Anda di halaman 1dari 20

Dinamika & Perkemangan Ilmu Pengetahuan di Dunia Islam Era Kontemporer

Muliya Maulidina (234120600011)


Ahmad Rofida Aziz (234120600008)
UIN Syaifuddin Zuhri

A. Pendahuluan
Ilmu dan manusia merupakan suatu yang sangat erat kaitannya. Sejak awal
keberadaan manusia telah diajarkan oleh Tuhan tentang berbagai ilmu. sejarah yang
menandai keberadaan manusia dengan tingkah lakunya juga terkait erat dengan ilmu
betapapun sederhananya sosok ilmu tersebut. Biasanya, ada keterkaitan yang erat
antara kehidupan manusia dengan geografis masing-masing wilayah yang pada
tataran awal mereka.
Klasifikasi Barat dan Islam, bukan merupakan suatu padanan yang lazim
dipakai dalam berbagai kajian. Jika disepadankan, maka istilah Islam tersebut
dimaknai dengan Timur, yang kebanyakan masyarakat beragama Islam. Demikian
juga halnya dengan pembagian rentan sejarah dunia barat menjadi beberapa bagian
yakni klasik (Yunani dan Romawi), pertengahan (masa al-masih sampai renaissance)
modern (abad ke-17 sampai sekarang). Tidak lupa ada istilah kontemporer dalam ilmu
pengetahuan di dunia Barat.
Pembagian rentan sejarah juga terjadi di dalam dunia islam baik itu secara
klasik, pertengahan, modern dan juga kontemporer. Peradaban Barat dan Timur
keduanya mempengaruhi khazanah perkembangan ilmu betapapun sederhananya.
Keduanya mempunyai sejarah panjang dalam mengakses peradaban manusia dengan
berbagai pirantinya yang disesuaikan dengan kondisi geografis masing-masing.
B. Periode era kontemporer di dunia islam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kontemporer adalah pada
waktu yang sama atau pada masa kini. Kontemporer adalah istilah yang bisa juga
disebut dengan semasa, sewaktu, atau dewasa ini. Kontemporer juga populer dengan
sebutan kekinian sekarang ini.
Secara historis dapat ditelusuri narasinya munculnya era kontemporer yaitu
dari periode runtuhnya Kerajaan Ottoman (1922) pasca Perang Dunia I (1914-1918).
Ada yang menyebutkan kekalahan bangsa Arab di tangan Israel pada perang tahun
1967 merupakan garis pemisahan antara masa pemikiran modern dengan era
kontempore Secara umum, era kontemporer dunia Islam bersamaan dengan semangat

antikolonialisme yang melanda dunia pasca Perang Dunia II (1939-1945). (huda, 2018)
Dalam studi kritis Nasr, pada peta dunia Islam era kontemporer dimulai pada
abad 18 H/19 M. dapat dilihat bahwa selain dari dunia Ottoman, Persia dan
semenanjung arab yang dijajah oleh berbagai kekuatan eropa. setelah Perang Dunia I,
Inggris menguasai sebagian besar Muslim Afrika, Mesir, India, Irak, Palestina,
Yordania, Aden, Oman, dan Teluk Persia Emirat Arab (nasr s. h., 2002)
Ada Rusia yang secara bertahap memperluas kekuasaannya atas daerah-daerah
Muslim seperti Daghestan, Chechnya, Caucasia, dan Asia Tengah. Ada Orang-orang
Spanyol menguasai bagian Afrika Utara, ada Muslim Filipina yang dipaksa banyak
orang untuk menjadi Katolik.
Dalam konteks ini gerakan abad kemerdekaan negara-negara Islam mulai
mencuat dengan basis etos agama Islam dan nasionalisme yang mulai menembus
dunia Islam dari Barat ke tingkat yang lebih besar lagi dan menjadi lebih kuat selama
abad 20. Dengan runtuhnya Kekaisaran Ottoman pada akhir Perang Dunia I, yang
sekarang adalah Turki menjadi negara merdeka dan negara pertama dan hanya di
dunia Islam yang mengklaim sekularisme sebagai dasar ideologi negara tersebut.
Pada akhir Perang Dunia II, dengan semangat antikolonialisme yang melanda
dunia, gerakan kemerdekaan mulai terjadi di seluruh dunia Islam. Segera setelah
perang, India dibagi menjadi Muslim Pakistan sebagai bangsa Muslim terbesar, dan
India sebagai bangsa mayoritas Hindu, di mana minoritas Muslim yang cukup besar
terus hidup di sana. Pakistan sendiri dipartisi pada tahun 1971 menjadi Pakistan dan
Bangladesh. Demikian juga setelah Perang, setelah pertempuran berdarah Indonesia
merdeka dari Belanda diikuti oleh Malaysia. (rabi', 2006)
Di Afrika, negara-negara Islam di Afrika Utara melawan kolonialisme
Perancis dan mendapatkan kemerdekaan mereka pada 1950-an, kecuali untuk
Aljazair, di mana pertempuran sengit untuk kemerdekaan yang mengakibatkan
kematian satu juta warga Aljazair, berlangsung. Aljazair akhirnya menjadi
sepenuhnya merdeka pada tahun 1962. Demikian juga dengan negara-negara Islam di
Afrika yang memperoleh kemerdekaan mereka dari Inggris dan Perancis, meskipun
pengaruh ekonomi yang kuat dari mantan penguasa kolonial berlanjut sampai hari ini.
Pada 1970-an hampir seluruh dunia Islam setidaknya secara nominal merdeka
kecuali untuk wilayah yang masih berada dalam kekaisaran Soviet dan Turkistan
Timur. Dengan pecahnya Uni Soviet pada tahun 1989, bagaimanapun wilayah
mayoritas Muslim dari kedua Caucasia dan Asia Tengah menjadi merdeka.
Lebih jauh menurut Nasr, kemerdekaan negara-negara Islam di zaman modern
tidak berarti kemandirian budaya, ekonomi, dan sosial yang sesungguhnya. Jika ada,
setelah kemerdekaan politik banyak bagian dunia Islam menjadi bagian budaya
bahkan lebih ditundukkan dari budaya Barat sebelumnya. Disatu sisi, ada keinginan
sebagian umat Islam untuk persatuan Islam yang bertentangan dengan segmentasi
umat dan pembagian dunia Islam tidak hanya menjadi kuno, tetapi sering disalah
pahami dan merupakan buatan yang baru. Di sisi lain, ada keinginan yang kuat untuk
melestarikan identitas dan karakter dari dunia Islam sebelum serangan peradaban
Barat modern invasi yang nilainya terus berlanjut.
Penulis menuliskan point penting dalam era kontemporer yaitu:
Pertama, era kontemporer dunia Islam berawal dari abad 19 M atau pasca
Perang Dunia I. Kedua, awal periode ini bersamaan dengan semangat
antikolonialisme yang melanda dunia. Semangat antikolonialisme dapat dipahami
sebagai ekspresi keinginan mandiri yang terlepas dari hegemoni kekuasaan negara-
negara kolonial Barat yang bermisi ekplorasi kekayaan, kristenisasi, dan westernisasi.
Ketiga, adanya keinginan untuk melestarikan identitas dan karakter dari dunia Islam
berhadapan dengan invasi nilai budaya Barat yang masih berlanjut dan hal ini
berakibat munculnya ketegangan internal dunia Islam. Di antara indikasi ketegangan
ini adalah adanya pergolakan dan kerusuhan di sebagian wilayah dunia Islam.
Nyatanya, ada sejumlah implikasi yang dialami oleh dunia Islam sendiri pada
era kontemporer, Sejumlah implikasi ini adalah sebagai berikut:
1. Lemahnya keberdayaan untuk melestarikan identitas dan karakter dunia
Islam karena berhadapan dengan invasi nilai nilai budaya Barat yang masih
berlanjut sampai sekarang. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah produk
dunia Barat di bidang bidang politik (contoh: demokrasi), budaya, serta
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi mengisi ruang-ruang
kebutuhan umat Islam.
2. Munculnya ketegangan-ketegangan internal maupun eksternal dunia Islam.
Ketegangan internal ini dapat dilihat pada kasuskasus pergolakan dan
kerusuhan semisal Perang Teluk dan radikalisme ISIS terhadap kelompok-
kelompok lain sesama muslim. Sedang ketegangan eksternalnya secara
utama dapat dilihat pada kasus 9/11 (tragedi WTC Burn, 11 September
2001), di samping perlawanan Muslim Palestina, perlawanan Muslim
Afghanistan, bombing dan suicide attack di sejumlah negara termasuk di
Indonesia, dan lain-lain.
3. Sejumlah problem sosial umat Islam yang terjadi di beberapa belahan dunia
semisal problem-problem disharmoni relasi sosial internal dan eksternal,
minoritas muslim di negara-negara Barat, diskriminasi gender di dunia
Islam, hegemoni ekonomi oleh dunia Barat, ketertinggalan kualitas
pendidikan di dunia Islami, hak asasi manusia, ambiguitas politik di
sebagian negara-negara Islam, dan fundamentalisme.
Sebenarnya konteks kontemporer islam ini merujuk pada tradisi (masa lalu)
dan modernitas, dinama dunia islam kontemporer tidak untuk meninggalkan
tradisi dan tidak pula menutup diri dari modernitas
C. Gerakan-gerakan islam era kontemporer
Pada masa kontemporer banyak bermunculan gerakan – gerakan seperti Islam
Liberal, Islam Kultural, Post Tradionalisme Islam, menunjukkan adanya keberagaman
dalam pemikiran para cendekiawan muslim baik yang tradisonal maupun modern/
kontemporer. Inilah dinamika dalam Islam yang harus disikapi dengan inklusif dan
bijaksana.
1. Islam Liberal
Makna umum dari kata liberal adalah pembebasan. Islam adalah agama
pembebasan. Islam memberikan ruang untuk berpikir bebas. liberalisme sudah terjadi
begitu lama dalam Islam. Liberalisme sesungguhnya adalah paham yang berusaha
memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. (dasker,
2006 )
Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki
kebebasan. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa
yang diinginkan. Prinsip- pinsip liberalisme adalah kebebasan dan tanggung jawab.
Tanpa adanya sikap tanggung jawab, tatanan masyarakat liberal tidak akan pernah
terwujud. (azmi, ijirm )
Istilah Islam liberal, yang disematkan kepada pemikir Islam progresif,
pertama kali digunakan oleh para penulis Barat, seperti Leonard Binders dan Charles
Kurzman. Islam liberal menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan
modernitas. Elemen yang paling mendasar pada Islam liberal adalah kritiknya baik
terhadap tradisi untuk memajukan islam ke dalam modernitas seperti kemajuan
ekonomi, demokrasi, hak-hak hukum. (wijaya c, 2021)
Bentuk utama Islam Liberal-mengutip Charles Kurzman ada tiga. Bentuk
pertama menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu yang secara eksplisit
didukung oleh syariat; bentuk kedua menyatakan bahwa kaum Muslim bebas
mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syariat dibiarkan terbuka untuk
dipahami oleh akal budi dan kecerdasan manusia; bentuk ketiga memberikan kesan
bahwa syariat yang bersifat ilahiah ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang
beragam.
Adapun gagasan yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur bahwa sebuah
pemikiran Islam dapat disebut liberal yaitu: pertama, melawan teokrasi, yaitu ide-ide
yang hendak mendirikan negara Islam. Kedua, mendukung gagasan demokratis.
Ketiga, membela hakhak perempuan. Keempat, membela hak-hak non-Muslm.
Kelima, membela kebebasan berpikir. Keenam, membela gagasan kemajuan." Siapa
pun yang membela salah satu dari keenam gagasan di atas, maka bolehlah disebut
sebagai penganut gagasan Islam liberal. (zuhdi, 2017)
Dengan demikian, gagasan Islam liberal berusaha memadukan Islam dengan
situasi modernitas sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan, sehingga Islam tetap
mampu menjawab perubahan sosial yang secara terus-menerus terjadi. Islam harus
tetap menjadi pengawal menuju realitas kesejarahan yang hakiki di tengah pergolakan
situasi modernitas dan era globalisasi.

2. Islam Kultural
Kata kultural yang berada dibelakang kata islam berasal dari bahasa
inggris, culture yang berarti kesopanan, kebudayaan dan pemeliharaan. Teori
lain mengtakan bahwa kata culture ini berasal dari bahasa latin cultura yang
artinya memelihara atau megerjakan, mengolah. Dari beberapa teori definisi
kebudayaan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa kebudayaan adalah segala
bentuk hasil kreativitas manusia dengan menggunakan segala daya dan
kemampuan yang dimilikinya dalam rangka mewujudkan kehidupannya yang
sejahtera. (S.Kuhn, 1970)
Dengan diketahui bersama, bahwa dalam agama islam antara agama
dan kebudayaan sungguhpun sumbernya berbeda, tapi saling mempengaruhi.
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi dengan perantara
malaikat jibril untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai
kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhuwawi. Sedangkan kebudayaan
ialah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi. (zuhdi, 2017)
Munculnya Islam cultural agak mudah dimengerti apabila kita
memperhatikan ruang lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup
masalah keagamaan seperti teologi, ibadah dan akhlak, melainkan jugga
mencakup masalah keduniaan seperti masalah perekonomian, pertahanan
keamanan dan lain-lain. Jika pada aspek keagamaan peran Allah dan Rasul lah
yang dominan. Pada aspek keduniaan peran manusialah yang paling dominan.
(Abdullah, 1992)
Dalam pengalamannya di lapangan, Islam cultural mengalami
pengembangan pengertian dari apa yang dikemukakan di atas. Islam cultural
selanjutnya muncul dalam bentuk sikap yang lebih menunjukkan
inklusissivitas. Yaitu sikap yang tidak mempermasalahkan bentuk atau symbol
dari suatu pengamalan agama, tetapi yang lebih penting tujuan dan missi dari
pengamalan tersebut. Dalam hubungannya ini kita menjumpai ajaran tentang
dzikir ini terkadang mewujud dalam menyebut nama Allah sekian ratus kali
dengan menggunakan alat semacam tasbih, ada yang menggunakan batu, ada
yang dengan memasang tulisan kaligarafi pada dinding rumah dan sebagainya.
(Rahman, 1984)
3. Islam Struktural
Struktur adalah sebuah gambaran yang mendasar dan kadang tidak
berwujud, yang mencakup pengenalan, observasi, sifat dasar, dan stabilitas
dari pola-pola dan hubungan antar banyak satuan terkecil di dalamnya. Dari
istilah – istilah “struktural”, sebagaimana yang telah. Disebutkan diatas itulah,
lahir istilah lain, seperti : strukturalisme. Strukturalisme adalah faham atau
pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan
memiliki suatu struktur yang sama dan tetap (zuhdi, 2017)
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual
obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak
terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur
sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan
melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik
antara unsur-unsur pada setiap tingkat). Gagasan-gagasan strukturalisme juga
mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner
tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan
dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam
bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk
mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Hoodbhoy, 1982)
4. Postradisionalisme Islam
Sebenarnya sulit untuk merumuskan definisi yang bisa menjelaskan
seluruh kompleksitas post tradisionalisme. Marzuki Wahid mendefinisikan
post tradisionalisme adalah suatu gerakan melompat tradisi yang tidak lain
adalah upaya pembaharuan tradisi secara terus-menerus dalam rangka
berdialog dengan modernitas sehingga menghasilkan tradisi baru (new
tradition) yang sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya (dasker, 2006 )
Sebagai gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi baru post
tradisionalisme merupakan gerakan yang lahir dengan poroses yang panjang
dan berakar pada pemikirpemikir pencerahan tempo dulu. Dari geneologi
intelektual inilah, post tradisionalisme islam melewati fase- fase awal
pembentukan hingga perumusan metodologi dan praksis sosisl politik. Fase
pertama merupakan fase pembentukan dan pengkayaan ide baik dalam
pemikiran maupun aksi politik. Pada fase ini muncul beberapa perdebatan
gagasan seperti nasionalisme, pribumisasi, sekularisas, feminisme dan hak
asasi manusia (al-huquq al-insaniyah alasasiyah), dan sebagainya.
Sedangkan perumusan metodologi post tradisionalisme Islam
menghasilkan paradigm baru pemikiran Islam yang dirumuskan sebagai kritik
nalar (naqd al-aql) maupun telaah kontemporer (qira’ah muashirah) terhadap
tradisi. Muhammad Abid Al-Jabiri, Muhammad Arkoun, dan Nashir Hamid
Abu Zaid merupakan sederet nama yang berusaha melakukan rekontruksi
metodologis bagi post tradisionalisme. (azmi, ijirm )
Post tradisionalisme Islam berpandangan bahwa sesungguhnya tidak
mungkin melakukan rekontruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah
yang kosong, artinya betapapun kita teramat bersemangat untuk melampaui
Zaman yang sering disebut sebagai kemunduran umat Islam, kita mesti
mengaku bahwa khazanah pemikiran dan kebudayaan yang kita miliki adalah
kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan sebagai entry point
merumuskan tradisi baru. (Daud, 1997)
Perlu diketahui, pengertian post tradisionalisme Islam tentang tradisi
berbeda dengan pemahaman kaum Neomodernisme Islam yang membaca
tradisi melalui optic Al-qur’an dan Hadits yang diadakan transenden, turun
dari langit, lengkap dan mencakup segala hal. Singkatnya bukan sebagai
bagian dari dinamika sejarah yang berubah-ubah. Dalam pengertian inilah kita
diperkenalkan dengan kenyataan tradisi Islam yang historis yang sifatnya
membumi. (Muntaha et al., 2017) Berkaitan dengan upaya merekontruksi
tradisi sebagai mana ditunjukkan Zuhairi.
5. Islam Radikal
Kata radikal yang dimulai dengan nama agama, misalnya Islam
radikal, lazim digunakan untuk mengacu kepada kelompok beragama dengan
ekspresi tertentu. Menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Data, dan
Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI Mastuki Hs, istilah
radikal berasal dari kata raddict yang berarti mendalam atau mengakar. Pada
makna tersebut, menurut dia, memiliki citra positif. Namun, ketika kata itu
dikaitkan dengan agama, memiliki makna yang positif dan negatif.
Beragama secara raddict atau radikal yang berarti mengakar,
mendalam, menjiwai. Sikap radikal dalam beragama seperti itu tak boleh
dicegah oleh siapa pun karena penganutnya menjalankan agama berdasarkan
keyakinan yang benar, haknya dijamin dalam konstitusi.
Di sisi lain, kata radikal itu juga memilik makna negatif. Misalnya
Islam radikal yang mengacu kepada kelompok yang mengatasnamakan agama
untuk melakukan teror. Islam radikal berpandangan agama secara ekstrem,
fanatik, fundamental, dan revolusioner. ketika cara pandang tersebut
diwujudkan dalam tindak kekerasan, pemaksaan kehendak, melakukan teror,
itu sudah membahayakan.
D. Hakekat Pemikiran Kontemporer
Sebenarnya dalam Gerakan yang dijelaskan diatas, mampu mengkonsepkan
beberapa pemikiran era kontemporere dunia islam, antara lain:
1. Pertama, fundamentalis
Yaitu model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai
satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Mereka biasanya
dikenal sangat commited pada aspek religius budaya Islam. Bagi mereka, Islam
telah mencakup segala aspek kehidupan sehingga tidak memerlukan segala teori
dan metode dari luar, apalagi Barat.
Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama,
budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli
(al-Qur'an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang
dilakukan Rasul dan Khulafa' al- Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus
dihidupkan kembali dalam kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam.
2. Kedua, tradisionalis (salaf)
Yaitu model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang
telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan umat telah diselesaikan secara tuntas
oleh para ulama terdahulu. Tugas kita sekarang hanyalah menyatakan kembali
atau merujukkan dengannya. Perbedaan kelompok ini dengan fundamentalis
terletak pada penerimaannya pada tradisi.
Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa' al-
rasyidin , sedang tradisionalis melebarkan sampai pada salaf al-shalih , sehingga
mereka bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukannya. Hasan Hanafi
pernah mengkritik model pemikiran ini. Yaitu, bahwa tradisionalis akan
menggiring pada ekslusifisme, subjektivisme dan diterminisme.
3. Ketiga, reformis
Yaitu model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya
Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut mereka, Islam telah
mempunyai tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat
langsung diaplikasikan melainkan harus harus dibangun kembali secara baru
dengan kerangka berpikir modern dan prasyarat rasional, sehingga bisa survive
dan diterima dalam kehidupan modern. Karena itu, mereka berbeda dengan
tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti apa adanya.
4. Keempat, postradisionalis
Yaitu model pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisa Islam
berdasarkan standar modern. Model ini sesungguhnya sama dengan reformis yang
menerima tradisi dengan interpertasi baru. Perbedaannya, postadisionalis
mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedar rekonstruktif, sehingga
yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi historis.
5. Kelima, moderinis
Yaitu model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional ilmiah dan
menolak kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak
relevan, sehingga harus ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah
keharusan berpikir kritis dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini
biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme. Meski demikian, mereka
bukan sekuler. Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik sekuler selain salaf.
Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku eklektif terhadap Barat,
sedang kaum salaf bersalah menempatkan tradisi klasik pada posisi sakral dan
shalih likulli zaman wa makan . Sebab, kenyataannya, tradisi sekarang berbeda
dengan masa lalu.
Modernis menjadikan orang lain (Barat) sebagai model, sedang salaf
menjadikan masa lalu sebagai model. Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak
kreatif, sehingga tidak akan mampu membangun peradaban Islam ke depan.

E. Kajian pemikiran era kontemporer dunia islam


1. Kritik epistimologi
kritik epistemologi merupakan satu corak yang sangat populer di kalangan
pemikir kontemporer ini. Gelegar dan trend pemikiran Islam kontemporer ini yang
pada kenyataannya memberikan support dan warna baru terhadap dinamika studi
Islam di era kontemporer ini. Dalam konteks ini, tampaknya menarik untuk
melihat berbagai tawaran para pemikir Islam untuk pengembangan studi Islam.
Ada yang mengembangkan aspek metodologi, sementara yang lain
mengembangan aspek epistemologi. Umumnya, pada aspek metodologi
berkembang dua trend pemikiran, yaitu ada yang menjadikan usul fiqh sebagai
lahan pembaharuan, sementara yang lain memfokuskan diri pada pembaharuan
metodologi tafsir.
Meskipun berangkat dari sudut pandang yang berbeda, pada prinsipnya
mereka mempunyai pandangan yang sama yaitu metodologi usul fiqh dan tafsir
al-Qur’an klasik sudah tidak sanggup menjawab tantangan zaman. Metode qiyas,
dan tafsir yang dikatakan berputar-putar sekitar teks tanpa melihat setting sosial,
kultur dan politik yang sedang berkembang hanya akan menjadikan ajaran Islam
tersebut kaku dan sebagai akibatnya akan gagal merespon kebutuhan umat.2
Kritik Epistemologi, Proyek Besar Pemikiran Islam Kontemporer Menurut
Bollouta, Setidaknya terdapat tiga kelompok yang mencoba memberikan wacana
pemikiran mengenai tradisi dan budaya vis a vis modernitas, yaitu:
a) Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif, yang
menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya,
karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer.
Tokoh-tokoh dari kelompok ini umumnya berhaluan Marxis seperti
Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dll.
b) Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif, yang
menginginkan sikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama
ini dihidupinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi,
al-Jabiri, dll.
c) Ketiga, kelompok yang disebut idealistotalistik, yang menginginkan agar
dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan
slogan kembali kepada al-Quran dan hadis. Wakil dari kelompok ini
seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dll.
Seperti disinggung di awal, pembacaan terhadap nalar atau kritik
epistemologi dimaksudkan untuk melihat struktur pengetahuan dan kaitannya
dengan sistem pemikiran kolektif yang menjadi basis tumbuh-kembangnya
pengetahuan dan tradisi, sekaligus proses pembentukannya. Ada beberapa
istilah yang dapat diindentifikasi sebagai technical concept dari epistemologi,
seperti reason (Immanuel Kant),23 episteme (Michel Faucoult),24 dan
scientific paradigm (Thomas S. Kuhn).25
Sementara pemikir Muslim kontemporer, ada yang menggunakan
istilah al-khithab [al-khitab al-diniy, Nasr Hamid Abu Zayd],26 ada juga yang
menggunakan istilah al-‘aql seperti al-‘aql al-islami (Mohammad Arkoun),27
‘aql al-‘arabiy (Mohammed Abed al-Jabiri).28 Beberapa istilah ini sudah tentu
memiliki kekhasan masing-masing, namun demikian semuanya menunjukkan
bahwa pengetahuan itu memiliki sistem epistemologi sebagai basisnya.
pemikiran Islam kontemporer terlibat penelusuran terhadap sistem,
struktur, dan bangunan episteme sebagai basis tumbuh kembangnya tradisi
(turats). Apa yang disebut dengan tradisi dan bagaimana semestinya
memperlakukan tradisi agar bisa menjawab modernitas.
Demikian kurang lebih persoalan utamanya. Dalam pandangan Al-
Jabiri, tradisi adalah “sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang
berasal dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain, baik masa yang jauh
maupun masa yang dekat.” Tradisi adalah titik temu antara masa lalu dan
masa kini.32 Tradisi bukan masa lalu yang jauh dari keadaan kita saat ini, tapi
masa lalu yang dekat dengan kekinian kita.
Al-Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab
kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Al-Jabiri telah
melampaui ideologi dalam proyek peradabannya, dengan menyusun tetralogi
bukunya yang serius digarap. Dalam tetralogi itu, proyek metodologis
pemikiran Al-Jabiri yang terkenal dengan istilah “Kritik Nalar Arab”, terbagi
atas dua model. Pertama, kritik nalar epistemologis. Nalar ini sifatnya
spekulatif, yang mengkaji arkeologi dan perkembangan ilmu pengetahuan
yang berlaku di kalangan umat Islam. Kedua, nalar politik, yaitu nalar praktis
yang melakukan kritik pemikiran dalam bagaimana cara umat Islam berkuasa,
menguasai, dan mempertahankan kekuasaan. Persoalan etika masuk dalam
nalar kedua karena terkait dengan perilaku umat Islam dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Hermeneutika, Kritik, dan Dekonstruksi: model pembacaan kontemporer
Hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi tampaknya merupakan konsep kunci
dari pemikiran kontemporer saat ini, bahkan pemikiran filsafat pada umumya.
Posisinya sebagai model pembacaan meluas sehingga menjadi semacam mode
pemikiran (mode of thought). Disebut sebagai mode pemikiran karena ketiganya
telah menjadi wilayah perenungan tersendiri yang berbeda dengan trend dan mode
pemikiran sebelumnya, pemikiran klasik dan modern, sehingga terus bermunculan
konsep-konsep baru.
Sebagai model pembacaan, hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi memang
tidak sama persis, bahkan perbedaan itu juga tampak pada asumsi atas “bahan”
bacaannya. Tetapi ketiganya memiliki maksud yang kurang lebih sama, yaitu
untuk mendapatkan makna lebih dari sekedar yang tampak pada bacaan,
mengambil yang tersembunyi, yang selama ini tak terbaca, bahkan yang seakan
tak mungkin terbaca.
Maka kata kunci adalah: bahasa, nalar, dan budaya. Itulah sebabnya,
pembahasan hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi, menjadi pembahasan menarik
pada ilmu bahasa (linguistik), filsafat, dan ilmu budaya sekaligus, bahkan
linguistik dan filsafat menjadi bagian dari ilmu budaya.
Munculnya model pembacaan ini sudah tentu menarik banyak kalangan untuk
mengungkap kompleksitas budaya dan problemproblem kemanusiaan pada
umumnya, yang selama belum tersedia instrumen untuk itu. Berbagai eksperimen
dilakukan, tidak hanya dengan menjajaki kemungkinan lahirnya perspektif baru,
tetapi juga memperluas willayah kajiannya.
Suatu teks atau tulisan hanya berupa kumpulan bunyi-bunyian atau kumpulan
kata kata, jika pembaca tidak memiliki sensitivitas dan taste apapun. Sensitivitas
dan taste pembaca menjadi sedemikian penting untuk membuat teks menjadi lebih
hidup. Singkatnya, teks hanya terbaca bagi orang-orang yang bisa baca. Sebesar
apa sensitivitas dan taste pembaca, sebesar itu pula makna yang didapat.
Persoalannya, bagaimana menumbuhkan sensitivitas dan taste pembaca yang
dengan itu, pembaca akan memiliki kekayaan perspekti ? Di sinilah ilmu-ilmu
modern menjadi sedemikian penting perananya sebagai alat bantu baca, seperti
ilmu fonologi, semiotika, simantik, logika dan filsafat, psikologi, sosiologi,
sejarah, antropologi, ilmu politik, dll.45
3. Islamisasi ilmu
Islamisasi ilmu kontemporer Kaum intelektual Islam bersepakat, gagasan
Islamisasi ilmu masa kini bukanlah sesuatu yang baru tetapi pernah terjadi dalam
sejarah Islam di masa silam. Setelah proses Islamisasi ilmu di awal Islam, umat
Islam telah mengalami kemunduran dan kemrosotan. Dilain pihak, ilmu atau sains
yang dikembangkan di dunia Barat jauh mengalami kemajuan yang sangat pesat
dan signifikan. Sedangkan ilmu yang dikembangkan tersebut secara diametral
berbeda dengan ilmu dalam pandangan Islam.
Menurut Hamid, mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti
labelisasi. Selain itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak, karena terdapat
sejumlah persamaan dengan Islam. Oleh sebab itu, seseorang yang mengislamkan
ilmu, perlu memenuhi syarat, yaitu ia mampu mengidentifikasi pandangan hidup
Islam (The Islamic Worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan
peradaban barat. Pandangan hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan
kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam Islam
bukanlah semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam
sejarah, sosial, politik, dan budaya. Sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat
sekuler mengenai dunia yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat.
Proses Islamisasi Ilmu Kontemporer Setelah mengetahui mengenai pandangan
hidup Islam dan barat, maka proses Islamisasi baru bisa dilakukan. Karena,
Islamisasi ilmu pengetahuan saat ini melibatkan dua proses yang terkait, yaitu:
a. Mengisolasi unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya
dan peradaban Barat dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini,
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun ilmu-
ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam
penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan alam formulasi teorai-teori.
Menurut Al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan hidup Islam, maka
fakta-fakta menjadi tidak benar.
b. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap
bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan (Wan Daud, 1998: 336).
Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan
membebaskan manusia dari magic, mitologi, animisme, tradisi budaya, tradisional
yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekuler kepada akal
dan bahasanya.
Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan
(zann), dan argumentasi kosong (mira) menuju keyakinan akan kebenaran
mengenai spiritual, intelligible, dan materi.
Isamisasi ilmu pengetahuan, bagi alFaruqi merupakan suatu keharusan yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh para ilmuwan Muslim. Apa yang telah
berkembang di dunia Barat dan merusak dunia Islam saat ini sangatlah tidak
cocok untuk umat Islam. Ilmu sosial Barat tidak sempurna dan jelas bercorak
Barat dan karena itu tidak berguna sebagai model. (Al-Faruqi, 1984: 59).
Selain itu, al-Faruqi sampai pada kesimpulan tentang perlunya Islamisasi telah
menganalisis masalah umat. Dalam setiap bidang, politik, ekonomi, dan budaya,
umat Islam terpinggirkan, kalah oleh dominasi Barat.
Inti masalah ini, menurutnya, adalah sistem pendidikan yang mengasingkan
Muslim dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan agamanya yang
seharusnya menjadi sumber kebanggaannya. Solusinya dengan demikaian adalah,
membenahi sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang memisahkan antara ilmu
agama (madrasah) dan ilmu non agama (sekolah, universitas) mesti dipadukan
kembali. Di sinilah letak pentingnya Islamisasi ilmu. Sampai di sini al-Faruqi
menjelaskan arti Islamisasi pada tingkat kongkretnya sebagai berikut: “Islamisai
sains adalah Islamisasi disiplin-disiplin ilmu, atau tepatnya memproduksi buku-
buku teks universitas yang telah dibentuk kembali menurut visi Islam (Al-Faruqi,
1984: 59).
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan
seperti mengungkapkan, menghubungkan, dan menyebarluaskannya menurut
sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Islamisasi ilmu
pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara
menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan
memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam (Al-Faruqi,
1984: 97).
f. Alternatif pengembangan ilmu era kontemporer
Upaya para sarjana dan ilmuan Islam masa kini dalam merumuskan kerangka
Ilmu-ilmu Sosial yang Islami juga masih belum efektif lantaran tantangan
permasalahan sosial yang dihadapi saat ini jauh jauh melampaui formulasi ilmiah
yang telah ada. (Daud, 1997)
Jika ditelusuri lebih mendalam, fenomena tersebut juga tidak terlepas dari
faktor keterpurukan dan kemandegan intelektual masyarakat Islam, akibat dari
pemahaman Islam yang sempit, tidak otentik, bersifat monolitik, miskin nuansa,
dan tercerabut dari akar debat intelektualnya sebagaimana penilaian Mohammad
Arkoun. (Abdullah, 1992) Keterpurukan dan kemandegan tersebut juga
dikarenakan penolakan terhadap kreatifitas pemikiran manusia dan dampak dari
sikap fatalistik sehingga revolusi sains tidak terjadi dalam Islam. (Hoodbhoy,
1982)
Amin Abdullah berpendapat bahwa dalam wilayah Islamic Studies (Ilmu-
ilmu Keislaman) juga mesti berlaku apa yang disebut dengan shifting paradigm
(pergeseran gususan pemikiran). Jika shifting paradigm, yaitu dari wilayah
“normal science” ke wilayah “revolutionary science”- meminjam istilah Thomas
Kuhn - itu tidak memungkinkan, maka predikat “Studies” tidak layak lagi
dikenakan padanya, atau lebih tepat diistilahkan dengan Islamic Doctrin atau
dogma. Berdasarkan analisis Thomas S. Kuhn, perkembangan dan kemajuan ilmu-
ilmu di Barat justru dimotori oleh revolusi sains. (S.Kuhn, 1970)
Karena itu diperlukan suatu kontruksi Filsafat Ilmu yang handal, yang
mendasari pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, karena perkembangan dan
kemajuan Filsafat Ilmu tidak terlepas dari perkembangan dan kemajuan ilmu, dan
begitu juga sebaliknya.
1. landasan Ontologis Ilmu
Sardar mengatakan bahwa ciri yang unik dari sains (ilmu) Islam adalah
penekanannya pada kesatuan agama dengan sains, pengetahuan dan nilai,
fisika dan metafisika. Pada prinsipnya, ilmu merupakan salah satu dari
keseluruhan konsep-konsep Islam yang sangat fundamental, sebagai suatu
agen formatif yang membentuk pandangan Peradaban Islam. (sardar,
1987)
Konsep ‘ilm (ilmu) menyatukan hampir seluruh bentuk pengetahuan,
dari pengamatan murni sampai metafisika yang palingg tinggi. ilmu
merupakan sistem pengetahuan yang di dalamnya terkandung berbagai
bentuk pengetahuan, baik pengetahuan-pengetahuan metafisik, empiris,
maupun eksakta. Bentuk-bentuk pengetahuan tersebut tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, tetapi harus dipahami di dalam sebuah kerangka
kesatuan. semua bentuk pengetahuan tersebut saling terkait dan secara
organis dihubungkan oleh jiwa wahyu Al-Qur͛ an yang selalu hidup.
(sardar, 1987)
Adapun menurut al-Attas, sains Islam bertentangan dengan sains
modern karena sains modern secara legitim telah mereduksi setiap bentuk
realitas kepada otoritas inderawi, fenomena empiris, dan mengingkari
realitas metaempiris sehingga menyiratkan penolakan terhadap keberadaan
Tuhan. (al-Attas, 1995)
Pemikiran Sardar dan al-Attas, keduanya berbeda dengan pemikiran
Barat/modern. Sardar bahkan berbeda dengan al-Ghazali yang oleh Fazlur
Rahman dituding telah mendikotomikan ilmu agama dengan ilmu sekular.
(Rahman, 1984)
2. Landasan Epistemologis Ilmu
Sardar menegaskan bahwa Epistemologi Islam merupakan parameter
yang menentukan: “apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui, apa
yang mungkin diketahui tetapi lebih baik dihindari, dan apa yang sama
sekali tidak mungkin untuk diketahui”. (sardar, 1987)
Untuk merekonstruksi Epistemologi Islam, Sardar mengajukan
pendekatan paradigmatik yang bertumpu pada dua jenis paradigma,
Paradigma Pengetahuan dan Paradigma Perilaku. Paradigma Pengetahuan
memusatkan perhatian pada prinsip, konsep dan nilai-nilai utama Islam
yang menyangkut bidang pencarian tertentu. (sardar, 1987)
Paradigma Perilaku menentukan batasan-batasan etika (akhlaq) yang
menuntun kegiatan-kegiatan para intelektual. Badan utama dari prinsip,
konsep, dan nilai tersebut seluruhnya terdapat di dalam Al-Qur’an,
kehidupan Rasulullah SAW, dan warisan intelektual Islam, yang
seluruhnya mesti dikaji dari perspektif realitas masa kini.
Epistemologi Islam menekankan pada keseluruhan pengalaman dan
realitas, dan mendukung bukan hanya satu melainkan sejumlah cara yang
berbeda-beda dan saling terkait untuk mengkaji dan memahami
pengetahuan, selama tunduk pada nilai-nilai wahyu Al-Qur’an yang kekal,
yang merupakan tonggak Peradaban Islam. (sardar, 1987) Sardar
menambahkan, ‘ilm juga dapat diperoleh dari wahyu, akal, pengamatan,
serta intuisi, dan dari tradisi sampai spekulasi teoritis. (sardar, 1987)
Disamping ‘ilm itu sebagai sistem pengetahuan, ‘ilm juga sekaligus
bersumber dari sebuah sistem yang didalamnya terkandung bagian-bagian
(wahyu, akal, pengamatan, intuisi, tradisi, dan spekulasi) yang saling
terkait dan tidak terpisahkan satu sama lain. Maka wahyu tidak dapat
dipahami saling terpisah dengan akal atau intuisi, akal tidak dapat
dipahami saling terpisah dengan tradisi atau pengamatan, dan begitu
seterusnya.
3. Landasan Aksiologis Ilmu
Menurut Nasr, sains Barat itu pada dasarnya adalah sah, tetapi
peranan, fungsi dan aplikasinya menjadi tidak sah dan berbahaya karena
memisahkan diri sepenuhnya dari bentuk pengetahuan yang lebih tinggi.
(sardar, 1987)
Nasr menegaskan bahwa Sains Islam pada prinsipnya bertentangan
dengan sains modern karena Sains Islam berorientasi pada sifat unity
(kesatupaduan) yang merupakan inti wahyu Islam dan mencerminkan
peradaban khas Islam. Karenanya Sains Islam tidak dapat dipahami dari
pandangan sains modern, melainkan dari pandangan (perspektif) Islam itu
sendiri. (nasr, 1986)
Nasr juga menyeru agar sains Barat harus segera dijauhkan dari
wilayah intelektualitas muslim karena telah tercerabut dari nilai-nilai
kemanusiaan dan ketuhanan, dan telah menyebabkan kehancuran alam dan
manusia. (Hoodbhoy, 1982) Al-Attas juga secara terang-terangan
mengklaim bahwa Epistemologi Barat – yang seluruhnya bermuatan
skeptisisme dan tidak mengenal batas-batas nilai dan etika – merupakan
antitesis dari Epistemologi Islam. (al-Attas, 1995)
Sardar bahkan bukan hanya menilai penerapan Sains Barat yang
tidak sesuai dan berbahaya, tetapi juga epistemologinya yang secara
mendasar bertentangan dangan perspektif Islam. (Hoodbhoy, 1982) Sardar
menegaskan bahwa Islam benar-benar menjadikan menuntut ilmu (sains)
sebagai kewajiban keagamaan, dan menjadi muslim berarti terlibat aktif
dalam pelahiran, pemrosesan, dan penyebaran ilmu. (sardar, 1987)
Pandangan Sardar relevan dengan pendapat Wan Mohd.Nor Wan
Daud bahwa di dalam Islam pencarian pengetahuan oleh seseorang
bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, tetapi harus, dan dianggap sebagai
kewajiban bagi semua muslim yang bertanggung jawab. (Daud, 1997)
Karena itu, menurut Sardar pencarian ‘ilm (ilmu) adalah suatu
bentuk ‘ibadah (pemujaan), sehingga ‘ilm itu dicari demi mematuhi dan
untuk menyenangkan Allah SWT. Hubungan antara ‘ilm dengan ‘ibadah
mengandung arti bahwa pencarian ‘ilm tidak dapat dilaksanakan jika
secara terbuka atau terangterangan melanggar perintah Allah, atau tidak
sesuai dengan petunjuk Allah. (sardar, 1987)
Dalam pandangan Sardar, Epistemologi Islam mengandung sebuah
konsep yang holistik mengenai pengetahuan (‘ilm) yang tidak terpisahkan
dengan nilai-nilai (aksiologis), terkait dengan fungsi sosialnya, dan
dipandang sebagai sebuah ciri dari manusia. Dengan demikian terdapatlah
sebuah kesatuan antara manusia dengan pengetahuannya sehingga tidak
ada informasiinformasi khusus yang bebas nilai untuk tujuan-tujuan
tertentu, atau berakibat perendahan martabat, pengisolasian, dan
pengasingan manusia. (sardar, 1987)
g. KESIMPULAN
Era kontemporer merupakan era yang dimulai pada abad ke -19 M, dimana
masa tersebut bersamaan dengan semangat anti kolonialisme. Negara-negara muslim
yang sudah merdeka dari penjajahan belum sepenuhnya mandiri secara budaya,
ekonomi, social dan lainya, masih banyak produk-produk barat yang meninggalkan
jejak peradaban seperti contohnya demokrasi, Dari pandangan tersebutlah era
kontemporer ini ingin melestarikan budaya atau identitas sesungguhnya islam dan
tidak menutup diri dari modernitas (barat). Pernyataan tersebut memunculkan
beberapa gerakan-gerakan pada dunia islam. Seperti Gerakan islam liberal, structural,
postradisional, radikal yang memiliki perbedaan karakter. Ada beberapa upaya untuk
memajukan keberadaan ilmu pengetahuan islam yang menjadikan islam dinilai akan
lebih maju

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. A. (1992). Aspek Estimologi filsafat islam . yogyakarta : LESFI.

al-Attas, S. (1995). islam dan filsafat sains. bandung : mizan.

azmi, f. (ijirm ). liberallization of islamic education. internacional jurnal of education


, 172-183.

dasker, b. (2006 ). progesive islam and the state in contemporary muslim . singapore :
nanyang technologi university.

Daud, W. M. (1997). konsep pengetahuan dalam islam , terjemahan munir. Bandung :


Pustaka .

Hoodbhoy, P. (1982). Iktiar menegakkan Rasionalitas :antara sains dan ortodoks


islam . jakarta : bulan bintang .

huda, s. (2018). struktur pemikiran dan gerakan islam kontemporer . al-tahir, vol. 18,
no.1 , 151-173.

nasr, s. h. (1986). sains dan peradaban di dalam islam . bandung : pustaka .

nasr, s. h. (2002). islam: religion, history, dan civilization. new york: harper collins .

rabi', i. m. (2006). the blackwell companion to contemporary islamic thought . autralia


: blackwell publishing .

Rahman, F. (1984). islam and modernity. chicago : the university of chicago .


S.Kuhn, T. (1970). the stucture of scientific revolucion second edition . chicago : the
univercity of chicago press.

sardar, z. (1987). masa depan islam . surabaya : PT Bina ilmu .

wijaya c, a. s. (2021). management of islamic education based on interreligious


dialouge in the learning process in scholl .

zuhdi. (2017). dakwah dan dialektika akulturasi budaya. religia.

Anda mungkin juga menyukai