Anda di halaman 1dari 11

WACANA DAN KUASA (EDWARD W.

SAID)
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Postmodern dan Postrukturalisme
Dosen Pengampu : Bapak Zainul Adzfar

Disusun Oleh :

Rajif Maulana Hidayatullah (1804016078)


Novi Eka Rahmawati (1804016082)
Luthfi Muyasaroh (1804016086)

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sekilas mengenai Edward W. Said yang merupakan seorang filsuf kelahiran Yerussalem,
Palestina pada tahun 1935 yang baru saja berulang tahun tepat di tanggal 1 November
kemarin. Beliau merupakan salah satu filsuf dengan ketertarikan yang amat kuat dengan
bidang intelektual. Banyak karya yang telah ia hasilkan dan dari sekian banyak karyanya ini
satu buku yang paling terkenal bagi kalangan akademisi yaitu buku berjudul Orientalism.
Dalam buku ini ia menuangkan pemikirannya tentang berbagai wacana dan kuasa yang
dilakukan oleh Barat terhadap Timur. Gagasannya yang berbeda dalam buku ini
memunculkan banyak pengaruh bagi kalangan intelektual. Mulai dari terbukanya lapangan
penelitian baru, kritik perbedaan pendapat dari beberapa tokoh dan lain sebagainya. Secara
singkat, buku berjudul Orientalism ini menyingkap teori tentang postkolonialisme yang
tertuang dalam kegiatan para orientalis dalam menyusun wacana untuk menguasai Timur
dengan cara mempelajari, menghimpun, dan mendominasi Barat di dunia Timur. Sehingga
tujuan dibentuknya wacana ini merupakan wujud kerja Barat yang menguasai Timur.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya yaitu:

1. Bagaimana riwayat hidup dari seorang Edward W. Said?


2. Bagaimana teori wacana dan kuasa menurut Edward W. Said?

C. Tujuan
1. Menjelaskan biografi Edward W. Said.
2. Menjelaskan teori wacana dan kuasa menurut Edward W. Said.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Biografi Edward W. Said

Edward W. Said yang memiliki nama lengkap Edward Wadie Said, lahir di Yerussalem,
tepatnya di daerah Talbiyah (sebuah kawasan terpencil di Palestina Barat). Beliau lahir ke
dunia tepat pada tanggal 1 November 1935 dari pasangan ibu yang bernama Hilda (seorang
Palestina kelahiran Nazareth) dan ayah yang bernama Wadie Said (seorang Amerika Serikat
kelahiran Yerussalem). Ayahnya adalah seorang pedagang alat tulis dan buku yang juga
mempunyai bisnis di Kiro, Mesir. Sebelumnya, ayahnya juga pernah menjadi anggota
American Expeditionary Force di bawah pimpinan Jenderal John J1. Kemudian ayahnya
beserta keluarganya dilekatkan status kewarganegaraan Amerika karena karir militernya.
Nama “Edward” diberikan oleh ibunya karena seorang Pangeran Inggris yang bernama
Pangeran Edward menjadi terkenal dan populer pada 1935, tepat di tahun kelahirannya. 2
Edward W. Said mempunyai empat adik perempuan yang bernama Jean, Rosy, Joyce, dan
Grace.3

Sejak lahir, Edward W. Said memang tidak pernah terlepas dari paradoks identitas. Hidup
di lingkungan Palestina yang nyaris berpenduduk Muslim saat itu, dengan nama depan
“Edward” berasal dari Inggris dan dengan nama tengah “Wadie” dari nama sang ayah yang
lebih senang dianggap sebagai seorang Amerika, serta nama belakang “Said” berasal dari
Arab, membuat Edward W. Said selalu merasa sebagai “yang lain”, yang berjuang untuk
tidak menjadi “Edward” ciptaan ibunya, tidak pula menjadi seorang “Wadie” ciptaan
Amerika yang tak pernah jelas genealoginya, serta tidak pula menjadi “Said” yang selalu
memaksakan aturan hidup kepadanya.

Edward W. Said sangat menyukai sastra, sehingga ada tiga pengaruh dari masa kecilnya
yang menyebabkan ia sungguh tertarik terhadap sastra. Pertama, Cerita-cerita tentang peri
dan cerita Kitab suci yang dibacakan rutin oleh nenek dan ibunya, dan pada usia tujuh tahun
ia diperbolehkan untuk membaca mitos-mitos Yunani. Kedua, Film-film yang diperbolehkan

1
Wikipedia, Edward Said, https://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Said (diakses pada 21-09-2015).
2
Edward W. Said, Out of Place, terj. Sabrina Jasmine, Terasing: Sebuah Memoar(Yogyakarta: Penerbit Jendela,
2002), hlm. 1.
3
Said, Edward (15 June 1999). "Defamation, Revisionist Style. Counter Punch”. Disadur dari Wikipedia, Loc.Cit.
(diakses pada 21-09-2015).

3
oleh orang tuanya pada masa kecilnya adalah film-film untuk anak-anak. Seperti film-film
seribu satu malam dan film-film Walt Disney, film Tarzan juga ia sukai pada masa-masa
kecil dan remajanya. Ketiga, Ia juga menyukai konser di masa kecil dan remaja. Ia suka
menghadiri konser-konser yang diadakan di Kairo.4

Edward W. Said menghabiskan masa kecilnya di Yerussalem dan Kairo, dimana ia


belajar di sekolah-sekolah elit Inggris. Ia memulai pendidikan formalnya pada 1941 di GPS
(Gezira Preparatory School) di Lebanon. Pada 1951, Edward W. Said kemudian pindah ke
Amerika Serikat dan masuk ke Princeton University dengan jurusan Sejarah dan Sastra
Inggris, di kampus inilah karakter Said mulai terbentuk. Kegiatan membaca, menulis dan
berpidato dijadikan benteng untuk melindungi dirinya dari pengaruh buruk lingkungan sosial
Princenton. Sebab, saat itu sebagian besar mahasiswa Princenton lebih suka berkumpul
membuat club-club dan berhura-hura. Said kemudian mencoba menulis kolom pertamanya di
koran mahasiswa Princenton tentang pencaplokan Terusan Suez dalam perspektif Arab.

Edward W. Said adalah salah satu tokoh filsafat (filsuf) dan pemikir besar pada abad ke-
20. Said adalah seorang intelektual Palestina–Amerika yang meletakkan dasar-dasar teori
kritis di bidang poskolonalisme. Said menganut kepercayaan Agnostik dan aliran
Postmodernisme (Pascamodernisme).5 Salah satu pemikiran Edward W. Said yaitu mengenai
Peran Intelektual adalah ia mendefinisikan Intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat
untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap atau filsafat kepada
publik. Adapun tujuan Intelektual menurut Said adalah meningkatkan kebebasan dan
pengetahuan manusia. Said juga menyatakan bahwa seorang intelektual tidaklah berada di
menara gading. Sebaliknya, mereka terlibat langsung dalam soal-soal kemasyarakatan.

Pada akhirnya, Edward W. Said meninggal dunia pada hari Kamis, 25 September 2003 di
rumah sakit New York dalam usianya yang ke- 67 tahun. Penyakit leukemia akut yang
dideritanya sejak 1992 membuat Edward W. Said harus berjuang sendirian, persis ketika ia
memperjuangkan masalah yang sama kronisnya sejak lebih dari dua dekade perjalanan
kariernya sebagai seorang intelektual. Empat bulan sebelum mengembuskan nafas terakhir
(Mei 2003), Edward W. Said masih sempat menulis prolog untuk bukunya yang berjudul
Orientalism (1978). Prolog itu beliau tulis sebagai persembahan edisi ulang tahun buku
tersebut yang ke-25. Entahlah, prolog itu seolah-olah memberi isyarat akan kepergian
4
Andre, Titin, dan Koko, Orientalisme dan Edward W. Said “Presentasi Kajian Paska Kolonial, 25 September
2013”, dalam http://id.scribd.com/doc/170889867/Paper-Edward-Said-Tentang-Orientalisme #scribd (diakses
pada 21-09-2015).
5
Wikipedia, Loc.Cit. (diakses pada 23-09-2015).

4
Edward W. Said, sebuah isyarat tentang seseorang yang hingga detik-detik akhir kematiannya
masih tetap gigih memperjuangkan hak-hak rakyat di tanah kelahirannya. Dalam prolog itu,
Edward W. Said terus berbicara soal Palestina, soal penderitaan penduduk di “negeri tak
bertuan” itu, dan juga soal dirinya yang telah memasuki usia senja.

Akhirnya pemikir ini pergi dengan meninggalkan gagasan besar bagi kaum intelektual
untuk tetap menjaga martabat serta memperjuangkan kebenaran sebagai suatu hal utama bagi
masyarakat dunia, sebab tugas intelektual menurut Said adalah mengatakan kebenaran walau
resiko pembuangan serta pengucilan di dalam pergaulan Internasional menjadi konsekuensi.

2. Teori Wacana dan Kuasa menurut Edward W. Said

Teori wacana dan kuasa Said bisa juga disebut dengan teori Postkolonialisme yang mana
pemikiran ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Orientalisme. Kajian postkolonial
merupakan salah satu kajian akademis yang telah berkembang setelah tahun 1980-an. Adanya
perubahan dari masyarakat yang cenderung terposisikan pada “dua kutub”, identitas tunggal
dan komunal menjadi masyarakat yang saling berintegrasi dan bergesekan antar masyarakat
yang bersifat local dan global secara bersamaan. Oleh karena itu, kajian poskolonial
senderung menggunakan argumentasi yang bersifat terposisikan pada oposisi biner. Namun,
lain halnya dengan kajian poskolonial milik Said yang menolak untuk mendekonstruksi
pandangan oposisi biner. Menurut Said, pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum
oriental) yang merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai konstruksi
social-budaya yang tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan mereka. Karena itu
pandangan dan teori-teori yang dihasilkannya tidaklah netral dan obyektif.

Teori poskolonial itu sendiri merupakan sebuah seperangkat teori dalam bidang filsafat,
film, sastra, dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya yang terkait dengan
peran kolonial.6 Said juga mengemukakan bahwa postcolonial yaitu sebuah konstruk Barat
(colonial) terhadap budaya dan identitas orang dan budaya Timur tidak terlepas dari
kepentingan, ideologi dan etnosentrisme Barat. Oleh karena itu focus kajian poskolonial
adalah masalah ketikadilan dalam bidang social budaya dan ilmu pengetahuan yang
diakibatkan oleh hegemoni, kolonialisme serta narsisme dan kekerasan epistemology Barat
yang sudah berkembang sejak awal abad modern.

6
Nurhadi, dkk, Bentuk-bentuk poskolonialitas Di Indonesia mutakhir Pada Majalah Tempo, LITERA, Volume 10,
Nomor 1, April 2011, hlm 10.

5
Dalam pemikirannya ini Said terinspirasi oleh pemikiran Foucault dan Teori Kritis
sebagai dasar untuk teori poskolonialnya. Edward Said menggunakan pemikiran tokoh
tersebut untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemology Barat terhadap Timur
dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang
dikemukakan kaum kolonialis dan orientalis. Said memakai pemikiran Foucault bertujuan
untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemology Barat terhadap Timur dengan
menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang
dikemukakan kaum kolonialis dan orientalis. Hal ini dikarenakan ia merasakan penderitaan
rakyat Palestina yang terjajah dan kesetiaan Said pada tanah kelahirannya ini. Sehingga
dengan keahlian analisisnya ia berhasil menyingkap kemudian melebar memasuki dunia
ilmiah melalui kajian-kajian teks-teks para orientalis.

Kemudian Said mengartikan Orientalisme itu sendiri sebagai wacana ilmiah yang
didorong oleh motif-motif kekuasaan (kolonialisme) yang amat buas. Ia tidak lagi sekedar
kajian akademis yang netral, tapi juga dimotifi hasrat politik prasangka. Kemudian baginya
orientalisme ini merupakan gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai
Timur. Selain itu, said juga membagi pengertian orientalisme ini dalam tiga cara yang
berbeda yaitu:

a. Orientalisme dipandang sebagai cara berpikir yang berdasarkan pada epistemology


dan ontology yang dengan tegas memberi perbedaan antara Timur dengan Barat.
b. Orientalisme merupakan gelar akademis untuk menggambarkan suatu kegiatan yang
umumnya terdapat pada universitas Barat yang memperhatikan kajian masyarakat dan
kebudayaan Timur.
c. Orientalisme adalah lembaga resmi yang hakekatnya peduli kepada Timur.

Kemudian Said pun memaknai kata orientalisme ini dalam tiga wilayah yang tumpeng tindih,
yaitu diantaranya:

a. Orientalisme menciptakan sejarah pahit yang panjang tentang hubungan antara bangsa
Eropa dan Asia-Afrika.
b. Orientalisme menciptakan berbagai bidang ilmu sejak awal abad ke-19 sebagai pokok
kajiannya berupa bahasa dan budaya Timur.
c. kolonialisme menciptakan stereotip-stereotip dan ideology tentang “the Orient” yang
diidentikkan dengan “the Other” atau yang lain dari “the Occident” (the Self).

6
Ketiga pendapatnya itu dipengaruhi oleh pemikiran Foucault yang menyatakan bahwa
konstruksi kaum orientalis lebih merupakan konstruksi wacana daripada sebuah dialog antar
dua budaya yang sederajat. Kata Said dalam bukunya Orientalisme menunjukkan adanya
imajinasi Barat tentang Timur dan kuasa serta pengetahuan yang saling berhubungan dalam
karya tulis orientalis. Sebagaimana menurut Akhyar Lubis yang mengatakan bahwa Said
telah menggabungkan teori wacana, hubungan kuasa dan pengetahuan untuk perjuangan
masyarakat dan politik dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, baik Timur maupun Barat itu
merupakan hasil dari membangun ide yang berhubungan dengan realitas sosial budaya.

Sehubungan dengan ilmu pengetahuan, Said sama seperti Foucault yang mengatakan
bahwa semua ilmu pengetahuan adalah suatu bentuk ekspresi kehendak untuk berkuasa.
Artinya kita tak mungkin berbicara tentang kebenaran yang mutlak atau pengetahuan yang
objektif. Said membandingkan jika ilmuan alam mengamati sesuatu dengan menggunakan
objektivitas hasinya akan bagus. Namun jika sosiolog dan ilmu humaniora yang
menggunakan objektivitas dalam pengamatannya maka makna yang dihasilkan berupa bentuk
paksaan. Sehingga nantinya ilmuan tersebut akan terjebak dalam objektivitas. Kajian
orientalisme pada dasarnya juga tidak terlepas dari kajian bahasa, mengingat pengantar utama
sebagai sebuah kajian adalah bahasa. Oleh karena itu, bahasa juga turut berperan dalam
pengenalan, penyebarluasan, dan pendominasian kajian orientalisme sehingga pada masanya
pernah menjadi bidang kajian yang cukup terpandang.7

Selanjutnya, Said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana
orientalisme. Pertama, kekuasaan politis (pembentuakan kolonialisme dan imperialisme).
Kedua, kekuasaan intelektual (mendidik timur melalui sains, linguistic, dan pengeatahuan
lain). Ketiga, kekuasaan kultural (kolonialisasi selera, teks, dan nilainilai, misalnya timur
memiliki estetika colonial, yang secara muda bisa ditemukan di india, mesir dan Negara-
negara bekas colonial lain). Dan keempat, kekusaan moral (apa yang baik dilakukan dan
tidak dilakukan oleh timur). Menurut Said kebudayaan dan politik pada kasus kolonialisme
telah bekerja sama, secara sengaja ataupun tidak, melahirkan suatu sistem dominasi yang
melibatkan bukan hanya meriam dan serdadu tetapi suatu kedaulatan yang melampaui
bentuk-bentuk, kiasan dan imajinasi penguasa dan yang dikuasai. Hasilnya adalah suatu visi
yang menegaskan bahwa bangsa Eropa bukan hanya berhak, melainkan wajib untuk
berkuasa. Kewajiban untuk berkuasa ini juga dikarenakan adanya dominasi Eropa yang
memiliki peradaban yang maju, seksual yang sesuai aturan, maskulin, serta aktif.
7
Yani Kusmarni, TEORI POSKOLONIAL Suatu Kajian Tentang Teori Poskolonial Edward W. Said, hlm 10.

7
Dibandingkan dengan bangsa Timur yang memiliki peradaban kurang maju atau tetap,
sensual liar, malas dan pasif. Edward said juga mengatakan, yakni konstruk Barat (colonial)
terhadap budaya dan identitas orang dan budaya Timur tidak terlepas dari kepentingan,
ideology dan etnosentrisme Barat. Oleh karena itu focus kajian poskolonial adalah masalah
ketikadilan dalam bidang social budaya dan ilmu pengetahuan yang diakibatkan oleh
hegemoni, kolonialisme serta narsisme dan kekerasan epistemology Barat yang sudah
berkembang sejak awal abad modern. Dengan perkataan lain, kajian poskolonial
“menawarkan” sebuah pemahaman kritis dan berupaya untuk mengungkap berbagai dimensi
ideologis, hegemonis dan imprealis yang terdapat dalam ilmu social-budaya. Untuk itu
wacana poskolonial yang disebut juga wacana yang berada “di luar Orientalisme” karena
berupaya untuk mengubah “konstruksi” realitas kontemporer model berpikir Barat modern.
Jika teori colonial menggunakan “paradigma positivisme” sebagai dasar epistemologinya,
maka teori poskolonial menggunakan teori kritis dan posmodernisme terutama melalui
postrukturalisme sebagai dasarnya. teori poskolonial merupakan suatu teori yang mempelajari
kondisi dari keadaan sesudahnya. Teori poskolonial terutama berkenaan dengan keadaan
abad ke-18 sampai abad ke-19. Teori ini memberikan perhatian kepada apa yang disebut
budaya pribumi yang merupakan budaya tertindas dari kekuasaan kolonialisme, juga teori ini
berkaitan dengan representasi ras, etnisitas dan pembentukan negara–bangsa. Untuk itu,
kajian poskolonial bertujuan untuk, Pertama , mengangkat kembali sejarah ilmu, teknologi
dan pengobatan barat, seperti ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam, India, Cina maupun
pengetahuan pribumi dan pengetahuan dari budaya lain melalui kajian empiris dan histories.
Kedua, mengembangkan wacana kontemporer tentang sifat, gaya dan lingkup ilmu
pengetahuan, teknologi dan pengobatan non-Barat. Ketiga, mengembangkan kebijakan ilmu
pengetahuan yang mengakui dan menghargai praktek-praktek ilmiah, teknologi dan
pengobatan pribumi atau asli.

8
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Edward Wadie Said lahir di Yerussalem, Palestina pada tanggal 1 November 1935.
Salah satu karya terpopulernya berjudul Orientalisme yang membahas tentang teori wacana
dan kuasa atau postkolonial yang dikajinya dari hasil tulisan para orientalis barat. Said
menulis karyanya ini merupakan bentuk kesetiaanya dan pengalamannya atas terjajahnya
Palestina. Kajian poskolonial ini erat hubungannya dengan peran kajian orientalisme. Yang
mana orang Barat mengkaji tentang Timur. Kajiannya ini memberikan pengaruh terhadap
para akademisi karena perbedaan Said dalam mengemukakan gagasannya tentang teori
poskolonial. Ini terbukti dengan Said menolak untuk mendekonstruksikan kajian colonial
dengan menerapkan oposisi biner. Kemudian Said dalam pemikirannya ini dipengaruhi oleh
pemikiran Foucoult dan teori kritis. Terutama dalam teori kekuasaannya, di mana Said

9
mengatakan bahwa Barat berhak dan wajib untuk berkuasa atas Timur. Ini dikarenakan salah
satu sifat arogansi Barat yang menganggap dirinya lebih maju dan unggul dari pada Timur.

DAFTAR ISI

Kusmarni, Yani. TEORI POSKOLONIAL Suatu Kajian Tentang Teori Poskolonial Edward
W. Said.
Nurhadi, dkk. Bentuk-bentuk poskolonialitas Di Indonesia mutakhir Pada Majalah Tempo,
LITERA, Volume 10, Nomor 1, April 2011.
Andre, Titin, dan Koko, Orientalisme dan Edward W. Said “Presentasi Kajian Paska
Kolonial, 25 September 2013”, dalam http://id.scribd.com/doc/170889867/Paper-Edward-
Said-Tentang-Orientalisme #scribd (diakses pada 21-09-2015).
Wikipedia, Loc.Cit. (diakses pada 23-09-2015).
Wikipedia, Edward Said, https://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Said (diakses pada 21-09-
2015).
Edward W. Said, Out of Place, terj. Sabrina Jasmine, Terasing: Sebuah Memoar(Yogyakarta:
Penerbit Jendela, 2002).

10
Said, Edward (15 June 1999). "Defamation, Revisionist Style. Counter Punch”. Disadur dari
Wikipedia, Loc.Cit. (diakses pada 21-09-2015).

11

Anda mungkin juga menyukai