Anda di halaman 1dari 252

Bibliografi Karya Ulama Minangkabau

Awal Abad XX

Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Kaum Muda


Apria Putra
Chairullah Ahmad

Bibliografi Karya Ulama Minangkabau


Awal Abad XX

Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Kaum Muda

Komunitas Suluah (Suaka Luhung Naskah)


Indonesia Heritage Centre
Padang, 2011
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX
Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Kaum Muda

Penulis:
Apria Putra
Chairullah Ahmad

Design sampul
Tim Kreatif SULUAH

Tata letak:
Pengantar Penulis

‫ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﳏﻤﺪ‬.‫ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ‬


‫ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺃﲨﻌﲔ‬
Syukur al-Hamdulillah buku ini dapat penulis selesaikan
dengan segala keterbatasannya. Adapun penulisan buku ini
dimotivasi oleh keinginan untuk mengangkat kembali karya-
karya klasik ulama Minangkabau, yang saat ini telah tenggelam,
serta dilupakan. Banyaknya karya-karya yang lahir dari ulama-
ulama Minangkabau semakin membuktikan betapa ranah ini
dulunya merupakan pusat intelektual Islam sebelum datangnya
era modernisasi. Dengan-nya, sebutan bahwa negeri ini
merupakan “Gudang Ulama” dimasa silam terbukti benar adanya.
Kemudian, bagaimana agar keadaan masa lalu itu tidak hanya
sekedar jadi kenangan manis dalam memori kolektif orang
banyak? Jawabnya, salah satunya dengan bercermin kepada
pribadi dan karya-karya sebagai warisan tertulis dari mereka. Dan
penulisan buku ini ialah langkah awal, sebagai inventarisasi
karya-karya mereka yang mulanya terserak ditengah-tengah
masyarakat.
Meski pengumpulan dan identifikasi buku ini belumlah
lengkap, sebab sangat banyak karya-karya yang belum dapat
diakses, namun penulis berharap hadirnya buku ini mampu
membantu para pembaca untuk mengenal karya-karya di awal
abad XX, serta memberi arahan dalam memetakan pemikiran
ulama-ulama tersebut, tentunya sambil mengenal kepribadian
mereka masing-masing.
Dalam penulisan buku ini, penulis mengucapkan
terimakasih yang tak terhingga kepada para ulama, Syekh-syekh,
khalifah-khalifah dan para zurriyyat (pewaris) ulama-ulama silam
yang penulis temui dilapangan. Dimana para pemangku ulama ini

i
telah membuka pintu selebar-lebarnya untuk penulis dalam
mengakses karya-karya yang mereka warisi tersebut. Ucapan
terima kasih selanjutkan penulis ucapkan kepada Bapak
Dr. Ahmad Taufik Hidayat yang telah menyokong penulis dalam
hal pengumpulan karya-karya tersebut dan telah pula berkenan
memberikan pengantarkan dalam buku ini. Terima kasih kepada
Dr. Danil M. Chaniago, Bapak Drs. Yulizal Yunus, M. Si (Lemlit
IAIN), Dr. Zaim Rais, MA. dan Ibuk Yulfira Riza, M. Hum, atas
support-nya dalam inventarisasi khazanah Ulama Minangkabau.
Selanjutnya kepada tim kecil “Filologia Sastra Arab `07”, meski
telah berlalu, namun pengalaman bersama dalam melanglang
buana menelusuri bukit dan lembah mencari khazanah Ulama
sangat berarti bagi penulis. Ucapan terima kasih selanjutnya
kepada teman-teman dari Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab
angkatan 2007, yang sedang berjuang menyelesaikan studi
di Fakultas Adab. Selanjutnya kepada adik-adik, laskar pemburu
Naskah kuno dari Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab angkatan
2009, terus berjuang, selamatkan warisan Ulama Silam. Terakhir
terimakasih kepada Komunitas Suluah, tempat penulis belajar
berkarya, dan The Indonesian Heritage Centre (IHC), yang telah
menfasilitasi penerbitan buku ini.
Penutup kalam, semua jerih payah ini dipersembahkan
buat orang-orang terdekat yang penulis cintai: Ayahanda dan
Ibunda, guru-guru penulis dalam lembaga formal maupun non
formal, serta rekan seperjuangan Lastri Rafren dan Rizhasca
Samra. Semoga bermanfaat untuk para pembaca umumnya.

Palimo Indah, Padang, 23 Mei 2011

Apria Putra
Chairullah Ahmad

ii
Kata Pengantar
Oleh: Dr. Ahmad Taufik Hidayat*

Dalam sekuel sejarah perkembangan Islam di ranah


Minangkabau, abad XX merupakan fase penting berkenaan
dengan pergolakan pemikiran dan pergerakan yang saling
tumpang tindih dengan situasi politik dan pembaharuan di
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ulama sebagai sumber
gagasan bagi masyarakat tentu memiliki tanggung jawab moral
dalam menjelaskan aspek-aspek yang bersinggungan langsung
dengan aqidah, pengamalan dan pendidikan Islam dalam situasi
demikian. Dalam perspektif semacam ini jejak-jejak karya tulis
ulama pada masa itu telah dicoba dipetakan lewat beberapa
sumber penting. Sanusi Latif dalam disertasinya yang berjudul
Gerakan Kaum Tua di Minangkabau misalnya, telah mendata
ratusan karya-karya tulis ulama, baik dari kalangan kaum tua
maupun kaum muda. Sebagai upaya melacak kembali gagasan
dan sejarah kepenulisan para ulama pada masa itu mungkin
disertasi Latif adalah yang pertama dan terpenting. Namun
sayang, buku penting ini hingga saat ini belum pernah dicetak
ulang dan diterbitkan, kendati kebutuhan terhadap buku ini kian
dirasakan di lingkungan akademis. Alhasil, karena kebutuhan
tinggi sedangkan bukunya tidak lagi beredar, banyak pihak
berinisatif untuk menggandakannya dalam bentuk kopian.
Ketertarikan kalangan akademis terhadap karya Ulama
abad XX dilatari oleh banyak faktor. Selain untuk melengkapi
bahan-bahan studi mengenai dinamika intelektual Islam pada

*
Dosen Sastra Arab dan Filologi Fakultas Adab, IAIN Imam
Bonjol Padang.
masa itu yang mungkin tidak pernah tuntas dibicarakan,
barangkali juga didasari atas rasa penasaran bahwa pendataan-
pendataan yang dilakukan sebelumnya masih jauh dari kategori
memadai. Masih banyak karya-karya penting para Ulama yang
tersebar di sejumlah lokasi dan belum terdata dengan baik. Dalam
spirit semacam itu buku ini hadir. Ditulis oleh dua orang
mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Adab jurusan Bahasa dan
Sastra Arab: Khairullah Ahmad dan Apria Putra, buku ini ingin
menjangkau karya-karya yang belum terdata dalam penelitian-
penelitian sebelumnya. Lebih jauh, apa yang dilakukan oleh dua
orang mahasiswa ini tidak hanya sekedar melakukan pendataan.
Di dalam bibliografi ini juga dijelaskan saling keterhubungan
antara satu tulisan dengan tulisan yang muncul sebelumnya,
terutama dalam wacana perdebatan faham dan polemik
keagamaan. Dengan keleluasaan waktu untuk melanglang
berbagai tempat dan semangat untuk membangun intelektualitas,
mereka melakukan pelacakan ke berbagai lokasi di wilayah
Sumatera Barat, dari situs, pusat dokumentasi, informasi dari
individu, laporan-laporan penelitian dan tempat-tempat lain yang
diduga menyimpan koleksi-koleksi karya-karya Ulama dimaksud.
Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan mudah merangkum
dan memetakan sejumlah karya tulis Ulama yang lahir pada
rentang abad XX. Medan perjuangan untuk melakukan upaya itu
terlalu sulit terutama dikarenakan kelangkaan sumber informasi.
Pada umumnya, karya-karya Ulama pada masa itu memang telah
dicetak dan bukan lagi berupa manuskrip yang ditulis dengan
tangan. Tetapi dari sisi kelangkaannya, karya-karya ulama dalam
bentuk cetak ini tidak kalah dibanding dengan manuskrip-
manuskrip yang muncul lebih awal, yang ditulis oleh para ulama
generasi sebelumnya. Oleh karenanya, sebagaimana manuskrip,
upaya konservasi, pendataan dan bahkan membuat rangkumannya
dalam bentuk kumpulan bibliografis seperti yang ada di hadapan
pembaca sekarang, merupakan pekerjaan yang bernilai tinggi. Di
lingkungan IAIN Imam Bonjol Padang, kreatifitas yang
ditunjukkan oleh dua orang mahasiswa ini patut diapresiasi dan
didukung secara kelembagaan, dalam upaya meningkatkan kajian
di bidang-bidang sosial keagamaan, menjadikan IAIN sebagai
central of excellence yang berbasis riset serta bank data bagi
studi-studi keislaman di Sumatera Barat.
Akhirnya secara pribadi, sebagai dosen di Fakultas Ilmu
Budaya Adab, saya turut bersuka cita dengan lahirnya buku ini.

Padang, 16 Mei 2011

Dr. Ahmad Taufik Hidayat, MA


Daftar Isi
Pengantar Penulis [i]
Kata Pengantar: Dr. Ahmad Taufik Hidayat [iii]
Daftar Isi [vii]

Prolog [1]

Bagian I
Ulama, Faham Agama dan Karya Intelektual [5]

Bagian II
Pemetaan Karya-karya Ulama Minangkabau Awal abad XX [21]
1. Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi [22]
2. Syekh Muhammad Sa’ad Mungka [37]
3. Syekh Muhammad Dalil Bayang [44]
4. Syekh Khatib Muhammad Ali al-Fadani [49]
5. Syekh Thayyib Umar Sungayang [60]
6. Syekh Yahya al-Khalidi Magek [63]
7. Syekh Thaher Jalaluddin al-Falaki [66]
8. DR. Abdul Karim Amarullah [70]
9. Syekh Jalaluddin al-Kusai Sungai Landai [91]
10. Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang [93]
11. Syekh Hasan Bashri Maninjau [96)
12. Syekh Muhammad Jamil Jaho [98]
13. Syekh Muhammad Jamil Jambek [105]
14. Syekh Sulaiman ar-Rasuli [110]
15. H. Abdullah Ahmad
16. Syekh Muhammad Zein Batusangkar [150]

vii
17. Syekh Muda Abdul Qadim Belubus [152]
18. Syekh Harun Toboh Pariaman [158]
19. Syekh Ibrahim Musa Parabek [160]
20. Syekh Abu Bakar Ali Naqsyabandi Maninjau [165]
21. Syekh Janan Thaib Bukittinggi [168]
22. Syekh Sidi Jamadi Koto Tangah [171]
23. Abdul Jalil Angku Mudo Bonjol Khatulistiwa
24. Haji Jalaluddin [176]
25. Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim [180]
26. Ust. Zainuddin Labay el-Yunusi [182]
27. Buya H. Sirajuddin Abbas [184]
28. Buya Hamka [186]
29. Buya H. Mansur Dt. Nagari Basa [188]
30. Syekh H. Yunus Yahya Magek [91]

Bagian III
Dinamika Intelektual Ulama Minangkabau dalam Karya-karya
awal abad XX [193]
1. Tarikat (Tasawuf) [193]
2. Fiqih (furu’) [209]
3. Tauhid (Akidah) [212]

Epilog [219]

Daftar Kepustakaan [221]

Lampiran:
Transliterasi Tulisan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
“Keadaan Minangkabau Dahulu dan Sekarang” [235]

Biodata Penulis [243]

viii
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Prolog

Awal abad XX merupakan waktu dimana kita mengenal


lahirnya berbagai macam karya dari ulama-ulama besar
Minangkabau. Sebelum masa ini, tidaklah kita menemui satu
catatan yang memberi arahan mengenai karya-karya ulama yang
muncul kala itu, seperti halnya abad XX. Sebabnya, diabad XIX
itu karya-karya cemerlang itu ditulis secara manual dalam bentuk
manuskript, disalin oleh murid-murid sang ulama tersebut, dan
tidak tersebar luas ditengah masyarakat layaknya sebuah buku
bacaan.
Oleh karenanya, walau tercatat tipikal ulama-ulama besar
abad XIX seumpama al-Marhum Syekh Muhammad Thahir
Barulak, al-Marhum Syekh Muhammad Jamil Tungkar, al-
marhum Syekh Jalaludin al-Khalidi Cangkiang, al-marhum Syekh
Muhammad Shaleh Silungkang, al-marhum Syekh Abdul Halim
al-Khalidi Labuh, al-marhum Syekh Abdurrahman al-Khalidi
Batu Hampar (w. 1899), al-marhum Syekh Abdul Halim al-
Khalidi Padang, al-marhum Syekh Musthafa al-Khalidi Sungai
pagu (w. 1901) dan Tuan Syekh Muhammad Yatim al-Khalidi
Padang,1 namun tak ditemui informasi mengenai karangan-

1
Mengenai ulama-ulama ini dan sepak terjang mereka dalam
dinamika Islam di Minang-kabau dapat dilihat dalam Syekh Abdul Majid Kinali,
Naskah Tarikat Naqsyabandiyah Kinali (Manuskript, 657 halaman) khusus pada
hal. 21-22; H. Abdul Wahid Ketinggian, Nazham Ziarah Kubur (Manuskript. 5
hal) terutama hal. 2-3; Apria Putra, Syekh Muhammad Djamil “Beliau Tungkar”
(Draft buku “Islam dan Ulama-ulama Luak nan Bungsu”); Syekh Khatib
Muhammad ‘Ali, Manaqib Syekh Mushtafa al-Khalidi Sungai Pagu (sebuah
risalah yang belum dapat diakses keberadaannya hingga saat ini). Terakhir
beberapa peneliti dari Universitas Andalas (Unand) telah berhasil menemui
beberapa script tersebut dari beberapa pusat aktifitas ulama silam, seperti

1
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

karangan mereka, padahal beliau-beliau itu terkenal selaku ulama


terkemuka Minangkabau, yangmana fatwa dan pengajarannya
diperpegangi dalam mazhab Syafi’i dan Tarikat Naqsyabandiyah
oleh segenap lapisan masyarakat Minang kala itu, kecil
kemungkinan mereka tak meninggalkan satupun script atau
risalah buat murid dan anak-cucunya.
Adapun karya-karya ulama Minangkabau di awal Abad
XX, beruntung beberapa ahli negeri kincir angin telah
memberikan informasi penting perihal bibliografi yang lahir di
masa itu. Salah satunya ialah BJO. Schrieke lewat tulisannya
yang menurut Taufik Abdullah tak menggairahkan, Bijdrage van
de huidige godsdienstige beweging ter Sumatra’s Westkust (TBG
59,1919-1921), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah
Sumbangan Bibliografi.2 Walaupun sebuah tulisan sederhana
beserta analisis sepihak ala kolonial, tulisan ini banyak
memberikan informasi penting mengenai karya-karya ulama
Minangkabau yang lahir di masa pergolakan itu. Catatan ini telah
banyak membantu para peneliti dikemudian hari, seperti M.
Sanusi Latief dengan disertasinya Gerakan Kaum Tua di
Minangkabau3 sebuah tulisan panjang yang menjadi sumber
komprehensif mengenai ulama-ulama tua beserta karya tulisnya
sampai saat ini. karya Latief inipun banyak memberi ilham
kepada calon-calon doktor berikutnya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya lahir
karya-karya intelektual ulama Minang di awal abad XX itu, salah

ditemui sebuah manuskrip ilmu Tasawwuf di bekas Surau besar Syekh


Abdurrahman Batu Hampar, berikut beberapa buah Ijazah Tarikat
Naqsyabandiyah dan Qira’at serta sebuah Autobiografi, halmana temuan ini
memberikan informasi yang sangat penting dan langka bagi peneliti Islam di
Sumatera Barat.
2
Lihat BJO. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah
Sumbangan Bibliografi (Jakarta: Bhratara, 1973). Mengenai penilaian mengenai
tulisan Schrieke ini baca Taufik Abdullah pada kata pengantarnya.
3
M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau (Disertasi
Doktor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988)

2
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

satunya yang terpenting ialah karena munculnya pergolakan


antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Dimana tulisan merupakan
cara yang cukup ampuh untuk menyebarkan ide-ide, sehingga
dapat sampai ke berbagai lapisan masyarakat. Hal ini juga
didorong oleh munculnya berbagai percetakan Arab di
Minangkabau4, sehingga karya-karya itu dapat diperbanyak sesuai
kebutuhan dan dapat diperoleh oleh segenap umat.

4
Percetakan-percetakan itu seperti de Volherding di Padang, al-
Moenir di Padang, Pulo Bomer di Padang, Percetakan orang Alam
Minangkabau/ Sutan Maharaja di Padang, Tandikek di Padangpanjang,
Islamiyah di Bukittinggi, Tsamaratul Ikhwan di Bukittinggi, Syarikatul ihsan di
Maninjau, Limbago di-Payakumbuh, dll.

3
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Bagian I
Ulama, Faham Agama dan Karya Intelektual

Dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau


keberadaan ulama sangatlah penting. Dia merupakan satu diantara
3 unsur pemimpin yang dikenal dengan sebutan tungku tigo
sajarangan. Salah satu sebab yang dapat kita kutip, bahwa ulama
telah memainkan peranan yang krusial di pulau perca, alam
Minangkabau, sejak masuknya agama Islam.5 Signifikannya
posisi ulama berikut pengakuan masyarakat terhadap malin itu,
telah membuat Minangkabau dikenal luas sebagai gudangnya
para ulama, tempat bermukimnya orang alim cendikia sejak masa
berabad-abad sebelum zaman modern ini. hingga kini sebutan dan
nama besar Minangkabau sebagai lumbung ulama itu masih lekat,
terngiang-ngiang bagi sebahagian besar orang Minang.
Jika berbicara mengenai ulama Minangkabau, maka kita
tidak akan terlepas dari sebuah institusi pendidikan tradisional
Surau, karena memang mereka hidup, belajar, dan
mengembangkan karir keulamaannya di surau. Dalam kehidupan
masyarakat, surau mempunyai fungsi yang sangat penting, apakah
dalam menata kehidupan sosial, tempat bermusyawarah, belajar
adat, belajar silat, dan yang utama sebagai tempat belajar agama,
bahkan sebelum abad XX surau sempat menjadi barometer
ekonomi masyarakat pedalaman Minangkabau, dimana komoditi

5
Hal ini juga didukung oleh kuatnya hubungan Adat dan Islam, tidak
terpisah, sandar menyandar. Hal ini dapat dilihat dalam karangan-karangan adat,
misalnya dalam sebuah karya sastra lama yang berdedikasi filsafat
Minangkabau, Datoeak Padoeko Alam Koto nan Ampek menutup uraian kaba-
nya dengan ucapan: sabanyak-banyak pengajian, walau bak bintang di atas
langit, atau bak air dalam laut, tidak lain tidak bukan, maksudnyo Iman dan
Islam. Lihat Datoeak Padoeko Alam Payakumbuh, Rancak di Labuah
(Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1919) hal. 61

5
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

rempah pernah didonimasi oleh masyarakat surau.6 Meski Surau


sebagai institusi Islam7 telah dikenal sejak masa Syekh
Burhanuddin Ulakan pada paroh pertama abad ke-XVII8, namun
geliat ekonomi dan sosial masyarakat lebih menguatkan posisi
surau di Minangkabau disamping sebagai institusi pendidikan.
Hal ini semakin kentara setelah terjadinya gerakan Paderi. Paderi
mampu meninggalkan pengaruh yang luas dikalangan masyarakat
Minang untuk hidup taat menjalankan agama Islam,9 dengan tak
lain memakmurkan kehidupan surau.
Ketika pergolakan Paderi usai, maka semakin banyak
surau bemunculan, menjamur seantero Minangkabau. keadaan ini
kemudian didukung oleh dibukanya jalur laut untuk berlayar ke
Mekkah, sehingga memungkinkan banyak orang siak berhaji dan
belajar di kota suci tersebut. Setelah pulang, mereka membuka
surau untuk pengajian kitab. Sehingga pada abad XIX tersebut
banyak ditemui surau-surau terkemuka yang memiliki orang siak
yang ramai dari berbagai penjuru negeri. Dalam sebuah data yang
dikemukakan pihak Belanda, diberikan AWP. Verkerk Pistorius,

6
Untuk lebih lanjut baca misalnya Christine Dobbin, Islamic
Revivalism in a charging Peasant Economy: Central Sumatera 1784-1847
diterjemahkan Lilian D. Tedjasudhana, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam
dan Gerakan Paderi: Minangkabau 1784-1847 (Depok: Komunitas Bambu,
2008) hal. 198-202; baca juga Syafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol: Sejarah
Intelektual Islam di Minangkabau 1784-1832 (Padang: Esa, 1993) hal. 35-41
7
Sebelum Islam surau dikenal sebagai tempat pengemblengan ajaran
Budha. Pada tahun 1386, Adityawarman mendirikan sebuah biara Budha tempat
belajar adapt yang sakral di Minangkabau, diantaranya yang masih tertulis
dalam prasasti ialah nama Saruaso, yang berarti Surau Aso (surau asal/ utama).
Syafnir Aboe Nain, op. cit., hal. 27
8
Tim Redaksi, Ensiklopedi Minangkabau: Edisi Awal (Padang: Pusat
Pengkajian Islam dan Minangkabau Sumbar, 2005) hal. 384
9
Betapa besar pengaruh paderi tersebut, baca lebih lanjut Irhash A.
Shamad dan Danil M. Chaniago, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat
Minangkabau (Jakarta: PKBI dan Tintamas, 2007) hal. 63-85; Muh. Radjab,
Perang Paderi di Sumatera Barat (Jakarta: Kementerian PP dan K, 1954);
jangan lupakan Syekh Jalaluddin Cangkiang, Naskah Faqih Shahir ‘Alamiyah
Tuanku Samiak Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo. Terutama hal. 12-20;
Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan
Modernisasi (Jakarta: Logos, 2003) 72-80

6
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

dalam artikelnya yang berjudul De Priester En Zijn Invloed op de


samenleving in de Padangsche Bovenlanden (pengaruh para
ulama dalam masyarakat Minangkabau) pada tahun 1868. dia
memberikan data banyaknya surau di Minangkabau kala itu,
diantaranya:
1) Surau Taram, terbesar, sekitar 1000 murid.
2) Surau Koto Tuo, sekitar 220 sampai 300 murid.
3) Surau Cangkiang, sekitar 400 murid.
4) Surau Pasir, sekitar 300 murid.
5) Surau Laboh – Tanah Datar, sekitar 200 murid.
6) Surau Padang Gantiang – Tanah Datar, sekitar 100 murid.
7) Surau Simabur, sekitar 200 murid.
8) Surau Pangean, sekitar 100 murid.
9) Surau Piei (Laras Salajoe), sekitar 300 murid.
10) Surau Muara Panas, sekitar 150 murid.
11) Surau Kota Hanou, sekita 200 murid.
12) Surau Kasih, Larang Saniang Bakar, sekitar 150 murid.
13) Surau Singkarah, sekirar 100 sampai 150 murid.
14) Surau Calou (Sijunjung), sekitar 300 sampai 400 murid.
15) Surau Padang Sibusuk, sekitar 150 murid.10
Data yang diberikan ini tentu tidak menyeluruh. Tapi data
ini cukup memberikan gambaran betapa banyak lembaga surau
dengan jumlah orang siak-nya di Minangkabau. Nama-nama
perguruan lainnya di Abad XIX itu dikemukakan kemudian oleh
Mahmud Yunus.11

10
Bagindo Armaidi Tanjung, Mereka yang Terlupakan: Tuanku
Menggugat (Padang: Pusataka Artaz, 2008) hal. 10-11
11
Nama-nama yang dikemukakannya ialah: (1) Surau Syekh Abdullah
Khatib Ladang Lawas Bukittinggi, (2) Surau Syekh Muhammad Jamil Tungkar,
(3) Surau Syekh Tuanku Kolok (Syekh Muhammad Ali) di Sungayang –
Batusangkar, (4) Surau Syekh Abdul Manan (Tuanku Talao) di Padang Gantiang
– Batu Sangkar, (5) Surau Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandis – Suliki,
(6) Surau Syekh Abdullah “Beliau Surau Baru” di Padang Japang – Suliki, (7)
Surau Syekh Ahmad Alang Lawas – Padang, (8) Surau Syekh Amarullah –
Maninjau. Mahmud Yunud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1982) hal. 51

7
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Ibaratkan pesantren di Jawa, surau di Minangkabau


mempunyai beberapa komponen yang membentuk komunitas
orang siak dalam hubungannya dengan menuntut ilmu.
Setidaknya ada tiga komponen yang saling bersinergi dalam
komunitas surau, Pertama, ulama yang menjadi pengajar utama;
kedua, orang siak (santri) yang menuntut ilmu dan ketiga
keilmuan Islam yang diajarkan.
Mengenai ulama, sebagai sandinya lembaga surau,
merupakan seorang yang memiliki keilmuan keislaman yang
komplit. Seorang ulama dianggap bukan berdasarkan diploma
yang dipegangnya, tapi murni karena keilmuan yang yang
dituntutnya sekian lama. Dari kecil sudah tinggal di surau, belajar
alif sampai ya, kemudian naik kaji membaca al-Qur’an. Setelah
khatam, seorang siak kecil mulai membaca kitab-kitab matan12
dalam berbagai bidang dasar keilmuan. Setelah menamatkan
kitab-kitab tersebut (dengan menghafalnya), seorang siak akan
mempelajari syarah (komentar) matan-matan itu, mulai dari yang
terendah hingga yang paling rumit. Kitab syarah ini ditulis
dengan Arab gundul, tanpa syakal dan tanpa tanda baca (titik
maupun koma). Pengajaran kitab ini dengan cara dikte, dimana
seorang ulama membacakan lafazd dan makna beriringan, disaat
itu sang murid mencatat makna di samping teks kitab dengan
Arab Melayu.13 Metode belajar kala itu ialah dengan ber-halaqah,
sekelompok orang siak mengelilingi seorang Syekh. Seusai
belajar, orang siak akan mengulang pelajaran yang telah
dibacakan dalam majelis tadi dengan seorang guru Tuo (guru
bantu), yaitu seorang murid yang telah senior. Begitulah
keadaannya hingga tamat beberapa kitab. Beberapa surau besar
biasanya membuka majelis khusus yaitu majelis debat. Dalam
majelis ini guru tak lagi membacakan kitab, tapi seorang siak
akan memuthala’ah kitab sendiri dan menganalisanya, kemudian
sesama orang siak mengadakan tanya jawab yang tak jarang

12
Yaitu kitab-kitab tipis yang berisi tentang suatu vak keilmuan secara
global. Kitab-kitab ini biasa ditulis dengan bahasa Arab yang sederhana dan
mudah dipahami, ditulis lengkap dengan syakal.
13
Dalam filologi dikenal dengan istilah scholia

8
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

berujung pada debat. Diakhirnya ulama pemimpin majelis itu


akan memberikan kata putus, menerangkan hal ihwal yang
diperdebatkan.14 Majelis seperti ini biasanya dipakai untuk
membahas kitab-kitab yang besar seupama Mahalli atau Mughni
Muhtaj.
Setelah menyelesaikan pengajiannya di sebuah surau,
seorang siak yang berkeinginan kuat akan melanjutkan
pengajiannya di surau-surau lain. Ulama-ulama pemangku surau
tersebut mempunyai kemahiran yang berbeda-beda, dan surau-
surau hingga awal abad ke XX dikenal mempunyai spesialiasi
keilmuan tersendiri. 15 Ketika menamatkan kaji di berbagai
halaqah surau dengan berbilang ulama, seorang siak, untuk
memantapkan ilmu sekaligus untuk menyempurnakan rukun
Islam ke-lima, akan berangkat mengunjungi Mekkah, yang kala
itu naik pamor, bukan hanya sebagai pusat ibadah, namun juga
sentra keilmuan islam. Dengan sarana seadanya mereka berlayar
ke Mekkah, ada dengan menaiki kapal uap, tak jarang mereka
yang berkeinginan kuat berjalan kaki. Dari Minang terus ke tanah
Batak, lalu Aceh, menyeberang Sabang, terus Pattani lalu ke
Haramain.16

14
Majelis seperti ini pernah hidup di Jaho, tepatnya di MTI Jaho,
dimasa kepemimpinan Buya H. Muhammad Dalil Dt. Manijun
15
Spesialisasi keilmuan surau-surau awal abad XIX dapat dilihat pada
mukaddimah Naskah Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir, diantara yang
dikemukakannya: (1) Surau Ulakan dikenal dengan ilmu Tarikat; (2) Surau
Tuanku Koto Tuo Kamang dikenal dengan ilmu Alat (Nahwu dan Sharaf); (3)
Surau Tuanku Mudik Tampang dikenal dengan ilmu Mantiq dan Ma’ani; (4)
Surau Sumanik dengan ilmu Tafsir, Faraidh dan Hadist; (5) Surau Tuanku di
Talang dalam ilmu Sharaf; (6) Surau Tuanku di Salayo dalam ilmu Nahwu yang
tiga. Selanjutnya ketika surau-surau ini telah berganti dengan Madrasah,
kecendrungan untuk spesialisasi ini masih terasa, terdengar dari ucapan orang
tua-tua kalau MTI Candung dikenal dengan ilmu Fiqih-nya, MTI Jaho dan
Tabek Gadang dengan ilmu Alat-nya, MTI Bayur dan MTI Lampasi dengan
Tasawuf-nya, dan sebagainya.
16
Salah seorang diantaranya ialah Syekh Abdurrahman Kumango (w.
1927)

9
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Mekah kala itu memang menjadi idola bagi setiap


penuntut agama. Di Mekah, selain sebagai tempat beribadah, juga
merupakan tempat bermukimnya para ulama dari berbagai
penjuru dunia, dengan keahlian yang bermacam ragamnya.
Sehingga posisi Mekah menjadi pusat intelektual terkemuka
hingga paruh pertama abad ke XX.17 Di sana orang-orang siak,
seperti istilah Azra, menjalin koneksi intelektual, membentuk
jaringan ulama kosmopolitan.18 Ketika orang-orang siak tersebut
pulang, mereka lantas terjun ke tengah masyarakat, mengajar
lewat institusi Surau.
Ulama, disamping sebagai pemimpin sebuah surau, juga
sebagai pemimpin masyarakat yang disegani serta dipatuhi.
Kepatuhan lapisan masyarakat kepada sosok ulama memang
menjadi kelaziman, terutama diabad-abad lalu. Sikap kharismatik
yang terpancar dari intelektual yang dalam menjadi daya tarik
sendiri bagi seorang malin, sehingga hal ini seakan menjadi
bebauan yang semerbak. Tak jarang ada riwayat bahwa orang-
orang siak dahulu rela berjalan kaki ber-km jaraknya, menuruni
lurah serta mendaki perbukitan, melewati perkampungan atau
hutan rimba negeri tak bertuan, hanya untuk mendengar sepatah
atau dua patah kaji, namun itu sudah merupakan sebuah kepuasan
yang tiada tertandingi. Ulama memang menjadi tumpuan dan
idola, ketokohan mereka memang pantas setara dengan ilmuan
yang mereka miliki, tinggi dan teruji, lubuk faham yang dalam.
Lebih-lebih lagi bila seorang ulama terkemuka dalam Tarikat

17
Tepat pada tahun 1925, Mekah dikuasai oleh tentara Ibnu Sa’ud
dengan ideologi Wahabi-nya. Mulai saat itu mulailah turun intensitas Mekah
sebagai pusat intelektual, yakni ketika ajaran Wahabi menjadi faham resmi
pemerintahan Saudi, sehingga terjadi Wahabism di Mekkah yang banyak
menyingkirkan posisi ulama-ulama sunni yang telah lama berakar.
18
Catatan yang paling otoritatif hingga saat ini ialah Azra. Lihat
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Prenada Media Group, 2005) terutama hal. 51-78;
lihat juga Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat:
Tradisi-tradisi Islam di Indonesia oleh Martin van Bruinessen (Bandung: Mizan,
1995), terutama bagian judul Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang
nusantara naik Haji.

10
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Sufi, niscaya berbondong-bondong masyarakat mendengar kaji,


atau bahkan hanya ingin bertemu muka mengharap barokah,
sebagai lazimnya dalam tradisi ahlussunnah,19 cerminan pitua
orang-orang tua bahwa orang alim itu Iduik tampek berkhaul,
mati tampek bernazar. Kalaupun yang tinggal hanya makam yang
berkelambu saja, namun itu sangat dihormati, diziarahi orang
banyak tanda khitmah kepada ulama, sebagai diisyaratkan
agama.20 Begitulah perihal ulama-ulama masa silam, memang
sulit mencari tipikal ulama saat ini yang menyamai kepribadian
para alim terdahulu.
Transmisi keilmuan antara seorang ulama dan orang siak
dalam lingkungan sangatlah kompleks, antara guru dengan
seorang siak dijalin erat oleh adab (sopan santun) yang begitu
sakral, hingga anak guru juga dihormati layaknya guru meski
usianya lebih muda. Adab berguru mesti dipakai, dengan
itupulalah ilmu tersebut akan mudah diperoleh. Bila suatu saat
saja seorang murid bertindak buruk dengan gurunya, maka
ilmunya tak akan barokah, begitulah konsensus berguru ala surau,
dan keadaan tersebut memang ditemui dasarnya dalam kitab.
Apalagi dalam tradisi Tasawuf, yang menjadi prioritas sebahagian
besar ulama-ulama Minang, hal ini lebih ketat lagi.

19
Banyak nash yang menjelaskan tentang sikap menghormati ulama,
diantaranya disebutkan dalam kitab Irsyadul Ibad, hadist marfu’:


Terjemahannya:
Muliakanlah ulama karena mereka sebagai pewaris para Nabi. Maka siapa
yang memuliakan mereka berarti telah memuliakan Allah dan Rasul-Nya. (HR.
Ibnu Asakir) lihat lebih lanjut Syekh Zainuddin al-Malibari, Irsyadul Ibad ila
Sabilir Rasyad (Semarang: Thaha Putra, t. th) hal. 7-8; Imam Abi Hamid al-
Ghazali, Ihya Ulumiddin (Surabaya: Dar an-Nasyr al-Mishriyah, t. th) Juz-I hal.
5-9
20
Mengenai Ziarah makam Ulama, lihat misalnya Syekh Zainuddin al-
Fathani, Kasyful Ghaibiyah (t. tp: Maktabah Dar as-Salam, t. th) hal. 39-41; lihat
juga Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Syawahidul Haq fil Istighatsah bi
Sayyidil Khalaq (Beirut: Dar Fikr, 1983) hal.59-74

11
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Dunia Melayu, nusantara termasuk di dalamnya


Malaysia, Thailand, Filipina dan lainnya, merupakan wilayah
yang kuat menganut Islam atas i’tikad Ahlis Sunnah wal Jam’ah
dengan Mazhab Syafi’i serta ber-Tasawwuf lewat kearifan
Tarikat-tarikat Sufi. Hal ini telah menjadi kenyataan sejak
berabad-abad ketika Islam masuk ke daerah ini. begitu pulalah
Minangkabau. Ranah Minang pernah menjadi pusat keislaman
yang kuat menganut amal sunni dalam akidah, mazhab syafi’i
dalam Syari’at dan Tarikat Sufi dalam Tasawuf.21 Hal ini
diperkuat oleh temuan manuskrip-manuskrip tua yang umurnya
telah berabad-abad, yangmana kajian-kajian fiqih yang terdapat
dalam lembaran-lembaran lama itu berdasarkan mazhab Syafi’i,
kajian Tauhid berdasarkan Ahlussunnah dan kajian Tasawuf
menurut jalur al-Ghazali dan al-Junaid. Berikut, Tambo-tambo
lama yang ditulis tangan Arab Melayu, yang sangat kental dengan
nuansa Islam, itupun tidak terbertik satu fragmentpun yang
dinisbahkan kepada ajaran selain Sunni.22 Tidak ditemui satupun
bukti yang meyakinkan bahwa Minangkabau dahulunya pernah
didonimasi ajaran lain, seumpama Syi’ah atau Mu’tazilah.

21
Lihat misalnya Hamka, Mazhab Syafi’I di Indonesia dalam Antara
Fakta dan Khayal Tuanku Rao (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) hal. 320-325;
Martin van Bruinessen, op. cit., terutama hal. 18-20 dan 112-130; KH.
Sirajuddin Abbas, I’tiqat Ahlussunnah wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
2000) hal. 34-35; KH. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab
Syafi’I (Jakarta: Pustaka Tarbijah, 1972) hal. 218-267; Azyumardi Azra,
Jaringan…, op. cit., dalam karya ini Azra menjelaskan jaringan Ulama yang
notabenenya bermazhab Syafi’I dan bertasawuf Sunni di Nusantara; Imam
Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, Kitab Menerangkan Perkembangan
Agama Islam Semenjak Dahulu dari Syekh Burhanuddin sampai ke zaman kita
sekarang (manuscript) terutama bagian mukaddimah; Imam Maulana Abdul
Manaf Amin al-Khatib, Risalah Mizan al-Qalb (Manuskript) hal. 71-76
22
Dapat kita telusuri, misalnya dalam Edwar Djamaris, Tambo
Minangkabau: Suntingan Teks disertai Analisis Struktur (Jakarta: Balai Pustaka,
1991) terutama bagian uraian naskah dan suntingan teks; Zuriati, Undang-
undang Minangkabau dalam Perspektif Ulama Sufi (Padang: Universitas Sastra
Universitas Andalas, 2007) hal. 106-129 dan 161-269; Datoek Toeah, Tambo
Alam Minangkabau (Bukittinggi: Pustaka Indonesia, 1985); lihat pula M.
Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau (Jakarta: Bulan Bintang, 1957) hal.
23 dst…

12
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Kuatnya Mazhab Syafi’i di Minangkabau, disamping


karena Mazhab Syafi’i diisyaratkan oleh beberapa nash, unggul
dari sumber dasar dibanding 3 Mazhab lainnya,23 dipakai oleh
Imam-imam ahli hadis- Fiqih dan Tasawuf terkemuka,24 Mazhab
ini juga bersesuaian dengan Adat Minangkabau, dengan artian
tidak bertentangan. 25 Sehingga ketika terjadi sumpah satie Bukik
Marapalam, deklarasi persenyawaan adat dan syarak di Lintau,
disebut Syara’ nan lazim, adat nan kawi, maka yang dimaksud
Syara’ menurut keterangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli ialah
agama islam dengan i’tikad Ahlussunnah wal Jama’ah dan
Mazhab Syafi’i. Dipotong kerbau, dagiang dilapah, darah
dicacah, tanduak dibanam ka tanah, dimulai jo fatihah disudahi
jo do’a, sia nan malangga dimakan biso kewi, kaateh indak
bapucuak, kabawah indak baurek, ditangah-tangah digiriak
kumbang.26

23
Lihat perbandingannya dalam KH. Sirajuddin Abbas, Sejarah…, op.
cit., hal. 92-104
24
Baca Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius: Refleksi
pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Zainuddin Abdul Majid 1904-
1997 (Jakarta: Logos, 2004) hal. 213-214. Sehingga Imam Suyuthi, seorang
Ulama besar dan pengarang masyhur, mengubah sebuah Sya’ir sebagai berikut:

 
Terjemahannya:
Sesungguhnya Ibnu Idris (Imam Syafi’i) sangat tepat dan meyakinkan,
Ilmunya bersih tidak diragukan,
Dia keturunan bangsa Quraisy
Tuan rumah lebih mengetahui (isi rumahnya).
25
Syekh Khatib Ali, Burhanul Haq Radd ‘ala Tsamaniyah Masa’il al-
Jawab min Su’alis Sa’il alQathi’ah al-Waqi’ah Ghayatut Taqrib (Padang: Pulo
Bomer, 1918) terutama bagian I’lan
26
Baharuddin Rusli, Ayah Kita (Stensilan, 1978) hal. 30-31. Ada
beberapa versi pendapat mengenai Sumpah Bukik Marapalam ini. Namun
keterangan Syekh Sulaiman nampak jarang dibicarakan, padahal beliau memiliki
cacatan tertulis mengenai kejadian Sumpah Satie tersebut. Wasiat inyiak
Canduang itu bertahun 1964 (sebelum beliau wafat, dalam usia 99 tahun),
dimana beliau menerima riwayat Sumpah Satie itu dari tiga orang terkemuka

13
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Keberadaan Ahlussunnah dengan Mazhab Syafi’i dan


Tarikat Sufi yang telah menjadi pegangan ulama serta masyarakat
Minangkabau sejak masa-masa yang panjang itu kemudian mulai
terusik ketika munculnya gelombang pembaharuan di awal Abad
XX. Sebelum itu, dalam sejarah yang populer bahwa di
Minangkabau telah terjadi gerakan pembaharuan selama 2
periode, atau tepatnya 2 gelombang.27 Yang pertama diawal abad
XIX, dilancarkan oleh para Paderi. Kedua, diawal abad XX,
sebagaimana yang kita bicarakan saat ini.
Ada satu hal yang mesti diperhatikan mengenai
gelombang pembaharuan pertama, yaitu perihal Paderi dengan
faham Wahabi-nya sebagai diurai dalam banyak tempat di
berbagai buku. Diantaranya bahwa gerakan Paderi tidak jauh beda
dengan gerakan Wahabi; yang anti pati dengan segala hal yang
berbau Sufi; makam-makam keramat; dan satu hal bahwa Wahabi
sangat gemar mem-bid’ah-kan hal-hal telah menjadi tradisi dalam
Ahlussunnah.28 Hipotesa semacam ini (Paderi=Wahabi) memang
dilontarkan oleh beberapa pakar, seumpama Prof. Pieter jan Veth,
beliau mengemukakan bahwa persamaan Paderi dengan Wahabi
yaitu sama-sama dengan cara kekerasan.29 Namun pendapat ini
(Paderi=Wahabi) dibantah oleh Schrieke dengan alasan bahwa (1)

diabad XIX, yaitu: (1) Tuanku Lareh Kapau nan Tuo; (2) Nenek dari mertua
beliau di Ampang Gadang dan (3) Angku Canduang nan Tuo. Copy teks tersebut
dapat dilihat dalam Hamdan Izmi, Pertalian Adat dan Syara’ (Jakarta: Ciputat
Press, 2000) halaman terakhir; transliterasinya dalam Duski Samad, op. cit., hal.
87-89
27
Baca Hamka, Islam dan Adat Minangkabau (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1984) hal. 150 dan 156-158; Burhanuddin daya, Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1995) hal. 49-58; Irhash A. Shamad dan Danil M.Chaniago, op. cit.,
hal. 63, dst…
28
Lihat Irhash M.Shamad, op.cit., hal. 70-72; Haedar Nashir,
Menyibak Purifikasi Islam Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao (Makalah
Seminar Tuanku Rao) dalam Marjohan, op. cit., hal. 39-52. Mengenai sejarah
dan faham keagamaan Wahabi, lihat misalnya KH. Sirajuddin Abbas, I’tikad…,
op. cit., hal. 309-332, lihat juga Syekh Yusuf an-Nabhani, op. cit., hal. 29-48
29
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia
Abad ke-XIX (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hal. 35

14
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Paderi tidak menentang Ziarah ke makam-makam Ulama, (2) di


masa Syekh Jalaluddin dimulainya perayaan Maulid dengan
meriah, dan beberapa alasan lain.30 Kenyataan ini juga diperkuat
oleh analisa Hamka yang menyatakan bahwa ketiga Haji (pelopor
Paderi) itu memang terpengaruh Wahabi, namun tidak mengikuti
Hambali (mazhab-nya Wahabi).31 Berikut schrieke berujar,
pengikut Islam yang ketat bukanlah wahabi.32 Hal ini juga
diperkuat dengan kenyataan bahwa mereka, Tuanku Imam berikut
Harimau nan Salapan adalah murid Tuanku Koto Tuo yang ber-
Syathari dan ber-Syafi’i; para pasukannya terdiri dari orang-orang
Tarikat;33 riwayat Paderi yang sangat dekat dengan riwayat sufi-
sufi;34 hal makam-makam panglima Paderi yang diziarahi
layaknya seorang ulama Sufi nan Bertuah.35 Maka pendapat
bahwa Paderi memperoleh pengaruh Wahabi, tanpa menelan
mentah-mentah wahabi adalah pendapat yang cukup otoritatif
hingga saat ini, dan sulit dibantah. tanpa pengorbankan sunni
yang telah berakar tersebut.
Selama 10 tahun wahabi berdiam di Mekkah pada abad
XIX tersebut, yakni dari tahun 1803-1813,36 selama itu pula

30
Baca ibid., 33-36; Schrieke, op. cit., 17-18
31
Lihat Hamka, Antara Fakta…, op. cit., hal. 37-41
32
Schrieke, op. cit., 18; lihat pula Mestika Zed, Tuanku Rao: Riwayat
Hidup Tokoh Paderi di Kawasan Utara Minangkabau dalam Marjohan, op. cit.,
hal. 137-143
33
Seperti Maulana Syekh Ibrahim al-Khalidi Kumpulan (w. 1914),
guru besar Tarikat Naqsyabandiyah di Sumatera Tengah. Diusia mudanya
merupakan salah satu pasukan Paderi, padahal beliau telah jadi Syekh
Naqsyabandi yang diterimanya dari Syekh Muhammad Sa’id Padang Bubus.
Beliau wafat awal abad XX dalam usia yang sangat tua, 150 tahun. Lihat Syekh
Sulaiman Tuanku Saidina Ibrahim, Sejarah Ringkas Maulana Syekh Ibrahim al-
Khalidi Kumpulan (cetakan stensilan, Kumpulan – 2006)
34
Hal ini terlihat jelas dalam Naskah Faqih Shaghir
35
Misalnya Makam Tuanku nan Garang di Pandai Sikek, Haji Piobang
di Payakumbuh dan Tuanku nan Garang di Harau, mereka dikenal masyarakat
sebagai tokoh-tokoh Tasawwuf. Bahkan dikabarkan bahwa dimasa Tuanku nan
Renceh inilah populernya mantera-mantera berbahasa Minang yang kental unsur
Islamnya.
36
KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqat…, op.cit., hal. 313

15
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

wahabi menuai kecaman dari para ulama masa itu akibat faham
yang dibawanya bertentangan dengan amalan sunni yang telah
lama berakar, sudah pula puluhan bahkan ratusan buku yang
ditulis buat memberantas faham ini. diantaranya yang populer
ialah karangan Sayyid Ahmad Dahlan, mufti Syafi’i kala itu, guru
dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi dan Syekh Sa’ad
Mungka, menulis ad-Durarus Saniyyah fi Raddi ‘alal
Wahhabiyah.37 Kemudian Wahabi dapat dipukul mundur dari
Mekah, pengikutnya lari ke Nejd. Kemudian Mekkah kembali
dikuasai oleh para ulama sunni seperti sediakala. Disaat itulah
mulai berbondong-bondong orang-orang Melayu, diantaranya
Minang, belajar ke Mekah.
Di awal abad XX, mulailah muncul pergolakan dengan
apa yang dinamai dengan gelombang pembaharuan ke-2.
Hadirnya istilah Kaum Tua dan Kaum Muda 38 di awal Abad ke-
XX membawa warna tersendiri terhadap corak keislaman di
Nusantara, Minangkabau Khususnya. Perdebatan panjang tersebut
dimulai ketika munculnya kecaman para pembaharu39 terhadap

37
Lihat Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, ad-Durarus Saniyyah fi Raddi
‘alal Wahhabiyah (Turki: Hakikat Kitabevi, 2002). Didalamnya dibeberkan
segala faham ganjil-ganjil Wahabi disertai komentar beliau. Sayyid Ahmad
Zaini juga mengarang satu scrip yang sama. Lihat Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,
Fitnatul Wahhabiyyah (Turki: Hakikat Kitabevi, 2001)
38
Penamaan ini sesuai dengan faktor usia diantara dua kelompok ini.
Dikatakan Kaum Tua karena diantara tokoh-tokohnya kebanyakan ialah yang
sudah berusia lanjut. Dinamai kaum muda karena usia bereka umumnya masih
muda belia. Lihat Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib , Mizan…, op.
cit., hal. 77-95
39
Para pembaharu tersebut merupakan ulama-ulama muda yang
terpengaruh oleh ide-ide pembaharuan ala Rasyid Ridho, Muhammad Abduh,
Ibn Taimiyah dan lainnya. Mereka gencar melakukan perubahan terhadap sistem
lama dengan menyerap berbagai ide modern, apakah dibidang pendidikan,
politik, sosial dan sebagainya. Mereka juga berupaya merubah tradisi dan
amalan yang tidak sesuai dengan pendirian mereka, bahkan sekali-kali juga
dengan cara radikal. Maka terkenallah nama-nama pelopor pembaharuan
tersebut seperti DR. Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul, ayah Hamka) dan
DR. Abdullah Ahmad, keduanya dihadiahi gelar Doktor Honaris Causa oleh
Universitas al-Azhar. Juga masyhur nama-nama seperti Zainuddin Labay el-
Yunusiah, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Inyiak Adam Balai-balai, Syekh

16
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

amalan dan tradisi keislaman yang dianggap tidak sesuai dengan


ajaran Islam, juga menyangkut ketidak absahan ajaran Tarekat
yang dianut oleh kebanyakan Masyarakat Minangkabau waktu
itu. Beredarnya risalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
yang mengecam Tarekat Naqsyabandiyah membuat pertikaian
kedua kelompok ini semakin alot dan meluas kewilayah
khilafiyah.40
Kaum Tua ialah mereka yang berpegang teguh kepada
faham lama, yaitu berittiqat dengan Ahlussunnah, bermazhab
Syafi’i dan memakai Tarikat sebagai kearifan Tasawwuf. Latief
(1988) mengemukakan bahwa ada 5 kategori dari Kaum Tua,
yaitu (1) dalam bidang akidah mereka menganut Ahlussunnah
wal Jama’ah yang dinisbahkan kepada Imam Asy’ary dan Abu
Mansur al-Maturidi; (2) dalam syari’at menganut Mazhab Syafi’i;
(3) meyakini dan mempertahankan Tarikat-tarikat Mu’tabarah;
(4) mempertahankan tradisi yang telah melekat dalam berbagai
amalan agama.41 Sedangkan Kaum Muda ialah mereka yang
menghendaki perubahan dalam bidang keagamaan, baik itu furu
(cabang) agama yang dinyatakan tidak sesuai dengan Islam,
berikut tradisi-tradisi yang dianggap bid’ah dan khurafat.
Sebenarnya sulit mengambil benang merah antara dua
kelompok ini, sebab tidak ada tembok pemisah yang jelas antara 2
kelompok ini. Misalnya dalam bermazhab Syafi’i, bukan hanya
Kaum Tua, sebahagian besar kaum Muda-pun mengaku mazhab
Syafi’i. Dalam Masalah Qunut yang diperdebatkan kaum Muda,
Dr. Abdul Karim Amrullah-pun menulis buku untuk
mempertahankan Qunut, padahal beliau gerbongnya kaum Muda.
Dalam perkara Ushalli, Syekh Bayang-pun tidak bersikeras
mengharuskan Ushalli, padahal beliau salah seorang yang di-tua-
kan dalam kelompok Tuo. Mengenai Shalat Tarawih 20 rakaat,

Abbas Abdullah Padang Japang, Syekh Muhammad Thaib Umar Sungayang dan
lainnya.
40
Risalah tersebut merupakan tulisan pertama yang meragukan
kreadibilitas Tarekat Naqsyabandiyah, yang ditulis sebagai Jawaban terhadap
pertanyaan tentang Tarekat Naqsyabandiyah.
41
M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 135

17
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

hampir tak ditemui persoalan mereka soal ini, menunjukkan


bahwa antara kaum Tua dan kaum Muda tampak sehati tentang
ini, baru kemudian Muhammadiyah yang mempopulerkan shalat
Tarawih 8 rakaat setelah masuk ke Minang pada tahun 1925.
Kalau dikatakan bahwa Inyiak Rasul penganut Muhammadiyah
tulen, maka beliau pernah mengoreksi Muhammadiyah lewat
buku Cermin Terus.
Benar sebagai diungkap Baharuddin Rusli dan Latief
bahwa istilah kaum Tua dan kaum Muda memang buatan orang
luar.42 Dikalangan sebagian Sarjana Belanda sering menjadi
olokan, dikatakan bahwa kaum Tua itu de ouderwestsche
orthodoxem (kaum ortodox kolot),43 karena mereka –kaum tua-
sulit untuk dipengaruhi, sehingga disebut keras kepala.
Sedangkan kaum muda disebut golongan modernism agama.
Namun bagaimanapun, pergolakan Kaum Tua dan Kaum
Muda ini telah membawa dampak yang luar bagi masyarakat
Minangkabau khususnya. Ada segi negatif, ada pula positifnya.
Negatifnya terjadinya perpecahan luar biasa dikalangan umat kala
itu, sikap kafir mengkafirkan, saling bertengkar, hingga ada yang
bercerai suami istri hanya karena tak sepaham. Positifnya, dengan
adanya pergolakan faham, membuat kedua kubu saling
mendalami argumen masing-masing, membuka kembali kitab,
dan menyemarakkan menggali pendapat sendiri dan pendapat
lawan. Disamping itu, pergolakan ini telah melahirkan banyak
karya intelektual yang luar biasa.
Dampak lainnya yaitu munculnya berbagai organisasi
keagamaan yang menggiatkan diri dengan misi pendidikan dan
sosial keagamaan. Diantaranya Ittihad Ulama Sumatera,
Sabilatus Sa’adiyah, Sumatera Thawalib, Persatuan Tarbiyah
Islamiyah, PGAI dan sebagainya. Lahir pula Madrasah-madrasah.
Ada juga menggunakan majalah-majalah sebagai media

42
Baharuddin Rusli, op. cit., hal. 49; M. Sanusi Latief, op. cit., hal,
131; lihat pula Mhd. Nur, Gerakan Kaum Sufi di Minangkabau (Thesis, PPS
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1991) hal. 49 dst…
43
Lihat Schieke, op. cit., 57

18
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

mengungkapan buah pikiran dan ide, bahkan sekali-sekali juga


menjadi wadah polemik dengan lawan mereka yang dapat dibaca
oleh khalayak ramai. Sehingga muncullah Majalah-majalah
seperti al-Moenir yang diterbitkan pada tahun 1910 di Padang, al-
Mizan, al-Achbar pada tahun 1919, al-Ittifaq wa Iftiraq, Soearti
dan sebagainya.44 Begitulah adanya.
Diantara dampak pergolakan intelektual ini, maka
lahirnya karya tulis dari dua kelompok menjadi suatu hal yang
menarik dan terasa penting. Karya tulis sebagai media penuangan
ide dan gagasan sangat tepat bila dijadikan sebagai pangkalan
untuk mengkaji keadaan agama Islam di awal XX. Disamping
karena muatan isi yang jarang dapat disaingi oleh apa yang
disebut ulama saat ini, kandungan serta gaya penyampaian
memang menjadi karakteristik yang khas bagi ulama-ulama di
abad tersebut.

44
Ibid., hal. 79. lihat juga Yulizal Yunus, Sastra Islam: Kajian Sya’ir
Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandiyah Syekh Bayang (Padang: IAIN-IB
Press, 1999) hal. 60

19
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Bagian II
Pemetaan Karya-karya Ulama Minangkabau
Awal abad XX

Sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa pergolakan


Kaum Tua dan Kaum Muda telah melahirkan berbagai macam
karya intelektual. Selain dikarenakan oleh iklim pergolakan itu,
terdapat pula karya-karya yang ditulis untuk semata-mata ilmu,
tanpa pengaruh pergolakan itu. Ditambah dengan munculnya
berbagai percetakan Arab masa itu, sebahagian karya itu dicetak
dan tersebar ditengah masyarakat, sebahagian lainnya masih
dalam bentuk tulisan tangan (makhtuthah). Bisa dibayangkan
betapa banyak ulama yang ikut andil dalam pergolakan dan
menulis, namun disayangkan sebahagian besar karya itu tidak
sampai ketangan kita saat ini. 45 Sebahagiannya hanya tinggal
cerita, bahwa si-fulan pernah mengarang buku, tapi wujud buku
itu entah ada dimana.
Disamping dalam bentuk risalah (buku) para ulama di
awal abad XX juga gemar menulis, menuangkan idenya dalam
berbagai majalah atau surau khabar. Diketahui bahwa pada masa
ini tampak kecendrungan bangkitnya pers, hal ini didorong oleh
munculnya percetakan-percetakan. Beberapa tokoh ulama kala itu
sangat berperan dalam hal ini. terdapat puluhan nama majalah
yang berdedikasi tentang masalah-masalah agama yang diasuh
oleh masing-masing golongan, kaum Tua dan kaum Muda.
Majalah-majalah keagamaan yang dapat dicatat disini ialah
Soeloeh Melajoe di Padang, al-Moenir di Padang, al-Akhbar di
Padang, al-Mizan di Maninjau, ar-Radd wal Mardud, al-Ittiqan di

45
Pernah sebahagian karya-karya ini dikumpulkan oleh Tim Islamic
Centre Sumatera Barat yang saat itu dipimpin oleh Prof. Sanusi Latief. Namun
suatu hal tragis terjadi, kitab-kitab itu kecurian. Konon ada yang membawa kitab
itu dengan mobil besar.

21
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Maninjau, al-Manarul Munir di Padang Panjang, Soearti (Soeara


Tarbijah Islamijah) di Bukittinggi, al-Inshaf di Suliki, al-Bayan di
Parabek, al-Iman di Padang Japang, al-Basyir di Batusangkar,
dan lainnya.46 Majalah-majalah ini telah membuka ruang untuk
bertanya jawab dalam masalah Agama dan juga dalam majalah-
majalah tersebut diterbitkan artikel-artikel keagamaan yang ditulis
oleh ulama-ulama kenamaan masa itu, seperti Syekh Khatib ‘Ali
Padang, Dr. H. Abdullah Ahmad, Dr. Abdul Karim Amrullah,
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh
Hasan Bashri Maninjau, Zainuddin Labai el-Yunusi, H.
Sirajuddin Abbas, dan lainnya.

Foto: Majalah al-Moenir (Padang), 1912

46
M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 300-301; DDP Perti, Perjuangan
PERTI dan Pribadi KH. Rusli Abdul Wahid (Jakarta: DDP PERTI, 1992) hal.
140-141

22
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Majalah Soeloeh Melajoe (Padang), 1914

Foto: Majalah al-Mizan (Maninjau), 1920

23
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Dibawah ini dicantumkan beberapa Ulama terkemuka


Minangkabau yang ikut andil dalam pergolakan di awal abad XX
tersebut berikut karya-karya mereka yang dapat diidentifikasi.
Sebahagian karya itu telah diperoleh, sebahagian lainnya masih
berupa catatan. Identifikasi ini tentu mengesampingkan beberapa
ulama serta karyanya yang belum dapat ditelusuri, seperti Syekh
Abdurrahman Alahan Panjang yang menulis al-Kasyaf-nya,
sebuah buku fiqih dengan analisis Tasawuf; Syekh Harun Toboh
Pariaman dengan Falahan Mubtadi, yang membuat geger Kaum
Muda; dan lainnya. Catatan ini juga mengesampingkan beberapa
karya ulama yang berbentuk manuskrip, seperti karya Syekh
Muhammad Salim Sikabu-kabu yang mengarang Kitab
Naqsyabandiyah, dengan analisis falsafinya.
Sebelumnya, perlu disinggung bagaimana karakter umum
karya-karya ulama di abad ini. Lazimnya, karya-karya ulama
yang ditulis di awal abad XX ini sama dengan karya-karya
sebelumnya, menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu atau
Minang (Arab melayu), atau dalam bahasa Arab sendiri. Susunan
kalimat dalam karya-karya itu dipengaruhi oleh tata bahasa Arab,
seperti “bermula” yang mengisyaratkan mubtada dalam bahasa
Arab. Kata-kata yang digunakan banyak diserap dari kata-kata
Arab. Satu kecendrungan yang khas dimasa ini ialah, sebahagian
karya-karya itu ditulis dalam bentuk sajak, atau dikenal dengan
nazhm atau sya’ir,47 disusun menyerupai syi’ir Arab dengan
bagian shudur dan ajzu’. Maka untuk yang terakhir ini, jadilah
seorang tokoh sebagai ulama sekaligus pujangga, dimana
karyanya populer, disenangi bahkan dihapal untuk dinyanyikan.

(1). Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916)


Beliau merupakan seorang Ulama terkemuka di akhir abad XIX
hingga awal abad XX. Satu-satunya ulama non-Arab memperoleh

47
Untuk sastra jenis ini, baca lebih lanjut V.I. Braginsky, Yang Indah,
Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7 – 19 (Jakarta:
INIS, 1998) terutama hal. 225 dst…

24
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

kedudukan prestisius sebagai Imam dalam Mazhab Syafi’i di


Mekah. 48
Beliau dilahirkan di Kota Gadang Bukittinggi, Luak Agam, pada
6 Zulhijjah 1860. Pada usia 11 tahun, dia dibawa ayahnya
Abdullatif ke Mekah, tepatnya pada tahun 1871.49 Sesampai di
Mekah beliau kemudian belajar kepada berbagai ulama, hingga
dikenal sekalu ulama besar dan mengajar di kota suci ini.50 untuk
kemudian beliau diangkat sebagai Imam dan Khatib dalam
Mazhab Syafi’i.
Sangatlah besar pengaruh beliau terhadap dinamika keislaman di
awal Abad XX. Beliau pulalah yang mula-mula membatalkan
Tarikat Naqsyabandiyah yang ada di Minangkabau lewat karya-
karyanya. Dalam hal harta pusaka beliau sangat keras, hingga
dikarangnya sebuah kitab menerangkan bebalnya adat harta
pusaka itu di Minangkabau. Dengan demikian, dari masa beliau
ini, dimulainya pergolakan kaum Tua dan kaum Muda tersebut.
Murid-murid beliau bertebaran di tanah Melayu dan kemudian
banyak menjadi ulama terkemuka, diantaranya Syekh Muhammad
Nur Qadhi Langkat, Syekh Hasan Maksum Qadhi Deli, Syekh
Muhammad Shaleh Qadhi Selangor, Syekh Muhammad Zein
Mufti Perak, DR. Abdul Karim Amrullah, Syekh Jamil Jambek,
Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Perti), Syekh Hasyim Asy’ari (NU),
Syekh Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Syekh Muhammad

48
Ulama ini jangan dicampurkan dengan ulama lain yang namanya
serupa yaitu Syekh Ahmad Khatib Sambas, pendiri Tarikat Qadariyah wa
Naqsyabandiyah, penulis kitab Fathul ‘Arifin.
49
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (Jakarta: Umminda, 1982) hal. 272; Tim
Islamic Centre, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Sumatera Barat (Padang:
Islamic Centre Sumatera Barat, 1981) hal. 16
50
Namun kita tidak mempunyai satu catatan agak lengkap mengenai
guru-gurunya di Mekah. Keadaan seperti ini membuat sebahagian orang
beranggapan miring padanya, seperti Snouck Hurgronje. Sehingga Snouck
menyebutkan, dengan nada sinis, bahwa Syekh Ahmad Khatib mendapat
kedudukan karena mertuanya yang kaya, Shaleh Kurdi. Mertuanya ini juga
mempunyai took kitab besar di Mekah, memungkinkan Ahmad Khatib untuk
banyak membaca di Toko ini, lihat Karel A. Steenbrink, op. cit., hal. 140-141

25
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Jamil Jaho, DR. Abdullah Ahmad dan lainnya.51 Sejak beliau


berangkat ke Mekah dimasa kecilnya, beliau hanya sekali pulang
meninjau kampungnya, setelah itu kembali ke Mekah dan
menetap di sana hingga akhir hayatnya.

Diantara karangan-karangan beliau ialah:


1) Izhharuz zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin
Kitab ini merupakan kitab yang mula-mula secara gamblang
mengkritik tarikat Naqsyabandiyah, yang ditujukan kepada
kaum muslimin di ranah Minang. 52 Penulisan kitab
berdasarkan pertanyaan seseorang, yang tak lain ialah
Abdullah Ahmad (direktur al-Moenir), yang dilayangkan
kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekah.
Pertanyaan itu terdiri dari 5 hal yang berhubungan dengan
Tarikat Naqsyabandiyah yang saat ini populer di
Minangkabau, yaitu (1) Tarikat Naqsyabandiyah adakah
asalnya pada syara’ atau tidak; (2) Adakah silsilahnya sampai
kepada Rasulullah atau tidak; (3) Adakah meninggalkan
makan daging ada asalnya pada syara’ atau tidak; (4) Adakah
Suluk itu asalnya pada syara’ atau tidak; dan (5) Adakah
Rabithah itu asalnya pada syara’ atau tidak.53 Pertanyaan ini
dijawab oleh Syekh Ahmad Khatib: (1) Tarikat
Naqsyabandiyah itu tidak asal pada syara’, yang ada Cuma
talqin perorangan yang disebutkan dalam hadist. Sedangkan
amalan-amalan seperti Khatam Khawajakan, Tawajuh dan
lainnya hanya buatan khalifah-khalifah Naqsyabandiyah saja;
(2) Silsilah yang sampai kepada Rasulullah hanya talqin
perorangan saja; (3) meninggalkan makan daging tidak ada

51
Baca lebih lanjut Masduki HS, dkk, Intelektualisme Pesantren
(Jakarta: Diva Pustaka, 2004) jilid 2, hal. 85-91; Hamka, op. cit., hal. 271-274;
Tim Islamic Centre, op. cit., hal. 15-19; lihat pula perdebatan mengenai sosok
beliau dalam Karel A. Steenbrink, op. cit., hal. 139-149
52
Lihat Schrieke, op. cit., hal. 30-31
53
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Izhharuz Zaghlil Kazibin fi
Tasyabbuhihim bis Shadiqin (Mesir: at-Taqdumul Ilmiyah bi Darbid Dalil,
1908) hal. 3-4

26
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

asal pada syara’; (4) Suluk tidak diperbuat oleh Nabi dan
Sahabat; (5) Rabithah tidak ada asal pada Syara’. 54 Diakhir
risalah ini dicantumkan fatwa beberapa ulama di Mekah
mengenai Tarikat Naqsyabandiyah.55
Naskah kitab ini dikirim ke Padang pada tanggal 4 zulkaedah
1905, dicetak tahun 1906. Kemudian ini beredar dengan cepat
ke tengah-tengah masyarakat. Sontak saja kitab ini membuat
kehebohan yang besar di tengah masyarakat, karena Tarikat
Naqsyabandiyah telah menjadi pakaian ulama-ulama di
Minangkabau. Timbul selang sengketa, bahkan ada yang
saling mengkafirkan.

Foto: Sampul kitab Izhar Zaghlil Kazibin (1908)

2) Al-Ayatul Bayyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafat Ba’dh


Muta’assibin

54
Lihat ringkasannya dalam M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 395-411;
kitab ini kemudian dialih aksarakan oleh MA. Arief di era 70-an, disertai dengan
alih aksara kitab Tablighul Amanah yang mengecam H. Jalaluddin, lihat MA.
Arief, Fatwa Tentang Tarikat Naqsyabandiyah (Medan: Firma Islamyah, 1978).
55
Lihat Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, op. cit., hal. 139-141

27
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Risalah ini merupakan i’tiradh (bantahan) terhadap risalah


Syekh Muhammad Sa’ad Mungka yang menangkis risalah
Izhar, menegakkan Tarikat Naqsyabandiyah. Buku ini
menambah kecaman terhadap Tarikat Naqsyabandiyah, sebab
isinya lebih padat dari Izhhar. Dalam Risalah ini Syekh
Ahmad Khatib meluaskan pembicaraannya mengenai
Rabithah, sehingga persoalan ini mendominasi al-Ayat al-
Bayyinat ini.56 Diawal risalah ini Syekh Ahmad Khatib
menegaskan beberapa tradisi yang telah mendarah daging
yang menurut hematnya melanggar syara’.57 Kemudian pada
lembar-lembar selanjutnya Syekh Ahmad Khatib mengoreksi
satu persatu pernyataan Syekh Sa’ad Mungka.

Foto: Sampul bundel 3 karya Syekh Ahmad Khatib, (1) Izhar;

56
Lihat ringkasannya dalam M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 422-427
57
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, al-Ayat al-Bayyinat lil
Munshifin fi Izalati Khurafat Ba’dh Muta’ashisibin (Mesir: at-Taqdum al-
Ilmiyah bi Darbil dalil, 1908) hal. 2-6

28
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

(2) al-Ayatul Bayyinat; (3) as-Saiful Battar [1908]

3) As-Saiful Battar fi Mahqi Kalimati Ba’dh Ahlil Ightirar


Isi kitab ini merupakan tanggapan terhadap sepucuk surat
yang kirim kepada Syekh Ahmad Khatib, penulis surat ini
ialah Syekh Abdullah al-Khalidi Tanah Datar. Dalam surat ini
disebutkan bahwa Syekh Ahmad Khatib telah keterlaluan
membatalkan Tarikat Naqsyabandiyah yang telah lama di
amalkan oleh ulama-ulama besar. Kata-kata dalam surat ini
dianggap Syekh Ahmad Khatib terlampau kasar terhadap
pribadinya,58 sehingga beliau merasa haru menulis risalah
untuk menangkis isi surat tersebut.

Foto: Sampul kitab as-Saiful Battar (1908)

58
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, as-Saiful Battar fi Mahqi
Kalimati Ba’dhil Ahlil Ightirar (Mesir at-Taqdum Ilmiyah bi Bardid Dalil, 1908)
hal. 2

29
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

4) Fathul Mubin fi ma yata’allaqu bi umuriddin


Kitab ini berisi tentang dasar-dasar ilmu keislaman. Penulisan
kitab ini mengisyaratkan bahwa kitab ini diperuntukkan bagi
mereka yang berkeinginan kuat, namun lemah memahami
kitab-kitab Arab. Isinya terdiri 4 pokok bahasan, yaitu yang
pertama pada menyatakan Tauhid dan ashal agama, yang
kedua pada menyatakan ibadah yang empat, yaitu
sembahyang, zakat, puasa dan haji, Dan kitab yang ketiga
pada syari’at dan tarikat dan hakikat. Dan satu khatimah
(penutup). Bagian ketiga kitab ini menarik untuk disimak,
sebab pada fasal yang cukup panjang ini Syekh Ahmad
Khatib menjelaskan pendirian beliau bahwa ilmu Tarikat dan
Hakikat sangat penting untuk dituntut. Kemudian beliau
mengisyaratkan bahwa ilmu Tarikat dan Hakikat ini tidak
boleh keluar dari jalur syara’, dengan artinya kedua vak ilmu
ini berkesesuaian.beliau mengisyaratkan: Ketahuilah olehmu
akan bahwasanya tiap-tiap orang yang hendak menjalani
jalan akhirat, lazimlah atasnya bahwa menghimpunkan ia
akan syari’at dan tarikat dan hakikat. Karena hakikat dengan
tiada syari’at batal, dan syari’at dengan tiada hakikat tiada
berfaedah59. Dengan demikian risalah ini menjadi cerminan
pemikiran Tasawuf-nya Syekh Ahmad Khatib, diman beliau
bukanlah seorang yang antipati akan Tarikat.

59
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Fathul Mubin fima
yata’allaqu bi umurid Din (Mekah: Mathba’ah al-Miriyah, 1901) hal. 17

30
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul kitab Fathul Mubin (1901)

5) Ad-Da’il Masmu’ fir Radd ‘ala man Yuwarits al-Ikhwn wal


Aulad akhwat ma’a wujudil Ushul wal Furu’
Disamping risalahnya tentang Tarikat yang menggegerkan
masyarakat Minangkabau, maka risalah ini menambah
deretan kecaman beliau terhadap tradisi di tanah tumpah
darahnya. Kitab ini secara khusus mengecam pendirian harta
pusaka di Minangkabau. Beliau termasuk orang yang
berkarakter keras dalam hal ini, hingga beliau mengatakan
bahwa orang Minang itu telah memakan harta haram, yaitu
harta pusaka yang menurut hemat beliau ialah syubhat.60
Disamping itu beliau juga menolak pewarisan kepada
kemenakan, sebagai yang dijalankan adat Minang. Kitab ini
ditulis dalam bahasa Arab. Cetakannya disertai dengan satu

60
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Ad-Da’il Masmu’ fir Radd
‘ala man Yuwarits al-Ikhwn wal Aulad akhwat ma’a wujudil Ushul wal
Furu’(Mesir: Mathba’ah al-Maimuniyah, 1889) terutama bagian muqaddimah

31
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

risalah pada hamisy(tepi)-nya dibawah tajuk al-Qaulul


Mubram fi ann mana’al Ushul wal Furu’ man arratsahum al-
muharram karya gurunya Sayyid Bakr Syatha, yang juga
menguraikan pewarisan-pewarisan yang diharamkan.

6) Al-Manhajul Masyru’
Karya ini ialah versi terjemahan dari risalah ad-Da’il
Masmu’. Penerjemahan kitab ad-Da’il Masmu’ ini
berdasarkan permintaan beberapa orang minang kepada
Syekh Ahmad Khatib supaya menulis dalam jawi (arab
melayu) mengenai warisan tersebut. Kitab ini bukan semata-
mata terjemahan dari karyanya itu, namun Syekh Ahmad
Khatib juga menambahkan dalam kitab ini beberapa kajian
yang berkaitan dengan waris, diantaranya ilmu Hisab dan
Munasakhah. Dalam muqaddimah-nya Syekh Ahmad Khatib
menegaskan bahwa penulisan ini dengan maksud untuk
menasehati kaum kerabatnya orang Minang yang yang
menyalahi syari’at dalam harta pusaka.61 Terjemahan ini
lantas menjadi bacaan orang-orang Minang, sehingga menjadi
topik hangat pula diawal abad XX tersebut.

61
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, al-Minhajul Masyru’
terjemah Kitab ad-Da’il Masmu’ pada Hukum Orang yang Menyalahi Syari’at
pada Pusaka dan pada ilmu Fara’idh (Mekah: Syekh Shaleh Kurdi, 1891) hal. 3

32
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul kitab al-Manhajul Masyru’ (1891)

7) Khittatul Mardhiyyah fi Raddi Syubhati man Qala bibid’ati


talaffudzi bin Niyyati
Masalah melafazhkan niat, atau yang dikenal dengan Ushalli,
menjadi perdebatan yang begitu alot di awal abad XX di
Sumatera. Sebahagian kelompok yang disokong oleh ulama-
ulama kaum Muda telah mengembar-gemborkan faham yang
menyatakan ushalli itu bid’ah yang menyalahi syari’at.
Padahal sebelum itu, perkara ushalli telah menjadi amalan
yang telah diamalkan oleh kaum muslimin di pulau perca ini.
selain itu dalam kitab-kitab fiqih yang menjadi literatur para
ulama, mulai dari kitab kecil hingga kitab-kitab kategori
besar, telah menguraikan bahwa ushalli ialah sunnat, untuk
penolong hati ketika memasukkan niat dalam muqarinah-nya.
33
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Faham ulama-ulama muda tersebut kemudian mendapat


respon yang begitu hangat dari ulama-ulama tua yang tetap
teguh dalam Mazhab Syafi’i. Diantaranya dari ulama besar,
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Meski beliau sering
dikatakan sebagai sebagai guru dari ulama-ulama muda di
Minangkabau, namun dalam furu’ syari’at beliau tetap teguh
dalam Mazhab Syafi’i, Cuma dalam masalah Tarikat sajalah
beliau berbeda dengan ulama-ulama terdahulu.
Dalam Khuttatul Mardhiyyah Syekh Ahmad Khatib
menguraikan masalah Ushalli secara gamblang, dengan
cukup dalil, hujjah yang begitu luas. Dalam kitab yang yang
berjumlah lebih dari 100 halaman ini Syekh Ahmad Khatib
mendudukan bahwa ushalli termasuk sunnat, kemudian
beliau membantah perkataan yang menyalahi ushalli,
diantaranya Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Dalam muqaddimah-nya, Syekh Ahmad Khatib menjelaskan
bahwa datangnya faham bahwa ushalli itu bid’ah ialah
karangan-karangan Ibnu Qayyim al-Jauzi, diantaranya kitab
Zaadul Ma’ad. Kemudian Syekh Ahmad Khatib
mengomentari keterangan kitab tersebut dengan bahasa
melayu yang cukup menawan, menunjukkan keluasan ilmu
beliau.62
Kitab ini dicetak pada Mathba’ah Tarqi al-Majdiyah, Mekah,
pada tahun 1906, atas biaya dari beliau sendiri.

62
Lihat Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Khuttatul
Mardhiyyah fi Radd Syubhah man Qala bibid’atin Talaffuzh bin Niyyah (Mekah:
Mathba’ah Tarqil Majdiyah, 1906) hal. 2-3

34
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul kitab al-Khuttatul Mardhiyyah (1906)

8) Ar-Riyadhul Wardhiyyah fil Ushulit Tauhidiyyah wal Furu’il


Fiqhiyyah
Risalah ini berisi tuntunan lengkap dalam akidah (Tauhid)
dan beribadah (Fiqih) yang dibicarakan dengan agak
mendalam. Dimulai dengan pengetahuan-pengetahuan dasar
dalam ilmu Tauhid, mencakup hukum akal, masalah Iradat
kemudian mengupas Sifat Dua Puluh. Kemudian masuk
kepada pembahasan masalah Fiqih, mulai dari Taharah
hingga Haji, ditambah dengan penyembelih korban, tentang
makanan yang halal dan haram dan Akikah. Terakhir kitab ini
dilengkapi dengan tanya jawab seputar isu-isu keagamaan
dimasa itu.63 Nampak kitab ini merupakan satu dedikasi

63
Lihat Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Inilah Kitab Ar-Riyadhul
Wardhiyyah fil Ushulit Tauhidiyyah wal Furu’il Fiqhiyyah (Mesir: Mahmud

35
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

keilmuan beliau untuk muslim Melayu, tepatnya


Minangkabau, karena ditulis dengan huruf jawi dengan
bahasa yang sederhana.

Foto: Sampul kitab ar-Riyadhul Wardhiyyah (1891)

Diantara karya-karya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau


lainnya ialah:
1) An-Nafahat Syarh Waroqot
2) Sulhul Jum’ati
3) Iqna’un Nufus
4) Raf’ul Iltibas
5) Irsyadul Haraya

Taufiq, 1891). Bagian yang membahas Tauhid yaitu dari hal. 3-20, Fiqih hal. 21-
159 dan Tanya Jawab 159-tamat.

36
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

6) Tanbihul Awam (tentang masalah Syarikat Islam)


7) Istbatuz Zein

(2) Syekh Muhammad Sa’ad bin Tinta’ Mungka Tuo


(1859-1922)
Syekh Muhammad Sa’ad atau yang dikenal dengan Syekh
Mungka atau “Beliau Surau Baru” merupakan salah seorang
ulama besar yang terkemuka di Minangkabau di masanya. Di
ranah Minang, beliau diakui kealimnya, digelari dengan Syaikhul
Masyaikh (guru besar) karena dikunjungi oleh berbagai Ulama di
Minangkabau, dan lebih dari itu beliau merupakan pemuka
Tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidi terkemuka di pulau perca
ini. 64 Kemasyhurannya paling tidak dikarenakan bantahan beliau
terhadap Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi lewat risalahnya
yang begitu besar pengaruhnya dikalangan ulama-ulama masa itu.
Beliau dilahirkan di Koto Tuo, Mungka, Payakumbuh, pada tahun
1857 dari suku Kutianyia (Pitopang). Di kampung halamannya,
beliau telah berguru kepada beberapa ulama terkemuka
Minangkabau kala itu, diantaranya Syekh Abu Bakar Tabiang
Pulai (w.1889), Syekh Muhammad Jamil Tungkar (w. 1890),
Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (w. 1912). Kemudian
beliau melanjutkan pengembaraan intelektualnya di Mekah,
Yaman dan Madinah, yaitu pada tahun 1894-1898 dan 1912-
1915. 65 di Tanah suci beliau sempat menimba ilmu kepada

64
Lihat Apria Putra, Ulama-ulama Luak nan Bungsu: Catatan
Biografi Ulama Luak Limapuluah dan Perjuangannya (dalam proses terbit) hal.
82-114; lihat pula M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 414
65
H. Halim Sa’adi, Mengenal Riwayat Hidup dan Perjuangan Syekh
Muhammad Sa’ad al-Khalidi: Ulama Besar di Sumatera Barat dipermulaan
Abad XX (tidak diterbitkan, 1988) hal. 2-4; Apria Putra, op. cit., hal. 82-86; Tim
Islamic Centre, Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya
(Padang: ICSM dan Angkasa Raya, 2001) hal. 55-56; KH. Sirajuddin Abbas,
Tabaqathus Syafi’iyah: Ulama Syafi’I dan Kitabnya dari Abad ke-abad (Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 1975) hal. 460-462; KH. Sirajuddin Abbas, Sejarah…, hal.
178-180; M. Sanusi Latief, loc. cit.,; Tim Penulis, Beberapa Ulama di Sumatera
Barat (Padang: Museum Adityawarman, 2008) hal. 67-76

37
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

ulama-ulama terkemuka seumpama Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,


Syekh Muhammad Hasbullah al-Makki dan Syekh Ahmad bin
Zainuddin al-Fatani. Beliau dikabarkan juga pernah berguru
kepada Mufti al-‘Allamah az-Zawawi, guru Sayyid Usman
Betawi yang masyhur.66 Disana beliau juga bertemu dengan
ulama-ulama Tarikat yang mempunyai reputasi seperti Syekh
Abdul Karim Banten (Tarikat Qadariyah wa Naqsyabandiyah),
Syekh Abdul ‘Azhim Maduri (Tarikat Naqsyabandiyah
Muzhariyah) dan Syekh Abdul Qadir al-Fatani (Tarikat
Syathariyah), halmana pertemuan beliau dengan ulama-ulama ini
tentu menambah wawasan intelektual beliau.
Setiba di kampung halaman, Mungka, beliau mendirikan sebuah
surau bertingkat dua yang dinamai dengan Surau Baru. Surau ini
menjadi terkemuka, dan menarik banyak orang-orang siak dari
berbagai penjuru Minangkabau. Banyak diantara murid-muridnya
menjadi ulama besar dikemudian hari. Sebahagian besar ulama-
ulama Tua yang mengikuti pergolakan awal XX tersebut
merupakan hasil didikan beliau ini.67
Dalam bidang intelektual, beliau dituakan diantara ulama-ulama
Tua. Pernah, sebelum wafatnya beliau menjadi pendiri dan
penasehat Ittihad Ulama Sumatera (Persatuan Ulama Sumatera)
bersama dengan ulama-ulama besar lainnya seperti Syekh
Abdullah Beliau Halaban (w. 1926).68 Dalam tulis menulis, beliau

66
Keterangan ini berdasarkan keterangan ulama terkemuka Aceh, al-
Marhum Syekh Muda Wali al-Khalidi, pimpinan Dayah Labuhan Haji
67
Lihat misalnya H. Abdul Wahid Ketinggian, Sejarah Ringkas Syekh
Muhammad Sa’ad Mungkar (manuskrip); lihat pula perjuangan-perjuangan
beliau dalam Sjarif Thahir, Sjech Moehammad Sa’ad Mungka (stensilan, 1957)
68
Lihat Majalah al-Mizan, Th. 1916 No. 25 (Syarikat al-Ihsan) hal.
12-13. Secara lengkap susunan Bestuur dan Adviseur “Ittihad Ulama Sumatera”
1916 itu ialah: Presiden: Syekh Abbas Ladang Laweh; Vicepresident: H.
Abdul Majid Maninjau; Sekretaris I: Labai Abdul Jail Padang Lua; Sekretaris
II: Labai Jama’in Sungai Puar; Penningmester: H. Burhanuddin Maninjau;
Komisaris: (1) Syekh Sulaiman ar-Rasuli, (2) Syekh Muhammad Jamil Jaho;
(3) Syekh Tuanku Mudo Sicincin Payakumbuh, (4) Syekh Hasan Bashri
Maninjau, (5) Syekh Sutan Abdul Karim Pariaman, (6) Faqih Makhudum
Tanjuang Bingkuang Solok, (7) Syekh Zakaria Sungai Limau, (8) Syekh Abdul
Malik Gobah, (9) Syekh Abdul Majid Taluak, (10) Syekh Amran Limbukan,

38
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

juga dikenal mahir mengarang dalam bahasa Arab, apalagi dalam


jawi. Karangan-karangan beliau konon cukup banyak.69 Tapi
sayang, hanya satu dua karangan beliau itu yang sampai kepada
kita.
Diantara karya beliau yang terkenal, yang besar pengaruhnya,
sekaligus yang dapat diidentifikasi ialah risalah-risalah polemik
beliau dengan Mufti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi,
yaitu:
1) Irgamu Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatal Washilin
Risalah ini merupakan karya beliau yang terkenal dan
membawa pengaruh yang luas di kalangan ulama dan
masyarakat Minangkabau. Pasalnya, Risalah ini merupakan
bantahan yang cukup keras terhadap Risalah Izhhar Zaghlil
Kazibin-nya Syekh Ahmad Khatib yang membuat gaduh
karena fatwa-nya tentang Tarikat tidak berasal dari Syara’.
Syekh Muhammad Sa’ad-lah yang kemudian pertama kali
mengangkat pena untuk membantah karangan Mufti Syafi’i
itu. Kemudian baru disusul oleh ulama-ulama Tarikat lainnya.
Bantahan Keras dalam Risalah ini dapat dilihat dari judulnya,
Irghamu Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatal
Washilin, yang berarti “Meremukkan hidung penantang,
mereka yang membatalkan Rabithah orang-orang yang telah
sampai kepada Allah.” Naskah kitab ini dikirim ke Mekah
masih dalam bentuk tulisan tangan lewat jama’ah Haji. Meski
kitab ini belum dapat diakses keberadaannya, namun untuk

(11) Tuanku nan Elok Suliki, (12) Syekh Muhammad Nur Bayur, (13) Syekh
Muhammad Karim Sumpur, (14) Syekh Muhammad Shaleh Ampek Angkek,
(15) Syekh Muhammad Rasyid Koto Tuo, (16) Syekh Abdul Hamid Matur, (17)
Qadhi Koto Salain, (18) Syekh Muhammad Jamil Lubuk Basung; Adviseur: (1)
Syekh Bayang Padang, (2) Syekh Khatib ‘Ali Padang, (3) Syekh Abdul Manaf
Lantai Batu, (4) Syekh Abdullah Halaban, (5) Syekh Muhammad Jamil
Pariaman, (6) Syekh Sutan Ibrahim Parabek, (7) Syekh Sutan Kisa’I Sungai
Landai, (8) Syekh Sutan Banten Bukittinggi; dan Hoofadviseur: Syekh
Muhammad Sa’ad Mungka Payakumbuh
69
H. Halim Sa’adi, op. cit., hal. 15

39
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

isinya dapat kita lihat dalam karya Syekh Ahmad Khatib, al-
Ayatul Bayyinat.70
Diawal Risalah ini, Syekh Mungka menjelaskan betapa
Risalah Syekh Ahmad Khatib telah membuat gaduh dan telah
memecah hati kaum muslimin dalam beramal Tarikat, sebagai
berikut:
(Setelah Basmallah dan Hamdalah serta shalawat)
Tatakala di thaba’ orang kitab izhar Zaghlil Kazibin dan
masyhurlah sikatib negeri Minangkabau, gaduhlah orang
awam dan caci mencaci mereka itu, hingga mengkafirkan
setengah mereka itu mereka yang lain orang yang
ditetapkan oleh Allah hatinya atas yang haq. Dan demikian
itu dengan sebab tersebut di dalam kitab izhar tersebut
menyerupakan orang yang pakai rabithah dengan orang
yang menyembah berhala dan di datangkan beberapa dalil
dari pada al-Qur’an dan hadist dan kalam sahabat dan
ulama sufiyah. Maka dengan sebab itu memintalah dari
pada al-haqir Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka Tuo
setengah dari pada ikhwan dari pada ahlus shalah bahwa
menyebutkan al-Haqir akan wajah bagi penguatkan segala
dalil rabithah dan bagi penolakkan segala wajah
membatalkan rabithah dan pemasukkan amalan Tarikat
Naqsyabandiyah kepada syari’at, supaya jangan
terlonsong dan terkecuh orang-orang yang tiada kuasa
menfahamkan dalil. Maka oleh itulah terbukalah hati
hamba bagi menyuratkan beberapa wajah mengambil dalil
dengan beberapa ayat dan hadist bagi menetapkan
Rabithah, dan beberapa wajah bagi penolakan mengambil
dalil dengan beberapa ayat dan hadist atas batil rabithah
dan lainnya. Dan memudakan hamba dengan kadar yang
sedikit atas sekira-kira faham hamba yang lemah dan
hamba namai akan dia dengan Irgham Unufil Muta’annitin
fi Inkarihin Rabithathal Washilin. Dan harap hamba
daripada Allah Ta’ala akan bahwa dijadikannya akan dia
akan tulus ikhlas bagi wajahnya yang karim dan akan jadi
sebab bagi me[ng]hela do’a ikhwan yang shaleh-shaleh

70
Lihat pula kutipannya dalam M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 412-427;
lihat pula Tim Islamic Centre, Riwayat Hidup…, op. cit., hal. 56-60

40
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

dan bagi memperoleh limpahan cahaya yang dipetaruhkan-


Nya pada hati auliya’-Nya yang shadiqin dan bagi menang
dengan jannatul Na’im. 71
Setelah Mukaddimah serta alasan menulis kitab, Syekh
Muhammad Sa’ad lalu masuk untuk mengorek beberapa
pragraf penting dalam Izhhar Syekh Ahmad Khatib.

2) Tanbihul Awam ‘ala Taghrirat ba’dhil Anam


Setelah Syekh Muhammad Sa’ad mengirim Irgham
kehadapan Syekh Ahmad Khatib, snag mufti merasa perlu
lagi menolak dakwaan Syekh Mungka dalam Irgham. Maka
Syekh Ahmad Khatib lalu menulis al-Ayat al-bayyinat
sebagai I’tiradh (bantahan) Irgham. Al-Ayat lalu dikirim ke
Padang, lalu dicetak dan tersebar. Hal ini tentu kembali
membuat hangat setelah didinginkan Syekh Mungka.
Kemudian beberapa tokoh menemui Syekh Mungka untuk
kembali menulis i’tiradh bagi risalah ke-2 Syekh Ahmad
Khatib ini.
Dengan permintaan itu, Syekh Mungka kembali mengoreskan
kalam untuk mengoreksi al-Ayat al-Bayyinat, ditulislah
risalah Tanbihum Awam ‘ala Taghrirat Ba’dhil Anam. Di
dalam risalah Tanbih ini, tanpak kepiawaian Syekh Mungka
dalam menganalisa. Syekh Sa’ad banyak menggunakan
kalimat-kalimat kinayah (sindiran) terhadap Syekh Ahmad
Khatib, dinama dalil-dalil Syekh Ahmad Khatib yang semula
menjadi hujjah penolak Tarikat Naqsyabandiyah, beliau
jadikan pula hujjah untuk memperkuat dan memperkokoh
Tarikat Naqsyabandiyah. Juga tampak kecerdasan beliau,
yang kadangkala keras, kadangkala penuh humoris, bahkan
bisa membuat orang merasa geli dan tertawa. 72

71
Lihat Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, al-Ayat …, op. cit.,
hal. 13-14
72
Lihat Apria Putra, op. cit., hal. 101; Tim ICSB, Riwayat Hidup…,
op. cit., hal. 57; untuk ringkasannya, lihat M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 428-438

41
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Pada permulaan risalah ini, Syekh Sa’ad menuliskan perihal


pribadi beliau. Dengan rendah hati dan tawadhu’, beliau
umpamakanlah keadaan yang menimpanya seperti seekor
kambing yang hendak menanduk sebuah batu besar.
Bagaimanapun caranya kambing itu menanduk, mustahil batu
besar itu akan hancur, malahan tanduk kambing itu yang akan
luluh. Beliau, dengan kerendahan hatinya, membilang diri
beliau belumlah cukup ilmu, belum alim benar. Namun
karena ini mencakup perihal orang banyak, beliau lalu
mencoba merangkai kata, sehingga jadilah sebuah risalah
yang berjudul Risalah Tanbihul Awam dengan berkat
pertolongan Allah dan Tasawwul dengan segala penghulu
Tarikat Naqsyabandi, maka selesailah kitab Tanbihul Awam,
yang menurut beliau hanya berupa “lafazd-lafazd yang
sedikit”. Tak lain harapan yang beliau ingini dari penulisan
ini ialah supaya “terbujuk kembali segala hati yang pecah”.73
Salah satu contoh ungkapan Syekh Ahmad Khatib, yang
beliau –Syekh Sa’ad- tanggapi dengan sangat cerdas dan
menggelitik, ialah ungkapan Syekh Ahmad Khatib yang
mengatakan : “Dalil yang di dalam kampir garam beliau
(maksudnya Syekh Sa’ad) hanya sekedar itulah”. Dijawab
dengan cerdas oleh Syekh Sa’ad:
Maka berkata hamba : telah maklum bagi tiap-tiap orang
yang berakal bahwasanya yang di dalam kampir garam ialah
garam dan rasanya masin (asin), gunanya memperelok rasa
tiap-tiap makanan. Maka memintak mengeluarkan dalil dari
kampir garam ialah perkataan orang yang berubah akal. Dan
jika ada murad [maksud] beliau menyerupakan ilmu hamba
dengan garam pada pihak masin (asin) boleh memberi
muslahat, maka demikian itu puji yang mentaqdirkan akan
dia Allah ta’ala pada mulut beliau, tetapi murad beliau tiada
munasabah (sesuai) akan dia. Dan jika ada murad beliau
memperolok-olokkan hamba dengan menyerupakan ilmu
hamba yang kurang dengan garam yang baik faedah, maka

73
Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, Tanbihul Awam ‘ala Taghrirat
Ba’dhil Anam (Padang: de Voltherding, 1910) hal. 4

42
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

yaitu tiada patut dengan maqam (kedudukan) beliau yang


tinggi, karena beliau orang alim besar, sudah lama mengajar
dalam Mesjidil Haram, jadi guru oleh segala guru, tiada
bandingan beliau dalam alam Minangkabau ini, tapi karena
hawa nafsu takut juga beliau bahasa akan gugur pangkat
beliau karena kitab beliau dibanding orang, maka sebab
itulah beliau buat perkataan seperti perkataan orang jalang-
jalang seperti yang telah dilihat dalam kitab yang beliau buat
itu.74
Risalah Syekh Mungka kemudian diterbitkan di Padang, pada
percetakan de Volherding, tahun 1910. Setelah kemunculan
Risalah Syekh Mungka ini, berhentikan polemik antara dua
ulama besar Syafi’i yang taraf keilmuannya sebanding ini.
kedua ulama telah mengeluarkan pelurunya masing-masing,
dan telah mengemukakan pendapat pribadi mereka.
Diakhir Risalah ini, Syekh Mungka mengomentari isu tentang
Ushalli yang telah menghangat di Minangkabau kala itu.75
Beliau mengemukakan bahwa asal mula timbulnya faham
menolak Ushalli ialah karena sebahagian ulama-ulama muda
menelan mentah-mentah pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah
dalam kitab Zaadul Ma’ad. Lalu Syekh Mungka mengoreksi
keterangan Ibnu Qayyim dengan terlebih dahulu mengutip
teks Zaadul Maad yang menjadi pegangan ulama muda
tersebut.

74
Ibid., hal. 14
75
Lihat Ibid., hal. 84-87

43
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul kitab Tanbihul Awam (1910)

(3). Syekh Muhammad Dalil Bayang (1864-1923)


Syekh Muhammad Dalil atau yang dikenal dengan Syekh Bayang
merupakan salah seorang pemimpin ulama tua yang terkemuka di
Padang, setelah Syekh Khatib Ali. Schrieke, sebagai sarjana
Belanda yang mengamati perkembangan awal abad XX,
memberikan pujian terhadapat ulama yang satu ini, dimana Syekh
Bayang disebut sebagai tokoh pejuang yang penuh moral.76 Hal
ini disebabkan karangan Syekh Bayang dianggap lebih moderat
dibandingkan dengan teman-temannya sesama Kaum Tua.
Syekh Muhammad Dalil lahir pada tahun di Bayang, Pesisir
Selatan. Waktu mudanya kemudian diisi dengan belajar agama.
Mula-mula kepada Ayah-nya, Muhammad Fatawi, berikut
beberapa ulama di kampung halamannya. Kemudian beliau
76
Schieke, op. cit., 73 dan 82

44
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

merantau mencari guru, tepatnya di Alahan Panjang kemudian


beliau belajar kepada Syekh Muhammad Shaleh bin Syekh
Muhammad Saman (pengarang kitab al-Kasyaf). Setelah itu
beliau melanjutkan pelajarannya kepada Syekh Mahmud di
Pintikayu. Kemudian kepada Syekh Mustafa al-Khalidi (w.
1901), ulama terkemuka Tarikat Naqsyabandiyah di Sungai Pagu.
Pada tahun 1891 beliau meninggalkan Sungai Pagu menuju
Padang dan selanjutnya memapankan karir keulamaannya di
daerah ini. di Padang beliau membuka pengajian kitab di
beberapa lokasi, seperti di Gantiang, Pasar Gadang dan
Palinggam. Pada tahun 1903 beliau berangkat ke Mekah dan
mukim disana beberapa waktu buat menambah ilmu. 77 Beberapa
lama kemudian beliau kembali ke Padang dan kembali
melanjutkan pengajian yang beliau asuh sebelumnya. Diantara
ulama-ulama sezamannya, beliau termasuk yang ternama diantara
mereka. Beliau juga ikut aktif dalam perkumpulan ulama-ulama
masa itu, seperti Ittihad Ulama Sumatera sebagai Adviseur.
Dalam hal tulis menulis, beliau memang salah satu jagonya.
Bukan hanya mahir menulis narasi, tapi juga pandai bersya’ir
layaknya seorang pujangga. Beliau, dalam karangan sangat
pandai memilih diksi yang tidak menyudutkan salah satu
pihakpun, namun beliau berprinsip. Mengenai karangan beliau,
tentu dengan iklim perdebatan masanya beliau tentu
meninggalkan banyak karangan. Namun sampai saat ini cuma ada
beberapa buah yang dapat diidentifikasi keberadaanya. Diantara
karangan-karangan beliau itu ialah:

1) Targhub Ila Rahmatillah


Karya ini mempunyai reputasi yang penting, tercatat sebagai
sebuah kepustakaan pejuang agama yang penuh moral awal
abad XX.78 Di dalam karya ini, Syekh Bayang telah

77
Lihat Yulizal Yunus, op. cit., hal. 43-47; Tim Islamic Centre,
Riwayat Hidup…, op. cit., hal. 68-71
78
Schieke, op. cit., hal. 82; Yulizal Yunus, op. cit., hal. 56

45
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

memberikan satu model pemecahan berbagai masalah yang


menjadi isu hangat antara kaum Tua dan kaum Muda.
Pembahasan dalam risalah ini dimulai dengan menjelaskan
kelebihan imam Mazhab yang empat, kemudian dilanjutkan
dengan berbagai hal seputar belajar ilmu agama, pentingnya
belajar ilmu Ushul, beberapa hal yang berkaitan dengan ilmu
syari’at, kemudian tetang Washilah dalam Tarikat dan
menjelaskan perihal kitab Izhar yang membuat heboh, dan
ditutup dengan pembicaraan tentang akhlaq-akhlaq terpuji. 79
Penjelasan yang ditawarkan Syekh Bayang sangat gamblang
dan menyentuh, jauh dari kesan menghakimi kaum Muda
secara radikal. Dihalaman akhir, selain melampirkan sya’ir
nasehat yang berjulul Nazham Thalabus Shalah karangan
Muhammad Qasyim Kalawi, juga terdapat satu daftar tokoh-
tokoh Agama yang mengapresiasi karya ini.
Karya ini dicetak di Padang, pada percetakan Derekrij Orang
Alam Minangkabau atas biaya Datoek Soetan Maharadja,
tahun 1334 (1914).

2) Nazhm Darul Mau’izhah/ Miftahul Haq


Ini merupakan satu bentuk sya’ir sebagai apologetis terhadap
Tarikat Naqsyabandiyah. Dengan muatan sastra disertai
dengan gaya diksi yang kadangkala keras, moderat dan satu
kali lunak. 80 Dalam pengantar nazhm-nya, Syekh Bayang
menyebutkan alasan menulis nazhm karena melihat beberapa
orang yang buruk sangka terhadap Tarikat Naqsyabandiyah,
sehingga beliau selaku ulama terkemuka merasa perlu
memberikan arahan untuk meluruskan sangkaan jelek itu,
sebagai berikut:

79
Lihat Syekh Muhammad Dalil Bayang, Targhub ila Rahmatillah
(Padang: Derekrij Orang Alam Minangkabau, 1914) hal. 2-3
80
Lihat kajian Nazham ini dalam Yulizal Yunus, op. cit., hal. 100-127

46
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

………
Nama nazham ini Darul Mau’izhah
Artinya pengajaran yang amat indah
Karena pemutusan hajat fitnah
Kepada ahli naqsyabandiyah (bait 1-2)
………
Ambillah nazham coba muthala’ah
Supaya nafsu jangan melengah
Nazham tarekat Naqsyabandiyah
Nyatalah suci sempurna jelah (bait 11-12)
………
Fasal tarekat Naqsyabandiyah
Asal mulanya dari Allah
Jibril membawa kepada Rasulullah
Dengan wahyunya azzal jalalah (bait 21-22)

Kemudian turun ke Abu Bakari


Sudah itu ke Salman al-Farisi
Sampai sekarang tali bertali
Dengan silsilahnya terang sekali (bait 23-24)81

Kata-kata halus yang digunakan Syekh Bayang memang


mendapat tempat dikalangan masyarakat, sehingga konon
khabarnya nazhm ini menjadi populer dan sempat dicetak
berulang-ulang kali. Nazhm ini dicetak bersama dengan karya
Syekh Bayang lainnya (Majmu’ Musta’mal) dengan judul
Darul Mau’izhah dan Miftahul Haq

3) Majmu’ Musta’mal yang menyatakan rukun syarat yang


terkandung dalam agama Islam
Ini merupakan karya populer lainnya dari Syekh Bayang.
Karya ini dicetak berulang-ulang kali, meski sudah berusia
lebih dari dua pertiga abad, karya ini masih dipakai dan
digemari hingga saat ini. sesuai judulnya, Majumu’

81
Syekh Muhammad Dalil Bayang, Darul Mau’izhah/ Miftahul Haq
dalam Majmu’ Musta’mal (Padang: Soetan Maharadja, t. th) hal. 149-150

47
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Musta’mal yang berarti “kumpulan yang dperlu diamalkan”,


secara umum karya ini berisi tuntunan praktis terhadap
ibadah, mulai dari bersuci hingga haji dan diakhiri dengan
do’a-do’a. Namun dalam karya ini tampak kecendrungan
untuk mempertahankan Mazhab Syafi’i. Disamping itu kitab
ini memiliki ciri khas tersendiri, yaitu dengan menyertai
argumen-argumen ushul fiqih ketika menjelaskan satu topik.
Misalnya ketika menjelaskan tentang “Niat”, selain
menyebutkan Nash, Syekh Bayang mengutip kaedah ushul
tentang wajibnya niat dalam beramal. 82 Hal ini tentu lebih
mengkayakan kajian yang ada di dalamnya.
Layaknya kitab-kitab yang agama yang ditulis ketika itu,
motivasi ditulisnya Majmu’ ini ialah berdasarkan permintaan
dari kaum muslimin sendiri. Dengan artian risalah ini ditulis
semata-mata sebagai jawaban perihal ibadah untuk
masyarakat umumnya.

82
Lihat Syekh Muhammad Dalil Bayang, Majmu’ Musta’mal yang
menyatakan rukun syarat yang terkandung dalam agama Islam (Bukittingi:
HMS Sulaiman, t. th) cetakan ke sepuluh. Hal. 2-3

48
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul kitab Majmu’ Musta’mal

Selain dari 3 risalah ini, Syekh Bayang juga disebutkan


mengarang sebuah karya Sya’ir yang cukup luas pengaruhnya,
yaitu Sya’ir Inilah Soal dan Jawab bagi segala Anak yang berisi
tentang masalah soal jawab masalah agama yang menjadi buah
bibir masyarakat saat itu.

(4) Syekh Khatib Muhammad Ali al-Fadani (1863-1936)


Tokoh besar yang mempunyai pengaruh kuat dikalangan kaum
Tua yang terkemuka ialah Syekh Khatib Ali al-Fadani al-
Minangkabawi. Beliau merupakan seorang ulama yang
berdedikasi tinggi, memiliki kealiman yang dalam, besar
pertahanannya terhadap kaum Tua di awal abad XX. Disamping
sebagai ulama terkemuka, pengarang, penya’ir beliau juga
merupakan seorang jurnalis yang menerbitkan Soeloeh Melaju

49
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

yang memang membuat ulama-ulama Muda kebablakan, selain


itu beliau ialah seorang politisi dalam Syarikat Islam (SI), terakhir
sebagai pedagang dan tokoh pendidikan ternama.
Syekh Khatib Ali dilahirkan di Moaro Labuah (Solok Selatan)
pada tahun 1863. masa kecilnya diisi dengan menuntut ilmu
dikampung halamannya, diantaranya di Lubuk Sikarah dan
Gantuang Ciri, selanjutnya kepada ulama besar kala itu Syekh
Mustafa al-Khalidi Sungai Pagu (w. 1901). Setelah itu beliau
mengembara menuntut ilmu, kali ini tempat yang disinggahinya
ialah Pesisir Selatan, yaitu di Lakitan dan Pancuang Soal. Cukup
lama beliau mukim di daerah ini. setelah itu, beliau pada usia
yang cukup muda, yaitu umur 21 tahun berangkat ke Mekah
untuk berhaji dan menyauk ilmu agama. Tak kurang selama 7
tahun beliau di Mekkah, dan setiap tahun itu pula beliau
melaksanakan haji. Di Mekkah beliau belajar kepada ulama-
ulama kenamaan, seperti Syekh Usman Fauzi di Jabal Qubais,
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Amin Ridwan di
Madinah, dan lainnya.83 Setelah tujuh tahun, beliau kembali ke
kampung halamannya, dengan membawa beberapa Ijazah dari
ulama-ulama besar,84 seperti Ijazah Tarikat Naqsyabandiyah dari
Jabal Qubais, Ijazah Dala’il Khairat dari Madinah dan Ijazah dari
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.Sekembalinya ke
Minang, beliau memilih Padang sebagai tempat bermukim,
mengajar dan kemudian memapankan karir keulamaannya.
Dalam perjuangannya bersama kaum Tua, beliau dikenal sangat
keras, sebanding dengan keilmuan beliau yang mumpuni. Beliau
tercatat sebagai salah satu tokoh yang berperan aktif dalam rapat
seribu ulama tahun 1919 di Padang. 85 Hamka merekam bahwa
Syekh Khatib Ali mempunyai pengaruh luas dan merupakan

83
Baca lebih lanjut Tim Islamic Centre, Riwayat Hidup 20…, op. cit.,
hal. 25-27; Tim Penulis, op. cit., hal. 78-79; KH. Sirajuddin Abbas, Tabaqat…,
op. cit., hal. 468
84
Untuk copy ijazah itu bisa dilihat dalam Mhd. Nur, op. cit., hal. 160-
163
85
Schrieke, op. cit., hal. 80

50
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

lawan utama ayah-nya, Inyiak Rasul.86 Dalam bidang organisasi


beliau termasuk aktif. Pernah suatu kali beliau membuat SI
tandingan, karena SI yang lain telah dipenuhi kaum muda.
Berikut dalam pendidikan beliau termasuk ulama inivator, dengan
mendirikan madrasah Irsyadiyah di berbagai negeri.87
Kalau disebut Beliau selaku ulama kolot, sebagai diungkap
Schrieke, tampak kurang tepat. Sebab beliau merupakan sosok
ulama yang suka inovasi dalam berbagai hal. Pendirian Madrasah
Irsyadiyah yang beliau lakoni, konon diilhami oleh Madrasah-
madrasah al-Irsyad milik organisasi al-Irsyad (satu kelompok
kaum Muda) di Jawa, ketika beliau mengikuti pertemuan SI di
Jakarta.88
Disamping pribadi yang besar, beliau juga meninggalkan
karangan-karangan yang banyak dan mempunyai pengaruh
signifikan, terutama menyangkut isu kaum Muda di Sumatera.
Namun disayangkan, banyak dari karangan itu yang hanya tinggal
nama, karena lenyap waktu perang, dan sebahagian besar koleksi
karya ini masih tersimpan sehat wal afi’at di Perpustakaan
Leiden.
Diantara karangan-karangan beliau ialah:

1) Burhanul Haq Radd ‘ala Tsamaniyah Masa’il al-Jawab min


Su’alis Sa’il alQathi’ah al-Waqi’ah Ghayatut Taqrib
Lagi-lagi kita mengatakan bahwa karya ini mempunyai
mengaruh kuat dalam membentengi faham tua di
Minangkabau. Karya ini membahas 8 masalah yang
diperdebatkan kaum Muda, setiap kemudian dikupas oleh
Syekh Khatib Ali dengan argumen-argumen yang bersumber
dari kitab fiqih dan Qaul Sufi. Menarik, kitab ini secara
gamblang mengemukakan bahwa Islam dengan Mazhab

86
Hamka, Ayahku…, op. cit., hal. 292
87
Lihat perkembangan Madrasah Irsyadiyah ini dalam Abdul Mun’in
Khatib Ali, Sya’ir Irsyadiyah (diterbitkan sendiri, Tarandam)
88
Lihat Tim Penulis, op. cit., hal. 80

51
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Syafi’i di Minangkabau telah dikuatkan oleh adat Alam


Minangkabau sendiri. Permulaan kitab ini dimulai dengan
satu pendahuluan dibawah tajuk I’lan, dilanjutkan sebuah
satu sya’ir yang lumayang panjang perihal dahwah Kaum
Muda yang menyalahi ulama-ulama silam. Satu fragmen dari
sya’ir itu sebagai berikut
Delapan Masalah pada risalah ini
Supaya diketahui oleh Ikhwani
Pertama penolak hujjah kaum Wahabi
Mendakwakan mujtahid semasa kini

Kaum muda firqah baharu


Mendakwahkan mujtahid tiada malu
Diperbodoh orang yang dungu
Pada risalah ini keterangan tentu89

Depalan masalah yang dikupas dalam risalah ini ialah: (1)


Masalah Ijtihad; (2) Masalah Ushalli; (3) masalah Talqin
Mayat; (4) Mendirikan rumah di atas kubur; (5) masalah
Mazhab; (6) masalah Tarikat; (7) masalah hisab dan rukyah
dan (8) masalah Jum’at.
Risalah ini juga mendapat sokongan dari ulama-ulama
sezamannya,90 mengisyaratkan betapa pengaruh risalah ini.
Risalah ini kemudian dicetak pada percetakan Pulobomer –
Padang, tahun 1918.

89
Syekh Khatib Ali al-Minangkabawi, op.cit., bagian pembuka Sya’ir
90
Ulama-ulama itu ialah Syekh Khatib Saidina Padang, Syekh
Muhammad Thaib Padang, Syekh Muhammad Dalil Bayang, Syekh Abdullatif
Bengkulu, Syekh ‘Aisy Hafiz Qur’an Palembayan, Syekh Arsyad Batuhampar,
Syekh Abdul Hamid Matur, Syekh Muhammad Haris Banten, Syekh Husein
Alahan Panjang, Syekh Abdurrahman Sungaipagu, Syekh Ja’far Lolo, Syekh
Abdullah Surian, Syekh Ismail Lolo, Syekh Abu Bakar Tanjuangalam, Syekh
Abdul Ghani Kuala Lumpur, Syekh Muhammad Jamil Pariaman, Syekh
Muhammad Samah Binjai, Syekh Muhammad Nur Qadhi Langkat, Syekh
Muhammad Sa’ad Mungka, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Mukhtar
(Mekah), Syekh Husein Qadhi Muara Aman, H. Ahmad (President SI Padang),
Faqih Shaleh Padang, Faqih Makhudum Solok, Syekh Isma’il Maninjau, Syekh
Salim Bayur dan Syekh Muhammad Adam Maninjau.

52
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Burhanul Haq (1918)

2) Miftahus Shadiqiyyah fi Ishtilahin Naqsyabandiyah Raddu fi


Zhannil Kadzibah
Bila Syekh Mungka telah memulai pembelaan terhadap
Tarikat Naqsyabandiyah dengan jitu, maka Syekh Khatib ‘Ali
lewat karyanya Miftahus Shadiqiyah mengiringi pembelaan
tersebut. Karya ini disebut-sebut sebagai karya yang
berwibawa dalam apologetis Tarikat Naqsyabandiyah.
Dalam pendahuluannya, Syekh Khatib ‘Ali menyebutkan
bahwa karya ini berupa saduran dalam bahasa Melayu dari
karya monumental Miftahul Ma’iyyah karya Syekh Abdul
Ghani an-Nabalusi.91 Namun lebih dari itu, Syekh Mungka

91
Lihat Syekh Khatib Muhammad ‘Ali al-Minangkabawi, Miftahus
Shadiqiyyah fi Ishtilahin Naqsyabandiyah Raddu fi Zhannil Kadzibah (Padang:
Polo Bomer, 1905) hal. 6

53
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

telah menambah komentar yang cukup panjang dalam karya


ini. beberapa bagian dalamnya merupakan kritikan tajam
terhadap orang-orang yang mengingkari Tarikat
Naqsyabandiyah, diiringi dengan ulasan terhadap Izhar-nya
Syekh Ahmad Khatib. Selain Miftahul Ma’iyah yang menjadi
saduran utama, Syekh Khatib ‘Ali menyebutkan bahwa dalam
karya ini beliau menyertakan beberapa kitab Naqsyabandi,
yaitu Wushulul Auliya’, Bahjatus Saniyah, kitab Syekh
Sulaiman Zuhdi dan pernyataan Syekh Muhammad Yatim
Padang.
Dalam kitab ini tampak kepiawaian Syekh Khatib ‘Ali dalam
beragumen. Kritikan beliau memang tajam terhadap orang-
orang yang menolak Naqsyabandi, namun beliau tidak serta
merta buta, beliau tidak mengingkari bahwa ada diantara
khalifah-khalifah Naqsyabandi itu yang berbuat tidak
menurut semestinya. Untuk yang terakhir ini mendapat
tempat pula dalam risalah berwibawa Syekh Khatib Ali ini.
Untuk teks Miftahul Ma’iyyah sendiri selesai diterjemahkan
pada tahun 1891, sedangkan komentarnya diselesaikan pada
tahun 1905 dan kemudian dicetak pada percetakan Pulo
Bomer Padang, dengan judul Miftahus Shadiqiyyah. Pada
lembar terakhir kitab ini dilampirkan Nazam Silsilah Syekh
Isma’il Simabur yang membawa komplisitas risalah ini.

54
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Miftahus Shadiqiyyah (1905)

3) Risalah al-Mau’izhah wat Tazdkirah: Pengajaran dan


peringatan, keputusan rapat di Padang, 15 juli 1919
Pada 15 juli 1919 di Padang diadakan rapat besar ulama Tua
dan ulama Muda, yang disaksikan oleh lebih seribu orang.
Pertemuan itu lebih dari sekedar rapat, membahas masalah-
masalah yang diikhtilafkan oleh kalangan Muda dan disisi
lain yang mempertahankan, ulama Tua. Diantara ulama Tua
yang hadir dan menjadi pembicara pada malam itu ialah
Syekh Khatib Ali, sedang dipihak ulama muda, seperti H.
Abdullah Ahmad. 92 Malam itu menjadi medan debat yang
cukup alot. Diantara masalah yang dibicarakan ialah perkara
ushalli, berdiri maulid dan lainnya.

92
BJO. Schrieke, op. cit., hal. 80

55
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Tak lama setelah malam perdebatan itu, Syekh Khatib Ali


menerbitkan satu Risalah yang mencerminkan keputusan
ulama-ulama Jawa mengenai masalah-masalah yang
diperbincangkan di Minangkabau. Dalam muqaddimah
risalah ini disebutkan bahwa setelah pertemuan di Padang
tersebut, Syekh Muhammad Harist Banten yang ketika itu
mukim di Bukittinggi melayangkan surat kepada beberapa
ulama di Jawa. Tak berselang lama datanglah surat
penegasaan dari 13 ulama jawa untuk menjawab khilaf antara
ulama Minangkabau. Diantara ulama-ulama Jawa tersebut
yang memberi keputusan ialah Sayyid Ali Muhammad
Habsyi Betawi, Muhammad Ruslan Pekojan, Muhammad
Ibrahim Gersik, Abdul Hadi Semarang, Muhammad Hasan
Serang, Muhammad Shafiyuddin Banten dan lainnya.93 Hasil
keputusan itu dikirim ke Bukittinggi. Kemudian oleh Syekh
Harist Banten dikirim kepada Syekh Khatib Ali di Padang.
Keputusan itu kemudian diterbitkan dengan judul al-
Mau’izhah wat Tazdkirah disertai penjelasan, dibelakang
risalah itu dicantumkan pula satu jawaban Syekh Khatib Ali
terhadap sebuah pertanyaan dari DR. Schieke.
Risalah ini diterbitkan oleh Derukrij Orang Alam
Minangkabau, tahun 1919.

93
Syekh Khatib Muhammad Ali al-Minangkabawi, Risalah at-
Mau’izhah wat Tazkirah: Pengajaran dan Peringatan, keputusan rapat di
Padang 15 juli 1919 (Padang, Derukrij Orang Alam Minangkabau, 1919) hal. 4
dan 11

56
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab al-Mau’izhah wat Tazdkirah (1919)

4) Intisharul I’tisham fit Taqlidi ‘alal Awam Raddu Tamyiz al-


Taqlid minal Ittiba’
Heboh masalah Ijtihad pada awal abad XX membuat Syekh
Khatib Ali perlu untuk masuk arena. Disamping beliau secara
terang telah menegaskan dalam karyanya Burhanul Haq
bahwa seorang yang belum sampai ilmunya pada tingkat
Mujtahid tidak dapat harus Taqlid pada salah satu Imam yang
empat, beliau juga merasa perlu mengarang satu buku yang
khusus menjelaskan duduk perkara Taqlid dan Ijtihad. Pada
tahun 1928 terbit sebuah buku aliran Kaum Muda di Asahan
yang menolak pendirian Taqlid, buku tersebut berjudul
Tamyizut Taqlid minal Ittiba’ (karangan Abdul Hamid
Mahmud al-Asahani). Syekh Khatib Ali mendapat
kesempatan, disamping untuk mengi’tiradh buku yang
menurut hemat beliau tidak tepat, beliau dalam buku ini juga

57
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

berkesempatan untuk menguraikan masalah Ijtihad dan


Taqlid yang diselewengkan oleh Kaum Muda. Pada
permulaan risalah ini beliau menulis:
Wa badh’, pada awal bulan Rabiul Awal sanah 1348 telah
dikirim oleh ikhwan hamba dari Asahan sebuah kitab
namanya Tamyizut Taqlid minal Ittiba’ karangan Abdul
Hamid Mahmud al-Asahani. Dimintak hamba oleh ikhwan-
ikhwan akan memberi keterangan bagaimana tujuannya kitab
itu. Adakah setuju dengan fatwa ahlussunnah atau tidak. …
tatakala hamba lihat kitab itu, setengah perkataannya
mengi’tiradh (melawani) benar Ahlussunnah dalam Mazhab
yang empat. Dan mu’taridh itu sangat berani menyalahkan
orang yang Taqlid dan membatalkan akan dia dengan
mengadakan dalil daripada Qur’an dan Hadist yang diputar
maknanya dan maksudnya kepada yang dikehendaki oleh
hawa nafsunya yang tiada haq.94
Syekh Khatib Ali memang menguasai medan bahas, hal ini
tercermin dari uraian kitab ini. Syekh Khatib telah menyertai
risalahnya ini dengan referensi kitab-kitab fiqih dalam
Mazhab Syafi’i yang luas, mulai dari generasi awal, Imam
Syafi’i, sampai dengan periode mutaakhirin, Imam Ibnu
Hajar dan Imam Ramli. Beliau juga mampu menjelaskan
topik bahasan dengan baik, diksi yang mudah dipahami serta
alasan-alasan yang cukup.
Kitab ini kemudian dicetak di Pulo Bomer Padang, tanpa
menyertakan tahun pembuatan.

94
Syekh Khatib Muhammad Ali al-Minangkabawi, Intisharul I’tisham
fit Taqlidi ‘alal Awam Raddu Tamyiz al-Taqlid minal Ittiba’ (Padang: de
Volherding, t.th) hal. 1

58
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Intisharul I’tisham

Karya-karya beliau lainnya yang dikenal namanya ialah:95


1) Manaqib Syekh Mushtafa al-Khalidi Sungai Pagu
2) Masalah Thalabin Nikah
3) Miftahud Din lil Mubtadi
4) Sifat Dua Puluh Kecil
5) Tanbihum fi Istilahin Naqsyabandi
6) Mas’alatul Arba’in alal Burhan Aqidatil Iman
7) Nazham Nasehat
8) Sya’ir Nabiyullah Ayub
9) Sya’ir Muhammad Rasulullah
10) Nazhm Ya’qub wa Yusuf

95
Mastudi HS, dkk, op. cit., jilid II. Hal. 221; Tim Islamic Centre, op.
cit., hal. 39-40

59
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

11) Sya’ir Hari Raya


12) Burhanul Qathi’ah
13) Menyembahyangkan Mayit
14) Keputusan Mekah
15) Burhanul Musaddi
16) Ushuluddin
17) Al-Khatimah Yuhajjuhu
18) Asal Usul
19) Irsyadiyah fi Ulumin Nahwi
20) Irsyadiyah fis Sharf
21) Irsyadiyah fil Fiqh
22) Irsyadiyah fil Ushul
23) Irsyadiyah fil Hisab wal Kalam
24) Irsyadiyah fit Tajwid

(5) Syekh Muhammad Thaib Umar Sungayang (1974-1920)


Dalam golongan kaum Muda beliau dikenal sebagai ulama yang
beraliran lunak. Meski begitu, beliau telah meletakkan dasar-
dasar pembaruan yang membawa pengaruh luas dikalangan kaum
muda generasi berikutnya. Disamping sebagai ulama besar suka
dengan gaya modern, seperti suka memakai jas, dasi dan peci,
beliau juga mengadakan perubahan besar dimasanya, diantaranya
ialah mengajurkan khutbah dengan bahasa Indonesia dan
mengadakan sistem pendidikan klasikal yang kala itu tabu. Selain
itu beliau nampak juga hobi bersya’ir, dimana isinya berupa
kritikan terhadap mengaji cara lama, bahkan berupa sindiran yang
tajam yang kadangkala membuat berang orang-orang siak masa
itu.
Beliau dilahirkan di Sungayang, Batusangkar, pada tahun 1974.
diusia beliau beliau telah belajar agama dengan beberapa orang
guru di kampungnya. Ketika usia meningkat, beliau
meninggalkan kampung halamannya untuk menambah
pengetahuan, diantaranya kepada Syekh Abdul Manan Padang
Gantiang dan Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih. Setelah
cukup ilmu di kampungnya, beliau berangkat ke Mekah dan
mukim disana selama 5 tahun. Diantara gurunya disini ialah
60
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. 96 Pada tahun 1897 beliau


kembali ke Sungayang dan langsung mengabdi mengajar agama
di surau Tanjuang Pauah. Pada tahun 1910 beliau membuka
Madras School, sebuah trobosan baru sekolah agama masa itu.
Beliau dikenal sangat keras kepada adat dan ninik mamak di
kampungnya. Beberapa kali ketegangan terjadi antara beliau
dengan kaum adat. Beberapa tulisan beliau yang banyak termuat
dalam majalah al-Moenir, disamping buku-buku beliau, juga
sering menyindir tradisi-tradisi lama itu. Diantaranya tulisan yang
berbentuk sya’ir, dimana beliau menyindir keras tradisi mengaji
cara lama:
Jangan diikut masa yang lata
Menuntut ilmu suatu mata
Sekedar fiqih hanya dicinta
Sehabis umur sendi anggota
Habislah masa fiqih tak terang
Rupa yang sungguh berupa karang
Awaklah faqih disangka orang
Ilmu yang tahqiq dapatnya jarang
Adapun masa dahulu hari
Ilmu dituntut pemagar diri
Sekedar bergelar faqih dan kari
Untuk pelepas rodi negeri
…………
Lebih-lebih di Minangkabau
Guru masyaikh pandai menghimbau
Ditipunya awam seperti kerbau
Ke dalam khalwat banyak terambau 97
Beliau juga dikenal mengarang risalah, salah satu yang kita kenal
saat ini ialah risalah mengenai Sifat Dua Puluh, yang berjudul
Aqidatul Iman, diidentifikasi sebagai berikut:

96
Baca Mahmud Yunus, op. cit., hal. 141; Hamka, op. cit., hal. 282;
Tim Islamic Centre, Riwayat 20, op. cit., hal. 88; Masduki HS, dkk, op. cit., jilid
II, hal. 197-198
97
Sya’ir Syekh Thaib Umar Sungayang dalam al-Moenir, 1 ramadhan
1330/ 14 Agustus 1912, Juz ke-11, Padang. hal. 7

61
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Aqidatul Iman
Karya ini, seperti tertera pada judulnya berbicara mengenai
akidah, bahasan yang utama di dalamnya ialah mengenai sifat dua
puluh yang wajib bagi Allah, dilanjutkan dengan dalil naql dan
aql sifat-sifat tersebut. Mengenai Sifat Dua Puluh, Syekh Thaib
Umar menjelaskan bahwa setiap mukallaf wajib mengetahuinya
secara tafsil (terperinci) berikut dengan dalil-dalilnya.98
Risalah ini dicetak bersamaan dengan risalah Irsyadul Awam
karangan Syekh Muhammad Zain Simabur. Perihal tahun dan
penerbit tidak diketahui, sebab naskah yang ada pada kami,
halaman awal dan akhirnya telah rusak.

(6) Syekh Yahya al-Khalidi Magek (1857-1940)


Syekh Yahya merupakan salah seorang ulama terkemuka, yang
wafat diawal abad XX. Dimasa kecilnya beliau mengaji agama

98
Lihat Syekh Thaib Umar Sungayang, Aqidatul Iman di dalam kitab
Irsyadul Awam ilal Islam (penerbit, tahun terbit dan tempat terbit tidak
terdeteksi, halaman awal dan akhir risalah ini telah hilang) hal. 138

62
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

kepada beberapa ulama-ulama di kampung halamannya. Setelah


menyelesaikan dasar-dasar agama lewat kitab-kitab, Syekh Yahya
kemudian melanjutkan pertualangan intelektualnya ke berbagai
surau, diantaranya di Payakumbuh, kepada ulama besar Syekh
Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka (w. 1922). Kepada Ulama
inilah Syekh Yahya mendapatkan ijazah dalam Tarikat
Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan menjadi salah seorang
khalifah utamanya. Selanjutnya, untuk menamba ilmu
pengetahuan sekaligus menunaikan rukun Islam kelima, Syekh
Yahya berangkat ke Mekah. Tercatat beliau pernah bermukim di
Mekah selama 2 kali, selama itu pulalah beliau belajar agama
kepada ulama-ulama kenamaan di Tanah Suci.
Sekembalinya beliau dari Mekah, beliau kemudian mengajar ilmu
yang telah diperolehnya di sebuah surau yang didirikan oleh
masyarakat Magek, Tilatang Kamang, secara bergotongroyong.
Disanalah beliau hingga akhir hayatnya mengajarkan agama
kepada orang-orang siak yang datang dari berbagai daerah. Selain
mengajar ilmu-ilmu syari’at, beliau juga mendirikan Khalwat
dalam Tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Dalam bidang
Tasawwuf, selain aktifitas Suluk, beliau juga dikenal sebagai
ulama yang mengajarkan langsung Ihya Ulumuddin (4 jilid),
sebuah karya monumental Tasawwuf yang besar, kepada murid-
muridnya. Diantara murid-murid beliau yang kemudian menjadi
ulama besar pula ialah Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh
Sulaiman ar-Rasuli Candung, Syekh Sulaiman Ghani Magek dan
anak beliau sendiri Syekh Yunus Yahya Magek.99
Mengenai karangan yang dihasilkan oleh Syekh Yahya, sebagai
dicatat oleh anak beliau, tercatat sebanyak 10 risalah penting yang
dihasilkannya. Dari 10 karya itu hanya satu buah yang telah
diterbitkan atas publikasi anaknya Syekh Yunus Yahya. 100

99
Riwayat beliau dapat dilihat dalam KH. Sirajuddin Abbas,
Thabaqatus Syafi’iyah: Riwayat Hidup Ulama-ulama Syafi’iyah (Jakarta:
Pusataka Tarbiyah, 1975); H. Abdul Wahid Ketinggian, Riwayat Ringkas Syekh
Yahya al-Khalidi Magek (Manuskript)
100
Baca Syekh H. Yunus Yahya Magek, Riwayat Hidup Ulama Syafi’I
(Magek: Persatuan murid-murid Tarbiyah Islamiyah Magek, 1976) hal. 19

63
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Sedangkan lebihnya masih berupa manuskrip. Identifikasi


karangan beliau ini sebagai berikut:

Kitab Jalan Kebahagiaan


Karya ini berisi tentang wirid-wirid mu’tabar, diantaranya do’a
Nabi Adam mula-mula turun ke bumi, do’a Nabi Muhammad
SAW kepada orang Anshar, Adab-adab do’a, berikut tentang
keterangan do’a-do’a tersebut. Pada akhir risalah ini dilampirkan
satu pembahasan, yang tampak dimunculkan oleh kaum Muda,
mengenai perkara mengangkat tangan ketika mendo’a, yang
ditulis oleh Syekh Yunus Yahya Magek dan Syekh Abdullah
Yahya (anak kandung pengarang).101
Karangan ini kemudian dicetak pada percetakan HMS. Sulaiman,
Fort de Kock (Bukittinggi). Tanpa menyertakan tahun penerbitan.

101
Syekh Yunus Yahya Magek, Jalan Kebahagiaan (Fort de Kock:
Islamiyah, t. th)

64
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Jalan Kebahagiaan

Karangan-karang beliau lainnya ialah:


1) Mushtalah Hadist
2) Sifat Dua Puluh (Tauhid)
3) Nahwu dan Sharaf
4) Kumpulan Hadist
5) Tharikat Naqsyabandiyah
6) Asma’ul Husna
7) Hukum-hukum Fiqih
8) Fara’idh
9) Khushushiyat Surat dalam al-Qur’an

65
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

(7). Syekh Thaher Djalaluddin al-Falaki al-Minangkabawi


(1869-1956)
Seperti halnya Syekh Ahmad Khatib, saudara sepupu102 Mufti
Mekkah itu, Syekh Thaher Jalaluddin lebih betah tinggal dan
meniti karir keulamaannya di tanah seberang, jauh dari kampung
halamannya Minangkabau. Syekh Thaher ialah seorang ulama
terkemuka, masyhur selaku ahli Falaq Asia Tenggara dan Beliau
dikenal pula sebagai salah satu tokoh penebar angin pembaharuan
setelah Syekh Ahmad Khatib.
Beliau dilahirkan pada tahun 1869, di Ampek Angkek
Bukittinggi. Pada tahun 1880 Syekh Thaher berangkat ke Mekah
untuk menuntut ilmu. Tak kurang selama 13 tahun beliau
menghabiskan waktu, belajar di Mekah (1880-1893). Tak puas
dengan ilmu yang diperolehnya di Mekah, beliau melanjutkan
pengembaraan intelektual beliau ke Mesir, tepatnya di al-Azhar.
Disini beliau bermukim selama 3 tahun. Kemudian beliau
kembali ke Mekah, dan pada tahun 1998, beliau meninggalkan
Mekah dan menetap di Malaya.103 Karena dedikasinya, beliau
sempat diamanahi sebagai Mufti Perak, tapi tawaran itu kemudian
diletakkannya, lalu beliau mendirikan sekolah Agama di Johor.
Dari tanah Malaya itu, tepatnya Singapura, Syekh Thaher
Jalaluddin menerbitkan Majalah al-Imam.104 Majalah ini menjadi
terkenal, sebab majalah ini menjadi corong menyuarakan
pembaharuan ala Muhammad Abduh (Mesir).105 Hal ini menjadi

102
Ibu Syekh Thaher (Gandam Urai) dan Ibu Syekh Ahmad Khatib
(Limbak Urai) kakak beradik. Lihat Hamka, Islam dan Adat…, op. cit., hal. 153-
154
103
Tim Penulis, Beberapa Ulama…op. cit., hal. 126; Hamka,
Ayahku…, op. cit., hal. 274-275; Hamka, Islam dan Adat…, op. cit., hal. 169-
170; Tim Islamic Centre, Riwayat Hidup…, op. cit., hal. 94-95
104
Burhanuddin Daya, op. cit., hal. 12
105
Syekh Thaher dalam usaha penerbitan ini bertindak sebagai
pemimpin redaksi, nama-nama lain yaitu Sayyid Ahmad al-Hadi sebagai
penyumbang tulisan, H. Abbas bin Muhammad Thaha sebagai pemimpin
redaksi, Muhammad Salim al-Kalali sebagai direktur. Baca Azyumardi Azra,
Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: MIZAN, 2002) hal.
187. untuk mengetahui sepak terjang majalah al-Imam ini, baca hal. 186-197

66
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

wajar, sebab Syekh Thaher pernah bersinggungan langsung


dengan Muhammad Abduh dan Majalah al-manar-nya sewaktu di
Mesir. Al-Imam kemudian menginspirasi kaum Muda
Minangkabau untuk berbuat hal serupa, yakni menerbitkan al-
Moenir di Padang.
Syekh Thaher juga dikenal sebagai seorang ulama yang produktif.
Beberapa karya telah mampu dihasilkannya dalam berbagai
bidang, diantaranya Falaq dan tulisan-tulisan untuk menanggapi
isu-isu agama yang beredar kala itu. Diantara karya beliau yang
dapat diidentifikasi ialah:

1) Perisai Orang Beriman, Pengisai Mazhab Orang Qadiyan


Karya ini merupakan satu bantahan keras terhadap
Ahmadiyah Qadiyani yang saat itu hangat diisukan karena
mulai masuk ke tanah Melayu. Menurut keterangan Hamka,
Ahmadiyah masuk ke negeri Minangkabau di era-20-an,
dibawa oleh beberapa murid Thawalib Padang Panjang
setelah berguru kepada juru dakwah Ahmadiyah, Rahmat Ali,
di Tapak Tuan, Aceh. Karena Sumatera gersang untuk faham
serupa Ahmadiyah, lalu Rahmat Ali pindah ke Jakarta, sebab
disana lebih subur.106 Kasus Ahmadiyah ini telah menjadi
pembicaan hangat pula di awal abad XX tersebut, para ulama
di Minangkabau menyatukan langkah untuk menolak aliran
ini. diantaranya Syekh Thaher dengan risalah Perisai-nya ini.
Risalah ini menjadi menarik, sebab Syekh Thaher merinci
menjelasannya dalam menjelaskan ajaran Ahmadiyah yang
sesat. Dengan mempelajari kitab-kitab Ahmadiyah yang
ditulis imamnya Mirza Ghulam Ahmad, Syekh Thaher lalu
mengoreksi setiap tafsiran ungkapan yang meleset dalam
karya-karya itu. Mengenai keadaan ketika Ahmadiyah
bertunas di alam Melayu, Syekh Thaher berujar:

106
Hamka, Ayahku…, op. cit., hal. 137-141

67
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Pada masa ini bangkit pula ribut taufan fitnah kesesatan, dan
bertaburan seruan kekarutan, dan berhamburan karang-
karangan dalam surat-surat kabar hari-harian disebelah tanah
air yang sangat dikasihi pada perkara al-Qadiyani yang
sangat menyalahi nash agama dan aqa’id ahli Iman. 107

Risalah ini diterbitkan di Singapura, pada percetakan Setia


Press, tahun 1930.

Foto: Sampul Kitab Perisai Orang Beriman (1930)

2) Natijatul Umur: Pendapatan kira-kira Pada Taqwim Tarikh


Hijri dan Miladi, Hala Qiblat dan Waktu Sembahyang yang
Boleh digunakan selama Hidup.

107
Syekh Thaher Jalaluddin al-Minangkabawi, Ini Perisai Orang
Beriman, Pengisai Mazhab Orang Qadiyan (Singapura: Setia Press, 1930) hal. 3

68
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Syekh Thaher memang masyhur sebagai ahli Falaq


terkemuka, bahkan beliau pernah membuat kagum ilmuan-
ilmuan astronomi Inggris dimasanya. Pada tahun 1911 beliau
pernah di undang ke Inggris menghadiri upacara perayaan
mahkota King George. Ketika itu para ilmuan di negera
tersebut menguji Syekh Thaher untuk menentukan arah
perjalanan bintang dimalam hari. Setelah Beliau kaji, rupanya
hasil yang beliau dapati ternyata benar, sehingga membuat
ilmuan di daerah itu terpukau. Salah satu hasil eksakt-nya
ialah Risalah ini.
Dalam Natijah Umur ini Syekh Thahir telah merinci waktu
untuk mengetahui awal-awal bulan, mengenal waktu shalat
dan mengetahui arah Kibrat, yang dapat dipakai seumur
hidup. Syekh Thaher telah merangkum satu rumus sederhana
dan sangat berguna dalam Risalah ini. pada halaman
pembukanya, Syekh Thahir menjelaskan betapa pentingnya
mengetahui ilmu ini, dengan mengambil argumen beberapa
kaedah Ushul.108
Kitab ini dicetak pada tahun 1936 tanpa mencantumkan
penerbitnya. Dicetak dalam format kecil, dengan maksud agar
mudah dibawa dan dipergunakan.

Karya-karya Syekh Thaher yang lainnya ialah:109


1) Irsyadul Khaidhi lil ‘Ilmil Fara’id (pembagian harta pusaka)
2) Huraian yang membakar, taman persuraian Haji (polemik
Qabliyah Jum’at)
3) Ithaful Murid fi Ilmit Tajwid (ilmu Tajwid)
4) Ta’yidud Tazkirah (khilafiyah Qabliyah Jum’at)
5) Jadwa’il Pati Kiraan (tentang Falaq)
108
Syekh Thaher Jalaluddin al-Minangkawi, Natijatul Umur:
Pendapatan kira-kira Pada Taqwim Tarikh Hijri dan Miladi, Hala Qiblat dan
Waktu Sembahyang yang Boleh digunakan selama Hidup (t. tp. : t. th, 1936) hal.
3
109
Tim Islamic, Riwayat Hidup…, op. cit., hal. 104; Tim Penulis, op.
cit., hal. 131-134

69
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

6) Nukhbatut Taqrirat (tentang Falaq)


7) Al-Qiblah fi Nushush Ulama Syafi’iyyah (tentang Falaq)
8) Kiriman Seni pada Huruf Ma’ani
9) Ke Tanah Inggris
10) Kamus Bahasa Melayu
11) Kaifiyyatul Amal fil Wasiyat
12) Sya’ir Kelakuan Jima’ dengan Istri
13) Cerita Perang Paderi

(8) Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah (1879-1949)


Inyiak Rasul atau Inyiak De-er ini, dari golongan Kaum Muda,
ialah yang paling terkemuka ke-ulama-annya, berpengaruh dan
yang terkenal kerasnya. Sebagai tokoh yang disebut radikal ini,
fatwa berikut pengajian beliau banyak menimbul kontroversi
ditengah masyarakat, sehingan kontan hal ini membuat beliau
mempunyai banyak lawan, dan tak sedikit pula mempunyai
kawan-kawan perjuangan. Banyak tercatat murid-murid beliau
dikemudian hanya yang dikenal sebagai tokoh-tokoh perjuangan.
Disamping perjuangan ala kaum Muda yang beliau lakoni, beliau
juga dikenal berjasa dalam bidang pendidikan, sampai beliau
dianugerahi DR (HC) dari al-Azhar, sangat besar andil beliau
ketika berdiri Thawalib dan ketika kasus Ordonasi guru.110 Dua
zaman pemerintahan, orang Belanda dan Jepang mengenalnya
selaku alim yang sering dimintai pendapat. Karena keras, tak
jarang pula beliau diasingkan penguasa penjajah kala itu. Dalam
usaha pembaharuan, beliau pulalah yang membawa
Muhammadiyah ke Minangkabau tahun 1925, dan menjadikan
kampung halamannya Sungai Batang sebagai kantor cabang
Muhammadiyah pertama.
Beliau dilahirkan di Sungai Batang pada tanggal 17 shafar. Ayah
beliau terkenal sebagai ulama besar dimasa itu, yaitu Syekh

110
Baca lebih lanjut perjuangan beliau itu dalam Murni Djamal, Dr. H.
Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan pembaharuan Islam di
Minangkabau pada awal abad ke-XX (Jakarta: INIS, 2002) terutama pada bab
III dan bab IV

70
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Amrullah Tuanku Kisa’i, ulama Tua menurut garis Tarikat


Naqsyabandiyah. Dimasa kecilnya beliau telah belajar ilmu
agama kepada beberapa ulama, disamping ayahnya, juga kepada
Angku Haji Muhammad Shaleh dan Angku Haji Hud di Tarusan,
kemudian kepada Sutan Muhammad Yusuf Sungai Rotan
Pariaman. Pada tahun 1984 beliau berangkat ke Mekah dan
belajar disana sampai tahun 1901. diantara guru-gurunya ialah
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Abdullah
Jumaidin, Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh Usman Serawak,
Syekh Umar Bajuned, Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Hamid
Jeddah, Syekh Sa’id Yaman dan Syekh Jamil Jambek.111 Setelah
pulang beliau mengajar di kampung beliau Sungai Batang.
Beberapa tahun kemudian beliau kembali ke Mekah, dan sempat
mengajar di Mesjidil Haram. Tahun 1906 beliau pulang ke Sungai
Batang dan kemudian berpindah-pindah, ke Padang, lalu Padang
Panjang dan terakhir tinggal di Jawa hingga wafatnya.
Di masanya beliau digembar-gemborkan membawa faham baru,
sebab kajinya berlawanan dengan amalan ulama-ulama
Minangkabau masa itu. Beliau sangat keras kepada Tarikat
Naqsyabandiyah, hingga dikabarkan beliau berseberangan dengan
ayahnya yang dikenal selaku ulama Tarikat Naqsyabandiyah.
Berikut, tanpa basa basi beliau menyebut kaji orang Syathari yang
mengaji Nur Muhammad sebagai sesat. Namun beliau tidak bisa
disebut sebagai orang yang sangat anti pati dalam Tasawuf dan
Tarikat secara menyeluruh. Dalam satu cacatan tua yang ditemui
di Kutubkhannah beliau di Sungai Batang, beliau merupakan
penganut Tarikat Alawiyah dan Hadadiyah yang diterimanya dari
ayahnya, catatan itu lengkap dengan silsilah Tarikat beliau itu. 112
Hal ini menjadi penting, sebab perihal Tarikat Inyiak Rasul ini
tidak disebut-sebut Hamka dalam Biografinya.

111
Lihat Dr. Abdul Karim Amrullah, al-Burhan: Mentafsirkan dua
puluh dua puluh dari pada al-Baqarah (Ford de Kock: Derekrij Baroe, 1928)
hal. 1; Hamka, Ayahku…, op. cit., hal. 56; Tim Islamic Centre, op. cit., hal. 125
112
Manuskrip ini ditemui oleh Penulis, berikut Bpk Ahmad Taufik
Hidayat dan beberapa peneliti UNAND di Kutubkhannah Inyiak Rasul
Maninjau, Desember 2010. catatan konon belum pernah dibuka-buka sama
sekali, tertumpuk di lemari tanpa disentuh-sentuh orang sebelumnya.

71
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Dalam bidang tulis menulis, beliau termasuk yang paling


produktif dikalangan teman-temannya. Beliau telah membangun
satu pustaka yang dikenal dengan nama Kutubkhannah
(=perpustakaan) di kampungnya, Sungai Batang, sebagai tempat
berdiam mengarang, juga sebagai tempat penyimpanan dokumen
dan kitab-kitab beliau yang cukup banyak. Kutubkhannah itu
masih terawat sebagai benda cagar budaya saat ini, beberapa
dokumen, kitab dan tulisan-tulisan beliau yang selamat dari
kehancuran masih tersimpan rapi di sini. Karya-karya yang beliau
hasilnya sangat kaya, mulai dari soal ibadah, sejarah, tafsir
bahkan soal adat Minangkabau. Tentunya sebahagian besar karya
beliau diwarnai dengan hal-hal yang mengundang polemik, tak
jarang mengundang perdebatan yang alot.
Istimewanya, karya-karya beliau telah dikumpulkan dengan baik
oleh peneliti-peneliti sesudahnya, tidak seperti karya ulama lain
dizamannya yang sering dipandang sebelah mata. Tentu kita
maklum, beliau ialah sosok pembaharu, tentu karya-karyanya
menjadi objek buruan untuk sebuah penelitian, dan orang-orang
memang gemar dengan hal-hal yang baru.
Karangan-karangan beliau dalam satu sumber yang cukup
otoritatif berjumlah sebanyak 31 judul. 113 Hanya satu dua karya
beliau yang tidak ditemui hingga kini. Identifikasi sebahagian
karya beliau sebagai berikut:

1) Qathi’u Riqab al-Mulhidin fi Aqa’idil Mufsidin


Ini adalah satu seri bantahan beliau, Inyiak Rasul, terhadap
ajaran Tarikat. Lahirnya risalah ini berdasarkan pertanyaan-
pertanyaan yang dilontarkan oleh para murid mengenai
pangajian yang banyak dipakai Tuanku-tuanku Syekh di
113
Daftar dan identifikasi lengkap karya Beliau lihat dalam M. Sanusi
Latief, dkk, Studi Tentang Karya Tulis DR. H. Abdul Karim Amrullah (Laporan
Penelitian The Toyota Foundation, Padang, 1988) lihat daftar kronologis karya
pada halaman 43-46; sedangkan dalam Ayahku, Hamka menyebutkan hanya 27
karangan saja, ditambah 3 karya yang tidak dicetak. Lihat Hamka, Ayahku…op.
cit., hal. 258-260

72
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Minangkabau. Dalam karya ini beliau khusus mengecam


pendirian kaum Tarikat Syathariyah dalam pengajian “Nur
Muhammad”. Intinya, beliau menyebutkan bahwa ajaran ini
merupakan dongeng fantasi saja dari kaum-kaum yang
berpura-pura bersufi-sufian. Pada sampul kitab ini saja
terdapat kalimat beliau yang keras terhadap pengajian Tarikat
Syatariyah ini, beliau kemukakan bahwa:
Ini Risalah ialah pemagar diri, supaya jangan mudah ditipu
oleh pembual-pembual dengan mulut manis dan sorban besar
dan menjinjing tasbih memperdungu kebanyakan awam
dengan menjual-jual Tarikat kosong dan bohong dan bid’ah
pada agama.114
Selain dalam bentuk cetakan, karya ini juga kita temui dalam
bentuk manuskrip yang selesai ditulis di Sungai Batang,
Maninjau, 1914.

114
DR. H. Abdul Karim Amrullah, Qati’u Riqal al-Mulhidin fi
Aqa’idil Mufsidin (Pondok, Padang: Direkrij al-Moenir, 1916) pada halaman
sampul

73
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Qathi’u Riqab al-Mulhidin (1916)

2) ‘Umdatul Anam fi Ilmil Kalam


Dalam pengantar kitab ini disebutkan bahwa penulisan karya
ini untuk memperjelas “Sifat Dua Puluh” yang wajib
diketahui oleh setiap mukallaf, lebih dari itu kitab ini juga
banyak menyinggung persoalan Tauhid secara luas, yaitu
mencakup rukun Iman yang enam. Gaya penjelasannya yang
dibuat dalam narasi tanya jawab membuat karya ini terasa
enak untuk dibaca. Perjelasan setiap Sifat Allah, mulai dari
wujud hingga kalam yang disertai dengan dalil masing-masih,
apakah secara naql atau aql, menjauhkan kitab ini sebagai
sebuah karya kering, dimana seorang pembaca harus
menerima apa adanya. Namun karya ini memberikan
alternatif argumentasi sehingga mengkayakan pembaca.
Pada akhir risalah, Inyiak rasul menyertakan beberapa bait
sya’ir sebagai bentuk tawadhu’ beliau, dan sebagai
permohonan untuk memperbaiki risalah jika terdapat khilaf
dan salah. Kutipannya:
Wahai Saudara Taulan sahabat
Silakan baca ini risalat
Jikalau ada khilaf dan sesat
Janganlah ikhwan faqir diupat
………
Faqir mengarang Abdul Karim
Dunia akhirat sangatlah dzamim
Kok tidak limpah Tuhan yang rahim
Sansi bertempat ke neraka jahim115

Risalah ini selesai ditulis tahun 1906, kemudian diterbitkan


pada percetakan Sneelpress al-Moenir pada tahun 1916.

115
DR. H. Abdul Karim Amrullah, ‘Umdatul Anam fi Ilmil Kalam
(Padang: Snellpress al-Moenir, 1916) hal. 54

74
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

3) Al-Fawa’id al-‘Aliyah fi Ikhtilafil Ulama’ fi Hukmi Talafuzh


bin Niyyah
Masalah Ushalli, melafazhkan niat, merupakan salah satu
masalah yang sangat hangat dibicarakan diawal abad XX.
Kedua kelompok, Kaum Tua dan Kaum Muda saling berkeras
terhadap pendapat masing-masing. Kaum Tua kuat
menyatakan bahwa mengucapkan Ushalli merupakan amalan
Sunat, sebab menolang hati ketika menghadirkan niat dalam
Takbiratul Ihram. Sedangkan kaum Muda bersikeras bahwa
Ushalli merupakan hal bid’ah yang harus dijauhi, bahkan
yang radikal diantara mereka mengatakan bahwa hal itu
bid’ah dhalalah. Karya ini merupakan pendirian kaum Muda
yang kokoh dalam masalah niat. Inyiak Rasul memberikan
argumen yang jitu untuk menolak hujjah kaum Tua, yang
kadang kala dalam risalah ini diuraikan dengan nada yang
lumayan kasar.
Disamping mendudukkan perkara Ushalli yang menurut
hemat penulis, Inyiak Rasul, tidak berdasar dari syara’,

75
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

separoh karya ini merupakan bantahan yang cukup kuat


terhadap tulisan Syekh Mungka yang membela amalan
Ushalli dalam bagian akhir kitab Tanbihum Awam. Pada
akhir risalah termuat sebuah sya’ir yang cukup panjang, berisi
pujian terhadap risalah ini, berikut sindiran terhadap kaum
Tua yang keras ber-Ushalli:
Siapa melihat ini risalah
Dapatlah dalamnya ilmu yang jelah
Khilaf ulama ada terjumlah
Melafazhkan niyah li muridis shalah

Tiap-tiap khilaf ada tempatnya


Tiap-tiap maqal ada maqam-nya
Ithla’ tafshil nyata bayan-nya
Maudhu’ hukum satu-satunya
…………

Bila risalah akan dibaca


Jernihkan hati terang bak kaca
Jauhkan mulut dari mencerca
Mizan syari’at ambil neraca116

Risalah ini kemudian ditashih oleh murid beliau, Zainuddin


Hamidi, untuk kemudian dicetak pada percetakan Tandikek-
Padang Panjang.

116
DR. H. Abdul Karim Amrullah, Al-Fawa’id al-‘Aliyah fi Ikhtilafil
Ulama’ fi Hukmi Talafuzh bin Niyyah (Padang Panjang: Tandikek, 1908) hal.
73-74

76
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab al-Fawa’id al-‘Aliyah (1908)

4) Pedoman Guru Pembetulkan Qiblat Faham Keliru


Suatu ketika datang sepucuk surat kepada DR. Abdul Karim
Amrullah dari seorang ulama berpengaruh di Borneo. Isi surat
itu berkaitan dengan amal Muhammadiyah yang menurut
ulama tersebut telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam
sebelumnya. Dengan gaya santun sang ulama menulis dalam
suratnya:
… berhubung dengan adanya pergerakan sekolah
Muhammadiyah di Tanah Jawa, sehingga menjalar sampai
ke tanah-tanah tempat diam saya Borneo, yang mana itu
pergolakan sangat mengejutkan dunia Islam di sini, oleh

77
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

karenannya banyak masalah-masalah hukum sedia kalanya


selama Muhammadiyah itu rupa akan berubah ! … 117
Beberapa masalah yang dikemukakan oleh ulama Borneo itu
kemudian dikupas oleh Inyiak Rasul dalam buku ini. maka
jadilah buku ini sebagai benteng amal Muhammadiyah dalam
berbagai hal, meski Inyiak Rasul juga pernah menyerang
Muhammadiyah dalam satu segi.
Kitab ini kemudian dicetak di Limbago – Payakumbuh,
dengan biaya adik beliau, H. Yusuf Amrullah.

Foto: Sampul Kitab Pedoman Guru (1922)

5) Aiqazhun Niyam Fima Ibtida’ min Umuril Qiyam

117
DR. H. Abdul Karim Amrullah, Pedoman Guru: Pembetul Kiblat
Faham Keliru (Payakumbuh: Limbago, 1922) hal. 3

78
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Perkara berdiri Maulid menjadi satu topik yang


menghebohkan pula diawal Abad XX tersebut. Sebagaimana
amalan ulama sebelum tiba fatwa yang menyalahi, ketika
merayakan maulid, ulama-ulama beserta masyarakat banyak
mereka melafazhkan Barzanji untuk mengenang perjuangan
Rasulullah. Ketika sampai pada bacaan “Nabi dilahirkan”,
mereka kemudian serentak berdiri sebagai ta’zhim kepada
Nabi. Namun kemudian amalan ini ditolah oleh kaum Muda,
meskipun amalan ini telah dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih
sunnahnya. Sala satu bantahan kaum Muda ialah dalam kitab
ini.
Kitab ini ditulis berdasarkan pertanyaan dan sanggahan
terhadap al-Moenir di Padang karena telah menyebarkan
fatwa bahwa berdiri Maulid adalah bid’ah. Inyiak Rasul
kemudian menulis sanggahan pula untuk sipenanya, maka
ditulislah buku ini sebagai jawaban pertahanan kaum muda
tersebut.
Seperti risalah-risalah lainnya, diakhir risalah ini Inyiak Rasul
juga menulis beberapa bait untuk menyuruh pembaca berpikir
jernih dalam hal ini, diantaranya:
Seruan kepada segala pembaca
Istimewa penduduk pulaunya perca
Panaspun garang langit cuaca
Bedakan intan daripada kaca

Ayuhai ikhwan buah hati sayang


Celup saduran sangat berbayang
Serupa zhahirnya emas dan loyang
Peraknya umpama malam dan siang

Ayuhai arifun yang bijaksana


Takwilkan ibarat faqir yang hina
Ilmu pengetahuan amat berguna
Sampai disini berhenti pena118

118
DR. H. Abdul Karim Amrullah, Aiqazhun Niyam Fima Ibtida’ min
Umuril Qiyam (Padang: Durekrij al-Moenir, 1911) hal. 53

79
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Risalah ini kemudian dicetak oleh al-Moenir, Pondok –


Padang, pada tahun 1911.

Foto: Sampul Kitab Aiqazhun Niyam (1911)

6) Sendi Aman Tiang Selamat


Kitab ini berupa cerminan pemikiran Inyiak Rasul yang
cemerlang. Beliau telah merangkum berbagai hal dalam
risalah yang terdiri dari dua jilid ini. mulai dari akhlak, yang
beliau sebut dengan adat limbago, perkara adab berguru dan
tata krama seorang guru, hingga beberapa kritikannya
terhadap Muhammadiyah sendiri. Tentunya beliau dalam
risalah tak luput membicarakan perubahan, mana-mana yang
tidak sesuai menurut syara’, memang beliau ungkai dalam
kitab ini. misalnya berpusaka kepada kemenakan, beliau
katakan:

80
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

…tidaklah akan tersembunyi lagi oleh segala niniak mamak


duksana saudaro bahasa adat jahiliyah (berpusaka kepada
kemenakan) itu wajib diubah, lembaganyapun wajib
dipecah!… 119
Karya ini cukup fenomenal dan mengundang para peneliti
untuk mendedah isi kandungannya

Foto: Sampul Kitab Sendi Aman Tiang Selamat

119
DR. H. Abdul Karim Amrullah, Sendi Aman Tiang Selamat
(Padang: al-Moenir, t.th) jilid I. hal. 136

81
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

7) Pembuka Mata: Menerangkan Nikah bercina Buta


Isinya menjelaskan keranjuan Nikah Muhallil yang saat ini
mulai menjadi budaya sebahagian orang. Beliau dalam buku
ini menjelaskan betapa sikap tersebut merupakan satu yang
tidak sesuai dengan furu’ syari’ah, yakni dengan cukup
alasan dan dalil dari kitab-kitab fiqih.
Diawal kitab ini, beliau menyindir orang-orang yang nikah
Muhallil sebagai bercina buta, berikut:
Bacalah tuan pembuka mata
Nikah muhallil supaya nyata
Memupus thalaq bercina buta
Tiada dibenarkan agama kita

Hukumnya haram atau berzina


Dikutuki Allah Tuhan maulana
Agama Islam suci sempurna
Mengharamkan segala kerja yang hina

Bercina buta jadi sebutan


Menghalalkan faraj itu buatan
Bagi si-muhallil sikambing jantan
Dikutuki oleh Rasul ikutan120

Risalah ini selesai ditulis pada tahun 1923 dan kemudian


dicetak pada Drukkerij Baroe, Fort de Kock, Bukittinggi.

120
DR. H. Abdul Karim Amrullah, Pembuka Mata: Menerangkan
Nikah bercina Buta (Fort de Kock: Drukkerij Baroe, 1923) halaman sampul

82
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Pembuka Mata (1923)

8) Sullamul Wushul Yarqi bihi Sama’u ilmil Ushul


Sebagai yang tertulis pada judul, karya ini merupakan satu
karya mengenai ilmu Ushul yang ditulis dalam bahasa
Melayu populer. Keterangan yang tertulis pada bagian akhir
kitab ini berupa sebuah keistimewaan, sebab karya ini
disebut-sebut sebagai kitab Ushul Fiqih pertama yang ditulis
dalam bahasa jawi.121 Karya ini dikemudian ditashih oleh DR.
H. Abdullah Ahmad, yang kemudian memberi taqrizh berupa
sya’ir mengenai keutamaan kitab ini. kutipan sya’ir itu ialah:
Berkata haqir dagang yang hina
Pen-tashih kitab ushul sempurna
Sullamul wushul nama yang mana

121
DR. H. Abdul Karim Amrullah, Sullamul Wushul Yarqi bihi
Sama’u ilmil Ushul (Padang: Durekrij al-Moenir, 1915) hal. 202, bagian tanbih

83
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Tangga penyampai lurusan makna

Tangga penyampaikan kitab pertama


Karangan alim bulan purnama
Abdul Karim Amrullah masyhurlah nama
Di alam Minang jarang yang sama122

Kitab ini kemudian dicetak DR. H. Abdullah Ahmad pada


percetakan al-Moenir di Padang, pada tahun 1915.

9) Al-Qaulus Shahih
Hangat-hangat perkara Ahmadiyah yang menghebohkan awal
abad XX, ketika gurunya Syekh Thahir mengarang Perisai
menyatakan kesesatan Ahmadiyah, Inyiak Rasul juga tidak
ketinggalan untuk masuk arena. Beliau membantah pendirian
Ahmadiyah berikut segala syubhat yang dilontarkan pengikut
Qadiyan dengan bukunya al-Qaulus Shahih ini. setelah
mebahas dengan jitu dan cukup alasan, Inyiak Rasul didalam
kaya ini menyimpulkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad,
sebagai pendiri Ahmadiyah itu telah sangat berati memutar
balikkan ayat dan hadist untuk keperluannya, melakukan
kebohongan untuk menjual agama barunya,123 dikemukakan
pula bahwa Dajjal yang diriwayatkan serupa dengan laku
Mirza ini.
Kitab ini mulanya ditulis dalam Arab Melayu, dan dicetak
Tsamaratul Ikhwan Bukittinggi, 1926. kemudian dilatinkan
oleh Hamka, dan dicetak di Yogya, pada Persatuan
Muhammadiyah.

10) Al-Mishbah li Tanwiri Qulubiz Za’imin

122
Ibid., hal pembuka
123
Lihat DR. H. Abdul Karim Amrullah, al-Qawloesh Shahih
(Yogyakarta: Durekrij Persatuan Muhammadiyah, t. th) hal. 60 dst…

84
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Kitab ini berisi tentang pendirian Inyiak Rasul bahwa


perempuan makhruh shalat ‘Ied di Lapangan. Kitab ini ditulis
dalam bahasa Arab, dengan format kecil. Risalah ini dicetak
pada percetakan Badest, Padang Panjang, tahun 1940.124

Foto: Sampul Kitab al-Mishbah (1940)

11) Al-Kawakib ad-Durriyyah


Bahasa Indonesia, atau Melayu, digunakan dalam khutbah
Jum’at pada selain Rukun-rukunnya, baru dimulai pada awal
abad ke XX. Sebelum masa itu, khutbah diberikan dalam
bahasa Arab. Perubahan terjadi dalam penyampaian khutbah
ini telah membawa dampak yang besar ditengah masyarakat,
dan menimbul pro kontra pula bagi sebahagian kalangan.

124
DR. H. Abdul Karim Amrullah, Al-Mishbah li Tanwiri Qulubiz
Za’imin (Padang Panjang: Badezt, 1940) 36 halaman

85
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Pada awal abad XX itu juga terbit sebuah risalah di tanah


Bugis, dengan judul al-Barahin al-Jaliyyah fisy tarati kaunil
khutbah bil ‘Arabiyah karangan Syekh As’ad Bugisi. Di
dalam risalah yang isinya ditulis dengan bahasa dan aksara
Bugis ini disebutkan bahwa khutbah jum’at dengan bahasa
ajam (selain Arab) ialah Bid’ah, terlarang.125 Risalah itu
dikirim kepada Inyiak Rasul disertai dengan sepucuk surat
dari kaum Muslimin Celebes meminta pendapat beliau
tentang masalah ini.
Inyiak Rasul kemudian membalasi surat itu dengan
mengarang sebuah buku, bertajuk al-Kawakib ad-Durriyah li
Bayan adam istirath khutbah bil ‘Arabiyah. Kesimpulan dari
tulisan beliau ini ialah bahwa khutbah jum’at boleh diucapkan
dalam bahasa ajamiyah (Indonesia).126
Risalah ini kemudian dilatinkan oleh Hamka, dan diterbitkan
dengan nafkah beliau sendiri di Medan, tahun 1940.

12) al-Burhan: Mentafsirkan dua puluh dua puluh dari pada al-
Qur’an
layaknya ulama-ulama zamannya yang multidisipliner, Inyiak
Rasul juga menuangkan waktu untuk menulis Tafsir al-
Qur’an sederhana, namun menarik. Dalam kitab ini, Inyiak
Rasul menafsirkan 22 surat, mulai dari ad-Dhuha sampai an-
Nass. Dalam pengantarnya, beliau mengemukakan bahwa
keinginan menulis tafsir ini didasarkan kuliah-kuliah beliau di
Surau Jembatan Besi dalam Tafsir al-Qur’an.127 Meski
sederhana, lebih dari itu Tafsir ini telah tersebar dan dibaca
hingga luar pulau Sumatera.
Tafsir ini dicetak pada Percetakan Baroe, Fort de Kock, 1927.

125
Kitab ini ada tersimpan di Kutubkhannah, Maninjau.
126
DR.H. Abdul Karim Amrullah, al-Kawakib ad-Durriyah li Bayan
adam istirath khutbah bil ‘Arabiyah (Medan: t.tp., 1940) hal. 40
127
DR.H. Abdul Karim Amrullah, al-Burhan…, op. cit., hal. 16

86
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab al-Burhan (1927)

13) al-Faraidh
Risalah ini berisi tentang petunjuk mengenai cara pembagian
harta warisan menurut aturan Islam. Penulisannya tampak
dimotivasi dengan keinginan untuk memberi pengetahuan
pada masyarakat dalam bidang fara’idh. Sebagaimana
diketahui bahwa diawal abad XX terjadi pula perdebatan
mengenai hukum pewarisan di Minangkabau dan kedudukan
harta pusaka. Para ulama tampak menggalakkan menerapan
fara’idh, diantaranya dengan mengajarkan ilmu faraidh
secara langsung, dan ada pula dengan menulis buku-buku
berkenaan dengan warisan.
Risalah ini selesai ditulis pada tahun 1935, di Kutubkhannah
Maninjau. Kemudian diterbitkan oleh pengarang sendiri
ditahun itu juga.

87
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab al-Faraidh (1923)

14) al-Basha’ir: Dalil-dalil yang kuat, pemandangan yang hebat,


penolak segala kesamaran dan Syubhat
Hadirnya buku ini berawal dari tulisan beliau, Inyiak Rasul,
dalam buku Pelita tentang istri-istri nabi yang oleh
sebahagian kalangan termasuk riwayat yang dha’if. Persoalan
ini kemudian menjadi heboh. Beberapa tokoh membantah isi
karangan Pelita itu, karena dituduh menghina Nabi.
Berdasarkan bantahan itu semua, Inyiak Rasul kemudian
menulis bantahan untuk bantahan tersebut, dengan judul al-
Basha’ir (2 jilid). Buku ini pun lalu menjadi pembicaraan
hangat pula masa itu. Pada sampul al-Basha’ir, Inyiak Rasul
menulis terang-terangan:

88
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Saya terima cacian tuan-tuan yang bijaksana, mengatakan


karangan saya kasar dan keras, tidak sesuai dengan zaman.
Karena saya tidak pandai mehalus-haluskan. Hanya diharap
supaya tuan-tuan gunakan sabut, dan tempurung, isi kelapa
dan minyak yang akan dimakan 128
Jika menyaksikan karangan ini, akan terasa sikap keras Inyiak
Rasul terhadap pendiriannya. Kitab ini dicetak di Bukittinggi,
pada Islamijah, 1357 H.

Karangan-karangan Inyiak Rasul lainnya ialah:


1) Izhharu Asatir Mudhillin fi Tasyabbuhihim bil Muhtadin
2) As-Suyuful Qathi’ah
3) Darul Mafasid
4) Syamsul Hidayah

128
DR. H. Abdul Karim Amrullah, al-Basha’ir: Dalil-dalil yang kuat,
pemandangan yang hebat, penolak segala kesamaran dan Syubhat (Fort de
Kock: Islamiyah, 1357 H) halaman sampul

89
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

5) Mursyidut Tujjar
6) Pertimbangan Adat Limbago Minangkabau
7) Dinullah
8) Al-Ifsah
9) Kitabur Rahmah
10) Cermin Terus
11) An-Nida
12) Asy-Syir’ah
13) Hanya Allah
14) Al-Ihsan

(9) Syekh Jalaluddin al-Kusai Sungai Landai


Syekh Jalaluddin Sungai Landai merupakan salah seorang ulama
terkemuka di Luhak Agam. Sungai Landai, berupa wilayah yang
terletak di kaki Gunung Singgalang, yang agraris, memberikan
iklim lahirnya ulama-ulama seumpama Syekh Jalaluddin ini.
Dalam satu keterangan yang dilansir dari Majalah al-Mizan No.
26 tahun 1916, disebutkan nama Syekh Sutan Kusai Sungai
Landai ini sebagai Adviseur dari Ittihad Ulama Sumatera, sebuah
wadah perkumpulan ulama-ulama Sumatera Tengah. Hal ini
menunjukkan dedikasi beliau selaku ulama dimasanya yang
cukup cemerlang.
Salah satu karya tulis yang ditemui sebagai warisan beliau kepada
kaum muslimin diwaktu selanjutnya ialah sebuah karya mengenai
Rukun Islam dan Rukun Iman. Identifikasinya sebagai berikut:

Risalah Rukun Syarat Sembahayang dan Rukun Iman serta


dengan Akidah Iman
Karya ini, sebagai yang tertera pada judul, berisi tentang hal
ihwal Rukun Islam yang mencakup kewajiban syari’at, yaitu
perkara bersuci, shalat, zakat dan haji. Pembahasan syari’at ini
kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang Akidah Iman,
yaitu mengenai sifat-sifat yang wajib bagi Allah yaitu sifat 20.

90
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

pembahasan dalam term akidah ini cukup runtun yang agak


terperinci.
Satu kutipan dari karya ini, yang menjabarkan tentang
mustahilnya istilah Duur dan Tasasul dalam ilmu Tauhid sebagai
berikut:
Bermula makna berlingkar-lingkar [duur. Pen] yaitu
berganti-ganti seperti bertiga atau berempat atau lebih, dan
berganti-ganti semuanya mengadakan dirinya dengan
berlingkar-lingkar maka yaitu mustahil karena jadi daripada
demikian itu orang yang kemudian menjadikan akan orang
yang dahulu daripadanya.129
Cetakan ketiga karya ini dicetak atas nafkah HMS. Sulaiman.
Dicetak pada Mathba’ah Islamiyah Fort de Kock, tanpa
menyertakan tahun.

129
Syekh Jalaluddin al-Kusai Sungai Landai, Risalah syarat
Sembahyang dan Rukun Iman serta dengan Akidah Iman (Fort de Kock:
Mathba’ah Islamiyah, t. th) hal. 31

91
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Rukun Syarat Sembahyang

(10) Syekh Abdul Wahid as-Shalihi Tabek Gadang


(1878-1950)
Syekh Abdul Wahid atau yang lebih akrab dengan gelaran
“Beliau Tabek Gadang” ialah salah seorang ulama Minangkabau
yang masyhur terbilang di zamannya. Disamping terkenal sebagai
pimpinan Madrasah yang cukup besar saat itu di Tabek Gadang,
beliau juga termasuk salah satu sesepuh dari Perti (Persatuan
Tarbiyah Islamiyah). Dalam biografi yang kita terima, beliau
disebut tiga sekawan dalam membentengi faham Tua, disamping
Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan Syekh Muhammad Jamil Jaho.
Syekh Abdul Wahid lahir pada tahun 1878. Ayah beliau ialah
salah seorang ulama yang masyhur dalam ilmu Hakikat, yaitu
Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih (w. 1912) yang dikenal
dengan nama “Beliau Munggu”. Waktu kecilnya, Syekh Abdul
Wahid, mula-mula didik ayahnya. Kemudian diserahkan mengaji
ke Limbukan, kepada Syekh Amran Limbuka dan Tuanku Mudo
Marah. Setelah cukup lama di sana, Syekh Abdul Wahid
kemudian belajar kepada Syekh Muhammad Thayyib Umar
Sungayang, yang merupakan salah seorang murid ayahnya. Dari
Sungayang, Syekh Abdul Wahid mengaji ke Lubuk Ipuah, sebuah
daerah yang tak jauh dari kampungnya, yaitu kepada Syekh
Abdul Hamid (w. 1923). Selanjutnya Syekh Abdul Wahid
mengaji kepada Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Tuo
(w. 1922), disana Syekh Abdul Wahid memperoleh ijazah dalam
Tarikat Naqsyabandiyah. Kemudian Syekh Abdul Wahid
melanjutkan pelajarannya ke Mekah al-Mukarramah.130
Setelah kembali dari Tanah Suci, Syekh Abdul Wahid di
kampungnya dibuatkan oleh penduduk sebuah surau tempat

130
Lihat Apria Putra, Ulama-ulama Luak nan Bungsu…, op. cit; Tim
Islamic Centre, Riwayat Ulama…, op. cit., hal. 111-119

92
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

mengajar halaqah. Surau inilah yang menjadi cikal bakal sebuah


pusat pendidikan layaknya pesantren di jawa, Madrasah Tarbiyah
Islamiyah, yang kemudian masyhur seantero Minangkabau.
Madrasah beliau terletak diseberang kolam ikan yang besar
(minang: Tobek Gadang), sehingga Syekh Abdul Wahid
dimasyhurkan dengan “Beliau Tabek Gadang”. Madrasah ini
kemudian banyak memainkan peranan penting dalam mencetak
ulama-ulama, dari Madrasah ini pulalah keluar khalifah-khalifah
Tarikat Sufiyyah di pedalaman Minangkabau, sebab Madrasah
Tabek Gadang juga menjadi sentra Tarikat Naqsyabandiyah yang
terkemuka.
Syekh Abdul Wahid dikenal sebagai sosok yang teguh memegang
prinsip, sangat disiplin dan mempunyai pribadi yang kuat. Sebab
membentengi Mazhab Syafi’i, i’tiqat Ahlussunnah wal Jama’ah,
serta Tarikat Sufiyah Mu’tabarah, Syekh Abdul Wahid bersama
rekan-rekan sesama ulama mendirikan organisasi Persatuan
Tarbiyah Islamiyah. Dan dalam organisasi ini beliau mendapat
posisi sebagai penasehat Tarikat Sufiyah bersama dengan Syekh
Arifin Arsyadi Batu Hampar.
Tak banyak diungkap perihal aktifitas tulis menulis beliau, sebab
banyak kitab-kitab tersebut raib serta dibakar dimasa revolusi.
Satu diantaranya yang kita temui berupa satu risalah ringkas
mengenai Tauhid yang diidentifikasi sebagai berikut:

Kitab Aqa’idul Iman


Risalah ini berisi tentang penjelasan Akidah-akidah Iman, yang
mencakup hukum-hukum yang berkait dengan akal dan adat,
dilanjutkan dengan pembahasan sifat 20 beserta pembagiannya.
Penulisannya, tampak merupakan hal baru kala itu, sebab karya
ini ditulis dalam bentuk raqam (berupa skema) yang
memudahkan pembaca dalam memahami karya ini. Setelah

93
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

menjelaskan sifat 20, karya ini ditutup dengan bacaan-bacaan


shalat.131
Risalah ini dicetak pada percetakan Limbago, Payakumbuh, tahun
1906.

Foto: Sampul Kitab Aqa’idul Iman (1906)

(11) Syekh Hasan Bashri Maninjau


Syekh Hasan Bashri Maninjau dikenal sebagai salah seorang
pejuang agama lewat Majalah keagamaan. Dikalangan ulama-
ulama Tua, beliau merupakan seorang yang gencar membentengi
faham-faham lama dari gugatan kaum Muda. Majalah al-Mizan
yang terbit di Maninjau pada tahun 1910-an, dimana beliau
menjadi redaktur pertamanya, menjadi wadah pertahanan Ulama

131
Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang, Kitab Aqa’idul Iman
(Pajakoemboeh: Limbago, 1906)

94
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Tua. Disisi lain, Majalah al-Moenir di Padang menjadi corong


penyebaran faham kaum Muda.
Disamping aktif menulis, dalam bentuk artikel dan jawaban
pertanyaan, dalam al-Mizan, Syekh Hasan Bashri juga tercatat
pernah menulis risalah. Diantaranya yang dapat kita temui sebuah
risalah yang cukup menarik tentang soal-soal ibadah.
Deskripsinya ialah:

Mursyidut Thulab: Pencerdikkan segala si-Penuntut


Karya ini berisi tentang kupasan soal-soal ibadah, mulai dari
bersyahadat, bersuci (thaharah), zakat dan haji. Bagian
terakhirnya dilampirkan tentang bacaan ketika sujud Tilawah.
Menariknya karya ini, disamping menguraikan hal-hal ibadah
layaknya ilmu Fiqih, Syekh Hasan Bashri juga memberikan
“pendapatan akal”, yaitu berupa analisis dari pengarangnya. Hal
ini tampak merupakan hal baru dengan menyertakan sebuah
komentar mengenai topik yang dibahas. Misalnya ketika
membicarakan tentang syahadat, Syekh Hasan Bashri
memaparkan analisa sebagai berikut:
{Pendapat Akal} bahwasanya mengittiqatkan Tuhan Allah
ada lagi esa lagi mengadakan bagi sekalian alam ini ialah
pekerjaan yang menurut akal yang sempurna yang dibetulkan
oleh kelakuan manusia, sehingga manusia yang tidak
beragama sekalipun mengaku juga, sekurang-kurangnya
dengan kelakuan saja. Karena akal kita tidak membenarkan
bahwa yang diperoleh alam ini dengan tidak ada yang
menjadikan. Tetapi setengah manusia telah ditipu akalnya
yang pendek dan pengetahuannya yang sedikit yang
membawanya kepada mengingkari Tuhan Allah…132
Karya ini dicetak di Bukittinggi, atas jasa dari Haji Ahmad
Chalidi, tanpa menyertakan nama penerbit dan tahunnya.

132
Syekh Hasan Bashri Maninjau, Mursyidut Thullab: Pencerdikkan
segala si-Penuntut (Fort de Kock: H. Ahmad Chalidi, t. th) hal. 17

95
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab mursyidut Thullab

(12) Syekh Muhammad Jamil Jaho (1875-1940)


Syekh Muhammad Jamil Jaho atau yang dikenal dengan “Angku
Jaho” merupakan salah seorang ulama terkemuka kealiman serta
dedikasinya diawal abad XX tersebut, terkemuka selaku salah
seorang Pimpinan Ulama-ulama Tua, teman seperjuangan Inyiak
Candung yang masyhur terbilang. Beliau memimpin sebuah surau
besar, yang kemudian berubah menjadi Madrasah Tarbiyah
Islamiyah, madrasah itu kemudian semerbak harumnya diantara
lembaga-lembaga pendidikan agama dimasanya, dengan banyak
menelorkan ulama-ulama yang mumpuni dimasa itu. Soal
keilmuan, beliau, Syekh Jaho, tidak diragukan lagi. Sebelum
beliau mengajar, mengabdi pada Minang, beliau berkesempatan
pula mengajar di Mekah. Setelah kembali, beliau memimpin
halaqah pengajian yang ramai di kampungnya Jaho, selain itu

96
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

beliau juga menggabungkan diri dengan wadah ulama-ulama


Minang kala itu, al-Ittihat Ulama Sumatera dan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Beliau lahir pada tahun 1975 di Jaho, Padang Panjang. Setelah
belajar agama kepada ulama-ulama terkemuka di Darek,
seumpama di surau Halaban dengan Tuan Syekh Abdullah
“Beliau Halaban” (w. 1926), beliau melanjutkan ke Mekah.
Disamping mengerjakan haji, beliau menambah kaji kepada
ulama-ulama masyhur di tanah suci itu. Diantaranya kepada
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Tak kurang 10 tahun
beliau di Mekah, mengisi dada dengan iman dan ilmu, sempat
pula memperoleh izin untuk mengajar di mesjidil Haram karena
alim-nya. tak lama berselang beliau pulang ke Jaho. Di tanah
kelahirannya, beliau membuka halaqah yang kemudian
dikembangkan dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Lembaga
ini kemudian ramai dikunjungi orang-orang siak dari berbagai
negeri, dan termasuk salah satu lembaga pendidikan Islam yang
berwibawa di Minangkabau, hingga saat ini nama Jaho masih
harum sebagai sedia kala.133
Di Madrasahnya, Syekh Jamil telah mengajarkan ilmu-ilmu
keislaman bertaraf tinggi bila dibandingkan dengan madrasah
sezamannya. Transmisi keilmuan diajarkan lewat kitab kuning,
mulai dari matan hingga syarah dan hasyiyah yang besar-besar.
Dalam Nahwu misalnya, untuk tingkat awal diajarkan matan
Ajrumiyah, kemudian syarah-syarah-nya, tingkat tinggi diajarkan
Syarah Ibnu ‘Aqil ‘alal Alfiyah, dan kelas yang paling tinggi
diajarkan kitab Shabah Asymuni.134 Selain itu, untuk kelas-kelas
tinggi (kelas tujuh), pembelajaran diajarkan dengan metode debat,
dengan referensi kitab-kitab fiqih yang cukup rumit, seperti
Mahalli. Model pembelajaran ini tetap berjalan, malah semakin
berkembang dimasa kepemimpinan Buya H. Muhammad Dalil

133
Lihat Tim Islamic Centre, op. cit., hal. 99-105
134
Sedang dimasa itu, kitab Alfiyah dengan Syarah-nya merupakan
kitab tinggi dengan tingkat kemusykilan yang cukup padat.

97
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Dt. Manijun setelah beliau, yang kealimannya menyamai sang


Syekh.135
Dalam organisasi, sebelum dikenal sebagai salah seorang sesepuh
Perti, beliau merupakan salah seorang yang aktif dalam
Muhammadiyah yang kala itu baru masuk ke Minangkabau,
bahkan sempat beliau mendirikan cabang Muhammadiyah di
Guguk Melintang. Namun tak berselang lama, beliau keluar dari
organisasi ini setelah kepulangannya dari kongres
Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan (1927). Sebab disanalah
beliau mengenal betul Muhammadiyah. 136
Disamping masyhur alim dalam kitab, beliau juga merupakan
pengamal Tarikat sebagai jalan kearifan Tasawwuf beliau. Dalam
hal terakhir ini beliau mewiridkan Tarikat Auliya,137 sebuah
tarikat yang tidak begitu dikenal lebih jauh, namun dapat
dijelaskan bahwa tarikat ini bertumpu pada amalan-amalan wirid.
Selain itu Syekh Jaho juga dikenal sebagai pendekar Silat yang
terkenal.
Dalam hal tulis menulis, Syekh Jamil Jaho termasuk ulama yang
produktif. Banyak karangan beliau yang disebutkan, meski kita
tidak memiliki data pasti jumlah karya beliau tersebut.
Sebahagian tulisan-tulisannya juga banyak termuat dalam majalah
al-Mizan, sebab beliau termasuk salam seorang juru Penasehat
majalah keagamaan tersebut disamping ulama-ulama tua lainnya.
Selain menulis dalam bentuk narasi, beliau tampak juga piawai
menulis dalam bentuk nazhm (sya’ir). Salah satunya yang kita
dapati ialah berupa taqrizh (pujian) beliau terhadap kitab
Tsamaratul Ihsan-nya Syekh Sulaiman ar-Rasuli, beberapa butir
nazhm beliau itu ialah:

135
Keterangan Buya H. Ahmad Zaini (Mantan Dekan Adab IAIN
Padang), dalam wawancara tak resmi ketika menuntut kaji kepada beliau
136
Hamka, Ayahku…, op. cit., hal. 294
137
Keterangan Bpk. Murkilim, MA (Dosen STAIN Bengkulu). Salah
seorang murid Buya H. Muhammad Dalil Dt. Manijun. Januari 2011.

98
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Dengan Bismillah pena berlari


Alhamdulillah khaliqul Bari
Salawat dan salam pula mehadiri
Atas Muhammad Rasul Jauhari

Kemudian berkata Muhammad Jamil


Negerinya Jaho tempat tak kamil
Dengan ilmunya belum lai ‘amil
Dosanya banyak dirinya hamil

Wahai sahabat umum dan rata


Pada suatu hari datang curita
Dari pengarangnya alim pendeta
Amatlah pintar fasih berkata

Pengarang mahir amat jauhari


Sulaiman ar-Rasuli nama diberi
Guru yang alim amat bahari
Sudah masyhur antaro negeri138

Diantara karya-karya Syekh Jamil, antara lain:

1) Tazkiratul Qulub fi Muraqabati Allamal Ghuyub


Karya ini berisi kajian Tasawwuf akhlaqi, merupakan
karangan monumental Syekh Jamil Jaho. Ditulis dalam
bahasa Arab yang menawan, dengan cita rasa sastra namun
mudah dicerna, mengikuti gaya penulisan Ihya Ulumiddin-
nya al-Ghazali. Karya ini merupakan kitab rujukan pelajaran
Tasawwuf di Madrasah Perti hingga saat ini.
Dari karya inipun kita dapat memperoleh gambaran
pemikiran Syekh Jamil Jaho, dan kalangan kaum Tua,
terutama berkaitan dengan paham pembaharuan yang
dipimpin Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ketika

138
Dalam Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Tsamaratul Ihsan fi Wiladati
Sayyidil Insan (Bukittinggi: Derikrij Agam, 1923) hal. 90

99
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

beliau, dalam Tazkiratul Qulub, membahas masalah Ulama


Suu’ (ulama jahat), beliau menjelaskan:
‫ﺘﻬﺪﻳﻦ ﺍﳉﺎﻫﻠﲔ ﲨﺎﻝ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﻓﻐﺎﱏ ﻭﳏﻤﺪ ﻋﺒﺪﻩ ﻭ ﺭﺷﻴﺪ‬‫ﻭﺭﺅﺳﺎ ﺍ‬
‫ﺭﺿﺎ ﺻﺎﺣﺐ ﺟﺮﻳﺪ ﺍﻷﳌﻨﺎﺭ ﻛﻠﻬﻢ ﺿﻠﻮﻥ ﻭﻣﻀﻠﻮﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻫﻢ‬
139
‫ﻣﺼﻠﺤﻮﻥ ﰱ ﻇﻨﻬﻢ ﺑﻞ ﻫﻢ ﻣﻔﺴﺪﻭﻥ ﰱ ﺍﻟﺪﻳﻦ‬
Dari kutipan diatas, kita peroleh betapa beliau sangat keras
mewanti-wanti angin pembaharuan Abduh yang masa itu
mulai tersebar di Minangkabau, hingga beliau membongkar
riwayat Abduh, yang menurut beliau tak sepantasnya
dijadikan ulama panutan.140 Hal ini tentunya juga dikuatkan
dengan realita bahwa sejak masuknya pemikiran ala Abduh di
Minang, telah banyak terjadi selang sengketa antara ulama
dan masyarakat awam, menimbulkan pecah belah yang tak
sedikit akibatnya.
Kitab ini dicetak di Nusantara (Bukittinggi) pada tahun 1950.
Meski tidak dicetak lagi, kitab ini telah saat ini beredar luas
dalam bentuk kopian.

2) Kasyafatul 'Awishah fi Syarh Matan al-Ajurumiyah


Karya ini merupakan syarh dari Matn al-Ajurumiyah yang
sangat masyhur dalam ilmu Nahwu (sintaksis). Penulisan
karya ini menjadi bukti keilmuan Syekh Jamil memang
mumpuni dalam bidang yang satu ini, sebab dalam karyanya
beliau menulis komentar Matn al-Ajurumiyah secara luas

139
Syekh Muhammad Jamil Jaho, Tazkiratul Qulub fi Muraqabati
Alamal Ghuyub (Bukittinggi: Nusantara, 1956) hal. 54
140
Hamka, dengan nada pembelaan, mengoreksi tulisan Syekh Jamil
mengenai riwayat Abduh ini. Sebagai seorang yang mengelu-elukan Abduh
berikut Rasyid Ridha dan al-Afgani, Hamka menyebutkan Syekh Jamil tidak
teliti terhadap hal ini, “Beliau (Syekh Jamil) hanya mengutip saja keterangan
Syekh Yusuf an-Nabhani, tanpa membanding-bandingkan” (lihat dalam Ayahku
hal. 297-298). Bandingkan dengan Syekh Yusuf an-Nabhani, Syawahidul
Haq…

100
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

dengan menyertakan kajian I'rab yang lengkap terhadap Matn


kitab ini, sehingga bukan hanya bidang keilmuan Nahwu
yang diperoleh pembaca, namun juga posisi-posisi I'rab yang
mengkayakan keilmuan bahasa Arab.
Matn al-Ajurumiyah sendiri merupakan satu teks kajian
Nahwu tingkat dasar yang begitu populer. Kepopulerannya
terletak pada bahasa yang mudah dicerna, namun padat isi.
Hal ini membuat Matn al-Ajurumiyah merupakan jenjang
pelajaran Nahwu yang mesti dikaji, merupakan kunci
sebelum membahas materi Nahwu yang berat dalam kitab
yang besar-besar.
Hadirnya karya Syekh Jaho ini menambah khazanah
kepustakaan ulama Minangkabau dalam bidang tata bahasa
Arab. Hal ini menarik karena tak banyak kita temui karya-
karya ulama Minangkabau yang berkaitan dengan tata bahasa
Arab, kebanyakan para ulama tersebut hanya konsisten
dengan karya-karya klasik dari Timur Tengah.
Penulisan Kasyafatul Awishah ini bedasarkan permintaan
murid-murid Madrasah Tarbiyah Islamiyah agar beliau,
Syekh Jaho, menyurat satu komentar atas Matn al-
Ajurumiyah yang mereka pelajari. Hal ini disebutkan oleh
Syekh Jaho dalam pendahuluannya:
‫ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ ﻓﻘﺪ ﻃﻠﺐ ﻣﲎ ﺍﻟﺘﻼﻣﺬﺓ ﰱ ﻣﺪﺭﺳﺔ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺃﻥ‬
‫ﺃﻛﺘﺐ ﺷﺮﺣﺎ ﻟﻄﻴﻔﺎ ﳌﱳ ﺍﻻﺟﺮﻭﻣﻴﺔ ﺃﺣﺴﻦ ﺍﷲ ﳍﻢ ﰱ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺍﻵﺧﺮﺓ‬
141
.‫ﻭﻻ ﻳﺴﻌﲎ ﺇﻧﻜﺎﺭﻫﻢ ﻓﻘﺒﻠﺖ ﻭﺇﻥ ﱂ ﺃﻛﻦ ﻣﻦ ﺭﺟﺎﻝ ﺗﻠﻚ ﺍﳌﺴﺌﻠﺔ‬
Karya ini dicetak pertama kali pada percetakan Tandikek
Padang Panjang, pada tahun 1940. Pada sampul kitab ini
tertulis bahwa keuntungan penjualan buku ini diberikan
kepada anak Syekh Jaho yang saat itu sedang menuntut ilmu
di Mekah.

141
Syekh Muhammad Jamil Jaho, Kasyafatul Awishah fi Syarh Matn
al-Ajurumiyah (Padang Panjang: Tandikek, 1940) jilid I, hal. 2

101
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Kasyafatul ‘Awishah (1940)

Karangan-karangan Syekh Jamil Jaho lainnya ialah:


1) Nujumul Hidayah fi Raddi ‘ala Ahlil Ghiwayah
(memberantas faham Ahmadiyah)
2) Sumusyul Lamiyah fi Aqidah Ahlid Diyanah (dalam ilmu
Tauhid)
3) Suluh Bendang
4) Hujjatul Balighah
5) Maqalatur Radhiyyah

(13) Syekh Muhammad Jamil Jambek (1862-1947)


Syekh Muhammad Jamil Jambek atau yang dikenal pula dengan
Inyiak Jambek adalah seorang ulama terkemuka dari golongan

102
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Muda. Beliau merupakan seorang alim yang mahir dalam ilmu


Falak, masyhur digelari dengan al-Falaki. Sebagai temannya,
Syekh Dr. Abdul Karim Amarullah, beliau mempunyai pengaruh
besar dalam pembaharuan di Minangkabau. Begitu pula dalam
bidang sosial keagamaan tak kurang pula besar jasa beliau,
sehingga oleh Gubernur Sumatera Barat, Harun Zen, beliau diberi
penghargaan sebagai Pejuang Agama (1975). Sebuah sebutan
yang memang pantas untuk ketokohan Syekh Jambek.
Muhammad Jamil dilahirkan di Bukittinggi, pada tahun 1962.
Setelah menamatkan Gouvernement, arah hidup tampak hanyut
dalam dunia kelam. Beliau saat itu hidup sebagai parewa dan tak
jarang berbuat kejahatan, seperti mencuri. Keberanian beliau
sebagai parewa tersebut disokong oleh ilmu guna-guna yang
dipakainya, yang dulu sempat dipelajarinya dari seorang Batak
dan dukun-dukun daerahnya sendiri. Sampai satu ketika jalan
hidup beliau berubah. Satu ketika, tanpa rencana, beliau tersesat
ke Surau Angku Kayo di Mandiangin. Disininya Angku Kayo
menasehati beliau dengan bijaksana. Maka hilanglah sikap
parewa Syekh Jamil beransur-ansur. Setelah belajar di Surau
Angku Kayo, beliau sempat belajar agama ke Koto Mambang
(Pariaman) dan Batipuah Baruah (Padang Panjang). Pelajaran
selanjutnya dalam menuntut ilmu beliau lakoni di tanah Suci
Mekah. Di sana beliau diasuh oleh seorang dermawan
Minangkabau kala itu, Syekh Salim. Di Mekah, Syekh Jamil lebih
kurang menghabiskan waktu menuntut ilmu selama 10 tahun.
Diantara guru-guru beliau ialah Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi, Tuanku Khatib Kumango, Syekh Thaher
Jalaluddin, Syekh Ba Fadhal dan Syekh Serawak. Salah satu
bidang keahlian yang ditekuni selama di tanah suci ialah Falak.
Karena kepintarannya beliau mampu menguasai ilmu Falak
dengan matang, penguasaan beliau itu kemudian diiringi oleh
pengakuan Syekh Thaher Jalaluddin, sang guru.142
Pada tahun 1903 Syekh Jamil pulang ke Kampung halamannya
Minangkabau, dan kemudian mulai mengabdikan diri

142
Tim Islamic Centre, Riwayat 20, …op. cit., hal. 57-58

103
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

mengajarkan ilmu yang telah diperoleh selama di Haramain.


Disamping itu beliau juga mengadakan pembaharuan dalam
pengajarannya, dimana biasanya pengajaran agama waktu itu
dengan berhalaqah memegang satu kitab, beliau yang pertama
melakukan pengajaran dengan bertabligh. Di surau beliau, Surau
Sawah Tangah Bukittinggi dan Surau di Kamang, Syekh Jambek
mengajar dengan berceramah. Ketika muncul pembaharuan gaya
kaum Muda yang dimulai oleh Dr. Abdul Karim Amarullah,
Syekh Jamil kemudian bergabung dengan sahabat-sahabatnya itu,
maka beliaulah salah satunya yang menjadi pimpinan ulama
muda.
Syekh Jamil Jambek wafat pada tahun 1947 dan dimakamkan di
depan surau beliau, surau Sawah Tangah Bukittinggi. Selain
mewariskan ilmu Falak kepada generasi berikutnya, beliau juga
meninggalkan beberapa buah karangan. Diantara karangan beliau
tersebut antara lain:

1) Penerangan Tentang Asal Usul Tarikat Naqsyabandiyah dan


Segala yang Berhubungan dengan dia.
Persoalan Tarikat Naqsyabandiyah menjadi salah satu topik
hangat yang selalu diperdebatkan oleh kaum Muda kala itu.
Beberapa tulisan yang ditulis oleh ulama Muda telah banyak
menggemparkan masyarakat, sebab banyak dari tulisan-
tulisan itu bernada keras terhadap amalan Tarikat. Disisi lain
tak kurang pula pembelaan dari ulama-ulama Tua lewat karya
tulis yang tak jarang beroleh pujian.
Syekh Jambek selaku salah seorang yang dituakan dari
golongan muda tak ketinggalan mengambil bagian dalam
masalah ini. Namun tak seperti teman-temannya yang lain
yang menghujat Tarikat dengan nada keras, Syekh Jambek
dalam tulisannya menguraikan Tarikat dengan lebih lunak.
Konon Syekh Jambek tersebut pernah mengamalkan Tarikat
Naqsyabandiyah. 143 Dan kecaman Syekh Jambek ini baru

143
M. Sanusi Latief, op.cit., pada note hal. 512

104
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

keluar pada tahun 1940, jauh sesudah pergolakan hebat kaum


Muda tersebut, dan jauh pula setelah ulama-ulama terkemuka
kaum Tua wafat.
Karya Syekh Jambek ini terdiri dari 2 jilid. Pada jilid pertama
Syekh Jambek menjelas hal-hal yang berkaitan dengan
Tarikat Naqsyabandiyah, seperti asas-asasnya hingga
kaifiyah-kaifiyah dalam Tarikat ini. Baru pada jilid kedua
Syekh Jambek mengemukakan bantahan-bantahannya
terhadap Tarikat Naqsyabandiyah dengan berpedoman kepada
salah satu kitab pegangan kaum Tarikat yaitu al-Bahjatus
Saniyyah fi Adabit Tariqatil ‘Aliyah an-Naqsyabandiyah
karangan Syekh Muhammad bin Abdullah al-Khani al-
Khalidi an-Naqsyabandi.
Pada jilid kedua ini, Syekh Jambek membahas 10 topik
berkaitan dengan Tarikat Naqysabandiyah, yaitu (1) tentang
surat Mujaddid dan Syekh Khalid Kurdi yang berisi larangan
mengerjakan Rabithah; (2) tentang Pelajaran cara
menghormati guru; (3) sebab perubahan nama Silsilah; (4)
tentang Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil dalam
mensahkan amalan Tarikat; (5) Pedoman dalam menafsirkan
al-Qur’an; (6) Keterangan tentang keadaan kaum Tarikat
yang memutar makna al-Qur’an; (7) Bukti ayat al-Qur’an
tentang kesucian Nabi Yusuf; (8) Kedudukan Tarikat menurut
Syara’; (9) Bid’ah dan penerangan tentang Tawasul; (10) cara
mengambil Talqin. 144
Risalah ini kemudian dicetak pada percetakan Tsamaratul
Ikhwan Fort de Kock, pada tahun 1941. diterbitkan oleh
Zainal ‘Abidin Tangah Sawah dengan perbelanjaan dari
Datoeak Manggolak Basa.

144
Syekh Muhammad Jamil Jambek, Penerangan Tentang Asal Usul
Tarikat Naqsyabandiyah dan Segala yang berhubungan dengan dia
(Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1941) hal. 2

105
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Penerangan Tentang Asal-Usul


Tarikat Naqsyabandiyah (1941)

2) Muqaddimah fi Hisabil Falakiyah Mukhtashar Mathla' as-


sa'id fi hisabat al-Kawakib
Sebagai tertera pada judul, karya ini merupakan satu
keringkasan dari satu kitab yang lebih luas dalam ilmu Falak
(Hisab) yang tidak diketahui pengarangnya. Karya ini ditulis
dalam bahasa Arab dan masih dalam bentuk manuskrip,
terdiri dari 5 bagian pembahasan, diantaranya tentang
mengetahui bulan Arab, mengetahui Kusuf dan khusuf,
mengetahui Qilblat dan lainnya.
Pembahasan dalam karya ini cukup ringkas sehingga tulisan
ini hanya terdiri beberapa lembar saja. Karya ini selesai di
tulis di Mekah pada tahun 1316 H, atau 1896.

106
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Manuskrip Muqaddimah fi Hisabil Falakiyah (1896)

(14) Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung (1871-1970)


Syekh Sulaiman ar-Rasuli atau yang dikenal dengan Angku
Canduang nan Mudo dan Inyiak Canduang ini ialah salah seorang
diantara ulama besar Minangkabau yang begitu terkemuka.
Setelah wafatnya ulama-ulama, seperti Syekh Muhammad Sa’ad
Mungka dan Syekh Khatib ‘Ali, maka beliaulah yang dituakan
dikalangan kaum Tua dan yang memimpinnya. Sangatlah besar
perjuangan beliau, apakah dalam membentengi mazhab Syafi’i
dan Ahlussunnah, dalam bidang pendidikan dan tak ketinggalan
dalam medan perjuangan kemerdekaan. Dalam wadah ulama-
ulama Tua, Perti, beliaulah yang menjadi sesepuhnya, disamping
ulama-ulama besar lainnya. Dalam pendidikan, beliau telah
membuat model baru lembaga pendidikan sebagai pelanjut surau,
model ala Madrasah yang dinamai dengan Madrasah Tarbiyah

107
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Islamiyah (MTI), dan kemudian tersebar ratusan banyaknya


diberbagai penjuru Minangkabau.
Syekh Sulaiman dilahirkan di Candung pada tahun 1871 dari
keluarga yang religius. Ayah beliau, Syekh Muhammad Rasul,
seorang ulama terkemuka yang digelari dengan Angku Mudo
Pakan Kamis.145 Dimasa belianya, Syekh Sulaiman belajar al-
Qur’an kepada Tuan Syekh Muhammad Arsyad Batu Hampar.
Setelah menamatkan al-Qur’an, beliau kemudian belajar ilmu alat
kepada Syekh Tuanku Sami’ Biaro. Beberapa lama di Biaro,
beliau menuju Sungayang bersama guru tuo beliau Tuanku Qadhi
Salo, ulama yang dituju di Sungayang ialah Tuan Syekh yang
dimasyhurkan dengan Tuanku Kolok (nenek dari Prof. Mahmud
Yunus), alim fiqih terutama dalam ilmu Faraidh. Wafat Tuanku
Kolok, Syekh Sulaiman melanjutkan pelajarannya kepada Tuan
Syekh Abdussalam Banuhampu. Beselang berapa lama, beliau
pindah ke Sungai Dareh Situjuah Payakumbuh. Tak berapa lama
di Situjuah, Syekh Sulaiman dengan isyarat guru dan ayahanda
beliau berangkat ke Halaban. Ulama yang dituju ialah seorang
alim yang masyhur dalam tigo luak, yaitu Tuan Syekh Abdullah
“Beliau Halaban” (w. 1926). Lama beliau di Halaban, yaitu 7
tahun. Di sini beliau mendapat kepercayaan Syekh Abdullah
untuk menjadi “guru tuo”, sampai beliau diambil menantu oleh
Tuan Syekh tersebut. Oleh karena ilmu yang telah mumpuni,
beliau disuruh pulang oleh Tuan Syekh Abdullah untuk
mengembangkan ilmu yang telah didapat dikampung
halamannya, Candung. Setelah itu Syekh Sulaiman pulang,
mengajar di kampung selama 6 bulan lamanya, kemudian
berangkat ke Mekah untuk menunaikan rukun Islam ke lima dan
menambah ilmu pengetahuan. Di Mekah, Syekh Sulaiman belajar
kepada ulama-ulama kenamaan, yaitu Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi, Syekh Mukhtar ‘Atharid as-Shufi, Sayyid Ahmad
Syatha al-Makki, Syekh Usman as-Sarawaki dan Syekh
Muhammad Sa’id Ba Bashil Mufti Syafi’i. Adapun vak keilmuan

145
Muhammad Rusli Kapau, Khulashah Tarikh Maulana Syekh
Sulaiman ar-Rasuli di dalam pertalian adat dan syara’ (1926) hal. 62

108
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

yang beliau dipelajari di Mekah mencakup ilmu ‘Arabiyah (ilmu


alat), Fiqih, Tafsir, Hadist, Tasawuf dan lainnya.146
Pada tahun 1907 beliau pulang ke tanah kelahirannya, dan
kemudian melakukan langkah perjuangan. Mula-mula beliau
melanjutkan Halaqah di kampung halamannya. Halaqah ini
berkembang pesat dengan didatangi oleh murid-murid yang ramai
dari berbagai penjuru negeri. Pada tahun 1928, Halaqah ini
kemudian beliau ubah menjadi Madrasah dengan nama Madrasah
Tarbiyah Islamiyah. Perobahan ini diikuti oleh halaqah-halaqah
surau lainnya di Minangkabau. Selanjutnya beliau menfasilitasi
pertemuan ulama-ulama Minangkabau di Candung pada tahun
1930. Pertemuan ini menelorkan kesepakatan untuk mendirikan
PTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), cikal bakal Perti. Organisasi
ini mencapai puncak kejayaannya hingga dasawarsa ke 7 abad
XX. Hampir seluruh ulama-ulama Tua Minangkabau menjadi
penyokong wadah persatuan ini. setelah zaman kemerdekaan,
Perti ditingkatkan statusnya menjadi Partai Politik Perti dan
berpusat di Jakarta. Pada waktu itulah Perti benar-benar dikenal
luas dan keberadaannya menusantara.
Disamping sebagai seorang ulama besar, beliau juga dikenal
selaku ahli adat. Kepakaran beliau memang diakui oleh
masyarakat luas, hingga beliau diundang oleh penguasa gunung
Sahilan untuk menyelesaikan sengketa adat. Beliau, Syekh
Sulaiman, merupakan pribadi yang disegani kawan maupun
lawan. Oleh karenanya, para pejabat pemerintahan dan pimpinan
Belanda merasa perlu merapatkan diri kepada Beliau.
Adapun dalam faham keagamaan, sangat besar perjuangan beliau
dalam mempertahankan Mazhab Syafi’i, aqidah Ahlussunnah wal
Jama’ah dan Tarikat Naqsyabandiyah. Mengenai poin terakhir,
Tarikat Naqsyabandiyah, semula beliau merupakan seorang yang
anti pula, sebagai gurunya Syekh Ahmad Khatib. Namun setelah
pertemuannya dengan Tuan Syekh Arsyadi Batu Hampar, dan
bertukar fikiran berapa lama, kemudian beliau menyatakan khilaf

146
Ibid., hal. 66-68; KH. Baharuddin Rusli, op. cit., hal. 6-13; Tim
Islamic Centre, Riwayat 20…, op. cit., hal. 77-78

109
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

dan bertaubat dihadapam Tuan Syekh Batu Hampar tersebut


dengan berlinang air mata. 147 Setelah itu beliau bersuluk dengan
bimbingan Syekh tersebut pada tahun 1341 H dan mendapat
ijazah dalam istilah Naqsyabandiyah. Sepulang khatwat tersebut
beliau keras mempertahankan Tarikat Naqsyabandiyah, apakah
dalam tabligh-tabligh, karangan-karangan maupun dalam debat
terbuka, seperti muzakarah dengan Syekh Thaher Jalaluddin al-
Falaki di Mesjid Jami’ Pasia.148 Dalam wadah Perti, bersama
ulama-ulama Minangkabau yang sehaluan, beliau berusaha kuat
untuk membentengi faham lama itu dari rongrongan kaum muda
tersebut.
Begitulah keulamaan Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Disamping
meninggalkan murid-murid yang banyak, Syekh Sulaiman juga
mewariskan karya-karya yang banyak kepada generasi
selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang seorang
yang besar, selain masyhur dengan murid-murid yang ramai,
beliau juga seorang yang sangat produktif menulis. Ada satu
kekhasan dalam karya-karya beliau, disamping menulis dalam
bahasa Arab dan bahasa Jawi-Minang, beliau gemar menulis
dengan gaya sya’ir layaknya pujangga, sehingga jadilah karya-
karya beliau disamping memiliki muatan keagamaan, juga
merupakan bentuk sastra yang saat itu sangat laris. Sampai-
sampai dalam surat-surat beliau, apakah kepada istri dan anak-
anaknya ditulis dengan gaya bersyair ini. salah satunya kita
tampilkan disini sebuah sya’ir beliau yang menerangkan
keinginan untuk tinggal mengaji di Mekkah, namun mengingat
ummi beliau yang tidak mau berpisah dengan beliau, niat itu
beliau urungkan:
Waktu mengarang faqir khabarkan
Di negeri candung tinggallah badan

147
Keterangan Buya H. Sya’rani Khalil Dt. Majo reno, pimpinan
Madrasah al-Manar Batu Hampar, cucu dari Tuan Syekh Arsyad bin Maulana
Syekh Abdurrahman al-Khalidi Batu Hampar. Wawancara Februari 2010.
148
Muhammad Rusli Kapau, op. cit., hal. 72; Syekh H. Yunus Yahya,
Surat Terbuka Untuk H. Jalaluddin dalam Tablighul Amanah fi Izalati Khurafat
was Syubhah (Bukittinggi: Nusantara, 1954) hal. 42

110
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Hati terbang kesubarang lautan


Ke negeri Mekah biladul Aman

Sungguh nak pindah di dalam hati


Tetapi ada seorang ummi
Ibuku kandung belahan hati
Dimana mungkin meninggalkan negeri

Ibuku sakit tidaklah sehat


Dimana mungkin dibawa hijrat
Jalanpun jauh tidaklah dekat
Barangkali sembahyang dijalan tidaklah dapat149

Seputar kaum Muda, Syekh Sulaiman juga banyak menulis bait-


bait sya’ir untuk menyatakan fasad-nya faham mereka. Dengan
nada sindiran, beliau menyerang sendi-sendi gugatan kaum muda
tersebut. Dan tak ketinggalan menasehati kaum muslimin agar
tidak terpedaya dengan faham yang seperti itu. Diantara ungkapan
beliau ialah:
Sekarang ada orang yang ingkar
Sudah masyhur didengar khabar
Namanya tidak hamba mendengar
Entah siapa nama yang mu’tabar

Khabarnya sudah hamba dengarkan


Ushalli fardhuz zhuhr ianya ingkar
Ibarat ulama hambar naqalkan
Dibelakang ini hamba tuliskan

Wahai sahabat taulan yang nyata


Orang yang muqallid namanya kita
Mengikut mujtahid yang punya kata
Jangan diikut faham yang dusta

Jangan dicari ke dalam Qur’an


Hadistnya nabi-pun demikian

149
Muqaddimah dalam kitab Enam Risalah (Bukittinggi: Direkrij
Agam, 1920) hal. 3

111
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Mujtahid mutlak punya bahagian


Nasi yang masak hendaklah makan

Kita nan tidak tahu bertanak


Api dan kayu tungkupun tidak
Hendaklah makan nasi yang masak
Orang yang cerdik janganlah gagak

Jikalau batanak tidak bakayu


Demikian lagi tidak bertungku
Lambek menahun nasinya tentu
Itu misalnya fiqir olehmu150

Karya-karya Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang telah teridentifikasi


sebanyak 22 judul. Besar kemungkinan masih banyak karya-
karya Syekh Sulaiman yang belum tercatat. Deskripsi sebahagian
karya tersebut ialah:

1) al-Aqwalul Mardiyah fi al-‘Aqaid ad-Diniyyah


risalah berisi tentang pembahasan ilmu tauhid, dimulai dari
pembahagian hukum akal, kemudian beralih tentang aqidah
limapuluh, yaitu sifat yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi
Allah, ditambah dengan sifat yang wajib, mustahil dan ja’iz
bagi Rasul. Setelah itu dilanjutkan dengan hal-hal sam’iyat.
Ketika beliau menulis tentang perihal junjungan Rasulullah
sebagai khatamun Nabiyyin (penutup sekalian Nabi dan
Rasul), beliau menjelaskan dalam satu note yang agak
panjang mengenai kebohongan Mirza Ghulam Ahmad (Imam
Ahmadiyah) yang mengaku sebagai Nabi.
Risalah ini ditulis untuk membantu para murid pada tingkat
mubtadi (permulaan) dalam memahami ilmu Tauhid. Risalah
ditulis dalam bahasa Arab dengan bentuk tanya jawab.
Diakhir risalah terdapat taqrizh (pujian) dari Syekh

150
Penutup pada Sya’ir Nabi Wafat dalam kitab Enam Risalah
(Bukittinggi: Direkrij Agam, 1920) hal. 102

112
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Muhammad Jamil Jaho dan Syekh Abbas Qadhi Ladang


Laweh terhadap kitab ini.
Kitab ini dicetak berulang-ulang kali pada Mathba’ah
Islamiyah Bukittinggi dan menjadi salah satu buku pelajaran
dasar pada Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah hingga
saat ini.

Foto: Sampul Kitab al-Aqwalul Mardhiyyah (1957)

2) al-Qaulul Kasyif fi Radd ‘ala man i’tiradh ‘ala Akabir


Sesuai judulnya al-Qaulul Kasyif fi Raddi ‘ala man I’tiradh
‘alal Akabir yang berarti Perkataan Pembuka untuk menolak
dakwaan orang-orang yang mengingkari ulama-ulama besar,
karya ini merupakan karya apologetis terhadap amalan-
amalan yang telah diamalkan kaum muslimin sejak dahulu
kala. Amalan yang dimaksud ialah perkara Ushalli, yaitu

113
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

melafazhkan niat sebelum takbiratul Ihram. Sebagaimana


diketahui, bahwa perkara Ushalli merupakan satu hal yang
menjadi topik pembicaraan yang hangat antara kaum muda
dan kaum tua. Kaum Muda mengingkari sunnah-nya
melafazhkan Ushalli, sedangkan kaum Tua menegaskan
bahwa Ushalli hukumnya sunnat sebagai difatwakan Imam
Nawawi dalam Minhaj-nya.
Syekh Sulaiman dalam risalah ini menegaskan hukum
melafazhkan niat (Ushalli) tersebut adalah sunnat, sebagai
Imam Nawawi yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hajar al-
Haitami, Imam Ramli, Syekh Khatib Syarbaini dan Syekh
Jalaluddin Mahalli. Dalam risalah ini Syekh Sulaiman
menyatakan bahwa mereka yang menolak pendapat Nawawi,
yang tak lain ialah kaum Muda, yang menyatakan bahwa
Ushalli adalah bid’ah belaka sebagai orang-orang yang
mengingkari ulama-ulama besar.
Dalam mendudukkan masalah Ushalli, Syekh Sulaiman
menukilkan dalam risalahnya bahwa dalam Mazhab Syafi’i
memang ada tiga qaul (pendapat) mengenai pelafalan Ushalli,
yaitu (1) Sunnat melafazhkan Ushalli; (2) Wajib-nya; dan (3)
Makruh-nya.151 Dari 3 qaul ini, maka pendapat yang pertama,
sunnat melafazhkan Ushalli, ialah pendapat yang Mu’tamad
(yang dipegangi). Sedangkan pendapat ke-2 ialah pendapat
yang Syazd (jarang) dan pendapat yang ke-3 ialah pendapat
yang dha’if (lemah). Selanjutnya dalam risalah ini
dikemukakan nash-nash yang menguatkan pendapat pertama
tersebut, dan mengi’tiradh pendapat yang menyalahi hal
demikian.
Risalah ini dicetak bersama dengan 5 risalah yang lain dalam
sebuah kitab yang diberi titel dengan Kitab Enam Risalah.
Kitab ini dicetak pada Durekrij Agam, Bukittinggi, tahun
1920.

151
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, al-Qaulul Kasyif fi Radd ‘ala man
i’tiradh ‘ala Akabir di -dalam Kitab Enam Risalah (Bukittinggi: Durekrij Agam,
1920) hal. 104

114
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Enam Risalah


Karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1920)

3) Ibthal Hazzhi Ahlil ‘Ashbiyah fi Tahrim Qira’atil Qur’an bi


‘Ajamiyah
Risalah ini menjelaskan haramnya membaca al-Qur’an
dengan ‘Ajamiyah (bahasa non Arab). Ketika Syekh Sulaiman
kembali belajar dari Mekah, persoalan menerjemah al-Qur’an
menjadi satu topik yang hangat pula. Soal yang muncul
terjemahan al-Qur’an itu dibaca dan dikalangan masyarakat
awam itu dinamakan tafsir al-Qur’an padahal hanya
terjemahannya saja. cara ini ditentang oleh Syekh Sulaiman
ar-Rasuli, sebab dengan hanya membaca terjemahan al-
Qur’an tanpa terlebih dahulu menyebutkan lafazhnya dapat
menghilangkan kemu’jizatan al-Qur’an tersebut, dibarengi
dengan nash-nash dan nukilan qaul para ulama kenamaan.

115
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Adapun yang dikatakan belajar tafsir yang sebenarnya


diungkap Syekh Sulaiman dalam bait berikut:
Bahasa jawi maka dibaca
Lafazh Qur’an dibaca mulanya
Seperti ini tafsir namanya
Di dalam kitab halal hukumnya

Halal hukumnya ulama sebutkan


Mu’jizat Qur’an tidaklah luput
Patut sekali kita mengikut
Mengerjakan dia hati tak takut152

Perkara ini merupakan satu hal yang kemudian menjadi isu


hangat, yang dikenal dengan “perkara menulis Qur’an dengan
tulisan ‘Ajam”. Mengenai hal terakhir ini, H. Sirajuddin
Abbas membahasnya secara luas dalam 40 Masalah Agama
yang terbit beberapa dasawarsa setelah Risalah Syekh
Sulaiman ini dicetak.
Risalah ini selesai ditulis oleh Syekh Sulaiman pada hari
Rabu, pada bulan jumadil awal ditahun 1328 H (1908).
Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab, yang dimulai dengan
beberapa bait sya’ir dalam bahasa Jawi-Minang berisi abstrak
buku tersebut. Risalah ini kemudian dicetak beberapa tahun
kemudian, yaitu tahun 1920 dalam satu kumpulan kitab
Syekh Sulaiman yang dikenal dengan Kitab Enam Risalah.

4) Izalatul Dhalal fi Tahrim Iza’ was Su’al


Risalah ini berisi kecaman terhadap orang yang menjadikan
meminta-minta sebagai mata pencarian, tanpa hajat darurat.
Nampaknya profesi semacam ini sudah populer juga dimasa
Syekh Sulaiman. Dalam risalah ini Syekh Sulaiman ar-Rasuli
menyebutkan, dengan mengutip Ihya’ Ulumiddin, bahwa

152
Muqaddimah kitab Ibthal Hazzhi Ahlil ‘Ashbiyah fi Tahrim
Qira’atil Qur’an bi ‘Ajamiyah dalam kitab Enam Risalah (Bukittinggi: Direkrij
Agam, 1920) hal. 109

116
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

meminta-minta tanpa hajat itu haram hukumnya. Dalam


risalah ini Syekh Sulaiman juga mengecam kebiasaan
sebahagian murid yang meminta-minta tanpa hajat, padahal
kiriman dari kampung tidak putus-putus untuk biaya mengaji.
Syekh Sulaiman dalam Sya’ir pembukanya menyebutkan hal
ini:
Meminta itu haram asalnya
Kepada sembarang manusia
Lain kerabat taulan saudara
Jikalau darurat halal hukuman
…………
Kebanyakan kita di negeri jawi
Turun di kampung pergi mengaji
Alat dan bekal sama sekali
Cukup sekalian uang dipeti

Atau di kampung adalah kaya


Sawah dan ladang banyak harta
Terkadang nafkah ibu bapaknya
Adalah cukup sekedar hajatnya

Tetapi kelakuan yang lobo itu


Memintak mintak mehanju-hanju
Sekalian jenjang dijalang tentu
Demikian pasar rabu’ dan satu

Segenap hati itu kerja


Melihat kitab segan hatinya
Pekerjaan itu haram hukumnya
Di dalam kitab terang khabarnya153

Risalah ini selesai ditulis siap maghrib pada malam jum’at,


tanggal 19 jumadil akhir 1328 (1908). Kemudian dicetak
pada percetakan Derekrij Agam, pada tahun 1920. Dicetak
bersamaan dengan beberapa kumpulan karangan Syekh
Sulaiman lainnya, yaitu Kitab Enam Risalah.

153
Muqaddimah kitab Izalatul Dhalal fi Tahrim Iza’ was Su’al dalam
kitab Enam Risalah (Bukittinggi: Direkrij Agam, 1920) hal. 117

117
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

5) Tsamaratul Ihsan fi Wiladati Sayyidil Insan


Karya ini merupakan salah satu karangan Syekh Sulaiman ar-
Rasuli yang khas dan cukup menarik, ditulis dengan gaya
sastra ala pujangga ulama saat itu. Karya ini ditulis dalam
bentuk sya’ir, mengisahkan tentang peri kehidupan Nabi
Muhammad, mulai darikelahiran (maulid) hingga wafat
beliau. Risalah ini ditutup dengan sebuah sya’ir dan satu
tulisan narasi untuk apologetis berdiri Maulid.
Risalah ini diawali dengan sebuah mukaddimah dalam bentuk
sya’ir, menerangkan fadhilah dan seruan untuk membaca
kisah maulid Nabi. Syekh Sulaiman berujar:
……
Amma ba’du wahailah tuan
Risalah bakir muda perawan
Hendaklah baca berkawan-kawan
Cerita zhahirnya rasul bangsawan

Risalah bernama Tsamaratul Ihsan


Menyatakan zhahir sayyidul Insan
Nama Muhammad neneknya Hasan
Tuan membaca janganlah bosan
………
Pasanglah lampu isi tempat
Sedia makanan sekedar dapat
Panggil saudara tiga dan empat
Bacalah risalah dalam berapat

Pahalanya gadang bukan sedikit


Lebih rasanya segadang bukit
Hendaklah kayai walau basakit
Kalau miskin biar berdikit154

154
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Tsamaratul Ihsan fi Wiladati Sayyidil
Insan (Bukittinggi: Direkrij Agam, 1923) halaman awal

118
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Kemudian Syekh Sulaiman mulai masuk menceritakan


Perihal Nabi, diawali dengan kejadian Nur Muhammad yang
menjadi asal segala makhluk. Syekh Sulaiman menulis:
…………
Satu makhluk Tuhan jadikan
Namanya NUR Ka’ab khabarkan
Asal makhluk ulama terangkan
Namanya NUR belum ditentukan

NUR-pun jadi Tuhan berkata


Jadilah engkau Muhammad semata
Menjadi tiang NUR-pun nyata
NUR MUHAMMAD nama sereta
………155
Setelah menerangkan Nur Muhammad serta perceraian
kejadian makhluk, diceritakan tentang perpindahan Nur itu ke
punggung Adam,156 lalu sampai kepada punggung Abdullah.
Ketika Abdullah menikah dengan Aminah, maka Nur itu
berpindah ke rahim Aminah, dan kemudian menzhohirkan
Nabi Muhammad SAW. 157 Setelah itu berlanjut pada
kelahiran Nabi hingga akhir wafat beliau, kemudian cerita ini
ditutup dengan menerangkan sifat-sifat kepujian pada diri
Rasulullah (pada halaman 78).
Setelah menceritakan riwayat Rasulullah, Syekh Sulaiman
mengiringinya dengan Sya’ir Perdirian Maulid, yaitu
menegaskan bahwa berdiri Maulid maupun perkara Sunnat,
serta menyindir kerancuan kaum muda yang
membid’ahkannya. Syekh Sulaiman menulis:
Ditambah sya’ir wahai jauhari
Maksud menerangkan perkara berdiri
Dalam Maulid waktu kenduri
Banyak selisih ahli negeri

Khabar Maulud setelah sudah

155
Ibid., hal. 5
156
Ibid., hal. 8
157
Ibid., hal. 10-14

119
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Kita tuliskan mana yang mudah


Kepada perdirian kita berpindah
Ialah sunat banyak faedah

Tatakala sampai bacaan kita


Zhahir junjungan bunyinya kata
Hendak berdiri kita serta
Ta’zhim ikram niat semata
………158

Sya’ir ini diiringi dengan satu artikel panjang untuk


menegaskan sunnatnya berdiri Maulud diserta dengan dalil-
dalil serta qaul ulama. Dibelakang itu ada satu surat berisi
perbantahan di Mekah mengenai perkara Maulud, disebutkan
bahwa segala dalil yang membantah pendirian Maulud adalah
dha’if adanya.
Risalah ini ditutup dengan 3 buah untaian sya’ir sebagai
taqrizh kitab Tsamaratul Ihsan ini. sya’ir pertama dari Syekh
Muhammad Jamil Jaho berisi puji-pujian terhadap Syekh
Sulaiman dan karangannya. Sya’ir kedua dari Syekh Abbas
Qadhi Ladang Laweh, disamping berisi tentang pujian
terhadap Tsamaratul Ihsan, juga berisi kecaman terhadap
kaum muda, Sya’ir ini diawali dengan kalimat “Bongkarlah
I’tiqat Syazhah (yaitu faham Muda) di Alam Minangkabau,
tetaplah I’tiqat Ahlissunnah di Sumatera kita ini, Amin.” 159
Sya’ir terakhir dari Muhammad Amin, murid sipengarang,
menulis taqrizh akan risalah ini dengan panjang lebar,
kutipannya:
………
Tsamaratul Ihsan intan baiduri
Patut menaruh ahli negeri
Peubah takut gentar dan ngeri
Ka ganti suluah sapanjang hari
………

158
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Sya’ir Perdirian Maulud dalam Ibid.,
hal. 77
159
Ibid., hal 92

120
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Patut ditaruh bersama-sama


Rasanya manis bagai delima
Pehilangkan haus lapar yang lama
Sedang pengarangnya masyhur nama
………160

Risalah ini kemudian dicetak pada Derekrij Agam,


Bukittinggi, pada tahun 1923.

Foto: Halaman awal kitab Tsamaratul Ihsan (1923)

6) Kisah Muhammad ‘Arif: Pedoman Hidup di Alam


Minangkabau menurut gurisan Adat dan Syara’
Pengetahuan Beliau, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, tentang adat
telah diakui luas. Kepakaran beliau terhadap yang satu ini

160
Ibid., hal. 98

121
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

tanpaknya disokong oleh kedekatan beliau dengan ahli adat


yang tua-tua dan para Tuanku Laras dimana pengetahuan adat
mereka masih kuat berakar. Pengetahuan beliau ini
dibuktikan dengan beberapa risalah populer yang berbicara
tentang Adat ini. istimewanya, ketika beliau berbicara adat,
maka seketika itu beliau juga berbicara mengenai syara’,
sebab, ungkap beliau, adat dan syara’ itu berlazim-laziman.
Salah satu diantara karya beliau yang secara khusus berbicara
adat, dan sebagai satu karya beliau yang sangat khas ialah
Kisah Muhammad Arif ini. karya ini tampak terinspirasi oleh
karya “Rancak di Labuah” yang konon khabarnya aslinya
dikarang oleh Tuanku Lareh Kapau itu.161 Kisah Muhammad
Arif ini ditulis dengan gaya penceritaan Kaba, sarat dengan
kata-kata dan permisalan Minangkabau. Nilai tambah yang
membuat karya ini istimewa ialah aspek pemikiran tentang
adat dan syara’ yang dibingkai dengan cerita pengajaran
seorang ibu pada anaknya yang begitu menawan.
Cerita ini dimulai dengan mengisahkan seorang perempuan
bernama Siti Budiman. Seorang gadis yang disamping
mempunyai paras menawan, juga seorang yang taat beragama
dan kuat beradat, memakai sopan santun dan patuh kepada
orang tua. Ini digambarkan sebagai berikut:
Adapun kemudian dari itu, ada seorang perempuan, Siti
Budiman tu namonyo, anak Tuanku Lebar Alam, dunsanak
Datuak Rajo Adil, sukunyo Bodi Caniago, di kampung
Talago Manis, dalam nagari Teluk Paham, di Luhak nan
Tigo nanko, pemerintahan Lareh nan Duo, di tanah Alam
Minangkabau. Lorong kepada Siti Budiman, urang baiak asal
baiak, tahu mudharat dan manfaat, tahu di awal dengan
akhir, ingat dirantiang ka mancucuak, tahu di dahan
kamanimpo, tahu diereng dengan gendeng, tahu diadat jo

161
Lihat KH. Baharuddin Rusli, op. cit., hal. 17. Rancak di Labuah ini
menjadi satu karya sastra berdedikasi filsafat Minangkabau yang sangat popular
di awal abad XX tersebut. Ada beberapa versi tentang cerita ini, satunya yang
ditulis oleh Dt. Paduko Alam Payakumbuh.

122
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

pusako, baso basi nan labiah bana, bijaksano arif budiman,


sifat cerdik cindokio, patut namanya Siti Budiman.
Lorong kepado agamonyo, Siti taat menyembah Allah, hati
suci khusu’ tawadhu’, iman teguh amalan banyak, hati ikhlas
beradat, sabar ridha hati tawakkal, tidak digaduah apo-apo.
Tentang kepado peromanan, ataupun bentuk rendah tinggi,
sadang elok mato mamandang, tidak melebihi ancak-ancak,
tidak mengiringi sio-sio. Lorong kapado kelakuan, sifat
pemalu dipakainyo, jarang keluar dari rumah, bamain nan
tidak bana, salah sedikit tidak kayo, padi tidak sedang
kadimakan, suda manyabik anam bulan, tetap hidupnyo
membeli beras, bakain sapalolosan, tidak manyimpan di
lamari 162
Kisah dilanjutkan dengan pernikahan Siti Budiman dengan
Muhammad Shidiq Fakih Arifin, seorang pemuda yang alim
cendikia. Setelah menikah kedua pasangan ini tetap dalam
keadaan miskin, namun kemiskinan ini tak menjauhkan
dirinya dari ibadat, malah membuat mereka semakin rajin
menegakkan perintah agama. Adapun kerja suami istri ini
disiang hari ialah bertani, sedang malamnya mengajar
mengaji, mengajar sembahyang dan sifat duapuluh. Begitulah
yang berlaku bertahun-tahun lamanya. Sampai Siti Budiman
melahirkan anak laki-laki dinamai dengan Muhammad Arif,
diiringi oleh adiknya yang bernama Siti Arifah.
Memang larat tak dapat ditolak, belumlah baligh dua anak
karunia Tuhan, sang suami dipanggil oleh Allah, Muhammad
Shadiq wafat. Maka keraslah Siti Budiman sendirian
mendidik anak-anak mereka hingga dewasa. Pada suatu
waktu, ketika mereka sekeluarga berkumpul, pada saat itulah
Siti Budiman menguraikan paparan nasehat untuk anak-
anaknya. Nasehat itu antara lain terdiri dari nasehat memilih
sekolah, nasehat untuk jadi penghulu, nasehat untuk jadi
ulama, nasehat ketika berkawin, dan sebagainya.

162
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Kisah Muhammad Arif: Pedoman
Hidup di Alam Minangkabau Menurut Gurisan Adat dan Syara’ (Bukittinggi:
Tsamaratul Ikhwan, 1939) hal. 3-4

123
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Dalam butir nasehat menjadi Ulama, Siti Budiman berujar


kepada Muhammad Arif:
Anak den Muhammad Arif, Alim Ulama den tarangkan,
tujuh pulo deang baginyo. Satu ulama matohari, duo ulama
sumbu lampu, tigo ulama nan pamacah, ampek ulama
banyak lancah, limo ulama bagai kancah, anam ulama ruuk
sabun, tujuah ulama nan pagawat. Anak kanduang
dangankan bana !
Arti Ulama matohari, suluah bendang di nagari, cermin terus
dalam suku, kok hidup bakeh batanyo, kok mati tampek ba
khaul, itu ulama sabananyo.
Arti ulama sumbu lampu, ulama banyak bapitua tapi untuak
urang sajo, sekali tidak diamalkan. Urang banyak dapek
faedah, badan sendiri nan tabaka, sebab tidak ado
mengamalkan.
Arti ulama nan pamacah, nan banyak dimaso kini, pitua
banyak nan ganjia, keceknyo banyak nan baru, pamacah
urang sakampuang, pancarai anak jo bapak, pamutus
silaturahim, pahasuang malawan guru, deang nagari nan lah
kusuik, sabab marampas karajo urang, naiak mimbar jadi
khatib, tidak siapo nan manyuruah, sadang awak balun
khatib, sampai manyusah pemerintah.
…………163
Poin ketiga dari dari pembahagian ulama diatas, menyiratkan
pembaca untuk mewanti-wanti ulama yang kerjanya
memecah masyarakat, menyebarkan faham baru dan
membawa fatwa ganjil.
Karya ini menjadi istimewa karena mengandung nilai-nilai
ajaran agama dan adat yang dipaparkan dengan pintar lewat
cerita. Terakhir, kisah ini ditutup dengan taqrizh dari
Muhammad Amin Fakih Bandaro Ampang Gadang, dalam
bentuk sya’ir menyatakan betapa penting Kisah ini dibaca
oleh khalayak ramai. Satu kutipan sya’ir-nya ialah:

163
Ibid., hal. 60-61

124
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

………
Wahai saudaro sekalian teman
Patut dipakai buku pedoman
Siang dan malam jadi idaman
Cerita puteri Siti Budiman

Isinya patut peukur tubuah


Melebihi buku Rancak di Labuah
Pergaulan hidup janganlah jabuah
Dibaca sedikit hendak bertambuah

Isinya cukup tidaklah kurang


Bermacam nasehat ado dikarang
Dunia akhirat keduanya terang
Adat dan syarat terang benderang
………164

Karya Syekh Sulaiman ini dicetak pada Derekrij Tsamaratul


Ikhwan, Bukittinggi, pada tahun 1939

164
Ibid., hal. 67

125
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Pedoman Hidup di Alam Minangkabau


Atau yang lebih dikenal dengan Kisah Muhammad Arif (1939)

7) Dawa’ul Qulub fi Qishah Yusuf wa Ya’qub


Sebagai judulnya, risalah ini berisi tentang cerita Nabi Yusuf
dan ayahnya Nabi Ya’qub. Bukan hanya sekedar cerita,
Syekh Sulaiman lewat risalah ini memberikan hujjah
mengenai Rabithah yang terpakai disisi Tarikat
Naqsyabandiyah. Jadi, risalah ini dapat dilihat dari dua segi,
pertama risalah yang bernilai sastra, yaitu penceritaannya
Nabi Yusuf dengan bentuk nazhm. Kedua, merupakan
apologetis terhadap rabithah yang dipakai pada murid
Naqsyabandiyah sebelum berzikir.
Sebagai diketahui, perkara Rabithah menjadi satu polemik
yang hangat pada awal abad XX tersebut. Persoalan ini telah
menyeret ulama-ulama Muda yang mengingkarinya dan
ulama-ulama tua yang mempertahankannya dalam perdebatan
yang panjang. Dalam perkara Tarikat sendiri, maka Rabithah
inilah yang menjadi sasaran besar kaum muda untuk
dipertanyakannya. Dengan lahirnya karya Syekh Sulaiman
ini, yang bertajuk cerita sastra yang sarat dengan pembelaan
itu menambah perbendaharan kepustakaan apologetis Tarikat
di Minangkabau.
Risalah ini, seperti kebanyakan karya-karya Syekh Sulaiman
lainnya, karya ini ditulis dengan gaya sya’ir. Diawalnya,
Syekh Sulaiman mengingatkan pentingnya kisah Yusuf dan
Ya’qub untuk dijadikan cermin, diantara ungkapan beliau:
………
Dawa’ul Qulub nama risalah
Peubat hati dari dhalalat
Kisah Yusuf terang berkilat
Perkara rabithah ada terselat
………
Penulis menyeru berulang-ulang

126
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Dawa’ul Qulub wajah cermerlang


Bacalah sungguh jangan kepalang
Supaya terbujuk hati yang dalang

Dawa’ul Qulub umpama fajar


Dalamnya ada sedikit pengajar
Bacalah tuan ganji belajar
Berebut rebut kejar mengejar
………165
Kisah ini dimulai dari kelahiran Nabi Yusuf, penderitaan-
penderitaan ketika dijebak, masuk penjara, hingga menjadi
raja di Mesir. Adapun penjelasan Rabithah diperoleh ketika
Syekh Sulaiman menceritakan kejadian antara Zulaikha
dengan Nabi Yusuf. Alasan mengapa Nabi Yusuf dapat lepas
dari keadaan gawat yang diperbuat Zulaikha tersebut ialah
karena Nabi Yusuf ketika itu teringat dengan wajah ayahnya.
Peristiwa ini menjadi hujjah betapa wajah Nabi Ya’qub dapat
menghilangkan was-was dalam hati Nabi Yusuf, sehingga
beliau terlepas dari maksiat. Hal ini dijelaskan oleh Syekh
Sulaiman dalam untaian baitnya:
Disini boleh kita layangkan
Pandangan insaf kita gunakan
Rupa ya’qub Tuhan hadirkan
Apa gunanya hendak fahamkan

Jikalau tidak ada gunanya


Tuhan tak mau mehadirkannya
Menjadi la’ab itu namanya
Mustahil Tuhan la’ab sifatnya

Gunanya sudah kita khabarkan


Pehilang was-was khawatir samakan
Kejadi sebab Tuhan izinkan
Rupa menghilangkan tentulah bukan

Tatkala khusushiyah ada dirupa

165
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Dawa’ul Qulub fi Qishah Yusuf wa
Ya’qub (Fort de Kock: Maktabah Islamiyah, 1924) hal. 2

127
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Dijadikan Allah sudah berjumpa


Menghilangkan was-was lalai dan lupa
Kita rabithahkan salahnya apa
………166
Risalah ini dicetak pada percetakan Islamiyah, Fort de Kock,
pada tahun 1924. dibelakang risalah ini terdapat himbauan
beliau untuk membaca karya beliau yang lain, al-Aqwalul
Washithah, untuk mendalami masalah rabithah ini.

Foto: Sampul Kitab Dawa’ul Qulub (1924)

8) Pertalian Adat dan Syara’ yang terpakai di Alam


Minangkabau Lareh nan Duo Luhak nan Tigo
Risalah ini berisi uraian mengenai persenyawaan adat dengan
syara’ di Minangkabau. Uraian mengenai hal tersebut dimulai

166
Ibid., hal. 29

128
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

dengan menjelaskan arti adat dan syara’, kemudian dijelaskan


pula seluk beluk yang berkaitan antara adat Minangkabau.
Mengenai pertalian adat dan syara’ tersebut, Syekh Sulaiman
memaparkan dalam satu fasal dalam risalah ini. Mula-mula
dijelaskan perihal masuknya Islam di Minangkabau, dimana
ada seorang ulama bangsa sayyid yang berdakwah di
Minangkabau di masa itu. Melalui sayyid inilah Islam dikenal
oleh sebahagian masyarakat Minang. Dakwah sayyid ini
kemudian dilanjutkan oleh seorang ulama Minang yang
masyhur, yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan, yang saat itu baru
datang menuntut ilmu kepada Syekh Abdurra’uf Singkel di
Aceh. Melalui Syekh Burhanuddin inilah rasa agama itu
meresap dikalangan masyarakat banyak, maka berduyun-
duyunlah masyarakat di rantau dan di darek menimba ilmu ke
Ulakan, kehadapan beliau. Selanjutnya Syekh Sulaiman
menjelaskan:
Maka setelah adat dan syara’ berjalan di Minangkabau ini
tumbuhlah perselisihan diantara penghulu-penghulu dan
tuanku-tuanku alim ulama karena diantara ranting-ranting
dan cabang-cabang adat itu masih ada yang dilarang Allah
dan rasulnya [dilarang agama] …………
Maka dengan kebijaksanaan penghulu-penghulu dan tuanku-
tuanku alim orang tua cerdik pandai di alam Minangkabau
ini dapatlah perdamaian antara adat dan syara’ seperti
memalu ular di tanah, tongkat pemalu jangan patah, tanah
dipalu jangan lambang banah nan kanai jangan rusak, ular
dipalu ia mati.167
Kemudian fasal ini ditutup dengan ungkapan mamang adat:
Babelok jalan ka rimbo
Bakotek ayam di karu
Dari parak tabang ka barat
Elok aturan di Minangkabau
Adat disandi syara’

167
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Pertalian Adat dan Syara’ yang
terpakai di Alam Minangkabau Lareh nan Duo Luhak nan Tigo (bukittinggi:
tt.p, 1927) hal. 31

129
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Syara’ ditolong oleh adat


Babelok jalan ka rimbo
Lurih labuah ka talawi
Di kida parak di hasim
Elok aturan di minangkabau
Tubuhnyo adat nan kawi
Jiwanyo syara’ nan lazim
………168
Diakhir risalah terdapat sebuah kutipan surat dari Bestur
Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau yang saat
itu dipimpin oleh Datoeak Simaradjo, diantara isinya ialah
penghargaan terhadap Syekh Sulaiman yang telah mengarang
risalah tentang adat ini.
Risalah ini dicetak di Bukittinggi dan menjadi bacaan populer
saat itu. Hal ini isyaratkan dengan kalimat didepan sampul
“nan tapakai di alam Minangkabau, Lareh nan Duo, Luhak
nan Tigo”. Dicetak pada tahun 1927.

9) Kitab Asal Pangkat Penghulu dan Pendiriannya


Melihat kondisi sosial masyarakat Minangkabau yang tidak
lagi mendirikan adat yang sebenarnya, terutama ketika
pengangkatan penghulu, apakah dari syarat-syaratnya, sifat-
sifatnya dan aturan menjadi penghulu itu, maka Syekh
Sulaiman, berdasarnya pengetahuan adat yang beliau miliki,
menulis sebuah risalah mengenal hal ihwal pengangkatan
penghulu tersebut. Risalah ini kemudian diberi titel Kitab
Pengangkatan Penghulu dan Pendiriannya.
Alasan penulisan risalah ini disebutkan oleh Syekh Sulaiman
ar-Rasuli sebagai berikut:
Wa ba’dh, kemudian tatakala banyak persalahan dalam
mendirikan penghulu di alam minangkabau ini tercitalah
dalam hati hamba hendak mengarang kitab ini yang bernama
pendirian penghulu di alam ini dan hamba terangkan

168
Ibid., hal. 32

130
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

dalamnya akan asal mula-mula terbit pangkat penghulu dan


apa jabatannya…169

Setelah menjelaskan asal adanya pangkat penghulu di


Minangkabau, Syekh Sulaiman kemudian mengiringi
pembahasannya dengan pendiriang penghulu yang dibagi
kedalam beberapa poin, yaitu (1) mambangkik batang
tarandam, (2) hiduik nan bakaredhaan, (3) mati batungkek
batang budi, (4) karang manyusok, (5) gadang manyimpang,
(6) mambalah pisak baju dan (7) gadang manumpang.
Kemudian dijelaskan bagaimana pekerjaan penghulu,
kesempurnaan penghulu dan ditutup dengan menerangkan 50
kata-kata pokok pada adat nan kawi. Diakhir risalah ini
dilampirkan perceraian tentang hal ihwal anak-anak Sri
Maharaja Diraja Gagar Alam bin Sultan Abdul Jalil al-
Marhum Syah yang berjumlah 8 orang, anak-anak beliau ini
kemudian memerintah diberbagai belahan daerah di
Minangkabau, seperti Jambi, Indropuro, Aceh, Sungai Pagu,
Palembang, Indragiri, Banten dan Pariaman.170
Risalah Pangkat Penghulu ini selesai ditulis pada 20 oktober
1927, sedangkan lampiran mengenai perceraian anak-anak
yang dipertuan Pagaruyuang itu selesai pada 19 september
1927. Risalah ini kemudian dicetak pada Mathba’ah
Islamiyah, Fort de Kock, tanpa menyertakan tahun.

169
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Pertalian Adat dan Syara’ yang
terpakai di Alam Minangkabau Lareh nan Duo Luhak nan Tigo (bukittinggi:
tt.p, 1927) hal. 31
170
Ibid., hal. Terakhir (tanpa penomoran)

131
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Asal Pangkat Penghulu (1927)

10) Kisah Mi’raj


Isra’ Mi’raj merupakan salah satu peristiwa besar dalam
Islam. Banyak hikmah yang terkandung dalam peristiwa ini,
seperti mulainya perintah shalat lima waktu. Untuk
memperingati peristiwa besar ini kaum muslimin dikemudian
hari merayakannya dengan cara membaca kisah Mi’raj atau
ceramah agama. Dengan cara beginilah, salah satunya, kaum
muslimin menyegarkan ingatan tentang peristiwa besar ini,
sehingga menimbulkan ghirah untuk menegakkan agama.
Selain perayaan, banyak pula dikalangan ulama yang menulis
kisah Mi’raj ini, salah satunya ialah Syekh Sulaiman ar-
Rasuli lewat Sya’ir Mi’raj-nya.
Syekh Sulaiman memulai Sya’ir Mi’raj-nya:
………

132
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Amma Ba’du inilah nazhm


Fikiran hamba pada suatu malam
Awal Sya’ban bulan mu’azzham
Diambil kertas, dawat dan qalam

Seribu tiga ratus dua puluh lima


Tahun hijrah sekian banyaknya
Hatipun rusuh tidak terkira
Terkenal diri banyak berdosa

Diambil kertas dikarang nazhm


Curita Mi’raj sayyidul anam
Khabar ajaib banyak di dalam
Siapa mungkir binasa Islam
………171
Kemudian Syekh Sulaiman ar-Rasuli menjelaskan sepintas
pokok-pokok ilmu tauhid terlebih dahulu. Alasan beliau
menjelaskan ilmu tauhid karena peristiwa Isra’ Mi’raj
merupakan suatu mu’jizat yang tidak bisa diterima oleh akal,
namun hanya bisa diyakini berdasarkan keimanan yang
bertumpu pada tauhid yang benar.172 Beliau berujar:
………
Ya sahabat taulan saudara
Khabar Mi’raj kalau baca
Ilmu tauhid baca mulanya
Jangan terlanggar kita padanya

Sebab khabarnya banyak yang ajaib


Demikian lagi yang ghaib-ghaib
Dii’tiqatkan Tuhan di atas langit
Kafirlah kita alau berbangkit

171
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Sya’ir Mi’raj di dalam Kitab Enam
Risalah (Bukittinggi: Derekrij Agam, 1920) hal. 5
172
Dikemudian banyak banyak pula polemic perihal Mi’raj ini. Hal
yang diperdebatkan ialah Mi’raj apakah Tubuh saja atau Ruh dan Tubuh
sekalian. Lihat KH. SIrajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta: Pustaka
Tarbijah, 1970) jilid. I

133
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

………173
Setelah menguraikan ilmu tauhid sekedar hajat, Syekh
Sulaiman ar-Rasuli lalu masuk dalam cerita Mi’raj, diawali
dengan sebab-sebab terjadinya Mi’raj. Diceritakan pada
mulanya langit dan bumi saling berbantahan, saling
mengegokan diri. Langit berkata bahwa dia merupakan
tempat yang paling indah, sebab dihiasi bulan dan bintang-
bintang. Kemegahan langit dijawab oleh bumi, bahwa di
bumi ada Baitullah yaitu Ka’bah tempat mulia. Langitpun
menyahut kemudian, dilangitpun ada tempat mulia yaitu
Baitul Ma’mur, ada pula syorga dan neraka. Tak mau kalah,
bumi menyahuti, di bumi ada seorang manusia yang menjadi
penghulu sekalian alam, yaitu Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mendengar perkataan bumi, langitpun
diam membisu, tak dapat lagi membantah bumi. Kemudian
langit meminta kepada Allah supaya manusia mulia (Nabi
Muhammad) dinaikkan pula ke atas langit ini. Keinginan
langit ini kemudian diijabah oleh Allah.174 Cerita ini
dilanjutkan dengan riwayat pembelahan dada Nabi oleh Jibril.
Setelah itu perjalanan Nabi menuju Baitul Maqdis, naik ke
langit hingga Sidratul Muntaha, melihat syorga dan neraka,
menerima perintah shalat, turun ke Bumi dan diakhiri dengan
riwayat kaum kafir yang mendustakan peristiwa Isra’ Mi’raj.
Risalah ini ditulis dalam bentu nazhm (sya’ir) yang cukup
panjang, menarik dengan ungkapan yang mudah dicerna
sehingga tidak membuat jemu pembaca. Risalah ini dicetak
dalam satu bundel karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Kitab
Enam Risalah, dicetak pada Derekrij Agam, 1920.
11) Kisah Mu’az dan Nabi wafat
Mu’az adalah salah satu sahabat Nabi yang utama. Beliau
telah menerima perintah dari Nabi untuk menjadi juru
dakwah di Yaman, beberapa lama, bahkan sampai wafatnya

173
Ibid., hal. 5-6
174
Ibid., hal. 8-9

134
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Nabi. Dalam risalah ini Syekh Sulaiman menceritakan


tauladan Mu’az yang patuh kepada junjangan Rasulullah.
Kisah ini diserangkaikan dengan kisah wafatnya Nabi yang
menjadi pelajaran berharga untuk setiap kaum muslimin.
Karya dalam bentuk sya’ir ini diawali oleh Syekh Sulaiman
ar-Rasuli dengan mengetengahkan alasan penulisan risalah
tersebut dan harapan supaya cerita yang dipaparkan beliau
menjadi buah renungan sekaligus pelajaran bagi pembaca.
Dengan gaya sastra Syekh Sulaiman menulis:
Amma ba’du kemudian ini
Pikirlah hamba pada suatu hari
Duduk di Candung di tanah jawi
Berhati gadang siang dan pagi

Badan ka mati belum terkira


Terkenal diri sehat dan muda
Siang dan malam berhati suka
Belum sekali menaruh duka

Kemudian ini hamba fikirkan


Membuat rusuh bagaimana garan
Supaya nak takut kepada Tuhan
Jangannya lalai mengikut syaitan

Sekalian cerita habis dibaca


Berbagai-bagai cerita khabarnya
Ke dalam hati tidak bekasnya
Wallahu a’lam tebal karatnya

Terdengar khabar kemudian ini


Ada cerita merusuh hati
Nama khabarnya wafat Nabi
Lalu dilihat sama sekali
Baharu hamba mendapat kisah
Segera dibaca dengan muthala’ah
Harapkan hati kok lai berubah

135
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Mau menurut perintah Allah175

Kisah ini dimulai dengan perihal Mu’az yang diperintah Nabi


untuk mengajar Islam di Yaman, kemudian menceritakan
bagaimana Mu’az menjalankan suruh Nabi dengan sepenuh
hati. Sampai disaat Nabi wafat, Mu’az yang masih berada di
negeri jauh itu mendapat isyarat bahwa Nabi wafat. Episode
ini diceritakan sebagai berikut:
Pada suatu malam Mu’az-pun duduk
Dalam Mihrab meraguk raguk
Sudah sembahyang datanglah kantuk
Tidur mehereng badan ka rusuk

Mu’az pun lelap sebentar lama


Kepada Mu’az datang cerita
Mu’az tak tahu darimana datangnya
Di dalam kitab hatif namanya

Bunyi suara hamba khabarkan


Wahailah Mu’az guru di Yaman
Engkaupun lalai hambapun heran
Rasulullah wafat tidak ketahuan

Mu’az pun bangun dari lelapnya


Badan terkejut hilang akalnya
Iblis laknat disumpahinya
Kemudian segera mengulang wudhu’nya
………176
Mu’az kemudian shalat, namun sesaat setelah shalat kantuk
kembali datang dan kemudian tertidur. Selang beberapa lama
suara itu datang lagi dengan kalimat yang sama. Mu’az
terbangun, dan kemudian berwudhu’ karena menyangka
bahwa itu suara syaitan. Setelah shalat beliau pun kembali

175
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Kisah Mu’az dan Nabi wafat dalam
Kitab Enam Risalah (Bukittinggi: Derekrij Agam, 1920) hal. 66
176
Ibid., hal. 74

136
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

merasaka kantuk yang berat, hingga terlelap untuk ketiga


kalinya. Pada kali ketiga ini datang lagi suara:
Wahailah Mu’az hendak dengarkan
Bukannya hamba iblis dan syaitan
Hanyalah seorang malaikat Rahman
Datang kemari disuruh Tuhan

Disuruh Tuhan datang kemari


Membawa khabar wafatnya Nabi
Serta takziyah sama sekali
Memujuk engkau sahabat mati
………
Mu’az mendengar demikian bunyi
Masuklah yakin ke dalam hati
Lalu menangis suaranya tinggi
Sangatlah rusuh ditinggalkan Nabi177

Setelah itu cerita berlanjut mengenai riwayat Nabi wafat,


bagaimana keadaan junjungan menjelang sakaratul maut. Hal
ini diceritakan secara tuntas dalam bait sya’ir yang cukup
panjang.
Sebelum mengakhiri risalah ini, Syekh Sulaiman menulis
bahwa dikala sya’irnya akan dicetak terdengar berita bahwa
ada sebahagian orang yang menyalahkan berushalli,
mengingkari Imam Nawawi dan ulama-ulama terkemuka
lainnya. Hal ini ditulis Syekh Sulaiman diakhir risalahnya:
Tatakalo sya’ir akan dicetak
Kedengaran khabar dari orang banyak
Sangat ajaib lagi manggalak
Hati menerima sangatlah enggak

Imam Nawawi orang salahkan


Serta Rafi’i pun demikian
Ibnu Hajar orang katakan
Syekhul Islam pula kemudian
………

177
Ibid., hal. 75

137
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Sebelum takbir sunat mengata


Melafazkan niat itu maknanya
Tuhfah Nihayah sudah mengata
Memungkiri dia bodohlah kita178

Risalah ini dicetak bersamaan dengan karya-karya Syekh


Sulaiman lainnya, dalam Kitab Enam Risalah yang dicetak
pada Derekrij Agam, 1920.

12) Kitab Pedoman Puasa


Risalah ini, sebagaimana judulnya, menguraikan tentang hal
ihwal puasa. Diawali dengan menerangkan Hukum puasa,
kemudian menyebutkan fadhilah puasa dan hal-hal yang
berkaitan dengan puasa Ramadhan. Secara sepintas risalah ini
tampak sederhana, namun dalam risalah ini juga termuat
masalah-masalah jarang dibicarakan dalam karya-karya
serupa, seperti sebab-sebab mewajibkan puasa ramadhan.
Lebih dari itu penjelasannya juga terbilang rinci dengan
memaparkan nash diiringi qaul Fuqaha’, mengisyaratkan
kepiawaian Syekh Sulaiman dalam Fiqih. Hal ini tentu
membuat risalah kecil yang berjumlah 24 halaman ini
menjadi istimewa.
Ketika Syekh Sulaiman menjelaskan tentang sunat-sunat
puasa, beliau menjelaskan agak panjang perihal masalah
shalat Tarawih yang belakangan hari menjadi perdebatan pula
dikalangan masyarakat di Minangkabau. Mengenai Tarawih
ini disebutkan dalam satu sub bahasan dengan judul “suatu
peringatan”, sebagai berikut:
…………
[Suatu Peringatan] bahwa bilangan Tarawih adalah 20
rakaat, karena sudah Ijma’ pada masa Sayyidina Umar jadi
khalifah atas demikian, yang mana Ijma’ itu haram
mengingkarinya

178
Ibid., hal. 101

138
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Adapun hadis ‘Aisyah radhiyallahu anha {ma kana


Rasulullah yazidu fi Ramadhan wa la fi ghairihi ihda
‘asyara rak’atan} artinya tidak ada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menambah sembahyang pada bulan Ramadhan
dan tidak pula pada lainnya atas sebelas rakaat. Maka hadis
ini bukan menerangkan bilangan Tarawih, hanya
menerangkan bilangan yang sebanyak-banyak sembahyang
witir. Karena Siti Aisyah radhiyallahu ‘anha menyatakan
antara ramadhan dan lainnya, sedangkan sembahyang
Tarawih tidak ada pada lain ramadhan.
Adapun hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu {shalla bina
Rasulullah Tsamani rak’atin tsumma autar} artinya
sembahyang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan kami delapan rakaat kemudian lantas beliau
sembahyang witir. Maka hadis ini tidak penetap bilangan
tarawih delapan rakaat, karena hadis ini muhtamil (boleh
jadi) Jabir radhiyallahu ‘anhu datang kemudian daripada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi delapan saja
sembahyang Rasulullah dapat olehnya dan boleh jadi Jabi
sama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka hadis
yang serupa ini tidak boleh dipakai jadi dalil.
Maka disini terang dan jelas bahwa mereka yang menetapkan
bilangan Tarawih delapan rakaat ialah salah faham dan salah
mengerti. Maka kita do’akan kepada Allah subhanahu wa
Ta’ala mudah-mudahan ditaufiqkan Allah akan mereka
kepada yang benar. Wallahu a’lam bis shawab179
Kitab ini selesai ditulis pada agustus 1939. cetakan ketiga
risalah ini pada Bukhandel Tsamaratul Ikhwan – Fort de
Kock, tanpa menyertakan tahun penerbitan. Risalah ini
dicetak dengan tanggungan dana dari Haji Ahmad (guru
Agama Perak dan Selangor).

179
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Kitab Pedoman Puasa (Fort de Kock:
Bukhandel Tsamaratul Ikhwan, 1936) hal. 20-21

139
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Pedoman Puasa (1939)

13) Risalah al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Qur’an


Dalam karya ini Syekh Sulaiman ar-Rasuli menafsirkan satu
Juzu’ al-Qur’an, yaitu Juz 30 yang lebih dikenal dengan Juz
‘Amma, mulai dari surat an-Naba’ hingga surat an-Nass.
Dalam pendahuluannya, Syekh Sulaiman ar-Rasuli
menyebutkan alasan penulisan risalah ini, yaitu karena
permintaan dari beberapa orang kaum muslimin. Pada
mulanya, ungkap beliau, dirinya merasa ragu untuk menulis
tafsir ini, sebab tidak faedah bila membahasakan al-Qur’an ke
dalam bahasa jawi, tafsiran tersebut tidak akan dapat
dijadikan patokan untuk mengambil hukum, sebab bila ingin
mengetahui benar makna dan hukum yang terkandung mesti
terlebih dahulu paham sedalam-dalamnya ilmu ‘Arabiyah

140
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

yang 12 macam.180 Hal ini semacam kekhawatiran beliau,


sebab bila seseorang hanya dengan sebuah terjemahan telah
pula mau mengeluarkan hukum, tanpa ilmu-ilmu alat yang
mendalam, sangat besar kemungkinan seseorang itu akan
memahami al-Qur’an menurut hawa nafsunya saja. Hal ini
diingatkan Syekh Sulaiman ar-Rasuli sebagai berikut: “disini
banyak orang tanggung pengetahuan tersalah karena
memfaham Qur’an dan mengeluarkan hukum Syara’
daripadanya dengan berkeras hati saja, hingga sampai
setengah mereka itu mengangkat Nabi baru seperti
Ahmadiyah Nauzubillah”.181
Syekh Sulaiman mengawali tafsirnya dengan sebuah
mukaddimah yang menerangkan tentang makna tafsir dan
kemuliaan al-Qur’an. Beliau menulis:
[suatu pendahuluan pada menyatakan apa yang dikatakan
tafsir] Tafsir yaitu beberapa lafazh [perkataan] yang
diketahui dengan dia apa maksud Allah ta’ala yang zhahir
dengan ayat-ayat al-Qur’an atas sekira-kira luas manusia,
sedang maksud Allah ta’ala dengan ayat-ayat Qur’an tidak
dapat dihinggakan banyaknya karena Qur’an itu suatu kitab
yang menghimpunkan akan sekalian ilmu zhahir dan bathin.
Pendeknya tidak ada lagi ilmu dunia dan akhirat yang tidak
ada dalam al-Qur’an.

‫ﻻ ﻳﻐﺎﺩﺭ ﺻﻐﲑﺓ ﻭ ﻻ ﻛﺒﲑﺓ ﺇﻻ ﺍﺣﺼﺎﺻﺎ‬


“tidak meninggalkan Qur’an itu akan yang kecil, dan tidak
pula yang besar-besar”. 182
Setelah menjelaskan tentang makna tafsir dan keutamaan
makna al-Qur’an, Syekh Sulaiman kemudian masuk kepada
Juz 30 yang ditafsirkan, dimulai dengan Tafsir Surat al-

180
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Risalah al-Qaulul Bayan fi Tafsiril
Qur’an (Fort de Kock: Mathba’at Islamiyah, 1928) hal. 1
181
loc. cit., lihat note
182
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Kitab Pedoman Puasa (Fort de Kock:
Bukhandel Tsamaratul Ikhwan, 1936) hal. 20-21

141
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Fatihah dan an-Naba’ hingga akhir surat an-Nass. Pada akhir


risalah ini, Syekh Sulaiman menulis satu nasehat untuk
memperbanyak zikrullah.183
Risalah ini diterbitkan pada Mathba’ah Islamiyah Fort de
Kock, tahun 1928, dengan biaya HMS. Sulaiman.

Foto: Sampul Kitab al-Qaulul Bayan (1929)

14) Tablighul Amanah fi Izalatil Munkarat wasy Syubhah


Pada tanggal 17-18 januari 1954 diadakan konferensi Tarikat
Naqsyabandiyah oleh Dewan Tarikat Perti di Bukittinggi.
Konferensi ini dihadiri oleh 280 ulama-ulama, guru musyid
dan khalifah-khalifah Naqsyabandiyah se-Sumatera

183
Ibid., hal. 129-130

142
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Tengah. 184 Salah satu agenda konferensi itu ialah mengoreksi


buku-buku H. Jalaluddin yang kala itu banyak beredar. Buku-
buku itu banyak memuat pelajaran Tarikat Naqsyabandiyah,
yang menurut hemat konferensi tersebut banyak terdapat
kecurangan dan kebohongan. Hal ini penting sebab H.
Jalaluddin diketahui bukan sebagai seorang ulama yang
mumpuni untuk membahas masalah-masalah Tarikat, dalam
riwayatnya disebutkan bahwa H. Jalaluddin tidak belajar
agama layaknya orang-orang siak masa itu, kebanyakan
pengetahuannya disinyalir hanya diperoleh dari bacaan buku
saja, dan mengenai ijazah Tarikatnya yang dikatakan berasal
dari Syekh Ali Ridha jabal Qubais patut dipertanyakan
keabsahannya.185
Hasil dari konferensi tersebut kemudian ditulis oleh Syekh
Sulaiman ar-Rasuli dalam sebuah risalah yang berjudul
Tablighul Amanah fi Izalatil Munkarat wasy Syubhah, yang

184
Syekh H. Yunus Yahya, op. cit., dalam Syekh Sulaiman ar-Rasuli,
Tablighul Amanah…, op. cit., hal. 35. diantara ulama-ulama besar yang hadir
ialah: Syekh Abdul Ghani Batu Basurek, Syekh Sulaiman ar-Rasuli Candung,
Syekh Muhammad Sa’id al-Khalidi – Bonjol, Syekh Mudo Abdul Qadim
Belubus, Syekh Adam Palembayan – Agam, Syekh Ibrahim Harun Tiakar
Payakumbuh, Syekh Abdul Majid Koto nan Gadang – Payakumbuh, Syekh
Darwisy Arsyadi Batu Hampar Payakumbuh, Syekh Muhammad Zain
Kumpulan – Lubuk Sikaping, Syekh Abdussalam Bangkinang – Kampar, Syekh
Mansur Kamang Bukittinggi, Syekh Ma’shum Penampungan – Bukittinggi,
Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak, Syekh Yunus Yahya Magek –
Bukittinggi, Syekh Husen Amini al-Khalidi Pasia – Bukittinggi, Syekh Yahya
al-Khalidi Malalo – Tanah Datar, Syekh Umar Lubuk Sikaping, Syekh Hasyim
al-Khalidi Pariaman, Syekh Abdurrahman al-Khalidi Simalanggang –
Payakumbuh, Syekh Dzulqarnain al-Khalidi Situjuh – Payakumbuh, Syekh Abu
Bakar al-Khalidi, Syekh Abdurrahman Kuran-kuran, Lubuk Sikaping, Syekh
Abdul Wahab al-Khalidi Pelangi PSK, Syekh Muhammad Rasyad Koto
Marapak, Syekh Muhammad Syafi’i al-Khalidi Pandai Sikek, Syekh Abu
Syamah al-Khalidi Tigo Baleh, Syekh Sulaiman al-Khalidi Malampah, Lubuk
Sikaping, Syekh Zakaria Labai Sati Malalo, Syekh Sulaiman al-Khalidi Magek,
Syekh Qulan al-Khalidi Painan, Syekh Mahmud Abdullah “Beliau Tarantang”,
Syekh Arifin Jamil “Tuanku Solok” Kamang, Bukittinggi dan Syekh Jamaluddin
al-Khalidi Padang Luar Kota
185
Baca M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 370 dst…

143
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

berarti menyampaikan amanat untuk menghilangkan


kemungkaran dan syubhat.
Di dalam risalah ini disebutkan sebanyak 33 kesalahan H.
Jalaluddin dalam karangan-karangannya. Keputusan dari
konferensi tersebut disebutkan:
a. Bahwa buku-buku yang dikarang oleh pengarang tersebut
yang berkenaan dengan tarikat banyak sekali
mengandung kesalahan
b. Bahwa membaca buku-buku itu haram atas orang yang
belum membedakan salah dan benar yang tersebut dalam
buku-buku tersebut.
c. Bahwa menaruh buku-buku tersebut haram kalau tidak
dicoreng mana yang salah
d. Wajib memberitahukan orang yang belum tahu akan
kesalahan buku tersebut.186
Risalah ini diterbitkan pada tahun 1954 pada percetakan
KAHAMY, Bukittinggi. Kemudian dicetak ulang pada
percetakan Nusantara, Bukittinggi, 1954, disertai dengan satu
surat yang panjang dari H. Yunus Yahya, isinya membantah
keras H. Jalaluddin yang masih bergeming dan dinilai
merendahkan Syekh Sulaiman ar-Rasuli.

186
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Tablighul Amanah…, op. cit., hal. 32

144
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Tablighul Amanah (1954)

Diantara karya-karya Syekh Sulaiman lainnya yaitu:187


1) Dha’us Siraj fil Isra’ wal Mi’raj
2) Tanbihul Ghafilin fi Wafati sayyidil Mursalin
3) Al-Aqwalul Washithah fiz Zikri war Rabithah
4) Al-Aqwalul ‘Aliyah fi Thariqatin Naqsyabandiyah
5) Jawahirul Kalamiyah fi I’tiqat Ahlussunnah wal Jama’ah
6) Al-Qaulul Bayan fi Fadhilati Lailati Nishf Sya’ban
7) Sabilus Salamah fi Wiridi Sayyidil Ummah
8) Pedoman Islam Tiang Keamanan

187
Muhammad Rusli Kapau, op. cit., hal. 78

145
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

(15) Dr.H. Abdullah Ahmad (1979-1949)

H. Abdullah Ahmad dikenal sebagai seorang pembaharu


pendidikan di Minangkabau, disamping sebagai ulama yang
tergolong kepada kaum muda. Selain itu nama beliau juga tenar
dalam dunia pers di awal kebangkitannya pada paroh pertama
abad XX. Drukkerij Al-Moenir yang didirikannya di Padang,
berikut majalah “al-Moenir” yang dipimpinnya membuat nama
beliau semakin melambung, hal ini ditambah dengan tulisan-
tulisannya yang dipandang melawan arus, menghebohkan
kalangan kaum Tua. Dibidang pendidikan, beliau termasuk salah
seorang inovator ulung, hal ini dibuktikan dengan Adabiyah
School (1909) dan PGAI (1918) yang didirikannya, memperoleh
nama, dan terbukti tegak meski digerus masa.
H. Abdullah Ahmad di lahirkan di Padang Panjang pada tahun
1979. dari segi nasab beliau dikenal sebagai turunan ulama.
Ayahnya, meskipun sebagai pedagang kain Bugis merupakan
seorang yang kental beragama, begitu pula pamannya Syekh
Abdul Halim atau yang lebih dikenal dengan nama Syekh
Gapuak, pendiri Mesjid Ganting, merupakan seorang alim. Hal ini
begitu mendorong jejak langkahnya untuk menuntut ilmu. Dari
segi pengembaraan intelektualnya. Disamping melalui surau-
surau yang saat itu bertebaran, beliau juga menyempatkan diri
menuntut ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di
Mekkah untuk beberapa waktu.188 Beliau mempunyai
persinggungan yang kuat dengan ide pembaharuan dari Mesir,
yang nampaknya begitu beliau gandrungi semasa menuntut ilmu,
sehingga pemikiran-pemikiran Abduh dan Rasyid Ridha benar-
benar menjadi pendorong untuk-nya dalam usaha pembaharuan
ala-Kaum Muda, yang untuk kemudian, Tim dari Universitas al-
Azhar Kairo, memilihnya menjadi penerima Doktor Honaris
Causa, salah satu alasannya ialah karena pemikirannya yang
sejalan dengan pembaharu Mesir itu.

188
Tim Islamic Centre, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20…,
op. cit., hal. 108

146
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Sekembalinya dari Mekkah, beliau mulai mengabdikan dirinya


untuk dakwah. Pada mulanya beliau mengajar di Surau Jembatan
Besi Padang Panjang, masih dengan sistem lama, ber-halaqah.
Tak berapa lama beliau dengan cara lama, beliau pindah ke
Padang. Oleh karena hangatnya masalah-masalah perdebatan
Kaum Tua dan Kaum Muda kala itu, beliaupun ikut andil, dan
menjadi tokoh ulama Kaum Muda di Minangkabau, disamping H.
Abdul Karim Amarullah, teman karibnya. Arena-arena debat
yang saat itu mulai menjamur, menjadi lahan baginya untuk
menuangkan pemikiran pembaharuannya. Salah satunya rapat di
Padang yang terjadi pada tahun 1919, dimana dialah yang
menjadi moderatornya. Disamping dalam arena mudzakarah
tersebut, pemikirannya tertuang dalam majalah “al-Moenir”, yang
kemudian menjadi harum dikalangan ulama-ulama Muda di
Sumatera.
Selain dalam Majalah tersebut, H. Abdullah Ahmad, juga
menuangkan gagasannya dalam bentuk buku. Berbeda dengan
ulama-ulama seangkatannya, buku-bukunya terbilang modern,
dengan penulisannya dengan huruf latin, padahal teman-temannya
menulis dengan aksara Arab bahasa Melayu. Diantara buku-
bukunya yang masih kita temui saat ini ialah:

1. Tadzkiratul Hoedjdjad: Peringetan bagi mereka jang akan


naik Hadji
Buku ini berisi tentang tarikh (sejarah) Mekah, berikut
tempat-tempat suci di tanah Haram tersebut. Dalam
mukaddimahnya, beliau mengungkapkan alasan penulisan
buku ini karena tidak banyaknya referensi dalam bahasa
Melayu yang menjelaskan tentang sejarah negeri Mekah,
berikut keutamaan tempat-tempat bersejarah di tanah suci ini.

147
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: sampul buku Tadzkiratul Hujjadj (1925)


Buku ini ditulis di Betawi, tanggal 21 bulan september 1924.
kemudian buku ini dicetak dalam aksara latin pada penerbit
Persatuan Islam, Bandung, setahun kemudian.
2. Ilmu Sejati
Buku ini ialah bundel tulisan-tulisan H. Abdullah Ahmad
dalam majalah al-Moenir dengan judul yang sama. Isi buku
ini ialah mengenai masalah-masalah Tauhid, berikut masalah-
masalah perdebatan dalamnya.
Buku ini terdiri dalam beberapa juzu’ (bagian), diterbitkan
oleh Drukkerij al-Moenir, 1916. dicetak dalam aksara Arab,
bahasa Melayu.

148
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

3. Titian ke Syorga
Buku ini terbilang kecil. Terdiri dari beberapa masalah yang
bersangkut dengan keimanan. Dicetak dengan menggunakan
aksara latin oleh sebuah percetakan di Padang Panjang.

(15) Syekh Muhammad Zein Batusangkar (w. 1957)


Syekh Muhamma Zein merupakan salah seorang ulama besar
hingga paroh abad XX. Perihal hidupnya belum banyak tercatat,
tapi soal keulamaan beliau memang menjadi sebutan. Beliau
merupakan teman seangkatan ulama-ulama Tua lainnya,
seumpama Syekh Muhammad Jamil Jaho dan Syekh Sulaiman ar-
Rasuli. Dalam mempertahankan pengajian lama, beliau salah satu
tokohnya. Disamping kealimannya dalam bidang syari’at, beliau
juga sebagai seorang pengamal Tarikat Naqsyabandiyah yang
kokoh.
Pada mulanya, ketika masuk Muhammadiyah ke Minangkabau
dengan propaganda S. Y. Sutan Mangkuto, beliau bersama Syekh
Muhammad Jamil Jaho dan Angku Tapakis juga ikut andil dalam
perserikatan ini. Kemudian bersama Syekh Jaho secara beransur-
ansur keluar Muhammadiyah sepulang Kongres Pekalongan,
halmana dari kongres inilah beliau tahu akan amal
Muhammadiyah yang sebenarnya. Sejak itu beliau tidak lagi aktif
dalam Muhammadiyah. Untuk kemudian Syekh Muhammad Zein
meninggalkan kampung halamannya, Simabur, dan berangkat ke
tanah Malaya. Tepatnya di Perak, beliau beroleh kedudukan
sebagai Mufti.
Setelah lama bermukim di Perak, beliau kembali ke kampung
halamannya, Minangkabau, pada tahun 1955. Atas permintaan
murid-muridnya, Syekh Muhammad Zein kemudian bermukim di
Pariaman. Dan wafat pada tahun 1957 dalam Suluk dan
Khalwatnya.189

189
Hamka, Ayahku…, op. cit., hal. 293-294

149
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Sebagai alim dalam agama, Syekh Muhammad Zein juga menulis


beberapa risalah. Diantaranya ada menjadi seri pengetahuan
agama pupuler di tengah masyarakat, beberapa karya lainnya
hanya sempat kita kenal dalam cacatan-catatan tanpa sempat
melihat lagi rupanya. Satu identifikasi karya itu ialah:

Risalah Irsyadul Awam ilal Islam


Risalah ini berisi tentang pedoman ibadah yang cukup populer
ditengah-tengah masyarakat, sehingga karya ini sempat dicetak
beberapa kali. Disamping menguraikan rukun Islam yang lima,
dalam karya ini, Syekh Muhammad Zein juga menambah
keterangan sebagai pengetahuan pembaca dengan mengutip
beberapa riwayat, kemudian ditambah dengan do’a-do’a pilihan
dan beberapa fadhail amal. Risalah ini kemudian diiringi dengan
pengetahuan untuk menyelenggarakan mayat dan ditutup dengan
satu khatimat serta do’a Nifsu Sya’ban dan Do’a Tahlil. Dengan
beberapa tambahan ini, maka karya Syekh Muhammad Zein
merupakan satu risalah lengkap yang menguraikan tentang
ibadah.
Karya ini selesai ditulis pada tanggal 25 Rajab 1331 (1911) di
Batusangkar. Risalah ini kemudian ditashih oleh Syekh
Muhammad Thaib bin Umar Sungayang.

150
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Beberapa karya Syekh Muhammad Zein lainnya yaitu:190


1. Sirajul Muairilal Islam (1918), berisi tentang tanya jawab
keislaman.
2. Kasyiful Ghummah (1918), berisi polemik tentang Tarikat.
3. Sirajul Ghulam (1918), tentang dasar-dasar Tauhid dan Fiqih.

(17) Syekh Muda Abdul Qadim Belubus (1978-1957)


Syekh Muda Abdul Qadim atau yang lebih dikenal dengan
“Baliau Belubus” adalah seorang ulama terkemuka pemangku
Tarikat Naqsyabandiyah dan Tarikat Samaniyah. Meski nama
beliau tidak begitu banyak disebut oleh para peneliti Ulama,
namun beliau mempunyai pengaruh besar yang tak terbantahkan
dikalangan ahli-ahli Tarikat Sufiyah di Sumatera Tengah,
Minangkabau Umumnya. Bahkan dikabarkan bahwa khalifah-

190
M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 654

151
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

khalifah beliau, salah satunya Syekh Ibrahim Bonjol di Binjai,


telah pula mengembangkan sayap ilmu Tarikat dari silsilah Syekh
Mudo menyeberang lautan, sampai Malaysia dan Thailand. 191
Ketika diadakan kongres Tarikat Naqsyabandiyah di Bukittinggi
pada tahun 1954 yang dipayungi oleh Perti, maka beliau Syekh
Mudo adalah salah persertanya, disamping 280 ulama-ulama
besar lainnya di Sumatera Tengah.
Belubus, sebuah nagari yang terletak di ketinggian, tak jauh dari
kota Payakumbuh. Di daerah ini Syekh Muda Abdul Qadim lahir
pada tahun 1878. tempat mula beliau menuntut ilmu ialah Batu
Tanyuah. Disini beliau mengaji kitab cara lama kepada salah
seorang alim yang tidak begitu dikenal namanya. Setelah dari
Batu Tanyuah, beliau kemudian belajar mendalami Syari’at dan
Tharikat, paling tidak ada 6 daerah terkemuka dalam Tarikat
Sufiyah di Minangkabau yang dikhitmatinya. Tempat-tempat itu
ialah, pertama, Batu Hampar (Payakumbuh) tempat bermukimnya
ulama besar Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Batu
Hampari an-Naqsyabandiyah (w. 1899). Disini beliau mula
mengaji Tarikat Naqsyabandiyah sampai memperoleh Natijah,
hingga Syekh Abdurrahman menggelari beliau dengan “Syekh
Mudo”. Kedua Padang Kandih, yaitu kehadapan Tuan Syekh
Muhammad Shaleh Padang Kandih (w. 1912). Ketiga Kumpulan,
tempat bermukimnya ulama besar Maulana Syekh Ibrahim bin
Fahati “Angguik Balinduang” Kumpulan (w. 1915). Keempat di
Padang Bubus Bonjol, tempat beliau berkhitmat atas jalan Tarikat
Naqsyabandiyah di Makam Syekh Muhammad Sa’id Padang
Bubus (Abad XIX). Kelima di Simabur, kepada salah seorang
ulama masyhur dalam ilmu Hakikat, namun nama beliau ini tidak
dikenal lagi. Keenam di Kumango, Batusangkar, kepada Maulana
Syekh Abdurrahman al-Khalidi “Beliau Kumango”.192 Begitulah
pengembaraan keilmuan beliau, terutama dalam bidang ilmu

191
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia:
Survei Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1992) hal. 147
192
Lihat Apria Putra, Ulama-ulama Luak nan Bungsu…, op. cit., hal.
. keterangan pengembaraan keilmuan Syekh Mudo dari sebuah manuskrip
bertuliskan tangan yang berisi Autobiografi Syekh Mudo sendiri.

152
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Hakikat dan Tarikat, hingga beliau beroleh nama besar selaku


ulama terkemuka dalam Tarikat Ahli Sufi, Naqsyabandiyah dan
Samaniyah.
Syekh Mudo setelah itu mulai mengajarkan ilmu yang telah
diperolehnya di kampung halaman beliau, Belubus. Disini beliau
mendirikan surau, pusat khalwat Naqsyabandi, yang dibarengi
dengan pengajaran Tarikat Samaniyah dan Silat Kumango. Surau
Belubus kemudian menjadi terkemuka, banyak orang-orang siak
dari seantero Minangkabau yang melanjutkan kaji-nya, terutama
dalam Tarikat kepada Syekh Mudo Abdul Qadim. Diantara
murid-murid beliau tersebut, banyak pula yang kemudian
terkemuka pula selaku ulama, diantaranya ialah Syekh Beringin
di Tebing Tinggi Medan, Syekh Ibrahim Bonjol di Binjai, Syekh
Muhammad Kanis Tuanku Tuah Batu Tanyuah dan Buya H.
Muhammad Dalil Dt. Manijun di Jaho.
Syekh Mudo wafat pada tahun 1957 dan dimakamkan di depan
Mihrab Surau Belubus. Selain meninggalkan ilmu Tarikat yang
berurat berakar, terutama di kawasan Luak Limopuluah, beliau
juga meninggalkan beberapa karangan yang diperuntukkan bagi
kalangan Ahli Tarikat. Beberapa buah karangan itu dapat diakses,
sebagian lainnya masih tersimpan dan dirahasiakan oleh pewaris
Surau Belubus. Diantara karangan Syekh Mudo tersebut ialah:

1) As-Sa’adatul Abdiyah fima Ja’a bihin Naqsyabandiyah


menyatakan wirid-wirid amalan Tharikat Naqsyabandiyah.
Risalah ini selesai ditulis pada tahun 1936. pada sampul karya
ini tercetak jelas : “Tidak dijual dan tidak dipakai bagi orang
yang belum mengamalkan wirid tersebut”. Sebuah peringatan
yang umum dikalangan ahli Tharikat, sebab ada kekhawatiran
bila kaji tharikat diumbar-umbar maka akan jatuh harganya
sebagai ilmu yang istimewa. Adapula karena kaji tharikat
diperkatakan dipasaran, ada orang-orang yang belum sampai
akal dan ilmunya yang membatalkan kaji tersebut, sebab
membatalkannya merupakan suatu kecelaan yang nyata.

153
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Secara umum Risalah ini berisi tentang kaifiyah mengambil


Tarikat Naqsyabandiyah. Mulai dari Bai’at, penjelasan Zikir-
zikir Naqsyabandiyah, Rabithah dan lainnya.193 Risalah ini
telah dicetak beberapa kali oleh berbagai percetakan. Terakhir
dicetak pada Percetakan Sa’adiyah Bukittinggi.

2) As-Sa’adatul Abdiyah fima ja’a bihin Naqsyabandiyah


Bagian Natijah
Sebuah kitab Naqsyabandiyah yang dipergunakan khusus
bagi guru-guru mursyid yang telah mencapai khalifah, sebab
di dalamnya banyak dibicarakan mengenai rahasia-rahasia
Tharikat Naqsyabandiyah yang dilarang dikemukakan kepada
khalayak umum. Cetakan ke-2 risalah ini dicetak oleh
Syarikah Tapanuli – Medan tahun 1950.194

193
Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus, as-Sa’adatul Abdiyah fima
Ja’a Bihin Naqsyabandiyah menyatakan Wirid Amalan Tarikat Naqsyabandiyah
(Bukittinggi: as-Sa’adiyah, t. th)
194
Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus, as-Sa’adatul Abdiyah fima
Ja’a bihin Naqsyabandiyah Bahagian Natijah (Tapanuli: Syarikah Islamiyah,
1950)

154
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab as-Sa’adatul Abdiyah (1950)

3) Risalah Tsabitul Qulub


Risalah ini merupakan literatur langka mengenai Tarikat
Samaniyah di Minangkabau. Secara umum isinya berbicara
tentang ilmu Tasawwuf dan Tarikat, namun didalamnya
disinggung mengenai amalan Tarikat Samaniyah dengan
cukup panjang. Risalah ini terdiri dari beberapa jilid. Sampai
saat ini baru diidentifikasi sebanyak 3 juzu’ karya ini.
Deskripsi setiap jilid ialah sebagai berikut:
[Pertama] Tsabitul Qulub jilid I, Kitab ini berisi dalil-dalil
yang tersirat untuk mempertahankan amal Tharikat, serta
memperkokoh hati murid, supaya tidak terpecah-pecah akibat
faham yang bergitu rupanya. Penulisan sumber rujukan dalam

155
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

kitab ini cukup variatif, menunjukkan kealiman Syekh Muda


yang masyhur itu. Diantar sumber-sumber kitab yang menjadi
rujukannya ialah Tanwirul Qulub (sangat populer saat ini),
Shahifatus Shafa (besar kemungkinan karangan Syekh
Sulaiman Zuhdi Jabal Qubis), Manzhirul A’ma, Khazinatul
Asrar, ar-Rahmatul Habithah, Hadist Arba’in, Sairus Salikin,
al-Minhul Nisbah, Husnul Husain, al-Qusyairi, Lathifatul
Asrar, Hidayatus Salikin, Aiqazhul Manam, Hidayatul
Hidayah, Mawahib Sarmadiyah, al-Asymuni dan lain-
lainnya.Selain menjadi penguat hati si murid, risalah ini juga
memuat kaifiyah Tharikat Saman dan Tharikat Muhammad
Yaman (pecahan Saman) beserta wirid-wirid dan zikir-
zikirnya. Risalah ini kemudian ditutup dengan sebuah fasal
yang cukup panjang berisi tentang “Pengajaran tatakala
nyawa akan berpulang ke hadirat Allah”.195 (cetakan ke-6,
pada percetakan as-Sa’adiyah Bukittinggi, t. th)

195
Lihat Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus, Risalah Tsabitul Qulub
(Bukittinggi: as-Sa’adiyah, t. th) jilid I. cetakan ke-VI.

156
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

[Kedua] Tsabitul Qulub jilid II, Kajian dalam kitab ini tak
kalah menariknya. Kitab ini baru dijumpai penulis dalam
bentuk manuskrip, salinan tangan oleh Marnis Dt. Bangso
Dirajo. Di antara isi kitab ini ialah:
1) Himpunan akidah lima puluh
2) Sebab zikir la ilaha illallahu tidak pakai muhammadur
rasulullah
3) Masalah Nur Muhammad dan Nur Allah
4) Kelebihan manusia dari pada segala alam
5) Masalah Najis dan hadast
6) Pembahasan Muqarinah Niat
7) Tentang martabat Ahadiyah, wahdah dan wahidiyah
8) Menyatakan syari’at dan tharikat di dalam sembahyang
9) Rabithah dalam sembahyang
10) Asal suluk 40 hari, dan lainnya banyak lagi
[Ketiga] Tsabitul Qulub jilid III, pada jilid ini termuat
pengajaran Tharikat yang cukup istimewa, yakni
membicarakan perhubungan shalat dengan Tharikat. Di mana
di dalamnya ada tertulis:
Maka dari itu nyatalah bagi kita bahwa ilmu Tharikat itu
bersuanya di dalam sembahyang. Sepatutnya kita mahir ilmu
tharikat itu dengan beberapa martabatnya.
………………
Maka apabila hilang hamba dan hilang kalimat dan tinggal
nur, maka nur itulah yang dinamakan dengan zikir Hakikat.
Maka apabila hilang hamba hilang kulimah hilanglah pula
nur maka pulanglah hak kepada yang mepunyai, dan
kembalilah hamba kepada Tuhannya. (Tsabitul Qulub jilid
ke-III)
Kemudian kitab ini disambung dengan pembahasan mengenai
“nafsu yang tujuh”, dijabarkan dengan kalimat jelas dan
ringkas. Kemudian kitab ini disudahi dengan wirid-wirid
dalam tharikat Saman.
Asal naskah kopiannya masih ada tersimpan di surau
Belubus, yakni cetakan Islamiyah – Medan.
157
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

4) Al-Manak: mempusakai dari ayah, Syekh Mudo Abdul Qadim


Belubus (disebut juga dengan kitab “Bintang Tujuh”)
Kitab ini berisi ilmu-ilmu yang dipusakai dari Syekh Muda
Abdul Qadim. Diantara isinya cara mencari awal-awal bulan
Arab, mencari awal bulan Ramadhan, ilmu Bintang Tujuh
(saat baik dan buruk), ilmu pertukangan rumah adat Alam
Minangkabau, mencari waktu baik dan jahat, mencari barang
hilang dan lainnya.196

(17) Syekh Harun bin Abdul Ghani Toboh (w. 1959)


Syekh Harun Toboh Pariaman, seorang ulama yang cukup
masyhur diawal abad XX. Beliau berasal dari kampung Toboh,

196
H. Abdul Malik bin Syech Mudo, al-Manak: Mempusakai dari
Ayah, Syech Mudo Abdul Qadim Belubus (Bukittinggi: as-Sa’adiyah, t. th)

158
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Pariaman. Schrieke mencatat bahwa Syekh Harun ini mempunyai


andil dalam perdebatan kaum Tua dan kaum Muda lewat karya-
karyanya.197 Berapa banyak karya beliau tidak dapat disebutkan,
namun dipastikan karya-karya yang beliau hasilnya berkaitan
dengan apologi terhadap faham lama mempunyai pengaruh yang
signifikan dikalangan masyarakat. Disamping menulis karya
apologi, Syekh Harun juga tercatat mengarang risalah-risalah
dalam pengetahuan agama dan ilmu Alat, seperti dalam kajian
Mantiq. Diantara karangan beliau yang dapat kita kenal ialah:
1) Falahan Mubtadi
Karya ini tercatat sebagai salah satu kepustakaan kaum Tua
yang berwibawa. Penjelasan hujjah amalan kaum Tua
dibentangkan Syekh Harun dalam karya ini memang terurai
jelas, , sehingga membuat kaum muda cukup kewalahan.
Karya ini dicetak di Bukittinggi, tahun 1910, disertai denga
satu karya dari Angku Mudo Haji Harun tentang Tarikat
Khalwatiyah dalam bahasa Arab.198
2) Mafatihul Fikriyah
Karya ilmu berbicara mengenai ilmu Mantiq. Mantiq (logika)
ialah salah satu cabang ilmu Alat. Bagi ulama-ulama dimasa
itu merupakan satu keahlian yang mesti setelah belajar
Nahwu, Sharaf dan Ushul. Kepandaian Mantiq menjadi satu
kepiawaan yang melekat pada pribadi ulama-ulama silam,
karenanya tidak mengherankan bila mereka mampu
membangun hujjah dan tahan berdebat dengan orang-orang
yang tak sepaham.
Pembahasan dalam karya ini mencakup penarikan
Muqaddimah Sughra (premis mayor) dan Muqaddimah
Kubra (premis minor), hingga memperoleh Natijah
(konklusi) yang meyakinkan.

197
BJO. Schrieke, op. cit., hal. 83
198
loc. cit.,

159
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Karya ini dicetak oleh Tsamaratul Ikhwan Bukittinggi, pada


tahun 1928. Hak percetakan diserahkan kepada Muhammad
Thayyib bin Haji Muhammad, seorang pedagang buku di
Padang Panjang.

Foto: Sampul Kitab Mafatihul Fikriyyah (1928)

3) Sejarah Syekh Burhanuddin Ulakan


Karya ini berisi tentang sejarah Syekh Burhanuddin Ulakan,
Ulama besar Minangkabau yang disebut sebagai penyebar
agama Islam di pantai Barat Sumatera..

(18) Syekh Ibrahim Musa Parabek (1882-1963)


Beliau merupakan salah seorang ulama besar Minangkabau,
seorang pejuang pendidikan, agama dan kemerdekaan yang

160
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

dikenal luas. Dalam perjuangan keagamaan diawal abad XX


beliau dikenal sebagai salah satu Ulama muda, namun tidak
seperti temannya Dr. Abdul Karim Amarullah yang berwatak
keras, Syekh Ibrahim Musa terkemuka sebagai ulama yang
moderat, tidak terlalu membesar-besarkan khilafiyah.199 Salah
satu cerminan kepribadian beliau itu dapat dilihat dari salah satu
ungkapannya, “Matangkan dulu satu-satu, baru ambil yang lain
sebagai pembanding”, sebuah ungkapan dalam belajar agama
harus belajar satu-satu dulu, misalnya belajar Fiqih Syafi’i saja,
setelah matang baru belajar fiqih dari Mazhab yang lain sebagai
bandingan. Beliau, Syekh Ibrahim Musa, kemudian mendirikan
Sumatera Tawalib bersama teman-temannya Inyiak Rasul dan
Syekh Abbas Abdullah. Tawalib Parabek, sebuah pesantren yang
dimulai dari Halaqah gaya lama itu kemudian terkenal luas,
banyak mengeluarkan tokoh-tokoh penting dalam perjalanan
sejarah.
Syekh Ibrahim Musa lahir pada tahun 1882 di Parabek, sebuah
kampung yang asri dikaki gunung Merapi dan Singgalang.
Dimasa kecilnya beliau telah mulai merantau untuk menimba
ilmu agama. Tempat tujuan beliau yang mula sekali ialah
Pariaman, tepatnya kepada Syekh Mato Air Pakandangan. Tak
kurang dari setahun beliau menimba ilmu Nahwu dan Sharaf
kepada Buya Mato Air. Kemudian beliau melanjutkan
pengembaraan menuntut ilmunya kepada Tuanku Angin di
Batipuah Baruah. Selang beberapa lama beliau melanjutkan
menuntut ilmu ke Batu Tebal. Kemudian dilanjutkan pula kepada
Syekh Abbas Qadhi di Ladang Laweh. Setelah Ladang Laweh,
tempat yang beliau kunjungi kemudian ialah Biaro, yaitu kepada
Syekh Abdus Shamad. Setelah itu beliau melanjutkan kaji kepada
Syekh Jalaluddin Sungai Landai. Selanjutnya kepada Syekh

199
Meski beberapa kali Syekh Ibrahim juga terlibat dengan masalah-
masalah yang diperdebatkan kaum Muda, seperti soal meniga hari kematian
hingga menyeratus hari. Pernah satu kali beliau dijalang oleh seorang ulama
besar di Pariaman, Syekh Sidi Talua Ampalu Tinggi, untuk bermutharahah
dalam masalah ini. Keterangan dari Buya Muhammad nur Angku Panjang
Kiambang, 26 April 2011.

161
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Abdul Hamid Tanjuang Ipuah Payakumbuh (w. 1923). Setelah


dua tahun di Tanjuang Ipuah, beliau kemudian berangkat ke
Mekah, untuk melaksanakan Haji dan menambah ilmu kepada
beberapa ulama terkemuka di Tanah Suci tersebut. 200
Di Mekah beliau melanjutkan pelajaran kepada beberapa ulama
besar, seumpama kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi,
Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Mukhtar al-Jawi dan
Syekh Yusuf al-Hayyat. Syekh Ibrahim Musa bermukim di
Mekah selama enam setengah tahun. Pada tahun 1908 beliau
kembali ke kampung halaman beliau, Parabek. Sekembali dari
Tanah Suci, Syekh Ibrahim Musa kemudian membuka Halaqah
pengajian. Beberapa saat membuka pengajian di Parabek, telah
pula mempunyai murid-murid yang cukup banyak, beliau merasa
terpanggil kembali untuk berlayar ke Mekah al-Mukarramah.
Maka kembali untuk kedua kalinya beliau berangkat ke Mekah
bersama dengan anak beliau, Thaher Ibrahim. Pada tahun 1917
beliau kembali ke Parabek, kemudian lansung membenahi
Halaqah yang telah lama ditinggalkan. Halaqah inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal Sumatera Thawalib Parabek.
Syekh Ibrahim Musa wafat pada tahun 1963 setelah
menghabiskan umur beliau untuk berjuang dilapangan agama,
pendidikan dan kemerdekaan. Beliau wafat meninggalkan
Sumatera Thawalib Parabek, sebuah Pesantren yang harum
namanya hingga saat ini. selain itu beliau juga meninggalkan
karya tulis yang mempunyai dedikasi yang cukup tinggi dan
mencerminkan kealiman beliau selaku ulama yang mumpuni.
Diantara karya-karya beliau sebagai berikut:

1) Hidayatus Shibyan ila Risalah Syekh Syuyukhuna Sayyid


Ahmad Zaini Dahlan
Kitab ini ditulis sebagai komentar (syarh) terhadap kitab
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (Mufti Syafi’i di Mekah pada

200
Tim Islamic Centre, Riwayat Hidup 20 Ulama, …, op. cit., hal.
157-158

162
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

abad XIX) yang berbicara tentang ilmu Bayan (Stilistika


Bahasa Arab). Sebagai sebuah ilmu yang berkaitan tentang
aspek-aspek keindahan bahasa Arab yang begitu urgen untuk
memahami literatur-literatur Bahasa Arab, ilmu Bayan
menjadi salah satu mata pelajaran penting di sekolah-sekolah
agama, apakah itu dari Madrasah-madrasah Perti maupun dari
sekolah-sekolah Thawalib sendiri. Karya Syekh Ibrahim
Musa Parabek ini menjadi salah satu referensi yang cukup
mumpuni dalam bidang kajian ini. untuk memudahkan para
pelajar agama dalam memahami kajian Bayan yang cukup
rumit, Syekh Ibrahim Musa menulis penjelasan terhadap
karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam bidang Bayan.
Perlu diketahui bahwa karya-karya Sayyid Ahmad Zaini
sangat dikenal dalam kepustakaan keagamaan di Indonesia.
Sang Mufti banyak mengarang risalah-risalah pendek dalam
berbagai bidang keilmuan Islam. Tak jarang karena
ringkasnya karya-karya itu membuat pelik bagi sebahagian
pelajar yang baru belajar, oleh sebab itu memberi ulasan
(syarh) terhadap karya-karya itu merupakan langkah yang
tepat untuk memudahkan hasrat belajar para murid. Inilah
salah satu Usaha Syekh Ibrahim Musa Parabek.
Isi kitab ialah ialah tentang aspek-aspek ilmu Bayan, seperti
Tasybih, Majaz, Isti’arah dan Kinayah. Penjelasan terhadap
topik-topik ini diberi dengan runtun, dilengkapi dengan
contoh-contoh pemakaiannya dalam bahasa Arab, apakah dari
kalimat-kalimat atau nazhm-nazhm Arab kuno.
Pada sampul kitab dikutip sebuah hadis berupa amar
(perintah) Nabi Muhammad SAW. Untuk belajar bahasa
Arab. Terjemahan hadis tersebut berbunyi: “Pelajarilah
olehmu Bahasa Arab, karena Bahasa Arab itu ialah Kalam
Allah”.201 Hal ini memberi ingat kepada pembaca betapa
pentingnya belajar bahasa Arab. bahasa Arab tak akan

201
Syekh Ibrahim Musa Parabek, Hidayatus Shibyan ‘ala Risalah
Syekh Syuyukhina Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (Fort de Kock: Drukkerij Baroe,
t. th) halaman sampul

163
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

mungkin dikuasai tanpa memperlajari fan (vak) Arabiyah,


dan ilmu Bayan adalah salah satu dari ilmu Arabiyah tersebut.
Cetakan pertama kitab itu dicetak pada Drukkerij Baroe, Fort
de Kock (Bukittinggi), tanpa penyertakan tahun penerbitan.

2) Ijabatus Suul fi Syarh Husulul Ma’mul


Kitab Hushulul Ma’mul merupakan salah satu teks klasik
mengenai ilmu Ushul Fiqih. Layaknya teks klasik yang ditulis
dengan gaya bahasa yang musykil, sering membuat para
pelajar kesulitan dalam memahami karya ini. sedangkan
karya ini menjadi salah satu buku daras dalam ilmu Ushul,
dan ilmu Ushul merupakan salah satu prioritas keilmuan
dikalangan sekolah-sekolah agama. Melihat kenyataan ini,
Syekh Ibrahim Musa sebagai salah satu pendidik agama
merasa perlu untuk mengatasi kepelikan kitab Hushulul
Makmul, agar para pelajar terbantu dalam menelaah kitab ini.
Syekh Ibrahim kemudian menulis penjelasan kitab Hushulul

164
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Ma’mul dengan judul Ijabatus Suul fi Syarh Hushulul Ma’mul


(jawaban soal dalam memberikan pejelasan kitab Hushulul
Ma’mul). Syarh yang ditulis Syekh Ibrahim ini tersidi dari
beberapa jilid terhadap kitab ini.
Ijabatus Suul membuka pembicaraannya dengan memberikan
Had (defenisi) Fiqih dan Ushul. Kemudian baru melangkah
dalam menjelaskan materi-materi Ushul seperti tentang Amar,
Nahi, Mani’, Qiyas, Ijma’ dan lainnya, lengkap dengan
kaidah-kaidah baku dalam bidang keilmuan ini.202
Ijabatus Suul dicetak pada Drukkerij Bandezt, Padang
Panjang, pada tahun 1934. Dicetak atas biaya dari
Muhammad Thayyib Ibrahim.

Foto: Sampul Kitab Ijabatus Suul (1934)

202
Lihat Syekh Ibrahim Musa Parabek, Ijabatus Suul fi Syarh
Hushulul Ma’mul (Padang Panjang: Drukkerij Bandezt, 1934)

165
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Disamping 2 karya diatas, Syekh Ibrahim Musa juga menulis


beberapa buku lainnya, diantaranya kitab al-Hidayah dalam ilmu
Tauhid. Diantara karya-karya itu adapula yang masih berbentuk
manuskrip.

(19) Syekh Abu Bakar Ali Naqsyabandi Maninjau


Riwayat beliau memang masih kabur. Namun beliau dikenal
selaku salah seorang pemimpin kaum Tua yang tidak begitu
menonjol. 203 Meski kita tidak memperoleh data tentang
keterlibatan dan pengaruh beliau dalam dinamika intelektual
kaum Tua dan kaum Muda awal abad XX, namun perlu dicatat
bahwa karyanya telah memperkaya khazanah intelektual masa
pergolakan agama tersebut. Karyanya berupa pembelaan terhadap
Tarikat nampak laris dibawah edaran Perti, walau karya ini tidak
seberat karya Syekh Mungka, Syekh Khatib ‘Ali dan Syekh
Candung. Identifikasinya sebagai berikut:

Rahsia Sjari’at dan Thariqat


Dibawah judul dengan huruf latin itu disambung dengan kalimat:
serta menerangkan ilmoe Haqiqat dan Ma’rifat dengan beralasan
Qoer’an dan hadis Nabi Moehammad s. a. w.. Sebagai sebuah
apologetis, kehadiran karya ini tampak sangat terpengaruh dengan
pergolakan kaum Muda di masa itu. Hal ini ditandai dengan
adanya kalimat-kalimat yang ditujukan buat kaum mu’taridh
(pembantah, dalam hal ini tentang Tarikat), yang tak lain ialah
kaum Muda. Dibagian maklumat dikutip sebuah sya’ir Arab, yang
mengingatkan supaya tidak tergesa-gesa dalam mencela suatu,
tentunya kalimat ini dialamatkan kepada kaum Muda:

‫ﻭ ﻛﻢ ﻣﻦ ﻋﺎﺋﺐ ﻗﻮﻻ ﺻﺤﻴﺤﺎ ﻭﺍﻓﺘﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﻬﻢ ﺍﻟﺴﻘﻴﻢ‬

203
M. Sanusi Latief, gerakan…, op. cit., hal. 157

166
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Artinya: dan banyak pula orang yang mencela akan perkataan


yang shahih dan padahal yang jadi kesalahannya ialah
pahamnya yang sakit, yakni otak yang mencela kurang sehat
204

Kemudian Syekh Abu Bakar masuk dalam pembahasan mengenai


penyakit-penyakit hati berikut obat secara rohani. Dilanjutkan
dengan tanya jawab persoalan Tarikat, dan diakhiri dengan
beberapa bait sya’ir sebagai nasehat serta satu artikel dari H.
Jalaluddin mengenai Rahasia Zikrullah. Diantara bait sya’ir itu
ialah:
Wahai mukallaf pikir dihati
Waktu muda ibadat dicari
Jikalau tua susah sekali
Dibimbang sakit sehari-hari

Sesalan orang tua tidak faedah


Karena persendiannya banyak nan goyah
Bekas orang muda kerja mujahadah
Supaya sempurna jalan hidayah
…………
Wahai saudara awam jauhari
Risalah ini hendak temui
Jangan bersugiro lidah memungkiri
Baiklah ta’ammul dengan hati suni205

Kitab ini diterbitkan di Bukittinggi (Fort de Kock), pada


Boekhandel Soearti, Aur Tadjungkang. Pada Agustus 1938.

204
Syekh Aboe Bakar Ali Naqsyabandi, Rahsia Sjari’at dan Thariqat
(Fort de Kock: Boekhandel Soearti, 1938) halaman pertama
205
Ibid., hal. 27

167
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

(20) Syekh Janan Thaib Bukittinggi


Syekh Janan Thaib ialah seorang ulama yang sangat terkemuka
terutama dalam usahanya mengembangkan pendidikan Islam.
Beliau pernah melanjutkan pelajarannya di perguruan tinggi al-
Azhar – Kairo. Dapat dikatakan beliau, salah satu diantara pelajar
Minangkabau yang belajar agama bukan hanya di Mekah pada
awal abad XX itu. Setelah menyelesaikan pelajarannya di Mekah,
beliau menurut informasi Azra, menetap di Mekah dan
mendirikan sebuah Madrasah yang terlukis sebagai sekolah yang
penuh Nasionalisme dengan bangsa Indonesia, Madrasah itu ialah
Madrasah al-Indonesia.
Dalam tulis menulis, beliau juga terkemuka. Satu diantara
karyanya yang sampai ke tangan kita saat ini ialah sebuah kitab
polemis sebagai apologetis terhadap kaji Sifat 20 yang saat itu
mulai digoyahkan oleh beberapa orang ulama Muda di
Minangkabau. Identifikasi karya itu ialah:

168
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Al-Muqmatus Shakhram fi Raddi ‘ala man Ankara Ilmal Kalam bi


Kalami Malayu al-Syahir
Karya ini apologetis terhadap pengajian Sifat 20. Pengajian
Tauhid Sifat 20 sendiri merupakan pengetahuan wajib ‘ain bagi si
mukallaf, hal demikian telah berjalan sedari dahulu. Dimana para
ulama terkemuka, seperti as-Sanusi telah merumuskan
pengetahuan akidah tentang sifat-sifat Allah ke dalam 20 sifat.
Namun pada awal abad XX ditemui sebahagian kecil malin yang
mengingkari hal tersebut, salah satunya ialah terbitnya Nazham
Aqidah Lima puluh karangan Haji Muhammad Karim Sumpur
Minangkabau. Dalam karya yang berbentuk sya’ir ini dicelalah
pengajian yang telah berakar itu. Dikatakan bahwa orang yang
mengaji sifat 20 sebagai orang yang menyalahi al-Qur’an dan
Sunnah, telah mengekor saja pada Asy’ari dan as-Sanusi. Hal ini
tentu membuat heboh pula dikalangan masyarakat. Bukan hanya
kaum Tua, tapi juga kaum Muda berpegang kepada pengajian
tersebut. Beberapa Majalah mengangkat tema yang sama untuk
membantah tulisan Haji Muhammad Karim ini. Salah satunya
berupa sya’ir dalam Majalan al-Mizan, yang ditulis oleh Labai
Sidi Rajo Sungai Puar, mencela si-Haji yang mengingkari satu
bagian ilmu Tauhid yang telah sama disepakati.
Rupanya Nazham Aqidah Lima Puluh ini sampai kepada pelajar-
pelajar di Mesir. Diantaranya kepada Syekh Janan Thaib yang
kala itu menimba ilmu di al-Azhar. Setelah menelaah dengan
seksama, Syekh Janan Thaib mengarang satu risalah untuk
menyatakan kerancuan Nazham Aqidah Lima Puluh, dengan judul
al-Muqmatus Shakhram fi Radd ‘ala man ankara Ilmal Kalam.
Pembelaan Syekh Janan Thaib begitu menarik untuk disimak.
Dalam Risalahnya ini beliau membuka kepalsuan hujjah Haji
Muhammad Karim tersebut. Dengan referensi yang handal dan
dalil yang cukup beliau mengemukakan bahwa belajar Sifat 20
merupakan kewajiban, sebagai yang telah berlaku selama ini.
beliau, Syekh Janan Thaib, juga membersihkan nama Imam
Asy’ary dan Imam Sanusi yang kadung dicela dalam Nazham itu.

169
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Beliau kemukakanlah bahwa celaan Haji Muhammad Karim ini


hanya isapan jempol yang tak sempantasnya diucapkan kepada
ulama-ulama Ahlussunnah.
Dalam muqaddimah, Syekh Janan Thaib berujar:
Amma Ba’d, adapun kemudian dari pada itu maka berkatalah
faqir yang hina lagi banyak taqshir, Janan Thaib bin Haji
Muhammad Thaib bin Haji Muhammad ‘Ali Minangkabau
Bukittinggi, yaitu pada tahun 1340 waktu faqir menuntut ilmu
di dalam negeri Mesir pada Jami’ul Azhar as-Syarif telah
sampai kepada faqir satu buah kitab Nazham bahasa Melayu
yang menyatakan melarang mengaji dan belajar sifat 20 yaitu
“Aqidah Lima Puluh” karangan Haji Muhammad Karim
Negeri Sumpur Minangkabau tinggal di Surau Pagai Bandar.
Dan setelah faqir baca dari awalnya hingga akhirnya
memperoleh faqir akan demikian kitab dipenuhi dengan
beberapa fitnah dan syubhat, dan berani betul muallaf itu
hingga menjadikan mu’allaf itu akan ilmu Kalam dan
pengajiannya daripada Bid’ah yang dicela dan menafikan
mu’allaf itu akan demikian ilmu daripada ilmu Syara’………206
Risalah ini dicetak di Mesir, pada Mathba’ah Taufiq al-Adabiyah-
Kairo, tahun 1910, atas nafkah Datuak Bandaro dan Haji Ahmad
Chalidi. Penerbitan kitab ini kemudian disahkan oleh ulama-
ulama Mekah, dan tersebar di Minangkabau. Salah satu toko
buku kala itu yang menjualnya ialah Toko Haji Jalaluddin Thaib
Fort de Kock.

206
Syekh Janan Thaib Bukittinggi, al-Muqmatus Shakhram fi Raddi
‘ala Man Ankara ilmal Kalam (Mesir: Mathba’ah Taufiq al-Adabiyah, 1910)
hal. 3

170
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab al-Muqmatus Shakharam (1910)

(21) Syekh Sidi Jamadi Koto Tangah Padang


Syekh Sidi Jumadi, seorang Ulama Syathariyah di Koto Tangah,
Padang, juga merupakan penyumbang karya intelektual diawal
abad XX. Meski karya beliau hanya diperuntukkan untuk para
penganut Tarikat Syathariyah, namun perihal isi dari karya itu
cukup menarik untuk diperbincangkan, karena karya itu berkaitan
erat dengan keilmuan Syekh Burhanuddin Ulakan.
Diantara karya tulis yang dihasilkan ialah:

1) Tahqiq Syathari
Kitab ini, sebagaimana disebutkan oleh pengarangnya pada
bagian penutup, merupakan salinan beberapa bagian dari

171
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

kitab Tahqiq Syekh Burhanuddin yang tersimpan di Tanjung


Medan, Ulakan. Kitab ini dimulai dari pembahasan masalah
bersuci, kemudian memasuki ranah Tasawwuf, pengajian
Martabat Tujuh dan Nur Muhammad. Tampaknya karya ini
terdiri dari beberapa risalah kecil yang disusun menjadi satu,
diantaranya adanya disinyalir sebagai tulisan Syekh
Abdurrauf Singkel tentang Silsilah Tarikat Syathariyah. Oleh
karena karya ini berbicara mengenai Tasawwuf yang dalam,
yangmana bila ditelaah oleh orang yang belum mumpuni bisa
berakibat fatal, maka keberadaannya selalu dirahasiakan oleh
pemangku Tarikat Syathari. Beberapa orang yang hendak
memperolehnya memang banyak yang kecewa.
Satu bagian dari kitab ini yang kental dengan pengajian
Tubuh ialah:
Jalan Laa ilaha illallah tubuh, rupa La ilaha illallah tubuh
yang halus, artinya nyawa, pohon laa ilaha illallah itu
hakikat yang betul …………207
Kitab ini dicetak pada percetakan Tandikek, Padang Panjang,
1929. sebagai yang tertulis pada sampulnya, kitab ini telah
diizinkan untuk ditulis kembali kepada Kunub gelar Raja
Bujang, yang tinggal dilereng bukit Gurun Panjang, Bayang.

207
Syekh Sidi Jumadi, Tahqiq Syathari (Padang Panjang: Tandikek,
1929) hal. 51

172
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Tahqiq Syathari (1929)

2) Sya’ir Ihwal Jalan


Sya’ir berisi tentang nasehat-nasehat budi pekerti dan
sindiran-sindiran terhadap masyarakat dimasanya (awal abad
XX) yang mulai jauh dari agama dan meninggalkan kearifan
Adat. Syekh Sidi Jamadi memulai sya’irnya dengan
menyebutkan hakikat al-fatihah sebagai pembuka kata, dan
pembaca dipesankan untuk selalu berpegang dengan pitua
guru dalam hal ini. Kemudian dalam bait-bait berikutnya,
Syekh Sidi Jamadi mengungkapkan sesal dan sedihnya
terhadap perilaku masyarakat yang tak lagi memegang teguh
agama sebagai yang diajarkan ulama-ulama silam, malah
mengikut faham baru dalam beragama dan meninggalkan
adat-adat yang penuh kearifan. Bait syair yang lumayang

173
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

panjang ini kemudian ditutup dengan nasehatnya kepada


kaum muda, yang menyebut golongan ulama tua (dalam hal
ini ulama-ulama Ulakan) sebagai “Kaum Kuno.
Diantara bait sya’ir ini ialah:
…………
Sebelum ada syara’ baharu
Adat dan syara’ ada setuju
Labuah tepian memakai malu
Mamak dan nenek ada sekutu

Allah-Allah wahai saudara


Maka negeri serupa iko [a]
Karena dek syara’ baru, nyata
Hendak me[r]ubah syara’ yang lama

…………
Rupa dahulu rupanya bayan
Undang (Adat) dan syara’ sama sejalan
Adat memegang dengan pedoman
Dusun negeri berupa aman
…………
Pada pikiran hamba yang hina
Kalau dibuang agama lama
Jo pangkal adat sama sekata
Jo undang Kompeni demikian juga

Kawan baru saja me[r]ubah


Jo pangkal adat tidak muthabaqah
Inilah sebab negeri susah
Mamak dan nenek menjadi bancah 208

Sya’ir ini dicetak pada percetakan Tandikek, Padang Panjang,


tahun 1955. Izin penyalinan telah diberikan oleh pengarang
kepada Sialim gelar Sidi Negeri Koto Marapak, Pariaman.

208
Syekh Sidi Jamadi, Sya’ir Ihwal Jalan (Padang Panjang: Tandikek,
1955) hal. 4-5

174
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Sya’ir Ihwal Jalan (1955)

3) Sya’ir Siriah
Karya ini merupakan serangkaian sya’ir yang berisi tentang
pengajian “Nur Muhammad”. Karya ini tampat menarik
untuk dikaji, disamping ditulis dengan sastra gaya lama,
isinya termasuk padat dengan menguraikan hal ilwal Hakikat
Muhammad dengan segala seluk beluknya. Dalam kajian
Tarikat Syathariyah dan Tasawwuf muntahi (tingkat tinggi),
kaji Nur Muhammad termasuk pelajaran yang sering
dirahasiakan dan hanya diberikan kepada murid-murid
pilihan, sebab bila diumbar kedepan khalayak ramai tentu ada
yang belum bisa memahaminya lantas membatalkannya.
Kutipan pembukaan sya’ir ini sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim

175
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Dengan nama Allah aku mulai


Mengarang nazham mencita dir[a]i
Dengan pengenal hati Nurani
Muhammad hening hanya Terjali

Baiklah fikir segala tolan


Pandanglah bekas kayanya Tuhan
Semua itu hanya gerakan
Dari pada “Muhammad” nyata sekalian

Sekalian jadi daripada “Muhammad”


Disanalah Terjali segala sifat
Daripada Allah punya Qudarat
Disanalah asal Insan mufajat209
Sya’ir ini dicetak bersama Sya’ir Ihwal Jalan. Kemudian
tersebar dikalangan murid-murid Syekh Sidi Jamadi, Koto
Tangah, Padang.

4) Sya’ir Riwayat Hidup


Rangkaian sya’ir yang cukup panjang ini menguraikan
tentang perjalanan hidup pengarang, yaitu Syekh Sidi Jamadi,
yang dikenal sebagai Qadhi Batang Kabung. Bukan hanya
riwayat lepas, sya’ir ini juga menyebutkan kisah dramatis
yang pernah dilalui oleh Syekh Sidi Jamadi. Diantaranya
tentang perlakuan kurang menyenangkan Belanda terhadap
beliau. Konon Beliau pernah ditangkap Belanda kemudian di
penjara, anehnya para penjaganya melihat beliau sedang
melaksanakan shalat disebuah mesjid, ketika diperiksa ke
penjara beliau tetap duduk tenang.
Karya sya’ir ini ditulis dalam bentuk manuskrip, dan
perbanyak melalui salinan tangan dan tersebar dikalangan
murid-murid beliau di Koto Tangah.

209
Syekh Sidi Jamadi, Sya’ir Siriah di dalam Sya’ir Ihwal Jalan. hal.
38

176
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Tokoh-tokoh kepengarangan Lainnya:

Disamping lahirnya karya-karya dari ulama-ulama besar diatas,


ada lagi karya-karya yang dihasilkan ulama-ulama sesudahnya.
Ulama-ulama ini merupakan generasi kedua dari ulama-ulama
diatas dan cukup intens mengikuti dinamika intelektual Kaum
Tua dan Kaum Muda, meski tidak seeksis para pendahulunya.
Diantara para ulama periode kedua itu ialah:
(1) Abdul Jalil Angku Mudo Bonjol Khatulistiwa (w. 1963)
Syekh Abdul Jalil yang bergelar Angku Mudo di Bonjol adalah
salah seorang ulama terkemuka, meski beliau jarang disebut oleh
peneliti-peneliti dikemudian hari, namun dimasanya beliau
termasuk tokoh yang berpengaruh.
Beliau pernah mengarungi berbagai tempat untuk menuntut ilmu,
diantaranya Pattani Thailand kepada Syekh Daud al Fatany yang
merupakan ulama besar yang lama berdiam di Mekkah,
pengarang dari kitab Daw`u Siraj fi Qisah Isra’ wal Mi’raj.
Selain di Fatani Syekh Abdul Jalil juga pernah belajar ke Timur
Tengah seperti Mekah, India dan Istanbul Turki. 210 Beliau
merupakan seorang ulama yang ahlih dalam ilmu tauhid dan
falaq, semuanya itu dapat kita lihat pada karya-karya tulisnya.
Pernah terjadi pertemuan besar ulama-ulama besar di Matur,
Agam, maka beliaulah salah seorang ulama yang mempunyai
andil dalam pertemuan tersebut.211
Layaknya seorang ulama yang kondang beliau juga memiliki
banyak murid, beliau se-zaman dengan Syekh Sa’id al Khalidi
Bonjol. Syekh Abdul Jalil juga terkenal dengan kesufiannya
210
Karya pengembaraan beliau tersebut, beliau menguasai
banyak bahasa, disebutkan bahwa beliau menguasai 15 bahasa, terutama
bahasa Arab dan India.
211
Disayangkan, buku otobiografi beliau yang masih dalam
bentuk manuskrip, berikut bundel karya-karyanya, terbakar 2 hari
setelah lebaran ‘Ied, 2011. sehingga sebahagian besar riwayatnya
penulis terima secara lisan dari Bapak Kurni (Bonjol, 3 Oktober 2011)

177
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

meskipun beliau bukan orang tarekat. Hal ini dipertegas dengan


penuturan saksi mata mengenai kisah-kisah kharijul lil ‘adah
(luar akal sehat manusia), misalnya pernah satu kali beliau
memasukkan tangannya kedalam pasir, setelah mengeluarkan
tangannya dari pasir ternyata dalam genggamannya ada emas.
Tercatat beliau mempunyai beberapa karangan yang cukup
potensial dalam bidang keagamaan, kebanyakan karya itu dicetak
pada percetakan Kahamy, Bukittinggi. Diantaranya yang dapat
kita temui ialah

1. Libasul Iman
Kitab ini berbicara tentang masalah fiqih yang terdiri dari 14
fasal, dimulai dengan berbicara tentang air, apa-apa saja macam
nya. Setelah iu berpindah kepada pembicaraan tentang najis,
hadas, berwudhu’, mandi, syarat sebelum masuk shalat beserta
hukumnya. Semua masalah ini dikaitkan dengan air yang menjadi
dasar pembicaraan pada kitab ini. Karya ini dicetak pada Direkri
Kahamy Bukit Tinggi tanpa menyebutkan tahun terbit.

178
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

2. Syamsul Bayan
Kitab ini berbicara mengenai kajian Tauhid, mencakup sifat dua
puluh berikut akidah keimanan lainnya. Menarik dari kitab ini
bahwa pada bagian-bagian tertentu diberi penjelasan yang
mendalam, sehingga jadilah karya ini menjadi kajian yang padat
dalam berbicara Tauhid, misalnya mengenai permasalah wahdatul
wujud yang kontroversial tersebut, diberinya pandangan yang
cukup tajam. Karya ini dicetak pada percetakan Kahamy
Bukittinggi tanpa menyertakan tahun.

179
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

3. Sirajul Iman: Membicarakan hokum Islam dari pada rukun


syarat sah dan batal halal dan haram dan lain-lain
Risalah ini secara spesifik berbicara mengenai hukum-hukum
yang wajib diketahui mukallaf, dimulai dengan pengetahuan dasar
mengenai syahadat, kemudian masalah bersuci, shalat hingga
perkara terakhir dari rukun Islam, yaitu haji.
Kitab ini dicetak pada percetakan Kahamy, Bukittinggi, pada
tahun 1373 H.

180
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Selain tiga risalah ini, tercatat 7 karya lain yang belum


diidentifikasi pada buku ini, diantaranya:
1. Kisah Nabi Yusuf, 2 jilid tebal, masih dalam bentuk
manuskrip.
2. Al-Manaq
3. Beberapa karya mengenai Falaq, dan lainnya.

181
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

(2) Syekh H. Djalaluddin (1882-1976)


Syekh H. Jalaluddin merupakan salah seorang yang tenar pula.
Meski tidak seperti ulama-ulama dimasanya yang belajar agama
lewat kitab-kitab, karirnya dimulai segabai guru Sekolah Rakyat
(SR), bergabung dengan Perti, dan dapat mendirikan PPTI
(Persatuan Pembela Tarikat Islam), sebuah organisasi Kaum
Tarikat yang cukup terkenal dan mempunyai cabang yang banyak
di Indonesia pada masanya.
H. Djalaluddin lahir di Koto Baru Maninjau pada tahun 1882.
Setelah tamat dari sekolah Gubernemen di desanya ia kemudian
memasuki kursus guru, sehingga ia dapat dia dapat diangkat
sebagai guru Sekolah Rakyat. Mula-mula ia berdinas di Pariaman,
kemudian pindah ke Kamang, Bukittinggi. 212 Di Bukittinggi,
beliau merapatkan diri dengan Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Perti,
dan sempat menjadi kaki tangan Buya H. Sirajuddin Abbas dalam
mengelola Majalah al-Mizan dan Majalah Soearti. Namun setelah
itu, tanpa alasan yang jelas, beliau tampak menjauhkan diri dari
Perti. Beberapa saat kemudian beliau mendirikan PPTI (Persatuan
Pembela Tarikat Islam), yang pada mulanya bernama PTIM
(Persatuan Tarikat Indonesia Malaya) dan PPTI (Partai Politik
Tarikat Islam).213
Dalam riwayat yang ditulis oleh H. Jalaluddin sendiri yang
dikemukakannya pada Majalah Sinar keemasan (1964),
disebutkannya bahwa kecendrungan beliau kepada Tarikat
merupakan warisan ayah beliau, Syekh Imam Mentari, yang
konon kabarnya dalam pengakuan beliau, jasadnya raib ketika
bersuluk di Kumpulan. Mula-mula H. Jalaluddin belajar Tarikat
Naqsyabandiyah kepada Syekh Abdullah Koto Baru Maninjau
diusia belasan tahun. Kemudian belajar kepada guru-guru lain
sehingga beberapa Tarikat telah dimasukinya, diantaranya Tarikat
Anfasiyah dan Qadariyah wa Naqsyabandiyah. Untuk Tarikat
yang terakhir ini langsung diambilnya dari Syekh H. Shahibul
Wafa Tajul Arifin di Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat.

212
M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 329
213
Ibid., hal. 369

182
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Terakhir, menurut karangannya, beliau memperoleh ijazah dari


Syekh Ali Ridha (pengganti Syekh Sulaiman Zuhdi) di Jabal Abi
Qubais, Mekah.214
H. Jalaluddin memang mempunyai jiwa kepemimpinan. Selama
puluhan tahun beliau memimpin PPTI, dari mula berdirinya
sampai organisasi ini menyebar luas di Sumatera Tengah saja,
bahkan sampai ke beberapa daerah di luar Sumatera. Dalam
menyampaikan aspirasi politiknya, PPTI juga merekomendasikan
diri menjadi salah satu partai yang cukup diperhitungkan, dengan
pemerolehan suara yang lumayan untuk ukurannya, sehingga
banyak pimpinannya dalam duduk dalam DPR RI. Kecuali itu, H.
Jalaluddin memang tampak suka publisitas. Dalam konferensi
yang diadakan beberapa kali itu, beliau tampak suka
menghadiahkankan gelar “DR”. Bukan dalam artian sebenarnya,
DR disini kepanjangan dari Doktor Rohaniyah, yaitu mursyid
Tarikat. H. Jalaluddin sendiri telah diberi gelar “DR” Rohani
tersebut tahun 1953 oleh anggota PPTI sendiri, dan yang
mempunyai gagasan untuk itu ialah Sekjen PPTI. Maka
lengkaplah nama beliau Syekh DR. H. Jalaluddin. Terakhir
setelah wafatnya di tahun 1976, para pengikutnya
memberikannya gelar Profesor, dengan pertimbangan
karangannya yang banyak. 215
Dalam bidang tulis menulis, H. Jalaluddin memang begitu piawai
menuangkan pikirannya dalam kata-kata, sehingga beliau begitu
produktif mengarang. Tercatat lebih dari 100 jilid yang telah
ditulisnya. Namun beliau nampak serampang menerangkan kaji-
kaji Tarikat. Banyak ulama-ulama, tak terkecuali dari kalangan
Tarikat sendiri, menilai sebahagian buku tersebut sebagai
karangan yang rada menyesatkan, terutama yang berkaitan
dengan Tarikat Naqsyabandiyah. Ulama-ulama tersebut
menyebutkan ada terselip kesalahan-kesalahan fatal dalamnya.
Sehingga buku-buku Tarikat H. Jalaluddin menuai kecaman. Hal

214
H. Jalaluddin, Majalah Sinar Keemasan no. 73-74 (th. 1964) hal.
30-31
215
M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 373-374

183
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

ini membuat Perti, sebagai organisasi keagamaan di Minangkabau


kala itu mengadakan konferensi Tarikat Naqsyabandiyah di
Bukittinggi, pada tahun 1954. dalam catatannya terdapat 280
Syekh dan Ulama Tarikat yang hadir di kesempatan itu.
Konferensi itu memutuskan bahwa buku-buku H. Jalaluddin yang
bertali dengan Tarikat dilarang untuk dibaca orang awam.
Tindakan korektif ini wajar dilakukan, sebab H. Jalaluddin
diketahui tidak pernah belajar agama secara intensif layaknya
ulama-ulama, dan beliau juga tidak mumpuni dalam ilmu bahasa
Arab dan kitab.
Meski menuai kritikan, yang pasti buku-buku H. Jalaluddin telah
memberikan pengaruh yang tidak sedikit dikalangan masyarakat,
tampak H. Jalaluddin cukup berhasil membentengi kaum Tarikat
lewat karangan-karangannya itu.
Diantara karangannya itu ialah:216
1) Djalan Mentjari Allah
2) Djidwal (randji) djalan mentjari Allah
3) Do’a bahasa Indonesia
4) Himpunan Do’a Rasulullah
5) Pokok keamanan
6) Wereldvrede (Perdamaian Dunia Internasional)
7) Islam dengan Wetwnschap (6 jilid)
8) Sjarak Mendaki, Adat Menurun
9) Adat bersendi Sjarak, Sjarak bersendi Kitabullah
10) Berita Adat Minangkabau
11) Pokok kebahagiaan dunia akhirat
12) Munadjatullah
13) Pertahanan Tharikat Naqjabandijah (4 jilid)
14) Rahasia Mutiara Tharikat Naqsjabandijah (6 jilid)
15) Mas’alah Seribu (5 jilid)
16) Pembuka Rahasia Allah
17) Intisari Tarikat Sufijah
18) Majalah Tiga Serangkai

216
Majalah Sinar Keemasan (th. 1964), hal. 34-35

184
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Diantara karangan-karangan beliau itu, ada sebanyak 2 judul yang


masih tersebar dan tetap digemari hingga saat ini, yaitu Buku
Seribu Satu Wasiat Terakhir Syekh Jalaluddin dan Sinar
Keemasan (2 jilid). 2 buku ini terus dicetak ulang sampai saat ini.
Terakhir salah satu percetakan di Surabaya, dicetak dengan lay
out masa kini. Hasilnya cukup laku dipasaran.

Foto: Sampul Kitab Majalah Tiga Serangkai


dan Lima Serangkai (1964)

(2) Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (1893-1959)217


Beliau adalah murid kesayangan dari DR.H. Abdul Karim
Amrullah. Ketika Inyiak De-er tersebut tidak lagi aktif di
Thawalib Padang Panjang, maka beliaulah yang kemudian
memegang kendali Thawalib sebagai direktur. Sangat besar

217
Riwayat hidupnya dapat dilihat dalam Tim Islamic Centre, Riwayat
20…, op. cit hal. 199-207

185
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

dedikasi beliau dalam pendidikan dan karang-mengarang.218 Satu


keistimewaan beliau, meski tidak pernah belajar di Mekah, beliau
mampu menulis karya-karya dalam bahasa Arab yang mudah
dipahami. Hal ini tentunya karena ketekunan belajar beliau.
Beberapa karangan beliau yang dikenal dan yang menjadi buku
acuan di pesantren-pesantren ala modern ialah:
1) Mabadil Awwaliyah, as-Sulam dan al-Bayan (3 seri ini dalam
Ushul Fiqih)
2) Al-Mu’inul Mubin (5 jilid, termasuk bagian fara’idh)
3) Al-Hidayah ila ma yanbaghi minaz ziyadah ‘alal Bidayah
4) Tahzibul Akhlaq (2 jilid)
Meski tidak terlibat dalam pergolakan agama awal abad XX,
namun beberapa karya beliau tampak mencerminkan faham
keagamaan, sebagai gurunya, Inyiak Rasul. Dan pemikiran beliau
itu kemudian dapat tersebar, tanpa bersitegang urat leher, lewat
karya-karya beliau yang harum dalam madrasah-madrasah swasta
dan negeri. Diantaranya, dalam kitab Tahzibul Akhlaq tercermin
sikap beliau terhadap Tasawuf dan prakteknya. Dalam kitab ini
beliau menulis satu sub bahasan dengan tajuk Ushul Dhilalah min
Bab Tasawwuf (pokok-pokok kesesatan Tasawwuf), dimana
beliau menukil beberapa perkataan kaum Sufi dan diberi
komentar dengan mengutip perkataan Rasyid Ridha.219 Dalam
tulisan beliau mengenai Akhlaq ini tampak beliau begitu
menonjolkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauzi, beliau
menyebutkan bahwa keduanya adalah ulama-ulama yang rasikh
dan mempunyai ilmu yang multidisipliner. Keduanyalah, lanjut
Tuanku Mudo Abdul Hamid, yang menjadi Ahlul Haq, dalam hal
ini telah membuka kedok Tasawuf yang sesat-sesat itu.220

218
Karangan-karangan beliau yang umumnya didedikasikan sebagai
buku pelajaran Madrasah itu mendapat apresiasi baik dari Faqih Usman,
Menteri Agama masa itu
219
Lihat Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Tahzibul Akhlaq
(Bukittinggi: Nusantara, 1955) jilid I, hal. 21-24
220
Ibid., hal. 21

186
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab al-Mu’inul Mubin (juz IV)

(3) Zainuddin Labai el-Yunusi (1890-1926)


Ustazd Zainuddin Labai ialah salah seorang ulama dari kalangan
muda yang terkemuka. Beliau mempunyai pengaruh yang cukup
kuat dalam memperjuangankan agama melalui dunia pendidikan.
Zainuddin Labai lahir pada tahun 1890. Ayah beliau adalah salah
seorang ulama pula, yaitu Syekh Muhammad Yunus Pandai
Sikek, ulama Tua yang memegang Tarikat Naqsyabandiyah.
Diusia belia beliau masuk Gouvernement, disekolah ini beliau
dikenal sebagai anak yang jenius. Setelah itu beliau melanjutkan
belajar agama kepada ulama-ulama terkemuka di zamannya,
seperti Syekh Abbas Abdullah di Padang Japang dan Syekh DR.
Abdul Karim Amarullah. Setelah belajar agama cukup lama,
beliau pulang ke kampung halamannya, dan memulai langkah

187
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

perjuangan. Diantara bentuk perjuangan beliau itu ialah


mendirikan sebuah sekolah agama yang cukup bergengsi di
eranya, yaitu Diniyyah School.
Dalam dunia tulis menulis, beliau juga salah satu jagonya. Ketika
percetakan al-Moenir di Padang terbakar, yang membuat tamat
riwayat Majalah al-Moenir, beliau mengadakan usaha untuk
menerbitkan kembali majalah yang sama, dengan judul “al-
Moenir al-Manar” di Padang Panjang, sebagai penyambung ide
kaum Muda. Disamping lewat majalah, beliau juga dikenal
produktif mengarang buku. Diantara buku-buku beliau itu ialah:
1) Durusul Fiqih (dalam ilmu Fiqih)
2) Adabul Fatah (adab perempuan)
3) Al-Aqa’idud Diniyyah (Tauhid sifat dua puluh)

Foto: Sampul Risalah al-Aqa’idud Diniyyah (1953)

188
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

(4) Buya H. Sirajuddin Abbas (1905-1980)


Beliau merupakan pemimpin Perti yang terkenal, Ulama Politisi
dan sekaligus pengarang yang masyhur. Beliau merupakan putra
seorang ulama Tua terkemuka pula, Syekh Abbas Qadhi Ladang
Laweh. Buya Siraj memulai karir keulamaannya dalam organisasi
Perti setelah kepulangannya dari Mekah, belajar agama selama 6
tahun.221
Sangat besar dedikasi beliau terhadap Perti tersebut, disamping
Buya H. Rusli, dalam hal mengembangkan sekolah-sekolah
Agama Tarbiyah Islamiyah hingga pengembangan Perti sebagai
Partai Politik. Meski sibuk dengan urusan organisasi, beliau tidak
meninggalkan dunia tulis menulis. Ketika redaksi al-Mizan
pindah dari Maninjau ke Fort de Kock, beliaulah yang menjadi
ketua redaksinya, berikut dengan anggota H. Jalaluddin, H. Hasan
Basri dan H. Yunus Yahya. Dan artikel-artikel beliau tidak
sempat absen dalam majalah ini.

Diantara karangan-karangan beliau ialah:


221
Baca KH. Sirajuddin Abbas, Thabaqat…, op. cit., hal. 491-496;
Tim Islamic Centre, Riwayat Hidup…, op. cit., hal. 155-164

189
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

1) Sirajul Munir (2 jilid)


2) Bidayatul Balaghah
3) Khulasah Tareks Islami (populer sebagai buku pegangan
Madrasah)
4) Ilmul Insya’
5) Sirajul Bayan fi Fihrasati Ayatil Qur’an
6) Ilmu Nafs
Kitab-kitab no 1 sampai 6 ditulis dari tahun 1933-1937
7) I’tiqat Ahlussunnah wal Jama’ah
8) Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i
9) 40 Masalah Agama (4 jilid)
Buku no. 7-9 ditulis di era 60-an dan 70-an, dan menjadi
buku populer hingga saat ini.
10) Tabaqatus Syafi’iyyah
Sangat besar pengaruh karangan-karangan Buya Siraj ini,
terutama untuk membentengi Ahlussunnah dan Mazhab Syafi’i.
Beberapa karya ini bahkan telah dicetak lebih 20 kali, beberapa
diantaranya dicetak diluar negeri. Dan hingga kini tetap menjadi
buku pegangan orang-orang tua, dan tetap digemari.

190
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Sirajul Munir oleh Buya Sirajuddin Abbas

(5) Buya Hamka/ Prof. Dr.H. Abdul Malik Karim Amarullah


(1908-1981)

Beliau dikenal sebagai salah seorang ulama besar nusantara,


seorang yang multidisipliner. Selain sebagai ulama yang
mumpuni dalam agama, beliau juga seorang sastrawan,
budayawan, politikus dan pejuang kemerdekaan. Karena
dedikasinya itulah beliau menerima gelar Doktor Honaris Causa.
Tercatat sebanyak 2 kali beliau beroleh penghargaan itu, satu dari
al-Azhar Mesir, satu lagi dari Malaysia. Beliau lahir di Maninjau,
dari seorang ulama yang besar pula, DR. Abdul Karim
Amarullah. Pendidikan agamanya beliau jalani di Thawalib
Padang Panjang dan Parabek.
Beliau merupakan tokoh besar yang bukan hanya berjuangan
dengan lisan belaka, namun juga seorang yang mampu
menuangkan ide fikiran dalam tulisan-tulisannya yang bernilai
sastra. Bukan hanya sebagai pengarang buku, beliau juga seorang
pers sejati. Bertahun-tahun lamanya, sebelum kemerdekaan atau
sesudahnya, beliau menjadi pimpinan beberapa Majalah.
Tercatat lebih dari 100 karya yang beliau hasilnya. Diantaranya
merupakan karya monumental yang masih dicetak yang digemari.
Diantara karya-karya beliau yang terpenting ialah Tafsir al-Azhar
(30 juz), Tasawuf Modern, Sejarah Umat Islam, Falsafah Hidup,
Lembaga Budi, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, Ayahku
dan lainnya. Dari beberapa karyanya itu, hanya sedikit kita
ketahui yang bersinggungan dengan dinamika intelektual di
Minangkabau awal abad XX. Tidak seperti ayahnya yang gigih
dalam menentang faham lama, beliau, meski termasuk dari
golongan Muda dan menjadi pemimpinnya, tidak seeksis orang
tuanya ini.
Salah satu karya yang Hamka yang berkaitan dengan pergolakan
kaum Tua itu ialah berupa tegurannya terhadap Mufti Johor,
dengan judul Teguran Suci dan Jujur terhadap Mufti Johor

191
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Sayyid Alwi bin Thahir al-Hadad (terbitan Muhammadiyah,


Singapura, tahun 1958). Mufti Johor termasuk ulama yang keras
terhadap pembaharuan kaum muda, sehingga beliau banyak
menulis, diantaranya dikoran-koran, akan kesalahan ulama Muda.
Oleh karena Hamka termasuk kelompok yang ditulis Sayyid
Alwi, pun beliau juga anak ulama Pembaharu di Minangkabau,
beliau lalu terjung untuk membahas berita-berita yang ditulis di
koran-koran di tanah Malaya itu. Maka beliau tulislah Teguran
Suci, sebagai pembela ulama muda, dan menyatakan
keserampangan Mufti Johor tersebut.

Foto: Sampul Teguran Suci oleh Hamka (1958)

(6) Buya H. Mansur Dt. Nagari Basa Kamang (1908-1997)


Buya Mansur adalah salah seorang alim penyambung estafet
ulama-ulama Tua di Minangkabau. Beliau dilahirkan di Kamang
Mudiak, Agam, pada tahun 1908. Sebelum menginjak baligh

192
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

beliau mula-mula sekolah di Gubernement, kemudian belajar


agama ke berbagai surau di kampung halamannya. Setelah itu
beliau belajar di Jaho, kehadapan Syekh Muhammad Jamil Jaho.
Pada tahun 1926 beliau memperoleh ijazah dari Jaho.
Beberapa waktu setelah menamatkan pelajaran di Jaho, Buya
Mansur tinggal dan memulai karir di Sumani (Solok) sebagai
pimpinan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di negeri itu. Tak lama
berselang, beliau pulang ke kampung halamannya, Pakan
Sinayan, dan mendirikan Madarasah Tarbiyah Islamiyah, tepat
pada tahun 1930. Namun beliau masih ingin menimba ilmu,
tempat yang beliau kunjungi selanjutnya ialah Mekah. Sambil
melaksanakan rukun Islam ke lima, beliau juga berkesempatan
belajar kepada ulama-ulama kenamaan di Tanah Suci, diantara
Syekh Ali al-Maliki, Syekh Sain Amin dan Syekh Hasan Yamani.
Setelah agak lama menimba ilmu di Mekah, beliau kembali ke
kampung halamannya dan memapankan karirnya sebagai ulama.
222

Disamping memimpin Madrasah dan khalwat dalam Tarikat


Naqsyabandiyah di kampung halamannya, buya Mansur juga
aktif memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi, diantaranya
Kuliyyah Syar’iyah (Fakultas Syari’ah), APDN dan Akabah
Bukittinggi. Beliau juga pernah menjadi dekan Fakultas Syari’ah
Bukittinggi, dan termasuk salah satu pendiri IAIN Imam Bonjol.
Ketika IAIN dipimpin oleh presidium sesudah Prof. Mahmud
Yunus, maka ketuanya iala Buya Mansur sendiri. Dalam bidang
organisasi, beliau termasuk pimpinan dalam wadah Perti.
Buya Mansur wafat pada tahun 1997, setelah mengabdi puluhan
tahun lamanya dalam perjuangan agama dan pendidikan.
Disamping mewariskan MTI Pakan Sinayan, Buya Mansur juga
meninggalkan beberapa karya tulis. Diantaranya sudah dicetak
beberapa kali dan menjadi pegangan mahasiswa-mahasiswa
ketika itu. Diantara karangan-karangan beliau ialah:

222
Lihat Tim Islamic Centre, Riwayat Hidup Ulama, …op. cit., hal.
199-201

193
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

1) Kitab al-Faraidh
Risalah ini merupakan uraian ringkas mengenai tata cara
pembagian harta warisan. Tujuan penulisan karya ini tampak
dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa Syari’ah
terhadap buku pedoman dalam pelajaran Faraidh. Kitab ini
disebarkan dalam bentuk stensil dilingkungan Fakultas
Syari’ah Bukittinggi.
2) Hidayatut Thalibin fi Bayan Ahadist Sayyidil Mursalin
Kitab ini merupakan himpunan hadist-hadist pilihan dalam
berbagai bidang, serta dilengkapi dengan penjelasan ringkas
terhadap hadis tersebut. Diantara hadist-hadist yang dihimpun
dalam karya ini ialah mengenai ilmu dan keutamaannya,
hadist tentang permulaan wahyu turun kepada Nabi
Muhammad, hadist keutamaan Iman dan Islam dan lainnya.
Kitab ini dikemudian mendapat apresiasi dari Syekh
Sulaiman ar-Rasuli dalam kata pengantarnya.

194
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul Kitab Hidayatut Thalibin (1938)

Karangan-karangan Buya Mansur lainnya ialah:


1) Bidayatul Ushul
2) Mantiq
3) Mishbahus Zhalam fi Arkanil Islam
4) Tazkiratul Qulub
5) al-Akhlaq wat Tasawwuf
6) PedomanPuasa
7) Islamologi

(7) Syekh H. Yunus Yahya Magek (1910-2001)


Beliau ialah putra salah seorang ulama besar, yaitu Syekh Yahya
al-Khalidi Magek (w. 1940). Beliau lahir pada tahun 1910 di
Koto Marapak, Magek. Diusia masih belia, beliau belajar al-
Qur’an kepada ayahnya sendiri dan Malin Marajo (Inyiak Lukok).
Setelah khatam al-Qur’ab beliau mendalami agama lewat kitab-
kitab kepada ulama-ulama terkemuka masanya, disamping
ayahnya sendiri Syekh Yahya, yaitu Syekh Mahmud Abdullah
Tarantang, Syekh Muhammad Rasyid Thaher Parambahan, Syekh
Ibrahim Tiakar, Syekh Sulaiman ar-Rasuli dan Tuanku Mudo
Parak Maru Kapau. Pada tahun 1926 beliau berangkat ke Mekah
dan sempat belajar beberapa waktu kepada Syekh Makhudum
Solok disana. Pada tahun 1930 kembali ke kampung halaman dan
memperoleh ijazah dari Syekh Sulaiman ar-Rasuli.223
Adapun aktifitas beliau selanjutnya, disamping menjadi pengasuh
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Magek, beliau juga pernah menjadi
Pimpinan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Kajai Talu (Pasaman)
dan guru pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung. Dalam
perjuangan, beliau juga sempat menjadi anggota perbekalan
Lasykar Muslimin Indonesia (Lasymi) dan Ketua Markas Perang
Sabil di Kenagarian Magek. Pada tahun 1955 beliau pernah
223
Lihat Syekh H. Yunus Yahya Magek, Riwayat Hidup Ulama
Syafi’I (Stensil, Magek, 1976) hal. 50-51

195
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

menjadi anggota rombongan presiden RI menunaikan haji ke


Mekah, melalui Singapura, Bangkok, Burma, Newdelhi, Karaci,
Baghdad dan Mesir. Adapun jabatan sosial yang pernah
dipangkunya ialah sebagai pegawai Kantor Urusan Agama
kabupaten Agam.
Syekh H. Yunus Yahya termasuk ulama yang produktif menulis.
Dalam rentang usia yang cukup panjang itu beliau telah
menghasilkan puluhan karya. Namun disayangkan karya-karya itu
banyak yang belum dipublikasikan untuk umum. Sebahagiannya
diedarkan secara stensil pada kalangan terbatas. Diantara karya-
karya beliau ialah:
1. Sejarah Nuzul al-Qur’an
2. Riwayat Imam Besar asy-Syafi’i
3. Masalah Qunut Subuh
4. Alauradil wa Riddah
5. Al-Asma’ al-Husna
6. Pedoman untuk beribadah
7. An-Nurul Wahhaj fi Isra’ wal Mi’raj
8. Tafsir Juz Amma
9. Tafsir Surat al-Fatihah
10. Terjemahan al-Barzanji
11. Masalah Rakaat Sembahyang Tarawih
12. Riwayat Hidup Ulama Syafi’i

196
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Bagian III
Dinamika Intelektual Ulama Minangkabau
dalam Karya-karya awal abad XX

Karya-karya yang lahir dari dinamika keagamaan diawal


abad XX membuktikan betapa suatu pergolakan intelektual
memberikan motivasi kepada para ulama untuk mengkaji hujjah
masing-masing, hingga mengarang tulisan sebagai penjelas isu-
isu yang ada kepada masyarakat luas. Selain itu, sebagai
dijelaskan didepan, adapula karya-karya itu murni sebagai risalah-
risalah pengajaran bagi para murid, demi mengokohkan keilmuan
yang telah diwarisi oleh generasi sebelumnya.
Disini kita perlu memberi arahan perihal masalah-
masalah apa saja yang menjadi topik perbincangan pada masa itu,
berikut karya-karya yang terlibat dalamnya. Sebagaimana bidang
keilmuan yang menjadi pokok dalam islam, maka klasifikasi
dinamika intelektual dalam karya-karya tersebut dikelompokkan
ke dalam 3 macam vak keilmuan, yaitu Tarikat (Tasawwuf),
Tauhid (Aqidah) dan Fiqih (Furu’). Dari tiga kelompok ini akan
terbagi lagi ke dalam beberapa poin persoalan. Selain memetakan
karya-karya dalam setiap bidang tersebut, kita akan
melengkapinya pula dengan daftar kepustakaan lain yang menjadi
literatur masing-masing kelompok.

1. Tarikat (Tasawuf)
Tarikat ialah masalah pertama yang diperbincangkan dimasa ini.
Perdebatan mengenai masalah ini dimulai dari keraguan Ulama-
ulama Muda terhadap keabsahan Tarikat. Keraguan yang timbul
sepertinya kuat dipengaruhi oleh Majalah-majalah kaum pembaru
di Mesir, seperti ‘Urwatul Wustqa dan al-Manar, dimana kedua

193
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

majalah ini menjadi pedoman pembaruan, termasuk kasus di


Minangkabau sendiri.
Tarikat sebelum awal abad XX merupakan satu pengamalan
keagamaan yang penting, yang mewarnai kehidupan sosial
masyarakat kala itu. Sebagaimana diketahui bahwa Islam masuk
ke nusantara diwarnai oleh unsur-unsur Tasawwuf yang cukup
kental, maka keberadaan Tarikat yang merupakan satu kearifan
Tasawuf telah berusia lama sebagai usia Tasawuf itu sendiri, tapi
soal penamaan memang datang kemudian.1 Kemudian, para ahli
nampak berbeda mengenai Tarikat apa yang mula-mula dianut
oleh masyarakat Minangkabau. Sebahagian mengungkapkan
bahwa Tarikat Syathariyah-lah yang mula-mula menancapkan
akarnya di Minangkabau, hal ini dibuktikan dengan eksis-nya
surau Ulakan yang dipimpin oleh ulama besar Syekh
Burhanuddin Ulakan sebagai sentra jaringan ulama-ulama pada
Minangkabau pada masa itu.2 Sedangkan Tarikat
Naqsyabandiyah, menurut keterangannya, baru ada di
Minangkabau ketika Syekh Isma’il Simabur pulang dari Mekah,
yaitu pada abad ke XIX.3 Namun keterangan ini nampaknya perlu
ditinjau kembali, karena pendapat ini telah menafikan Syekh-
syekh Tarikat Naqsyabandiyah yang telah menancapkan pengaruh
di pedalaman Minangkabau sebelum Syekh Isma’il Simabur,
seperti Syekh Muhammad Thahir Barulak (w. 1851)4 yang begitu
terkenal, Syekh Muhammad Sa’id Padang Bubus Bonjol (guru

1
Istilah Tasawuf sendiri muncul pada abad ke-II Hijriyah, lihat Ibnu
Khaldun, Syifa’us Sa’il wa Tahzibul Masa’il (Beirut: Dar Fikr al-Mu’ashir,
1996) hal. 44-dst; menganai lahirnya nama-nama Tarikat baru lahir sekitar abad
ke-7 hijriyah, lihat M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 82
2
Lihat misalnya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, Kitab
Menerangkan Perkembangan agama Islam semenjak dahulu dari Syekh
Burhanuddin sampai ke zaman kita sekarang (manuskrip) terutama hal. 4-9;
lihat pula Oman Fathurrahman, Tarekat Syathariyah di Minangkabau: Teks dan
Konteks (Jakarta: Prenada Media Group, 2008) hal. 43
3
BJO. Schrieke, op. cit., hal, 28; Christine Dobbin, op. cit., hal. 196
4
Lihat H. Abdul Wahid Ketinggian, Nazham Ziarah Kubur
(manuskrip)

194
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Syekh Ibrahim Kumpulan)5, Syekh Muhammad Shaleh


Silungkang, Syekh Jalaluddin Cangkiang, Syekh Abdurrahman
Batuhampar dan lainnya. 6 Dan pendapat yang menyatakan bahwa
Tarikat Syathariyyah yang mula dikenal di Minangkabau perlu
didiskusikan kembali, mengingat eksistensi Surau Taram sebagai
sentra Tarikat Naqsyabandiyah, yang kabarnya telah ada sebelum
kepulangan Syekh Burhanuddin. Arza-pun menyebutkan seorang
tokoh Naqsyabandiyah asal Minangkabau, Jamaluddin (abad ke-
XVII), yang mula belajar di Pasai, lalu berlayar ke Baitul Faqih,
Aden, Haramain, Mesir dan India.7
Perkembangan pergolakan intelektual di awal abad XX mula
muncul di daerah pedalaman, hal ini tampaknya diakibatkan oleh
kultur masyarakatnya yang lebih terbuka terhadap pembaruan,
sifat mereka yang lebih kosmopolitan, tentunya bersinggungan
dengan Tarikat Naqsyabandiyah yang begitu dominan di daerah
ini.
Pada abad XIX Minangkabau adalah sentra Tarikat yang begitu
padat. Laporan-laporan kolonial pada masa itu menyebutkan
bahwa sebahagian besar penduduk di daerah ini merupakan para
menganut Tarikat Naqsyabandiyah. Surau-surau yang menjadi
sentra keilmuan Islam di kawasan pedalaman ini tentu
beraflisiasi dengan Tarikat. Kelancaran transportasi antara
Minang dengan Mekah, karena mulainya peroperasian kapal uap,
memberikan dorongan kepada masyarakat Minangkabau untuk
naik haji dan belajar di tanah suci. Di Mekah, selain menunaikan
ibadah dan belajar agama kepada ulama-ulama terkemuka,
mereka juga bergabung dengan zawiyah-zawiyah sufi yang
bertebaran di Tanah Suci, salah satunya bergabung dengan
Tarikat Naqsyabandiyah, di Jabal Qubais misalnya. Setelah
mereka pulang, disamping membawa gelar haji dan ilmu
5
Konon kabarnya beliau wafat dalam usia yang sangat tua, ada yang
meriwayatkan lebih dari 200 tahun, wallahu a’lam
6
Baca misalnya Novelia Musda, The Tariqa Naqshabandiyyya-
khalidiyya in Minangkabau in The second Part of the nineteenth century (Thesis
University Leiden, 2010) hal. 40-43
7
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama…, op. cit., hal. 369-370

195
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

pengetahuan agama yang cukup, mereka juga membawa ijazah


dalam Tarikat Naqsyabandiyah, yang menjadi izin tertulis dari
ulama Mekah bahwa seorang itu telah dibolehkan untuk mengajar
Tarikat Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Maka
berdirilah surau-surau Naqsyabandiyah dengan pengikut-pengikut
yang lumayan banyak. Diantara guru-guru Tarikat
Naqsyabandiyah di Mekah kala itu ialah Syekh Sulaiman Zuhdi.
Adanya penambahan nisbah “al-Khalidiyah” mengiringi
“Naqsyabandiyah” merupakan nama yang melekat setelah masa
silsilah ke-30 dari Rasulullah, yaitu dimasa Maulana Syekh
Khalid Kurdi. Periodesasinya ialah:
1. Dimasa Sayyidina Abu Bakar Shidiq ra. Hingga masa Syaikh
Taifuriyah dinamai dengan Shidiqiyah
2. Dari masa Syekh Taifuriyah hingga masa Khawajah Syekh
Abdul Khaliq Fajduani dinamai dengan Taifuriyyah
3. Periode Syekh Abdul Khaliq hingga Syekh Bahauddin al-
Bukhari dinamai dengan Khawajakaniyah
4. Masa Syekh Bahauddin al-Bukhari hingga Syekh Ubaidullah
Ahrar dinamai dengan Naqsyabandiyah
5. Masa Syekh Ubaidullah hingga Imam Robbani dinamai
dengan Ahrariyyah
6. Darimasa Imam Robbani hingga Maulana Syekh Khalid
dinamai dengan Mujaddidiyah
7. Dimasa Maulana Syekh Khalid hingga saat sekarang ini
dinamai dengan al-Khalidiyah 8

8
Lihat Syekh Muhammad Amin Kurdi al-Irbili an-Naqsyabandi,
Tanwirul Qulub fi Muamalati Alamal Ghuyub (Singapura: al-Haramain, t. th)
hal. 501-502; Syekh Muhammad Amin Kurdi al-Irbili an-Naqsyabandi, al-
Mawahib as-Sarmadiyah fi Ajla’ as-Saadat an-naqsyabandiyah (Damsyiq: Dar
Hira’, 1996); Syekh Abdul Majid bin Muhammad al-Khani, al-Hada’iq al-
Wardiyyah fi Haqa’iq Ajla’ an-Naqsyabandiyah (Arbelia: Mathba’ah Waziratul
Tarbiyah, 2002); mengenai Maulana Syekh Khalid Kurdi lihat Nazhar Abazhah,
Syekh Khalid an-Naqsyabandi al-‘Alimu al-Mujaddid: Hayatuhu wa Ahammu
Muallafihi (Libanon: Dar Fikr al-Mu’ashir, 1994); jangan lupa lihat Syekh
Abdul Majid al-Khani, as-Sa’adatul Abdiyah fima Ja’a bihin Naqsyabandiyah
(Damsyiq: Maktabah Ishlah, t. th) hal. 26-27

196
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Sejak masa Maulana Syekh Khalid inilah dinamai dengan al-


Khalidiyah, lengkapnya dibaca “Tarikat Naqsyabandiyah al-
Ahrariyah al-Mujaddidiyah al-Khalidiyah”, lebih lazim disebut
dengan “Tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah”. Dan inilah yang
berkembang pesat di Bumi nan Permai ini, Minangkabau.
Munculnya pergolakan agama pada awal abad XX telah menyulut
perdebatan panjang. Lahirnya karya-karya yang membantah
keabsahan Tarikat Naqsyabandiyah dari kaum muda, membuat
kaum Tua yang teguh memegang Tarikat perlu mendirikan
pertahanan untuk menolak segala sangkaan itu, diantaranya lewat
tulisan, berikut lewat debat-debat terbuka dan tabligh.9 Mengenai
Tarikat ini, ada beberapa poin terpenting yang menjadi
perdebatan antara kaum Tua dan Kaum Muda, Yaitu:
1) Rabithah
Rabithah adalah satu amalan yang menjadi ciri khas dalam
Tarikat Naqsyabandiyah. Dalam literatur-literatur
Naqsyabandiyah disebutkan bahwa hakikat Rabithah ialah:



9
Diantara perdebatan yang dapat dicatat yaitu (1) Syekh Muhammad
Sa’ad Mungka yang mempertahankan Tarikat Naqsyabandiyah dalam pertemuan
besar Ulama-ulama Minangkabau di Mesjid Bonjol Alam (Ampat Angkek) di
tahun 1334 H, yang ketika itu dihadiri juga oleh Dr. Abdul Karim Amarullah
dan Syekh Jamil Jambek; (2) kisah perdebatan Syekh Sulaiman ar-Rasuli,
pemimpin Kaum Tua, dengan Syekh Muhammad Thahir al-Azhari tentang
masalah Rabithah dalam Tarekat Naqsyabandiyah pada tahun 1349 H. Dimana
ketika itu Syekh Sulaiman ar-Rasuli sebagai Pembela Tarekat bermuzakarah
dengan Syekh Muhammad Thahir al-Azhari sebagai penentangnya Banyak
orang yang hadir menyangka bahwa Syekh Sulaiman ar-Rasuli akan mengikut
pendapat Syekh Muhammad Thahir. Tapi kenyataannya setelah berlangsung
muzakarah, Syekh Muhammad Thahir tidak mampu membatalkan dalil-dalil
Syekh Sulaiman ar-Rasuli walaupun beliau telah berganti-ganti dengan teman-
temannya untuk mendebat Syekh Sulaiman ar-Rasuli, sedang Syekh Sulaiman
ar-Rasuli sendiri, tidak dibantu oleh siapa-siapa. baca H. Yunus Yahya dalam
Tablighul Amanah. Hal. 42-43; Muhammad Rusli Kapau, Khulasah Tarikh
Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Hal. 71

197
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

“Rabithah itu ialah ibarat daripada menggantungkan hati


dengan sesuatu atas wajah jalan kasih”. 10 Maksudnya yaitu
menggantungkan hati kepada guru mursyid dengan kasih
sayang.
Ada beberapa kaifiyyat dalam melaksanakan rabithah,
menurut tingkatan masing-masingnya, mulai dari murid yang
mubtadi’ (permulaan), sampai murid yang sudah mencapai
tingkat tinggi.11 Salah satu kaifiyyatnya ialah menghadirkan
rupa guru ketika akan melaksanakan zikir.
Kaifiyyah inilah yang dibantah oleh ulama Muda. Yang
kemudian ditanggapi oleh ulama-ulama Tua dengan
menyatakan dangkalnya pemahaman ulama muda dalam
memaknai rabithah yang sejatinya, lengkap pula hujjah-
hujjah Naql.
2) Amalan Suluk
Suluk adalah bentuk riyadhah, beribadah mendekatkan diri
kepada Allah, lazimnya dilaksanakan selama 40 hari. Dalam
proses suluk ini ada beberapa hal yang kemudian
dipertanyakan oleh ulama muda, diantaranya perihal
meninggalkan makan daging selama suluk dan hal
mengurung diri melama 40 hari tersebut.12
3) Pengajian “Nur Muhammad”
10
Syekh Husein bin Ahmad ad-Dausari al-Bashri al-Khalidi, ar-
Rahmatul Habithah fiz Zikrismizzat war Rabithah (Mekah: Mathba’ah Makah
Muhammiyah, 1886) hal. 28; lihat keterangan panjang lebar tentang rabithah ini
oleh Syekh Sulaiman Zuhdi, Tubshiratul Washilin ‘an Ushulil Washilin dalam
Majmu’atur Rasa’il ‘an Ushulil Khalidiyyah ad-Dhiya’iyah al-Mujaddidiyah
an-Naqsyabandiyah (=kumpulan 18 Risalah penting dan surat-surat Syekh
Sulaiman Zuhdi mengenai asas-asas pokok Tarikat Naqsyabandiyah). Mekah: t.
tp. [t. th] hal. 62-83
11
Mengenai kaifiyyah-kaifiyah Rabithah dalapat dilihat dalam Syekh
Muhammad al-Khani, al-Bahjatus Saniyyah fi Adabit Tariqatil Aliyah an-
Naqsyabandiyah (Turki: Hakikatkitabevi, 2001); lihat juga dalam Syekh Abdul
Majid bin Muhammad al-Khani al-Khalidi, as-Sa’adatul Abdiyah fi ma Ja’a
bihin Naqsyabandiyah (Damsyiq: Mathba’ah Ishlah, 1893) hal. 22-24
12
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Izhar…, op. cit., hal.3-4

198
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Pengajian “Nur Muhammad”, dengan kata lain “Pengajian


Tuabuah” merupakan salah satu ciri dalam Tarikat
Syathariyah. Ia merupakan satu bentuk pelajaran Tasawuf
yang bersumber dari pengajian “Martabat Tujuh” yang
tersebar di nusantara lewat kitab Tuhfatul Mursalah ila Ruhun
Nabi. Untuk kasus Minangkabau ini, risalah-risalah Syekh
Abdurra’uf seperti Tanbihul Masyi,13 memainkan peran
penting dalam penjabaran hubungan ontologis antara Tuhan
dan Alam tersebut. Pengajian ini kemudian melahirkan satu
bentuk Tasawwuf bingkai lokal yang dikenal dengan “Kaji
Tubuah” atau “Pangajian A’yan Tsabitah dan A’yan
Kharajiyah”.14
Inilah 3 hal yang menjadi pokok pergolakan agama antara kaum
Tua dan Kaum Muda kala itu, halmana keadaan ini melahirkan
motivasi untuk menulis risalah untuk mempertahankan
pemahaman masing-masing.
Dari kalangan ulama yang mempertanyakan hal-hal Tarikat
(disebut ulama golongan Muda), terdapat beberapa kepustakaan
dalam membantah pendirian ulama Tua, antaranya:
1) Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihm bis Shadiqin
2) Al-Ayatul Bayyinat lil Munshifin
3) As-Saiful Battar (no. 1-3 ialah karangan Syekh Ahmad
Khatib al-Minangkabawi)
4) Qathi’u Riqab al-Mulhidin
5) Izharu Asatir Mudhillan (no. 4-5 karangan Inyiak Rasul)
6) Penerangan Tentang Asal Usul Tarikat Naqsyabandiyah
(Inyiak Jambek)
7) Beberapa artikel dalam Majalah kaum Muda, seperti dalam
al-Moenir dan al-Ittifaq wal Iftiraq.
Disamping melakukan analisis sendiri, mereka, ulama golongan
muda (terkecuali Syekh Ahmad Khatib) ada menggunakan

13
Lihat Syekh Abdurra’uf, Tanbihul Masyi al-Mansub ila Tariqil
Qusyasi as-Syatari (Manuskrip, salinan Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-
Khatib) hal. 4-6
14
Baca Oman Fathurrahman, op. cit., hal. 128-129

199
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

sumber-sumber dari kalangan pembaharu Mesir untuk


mengokohkan hujjah-nya, seperti Majalah al-Manar. Beberapa
karangan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim juga memainkan
peran penting. Berikut majalah al-Imam dari Malaya, yang diasuh
oleh Syekh Thaher Jalaluddin, juga diperhitungkan dalam usaha
ulama muda.
Dengan adanya bantahan tersebut, membuat ulama-ulama Tua,
yang notabene-nya ulama Tarikat, menulis beberapa karya dalam
mepertahankan Tarikat dari penyelewengan tersebut, antara
kepustakaan yang terpenting ialah:
1) Irghamu Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatal
Washilin
2) Tanbihul Awam ‘ala Taghrirat Ba’dhil Anam (No. 1-2 karya
Syekh Mungka)
3) Burhanul Haq
4) Miftahus Shadiqiyyah fi Ishtilah Naqsyabandiyah
5) Risalah an-Nasyiyah fi Asas Tariqat Naqsyabandiyah (No. 3-
5 karya Syekh Khatib Ali)
6) Dawa’ul Qulub fi Qishah Yusuf wa Ya’qub
7) Aqwalul Wasithah fiz Zikr war Rabithah (No. 6-7 karya
Syekh Sulaiman ar-Rasuli)
8) Risalah Tsabitul Qulub (Syekh Muda Abdul Qadim Belubus)
9) Rahasia Sjari’at dan Hakikat (Syekh Abu Bakar Maninjau)
10) Beberapa karangan Syekh H. Jalaluddin
11) Beberapa artikel dalam al-Mizan dan ar-Radd wal Mardud
12) Karangan-karangan dari Syekh Naqsyabandi yang tidak
diterbitkan (masih dalam bentuk manuskrip), seperti sebuah
surat keterangan tentang Tarikat Naqsyabandiyah dari Syekh
Muhammad Sa’id Bonjol (w. 1979, usia 99 tahun), adapula
yang cukup menarik, seperti kitab Nahjatus Salikin yang
ditulis oleh Syekh Abdusshamad di Kajai (Talu).15

15
Didalam Nahjatus Salikin, yang ditulis dalam Arab Melayu,
dijelaskan pokok-pokok penting Tarikat Naqsyababdiyah. Lihat Syekh
Abdusshamad Kajai, Nahjatus Salikin (Manuskrip). Selesai ditulis di Mekah al-
Mukarramah.

200
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Diantara hujjah ulama berdasarkan kitab-kitab Tasawwuf


mu’tamad, seperti Ittihaf Saadatil Muttaqin Syarh Ihya’
Umumiddin dan Ruhul Ma’ani (Tafsir Sufi), mereka juga
berpedoman kepada kitab-kitab mu’tabar yang menjadi pegangan
dikalangan ulama Tarikat Naqsyabandiyah, diantaranya:
1) Al-Bahjatus Saniyyah fi Adabit Tariqatil Aliyah
Naqsyabandiyah
Karya ini ditulis oleh Syekh Muhammadi bin Abdullah al-
Khani an-Naqsyabandi, salah seorang khalifah dari Maulana
Syekh Khalid Kurdi. Karya ini menjadi pengangan ulama-
ulama Tua, didalamnya terdapat penjelasan penting mengenai
Tarikat ini. Untuk beberapa lama karya ini menjadi sangat
langka, hingga keberadaannya sering disembunyikan.
Terakhir, karya ini telah dicetak ulang di Mesir (2005) dan
satu penerbit di Turki, yaitu Hakikatkitabevi, telah
membebaskan hak cipta risalah ini, sehingga dapat
dipublikasikan dimanapun dan oleh siapapun.
2) Ar-Rahmatul Habithah fiz Zikri Ism Zat war Rabithah
Ditulis oleh Syekh Husen ad-Dausari al-Bashri as-Syafi’i al-
Khalidi, salah seorang murid dari Syekh Ismail al-
Minangkabawi. Karya ini hingga saat ini menjadi satu karya
yang cukup langka. Hanya beberapa Syekh tua yang
menyimpannya. Karya ini menguraikan panjang lebar
mengenai Zikir Ismuz Zat dan Rabithah yang sering
dipertanyakan oleh orang awam. Isinya sangat menarik,
disamping menggunakan bahasa Arab, disertai juga dengan
terjemahannya dalam bahasa Melayu (huruf jawi),
didalamnya disebutkan beberapa Qashidah yang
menunjukkan ketinggian Tarikat Naqsyabandiyah, dan
bantahan terhadap kerancuan orang-orang yang membantah
Tarikat ini. karya ini terbit di mekah oleh Mathaba’ah Makah
al-Muhammiyah pada tahun 1886, atas jasa dari Syekh
Ahmad Mansur Baz.

201
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul kitab ar-Rashmatul Habithah (1886)

3) Majmu’atur Rasa’il ‘an Ushulil Khalidiyyah ad-Dhiya’iyah


al-Mujaddidiyah an-Naqsyabandiyah (=kumpulan 18 Risalah
penting dan surat-surat Syekh Sulaiman Zuhdi mengenai
asas-asas pokok Tarikat Naqsyabandiyah).
Karya ini ialah sebuah bundel, kumpulan risalah-risalah dan
surat-surat yang ditulis oleh Syekh Sulaiman Zuhdi, seorang
Syekh Naqsyabandiyah yang masyhur dan terkenal banyak
mengeluarkan khalifah-khalifah untuk wilayah nusantara, di
Jabal Abi Qubais. Karya ini menjadi satu risalah yang begitu
penting mengenai Tarikat Naqsyabandiyah, dimana
keberadaannya juga langka, yang hanya dimiliki oleh Syekh-
syekh berusia tua. Diantara risalah-risalah penting dalam
bundel ini ialah Shahifatus Shafa li Ahlil Wafa (tentang 17

202
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

tingkatan zikir dalam Naqsyabandi), Nahjatus Salikin wa


Bahjatus Salikin, Mahsiratus Salikin ‘ala Sairatus Sa’irin dan
Tubshiratul Fashilin ‘an Ushulil Washilin (tentang Rabithah).
Risalah ini dicetak di Mekah, tanpa menyebutkan tahun.

Foto: Sampul kitab Majmu’ah ar-Rasa’il ‘ala Ushulil Khalidiyah


ad-Dhiya’iyah al-Mujaddidiyah an-Naqsyabandiyah

4) Mawahib Rabbal Falaq Syarh Qashidah Bintil Mailiq


Karya ini merupakan karya terjemahan dari karya Syekh Ibnu
Alan an-Naqsyabandiyah, yang merupakan syarah
(penjelasan) tentang Qashidah bintil Mailiq. Meski matan-
nya, Qashidah itu, menguraikan tentang Tarikat Syazili,
namun Syekh Ibnu Alan memberikan komentar karya ini
dengan menjelaskan seluk beluk Tarikat Naqsyabandiyah.
Karya ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Melayu
oleh Syekh Ismail al-Khalidi al-Minangakabawi. Karya ini

203
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

kemudian tersebar dikalangan penganut Tarikat di dunia


Melayu, terutama di Minangkabau. Disamping disebarkan
dalam bentuk manuskrip, juga dalam bentuk cetakan. Salah
satunya dicetak di Fort de Kock (Bukittinggi), pada
percetakan Inyiak HMS Sulaiman (Mathba’ah Islamiyah),
pada tahun 1928, atas izin dari waris Syekh Ismail, yaitu
Abdullah bin Isma’il al-Khalidi.

Foto: Sampul kitab Mawahib Rabbil Falaq


Syarh Qashidah bintil Mailiq (1928)

5) Beberapa Risalah yang membantah Syekh Ahmad Khatib dan


membela Tarikat Naqsyabandiyah, diantaranya as-Suyuful
Maslulah karangan Syekh Husein Ahmad al-Hindi, berikut
karangan-karangan Sayyid Muhammad bin Mahdi bin Lahudi

204
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

al-Hasani al-Kurdi dan Allamah Umar bin Salim al-Attas.16


Hadirnya karya-karya ini memberikan dukungan kepada
ulama-ulama Minangkabau untuk mempertahankan Tarikat
Naqsyabandiyah.
6) Tanwirul Qulub fi Mu’amalati Alamal Ghuyub dan Mawahib
Sarmadiyah
Dua karya ini sangat terkenal di nusantara, khususnya di
Minangkabau. Dikarang oleh seorang ulama kenamaan, yang
alim, pernah menjadi pengajar di Universitas al-Azhar, yaitu
Syekh Muhammad Amin Kurdi al-Irbili asy-Syafi’i al-
Asy’ari an-Naqsyabandi. Karya pertama, Tanwirul Qulub,
dibagi kedalam 3 bab besar. Bab I mengenai ilmu Tauhid
berdasarkan Ahlussunnah wal Jama’ah, Bab II mengenai
hukum-hukum Fiqih berdasarkan Mazhab Imam Syafi’i dan
Bab III mengenai Tasawwuf, terutama Tarikat
Naqsyabandiyah. Kitab kedua, Mawahib Sarmadiyah,
merupakan karya yang berisi tentang Manaqib (biografi) ahli
Silsilah Tarikat Naqsyabandi, mulai dari Rasulullah hingga
pemangku Tarikat itu pada masa kini. Kitab Tanwirul Qulub
ini dicetak dan tersebar luas, mudah ditemui di toko-toko
kitab. Sedang kitab kedua, agak kurang diperhatikan, kecuali
oleh para Syekh terkemuka, walaupun dulu nama kitab ini
begitu populer.
7) Jami’ul Ushul fil Auliya’
Karya ini ditulis oleh Syekh Ahmad al-Khamaskhanawi an-
Naqsyabandi. Isinya, disamping menguraikan ajaran-ajaran
Tarikat Naqsyabandiyah, juga meriwayatkan Manaqib Syekh
Baha’uddin Syah Naqsyabandi (pendiri Tarikat
Naqsyabandiyah) berikut menjelaskan istilah-istilah populer
yang terdapat dalam Tasawuf. Pada mulanya kitab ini
termasuk karya langka, namun beberapa dasawarsa terakhir
telah dicetak ulang oleh sebuah penerbit kitab kuning di
Jakarta, yaitu al-Haramain, sehingga dapat dijumpai di toko-
toko kitab di Bukittinggi.
16
Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, op. cit., hal. 87

205
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Itulah beberapa bibliografi seputar Tarikat Naqsyabandiyah pada


awal abad XX. Sedangkan mengenai perbantahan tentang Tarikat
Syathariyah, yang mulanya didedah habis oleh Dr. Abdul Karim
Amarullah, lewat Qathi’u Riqab al-Mulhidin, mengenai hal ini
kita tidak mempunyai cacatan mengenai pembelaan kaum
Syathariyah sendiri. Meski begitu kita mendapati beberapa karya
mengenai “Pengajian Tubuh”, yang sebahagian besarnya dalam
bentuk manuskrip di Pariaman. Sebahagian besar karya itu
memberikan pengukuhan terhadap pengajian “Nur Muhammad”,
dan hanya sebahagian kecil yang jelas-jelas menunjukkan
bantahan terhadap kaum Muda dalam masalah ini. Diantara karya
itu berbentuk sya’ir yang dicetak di Padang Panjang. Diantara
karya-karya pengukuhan terhadap “Pengajian” ini ialah:
1) Tahqiq Syathari
2) Sya’ir Ihwal Jalan
3) Sya’ir Siriah (No. 1-3 ditulis oleh Syekh Sidi Jamadi)
4) Sya’ir Tarikat serta Tasawuf (ditulis oleh Mad Abut gelar
Tuanku Kari Lubuk Alung, terbitan Tandikek Padang
Panjang)
5) Beberapa karya yang tidak diterbitkan (dalam bentuk
manuskrip), seperti Risalah Lubuak Ipuah oleh Syekh Lubuk
Ipuah, beberapa tulisan dari Syekh Aluma Koto Tuo
(berbentuk sya’ir), beberapa tulisan dari murid-murid Syekh
Isma’il Kiambang (dalam tulisan latin) dan lainnya.
Selain karya diatas, kita juga menemui literatur-literatur yang
menjadi pegangan para Ahli Tarikat Syathari, diantaranya, yang
paling istimewa, karya-karya Syekh Abdurra’uf yang tersebar di
Minangkabau, seperti Bayan Tajalli, Daqa’iqul Huruf, Tanbihul
Masyi dan Kifayatul Muhtajin. Selain itu ada karya-karya ulama
Mekah dan India, seperti Simitul Majid oleh Syekh Ibrahim al-
Kurani dan Tuhfatul Mursalah oleh al-Burhanpuri.

206
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Salah satu ilustrasi dalam Manuskrip Bayan Tajalli


dan Daqa’iqul Huruf

Disamping itu, kita juga memperoleh beberapa manuskrip perihal


pengajian “Nur Muhammad” tersebut, yang bukan ditulis oleh
kalangan Syathari, namun oleh penganut Tarikat Samaniyah.
Salah satu diantaranya yang cukup menarik ialah sebuah sya’ir
anonim yang diberi titel Sya’ir Tharikat Nuraniyah Rabbaniyyah
Khalawatiyah Muhammadiyah dan Samaniyah. Sampai saat ini
ditemui 2 versi sya’ir ini, pertama, salinan Buya Muhammad
Ridhwan Sungai Pagu (w. 1982), dan kedua versi Manuskrip
Simpang Tonang, Pasaman Barat (yang diwarisi oleh Pandeka
Sutan Duo Koto). Diantara isinya ialah:

207
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

[Inilah sya’ir tharikat namanya


Pada Tuanku Syaikh Talang Babungo]

Wa fi dubdari alam sempurnanya


A’udzubillah penolak balanya
Bismillah itu hendak disya’irkannya
Supaya ‘asyiq segala saudaranya

Johan perkasa Syah(i) alam


Menentang qaba qausain pada siang dan malam
Ke bahrul adam ia tenggelam
Bijaksana dzuq-nya dalam
…………
Mengenal diri sangatlah mudah
Sebab dibebal menjadi susah
Rupa yang zhahir jangan diubah
Itulah bernama sifat ma’nawiyah

Wahdatul wujud jalannya lancar


Alam-nya bebal ma’rifat-nya mungkir
Kalau tidak pada guru yang sikir
Tentulah masuk neraka sa’ir 17
Ditemuinya teks-teks ini memberikan bukti betapa “Pengajian
Tubuh” menjadi salah satu corak Tasawuf yang mempunyai
bekas mendalam dikalangan Sufi di Minangkabau.

2. Fiqih (Furu’)
Furu’ Fiqih merupakan salah satu topik yang cukup hangat
dibicarakan pada awal abad XX. Sebagaimana ditulis didepan
bahwa di nusantara, khususnya Minangkabau, dikenal erat
memegang Mazhab Syafi’i dalam furu’ syari’at. Lahirnya paham
pemabaharuan yang mempertanyakan Mazhab-mazhab fiqih yang

17
Anonim, Sya’ir Tharikat Nuraniyah Rabbaniyyah Khalawatiyah
Muhammadiyah dan Samaniyah (Manuskrip, salinan dari Buya Muhammad
Ridhwan Dt. Tanbijo); Anonim, Syair Saman (Manuskrip Simpang Tonang,
Pasaman)

208
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

ada, yang dikatakan sebagai sebab kemunduran Islam, membawa


perdebatan dikalangan ulama, yang terbagi ke dalam dua
kelompok berikutnya.
Diantara masalah-masalah Fiqih yang menjadi perbincangan
hangat diawal abad XX di Minangkabau, berikut kepustakaan
kepejuangan dalam masalah-masalah tersebut, diantaranya:
1) Masalah Taqlid
Ulama Muda berpendapat bahwa taqlid dalam syari’at itu
tidak harus, malah ada yang radikal dikalangan mereka,
dengan menyatakan bahwa taqlid itu sebab utama
kemunduran umat Islam pada masa kini. Sedangkan
dikalangan kaum Tua, menyatakan bahwa setiap muslim yang
tidak mampu mengistinbathkan hukum dari al-Qur’an dan
Sunnah, wajib bertaqlid kepada salah satu Mazhab yang 4
(mu’tabar).
Adapun kepustakaan yang terlibat dalam masalah ini ialah:
[kalangan ulama Muda] diantaranya buku Pedoman Guru:
Pembetul Kiblat faham keliru (H. Abdul Karim Amarullah)
dan banyak artikel dalam al-Moenir dan al-Ittifaq wal Iftiraq.
[kalangan Tua] untuk merespon faham Muda dalam masalah
ini mereka menulis, antara lain Intisharul I’tisham (Syekh
Khatib ‘Ali); beberapa tulisan dalam Tanbihul Awam (Syekh
Mungka); beberapa bait sya’ir dalam Kitab Enam Risalah
(Syekh Sulaiman ar-Rasuli) dan banyak artikel dalam al-
Mizan dan ar-Radd wal Mardud.
2) Melafazkan Niat (Ushalli)
Masalah Ushalli atau melafazhkan niat menjadi satu topik
yang sangat hangat. Dikalangan ulama Muda menilai bahwa
Ushalli itu bid’ah belaka. Sedangkan dikalangan ulama Tua,
dengan merujuk kepada Imam Nawawi, menyebutkan bahwa
Ushalli itu sunnat untuk penolong hadir penghadirkan niat.
Kepustakaan pejuang dalam hal ini ialah: [kalangan Muda]
seperti kitab al-Fawaid al-‘Aliyah (H. Abdul Karim

209
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Amarullah) dan beberapa artikel dalam Majalah ulama Muda.


[kalangan Tua] diantaranya satu tulisan dalam Tanbihul
Awam (Syekh Mungka), satu bagian dalam Burhanul Haq
(Syekh Khatib ‘Ali), Kitab Enam Risalah (Syekh Sulaiman
ar-Rasuli) dan banyak artikel dalam majalah-majalah ulama
Tua. Kemudian datang Risalah dari Mekah, yaitu Khuttatul
Mardhiyah karangan Syekh Ahmad Khatib yang
mempertegas pendirian Ushalli sebagai sunnat.
3) Berdiri Maulid (berdiri Marhaban)
Kegemaran masyarakat waktu itu ialah memperingati
kelahiran nabi (Maulid) dengan membaca kisah-kisah Maulid,
seperti Barzanji dan Syaraful Anam. Dan ketika tiba pada
bacaan “Nabi Lahir” mereka serempak berdiri untuk
menghormati Nabi Muhammad. Datangnya gelombang ulama
Muda menyatakan bahwa berdiri Maulid merupakan Bid’ah
yang harus dicegah. Di kalangan kaum Muda lahir risalah,
seperti kitab Aiqazul Niyam (H. Abdul Karim Amarullah) dan
beberapa artikel dari Majalah di Padang. Sedangkan
dikalangan kaum Tua lahir buku Tsamaratul Ihsan fi Wiladati
Sayyidil Insan (Syekh Sulaiman ar-Rasuli) dan Burhanul
Haq, berikut Risalah Mau’izhah wa Tazkirah (Syekh Khatib
‘Ali), tentunya juga artikel-artikel dalam Majalah kaum Tua.
4) Harta Pusaka
Minangkabau yang kuat dengan adat Pusaka, diantara dalam
pewarisan, menimbulkan perdebatan pula di Minang.
Diantara ulama yang menyatakan harta pusaka sebagai harta
syubhat ialah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam
karyanya Minhajul Masyru’. Namun dikalangan ulama yang
mukim di ranah Minang, apakah kaum Tua dan kaum Muda
umumnya sepakat bahwa harta Pusaka itu harta musabalah
yang diwarisi turun menurun. Sedangkan dalam harta
pencaharian para ulama sepakat bahwa harta tersebut mesti
diwariskan menurut faraidh. Dan para ulama itu aktif
mengajarkan ilmu faraidh di surau-surau mereka, seperti

210
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Syekh Mungka. Adapula yang mengarang buku seperti Dr.


Abdul Karim Amarullah dalam karyanya al-fara’idh.
5) Masalah Qunut
Sebahagian kaum Muda berpendapat bahwa Qunut Subuh itu
merupakan bid’ah belaka. Sedangkan dikalangan ulama Tua,
layaknya pengikut Syafi’iyah, teguh menyatakan bahwa
Qunut Subuh itu sunat. Diantara ulama yang mempertahankan
Qunut seperti Dr. Abdul Karim Amarullah. Meski disebut
sebagai gerbong ulama Muda, beliau dalam masalah Qunut
termasuk tokoh yang mempertahankannya, disamping ulama-
ulama Tua. Beliau menulis buku untuk mempertahankan
Qunut dengan titel as-Syir’ah (terbitan Tsamaratul Ikhwan,
Bukittinggi)
6) Masalah furu’ lainnya.
Masalah-masalah lain, dengan frekuensi perdebatan yang
lebih kecil antara lain: (1) Nikah Muhallil, dengan
kepustakaan Pembuka Mata (HAKA); (2) Hisab dan Rukyah;
(3) Hukum perempuan shalat ‘Id dilapangan; (4) masalah
meniga hari hingga menseratus hari; (5) masalah Talaq Tiga
sekaligus, salah satu kepustakaannya ialah Risalah Tanbihul
Manam karangan Abdullah Qari bin Syekh Hasyim Mudik
Tampang Rao (Murid Syekh Khatib Ali); dan lain
sebagainya.

211
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Foto: Sampul kitab Tanbihul Manam (1933)

3. Tauhid (Aqidah)
Aspek Tauhid menjadi perdebatan pula di awal abad XX, meski
perbincangan mengenai masalah yang satu ini tidak meluas
sehebat perkara Tarikat. Perkara yang pernah menjadi perdebatan
ialah masalah mengaji “Sifat Dua Puluh”. Pemicu perdebatan itu
hanya dilontarkan oleh segelintir, yang namanya tidak pula
dikenal dari dikalangan ulama-ulama Muda. Sebagaimana
diketahui, bahwa antara kaum Tua dan kaum Muda tidak berbeda
dalam so’al i’tiqat, mereka sama-sama memegang Ahlussunnah
wal Jama’ah (kecuali dalam satu dua masalah furu’-nya), sama-
sama mengaji dan mengajar Sifat Dua Puluh sebagai ciri khas
Mazhab Asy’ary. hal ini dapat kita cermati dari karangan-
karangan dua kelompok ini, dinama ulama-ulama tersebut

212
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

menyebutkan bahwa mengetahui Sifat Dua Puluh, yang


termaktup dalam Aqidah Limapuluh, merupakan wajib ‘ain bagi
setiap Mukallaf.18
Barulah pada tahun 1340 (1910), ada seorang Haji yang dari
Sumpur, bernama Haji Muhammad Karim, yang menulis nazham
Aqidah Lima Puluh. Dalam Nazham tersebut dikatakanlah bahwa
mengaji Sifat Dua Puluh itu ialah Bid’ah yang sesat, sebab tidak
diperbuat oleh Rasul katanya. Hadirnya risalah ini tentu menyulut
perdebatan pula. Diantaranya, yang memberi reaksi, ialah Labai
Sidi Rajo yang menulis sebuah Sya’ir untuk menolak Haji
Muhammad Karim dan siapa-siapa yang menolak pengajian Sifat
Dua Puluh dalam majalah al-Mizan. Bantahan terhadap Haji
Muhammad Karim ini yang cukup berwibawa dan terkemuka
ialah karya Syekh Janan Thaib Bukittinggi, lewat karyanya al-
Muqmatus Shakharam fi Raddi ‘ala man Ankara ilmal Kalam.
Meski dicetak di Mekah, karya ini tersebar Minangkabau, dan
kita memperoleh keterangan bahwa karya ini dijual di toko-toko
kitab di Fort de Kock (Bukittinggi) masa itu, seperti di toko Haji
Jalaluddin Thaib.
Disamping Syekh Janan Thaib, ada banyak karya yang lahir di
awal abad XX yang mengukuhkan “Pengajian Sifat Dua Puluh”.
Diantaranya ditulis dalam bentuk nazham, yaitu Kitab Ushul
Diyanah, ditulis oleh Muhammad Dahid gelar Malin Bonso Koto
Tangah Padang. Karya ini cukup menarik, disamping padat isi,
juga ditulis dengan rupa-rupa shurah (gambar), sedangkan
penjelasannya dalam bentu Nazham. Diantara petikan Nazham
yang mengokohkan “Sifat Dua Puluh” yaitu:
Sifat Dua Puluh ilmu Aqidah
Sebelum ini aturan sudah
Cukup dalilnya berbagai surah
Ambil Fahamnya, Tuan lihatlah

18
Lihat misalnya H. Abdul Karim Amarullah, ‘Umdatul Anam…, op.
cit.,; Syekh Sulaiman ar-Rasuli, al-Aqwalul Mardiyah…, op. cit., ; dan banyak
kitab-kitab lainnya

213
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Tuan lihatlah dahulu nyata


Dari awal risalah hingga sempurna
Berbagai surah, misal, dalilnya
Supaya tahqiq hati menerima19

Karya ini ditaqrizh dan ditahqiq oleh ulama-ulama ketika itu,


yaitu (1) Tuanku Haji Muncak Lubuk Alung; (2) Guru
Muhammad Shaleh Tujuh Koto Pariaman; (3) Guru Faqih
Muhammad Shaleh Anduring, Padang; (4) Tuanku Haji Marzuki,
Sukomananti, Talu; (5) Guru Syafi’i (tamatan Jaho); (6) Tuanku
Pakiah Sati, ulama Koto Tangah; (7) Tuanku Haji Khatib Umar
(guru Tarbiyatul Ishlah, Koto Tangah); (8) Tuanku Haji
Muhammad Kajai Talu; dan (9) Tuanku Syekh Abdul Majid
Lubuk Landur (Pasaman Barat)

19
Muhammad Dahid Malin Bonso, Kitab Ushul Diyanah (tt.p, t. th)
hal. 17

214
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Risalah selanjutnya ialah Kitab Empat Risalah [(1) Permulaian


I’tiqat kepada Allah; (2) Anwarul Iman; (3) Mau’izhah; (4) Nurul
Hidayah] karangan Tuanku Mudo bin Syekh Abdul Ghani Guguk
Tinggi (terbitan Durekrij Islamiyah, Fort de Kock, 1931). Dalam
karya ini dijelaskan tentang pengajian Tauhid, berikut sifat-sifat
yang wajib bagi Allah.

Foto: Sampul kitab Empat Risalah (1931)

Disamping masalah Sifat Dua Puluh, masalah lain dalam bidang


aqidah yang cukup menghebohkan ialah masalah kelompok
Ahmadiyah Qadiyani. Ahmadiyah sendiri masuk ke negeri
Minangkabau di era-20-an, dibawa oleh beberapa murid Thawalib
Padang Panjang setelah berguru kepada juru dakwah Ahmadiyah,

215
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Rahmat Ali (Mubaligh Ahmadiyah yang datang dari India),20 di


Tapak Tuan, Aceh. Para ulama, apakah dari kaum Tua, maupun
kaum Muda, sejalan dalam hal ini, yaitu membentengi umat dari
kaum Ahmadiyah tersebut. Beberapa karya yang lahir untuk
menolak pendirian Ahmadiyah, seperti Syekh Muhammad Thaher
Jalaluddin (1869-1956), mufti besar Pulau Penang asal Ampek
Angkek Bukittinggi, menulis risalah yang berjudul Perisai Orang
Beriman: Pengisai Mazhab Orang Qadiyan (Singapura: Setia
Press, 1930); kemudian dari yang ‘alim Maulana Syekh
Muhammad Jamil Jaho (w 1940), yang dimasyhurkan orang
dengan “Angku Jaho” menulis Nujumul Hidayah fi Raddi ‘ala
Ahlil Ghiwayah; berikut Syekh Dr. Abdul Karim Amarullah, ayah
dari Buya Hamka, menggoreskan kalam dengan judul al-Qaulus
Shahih (diterbitkan atas nafkah Datoek nan Bareno, Drukkrerij
Persatoean Moehammadijah Djojakarta, 1926); kemudia Maulana
Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871-1970), mengungkapkan perihal
Ahmadiyah tersebut dalam Risalah Aqwalul Mardhiyah
(Bukittinggi: Maktabah Islamiyah, 1950).
Inilah diantara dinamika intelektual antara kaum Tua dan Kaum
Muda dalam hal i’tiqat.

20
Hamka, Ayahku…, op. cit., hal. 137-141

216
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

Epilog

Islam di Minangkabau sebelum awal abad XX tercatat


sebagai penganut Mazhab Syafi’I yang ketat, Ahlussunnah wal
Jama’ah dan pengamal Tarikat-tarikat Mu’tabarah sebagai sebuah
bentuk kearifan Tasawuf. Keadaan tersebut, sebagaimana data
yang kita peroleh, dapat dikatakan telah mapan. Hadirnya istilah
kaum Muda, yang dalam beberapa segi pengamalan
berseberangan dengan ulama-ulama pendahulu, menimbulkan
satu pergolakan, yang mempunyai sisi negative dan positive.
Negative-nya, para ulama dan masyarakat terpecah ke dalam dua
kelompok besar. Satu mempertahankan corak keislaman
sebagaimana sediakala. Kedua mengoreksi beberapa aspek
pengamalan yang mereka sinyalir tidak tepat menurut syari’ah.
Diantara faham yang dibawa oleh ulama Muda anatara lain
mempertanyakan keabsahan Tarikat-tarikat, berikutnya
menyatakan kebebasan Ijtihad, melepaskan diri dari pagar Taqlid.
Para ulama Tua yang berpegang teguh dalam Mazhab Syafi’I dan
Tarikat mu’tabar (Naqsyabandiyah) merasa tuduhan-tuduhan
tersebut sebagai suatu yang serampangan, merekapun membela
diri dalam arena-arena perdebatan kala itu. Positivenya, hadirnya
pergolakan agama di awal abad XX, membuat masing-masing
kelompok memperdalam hujjah masing-masing, sehingga kitab-
kitab berkembang, diskusi-diskusi sering dilakukan, hal ini
membuat ilmu agama semakin hidup. Selain itu, para ulama dari
dua kubu juga mempertahankan pendirian masing-masing dalam
karya-karya yang banyak, buku maupun majalah.
Dikelompok Tua, berdiri ulama-ulama kenamaan, seperti
Syekh Muhammad Sa’ad Mungka (w. 1922), Syekh Khatib Ali
al-Fadani (w. 1939), Syekh Sulaiman ar-Rasuli (w. 1970), Syekh
Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh Hasan Basri Maninjau Syekh
Abdul Wahid Tabek Gadang (w. 1950) dan lainnya. Dikelompok
Muda, berdiri ulama-ulama, seperti Syekh Thaher Jalaluddin,

219
Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX

DR (HC). Abdul Karim Amarullah, Abdullah Ahmad, Syekh


Jamil Jambek, Zainuddin Labay el-Yunusi dan lainnya.
Demikianlah dinamika intelektual dimasa itu, awal abad
XX. Kita tentunya berharap karya-karya Ulama lainnya, yang
diduga sangat banyak bertebaran ditengah masyarakat, dapat
diiventasisasi dengan segera, sebagai jalan menyelamatkan
pemikiran ulama-ulama silam yang begitu penarik untuk
dicermati. Tentunya usaha ini perlu digiatkan, dengan sokongan
instansi-instansi terkait.
Terakhir, kita perlu memaknai warisan Ulama yang telah
ditinggalkan buat kita, penerus generasi. Jangan hanya karya-
karya itu Cuma menjadi penghias museum-museum belaka, tanpa
ada tangan-tangan kompeten yang menyentuhnya. Jangan pula
sampai karya-karya ini hanya sekedar objek riset belaka, setelah
riset selesai karya ini tak disentuh lagi, pun setelah sejumlah
karya ilmiah selesai, maka karya-karya ini dibiarkan menjadi
benda lapuk lagi. Ketahuilah, Ulama-ulama dulu meninggalkan
karya buat kita, bukan hanya sekedar untuk penghias lemari dan
untuk riset studi ilmiah saja, mereka meninggalkan karya-karya
itu agar kita mengamalkan ilmu yang diwariskan, supaya
keilmuan Islam kembali tegak, itulah makna sebuah warisan
sesungguhnya.

220
Daftar Kepustakaan

I. Manuskrip
Amrullah, Abdul Karim, Qathi’u Riqab al-Mulhidin. Manuskrip
Batuhampar, Muhammad Arsyad, Min Makah ila Mishr. Manuskrip
Bonjol, Abdul Jalil, Kisah Nabi Yusuf. Manuskrip (2 jilid)
Jabal Qubais (Mekah), Ijazah Tarikat Naqsyabandiyah Maulana Syekh
Muhammad Bashir Lubuk Landur dari Syekh Ali Ridha Jabal
Abi Qubais. Manuskrip
Jambek, Muhammad Jamil, Muqaddimah fi Hisabil Falakiyah
Mukhtashar Mathla' as-sa'id fi hisabat al-Kawakib. Manuskrip
Kajai, Abdusshamad, Nahjatus Salikin (Manuskrip)
Ketinggian, Abdul Wahid, Nazham Ziarah Kubur. Manuskrip
Ketinggian, Abdul Wahid, Sejarah Ringkas Syekh Muhammad Sa’ad
Mungka. Manuskrip
Ketinggian, Abdul Wahid, Riwayat Ringkas Syekh Yahya al-Khalidi
Magek (Manuskrip)
Koto Tangah, Sidi Jamadi, Sya’ir Riwayat Hidup. Manuskrip
al-Khatib, Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Kitab Menerangkan
Perkembangan Agama Islam Semenjak Dahulu dari Syekh
Burhanuddin sampai ke zaman kita sekarang. manuskrip
al-Khatib, Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Risalah Mizan al-Qalb.
Manuskrip
Kinali, Abdul Majid, Naskah Tarikat Naqsyabandiyah. Manuskrip
al-Minangkabawi, Isma’il bin Abdullah, Mawahil Rabbil Falaq Syarh
Qashidah bintil Mailiq. Manuskrip
Sikabu-kabu, Muhammad Salim, Naskah Tarikat Naqsyabandiyah.
Manuskrip
Singkel, Abdurrauf, Bayan Tajalli. Manuskrip
Singkel, Abdurrauf, Daqa’iqul Huruf. Manuskrip

221
Singkel, Abdurrauf, Tanbihul Masyi al-Mansub ila Tariqil Qusyasi as-
Syatari (Manuskrip, salinan Imam Maulana Abdul Manaf
Amin al-Khatib)
[anonim], (Pengajian Martabat Tujuh). Manuskrip
[anonim], Risalat Lubuak Ipuah (manuskrip)
[anonim], Sya’ir Tharikat Nuraniyah Rabbaniyyah Khalawatiyah
Muhammadiyah dan Samaniyah. (manuskrip, salinan Buya
Muhammad Ridhwan Dt. Tanbijo Sungai Pagu)
[anonim], Naskah Shalawat; Sya’ir Perahu; Sya’ir Tarikat Saman;
Sya’ir Nabi Wafat; Sya’ir Fathimah (satu bundel manuskrip,
Simpang Tonang, Pasaman Barat)

II. Naskah Lama Ulama Minangkabau


Abbas, Sirajuddin, Sirajul Munir. Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan [t. th]
2 jilid
Ahmad, Abdullah, Tadzkiratul Hudjdjadj: Peringetan bagi mereka jang
akan naik hadji. Bandung: Persatuan Islam [1925]
Ahmad, Abdullah, Ilmu Sejati. Padang: Drukkerij al-Moenir [1916]
Ali, Abdul Mun’im Khatib, Sya’ir Irsyadiyah. diterbitkan sendiri,
Tarandam [t. th]
Amrullah, Abdul Karim, al-Burhan: Mentafsirkan dua puluh dua puluh
dari pada al-Baqarah. Ford de Kock: Derekrij Baroe [1928]
Amrullah, Abdul Karim, Qati’u Riqal al-Mulhidin fi Aqa’idil Mufsidin.
Pondok, Padang: Direkrij al-Moenir [1916]
Amrullah, Abdul Karim, ‘Umdatul Anam fi Ilmil Kalam. Padang:
Snellpress al-Moenir [1916]
Amrullah, Abdul Karim, Al-Fawa’id al-‘Aliyah fi Ikhtilafil Ulama’ fi
Hukmi Talafuzh bin Niyyah. Padang Panjang: Tandikek [1908]
Amrullah, Abdul Karim, Pedoman Guru: Pembetul Kiblat Faham
Keliru. Payakumbuh: Limbago [1922]
Amrullah, Abdul Karim, Aiqazhun Niyam Fima Ibtida’ min Umuril
Qiyam. Padang: Durekrij al-Moenir [1911]

222
Amrullah, Abdul Karim, Sendi Aman Tiang Selamat. Padang: al-Moenir
[t.th]
Amrullah, Abdul Karim, Pembuka Mata: Menerangkan Nikah bercina
Buta. Fort de Kock: Drukkerij Baroe [1923]
Amrullah, Abdul Karim, Sullamul Wushul Yarqi bihi Sama’u ilmil
Ushul. Padang: Durekrij al-Moenir [1915]
Amrullah, Abdul Karim, al-Qawloesh Shahih. Yogyakarta: Durekrij
Persatuan Muhammadiyah [t. th]
Amrullah, Abdul Karim, Al-Mishbah li Tanwiri Qulubiz Za’imin.
Padang Panjang: Badezt [1940]
Amrullah, Abdul Karim, al-Kawakib ad-Durriyah li Bayan adam
istirath khutbah bil ‘Arabiyah. Medan: t.tp. [1940]
Amrullah, Abdul Karim, Kitab al-Faraidh. Maninjau [1935]
Amrullah, Abdul Karim, al-Basha’ir: Dalil-dalil yang kuat,
pemandangan yang hebat, penolak segala kesamaran dan
Syubhat. Fort de Kock: Islamiyah [1357 H]
Amarullah, Abdul Malik Karim (Hamka), Teguran Suci dan Jujur untuk
Mufti Johor Sayyid Alwi bin Thahir al-Hadad. Singapura:
Sarikat Muhammadiyah [1958]
Bayang, Muhammad Dalil, Targhub ila Rahmatillah. Padang: Derekrij
Orang Alam Minangkabau [1914]
Bayang, Muhammad Dalil, Darul Mau’izhah/ Miftahul Haq dalam
Majmu’ Musta’mal. Padang: Soetan Maharadja [t. th]
Bayang, Muhammad Dalil, Majmu’ Musta’mal yang menyatakan rukun
syarat yang terkandung dalam agama Islam. Bukittingi: HMS
Sulaiman [t. th]
Belubus, Abdul Qadim, as-Sa’adatul Abdiyah fima Ja’a Bihin
Naqsyabandiyah menyatakan Wirid Amalan Tarikat
Naqsyabandiyah. Bukittinggi: as-Sa’adiyah [t. th]
Belubus, Abdul Qadim, as-Sa’adatul Abdiyah fima Ja’a bihin
Naqsyabandiyah Bahagian Natijah. Tapanuli: Syarikah
Islamiyah [1950]

223
Belubus, Abdul Qadim, Risalah Tsabitul Qulub. Bukittinggi: as-
Sa’adiyah [t. th] 3 jilid
Belubus, Abdul Malik bin Syech Mudo, al-Manak: Mempusakai dari
Ayah, Syech Mudo Abdul Qadim Belubus. Bukittinggi: as-
Sa’adiyah [t. th]
Bukittinggi, Janan Thaib, al-Muqmatus Shakhram fi Raddi ‘ala Man
Ankara ilmal Kalam. Mesir: Mathba’ah Taufiq al-Adabiyah
[1910]
Bonjol, Abdul Jalil, Libasul Iman. Bukittinggi: Kahami [t.th]
Bonjol, Abdul Jalil, Sirajul Mubtadi: Membicarakan Hukum-hukum
Islam. Bukittinggi: Kahami [1373 H]
Bonjol, Abdul Jalil, Syamsul Bayan. Bukittinggi: Kahami [t.th]
al-Fadani, Muhammad Khatib Ali, Miftahus Shadiqiyyah fi Ishtilahin
Naqsyabandiyah Raddu fi Zhannil Kadzibah. Padang: Polo
Bomer [1905]
al-Fadani, Muhammad Khatib Ali, Burhanul Haq Radd ‘ala
Tsamaniyah Masa’il al-Jawab min Su’alis Sa’il alQathi’ah al-
Waqi’ah Ghayatut Taqrib. Padang: Pulo Bomer [1918]
al-Fadani, Muhammad Khatib Ali, Risalah at-Mau’izhah wat Tazkirah:
Pengajaran dan Peringatan, keputusan rapat di Padang 15 juli
1919. Padang, Derukrij Orang Alam Minangkabau [1919]
al-Fadani, Muhammad Khatib Ali, Intisharul I’tisham fit Taqlidi ‘alal
Awam Raddu Tamyiz al-Taqlid minal Ittiba’. Padang: de
Volherding [t.th]
al-Falaki, Thaher Jalaluddin, Ini Perisai Orang Beriman, Pengisai
Mazhab Orang Qadiyan. Singapura: Setia Press [1930]
al-Falaki, Thaher Jalaluddin, Natijatul Umur: Pendapatan kira-kira
Pada Taqwim Tarikh Hijri dan Miladi, Hala Qiblat dan Waktu
Sembahyang yang Boleh digunakan selama Hidup. t. tp. : t. p.
[1936]
Guguk Tinggi, Angku Mudo bin Syekh Abdul Ghani, Kitab Empat
Risalah [(1) Permulaian I’tiqat kepada Allah; (2) Anwarul
Iman; (3) Mau’izhah; (4) Nurul Hidayah]. Fort de kock:
Derukrij Islamiyah [1931]

224
Hakim, Abdul Hamid, Tahzibul Akhlaq. Bukittinggi: Nusantara [1955]
Hakim, Abdul Hamid, al-Mu’inul Mubin. Bukittinggi: Nusantara [t. th]
4 jilid
Jaho, Muhammad Jamil, Tazkiratul Qulub fi Muraqabati Alamal
Ghuyub. Bukittinggi: Nusantara [1956]
Jaho, Muhammad Jamil, Kasyafatul Awishah fi Syarh Matn al-
Ajurumiyah. Padang Panjang: Tandikek [1940]
Jalaluddin, Majalah Sinar Keemasan no. 73-74 [1964]
Jalaluddin, Pertahanan Tarikat Naqsyasyabandiyah. Bukittinggi:
Tsamaratul Ikhwan [1950] 4 jilid
Jalaluddin, Rahasia Mutiara Tarikat Naqsyabandiyah. Bukittinggi:
Tsamaratul Ikhwan [t. th]
Jambek, Muhammad Jamil, Penerangan Tentang Asal Usul Tarikat
Naqsyabandiyah dan Segala yang berhubungan dengan dia.
Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan [1941] 2 jilid
Kapau, Muhammad Rusli, Khulashah Tarikh Maulana Syekh Sulaiman
ar-Rasuli di dalam pertalian adat dan syara’ [1926]
Koto Tangah, Muhammad Dahid Malin Bonso, Kitab Ushulud Diyanah
(Sya’ir). t. tp. [t. th]
Koto Tangah, Sidi Jumadi, Tahqiq Syathari. Padang Panjang: Tandikek
[1929]
Koto Tangah, Sidi Jamadi, Sya’ir Ihwal Jalan. Padang Panjang:
Tandikek [1955]
Koto Tangah, Sidi Jamadi, Sya’ir Siriah di dalam Sya’ir Ihwal Jalan
[1955]
Lubuk Sikaping, Abdullah Kari bin Muhammad Hasyim Mudik
Tampang Rao, Tanbihul Manam. Bukittinggi: Tsamaratul
Ikhwan [1933]
Maninjau, Hasan Bashri, Mursyidut Thullab: Pencerdikkan segala si-
Penuntut. Fort de Kock: H. Ahmad Chalidi [t. th]
Maninjau, Aboe Bakar Ali Naqsyabandi, Rahsia Sjari’at dan Thariqat.
Fort de Kock: Boekhandel Soearti [1938]

225
Magek, Yahya al-Khalidi, Jalan Kebahagiaan. Fort de Kock: Islamiyah
[t. th]
Magek, Yunus Yahya, Surat Terbuka Untuk H. Jalaluddin dalam
Tablighul Amanah fi Izalati Khurafat was Syubhah
(Bukittinggi: Nusantara, 1954)
Mansur Dt. Nagari Basa, Hidayatut Thalibin fi Bayan Ahadist Sayyidil
Mursalin. t.p: as-Sa’adiyah [1938]
Mansur Dt. Nagari Basa. Kitab Faraidh[stensil]
al-Minangkabawi, Ahmad Khatib bin Abdullathif, Izhar Zaghlil Kazibin
fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin. Mesir: at-Taqdum al-Ilmiyah
[1908]
al-Minangkabawi, Ahmad Khatib bin Abdullathif, al-Ayat al-Bayyinat
lil Munshifin fi Izalati Khurafat Ba’dh Muta’ashisibin. Mesir:
at-Taqdum al-Ilmiyah bi Darbil dalil [1908]
al-Minangkabawi, Ahmad Khatib bin Abdullathif, as-Saiful Battar fi
Mahqi Kalimati Ba’dhil Ahlil Ightirar. Mesir at-Taqdum
Ilmiyah bi Bardid Dalil [1908]
al-Minangkabawi, Ahmad Khatib bin Abdullathif, Fathul Mubin fima
yata’allaqu bi umurid Din. Mekah: Mathba’ah al-Miriyah
[1901]
al-Minangkabawi, Ahmad Khatib bin Abdullathif, Ad-Da’il Masmu’ fir
Radd ‘ala man Yuwarits al-Ikhwn wal Aulad akhwat ma’a
wujudil Ushul wal Furu’. Mesir: Mathba’ah al-Maimuniyah
[1889]
al-Minangkabawi, Ahmad Khatib bin Abdullathif,, al-Minhajul Masyru’
terjemah Kitab ad-Da’il Masmu’ pada Hukum Orang yang
Menyalahi Syari’at pada Pusaka dan pada ilmu Fara’idh.
Mekah: Shaleh Kurdi [1891]
al-Minangkabawi, Ahmad Khatib bin Abdullathif, Inilah Kitab Ar-
Riyadhul Wardhiyyah fil Ushulit Tauhidiyyah wal Furu’il
Fiqhiyyah. Mesir: Mahmud Taufiq [1891]
al-Minangkabawi, Ahmad Khatib bin Abdullathif, Khuttatul
Mardhiyyah fi Radd Syubhah man Qala bibid’atin Talaffuzh
bin Niyyah. Mekah: Mathba’ah Tarqil Majdiyah [1906]

226
Al-Minangkabawi, Isma’il bin Abdullah, Mawahib Rabbil Falaq Syarh
Qashidah binti al-Mailiq. Fort de Kock: Islamiyah (HMS.
Sulaiman) [1928]
Mungka, Muhammad Sa’ad, Tanbihul Awam ‘ala Taghrirat Ba’dhil
Anam. Padang: de Voltherding [1910]
Payakumbuh, Datoeak Padoeko Alam, Rancak di Labuah. Bukittinggi:
Tsamaratul Ikhwan [1919]
Parabek, Ibrahim Musa, Hidayatus Shibyan ‘ala Risalah Syekh
Syuyukhina Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Fort de Kock:
Drukkerij Baroe [t. th]
Parabek, Ibrahim Musa, Ijabatus Suul fi Syarh Hushulul Ma’mul.
Padang Panjang: Drukkerij Bandezt [1934]
ar-Rasuli, Sulaiman, al-Aqwalul Mardiyah fi al-‘Aqaid ad-Diniyyah.
Bukittinggi: Maktabah Islamiyah [1957]
ar-Rasuli, Sulaiman, al-Qaulul Kasyif fi Radd ‘ala man i’tiradh ‘ala
Akabir di -dalam Kitab Enam Risalah. Bukittinggi: Durekrij
Agam [1920]
ar-Rasuli, Sulaiman, Ibthal Hazzhi Ahlil ‘Ashbiyah fi Tahrim Qira’atil
Qur’an bi ‘Ajamiyah dalam kitab Enam Risalah. Bukittinggi:
Direkrij Agam [1920]
ar-Rasuli, Sulaiman, kitab Izalatul Dhalal fi Tahrim Iza’ was Su’al
dalam kitab Enam Risalah. Bukittinggi: Direkrij Agam [1920]
ar-Rasuli, Sulaiman, Tsamaratul Ihsan fi Wiladati Sayyidil Insan.
Bukittinggi: Direkrij Agam [1923]
ar-Rasuli, Sulaiman, Kisah Muhammad Arif: Pedoman Hidup di Alam
Minangkabau Menurut Gurisan Adat dan Syara’. Bukittinggi:
Tsamaratul Ikhwan [1939]
ar-Rasuli, Sulaiman, Dawa’ul Qulub fi Qishah Yusuf wa Ya’qub. Fort de
Kock: Maktabah Islamiyah [1924]
ar-Rasuli, Sulaiman, Pertalian Adat dan Syara’ yang terpakai di Alam
Minangkabau Lareh nan Duo Luhak nan Tigo. Bukittinggi: tt.p
[1927]

227
ar-Rasuli, Sulaiman, Sya’ir Mi’raj di dalam Kitab Enam Risalah.
Bukittinggi: Derekrij Agam [1920]
ar-Rasuli, Sulaiman, Kisah Mu’az dan Nabi wafat dalam Kitab Enam
Risalah. Bukittinggi: Derekrij Agam [1920]
ar-Rasuli, Sulaiman, Kitab Pedoman Puasa. Fort de Kock: Bukhandel
Tsamaratul Ikhwan [1936]
ar-Rasuli, Sulaiman, Risalah al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Qur’an. Fort de
Kock: Mathba’at Islamiyah [1928]
ar-Rasuli, Sulaiman, Kitab Pedoman Puasa. Fort de Kock: Bukhandel
Tsamaratul Ikhwan [1936]
Sungayang, Thaib Umar, Aqidatul Iman di dalam kitab Irsyadul Awam
ilal Islam [penerbit, tahun terbit dan tempat terbit tidak
terdeteksi, halaman awal dan akhir risalah ini telah hilang]
Sungai Landai, Jalaluddin al-Kusai, Risalah syarat Sembahyang dan
Rukun Iman serta dengan Akidah Iman. Fort de Kock:
Mathba’ah Islamiyah [t. th]
Tabek Gadang, Abdul Wahid, Kitab Aqa’idul Iman. Pajakoemboeh:
Limbago [1906]
Toboh, Harun ar-Rasyidi, Mafatihul Fikriyyah fil ‘Ilmil Mantiqiyyah.
Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan [1928]
el-Yunusi, Zainuddin Labai, al-‘Aqa’id al-Diniyyah. Padang Panjang:
Bandezt [1953]
el-Yunusi, Zainuddin Labai, Adabul Fatah [t. th]

III. Kitab-kitab
Zainuddin al-Malibari, Irsyadul Ibad ila Sabilir Rasyad. Semarang:
Toha Putra [t. th]
Abi Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddin. Surabaya: Dar an-Nasyr al-
Mishriyah [t. th]
al-Fathani, Zainuddin, Kasyful Ghaibiyah. t. tp: Maktabah Dar as-Salam
[t. th]

228
Ibnu Khaldun, Syifa’us Sa’il wa Tahzibul Masa’il (Beirut: Dar Fikr al-
Mu’ashir [1996]
an-Nabhani, Yusuf bin Ismail, Syawahidul Haq fil Istighatsah bi
Sayyidil Khalaq. Beirut: Dar Fikr [1983]
Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuhfatur Raghibin fi Bayan Haqiqat
Iman al-mukmin wa ma yafsuduhu min riddatil muridin.
Jeddah: al-Haramain [t. th]
an-Naqsyabandi, Muhammad Amin Kurdi al-Irbili, Tanwirul Qulub fi
Muamalati Alamal Ghuyub. Singapura: al-Haramain [t. th]
an-Naqsyabandi, Muhammad Amin Kurdi al-Irbili, al-Mawahib as-
Sarmadiyah fi Ajla’ as-Saadat an-naqsyabandiyah. Damsyiq:
Dar Hira’ [1996]
al-Khani, Abdul Majid bin Muhammad, al-Hada’iq al-Wardiyyah fi
Haqa’iq Ajla’ an-Naqsyabandiyah. Arbelia: Mathba’ah
Waziratul Tarbiyah [2002]
al-Khani, Abdul Majid bin Muhammad, as-Sa’adatul Abdiyah fima Ja’a
bihin Naqsyabandiyah [Damsyiq: Maktabah Ishlah, 1893]
al-Khani, Muhammad, al-Bahjatus Saniyyah fi Adabit Tariqatil Aliyah
an-Naqsyabandiyah. Turki: Hakikatkitabevi [2001]
Abazhah, Nazhar, Syekh Khalid an-Naqsyabandi al-‘Alimu al-
Mujaddid: Hayatuhu wa Ahammu Muallafihi. Libanon: Dar
Fikr al-Mu’ashir [1994]
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, ad-Durarus Saniyyah fi Raddi ‘alal
Wahhabiyah. Turki: Hakikat Kitabevi [2002]
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Fitnatul Wahhabiyyah. Turki: Hakikat
Kitabevi [2001]
ad-Dausari, Husen, ar-Rahmatul Habithah fidz Dzikrismizzat war
Rabithah. Mekah: Mathaba’ah Makah al-Muhammiyah [1886]
al-Khani, Muhammad bin Abdullah, al-Bahjatus Saniyyah fi Adabit
Tariqatin Naqsyabandiyah al-‘Aliyah. Istanbul:
Hakikatkitabevi [2001]
al-Khalidi, Sulaiman Zuhdi an-Naqsyabandi, Majmu’atur Rasa’il ‘an
Ushulil Khalidiyyah ad-Dhiya’iyah al-Mujaddidiyah an-

229
Naqsyabandiyah (=kumpulan 18 Risalah penting dan surat-
surat Syekh Sulaiman Zuhdi mengenai asas-asas pokok Tarikat
Naqsyabandiyah). Mekah: t. tp. [t. th]

IV. Buku-buku
Abbas, Sirajuddin, Tabaqath as-Syafi’iyah: Ulama Syafi’I dan Kitabnya
dari Abad ke-abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah [1975]
Abbas, Sirajuddin, I’tiqat Ahlussunnah wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka
Tarbiyah [2000]
Abbas, Sirajuddin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’I. Jakarta:
Pustaka Tarbijah [1972]
Abbas, Sirajuddin, 40 Masalah Agama. Jakarta: Pustaka Tarbiyah
[2005] 4 jilid
Amarullah, Abdul Malik Karim (Hamka), Ayahku: Riwayat Hidup DR.
Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di
Sumatera. Jakarta: Umminda [1982]
Amarullah, Abdul Malik Karim (Hamka), Islam dan Adat Minangkabau.
Jakarta: Pustaka Panjimas [1984]
Amarullah, Abdul Malik Karim (Hamka), Antara Fakta dan Khayal
Tuanku Rao. Jakarta: Bulan Bintang [1974]
Amarullah, Abdul Malik Karim (Hamka), Mazhab Syafi’I di Indonesia
dalam Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Jakarta: Bulan
Bintang [1974]
Azra, Azyumardi, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi
dan Modernisasi. Jakarta: Logos [2003]
Azra, Azyumardi, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal.
Bandung: MIZAN [2002]
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Prenada Media
Group [2005]
BJO. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah
Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara [1973]

230
Bagindo Armaidi Tanjung, Mereka yang Terlupakan: Tuanku
Menggugat. Padang: Pusataka Artaz [2008]
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-
tradisi Islam di Indonesia oleh Martin van Bruinessen.
Bandung: Mizan [1995]
Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei
Historis, Geografis dan Sosiologis. Bandung: Mizan [1992]
Burhanuddin daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus
Sumatera Thawalib (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995)
Dobbin, Christine, Islamic Revivalism in a charging Peasant Economy:
Central Sumatera 1784-1847 diterjemahkan Lilian D.
Tedjasudhana, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan
Gerakan Paderi: Minangkabau 1784-1847. Depok: Komunitas
Bambu [2008]
Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau: Syarak
Mandaki Adat Menurun. Jakarta: The Minangkabau Foundation
[2002]
Fathurrahman, Oman, Tarekat Syathariyah di Minangkabau: Teks dan
Konteks. Jakarta: Prenada Media Group [2008]
Nain, Syafnir Aboe, Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual Islam di
Minangkabau 1784-1832. Padang: Esa [1993]
Tim Redaksi, Ensiklopedi Minangkabau: Edisi Awal. Padang: Pusat
Pengkajian Islam dan Minangkabau Sumbar [2005]
Irhash A. Shamad dan Danil M. Chaniago, Islam dan Praksis Kultural
Masyarakat Minangkabau. Jakarta: PKBI dan Tintamas [2007]
Radjab, Muh., Perang Paderi di Sumatera Barat. Jakarta: Kementerian
PP dan K [1954]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Hidakarya Agung [1982]
Edwar Djamaris, Tambo Minangkabau: Suntingan Teks disertai Analisis
Struktur. Jakarta: Balai Pustaka [1991]
Datoek Toeah, Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka
Indonesia [1985]

231
M. Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang
[1957]
MD. Mansur, dkk, Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara [1970]
Marjohan (ed), Gerakan Paderi, Pahlawan dan Dendam Sejarah.
Yoyakarta: PP Muhammadiyah dan Pemkab Pasaman [2009]
Murni Djamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam
Gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau pada awal abad
ke-XX. Jakarta: INIS [2002]
Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius: Refleksi pemikiran
dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Zainuddin Abdul Majid
1904-1997. Jakarta: Logos [2004]
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad
ke-XIX. Jakarta: Bulan Bintang [1984]
DDP Perti, Perjuangan PERTI dan Pribadi KH. Rusli Abdul Wahid.
Jakarta: DDP PERTI [1992]
V.I. Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra
Melayu dalam Abad 7 – 19. Jakarta: INIS [1998]
Tim Islamic Centre, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Sumatera Barat
(Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981)
Tim Islamic Centre, Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan
Perjuangannya. Padang: ICSM dan Angkasa Raya [2001]
Tim Penulis, Beberapa Ulama di Sumatera Barat. Padang: Museum
Adityawarman[ 2008]
Mastuqi HS, dkk, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan
Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren (Jakarta:
Diva Pustaka, 2004)
MA. Arief, Fatwa Tentang Tarikat Naqsyabandiyah. Medan: Firma
Islamyah [1978]
Yunus, Yulizal, Sastra Islam: Kajian Sya’ir Apologetik Pembela
Tarekat Naqsyabandiyah Syekh Bayang. Padang: IAIN-IB
Press [1999]
Zed, Mestika, Tuanku Rao: Riwayat Hidup Tokoh Paderi di Kawasan

232
Zuriati, Undang-undang Minangkabau dalam Perspektif Ulama Sufi.
Padang: Universitas Sastra Universitas Andalas [2007]

V. Dokumen yang tidak diterbitkan, Majalah, Disertasi, Tesis, ,


Stensil, dll
Majalah al-Mizan, No. 25, th. 1916 [Syarikat al-Ihsan, Maninjau]
Majalah al-Mizan, No. 1, 15 muharram 1357/ 16 maret 1938 [Taloeak,
Fort de Kock]
Majalah Soearti (Soeara Tarbijah Islamijah) tahun 1938
Majalah al-Moenir, 1 ramadhan 1330/ 14 Agustus 1912, Juz ke-11
Latief, M. Sanusi. Gerakan Kaum Tua di Minangkabau. Disertasi
Doktor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta [1988]
Ma’az, Asril, Sekilas Lintas Sejarah Syekh Abdurrahman Bintungan
Tinggi. naskah tidak diterbitkan
Musda, Novelia, The Tariqa Naqshabandiyyya-khalidiyya in
Minangkabau in The second Part of the nineteenth century.
Thesis University Leiden [2010]
Rusli, Baharuddin, Ayah Kita: Sejarah Ringkas Seorang Ulama Besar
Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Stensilan [1978]
Tuanku Saidina Ibrahim, Sulaiman, Sejarah Ringkas Maulana Syekh
Ibrahim al-Khalidi Kumpulan. Stensilan [2006]
Nur, Mhd., Gerakan Kaum Sufi di Minangkabau. Thesis, PPS
Universitas Gajah Mada Yogyakarta [1991]
M. Sanusi Latief, dkk, Studi Tentang Karya Tulis DR. H. Abdul Karim
Amrullah. Laporan Penelitian The Toyota Foundation, Padang
[1988]
Sjarif Thahir, Sjech Moehammad Sa’ad Mungka. Stensilan [1957]
Putra, Apria, Ulama-ulama Luak nan Bungsu: Catatan Biografi Ulama
Luak Limapuluah dan Perjuangannya [dalam proses terbit]
Halim Sa’adi, Mengenal Riwayat Hidup dan Perjuangan Syekh
Muhammad Sa’ad al-Khalidi: Ulama Besar di Sumatera

233
Barat dipermulaan Abad XX. Diterbitkan untuk kalangan
sendiri [1988]
Yunus Yahya Magek, Riwayat Hidup Ulama Syafi’I (Stensilan) Magek:
Persatuan murid-murid Tarbiyah Islamiyah Magek [1976]

234
Transliterasi
Tulisan Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli:
“Keadaan Minangkabau dahulu dan sekarang”

Pengantar:
Tulisan Syekh Sulaiman ar-Rasuli dibawah ini merupakan satu
cacatan yang cukup penting dan menarik mengenai kehidupan
keagamaan di Minangkabau sebelum dan sesudah datangnya arus
pembaruan. Syekh Sulaiman ar-Rasuli sebagai seorang ulama
pejuang sekaligus pelaku sejarah itu, merasai benar kehidupan di
abad XIX hingga abad XX, kemudian memberikan uraian yang
cukup langka perihal jalan agama Islam di tanah Andalas ini.
Setidaknya ada beberapa informasi penting yang dapat kita
peroleh dari tulisan ini: (1) Pengamalan agama Islam di masa
silam di Minangkabau; (2) Perihal posisi ulama-ulama di
Minangkabau; (3) Fatwa agama dan pengaruhnya di tengah
masyarakat; (4) Kitab-kitab yang dipelajari di Surau pada abad
XIX; dan (5) Perubahan yang terjadi pada masa modern (awal
abad XX).
Tulisan ini dikutip dan ditransliterasi dari Majalah al-Mizan
(bertuliskan Arab Melayu), No. 1, 15 Muharram 1357/ 16 Maret
1938 (Majelis Tarjih Ittihad Ulama Tarbiyah Islamiyah, Taloeak
78, Fort de Kock) hal. 6-9 .
Transliterasi:
Keadaan Minangkabau dahulu dan sekarang
Oleh yang mulia Syekh Sulaiman ar-Rasuli

Pada tahun hijriyah 1309 (1889, Pen) kita mulai menjadi


penuntut [ilmu agama. Pen], ketika itu maka kita mulai
melayangkan pemandangan arah keseluruh Minangkabau dan
kelilingnya maka kedapatanlah bahwa di Minangkabau dan
kelilingnya sudah juga tersiar dan terpakai sekalian perintah-
perintah agama, maupun yang berhubungan dengan ashal
(pokok-pokok) seperti iman dan i’tiqat Ahlussunnah wal
Jama’ah, ataupun yang berhubung dengan furu’ (cabang) seperti
sembahyang, puasa dan sebagainya. Mulai dari yangs sekecil-
kecilnya seperti tahnik (menyuapi anak-anak yang umurnya tujuh
hari) sampai kepada yang sebesar-besarnya, seperti sembahyang,
zakat, haji, puasa dan seumpamanya. Sekalipun diantara
penduduk Minangkabau dan kelilingnya ada juga sebagian yang
tidak mau bertunduk dibawah perintah agama, tetapi mereka
dipandang oleh umum sebagai orang bersalah. Sedang mereka
sendiri mengaku bahwa mereka sendiri mengaku bahwa mereka
bersalah kepada Tuhan seru sekalian alam.
Kemudian kita layangkan pemandangan kita kepada guru-guru
alim ulama yang sebagai suluh benderang, cermin terus dalam
nagari. Maka kedapatanlah bahwa mereka tidak banyak berkata-
kata, tetapi banyak bekerja, sedang bilangan mereka tidak pula
begitu banyak, hingga diperoleh disetengah negeri di
Minangkabau dan kelilingnya tidak mempunyai guru (alim
ulama).
Dan kalau mereka ditanya orang satu masalah, apa hukumnya ini
tuan? Maka mereka jawab ini haram umpamanya, dengan tidak
menyebutkan kitab itu kitab ini apalagi akan menerangkan ayat
Qur’an dan Hadist Nabi, Ijma’ dan Qiyas tempat mengambil
hukum tersebut. Tetapi penjawaban mereka yang begitu pendek
terus menerus diamalkan oleh yang bertanya hingga tidak dilupa-
lupakan lagi. Bak pepatah orang disini, kok malam jadi selimut,
kok siang ka jadi tongkat.
Kemudian kita layangkan lagi pemandangan kita kepada kitab-
kitab agama yang ada pada waktu tersebut maka kedapatan
pulalah bahwa di Minangkabau dan kelilingnya tidak ada kitab-
kitab fiqih selain Minhajut Thalibin karangan yang mulia Imam
Nawawi rahimahullahi ta’ala. Maka dengan kitab itulah orang
Minangkabau dan kelilingnya tahu beribadah kepada Allah dan
pandai berjual beli, pagang gadai, upah mengupah dan
sebagainya yang bersangkut dengan penghidupan secara yang
diperintahkan Allah dan Rasul. Dan dengan kitab itu juga orang
Minangkabau dan kelilingnya tahu nikah, thalaq, ruju’ dan
sebagainya yang secara kehendak islam. Begitu pula hukum
mehukum, dakwa, jawab saksi dan bayyinah, pendeknya segala
perintah-perintah agama tidak dapat diketahui orang
Minangkabau dan kelilingnya melainkan dalam kitab Minhajut
Thalibin yang tersebut sekalipun Qur’an dan Tafsir sudah ada
tetapi guru-guru yang ada pada masa ini tidak pernah melihat
hukum-hukum kedalam Qur’an hanya cukup dengan melihat kitab
Minhajut Thalibin tersebut saja.
Dan kalau tumbuh kejadian dalam negeri umpamanya perkara
talaq dan sebagainya maka mereka tidak berpedoman, malah
dengan kitab tersebut dan mana-mana yang musykil dilihat saja
Syarah Minhaj tersebut seperti Mahalli, Tuhfah, Nihayah dan
Mughni. Dan kita tidak dengar kitab itu kitab Subulus Salam,,
Nailul Authar, I’lamul Muwaqi’in,, Bidayatul Mujtahid dan lain-
lain. Sehingga kalau kita pergi ketempat-tempat penuntut (surau
yang ramai) tidaklah kita perdapat disitu malah Minhajul
Thalibiin tersebut pada bicara fiqih, dan Jalalain pada bicara
tafsir, dan Matan Jurumiyah dan Syarah Syekh Khalid pada
bicara nahwu, sedang pada kita sendiri sudah kejadian hal
semacam itu waktu kita mulai menuntut.
Maka kita tidak mempunyai kitab fiqih hanya Minhajul Thalibin
yang disyarah dengan Jalalain al-Mahalli yang ditulis dengan
tangan di atas kertas tebal yang adalah beratnya satu naskah dua
jilid kira-kira seperempat pikul.
Pendeknya tidaklah islam minangkabau dan kelilingnya kalau
tidak ada kitab minhajul thalibiin tersebut pada adatnya.
Oleh sebab itu patut kita banyak berterima kasih kepada
pengarangnya Imam Nawawi rahimahullah ta’ala dan
mendo’akan supaya beliau mendapat darajat yang tinggi pada
akhirat, Amin.
Sekarang marilah sama-sama kita selidiki apakah sebab kitab
yang begitu kecil sedangkan isinya tidak pula diisi dengan ayat
Qur’an dan Hadits Nabi SAW tetapi pengaruhnya dapat
meislamkan sebahagian penduduk bumi, bukan ?
Maka menurut pikiran kita adalah satu sebab yang menjadikan
kitab tersebut sangat berpengaruh, ialah karena pengarangnya
sampai kepada martabat wali dan mujabud da’wah.
Perhatikanlah waktu beliau mengarang kitab tersebut maka pada
satu waktu beliau ketiadaan lampu, tiba-tiba terbit saja api yang
menerangi pada telunjuk beliau yang kiri, apa itu tidak ajaib ?
Juga beliau mengarang ini sangatlah ikhlas tidak mengenal
sedikit juga keuntungan dunia. Buktinya tidak beliau larang
siapa-siapa yang akan mencetak dan menerbitkan kitab beliau,
malah beliau do’akan saja dengan mendapat pahala yang
berganda-ganda dan juga beliau tidak menyebutkan siapa beliau,
dan keluaran mana, diploma mana dan lain-lain. Berkata
Rasulullah Saw walikullim ri-im maanawaa artinya dapat oleh
manusia apa yang dimaksudnya dengan kerjanya dan jikalau kita
maksud mengarang kitab supaya dapat jadi petunjuk bagi
khala’iq yang banyak maka dapatlah kitab itu jadi pertunjuk,
seperti Minhajut Thalibin tersebut, dan kalau dimaksud yang lain
dapat pulalah yang lain dari pada itu.
Maka sekarang marilah sama-sama kita layangkan pemandangan
kita arah keseluruh minangkabau dan kelilingnya supaya dapat
sama-sama kita ketahui bagaimana perbedaan antara masa
dahulu dan masa sekarang yang biasa disebut masa kemajuan.
Perhatikanlah, berapa banyaknya kitab-kitab agama sekarang,
bukan saja keluaran Mekah, Madinah dan Mesir, tetapi keluaran
Minangkabau pun tidak pula berketinggalan. Dan perhatikan
pulalah berapa pula banyaknya guru-guru masa sekarang,
hingga sebahagian dari pada mereka tidak dapat mengajar
karena sudah banyak kelebihan.
Dan perhatikan pulalah berapa banyak penyebaran agama masa
sekarang dengan mengadakan tabligh-tabligh, lezing-lezing pada
tiap-tiap tempat, dan mengarang majalah-majalah (surat-surat
khabar) yang bersangkut dengan agama, bukan saja dikarang
dengan huruf Arab, tetapi banyak dikarang dengan huruf latin
supaya umum dapat membaca. Dan perhatikan pulalah
bagaimana banyaknya madrasah-madrasah (tempat belajar
agama) dan kemana kita berjalan jarang yang tidak kelihatan
rumah sekolah agama. Dan perhatikan pulalah bagaimana
bagusnya karangan-karangan guru-guru masa sekarang, hingga
tiap-tiap masalah dihiasi dengan ayat-ayat Qur’an, Hadits nabi
SAW, sedang pada awalnya tidak pula berketinggalan
menerangkan siapa pengarang dan apa pangkatnya dan diploma
mana dan lain-lain sebagainya, hingga gambar-gambar beliau
yang sangat menggembirakan dan menarok tidak pula
berketinggalan dilukiskan pada awal kitab beliau. Dan
perhatikan pulalah bagai mana pintar-pintarnya guru sekarang
memasukkan pelajaran ke dalam hati sanubari umum, bukan saja
dengan bahasa Minangkabau, tetapi banyak pula kedengaran
bahasa-bahasa asing yang dimasukkan waktu tabligh-tabligh dan
dalam majalah-majalah seperti yang tak tersembunyi lagi bagi
umum, terkadang-kadang ada pula yang sampai mengelirukan
faham orang di kampung-kampung yang belum mengetahui
bahasa apa itu?
Maka sekarang mari pulalah sama-sama kita selidiki dalam-
dalam apakah yang terbit di Minangkabau dan sekelilingnya
semenjak banyak kitab-kitab, sekolah-sekolah agama, tablig-
tablig, lezing-lezing, dan majalah-majalah (surat-surat khabar)
yang bersangkut dengan agama? dan apakah yang terjadi
semenjak bagusnya kitab-kitab agama, dan kata-kata yang
terpakai untuk pemasukan rasa agama ke dalam hati umum?
adakah orang-orang umum bertambah ta’at kepada Allah dan
Rasul? dan adakah amalan umum bertambah banyak dari yang
dahulu? tuan-tuan pembaca boleh menimbang sendiri .
Tetapi menurut penyelidikan kita yang amat pendek ini, adalah
yang terbit di minangkabau dan kelilingnya semenjak keadaan
bertukar dan semenjak bagusnya kata-kata yang dipakai buat
pelalukan agama kepada awam lain tidak hanya saja berpecah
belah bermusuh-musuhan putus silaturahim antara satu sama
lain. Perhatikanlah betapa banyaknya anak-anak durhaka kepada
bapak dan murid-murid kepada guru, dan perhatikan pula lah
berapa banyak perbantahan dalam tiap-tiap kampung tiap-tiap
negri dan tiap-tiap rumah. Untuk buktinya banyak Jum’at yang
diduakan urang lantaran perselisihan antara penduduk negeri
dan banyak rumah yang satu sampai dibatas di tengah-tengah
sebab perselisihan juga, sebelah rumah berqunut yang sebelah
tidak.
Dan kalau kita periksa sekali lagi tak ubahnya Minangkabau dan
sekelilingnya sekarang bak pepatah orang kita di sini, hari
pahujan Bandar kering, padi menjadi beras mahal, maksud kata-
kata itu tabligh banyak, lezing banyak, kitab banyak, guru-guru
banyak, tetapi amalan dan ibadat bertambah kurang.
Perhatikanlah pembagian harta meninggalan mayit dan tutup
aurat perempuan yang masih terdiam pada masa yang silam, apa
sudah terpakai sekarang? tentu belum juga dan perhatikan pula
lah berapa banyaknya perintah-perintah agama yang sudah
dikerjakan pada masa yang silam tetapi sekarang sudah pula
ditinggalkan hingga tidak disangka-sangka lagi bahwa amalan-
amalan itu perintah agama juga, seumpama sembahyang istisqa’
(mintak hujan). Apabila kekurangan air pada masa dahulu, kalau
tumbuh kekurangan air, tidak kurang-kurangnya manusia
berhimpun-himpun ke tengah padang sengaja sembahyang
istisqa’ (mintak hujan). Begitu juga sembahyang jenazah (mayit),
maka jikalau tumbuh kematian dalam satu-satu negeri berduyun-
duyunlah sekalian orang yang dipandang ahli agama datang
menyembahyangkan jenazah. Tetapi kalau kita lihat sekarang
jarang sekali orang sembahyang istisqa’ (mintak hujan) dan
kalau kita lihat pula apabila kematian dalam satu negeri bukan
main payahnya ahli mayit mencahari orang yang akan
menyembahyangkan jenazahnya, terkadang diperdapat barang
dua atau tiga orang untuk pembayarkan fardhu kifayah saja. Apa
sembahyang istisqa’ dan jenazah itu bid’ah pula? atau
kebanyakan guru-guru sekarang tidak pandai sebab waktu habis
untuk belajar vak umum ?
Maka kita pikirkan pula apa akan terjadi pada masa belakang,
amatlah sedih hati kita.
Oleh karena itu kita serahkan saja kepada tuan-tuan pembaca.
Hanya kita berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mudah-
mudahan janganlah hendaknya terjadi hal yang tidak baik dan
kita me[ng]ucapkan Inna lillaahi wa inna [ilaihi] raji’un.

Wassalam.

Anda mungkin juga menyukai