Anda di halaman 1dari 16

JARINGAN ULAMA NUSANTARA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah

“Kajian Islam Nusantara”

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Imam Fuadi, M.Ag

Prof. Dr. Mujamil, M.Ag

Disusun Oleh:
Siti Nurlailil Fauziah (1880506220044)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
2023
A. Latar Belakang
Sejak pertama kali Islam datang di Nusantara, Allah telah menciptakan
tokoh-tokoh besar, para ulama, cendekiawan, serta pemimpin yang berjasa bagi
negeri ini. Mereka berjuang dengan segenap ilmu, tenaga dan kemampuannya
untuk kemajuan Islam dan kemaslahatan ummat. Munculnya jaringan ulama
berkaitan dengan beberapa faktor penting yang tidak hanya bersifat keagamaan,
tetapi juga ekonomi, sosial dan politik. Faktor-faktor ini bekerja baik pada tingkat
masyarakat Muslim tertentu maupun pada tingkat dunia Muslim. Meninjau ulang
kepada peristiwa politik yang terjadi pada abad ke-11 kekhalifahan Abbasiyah
dengan cepat merosot. Kemerosotan kekuasaan politik ini khususnya mendorong
munculnya lembaga-lembaga dan struktur-struktur nonpolitik untuk mengisi
kevakuman dalam struktur dan kepemimpinan poltik.
Kontak dan hubungan antara Muslim di Nusantara dan Timur Tengah mulai
menemukan momentum dengan muncul dan berkembangnya kerajaan-kerajaan
Muslim di Nusantara. Intensifikasi perdagangan di Lautan India menimbulkan
kontak yang lebih intens, tidak hanya di antara para pedagang Muslim, tetapi juga
di antara penguasa dan pejabat-pejabat Muslim. Peningkatan kehadiran bangsa
Eropa, khususnya Portugis di kawasan Lautan India juga merupakan faktor penting
yang mendorong terciptanya hubungan politik dan diplomatik yang lebih erat antara
Nusantara dan Timur Tengah. Akselerasi hubungan-hubungan ini memberi
sumbangan signifikan kepada pertumbuhan jumlah jamaah haji Melayu-Indonesia
di Haramayn. Akhirnya, pada gilirannya memacu keterlibatan mereka di dalam
jaringan ulama yang ada.1
Tulisan makalah yang berjudul “JARINGAN ULAMA NUSANTARA” ini
akan membahas lebih lanjut tentang jaringan intelektual ulama Nusantara dengan
Timur Tengah yang memegang peranan amat penting dalam proses transmisi dan
difusi ajaran dan pemikiran Islam ke kepulauan Nusantara.

1
Nor Huda, Islam Nusantara Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2016), hal.39

1
B. Pembahasan
1. Sejarah Singkat Jaringan Ulama Nusantara
Proses transmisi serta difusi ajaran-ajaran dan gagasan Islam selalu
melibatkan semacam jaringan intelektual, baik yang berbentuk di kalangan
ulama maupun cendekiawan Muslim lainnya. Jaringan itu lazimnya berpusat
pada seseorang atau lebih tokoh sentral yang memainkan peranan kunci dalam
pembentukan dan pengembangan jaringan intelektual yang ada. Secara
geografis wilayah Islam di Nusantara terletak pada pinggiran dunia Islam.
Indonesia juga merupakan salah satu di antara wilayah dunia Islam yang paling
sedikit mengalami Arabisasi. Namun, terlepas dari kenyataan itu,
perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari perkembangan Islam di
Timur Tengah. Perkembangan Islam di wilayah Timur Tengah secara terus-
menerus mempengaruhi perjalanan Islam di Indonesia.2
Sejarah pertumbuhan jaringan antara para penuntut ilmu dari Nusantara
dengan banyak ulama Timur Tengah, khususnya Haramayn melibatkan proses-
proses historis yang amat kompleks. Jaringan murid guru yang tercipta di
antara kaum Muslim, baik dari kalangan penuntut ilmu dan ulama maupun
Muslim awam umumnya di antara kedua wawasan dunia muslim ini
merupakan buah dari interaksi yang panjang di antara wilayah Muslim di
Nusantara dan Timur Tengah.
Proses-proses dan alur historis yang terjadi dalam perjalanan Islam di
Nusantara dalam hubungannya dengan perkembangan Islam di Timur Tengah,
bisa kita lacak masa-masa awal kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara
sampai kurun waktu panjang. Mulai sejak terjadinya interaksi kaum Muslim
Tengah dengan Nusantara sampai kurun waktu yang tercakup dalam
pembahasan ini yaitu akhir abad ke-18 kita melihat banyak kontinuitas dalam
hubungan antara kaum Muslim di kedua wilayah ini. Meski demikian, perlu
dicatat perubahan penting dalam bentuk interaksi pada awalnya hubungan itu
lebih berbentuk hubungan ekonomi dan dagang, kemudian disusul hubungan

2
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1990), hal. 121

2
politik-keagamaan dan untuk selanjutnya diikuti hubungan intelektual
keagamaan.3
Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, seperti Samudra Pasai,
Kerajaan Malaka, Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, dll menjadikan
Nusantara dan Timur Tengah semakin mapan. Kehadiran ulama dari Timur
Tengah, khususnya Makkah ialah langkah penting dalam memperkenalkan
Islam ke Nusantara. Sebelumnya hubungan masyarakat (kerajaan) Nusantara
dengan Timur Tengah (Arabia) hanya terjalin melalui ekonomi-politik. Namun
pada tahap selanjutnya, Islam di Nusantara semakin berkembang setelah
adanya hubungan intelektual keagamaan, khususnya oleh kerajaan-kerajaan di
Nusantara dengan Timur Tengah.
Hubungan intelektual keagamaan Nusantara dengan Timur Tengah
menjadi lebih kuat lagi di Kerajaan Aceh pada abad ke-17. Hubungan ini
dibuktikan dengan terbentuknya suatu jaringan ulama yang kemudian
membuat Makkah memainkan peranan penting dalam pengembangan
intelektual keagamaan di Nusantara. Makkah menjadi magnet dalam ilmu
keislaman yang membuat para thullab (pencari ilmu) tertarik untuk belajar ke
sana. Makkah memegang peranan penting bagi para ulama dan thullab.
Pengalaman belajar di Makkah dipercaya dapat meningkatkan otoritas dan
pengaruh intelektual seorang ulama di tengah-tengah umat Islam. Seiring
dengan keyakinan tersebut persepsi kaum Muslim Nusantara terhadap Makkah
juga berubah. Makkah bukan hanya menjadi tempat pelaksanaan ibadah haji,
melainkan juga tempat belajar ilmu-ilmu keislaman.4

3
Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hal. 97
4
Jajat Burhanuddin, Ulama,...,hal. 98

3
a. Tipe Ihwal hubungan Muslim Nusantara dengan Haramayn
Ihwal hubungan Muslim Nusantara dengan Haramayn menurut
Azyumardi digolongkan menjadi tiga tipe antara lain:
1) Tipe Pertama Little Immigrants
Yaitu orang-orang yang bermukim di Haramayn dan dengan diam-diam
mereka terserap ke dalam kehidupan sosial keagamaan setempat.
Awalnya mereka pergi ke Haramayn untuk beribadah haji, tetapi karena
kehabisan bekal, mereka tidak bisa pulang dan akhirnya mereka
menetap di Haramayn. Mereka hidup sebagai penduduk biasa.
2) Tipe Kedua Grand Immigrants
Yaitu kumpulan Parexcellence. Kebanyakan imigran kategori ini telah
mempunyai dasar keagamaan yang bagus. Bahkan sebagian dari
mereka sudah sangat alim dan masyhur
3) Tipe Ketiga Ulama dan Murid Pengembara
Yaitu ulama dan murid pengembara. Umumnya mereka ke Haramayn
untuk berhaji dan belajar agama.

2. Hubungan Awal Muslim Nusantara dengan Timur Tengah

Hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah


yang panjang yang dapat dilacak sampai masa yang sangat tua. Kontak paling
awal antara kedua wilayah ini, khususnya berkaitan dengan perdagangan
bermula bahkan sejak masa Phunisia dan Saba. Memang hubungan antara
keduannya pada masa beberapa waktu sebelum kedatangan Islam dan masa
awal Islam terutama menampakkan hasil dari perdagangan Arab dan Persia
dengan Dinasti Cina. Agaknya kapal-kapal Arab dan Persia yang berdagang ke
Cina melakukan pengembaraan pula di Nusantara jauh sebelum Islam menjadi
nyata di bagian mana pun di Nusantara sebagai berikut: 5

5
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII, (Jakarta: Prenadamedia, 2013), hal. 20

4
a. Timur Tengah, Cina dan Nusantara
Riwayat-riwayat paling awal tentang hubungan antara Timur
Tengah dengan Nusantara diberikan sumber-sumber Cina dan Arab. Benar
bahwa terdapat banyak riwayat tentang Nusantara ditulis sejarawan Arab
semacam al-Ya’qubi, Abu Zayd atau al-Ma’udi, tetapi mereka
kebanyakannya berdasarkan pada cerita-cerita para pelayar Arab yang lebih
tertarik pada hal-hal aneh daripada kondisi riil bagian-bagian Nusantara
yang mereka singgahi. Oleh karena itu, dalam banyak kasus riwayat mereka
itu sangat sulit diverifikasi. Untungnya para pengembara lebih belakangan,
yang paling terkenal di antara mereka adalah Ibn Bathuthah meninggalkan
deskripsi yang dipandang jauh lebih akurat dan autentik, meski sejumlah
nama tempat mereka sebut di Nusantara sulit diidentifikasi.
Kontak tercatat pertama antara Timur Tengah dan Cina pada
umumnya bersifat diplomatik. Sejarah Dinasti Cina yang berjudul Chiu
T’ang Shu meriwayatkan pada 31/651 Istana T’ang dikunjungi dua duta
pertama dari negeri Ta Shih istilah Cina untuk menyebut Arab. Empat tahun
kemudian Istana T’ang menerima duta kedua yang disebut sumber Cina
sebagai Tan-mi-mo-ni’ (Amir al-Mu’minin) yang menyatakan kepada tuan
rumah (Cina) bahwa mereka telah mendirikan negara (Islam di Timur
Tengah) 34 tahun sebelumnya dan bahwa mereka sudah memiliki tiga
penguasa. Duta Muslim itu datang ke Cina pada masa khalifah ketiga
Utsman bin Affan.6
Ekspansi Islam ke Persia dan Anak Benua India sepanjang masa
Dinasti Umayah memberikan dorongan baru kepada pelayaran Arab-Persia
untuk menjelajah sampai ke Timur jauh. Penaklukan wilayah-wilayah ini
memberikan kepada Muslim Arab dan orang-orang Persia yang baru
memeluk Islam sejumlah pelabuhan-pelabuhan strategis sepanjang rute
perdagangan sejak dari Teluk Persia sampai Lautan India. Sejak periode
inilah, para pelaut Muslim secara reguler melayari rute laut sejak Arabia

6
Nakahara, Muslim Mercants in Nan Hai, (Boulder: Wstview, 1984), hal.2

5
Selatan hingga Timur jauh. Inilah rute terjauh yang pernah dilayari manusia
sebelum kebangkitan pelayaran Eropa pada abad ke-16. Memiliki
ketrampilan navigasi dan kemampuan fisik dan mental untuk melakukan
pelayaran berat seperti itu, pelaut-pelaut Muslim mampu melayari rute
tersebut dengan intensitas luar biasa. Menjelang abad ke-7 M, peningkatan
pelayaran reguler pelaut-pelaut Muslim ke Timur jauh tidak hanya
didokumentasikan oleh istana Cina, tetapi juga oleh para peziarah Buddha
Cina yang sering pula melayari rute tersebut dengan menumpang kapal
milik pelayar Muslim dalam kunjungan mereka ke pusat-pusat keagamaan
dan keilmuan Buddha di India. 7
Mempertimbangkan tingginya intensitas hubungan antara Muslim
Timur Tengah dengan Timur Jauh dan mengingat terdapatnya pemukiman-
pemukiman Muslim di Cina wajar mengasumsikan bahwa Muslim Timur
Tengah cukup mengetahui tentang Nusantara. Cukup wajar pula
menyatakan Muslim Timur Tengah ini menjadikan pelabuhan-pelabuhan
tertentu di Nusantara sebagai tempat persinggahan.
b. Benua Ruhum dan Nusantara

Kebangkitan beberapa kerajaan Muslim di Nusantara sejak abad


ke-13 tak ragu lagi, menciptakan momentum baru bagi hubungan-hubungan
politik, agama antara Timur Tengah dengan Nusantara. Beberapa historis
Melayu-Indonesia menyatakan semakin meningkatnya kehadiran para
penyiar agama Islam, khususnya asal Arab yang menyebarkan Islam kepada
penduduk pribumi Nusantara. Perkembangan lebih belakangan ini
menunjukkan kontras dengan fenomena sebelumnya. Jika dalam masa
sebelumnya Muslim Arab dan Persia memusatkan kegiatan-kegiatan
mereka pada perdagangan, sebaliknya sejak menjelang akhir abad ke-12
mereka mulai memberikan perhatian khusus pada usaha-usaha penyebaran
Islam di Nusantara.

7
Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, (Honolulu: East Center Press, 1968),
hal.81

6
Pergeseran-pergeseran dalam kegiatan ini tidak hanya disebabkan
perubahan politik agama di Timur Tengah sendiri, tetapi juga oleh
kemerosotan perdagangan di Nusantara sebagai akibat kemunduran
kekuasaan Sriwijaya, khususnya sejak menjelang akhir abad ke-12. Selain
itu, kemunduran Sriwijaya di samping disebabkan faktor-faktor internal
juga berkaitan dengan kebangkitan kerajaan-kerajaan baru di Jawa, seperti
Kerajaan Kediri. Terlepas dari faktor-faktor penyebabnya, dampak
kemunduran Sriwijaya terhadap perdagangan di Nusantara sangat besar.
Dalam upaya meningkatkan kembali pendapatan negara yang terus merosot,
para penguasa Sriwijaya menempuh kebijakan ekonomi dan perdagangan
yang monopolistik, mengenakan bea yang besar terhadap kapal-kapal asing
dan memaksa para pedagang asing membayar denda yang berat jika mereka
berusaha berdagang di pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara. Sebagai
konsekuensinya para pedagang asing, khususnya pedagang-pedagang
Muslim Arab dan Persia kini menghadapi kesulitan-kesulitan dan gangguan
berat dalam perdagangan mereka. 8

Dengan mempertimbangkan semua perkembangan ini, tak heran


kalau kemudian para pedagang Arab dan Persia ini mengalihkan kegiatan-
kegiatan dagang mereka ke tempat-tempat lain di Nusantara. Selain itu
mereka mulai mengambil bagian lebih aktif dalam penyebaran Islam.
Hasilnya, bentuk-bentuk hubungan baru yang lebih akrab antara Timur
Tengah dan Nusantara juga mulai muncul. Hubungan yang diperkuat
dengan tali agama yang kini dengan cepat berkembang, hubungan dagang
tentu saja tidak ditinggalkan. Sebaliknya hubungan dalam bidang ini
diperkuat dengan pembentukan hubungan-hubungan religio-kultural yang
selanjutnya diikuti oleh hubungan dalam bidang-bidang lain.

Sentimen religio-kultural yang menghubungkan kedua kawasan ini


kemudian berkembang melewati batas-batas ajaran formal Islam. Bagi

8
Azyumardi Azra, Jaringan,...,hal. 32

7
banyak Muslim Nusantara, sentimen itu mengalir jauh ke dalam ambang
kesadaran mereka. Banyak tradisi lisan dan literatur awal Nusantara
memberikan kesaksian tentang hal ini. Para penguasa Muslim di Sumatra
dan Semenanjung Malaya tempat Islam pertama kali menancapkan akar
terkuatnya, sering mengasosiasikan diri mereka dengan kekuasaan-
kekuasaan.

c. Mekkah dan Madinah: Hubungan dengan Nusantara


Hubungan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dengan Timur
Tengah tidak terbatas pada Dinasti Utsmani. Aceh, misalnya juga menjalin
hubungan dengan pusat keagamaan Islam yakni Mekkah dan Madinah.
Meski hubungan ini lebih bersifat keagamaan ketimbang politik, penting
dicatat bahwa hubungan penguasa Aceh dengan penguasa Haramayn
mempunyai implikasi politik yang penting bagi Aceh. Pires, dalam
riwayatnya tentang Kerajaan Aru berikutnya dengan serangan Aceh,
mengutip pula sepucuk surat Sultan Johor kepada Sultan Aceh yang
menyatakan bahwa penguasa Aceh mendapat kehormatan besar dengan
menerima stempel mas Bayt al-Haram, Mekkah. Stempel mas itu
kelihatannya diberikan dalam surat yang menyatakan Sultan Aceh yang
disebut Pires, Alaradim. Selain menerima stempel mas, Aceh sejak 1570 an
secara reguler menerima ulama terkemuka dari Hijaz, Mesir dan Gujarat. 9
Banyak negara Muslim di Nusantara sejak abad ke-17 berada dalam
hubungan yang konstan dengan Hijaz. Pada 1048 penguasa Banten di Jawa
Barat, Abd al-Qadir (berkuasa 1037-1626 H) mendapat gelar sultan dari
Syarif Mekkah sebagai hasil misi khusus yang dikirimkannya ke Tanah
Suci. Sultan Banten ini juga menerima “Bendera dan pakaian suci dan apa
yang dipercayai sebagai bekas jejak kaki nabi” dari penguasa Haramayn.
Semua pemberian Syarif Mekkah ini diarak dalam prosesi sekeliling kota
Banten pada kesempatan peringatan Maulid Nabi. Selanjutnya pertukaran

9
Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, (Banda Aceh: Departemen P&K, 1984), hal.29

8
surat-menyurat dan hadiah di antara Istana Banten dengan penguasa
Haramayn terus berlangsung sampai menjelang akhir abad ke-17.
Mataram, sebuah kerajaan besar Muslim lainnya di jantung Pulau
Jawa juga merasakan kebutuhan menjalin hubungan erat dengan Syarif
Mekkah dan sekaligus untuk mendapatkan gelar sultan dari penguasa Tanah
Suci ini. Untuk tujuan terakhir ini, penguasa Mataram, Pangeran Rangsang
mengirim delegasi ke Mekkah pada 1051 . Duta Mataram itu menumpang
kapal Inggris ke Surat,India dari sana dengan kapal Muslim menuju Jeddah.
Seperti bisa diduga, Syarif Mekkah memenuhi keinginan Pangeran
Rangsang dan memberikan gelar Sultan kepadanya. Pangeran Rangsang
sejak saat itu lebih dikenal sebagai Sultan Agung, salah seorang penguasa
terbesar Mataram.
Sultan Agung yang sangat bersyukur atas anugerah yang
dilimpahkan penguasa Haramayn kepadanya, pada tahun berikutnya
mengirimkan sekelompok orang Jawa membawa hadiah kepada Syarif
Mekkah dan sekaligus menunaikan ibadah haji atas namanya. Kapal Inggris
yang membawa mereka dihadang dan diserang kekuatan Angkatan Laut
Belanda dilepas pantai Batavia. Satu-satunya anggota delegasi yang selamat
dikirim kembali oleh Belanda ke Mataram. Ia dipesankan menyampaikan
persyaratan-persyaratan yang ditentukan Belanda bagi dibenarkannya
pelayaran jamaah haji Jawa melalui lepas pantai Batavia. Salah satu
persyaratan pokok dalam hal ini adalah bahwa Mataram harus pertama-tama
membebaskan tawanan-tawanan Belanda yang ditahan Mataram. Sultan
Agung yang sangat marah terhadap tindakan sepihak Belanda ini
memerintahkan agar Antonio Paulo, kepala tawanan-tawanan Belanda
dilemparkan ke mulut buaya.10
Selain penguasa Aceh, Banten dan Mataram beberapa penguasa
Muslim Nusantara lainnya juga diketahui pernah menerima surat-surat dari
penguasa Haramayn. Menurut Daghegister, Sultan Palembang menerima

10
Azyumardi Azra, Jaringan,...,hal. 49

9
beberapa pucuk surat dari Mekkah yang dikirimkan dengan kapal-kapal
Aceh. Tavernier pengembara Prancis yang mengunjungi Makasar pada
1072M menceritakan bahwa ketika Raja Makasar sedang
mempertimbangkan untuk masuk Islam, ia juga didekati seorang Jesuit
Portugis agar masuk Kristen. Penguasa Makasar ini dilaporkan bersedia
meninggalkan kepercayaannya kepada berhala jika “orang-orang
Mohammedan” dapat mengirimkan kepadanya dua atau tiga “Moullah” atau
“dokter” paling cakap dari Mekkah atau orang-orang Kristen dapat
mengirimkan pendeta Jesuit paling ahli, sehingga ia diberi pengajaran
tentang kedua agama ini. Selanjutnya Tavernier menulis “dalam waktu
delapan bulan kaum Muslim mengirim dari Mekkah dua Moullah ahli,
sehingga ketika raja Makasar melihat bahwa orang-orang Jesuit tidak ada
yang datang kepadanya, maka ia segera memeluk Islam.
Pengiriman surat-surat melalui pihak ketiga seperti dalam kasus
Kesultanan Palembang dan pengiriman dua orang moullah dari Mekkah ke
Makasar mengindikasikan terdapatnya orang-orang Nusantara dari masing-
masing wilayah itu di Mekkah, sehingga muncul jaringan antar ulama
disana. Mereka boleh jadi adalah para pedagang atau jamaah haji yang
memperpanjang masa tinggal mereka di Mekkah untuk berdagang dan
menuntut ilmu, juga memainkan peran sebagai duta-duta kerajaan mereka
di Haramayn. Para penguasa Haramayn setidaknya sejak abad ke-16 ketika
mulai terjalinnya hubungan-hubungan terutama melalui perdagangan,
kelihatannya telah mengenal baik Muslim Nusantara.11
Seperti dikemukakan Schrieke, kerajaan-kerajaan Muslim
Nusantara khususnya Aceh ikut membantu kehidupan para penguasa
Haramayn dan penuntut ilmu di Tanah Suci dengan berbagai hadiah yang
mereka kirimkan. Dengan begitu, penguasa Haramayn sebaliknya, dapat
memberikan dukungannya kepada para penguasa Muslim Nusantara. Surat-
surat dan hadiah-hadiah semacam itu dipandang para penguasa dan kaum

11
Azyumardi Azra, Jaringan,..hal. 50

10
Muslim Nusantara umumnya memiliki aura kesucian yang bersumber dari
tempat paling suci dalam tradisi Islam.
Untuk menyimpulkan hubungan-hubungan antara Timur Tengah
dan Nusantara sejak kebangkitan Islam sampai paruh kedua abad ke-17
menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Dalam fase
pertama, kasarnya sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan-
hubungan yang ada pada umumnya berkenaan dengan perdagangan.
Inisiatif dalam hubungan-hubungan semacam ini kebanyakan diprakarsai
Muslim Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia. Dalam fase berikutnya
sampai akhir abad ke-15, hubungan-hubungan antara kedua kawasan mulai
mengambil aspek-aspek lebih luas. Muslim Arab dan Persia, apakah
pedagang atau pengembara sufi, mulai mengintensifikasikan penyebaran
Islam di berbagai wilayah Nusantara. Pada tahap ini hubungan-hubungan
keagamaan dan kultural terjalin lebih erat.
Tahap ketiga sejak abad ke-16 sampai paruh kedua abad ke-17.
Dalam masa ini hubungan-hubungan yang terjalin lebih bersifat politik di
samping keagamaan tadi. Di antara faktor terpenting dibalik perkembangan
ini adalah kedatangan dan peningkatan pertarungan di antara kekuasaan
Portugis dengan Dinasti Utsmani di kawasan Lautan India. Dalam periode
ini, kaum Muslim Nusantara mengambil banyak inisiatif untuk menjalin
hubungan politik dan keagamaan dengan Dinasti Utsmani dan sekaligus
pula memainkan peran lebih aktif dalam perdagangan di Lautan India.
Menjelang paruh kedua abad ke-17 hubungan-hubungan keagamaan dan
politik juga dijalin dengan para penguasa Haramayn. Dalam periode ini,
Muslim Nusantara semakin banyak ke Tanah Suci, yang pada gilirannya
mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara Timur Tengah dengan
Nusantara melalui ulama Timur Tengah dan murid-murid Jawi. 12

12
Ibid, hal.51

11
3. Para Pendakwah Islam di Nusantara
Banyak ulama, thullab dan umat muslim Nusantara yang bermukim
selama bertahun-tahun di Makkah. Hal ini melahirkan ikatan emosional dan
solidaritas sesama bangsa Melayu. Akhirnya, mereka membentuk
komunitas yang dikenal dengan Komunitas Jawi di Arab yang terus
dipertahankan dari generasi awal dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya
yang saling bertautan. Keberadaan komunitas tersebut bukan sekedar wadah
solidaritas, melainkan juga berperan dalam membentuk sebuah jaringan
ulama Nusantara-Arab.
Cikal bakal kemunculan Komunitas Jawi dapat ditelusuri pada abad
ke-17 M dari tangan ulama-ulama abad itulah terbentuk lingkaran
komunitas Jawi yang dikenal dengan istilah “Ashabul Jawiyyin” sebagai
pemersatu jaringan para ulama dan thullab dari Nusantara dan kawasan yang
belajar di Makkah. Ulama-ulama masyhur sekaligus thullab pada abad ke-
17 M tersebut antara lain Nuruddin ar-Raniri, Abdurrauf as-Sinkili dan
Yusuf al-Maqassari yang sama-sama menuntut ilmu di Makkah. Lingkaran
komunitas Jawi tersebut membuktikan bahwa semangat mencari ilmu
menjadi salah satu aspek utama keberadaan Muslim Nusantara di Tanah
Suci di samping itu tentu saja keberadaan mereka di Makkah ialah untuk
menunaikan ibadah haji terlebih dahulu.
Sekembalinya dari Tanah Suci, para ulama Jawi pada abad 17 M
tersebut merasa bertanggung jawab untuk mengajarkan hasil studinya
selama di Makkah ke masyarakat Nusantara. Awalnya mereka berdakwah
lewat jalur politik kerajaan dengan menjadikan kerajaan sebagai alat untuk
memperlancar misi pembaruan. Misalnya, Nuruddin ar-Raniri dan
Abdurrauf as-Sinkili berkiprah di Kerajaan Aceh, sementara Yusuf al-
Maqassari membangun misinya di Kerajaan Banten, Jawa Barat.13
Berikut ini Ulama yang terkenal berkiprah dalam jaringan ulama
nusantara antara lain:

13
Thoriq Aziz, Ulama-Ulama Nusantara yang Mempengaruhi Dunia, (Yogyakarta:
Noktah, 2021), hal.32-33

12
a. Nuruddin ar-Raniri
Nuruddin ar-Raniri merupakan ulama pertama dalam Jaringan
Timur Tengah di abad ke-17. Ia lahir di Ranir, sebuah kota pelabuhan
tua di Pantai Gujarat. Ia mengenyam pendidikan pertamanya di tanah
kelahirannya itu. Kemudian ia melanjutkan Studinya di Makkah dan
Hadramaut. Di Makkah ia bergabung dengan komunitas Ashabul
Jawiyyin, sebagai bentuk kedekatannya dengan orang-orang Melayu, di
samping ia sendiri merupakan keturunan Melayu, karena ibunya
seorang Melayu.
Sebelum kedatangannya ke Makkah, Nuruddin ar-Raniri sudah
terkenal di Aceh, terlebih lagi ia memiliki hubungan dekat dengan elite
Aceh yang tengah berkuasa. Itulah sebagian alasan mengapa setelah
kepulangannya dari Makkah, Nuruddin ar-Raniri mendedikasikan
ilmunya untuk Kerajaan Aceh dan ia kemudian diangkat menjadi
penasehat kerajaan (syekhul Islam) hingga tahun 1644 M. Bermula dari
Nuruddin ar-Raniri, pesan keagamaan kemudian sampai ke tangan
seorang ulama Melayu berikutnya, yakni Abdurrauf as-Sinkili. 14

b. Abdurrauf as-Sinkili
Abdurrauf as-Sinkili lahir di Singkel, sebuah daerah di pesisir
Aceh. Pendidikannya dimulai di tanah kelahirannya itu. Kemudian ia
berangkat ke Timur Tengah pada tahun 1642 untuk melanjutkan
studinya. Setelah beberapa lama belajar di negeri Islam di sepanjang
rute haji, Abdurrauf as-Sinkili akhirnya tinggal bersama ulama Hijaz
dan ia diperkenalkan dengan Ashabul Jawiyyin. Perkenalan ini
membuatnya dapat membangun jaringan langsung dengan ulama
terkemuka abad ke-17 M termasuk Imam al-Kurani dan al-Qusyasyi di
Madinah.

14
Jajat Burhanuddin, Ulama,...,hal.32

13
Abdurrauf as-Sinkili terkenal sebagai ulama yang kompromis
dan toleran dalam menanggapi berbagai pemikiran. Karena sikap
tolerannya itulah, setelah kepulangannya dari Hijaz sekitar tahun 1661,
ia diangkat menjadi hakim agung kerajaan (qadhi malikul adil) oleh
Ratu Tajul Alam Safiatuddin (Kerajaan Aceh). Selain sebagai hakim
agung kerajaan, Abdurrauf as-Sinkili juga mendapatkan ijazah
langsung dari gurunya yakni Ahmad al-Qusyasyi untuk memimpin
tarekat sufi Syathariyah di Nusantara. Ia juga mendapatkan wewenang
untuk memberikan ijazah kepada para pengikutnya untuk
menyebarluaskan tarekat tersebut. Artinya, lewat tarekat ini ia memiliki
kesempatan besar untuk membangun jaringan ulama di Nusantara. 15

c. Yusuf al-Maqassari
Selain peran Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf as-Sinkili juga
terdapat peran ulama berikutnya yang berkonstribusi baik terhadap
integrasi jaringan ulama Timur Tengah dengan Nusantara. Ulama yang
mengemban misi pembaruan neosufisme yang muncul sebagai
diskursus intelektual di abad ke-17 M ialah Yusuf al-Maqassari. Ia
dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan dan memperoleh studi
awalnya di sana.
Selanjutnya Yusuf al-Maqassari pergi ke Aceh dan belajar
kepada Nuruddin ar-Raniri. Selepas dari gurunya ini, Yusuf al-Maqassari
melanjutkan studinya kepada sejumlah ulama di Timur Tengah, termasuk
kepada Al-Kurani di Madinah. Berkaitan dengan hal ini, Yusuf al-
Maqassari sesungguhnya turut membangun integrasi jaringan ulama
Nusantara di Timur Tengah. Sekembalinya dari Timur Tengah, Yusuf al-
Maqassari menapak karirnya (dakwah politik) di Kerajaan Banten, Jawa
Barat, sebagai dewan penasehat sultan. Tampaknya hubungan dekat
Yusuf al-Maqassari dengan Raja Banten yakni Sultan Agung Tirtayasa

15
Thoriq Aziz, Ulama-Ulama Nusantara,..,hal.34

14
menjadi alasan Yusuf al-Maqassari berada di sana. Apalagi, ia berhasil
mempersunting putri sultan yang sudah pasti memperkuat ikatan
tersebut. 16

C. Kesimpulan
Jaringan ulama lazimnya berpusat pada seseorang atau lebih tokoh
sentral yang memainkan peranan kunci dalam pembentukan dan
pengembangan jaringan intelektual yang ada. Kewibawaan intelektual
beberapa tokoh di atas menjadi salah satu daya tarik terpenting yang
membuat banyak penuntut ilmu berkerumun di sekelilingnya, sehingga
memungkinkan terbentuknya suatu jaringan intelektual. Sebagaimana
terlihat dalam sejarah yang sudah kita ketahui jaringan semacam ini terbukti
menjadi salah satu alat transmisi yang paling efektif dalam penyebaran
gagasan-gagasan Islam.

D. Daftar Pustaka
Aziz, Thoriq. 2021. Ulama-Ulama Nusantara yang Mempengaruhi Dunia
Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII
Azra, Azyumardi. 1990. Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya)
Burhanuddin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite
Muslim dalam Sejarah Indonesia
Coedes, 1968. The Indianized States of Southeast Asia, (Honolulu: East
Center Press)
Djajadiningrat.1984. Kesultanan Aceh, (Banda Aceh: Departemen P&K)
Huda, Nor. 2016. Islam Nusantara Intelektual Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media)

Nakahara, 1984. Muslim Mercants in Nan Hai, (Boulder: Wstview)

16
Ibid, hal.33

15

Anda mungkin juga menyukai