Anda di halaman 1dari 18

“STRATEGI KULTURAL PARA ULAMA/PENGUASA DALAM

PENYEBARAN ISLAM PADA MASYARAKAT KALIMANTAN”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam dan Budaya Lokal

Dosen Pengampu
Emilya Ulfah, M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 7

M. Syauqi Amin : 20.12.5239


Sadamaifannor : 20.12.5296
Siti Napisah : 20.12.5299
Zainal Hakim : 20.12.5305

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
MARTAPURA
2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT yang telah


menganugerahkan kepada kita umur hingga sampai saat ini. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW serta
para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman tak lupa kami ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing dalam mata kuliah Kuliah Islam
dan Budaya Lokal Ibu Emilya Ulfah, M.Pd. semoga beliau selalu dalam lindungan
ALLAH SWT dan selalau di beri kesehatan serta kemampuan untuk terus
membimbing kami.
Kami menyadari dalam makalah ini tentu masih banyak terdapat berbagai
kekurangan yang tak lain di karenakan kekurangan kami sendiri. Maka dari itu, kami
mengharapkan kepada pembaca agar kiranya berkenan memberi keritik dan saran
yang membangun untuk kami.
Semoga dengan makalah kami ini dapat menambah pengetahuan serta wawasan
kita dalam mengetahui dan memahami tentang tema yang kami beri judul
“STRATEGI KULTURAL PARA ULAMA/PENGUASA DALAM
PENYEBARAN ISLAM PADA MASYARAKAT KALIMANTAN”. Dan
akhirnya kami berharap semoga makalah yang ringkas ini ada manfaatnya, baik bagi
kami maupun bagi yang membaca sekalian amin ya rabbal alamin.

Martapura, 15 November 2023

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ i

DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN

A. Tokoh-tokoh Penyebaran Islam ........................................................ 2


B. Strategi Penyebaran Islam Kalimantan ............................................. 7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................... 14
B. Saran ................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Agama Islam mulai masuk ke Kalimantan pada abad ke- 14. Akan
tetapi Islam mulai berkembang setelah para pejuang Islam dari kesultanan
Demak datang ke Banjarmasin. Pasukan Demak diminta bantuan oleh
Pangeran Samudera untuk memadamkan perselisihan di Daha. Setelah
memperoleh kemenangan, Pangeran Samudra pun memeluk Islam dan
diangkat sebagai Sultan pertama di kerajaan Banjar. Pangeran Samudra
menetapkan Islam sebagai Agama resmi Negara.
Namun demikian, Agama Islam berkembang luas. Agama Islam
tersebar luas di Kalimantan, khususnya di Kerajaan Banjar, setelah dua orang
ulama terkemuka berdakwah di Kalimantan Selatan. Ulama tersebut ialah
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis. Kedua
ulama ini sangat berpengaruh dan merupakan tokoh penting dalam
penyebaran Islam di Kalimantan. Termasuk pengaruh tentu terdapat strategi
dalam penyebarannya dimasyarakat Kalimantan yang sebelumnya belum
mengenal islam.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja tokoh penyebaran Islam di Kalimantan?
2. Bagaimana strategi kultural Ulama Banjar dalam menyebarkan Islam di
Kalimantan?
C. Tujuan Penulisan
1. Ingin Mengetahui tokoh penyebaran Islam di Kalimantan?
2. Ingin Mengetahui strategi kultural Ulama Banjar dalam menyebarkan
Islam di Kalimantan?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tokoh-tokoh Penyebaran Islam Di Kalimantan
1. Syekh Muhammad Arsyad Al- Banjari
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari lahir di Desa Lok Gabang, 19
Maret 1710 M. wafat sejak 1812 M silam. Ia meninggalkan banyak jejak
dalam bentuk karya tulis dibidang keagamaan. Beliau adalah pelopor
pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Ia sempat menuntut Ilmu-
ilmu agama Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung halaman, hal
pertama yang dikerjakannya adalah membuka tempat pengajian yang bernama
Dalam Pagar. Disanalah diselenggarakan sebuah model pendidikan yang
mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip
dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ini
merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di
Kalimantan pada masa itu.
Dengan kebijakan Syekh Al-Banjari, perlahan-lahan hukum dan ajaran
Islam masuk ke Istana Banjar. Hukum Islam dijadikan hukum pemerintahan
sebagai sumber pokok dalam membuat undang-undang dan peraturan yang
berdasarkan Al-qur’an dan Hadist berdasarkan pemahaman Ahlus Sunnah wal
Jamaah dengan madzhab Syafi’i. Di masyarakat Banjar ajaran fiqih madzab
syafi’i sangat berpengaruh sehingga menjadi hukum adat rakyat.
Syekh Muhammad Arsyad menyadari bahwa pelaksanaan hukum
Islam secara nyata tidak mungkin tanpa adanya lembaga hukum yang
mengatur dan melaksanakannya. Oleh karena itu ia mengusulkan kepada
Sultan untuk membentuk Mahkamah Syari’ah dan disetujui Sultan, yakni
suatu lembaga pengadilan agama yang dipimpin seorang mufti sebagai ketua
hakim tertinggi, pengawas pengadilan umum. Lembaga ini bertugas
mengurusi masalah-masalah keagamaan yang timbul dalam masyarakat agar
senantiasa terbimbing dengan kebenaran hukum Islam. Mufti sebagai ketua
mahkamah syariah didampingi oleh seorang Qadhi yang bertugas sebagai
pelaksana hukum dan mengatur jalannya pengadilan. Dengan kepastian
hukum Islam yang diterapkan dalam Kerajaan, segala urusan dalam
masyarakat dapat diselesaikan dalam pengadilan agama yang mendapat
legitimasi dari Kerajaan.
Dalam menyampaikan Ilmunya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
punya tiga metode yaitu: Pertama, Bil hal yakni keteladanan yang
direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik dan tutur kata sehari-hari yang
disaksikan langsung oleh santrinya. Kedua, Bil lisan yakni dengan

2
mengadakan pengajaran dan pegajian yang bisa disaksikan diikuti siapa saja.
Ketiga, Bil kitabah yakni menggunakan bakatnya dibidang tulis menulis.
Di dalam hal metode dakwah bilkitabah, sengaja Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari terapkan agar dapat diterima misi dakwahnya ke pelosok
dan merupakan pegangan di kalangan masyarakat. Tahun kedua setelah
kedatangan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Mekkah, yakni tahun
1188 H atau 1774 M. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari mulai aktif
menulis kitab-kitab yang mencakup semua ajaran Islam dalam bahasa
Melayu. Menurut H. Irsyad Zein dalam bukunya Maulana Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari, karya-karya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ada 11
macam, yaitu:
a. Sabilal Muhtadin
b. Kitab Faraidh
c. Kitab Falak
d. Kitab Nikah
e. Luqthotul ‘Ajlan
f. Fatawa Sulaiman Kurdi
g. Kitab Ushuluddin
h. Tuhfaturrogibin
i. Alqaulul Mukhtasor Fi ‘Alamatil Mahdi Almuntazor
j. Kanzul Ma’rifah
k. Mushaf Alqur’an Alkarim
Menurut H. M. Shogir Abdulloh, bahwa Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari mempunyai 16 karya tulis, ia beranggapan bahwa Hasyiah Fathul
Wahhab, Fathurrahman, Arkaanu Ta’limis Sibyan, Bulughol Marom, Fi
bayani Qodho wal Qodar wal Waba, Tuhfatul Ahbab dan Bidayatul Mubtadi
wa ‘Umdatul Auladi, juga adalah termasuk karya dari Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari. 1

2. Syekh Muhammad Nafis


Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein. Lahir sekitar tahun
1148 H atau 1735 M di Martapura. Ia berasal dari keluarga bangsawan Banjar
yang garis silsilah dan keturunannya bersambung hingga Sultan Suriansyah.
Sejak kecil beliau memang sudah menunjukkan bakat dan kecerdasan yang
tinggi disbanding dengan teman-teman sebayanya. Bakat dan kecerdasan yang
dimilikinya ini membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga pada akhirnya

1
Muhammad Shogir Abdulloh, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal
Muhtadin (Kuala Lumpur: Khazanah Fathiniah, 1990), h. 57.

3
Muhammad Nafis pun dikirim ke Mekkah untuk belajar dan mendalami Ilmu-
ilmu agama. Salah satu dari Ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan
ia popular adalah bidang tasawuf.
Syekh Muhammad Nafis baru mengajarkan segala ilmu yang dimiliki
setelah mendapat pengakuan dan izin terlebih dahulu dari para guru beliau.
Setelah beliau dianggap sebagaiseorang syekh mursyid, barulah ia mengajak
manusia untuk bertauhid secara bertahap sesuai tingkat kemampuan yang
dimiliki. Beliau menyusun metode mentauhidkan af’al, sifat dan asma,
sehingga dapat mentauhidkan Zat Allah menurut jalan yang biasa dilakukan
para ulama sufi yang arif.
Diduga karena Syekh Muhammad Nafis tidak suka dengan kekuasaan,
beliau memilih meninggalkan Banjar dan pindah ke Pakulat, Kelua. Dan
dugaan lainnya atas kepindahannya ke Kelua, antara lain karena
perkembangan Islam di daerah Martapura dan Banjar sudah ditangani oleh
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Sedangkan Kelua adalah daerah
pedalaman yang masih belum terjangkau oleh dakwah ulama Banjar.
Berkat kegigihan Syekh Muhammad Nafis dalam berdakwah, daerah
Kelua menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan
Selatan. Bahkan juga menjadi daerah yang turut melahirkan para pejuang anti
Belanda. Ciri khas ajaran tasawuf beliau adalah semangat aktivisme yang
kuat, bukan sikap pasrah. Menurut beliau, kaum muslimin harus aktif
berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik, bukan hanya berdiam diri dan
pasrah pada nasib. Oleh sebab itulah ajaran tasawuf beliau turut
membangkitkan semangat masyarakat Banjar untuk berjuang agar lepas dari
cengkeraman penjajah.
Syekh Muhammad Nafis berhasil menghimpunkan ajaran tasawufnya
dalam sebuah kitab yang diberi nama Ad-Durrun Nafis (Permata yang
berharga). Memang karya Syekh Muhammad Nafis yang satu ini besar sekali
pengaruhnya di kalangan umat Islam, tak hanya di Kalimantan saja, tapi juga
di mancanegara. Ia sering menjadi rujukan atau referensi dalam kajian-kajian
tasawuf, tarekat maupun tauhid. Nama Ad-Durrn Nafis itu sebutan singkatnya
saja, sebab judul lengkap kitab itu diberi nama oleh penyusunnya cukup
panjang, yaitu: Durrun Nafis fi Bayan Wahdah al-Af’al al-Asma wa as-Shifat
wa azd-Dzat at-Taqdis. Kitab ini tidak ditulis dalam bahasa Arab melainkan
bahasa Jawi (Arab melayu) sehingga dapat dipelajari oleh orang-orang yang
tidak menguasai bahasa Arab.
Dalam deretan ulama Banjar, pada dasarnya nama Syekh Muhammad
Nafis Al-Banjari tidak kalah masyhurnya dengan Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari. Jika Syekh Muhammad Al-Banjari lebih dikenal sebagai ulama

4
syariat dengan kitab Sabilal-Muhtadin-nya, maka Syekh Muhammad Nafis
Al-Banjari lebih dikenal sebagai ulama tasawuf. Keduanya sama-sama sangat
berjasa dalam upaya mengembangkan dakwah Islam di Kalimantan.
Keduanya memiliki andil dalam menjagakesinambungan proses Islamisasi
dan peningkatan pemahaman keagamaan umat Islam di Nusantara khususnya
dalam bidang fiqih dan tasawuf.

3. Sultan Suriansyah
Sultan Suryanullah atau Sultan Suriansyah adalah Raja Banjarmasin
pertama yang memeluk Islam. Ia memerintah tahun 1520-1540. Gelar Sultan
Suryanullah tersebut diberikan oleh seorang Arab yang pertama datang di
Banjarmasin, beberapa waktu setelah Pangeran Samudera di Islamkan oleh
utusan Kesultanan Demak. Berkembangnya Islam semenjak awal berdirinya
kerajaan justru didukung oleh Sultan Suriansyah sebagai sultan pertama
kerajaan Banjar. Ahmad Bardjie menggambarkan bahwa begitu Pengeran
Samudra atau Sultan Suriansyah (1520-1546) sekeluarga masuk Islam,
Ahmad Bardjie menguraikan bahwa semenjak Sultan Suriansyah diangkat
menjadi Sultan, ada beberapa poin dakwah Islamiyah dilakukan antara lain
mendorong agar ada kader ulama mengingat ulama pada waktu itu masih
sedikit.

4. Abdul Qadir Assegaf


Kyai Gede bernama asli Abdul Qadir Assegaf seorang ulama yang
berasal dari Demak. Kyai Gede adalah tokoh mula-mula penyebar agama
Islam di kota Waringin. Walau kini telah lama tiada, pengaruhnya dalam
kehidupan, sangat dirasakan masyarakat setempat. Terbukti 90% lebih
penduduk Kabupaten Kota Waringin Barat, beragama Islam dengan tradisi
Islam yang kental. Makan kyai Gede berada di kecamatan Kotawaringin barat
provinsi Kalimantan Tengah yang selalu diziarahi. Kharismanya setara Syekh
Arsyad Al-Banjari atau Datuk Kalampayan di Kalimantan Selatan.
Dalam menyebarkan Islam, berdirilah kerajaan Kutaringin dengan
Kyai Gede sebagai Mangkubumi pertamanya bergelar Adipati Gede Ing
Kutaringin mendampingi Pangeran Adipati Antakesuma. Kondisi
keberislaman masyarakat Kotawaringin pun akhirnya berimbas pada
kebijakan penjajah belanda menyebarkan misi zending, pasca ibukota
kerajaan pindah dari Kotawaringin ke Pangkalanbun.

5. Datuk Ri Bandang

5
Datuk Ri Bandang adalah seorang murid dari Sunan Giri, salah satu
Wali Songo yang berperan besar dalam Islamisasi Jawa. Ia datang ke
Kalimantan Timur pada abad ke-16 dan berdakwah di wilayah Kutai, Pasir,
Berau, dan Bulungan. Ia juga membantu mendirikan Kerajaan Kutai
Kartanegara yang beragama Islam.

6. Datu Tunggang Parangan


Datuk Tunggang Parangan atau Habib Hasyim bin Musyayakh bin
Abdullah bin Yahya adalah seorang ulama Minangkabau yang menyebarkan
agama Islam dikerajaan Kutai di Kalimantan bersama temannya Datuk Ri
Bandang pada masa pemerintahan Raja Aji Mahkota yang memerintah dari
tahun 1525 hingga 1589. Tuan Tunggung Parangan berperan besar dalam
menyebarkan Islam bersama Sultan Aji Dilanggar atau Aji Gendung gelar
Meruhum Aji Mandaraya yang memerintah setelah menggantikan ayahnya,
Aji Mahkota sejak tahun 1589 hingga 1605 sehingga rakyat kutai akhirnya
memeluk Islam.

7. Habib Husein Al- Kadri


Islam di Kalimantan Barat berjalan secara alami Habib Husein al-
Kadri sebagai juru dakwah pertama, dilanjutkan oleh putranya Syarif
Abdurahman Al-kadri bersama para kader dakwah lainnya. Disebut alami
disini karena selain tugas dakwah dijalankan, aktivitas ekonomis juga
digerakkan sehingga para juru dakwah perintis ini memiliki kekuatan
ekonomi yang kuat. Dengan kekuatan ekonomi pula dakwah menjadi berhasil,
ditambah relasi yang luas dengan para pedagang lainnya.
Beliau sendiri lahir tahun 1118 H di Tarim Hadramaut Arabia. Tahun
1142 H setelah menamatkan pendidikan agama yang memadai, atas saran
gurunya berangkat menuju negeri-negeri timur bersama tiga orang kawannya
untuk mendakwah Islam. Tahun 1145 H mereka tiba di aceh sambil
berdagang mereka mengajarkan Islam disana lalu perjalanan dilanjutkan
kebetawi sedangkan temannya Sayyid Abu Bakar Alaydrus menetap di Aceh,
Sayyid Umar Bachasan Assegaf berlayar ke siak dan Sayyid Muhammad bin
Ahmad Al- Quraisy ke Trenggano. Tahun 1149 beliau berlayar dari semarang
ke Matan (Ketapang) Kalimantan Barat dan diterima di Kerajaan Matan.
Seiring dengan usaha dakwahnya, penganut Islam semakin bertambah dan
Islam memasyarakat sampai ke daerah pedalaman. Maka antara tahun 1704-
1755 M ia diangkat sebagai Nufto (Hakim Agama Islam) dikerajaan Matan.
Selepas tugas sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta oleh Raja Mempawah
Opo Daeng Menambun untuk pindah ke Mempewah dan mengajar agama

6
disana sampai kemudian diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempewah
sampai wafatnya tahun 1184 dalam usia 84 Tahun. 2

B. Strategi Kultural Ulama dalam Penyebaran Islam di Kalimantan


1. Perdagangan
Pradjoko dan Utomo menyebutkan adanya pelabuhan kuno
prakerajaan Islam di Kalimantan yang menjadi pelabuhan dagang, yaitu
pelabuhan niaga di Brunei, pelabuhan Lawe, Pelabuhan Tanjung Pura, dan
pelabuhan Sambas di tepi Muare Ulakan. Di antara pelabuhan itu, pelabuhan
niaga kerajaan Brunei lah yang paling terkenal sehingga Brunei menjadi
tempat pertama yang menjadi awal islamisasi di Kalimantan. Harus pula
diingat adanya pelabuhan kuno di Muara Kaman kerajaan
Kutai Mulawarman (Martapura) yang telah disinggahi oleh para
pedagang India dan China. Dapat diduga bahwa pelabuhan-pelabuhan kuno
inilah yang disinggahi oleh para pedagang muslim pada masa awal kehadiran
Islam di Kalimantan sekitar abad ke-7 hingga abad ke-10.3
Saluran perdagangan jaringan social Pedagang Muslim di
Banjarmasin. Hasil penelitian Meilink-Roelofsz menjelaskan aktivitas
perdagangan dalam kurun niaga sejak sebelum abad ke-15 sudah bersifat
besar-besaran karena adanya perdagangan beras dan lada yang memerlukan
kapal dengan muatan besar.4
Kesultanan Banjar, Kotawaringan, Kutai Kartanegara, Pontianak dan
lain-lain, boleh dikatakan merupakan kesultanan maritim yang mengandalkan
kepada perdagangan laut dan sungai. Berbeda dengan Kerajaan Negara Dipa
sebelumnya yang bercorak agraris, Kesultanan Banjarmasin bercorak maritim.
Masyarakatnya mengandalkan penghidupan kepada perdagangan. Para
pedagang dari daerah-daerah lain di Nusantara dan luar negeri berdatangan ke
Banjarmasin. Agama Islam sudah dijadikan sebagai agama resmi kerajaan,
budaya pra Islam yang ada sebelumnya diakulturasikan dengan ajaran dan
budaya Islam. Perpaduan antara agama Islam, budaya penduduk setempat
dengan budaya dari luar itulah yang kemudian membentuk budaya Banjar,
dan budaya Banjar ini bercorak Melayu Islam.
Di masa pemerintahan Sultan Suriansyah dan keturunannya, bahkan
beberapa abad sesudahnya, jalan darat di Kalimantan sangat terbatas, karena
2
Yusliani Noor, Islamisasi Banjarmasin abad ke-15 sampai ke-19, (Penerbit Ombak, 2016),
hal. 128
Rahmadi “ Membincang Proses Islamisasi Di Kawasan Kalimantan Dari Berbagai Teori “
3

Jurnal studi Islam dan Humaniora Vol. 18. No. 2. 2020, hal. 280
4
Regaria Tindarika, “Islamisasi Banjarmasin (Abad XV – XIX)”, Universitas Lambung
Mangkurat. Hal. 4

7
itu yang diandalkan dalam lalu lintas perdagangan adalah sungai. Melalui
perdagangan jalur sungai-sungai itulah para pedagang sambil mendakwahkan
Islam kepada masyarakat yang dilaluinya. Karena itu tidak mengherankan,
masyarakat pesisir sungai lah yang lebih dahulu menerima dakwah Islam.
Sultan Suriansyah dan para sultan sesudahnya, lebih senang menjalin
hubungan dagang dengan sesama orang Asia, lebih-lebih sesama muslim.
Oleh karena itu Banjarmasin ramai didatangi oleh pedagang muslim, seperti
pedagang Arab, Persia, India, Cina dan para pedagang dari daerah-daerah
muslim yang ada di kepulauan Nusantara. Adanya Kampung Arab, Kampung
Cina (Pecinan), Kampung Bugis dan sebagainya, menunjukkan hal tersebut.
Kedatangan para pedagang muslim semakin mempercepat penyebaran
agama Islam, sebab para pedagang itu sambil berdagang juga berdakwah.
Tentu dakwah mereka bukan untuk dibayar oleh penduduk, melainkan
dakwah sukarela, bahkan para pedagang muslim itulah yang sambil
membantu penduduk dengan pemberian-pemberian tertentu, sehingga
hubungan dengan penduduk yang didatangi menjadi akrab dan hangat.5

2. Politik
Islamisasi melalui saluran politik merupakan upaya pengislaman raja.
Pengislaman raja dianggap efektif karena agama raja umumnya diikuti oleh
rakyatnya dan disertai dengan transformasi dari Kerajaan yang bercorak
Hindu-Buddha ke Islam. Beberapa contoh Islamisasi melalui jalur ini di
kawasan Kalimantan adalah pengislaman Pangeran Samudera (Sultan
Suriansyah), pengislaman Raja Aji Mahkota (raja Kutai), dan pengislaman
Panembahan Sorgi (raja Sukadana) yang semuanya terjadi pada abad ke-16.6
Pendekatan kekuasaan dalam masuknya Islam di Kalimantan sangat
menonjol dibanding pendekatan lain. Hal ini misalnya terlihat dari peran
Kesultanan Banjar (Sultan Suriansyah dan keturunannya) yang berhasil
mengislamkan tanah Banjar Kalimantan Selatan, peran para Sultan
Kotawaringin yang berhasil menyebarkan Islam di Kalimantan Tengah, peran
Kesultanan Kutai Kartanegara dan Kesultanan Paser Sadurangas serta
Kesultanan Bulungan dan Berau yang berhasil menyebarkan Islam di
Kalimantan Timur, peran Kesultanan Matan, Mempawah dan Pontianak
dalam mengislamkan Kalimantan Barat, serta peran Kesultanan dalam
mengislamkan Brunei, Sarawak dan Sabah di Kalimantan Utara.

5
Tahir, Sejarah Dakwah Islam di Kalimantan, (Palembang: Bening, 2022), h. 226.
6
Rahmadi “ Membincang Proses Islamisasi Di Kawasan Kalimantan Dari Berbagai Teori “
Jurnal studi Islam dan Humaniora Vol. 18. No. 2. 2020, hal. 279-280

8
Sudah umum diketahui di mana saja bahwa rakyat itu cenderung
mengikuti agama rajanya. Bagi masyarakat Indonesia termasuk di Kalimantan
yang tergolong paternalistik, penguasa adalah kunci penentu keberagamaan
rakyatnya. Bersama pengausa juga ada sejumlah tokoh yang dapat menjadi
kunci sukses tidaknya penyebaran suatu agama. Begitulah berbagai
pendekatan dan tantangan dihadapi oleh para ulama juru dakwah saat itu.
Yang jelas, pendekatan politik tidak dikesampingkan dalam dakwah. Sebab,
kalau raja atau penguasa sudah muslim, maka dakwah akan lebih mudah dan
cepat, karena dengan sendirinya rakyat juga mengikutinya.7

3. Dakwah
Di antara mereka ada yang datang dari Timur Tengah untuk
menyebarkan Islam dan mengembara ke berbagai daerah untuk menyebarkan
Islam. Ada pula pendakwah yang merupakan utusan dari kesultanan yang ada
di sekeliling wilayah Asia Tenggara. Kehadiran mereka mulai teridentifikasi
pada abad ke-13 dan terus berlangsung hingga abad ke-19. Pendakwah awal
di Kalimantan yang tercatat dalam hikayat, salasilah, dan literatur sejarah di
antaranya adalah Syarif Karim al-Makhdum, Khatib Dayyan, Syekh Husein
(Tok Mangku),Tuan Tunggang Parangan, Dato ri Bandang, Said Ahmad
Maghribi, Kyai Gede dan lainnya. 8
Adapun di daerah Kalimantan Selatan, Sultan Suriansyah kelihatan
tidak hanya mengizinkan dakwah Islam, tetapi menyatakan masuk Islam
sekalian, bahkan menjadikan Islam sebagai agama kerajaan. Berdasarkan
cerita dari mulut ke mulut yang pernah ia dengan dari orangtua bahari Sultan
Suriansyah proaktif mengajak rakyatnya masuk Islam, tetapi tidak melakukan
pemaksaan. Ajakan dakwah Sultan Suriansyah ini sangat sejalan dengan
ajaran Islam. Bagi yang menolak masuk Islam tetapi tetap setia dan
berlindung dibawah naungan kerajaan atau kesultanan maka kebebasan
mereka dalam beragama harus dilindungi. Sejak itu Islam makin tersebar luas,
karena rakyat yang paternalistik dengan mudah mengikuti agama rajanya. 9
4. Perkawinan
Melihat rekam jejak dakwah para ulama yang menyebarkan dakwah di
Kalimantan, juga tampak bahwa dalam mendakwahkan Islam tersebut mereka
banyak menempuh pendekatan perkawinan, dengan mengawini sejumlah
7
Tahir, Sejarah Dakwah Islam di Kalimantan, (Palembang: Bening, 2022), h. 214.
8
Yusliani Noor, “Sejarah Perkembangan Islam Di Banjarmasin Dan Peran Kesultanan Banjar
(Abad XVXIX),” Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 11, No. 2. 2012, hal. 279
9
Ahmad Barjie B, “Kerajaan Banjar dalam Bingkai Nusantara”, (Banjarmasin: CV Rahmat
Hafiz AlMubaraq, 2018), Hal. 28-91

9
perempuan. Artinya, selain menikah sebagai sunnah atau ibadah, hal itu juga
dilakukan untuk kepentingan dakwah. Sebab, dari situ lahirlah banyak anak-
cucu-keturunan, yang tentunya dapat menjadi ulama, kader-kader dakwah
untuk meneruskan usaha-usaha dakwah. Ulama yang beristri banyak tersebut,
tentunya tidak dalam waktu bersamaan, sebab maksimal yang dibolehkan
dalam waktu yang sama hanya 4 orang istri.
Ulama yang beristri cukup banyak ini, sebut saja misalnya Syekh
Muhammad Arsyad yang pernah menikahi 11 orang istri dengan 30 orang
anak dan 114 orang cucu, Muhammad Yusuf Saigon yang berdakwah di
Pontianak mengawini hingga 40 orang istri yang tentu anaknya juga banyak.
Beristri dan beranak banyak di masa dahulu, bukan hanya dilakukan ulama
sebagaimana dicontohkan di atas, tetapi juga dilakukan oleh para raja dan
sultan. Menurut Pengiran Mahani binti Pengiran Haji Ahmad dari Brunei
Darussalam (2017), Sultan Syarif Abdurrahman al-Qadri pendiri Kesultanan
Pontianak memiliki 25 orang istri dan dari semua perkawinan itu melahirkan
60 orang anak. Menurut kajian Sophian bin Rambli dan kawan-kawan (2017),
para pangeran dari Brunei Darussalam dan kerajaan lainnya dulu juga banyak
memperistri para gadis Melanau - satu wilayah di Sarawak - hal ini turut
mempercepat dakwah Islam, sehingga 75 persen penduduk Melanau sekarang
muslim. Kalau kita teliti sejarah Kesultanan Banjar juga demikian, misalnya
Sultan Sulaiman memiliki 5 orang istri dan 23 orang anak, Sultan Adam
memiliki 5 istri dan 12 orang anak dan sebagainya.
Di masa dahulu mengawini sejumlah perempuan lebih
memungkinkan, karena peraturan perkawinan tidak ketat dan masyarakat
tidak memberikan sorotan negatif kepada ulama yang poligami. Bahkan boleh
jadi hal itu juga menjadi kebanggaan bagi keluarga yang dikawini, sebab ada
darah ulama yang mengalir. Bagi ulama Banjar dan masyarakat, perkawinan
dapat dijadikan model berdakwah juga, sebab banyaknya anak-anak dan cucu-
cucu yang dilahirkan akan menjadi barisan dan penerus dakwah. Lagi pula
yang menikah ini adalah ulama, jadi bibit, bebet dan bobotnya baik, sehingga
diyakini keturunannya juga akan baik. Terbukti anak, cucu, buyut dan
seterusnya kemudian banyak yang menjadi ulama juga.10
Yusliani Noor membagi saluran perkawinan menjadi tiga pola, yaitu
saluran perkawinan yang dilakukan oleh pedagang muslim, saluran
perkawinan bubuhan tutus raja-raja, dan saluran perkawinan bubuhan ulama.
Pola pertama, saluran perkawinan pedagang muslim merupakan saluran
islamisasi yang mengiringi saluran perdagangan. Para pedagang muslim
menikah dengan perempuan-perempuan dari etnis Ngaju, Maanyan,

10
Tahir, Sejarah Dakwah Islam di Kalimantan, (Palembang: Bening, 2022), h. 229.

10
Lawangan, dan Bukit. Pola kedua, perkawinan yang dilakukan oleh bubuhan
tutus raja-raja, seperti perkawinan Sultan Suriansyah dengan beberapa istri
dari etnis Biaju (Ngaju) Bakumpai, etnis Melayu, dan etnis Bukit dan Sultan
Rahmatullah menikahi perempuan China, Melayu, Bukit, dan Ngaju. Pola
ketiga, perkawinan ulama, dai atau muballigh dengan perempuan setempat.11
5. Pendidikan, Pengajian dan Pengkaderan
Strategi Ulama dalam menyebarkan agama Islam di Kalimantan
selanjutnya yaitu dengan mendirikan Lembaga atau tempat keislaman di mana
saluran pendidikan dilakukan adalah keluarga (pendidikan informal), tempat
ibadah (langgar dan masjid), rumah ulama (pengajian agama), istana atau
rumah raja, dan kemudian pada tahap berikutnya bermunculanlah lembaga
khusus untuk pendidikan Islam seperti perguruan Dalam Pagar (abad ke-18)
dan Madrasah Sulthaniyah di Sambas (akhir abad ke-19). Sebelum dikenal
adanya madrasah, terdapat model pendidikan langgar yang biasa disebut
dengan langgar batingkat atau barangkap (tingkat dua) yang menjadi tempat
belajar agama.
Adanya pesantren merupakan bagian dari pengkaderan ulama dan juru
dakwah. Ia kawah candradimuka lahirnya para pegiat dakwah dan masyarakat
muslim yang taat karena ilmu yang telah diberikan di pesantren. Masyarakat
yang lemah agamanya, umumnya karena di situ tidak ada pesantren atau tidak
tersentuh oleh pesantren.
Pendirian pesantren pada tahap-tahap awal ada yang dibiayai sendiri
oleh ulama bersangkutan. Seperti yang dilakukan oleh Muhammad Yusuf
Saigon di Pontianak, yang setelah sukses dalam usaha berjual intan, dan juga
kebun karetnya menghasilkan, maka ia membangun pesantren sendiri, ia tidak
merasa puas dengan menikmat kekayaan sendiri dan ingin mengabdikannya
untuk kepentingan umat. Namun yang bertanggung jawab untuk mendanai
pesantren adalah orang-orang kaya dan masyarakat pada umumnya, supaya
ulama dan ustadz/ustadzah lebih fokus menjalankan pendidikannya saja.
Cukup menarik karena para ulama tidak saja mencukupkan menggali
ulama di daerah asalnya. Tercatat banyak sekali ulama yang kemudian
menuntut ilmu hingga ke Makkah dan Madinah atau negara lainnya. Ada yang
menuntut ilmu di sana hingga puluhan tahun, sehingga keilmuannya benar-
benar luas dan mendalam. Mereka ini sekembalinya ke tanah air juga

11
Yusliani Noor, “Sejarah Perkembangan Islam Di Banjarmasin Dan Peran Kesultanan
Banjar (Abad XVXIX),” Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 11, No. 2. 2012.

11
menggiatkan dakwah dan mencetak kader-kader ulama juru dakwah yang
handal. 12
6. Kesenian
Hadrah sangat erat kaitannya dengan agama Islam. Oleh karena itu
kesenian Hadrah menjadi sebuah kesenian yang bernafaskan Islam. Hal
tersebut dikarenakan kesenian Hadrah berasal dari Hadramaut Semenanjung
Arab, Yaaman Selatan. Sejarah masuknya hadrah dikota Pontianak bersamaan
dengan masuknya agama Islam di Pontianak. Diperkirakan sekitar tahun 1741
M. Ulama yang pertama kali membawa Islam ke Kalimantan Barat adalah
Syarif Husein Al- Kadri, beliau lahir tahun 1118 H di Tarim Hadramaut
Yaman Selatan Semenanjung Arab. 13
Bentuk penyajian kesenian Hadrah sekarang sudah mengalami
perubahan. Seiring perkembangan zaman yang dahulunya seni tarian tersebut
merupakan alat atau media yang tujuannya adalah untuk misi penyebaran bagi
agama Islam dan juga beribadah. Berubah menjadi seni pertunjukkan yang
kemudian ditandingkan atau diperlombakan. Kesenian hadrah yang dulunya
hanya berupa lantunan syair-syair saja berkembang dan ditambahkan gerakan
gerakan didalamnya. Gerakan dalam kesenian Hadrah dinamai dengan Radat
sehingga masyarakat sekiranya sering menyebutnya dengan tari Radat dan
pelaku atau pemainnya dinamai Peradat.14
Salah satu diantara strategi ulama Kalimantan dalam mendakwahkan
Islam baik Sultan Syarief Husein Al-Kadei maupun Putranya Sultan Syarief
Abdurahma Al Kadri adalah melalui media seni yaitu seni Dzikir berisi syair-
syair yang memuji Kebesaran Allah dan mengagunggakan Nabi Muhammad
SAW.
Berbagai saluran kesenian banjar termasuk perubahan dalam seni lukis
. seni pahat kaligrafi dalam rumah banjar menunjukkan kentalnya pengaruh
Islam. Ketika perang Banjar meletus pada tahun 1859, segenap Bubuhan
Tutus, Tuan Guru dan Jaba berupaya mempertahankan eksistensi Kesultanan
Banjarmasin. 15

12
Tahir, Sejarah Dakwah Islam di Kalimantan, (Palembang: Bening, 2022), h. 230.
13
Regaria Tindarika, “Kesenian Hadrah Sebagai Warisan Budaya Di Kota Pontianak
Kalimantan Barat”, Aksara : Jurnal Ilmu Pendidikan Nonfomal, Vol. 07 No. 02, 2021, Hal. 912
14
Regaria Tindarika, “Kesenian Hadrah Sebagai Warisan Budaya Di Kota Pontianak
Kalimantan Barat”,
Aksara : Jurnal Ilmu Pendidikan Nonfomal, Vol. 07 No. 02, 2021, Hal. 916
15
Yusliani Noor, “Sejarah Perkembangan Islam Di Banjarmasin Dan Peran Kesultanan
Banjar (Abad XVXIX),” Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 11, No. 2. 2012, Hal 8

12
Maulid Habsyi sebagai produk budaya seni Islam, kehadirannya
memperlihatkan bahwa ide seninya berhubungan dengan kepentingan
penyampaian atau ajakan kembali menuju jalan Allah. Hal ini menunjukkan
bahwa ide pokok Maulid Habsyi sebagai seni dakwah adalah landasan
utamanya. Dengan demikian unsur-unsur kontekstual seperti norma, nilai
hingga ajaran keislaman pun tidak dapat dilepaskan daru Maulid Habsyi.
Secara khusus aspek-aspek keislaman tersebut melekat pada kandungan teks
Maulid Habsyi, khususnya pujian kepada Nabi Muhammad SAW.16

16
Regaria Tindarika, “Kesenian Hadrah Sebagai Warisan Budaya Di Kota Pontianak
Kalimantan Barat”, Aksara : Jurnal Ilmu Pendidikan Nonfomal, Vol. 07 No. 02, 2021, Hal. 9

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyebaran Islam di Kalimantan adalah ulama dan penguasa yang
berpengaruh dimasanya dengan menggunakan strategi dakwah dan
perdagangan mereka menyebabkan Islam dibumi Kalimantan. Strategi yang
digunakan dalam menyebarkan agama Islam yaitu : perdagangan, politik,
dakwah, perkawinan, Pendidikan, dan kesenian.
B. Saran
Demikianlah yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Penulis banyak berharap kepada
para pembaca untuk memberikan kritik danm saran yang membangun demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya dan juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdulloh Muhammad Shogir, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang


Sabilal Muhtadi, Kuala Lumpur: Khazanah Fathiniah, 1990.
B Ahmad Barjie, “Kerajaan Banjar dalam Bingkai Nusantara”, Banjarmasin: CV
Rahmat Hafiz AlMubaraq, 2018.
B,Ahmad Barjie. 2018 Kerajaan Banjar dalam Bingkai Nusantara. Banjarmasin: CV
Rahmat Hafiz AlMubaraq.
Noor Yusliani, Islamisasi Banjarmasin abad ke-15 sampai ke-19, Penerbit Ombak,
2016.
Rahmadi “ Membincang Proses Islamisasi Di Kawasan Kalimantan Dari Berbagai
Teori “ Jurnal studi Islam dan Humaniora. Vol. 18. No. 2. 2020.
Tahir, Sejarah Dakwah Islam di Kalimantan, Palembang: Bening, 2022.
Tindarika, Regaria. “Islamisasi Banjarmasin (Abad XV – XIX)”. Universitas
Lambung Mangkurat.
Tindarika, Regaria. “Kesenian Hadrah Sebagai Warisan Budaya Di Kota Pontianak
Kalimantan Barat”. Aksara : Jurnal Ilmu Pendidikan Nonfomal. Vol. 07. No.
02. (2021)

15

Anda mungkin juga menyukai