Anda di halaman 1dari 23

KAJIAN ISLAM INDONESIA BIDANG KALAM (TEOLOGI)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kajian Islam
Nusantara
Dosen Pengampu
Prof. Dr. Mujammil, M.Ag.
Prof. Dr. H. Imam Fuadi, M.Ag.

Oleh

Nadzif Qulubi
NIM. 1880506220008

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
MARET 2023
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islamisasi di Indonesia mempunyai suatu keunikan. Islam datang ke nusantara
pada abad 1 hijriah. Daerah yang pertama kali didatangi islam adalah pantai timur
sumatra tepatnya didaerah Pasai dan Perlak yaitu sebuah kawasan yang terletak di
kawasan Aceh Utara. Selain dari kedatangan agama mondial lainnya, Indonesia seakan
terpilah melalui peta regionalisasi agama-agama. Indonesia juga memiliki sistem
internalisasi lembaga pendidikan islam yang biasa disebut pondok pesantren yang
mempunyai fungsi selain untuk pusat pengajian Islam, juga sebagai penggerak
transformasi keagamaan masyarakat dari kepercayaan Animisme dan dinamisme
berubah menjadi tauhid.1
Para mubalig yang datang di Indonesia tidak menyiarkan paham teologi Islam
berdasarkan asal negaranya, akan tetapi mereka mengikuti adat yang ada di masyarakat.
Maka dari itu mereka melakukan tiga strategi dalam mengembangkan teologi islam
yaitu adaptasi, akomodasi dan seleksi. Adaptasi yaitu proses penyesuaian ajaran agama
islam dengan tingkat kepahaman masyarakat. Akomodasi yaitu upaya mengutip tradisi
lokal yang sudah mendarah daging dalam akar budaya masyarakat indonesia sebagai
sarana untuk menghantarkan proses pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran
islam. Sedangkan seleksi adalah proses memilih dan memilah tradisi lokal yang tidak
sesuai dengan konsep teologi islam.2
George M. Foster menganalisis terkait keberhasilan seorang mubalig dalam
menggantikan teologi lama bertransformasi ke teologi islam. Foster mengemukakan
tentang keberhasilan para mubalig disebabkan karena mereka sanggup mengatasi tiga
hambatan. Pertama yaitu curtural barriers yang terdiri dari nilai sikap, struktur budaya
dan pola penggerak serta kedudukan adat istiadat. Hambatan kedua yaitu Social
barriers yang terdiri dari solidaritas kelompok, konflik, wilayah otoritas dan
karakteristik struktur sosial. Hambatan ketiga yaitu psychological barriers yaitu
persepsi dasar perbedaan persilangan budaya, persoalan komunikasi dan problem
pembelajaran.3

1
M. Ridwan Lubis, Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia, Jurnal Multikultural dan
Multireligius, Vol. 14, No. 2, 2015, hal. 10
2
Ibid hal. 12
3
Ibid hal. 12

2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tokoh aliran kalam di Indonesia ?
2. Bagaimana organisasi kalam di Indonesia ?
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan tokoh aliran kalam di Indonesia
2. Untuk mendeskripsikan organisasi kalam di Indonesia

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tokoh Aliran Kalam di Indonesia


Tokoh aliran kalam di Indonesia adalah tolok ukur dan menjadi ciri khas tersendiri
dalam ke-kalamannya. Selain itu beberapa organisasi juga mewarnai perkembangan
kalam. Beberapa organisasi di indonesia ini menjadi bagian dari aliran kalam dan
keagaman di Indonesia. Keragaman organisasi inilah yang kemudia menjadi titik temu
perkembangan kalam di Indonesia4. Berikut beberapa tokoh kalam di Indonesia
1. Harun Nasution
Pembahasan tentang tuhan merupakan sentra dan pokok dari pembahasan
teologi dan filsafat dalam sejarah islam. Semua filosof dan teolog mebeberkan
pandangannya tentang tuhan baik pandangan baru yang independen maupun
pandangan yang menguatkan teori-teori yang sudah ada. Berbeda dengan filosof
barat pada abad pertengahan, filosof muslim tidak mempertanyakan kaitan dengan
keberadaan tuhan tetapi mempertanyakan kaitan bagaimana relasi tuhan dengan
hambanya yang termanifestasi dalam sifat dan perbuatann-Nya.5
Menurut Harun Nasution, akal dan wahyu adalah potensi. Akal adalah suatu
kelebihan yang dimiliki manusia dan tidak dengan makhluk lain. Akal adalah
tonggak kehidupan manusia dan akal pula manusia dapat meneruskan
eksistensinya. Sedangkan wahyu bermakna bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Lebih
lanjut Harun Nasution merincikan makna wahyu ini dengan arti pemberitahuan
secara tersembunyi dan cepat. Tetapi kata ini lebih dikenal dengan arti “apa-apa
yang disampaikan Tuhan kepada para Nabi”.6
Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an dan hadits Nabi sangat
menghargai akal sehingga tidak kuran ayat-ayat Al-Qur’an yang merangsang
manusia untuk mendayagunakan akalnya. Dalam karyanya, Harun Nasution tak
sedikit mengutip ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan maksimalnya potensi akal.
Sama halnya dengan hadits. Selanjutnya dalam khazanah sejarah islam dia

4
https://www.kompasiana.com/amp/gusyudhi/54f348be745513a02b6c6f40/corak-pemikiran-kalam-di-
indonesia. Diakses pada 15 maret 2023 pukul 14.00
5
Muhammad Arifin, Teologi Rasional Perspektif Pemikiran Harun Nasution, (Aceh : Lembaga Kajian
Konstitusi Indonesia, 2021), hal. 26
6
Ibid hal 26-27

4
menemukan aliran kalam Mu’tazilah yang mana aliran tersebut sangat menghargai
akal.7
Harun Nasution dalam penemuannya ini mengungkapkan bahwa islam adalah
agama yang sangat menghargai akal, dengan menjadikan aliran Mu’tazilah sebagai
prototypenya. Dia memandang bahwa umat islam dapat maju karena menggunakan
akal secara rasional dalam segala bidang, karena pada masa berkembangnya
Mu’tazilah umat islam mengalami kemajuan di berbagai aspek kehidupan yang
menghantarkan umat islam memasuki masa emas di era peradabaannya. Begitu juga
peradaban barat yang maju karena mereka bersikap rasional dalam kehidupan.8
Sikap yang sangat dihargai oleh Harun Nasution terkait dengan Mu’tazilah
adalah sikap terbuka. Aliran yang dianggap sebagai pendiri ilmu kalam ini
mengadopsi berbagai pemikiran asing seperti filsafat Yunani yang pada waktu itu
dikatakan sebagai ilmu pengetahuan umum bagi masyarakat islam. Mereka
menggunakan unsur-unsur pengetahuan tersebut dalam memformulasikan ajaran
islam terutama bidang teologi.. hampir semua tema-tema yang digunakan dalam
teologi islam sampai sekarang ini berasal dari Mu’tazilah yang menjadikan filsafat
yunani sebagai salah satu referensinya.9
2. K.H. Hasyim Asy’ari
Motif yang mendorong K.H. Hasyim Asy’ari menetapkan Ahlu Sunnah wal
Jamaah sebagai pijakan teologis umat islam dikaji menggunakan teori motif
tindakan. Menurut Weber sebagaimana dikutip Kartodirdjo motif adalah konteks
arti bagi individu yang sedang bertindak atau bagi penyelidik sebagai dasar yang
penuh arti bagi kelakuan tersebut. Berasarkan aspek motivasi, Weber
mengungkapkan ada 4 tipe ideal kelakuan fundamental yaitu tradisional (mengikuti
kebiasaan yang sudah lazim), afektif (bersifat emosional), bernilai (didasari
kepercayaan yang penuh kesadaran terhadap nilai-nilai etis, estetis, religius, atau
nilai mutlak tanpa memandang konsekuensi-konsekuensinya), dan bertujuan (untuk
mencapai tujuan atau maksud yang diinginkan).10

7
Ibrahim, Ajaran Islam dalam Pandangan Harun Nasution, Jurnal Aqidah-Ta, Vol. 5, No. 2, 2019, hal.
138
8
Ibid hal. 138
9
Ibid hal. 138
10
Ahmad Choirul Rofiq, Argumentasi Hasyim Asy’ari dalam Penetapan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
sebagai Teologi Nahdlatul Ulama’, Jurnal Kontemplasi, Vol,. 5, No. 1, 2017, hal. 31

5
Akademisi melakukan penelusuran terkait keputusan K.H. Hasyim Asy’ari
dalam mempertahankan akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah serta menentukan
pilihan kepada madzab al-Asy’ari dan al-Maturidi dilatar belakangi oleh beberapa
faktor diantaranya keyakinan kuat dari dalam diri K.H. Hasyim Asy’ari bahwa
kebenaran akidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah sebagai madzab yang paling selamat
diantara madzab-madzab teologis lainnya, kedudukan akidah Ahlu Sunnah Wal-
Jama’ah sebagai al-sawad al-a’zham (madzab mayoritas umat), dan pemahaman
beliau bahwa mempetahankan akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah kewajiban
kaum muslimin.11
Pemikiran teologi K.H. Hasyim Asy’ari yang bercorak tradisional tidak hanya
dipengaruhi oleh lingkungan pesantren, tetapi juga dipengaruhi oleh tokoh ilmu
kalam yaitu Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Teologi asy’ari
dianggap sebagai formula untuk mensintesiskan pemikiran fatalisme dengan
pemikiran mereka yang lebih mengedepankan kebebasan dalam berkehendak,
hingga pemikiran ini lebih tepatnya disebut sebagai perpaduan antara berbagai sekte
teologi. Selain itu pemikirannya mendukung Mu’tazilah, disamping itu juga pernah
mendukung jabariyah. Berkaitan dengan hal ini K.H. Hasyim Asy’ari menulis
pemikirannya dalam karya yang berjudul ar Risalah at Taubiyah.12
Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari yang berpaham Ahlu Sunnah Wal Jamaah
sangatlah moderat. Beliau memadukan akal dengan wahyu dalam segala bidang
kehidupan. Beliau sangat mencintai Islam akan tetapi beliau tidak ingin menjadikan
negara Indonesia menjadi negara Islam. Disamping itu beliau juga sangat
menghargai masyarakat non islam dan tidak ingin negara ini terpecah belah karena
perebutan kekuasaan, tetapi hal penting bagi beliau adalah menjadikan Islam tetap
eksis.13
K.H. Hasyim Asyari dalam memilih Ahlu Sunnah Wal Jamaah sebagai dasar
dari pemikiran teologi atau kalamnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
pertama madzab Ahlu Sunnah Wal Jamaah adalah Madzab yang paling benar.
Dilandasi oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, al Tirmidzi dan Ibnu
Majah dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda “Kaum Yahudi akan terpecah

11
Ibid hal. 31
12
Yunita Kurniati, Aspek Teologi menurut K.H. Hasyim Asy’ari : Antara Kepercayaan dan Ketetapan,
Jurnal of Islam and Muslim Society, Vol. 4, No. 2, 2022, hal. 135
13
Ibid hal. 136

6
menjadi 71 golongan dan kaum Nasrani akan terpecah menjadi 72 golongan dan
umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu
golongan Para sahabat bertanya ‘siapakah mereka itu wahai
Rasulullah?’Rasulullah menjawab ‘mereka itu adalah orang-orang yang menganut
ajaranku dan ajaran para sahabat’”.14
Mengenai hadits tersebutbanyak ulama kalam yang menafsirkan dan saling
mengklaim serta meyakini bahwa kelompok yang selamat tersebut adalah
kelompok yang mereka anut. Aliran Mu’tazilah menafsirkan aliran terseebut
alirannya. Begitu pula aliran Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Pertentangan tersebut
berdampak pula pada pemiikiran K.H. Hasyim Asy’ari dalam menafsirkan hadits.
K.H. Hasyim Asy’ari sebagai bagian ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah tentu
pendapatnya tentang golongan satu tersebut adalah golongan Ahlu Sunnah Wal
Jamaah. Hal ini dikarenakan aliran Ahlu Sunnah Wal Jamaah sesuai dengan ajaran
yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits serta sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi
saw yang selanjutnya diikuti oleh para sahabat.15
3. Ahmad Dahlan
Hampir semua pemikiran ahmad dahlan berangkat dari keprihatinannya
terhadap situasi dan kondisi umat islam waktu itu yang tenggelam dalam
kejumudan (stagnansi), kebodohan serta keterbelakangan. Kondisi ini semakin
diperparah dengan politik kolonial belanda yang sangat merugikan umat islam
waktu itu. Latar belakang situasi dan kondisi inilah yang mengilhami ahmad dahlan
melakukan pembaharuan. Ide ini sesungguhnya muncul ketika pertama kali
berkunjung ke Makkah. Kemudian ide tersebut dimantabkan oleh kunjungannya
yang kedua. Hal ini berarti kedua kunjungan tersebut merupakan proses awal
kontak intelektual baik secara langsung maupun tidak langsung dengan ide-ide
pembaharuan yang terjadi di timur tengah pada awal abad ke XX.16
Secara umum ide-ide pembaharuan ahmad dahlan dapat diklarifikasi menjadi dua
dimensi yaitu :
a. Berupaya memurnikan ajaran islam dari khurafat, tahayul dan bid’ah yang
selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat islam

14
Ibid hal. 137
15
Ibid hal. 137
16
Wenita Sarin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, hal. 48

7
b. Mengajak umat islam keluar jaring terhadap doktrin islam dalam rumusan dan
penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.

Sebenarnya usaha pembaharuan ahmad dahlan sudah dimulai sejak 1896 yaitu
dengan17

a. Mendirikan surau yang diarahkan ke arah kiblat yang benar dan berlanjut
membuat garis shaf di Masjid Agung yang akibatnya tidak hanya garis shaf
yang harus dihapus, tetapi suraunya dibongkar.
b. Menganjurkan supaya berpuasa dan berhari raya menurut hisab
c. Penolakan terhadap bid’ah dan khurafat

Menurut dahlan upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola
berfikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui
pendidikan. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis dan memiliki daya
analisis tajam dalam menempa dinamika masyarakat di masa depan. Adapun kunci
untuk meningkatkan kemajuan umat islam adalah dengan kembali kepada Al-
Qur’an dan Hadits. Mengarahkan umat pada pemahaman ajaran islam secara
komprehensif, menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara
strategis dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Kemudian dahlan secara pribadi
mulai merintis pembentukan sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu
agama islam dan ilmu umum.18

Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh.


Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan
pendidikan islam, baik secara vertikal dan horisontal. Dalam pandangan islam,
paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘Abd allah dan
Khalifah fil Ardh. Dalam proses kejadiannya , manusia diberikan Allah denag Ruh
dan Aql. Untuk itu pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat
mengembangkan potensi Al Ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan
dan kepatuhan manusia kepada khaliknya. Sebagaimana kata Ahmad Dahlan bahwa
kebenaran islam bagi ahmad dahlan ialah yang sesuai “kesucian hati dan pikiran”.

17
Ibid hal. 48
18
M. Sukardjo dan Ukim Qomaruddin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2009), hal. 12

8
Beliau mengatakan amal lahir (Syari’ah) adalah akibat daya ruh agama yang
didasari hati dan pikiran suci itu.19

4. Nurcholis Madjid
Tiga tema pokok dalam pemikiran Cak Nur adalah mengenai keislaman,
keindonesiaan dan kemodernan. Menurut Budhy Munawar, Cak Nur adalah
seorang pluralis, akan tetapi ia tidak seperti kebanyakan tokoh pluralis lain. Cak
Nur menjauhkan diri dari tiga poin yakni tidak ada keunikan dalam agama, semua
agama sama saja, bisa dicampur aduk. 20
Islam artinya berserah diri kepada Allah, islam adalah pokok dari semua ajaran
agama yang benar. Nabi Nuh dan Ibrahim juga mengajarkan islam. Seperti dikutip
Cak Nur, seorang tokoh klasik Ibnu Taymiyyah menyatakan dalam Iqtidla al-
Shirath al-Mustaqim bahwa para Nabi hanya membawa satu agama yakni Islam
kepada Allah. Akan tetapi ada perbedaan karena perbedaan zaman serta tempat para
Nabi diutus.21
Sebagai sebuah agama, Islam memiliki makna iman, kebaikan dan menghindari
kesalahan. Disini dapat kita lohat, bahwa nilai Islam adalah untuk semua umat.
Dalam pandangan Osman Bakar, orang yang berislam adalah kesaksian iman
kepada Allah. Kesimpulan dari kesadaran ketuhanan adalah lahirnya sifat taqwa
kepada Allah SWT. Dalam pandangan Cak Nur manusia berasal dari Tuhan dan
pasti kembali kepada tuhan.22
Islam dalam hakikatnya tidak lepas dari agama, sesuai dengan firman Allah
dalam Al-Qur’an “tidak ada agama yang benar tanpa kepasrahan kepada Tuhan
(al-Islam)”. Wilfred seperti yang dikutip Nurcholish mengemukakan bahwa Islam
merupakan sebuah ajaran-ajaran kemudia ajaran-ajaran itu diterima oleh Nabi
Muhammad SAW, dalam kata lain berarti islam bukan sekedar agama.23
Konsep teologi inklusif membuka jalan terhadap kesadaran tentang adanya nilai
kebenaran dalam syariat yang berbeda. Konsep teologi inklusif adalah sumbangsih
yang luar biasa dari pemikiran seorang Nurcholis Madjid, agar terbentuknya

19
Abdul Munir Mulkan, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah< (Jakarta : Bumi Aksara,
1990), hal. 225
20
Budhy Munawar Rachman, Titik Temu Agama-Agama, Analisis Atas (Jakarta : Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarka, 2014), hal. 23-24
21
Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung : mizan, 2013), hal. 2
22
Ibid hal. 70
23
Ibid hal. 70

9
masyarakat sejahtera. Teologi ini dibangun dengan melihat realitas umat islam yang
ada di Indonesia, dan juga adanya sikap apokaliptisisme. Sikap ini menjangkit
beberapa kelompok agama Islam, Kristen, Yahudi dan lainnya di seluruh dunia. Ini
merupakan sikap beragama dengan membenarkan aksi kekerasan atas nama agama.
Dasar-dasar teologi inklusif Nurcholish adalah sebagai berikut :
a. Konsep ajaran tauhid. Dalam konsep ini Cak Nur mengarahkan untuk
mengeksplorasi dasar-dasar pemahaman ajaran-ajaran dari islam, kristen dan
yahudi yang mempertemukan sisi kesamaan antara ketiga agama tersebut,
terutama konsep monoteisme Ibrahim. Pemikiran Cak Nur tersebut merupakan
pandangan posotif pluralisme agama. Pandangan ini menjelaskan bahwa
pluralitas atau kemajemukan umat manusia merupakan sebuah kenyataan yang
harus diterima karena telah menjadi kehendak Allah. Hal ini diperkuat oleh dalil
Al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia itu diciptakan berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar mereka saling kenal dan menghargai. Dari ayat inilah
sikap toleransi harus ditumbuhkan, yakni sistem nilai yang secara positif
optimis terhadap kemajemukan itu sendiri dengan menerima sebagai kenyataan
dan berbuat sebaik mungkin berdasar kenyataan.24
b. Takwa adalah sebuah dasar kemanusiaan. Takwa menyatakan seluruh
kemanusiaan, hal ini dapat terlihat dengan jelas secara historis. Umpamanya
bangsa yahudi pernah mengklaim bahwa dirinya sebagai bangsa kekasih tuhan.
Dan sekarang masih terlihat dengan jelas bahwa masih ada sebuah kelompok
atau sekumpulan manusia yang merasa dirinya paling unggul dan paling benar
dari pada bangsa laiinya. Namun dibantah oleh Al-Qur’an Q.S. 49 :13. Ayat ini
menegaskan bahwa kriteria kemuliaan dihadapan Allah itu hanyalah taqwa
kepada-Nya terlepas dari perbedaan bangsa, ras, suku, individu, suatu kriteria
yang dapat membuat hidup lebih dinamis, karena disini orang berlomba-lomba
dalam kebaikan. 25
B. Organisasi Kalam di Indonesia
1. Ahmadiyah
Gerakan ini dipimpin oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Ia adalah keturunan
Haji Barlas, raja kawasan Qesh. Disebabkan sebuah serangan, keluarganya

24
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 25
25
Budhy Munawwar Rachman, Membaca Nurcholis Madjid, (Jakarta : Paramadina, 1996), hal. 53-54

10
akhirnya mengungsi hingga ke Khorasan, India. Sejak kecil ia sangat tertarik
mendalami agama islam. Berjam-jam waktunya dihabiskan untuk membaca Al-
Qur’an atau sekadar masalah keagamaan dengan ahli agama islam atau agama
lainnya. Hal ini mengecewakan ayahnya yang berharap ia dapat menjadi seorang
pengacara atau pegawai negeri.26
Pada usia 40 tahun, Mirza Ghulam Ahmad mengaku memperoleh wahyu dari
tuhan. Ia lalu menulis banyak karya yang isinya pembelaan atas pandangan-
pandangan miring yang menghujat islam. Ia juga mengaku sebagai mujaddid
(pembaharu), al-masih dan al-Mahdi yang dijanjikan. Menurutnya, Ahmadiyah
bertujuan menegakkan syariat islam dengan meremajakan moral dan nilai-nilai
dalam islam. Baginnya Ahmadiyah bukan sebuah agama baru namun merupakan
bagian dari agama islam. Menurut Dede A. Nasrudin dan E. Muhaimin , Ahmadiyah
adalah salah satu sekte yang tidak hanya memprogandakan dirinya sebagai
organisasi Islam. Akan tetapilebih dari itu ia mempropagandakan dirinya sebagai
sekte yang selamat dan merupakan simbol sejati agama ini.27
Setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal, Ahmadiyah terpecah menjadi dua
kubu yaitu Ahmadiyah Qodyani dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qodyani
(Qodyan adalah nama kota kelahiran Mirza) dinamakan Jamiyah al-Ahmadiyah
yang menegakkan beberapa doktrin pokok, antara lain memandang Mirza sebagai
Nabi. Mereka tinggal di lembah Gulf bersama Muslim yang tidak mengakui
kenabian Mirza. Mereka yang tidak mengakui kenabian Mirza dituduh sebagai
orang kafir. Mirza Ghulam Ahmad merupakan seorang nabi, namun ia tidak
membawa syariat baru (ghoiru tasyri). Belakangan mereka menyebut Mirza sebagai
Zilli an-Nabi (Nabi bayangan) atau sebagai Buruz an-Nabi(Perwujudan Nabi).28
Ahmadiyah cabang Lahore yang menamakan diri an Juman-i Insyaat-i Islam
agak kurang heterodok. Cabang Lahore ini memandang Mirza sebagai mujaddid
saja, atau seorang pembaharu Islam yang sangat prihatin atas hilangnya solidaritas
negara-negara muslim. Cabang ini dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali.29
Berikut akan dijabarkan terkait dengan pandangan teologi Ahmadiyah :30

26
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 1, (Bandung : Mizan, 2001), hal. 80
27
A. Yogaswara, Heboh-Ahmadiyah, (Bandung : Narasi, 2008), hal. 39
28
Ibid hal. 39
29
Ibid hal. 40
30
Ridwan A. Malik, Teologi Ahmadiyah Dulu, Sekarang dan Akan Datang di Indonesia, Jurnal
Penelitian, Vol. 7, No. 2, 2013, hal. 210-218

11
a. Nubuwat
Persoalan kenabian merupakan persoalan pokok atau prinsip dalam islam.
Kenabian yang dimaksud disini adalah terkait dengan eksistensi Nabi SAW
sebagai nabi dan rasul terakhir dan penutup sekalian. Dalam hal ini Allah SWT
berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 40 yang artinya “Muhammad itu sekali-
kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi dan adalah Allah maha mengetahui segala
sesuatu”.
Ayat tersebut merupakan ketetapan pasti (nash) yang menjadi dalil dalam
masalah ini. Ayat ini tidak memerlukan pentakwilan dan penjelasan lebih lanjut,
serta dapat dipahami oleh orang yang mengerti sedikit saja tentang bahasa Arab,
bahwasanya tidak ada lagi nabi sesudah Nabi Muhammad saw. Jadi firman
Allah khatam an-nabiyyin tersebut ditafsirkan oleh yang berhak menafsirkan
yaitu Nabi Muhammad saw. Itu sendiri, dengan la nabiyya ba’di, yang artinya
tidak ada lagi nabi sesudah aku.
Dalam persoalan ini aliran Ahmadiyah Qodyan berbeda pandangan dengan
umat Islam secara umum yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw
merupakan Nabi terakhir dan penutup sekalian nabi dan rasul dan tidak akan
ada Nabi setelah Nabi Muhammad. Secara prinsip aliran Ahmadiyah mengakui
kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad juga diakui
sebagai khatam an-nabiyyin , bahkan menurut ajaran ini, mengingkarinya
berarti kafir. Akan tetapi, khatam an-nabiyyin diartikan sebagai Nabi termulia,
nabi tertinggi di antara para Nabi. Adapun dalam keimanan islam, pada
umumnya diartikan sebagai Nabi terakhir, tidak ada manusia yang menerima
wahyu sesudah Nabi Muhammad saw.
Mirza Ghulam Ahmad membagi nabi menjadi dua kategori. Pertama,
nabi yang tasyri’ (legislatif), yaitu nabi yang diutus Tuhan membawa sebuah
kitab suci, membawa hukum baru dan biasanya mendirikan komunitas baru.
Kedua, nabi ghoiru tasyri’ (non-legislatif), yaitu nabi yang tidak membawa
kitab suci baru, tetapi diutus untuk sebuah komunitas guna untuk memastikan
penerapan hukum dari kitab suci yang dibawa oleh nabi legislatif sebelumnya.
Menurut Mirza Ghulam Ahmad, keyakinan bahwa Nabi Muhammad
saw adalah Nabi terakhir berlaku untuk nabi jenis pertama saja, yakni nabi yang
membawa kitab suci dan hukum baru. Dengan argumentasi ini, maka klaimnya
12
terhadap kenabian (non-legislatif) tidak menolak status Nabi Muhammad saw
sebagai nabi terakhir yang membawa kitab suci. Bahkan menurut Mirza
Ghulam Ahmad, kemampuan Nabi Muhammad untuk menganugerahi pengikut
terbaiknya, yakni Mirza Ghulam Ahmad, dengan kenabian menunjukkan
keistimewaan Nabi Muhammad saw dibanding nabi-nabi lainnya. Dengan
demikian, maka umat Islam adalah satu-satunya umat yang tetap memiliki
hubungan Ilahiah dengan nabi gayr tasyri (non-legislatif) setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw. Hal ini justru merupakan keistimewaan agama islam dari
agama lainnya.
b. Wahyu
Sebagaimana uraian di atas, kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dari
masalah wahyu, sebagaimana kemahdian Syi’ah tidak bisa terlepas dari masalah
keimanan. Sebab al-Mahdi Ahmadiyah juga mengaku sebagai al-masih,
sedangkan al-Masih sebagai yang diberitahukan dalam hadits shahih akan turun
kembali ke dunia dan dia adalah seorang Nabi yang ditugaskan oleh Tuhan
untuk membunuh Dajjal di Akhir Zaman. Itulah sebabnya kemahdian
Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dari masalah wahyu. Sebab, wahyu yang
disampaikan kepada al-Mahdi adalah untuk menginterpretasikan Al-Qur’an
sesuai dengan ide pembaruannya.
Munculnya paham kewahyuan Ahmadiyah tidak saja membawa pertentangan
dan perslisihan di kalangan masyarakat islam, tetapi juga di kalangan pengikut
Ahmadiyah. Menurut paham aliran ini, wahyu Tuhan itu tidak terputus sesudah
Rasulullah wafat dan wahyu yang terhenti itu hanyalah wahyu tasyri’ atau
wahyu syariat. Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah dari
Sialkot, Nazir Ahmad, menjelaskan bahwa wahyu yang terputus sesudah
Rasululllah SAW adalah wahyu tasyri bukan wahyu muthlaq. Selanjutnya
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan wahyu yang terakhir ini adalah tidak
dikhususkan hanya untuk para Nabi saja, akan tetapi diberikan juga kepada
selain mereka.
Senada dengan pemahaman diatas, pengikut sekte lahore mencoba
membagi cara-cara Tuhan menyampaikan firman-Nya sebagaimana yang
diungkapkan dalam Al-Qur’an. Cara-cara tersebut sebagai berikut
1) Wahyu adalah isyarat cepat yang merupakan petunjuk tuhan yang masuk ke
dalam hati seseorang, seperti petunjuk yang diterima oleh ibu Nabi Musa
13
a.s. agar menghanyutkan putranya di sungai Nil. Demikian juga seperti
wahyu yang diterima oleh kaum Hawari (murid-murid Nabi Isa a.s.) atau
oleh kaum laki-laki lain. (Q.S. Al-Qasas :7, Q.S. Al-Maidah : 111, Q.S. Al-
Anbiya’ : 7)
2) Dari belakang hijab atau tirai yang meliputi : Pertama dengan ru’yah salihah
(mimpi baik), wahyu ini menurut pahamnya diterima seseorang dalam
keadaan setengah sadar, sebagaimana yang dialami oleh Rasulullah saw
sewaktu Mi’raj. Kedua, dengan kasyaf, seperti petunjuk Allah yang dialami
oleh Maryam sewaktu berdialog dengan malaikat Jibril. Ketiga dengan jalan
ilham
3) Mengutus malaikat Jibril. Wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril ini
dikenal dengan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Wahyu jenis inilah
yang telah terhenti. Adapun jenis wahyu lain tetap berlangsung kapan saja.

Dari paham kewahyuan diatas, lalu timbullah anggapan bahwa Mirza Ghulam
Ahmad diangkat Tuhan sebagai al-Masih atau al-Mahdi, melalui ilham yang
diterimanya, dipandang sebagai seorang Nabi oleh sekte Qodyan. Dan secara
implisit sekte lahore juga mengakuinya, hanya saja term yang mereka pakai
adalah nabi lughawi bukan nabi hakiki. Bagi kaum Qodyan, pengakuan mereka
terhadap kenabian Mirza tampak lebih tegas. Sebab ia diyakini sebagai duplikat
Nabi Isa a.s. yang berstatus nabi dan menerima wahyu.

c. Jihad
Masalah ketiga ini adalah salah satu model pembaruan yang dicanangkan oleh
al-Mahdi, yang dalam doktrinnya sangat berkaitan dengan missi kemahdiannya.
Sebagaimana diketahui, jihad dalam islam yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad saw dan para sahabatnya adalah berperang di jalan Allah untuk
menghadapi ancaman musuh-musuh islam sebagai suatu alternatif untuk
membela atau mempertahankan diri. Akan tetapi para Orientalis Barat
menyelewengkan pengertian jihad tersebut untuk merusak citra islam. Dua
macam jihad dalam islam dikenal dengan jihad al-asghar atau jihad kecil, yaitu
berperang melawan mush dan jihad al-akbar atau jihad paling besar yaitu
melawan hawa nafsu.
Selain dua macam jihad diatas menurut paham Mahdi Ahmadiyah, masih ada
satu lagi jihad yang diistilahkannya dengan jihad al-kabir atau jihad besar,

14
seperti tablig dan dakwah. Jihad besar dan jihad yang paling besar terus berjalan
sepanjang masa, sedangkan jihad kecil memiliki beberapa syarat dan
berlakunya secara insidental.
Ahmadiyah menekankan arti jihad yang menekankan jihad damai.
Mereka menolak jihad dalam arti perang fisik dan selalu menekankan para
propaganda damai dalam bentuk kegiatan dakwah ataupun melakukan
penerbitan-penerbitan. Menurut paham mereka, jihad dengan pedang berakhir
dengan datangnya Mahdi (Mirza Ghulam Ahmad). Akan tetapi visi mereka
tentang jihad bersifat universal, yaitu bahwa jihad harus dilakukan di tengah
umat Islam sendiri ataupun di kalangan orang-orang non-muslim.
2. Muhammadiyah
Pemikiran teologi Muhammadiyah yang bercorak tradisional lebih jelas terlihat
pada pemikiran teologinya tentang perbuatan manusia. Pada himpunan putusan
tarjih tahun 1967, anggaran dasar tahun 1914-1942, 1942-1950 dan 1987
Muhammadiyah berpendapat bahwa manusia tidak bebas sepenuhnya.
Muhammadiyah berkeyakinan bahwa perbuatan manusia tidak terlepas dari
ketentuan tuhan. Manusia tidak memiliki kebebasan dalam perbuatannya, terikat
dengan kehendak tuhan. Keyakinan ini parallel dengan pendapat Asy’ariyah.
Demikian juga halnya tentang sifat-sifat tuhan. Pendapat Muhammadiyah parallel
dengan pendapat Asy’ariyah, yaitu tuhan mempunyai sifat. Tentang kedudukan
akal dan wahyu, pandangan Muhammadiyah juga parallel dengan Asy’ariyah yaitu
kedudukan wahyu sangat signifikan sebagai informasi dalam masalah-masalah
ketuhanan. Kedudukan akal hanya untuk mengimplementasikan perintah wahyu
atau fungsi konfirmasi. Pandangan Muhammadiyah ini didasarkan pada Q.S. Yunus
ayat 36 tentang konsep iman, pemikiran Muhammadiyah juga senada dengan
pemikiran Asy’ariyah yaitu tasdiq yang disertai dengan amal shaleh.31
Anggaran dasar yang pertama ketika Muhammadiyah didirikan tidaklah
disebutkan bagaimana kepercayaan yang akan disebar luaskan oleh
Muhammadiyah, didalamnya hanya disebutkan tujuan organisasi sebagai tertuang
di dalam Statuen Moehammadijah 1912 pada artikel 2 adalah untuk menyebarkan
pengajaran agama Nabi Muhammad saw kepada penduduk Bumiputra di dalam

31
Candra Darmawan, Relevansi Pemikiran Teologi Islam Muhammadiyah dengan Pemikiran
Pembaharuannya, Medina-Te, Vol. 19, No. 2, 2018, hal. 21-22

15
Hindia Belanda dan memajukan hal Agama kepada anggota-anggotanya. Tidak
ditemukan penjelasan mengapa KH. Ahmad Dahlan menyebut pengajaran agama
Nabi Muhammad saw dalam statuen ini, dan bukan menyebarkan pengajaran agama
Islam. Tentu ada maksud penggunaan istilah tersebut mungkin menyesuaikan
dengan nama organisasi atau karena rancunya pengajaran agama Islam pada masa
itu. Dan kemungkinan pula karena keinginannya menyiarkan ajaran yang murni
berasal dari Nabi Muhammad saw seperti apa yang KH. Ahmad Dahlan serukan
agar untuk memimpin kehidupan seharusnya mempergunakan satu metode
kepemimpinan yaitu Al-Qur’an.32
Sepeninggalan KH. Ahmad Dahlan, muncul upaya penyusunan konsep ajaran
Islam yang akan dijadikan pedoman kehidupan beragama warga Muhammadiyah.
Salah satu masalah yang dipandang sangat penting adalah masalah rukun iman,
yang dibahas pada muktamar tarjih pertama tahun 1929. Muktamar ini memutuskan
beberapa masalah, diantaranya masalah rukun iman yang didalamnya terdapat
masalah iman kepada kitab-kitab. Al-Qur’an merupakan Kitab yang mendapat
perhatian utama dalam muktamar ini. Pembahasan terfokus pada bagaimana iman
kepada Al-Qur’an tersebut. Keputusan muktamar memperlihatkan betapa
Muhammadiyah sangat meyakini tekstual Al-Qur’an dan membatasi fungsi akal.33
Kelihatannya masalah dasar sumber keyakinan ini berkembang menjadi
polemik, sehingga pada tahun 1935 PB Muhammadiyah mengirimkan edaran
kepada cabang-cabang untuk mengirimkan masukan tentang masalah lima yaitu
masalah apa itu agama, dunia, ibadah, sabilillah dan qiyas. Masalah ini kemudian
dibahas dalam Tarjih khusus pada tanggal 29 Desember 1954 sampai tanggal 3
Januari 1955, yang memutuskan
a) Bahwa dasar mutlaq untuk berhukum dalam agama islam adalah Al-Qur’an dan
Al-Hadits
b) Bahwa dimana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat
dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan
dengan ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash shahih
di dalam Al-Qur’an atau Sunna shahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan

32
KH. Ahmad Dahlan dalam Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan
Muhammadiyah dakan Perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta : Bumi Aksara, 1990), hal. 223
33
PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih, hal. 15-16

16
jalan ijtihad dan istinbath dari pada nas-nash yang ada, melalui persamaan ‘illat
sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf.34

Dari keputusan Majelis Tarjih ini terlihat bahwa Muhammadiyah sangat meyakini
akan kebenaran nash sebagai sumber agama. Hal ini sangat jelas karena sebelum
keputusan diatas majelis menyebutkan bahwa “agama islam adalah apa yang
diturunkan Allah di dalam Al-Qur’an dan yang tersebut dalam sunnah yang shahih,
berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan
manusia di dunia dan akhirat”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah
menerima nash Al-Qur’an dan al-Hadits shahih sebagai sumber kepercayaan
agamanya. Sebagaimana disebutkan oleh Asjmuni Abdurrahman bahwa sumber
pokok Agama Islam menurut Muhammadiyah adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah
sebagai sumber pokok bagi kepercayaan mereka. Dengan menempatkan Al-Qur’an
dan Al-Sunnah sebagai sumber pokok, berarti pula penggunaan akal menjadi
sekunder, yaitu apabila ada masalah yang tidak ditemui teks nashnya.35

3. Nahdlatul Ulama
K.H. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama bagaikan dua sisi mata uang.
Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kyai Hasyim adalah NU dan NU adalah Kiai
Hasyim. Gambaran ini senada dengan eksistensi K.H. Ahmad Dahlan dan
Muhammadiyah. Kyai Dahlan adalah Muhammadiyah dan Muhammadiyah adalah
Kyai Dahlan. Berikut beberapa pemikiran teologi Aswaja Kyai Hasyim :36
a) Teologi
Tauhid adalah area yang penting dalam pemikiran Kyai Hasyim. Pemikirannya
tentang tauhid ia tuangkan dalam bukunya al-Risalah al-Tauhidiyah dan al-
Qalaid fi Bayan ma yajib min al-aqaid. Menurut kyai Hasyim, megutip
pendapat al-Qusyairi, ada tiga tingkatan manusia dalam memahami tauhid.
Tingkatan pertama adalah mengesakan Tuhan, inilah tingkatan paling rendah
dan biasanya dipahami oleh orang awam. Tingkatan kedua adalah meliputi
pengetahuan dan pengertian mengenai keesaan Tuhan. Level ini biasanya ada
pada ulama zahir. Sementara tingkatan yang ketiga adalah tumbuh dari perasaan

34
Ibid hal. 278
35
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi , (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2004), hal. 97-98
36
Muhaemin, Teologi Aswaja Nahdlatul ‘Ulama di Era Modern : Studi Atas Pemikiran Kyai Hasyim
Asy’ari, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1, No. 2, 2013, hal. 320

17
yang mendalam atas Yang Agung atau Al-Haq. Posisi ini biasanya dimiliki oleh
para Sufi yang telah sampai kepada pengalaman ma’rifah. Selain itu dengan
mengutip beberapa ulama, Kyai Hasyim mengatakan bahwa keimanan adalah
fondasi pada kepercayaan keesaan Tuhan. Dengan memiliki keimanan, maka
kepercayaan kepada keesaan Tuhan semakin kokoh. 37
Bagi Kyai Hasyim, islam tidak hanya berbicara tentang ketuhanan, tetapi Islam
juga berbicara tentang aspek-aspek sosial, politik dan ekonomi masyarakat
terbelakang. Pada titik ini, label Kyai tradisional pada Kyai Hasyim tentu saja
perlu dipertimbangkan dengan alasan teologinya sudah sangat modern. Modern
yang dimaksud bahwa apa yang menjadi pemahaman teologi Kyai Hasyim sama
dengan pemikir-pemikir modern Hassan Hanafi, Arkoun ataupun Fazlur
Rahmad. Islam menurut para pemikir-pemikir ini adalah multi aspek yang tidak
hanya membiacarakan aspek ibadah kepada Tuhan tetapi Islam mengcover
seluruh persoalan manusia baik itu aspek ekonomii, sosial dan seterusnya.38
Pemikiran teologi Kyai Hasyim , singkatnya sejalan dengan formulasi Asy’ari
dan al-Maturidi. Formulasi ini merupakan bagian dari sunisme yang berusaha
menjembatani antara kelompok yang meyakini atas kebebasan berkehendak
(qadiriyah) dan golongan yang menyerahkan dirinya pada Tuhan (jabariah atau
fatalism). Konsep ini kemudian dia jabarkan dalam Ahlu Sunnah wal Jama’ah
yang belakangan akrab dikenal dengan sunni. Menurut Kyai Asy’ari, ahlu
sunnah adalah mereka yang mengikuti salah satu dari empat madzab (Maliki,
Hanafi, Syafi’i, Hambali). Doktrin ini diterapkan dalam NU yang menyatakan
sebagai pengikut, penjaga dan penyebar faham Ahlu Sunnah wal Jama’ah. NU
menerima doktrin ini dengan sepenuh hati karena sesuai dengan tujuan-tujuan
NU, khususnya yang berkaitan dengan membangun ulama Indonesia yaitu
mengikuti salah satu dari empat madzab sunni dan menjaga kurikulum pesantren
agar sesuai dengan prinsip-prinsip ahlu sunnah wal jamaah yang berarti
mengikuti ajaran Nabi Muhammad dan kesepakatan ulama.39
b) Sufisme
Kyai hasyim mengecam tindakan pemujaan yang berlebihan kepada sufi-sufi
tertentu. Hal inilah yang menurutnya memundurkan sufisme yang sangat

37
Dikutip dari Latiful Khuluq, hal. 44
38
Ibid hal. 44
39
Fathuri Zen, NU Politik : Analisis Wacana Media, (Yogyakarta : LkiS, 2004), hal. 15

18
mengkultuskan guru atau murshidnya. Menurutnya, sikap yang perlu
ditanamkan adalah bagaimana bersikap moderat pada sufi, tidak dengan
menyanjung sampai kepada pengagungan guru. Sikap ini dia aplikasikan pada
dirinya dengan cara melarang santri-santrinya untuk menghindari tarekat-
tarekat sufi yang bisa mengaggu pelajaran mereka. Kyai Hasyim mengatakan
bahwa pemujaan yang berlebihan kepada Ali bin Abi Thalib bagi penganut
Syiah adalah contoh ajaran sufi yang tidak benar. Seorang sufi, kata kyai hasyim
tidak akan memamerkan dirinya sendiri meskipun dipaksa membakar badan
mereka. Siapapun yang berkeinginan menjadi populer tidak dapat disebut
sebagai anggota kelompok sufi manapun. Meskipun Kyai Hasyim melarang
praktek sufi tertentu, ia juga masih mengapresiasi ajaran-ajaran sufi yang lain
terutama pada aspek kesederhanaan dan ketaqwaan.40
c) Fiqih
Sebagaimana pemikir tradisional lainnya, Kyai Hasyim menganggap bahwa
mengikuti salah satu Madzab itu adalah sangat penting. Pendapat ini dia
tuangkan dalam bukunya Muqaddimat al-Qanun al-Asasi al-Nahdlatul ‘Ulama
(Pengantar terhadap aturan-aturan Dasar Nahdatul ‘Ulama). Kitab ini menurut
Martin adalah murni hasil ijtihad dari Kyai Hasyim. Dalam kitab ini, Kyai
Hasyim mencoba memurnikan hukum fiqih dari pendapat-pendapat yang
meremehkan argumentasi madzab-madzab hukum. Dia mengatakan bahwa
perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar selama masih dalam bingkai
syariah dan tidak keluar dari ajaran-ajaran Islam. Beliau mengatakan bahwa
mengikuti salah satu dari empat madzab fiqih sungguh akan membawa
kesejahteraan (maslahah) dan kebaikan yang tak terhitung. Sebab ajaran-ajaran
Islam tidak dapat dipahami kecuali dengan pemindahan dan pengambilan
hukum dengan cara tertentu (istimbat). Pemindahan tidak akan benar dan murni
kecuali dengan jalan setiap generasi memperoleh ajaran langsung dari generasi
sebelumnya.41

Kyai Hasyim mengatakan bahwa mengikuti selain dari salah satu madzab sunni
seperti Syiah Imamiyah dan Zaidiyah adalah sesat. Ia menganjurkan untuk
mengikuti madzab yang sudah menjadi jumhur ulama’ yang diwakili dari empat

40
Khuluq..., hal. 12
41
Ibid hal. 56

19
madzab. Dengan kata lain, Kyai Hasyim tidak menghendaki mengikuti madzab
dengan cara taqlid buta. Kehaiti-hatian itu menjadi penting dalam mengikuti
pendapat ulama’. Termasuk ketika ada kelompok yang mengklaim diri mampu
berijtihad padahal syarat-syarat mereka belum terpenuhi. Pendapat ini kemudian
menjadi pendapat NU bahwa dalam berijtihad tidaklah sederhana. Meskipun
demikian, NU menganjurkan para anggotanya untuk meningkatkan
pengetahuan agama agar mereka tidak terus berada pada level taqlid pada salah
satu madzab.42

42
Muhaemin, Teologi Aswaja..., hal. 322-323

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Harun Nasution menyerukan tentang pentingnya penggunaan akal di kehidupan.
Menurutnya tidak sedikit ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menstimulus manusia
dalam penggunaan akalnya. Dia menemukan dalam khazanah islam aliran kalam
Mu’tazilah yang sangat menghargai akal. Umat islam maju karena menggunakan akal
secara rasional di segala bidang sehingga memasuki era emas di peradabannya.
K.H. Hasyim Asy’ari menetapka Aswaja sebagai pijakan teologis umat islam.
Pemikiran beliau yang bercorak tradisional di pengaruhi oleh budaya pesantren serta
tokoh kalam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Pemikiran ini disebut
sebagai perpaduan dari beberapa sekte teologi.
Ahmad Dahlan pada pemikirannya berangkat dari kejummudan (stagnansi) umat
islam saat itu. Dari sinilah yang melatar belakangi Ahmad Dahlan melakukan
pembaharuan. Menurutnya upaya strategis menyelamatkan umat islam dari berfikir
stagnansi ke berfikir dinamis adalah melalui pendidikan.
Nurcholis Majid menerapkan teologi inklusif yang mana membuka jalan terhadap
kesadaran tentang adanya nilai kebenaran syariat yang berbeda. Pada konsep ajaran
tauhidnya, beliau mengarahkan untuk mengeksplorasi dasar-dasar pemahaman agama
islam, kristen dan yahudi yang mempertemukan sisi kesamaan antara ketiga agama
tersebut terutama konsep monotheisme ibrahim.
Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahmad. Mirza mengaku mendaatkan
wahyu dari tuhan. Pasca wafatnya, Ahmadiyah terpecah menjadi dua kubu yaitu
Ahmadiyah Qodyani dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qodyani memandang Mirza
sebagai Nabi. Sedangkan Ahmadiyah Lahore menganggap Mirza sebagai mujaddid
(pembaharu) saja.
Muhammadiyah bercorak tradisional dimana pemikirannya terlihat jelas pada
pemikiran teologinya tentang perbuatan manusia. Muhammadiyah sangat meyakini
tekstual Al-Qur’an dan membatasi fungsi akal, manusia tidak dapat berkehendak
sepenuhnya, perbuatan manusia tidak terlepas dari perbuatan tuhan.
Nahdlatul Ulama mengajarkan para anggotanya untuk meningkatkan pengetahuan
agama agar mereka tidak terus berada pada level taqlid pada salah satu madzab.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asjmuni. 2004. Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan


Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Darmawan, Candra. Relevansi Pemikiran Teologi Islam Muhammadiyah dengan
Pemikiran Pembaharuannya, Medina-Te, Vol. 19, No. 2, 2018
Esposito, John L.. 2001. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 1. Bandung :
Mizan, 2001
Ibrahim, Ajaran Islam dalam Pandangan Harun Nasution, Jurnal Aqidah-Ta, Vol. 5,
No. 2, 2019
KH. Ahmad Dahlan dalam Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan
dan Muhammadiyah dakan Perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta : Bumi Aksara, 1990)
Kurniati, Yunita. Aspek Teologi menurut K.H. Hasyim Asy’ari : Antara Kepercayaan
dan Ketetapan, Jurnal of Islam and Muslim Society, Vol. 4, No. 2, 2022
Lubis, M. Ridwan. Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia, Jurnal
Multikultural dan Multireligius, Vol. 14, No. 2, 2015
M. Sukardjo dan Ukim Qomaruddin. 2009. Landasan Pendidikan Konsep dan
Aplikasinya. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Madjid, Nurcholis. 2013. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung : Mizan
Malik, Ridwan A. Teologi Ahmadiyah Dulu, Sekarang dan Akan Datang di Indonesia,
Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 2, 2013
Muhaemin, Teologi Aswaja Nahdlatul ‘Ulama di Era Modern : Studi Atas Pemikiran
Kyai Hasyim Asy’ari, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1, No. 2, 2013
Mulkan, Abdul Munir. 1990. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah.
Jakarta : Bumi Aksara
PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih9
Rachman, Budhy Munawar. 2014. Titik Temu Agama-Agama, Analisis AtaS. Jakarta
: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarka, 2014
Rachman, Budhy Munawwar. 1996. Membaca Nurcholis Madjid. Jakarta :
Paramadina
Rofiq, Ahmad Choirul. Argumentasi Hasyim Asy’ari dalam Penetapan Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah sebagai Teologi Nahdlatul Ulama’, Jurnal Kontemplasi, Vol,. 5, No. 1, 2017
Sarin, Wenita. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah

22
Yogaswara, Ahmad. 2008. Heboh-Ahmadiyah. Bandung : Narasi
Zen, Fathuri. 2004. NU Politik : Analisis Wacana Media. Yogyakarta : LkiS

23

Anda mungkin juga menyukai