyai peran berlebih terutama para ulamanya disampaing pelaku politik
juga sebagai pembimbing umat, sehingga prilaku politiknya merupakan refleksi dan
paham keagamaan yang bersumber dari tradisi keberagamaannya, dan sebaliknya prilaku
pergeseran dalam politik NU tidak terlepas “Dimensi kepentingan ideologis dan politis”,
yakni kepenti
Ngan mempertahankan dan mengembangkan paham Ahl al-sunnah Wa al-jama’ah dan
kepentingan memperoleh kekuasaan politik dalam pemerintahan. Oleh karena itu, secara
nyata NU menampakkan sikap politiknya, baik dalam percaturan politik diantara sesama
peristiwa apenting berikut ini dapat memberikan gambaran sikap politik NU dalam
Penglaman politik selama kurang lebih lima tahun bersama Masyumi merupakan
pelajaran berharga bagi NU dalam memasuki babak baru percaturan politiknya, setelah
menyatakan diri sebagai partai politik pada tahun 1952. Para ulama akan terlibat secara
langsung di dalam prmainan politik di samping tetap harus mengurus pesantren, sehingga
era ini menendai perpolitikan pesantren, karena NU tidak bisa di lepaskan dan berbasis
dari pesantren. Kekurangan kader politisi yang matang dan mapan dari kalangan
sebab tidak semua ulama atau kiai pesantren berkesempatan dan tertarik mengurus partai
dan terjun langsung dalam percaturan politik. dalam muktamar di Palembang, NU juga
Pemilihan umum bagi NU mempunyai makna yang sangat penting dan strategis.
di DPR dan konstituante yang akan merupakan arena pembukuan bagi kemampuan
bermain di pentas politik yang sekaligus berfungsi sebagai sarana dalam rangka pencarian
menjadikan persiapan NU relative kurang, sebab waktu yang ada lebih banyak di
memanfaatkan pengurus Jam’iyah NU yang sudah ada. oleh karena itu pada muktamar
menjadi garapan pokok NU juga membahas masalah strategi yang akan di laksanakan
dalam rangka menghadapi pemilu 1955.52 untuk melapangkan jalan dalam percaturan
politik, pada dasarnya sikap politik NU bersifat Akomodasionis luwes di bidang politik
dan lebih suka mengambil bagian dalam pemerintahan. Diantara langkah-langkah penting
dengan partai-partai yang seiramadalam tradisi poitiknya dan dekat dengan pusat
kekuasaan, ikut serta dalam percaturan memperoleh kedudukan dalam cabinet, dan
melakukan pendekatan dengan pusat kekuasaan (Presiden). Sehubungan dengan itu, maka
langkah yang dilaksanakan NU adalah mengajak PSII, Perti, dan Masyumi membentuk
sebuah federasi dan ajakan tersebut mendapat tanggapan positif kecuali dari Masyumi,
sehingga pada Agustus 1952 Liga muslimin Indonesia. sebagai badan federasi antara PSII
dan Perti terbentuk di sisi lain dalam banyak hal politisi NU lebih dekat dengan kaum
nasionalis sekuler (PNI) dari pada dengan elite Masyumi yang berpendidikan barat,
karena NU sebagai mana juga PNI, berbasis kuat di jawa. dan di liputi nilai-nilai tradisi
jawa. Kedua partai ini lebih berorientasi ke dalam dari pada keluar dan lebih menghargai
gaya kepemimpinan tradisional dari pada cita-cita demokrasi barat. oleh karena itu, tidak
heran apabila dalam polarisasi hubungan antar partai, kemudian NU menjadi lebih dekat
dengan PSII dan Perti (Kelompok tradisional islam-sekuler), dan menjadi makin dekat
dengan Soekarno. Sebaliknya Masyumi lebih menunjukkan sikap oposisi dan semakin
dalam percaturan politik nasional selama era kepemimpinan Presidn Soekarno dan
sebaliknya Masyumi semakin terpuruk sampai ahirnya harus bubar pada tahun 1960
keberhasilan ini antara laindi tandai oleh: pertama, perolehan suara yang diraih NU dalam
pemilu pertama (1955) yang menempati urutan ke tiga dari 28 partai yang memperoleh
kursi di DPR. Kedua, tidak pernah absen dalam emerintahan (Kabinet) sejak awal
kehadirannya sebagai partai politik bahkan pada masa krisis menjelang pelaksanaan
demokrasi terpimpin, sampai dengan akhir dekade 1960 an keikut sertaan NU dalam
percaturan Politik NU Pasca Khittah, Gama Media, Yogyakarta, 2001, hal 93-114
pernah memiliki hubungan mesra dengan Soekarno sehingga penguasa orde baru
memangkas akses politik NU. Departemen agama tidak lagi di hunu oleh aktifis NU,
seakan jalur politik NU di bending di semua area. Akibatnya, tidak hanya di departemen
dengan beberapa partai islam lainnya, NU kembali menempati posisi pinggiran. Masa NU
terbesar di berbagai wilayah seakan menjadi Silent Majority (Mayoritas yang bisu)
maknai sebagai reaksi atas rasa sakit hati yang di derita NU. Khittah NU diarsiteki
kalangan muda NU progresif, di antaranya KH.Ahmad Siddiq dan Gus dur. Intinya
adalah ingin mengembalikan NU ke ide dasar pendirian organisasi massa (Ormas), yakni
sebagai Jam’iyah Islamiyah dan atau ormas islam yang mengurusi masalah social
BAB III
bangsa ini mempunyai hubungan yang erat dengan keadaan dan kebijaksanaan politik
(dan ekonomi), baik yang dijalankan oleh Negara pada tingkat nasional atau kebijakan
pengaruh yang besar terhadap berbagai aspek maritim di Negara kepulauan ini,
termasuk di kawasan pantai barat Sumatra. Kehadiran kaum kolonialis telah
ini hususnya kedalam suatu tatanan ekonomi kolonial, sebuah tatanan ekonomi yang
antara lain menciptakan adanya daerah “Pusat” dan “Pinggiran”. Pada tahap
dari tatanan kegiatan ekonomi hindia belanda semata, tetapi hindia belanda itu sendiri
juga menjadi bagian tatanan kegiatan ekonomi internasional. Artinya, hindia belanda
sendiri menjadi sebuah daerah dari sebuah pusat dalam tatanan ekonomi dunia global.1
Potret lain dari kolonialisme yang tergambar dalam kegiatan perdagangan dan
pelayaran di pantai barat Sumatra adalah politik “ Subur garap; tandus –tinggalkan”.
Politik ini adalah analog perilaku eksploitatif anak manusia terhadap hutan untuk di
jadikan perladangan atau lahan garapan. Bila sebuah perladangan atau lahan garapan
tidak produktif lagi maka akan di tinggalkan begitu saja. Dengan kata lain gagasan di
atas adalah sebuah gambaran sikap dan politik eksploitatif pemerintah kolonial
terhadap sumber daya yang terdapat di daerah-daerah. Bila sebuah daerah memiliki
sumber daya ekonomi atau posisi geopolitis yang bisa mendatangkan keuntungan bagi
Negara pusat, maka daerah itu akan mendapat perhatian yang besar.2 Gusti Asnan,
Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra, Ombak, Yogyakarta, 2007, hal 12-14.
Selama tiga setengah abad bangsa Indonesia telah dijajah oleh belanda. Pada
telah menjalankan politik kolonial yang terkenal. Adapun politik Kolonial Belanda
Bangsa Indonesia.
siasat Adu Domba dan memecah belah bangsa Indonesia. Di pecahnya bangsa in
donesia menjadi berkeping-keping, dan kemudian diadu domba antar suku, antar
daerah, antar golongan, antar agama, bahkan juga sesama kaum muslimin. Dengan
sengaja di carinya jalan dan cara untuk dapat memecah belah Bangsa Indonesia. Sudah
di antara kaum muslimin juga di tanamkan rasa permusuhan dan kebencian satu sama
lain, ini yang menjadikan pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa, dan menyebabkan
penjajahan di lapangan politik, ekonomi dan militer saja, akan tetapi juga menjajah di
lapangan kebudayaan. Bahkan bukan rahasia lagi, bahwa kegiatan agama sekalipun
misalnya, dengan dalih menjalankan suatu “Mission Sacree” Belanda melakukan pula
“Imperialisme kebudayaan”. Rakyat Indonesia di ajar untuk hidup, makan dan minum,
rakyat Indonesia ini hendak di belandakan dalam segala hal. Di tanamkannya kepada
rakyat bahwa apa saja yang datang dari Belanda adalah serba baik dan modern,
muslimin, para alim ulama tidak tinggal diam, melainkan memberikan reaksi spontan
dan menoloak konsepsi Kolonial Belanda yang merugikan umat islam. 3 Solichin
Bila kita melihat kembali pada sejarah bangsa Indonesia pada masa silam,
tepatnya pada tahun 1945, tidak sedikit organisasi-organisasi islam atau bahkan yang
salah satunya adalah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) peranan dan sepak terjang yang
muslim Indonesia pada saat itu. Namun, tidak seperti organisasi-organisasi yang
lainnya Nahdlatul Ulama tidak menyebut kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya.
Pada masa kedudukan Kcolonial Belanda tidak menyurutkan niat dan tekad
para ulama dan santri NU untuk terus menyerukan kemerdekaan, dan menentang
ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan adat budaya bangsa Indonesia seperti yang di
tulis oleh Choirul Anam, tujuan melawan penjajah tampak implisit bila kita menyimak
jawaban kiai Wahab mengenai masalah kemerdekaan sehari sebelum lahirnya NU,
tahun 1926: “tentu, itu sarat nomor satu, umat islam menuju kejalan itu, umat islam
kita tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.” Kemudian ditanya lagi apakah usaha
semacam itu bisa menuntut kemerdekaan. Kiai Wahab menjawab : ini bisa
menghancurkan bangunan perang, kita jangan putus asa kita harus yakin tercapai
negeri merdeka.4 Dari kutipan tersebut sudah jelas bahwa walaupun Nahdlatul Ulama
tidak menyebut kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya namun berupaya dan
dalam urusan keagamaan, dan mengadukkan campur tangan Belanda dalam urusan
pengadilan agama, artinya hokum adat kembali di berlakukan di jawa, Madura dan
Kalimantan selatan. Bukan semata-mata hokum adat yang menjadi soal, melainkan
kaum muslimin yang lebih menimbulkan rasa tidak senang tersebut. Selama masa
pengetahuan keagamaan para pegawai yang di tugaskan di bagian urusan umat islam
dengan pernikahan jauh menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan Hadits.5 Andree
Ibid. hal 17
Tampilnya KH. A. Wahid Hasyim sebagai ketua dewan MIAI, jelas merupakan
Dan kemudian menempatkan posisi umat islam sebagai diperhitungkan oleh pihak
lain, terutama pihak pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Terlebih lagi
penampilan KH. A. Wahid Hasyim di arena percaturan politik cukup gemilang, baik di
masa pra kemerdekaan, revolusi, maupun pada masa kemerdekaan. Semua itu telah
untuk segera mengadakan perbaikan dan tindakan terhadap beberapa hal, diantaranya
ialah:
mengajarkan islam.
Menindak tegas para penghina islam dan memindahkan pelanggar makam islam
ketempat lain.
Bbelanda.
Dari pernyataan tersebut diatas bahwa dapat penulis simpulkan ada satu corak
pemikiran yang luas yang dilakukan NU sebagai organisasi islam yaitu pertama,
Rosulullah yang tertuang dalam Al-quran dan Hadits. Kedua, menjaga bangsa
Indonesia dari tekanan intervensi bangsa belanda dan yang ketiga, memperjuangkan
Persiapan Kemerdekaan
Setelah pendudukan belanda berhasil di tekan oleh NU lewat para ulama tokoh dan
aktifis muda, maka persiapan kemerdekaan Indonesia menjadi langkah awal gerakan
Belanda), suatu rapat tertutup yang di hadiri oleh sebelas ulama di bawah pimpnan
Mahfudz Shiddiq membicarakan calon yang pantas untuk di jadikan presiden pertama
Indonesia mendatang. Sebelas tokoh NU menentukan pilihandi antara dua nama yang
di sebut disitu, yaitu: Soekarno dan Muhammad Hatta. Para Ulama memilih Soekarno
dengan suara 10 banding satu.8 keputusan ini perlu mendapat perhatiankhusus karena
bantuan jepang pada tanggal 28 Mei 1945. Keenam puluh dua anggota Badan
pada hari itu, diberikan kebebasan besar oleh jepang untuk membicarakan persoalan-
Setelah sidang selama tiga hari, yang terutama di pergunakan untuk membahas
dari tujuh orang anggota di bawah pimpinan Soekarno untuk menyelesaikan persoalan
agama yang ruwet. Panitia lengkap bertemu lagi dari tanggal 1 s/d 17 Juli dalam
suasana yang lebih tegas dan dalam waktu singkat menerima sebuah Undang-undang
Dasar yang terdiri dari lima belas pasal minoitas paling sulit merupakan wakil-wakil
muslim yang selalu menyampaikan pendapat bahwa di butuhkan suatu Negara islam di
mana syari’at agama berlaku. Posisi Soekarno yang di gariskan dalam pidatonya
pacasila yang termasyhur pada tanggal 1 Juni, menekankan bahwa Negara harus di
dasarkan atas “Percaya kepada Allah yang maha Esa”, apakah disembah menurut
agama islam atau Kristen. Kalau pihak islam menghendaki lebih dari itu, mereka harus
tidak puas dan Soekarno mengerahkan seluruh kuasa kepribadiannya untuk mencapai
suatu kompromi.
Undang –undang dasar yang mengakui “keharusan bagi mereka yang memeluk agama
islam untuk mematuhi syari’at islam.8 sidang BPUPKI pada bulan Juli membuat
konsesi selanjutnya bahwa presiden harus seorang islam. Walaupun tidak memenuhi
Ibid hal 32
Pada tanggal 06 Agustus 1945 sebuah. Bom Atom di jatuhkan di atas kota
Hirosima di Jepang, oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat
tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi
kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen inipun di manfaatkan oleh Indonesia
mantan ketua BPUPKI di terbangkan ke dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon,
Syahrirtelah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada
dan menolak bentuk kemerdekaan yang di berikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir
member tahu penyair Chairil Anwar tentang di jatuhkannya bom atom di Nagasakidan
Jepang akan segera memberikan kemerdekaan. Dua hari kemudian, saat Soekarno,
Hatta dan Radjiman kembali ketanah air dari Dalat, syahrir mendesak agar Soekarno
sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada
sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan
pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu. Tentara dan
angkatan laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena jepang telah berjanji akan
dan Khaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas
desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk
proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak
menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh
Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan
pemberian Jepang.11
kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Rapat
PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta
tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok. Para
pemuda pejuang, termasuk Khaerul Saleh yang tergabung dalam gerakan bawah tanah
kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco
Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka menculik Soekarno
(Bersama Fatmawati dan Guntur yang baru usia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya
ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta
tidak terpengaruh oleh Jepang. Disini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa
Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apapun
resikonya.
Di Jakarta, golongan muda, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo
melakukan perundingan. Mr. Ahmad Aeobardjo menyetujui untuk memproklamasikan
Ahmad Soebardjo kerengasdengklok untuk menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh
Ahirnya Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Letnan Jendral
urusan umum pemerintah militer Jepang. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan
kanan komandan Jepang di Jawa. Soekarno menjadi yakin bahwa Jepang telah
menyerah kapada sekutu, dan tidak mempunyai wewenang lagi untuk memberikan
kemerdekan.
rapat dan menyiapkan teks proklamasi, rapat tersebut di hadiri oleh Ir. Soekarno, Drs.
Moh Hatta, Ahmad Soebardjo, Soekarni dan Sayuti Melik. Dalam penyusunan teks
proklamasi itu ialah Ir. Soekarno, Drs, Moh . Hatta, dan Mr, Ahmad Soebardjo.
Konsep teks proklamasi di tulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M.
Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Sudiro. Sukarni mengusulkan agar yang menanda
tangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Atas nama Bngsa
Indonesia. Teks proklamasi inonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya. Pada
sebagai dasar Negara Republik Indonesi, yang selanjutnya di kenal sebagai UUD 45.
http:www.topix.com/world/Malaysia/T70N1UH1UM90MCLBG
BAB IV
NEGARA INDONESIA
Pada tanggal 18 Juni 1945 di bentuklah sebuah panitia 9 orang anggota untuk
merumuskan rancangan keputusan. Panitia 9 itu ialah Drs. Moh. Hatta, Subardjo,
persetujuan kompromi antara dua belah pihak yang oleh Sukiman di sebut gentlemen
agreement dan oleh yamin di sebut Jakarta Cahrter atau piagam jakarta.1
itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus
gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu berdaulat, adil dan makmur. Atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan di dorongkan oleh keinginan
menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk
Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,, dan kerakyatan yang di
Dari rangkaian pemikiran yang akan dijadikan sebagai dasar ideologi, corak
berfikir dan pandang bangsa indonesia yang berhasil dirumuskan oleh panitia 9
(sembilan) atas dasar satu persetujuan dan kompromi kedua belah pihak antara
golongan islam (NU) dan kebangsaan yang Sukiman sebut gentlement agreement dan
oleh yamin di sebut Jakarta cahrter atau di sebut dengan sebutan piagam jakarta.
Namun dari piagam jakarta yang dirumuskan oleh panitia 9 tersebut menuai protes
dari golongan protestan (Latuharhary) keberatan dengan kalimat yang terdiri dari tujuh
pemeluknya.3” akibatnya mungkin besar terhadap agama lain. Karena itu diminta
supaya dalam UUD diadakan pasal yang terang, kalimat tersebut bisa juga
pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru dan pada umumnya
telah selesai.
sementara untuk diredakan oleh ketua sidang. Soekarno yang berkali-kali menegaskan
bahwa kalimat itu merupakan kompromi yang bisa di capai dengan susah payahdan
melihat sudah tidak ada keberatan yang diajukan dalam sidang panitia 9 (sembilan),
maka pokok-pokok dalam preambule dianggap sudah diterima.4 namun ketika sidang
membicarakan detil pasal-pasal UUD, Wahid Hasyim mengaitkan salah satu inti yang
telah di sepakati mengenai preambule dengan pasal yang mengatur tentang presiden
dan wakil presiden dan mengenai agama dan negara. Wahid Hasyim mengusulkan
perubahan pasal 4 ayat 2 agar hanya orang yang beragama islam yang dapat diterima
sebagai presiden dan wakil presiden, dan agama negara ialah islam, dengan jaminan
kemerdekaan bagi penganut agama lain untuk beribadah menurut agama masing-
masing.5
keistimewaan penduduk yang terbesar yang beragama islam. Rumusan itu merupakan
hasil gentlement agreement dari dua golongan islam dan kebangsaan. Artinya, sudah
dapat di capai kompromi supaya kita bangsa indonesia dapat bersatu atas dasar
memberi dam menerima. Prinsip dari gentlement agreement ialah bahwa kedua belah
pihak tidak boleh menghendaki lebih dari apa yang telah di kompromikan. Di ingat
pula bahwa kedua belah pihak telah di wakili dalam panitia, dari golongan islam
Wahid Hsyim dan Agus Salim sedang pihak lain Maramis dan Latuharhary.6
golongan lain yang beragama lain, saka sekali tidak. Itu juga di terangkan. Memang
kita menghendaki dasar ke-tuhanan dan dasar kemanusiaan, dan atas dasar-dasar itu
suatu kompromis, artinya bahwa kaum kebangsaan atau salah seorang yang bukan
jaminan kepada kaum islam, sebab sudah menjadi kompromis, perjanjian moral yang
sangat luhur, dan begitu sebaliknya....janganlah golongan agama minta jaminan lebih
lagi untuk di tambahkan dalam pasal apapun...jadi kedua belah pihak sudah cukup
islam dan sebaliknya agama islam tidak akan meminta jaminan lagi terhadap agama
lain...tetapi saya kemukakan lagi bahwa hal itu sudah menjadi gentlement agreement
yang tidak boleh di kurangi dan di tambah.7 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan
Bertolak pada kontroversi yang terjadi tentang perumusan UUD dan Pancasila
pada tahun 1959, NU bersedia kembali ke UUD ’45 dengan syarat Piagam Jakarta
Meskipun pengurus besar NU merasa puas dengan kompromi ini, namun tidaklah
edaran yang menjelaskan usaha-usaha yang telah di lakukan untuk mendukung piagam
jakarta. dan usaha-usaha itu tidak berhenti disitu. Pada tahun 1962, dalam
jiwai oleh piagam Jakarta.8 artinya bahwa seluruh aktifitas harus di jiwai dengan UUD
(Piagam Jakarta) karena UUD dijadikan sebagai falsafah dan tolak ukur dalam
pada Piagam Jakarta di tegaskan pada bulan-bulan berikutnya pada pertemusn ke-7
para pengurus partai, bulan April 1966 di bogor, di keluarkan sebuah statemen yang
menyatakan:
Karena Negara di landaskan pada pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang
tudak dapat di pisahkan dari Piagam Jakart, jalan terbuka untuk mewujudkan cita-
jalankan dalam kehidupan negara dan bila piagam jakarta benar-benar di jalankan
dalam Masyarakat, hasilnya adalah masyarakat yang sesuai dengan cita-cita partai.
perubahan Undang-undang Dasar 1945 demi piagam jakarta, namun lebih pada
Mengutip pendapat Drs. Moh. Hatta yang menegaskan bahwa dalam negara
kesatuan seperti indonesia, masalah kenegaraan harus di pisahkan dari masalah agama.
Pendapat pertama, dari para ahli agama menyatakan bahwa indonesia haruslah
menjadi negara islam. Dan pendapat kedua, yang di sarankan Drs. Moh. Hatta, satu
Supomo mengingatkan agar jangan sekedar meniru negara lain di timur tengah
yang dianggap sebagai negara islam sebab berbagai kondisi dan latar belakangnya
berbeda. Dikatakan oleh Supomo bahwa di negra-negara islam sendiri juga terjadi
perbedaan, khususnya mengenai bagai mana syari’ah islam harus di sesuaikan dengan
kebutuhan internasional, dengan persaratan masa kini, dengan pikiran modern. ‘Jadi
seandainya kita disini mendirikan negara islam, pertentangan itu pasti akan timbul
juga’.8 Supomo mengutip pendapat Muhammad Abduh bahwa syari’ah islam bisa di
ubah melalui ijma asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Juga di kutip
pendapat Ali Abd Al-Raziq yang dikatakan lebih radikal, bahwa agama terpisah dari
bahwa dalam negara-negara islam sendiri masih ada pertentangan pendirian tentang
bagaimana seharusnya bntuk hukum negara, supaya sesuai dengan aliran.11 M. Ali
sebagai negara islam atau negara demokrasi karena melihat sebagian besar penduduk
indonesia kebanyakan beragama islam dan para ulama ikut serta dalam perebutan
sejajar dengan isme-isme lain. Islam yang di jadikan asas adalah islam dalam arti
ideologi, bukan agama. Ideologi adalah karya manusia, tidak akan mencapai derajat
menjadi agama, tidak terkecuali pancasila. Dalam hubungan antara agama islam dan
pancasila, keduanya dapat berjalan saling menunjang dan saling mengokohkan.
Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh di pertentangkan. Juga tidak harus di
pilih salah satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain.12 Khamami
hanya omong kosong belaka namun ada dasar yang melatarbelakangi sehingga NU
Konsep Fitrah
sebagai berikut:
menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta
ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan
menghapus nilai-nilai tersebut.14
Fitrah adalah dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk
menemukan tuhan, demikian Ali Issa Othman mngawali bukunya tentang manusia
menurut Al-Ghazali.15
Othman,
Kedua : Islam dari segala yang bernyawa (dawab) dan tidak bernyawa
Keempat : Islam dari mereka yang mengikatkan diri kepada Allah secara
suka rela
Kelima : Islam dari mereka yang mengikuti agama dari Allah, islam di
lainnya.
Dengan kata lain islam secara suka rela atau terpaksa dan hal itu adalah
konsekuensi, segala sesuatu adalah ciptaannya sebab tidak ada di dalamnya yang di
luar jangkauannya.16
ideologi negara di lihat dari dasar fitrah yang titik sudut pandangnya didasarkan atas
islam sebagai agama yang dinamit. Dan ketika NU mulai mengambil sikap untuk
kembali menjadi organisasi keagamaan maka ia dapat menilai secara lebih realistis.
Pancasila di nilai sebagai falsafah bangsa sedangkan agama adalah wahyu. Pada
dasarnya sila-sila dalam pancasila tidak bertentangan dalam ajaran islam. Dalam
deklarasi termaktub penerimaan atas pancasila terputuskan sebagai dasar dan jalan
Konsep Ketuhanan
(Ayat 1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila lainnya mencerminkan tauhid menurut
pen
gertian keimanan islam. Pasal 29 UUD 1945 berbunyi: Negara berdasarkan atas
ketuhanan Yang Maha Esa. Secara teoritis terdapat empat kemungkinan hubungan
agama tertentu.
Agama dan negara di pisahkan. Itu dapat di lakukan secara radikal dan dalam
Pemahaman Sejarah
Siddiq menegaskan:
Ketika refolusi fisik telah selesai, umat islam memberikan saham pula dalam
dasar pandang, corak berfikir, falsafah dan ideologi negara sebagai acuan
hidup dan bergerak dan negara itu diakui sah secara islam, sedangkan Aqidah
adalah final, seluruh bangsa khususnya umat islam dan kalu wawasan
Ibid hal169
dasar 1926.
Meneliti kitab-kitab yang akan di pergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan
Nahdlatul Ulama mengirim utusannya ke Raja Sa’ud di tanah suci Mekkah agar di
mazhab
Nahdlatul Ulama meminta kepada pemerintah Belanda agar pendidikan agama islam
Islam A’la Indonesia) sebagai awal dan menghimpun kekuatan dalam menangkal
serangan penjajah.
Nahdlatul Ulama berperan menjadi partai politik agar menyesuaikan diri dengan
pokok-pokok islam.22
lainnya agar NU seperti yang dikatakannya sendiri, senantiasa dapat mengikuti dan
Resolusi Jihad. (Resolusi Perjuangan) pada tanggal 22 Oktober 1945 (Tiga minggu
tetapkan sebagai Hari Pahlawan yang mengajak umat islam menentang aksi
di pertahankan.
Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah yang sah, wajib di bela dan di
selamatkan.
Umat islam terutama Nahdlatul Ulama mengankat senjata melawan belanda dan
Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang islam
(Fardu ain) yang berada pada jarak radius 94 km (Jarak dimana umat islam di
adalah hasil perjuangan eluruh rakyat indonesia termasuk NU. Didalam semangat
dilakukan para penjajah dapat di tepis di samping itu pula ujung tombak dari
Ideologi negara dengan hukum-hukum islam, serta fatwa ulama tidak bertabrakan
dan tidak berat sebelah. Einar Martahan Sitompul M.th. NU dan Pancasila,
Pancasila melihat tolak ukur yang sangat relevan dan dinamis serta bersifat terbuka
ideologi Bangsa. Kerangka yang mungkin baik untuk di kembangkan saat ini adalah
mendudukkan agama dan pancasila pada sebuah pola hubungan yang jelas dan
fungsional. Selama ini pancasila di lihat sebagai pengatur lalu lintas hubungan antar
agama belaka, agar tidak timbul pertentangan hebat antara para pemeluk berbagai
agama.
landasan hidup berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, menjadi kerangka
memberikan warna spiritual kepada kegiatan mereka.26 Agama adalah faktor utama
yang memberikan perspektif dinamis bagi kehidupan dalam pengertian yang paling
Sikap menerima dan menolak, yang di lakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU)
terhadap soal-soal kebangsaan dan kenegaraan, semata-mata karena unsur agamis, plus
historis. NU merasa memegang amanah bagi kelestarian ajaran islam di indonesia, dan
segala hal yang brkaitan dengan upaya-upaya yang mengancam tradisi dan keislaman,
biasanya juga mengancam eksistensi kebangsaan dan kenegaraan. Hal ini sudah di
buktikan oleh sejarah republik, sejak zaman kolonial sampai saat ini. Bahwa secara
ideal maupun real, konstelasi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, sama sekali tidak
bisa dilepaskan dengan dinamika nilai-nilai islam di dalamnya, yang punya sifat-sifat
universal dan khusus, punya sifat mendunia, dan punya sifat yang nasional-
kebangsaan.27
Oleh sebab itu, setiap upaya-upaya ideologis ataupun politis yang mengancam
yang melenceng dari “Ruh” dan hakikat sebenarnya, sebagai mana kemauan dari para
pendiri negrara ini, maka akan selalu muncul ketidak stabilan bangsa ini. Manakala
bahkan kepentingan ideologi tertentu, yang menyimpang dari nilai-nilai tauhid, akan
terpeleset dalam sejarah. Begitu pula ketika pancasila hanya ada dalam mulut dan
terancam kehancuran.28
Nahdaltul Ulama (NU) melihat ideologi sebagai realitas historis, oleh karena
itu, ideologi merupakan cerminan kultur suatu bangsa. Walaupun cerminan ideologis
tersebut memberikan warna islami, tidak berarti bahwa ideologi yang demikian
instrumen, dan suplemen bagi nuansa kebangsaan dimana umat beragama hidup
bersama dalam suatu ikatan ideologis itu sendiri. Bagi islam, ideologi hanyalah
perangkat belaka. Bukan sebagai tujuan atau sebagai sesuatu yang di perebutkan.
Ideologi adalah refleksi dan dilahirkan oleh sejarah, diproduk dalam fikiran, tidak bisa
Jama’ah. Dengan kata lain, islam akan berkembang di Indonesia, manakala pancasila
indonesia.29
terumuskan sebagai mana adanya saat ini, warna islam begitu formal, sebagaimana
tertera dalam Piagam Jakarta. Kenyataan ini mewarnai perdebatan ideologis, setelah
akhirnya mengalami jalan buntu dan “dead lock” sejak dekrit presiden 5 Juli 1959
1945. namun, persaingan ideologis terus berlanjut, karena justru munculnya ancaman
ideologi itu sendiri. Situasi ini baru selesai, setelah dengan tegas, di sepakatinya,
Ibid hal 57
Ibid hal 58
Ibid hal 61
Ibid hal 62
Disamping itu pula penerimaan Ulama (NU) atas pancasila di tegaskan dalam
adil dan makmur. Penerimaan atas pancasila sudah di muat didalam muqaddimah
Indonesia, maka dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yang
Nahdlatul Ulama berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
berpegang kepada moral yang tinggi di ciptakan tercapainya “Suatu keadilan bagi
seluruh Rakyat Indinesia”. Lembaga Soekarno Hatta, Sejarah Lahirnya UUD 1945
Khittah (Semangat )1946. Suatu langkah untuk mengukuhkan kembali peranan ulama
sebagaimana hakikatnya ketika didirikan tahun 1926, agar ulama memegang kendali
sebagai partai politik menjadi tidak relefan lagi. Apalagi NU sudah menyadari selama
menjadi partai poalitik ia telah banyak menghabiskan tenaga untuk prestasi politik
dari penerimaan terhadap pancasila, sehingga dalam bertingkah laku sebagai warga
masyarakat harus sesuai dengan pancasila, dan ketika mengambil sebuah kebijakan
oleh elite politik juga bersandar atas pancasila agar dampak yang di timbulkan dari
rakyat, jadi antara pancasila dan agama berada di tengah-tengah beground bangsa
Indonesia harus berjalan beriringan selaras dan serasi agar cita-cita luhur bangsa
DAFTAR PUSTAKA
Harapan, 1989.
Erlangga, 2004.
Harapan, 1996.
2007.
OUTLINE
(Kajian Historis)
BAB I. PENDAHULUAN
Perunusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kerangka Pemikiran
Langkah-Langkah Penelitian
Sistematika Pembahasan
PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
Negara
BAB V. PENUTUP
Kesimpulan
Saran-saran