Anda di halaman 1dari 13

EDWARD W.

SAID
By: Abdul Rahim Karim, S.Pd.I

A. Biografi Edward W. Said


Nama lengkapnya adalah Edward Wadie Said, lahir di Yerussalem, tepatnya di
daerah Talbiyah (sebuah kawasan terpencil di Palestina Barat) pada 1 November 1935
dari pasangan Ibu yang bernama Hilda (Seorang Palestina kelahiran Nazareth) dan Ayah
yang bernama Wadie Said (Seorang Amerika Serikat kelahiran Yerussalem). Ayahnya
adalah seorang pedagang alat-alat tulis dan buku yang juga mempunyai bisnis di Kairo,
Mesir. Sebelumnya Ayahnya juga pernah menjadi anggota American Expeditionary
Force di bawah pimpinan Jenderal John J. Pershing pada Perang Dunia Pertama tahun
1917. Ayahnya beserta keluarganya kemudian dilekatkan status kewarnegaraan Amerika
karena karir militernya.
Nama “Edward” diberikan oleh Ibunya karena seorang Pangeran Inggris yang
bernama Pangeran Edward menjadi terkenal dan populer pada 1935, tepat di tahun
kelahirannya. Edward W. Said mempunyai empat Adik Perempuan bernama Jean, Rosy,
Joyce, dan Grace.
Sejak lahir, Edward W. Said memang tidak pernah lepas dari paradoks identitas.
Hidup di lingkungan Palestina yang nyaris berpenduduk Muslim saat itu, dengan nama
depan “Edward” berasal dari Inggris dan nama tengah “Wadie” dari nama sang Ayah
yang lebih senang dianggap sebagai orang Amerika, serta nama belakang “Said” berasal
dari Arab, membuat Edward W. Said selalu merasa sebagai “yang lain”, yang berjuang
untuk tidak menjadi “Edward” ciptaan Ibunya, tidak pula menjadi seorang “Wadie”
ciptaan Amerika yang tak pernah jelas genealoginya, serta tidak pula menjadi “Said” yang
selalu memaksakan aturan hidup kepadanya.
2

Edward W. Said sangat menyukai sastra, sehingga ada tiga pengaruh dari masa
kecilnya yang menyebabkan ia sungguh tertarik terhadap sastra. Pertama, Cerita-cerita
tentang peri dan cerita Kitab suci yang dibacakan rutin oleh nenek dan ibunya, dan pada
usia tujuh tahun ia diperbolehkan untuk membaca mitos-mitos Yunani. Kedua, Film-film
yang diperbolehkan oleh orang tuanya pada masa kecilnya adalah film-film untuk anak-
anak. Seperti film-film seribu satu malam dan film-film Walt Disney, film Tarzan juga ia
sukai pada masa-masa kecil dan remajanya. Ketiga, Ia juga menyukai konser di masa
kecil dan remaja. Ia suka menghadiri konser-konser yang diadakan di Kairo.
Edward W. Said menghabiskan masa kecilnya di Yerussalem dan Kairo, dimana
ia belajar di sekolah-sekolah elit Inggris. Ia memulai pendidikan formalnya pada 1941 di
GPS (Gezira Preparatory School) di Lebanon. Sedangkan pendidikan rohaninya ia
dapatkan di Gereja All Saints’ Cathedral. Pada masa kecil dan remajanya, Said dikenal
sebagai anak yang biasa-biasa saja. Tapi dia suka membaca, menyukai puisi, dan gemar
menonton film. Selepas lulus dari GPS, Said melanjutkan sekolah pada 1946 di CSAC
(Cairo School for American Children). Kemudian, Said melanjutkan sekolah pada 1949
di VC (Victoria College) cabang Mesir. Hal yang menarik bagi pendidikan Said waktu
itu adalah bahwa ia bersekolah dalam suasana multi-etnis dan multi-religius dalam
Komunitas Timur Tengah. Namun pada 1951, Said dikeluarkan dari VC (Victoria
College) karena kenakalannya. VC adalah sekolah terakhir Said sebelum ia pindah ke
Amerika Serikat.
Pada 1951, Edward W. Said kemudian pindah ke Amerika Serikat dan masuk ke
Princeton University dengan jurusan Sejarah dan Sastra Inggris, di kampus inilah karakter
Said mulai terbentuk. Kegiatan membaca, menulis dan berpidato dijadikan benteng untuk
melindungi dirinya dari pengaruh buruk lingkungan sosial Princenton. Sebab, saat itu
sebagian besar mahasiswa Princenton lebih suka berkumpul membuat club-club dan
berhura-hura. Said kemudian mencoba menulis kolom pertamanya di koran mahasiswa
Princenton tentang pencaplokan Terusan Suez dalam perspektif Arab. Bermula dari
tulisan yang sangat berani itu, Said semakin leluasa mempelajari relasi antara sastra,
politik, agama dan kekuasaan. Said akhirnya berhasil meraih gelar Sarjana di Princeton
University pada 1957. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Harvard
dengan jurusan Sastra Inggris dan berhasil meraih gelas Magister pada 1960 dan gelar
Doktoral pada 1964.
3

Edward W. Said berhasil menjadi Profesor Pelawat dalam bidang Perbandingan


Sastra di Universitas Harvard pada 1974. Kemudian ia merupakan Fellow di Center for
Advanced Study in Behavioral Science, Universitas Stanford pada 1975-1976. Kemudian
ia juga merupakan Profesor Parr dalam bidang Sastra Inggris dan Perbandingan Sastra di
Columbia pada 1977 serta menjadi Profesor Old Dominion Foundation dalam Ilmu
Budaya. Setelah itu, pada 1979, ia merupakan Profesor Pelawat Ilmu Budaya di
Universitas Johns Hopkins.
Edward W. Said selanjutnya bergabung di Universitas Columbia sebagai pengajar
di Departemen Sastra Inggris dan Perbandingan Sastra, dan meraih gelar Profesor pada
1991 dan tetap bekerja di Universitas Columbia sampai tahun 2003. Setelah menjadi
pengajar tetap di Columbia, Edward W. Said juga mengajar di Universitas Yale.
Edward W. Said juga merupakan ketua Modern Language Association, editor
Arab Studies Quarterly di American Academy of Arts and Sciences, Anggota Dewan
Eksekutif International PEN, dan anggota sejumlah lembaga prestisius, seperti: American
Academy of Arts and Letters, Royal Society of Literature, Council of Foreign Relations,
dan American Philosophical Society.
Pada akhirnya, Edward W. Said meninggal dunia pada hari Kamis, 25 September
2003 di rumah sakit New York dalam usianya yang ke- 67 tahun. Penyakit leukemia akut
yang dideritanya sejak 1992 membuat Edward W. Said harus berjuang sendirian, persis
ketika ia memperjuangkan masalah yang sama kronisnya sejak lebih dari dua dekade
perjalanan kariernya sebagai seorang intelektual. Empat bulan sebelum mengembuskan
nafas terakhir (Mei 2003), Edward W. Said masih sempat menulis prolog untuk bukunya
yang berjudul Orientalism (1978). Prolog itu beliau tulis sebagai persembahan edisi ulang
tahun buku tersebut yang ke-25. Entahlah, prolog itu seolah-olah memberi isyarat akan
kepergian Edward W. Said, sebuah isyarat tentang seseorang yang hingga detik-detik
akhir kematiannya masih tetap gigih memperjuangkan hak-hak rakyat di tanah
kelahirannya. Dalam prolog itu, Edward W. Said terus berbicara soal Palestina, soal
penderitaan penduduk di “negeri tak bertuan” itu, dan juga soal dirinya yang telah
memasuki usia senja.
Akhirnya pemikir ini pergi dengan meninggalkan gagasan besar bagi kaum
intelektual untuk tetap menjaga martabat serta memperjuangkan kebenaran sebagai suatu
hal utama bagi masyarakat dunia, sebab tugas intelektual menurut Said adalah
4

mengatakan kebenaran walau resiko pembuangan serta pengucilan di dalam pergaulan


Internasional menjadi konsekuensi.

B. Pemikiran dan Hasil Karya Edward W. Said


Edward W. Said adalah salah satu tokoh filsafat (filsuf) dan pemikir besar pada
abad ke-20. Said adalah seorang intelektual Palestina–Amerika yang meletakkan dasar-
dasar teori kritis di bidang poskolonalisme. Said menganut kepercayaan Agnostik dan
aliran Postmodernisme (Pascamodernisme). Salah satu pemikiran Edward W. Said yaitu
mengenai Peran Intelektual adalah ia mendefinisikan Intelektual sebagai individu yang
dikaruniai bakat untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan,
sikap atau filsafat kepada publik. Adapun tujuan Intelektual menurut Said adalah
meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia. Said juga menyatakan bahwa
seorang intelektual tidaklah berada di menara gading. Sebaliknya, mereka terlibat
langsung dalam soal-soal kemasyarakatan. Pekerjaan seorang intelektual adalah
mempertahankan negara dengan kewaspadaan, selalu sadar akan tugasnya untuk tidak
membiarkan kebenaran diselewengkan atau menerima satu ide yang dapat menguasai
seluruh kehidupan. Dalam hal ini seorang intelektual berperan sebagai benteng akal sehat
yang kritis terhadap kekuasaan. Said mencela kaum cendekia yang suka bersolek dan
memilih diam demi kehati-hatian. Cendekiawan itu, menurut Said, tidak bebas nilai
(netral). Sebaiknya seorang intelektual harus berpihak terhadap kelompok lemah yang
tertindas. Edward W. Said mengingatkan apabila kaum intelektual mengambil posisi
kritis terhadap suatu otoritas maka intelektual itu akan menjadi kaum pinggiran kalau
dilihat dari kepemilikan, kuasa, dan kehormatan. Seorang intelektual selalu berada di
antara kesendirian dan pengasingan. Suara seorang intelektual adalah suara kesepian tapi
suara ini akan bergema karena menghubungkan dirinya secara bebas dengan realitas
sebuah gerakan, aspirasi dan pengejaran cita-cita bersama. Oleh karena itu, menurut Said,
karakterisasi intelektual adalah sosok pengasingan dan marjinal, sebagai amatir dan
sebagai pengarang sebuah bahasa yang mencoba membicarakan kebenaran kepada
kekuasaan.
Edward W. Said mempertanyakan peranan intelektual di abad ke-20. Menurutnya
masih adakah intelektual yang independen dalam menyampaikan gagasannya ?
Maksudnya, seorang intelektual yang tidak mengindahkan afiliasinya dengan universitas
yang membayar gajinya, partai politik yang menuntut loyalitasnya sesuai garis partai,
5

menawarkan kebebasan dalam melakukan riset, tapi pada sisi lain mungkin lebih halus
berkompromi dalam menilai serta membatasi suara-suara vokal. Said mengkritik
intelektual yang menganggapnya sebagai suatu profesi yang bertujuan materil belaka.
Menurutnya ancaman khusus intelektual saat ini baik di Barat maupun di Non-Barat,
bukanlah akademi, bukan pinggiran, bukan pula komersialisme mengerikan dari
jurnalisme dan perusahaan penerbit. Tapi justru sikap profesionalisme.
Menurut Edward W. Said, profesionalisme adalah bahaya laten yang dapat
menurunkan derajat intelektual seseorang. Profesional disini menurut Said ialah
menganggap pekerjaan sebagai seorang intelektual merupakan sesuatu yang dilakukan
untuk penghidupan antara pukul sembilan sampai pukul lima, intelektual seperti ini yang
menurut Said adalah intelektual professional. Sedangkan Said sendiri mengusulkan
idenya terkait tugas dan tanggung jawab intelektual. Said mengusulkan gagasannya
tentang intelektual amatir. Kaum intelektual amatir menurut Said adalah seorang
intelektual yang bergerak bukan karena keuntungan tertentu atau imbalan tapi karena
cinta akan sesuatu yang tidak terpuaskan dalam gambaran yang lebih besar, dalam
menjalin hubungan lintas batas, dalam diikat menjadi spesialis serta dalam
memperhatikan ide-ide dan nilai-nilai kendati adanya pembatasan oleh profesi,
maksudnya adalah aktivitas yang digerakkan oleh kepedulian dan rasa bukan oleh laba,
kepentingan sendiri, serta spesialisasi yang sempit.
Edward W. Said juga mengkritik adanya spesialisasi dalam tugas seorang
intelektual di abad ke-20. Menurutnya spesialisasi merupakan tekanan yang pertama
terhadap kaum intelektual. Said mengatakan semakin tinggi sekolah seseorang dalam
sistem pendidikan sekarang, kaum intelektual semakin dibatasi dalam wawasan ilmu
pengetahuan yang relatif sempit. Spesialisasi juga membunuh rasa nikmat dan hasrat
menemukan. Akibatnya kedua hal yang sebenarnya tak bisa dikurangi ini kini menjadi
kosmetik intelektual belaka. Seorang intelektual yang pakar di bidang matematika
haruslah berbicara sesuai dengan bidangnya sehingga pakar tersebut tidak memiliki
otoritas untuk membicarakan permasalahan politik ataupun kebijakan luar negeri yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Hal inilah yang dikritik oleh Said sebagai upaya
pengekangan terhadap hak-hak seorang intelektual. Peranan intelektual telah menurun
drastis. Menurut Said hal tersebut tentu saja disebabkan adanya relasi kuasa, meminjam
istilah Foucalt “yang membelenggu kaum intelektual”. Bahkan Said sendiri mengecam
6

kebiasaan kaum intelektual yang mengetahui sebuah kebenaran tapi memilih “diam”
bahkan memilih untuk menjadi seseorang yang tidak terlalu politis karena khawatir akan
muncul kontroversi sehingga akan menyulitkan karirnya. Intelektual yang selalu ingin
dipuji karena menginginkan sosok yang seimbang, obyektif, moderat tapi dengan cara
menjilat kekuasaan adalah intelektual yang menurut Said, intelektual profesional yang
memandang perannya sebagai suatu mata pencaharian.
Edward W. Said juga merupakan penulis yang produktif. Ia dikenal sebagai
Professor Sastra Bandingan (Comparative Literature) di Universitas Columbia. Adapun
sebahagian hasil karya-karya Edward W. Said yang penulis dapatkan adalah sebagai
berikut:
1. Orientalism (1978)
2. The Question of Palestine (1979)
3. Covering Islam: How The Media and The Experts Determine How We See The Rest
of The World (1981)
4. The Politics of Dispossession (1994)
5. Peace and Its Discontents: Essays on Palestine in he Middle East Peace Process
(1995)
6. The Politics of Dispossession and Peace and Its Discontents (1995)
7. The World, The Text, and The Critics (1983)
8. Nationalism, Colonialism, and Literature: Yeats and Decolonization (1988)
9. Musical Elaborations (1991)
10. Culture and Imperialism (1993)
11. Humanism and Democratic Criticism
12. Out of Place (1999)
13. Orientalism 25 Years Later, Worldly Humanism vs The Empire-Builders (2003)
14. An Article : “Arab Portrayed” (1968)
15. An Article : “Palestine, Then and Now: An Exile’s Journey Through Israel and the
Occupied Territories” (1992)
16. An Essay : “Representations of the Intellectual” (1994), etc...
Dari sekitar kurang lebih 25 hasil karya / buku yang terlahir dari tangan Edward
W. Said, buku Orientalism mungkin tergolong yang paling fenomenal. Sebagian juga dari
beberapa buku Edward W. Said telah di-Indonesiakan. Pada 1984, sekitar 6 tahun sejak
7

munculnya buku Orientalism, penerbit Pustaka di Bandung meluncurkan versi Indonesia


yang diterjemahkan oleh Asep Hikmat. Hingga kini, buku terjemahan itu telah beberapa
kali dicetak ulang. Selanjutnya buku-buku lain karya Edward W. Said yang telah di-
Indonesiakan antara lain adalah Kebudayaan dan Kekuasaan (Mizan, 1995), Covering
Islam: Bagaimana Media dan Pakar Menentukan Cara Pandang Kita Terhadap Dunia
(Jendela, 2002), dan Memoar Pribadi Edward W. Said yaitu Out of Place (Jendela, 2002).
Selain itu, terdapat juga kumpulan ceramah Edward W. Said di Radio BBC versi
Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia (1998) berjudul Peran
Intelektual.
Pemikiran selanjutnya dari Edward W. Said yang penulis rangkum dalam makalah
ini adalah pemikiran yang bersumber dari buku Edward W. Said yang berjudul
Orientalism (1978), Covering Islam: How The Media and The Experts Determine How
We See The Rest of The World (1981), dan Memoar Pribadi Edward W. Said yaitu Out of
Place (1999).

C. Edward W. Said and Orientalism


Edward W. Said adalah seorang intelektual yang berasal dari Palestina dan
merupakan pengamat dunia Islam dan dunia Arab yang sangat cekatan. Berbeda dengan
kaum orientalis lainnya yang cenderung menjelaskan soal Arab dan Islam secara
reduksionis disebabkan karena para orientalis tersebut memiliki kepentingan tertentu.
Edward W. Said sebagai seorang intelektual senantiasa berusaha untuk selalu
komperhensif dan proporsional serta tidak menguraikan pemikirannya secara dogmatis
tetapi ia menguraikan pemikirannya seperti karya sastra.
Orientalism merupakan suatu karya akademis dan fenomenal yang ditulis oleh
Edward W. Said. Dalam buku itu, ia menganalisa aspek-aspek kebudayaan yang menjadi
dasar pemikiran orientalisme. Ia berpendapat bahwa pemikiran orientalisme tidak lepas
dari masyarakat imperial yang menghasilkannya, yang membuat banyak karya dari
pemikiran ini menjadi sangat politis dan menghamba kepada kekuasaan.
Orientalisme berasal dari kata orient dan oriental sebagai penjelasan tentang
Timur. Secara etimologi, berarti “matahari terbit”, Kemudian masuk dalam kosa kata
politik melalui orientalisme, yakni sebuah kajian tentang sejarah, sastra dan seni di Eropa
yang dipelopori oleh Edward Said. Ia berpendapat bahwa penjajah Eropa memandang
Timur sebagai “yang lain” dalam menjelaskan dirinya. Orientalisme kemudian menjadi
8

ideologi yang menjadikan Barat sebagai pusat dalam relasinya dengan Timur. Hal ini
dilakukan untuk menciptakan mitosnya sendiri guna mengesahkan pendudukan negara-
negara yang disebut “oriental”. Menurut Said, hal ini berlangsung dengan terciptanya
kesepakatan tentang yang “lain”, yakni negara-negara oriental, yang tidak hanya meliputi
dunia Barat tetapi juga para pemimpin negara-negara tersebut. Pendidikan, sastra dan seni
Barat menjadi dominan karena dominasi ekonomi dan politik oleh negara-negara
imperialis.
Menurut Said, orientalisme adalah doktrin politik yang diarahkan kepada Timur,
pada saat Timur lebih lemah dan budaya Barat lebih dominan. Dalam konteks ini, Timur
dihadirkan (direpresentasikan) dalam sifat-sifatnya yang despotik, sensual, pasif,
terbelakang, mentalitas menyimpang, dan sebagainya, sesuai dengan subjektivitas para
penulis dan pengamat Barat. Pandangan semacam ini sudah terinstitusionalisasi sejak
abad ke-18 sebagai satu sistem kebenaran, dan menurut Said, konsekuensinya, para
pengamat Eropa cenderung rasis, imperialis dan etnosentrik, juga eropasentrik terhadap
yang lain (others). Dan malangnya, pada akhir abad ke-19, orientalisme (kajian tentang
ke-Timur-an) membawa misi membantu kolonialisme alias penjajahan.
Begitu besarnya perhatian Barat—lewat hegemoni kulturalnya—terhadap Timur,
sehingga menurut Edward W. Said antara tahun 1800-1950 saja, tidak kurang dari 60.000
buku telah ditulis pihak Barat tentang Timur Dekat (The Near Orient). Kenyataan ini
sama sekali tidak diimbangi oleh pihak Islam untuk juga mengkaji peradaban dan warisan
kultural Barat yang sekarang masih berada cenderung tak tersentuh. Singkatnya, Edward
W. Said memandang orientalisme itu selalu terkait dengan 3 (tiga) fenomena, yaitu:
1. Orientalisme adalah orang yang mengajarkan, menulis, dan meneliti Timur, baik
orang yang bersangkutan ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun filologi, baik
dari segi umum maupun khusus, dengan mengklaim bahwa dirinya memiliki
pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan Timur.
2. Orientalisme ialah gaya berpikir yang berlandaskan pada pembedaan ontologis dan
epistemologis yang dibuat antara Timur (the orient) dan (hampir selalu) Barat (the
occident).
3. Orientalisme dapat didiskusikan dan dianalisis sebagai institusi yang berbadan hukum
untuk menghadapi Timur, berkepentingan membuat pernyataan tentang Timur,
membenarkan pandangan-pandangan tentang Timur, mendeskrip-sikannya,
9

mengajarinya, memposisikannya, dan kemudian menguasainya. Dengan kalimat lain,


orientalisme adalah cara/gaya Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi (menata
kembali), dan menguasai dunia Timur.
Selanjutnya, Edward W. Said membagi 4 (empat) jenis relasi kekuasaan yang
hidup dalam wacana orientalisme, yaitu:
1. Kekuasaan politis, yaitu pembentukan kolonialisme dan imperialisme.
2. Kekuasaan intelektual, yaitu mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan
pengetahuan lain.
3. Kekuasaan kultural, yaitu kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya Timur
memiliki estetika kolonial, yang secara mudah bisa ditemukan di India, Mesir dan
negara-negara bekas koloni lain.
4. Kekuasaan moral, yaitu apa yang baik dilakukan dan tidak dilakukan oleh Timur.
Selain itu, Said membuat distingsi antara “latent orientalism” dan “manifest
orientalism”, “latent” merujuk pada kehendak untuk berkuasa dari Barat untuk
menguasai Timur dan “manifest” merujuk pada detail permukaan atau aspek yang tampak
dalam diskursus, seperti disiplin (sosiologi, sejarah, sastra, dll), produk budaya, sarjana,
dan tradisi bangsa. Aspek pengetahuan yang “manifest” dari orientalisme ini selalu
berubah, sementara aspek “latent” dari orientalisme bersifat relatif konstan alias tetap dan
tidak berubah, karena kepentingan politik dan kekuasaan. Oleh karena itu, terdapat 2
(dua) metode yang digunakan Orientalisme untuk membawa dunia Timur ke dalam
pengamatan dunia Barat, yaitu:
1. Lewat persebaran kapasitas pembelajaran modern berikut aparatusnya seperti profesi,
universitas, masyarakat profesional, organisasi eksplorasi dan geografikal serta
industri penerbitan. Ini melibatkan prestise para sarjana, pelancong dan penyair
pertama yang membentuk Timur esensial. Menurut Said, ini semua adalah manifestasi
doktrinal dari “latent orientalism” yang memberikan para orientalis itu kapasitas
“enunciative (deklaratif)” untuk berbicara dalam bahasa yang rasional mengenai
dunia Timur.
2. Lewat bertemunya pengetahuan orientalis dengan kekuasaan Barat. Orientalis adalah
“agen khusus” kekuasaan Barat, “penasehat” yang memasok pengetahuan untuk
penciptaan kebijakan kolonial di dunia jajahannya. Kolaborasi antara orientalis dan
penguasa kolonial pada akhirnya mengafirmasi pandangan Foucault mengenai
10

ketidak-terpisahan pengetahuan dan kekuasaan. Begitu pengetahuan tentang Timur


diproduksi oleh para orientalis, ia langsung diafirmasi, diperkuat dan menjadi faktual
oleh administrasi kolonial. Dengan demikian, orientalisme dibentuk secara “latent”
oleh kategori identitas yang bersifat oposisional: “kita” dan “mereka”. “Kita” adalah
Eropa, kulit putih, yang dideskripsikan oleh para orientalis sendiri sebagai liberal,
benar, ramah, terdidik, dan rasional. Di sisi yang lain, identitas ini diperkuat dan
dibedakan oleh “Mereka” yang digambarkan sebagai terbelakang, primitif, bodoh dan
seterusnya.
Setelah itu, Said juga telah menyibak cacat-cacat dasar yang dipakai Barat dalam
memandang Timur (Timur atau Orient dalam hal ini adalah dunia Islam, bukan Asia).
Kesalahan utama para orientalis itu adalah menganggap ada satu esensi yang bisa dipakai
untuk menjabarkan Islam. Mereka merasa bisa mendefinisikan hakikat masyarakat Arab
dan kebudayaan Islam – sebuah kebudayaan dengan sejarah yang kaya dan pengaruh yang
menjangkau hingga ke Granada bahkan Asia Tenggara – dalam suatu generalisasi atau
simplifikasi yang serba tunggal dan pukul rata (“Islam adalah...”, “Arab adalah...”). Dasar
keyakinan ini sebenarnya adalah kecongkakan Barat yang merasa bahwa apa yang
dinamakan “peradaban” (ilmu pengetahuan, seni, teknologi, dan perdagangan) hanya
berjalan maju di wilayah dan sejarah mereka. Sementara Timur itu statis, terbelakang,
eksotis, dan pasif.

D. Edward W. Said and Covering Islam: How The Media and The Experts Determine
How We See The Rest of The World
Buku Edward W. Said yang berjudul “Covering Islam: How The Media and The
Experts Determine How We See The Rest of The World” ini adalah buku yang terbit pada
tahun 1981. Dalam versi Indonesia, buku ini berjudul “Bagaimana Media dan Pakar
Menentukan Cara Pandang Kita Terhadap Dunia”. Dalam buku ini, Edward W. Said
telah mencatat insiden kekacauan yang dilakukan oleh umat Islam. Yakni: (1) Sejak 1983
di Lebanon, sekitar 240 marinir Amerika Serikat gugur dalam sebuah ledakan bom yang
diduga dilakukan kelompok Islam radikal dan aksi peledakan bom bunuh diri oleh
seorang Muslim di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut; (2) Tahun 1980-an,
sejumlah warga negara Amerika disandera oleh kelompok Syi’ah di Lebanon dan ditawan
dalam jangka waktu yang lama; (3) Pembajakan penerbangan TWA di Beirut 14 dan 30
Juni 1985 dan beberapa kekejaman bom di Prancis yang kira-kira terjadi pada saat
11

bersamaan; (4) Peledakan penerbangan Pan Am nomor 109 di atas Lockerbie, Skotlandia
(1988); (5) Aksi pemboman World Trade Center (WTC) tahun 1993, yang diyakini
dilakukan oleh Syekh Omar Abdul Rahman; (6) Fatwa Imam Khomeini terhadap Salman
Rushdi (14 Februari 1989) dan iming-iming hadiah Miliaran dolar bagi pembunuhnya;
dan (7) Aksi bom bunuh diri warga Palestina terhadap pemukiman Yahudi-Israel.
Dalam karyanya ini salah satu bahasannya membahas mengenai bangsa Iran, yang
dimana Iran telah membangkitkan kemarahan orang-orang Amerika, bukan hanya karena
pendudukan kantor kedutaan AS di Teheran oleh mahasiswa Iran, 4 November 1979,
tetapi juga akibat liputan media yang sangat terperinci dan terfokus terhadap kejadian
tersebut. Perlu diingat bahwa diplomat-diplomat Amerika disandera dan Amerika sendiri
tidak mampu membebaskannya, sedangkan peristiwa itu disajikan dan disiarkan dalam
siaran utama televisi malam demi malam. 90 % pengetahuan orang-orang Amerika
terhadap Iran terbentuk oleh radio, televisi dan surat kabar, melalui penyiaran yang keliru
itulah membuat penafsiran yang berlebihan pula terhadap Iran dan Islam. Tidak ada cara
untuk meredakan keberangan yang disebabkan oleh penyanderaan orang-orang Amerika
ini, begitu juga meredakan kemelut yang disebabkan oleh konflik-konflik di dunia Islam
selain melalui kajian khusus bagaimana sesungguhnya Iran dan Islam itu secara
obyektifitas.
Dalam karya yang menonjol ini, pemikiran Edward W. Said adalah menguji asal-
usul dan kecenderungan imej-imej monolitik media massa Barat tentang Islam. Seraya
mengkombinasikan komentar politisi dan kritisisme literer, Said membeberkan asumsi-
asumsi tersembunyi dan distorsi-distorsi atas fakta-fakta yang dibohongkan oleh apa yang
disebut sebagai penggambaran paling “obyektif” tentang dunia Islam. Tak pelak,
Covering Islam merupakan kelanjutan dari investigasi maha panjang Said terhadap
sebuah kecenderungan yang di dalamnya bahasa tak hanya menggambarkan, tetapi juga
mendefinisikan sebuah realitas politik.

E. Edward W. Said and Out of Place


Out of Place adalah karya Edward W. Said yang merupakan memoar / catatan
pribadi tentang sebuah dunia yang hilang atau terlupakan, sebuah dunia di daratan
bersama kanak-kanak. Merasa selalu terbuang, terasingkan, dan tidak pas dimana saja ia
berada. Edward W. Said berjuang keras untuk menyingkap sosok pribadinya yang lain,
bukan “Edward” ciptaan Ayahnya, dengan segala aturan hidup yang dipaksakan
12

kepadanya, bukan pula “Said” ciptaan Amerika ketika tengah menjalani masa-masa
kuliah disana. Dia ingin menjadi dirinya sendiri, pribadi yang cerdas dan berbakat, bukan
makhluk bentukan yang malu-malu dan penakut.
Penulisan buku ini dimulai pada saat Said menerima berita tentang diagnosis
medis yang fatal yang terlihat tak mungkin lagi dilawan. Edward W. Said pun memulai
penulisan Out of Place ini pada Mei 1994, ketika beliau tengah menjalani 3 (tiga) tahap
kemoterapi untuk penyakit leukimia yang menyerangnya, sebagian besar buku ini Said
tulis saat sedang sakit dan menjalani perawatan medis dengan penuh kesabaran dan
ketulusan yang mendalam.
Sumber Bacaan:
 Andre, Titin, dan Koko. 2013. dalam Paper/Makalah mengenai Orientalisme dan
Edward W. Said “Presentasi Kajian Paska Kolonial”. 25 September 2013.
 Moustafa Bayoumi and Andrew Rubin. 2000. The Edward Said Reader, New York:
Vintage Book.
 Britannica. 2015. Edward Said. dalam http://www.britannica.com/biography/
Edward-Said/.
 Counterpunch. 1999. Defamation, Revisionist Style. dalam http://www.counterpunch.
org/1999/06/15/defamation-revisionist-style/.
 Leela Gandhi. 1998. Postcolonial Theory Critical Introduction. Sydney: Allen &
Unwin.
 Adel Iskander dan Hakem Rustom. 2010. Edward Said: A Legacy of Emancipation
and Representation. University of California Press. ISBN: 978-0-520-24546-4.
 Laurie J. Sears. 2005. Intellectuals, Theosophy, and Failed Narratives of The Nation
in Late Colonial Java. dalam A Companion to Postcolonial Studies. Henry Schwarz
and Sangeeta Ray (ed). Oxford: Blackwell Publishing.
 Ania Loomba. 1998. Colonialism/Postcolonialism. New York: Routledge.
 Ricklefs, M.C. 1981. A History of Modern Indonesia. London: The Macmillan Press.
 Stephen P. Sheehi. 2001. Edward Said. dalam Encyclopedia of Postcolonial Studies.
Johnc Hawley (Ed). London: Greenwood Press.
 Edward W. Said. 1978. Orientalism. London: Penguin Books.
 Edward W. Said. 2000. Out of Place. New York: Vintage Book.
13

 Edward W. Said. 2002. Covering Islam: How The Media and The Experts Determine
How We See The Rest of The World, terj. Apri Danarto, Covering Islam: Bagaimana
Media dan Pakar Menentukan Cara Pandang Kita Terhadap Dunia. Yogyakarta:
Penerbit Jendela.
 Edward W. Said. 2002. Out of Place, terj. Sabrina Jasmine, Terasing: Sebuah
Memoar. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
 Wikipedia. 2015. Edward Said. dalam https://id.wikipedia.org/wiki/ Edward_Said.

Anda mungkin juga menyukai