Disusun Oleh:
Kelompok 6
NAMA NPM
Wisnu : 17.12.4331
Vironica 17.12.4328
DARUSSALAM MARTAPURA
TARBIYAH (PAI)
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami senantiasa ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas
rahmat dan karunianya serta tak lupa solawat dan salam kehadirat Nabi
Muhammad Saw, kami akhirnya sampai pada tahap menyelesaikan makalah
dengan judul “strategi kultural para ulama atau pengusa dalam penyebaran Islam
pada masyarakat Kalimantan.
Kami sekaligus pula menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-
banyaknya untuk Ibu Emilya Ulfah,M.Pd. selaku dosen mata kuliah Islam dan
Budaya Lokal yang telah menyerahkan kepercayaan kepada kami menyelesaikan
makalah ini.
Kami sungguh-sungguh berharap makalah ini bisa berguna pada tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan. Kami juga menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.
Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi meningkatkan
makalah yang kami buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 4
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam mulai masuk ke kalimantan pada awal abad ke 16. Akan
tetapi, Islam mulai berkembang setelah para pejuang Islam dari kesultanan
Demak datang ke Banjarmasin. Pasukan Demak diminta bantuan oleh
Pangeran Samudra untuk memadamkan perselisihan di Daha. setelah
memperoleh kemenangan, Pangeran Samudra pun memeluk Islam dan
diangkat sebagai sultan pertama di kerajaan Banjar. Pangeran Samudra
menetapkan Islam sebagai Agama resmi negara. Namun demikian, agama
Islam berkembang luas. Agama Islam tersebar luas di Kalimantan,
khususnya di Kerajaan Banjar, setelelah dua orang ulama terkemuka
berdakwah di kalimantan selatan. Ulama tersebut ialah Syekh Muhammad
Arsyad AL-Bajari dan syekh Muhammad Nafis. kedua ulama ini sangat
berpengaruh dan merupakan tokoh penting dalam penyebaaran Islam di
Kalimantan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penulisan
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal
dengan nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan
sebuah model pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan
prasarana belajar dalam satu tempat yang mirip dengan model
pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini
merupakan model baru yang belum ada sebelumnya dalam sejarah
Islam di Kalimatan masa itu.
Pesantren yang dibangun di luar kota Martapura ini bertujuan
untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar
mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan, di
tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad
Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di
lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun sayur,
serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren,
Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada
masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil.
Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat.
Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah
pengetahuan agama dalam masyarakat. Dalam menyampaikan
ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode.
Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dengan
cara bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah
laku, gerak gerik dan tutur kata sehari-hari yang disaksikan
langsung oleh murid-muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga
memberikan pengajaran dengan cara bil lisan dan bil kitabah.
Metode bil lisan dengan mengadakan pengajaran dan pengajian
yang bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat,
sahabat maupun handai taulan, sedangkan metode bil kitabah
menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis. Dari bakat tulis
menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-
6
kitab itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad Arsyad tutup
usia pada 1812 M, di usia 105 tahun. Karya-karyanya antara lain,
Sabil al-Muhtadin, Tuhfat ar-Raghibiin, al-Qaul al-Mukhtashar,
disamping kitab ushuluddin, tasawuf, nikah, faraidh dan kitab
Hasyiyah Fath al-Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab
Sabil al-Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah
Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei
dan Pattani (Thailand Selatan).1
Nama lengkap dari ulama ini adalah Muhammad Nafis bin Idris
bin Husein. Ia lahir sekitar tahun 1148 Hijriah atau bertepatan
dengan tahun 1735 Masehi, di Martapura, sekarang ibu kota
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Ia berasal dari keluarga
bangsawan Banjar yang garis silsilah dan keturunannya
bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M Sultan
Suriyansyah merupakan Raja Banjar pertama yang memeluk
agama Islam, yang dahulu bergelar Pangeran Samudera. Sejak
kecil, Syekh Muhammad Nafis memang sudah menunjukkan bakat
dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman
sebayanya. Bakat dan kecerdasan yang dimilikinya ini membuat
Sultan Banjar tertarik. Sehingga, pada akhirnya Muhammad Nafis
pun dikirim ke Makkah untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu
agama. Salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan
menjadikan ia populer adalah bidang tasawuf. Sebagaimana halnya
ulama Jawi (Indonesia) abad ke-17 dan ke-18 yang belajar di
Makkah, Syekh Muhammad Nafis juga belajar pada para ulama
terkenal, baik yang menetap maupun yang sewaktu-waktu
berziarah dan mengajar dalam berbagai cabang ilmu keislaman,
1
https://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/03/28/biografi-syekh-
muhammad-arsyad-al-banjari-kalimantan-selatan
7
seperti, tafsir,fikih, ushuluddin (teologi), dan tasawuf. Di antara
gurunya dalam bidang ilmu tasawuf di Makkah adalah Abdullah
bin Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari (1150-1227 H/1737-1812 M),
ulama tasawuf yang kemudian menduduki jabatan Syekh al-Islam
dan Syekh al-Azhar sejak 1207 H/1794 M. Dalam mempelajari
tasawuf, Syekh Muhammad Nafis berhasil mencapai gelar 'Syekh
al-Mursyid', gelar yang menunjukkan bahwa ia diperkenankan
mengajar ilmu tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain. Setelah
itu, ia pulang ke kampung halamannya,Martapura, pada 1210 H/
1795 M. Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama
dengan Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari.Dan diperkirakan
wafat sekitar tahun 1812 M. dan dimakamkan di Mahar Kuning,
Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua
Kabupaten Tabalong. Dan sekarang makam tersebut menjadi salah
satu objek wisata relijius di Kabupaten Tabalong, Kalimantan
Selatan.2
3. Sultan Suriansyah
2
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nafis_al-Banjari syeihk Muhammad Arsyad Al
Banjari
3
https://www.academia.edu/35685339/BIOGRAFI_SULTAN_SURIANSYAH
8
4. Abdul Qadir Assegaf
9
meningalkan sejarah islam di kotawaringin yang masih utuh
dan merupakan mesjid tertua di Kalimantan tengah yang diberi nama
Masjid Kiai Gede. Masjid ini meski telah berusia ratusan tahun,
masih berdiri tegak dan berfungsi dengan baik hingga hari ini. Masjid
ini terbuat dari kayu ulin. Uniknya lagi, bangunan masjid ini tidak
menggunakan paku, melainkan menerapkan konsep lego. Selain
masih berfungsi baik sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan
sosial masyarakat lainnya, Masjid Kiai Gede pun menjadi tujuan
wisata sejarah dan bahkan religi karena masjid kiai gede
merupakan simbol sejarah yang masih bertahan hingga kini dan
patut dilestarikan dan dijaga keberadaannya.
10
sempat melalui Gresik. Pada masa itu, kerajaan Banjar dibawah
kekuasaan Pangeran Suriansyah yang sebelum masuk Islam
bergelar Pangeran Suryanata. Oleh Pangeran Suriansyah, Kyai
Gede dengan didampingi Khatib Dayan diutus untuk menyebarkan
Islam ke Kutaringin Barat, kala itu tahun 1595 M. Dengan
pengikut tak kurang dari 40 orang disertai Khatib Dayan,
berangkatlah Kyai Gede menyusuri Sungai Arut hingga ke
pedalaman Sungai Lamandau dan Balantik, Nanga Bulik,
Sukamara. Dalam perjalannya menyebarkan Islam, akhirnya Kyai
Gede bertemu dengan Pangeran Adipati Antakesuma putra Sultan
Musta’inubillah Raja Kerajaan Banjar. Selanjutnya berdirilah
kerajaan Kutaringin dengan Kyai Gede sebagai Mangkubumi
pertamanya bergelar Adipati Gede Ing Kutaringin mendampingi
Pangeran Adipati Antakesuma. Kondisi keberislaman masyarakat
Kotawaringin pun akhirnya berimbas pada kebijakan penjajah
Belanda menyebarkan misi zending, pasca ibukota kerajaan pindah
dari Kotawaringin ke Pangkalan Bun.
Kini kerajaan kutaringin berdasarkan catatan Istana Al-nursari
menjadi istana kuning yang teletak di kabupaten kotawaringin barat.
Tetapi meskipun kerajaan ini pindah ke pangkalanbun kyai gede
sebelum beliau wafat, ia meningalkan sejarah islam di kotawaringin
yang masih utuh dan merupakan mesjid tertua di Kalimantan tengah
yang diberi nama Masjid Kiai Gede. Masjid ini meski telah berusia
ratusan tahun, masih berdiri tegak dan berfungsi dengan baik hingga
hari ini. Masjid ini terbuat dari kayu ulin. Uniknya lagi, bangunan
masjid ini tidak menggunakan paku, melainkan menerapkan
konsep lego. Selain masih berfungsi baik sebagai tempat ibadah
dan pusat kegiatan sosial masyarakat lainnya, Masjid Kiai Gede
pun menjadi tujuan wisata sejarah dan bahkan religi karena masjid
11
kiai gede merupakan simbol sejarah yang masih bertahan hingga
kini dan patut dilestarikan dan dijaga keberadaannya.
Kyai Gede adalah tokoh mula-mula penyebar agama Islam di
Kotawaringin. Walau kini telah lama tiada, pengaruhnya dalam
kehidupan, sangat dirasakan masyarakat setempat. Terbukti 90
persen lebih penduduk Kabupaten Kotawaringin barat, beragama
Islam dengan tradisi Islam yang kental. Makam kyai gede berada di
kecamatan kotawaringin lama kabupaten kotawaringin barat provinsi
Kalimantan tengah, yang selalu diziarahi. Kharismanya setara Syekh
Arsyad Al Banjary atau Datuk Kalampayan di Kalimantan selatan.4
4
Sumber: http://lovechinchun.blogspot.com/2012/11/kerajaan-kotawaringin-lama-
normal-0.html
12
zaman pemerintahan Raja Mahkota (meruhum Berjanggut Kawat).
Ulama-ulama tersebut belum berhasil membujuk sang Raja untuk
memeluk agama Islam. Datuk ri Bandang yang dikenal sebagai
penyebar Islam di Kerajaan Luwu, Gowa dan Tallo (Sulawesi)
serta Bima (Nusa Tenggara) sebelumnya juga berdakwah di
Kerajaan Kutai. Namun karena situasi masyarakat Kutai yang
dianggap belum kondusif untuk dilakukannya dakwah Islam
dimasa pemerintahan Raja Aji Mahkota itu akhirnya dia pindah ke
Sulawesi untuk meneruskan syiar Islamnya. Kepindahan Datuk ri
Bandang tidak diikuti oleh Tuan Tunggang Parangan, ulama itu
tetap bertahan di Kutai dan akhirnya berhasil mengajak Raja Aji
Mahkota masuk Islam. Dalam beberapa naskah bahwa pernah
adanya dialog antara Raja Kutai, Raja Mahkota dengan Habib
Tunggang Parangan, yang kemudian Raja tersebut memeluk agama
Islam. Selanjutnya keperkasaan Raja Kutai cucu Raja Mahkota
yakni (Aji) Ki Jipati Jayaperana bergelar Pengeran Sinum Panji
Mendapa menyebar luaskan pengaruh Islam dan menaklukkan
Kerajaan Hindu Martapura. Maka masuknya agama Islam ke
Kerajaan Kutai yang dibawa oleh Datuk Tunggang Parangan dan
Tuan di Ri Bandang adalah pada masa pemerintahan Raja
Mahkota. Masuknya Islam ke tanah Kutai adalah pada masa
pemerintahan Raja Mahkota, Raja Ke VI dari urutan Raja-Raja
Kutai Kartanegara. Dialog antara Datuk Tunggang Parangan
dengan Raja Kutai Raja Makota adalah sebagaimana dikutip dari
surat Silsilah Raja-Raja Kutai, deselesaikan oleh Tuan Khatib
Muahmmad Tahir pada tahun 1265 H.
Tuan Tunggang Parangan melakukan syiar Islam di Kutai sampai
akhir hayatnya pada Abad 17 dan tak kembali lagi ke
Minangkabau. Setelah wafat, jasadnya dimakamkan di Kutai Lama,
Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan
Timur sekarang. Komplek Makam Aulia Habib Hasyim yang
13
bergelar Tunggang Parangan lokasinya satu komplek dengan
Makam Raja Kutai di Desa Kutai Lama, Anggana, Kutai
Kartanegra. Makam tersebut ramai diziarahi pengunjung dari
Kalimantan Timur maupun luar daerah khususnya pada Sabtu-
Minggu, hari libur nasional maupun menjelang Bulanramadhan.
6. Habib Husein al- Kadri
Islam di Kalimantan Barat berjalan secara alami Habib Husein
al-Kadri sebagai juru dakwah pertama, dilanjutkan oleh putranya
Syarif Abdurrahman al-kadri bersama para kader dakwah lainnya.
Disebut alami disini karena selain tugas dakwah dijalankan,
aktivitas ekonomis juga digerakkan sehingga para juru dakwah
perintis ini memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. Dengan
kekuatan ekonomi ini pula dakwah menjadi semakin berhasil,
ditambah relasi yang luas dengan para pedagang lainnya.
Walaupun bagi Kalimantan barat, datangnya Islam yang dibawa
oleh Syarif Husein alKadri, Kalimantan barat bukan merupakan
daerah pertama yang didatanginya. Dan rentetan kronologi sampai
akhirnya beliau menetap dan memusatkan dakwah di Kalimantan
Barat.
Beliau sendiri lahir tahun 1118 H di Trim Hadramat Arabia.
Tahun 1142 H setelah menamatkan pendidikan agama yang
memadai, atas saran gurunya berangkat menuju negeri-negeri timur
bersama tiga orang kawannya untuk mendakwah islam. Tahun
1145 H mulanya mereka tiba di Aceh. Sambil berdagang mereka
mengajarkan Islam disana. Lalu perjalanan di lanjutkan ke Betawi
(Jakarta) sedangkan temannya Sayyid Abubakar Alaydrus menetap
di Aceh, Sayyid Umar Bachasan Assegaf berlayar ke Siak dan
Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Quraisy ke Trenggano. Syarif
Husein al-kadri tingggal di betawi selama 7 bulan, kemudian di
Semarang selama 2 tahun bersama Syekh Salam Hanbali. Tahun
1149 beliau berlayar dari Semarang ke Matan (ketapang)
14
Kalimantan Barat dan diterima di Kerajaan Matan. Seiring dengan
usaha dakwahnya, penganut Islam semakin bertambah dan Islam
memasyarakat sampai ke daerah pedalaman. Maka antara Tahun
1704-1755 M ia diangkat sebagai Mufti (hakim Agama Islam)
dikerajaan Matan. Selepas tugas sebagai Mufti, beliau sekeluarga
diminta oleh raja Mempawah Opo Daeng Menambun untuk pindah
ke Mempewah dan mengajar agama disana sampai kemudian
diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempewah, sampai
wafatnya tahun 1184 dalam usia 84 tahun.5
1. Perdagangan
5
http://kota-islam.blogspot.com/2013/11/sejarah-islam-di-kalimantan-barat.html
15
2. Dakwah
6
Ahmad Barjie B, Kerajaan Banjar dalam Bingkai Nusantara.( Banjarmasin:CV. Rahmat Hafiz Al
Mubaraq,2018) hlm 28 - 91
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna dan
masih banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu dan
kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kepada siapa saja yang berkenan membaca, memiliki
makalah ini agar kiranya dapat memberikan saran-saran yang
sifatnya membangun kepada makalah kami ini, agar kami dapat
memperbaikinya dipembuatan yang akan datang.
17
DAFTAR PUSTAKA
https://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/03/28/biografi-syekh-
muhammad-arsyad-al-banjari-kalimantan-selatan
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nafis_al-Banjari syeihk Muhammad Arsyad Al
Banjari
https://www.academia.edu/35685339/BIOGRAFI_SULTAN_SURIANSYAH
Sumber: http://lovechinchun.blogspot.com/2012/11/kerajaan-kotawaringin-lama-
normal-0.html
http://kota-islam.blogspot.com/2013/11/sejarah-islam-di-kalimantan-barat.html
Barjie Ahmad B, Kerajaan Banjar Dalam Bingkai Nusantara, Banjarmasin: CV. Rahmat
Hafiz, 2018
18
19