Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERKEMBANGAN TASAWUF DI KALIMANTAN SELATAN


Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Sejarah Perkembangan Tasawuf
Dosen Pengampu: Pak Bahron Ansori,M.Ag.

Disusun oleh:

Alya Meilusi Wardhani (23040460042


Muhammad Syahrul Hafidz (23040460043)
Muhammad Fauzan Dirgantara (23040460039)

PROGAM STUDI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNUVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
2023/1444 H
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan
puja dan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Sejarah Perkembangan tasawuf
tentang “Perkembangan tasawuf di Kalimantan selatan”.
Adapun makalah “Sejarah Perkembangan Tasawuf" telah kami usahakan semaksimal mungkin
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalahini.
Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam membuat makalah ini. Dan tidak lepas dari semua itu tentunya kami menyadari
sepenuhnya bahwa kami masih banyak sekali kesalahan dan kekurangan baik dari segi penyusun
bahasannya maupun dari segi lainnya.

Semarang, 2 November 2023

Kelompok 04

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii

BAB I PEMBUKAAN......................................................................................................1

A.Latar Belakang................................................................................................................1

B.Rumusan Masalah...........................................................................................................1

C.Tujuan.............................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................2

A.Muhammad Nafis al -Banjari.........................................................................................2

B. Syekh Abdul Hamid (Datu Abulung).............................................................................3

1.Perjalanan Datu Abulung Menuntut Ilmu........................................................................5

BAB III PENUTUP..........................................................................................................7

A.Kesimpulan.....................................................................................................................7

B.Saran...............................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................8

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
berbeda dengan wilayah lain di Nusantara, Kalimantan Selatan agak belakangan menerima
Islam, yaitu pada abad ke-16 M. Islam datang di Kalimantan Selatan adalah sejalan dengan
perkembangan tasawuf itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam teks Hikayat Banjar yang
memiliki peran sebagai salah sebuah sumber historiografi Banjar. Hikayat tersebut
menceritakan pengislaman Pangeran Samudera yang diberi gelar Sultan Suriansyah yang
menandakan masuknya Islam secara resmi di Kalimantan Selatan.Kajian ilmu tasawuf di
Banjar sebenarnya berawal dari awal abad ke-17 M. Ahmad Syamsuddin al-Banjari adalah
tokoh Banjar berpengaruh. Karya monumentalnya adalah kitab Asal Kejadian Nur
Muhammad; 377 yang banyak memberikan pengaruh kepada para pengkaji tasawuf
berikutnya. lni menggambarkan perkembangan ilmu tasawuf di Kalimantan Selatan telah
mengalanii dinamika tersendiri.Perkembangan tasawuf di Kalimantan Selatan terus
mengalami kemajuan , dari waktu ke waktu, tepatnya pada abad ke-18 M. dengan munculnya
para ulama dalam pelbagai bidang, khususnya tasawuf. Kebanyakan dari mereka menuntut
ilmu agama di Timur Tengah clan memberi banyak sumbangan dalam perkembangan Islam
di sana. Mereka adalah Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, Syeikh Muhammad Arsyad al-
Banjari clan Syeikh Abdul Hamid Abulung.378

B, Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan Tasawuf di Kalimantan Selatan?


2. Siapakah tokoh – tokoh pada perkembangan Tasawuf di Kalimantan?
3. Pada Tahun berapa Tasawuf di Kalimantan mulai berkembang?

C.Tujuan Penulisan

1, Untuk mengetahui bagaimana perkembangan Tasawuf di Nusantara salah satunya di


Kalimantan Selatan.

iv
2.Untuk mengetahui tokoh – tokoh yang berperan dalam pengembangan Tasawuf di Kalimantan
Selatan,

BAB II

PEMBAHASAN

A. Muhammad Nafis al-Banjârî


Nama lengkapnya adalah Muhammad Nafis ibn Idris ibn Husein al-Banjari. Beliau adalah
seorang ulama besar dan ahli tasawuf yang terkenal, dilahirkan di Martapura, Kalimantan
Selatan, pada 1148 H/1735 M, dan wafat pada 1812 M. Muhammad Nafis al-Banjârî berasal dari
keluarga Kesultanan Banjar, yang tercatat telah memainkan peran sangat penting dalam
mengembangkan wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar. Masa kecil Muhammad Nafis al-Banjari
tidak begitu banyak diketahui oleh para sejarawan. Kendati demikian, banyak yang menyebutkan
bahwa sejak mudanya dia banyak belajar pengetahuan keagamaan di Kota Makkah.

Diperkirakan, ia pergi ke Makkah sesudah mendapat pendidikan tingkat dasar di kota


kelahirannya. Sebagaimana halnya ulama Jawi (Indonesia) abad ke-17 dan ke-18, ia belajar
kepada para ulama terkenal, baik yang menetap maupun yang sewaktu- waktu berziarah dan
mengajar di Haramain (Makkah dan Madinah) dalam berbagai cabang ilmu keislaman, terutama
tafsir, fiqih, hadis, ilmu kalam, dan tasawuf. Di antara guru Muhammad Nafis al-Banjârî dalam
bidang tasawuf di Makkah adalah 'Abd. Allâh ibn Hijâzî al-Syarqawi al-Azhârî (1150-1227
H/1737-1812 M), ulama tasawuf yang kemudian menduduki jabatan sebagai "Syaikh al-Islâm"
dan "Syaikh al-Azhar" sejak 1207 H/1794 M, di samping sebagai khalifah Tarekat Khalwatiyah
di Kairo, Mesir. Selain itu, Muhammad Nafis al-Banjari juga belajar tasawuf kepada Syaikh
Siddiq ibn 'Umar Khân (murid Syaikh ammad ibn 'Abd al-Karim Sammân dan 'Abd. al-Samad.
al-Palimbani), Muhammad ibn 'Abd al-Karim al-Madani, 'Abd al-Rahman ibn 'Abd al-'Aziz al-
Maghribi, dan Muhammad ibn Ahmad al-Jauhari.

Dalam mempelajari tasawuf, Muhammad Nafis al-Ban- jâri berhasil mencapai gelar "Syaikh al-
Mursyid", gelar yang menunjukkan bahwa ia diperkenankan mengajarkan dan menyebarkan
ilmu tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain. Setelah itu, ia kembali ke kampung

v
halamannya, Marta- pura, dan mulai menyebarkan ajarannya kepada masyarakat
Kalimantan Selatan pada umumnya. Kendatipun mendapat gelar yang tinggi di kalangan
sufi di zamannya, tetapi Muhammad Nafis al-Banjari penam- pilan hidupnya sangat
sederhana dan tidak suka meninggikan diri. Ia bahkan mengaku sebagai seorang fakir yang
hina dan hamba Allah yang paling miskin. Dalam kitab Durr al-Nafis, dia pernah
mengatakan, "Yang menghimpun risalah ini adalah hamba Allah yang sangat fakir dan hina,
merasa banyak dosa, serta yang mengharap kepada Tuhannya yang amat kuasa.

" Di Kalimantan Selatan ia banyak melakukan kegiatan dakwah ke daerah-daerah pedalaman.


Oleh karena itu, ia terkenal sebagai seorang guru pengembara yang memainkan peranan penting
dalam pengembangan wilayah Kesultanan Banjar. Sebagai hasil kegiatan dakwahnya itu, wilayah
Kelua (sekarang termasuk dalam wilayah Kabupaten Tabalong) di abad ke-19 telah menjadi
pusat penyebaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan. Sebagai seorang ulama besar, ia
mendapatkan gelar kehormatan sebagai Maulanâ al-'Allamah al-Fakhamah al-Mursyid ilâ Târiq
al-Salamah (yang mulia, yang berilmu tinggi, yang terhormat, pembimbing ke
jalan keselamatan).

B. Syekh Abdul Hamid (Datu Abulung)

Nama asli Datu Abulung adalah Syekh Abdul Hamid, menurut Syafruddin berdasarkan
informasi dari Zaini, yaitu seorang tokoh masyarakat yang tinggal di Martapura tepatnya di
Sungai Batang, ia menyebutkan bahwa Datu Abulung dilahirkan pada tahun 1148 Hijriyah atau
pada tahun 1735 Masehi di negeri Yaman dan wafat pada 12 Dzulhijjah 1203 Hijriyah atau
bertepatan dengan tahun1788 Masehi, pada usia yang ke 53 tahun. Hingga kini di Kalimantan
Selatan pada umumnya, selalu diadakan upacara haul setiap tahunnya untuk mengingat hari
wafatnya Datu Abulung.

42 Ada beberapa panggilan untuk na ma Datu Abulung, yakni SyekhAbdul Hamid, Haji
Abdul Hamid, Datu Habulung, Datu Ambulung, dan yang paling populer adalah Datu Abulung.
Banyaknya tulisan masyarakat yang mempopulerkan Datu Abulung menjadi pembuktian bahwa
di kalangan masyarakat, dia dikenal dengan julukan tersebut, serta terlihat pada papan tanda di
lokasi makam Datu Abulung.43 Gelar Datu yang dimiliki oleh Datu Abulung ini mengisyaratkan

vi
bahwa beliau termasuk sosok yang dihormati dan disegani disebakan dia, memiliki kelebihan
dan keistimewaan yang setara dengan ketua adat44 atau tokoh Banjar yang memiliki ilmu-ilmu
mistik dan gaib yang tinggi sehingga kedudukannya dapat disejajarkan dengan kepala adat. 45
Begitu juga gelar Syekh, yang menunjukkan beliau memiliki ilmu yang tinggi, banyak muridnya,
dan memiliki jabatan seperti khalifah, mursyid, atau sang pengganti dalam kode etik tasawuf.

Sedangkan pada disiplin ilmu keislaman, gelar Syekh biasanya disematkan kepada seseorang
yang telah menimba pengetahuan berupa ilmu agama di negeri Mekah atau Madinah. Menurut
Azyumardi, Datu Abulung termasuk dalam tokoh yang terlibat dalam ikatan para tokoh agama
Nusantara dan Haramain pada abad ke 18.46 Dengan demikian predikat Syekh yang melekat
pada nama beliau mengisyaratkan ketinggian dan kemapanan ilmu beliau sebagai seorang ulama.
Sebagai seorang Syekh tentu tidak diragukan ilmu dan akhlaknya di mata masyarakat. Syekh
juga mengimplisitkan posisi sangat penting dalam dunia tasawuf sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya.

Datu Abulung diperkirakan hidup pada masa Syekh Arsyad al-Banjari (1710-1812 M). menurut
Humaidi, Datu Abulung lebih dahulu berperan daripada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
dalam tatanan keberagamaan dalam masyarakat Banjar. Sedangkan menurut Aswadie, Abulung
adalah seorang ulama sufi yang bertanggung jawab atas pengaruh paham wujudiyah dalam
sistem keislaman masyarakat Islam Banjar pada masa tersebut.47 Penamaan “Abulung”
seseungguhnya mengacu kepada nama sebuah kampung yang bertetangga dengan kampung
Dalam Pagar. Pada akhirnya disematkan kepada Syekh Abdul Hamid, sehingga beliau terkenal
dengan nama Syekh Abdul Hamid Abulung atau Datu Abulung.

Makamnya dibangun dengan cukup megah hingga sekarang yaitu berada di kampung
Abulung, dan masih banyak masyarakat Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur yang datang dari
berbagai pelosok untuk menziarahi makam Syekh Abdul Hamid Abulung. Bahkan ada beberapa
orang dari masyarakat menjadikan makam Syekh Datu Abulung sebagai tempat “balampah”
(bersemedi atau bertapa) untuk mencari ilmu “laduni”.Usia Datu Abulung diperkirakan lebih tua
daripada Datu Kalampayan atau Syekh Arsyad al-Banjari. Ini mengindikasikan bahwa Dia
berperan lebih dulu dalam kerajaan Banjar. Ada kemungkinan dia menjadi penasihat raja kala itu,
mengingat paham falsafi ilmu tasawuf yang mempunyai peran menonjol sebelum kedatangan
Muhammad Arsyad dari aktivitas menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah. Sejak munculnya

vii
kerajaan Banjar mulai dari pemerintahan Sultan Suriansyah (1527-1545) sampai awal
pemerintahan Tahmidullah II (1761-1801), paham tasawuf.

1.Perjalanan Datu Abulung Menuntut Ilmu

Perjalanan Datu Abulung dalam Menuntut Ilmu Pada masa pemerintahan Sultan
Tahlilullah bin Sultan Saidullah, sekitar tahun 1700-1745, bersamaan dengan semaraknya
perkembangan umat Islam di Banjar dengan banyaknya orang yang menuntut ilmu namun di sisi
lain jumlah guru kurang memadai, maka dikirimlah dua anak negeri yakni Muhammad Arsyad
dan Abdul Hamid yang nantinya dikenal dengan Syekh Arsyad al-Banjari dan Syekh Abdul
Hamid untuk menuntut ilmu ke tanah Haramain dengan menaiki kapal laut.50 Setibanya di tanah
Haram, Abdul Hamid mengembara untuk mencari jawaban dari hal-hal yang mengganjal di
pikirannya yakni tentang Allah: “Siapakah Tuhan Allah itu?”, dimanakah Tuhan Allah itu?” dan
“Apa bedanya manusia dengan Tuhan Allah?”. Abdul Hamid tidak menetap di satu tempat
melainkan terus berjalan dan mencari jawaban tentang Allah pada setiap orang yang ia temui.
Dan tak terhitung lagi siapa saja yang ia temui, sehingga tidak diketahui siapa saja yang menjadi
guru dari Abdul Hamid ini. Namun pada satu waktu, ada orang tua yang ditemui oleh Abdul
Hamid dan terjadilah dialog antara keduanya tentang pencarian Abdul Hamid terhadap Tuhan
Allah. Lalu orang tua tersebut memerintahkan Abdul Hamid untuk menutup matanya dan
membuka mulutnya, kemudian orang tua tersebut membacakan sesuatu lalu meludahi mulut
Abdul Hamid, dan berkata: “Telanlah ludahku dan tutuplah mulutmu.

” Kemudian “Bukalah kedua matamu dan lihatlah ke langit”, Abdul Hamid pun
melakukan apa yang diperintahkan oleh orang tua tersebut. Dan ketika memandang ke arah
langit, ternyata langit terbuka lebar dan memancarkan cahaya yang sangat terang yang tidak
pernah ia lihat sebelumnya, dan saat ia hendak melihat orang tua tadi ternyata orang tua tersebut
sudah tidak ada, dan yang lebih membuat Abdul Hamid terkejut yakni, Abdul Hamid yang
sebelumnya berada di tanah Haram tiba-tiba sudah berada di tanah Banjar.” Orang tua yang
ditemui oleh Abdul Hamid ternyata adalah Nabi Khidr AS.51Salah satu karya fenomenal Datu
Abulung tentang tasawuf falsafi yang dianutnya ialah Risalah Tasawuf. Karya tersebut adalah
satu-satunya yang dianggap sebagai peninggalan Datu Abulung yang terdiri dari dua bagian. Jilid
pertama berisi 88 halaman, sedangkan jilid kedua berisi 37 halaman. Kitab Risalah Tasawuf itu

viii
dimulai dengan pasal pendahuluan tentang ketuhanan. Kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan tentang perhimpunan martabat, martabat hamba, sifat tuhan, zikir, arti dan makna
al-hamdu pada diri manusia, hakikat, permulaan dan kesudahan manusia, ilmu yang putus,
kenyataan, ruku yang ketigabelas, kejadian dunia, takbiratul ihram dan al-fatihah, tanda manusia
berpulang ke rahmatullah,kandungan nama Allah, roh, terpancarnya zat, alif adalam diri mnusia
dan dalam ghaib Allah Swt, Nur Muhammad, hati, risalat israru as-salat, mukarranatul niat
tabiratul ihram, qadha al-fawait, diri, bilangan asal kejadian manusia, niat mengenal diri,
kejadian diri manusia, daerah rasm segala hurf, dan sinar al-haq.Syekh Abulung pada saat masih
hidup telah memberikan pengabdian untuk mengajarkan agama Islam khususnya dalam ilmu
tasawuf dengan tekun dan gigih di daerah Kesultanan.

Bahkan ajaran Islam sufistik yang disampaikan beliau mendapat sambutan hangat oleh
kerajaan Banjar dan masyarakatnya. Menurut informasi terdapat tiga tempat pengajian tasawuf
falsafi oleh Syekh Datu Abulung yaitu Sungai Batang Martapura, Danau Panggang dan Haur
Gading Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara.52 Dalam penuturan biografinya, murid-murid
yang dibimbing oleh Syekh Abulung memiliki kepandaian dan kesetiaan terhadap ajaran tasawuf
yang dianut dan diajarkannya. Setelah terjadi diskusi panjang tentang ketuhanan, Syekh Abdul
Hamid Abulung dibawa menuju istana, sesuai dengan perintah dari Sultan. Dari dialog mengenai
ketuhanan yang pelik antara utusan Sultan dan Syekh Abdul Hamid Abulung, timbullah masalah
yang pelik. Sultanpun meminta pendapat para ulama. Setelah mendengarkan beberapa kesaksian
dan menelaah beberapa kitab yang otritatif, akhirnya tokoh -tokoh agama.

Termasuk Syekh Arsyad al-Banjari menetapkan bahwa yang disampaikan oleh Datu
Abulung memiliki potensi untuk menyesatkan akidah masyarakat pada umumnya, serta
berpotensi untuk mencenderungkan masyarakat kepada perilaku syirik dan merusak tata
kehidupan beragama.53Para ulama memyatakan bahwa salah satu tanggung jawab seorang
pemimpin adalah untuk menyelamatkan keyakinan rakyat yang dipimpinnya. Berdasarkan
landasan tanggung jawab tersebut, maka mereka menyarankan Sultan untuk memberikan
keputusan dengan seadil-adilnya. Akhirnya hukuman mati yang diputuskan oleh Sulthan kepada
Syekh Abdul Hamid Abulung. Diutuslah dua utusan kerajaan untuk menjemput Syekh Datu
Abulung. Setelah dialog tantang ketuhanan yang pelik, akhirnya Syekh Abdul Hamid bersedia
menyerahkan diri ke istana kerajaan.

ix
Setelah tiba di istana, Sultan memerintahkan kepada para punggawanya untuk membuat
sebuah kerangkeng besi yang sangat berat, ukuran kurungan berterali besi tersebut dibuat
seukuran dengan tubuh manusia dewasa, dan ukurannya hanya cukup untuk berdiri.54 Kemudian
bersama Syekh Abdul Hamid, kerangkeng tadi ditenggelamkan hingga dasar ungai Lok Buntar,
yang berlokasi sekitar 15 kilometer dari makamnya yang sekarang. Maka ditenggelamkanlah
Syekh Datu ke dasar ungai dengan kurungan besi yang sangat besar hingga ke dasar ungai.
Syekh Abdul Hamid berada dalam kerangkeng tersebut selama beberapa hari. Apabila ungai
waktu sholat, maka Syekh Abdul Hamid Abulung berdiri di atas kerangkeng yang terapung dan
menunaikan sholat di atasnya. Setelah selesai sholat, Syekh Abdul Hamid Abulung ungai ke
dalam kerangkeng tersebut dan kerangkeng ungai tenggelam ke dasar ungai.

BAB III

KESIMPULAN

ajaran tasawuf disebarkan oleh Syekh Abdul Hamid Abulung dengan corak falsafinya. Bahkan
salah seorang penyiar agama Islam dari Demak yaitu Khatib Dayyan juga merupakan salah
seorang sufi sehingga masyarakat Banjar kala itu yang kebanyakannya beragama Hindu bersedia
menerima ajaran Islam yang masuk dengan kelapangan hati, disebabkan terdapat beberapa
kesamaan dari ajaran tasawuf dengan apa yang dianut oleh kepercayaan masyarakat sebelumnya
seperti praktik ‘uzlah dengan bersemedi. Pada akhirnya sekitar abad ke-18 datang tokoh sufi
yang bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan corak tasawuf sunninya. Ia juga
sering disebut dengan Datu Kalampayan, ajaran tasawuf disebarkan oleh Syekh Abdul Hamid
Abulung dengan corak falsafinya. Bahkan salah seorang penyiar agama Islam dari Demak yaitu
Khatib Dayyan juga merupakan salah seorang sufi sehingga masyarakat Banjar kala itu yang
kebanyakannya beragama Hindu bersedia menerima ajaran Islam yang masuk dengan
kelapangan hati, disebabkan terdapat beberapa kesamaan dari ajaran tasawuf dengan apa yang
dianut oleh kepercayaan masyarakat sebelumnya seperti praktik ‘uzlah dengan bersemedi. Pada
akhirnya sekitar abad ke-18 datang tokoh sufi yang bernama Syekh Muhammad nafis al-Banjari
dengan corak tasawuf sunninya.

x
SARAN

1, Ketika kita berdkawah, hendaklah menggunakan cara yang baik dan tidak tidak
mengganggu budaya yang sudah ada agara dakwah kita bisa di terima
2. Hiduplah dengan sederhana seperti yang di contohkan oleh para sufi – sufi terdahulu,

DAFTAR PUSTAKA

Judul buku Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara Dr. M.Solihin,M. Ag.Dewan Pakar LSM
Visi Indonesia Peduli, pembina Yayasan LeKaS (Lembaga Kajian Spiritual), dewan pakar
Yayasan Kasidah Cinta (yayasan yang bergerak dalam bidang penelitian dan pengkajian
tasawuf), Pembina Rohani PDAM Bekasi, Dewan Pakar KADIN Bekasi, Anggota Pembina
Rohani di Sesko TNI, Pembina Rohani di STPDN, dan koordinator Majelis Pembina Kapemasi,
dan lain-lain. Penulis beralamat di Bumi Langgeng Cinunuk, Blok 27, Nomor 24, Cileunyi,
Bandung, 40393, Telp. 022-7811914, HP. 08122033613.

Nur Kolis, “Nur Muhammad Dalam Pemikiran Sufistik Datu Abulung Di Kalimantan

Selatan,” Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman 11, no. 2 (2012): h. 176.

43 Nur Kolis, “Nur Muhammad dalam Pemikiran Sufistik Datu Abulung di Kalimantan

Selatan…, h. 176.

xi
xii

Anda mungkin juga menyukai