Anda di halaman 1dari 15

MAZHAB SYAFI’I DI KALIMANTAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Pemikiran Ulama Banjar Bidang Fiqih

Dosen Pengampu :
Drs. Humaidiy, M. Ag.

Oleh :
Kelompok 01

Abdul Fatah (170102010459)


Nazaratun Maulidiyah (170102010424)
Rezky Amelia (170102010358)
Sari Sulistiani (170102010384)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan
karunia-Nyalah sehingga makalah dengan judul “Mazhab Syafi‟i di Kalimantan”
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya, sebagai pemenuhan salah satu tugas
Pemikiran Ulama Banjar Bidang Fiqih.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan


baik dari segi penulisan, susunan kata, maupun isi materi. Dengan ini penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini nantinya


dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Banjarmasin, 18 Februari 2020

Kelompok 01

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan ..................................... 2
B. Tokoh Penyebaran Mazhab Syafi‟i di Kalimantan ..................... 3
C. Kitab Mazhab Syafi‟i di Kalimantan .......................................... 4
D. Peribadatan Masyarakat Banjar .................................................. 8

BAB III PENUTUP


A. Simpulan ..................................................................................... 11
B. Saran ............................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Selatan tidak serta merta
ada dengan sendirinya. Banyak tokoh yang terlibat dalam penyebaran Islam
hingga memasuki Bumi Borneo ini. Tidak dapat di pungkiri pula berbagai faktor
mendukung atas pesatnya pertumbuhan agama yang mulia yaitu Islam
Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo kala
itu melalui dua jalur. Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo
adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai.
Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin
menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami
pesisir Barat Kalimantan. Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam
adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke
Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak
mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini.Perjalanan dakwah pula yang
akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar,
salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan?
2. Siapa Tokoh Penyebaran Mazhab Syafi‟i di Kalimantan?
3. Apa Saja Kitab Mazhab Syafi‟i di Kalimantan?
4. Apa Saja Contoh Peribadatan Masyarakat Banjar?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan
2. Mengenal Tokoh Penyebaran Mazhab Syafi‟i di Kalimantan
3. Mengetahui Kitab Mazhab Syafi‟i di Kalimantan
4. Mengetahui Contoh Peribadatan Masyarakat Banjar

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan


Islam masuk ke kalimantan pada abad ke 15 M dengan cara damai yang
dibawa oleh mubalig dari jawa. Sunan Bonang dan Sunan Giri mempunyai para
santri di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Gubahan Sunan Giri bernama
"Kalam Muyang, sedangkan gubahan SunanBonang bernama Sumur Serumbung.
Menurut Helius Syamsuddin dalam bukunya Islam and Resistence in South and
Centrekalimantan in The Nineteenth and Early Twentieth Centuries menerangkan
bahwa Islam masuk ke kalimantan Selatan dari jawa pada abad ke XVI, ketika
Sultan demak membantu Pangeran Banjar, Pangeran Samudera, untuk
menghadapi Pangeran Temenggung dalam peperangan merebut tahta kerajaan,
sebagai imbalannya, Pangeran samudera bersedia untuk memeluk Islam. Dia
menjadi Sultan pertama kesultanan Banjarmasin dengan gelar Sultan Suriansyah.
Konversinya itu perlahan-lahan diikuti oleh para pengikutnya dan orang-orang
Banjar kecuali masyarakat Dayak pedalaman.1
Diterangkan pula setelah konverensi Sultan Suriansyah pada abad XVI
tersebut, tidak banyak lagi diketahui mengenai proses islamisasi sesudahnya,
dalam arti intensitas pengajaran islam pada masyarakat banjar dan secara khusus,
peneyabaran islam di kalangan masyarakat dayak pedalaman pada abad-abad
selanjutnya. Barulah pad abad XIX ada bukti mengenai proses ini yang berasal
dari ulasan Schwaner dan Meijer dalam bukunya Borneo. Pada awalnya islamisasi
terhadap masyarakat dayak di mulai di kalangan bakumpai. Bakumpai marabahan
yang tinggal 57 km dari banjarmasin, sering melakukan interaksi dengan
masyarakat banjar, terutama dalam bidang perdagangan yang diikuti dengan
perkawinan antar orang banjar dengan orang bakumpai yang menyebabkan
mereka masuk islam. Setelah konversi ini, mereka menyebut diri mereka sebagai
“Orang Melayu”. Bahasa melayu menjadi bahasa bagi penduduk asli di
semenanjung Tanah Melayu, di pusat timur Sumatera, di seluruh pantai Borneo

1
Banjarmasin: Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, 2002, h. 1.

2
(Kalimantan), di Kepulauan Riau, Bangkam dan Natuna besar. D.J. Prentice
berpendapat bahawa daerah penutur asli bahasa Melayu ialah di kawasan Tanah
Melayu sehingga selatan Thailand (Pattani), di sepanjang pantai timur Sumatera,
di kepulauan Riau, di sepanjang pesisir Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
dan Kalimantan Timur, di Brunei, di pantai barat Sabah, di Sarawak, di Singapura,
di Jakarta, di Larantuka, di Kupang, di Makasar, di Menado, di Ternate, di Banda,
dan di Ambon. Selain wilayah Melayu, ternyata bahwa bahasa Melayu pun dapat
ditemukan di Sri Lanka dan di Afrika Selatan.2
Di abad ke XVII terdapat seorang ulama Banjar yang mengarang Asal
Kejadian Nur Muhammad yang dipengaruhi oleh ajaran neoplatonisme asal ulama
Islam Andalusia, Ibnu Arabi. Pengaruh suluk dari jawa pun ada. Setelah itu
berkembangnya Islam Mazhab Syafi‟I dimulai pada abad ke XVIII, setelah Syekh
Muhammad Arsyad al Banjari datang kembali ke kalimantan selatan.

B. Tokoh Penyebaran Mazhab Syafi’i di Kalimantan


Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau yang sering disebut Datu
Kalampayan, beliau lahir pada 15 syafar 1122 H/ Maret 1710 M dikampung Lok
Gabang Martapura Kalimantan Selatan, nama lengkap beliau adalah Syekh
Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdurrahman Al-Banjari, terlahir dari
seorang ibunda yang sholehah bernama Siti Aminah, ayah beliau yang bernama
Abdullah bin Abdurrahman adalah seorang yang zuhud dan alim, beliau tumbuh
dan besar dalam suasana keislaman yang kental dibawah pemerintahan kerajaan
Islam Banjar.
Sejak umur 7 tahun beliau sudah fasih dan sempurna dalam membaca Al-
Qur'an, kecerdasannya dalam ilmu agama dan bakat melukisnya menarik
perhatian Sultan penguasa kerajaan Banjar pada waktu itu, maka Muhammad
Arsyad kecil pun diboyong untuk belajar ilmu agama dilingkungan istana bersama
keluarga kerajaan, setelah dewasa dan menikah karena kepandaian dan kecerdasan
beliau dalam mempelajari ilmu agama maka menjelang usia 30 tahun beliau

2
D.J. Prentice, Peradaban Malaka, (Serawak, Malaysia: Al- Maktabatul-Kaber, t.th), h.
106.

3
diberangkatkan ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agama dengan
dibiayai oleh kerajaan, karena Sultan berharap dengan ilmu yang dipelajarinya
nanti ditanah suci itu kelak akan dapat membimbing dan mengajarkan ilmu
kepada rakyat banjar dan sekitarnya.
Perkembangan Islam Mazhab Syafi‟I di kalimantan selatan ini terjadi pada
abad ke XVIII setelah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari pulang dari Mekkah.
Di desa Dalam Pagar ia mengembangkan pembaharuan Islam melalui pendidikan
dan penulisan buku-buku agama. Anak-anaknya, cucu-cucunya, buyutnya serta
para muridnya ikut giat mengembangkan ajaran Syekh Muhammad Arsyad al
Banjari tersebut.
Kembali kepada ajaran Islam Mazhab Syafi‟I yang berjasa sekali adalah
“Perukunan Besar” yang merupakan petunjuk, bimbingan tertulis tentang cara-
cara melakukan kewajiban dan rukun agama.3

C. Kitab Mazhab Syafi’i di Kalimantan


Kepedulian terhadap faham Sunni dengan mazhab Syafi‟i ini terbukti
dengan dipergunakannnya secara luas kitab “Sirathol Mustaqim”, yaitu kitab yang
dikarang oleh Syekh Nurruddin Raniri. Kitab tersebut membahas tentang ilmu
fiqih dalam mazhab Syafi‟i yang terbaik dalam bahasa Melayu. Karena itu, kitab
tersebut sebagai kitab pegangan di kalangan masyarakat dalam wilayah Kerajaan
Banjar. Hanya saja karena perkembangan masyarakat naskah yang disebarluaskan
melalui salin-menyalin menjadi cacat, sedangkan mereka yang mengkaji masalah
tersebut sudah tidak ada lagi.4
Selanjutnya, Syekh Muhammad Arsyad dalam usahanya menyebarkan
Islam di daerahnya, ia juga telah menulis beberapa buah kitab agama dalam
bahasa Melayu dengan aksara Arab. Kitab-kitab karyanya tersebut dapat
dibedakan atas 3 kelompok, yaitu:

3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, (tt., t.p,
t.th.), h. 42-43.
4
Sjarifuddin, dkk. Sejarah Banjar, (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007), h. 183-184.

4
1. Kitab-kitab Tauhid, yakni yang bertujuan memantapkan keyakinan iman dan
aqidah yang benar. Kitab-kitab itu adalah: a. Usuluddin, b. Tuhfatur Raghibin.
2. Kitab-kitab Fiqh, yang membicarakan masalah-masalah ibadah dan amaliah,
yakni tentang segala tindakan manusia baik yang mempunyai hubungan
dengan Tuhan maupun sesama manusia. Kitab-kitab ini adalah: a. Sabilal
Muhtadin lit tafaqquh fi amriddin, b. Kitabun Nikahi, c. kitabul Faraid, d.
Nuqtatul Ajlan, e. Hasyiah Fathil Jawab.
3. Kitab-kitab Tasawuf, untuk mendapatkan kedamaian bathin dalam
berhubungan dengan Tuhan. Kitab-kitab ini adalah: a. Kanzul Ma‟rifah, b. Al
Qauulul Mukhtashar.

Di antara kitab-kitab tersebut ada beberapa yang besar fungsinya dalam


rangka pengembangan dan penyebaran Islam, kitab-kitab tersebut antara lain:
1. Kitab Tuhfatur Raghibin.
Kitab ini ditulis pada tahun 1188 H/1774M, terdiri atas 28 halaman,
menggunakan huruf Arab dan berbahasa Melayu. Dengan demikian dapat
dipelajari oleh banyak orang di daerah ini yang pada umumnya dapat membaca
huruf Arab. Isinya menerangkan hal-hal yang merusak iman, yang menyebabkan
orang menjadi syirik atau murtad. Dengan demikian, melalui kitab ini Syekh
Muhammad Arsyad berusaha menghindarkan/memperbaiki kekeliruan yang
mungkin terjadi pada setiap pemeluk Islam di Kalimantan Selatan waktu itu.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa sampai datangnya Syekh Muhammad
Arsyad di daerah ini agama Islam baru saja menerima unsur-unsur baru yang yang
dibawa orang-orang yang kembali dari Mekah. Praktik-praktik ibadah dan
muamalah masih banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan yang pernah
berkembang sebelumnya. Ini merupakan bagian dari usaha Syekh Muhammad
Arsyad dalam melakukan pembaharuan dan pemurnian agama Islam di daerah ini.

2. Kitab Sabilal Muhtadin.


Lengkapnya adalah Sabilal Muhtadin lit tafaqquh fi amriddin. Kitab ini
ditulis berdasarkan permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah pada
tahun 1193 H/1779 M. Seperti disebutkan di atas bahwa kitab Sabilal Muhtadin

5
ini adalah sebuah kitab fiqih, yaitu yang membicarakan segala hukum agama, baik
yang berhubungan dengan kepercayaan ataupun yang berhubungan dengan
muamalah.
Kitab-kitab agama yang digunakan dalam pengajian-pengajian pada waktu
itu umumnya menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab yang tadinya dibawa
sendiri oleh Syekh Muhammad Arsyad dari Mekah. Kitab-kitab dalam bahasa
Arab tersebut dikenal dengan istilah Kitab Kuning. Penggunaan kitab-kitab
tersebut dalam pengajian menemui kesulitan karena untuk dapat mengerti isinya
orang lebih dahulu mengerti bahasa Arab. Di samping itu, alam Kalimantan
Selatan khususnya dan juga Indonesia pada umumnya mempunyai kehidupan
fauna dan flora yang berbeda sekali dengan negeri Arab. Sehingga dengan kitab-
kitab fiqih dari negeri Arab tersebut, mungkin akan menimbulkan beda pendapat
dalam menetapkan hukum terhadap sesuatu yang hanya ada ditemukan di daerah
atau alam Indonesia ini. Sebenarnya pada waktu itu sudah ada sebuah kitab fiqih
Melayu di daerah ini, yakni Kitab Sirathol Mustaqim karangan Nuruddin Ar
Raniry, seorang ulama besar dari Aceh. Kitab tersebut ditulis dalam tahun 1044-
1054 H (1634-1644 M). Sehubungan dengan hal itu Syekh Muhammad Arsyad
menulis dalam Mukaddimah kitabnya, bahwa: “Lebih dahulu dari kitabnya itu
telah ada sebuah kitab Fiqh atas mazhab Imam Syafi‟i bernama Sirathol Mustaqim
yang ditulis oleh seorang alim yang lebih, bernama Nuruddin ar Raniry;
Akan tetapi karena sebagian ibaratnya mengandung bahasa Aceh maka sulit bagi
orang yang bukan ahlinya untuk mengambil pengertiannya;
Lagi pula ada bagian dari ibaratnya yang diubah dari pada asalnya dan digantikan
dengan yang lainnya atau gugur atau kurang disebabkan kelalaian penyalin-
penyalinnya yang tidak berpengatahuan, sehingga menjadi rusak dan berselisih
antara naskah-naskah dan ibaratnya, sehingga hampir tidak diperoleh lagi naskah-
naskah yang saheh dari penulisnya”.
Kitab Sabilal Muhtadin terdiri atas 2 juz. Yang pertama tebalnya 252
halaman, dan juz kedua 272 halaman. Kedua juz ini merupakan kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Penyebaran Kitab sabilal Muhtadin ini dimulai dari ruang
pengajian Desa Dalam Pagar sendiri, yakni dengan mengadakan salin menyalin

6
dari naskah aslinya oleh murid-muridnya. Kemudian dibawa orang ke Mekah, di
sana dilakukan salin menyalin pula, bahkan kemudian dijadikan kitab pelajaran
fiqih bagi orang-orang berbahasa Melayu, sehingga kitab ini dikenal luas oleh
penuntut-penuntut ilmu di Mekah yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara
dan Asia Tenggara. Mereka itulah yang akan mengajarkannya pula di daerah atau
di negeri mereka kemudian.
Penulisan Kitab Sabilal Muhtadin ini selesai pada tahun 1195 H (1780 M).
Pertama kali dicetak pada tahun 1300 H/1882 M serentak di tiga tempat, yakni
Mekah, Istambul dan Mesir, dengan pentasheh Syekh Ahmad bin Muhammad
Zain al Fathany, ulama berasal dari Fatani (Muang Thay) yang mengajar di
Mekah pada waktu itu. Dengan adanya cetakan ini maka Sabilal Muhtadin lebih
tersiar dan terkenal luas di Asia Tenggara. Bahkan penuntut-penuntut ilmu di
Mekah umumnya lebih dahulu mempelajari Sabilal Muhtadin sebelum dapat
membaca kitab berbahasa Arab.

3. Perukunan Besar.
Buku ini hasil dari dekti yang diberikan Syekh Muhammad Arsyad kepada
cucunya yang bernama Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis. Dalam buku ini
yang tebalnya kurang lebih 100 halaman tercakup pengetahuan pokok yang harus
dimiliki oleh seorang muslim dan muslimah. Di dalamnya terdapat pengetahuan
dan cara-cara praktik segala yang menyangkut rukun Islam dan rukun Iman. Buku
ini juga disebut Perukunan Besar, karena Syekh Muhammad Arsyad disebut juga
dengan gelar Haji Besar. Serta karena adanya tindakan salin menyalin sehingga
buku ini tidak hanya tersebar di Kalimantan, Jawa, Sumatera, tetapi bahkan
sampai ke Malaya. Kitab Perukunan Besar ini pertama kali dicetak di Singapura
pada tahun 1325 H/1907 M, atas usaha dari seorang pedagang dari Negara
(Kandangan), atas nama Haji Abdurrasyid Banjar. Karena seperti disebutkan di
atas terhadap kitab Perukunan ini terjadi tindakan salin menyalin, bahkan
dilakukan pula penterjemahan ke dalam bahasa daerah lainnya, maka timbullah
kemudian nama-nama Perukunan Sunda, Perukunan Jawa, Perukunan Melayu,
dengan nama pengarang yang berbeda-beda.

7
Demikianlah dari sejumlah karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang
tersebar luas itu, kita dapat mengukur sampai di mana andil ulama besar ini dalam
mengembangkan dan menyebarkan ajaran Islam tersebut. Ulama besar ini
meninggal pada tahun 1227 H/1812 M dan dimakamkan di Desa Kelampayan
(Martapura), dengan meninggalkan barisan ulama sebagai suatu kelompok sosial
yang mempunyai kedudukan khusus dalam masyarakat Banjar yang mempunyai
perasaan keagamaan yang kuat.5

D. Peribadatan Masyarakat Banjar


Pemikiran-pemikiran al-Banjari terkait dengan kekhasan masyarakat
Banjar adalah sebagai berikut:
1. Adab Buang Hajat dalam Kakus (Jamban)
Masyarakat Banjar menyebut Jamban sebagai tempat untuk buang hajat
besar atau buang hajat kecil. Jamban dalam Bahasa Indonesia berarti kakus,
tandas, tempat buang air (WC).6 Jamban dalam tradisi masyarakat Banjar adalah
kakus yang berada di atas rakit terbuat dari kayu ulin atau bambu, terletak di
pinggir sungai. Kakus tersebut bisa bergerak mengikuti arus air sungai yang ada.
Jika arah kakus bisa bergerak, berarti memungkinkan adanya perubahan tata letak
kakus, yang semula menghadap bisa jadi membelakangi dan seterusnya.
Menurut al-Banjari , kakus yang disediakan khusus (jamban) merupakan
tempat untuk buang hajat besar dan hajat kecil, maka tidak diharamkan
membelakangi atau menghadap kiblat. Akan tetapi, jika tempat yang digunakan
untuk buang hajat adalah bukan tempat khusus (jamban), menghadap kiblat atau
membelakanginya maka makruh dan haram hukumnya.
Dalam perspektif al-Banjari adab melakukan buang hajat diatur sebagai
berikut: pertama, tidak menghadap atau membelakangi kiblat. Jika seseorang
terpaksa melakukan buang hajat tidak pada tempatnya, misalnya ditempat lapang,
tak ada dinding pembatas yang menghalangi, maka sangat dianjurkan untuk tidak
menghadap atau membelakangi kiblat.
5
file:///C:/Users/win7/Documents/sejarah%20dan%20nilai%20tradisional_%20Perkemban
gan%20Islam%20di%20Kalimantan%20Selatan.htm.
6
Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005)., h.217.

8
Kedua, boleh menghadap atau membelakangi kiblat karena sebab tertentu.
Disunnahkan untuk tidak menghadap atau membelakangi kiblat. Namun jika
buang hajat dilakukan pada tempatnya, maka dianggap tidak makruh dan tidak
pula bertentangan dengan keutamaan. Adapun tempat tertentu yang dimaksud
harus memiliki dinding yang tingginya minimal dua pertiga hasta dan jarak
dindingnya minimal tiga hasta.7

2. Mengubur Jenazah Menggunakan Peti Mati


Dalam perspektif al-Banjari, mengubur jenazah menggunakan peti mati
adalah adalah makruh karena termasuk bid‟ah. Namun jika ada sebab tertentu
yang mengarah kepada mafsadat, misalnya keadaan tanah yang labil atau berair,
jenazah perempuan yang tidak dihadiri oleh pihak keluarga dekat (mahramnya),
atau adanya kekhawatiran terhadap kemungkinan adanya binatang buas yang
membongkar dan memangsa jenazah tersebut, maka dalam kondisi ini hukumnya
tidak lagi makruh, bahkan wajib menggunakan peti mati demi kemashlahatan dan
keamanan jenazah yang telah dikubur.8

3. Hukum Zakat
Zakat menurut bahasa berarti suci, sedangkan menurut istilah berarti
memperbaiki dan menambah, yakni menambah kebaikan dan berkah. Zakat
diwajibkan setelah tahun kedua Hijriyah, sebagaimana tercantum dalam surah At-
Taubah:104.
Hal menarik dari pemikiran al-Banjari tentang zakat adalah pertama,
keberanian beliau untuk menegaskan bahwa tidak ada zakat bagi barang tambang
berharga selain emas dan perak. Secara tegas al-Banjari menyatakan bahwa pada
benda selain emas dan perak seperti mutiara, intan, zamrud, yaqut, fairuz, kesturi
dan „anbar tidak wajib zakat. Fatwa tersebut sangat sesuai dengan kondisi
masyarakat Banjar, terutama Martapura dan sekitarnya yang berprofesi sebagai

7
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Sabilal Muhtadin, terjemah (Surabaya: Bina Ilmu,
2013)., h. 90-91.
8
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Sabilal Muhtadin II, terjemah H.M. Asywadie
Syukur, (Surabaya: Bina Ilmu, 2013)., h.732.

9
pengrajin dan penghasil intan berskala internasional.9 Dalam hal ini menunjukkan
ada kepastian hukum terhadap status zakat bagi kepemilikan perhiasan berharga
berupa intan bagi masyarakat Banjar.
Pemikiran al-Banjari yang kedua tentang zakat adalah zakat bagi fakir dan
miskin diberikan dalam bentuk tunai dan non tunai. Al-Banjari menegaskan zakat
bagi fakir dan miskin bisa diberikan dalam bentuk lahan pertanian, bentuk sarana
kerja (work equipment), bentuk modal.10

9
Abu Daud, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Martapura: Sekretariat Madrasah
Sullamul ‘Ulum Dalampagar, 1997)., h.121.
10
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, Kitab Sabilal Muhtadin, terjemah., h.812-813.

10
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Islam masuk ke kalimantan pada abad ke 15 M dengan cara damai
yang dibawa oleh mubalig dari jawa. Sunan Bonang dan Sunan Giri
mempunyai para santri di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Gubahan
Sunan Giri bernama "Kalam Muyang, sedangkan gubahan SunanBonang
bernama Sumur Serumbung. Menurut Helius Syamsuddin dalam bukunya
Islam and Resistence in South and Centrekalimantan in The Nineteenth
and Early Twentieth Centuries menerangkan bahwa Islam masuk ke
kalimantan Selatan dari jawa pada abad ke XVI, ketika Sultan demak
membantu Pangeran Banjar, Pangeran Samudera, untuk menghadapi
Pangeran Temenggung dalam peperangan merebut tahta kerajaan, sebagai
imbalannya, Pangeran samudera bersedia untuk memeluk Islam.
Di abad ke XVII terdapat seorang ulama Banjar yang mengarang
Asal Kejadian Nur Muhammad yang dipengaruhi oleh ajaran
neoplatonisme asal ulama Islam Andalusia, Ibnu Arabi. Pengaruh suluk
dari jawa pun ada. Setelah itu berkembangnya Islam Mazhab Syafi‟I
dimulai pada abad ke XVIII, setelah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari
datang kembali ke kalimantan selatan.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharap bagi pembaca mampu
menambah wawasan mengenai masuknya Islam di Kalimantan khususnya
Kalimantan Selatan, tokoh penyebarannya, kitab bermazhab Syafi‟i yang
di pakai, serta peribadatan masyarakat sekitar.
Kamipun menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan agar
makalah ini menjadi lebih baik dan sempurna.

11
DAFTAR PUSTAKA

Daud, Abu. 1997. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Martapura: Sekretariat


Madrasah Sullamul „Ulum Dalampagar.

Banjarmasin: Pusat Studi dan Pengembangan Borneo. 2002.

Prentice, D.J. Peradaban Malaka. Serawak, Malaysia: Al- Maktabatul-Kaber.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan.

file:///C:/Users/win7/Documents/sejarah%20dan%20nilai%20tradisional_%20Per
kembangan%20Islam%20di%20Kalimantan%20Selatan.htm.

Hoetomo. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Pelajar.

Sjarifuddin, dkk. 2007. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Badan Penelitian dan


Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

Arsyad, Syekh Muhammad Al-Banjari. 2013. Sabilal Muhtadin, terjemah.


Surabaya: Bina Ilmu.

12

Anda mungkin juga menyukai