Anda di halaman 1dari 7

BOOK RIVIEW

ISLAM DAN MASYARAKAT BANJAR KARYA ALFANI DAUD


Disusun untuk memenuhi Tugas pada mata kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia

Dosen Pengajar

: Drs. H. Setia Budhi, Ph. D


: Hereyanto, S. Sos., MA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK XIII

Muhammad Helmi

D1B114243

Junpriadi Sanjaya

D1B114250

Minda Nor Susanti

D1B114242

Erry Irianthony A. S

D1B114

Tiya Safitri

D1B114244

Rahmat Arifani

D1B114

Nina Rahmaida

D1B1144

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
TAHUN 2014/ 2015

Book Review
Judul

: Islam dan masyarakat Banjar

deskripsi dan analisa kebudayaan


Banjar / oleh Alfani Daud
Penulis : Alfani Daud
Periview : Kelompok XIII
Cetakan pertama Jakarta : Raja Grafindo Persada,
199

Alfani Daud Dan Studi Islam Banjar


Tepat tanggal 12 Januari 2006 lalu, Prof. Dr. Alfani Daud, seorang mantan Rektor
IAIN Antasari periode 1988/1994 telah meninggalkan kita semua untuk selamanya. Setahun
telah berlalu dari kita. Setahun pula kita telah kehilangan seorang akademisi yang layaknya
bisa dikatakan sebagai antropolog dalam arti yang sebenar-benarnya. Salah satu karyanya
yang sangat monomental di bidang antropologi adalah Islam dan Masyarakat Banjar yang
diterbitkan oleh Rajawali Press Jakarta pada tahun 1997. Oleh karena itulah, tidak berlebihan
jika sosok beliau semasa masih hidup sangat dikenal sebagai ahli Islam Banjar.
Karya Alfani Daud tentang Islam dan Masyarakat Banjar tersebut mungkin bisa
dikatakan satu-satunya karya yang paling komprehensif dalam memotret secar empiris
bagaimana Islam berkembang di masyarakat Banjar hingga menjadi sebuah identitas etnik.
Dalam perkembangan tersebut, tentunya, terjadi apa yang disebut oleh para ahli sebagai
akulturasi dan asimilasi budaya antara Islam dengan masyarakat Banjar.
Alfani Daud dan Studi Islam Banjar
Selama ini, memang, sudah lazim muncul anggapan di tengah-tengah masyarakat
bahwa masyarakat Banjar itu identik Islam. Dan identitas keislaman yang melekat pada
masyarakat Banjar tersebut sering dikaitkan dengan perjalanan historis yang dialami oleh
masyarakat Banjar yang sangat terkait dengan sejarah berdirinya kerajaan Islam Banjar di
kawasan ini. Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika banyak karya yang mengulas
hubungan Islam dengan masyarakat Banjar lebih dilihat dari perspektif historis.
Padahal, sebagaimana kata para sejarawan sendiri, salah satu kekuatan sejarah sendiri
adalah budaya. Oleh karenanya penting sekali dalam memahami progresi sejarah tanpa
meninggalkan analisis atau penglihatan atas budaya. Dari titik tolak inilah, Alfani Daud
memulai kerja akademisnya untuk merangkai penjelasan yang lebih komprehensif dan dapat
dipertanggungjawabkan tentang identitas masyarakat Banjar.
Oleh karena itu, ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar, maka penelusuran
tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud berasumsi bahwa cikal-bakal nenek
moyang orang-orang Banjar adalah pecahan sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari
seribu tahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau
sekitarnya. Peristiwa perpindahan besar-besaran sukubangsa Melayu ini, yang belakangan
menjadi inti nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi pada zaman Sriwijaya

atau sebelumnya.Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali


tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus. Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan
sekali etnik Dayak yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari
imigran-imigran Melayu gelombang yang pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok
imigran yang datang belakangan. Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang
belakanganlah yang menjadi kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikalbakal inilah nantinya yang menjadi dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat
Banjar.
Dengan asumsi cikal-bakal urang Banjar adalah Melayu, maka berkembang pula
asumsi selanjutnya, yakni agama mayoritas mereka adalah Islam. Mengapa Islam ? Menurut
Alfani Daud lagi, karena Melayu adalah Islam. Oleh karenanya, tidak heran jika Islam
menjadi identitas urang Banjar sejak berabad-abad. Bahkan, kasus-kasus orang-orang Dayak
memeluk agama Islam dikatakan sebagai menjadi orang Banjar. Memeluk Islam
merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di
kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai babarasih (membersihkan diri).
Dalam perkembangan tersebut, tentunya, terjadi apa yang disebut oleh para ahli
sebagai akulturasi dan asimilasi budaya antara Islam dengan masyarakat Banjar. Itulah
sebabnya kira- kira walaupun sejak berabad-abad urang Banjar selalu diidentikkan dengan
Islam, namun dalam banyak kasus praktek-praktek keagamaan yang terjadi dalam masyarakat
Banjar tidaklah seluruhnya dapat dicari referensinya dalam ajaran Islam.
Studi yang dilakukan oleh Alfani Daud saat itu, tentunya, cukup membuat terobosan
baru bagi kecenderungan studi Islam Banjar selama ini. Ada kecenderungan yang
berkembang dalam ranah studi Islam Banjar selama ini yang lebih berpusat pada figur tokoh
dan bersifat historis-normatif. Hal yang paling sentral dari pergulatan beliau selama berkarir
di dunia akademis IAIN Antasari adalah upaya beliau dalam mendorong alternatif studi Islam
Banjar yang lebih berorientasi empiris. Upaya ini tentunya agar tidak ada lagi kecenderungan
utama dalam paradigma studi Islam di IAIN yang didominasi studi-studi normatif. Inilah
mungkin sekelumit sumbangan intelektual Alfani Daud bagi studi Islam Banjar.
Mau kemanakah Studi Islam Banjar ?
Mengenang kembali sumbangan intelektual Alfani Daud bukan berarti ingin
menciptakan mitos dalam studi Islam Banjar. Meninggalnya Alfani Daud justru harus kita
jadikan sebagai momentum untuk merefleksikan masa depan studi Islam Banjar.

Mengapa demikian ? Karena saat ini, menurut Marko Mahin (2004) tengah muncul
kecenderungan studi Islam Banjar yang seolah-olah menempatkan etnis Banjar sebagai suatu
yang

given sesuatu dari sananya. Akibatnya, dalam tulisan-tulisan mengenai Banjar,

kesimpulan yang sempit dan sederhana sering diderivasi dengan mengatakan Banjar bukan
hanya konsep untuk menunjukkan perbedaan suku, tapi juga agama atau Banjar menjadi
identitas agama sekaligus suku. Sehingga muncul kesan yang kuat bahwa Banjar adalah
Islam dan Islam adalah Banjar. Kajian mengenai Banjar telah mencapai puncak status quo
ketika adigium Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar dikerek tinggi kepuncak
hingga menjadi tirai suci yang memberi rasa aman. Dan status quo itu, menurut Hairus Salim
(1996: 242- 43), mengindikasikan suatu kemandekan serius yang muncul karena Islam Banjar
hidup sendiri tanpa dialog dengan pemikiran-pemikiran Islam di luarnya.
Di tengah-tengah
(2004) mengenai

status-quo tersebut, pengetahuan kita, menurut Marko Mahin

Urang Banjar pun akhirnya hanya mampu berkisar pada spekulasi-

spekulasi yang menyatakan bahwa masyarakat inti asli orang Banjar adalah Melayu atau
sekurang-kurangnya sempalan Melayu yang menurut pelbagai sumber berasal dari salah satu
tempat di semenanjung Malaka.
Di sinilah imajinasi kolonial kaum indologist terbentang bagaikan jaring laba-laba
halus yang menjerat dengan tanpa disadari. Salah satu imajinasi populer kolonial terhadap
penduduk pulau Kalimantan adalah seperti yang dikatakan oleh Niewenhuis (1894: 16)
bahwa Orang Dayak adalah penduduk asli pulau Borneo yang bukan orang Melayu. Orang
Melayu ialah penduduk asli pulau Borneo yang beragama Islam dan bukan orang Dayak.
Atau seperti yang dipaparkan oleh Mallinckrodt (1928: 48) bahwa Suku Banjar adalah suatu
nama yang diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu. Jadi dalam imaji orang-orang
Belanda, Banjar adalah salah satu dari suku Melayu. Karena itu orang Melayu diaspora dari
Sriwijaya pun digeneralisasi sebagai Banjar atau sebagai the oldest Bandjarese (Marko
Mahin: 2004)
Pendapat bahwa Banjar adalah salah satu suku Melayu juga didasarkan pada bahasa
yang dipergunakan yang menurut J.J. Ras, ahli sastra Melayu Universitas Leiden, sebagai
the Bandjarese colloquial is a dialect of Malay rather than a separate language (Ras, 1968: 8).
Namun pendapat ini disanggah oleh para ahli Melayu moderen, misalnya James T. Collins,
Profesor Alam dan Tamadun Melayu di Universiti Kebangsaan Melayu, karena kenyataannya
bahasa Melayu tidak harus dituturkan oleh orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang di
kampung Kristen di Pulau Ambon (Collins, 2003: v). Menurut Collins (2003: vii-viii),
konsep Alam Melayu adalah konsep kultural yang berasaskan peranan bahasa Melayu dalam

batas geografi Asia Tenggara. Alam Melayu tidak identik dengan dunia Islam-Melayu, karena
banyak penutur bahasa Melayu tidak beragama Islam. Alam Melayu bukan konsep etnis
karena banyak pengguna bahasa Melayu bukan orang Melayu. Sesungguhnya Alam Melayu
lebih luas daripada wilayah masyarakat Melayu yang hanya sebagian dari Alam Melayu.
Alam Melayu yang yang sangat kompleks itu memperlihatkan kadar diversitas yang sangat
tinggi dalam hubungan bahasa dan masyarakat.
Sayangnya, banyak ahli Dunia Melayu dan pakar Nusantara seakan-akan tidak
menyadari diversitas itu. Biasanya mereka hanya mengungkapkan observasi dan mengulangi
kesimpulan yang sempit dan sederhana. Pernah saya mendengar seorang ahli sedemikian
berhujah bahwa ciri-ciri asas budaya Melayu adalah sarung dan keris! Rupanya ahli itu
belum pernah ke Pulau Bali (Marko Mahin, 2004).
Masa Depan Studi Islam Banjar Multikulturalistik
Oleh karena itu, sudah saatnya kita keluar dari kerangkeng emas yang membuat kita
semua terlena selama ini. Studi Islam Banjar yang cenderung bersifat monolitik di atas tanpa
kita sadari telah membuat / menciptakan sikap keberagamaan dan sosial kita menjadi gamang
dengan perubahan tatanan sosial yang cenderung sangat terbuka. Dalam keterbukaan tatanan
sosial saat ini seharusnya yang justru kita kembangkan adalah bagaimana membangun sikap
mental yang multikulturalistik. Hiruk pikuk fenomena formalisme keagamaan yang mewarnai
beberapa daerah kita di tahun-tahun belakang ini adalah contoh yang paling kasat mata dari
kegamangan kita dalam melihat perubahan tatanan sosial yang kian amat terbuka yang
direspon dengan sikap-sikap tertutup. Ketertutupan sikap mental kita ini dalam melihat
perubahan yang ada justru mendorong kita untuk membangun pagar-pagar formalisme, dan
bukan mencari solusi konkret atas persoalan yang sedang dihadapi.
Bagi masyarakat tradisional, pola keberagamaan yang bersifat homogen sangat besar
fungsinya dalam memelihara kohesi, integritas, dan sumber makna hidup di tengah-tengah
nilai-nilai yang asing, yang secara ekspansif siap merembes ke dunia kognitif mereka. Hal
yang demikian bisa dipahami karena setiap agama memulai titik awal eksistensinya pada
suatu momen tertentu dalam sejarah umat manusia.
Pola keberagamaan dan strata masyarakat tradisional yang demikian ini
memanifestasikan adanya struktur agama yang bersifat eksklusif yang penuh dengan muatanmuatan klaim kebenaran ( truth claim ). Sistem teologi yang bersifat eksklusif ini
menempati fungsinya sebagai pelindung eksistensial bagi masyarakat agama awal.
Bila saja pola keberagamaan yang demikian ini tetap dipertahankan dalam strata

masyarakat yang berada pada peradaban mondial seperti yang tengah berlangsung
sekarang, maka sudah bisa dipastikan bahwa multikulturalitas yang berkembang justru akan
membawa agenda masalah klasik yang serius bagi kaum beragama itu sendiri.
Kecenderungan bangkitnya kembali agama-agama dari proses marginalisasi dalam realitas
modern, akan berdampak memperkuat akar konflik dan keterpisahan masyarakat agama yang
satu dengan masyarakat agama yang lain.
Padahal, peta dunia sekarang ini masih ditandai konflik-konflik dengan warna agama.
Meskipun agama bukan satu-satu faktor, namun jelas bahwa pertimbangan keagamaan dalam
konflik-konflik itu dan dalam akselerasinya sangat banyak memainkan peran. Untuk itu, satu
titik sederhana yang ingin penulis garisbawahi di sini adalah bagaimana membangun upaya
untuk memecahkan problem realitas multikulturalisme agama dan budaya yang cukup pelik
dalam era globalisasi sekarang ini.
Studi agama yang bersifat terbuka sangat dibutuhkan dalam era kehidupan masyarakat
beragama yang bersifat multikulturalistik ini. Dengan studi agama yang bernuansa demikian
diharapkan bisa mengurangi tanpa berpretensi lebih jauh ketegangan yang diakibatkan
oleh klaim kebenaran (truth claim) dari masing-masing pemeluk agama.
Tentunya, usaha membangun sikap mental multikulturalistik ini haruslah dimulai dari
bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Ketika studi Islam Banjar masih berkisar dalam
kesimpulan: Banjar adalah Islam dan Melayu adalah Islam, sehingga urang Banjar adalah
Melayu yang sudah pasti Islam, maka kesimpulan itu sama dengan mengarahkan pandangan
urang Banjar atas dirinya secara monolitik. Akibat yang lebih jauh, kita justru secara sadar
membangun sikap tidak peduli dengan adanya kekayaan khazanah lokal daerah kita di luar
ranah Banjar adalah Islam. Seharusnya pengabaian seperti ini tidak perlu terjadi, karena
makin multikulturalistik sikap kita terhadap diri sendiri justru akan banyak membantu kita
untuk lebih mengenal kekayaan khazanah lokal masyarakat Banjar secara umum. Tentunya,
dengan banyaknya didapatkan kekayaan khazanah lokal, akan dimungkinkan pengembangan
potensi-potensi lokal untuk mendorong pengembangan masyarakat di daerah ini secara lebih
terbuka sesuai dengan kondisi zaman ini.
Oleh karena itu, dengan berjalannya waktu setahun meninggalnya Alfani Daud ini
adalah momentum yang baik bagi kita semua untuk memikirkan kembali bagaimana
membangun dan mengembangkan Pusat Studi Islam Banjar yang mampu relevan dengan
perubahan sosial yang ada. Semoga jasa-jasa Alfani Daud bisa dikenang dan ditindaklanjuti
oleh generasi muda Banjar, amin

Anda mungkin juga menyukai