Anda di halaman 1dari 22

Sejarah Pendidikan Islam di Kalimantan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menoleh jauh ke zaman pra sejarah, masyarakat di kawasan Nusantara (Indonesia)
merupakan imigran dari berbagai kawasan. Menurut Buku Sejarah yang diterbitkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, terjadi empat periode imigrasi besar ke
kawasan Nusantara, yaitu:

1. 3.000 tahun yang lalu (1000 SM) sejumlah besar suku Mongol berimigrasi ke Kepulauan
Indonesia. [1]
2. Imigrasi kedua terjadi pada 2.000 tahun yang lampau, sekitar abad ke-1, termasuk
sejumlah suku Yun Nan yang berimigrasi ke Selatan. [2]
3. Imigrasi besar ketiga berasal dari India, pada abad VII.
4. Imigrasi besar keempat adalah penganut agama Islam dari Arabia, di Timur Tengah.
Kebanyakan di antaranya yang kini menjadi orang-orang Pakistan. Terjadi pada abad XII.
[3]

Dari sini diketahui bahwa periodisasi masuknya Islam ke Indonesia, tergolong dalam empat
imigrasi besar yang membentuk ekosistem sosial budaya masyarakat Indonesia, termasuk dalam
periode tersebut penyebaran Islam di Kalimantan Selatan. Setelah empat periode imigrasi besar
tersebut, barulah masuk bangsa kolonial Eropa yang di mulai dari bangsa Portugis, Spanyol,
Belanda dan terakhir Jepang. [4]

Dalam perjalanan sejarah Indonesia tersebut, sejarah penyebaran Islam di Indonesia mempunyai
bagian penting dalam tatanan sejarah Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan sebagai bagian
dalam kawasan Indonesia. Dalam konteks ini, penulis menemukan beberapa catatan sejarah
mengenai pendidikan Islam. Sesuai dengan lingkup kajian mengenai sejarah pendidikan Islam,
maka dalam makalah ini akan penulis sajikan pembahasan pada lingkup sejarah pendidikan
Islam di Kalimantan Selatan yang akan penulis awali dengan mengupas dari sejarah awal
masuknya Islam di Kalimantan Selatan.
B. Perumusan Masalah
Didalam pembuatan makalah ini ada permasalah yang akan ditinjau dan dijadikan bahan
penerangan dalam makalah ini, terdari dari :
1. Bagaimana proses masuknya Pendidikan Islam di Kalimantan?
2. Bagaimana proses berkembangnya Pendidikan Islam di Kalimantan.
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah yang kami tulis, dalam pembuatan makalah yang
berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Kalimantan sesuai dengan perumusan masalah di atas
adalah :
1. Untuk menjelaskan dan mengetahui tentang sejarah pendidikan islam di Kalimantan.
2. Untuk mengetahui bagaimana keadaan sejarah pendidikan islam pada masa permulaan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Masuknya Islam Ke Kalimantan Selatan

Islam masuk ke Kalimantan pada abad ke-15 M dengan cara damai yang dibawa oleh
mubalig dari Jawa. Sunan Bonang dan Sunan Giri mempunyai para santri di Kalimantan
Sulawesi, dan Maluku. Gubahan Sunan Giri bernama Kalam Muyang, sedangkan gubahan Sunan
Bonang bernama Sumur Serumbung.
Menurut Helius Syamsuddin dalam bukunya Islam and Resistence in South and Centre
kalimantan in The Nineteenth and Early Twentieth Centuries menerangkan bahwa Islam masuk
Kalimantan Selatan dari Jawa pada abad ke XVI, ketika Sultan Demak membantu Pangeran
Banjar, Pangeran Samudera, untuk menghadapi Pangeran Temenggung dalam peperangan
merebut tahta kerajaan, sebagai imbalannya, Pangeran samudera bersedia untuk memeluk Islam.
Dia menjadi Sultan pertama Kesultanan Banjarmasin dengan gelar Sultan Suriansyah.
Konversinya itu perlahan-lahan diikuti oleh diikuti oleh para pengikutnya dan orang-orang
Banjar kecuali masyarakat Dayak di daerah pedalaman.[5]
Diterangkannya pula bahwa setelah konversi Sultan Suriansyah pada Abad XVI tersebut, tidak
banyak lagi diketahui mengenai proses islamisasi sesudahnya, dalam arti intensitas pengajaran
Islam pada masyarakat Banjar atan secara khusus, penyebaran Islam di kalangan masyarakat
Dayak padalaman pada abad-abad selanjutnya. Barulah pada abad XIX ada bukti mengenai
proses ini yang berasal dari ulasan-ulasan Schwaner dan Meijer dalam bukunya Borneo. Pada
awalnya islamisasi terhadap masyarakat Daway di mulai di kalangan orang Bakumpai [sub-
kelompok Dayak Ngaju]. Bakumpai Marabahan yang tinggal 57 km dari Banjarmasin, sering
melakukan interaksi dengan masyarakat masyarakat Banjar, terutama dalam bidang
perdagangan, yang diikuti dengan perkawinan antara orang Banjar dengan orang Bakumpai,
yang menyebabkan mereka masuk Islam. Setelah konversi ini, mereka menyebut diri mereka
sebagai “Orang Melayu”. Encyclopedia
Britannica yang diterbitkan pada tahun 1963 mencatatkan bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa
bagi penduduk asli di semenanjung Tanah Melayu, di pantai timur Sumatera, di seluruh pantai
Borneo (Kalimantan), di kepulauan Riau, di Bangka, di Belitung, dan di Natuna Besar. D.J.
Prentice berpendapat bahawa daerah penutur asli bahasa Melayu ialah di kawasan Tanah Melayu
sehingga selatan Thailand (Pattani), di sepanjang pantai timur Sumatera, di kepulauan Riau, di
sepanjang pesisir Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, di Brunei, di
pantai barat Sabah, di Sarawak, di Singapura, di Jakarta, di Larantuka, di Kupang, di Makasar, di
Menado, di Ternate, di Banda, dan di Ambon. Selain wilayah Melayu, ternyata bahwa bahasa
Melayu pun dapat ditemukan di Sri Lanka dan di Afrika Selatan.[6]

B. Sejarah Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan

Tidak banyak catatan yang memberikan deskripsi sehubungan dengan sejarah Pendidikan
Islam di Kalimantan Selatan ini. Dari sekian literatur yang penulis temukan mengenai sejarah
pendidikan di Kalimantan Selatan, pada umumnya merujuk pada tokoh Besar Kalimantan
Selatan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Hal ini menurut penulis cukup beralasan, karena sebagaimana diungkapkan Gubernur Kalsel Drs
HM Sjahriel Darham bahwa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari memiliki pemikiran-
pemikiran yang sangat luar biasa pada kurun waktu 1710 sampai 1821 M, sampai mendapatkan
gelar “Matahari Islam dari Kalimantan” dari Menteri Agama Republik Indonesia periode 1962-
1967.

Hal ini menyangkut karyanya yang sangat monumental pada kitab Sabillah Muhtadin
perlu terus diteladani, mengingat pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari mampu
mendorong fenomena religius yang memberikan arti terhadap pengisian khazanah perkembangan
agama Islam.[7]

Dalam beberapa sumber yang penulis dapatkan, usaha pendidikan Islam yang
diupayakan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu
pengakderan ulama, pengajaran terhadap masyarakat dan pendirian madrasah.

1. Mengkader Ulama

Saat menunggu musim haji Syekh Arsyad kembali menemukan malam penuh berkah Lailatul
Qadr. Saat itu beliau memohon kepada Tuhan, agar diberikan ilmu yang akan berlanjut sampai
ke anak cucu tujuh turunan, bahkan turun temurun. Permohonan itu dikabulkan Tuhan. Banyak
anak cucu dan zuriat beliau sampai sekarang dikenal sebagai tokoh panutan, menjadi orang alim
atau ulama besar. Ada pula yang menjabat mufti semasa kerajaan Banjar dan masa pemerintahan
Belanda.
Buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya perumpamaan itu berlaku pula pada diri Syekh
Arsyad. Banyak anak cucu keturunan beliau menjadi orang yang ternama, terutama di bidang
agama yang namanya tetap dikenang sampai sekarang, beberapa diantaranya adalah:

1. Mufti H. Muhammad As’ad


2. Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis
3. Mufti H. Muhammad Arsyad bin H. M. As’ad
4. H. Abdul Rahman Siddiq bin Shafura.
5. H. Sa’duddin bin Mufti H. Muhammad As’ad.
6. Kadi H. Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
7. H. M. Syarwani Abdan bin H. M. Yusuf.
8. H. Muhammad Khatib bin Mufti H. Ahmad.
9. Mufti H. Jamaludin.
10. Guru H. Zainal Ilmi bin H. Abdus Samad.
11. H. Zaini Abd. Ghani bin Abd. Ghani. [8]

Di antara kadernya yang lain, bukan keturunannya adalah:

1. H. Abd. Ghoni yakni seorang yang menyebarkan Islam di Pontianak di Kalimantan


Barat.[9]
2. Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah yang mendapat didikan khusus dari Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari, sehingga menjadi raja yang tinggi cita-citanya, cerdas
pandai, berbicara dengan petah (ramah dan lembut), mempunyai pikiran yang bersih dan
ilmu pengetahuan yang dalam.[10]

Banyak lagi murid-murid yang lain, yang tersebar di berbagai daerah Kalimantan Selatan
atau Kalimantan secara keseluruhan bahkan menyebar ke seluruh Nusantara.

1. Mendidik Masyarakat

Syekh Arsyad memahami betul bahwa mendidik masyarakat akan sangat efektif jika dimulai
dengan berintegrasi dengan kekuasaan, Syekh Arsyad sebagai ulama yang telah berhasil
menyatukan sultan sebagai elit penguasa dengan rakyatnya atas dasar ikatan ajaran Islam,
sehingga tidak adanya jarak memisah, baik antara sultan dengan rakyat maupun antara umara
dengan ulama. Hal ini bisa dicapai karena sistem pendekatan yang beliau lakukan beranjak dari
bawah, baru setelah itu kepada penguasa atau sultan. Di samping itu memang sejak awalnya
hubungan antara sultan dengan Syekh Muhammad Arsyad terjalin dengan baik.
Sebagai contoh, hukum waris dan pernikahan yang semula tidak berdasarkan kepada hukum
Islam, secara perlahan dapat dirubah ketentuan-ketentuan hukum Islam yang memakai pedoman
kitab Sabilal Muhtadin. Kalau sebelumnya sebahagian sultan sangat terkenal memelihara
berpuluh-puluh gundik di dalam istana, maka atas nasehat Syekh Muhammad Arsyad, sultan
menikah menurut ketentuan hukum Islam. Di dalam
kerajaan Banjar, hukum Had sempat pula diperlakukan kepada orang lain yang membunuh,
murtad dan berziarah sebagai realisasi dari pada penerapan hukum Islam. Misalnya
hukum Had yang telah dijatuhkan kepada Haji Abdul Hamid yang telah mengajarkan Ilmu
tasawuf kearah ajaran Wihdatul Wujud yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Haji
Abdul Hamid mengajarkan bahwa.”Tiada maujud melainkan Dia, tiada wujud yang lainnya,
tiada aku melainkan Dia, Dialah aku adalah Dia.” Dia juga mengatakan bahwa pelajaran syariat
yang diajarkan selama ini hanyalah kulit saja belum sampai pada hakekat.[11]
Mendengar ajaran
dan keterangan yang demikian, timbullah perselisihan faham di dalam masyarakat, untuk
menjernihkan suasana, maka dipanggillah Haji Abdul Hamid ke istana untuk menghadap sultan.
Namun dijawab oleh Haji Abdul hamid bahwa: “Tuhan tidak ada, yang ada hanya Abdul
Hamid.” Akhirnya sultan menyerahkan permasalahan itu kepada Syekh Muhammad Arsyad
unutk menyelesaikannya. Setelah meneliti persoalan itu secara cermat, barulah beliau mengambil
kesimpulan bahwa ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Haji Abdul Hamid dapat
menyesatkan orang awam dan membawa kepada syirik. Melenyapkan seseorang untuk
menyelematkan orang banyak dibolehkan menurut hukum, bahkan terkadang diwajibkan.
Dengan kesimpulan yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Arsyad ini, maka sultan
mengambil keputusan untuk menghukum bunuh Haji Abdul Hamid.[12]
Untuk melaksanakan hukum Islam secara riil di kerajan Banjar tidak mungkin tanpa adanya
suatu lembaga hukum yang mengatur dan melaksanakannya. Oleh sebab itu maka dibentuklah
Mahkamah Syar’iyah suatu lembaga pengadilan agama yang dipimpin oleh seorang mufti
sebagai ketua hakim tertinggi pengawas pengadilan umum.[13]

Lembaga Qadhi ini kemudian berkembang menjadi kerapatan Qadhi dan sekarang berubah
lagi menjadi Pengadilan Agama Tingkat Pertama dan Tingkat Banding, Pengadilan Agama
Tingkat Banding berkedudukan di Banjarmasin sebagai penjelmaan dari terapan Qadhi Besar
Banjarmasin.

C. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Barat

Masuknya Islam ke Kalimantan Barat itu sendiri tidak di ketahui secara pasti, masih
banyak perbedaan pendapat dari berbagai kalangan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
Islam pertama kali masuk ke Kalimantan Barat pada Abad ke-15, dan ada juga pendapat lain
yang mengatakan Islam masuk di Kalbar pada abad ke-16. Daerah pertama di Kalimantan Barat
yang diperkirakan terdahulu mendapat sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan dan
Mempawah. Islam masuk ke daerah-derah ini diperkirakan antara tahun 1741, 1743 dan 1750.
Menurut salah satu versi pembawa islam pertama bernama Syarief Husein, seorang Arab
(Ahmad Basuni, 1986:10). Namun, ada versi lain yang mengatakan, nama beliau adalah Syarif
Abdurrahman al-Kadri, putra dari Svarif Husein. Diceritakan bahwa Syarief Abdurrahman Al-
Kadri adalah putra asli Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid Habib Husein al-Kadri, seorang
keturunan Arab yang telah menjadi warga Matan. Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri
Dayak yang telah menganut agama Islam, putri Kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman al-Kadri
lahir di Matan tanggal 15 Rabiul Awal 1151 H (1739 M). Jadi ia merupakan keturunan Arab dan
Dayak dan Ayahnya Syarief Husein (Ada yang menyebutnya Habib Husein) menjadi Ulama
terkenal di Kerajaan Matan hampir selama 20 tahun. (Anshar rahman, 2000:3)
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Kalbar itu dibawa oleh
juru dakwah dari Arab. Tidak diketahui secara pasti apakah Syarief Husein ini seorang
pedagang atau tidak. Namun, ada yang mengatakan kalau Syarief Husein dulunya adalah seorang
pedagang yang kemudian menjadi pendakwah, dan menetap di Kalbar. Syarief Husein dalam
menyebarkan agama Islam tidak hanya melalui dakwah tetapi juga melalui aktivitas ekonomi.
Dengan kekuatan ekonomi ini pula dakwah menjadi semakin berhasil, ditambah relasi yang luas
dengan para pedagang lainnya. (Anshar Rahmat, 2000:4). Setelah beliau meninggal kemudian
digantikan oleh anaknya Syarif Abdurrahman al-Kadri.
Mulanya Syarif Husein menetap di Matan (Ketapang) dan berdakwah disana. Ia
mendapatkan respon yang sangat baik sehingga penganut Islam semakin banyak dan Islam
memasyarakat sampai kepedalaman. Maka antara Tahun 1704-1755 M Ia diangkat sebagai Mufti
(hakim Agama Islam) dikerajaan Matan. Selepas tugas sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta
oleh raja Mempawah Opo Daeng Menambun untukpindah ke Mempawah dan mengajar agama
disana sampai kemudian diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempawah, sampai wafatnya
tahun 1184 dalam usia 84 tahun. (Anshar Rahman, 2000:5-6). Syarif Husein tidak hanya
menyebar Islam dikalangan rakyat jelata, Ia juga menyebarkan kekalangan bangsawan. Salah
satu cara yang ditempuh beliau dalam menyebarkan Agama Islam adalah dengan melakukan
perkawinan dengan putri-putri bangsawan. Beliau menikahi 3 orang putri yang berasal dari
kerajaan Matan, dan mereka ini berasal dari suku Dayak. (Anshar Rahmat, 2000:25)
Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Kalbar pada abad ke 15 di pelabuhan
Ketapang (Sukadana) melalui perdagangan. Penyebaran agama Islam di Kalimantan Barat
membujur dari Selatan ke Utara, meliputi daerah Ketapang, Sambas, Mempawah, Landak.
Menurut Safarudin Usman bahwa Islam mulai menyebar di Kalimantan Barat diperkirakan
sekitar abad XVI Miladiah, penyebaran Islam terjadi ketika kerajaan Sukadana atau lebih dikenal
dengan kerajaan Tanjungpura dengan penembahan Barukh pada masa itu di Sukadana agama
Islam mulai diterima masyarakat (Ikhsan dalam Usman 1996:3), akan tetapi Barukh tidak
menganut agama Islam sampai wafat 1590 M.

Pendapat lain juga mengemukakan pada tahun 1470 Miladiah sudah ada kerajaan yang
memeluk agama Islam yaitu Landak dengan rajanya Raden Abdul Kahar (Usman,1996:4)
Dimasa pemerintahan Raden Abdul Kahar (Iswaramahaya atau Raja Dipati Karang Tanjung
Tua) beliau telah memeluk agama Islam sehingga dapat dikatakan berawal dari kerajaan Landak.
Berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas bisa diperkirakan, bahwa agama Islam
masuk di Kalimantan Barat pada masa pemerintahan Barukh (1538-1550). Dari riwayat kerajaan
Landak diperoleh keterangan bahwa agama Islam di bawah pemerintahan Kerajaan Ismahayana,
yang bergelar Raja Dipati Tanjung Tua (1472-1542), agama Islam mulai berkembang di kerajaan
Landak (Sendam, dalam Ajisman:1998). Mengingat kerajaan Matan dan Landak yang masuk
diperkirakan pada abad ke 15 maka kerajaan Sintang yang berada dipedalaman sekitar akhir abad
ke 16. Penyebaran yang pertama-tama kemungkinan dari para pedangang Semenanjung Melayu,
terutama pedagang dari Johor. (Dalam Ikhan:2004:95).
Islam masuk hampir keseluruh penjuru Kalbar, melalui kerajaan-kerajaan Islam yang
banyak dibangun pada saat itu. Tidak hanya didaerah pesisir pantai, didaerah pedalaman pun
Islam berkembang pesat. Islam mulai masuk kedaerah-daerah seperti Embau, Sambas, sampai ke
Sungai besar di hulu. Dari berbagai pendapat-pendapat sejarahwan diatas maka disimpulkan
bahwa Islam masuk ke Kalimantan Barat itu sekitar abad ke-15 atau 16 yang di sebarkan melalui
para pedagang yang melakukan kegiatan ekonomi. Mereka melalui dakwahnya menyiarkan
Islam keberbagai penjuru hingga kepedalaman dan diterima baik oleh masyarakat pada
umumnya. Sampai dengan sekarang Islam masih terus berkembang menyiarkan ajaran-ajaran
yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

D. Bentuk-Bentuk Islamisasi

Islam tersebar hampir diseluruh wilayah Kalimantan Barat, tidak hanya di daerah pesisir
pantai tetapi juga didaerah-daerah pedalaman Kalbar. Pada dasarnya di daerah Kalbar mayoritas
penduduknya adalah Melayu, yang identik beragama Islam dan pada umumnya bermukim di
pesisir sungai atau pantai (Munawar,dkk 2005:68). Ada beberapa hal yang membuat Islam dapat
dengan mudah untuk diterima oleh masyarakat dan menyebar luas sampai kedaerah-daerah
pedalaman. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Melalui perkawinan;
Dimana adanya perkawinan campuran yang dilakukan oleh orang muslim dengan orang
non-muslim. Hal ini dapat ditunjukan seperti ketika orang Dayak Iban datang kedaerah Batu
Ngandung yang mayoritas penduduknya bersuku melayu, mereka tinggal dan menetap lama
disana. Kemudian, setelah beberapa tahun tinggal disana, orang Iban mendapat tawaran untuk
masuk Islam dengan tujuan agar mereka orang-orang Iban tersebut lebih mudah menyatu dalam
hal makan minum dan pembauran perkawinan. Dan hal ini mendapatkan respon yang sangat baik
dari orang Iban, mereka percaya dengan adanya kesamaan akidah akan membuat mereka lebih
mudah dan dapat mempererat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan (Wahyu,dkk 2005:33-
34). Adanya perkawinan campuran ini juga dapat dilihat pada kerajaan Pontianak yang
rajanya Syarief Abdurrahman Al-Kadri menikah dengan Nya’I Tua putri Dayak kerajaan Matan.
2. Melalui perdagangan;
Mayoritas penduduk Kalbar tinggal di daerah pesisir sungai atau pantai. Islam disebar
luaskan dan berkembang melalui kegiatan perdagangan mulanya di kawasan pantai seperti Kota
Pontianak, Ketapang, atau Sambas, kemudian menyebar kearah perhuluan sungai
(Yusriadi,dkk 2005:2).
3. Melalui dakwah;
Hal ini dapat kita lihat ketika Islam masuk ke daerah Sungai Embau di daerah Kapuas
Hulu. Yang memegang peranan yang sangat penting dalam menyebarkan dan mengajarkan
agama Islam pada masyarakat Sungai Embau adalah para pendakwah yang datang dari luar
daerah tersebut. Adapun nama-nama mubaligh dan guru agama yang terlibat dalam menyebarkan
agama Islam didaerah tersebut pada awal abad ke-20 menurut Mohd Malik (1985:48)
diantaranya adalah Haji Mustafa dari Banjar (1917-1918), Syeh Abdurrahman dari Taif,
Madinah (1926-1932), Haji Abdul Hamid dari Palembang (1932-1937), Sulaiman dari Nangah
Pinoh (1940-?), dan Haji Ahmad asal Jongkong (sekarang). Para guru agama ini mengajarkan
membaca Al-Quran, fiqh dan lain-lain, dirumah dan juga di mesjid. Dalam pengajaran membaca
Al-Qur’an mereka menggunakan metode Baqdadiyah (Yusriadi,dkk 2005:5).
4. Melalui Kekuasaan (otoriter):
Islamisasi ini terjadi pada masa Sultan Aman di kerajaan Sintang. Pada massa ini beliau
melakukan perperangan kepada siapa saja yang tidak mau masuk Islam. Tercatat raja-raja
kerajaan Silat, Suhaid, Jongkong, Selimbau dan Bunut diperangi karena tidak mau masuk Islam.
Setelah raja-raja tersebut dapat ditaklukan dan menyatakan diri memeluk Islam, mereka
diharuskan berjanji untuk tidak ingkar. Bagi yang melanggar akan dihukum mati. Hal ini
mungkin agak unik dibandingkan dengan Islamisasi yang terjadi diwilayah lain yang rata-rata
disiarkan secara damai (Hermansyah, dkk 2005:10).
5. Melalui Kesenian:
Islam disebarkan kepada masyarakat Kalbar juga melalui kesenian tradisional. Ini dapat
kita lihat pada masyarakat di Cupang Gading. Sastra tradisional yang ada di Cupang Gading
memperlihatkan adanya nilai-nilai keislaman. Dengan mengkolaborasikan antara nilai Islam
dengan nilai kesenian ini memberikan kemudahan dalam menyebarkan Islam itu sendiri.
Berpadunya nilai lokal dengan Islam dapat dilihat melalui prosa rakyat yang dikenal dengan
istilah bekesah dan melalui puisi tradisional, seperti pantun, mantra, dan syair (Dedy Ary
Asfar,dkk 2003: 46).Selain itu Islam juga disebarkan melalui kesenian Jepin Lembut yang ada
didaerah Sambas. Dengan berbagai macam kesenian inilah yang kemudian dijadikan media
dakwah dalam menyebarkan Islam di Kalbar.

E. Pendidikan Islam pada Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan Barat

Seperti yang telah kami paparkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa Islam tersebar
hampir keseluruh Kalbar,dan ini tidak lepas dari adanya kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri
pada saat itu di Kalbar. Kerajaan-kerajaan tersebut tentunya memiliki cara-cara tersendiri dalam
menyebarkan agama Islam kewilayahnya masing-masing,diantaranya dengan pendidikan. Dalam
pembahasan ini kami akan memaparkan beberapa kerajaan Islam dan bagaimana pendidikan
Islam dikerajaan-kerajaan tersebut.
1. Keraton Kadriah Pontianak
Umat Islam menjadi mayoritas ketika berdirinya kerajaan Pontianak pada tahun 1771
Miladiah. Kesultanan Pontianak dengan rajanya Sultan Syarif Abdurahman Al Qadrie adalah
putra Syarif Husin Al Qadrie yang menjadi salah seorang penyebar agama Islam di Kalimantan
Barat. Kawasan sekitar pusat pemerintahan kesultanan Pontianak yang terletak dipinggiran Sugai
Kapuas, Kampung Kapur, Kampung Bansir, kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon
sangat kental pengaruh agama Islam. Daerah Kampung Kapur terdapat seorang guru ngaji yang
bernama Djafar pada jaman tersebut beliau salah seorang yang termasyhur, sultan Pontianak
Syarif Abdurrahman Al-Qadrie mengundang Djafar khusus menjadi guru ngaji dilingkungan
Keraton Kadriyah Pontianak (Usman dkk:1997). Kemudian pengajian seperti ini berkembang,
adanya pengajian ibu-ibu, dan pada perkembangannya kemudian banyak lembaga-lembaga
pendidikan yang kemudian tumbuh dan berkembang.
2. Kerajaan Jongkong (Embau)
Pada awalnya pendidikan dikerajaan ini didapatkan dari adanya pendakwah-pendakwah
yang datang dari luar. Namun, kemudian untuk perkembangan Islam selanjutnya H. Ahmad dan
teman-temannya membuka madrasah yang diberi nama Hidayatul Mustaqim pada tanggal 9
November 1946, selain itu ada juga pengajian keliling.(Hermansyah,dkk 2003:13) Sebelum H.
Ahmad masyarakat pendapatkan pengajaran dari mubaligh dan guru-guru agama yang
mengajarkan Al-Qur,an, fiqh, di rumah dan di mesjid (Yusriadi,dkk 2003:5). Para pengajar
agama juga berupaya menyepadukan ajaran Islam dengan kepercayaan lama yang berkembang di
masyarakat (Hermansyah:2003)
3. Kerajaan Sintang
Pada saat itu kerajaan Sintang di pimpin oleh Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin
biasa disebut Sultan Aman, beliau memerintah tahun 1150 sampai 1200 H. Raja ini sangat
fanatik terhadap Islam. Pada masa Sultan Aman ini Kerajaan Sintang didatangi dua orang ulama
dari Aceh bernama Penghulu Abbas dan Raja Dangki dari Negeri Pagaruyung. Penghulu Abbas
kemudian diangkat menjadi Penghulu Muda kerajaan dan Raja Dangki diangkat menjadi
panglima perang karena keahliannya dibidang pencak silat dan ilmu nujum. Karena semangatnya
mendakwah Islam, Sultan Aman mengirim utusan untuk menyebarkan Islam di hulu Sungai
Kapuas. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Sultan Aman juga memerangi orang-orang
yang tidak mau masuk agama Islam (Hermansyah,dkk 2005:10).

F. Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Kalimantan barat

1. Sebelum Kemerdekaan (Sebelum 1945).


a. Madrasahtun Najah Wal Falah
Madrasah ini adalah madrasah yang tertua di Kalimantan Barat. Letaknya di Sei. Bakau
Besar Mempawah, didirikan kira-kira tahun 1918 M. Kemudian berdirilah madrasah-madrasah
dikota-kota, bahkan di dusun-dusun berupa madrasah-madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah
(Mahmud Yunus 2008:382).
b. Madrasah As-Sultaniyah Sambas
Madrasah ini didirikan pada tahun 1922 M. Kemudian diubah nama menjadi Tarbiyatul
Islam. Lama pelajaran lima tahun (5 kelas) dan ditambah 1 tahun lagi untuk kursus fak agama.
Yang diterima masuk madrasah ini adalah tamatan dari SR 5/6 tahun. Ketua pengurus madrasah
ini adalah H.M. Basuni Imran seorang ulama besar di Sambas, dan ketua madrasah ialah H. Abd.
Rahman. Pelajarannya ialah ilmu-ilmu agama ditambah dengan pengetahuan umum sebagai
berikut (Rencana tahun 1953 M); nahwu, shorof, insya’, bahasa Arab, tafsir, hadis, fiqih, ushul,
tarikh, berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu ukur, kesehatan, akhlak,
gerak badan, Al-Qur’an, Terjemah (Mahmud Yunus 2008:382).
c. Perguruan Islamiyah Pontianak
Perguruan Islamiyah di dirikan oleh seorang petani hartawan lagi darmawan yang bernama
H.M. Arief bin H. Ismail, pada tahun 1926. Pendirian perguruan tersebut dibangun di atas tanah
wakaf H.M. Arief sendiri dan berlokasi di kampung Bangka, Jalan Imam Bonjol Kecamatan
Pontianak Selatan, Kotamadya Pontianak.
Awal terbentuknya perguruan Islamiyah berawal dari sebuah pengajaran yang diberikan
oleh H.M. Arief kepada anak-anak dan orang dewasa di kampung Bangka, beliau dibantu oleh
seorang guru agama dari Painan. Saat itu pengajaran berlangsung dirumah kediaman beliau,
tetapi karena tempatnya tidak mencukupi maka dipindahkan kerumah anaknya yaitu H.M. Thahir
yang ruangan agak besar.
Perguruan Islamiyah dibentuk sebagai wadah pendidikan yang memberikan pelajaran
berupa ilmu pengetahuan umum dan agama Islam. Sekolah umum diadakan pada waktu pagi,
yakni Sekolah Rakyat 3 tahun (Volk School). Dan bagi yang sudah tamat dari sekolah tersebut
dapat melanjutkan sekolahnya di Vorvogh School 5 tahun di kampung Melayu (SD 2), untuk
mendapatkan ijazah negeri. Sedangkan pada sore hari diberikan pelajaran agama Islam tingkat
Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Kegiatan pengajaran ini berlangsung terus
menerus, dan mengalami peningkatan dari jumlah pelajar yang mempunyai hasrat yang sangat
tinggi untuk menuntut ilmu, sehingga ruang tempat belajar yang disediakan tidak mencukupi
lagi. Maka karena adanya desakan permintaan dari Ustad A. Manaf kepada beliau untuk
membangun gedung, akhirnya H.M. Arief membangun gedung sekolah yang memenuhi syarat
pendidikan pada tahun 1931.

Pada akhir tahun 1931 telah dibangun sebuah gedung baru yang memiliki tiga buah lokal.
Pada awal 1932 seluruh murid dan pelajar dipindahkan ke gedung yang baru, gedung tersebut
diberi nama “Sekolah Islamiyah” yang dipimpin oleh Ustad A. Manaf dengan dibantu oleh
Ustad Mahmud Syamsudin dan H. Husein Arief. Tahun 1933 Islamiyah mulai membuka sejarah
baru yakni dengan mulai menerima murid-murid wanita dari kampung Bangka. Pada tahun yang
sama (1933) para pengurus Islamiyah telah membentuk Badan Amil Zakat Fitrah kampung
Bangka yang terus berkembang hingga sekarang.
Pada tahun 1936 telah dibangun sebuah mesjid di atas tanah seluas 20x40 meter, guna
memudahkan bagi pelajar untuk shalat dan tempat praktek. Pada tahun 1939 perguruan
Islamiyah membentuk Schakel School 3 tahun (berbahasa Belanda)yang menerima murid-murid
Sekolah Rakyat yang telah duduk dikelas 3 HIK. Namun sekolah ini tidak dapat menamatkan
murid-muridnya dan terpaksa dibubarkan karena Perang Dunia II. Periode perintis berakhir pada
tangga 19 Desember 1941, dan semua sekolah di kota Pontianak ditutup karena serangan udara
Jepang.
Pada tanggal 29 Januari 1942, tentara Jepang telah menduduki kota Pontianak selama 2
bulan dan memerintahkan agar semua sekolah dibuka kembali. Pada Awal April 1942 sekolah
Islamiyah dibuka kembali dan yang diteruskan hanya Sekolah Rakyat yang dipimpin oleh
Mahmud Syamsudin dan H. Husein Arief. Tahun 1943 Sekolah Agama dibuka kembali, tahun
1944 H.Husein Arief mengundurkan diri karena pindah ke Tanjung Pandan, dan dilanjutkan
kepemimpinan sekolahnya oleh Mahmud Syamsudin hingga tahun 1948. Selanjutnya
kepemimpinan sekolah dilanjutkan oleh H. Abdullah H. Thaahir sampai dengan tahun 1950
setelah terbentuknya pengurus baru.
Pada tahun 1951, setelah penyerahan kedaulatan oleh pemerintah Belanda kepada
pemerintah RI, Perguruan Islamiyah dipimpin oleh H. Sulaiman sebagai pengurus yang baru.
Sebagai langkah pertama Ia membentuk SGB (Sekolah Guru B) yang dipimpin oleh ustadz
Ibrahim, SGB ini hanya berjalan selama 1 tahun dan terpaksa ditutup karena kekurangan biaya
dan tidak ada tenaga pengajarnya. Pada tahun 1952 SR 5 tahun ditingkatkan menjadi SR 6 tahun
dan kurikulumnya disesuaikan dengan kurikulum sekolah negeri, kemudian tahun 1954 SR
Islamiyah diikut sertakan dalam ujian negeri. Pada tahun 1955, didirikan pula Taman Kanak-
Kanak Islamiyah yang dipimpin oleh Rahmah. Disamping itu, didirikan pula SMP yang
dipelopori oleh A. S Mansyur, M. Nur H. Said dan kawan-kawan. Pada tanggal 1 Agustus SMP
tersebut kemudian diambil alih oleh pengurus Islamiyah dan diberi nama SMP Islamiyah.
Kemudian pada tanggal 5 September 1957 terjadi peristiwa kebakaran yang melenyapkan
seluruh bangunan gedung kecuali masjid.

G. Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan


Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui
interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas
perdagangan. Da’wah bil hal atau keteladanan. Pada konteks ini mempunyai pengaruh besar
dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam.
Selanjutnya, ketika agama ini kian berkembang, system pendidikan pun mulai berkembang :
a. System pendidikan langgar
Di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar
atau masjid. Fasilitas tersebut bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan juga tempat
untuk belajar membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya.
Pendidikan di langgar di mulai dari mempelajari abjad huruf Arab (hijaiyah) atau kadang-kadang
langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci al-
qur;an.pendidikan di langgar di kelolah oleh seorang petugas yang disebut amil, modil, atau lebai
(di sumatera) yang mempunyai tugas ganda, disamping memberikan do’a pada waktu upacara
keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pelajaran biasanya diberikan pada tiap pagi atau
petang hari, satu sampai dua jam. Pelajaran memakan waktu selama beberapa bulan, tetapi pada
umumnya sekitar satu tahun.[14]
Metode pembelajaran adalah murid duduk bersila dan guru pun duduk bersila dan murid
belajar pada guru seorang demi seorang. Satu hal yang masih belum dilaksanakan pada
pengajaran al-qur’an di langgar, dan ini merupakan kekurangannya adalah tidak diajarkannya
menulis huruf Al-qur’an (huruf arab), dengan demikian yang ingin dicapainhanya membaca
semata. Padahal menurut metode baru dalam pengajaran menulis, seperti halnya yang
dikembangkan sekarang dengan metode iqra’, dimana tidak hanya kemampuan membaca yang
ditekankan, akan tetapi dituntut juga penguasaan si anak di dalam menulis. [15]
Pengajaran al-qur’an pada pendidikan langgar dibedakan kepada dua macam, yaitu :
a) Tingkatan rendah : merupakan tingkatan pemula, yaitu mulainya mengenal huruf al-qur’an
sampai bias membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampong, dan anak-anak hanya belajar pada
malam hari dan pagi hari sesudah sholat shubuh
b) Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut diatas, ditambah lagi pelajaran lagu, qasidah,
berzanji, tajwid serta mengaji kitab perukunan.[16]
Adapun tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah agar anak didik dapat membaca
al-qur’an dengan berirama dan baik, tidak dirasakan keperluan untuk memahami isinya.
Mereka yang kemudian berkeinginan melanjutkan pendidikannya setelah memperoleh bekal
cukup dari langgar/masjid di kampungnya, dapat masuk ke pondok pesantren.
b. System Pendidikan Pesantren
Secara tradisional, sebuah pesantren identik dengan kyai (guru/pengasuh), santri (murid), masjid,
pemondokan (asrama) dan kitab kuning (referensi atau diktat ajar). Sistem pembelajaran relatif
serupa dengan sistem di langgar/masjid, hanya saja materinya kini kian berbobot dan beragam,
seperti bahasa dan sastra Arab, tafsir, hadits, fikih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh dan lainnya. Di
pesantren, seorang santri memang dididik agar dapat menjadi seorang yang pandai (alim) di
bidang agama Islam dan selanjutnya dapat menjadi pendakwah atau guru di tengah-tengah
masyarakatnya.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah :
a. Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu
agamanya ia sanggup menjadi muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan
amalnya
b. Tujuan khusus
Mempersiapkan satri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai
yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.[17]
Pesantren merupakan pranata pendidikan tradisional yang di pimpin oleh kiai atau ulama’. Di
pesantren inilah para santri dihadapkan dengan berbagai cabang ilmu agama yang bersumber dari
kitab-kitab kuning. Pemahaman dan penghafalan terhadap al-qur’an dan hadits merupakan syarat
mutlak bagi para santri.[18]
Di dalam komplek pesantren terdapat tempat
kediaman para guru beserta keluarganya dengan semua fasilitas rumah tangga dan tidak
ketinggalan masjid yang dipelihara bersama. Pendidikan dan pengajaran di langgar dan pesantren
terdapat di jawa. Di sumatera terdapat penggabungan antara dua system tersebut. Pesantren di
jawa dapat di pisahkan menjadi 5 elemen dasar, yaitu: Pondok, Masjid, Kiai, dan pengajaran
buku-buku Islam Klasik.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang termasuk tertua, sejarah perkembangan pondok
pesantren memiliki model-modelyang bersifat nonklasik, yaitu model system pendidikan dengan
metode pengajaran wethonan dan sorogan. Di jawa barat, metode tersebut diistilahkan dengan
“Bendongan”, sedangkan di sumatera digunakan istilah halaqoh.[19]
a. Metode Wetonan (Halaqoh)
Metode yang didalamnya terdapat seorang kiai yang membacakan suatu kitab dalam
waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan
menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar secara
kolektif.[20]

b. Metode Sorogan
Metode yang santrinya cukup pandai men “sorog” kan (mengajukan) sebuah kitab kepada
kiai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kiai.
Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.[21]
Dan sebagai karakteristik khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang
dinuat terfokus padalima agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, Morfologi, Hadits, Tafsir, Al-
qur’an, Theology Islam, Tasawwuf, Tarikh dan Retorika.[22]
Dengan system pondok pesantren tumbuh dan berkembang di mana-mana, yang ternyata
mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha mempertahankan eksistensi umat islam
dari serangan dan penindasan fisik dan mental kaum penjajah beberapa abad lamanya. Pesantren
yang pada mulanya berlangsung secara sederhana, ternyata cukup berperan dan banyak
mewarnai perjalanan Sejarah pendidikan islam Di Indonesia, serta banyak melahirkan tokoh-
tokoh terkenal.
Ketika kekuasaan politik Islam semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam,
pendidikan semakin meroleh perhatian. Contoh paling menarik untuk disebutkan adalah sistem
pendidikan Islam yang tampak telah terstruktur dan berjenjang di kerajaan Aceh Darussalam
(1511-1874). Secara formal, kerajaan ini membentuk beberapa lembaga yang membidangi
masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu:
1. Balai Seutia Hukama (lembaga ilmu pengetahuan)
2. Balai Seutia Ulama (jawatan pendidikan dan pengajaran)
3. Balai Jamaah Himpunan Ulama (kelompok studi para ulama dan sarjana pemerhati
pendidikan).

Adapun jenjang pendidikannya dapat disebutkan sebagai berikut:


1. Meunasah (madrasah), berada di tiap kampung. Disini diajarkan materi elementer seperti:
menulis dan membaca huruf hijaiyah, dasar-dasar agama, akhlak, sejarah Islam dan bahasa
Jawi/Melayu
2. Rangkang (setingkat MTs), berada di setiap mukim. Disini diajarkan Bahasa Arab, ilmu bumi,
sejarah, berhitung (hisab), akhlak, fikih dan lain-lain
3. Dayah (setingkat MA), berada di setiap ulebalang. Materi pelajarannya meliputi: fikih, Bahasa
Arab, tawhid, tasawuf/akhlak, ilmu bumi, sejarah/tata negara, ilmu pasti dan faraid
4. Dayah Teuku Cik (setingkat perguruan tinggi atau akademi), yang di samping mengajarkan
materi-materi serupa dengan Dayah tetapi bobotnya berbeda, diajarkan pula ilmu mantiq, ilmu
falaq dan filsafat.[23]

Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin ketika memerintah kerajaan Perlak (1243-1267
M) disebutkan pernah mendirikan majelis ta’lim tinggi, semacam lembaga pendidikan tinggi
yang dihadiri oleh para murid yang sudah mendalam ilmunya untuk mengkaji beberapa kitab
besar semacam al-Umm karangan Imam Syafi’i. Pembiayaan pendidikan pada masa- tersebut
berasal dari kerajaan. Tetapi perlu dicatat disini bahwa hal ini sangat tergantung pada kondisi
kerajaan dan faktor siapa yang sedang menjadi raja.
BAB III
PENUTUP
Pendidikan Islam di Kalimantan dalam lintasan sejarah mempunyai kebanggan tersendiri,
dengan terbitnya seorang yang mendapat gelar “Matahari Islam dari Kalimantan”. Akankah
cahaya matahari pendidikan itu akan tetap menerangi jejak langkah pendidikan Islam sekarang?
Mendidik masyarakat akan sangat efektif jika dimulai dengan berintegrasi dengan kekuasaan,
Syekh Arsyad sebagai ulama yang telah berhasil menyatukan sultan sebagai elit penguasa
dengan rakyatnya atas dasar ikatan ajaran Islam, sehingga tidak adanya jarak memisah, baik
antara sultan dengan rakyat maupun antara umara dengan ulama. Hal ini bisa dicapai karena
sistem pendekatan yang beliau lakukan beranjak dari bawah, baru setelah itu kepada penguasa
atau sultan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah , Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah dan pertumbuhan Islam:
PT. Grafindo Persada: Jakarta, 1999
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia: Hidakarya Agung: Jakarta, 1985
Tim Depag RI, pedoman pembinaan Pondok Pesantren: Dirjen Bimas Islam: Jakarta, 1983
Zuhairin, Sejarah pendidikan Islam: Bumi Aksara, 1992
Rochidin wahab FZh, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: bandung: Alfabeta, 2004
Amir Hamzah, pembaharuan Pendidikan Islam dan Umum: bumi aksara : jkakarta, 1989
Abdullah, Taufik , sejarah umat islam Indonesia, Jakarta : majelis ulama Indonesia, 1991.
Tjandrasasmita Uka, sejarah nasional Indonesia III, Jakarta : PN Balai Pustaka, 1984.
Aziz Mashuri A, pokok Pikiran Pengembangan Pengkajian Kitab:majalah Tebuireng ,1989
http://ace-informasibudaya.blogspot.com/2010/01/islam-kalbar.html
Mahmud Yunus. 2008. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus
wadzuriyyah
Tim. 2005. Khatulistiwa Journal Of Islamic Studies. Pontianak: LP3M STAIN
http://arifnasah.blogspot.com/2012/05/sejarah-pendidkan-islam-di-kalimantan.html
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Pendidikan Sejarah, (Jakarta: Rineka Cipta,
1992), h. 74.
[2] Ibid, h. 75.
[3] Dr. Peter Wongso, (Jakarta: Seminar Al-Kitab Asia Tenggara, 1997), h 52
[4] Ibid 60-67
[5] Banjarmasin: Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, 2002, h. 1.
[6] D.J. Prentice, Peradaban Malaka, (Serawak, Malaysia: Al-Maktabatul-Kaber, t.th.), h. 106.
[7] Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Tak Dimakan Sejarah, (Banjarmasin: Bpost, 2003)
Edisi. 6 Oktober 2003, h. 5.

[8] Banjarmasin Post, (Banjarmasin), 16 Mei 1997, h. 4.


[9] Dalam Pagar: Sullamul Ulum, 1996, h. 63-64.
[10] (Mesir: Darun Ahya, t.th.), Cet. III, h. 3.

[11] Martapura: Sullamul Ulum, 1980, h. 48.


[12] (Jakarta: Bulan bintang, 1984), h. 49.
[13] (Banjarmasin: Aulia, 1968), h. 40.
[14] Hasbullah, sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, lintas sejarah dan pertumbuhan islam,
(PT.grafindo Persada: Jakarta, 1999 ) halm, 21-22
[15] Ibid halm,22
[16] Mahmud Yunus, sejarah pendidikan Islam Di Indonesia, (Hidakarya agung: Jakarta, 1985)
hlm, 35
[17] Arifin HM, kapita selecta Pendidikan Islam dan Umum, (Bumi Aksara: Jakarta,1991)
halm.248
[18] Imam Al-Fatta, modernisasi Pesantren dan Krisis Ulama: Panjimas nomor 667 Maret
1991.
[19] Tim depag RI, pedoman Pembaharuan Pondok Pesantren, (Dirjen Bimas Islam,:Jakarta,
1983) halm,8
[20] Aziz Masyhuri A, Pokok Pikiran Pengembangan Pengkajian Kitab, (majalah Tebuireng,
1989).
[21] Amir Hamzah, pembaharuan pendidikan dan Pengajaran islam, (Mulia Ofset, Jakarta,
1989) halm.26
[22] Ibid halm236
[23] http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/pendidikan-di-zaman-permulaan-islam/

Anda mungkin juga menyukai