Anda di halaman 1dari 11

Teks Terstruktur Dosen Pengampu

Islam & Budaya Banjar Riza Saputra, S.Th.l, M.A

ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA, KONSEP AKULTURASI-


DIALEKTIKA KEARIFAN LOKAL BUDAYA BANJAR

OLEH

AZIZAH : 220103020061

NORHIDAYAH : 220103020107

JUAIRIAH : 220103020213

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

BANJARBARU

2023
A. Pendahuluan
Umumnya, dalam tradisi sosial bahkan juga dalam konteks
akademik, penduduk terbesar Provinsi Kalimantan Selatan yang disebut
sebagai masyarakat Banjar sudah lazim dipahami sebagai satu populasi
etnik, sehingga disebut sebagai ‘etnis Banjar’ atau ‘suku Banjar’.
Seseorang yang sejak nenek-datuknya sudah menetap di wilayah
Kalimantan Selatan, ketika ia ditanya orang mana atau suku mana, tentu ia
akan menjawab sebagai orang Banjar dan bersuku Banjar.1
Pembahasan tentang Islam dan budaya lokal nampaknya
mencerminkan dua hal yang bertentangan satu sama lain. Kesan ini
tercipta dan diperkuat oleh citra sosial bahwa Islam adalah agama samawi
yang diturunkan di negara-negara Arab, netral dan terlindung dari segala
pengaruh sosial budaya. Di sisi lain, Islam dipahami sebagai agama
universal yang fleksibel tergantung pada dinamika sosial, budaya, dan
ekonomi serta perkembangan masyarakat, sehingga memunculkan
peribahasa Islam shohihun likulli makani wa zamanin.2 Islam sebagai
agama universal (rahmatan lil 'alamin) yang dapat diterima dan mampu
tumbuh dan berkembang secara dinamis dimanapun dan kapanpun bersifat
positif.

1
Muhammad Nafis, “Islam sebagai agama dan Islam sebagai Budaya dalam masyarakat
Banjar”, Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol.2 No. 3 (Desember, 2022), 270.
2
Saidun Fiddaraini, “Gagasan Islam : Shalih Likulli Zaman wa Makan”, (Januari, 2022).

1
B. Pembahasan
1. Islam dan Akulturasi Budaya Banjar
a. Pengertian Islam
Islam adalah agama terakhir yang diketahui memiliki
karakteristik yang khas dibandingkan dengan agama lainnya. Di
dalam berbagai acuan terdapat banyak penjelasan tentang
pengertian Islam, sumber, dan ruang lingkup ajarannya. Semua
penjelasan itu dibuat untuk mendukung pemahaman keislaman
yang lebih konferhensif.
Untuk memahami pengertian Islam. Ada dua segi yang
dapat kita gunakan, yaitu dari segi kebahasaan dan segi istilah.
Dari segi kebahasaan islam bersal dari bahasa Arab, yaitu dari kata
salima yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Lalu
diubah dalam bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk
kedalam kedamaian. Sedangkan dari segi istilah adalah nama bagi
suatu agama yang berasal dari Allah Swt. Nama Islam tersebut
memiliki perbedaan yang luar biasa dengan nama agama lainnya.
Kata Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu saja
tau golongan tertentu dari manusia ataupun Negara. Kata Islam
adalah nama yang diberikan oleh Allah Swt sendiri. Hal ini dapat
dipahami dari petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan oleh
Allah Swt.3

b. Pengertian Akulturasi
Akulturasi secara istilah berasal dari bahasa latin yaitu
acculturate yang artinya tumbuh dan berkembang bersama-sama,
dalam suatu proses sosial yang muncul saat terjadinya penyatuan
dua budaya yang berbeda menjadi budaya baru tanpa menghilang
sifat-sifat budaya yang lama.4 Hal ini dapat terjadi jika suatu
3
Muhammad Rafi, “Akulturasi Budaya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan”, (Januari,
2017).
4
Ega Krinawati, “Mengenal Akulturasi Budaya”, Artikel, tirto.id

2
budaya asing yang masuk dan diterima dengan baik oleh
masyarakat tanpa menghilangkan budaya aslinya. Akullturasi
terbagi dua, yaitu Akulturasi damai dan Akulturasi ekstrim.
Akulturasi damai ialah proses yang dilakukan secara damai
tanpa ada paksaan dari pihak manapun dan masyarakat menerima
budaya baru tersebut. Sedangkan Akulturasi Ekstrim yaitu proses
yang dialakukan secara paksa.

c. Sejarah singkat masuknya Islam ke Banjarmasin


Awal masuknya Islam ke Kalimantan Selatan tidak
berbarengan dengan berdirinya kerajaan Banjar. Masuknya islam
sudah ada sebelum adanya kerajaan Banjar.5 Indikasi yang
menunjukkan bahwa Islam sudah masuk dan dikenal orang Banjar
yaitu:
1). Adanya pedagang Gujarat dan pedagang Cina yang
sudah beragama Islam, yang pada sekitar awal abad ke 15 dalam
perjalanan mereka singgah di pelabuhan-pelabuhan Kalimantan
Selatan.
2). Adanya berita tentang pedagang Islam dari Jawa (Raden
Paku) yang pernah singgah dan berdagang di pelabuhan
Banjarmasin.
3). Adanya saran Patih Masih agar Raden Samudera
meminta bantuan kepada Sultan Demak.
4). Adanya kelompok pedagang dari luar seperti orang
Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang Makassar, orang Jawa,
yang menyatakan membantu raden Samudera ketika timbul
perlawanan terhadap Pangeran Tumenggung.
Dengan demikian berkembangnya agama islam pada
permulaannya di kalangan masyarakat yang sebelumnya telah

5
Hasan, “Islam dan Budaya Banjar di Kalimantan Selatan”, Jurnal Kompertais Wilayah
XI Kalimantan, Vol. 14 No. 25 (April, 2016), 80 “

3
dipengaruhi oleh unsur-unsur Kaharingan dan Syiwa-Budha.
Agama Islam yang masuk kemudian dianut oleh sebagian besar
masyarakat Banjar, yang sebelumnya telah menganut kepercayaan
Kaharingan, agama Syiwa-Budha. Sehingga dapat dikatakan
bahwa ajaran-ajaran Islam yang mulanya berkembang di daerah
Kalimantan Selatan ini, menghadapi pengaruh dari unsur-unsur
kepercayaan tersebut.6

2. Budaya Lokal di Banjarmasin


a. Rumah Adat Banjar
Rumah Banjar adalah rumah adat suku Banjar. Desain
rumah adat tersebut memiliki ciri-cirinya antara lain mempunyai
lambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif
dan simetris. Rumah adat Banjar adalah tipe rumah khas Banjar
dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum
tahun 1871- 1935. Dari sekian banyak macam-macam rumah
Banjar. Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang
paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar.7
Rumah adat tersebut dulunya adalah tempat tinggal Sultan
Banjar sehingga dianggap tingkat tertinggi dari seluruh tipe rumah
adat Banjar lainnya. Mengapa disebut rumah bubungan tinggi?
Karena rumah Bubungan Tinggi tersebut bubungan atapnya
berbentuk lancip dengan sudut 45 derajat menjulang tinggi ke atas.
Rumah bubungan Tinggi ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-
16, saat daerah Banjar dipimpin oleh Sultan Suriansyah atau yang
bergelar Panembahan Batu Habang (1596–1620 Masehi).
Selain itu, ornamen-ornamen yang ada pada bangunan
Rumah Bubungan Tinggi dipengaruhi oleh unsur budaya suku
Dayak dan Islam. Arsitektur yang dipengaruhi oleh unsur budaya

6
Kamrani Buseri, “Sepintas Masuknya Islam Di Borneo”, artikel, 28 Desember 2009
7
Ayu Septia Ningrum. “Kebudayaan Banjarmasin”, artikel, 02 November 2011

4
suku Dayak umumnya menggunakan motif flora dan fauna.
Sementara itu, unsur budaya Islam terlihat pada ukiran-ukiran
kaligrafi Arab seperti kalimat syahadat, nama-nama khalifah,
shalawat, maupun ayat-ayat tertentu dalam Al- qur’an.

b. Tradisi Lisan (Madihin dan Lamut)


Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh
budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar yang
sekarang menjadi sebuah kesenian. Sudah berkembang sekitar abad
ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin

berasal dari bahasa Arab, yakni madah (‫)مدح‬ yang artinya pujian.

Madihin merupakan puisi rakyat yang bertipe hiburan yang


dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik
atau nonfisik sesuai dengan kesepakatan yang berlaku secara
khusus dalam adat Banjar. Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi
bakisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan,
sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan
mulanya menggunakan bahasa Tionghoa. Namun, setelah dibawa
ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya
diubah menjadi bahasa Banjar.8

3. Akulturasi Budaya lokal


a. Ba’ayun Maulid
Ba’ayun maulid dilakukan ketika pembacaan maulid nabi
saat bacaan yang harus dibaca dalam keadaan berdiri. Saat itulah
anak-anak diayun untuk mengharapkan berkah dari nabi
Muhammad Saw. Tradisi tersebut awalnya berasal dari tradisi
bapalas bidan sebagai sebuah tradisi yang berdasarkan kepada

8
Ahmad Ananda Alim Pratama, “Kalimantan Selatan”,2013

5
kepercayaan Kaharingan.9 Dan ketika agama Hindu berkembang di
daerah Banjar maka berkembang juga budaya yang serupa dengan
ba’ayun anak yakni ba’ayun wayang didahului dengan pertunjukan
wayang, ba’ayun topeng didahului dengan pertunjukan topeng dan
ba’ayun madihin mengayun bayi sambil melagukan syair madihin.
Ketika Islam masuk dan berkembang, upacara bapalas
bidan tidak hilang. Islam datang tidak langsung menghilangkan
tradisi Kaharingan dan Hindu sebelumnya tetapi tradisi yang
dahulu itu disesuaikan dengan ajaran Islam dengan tujuan untuk
mempermudah Islam masuk dan berkembang.
Tradisi ini rutin dilakukan setiap tahun, pada setiap tanggal
12 bulan Maulid atau Rabi’ul Awal tahun Hijriyah untuk
menyambut dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad
Saw. Tetapi, jika upacara Ba’ayun Maulid dilaksanakan selain
tanggal tersebut juga diperbolehkan. Upacara ini biasanya dimulai
pada sekitar pukul 10.00 pagi. Upacara ini dilakukan ketika anak
berusia 0-5 tahun. Biasanya saat bayi berusia 40 hari. Tempat
pelaksanaannya ada yang diselenggarakan di rumah, namun bisa
juga di balai desa, masjid, atau di tempat yang lapang secara
massal.
Pusat tempat dilaksanakan acara ba’ayun maulid ini adalah
di Masjid al- Karamah desa Banua Halat Kabupaten Tapin. 10
Peserta dalam acara ini tidak hanya dari anak-anak balita, tapi juga
pemuda, orang dewasa, dan bahkan ada juga yang berusia sampai
100 tahun. Maksud mereka untuk mengikuti acara baayun maulid
ini juga bermacam-macam. Bahkan tahun demi tahun peserta
ba’ayun Maulid semakin bertambah bahkan ada dari negara
tetangga seperti Malaysia dan Brunei.

9
Hasan, “Islam dan Budaya Banjar di Kalimantan Selatan”, Jurnal Kompertais Wilayah
XI Kalimantan, Vol. 14 No. 25 (April, 2016), 84
10
Ahmad Riyadi, “Baayun anak dan Akulturasi Budaya PraIslam”, artikel, 22 Oktober 2021

6
b. Batampung tawar
Batampung tawar adalah acara seperti selamatan untuk
menyambut kelahiran seorang anak. Sama seperti acara ba’ayun
maulid, ayunan yang digunakan juga digantungi macam-macam.
Nantinya gantungan yang ada akan diperebutkan oleh orang-orang
yang hadir.11 Upacara Tepung Tawar dikenal masyarakat Indonesia
dan Malaysia. Bermula diambil dari ritual agama Hindu yang
sudah lebih dulu dianut masyarakat. Saat para pedagang dari
Gujarat dan Hadramaut membawa ajaran Islam ke kawasan ini
sejak abad ke-7 Masehi, mereka berhadapan dengan kebiasaan
animisme dan dinamisme yang sangat dipercayai agama Hindu
yang sangat kuat di setiap lapisan masyarakat.
Salah satunya adalah upacara Tepung Tawar. Upacara ini
diadakan bisa untuk berbagai peristiwa penting dalam masyarakat,
seperti kelahiran, perkawinan, pindah rumah, pembukaan lahan
baru, jemput semangat bagi orang yang baru luput dari mara
bahaya, dan sebagainya. Dalam perkawinan, misalnya, Tepung
Tawar adalah simbol pemberian do’a dan restu bagi kesejahteraan
kedua pengantin, di samping sebagai penolakan terhadap bala dan
gangguan.

c. Ba’arwahan dan Bahaulan


Di kalangan masyarakat Banjar, peristiwa kematian
biasanya tidak selesai dengan dikuburkannya mayat.12 Tetapi juga
di barengi dengan berbagai acara selamatan atau aruh. Yaitu pada
hari pertama, hari ketiga, ketujuh, kedua puluh lima, ke empat

11
Hasan, “Islam dan Budaya Banjar di Kalimantan Selatan”, Jurnal Kompertais Wilayah
XI Kalimantan, Vol. 14 No. 25 (April, 2016), 85
12
Hasan, “Islam dan Budaya Banjar di Kalimantan Selatan”, Jurnal Kompertais Wilayah
XI Kalimantan, Vol. 14 No. 25 (April, 2016), 88

7
puluh, ke seratus, sesudah setahun dan setiap tahunnya. Dalam
acara tersebut pasti ada bacaan al-qur’an, shalawat kepada Nabi
serta tahlil yang hadiahnya ditujukan kepada mayat yang
bersangkutan. Lalu diakhiri dengan bacaan do’a haul atau arwah.
Undangan yang menghadiri acara pada pertama sampai hari
keseratus merupakan kerabat dari si mayat. Adapun acara haul
undangan yang menghadiri lebih diperluas lagi tidak sekedar dari
pihak keluarga tapi orang kampung sebelah mereka pun ikut
diundang.

8
C. PENUTUP

KESIMPULAN

Di Kalimantan Selatan, suku Banjari berasal dari daerah sekitar kota


Banjarmasin. (desa Jingah, Kuin dan Melayu). Wilayahnya meluas ke dan sekitar
kota Martapura, ibu kota kabupaten Banjar. Bahasa yang digunakan oleh orang
Banjar adalah bahasa Banjar. Bahasa Banjar sebenarnya adalah bagian kecil dari
bahasa Melayu. Karena ada teori yang kuat bahwa nenek moyang suku Banjar
berasal dari beberapa suku Melayu, mereka berkembang menjadi suku yang
bermigrasi secara besar-besaran ke Sumatera dan Semenanjung Malaya (sekarang
Malaysia Barat) pada usia lebih dari seribu tahun. Wilayah Kalimantan,
khususnya Kalimantan Selatan. Sebelum Islam masuk ke Pulau Kalimantan,
masyarakatnya menganut kepercayaan Hindu-Buddha atau Kaharingan yang
tentunya sangat berbeda dengan ajaran Islam. Meski proses islamisasi masyarakat
Kalimantan melalui dakwah dan pendidikan masih berlangsung hingga saat ini,
jejak-jejak kepercayaan dan budaya agama kuno masih belum lengkap.

Namun, beberapa di antaranya mungkin runtuh, sehingga beberapa di


antaranya terus memengaruhi keragaman dan budaya Muslim hingga saat ini.
Islam dan budaya Banjar merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan umat beragamanya, seperti Hari al-asyura (10 Muharram) dan Bubur
al-asyura, Maulidan, Baayun Maulid, Batam Tawar, Mbak Bantu Papalas,
Baarwahan dan Bahaulan. Tradisional pada bidan itu semakin jarang. Sebaiknya
tradisi ini diperkenalkan kembali kepada masyarakat Kalimantan Selatan
khususnya Banjari baik oleh pemerintah maupun tokoh masyarakat agar tradisi ini
dapat dilestarikan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Buseri Kamrani, “Sepintas Masuknya Islam Di Borneo”, artikel, 28


Desember 2009.

Fiddaraini Saidun, “Gagasan Islam : Shalih Likulli Zaman wa Makan”,


Januari, 2022.

Hasan, “Islam dan Budaya Banjar di Kalimantan Selatan”, Jurnal


Kompertais Wilayah XI Kalimantan.

Krinawati Ega, “Mengenal Akulturasi Budaya”, Artikel, tirto.id

Nafis Muhammad, “Islam sebagai agama dan Islam sebagai Budaya


dalam masyarakat Banjar”, Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Desember 2022.

Ningrum Septia Ayu. “Kebudayaan Banjarmasin”, artikel, 02 November


2011.

Pratama Alim Ananda Ahmad, “Kalimantan Selatan”,2013.

Rafi Muhammad, “Akulturasi Budaya di Banjarmasin, Kalimantan


Selatan”, Januari, 2017.

Riyadi Ahmad, “Baayun anak dan Akulturasi Budaya PraIslam”, artikel,


22 Oktober 2021.

10

Anda mungkin juga menyukai