Dosen Pengajar
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK XIII
Muhammad Helmi
D1B114243
Junpriadi Sanjaya
D1B114250
D1B114242
Erry Irianthony A. S
D1B114
Tiya Safitri
D1B114244
Rahmat Arifani
D1B114
Nina Rahmaida
D1B1144
Book Review
Judul
Mengapa demikian ? Karena saat ini, menurut Marko Mahin (2004) tengah muncul
kecenderungan studi Islam Banjar yang seolah-olah menempatkan etnis Banjar sebagai suatu
yang
kesimpulan yang sempit dan sederhana sering diderivasi dengan mengatakan Banjar bukan
hanya konsep untuk menunjukkan perbedaan suku, tapi juga agama atau Banjar menjadi
identitas agama sekaligus suku. Sehingga muncul kesan yang kuat bahwa Banjar adalah
Islam dan Islam adalah Banjar. Kajian mengenai Banjar telah mencapai puncak status quo
ketika adigium Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar dikerek tinggi kepuncak
hingga menjadi tirai suci yang memberi rasa aman. Dan status quo itu, menurut Hairus Salim
(1996: 242- 43), mengindikasikan suatu kemandekan serius yang muncul karena Islam Banjar
hidup sendiri tanpa dialog dengan pemikiran-pemikiran Islam di luarnya.
Di tengah-tengah
(2004) mengenai
spekulasi yang menyatakan bahwa masyarakat inti asli orang Banjar adalah Melayu atau
sekurang-kurangnya sempalan Melayu yang menurut pelbagai sumber berasal dari salah satu
tempat di semenanjung Malaka.
Di sinilah imajinasi kolonial kaum indologist terbentang bagaikan jaring laba-laba
halus yang menjerat dengan tanpa disadari. Salah satu imajinasi populer kolonial terhadap
penduduk pulau Kalimantan adalah seperti yang dikatakan oleh Niewenhuis (1894: 16)
bahwa Orang Dayak adalah penduduk asli pulau Borneo yang bukan orang Melayu. Orang
Melayu ialah penduduk asli pulau Borneo yang beragama Islam dan bukan orang Dayak.
Atau seperti yang dipaparkan oleh Mallinckrodt (1928: 48) bahwa Suku Banjar adalah suatu
nama yang diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu. Jadi dalam imaji orang-orang
Belanda, Banjar adalah salah satu dari suku Melayu. Karena itu orang Melayu diaspora dari
Sriwijaya pun digeneralisasi sebagai Banjar atau sebagai the oldest Bandjarese (Marko
Mahin: 2004)
Pendapat bahwa Banjar adalah salah satu suku Melayu juga didasarkan pada bahasa
yang dipergunakan yang menurut J.J. Ras, ahli sastra Melayu Universitas Leiden, sebagai
the Bandjarese colloquial is a dialect of Malay rather than a separate language (Ras, 1968: 8).
Namun pendapat ini disanggah oleh para ahli Melayu moderen, misalnya James T. Collins,
Profesor Alam dan Tamadun Melayu di Universiti Kebangsaan Melayu, karena kenyataannya
bahasa Melayu tidak harus dituturkan oleh orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang di
kampung Kristen di Pulau Ambon (Collins, 2003: v). Menurut Collins (2003: vii-viii),
konsep Alam Melayu adalah konsep kultural yang berasaskan peranan bahasa Melayu dalam
batas geografi Asia Tenggara. Alam Melayu tidak identik dengan dunia Islam-Melayu, karena
banyak penutur bahasa Melayu tidak beragama Islam. Alam Melayu bukan konsep etnis
karena banyak pengguna bahasa Melayu bukan orang Melayu. Sesungguhnya Alam Melayu
lebih luas daripada wilayah masyarakat Melayu yang hanya sebagian dari Alam Melayu.
Alam Melayu yang yang sangat kompleks itu memperlihatkan kadar diversitas yang sangat
tinggi dalam hubungan bahasa dan masyarakat.
Sayangnya, banyak ahli Dunia Melayu dan pakar Nusantara seakan-akan tidak
menyadari diversitas itu. Biasanya mereka hanya mengungkapkan observasi dan mengulangi
kesimpulan yang sempit dan sederhana. Pernah saya mendengar seorang ahli sedemikian
berhujah bahwa ciri-ciri asas budaya Melayu adalah sarung dan keris! Rupanya ahli itu
belum pernah ke Pulau Bali (Marko Mahin, 2004).
Masa Depan Studi Islam Banjar Multikulturalistik
Oleh karena itu, sudah saatnya kita keluar dari kerangkeng emas yang membuat kita
semua terlena selama ini. Studi Islam Banjar yang cenderung bersifat monolitik di atas tanpa
kita sadari telah membuat / menciptakan sikap keberagamaan dan sosial kita menjadi gamang
dengan perubahan tatanan sosial yang cenderung sangat terbuka. Dalam keterbukaan tatanan
sosial saat ini seharusnya yang justru kita kembangkan adalah bagaimana membangun sikap
mental yang multikulturalistik. Hiruk pikuk fenomena formalisme keagamaan yang mewarnai
beberapa daerah kita di tahun-tahun belakang ini adalah contoh yang paling kasat mata dari
kegamangan kita dalam melihat perubahan tatanan sosial yang kian amat terbuka yang
direspon dengan sikap-sikap tertutup. Ketertutupan sikap mental kita ini dalam melihat
perubahan yang ada justru mendorong kita untuk membangun pagar-pagar formalisme, dan
bukan mencari solusi konkret atas persoalan yang sedang dihadapi.
Bagi masyarakat tradisional, pola keberagamaan yang bersifat homogen sangat besar
fungsinya dalam memelihara kohesi, integritas, dan sumber makna hidup di tengah-tengah
nilai-nilai yang asing, yang secara ekspansif siap merembes ke dunia kognitif mereka. Hal
yang demikian bisa dipahami karena setiap agama memulai titik awal eksistensinya pada
suatu momen tertentu dalam sejarah umat manusia.
Pola keberagamaan dan strata masyarakat tradisional yang demikian ini
memanifestasikan adanya struktur agama yang bersifat eksklusif yang penuh dengan muatanmuatan klaim kebenaran ( truth claim ). Sistem teologi yang bersifat eksklusif ini
menempati fungsinya sebagai pelindung eksistensial bagi masyarakat agama awal.
Bila saja pola keberagamaan yang demikian ini tetap dipertahankan dalam strata
masyarakat yang berada pada peradaban mondial seperti yang tengah berlangsung
sekarang, maka sudah bisa dipastikan bahwa multikulturalitas yang berkembang justru akan
membawa agenda masalah klasik yang serius bagi kaum beragama itu sendiri.
Kecenderungan bangkitnya kembali agama-agama dari proses marginalisasi dalam realitas
modern, akan berdampak memperkuat akar konflik dan keterpisahan masyarakat agama yang
satu dengan masyarakat agama yang lain.
Padahal, peta dunia sekarang ini masih ditandai konflik-konflik dengan warna agama.
Meskipun agama bukan satu-satu faktor, namun jelas bahwa pertimbangan keagamaan dalam
konflik-konflik itu dan dalam akselerasinya sangat banyak memainkan peran. Untuk itu, satu
titik sederhana yang ingin penulis garisbawahi di sini adalah bagaimana membangun upaya
untuk memecahkan problem realitas multikulturalisme agama dan budaya yang cukup pelik
dalam era globalisasi sekarang ini.
Studi agama yang bersifat terbuka sangat dibutuhkan dalam era kehidupan masyarakat
beragama yang bersifat multikulturalistik ini. Dengan studi agama yang bernuansa demikian
diharapkan bisa mengurangi tanpa berpretensi lebih jauh ketegangan yang diakibatkan
oleh klaim kebenaran (truth claim) dari masing-masing pemeluk agama.
Tentunya, usaha membangun sikap mental multikulturalistik ini haruslah dimulai dari
bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Ketika studi Islam Banjar masih berkisar dalam
kesimpulan: Banjar adalah Islam dan Melayu adalah Islam, sehingga urang Banjar adalah
Melayu yang sudah pasti Islam, maka kesimpulan itu sama dengan mengarahkan pandangan
urang Banjar atas dirinya secara monolitik. Akibat yang lebih jauh, kita justru secara sadar
membangun sikap tidak peduli dengan adanya kekayaan khazanah lokal daerah kita di luar
ranah Banjar adalah Islam. Seharusnya pengabaian seperti ini tidak perlu terjadi, karena
makin multikulturalistik sikap kita terhadap diri sendiri justru akan banyak membantu kita
untuk lebih mengenal kekayaan khazanah lokal masyarakat Banjar secara umum. Tentunya,
dengan banyaknya didapatkan kekayaan khazanah lokal, akan dimungkinkan pengembangan
potensi-potensi lokal untuk mendorong pengembangan masyarakat di daerah ini secara lebih
terbuka sesuai dengan kondisi zaman ini.
Oleh karena itu, dengan berjalannya waktu setahun meninggalnya Alfani Daud ini
adalah momentum yang baik bagi kita semua untuk memikirkan kembali bagaimana
membangun dan mengembangkan Pusat Studi Islam Banjar yang mampu relevan dengan
perubahan sosial yang ada. Semoga jasa-jasa Alfani Daud bisa dikenang dan ditindaklanjuti
oleh generasi muda Banjar, amin