Anda di halaman 1dari 16

UNIVERSITAS INDONESIA

Pemikiran Politik Islam




Dinamika Diskursus Islam dan Nasionalisme: Hubungan Islam dan
Nasionalisme Pada Masa Pra Kemerdekaan di Indonesia (1926-1944)


Oleh
Dzaki Yudi Ananda 1206274071




Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program S1 Ilmu Politik Paralel



Depok, 2013
Dinamika Diskursus Islam dan Nasionalisme: Hubungan Islam dan
Nasionalisme Pada Masa Pra Kemerdekaan di Indonesia (1926-1944)
Oleh: Dzaki Yudi Ananda (1206274071)

ABSTRAK
Islam dan Nasionalisme memiliki pengaruh dalam pergerakan
Indonesia menuju kemerdekaan pada interval tahun 1926-1944.
Terjadi hubungan tarik menarik antara golongan Islam dan golongan
Nasionalis yang tidak jarang mengakibatkan pergesekan antar
keduanya. Tetapi usaha-usaha penjajah untuk memisahkan keduanya
tidak cukup untuk menyurutkan semangat kedua pihak untuk
mendapatkan kemerdekaan. Makalah ini akan membahas bagaimana
pasang-surut hubungan antara golongan Islam dan Nasionalis serta
pemikiran M. Natsir yang meleburkan pemikiran dua golongan
tersebut.
Kata Kunci: Islam, Nasionalisme, Sekuler, Pergerakan
PENDAHULUAN
1. Kata Pengantar
Bagaimana Islam memandang sebuah konsep nasionalisme? Kita perlu
memahami beberapa pemikiran dari para Tokoh seperti seorang al-Maududi, tokoh
Islam Pakistan (1903-1979), misalnya, berbeda pendapat dengan tokoh pendiri IM
(Ikhwan al-Muslimin), Hasan al-Bana (1906-1949). Al-Bana dalam risalah al-
mu'tamar al-khamisnya, misalnya mengatakan, "Relasi antara Islam dan
Nasionalisme tidak selalu bersifat tadhadhud atau kontradiktif. Menjadi muslim yang
baik tidak selalu berarti antinasionalisme." Kalaupun kita panjangkan, maka menjadi
sekularis juga tidak selalu berarti menjadi nasionalis tulen. Berbeda dengan al-
Maududi yang menolak kehadiran nasionalisme dalam pemikiran Islam, karena ia
dianggap produk barat dan hanya membuat pecah-belah umat Islam.
Di Indonesia sendiri, pertentangan antara konsep nasionalisme dan Islam
merupakan permasalahan yang sudah ada sejak masa pergerakan menuju
kemerdekaan. Pada tahun 1912, berdiri organisasi Sarekat Islam yang mengawali
berkumpulnya orang-orang di luar suku jawa. Organisasi nasional sebelumnya, Budi
Utomo, hanya menjangkau kaum tradisional Jawa. Organisasi Islam dapat
menjangkau semua kalangan dan semua suku yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu,
organisasi Islam merupakan tanda dimulainya pergerakan nasional untuk
memperjuangkan kemerdekaan atas kolonial. Hubungan tarik-menarik antara Islam
dan Nasionalisme terjadi untuk menentukan dasar negara Indonesia selama masa
pergerakan. Selanjutnya dalam pembahasan makalah ini akan dijelaskan bagaimana
wacana Islam terhadap konsep nasionalisme, khususnya selama masa pergerakan
menuju kemerdekaan Indonesia.

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pandangan Islam terhadap Nasionalisme?
2. Bagaimana hubungan antara Islam dan Nasionalisme selama masa pra
kemerdekaan di Indonesia?
3. Siapa tokoh Islam-Nasionalis pada masa pergerakan di Indonesia?

3. Batasan Masalah
Makalah ini lebih terhadap pandangan Islam terhadap Nasionalisme dan
hubungan keduanya pada zaman pergerakan Indonesia menuju kemerdekaan (1926-
1944)

4. Kerangka Konsep

1. Wacana Islam Tentang Nasionalisme
Secara harfiah, Islam dan Nasionalisme memiliki hubungan antara satu dan
lainnya. Pemikir-pemikir Islam kontemporer memiliki pandangan masing-masing
terhadap ide-ide Nasionalisme. Antara lain Tahtawi (1801-1873), Luthfi al-Sayyid,
dan pemikir-pemikir modernis fundamentalis yang pro dan kontra terhadap wacana
Nasionalisme.

2. Islam dan Nasionalisme pada masa pergerakan
Islam memiliki pengaruh yang besar pada zaman pergerakan menuju
kemerdekaan. Hal ini disebabkan karena banyak tokoh-tokoh Islam yang menggagas
terbebasnya Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme.
3. M. Natsir sebagai tokoh Islam-Nasionalis
M. Natsir merupakan tokoh yang yang sangat mewakili antara Islam dan
Nasionalisme. Konsep-konsep Islam yang diajarkan Natsir untuk melawan
kolonialisme, merupakan cikal-bakal lahirnya rasa Nasionalisme.

PEMBAHASAN

1. Bersikap Moderat
Nasionalisme dengan pengertian paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan
negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial
atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas,
integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa (KBBI, cet. 1999) bukan hanya tidak
bertentangan, tapi juga bagian tak terpisahkan dari Islam. Artinya, kita bisa menjadi
muslim taat, ditambah menjadi seorang nasionalis sejati. Hizbut Tahrir merupakan
golongan yang tidak sependapat dengan hal ini. Adapun keberatan Hizbut Tahrir dan
yang sependapat dengannya, bisa dibantah dengan:
1. Nasionalisme tidak bertentangan dengan konsep persatuan umat dan tidak
menghalangi kesatuan akidah. Batas geografis tidak sepenuhnya negatif.
Solidaritas umat tetap bisa dibangun, apalagi kita sekarang berada di era
globalisasi. Solidaritas Uni Eropa bisa menjadi contoh kita. Pokok soal
kemunduran peradaban umat Islam bukan pada tidak adanya khilafah, tapi
pada kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan kurangnya solidaritas umat.
Islam punya nilai yang sifatnya global dan tanpa batas, seperti dalam akidah
dan ibadah.
2. Nasionalisme yang mengarah kepada fanatisme kesukuan, tentu kita setuju
menolaknya. Tapi tidak selamanya nasionalisme selalu berwajah fanatisme
dan perpecahan antarsuku. Sejarah membuktikan bahwa nasionalisme punya
saat-saat membebaskan dan mencerahkan. Nasionalisme di Barat pada abad
18 M adalah revolusi perlawanan rakyat atas hegemoni kaum aristokrat dan
anti dominasi gereja. Di negara terjajah, nasionalisme bercorak
antiimperialisme dan penjajahan asing.
3. Kita setuju penolakan Maududi atas paham nasionalisme dalam konteks
perseteruan Mesir/Arab-Turki yang lebih merupakan perseteruan Arab-non
Arab. Tapi menggenalisir nasionalisme menjadi sepenuhnya negatif adalah
kekeliruan. Karena alasan yang telah disebut pada poin tiga.

2. Nasionalisme dalam Sudut Pandang Islam

Selain agama, kewarganegaraan dalam hal ini nasionalisme merupakan sebuah
identitas kebangsaan. Kaum muslim sejak dahulu mengakui adanya kebangsaan yang
hidup dalam komunitas agama Islam. Hingga akhir abad ke-19, kebangsaan tidak
pernah dipakai untuk identitas kewarganegaraan. Walaupun Iran secara de Facto
adalah negara-bangsa, Syiah tetap menjadi identitas kewarganegaraan. Ide tentang
negara-bangsa mempengaruhi pemikiran politik Islam seiring masuknya ide-ide
pemikiran Eropa. Penulis-penulis Turki dan Mesir mempropagandakan cinta tanah air
adalah sebuah kebaikan, ide-ide ini merupakan cikal bakal terciptanya nasionalisme
di kalangan pemikir-pemikir politik Islam.

Tahtawi (1801-1873) berpendapat bahwa seseorang yang memiliki kesamaan
tanah air dan bangsa memiliki hak dan kewajiban yang sama antara satu dan lainnya.
Pendapat ini memiliki kesamaan dengan ajaran Islam bahwa semua manusia adalah
sama dan memiliki hak kewajiban antara satu dan lainnya. Selain Tahtawi, Lutfi al-
Sayyid (1872-1963) mengaitkan ide-ide universalisme dengan imperialisme Islam.
Al-Sayyid mengaitkan pemikiran universalisme yang intinya tanah Islam adalah
tanah air seluruh muslim, dengan imperialisme Islam yakni Utsmani (Turki).
Menurutnya gagasan itu sudah harus digantikan dengan gagasan baru, yaitu dengan
satu kepercayaan yang sesuai dengan ambisi setiap Negara Timur yang mempunyai
tanah air tertentu, yaitu rasa nasionalisme (wathaniyyah).
1


Namun banyak pemikir modernis yang berpendapat bahwa nasionalisme memiliki
potensi untuk memecah belah dan tidak cocok dengan universalisme Islam. Rasa
nasionalisme dianggap hanya dapat memunculkan semangat masing-masing bangsa
yang ada di imperialisme utsmani. Bahkan lebih keras lagi, kaum fundamentalis
menganggap nasionalisme adalah hasil dari zaman jahiliyyah dan merupakan setan
rasis, fanatisme nasional. Hal ini berdasarkan dari pandangan kaum fundamentalis
bahwa dahulunya di jazirah Arab terdiri dari kabilah-kabilah yang menganggap
kabilah mereka adalah yang terbaik, sehingga muncul niatan untuk menghancurkan
kabilah lainnya dan menimbulkan perang. Sejauh kebangsaan menjadi satu-satunya
pilihan sebagai penentu jatidiri keagamaan dan kewarganegaraan, sangat kecil
kemungkinan munculnya pandangan kebangsaan dan nonsektarian di dunia Islam.
2


3. Hubungan yang Terjalin Antara Islam dan Nasionalisme di Indonesia
Pra Kemerdekaan
Gerakan dan Pertentangan golongan Nasionalis dan Islam Selama Masa
Menuju Kemerdekaan, 1926 1930.
Munculnya beberapa gerakan dan pertentangan antara kaum Nasionalis dan
Islam dilatarbelakangi pada masa pertama sebelum kemerdekaan 1926 hingga 1930.

1
Black, Anthony. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi hal. 620
2
Piscatori, James P. Islam in a World of Nation States. Cambridge: Cambridge University Press.
Gerakan-gerakan kemerdekaan antara kaum nasionalis dengan Islam pada dasarnya
dilatarbelakangi dengan hubungan yang sangat baik antara Soekarno dengan
Cokroaminoto, yang dimana pada saat itu Cokroaminoto masih memimpin Sarekat
Islam. Hal ini juga dilatarbelakangi dengan kemunculan berbagai organisasi yang
juga memiliki berbagai macam pondasi atau landasan yang melatarbelakangi
organisasi tersebut. Sebagai contoh Jong Java yang pada saat itu keluar golongan
Islam dari Jong Islamieten Bond dikarenakan Jong Java tidak bersedia menerima
Islam sebagai dasarnya, Sarekat Islam dimana organisasi berlandaskan Islam dengan
jumlah massa yang sangat banyak, dan sebagainya.
Gerakan nasionalis pertama muncul dari pada masa kepemimpinan Soekarno
itu sendiri. Pada 1927 Soekarno mendirikan sebuah partai, yaitu Partai Nasionalisme
Indonesia, yang pada 1928 kemudian diubah menjadi Partai Nasional Indonesia.
Dengan sangat jelas bahwa partai ini berlandaskan nasionalisme Indonesia yang
sangat kental, tidak Islam, Komunis, maupun Tradisonal Jawa yang menjadi landasan
organisasi lain. Terkait dengan agama, sikap PNI cenderung netral. Terbentuk sebuah
federasi dengan nama Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
sebagai buah perundingan antara berbagai partai dan orgaisasi di Indonesia pada
Desember 1927. Federasi ini beranggotakan PNI, Sarekat Islam, dan Budi Utomo.
Dalam jajaran pemimpin-pemimpin termuka, PNI menduduki kursi-kursi dewan
pengurus Federasi.
3
Federasi ini dengan latar belakang untuk melakukan mufakat atu
musyawarah dalam mengambil berbagai keputusan. Disamping itu, PNI juga
menolak keras terhadap kepemimpinan Belanda. Mereka mengajak seluruh
masyarakat untuk menolak bahkan untuk menjatuhkan pemerintahan Belanda. Peran
Soekarno yang kuat dan mengayomi ini membuat hati para masyarakat kecil
membara dan berapi-api, dimana masyarakat berbondong-bondong untuk
mendaftarkan dirinya sebagai anggota PNI.
Hingga pada 29 Desember 1929, pemerintahan Belanda mengambil keputusan
untuk menangkap dan menahan para jajaran pemimpin PNI. Dari sini muncul lah

3
Pipitseputra. Beberapa Aspek dari Sejarah Indonesia (Surabaya : Arnoldus Ende-Flores). Hal. 252
berbagai macam permasalahan internal. Secara garis besar permasalahan ini
disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dan aliran, yakni antara pandangan kaum
Islam dengan Nasionalis. Dari sini mulai terlihat jelas berbagai campur tangan Islam
dalam perbedaan sudut pandang dengan kaum nasionalis. Perbedaan tersebut
diantaranya dimana pihak Sarekat Islam menuntut agar pemerintah tidak ikut
mengambil peran dalam mengurus permasalahan-permasalahan yang ada, karena
menurut mereka, mereka dapat mengurusnya sendiri dengan hukum-hukum Islam.
Sedangkan kaum nasionalis berupaya agar pemerintah mengambil peran penting
terhadap kejadian-kejadian atau konflik moril yang terjadi di kalangan Islam. Lalu
pihak Sarekat Islam tidak begitu setuju dengan berdirinya Bank Indonesia, karena
Islam tidak mengizinkan umatnya untuk membungakan uang. Kemarahan gelanggang
Islam berkobar ketika kaum nasionalis menuduh golongan Islam merugikan negara
berjuta-juta rupiah dengan kebiasaan naik haji. Hingga pada akhirnya, tepatnya pada
Desember 1930, Sarekat Islam keluar dari barisan federasi PPPKI. Hingga pada
saatnya, terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan muda dan golongan tua.
Golongan muda Islam disini menyatakan harapan agar di negeri ini, agama Islam
mendapatkan prioritas, yang dimana golongan lain lebih condong persoalan agama
tidak dibahas.
Pada masa ini banyak terjadi pertentangan antara kalangan Islam yang tetap
mempertahankan azas Islam sebagai penggalang persatuan nasional, dan kalangan
kebudayaan yang berdiri sendiri. Jong Islamiesten Bond disini berdiri sendiri dan
tidak bersedia meleburkan diri. Mereka menyatakan bahwa Islam sangat berguna
dalam menggalang persatuan di Indonesia. Mereka bersedia meleburkan diri di dalam
satu fusi jika mereka menyatakan satu tanah air, bangsa dan bahasa jika azas dari cita-
cita tersebut adalah Islam.
Federasi Nasionalis (Gapi) dan Federasi Islam (MIAI) pada 1935-1941.
Pada masa ini Partai Sarekat Islam terus mengalami beberapa permasalahan,
terutama dalam hal perpecahan. Permasalahan yang pertama terkait karena terjadi
kesalahpahaman, atau perbedaan pandangan dan pola pikir. Pada saat itu H. Agus
Salim menghendaki untuk mengadakan kerjasama dengan Belanda, dikarenakan guna
memperlancar hubungan dengan Belanda karena aktivitas politik selama ini yang
dilakukan selalu dihalangi oleh Belanda. Hingga pada akhirnya ia dikeluarkan dari
Partai Sarekat Islam Indonesia karena mendapatkan banyak tentangan dari golongan-
golongan yang tidak menyetujui politiknya. Terjadi beberapa sistem perombakan atau
pergantian anggota pada masa 1933 hingga 1938.
Terjadi beberapa gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa partai
maupun organisasi. Salah satu diantaranya adalah gerakan pemberontakan Darul
Islam di Jawa Barat terhadap RI. Pihak-pihak yang tergabung dalam gerakan ini
adalah kelompok-kelompok yang keluar dari PSII pada 1940 dikarenakan mereka
condong untuk membentuk pemerintahan teokrasi Islam. Gerakan mereka kemudian
mulai menyentuh tanah Aceh yang menentang dua macam saingan mereka,
diantaranya adalah Muhammadiyah dan Uleebalang. Namun dikarenakan mereka
yakin bahwa perpecahan akan sangat merugikan bangsa, kalangan-kalangan tersebut
membentuk kerja sama yang kuat, hingga pada akhirnya pada tahun 1937 terbentuk
Majisil Islamil Alaa Indonesia atau MIAI. Anggota-anggotanya terdiri dari
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan partai politik PSII. MIAI tidak bergerak
dalam bidang politik, melainkan untuk menjaga keluhuran ajaran Islam.
Pada 1939 dibentuk federasi lain yaitu Gabungan Politik Indonesia, atau Gapi,
yang beranggotakan Parindra, Gerindo dan PSII. Gapi bergerak dibidang politik tapi
tidak mengarah terhadap Indonesia merdeka, melainkan untuk menghimpun semua
partai politik untuk menggalang saling kerjasama. Golongan Islam masih tetap
memberikan kritik dimana diberlakukannya hukum adat sebagai hukum resmi. Maka
dari itu Gapi disini mengusul pemerintahan Belanda untuk membentuk parlemen
sendiri. Dikarenakan MIAI bergerak diluar bidang politik, setelah suatu rapat-kilat
diputuskan bahwa MIAI mendukung aksi berparlemen tersebut asalkan berdasarkan
azas Islam. Permohonan berparlemen tersebut pada akhirnya ditolak mentah-mentah
oleh Belanda. Usaha Gapi tidak hanya sampai disitu saja, Gapi mengeluarkan
memorandum agar Belanda dan Indonesia membentuk negara persekutuan, disini
MIAI menyatakan setuju dengan syarat kepala negara dan 2/3 jumlah mentri nya
beragama Islam. Namun dikarenakan PSII merasa tidak krasan lagi dikalangan Gapi,
pada Desember 1941, PSII keluar dari Gapi dan tetap di barisan MIAI dan berusaha
mengungguli Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
4
Pada saat Jepang datang
menyerbu Indonesia, terbagi menjadi dua golongan. Golongan nasionalis terpisah
dengan golongan Islam, diantaranya terdapat Gapi sebagai golongan nasionalis,
terpisah dengan MIAI sebagai golongan Islam. Masing-masing mereka berdiri
sendiri-sendiri, satu dengan yang lain terpisah sama sekali.
Golongan Nasionalis dan Golongan Islam di bawah Kekuasaan Jepang, 1942
1944.
Sesuai dengan ramalan Jayabaya, akan terjadi perang Pasifik yang
memecahkan keadaan. Hingga kemudian bangsa kulit kuning dari Utara akan
datang sebagai penyelamat untuk mengusir penjajah, dalam ramalan itu dinyatakan
bahwa mereka datang tidak untuk waktu yang lama, melainkan hanya seumur jagung.
Hingga pada akhirnya Jepang datang dan berhasil dengan mudahnya mengalahkan
Belanda. Tindakan utama yang dilakukan Jepang untuk memikat rakyat Indonesia
adalah dengan Gerakan 3A : Jepang sinar Asia, Jepang Pembebas Asia, dan Jepang
pemimpin Asia. Dalam gerakan ini Jepang melakukan kerjasama dengan partai-partai
yang tergabung dalam Gapi. Hingga pada akhirnya partai-partai yang tergabung
dalam Gapi dibubarkan pada tanggal 20 Maret 1942 dengan sebuah dekrit. Begitu
juga dengan Persiapan Persatuan Ummat Islam.
Jepang nyatanya tidak begitu percaya terhadap MIAI, mereka lebih senang
berurusan dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Hingga pada akhirnya
MIAI dibubarkan pada 1943 Oktober. Setelah PSII digeser dan MIAI dibubarkan,
Jepang membentuk federasi baru bagi organisasi-organisasi Islam, yaitu Majelis
Syuro Muslimin Indonesia atau yang disingkat Masyumi pada 23 November 1943.

4
ibid, hal. 270.
Anggota-anggota nya terdiri atas Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Tindakan-
tindakan politik juga dilakukan diluar Jawa, yaitu Aceh. Disini Jepang melakukan
pendekatan dengan para kepala adat, para Uleebalang dan himpunan para ulama.
Disini Jepang memasuki para Uleebalang kedalam bidang pemerintahan, yang
dimana selama ini diduduki oleh kekuasaan Belanda. Namun golongan ulama
menuntut lebih, dimana mereka menuntut akan sistem teokrasi. Dilain sisi para
Uleebalang menghendaki untuk mengembalikannya kedudukan mereka sebagai
golongan pemimpin. Dengan demikian timbul persaingan kuat antara kedua golongan
tersebut.
Dalam masa pemerintahan Jepang, golongan Islam mendapatkan izin dari
pihak Jepang untuk membentuk barisan dikalangan mereka sendiri. Hingga pada 4
Desember 1944, Masyumi membuat sebuah barisan bersenjata, yaitu Hizbullah yang
artinya barisan Tentara Allah. Barisan ini ditugaskan untuk membela agama dan
ummat Islam di Indonesia. Barisan ini dipimpin langsung oleh Masyumi. Hasil
kebijakan Jepang adalah bahwa hubungan antara pemimpin golongan Islam dan
nasionalis berubah. Semula menempati kedudukan dibawah kekuasaan adat, maka
dibawah kekuasaan Jepang para pemimpin Islam berada di kedudukan yang sama
dengan para golongan nasionalis. Usaha-usaha pihak Jepang untuk menempatkan
kedua golongan ini yang sejak dahulu bersaingan ini, dengan kehadiran bangsa
Jepang dapat berlangsung lama di Indonesisa, gagal sama sekali. Golongan nasionalis
dan Islam tidak bersedia mengorbankan cita-cita mereka mencapai kemerdekaan,
sekedar guna mengadakan pertengkaran di dalam gelanggang sendiri, untuk merebut
supremasi.
5

Islam dan Kaum Nasionalis Sekuler.
Kata sekuler itu sendiri berasal dari bahasa latin secularis yang berarti tidak
termasuk dengan lingkungan gereja, tidak rohanian, tidak berurusan dengan agama,
atau dengan hal-hal kerohanian. Sekulerisme dapat dijelaskan dengan usaha

5
Ibid, hal. 279.
mewujudkan lingkungan pengetahuan yang otonom, yang bersih dari dalil-dalil
supranatural, dan kepercayaan. Sedangkan kaum nasionalis, walaupun banyak
diantaranya dibesarkan dalam lingkungan dan pengaruh Islam, namun mereka
mempunyai prinsip yang pertama nasionalis baru. Sedangkan untuk prinsip Islam,
menurut mereka kemerdekaan harus dicapai hanya atas dasar nasionalisme dan
seperti yang dikatakan oleh Soekarno bahwa rakyat tidak bisa menantikan bantuan
dari sebuah kapal terbang dari Moskwa atau seorang khalifah dari Instambul.
6

Maka dari itu diungkapkan bahwa, menurut kaum nasionalis sekuler, Islam
tidak memberikan basis yang cukup bagi persatuan semua warga bangsa Indonesia,
entah itu Muslim, Kristen, Hindu, dan sebagainya, untuk menghadapi penjajahan
Belanda. Kaum nasionalis sekuler memang dapat menerima kedudukan Islam dalam
kehidupan pribadi individu, tapi tidak dalam kegiatan-kegiatan politik.
7

4. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir
Mohammad Natsir adalah salah satu tokoh Islam Indonesia terkemuka di abad
ke XX. Sosoknya tidak saja dikenal oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga oleh
masyarakat dunia, lebih khusus lagi di dunia Islam. Sepanjang hidupnya, Natsir aktif
terlibat dalam pelbagai gerakan, baik yang bersifat sosial, politik, keilmuan, maupun
keagamaan. Khususnya dalam bidang politik-keagamaan, Natsir sudah mulai aktif
sejak masa remaja. Keberhasilan karir politiknya di antaranya ditandai dengan
terpilihnya Natsir menjadi Ketua Umum Partai Masjumi, anggota KNIP, anggota
Parlemen dan Konstituante, Menteri Penerangan, dan Perdana Menteri Republik
Indonesia. Dalam gerakan keagamaan, Natsir juga mencatat prestasi yang luar biasa.
Pada tingkat nasional, misalnya, Natsir memegang pelbagai jabatan penting dalam
organisasi-organisasi keagamaan. Dia juga adalah pendiri dan sekaligus ketua Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia yang dipegang sampai akhir hayatnya. Sementara pada
tingkat internasional, Natsir pernah memegang jabatan sebagai anggota Majlis Tasisi
Rabithah al-Alam al-Islami yang berkedudukan di Saudi Arabia, dan sampai akhir

6
Rosihan Anwar. Jatuh Bangun Pergerakan Islam di Indonesia (Jakarta : PT. Kartika Tama). Hal. 84.
7
Ibid, Hal. 85
hayatnya memegang jabatan sebagai Wakil Presiden Mutamar al-Alam al-Islami
yang berkedudukan di Pakistan. Semua ini hanyalah sedikit dari sekian banyak
prestasi yang diukir oleh Natsir semasa hidupnya.
8

Mohammad Natsir adalah seorang tenaga sejarah yang mengikuti perjuangan
ummat Islam sejak jayanya, sebagai Ketua Umum partai politik Masyumi sebagai
Perdana Menteri RI, mengusahakan kedudukan yang memimpin untuk ummat Islam
pada masa penjajahan Belanda hingga masa penjajahan Jepang, diperlukannya sosok
pejuang yang berwajah dua. Dalam hal ini Natsir adalah sesosok pejuang yang
sedemikian. Dimana ia memiliki sosok yang formal sebagai pejabat ataupun informal
sebagai pejuang secara diam-diam. Sebagai pejabat, ia secara diam-diam membantu
dan melatih gerakan-kerakan kekuatan perjuangan demi merubah keadaan pada
waktu kedepan.
9

Natsir menggariskan bahwa program kebijaksanaan terhadap sasaran
operasional Dakwah difokuskan terhadap tiga lingkungan, diantaranya Masjid,
Pesantren, dan Kampus
10
. Masjid yang diharapkan agar dapat membentuk jamaah
yang senantiasa siap berbakti kepada Allah dan membina jamaah yang diwarnai
dengan nilai-nilai Islami. Melalui pesantren maka dapat tumbuh potensi-potensi
ulama-ulama muda yang menyediakan diri untuk membina jiwa dan rohani ummat,
sesuai dengan ajaran yang diungkapkan Al-Quran dan Sunnah. Berikut melalui para
kiyai setempat, hubungan dengan pesantren-pesantren ini senantiasa ditingkatkan,
terutama melalui organisasi kerjasama pesantren yang sudah banyak tumbuh di
berbagai wilayah Indonesia. Melalui berbagai kampus, pemuda-pemuda intelektual
dimatangkan kembali melalui persiapan ilmiahnya. Pemuda-pemuda yang akan
memegang pimpinan masyarakat di zaman depan itu perlu dibina rohaniahnya. Selain
itu inisiatif para mahasiswa di bawah bimbingan pimpinan perguruan tinggi masing-

8
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/03/16/activism-and-intellectualism-the-biography-of-
mohammad-natsir/ diakses 2 Desember 2013 pukul 21.17
9
Moch. Lukman Fatahullah Rais, Mohammad Syah Agusdin, dkk. Mohammad Natsir Pemandu
Ummat. (Jakarta : PT. Bulan Bintang). Hal. 36
10
Ibid, hal. 16.
masing, dipikirkan pula sarana-sarana yang akan mendukung pelaksanaan cita-cita
tersebut.
Dalam pemikiran Mohammad Natsir tidak terlepas antara agama dan
kemerdekaan berpikir dan hubungan antara agama dan bangsa. Terkait dengan
hubungan antara agama dan kemerdekaan berpikir, Natsir berpikir berlandaskan
junjungan Nabi Muhammad SAW yang penting ialah menghargai akal manusia dan
memperlindunginya daripada tindasan-tindasan yang mungkin dilakukan orang atas
nikmat Tuhan yang tak ternilai itu.
11
Disini diungkapkan bahwa dalam Islam, akal
mendapatkan tempat yang mulia, dimana akal tidak ditindas maupun dibatasi.
Melainkan akal dipergunakan dan diberi jalan dan kemudahan untuk kemanfaatan
manusia itu sendiri. Menurut Natsir bahwa dengan akal yang merdeka, maysarakat
Indonesia dapat mencela, mengkritik dan bahkan mengejek-ejek orang lain. Dilain
sisi ia berpendapat bahwa akal yang merdeka diibaratkan sebagai api gemerlap yang
menuntun kita ke terang benderang. Sedangkan agama, datang sebagai penuntun arah
akal kita, agar tidak mengalir ke arah yang tidak jelas atau berbelok.

KESIMPULAN
Nasionalisme dengan pengertian paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan
negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial
atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas,
integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa dan tidak dapat dipisahkan dari Islam.
Selain agama, kewarganegaraan dalam hal ini nasionalisme merupakan sebuah
identitas kebangsaan. Terdapat pro dan kontra terhadap nasionalisme dalam konteks
pemikiran politik Islam. Kalangan yang mendukung berpendapat bahwa Islam
merupakan pemicu terhadap lahirnya persatuan yang terjadi di Negara Timur.
Kalangan yang menolak berpendapat bahwa Nasionalisme hanya akan mengkotak-
kotakkan manusia ke dalam semangat kebangsaan yang terlalu tinggi.

11
Tarmizi Taher, Anwar Harjono, dkk. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir. (Jakarta :
Pustaka Firdaus). Hal. 23.
Munculnya beberapa gerakan dan pertentangan antara kaum Nasionalis dan
Islam dilatarbelakangi pada masa pertama sebelum kemerdekaan 1926 hingga 1930.
Gerakan-gerakan kemerdekaan antara kaum nasionalis dengan Islam pada dasarnya
dilatarbelakangi dengan hubungan yang sangat baik antara Soekarno dengan
Cokroaminoto diikuti dengan lahirnya organisasi-organisasi yang membawa
semangat kemerdekaan. Selanjutnya terjadi beberapa kali perpecahan antara kaum
Islamis dan kaum Nasionalis. Banyak ketidaksepahaman antara kedua pihak baik dari
segi pemikiran ataupun dari praktek politiknya. Dibawah kekuasaan Jepang para
pemimpin Islam berada di kedudukan yang sama dengan para golongan nasionalis,
sehingga semakin memanaskan hubungan antara dua pihak. Lebih jauh lagi menurut
kaum nasionalis sekuler, Islam tidak memberikan basis yang cukup bagi persatuan
semua warga bangsa Indonesia. Namun, walaupun hubungan antara Islam dan
Nasionalis sengaja dipanaskan oleh Jepang, kedua pihak tidak mengorbankan cita-
cita akan kemerdekaan dan mengutamakan kebanggaan masing-masing golongan.
M. Natsir adalah salah satu tokoh yang dapat menyatukan dan memadukan
dua pemikiran Islamis dan Nasionalis, baik selama masa pergerakan maupun setelah
masa kemerdekaan. Natsir dianggap dapat merepresentasikan dengan baik dua
golongan yang terlibat perpecahan pada zaman pergerakan ini. Dalam pemikiran
Mohammad Natsir tidak terlepas antara agama dan kemerdekaan berpikir dan
hubungan antara agama dan bangsa.







DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan. 1971. Jatuh Bangun Pergerakan Islam di Indonesia. Jakarta : PT Kartika
Tama.
Arfani, Riza Noer. 1996. Demokrasi Indonesia Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Black, Anthony. 2006. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Jakarta:
Serambi
Esposto, John L., dan John O. Voll. 1996. Demokrasi Di Negara-Negara Muslim : Problem dan
Prospek. Washington : Oxford University Press Inc.
Pipitseputra. 1973. Beberapa Aspek Dari Sejarah Indonesia. Flores : Percetakan Arnoldus.
Rais, Moch. Lukman Fatahullah, Mohammad Syah Agusdin, dkk. 1989. Mohammad Natsir
Pemandu Ummat. Jakarta : PT. Bulan Bintang.
Siradj, Said Aqiel. 1999. Islam Kebangsaan Fiqih Demokratik Kaum Santri. Jakarta: Fatma
Press
Taher, Tarmizi, Anwar Harjono, dkk. 1996. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir.
Jakarta : Pustaka Firdaus.
Vatikiotis, P.J.. 1991. Islam and The State. London : Routledge 11 New Fetter Lane.
http://m.pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/telaah/allsub/251/islam-dan-
nasionalisme.html diakses 25 November 2013 pukul 20.31
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/03/16/activism-and-intellectualism-the-biography-of-
mohammad-natsir/ diakses 2 Desember 2013 pukul 21.17

Anda mungkin juga menyukai