MUHAAD ARDIANSAH Fatḥul ‘Ārifīn dan Tasawuf yang Terpinggirkan: Suluk Bait Duabelas Syekh
Kemuning dan Perlawanan terhadap Islam Mainstream di Jember Awal Abad XX | IBNU FIRI Naskah
Shahadat Sekarat: Konstruksi Nalar Sufistik atas Kematian dan Eskatologi Islam di Jawa | SIDI Mulḥaq fī
Bayān Al-Fawā’id Al- Nāfi’ah fī Al-Jihād fī Sabīlillāh: Aktualisasi Jihad dan Purifikasi Azimat | MUtI ALI
Sejarah Cirebon: Ekperimen Pribumisasi Islam-Sufistik Syekh Nurjati | MUHAAD NIDA’ FADLAN Naskah Kuno
untuk Kawula Muda
Vol. 5, No.2, 2015
ISSN: 2252-5343
Jurnal Manassa
Volume 5, Nomor 2, 2015
PENANGGUNG JAWAB
Ketua Umum Manassa
DEWAN EDITOR
Achadiati, Al Azhar, Annabel Teh Gallop, Dick van der Meij, Ding Choo Ming,
Edwin Wieringa, Henri Chambert-Loir, Jan van der Putten, Mujizah, Lili Manus,
Nabilah Lubis, Roger Tol, Siti Chamamah Soeratno, Titik Pudjiastuti,
Tjiptaningrum Fuad Hasan, Yumi Sugahara, Willem van der Molen
EDITOR EKSEKUTIF
Oman Fathurahman, Tommy Christomy
SEKRETARIS
Munawar Holil, Pitria Dara
STAF EDITOR
Asep Saefullah, Asep Yudha Wirajaya, Elmustian Rahman, Hasaruddin, I Nyoman Weda Kusuma,
Latifah, M. Adib Misbachul Islam, Muhammad Abdullah, Mukhlis Hadrawi, Pramono,
Saefuddin, Sarwit Sarwono, Sudibyo, Titin Nurhayati Makmun, Trisna Kumala Satya Dewi
TATA USAHA
Amyrna Leandra Saleh
ALAMAT REDAKSI
Sekretariat Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA)
Gedung VIII, Lantai 1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok,
16424 Telp/Faks. (021) 787062fi, Website. www.manassa.org atau
http://situs.opi.lipi.go.id/manassa/, Email. manassa@ymail.com
MANUSKRIPTA (ISSN 2252-5343 ) adalah jurnal ilmiah yang dikelola oleh Masyarakat Pernaskahan
Nusantara (Manassa), asosiasi profesi pertama dan satu-satunya di Indonesia yang memperhatikan
preservasi naskah nusantara. Jurnal ini dimaksudkan sebagai media pembahasan ilmiah dan
penyebarluasan hasil penelitian di bidang filologi, kodikologi, dan paleografi. Terbit dua kali dalam
setahun.
Daftar Isi
Artikel
197 Alfida
Syair Fakih Saghir: Sosial Status dan Ritual Kematian
di Minangkabau Abad ke-19
327 Sidik
Mulḥaq fī Bayān Al-Fawā’id
Al-Nāfi’ah fī Al-Jihād fī Sabīlillāh:
Aktualisasi Jihad dan Purifikasi Azimat
Kata Kunci: Fatḥul ‘Ārifīn, Bait Duabelas, Syekh Kemuning, Sastra Islam-
Jawa, Suluk.
273
Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015
Fatḥul ‘Ārifīn dan Tasawuf yang Terpinggirkan
A
da suasana yang khas ketika berkunjung ke Pesantren Nahdhatul
Arifin di Desa Kemuningsari Lor, Kecamatan Panti Kabupaten,
274
Jember. Selepas salat Isya, para santri dengan khusyuk membaca
“Bait Duabelas”, sebuah naskah suluk yang disusun oleh pendiri
pesantren, Syekh Muhammad Nur. Mereka membaca di serambi
masjid pesantren, di hadapan Kiai Arjuni, salah seorang pengasuh di
pesantren tersebut.
Sebagaimana laiknya nadhoman, para santri membaca Bait Duabelas
dengan cepat dan berintonasi. Di luar pembacaan tembang-tembang,
minimal dibutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk sebuah
ritual pembacaan nadhom Bait Duabelas. Dalam sehari semalam,
santri diwajibkan membaca Bait Duabelas secara berjamaah minimal
tiga kali, yakni setelah salat asar, setelah isya, dan setelah subuh.
Dengan cara itulah suluk Bait Duabelas yang lahir pada awal abad
20 tersebut tetap bertahan hingga kini. Dari generasi ke generasi,
para santri membacanya, memahami kandungan maknanya, dan
menjadikannya pedoman dalam mengarungi kehidupan di dunia.
Meskipun pembacaan secara personal atas naskah Bait Duabelas lebih
diutamakan, tetapi pembacaan pada umumnya dilakukan secara aural
yang diperdengarkan kepada publik dan karenanya, bersifat populis.
Bait Duabelas merupakan “ilmu ilham” yang diperoleh setelah
Syekh Muhammad Nur melaksanakan khalwah suluk mujahadah
selama 9 tahun, dari 1910 hingga tahun 1919. Laku suluk yang
terekam dalam naskah Fatḥul ‘Ārifīn ini terdiri dari dua tahapan.
Tahap pertama disebut suluk abrar, terdiri dari suluk irodah dan suluk
hidayah, yang dilaksanakan selama enam tahun. Masa sisanya, selama
tiga tahun, disebut suluk muqarrabin. Bait Duabelas lahir pada
momen akhir pelaksanaan khalwah suluk mujahadah.
Ada tiga aspek menyangkut signifikansi studi tentang Bait Duabelas
ini. Pertama, suluk berbasis bilangan yang susunannya menimbulkan
teka-teki ini menyimpan suatu semesta pengatahuan yang luas. Oleh
karena itu, upaya untuk mengungkap struktur, kandungan makna, dan
segi kesastraan naskah tersebut menjadi penting secara filologis. Naskah
yang berbentuk nadhom dan gubahan metrum-metrum macapat ini
juga memberikan wawasan mengenai dunia sastra yang melingkupinya,
sastra Jawa tradisional.1
Kedua, suluk itu pernah “diadili” dalam sebuah kongres ulama yang
dipimpin oleh salah seorang ulama besar saat itu, KH. Abdul
Wahab
Hasbullah2 dari Tambak Beras Jombang. Sebagai teks keagamaan,
Bait Duabelas dianggap menyimpang dari normativitas agama,
ilmu setan, dan karenanya, sesat. Ada upaya peminggiran, eksklusi 275
sebuah komunitas keagamaan oleh kelompok mayoritas, mainstream
keagamaan.
Ketiga, kelestarian dan keterbacaan naskah melalui komunitas-
komunitas pembaca Bait Duabelas merefleksikan dinamika dan dialektika
Bait Duabelas di masyarakat. Naskah suluk Bait Duabelas bukanlah
naskah mati, melainkan naskah hidup (living manuscript) yang
keterbacaannya hingga kini mengandaikan suatu “pembangkangan”,
negosiasi, bahkan dalam batas tertentu, kompromi dengan Islam
mainstream.
Studi ini dapat memberikan kontribusi bagi penulisan historiografi
alternatif tentang Islam di Jember. Penulisan historiografi
konvensional hampir tidak memberi tempat bagi keberadaan kaum
splinter dan pinggiran. Historiografi Islam juga nyaris tidak menyajikan
historical accounts–periwayatan sejarah− tentang komunitas yang
menyimpang dari tradisi mainstream Islam. Oleh karena itu, paralel
dengan aktualitas sosio-historis dan kultural mereka yang
terpinggirkan, sejarah mereka pun terpinggirkan dan sekadar
menempati “margin of history”. Dengan menyuarakan suara-suara
pinggiran, studi ini diharapkan dapat menawarkan diskursus
alternatif bagi “pusat”. Suluk Bait Duabelas, harus dibawa ke atas
panggung sejarah (center of history) Islam Jember, tidak untuk dinista,
melainkan diterima secara arif sebagai bagian dari keragaman Islam.
J
a
w
a
k
a
s
a
r
:
“
D
e
n
e
i
k
i
r
i
s
a
l
a
h
i
k
u
coro Jowo Wetan rodo menengah. Perlu kangge nerusne risalah ingkang
coro Arab, supoyo gampang olehe ngertine (risalah ini ditulis dalam
bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa kasar, bahasa yang digunakan di 279
Jawa bagian timur agak ke tengah agar mudah dipahami)”.14 Selain
itu, capaian mukasyafah Syekh Kemuning dan perolehan ilhamnya
juga berupa bahasa Jawa.
Alasan penulisan naskah dalam bahasa Jawa ini juga dikuatkan
dengan mengutip pernyataan KH. Sholeh Darat Semarang yang
menyontohkan bagaimana kitab Syu’batu al-Imān awalnya ditulis
dalam bahasa Faris oleh Sulaiman Al-Farisi, disalin ke bahasa Cina,
ditulis ke dalam bahasa Arab, kemudian oleh ulama Banjar di tulis
dalam bahasa Melayu, lalu oleh KH. Sholeh Darat disalin ke bahasa
Jawa. Oleh karena itu, KH. Shirotol Mustaqim menulis: “Iki risalah
sun arani risalah Fatḥul ‘Ārifīn. Asale lughot Jowo lajeng dipun alih lughot
Arab perlune lil-istikmāl” (risalah ini saya namai risalah Fatḥul ‘Ārifīn.
Asalnya berbahasa Jawa kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa
Arab).15
Lalu, siapa sebenarnya KH. Shirotol Mustaqim, sang penulis
naskah Fatḥul ‘Ārifīn? KH. Shirothol Mustaqim lahir di Banyuwangi
tahun 1871.16 Pada tahun 1880 ia mengikuti pamannya, KH.
Muhammad Anwar, yang menjabat Penghulu Hakim di Lumajang
dan menyelesaikan sekolah dasarnya (SR) di sana. Riwayat pendidikan
selanjutnya identik dengan pendidikan pesantren, mulai dari
Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Pesantren Sono, Pesantren Jasermo
Wonokromo Surabaya. Terakhir, pada 1908-1912, KH. Shirotol
Mustaqim belajar di Pesantren Syaikhuna M. Kholil Bangkalan.
Pesantren terakhir ini sangat menentukan jalan hidup KH. Shirotol
Mustaqim hingga akhir hayatnya. Suatu ketika, saat hendak pulang
setelah menyelesaikan pendidikan selama empat tahun, KH. Kholil
berpesan mengenai empat hal:
“Jika kamu pulang ke Jawa,17 singgahlah dulu ke masjid Ampel dan
bermalamlah di sana. Sampaikan salam saya kepada kaum muslimin-
muslimat Serbet dan sekitarnya. Jika kamu hendak kawin, carilah
perempuan yang nasabnya dari Beru Pamekasan Madura. Dan dengarkan
ada di daerah Ning-ning Jember Kyai Tapa yang lamanya sembilan tahun,
dan Allah mengangkat derajatnya sebagai sulthon auliyā’ al-quthub. Pergilah
kamu ke sana sebab ilmu ilhamnya tanpamu tidak akan tersebar luas.”18
Perjumpaan KH. Shirotol Mustaqim dengan Syekh Kemuning
juga dilatarbelakangi oleh kegelisahannya dalam mencari jalan terbaik
menuju Tuhan. Dalam pengembaraannya sebagai salik, KH. Shirotol
Mustaqim mempelajari berbagai tarekat, dari tarekat Syattariah,
280
Naqsyabandiyah, Akmaliyah Ahmadiyah, Tijaniyah, Ghozaliyah
dan lain-lain hingga mencapai empat belas tarekat, tak satu pun bisa
membuatnya yakin akan kebenarannya, hingga akhirnya bertemu
dengan Syekh Kemuning.19
Tanggal 3 Syawal 1339 H (10 Juni 1921), KH. Shitothol
Mustaqim tiba di Kemuningsari Lor, bertepatan dengan waktu salat
asar dan ia pun ikut salat berjamaah. Usai salat, ia menemui Syekh
Kemuning. Setelah menyampaikan maksud kedatangannya untuk
mencari tarekat yang benar, Syekh Kemuning mengatakan:
“Di zaman sekarang ini kamu tidak bisa mengamalkan tarekat-tarekat itu
dan aku tidak mengizinkan mengamalkan tarekat Naqsyabandiah, karena
tidak sesuai dengan tarekatku, juga tidak ada mufakat ulama terkait
tarekat ini. Dalam kitab Adzkiya’ diterangkan bahwa idhlā dalīla ‘alā
ṭarīqi ilā al-ilāhi illā mutāba’ata al-rasūli al-mukmalā fī ḥālihi wa fi’ālihi
wa maqālihi fatatabba’anna wa tābi’an lā ta’dīlā (tidak ada dalil yang benar
atas perjalanan menuju Allah, melainkan harus mengikuti jejak Rasulullah
saw yang sempurna, yaitu mengikuti dalam perilakunya, perbuatannya,
perkataannya dan ikuti dan jangan sampai tidak diikuti).”20
s
e
b
e
l
u
m
m
e
l
i
h
a
t
k
e
k
u
a
s
a
a
n
A
l
l
a
h
d
a
Allah sebelum saya melihat kekuasaan Allah (roaitu allaha ta’āla
qobla kulli syai’in): atsar abi bakri ash-shiddiq.27
Pencapaian Syekh Kemuning tersebut dinamakannya sendiri sebagai 283
ilmu mukasyafah atau ilmu ilham yang terlihat di Lauḥul Maḥfūẓ
dengan angka abjad:28
ﯾﺞ ج ج د ج
ز ج ﯾﺪ د ه
ﯾﮫ و ﯾﮫ و
د ح د ج ل ن
Rumusan di atas sebenarnya merupakan ringkasan dari ratusan
kalimat dan ribuan huruf yang harus diamalkan dan dibaca dengan
artinya sekaligus. Kini, rumusan tersebut telah tersusun menjadi sebuah
kitab yang dinamakan “Bait Duabelas”. Ilmu ilham atau mukasyafah
tersebut diterima oleh Syekh Kemuning secara bertahap dan
dituliskan oleh KH. Shirotol Mustaqim dari tahun 1924 hingga
1945.29
f
ī
b
ā
b
i
h
ā
y
e
n
n
g
u
t
u
k
o
l
e
h
e
m
o
c
o
m
u
k
a
s
y
Nomer tujuh empat: al-awwal satu, wa al-thānī sebelas, wa al-thālith N
songo, wa al-rābi’ limo. Satu awwal: kun kullu syai’ hālikun illā wajhah/ o
biḥaithu liman al-malik al-yaum lillāh al-waḥid al-qahhār. Sebelas thānī m
kun hidāyatan: alastu birabbikum qālū balā/ alastu birabbikum/ wolu e
qudrah, irādah, ‘ilmu, ḥayāh, sama‘, baṣar, kalām, wujūd. Qālū balā telu: r
nuraniyyah, raqīqah, laṭīfah: fī ālam al-‘ahdi wa al-mithāq. Songo thālith s
kun wilāyatan: Allāh khalaqakum wa mā ta‘malūn. Khalaqa papat: e
‘arasy, kursi, bumi pitu, langit pitu. Kum niro kabeh papat: jin, syaiton, p
malaikat, menungso, Gusti Allah kang gawe. Limo rābi’ kun fayakūn: u
jism, jirm, jauhar, ‘araḍ. Limo gusti Allah ingkang gawe thumma i’lam: l
mongko keri- keri becik weruho siro iki mukasyafah inkisyāf al-mubtadī u
arane: artine fi al-azal menungso durung maujud ‘inda Allāh kabeh h
kudu mengkunu māsyā Allāh kāna: Ba’dane iki nomer mulahi nomer
wolu iku diarani ‘ilmu al-muntahī arane: mungguh ibarat sepeur kereta t
api rel wes diatur koyo mengkunu sareng sepur wes melaku mung kari u
melaku nurut opo jare kenceng menggoke rel. Sepur ora biso menggok j
anging kelawan miturut menggoke rel. Dadi ‘ilmu al-muntahī owahe ilmu u
al-mubtadī gampangane wujude alam dunyo lan sak isine iki uwohe h
alam jabarut/ rancangan membangun pendirian wes den gambar ing :
zaman ‘ahdi wa al-mīthāq/ poro malaikat ingkang weruh lan nyekseni A
ing alam nasarut jabarut iku ngarep-ngarep ngenten-ngenteni kepingine l
doyo-doyo weruho yang gebyare ing zaman iku/ koyo opo rupane koyo -
opo kahanane. a
Nomer delapan empat belas: al-awwal limo, wa al-thānī limo, wa al- w
thālis| papat. Al-awwal limo wa al-thānī limo wa al-thālithu empat: Limo w
awwal: al-awwal beras, wa al-thāni bako, wa al-thālithu kopi, wa al-rābi‘ a
gulo/ wa al-khāmis teh. Limo thāni: al-awwal ngeliwet, wa al-thāni pecel, l
wa al- thālithu mangan, wa al-rābi‘ turu/ wa al-khāmis nyambut brujul. s
Empat thālis: al-awwal lengo, wa al-thāni uyah, wa al-thālithu lanang, a
wa al-rābi‘ wadon. Iki hukum adat luk ojo keliru paham hukum t
‘adiyun ingkang kesebut al-ladhī yaṣiḥḥ}u al-takhallufu ma‘a ṣiḥḥati al- u
tikrār abadan/ dudu hukum gāliban atawa hukum ‘ādat ‘urfan/ atawa ,
hukum adat biasa/ hukum ‘ādiyyun al-ladhī yaṣiḥḥ}u al-takhallufu ma’a w
ṣiḥḥati al-tikrār abadan/ fa farriq baina ‘ādiya al-thalāthah wa al- a
wāḥidah.
a
Nomer sembilan tiga: Al-awwal wolu, wa al-thānī empat, wa al-thālith satu. l
Wolu awwal sifate Allah ta‘ala qudrah, irādah, ‘ilmu, ḥayaḥ, sama‘, baṣar,
-
kalām: dzate Allah satu. Iki wajib akal/ ‘aqliyyun. Empat thāni sifat jaiz
t
Allah agawe: jism, jirīm, jauhar, ‘araḍ. Satu thālith muḥāl loro telu: Allāh
h
waḥdah lā syarīkalah. Utawi iki nomer iku nerangaken bab ḥukmun
ā
‘aqliyyun (dadi mestine). Dadi mestine ḥukmun ‘aqliyyun iku telu: yo iku
n
wajib, muhal, jaiz. Ora hukum akal coro biasa. Akal biasa iku den arani
i
ḥillah/ hukum hilah iku ora masuk maring iki bab/ taammal/ fafham/ lā
s
tajhal.
a
tu, wa al-thālithu
satu, wa al-rābi‘ satu, wa al-khāmis satu/ wa al-sādis satu/ wa al-sābi‘ satu/
285
ya‘nī hukum syara‘ bima‘nā wajib (1), sunnah (2), wenang (3), haram (4),
makruh (5), sah (6), batal (7)
286
Rumosoku yen bab hukum syara’ koyo-koyo ora nono sakdurunge ora
nono kang madani ingdalem unen-unene. Faṭlub fī al-fiqh jamī‘an.
Nomer sebelas enam: Al-awwal lima puluh, wa al-thāni tiga puluh, wa
al-thālithu tiga, wa al-rābi‘ empat, wa al-khāmis delapan/ wa al-sādis
empat. Iki bab unine keterangane wes mari diwoco ingdalem bab ingkang
pertama ingkang keriyin ing dalem bab ‘aqā’id. Farji‘.
Nomer dua belas: Terisi lima belas bi al-tafṣīl atawa telu bi al-ijmāl iyo iku
enam enam tiga. Enam awal selamete ing dunyo: nyambuto gawe tani/
nyambuto gawe dagang/ nyambuto gawe buruh/ anut perintah negoro/
ngedohi larangan negoro/ ngetokaken pawetone negoro. Enam thānī
selamete akherat: anut perintahe Allah/ ngedohi cegahe Allah/
ngetoaken pawetone gusti Allah/ serto nuwun-nuwun mati Islam/ serto
tetep iman/ sinapuro duso. Telu thālith: i‘timād: biso nganggo hukum
adat, biso nganggo hukum akal, biso nganggo hukum syara‘.
Intahā kalām bait ingkang rolas larik ingkang awal iyo iki bait: ‘ilmu
inkisyāf al-ilhām ingkang mulai pertama kali kebukae ilhame romo guru
Kemuning bakdane yaṣ’udu al-kalimu al-ṭayyibu wa al-‘amalu al-ṣāliḥ
yarfa‘uhu (faidah ‘ājibah).33
Bait pertama menjelaskan hakikat Allah; bait kedua menjelaskan
tentang hakikat manusia; bait ketiga menjelaskan kewajiban manusia
untuk mengenal Allah dan hukum-hukum dalam kehidupan manusia
(hukum akal, hukum syara’, dan adat); bait keempat menjelaskan
kewajiban mengetahui Allah, malaikat, rasul-Nya, juga Al-Qur’an; bait
kelima menjelaskan apa yang harus dilakukan manusia di dunia; bait
keenam kurang jelas apa yang diajarkan; bait ketujuh menjelaskan
keberadaan Allah dan makhluk-makhluknya; bait kedelapan menjelaskan
hukum adat, bait kesembilan menjelaskan hukum akal; bait kesepuluh
menjelaskan hukum syara’; bait kesebelas tidak jelas menjelaskan apa;
menjelaskan perintah kepada manusia untuk bekerja mencari bekal
hidup, kewajiban terhadap negara, dan kewajiban untuk taat terhadap
Allah.
Selain nazam Bait Duabelas di atas, Bait Duabelas juga mencakup
tembang-tembang macapatan dengan menggunakan metrum Jawa
Asmaradana, Sinom, Pangkur, Kinanti, dan Dandanggula. Tembang-
tembang ini merupakan bagian dari Bait Duabelas yang berfungsi
memberikan nasehat-nasehat kehidupan, juga menceritakan riwayat
dan penghormatan terhadap Syekh Kemuning. Berikut salah satu
tembang dengan metrum pangkur:
Wonten kiyahi setunggal Ada seorang ulama d
Abu Bakar asal nami Abu Bakar namanya u
Kang topo ing kidul gunung Yang bertapa di selatan gunung n
Kang dados tukang ngladeni Yang menjadi pelayan)
Gusti Allah Kang Moho Agung Gusti Allah Yang Maha
i
Agung Sareng sampun ketrimo Setelah diterima oleh Allah a
Derajat sampun dumugi Naiklah derajatnya
i
Tembang ini bercerita Syekh Kemuning yang bernama asli Abu n
Bakar. Syekh Kemuning melaksanakan mujahadah di selatan gunung i
Argopuro, yaitu didesa Kemuning Sari Lorselama sembilan tahun dan ,
menjadipelayan Allah (selalu bermujahadah) sehingga memperoleh d
inkisyaf (penyingkapan tabir) dan Allah mengangkat derajatnya sebagai a
wali Quṭbul Ghauṭ. l
Suluk Bait Duabelas merefleksikan suatu pergulatan ajaran a
sufisme dan realitas kehidupan manusia sehari-hari yang sarat dengan m
konteks lokalitasnya. Tidak seperti pada umumnya, suluk yang lebih
mementingkan kesalehan individual dan eskapis, Bait Duabelas a
mencerminkan suatu upaya transformasi tasawuf ke dalam realitas j
kemanusiaan, upaya untuk membumikan tasawuf. Manusia, misalnya, a
untuk bisa melangsungkan kehidupannya di dunia dan menjalankan r
ibadah, maka ia harus melakukan berbagai ikhtiar di antaranya: a
ngeliwetun, yang maksudnya ialah bahwa menurut hukum adat kalau n
beras ingin dibuat nasi haruslah dimasak dulu, agar tembakau bisa
dihisap haruslah dibakar dulu, kopi gula dan teh agar enak B
diminum airnya haruslah dimasak dulu. a
Nyambelun, maksudnya ialah kalau nasi ingin lebih enak di makan i
perlu ditambah/dibarengi lauk–pauk, minimal dengan sambal. t
Manganun, maksudnya menurut adat kalau perut ingin kenyang maka D
nasi itu harus dimakan, kopi dan teh itu harus diminum. Turuwun, u
maksudnya kalau kita lelah, maka dianjurkan untuk beristirahat/ a
tidur. Minya’un, maksudnya ialah agar api bisa menyala haruslah b
ada minyaknya; agar mobil bisa berjalan haruslah ada bensinnya; e
agar pesawat bisa terbang haruslah ada avturnya; agar makanan bisa l
digoreng haruslah ada minyak gorengnya, begitulah seterusnya. a
Brujulun, maksudnya ialah jika manusia ingin mendapat beras, kopi, s
gula, teh dan tembakau, maka dia harus bekerja/menjalankan ikhtiar. ,
Uyaun maksudnya ialah agar makanan atau minuman lebih sedap h
rasanya maka ia harus diberi garam.34 a
Unsur tasawuf falsafi kuat mewarnai ajaran ini. Segala sesuatu di r
u
s dikembalikan kepada Allah.
287
”Berhati–hatilah kalian semua dalam menggunakan hukum–hukum
tersebut, luruskanlah hati kalian jangan sampai mengatakan nasi/beras
288 yang bisa mengenyangkan; tembakau, kopi, gula dan teh yang bisa
menyegarkan dan lain sebagainya. Kalau kalian mengatakan seperti
itu maka hukumnya kafir. Dan kalau kalian mengatakan nasilah yang
mempunyai kekuatan bisa mengeyangkan; tembakau kopi gula dan teh
yang mempunyai kekuatan bisa menyegarkan, maka hukumnya bid’ah.”
d
a
n
P
e
s
a
n
t
r
e
n
N
a
h
d
h
a
t
u
l
A
r
i
f
i
n
,
orang Jawa di pedesaan, khususnya di Kemuningsari Lor. Bait a
Duabelas tidak hanya mengajarkan bagaimana mencapai kebahagiaan j
di akhirat dengan menjalani laku suluk, tetapi juga mengajarkan a
pentingnya kehidupan dunia dan tertib sosial sebagai sarana r
mencapai akhirat. a
Meski suluk Bait Duabelas lahir di Kemuningsari Lor Jember, tetapi n
Cilimus Kuningan harus mendapat tempat khusus dalam konteks n
sosio-kultural Bait Duabelas. Idiom-idiom lokal dan konsep y
“hukum adat” dalam Suluk Bait Duabelas merepresentasikan lokalitas a
yang bisa kita jumpai baik dalam konteks sosio-kultural Jember Jawa .
Timur maupun Kuningan Jawa Barat. Jember, selain daerah P
persawahan, juga merupakan daerah perkebunan yang dibuka e
pertama kali sejak era kolonial Belanda. Sejak abad ke-19, beberapa r
komoditas perkebunan yang laku di pasaran Eropa bisa dijumpai di n
sini, di antaranya tebu, tembakau, teh dan kopi.37 Kuningan pun y
demikian, daerah ini menjadi salah satu sentra perkebunan Belanda di a
wilayah Jawa Barat dengan produk perkebunan yang sama dengan t
Jember.38 a
a
Pengadilan Terhadap Bait Duabelas: n
Kasus Syekh Kemuning, Kiai Imampuro, dan Kiai Sambelun
Terutama sejak akhir abad ke-19, walaupun sudah dimulai sejak abad s
17, Islam Nusantara yang bernuansasufistik mulaitergeserolehcorak Islam e
formalistik atau Islam syariat.39 Islam yang bercorak sufistik c
sebenarnya masih berkembang, tetapi keberadaannya semakin a
terpinggirkan oleh warna Islam syariat yang semakin dominan. Gerakan r
Islam reformis yang berlangsung seiring dengan semakin banyaknya a
orang Nusantara yang pergi haji ke Mekkah sekaligus belajar Islam di
sana semakin kuat untuk menjadi gerakan Islam mainstream di t
Nusantara.40 e
Dalam konteks sosio-historis itulah Bait Duabelas lahir. Warna r
sufisme Ibnu Arabi dalam ajaran-ajaran Syekh Kemuning. Gesekan b
antara Islam sufistik dan Islam syariat menjadi latar kesejarahan Bait u
Duabelas. Corak Islam sufistik, yang telah lama mem-pribumi dan k
menyatu dengan kearifan (local wisdom) dan pengetahuan lokal (local a
knowledge) terepresentasikan dalam ajaran-ajaran Syekh Kemuning.
Namun, justru nuansa lokalitas yang sangat kental itulah yang d
membuat Syekh Kemuning harus menghadiri beberapa sidang i
“pengadilan” keagamaan dalam rangka klarifikasi (tabayyun) ajaran- d
epan umum oleh santri-santri Syekh Kemuning bahwa ia merupakan
seorang wali Quthubul Ghouts dengan
289
karomah terbesarnya Bait Duabelas menimbulkan kontroversi di
masyarakat. Dialog bahkan perdebatan yang berujung pada mujadalah
290
(ketegangan) seringkali terjadi. Kontroversi Bait Duabelas terkonsentrasi
pada tiga hal, yaitu bahasanya yang tidak lazim, sistem bacaannya,
dan predikat ilmu ilham yang dilekatkan padanya. Untuk
menghindari ketegangan yang berkepanjangan, para ulama se-Jawa
yang diprakasai KH. Muzayyin Rambipuji mengadakan dialog dengan
Syekh Kemuning untuk mengklarifikasi ajaran-ajaran dalam Bait
Duabelas.
Peristiwa yang terjadi pada tahun 1933 itu dilaksanakan di Kantor
Kawedanan Rambipuji yang difasilitasi oleh Wedono saat itu, Said
Hidayat, dan dihadiri pula oleh kontralir (bupati) Jember serta 173
ulama se-Jawa. Dalam forum itu Syekh Kemuning menjawab berbagai
pertanyaan yang diajukan para ulama yang hadir. Melalui penjelasan
yang lugas dan meyakinkan, sang Wedana akhirnya memutuskan
bahwa ajaran Bait Duabelas tidak ada yang bertentangan dengan syariat
Islam. Syekh Kemuning pun terus mengajarkan Bait Duabelas kepada
para santrinya, bahkan memproklamirkan diri sebagai wali dengan
gelar Quṭubul Ghauth.41
Forum “pengadilan” Bait Duabelas ternyata tidak berhenti di
situ, tapi terjadi beberapa kali di beberapa tempat, di antaranya di
Banyuwangi, pihak komunitas Bait Duabelas di wakili oleh Kiai
Imampuro, salah seorang sahabat Syekh Kemuning, berhadapan
dengan para ulama Banyuwangi yang dipimpin oleh KH. Abdul
Wahab Hasbullah Jombang.42 Bersama salah seorang muridnya, Kiai
Imampuro menghadiri kongres tersebut. Ketika muridnya
membacakan Bait Duabelas, pada bacaan Bait kedelapan KH. Abdul
Wahab Hasbullah, yang dalam naskah ini digambarkan oleh KH.
Shirotol Mustaqim seperti Dasamuka Sinwaka adik dari Patih
Rahwana Umba Karna, memintanya berhenti sambil mengatakan
bahwa Bait Duabelas dilarang dibaca kembali karena ia tak lain
adalah ilmu syetan, tidak sejalan dengan ajaran Ahli Sunnah wal
Jamaah: “Iki ilmu keliru, ilmu luput, ilmu ora bener. Koq ono ilmu
bicoro beras, bako, kopi, gulo, eteh. Wes, ora oleh diunek-unekaken
maleh. Iki ilmu dudu ilmune menungso, ilmune syaiton (ini ilmu keliru,
ilmu salah, ilmu tidak benar. Koq ada ilmu bicara tentang beras,
tembakau, gula, teh. Sudah, jangan dibaca lagi. Ini bukan ilmu
manusia, tetapi ilmu setan).”43
Pulang dari kongres, Kiai Imampuro menghadap Syekh
K inya di arena kongres. Syekh
e
m
u
n
i
n
g
d
a
n
m
e
n
c
e
r
i
t
a
k
a
n
a
p
a
y
a
n
g
d
i
a
l
a
m
Kemuning mendengarkan dengan seksama lalu berucap: “pak kiyahi
Imampuro pun kuwatos kiyahi Abdul Wahab la yaḍurru wa lā yanfa’/
kulo diungkiri wong sak alam dunyo koq bakal maraake kuru mboten 291
maraake wurung suwargo mboten maraake wurung dados kaum āfirīn
mboten maraake ciloko akhirat mboten/ pun pun pun pak kiyahi ampun
susah (pak kiai Imampuro tidak perlu khawatir. Kiai Abdul Abdul
Wahab Hasbullah itu tidak la yaḍurru wa lā yanfa’.44 Meskipun
manusia di seluruh dunia menolak saya, itu tidak akan membuat saya
gagal masuk surga, tidak membuat saya gagal menjadi kaum arifin, juga
tidak membuat saya celaka di dunia maupun di akhirat. Sudahlah, Kai
Imampuro tidak perlu sedih).”45
Kasus yang dialami Kiai Sambelun di Karangsari Cirebon lebih
berat dibanding Syekh Kemuning di Jember dan Kiai Imampuro
di Banyuwangi. Kiai Ishaq, yang kemudian popular dengan nama
Kiai Sambelun”46 Karangsari Cirebon, sempat “menghilang” akibat
penyerbuan dan perusakan masjid di pesantrennya pada tahun 1945
oleh ulama dan masyarakat sekitar pesantren. Mereka menganggap
{Kiai Sambelun mengajarkan paham sesat. Akibat penyerbuan itu,
Kiai Sambelun melarikan diri dan kembali lagi ke Karangsari sekaligus
membangun kembali masjid yang telah dihancurkan massa pada 1955
dan memberinya nama Masjid Pancakusuma Rahayu.
Apa yang dialami Kiai Sambelun tidak membuatnya menyerah dan
meninggalkanajaranSulukBait Duabelas,tetapijustrumengukuhkannya
dengan berafilisasi dengan RH Sugandhi Kartosubroto, pendiri
sekaligus Ketua Umum Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
(MKGR). Dengan bergabungnya Kiai Sambelun dan Pesantren
Mukasyafah Arifin Billah ke MKGR, berbagai ancaman dan intimidasi
dari mereka yang menolak Bait Duabelas perlahan mulai teredam.
Bahkan, hingga kini Pesantren Mukasyafah Arifin Billah tetap berada
di bawah naungan bendera MKGR.47
Dinamika Bait Duabelas dari sejak kelahirannya hingga kini
tidaklah berjalan mulus. Banyak konflik terjadi terkait perkembangan
komunitas pembaca Bait Duabelas. Namun, berkat terbitnya sertifikat
keabsahan dan afiliasi dengan MKGR tersebut, mereka merasa lebih
aman dibanding sebelum sertifikat tersebut terbit. Sebagaimana
dikatakan Kiai Wagimin, pengasuh Pesantren Mukasyafah Arifin Billah
Karangsari Cirebon, afiliasi dengan MKGR dan Golkar menjadi bagian
dari strategi komunitas Bait Duabelas untuk menghindari gesekan
dengan masyarakat yang anti terhadap Bait Duabelas. Tidak hanya
itu, menurut Kiai Wagimin, komunitas pembaca Bait Duabelas sudah
292
seharusnya mendirikan ormas keagamaan Bait Duabelas,
sebagaimana yang dilakukan LDII yang juga berafiliasi ke MKGR.
Terakhir, klarifikasi dilakukan dihadapan Menteri Agama dan
ajudan presiden Sukarno, Sugandi, pada tahun 1961 di Jakarta. Dalam
forum inilah kemudian Menteri Agama menerbitkan sertifikat
keabsahan Bait Duabelas dan terdaftar di Departemen Agama RI
Bagian “K” Kepala Seksi IV tertanggal 14 Pebruari 1961 sebagai
Keluarga Besar Arifin Billah dengan ilmu mukasyafah Syekh
Kemuning yang diberi nama Bait Duabelas.
j
a
r
i
n
g
a
n
k
o
m
u
n
i
t
a
s
p
e
m
b
a
c
a
B
a
i
t
D
u
a
b
pun sama dengan di Jember, yakni pembacaan riwayat singkat Kiai
Sambelun dan pembacaan Bait Duabelas.
Berbeda dengan di Jember, di Cirebon lebih bernuansa politis. 297
Afiliasinya ke MKGR dan Golkar membuatnya dijuluki Pesantren
Golkar. Golkar sendiri sangat sadar akan potensi jaringan komunitas
Bait Duabelas sebagai “lumbung suara”. Di Karangsari, dalam setiap
Pemilu Partai Golkar mendulang suara terbesar. Perlu diketahui, pada
tanggal 4 Juli 2012, bertepatan dengan haul Kiai Sambelun, Ir. H.
Aburizal Bakrie dan beberapa pejabat teras Golkar datang berkunjung
ke Pesantren Mukasyafah Arifin Billah. Dalam sambutan mewakili
tuan rumah, salah seorang pengurus pesantren menyatakan
kesiapannya memenangkan Aburizal Bakrie dan Golkar dalam
Pemilu 2014.54
Catatan Kaki
1. Lihat Nancy K. Florida, h. 16.
298 2. KH. Abdul Wahab Hasbullah merupakan, Lihat Jajat Burhanudin, Ulama dan
Kekuasaan, Mizan…
3. Uka Tjandrasasmita, 1999, hlm. 201.
4. Hasan Muarrif Ambary, 1995, hlm. 166.
5. Untuk memperdalam sejarah dan kajian filologi Belanda atas sastra Jawa, lihat
Theodore G. Th. Pigeaud, Literature of Java, 4 jilid (Den Haag: Nijhoff, 1967-
1980).
6. Nancy K. Florida, Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in
Colonial Java (Durham & London: Duke University Press, 1995). Diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia Nancy K. Florida, oleh Revianto B. Santosa dan Nancy K.
Florida
dengan judul Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat
di Jawa Masa Kolonial (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 28-29.
7. Jawa Tradisional, yang dilawankan dengan Jawa Modern, dalam dunia sastra adalah
“…dunia diskursif yang tak tunggal, yang di dalam dan melaluinya masyarakat
Jawa yang cukup heterogen hidup sepanjang sekitar masa 250 tahun yang berakhir
pada bulan Maret 1942, dengan penyerbuan Jepang ke Jawa yang secara mendadak
mengakhiri penjajahan Belanda”. Lihat Nancy, Menyurat Yang Silam…, hlm. 13.
8. Menyurat Yang Silam … hlm. 16.
9. Lihat C. Guillot, “Dluwang ou Papier Javanais”, Archipel 26 (1984): 105-115.
10. Dalam Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, misalnya, ada kisah tentang KH. Shirotol Mustaqim,
sebelum berjumpa dengan Syekh Kemuning, menyebut berbagai tokoh pewayangan
seperti Gatot Kaca dan Antareja untuk menggambarkan Syekh Kemuning. Lihat
Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 45. Tak hanya itu, ada kisah juga bagaimana Syekh
Kemuning menyebut KH. Abdul Wahab Hasbullah, salah satu pendiri NU, seperti
Prabu Dasamuka Sinawaka. Lihat Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, hlm. 54.
11. Khusus mengenai tembang, beberapa studi telah dilakukan, misalnya oleh Margaret
Kartomi dalam Matjapat Songs in Central and West Java (Canberra: Australian
National University Press, 1973). Studi perbandingan yang dilakukan Bernard Arps
memberikan wawasan mendalam mengenai tradisi macapatan di Jawa Tengah dan
mocoan di Banyuwangi Jawa Timur. Lihat Bernard Arps, Tembang in Two Traditions:
Performance and interpretation of Javanese Literature (London: School of Oriental and
African Studies, 1992).
12. Bambang Purnomo, “Sastra Pesisir”, dalam Edi Sedyawati, dkk. (Ed.), Sastra Jawa:
Suatu Tinjuan Umum (Jakarta: Pusat Bahasa Balai Pustaka, 2001), hlm. 443-457.
Bandingkan dengan Karsono H. Saputradkk. (ed.), Naskah-naskah Pesisiran (Jakarta:
Perpustakaan Nasional RI, 2010 ).
13. Lihat Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid 2, hlm. 3. Ada kemungkinan terdapat beberapa
naskah yang terserak sebelum penulisan naskah Fathul Arifin ini. Namun, naskah
ini saya anggap sebagai naskah terbaik dan menjadi semacam taḥqiqul qiṣṣah
tentang Riwayat dan Ajaran Syekh Kemuning.
14. Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, hlm. 4.
15. Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, hlm. 5.
16. Kisah sang penulis naskah Fatḥul ‘Ārifīn terekam dalam naskah lain yang ditulis oleh
salah seorang putranya, H. Muhammad Sholihin, ayah kandung dari Kiai Supriadi.
Naskah ini ditulis menggunakan aksara pegon. Di dalamnya tidak hanya bercerita
tentang sosok KH. Shirotol Mustaqim, tapi juga sepenggal riwayat Syekh Kemuning.
Dari kolofon naskah ini diketahui tanggal selesainya penulisan: 24-4-1986.
17. “Jawa” bagi orang Madura adalah pulau Jawa minus Madura.
18. Naskah Sejarah KH. Shirotol Mustaqim, hlm. 5-6.
19. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 43.
20. Ibid., hlm. 47.
21. Lebih lanjut mengenai tarekat di Nusantara lihat Martin van Bruinessen, 45. N
Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995) dan Tarekat a
Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung, Mizan, 1996). s
22. Ibid., Jilid II, hlm. 9-10. k
23. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 77. Jadul dalam Taswirul Afkar, Islam Nusantara… a
menyebutkan bahwa hadis ini menjadi salah satu ciri khas tasawuf wahdatul wujud. h
24. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 66.
25. Istilah Nur Tajalli merupakan istilah yang khas dalam tasawuf falsafi Ibnu ‘Arabi. F
Tajalli adalah istilah tasawuf yang biasanya diterjemahkan sebagai theophany atau a
“perwujudan diri Tuhan”. Istilah ini banyak dijumpai dalam kitab Insān Kāmil- t
nya Al-Jilli, seorang sufi pengikut faham Ibnu Arabi. Lihat Martin van Bruinessen, ḥ
Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 29. u
26. Al-Hikam, hlm. 74. l
27. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 77-78. ‘
28. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 81. Ā
29. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, hlm. 7. r
30. Dalam naskah tertulis al-insān. Menurut penyunting, al-insān tidak tepat dan i
mungkin kesalahan yang tidak disengaja. f
31. “Pokang” adalah bahasa Madura untuk paha. ī
32. Perkejaan yang masih sederhana dalam konteks jember. Juga bukan kerja birokrasi n
(priyayi), memang bukan masyarakat kraton. ,
33. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, 50-63. J
34. Akhiran “un” untuk kata-kata Jawa “nyambelun”, “manganun”, “turuwun”, il
“minyaun”, “brujulun”, dan “minyaun” agaknya merefleksikan usaha “mengarabkan” i
bahasa Jawa d
. Akhiran “un” dalam gramatika Arab menjadi tanda nakiroh (kata benda umum)
dan i’rob rofa’ (bunyi “u” di akhir kalimat). Bahasa Jawa, dibanding dengan bahasa- I
bahasa etnis lainnya di Pulau Jawa, juga sarat dengan bunyi “u”. Dengan demikian I
kata-kata tersebut menjadi dekat dengan atau bernuansa Arab, bahasa yang identik ,
dengan Islam. 5
35. Untuk konsep Manunggaling Kelawan Gusti di Jawa lihat P.J. Zoetmulder, 6
Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, .
terj. Dick Hartoko (Jakarta: Gramedia dan KITLV-LIPI, 2000).
36. Penjelasan tentang manusia ini merupakan upaya tafsir
37. Sekilas tentang sejarah perkebunan di Jember, lihat J.O.S Hafid, Perlawanan Petani:
Kasus Tanah Jenggawah (Bogor: Pusataka Latin, 2001).
38. Sekilas tentang sejarah perkebunan di Kuningan, lihat Imas Emalia, Gerakan Politik
Keagamaan Di Karesidenan Cirebon 1911-1942 (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2011).
39. Sekadar survey tentang Islam pada Abad 19 di Nusantara, lihat Karel A . Steenbrink,
Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad 19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
40. Lebih jauh tentang gerakan ini, lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama (Bandung:
Mizan, 1995).
41. Kiai Sambelun yang nama aslinya Kiai Muhammad Ishaq merupakan sahabat
sekaligus khalifah Syekh Kemuning untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kiai
Sambelun memperoleh kewenangan untuk mengajarkan Suluk Bait Duabelas di
pesantrennya.
42. Kongres dan Pengadilan terhadap Bait Duabelas oleh KH. Wahab Hasbullah perlu
dilihat dalam konteks upaya konsolidasi KH. Wahab Hasbullah yang mewakili
NU dengan para ulama dari pesantren-pesantren tradisional yang saat itu sedang
menghadapi arus deras gerakan purifikasi Islam yang dilancarkan oleh Muhammadiyah
dan gerakan Islam modernis lainnya.
43. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, 55.
44. La yaḍurru wa lā yanfa’ dalam konteks ini bisa diparalelkan dengan pepatah “anjing
menggongong kafilah tetap berlalu, apa pun yang dikatakan KH. Wahab Hasbullah
tidaklah berguna, tidak berarti apa-apa.”
299
46. Kini pesantren tersebut berganti nama menjadi Pesantren Mukasyafah Arifin Billah.
47. Wawancara dengan Kiai Wagimin, salah satu pengasuh Pesantren Mukasyafah Arifin
300 Billah Karangsari Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon.
48. Wawancara dengan Gus Mahfudz, salah satu pengasuh Pesantren Nahdlatul Arifin,
Kemuningsari Lor, Panti, Jember. .
49. Kiai Sujai adalah salah seorang murid Syekh Haji Moh. Nur dan salah satu sesepuh
Keluarga Besar Nahdhatul Arifin.
50. Kiai Arjuni adalah salah satu pengasuh Pesantren Nahdhatul Arifin Kemuningsari Lor.
51. Wawancara dengan Kiai Wagimin, 8 September 2012.
52. Naskah Sejarah KH. Shirotol Mustaqim, hlm. 2-3.
53. Wawancara dengan Ahmad Junaedi, Kepala Pondok Pesantren Nahdhatul Arifin
Kemuningsari Lor Panti Jember.
54. Lihat VCD “Ceramah Motivasi Para Santri Mencapai Sukses Kehidupan”, oleh Ir.
H. Aburizal Bakrie, Rabu, 4 Juli 2012 di Pesantren Mukasyafah Arifin Billah Karangsari
Kabupaten Cirebon.
Bibliografi
Arps, Bernard. 1992. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of
Javanese Literature. Routledge.
Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara
Abad 17 Dan 18. Bandung: Mizan.
Bruinessen, Martin Van. 1992. Tarekat Naqsyabandiyah Di Indonesia: Survei
Historis, Geografis, Dan Sosiologis. Mizan.
Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat:
Tradisi- Tradisi Islam Di Indonesia. Mizan.
Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama Dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim Dalam
Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
“Fatḥul ‘Ārifīn Jilid 1 Dan 2.”
Florida, Nancy K. 2003. Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang:
Sejarah Sebagai Nubuat Di Jawa Masa Kolonial. Bentang Budaya.
Geertz, Clifford. 1981. Santri, Priyayi, Abangan Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Guillot, Claude. 1983. “Le Dluwang Ou «papier Javanais».” Archipel 26(1):
105– 16.
Hafid, Joko Suyono. 2001. Perlawanan Petani: Kasus Tanah Jenggawah. Latin.
Kartomi, Margaret J. 1973. Matjapat Songs in Central and West Java. Australian
National University Press.
Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak, Etika, Subaltern Dan Kritik Penalaran
POSKOLONIAL. Yogyakarta: Pararaton.
Pigeaud, Theodore Gauthier Th. 1970. Literature of Java: Catalogue Raisonné of
301
Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public
Collections in eNetherlands. Martinus Nijhoff.
Saputra, Karsono H. 2010. Naskah-Naskah Pesisiran. Jakarta: Perpustakaan
Nasional RI.
Sedyawati, Edi. 2001. Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum. Pusat Bahasa.
“Sejarah KH. Shirotol Mustaqim.”
Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad
Ke-
19. Bulan Bintang.
Zoetmulder, Petrus Josephus. 1991. Manunggaling Kawula Gusti: Pantheïsme
Dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa: Suatu Studi Filsafat. KITLV, LIPI,
dan Gramedia.
Jenis Tulisan
Jenis tulisan yang dapat dikirimkan ke Manuskripta ialah:
a. Artikel hasil penelitian mengenai pernaskahan Nusantara
b. Artikel setara hasil penelitian mengenai pernaskahan Nusantara
c. Tinjauan buku (buku ilmiah, karya fiksi, atau karya populer)
mengenai pernaskahanNusantara
d. Artikel merupakan karya asli, tidak terdapat penjiplakan
(plagiarism), serta belum pernah ditebitkan atau tidak sedang dalam
proses penerbitan
Bentuk Naskah
1. Artikel dan tinjauan buku ditulis dalam bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku.
2. Naskah tulisan dikirimkan dalam format Microsoft Word dengan
panjang tulisan 5000-7000 kata (untuk artikel) dan 1000-2000
kata (untuk tinjauan buku).
3. Menuliskan abstrak dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia
sebanyak 150-170 kata.
4. Menyertakan kata kunci (keywords) dalam bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia sebanyak 5-7 kata.
5. Untuk tinjauan buku, harap menuliskan informasi bibliografis
mengenai buku yang ditinjau.
Identitas Penulis
Penulis agar menyertakan nama lengkap penulis tanpa gelar
akademik, afiliasi lembaga, serta alamat surat elektronik (email) aktif.
Apabila penulis terdapat lebih dari satu orang, maka penyertaan
identitas tersebut berlaku untuk penulis berikutnya.
Pengiriman Naskah
Naskah tulisan dikirimkan melalui email: jmanuskripta@gmail.com.
Penerbitan Naskah
Manuskripta merupakan jurnal ilmiah yang terbit secara elektronik
dan daring (online). Penulis akan mendapatkan kiriman jurnal dalam
format PDF apabila tulisannya diterbitkan. Penulis diperkenankan
untuk mendapatkan jurnal dalam edisi cetak dengan menghubungi
email: jmanuskripta@gmail.com.
Naskah Kuno untuk Kawula Muda
d
i
s
e
k
e
l
i
l
i
n
g
n
y
a
.
pengawetan kandungan informasi (teks) dalam naskah kuno agar p
tidak lapuk atau hilang dimakan usia. Namun demikian dalam e
pembahasan kali ini, dua istilah yang dimaksudkan di atas tidak n
ditujukan untuk hal digitalisasi naskah kuno melainkan untuk g
menggambarkan hal baru yang ditampilkan dalam buku Skriptorium u
ini. n
Selain memperkenalkan naskah kuno melalui novel, buku ini j
menawarkan perspektif yang lain dalam bentuk media digital. Tim u
Penulis juga mengabadikan perjalanan mereka dalam bentuk film n
dokumenter. Pembuatan film ini dapat dipastikan mengikuti trend g
masa kini yang mengangkat tema-tema lokal agar menjadi populer.
Layaknya film dokumenter pada umumnya, film Skriptorium ini s
berdurasi singkat selama 23 menit yang di dalamnya merupakan versi e
audio-visual atas novel yang telah dibahas sebelumnya. r
t
a
p
a
r
a
p
e
n
a
b
u
Tampilan CD film Skriptorium h
Perjalanan dimulai pada tanggal 1 Februari 2014 dari Gedung VII di
g
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Selain empat
a
tempat yang menjadi tujuan utama di atas, tempat-tempat lain yang
m
menjadi objek dalam film ini diantaranya adalah Bandar Udara Soekarno-
e
Hatta di Jakarta, Bandar Udara Adi Sutjipto di Yogyakarta, serta hotel
l
tempat Kanya menginap. Semua latar tempat yang disajikan dalam film
a
ini bersifat alami, artinya tidak dilakukan rekaan terhadap keadaan yang
n
ada di dalam tempat-tempat yang dipertunjukkan. Pada saat Kanya
mengunjungi Keraton Yogyakarta misalnya, dipertontonkan keramaian
y
ang menyambut kehadiran wistawan.
383
yangharus dipegang oleh raja. Serat Suryajaya juga hanya dibuka
untuk dibersihkan pada upacara adat Jamasan di bulan Sura.
382
Istimewa! Itulah ekspresi kepuasan Kanya atas penjelasan abdi
dalem itu.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Jakarta, Kanya mulai
berpikir keras mengenai maksud petualangannya ini. Secara fisik
ia tidak mendapatkan keberadaan harta karun sebagaimana yang
dibayangkannya. Dari hasil renungannya, ia menyimpulkan
bahwasanya harta karun yang dimaksud adalah naskah kuno itu
sendiri yang di dalamnya terdapat berbagai macam pengetahuan yang
jarang diketahui oleh manusia di zaman modern. Baginya, harta karun
sesungguhnya bukanlah emas atau permata melainkan nilai-nilai
pengetahuan adalah harta karun yang lebih berharga dari
keduanya.
Perjalanan Kanya ke Yogyakarta rupanya telah disusun rapi oleh
Ayah Kanya. Selain mengirimkan Kanya untuk berpetualang, Ayahnya
juga mengirimkan beberapa orang untuk mengikuti, mengarahkan,
dan memandu Kanya selama berada di Yogyakarta. Pengiriman
orang-orang itu tanpa disadari oleh Kanya hingga pada saat kembali
ke Jakarta ia mendapati orang-orang yang ditemuinya di Yogyakarta
sedang bertemu akrab dengan Ayahnya.
Dari rangkaian cerita di atas terlihat bahwa pangsa pasar buku
ini adalah kalangan muda yang memiliki karakter ambisius dalam
mencari jati diri. Sehingga, buku ini pun ditampilkan dalam sebuah
novel perjalanan yang ditulis menggunakan bahasa-bahasa yang
ringan dan ‘gaul’ agar mudah dicerna dan diterima oleh kalangan
muda. Karenanya, dalam pengantarnya, Tim Peneliti mengungkapkan
tujuan utama penulisan buku ini yakni untuk menjembatani
pengetahuan masyarakat terutama kalangan muda mengenai
keberadaan ‘harta karun’ yang berwujud naskah kuno. Semangat
penulisan buku ini juga diutarakan yakni untuk mengajak kawula
muda untuk menyadari bahwa Indonesia di masa lalu adalah bangsa
yang besar dan diperhitungkan di kancah global.
k
u
n
o
’
y
a
n
g
b
e
r
m
a
k
n
a
p
e
n
g
a
l
i
h
m
e
d
i
a
bosan dengan kegiatan liburannya. Di tengah kebingungannya itu,
Ia berinisiatif untuk mengunjungi tempat dimana ayahnya bekerja
sebagai seorang dosen ilmu budaya. Di tempat itu, Kanya mendapati 381
kenyataan bahwa ayahnya sering melakukan ekspedisi ke Gunung
Padang yang diyakini oleh Kanya sebagai sebuah situs purbakala yang
memendam peninggalan berupa harta karun. Sebuah pertanyaan besar
pun mengemuka, apakah harta karun benar-benar ada?
Rasa penasaran pun dijawab oleh Ayah Kanya dengan memberi
Kanya sebuah permainan yang mengharuskannya pergi ke Yogyakarta.
Selain diberi sarana transportasi dan akomodasi, Kanya juga dibekali
secarik kertas yang berisi catatan singkat mengenai tempat-tempat yang
harus dikunjunginya. Museum Sonobudoyo, Perpustakaan Universitas
Sanata Dharma, Pura Pakualaman, dan Keraton Yogyakarta adalah
tempat-tempat yang direkomendasikan untuk didatangi oleh Kanya.
Mengapa harus keempat tempat tersebut? Pertanyaan inilah yang
melingkupi pikiran seorang Kanya. Tempat-tempat itu serasa tidak
sesuai dengan bayangannya sebagai tempat-tempat yang berpotensi
menyimpan harta karun layaknya situs Gunung Padang di Cianjur,
Jawa Barat. Ia menganggap bahwa mengunjungi tempat-tempat
tersebut tidak ubahnya seperti perjalanan liburan biasa tanpa ada sensasi
petualangan sebagaimana yang ia harapkan. Namun catatan penutup
ayahnya, “jangan banyak tanya, ikuti saja permainan ini” membuat
Kanya rela untuk mengunjungi empat tempat tersebut.
Secara berurutan, satu-persatu dari tempat-tempat itu
dikunjunginya. Di setiap tempat yang dikunjunginya selalu saja
Kanya diarahkan untuk memasuki tempat khusus dimana koleksi
naskah kuno disimpan. Kanya mengamati secara detil tentang latar
belakang penyimpanan naskah-naskah kuno itu disimpan, teknik-
teknik perawatan naskah kuno, hingga ia menanyakan apa
menariknya isi cerita yang terdapat dalam naskah kuno. Adakah
sebenarnya harta karun yang dicarinya itu?
Sampai pada akhirnya Kanya mendapatkan sebuah penjelasan dari
seorang abdi dalem penjaga koleksi naskah di Keraton Yogyakarta. Serat
Suryajaya adalah judul naskah yang ditunjuknya untuk dipertanyakan
kepada sang penjaga itu. Dijelaskannya bahwa Serat Suryajaya adalah
salah satu naskah yang masuk dalam kategori benda pusaka di
Keraton Yogyakarta. Naskah itu hanya boleh dibaca oleh Sultan atau
calon Sultan karena berkaitan dengan isinya mengenai sikap hidup
Selama ini, terutama pada kalangan muda-akademis, naskah kuno
diperkenalkan melalui cara-cara yang sangat tradisional. Naskah kuno
380
yang dikenalkan kepada kalangan muda hanya terbatas pada mahasiswa
yang mengambil program perkuliahan ilmu budaya terkhusus
kajian naskah kuno (filologi). Naskah kuno hanya diperkenalkan
secara tradisional dengan cara mengajak peserta didiknya untuk
‘membayangkan’ naskah kuno melalui buku-buku teori filologi, karya-
karya suntingan teks, termasuk ditambahi kreativitas dosen yang
menampilkan gambar-gambar naskah kuno. Ekspresi pun beragam.
Bagi mereka yang kini sedang gandrung dengan fasilitas serba canggih
merasa bahwa perkuliahan filologi sangat membosankan.
Merespon keluh kesah sang penanya, para pembicara memberikan
apresiasi yang sangat baik agar para pemerhati naskah kuno mulai
berpikir untuk menjawab tantangan tersebut. Namun pada sisi yang
lain, seolah mempertegas apa yang telah disampaikan oleh narasumber,
Munawar Holil, M.Hum sebagai moderator diskusi menyampaikan
kata-kata penutup sekaligus juga dalam rangka menceritakan apa
yang telah dilakukannya untuk menjawab keluhan sang penanya.
T
anggal 18-20 September 2014, Masyarakat Pernaskahan
Nusantara (Manassa) mengadakan forum internasional bertajuk
Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara. Simposium
yang rutin dilaksanakan setiap dua tahun sekali ini merupakan
forum akademik yang mempertemukan para pemerhati naskah kuno
dari berbagai belahan dunia. Pada pertemuan yang ke-15 kali ini
dilaksanakan di Hotel Grand Inna Muara, Padang, Sumatera Barat
dengan mendiskusikan sebuah tema besar “Naskah dan Relevansinya
dalam Kehidupan Masa Kini”.
Dalam diskusi turunannya dengan tema “Naskah sebagai Objek
Penelitian: Pembicaraan Teoretis dalam Dunia Filologi”, salah
seorang peserta diskusi melontarkan keluh kesahnya kepada empat
narasumber pada sesi tersebut yaitu Drs. Sudibyo, M.Hum dari
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr. Junaidi dari
Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, Dr. Arba’iyah Moh Noor
dari Universitas Malaya Kuala Lumpur, dan Mardiana Nordin yang
juga dari Universitas Malaya. Dalam pernyataannya, ia
mengungkapkan keluhannya tentang minimnya perhatian kaum
muda terhadap pelestarian budaya Nusantara terutama terhadap
keberadaan naskah kuno. Dengan semangatnya, peserta diskusi yang
berasal dari Medan tersebut menyampaikan usulannya agar para
pengkaji naskah mulai memberikan terobosan dalam
memperkenalkan khazanah naskah kuno kepada kalangan muda. Ia
menyesalkan pada perilaku kalangan muda di masa kini sudah tidak
mengetahui apalagi memperdulikan keberadaan peninggalan
sejarah masa lalu disekitarnya. 379
Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015
Mukti
Ali
Suluk Jawa, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. I, 2000, hal. 284-286
25. Lihat: http://www.wattpad.com/94004-kitab-kuno-bab-1-ajian?p=5
378 26. Qs ar-Ra’dlu: 13
27. Naskah: ora lana
28. Qs An-Nisa: 59
29. Lihat dan bandingkan; Mukti Ali el-Qum, Spirit Islam Sufistik; Tasawuf
Sebagai Instrumen Pembacaan Terhadap Islam, Bekasi: Pustaka Isfahan, cet. I, hal.
2011, hal. 91-92
30. Naskah: al-ghaniyyun. Kalimat Lil al-ghaniyyun tidak tepat, karena ada huruf Lam yang
berfungsi meng-jar-kan kalimat al-ghaniy, sehingga yang tepat adalah lil al-ghaniyyin,
dengan dibaca jar. Tanda jar-nya adalah dengan menyertakan huruf Ya dan Nun.
31. Qs al-A’raf: 96
Bibliografi
Afifi, Abu al-Ala’, dalam pengantar kitab Misykat al-Anwar karya Abu Hamid
al- Ghazali, Cairo: Lajnah al-Ta’if wa al-Nasr
AG, Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal; Potret dari Cirebon,
Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, cet. I, 2001
El-Mawa, Mahrus, Rekonstruksi Kejayaan Islam Di Cirebon; Studi Historis Pada
Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568), dimuat di Jurnal Jumantara,
Jakarta: Perpusnas RI., vol. 3, No. 1, 2012
Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara; Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, cet. I, 2006, hal. 39-40
Naskah “Sejarah Cirebon al-Haj Mahmud Rais”, jilid
II Naskah Sejarah Cirebon, jilid. I
Necholson, Reynold A., Fî al-Tashawwuf al-Islami wa Târîkhihi, diarabkan
oleh Dr. Abu al-‘Ala ‘Afifi, Cairo, Lajnah Ta’lif Wa al-Nashr, 1969
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, terjemahan A History of Modern
Indonesia, diindonesiakan oleh Drs. Dharmono Hardjowidjono, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, cet. III, 1993
Penutup
Naskah Sejarah Cirebon jilid kedua yang saya kaji cukup
menarik untuk diungkap dan dibaca melalui pendekatan dan
perspektif sufistik. Menarik, lantaran di satu sisi ia menawarkan
konsep tasawuf yang khas para sufi Sunni yang menyeimbangkan antara
syariat dan tasawuf, akan tetapi pada saat yang sama ia merupakan
seperti sufi falsafi yang bersifat akomodatif terhadap keafiran lokal dan
pandangan yang liyan.
diusap-usap di kening, yang berfungsi agar diikuti oleh orang banyak
dan disayangi, tidak bosan-bosan dan tidak pernah dibenci, yaitu bunyi
tulisannya demikian; kirang mimang ing batuk insun sari sedana ing 375
lambe ingsun amanat pengucapan ingsun iku wong sekabeh tua gede cilik pada
welas pada asih kabeh maring ingsung kelawan berkahe kalimat La ilaha
illallahu Muhammad ar-Rasulullah. Kalimat thayyibah ini sebaiknya
dibaca sampai ke hati sanubari. Itulah makna dari Ilmu Kapilisan).
Salah satu dari kesalihan sosial adalah sikap loman (dermawan) pada
sesama, khususnya pada pihak-pihak yang berhak menerimanya.
berislam pada saat memahami dan mengamalkan Islam secara literalis
apa adanya yang terdapat dalam teks primer agama, yaitu al-Quran
374
dan hadits. Islam dianggap hanya memiliki makna tunggal; harfiyah.
Sedangkan golongan yang lain, seperti para sufi, meyakini bahwa
kesempurnaan dalam berislam terletak pada pemaksimalan diri dalam
mengurai lapisan-lapisan makna yang tertimbun di dalam teks, setelah
berhasil diurah dan difahami secara maksimal lalu diaplikasikan. Para
sufi meyakini bahwa Islam mempunyai multi-makna. Makna harfiyyah
adalah makna terrendah saja menurut sufi, bukan makna yang sudah
final, lantaran masih ada lapisan makna lain yang ada di dalamnya.
Seperti halnya tubuh kita, yang terkonstruk dengan badan kasar,
panca indera, akal, hati, lubbuh hati, dan lainnya. Singkat kata,
tubuh kita terdapat dua aspek, yaitu perangkat kasar yang ada di luar
(eksoterik) seperti panca indera dan perangkat lunak yang ada di dalam
(esoterik) seperti ruh, hati dan akal. Demikian juga agama, terdapat
di dalamnya dimensi eksoterik dan esoterik. Dimensi agama yang
bersifat eksoterik dikenal dengan syariah dan dimensi esoterik dikenal
dengan tasawuf.29 Agama memiliki dua dimensi, eksoterik dan esoterik,
lantaran agama diperuntukkan untuk manusia yang juga memiliki dua
dimensi yang sama, yaitu jiwa dan raga.
Tradisi ilmiyah berupa pensinergian antara sufisme dan syariah
dirintis oleh Imam al-Qusyairi dalam kitabnya al-Risalah dan Lathaif
al- Isyarah, Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya Ihya
Ulumuddin, al-Makky dalam Qut al-Qulub, Suhrawardi dalam
‘Awarif al-Ma’arif, dan sufi-sufi setelahnya banyak yang mengikuti
jejak tradisi ilmiyah ini.
Lebih menarik lagi dalam naskah Sejarah Cirebon disebutkan Syekh
Nurjati hendak mensinergikan kedua aspek agama, dimensi eksoterik-
syariah dan esoterik-bathini, sebagai khas dari para sufi, dalam bingkai
kebudayaan lokal Cirebon. Demikian tuturkatanya;
“Lan malih sira diparingi zimat ilmu kapilisan dienggohi, diusap-
usapaken ing batuk wateke diluluti maring wong akeh tur diasihi lan ora
bosen-bosen lan ora sengit-sengit iku unine tulisan mengkenen; kirang
mimang ing batuk ingsun sanari; sedana ing lambe ingsun amanis pengucap
iku wong sekabeh tua, gede, cilik pada welas pada asih kabeh maring ingsun
kelawan berkahe kalimat La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah.
Olihe maca kalimat thayyibah kang sampe terus ning ati sanubari.
Artine ilmu kapilisan iku artine.
(Dan engkau juga menerima zimat Ilmu Kapilisan, dengan dipakaikan,
kang wani iya iku bener, jalaran ing kono ana tulisan unine mengkenen (udl’u u
ilalLahi ‘ala jami’I an-nasi bit-taqwa). Tegese yen sira kepengen disuyudi s
maring sekabehe makhluk ya aja bosen ajak-ajak bagus, adu-adu perkara ala
a
maring para menusa, supaya nurut peraturane Allah lan peraturane Rasulul
lan peraturane pemerintah sekira cocok karo hukume Allah lan Rasul jalaran i
ujare wangkid dawuh dalem kang muliya mengkene {athi’ul-Laha wa ati’ur- .
rashula wa ulil-amri minkum}28. S
Keenam, Kelambi Warung. e
b
Lan malih sira diparingi kelambi Waring, wateke bisa mabur, iya iku bener a
sebab ingkono ana tulisan unine mengkene (qalbun khasyi’, mabrurun).
Tegese yen sira kepengen dongani dikabul, iya iku atine kudu khusyu’, aja
g
lokan derigal-derigul. i
a
Ketujuh, umbul-umbul waring. n
Lan malih sira paring umbul-umbul waring. Wateke rahayu saking sekabehe;
senjatane musuh tur bisa //13// ngapesaken tenagane musuh; tegese yen sira g
kepengen dunyane awet tur selamet iya iku kudu ngati-ngati olehe kasab,
o
jalaran ing kono ana tulisane mengkene unine (ya ayyuna an-nas khudzu al-
amwala bil-wara’i) tegese luruh benda iku kang ngati-ngati kang alus l
kang apik aja padu olih bahe. o
n
Kedelapan, ilmu Pangirutan.
g
Lan malih sira diparingi ilmu pangirutan; artine ilmu kanggo peranti a
narik atine menusa supaya tutut tunduk ora wani juwa ala apa-apa. Tegese yen n
sira kepengen ditutburi maring sekabehe menusa iya iku aja lok ngersola
apa-apa kang sekira ana susah disangka adem, disangka kelawan sabar, iku
artine ilmu pangirutan. m
e
Ilmu-ilmu kesaktian, yang dikenal dengan ilmu kanuragan, n
merupakan tradisi lokal yang telah diberi asupan makna yang konstruktif g
dalam pandangan Islam. Selain itu, mantra-mantra dan tatacaranya a
pun pada akhirnya digubah dan diselaraskan dengan doa-doa dan n
dzikir serta puasa memohon kepadaNya agar apa yang diinginkan dan g
yang dicita-citakan dipenuhi. Terkadang jika mantranya dianggap tidak g
bernuansa menyekutukan Tuhan meski berbahasa Jawa Cirebon atau a
bahsa Sunda tetap dipertahankan, tidak diganti dengan Arab. p
Lantaran yang terpenting adalah substansi yang terdapat di dalam
mantranya. b
Mengingat Tuhan dengan Dua Dimensi a
h
Kesempurnaan dalam berislam seringkali diperdebatkan oleh w
umat Islam. Pro-kontra tak berkesudahan sampai hari ini tak kunjung a
kesempurnaan dalam
373
netepi apa saujare hukum, supaya selamet. Sebab miturut wangkid dawuh
mengkene {innal-Laha la yughayyiru ma bi-qaumin hatta yughayyiru ma
372 bi-anfusihim}26.
(Dan engkau diberi zimat Ilmu Tini Murti. Fungsinya dapat mengetahui
sesuatu yang susah bisa menjadi mudah. Ya itu benar, sebab menurut ujaran
demikian; fa’ti bi-ma umurtu. Artinya jika engkau ingin mempermudah
sesuatu yang susah-susah, maka engkau harus mendatangi atau melakukan
apa yang dikatakan oleh hukum-hukum pemerintah. Jangan berani-
beraninya mengkhianati orang yang menjadi wakil pemerintah, yaitu
harus jujur dan sukses menjalankan apa yang dikatakan dalam hukum
agar selamat. Sebab menurut doktrin diucapkan demikian; innal-Laha la
yughayyiru ma bi-qaumin hatta yughayyiru ma bi-anfusihim.
s
i
l
u
m
a
n
d
e
d
e
m
i
t
-
d
e
d
e
m
i
t
,
J
i
n
,
s
y
e
t
a
n
Lan malih sira diparingi Jimat ilmu Limunan, wateke bisa ngumpet ing uga
sajerone padang. Iya bener, sebab miturut wangkid para leluhur (la ta’man won
‘ala muruatika). Tegese yen sira kepengen aja ana kang guna sira atawa g
kanggo apa pegawean atawa kelungguhan atawa dagangan iya sira kudu kan
aja ngaku bener dewek bahe, kudu bener jare hukum. g
dadi
(Dan engkau juga diberi zimat Ilmu Limunan, yang berfungsi bisa
wak
menghilang di dalam terang. Ia betul. Sebab menurut wejangan (doktrin)
il
para leluhur, nenek moyang, bahwa la ta’man ‘ala muruatika. Artinya
pem
jika engkau ingin tidak ada yang guna-guna (diarah oleh orang dengan
erin
kekuatan magis dan sihir), atau ingin mendapatkan pekerjaan, atau
tah
kedudukan, atau dagangan, maka engkau seharusnya jangan merasa benar
iya
sendiri, harus benar menurut hukum).
iku
Aji Limunan atau biasa disebut Panglimunan adalah ilmu yang //11
sangat sakti dan hebat, sangat jarang manusia yang bisa memilikinya. //
kud
Umumnya pemilik ilmu ini hanyalah para pendekar-pendekar sakti. u
Dengan memiliki ilmu ini maka seseorang akan memiliki kekuatan juju
sakti yang dapat membuat diri anda raib tanpa bekas dari dunia, r
menghilang tidak kelihatan, dan tidak dapat ditemukan oleh musuh. lan
Seseorang yang memilikinya, pada saat dibacakan mantra-mantranya, lulu
ia seperti makhluk yang di antara ada dan tiada. Di samping itu, s
ilmu ini juga dapat digunakan untuk menghilangkan benda-benda
nyata.25 Seperti itulah Panglimunan dimaknai sebagai ilmu mistik.
Syekh Nurjati dapat menangkap tujuan seseorang melakukan
pengamalan terhadap ilmu tersebut yang tujuannya dengan memiliki
ilmu itu agar dirinya selamat dari usikan musuh atau pihak yang
membencinya, mendapatkan pekerjaan, kedudukan, atau
dagangannya laku. Syekh Nurjati menyarankan bahwa semua yang
diinginkan seseorang itu tercapai bisa dengan sikap tidak egois, tidak
merasa benar sendiri dan harus benar di mata hukum.
Kedua, zimat ilmu Tinimurti salah satu ilmu kesaktian yang
berfungsi
bisa mempermudah sesuatu yang sulit menjadi mudah. Ditafsiri oleh
Syekh Nurjati bahwa yang membikin mudah sesuatu yang sulit adalah
dengan melaksanakan dan mensukseskan hukum dan undang-undang
pemerintah yang dalam bahasa Islam sebagai ulul al-amri.
Lan malih sira paringi Jimat ilmu Tini Murti. Wateke bisa ngaweruhi ing
barang kang angel-angel bisa dadi gampang. Iku iya bener, sebab miturut
iwah-iwah mengkenen; fa’ti bi-ma umirtu. Tegese yen sira kepengen
gampangaken barang kang angel-angel iya iku sira kudu nekani atawa
ngelakoni apa saujare hukum-hukum pemerintah. Aja wani-wani nyidrai
371
Perumpamaan wayang digunakan merupakan gejala yang khas
Jawa, sebab wayang sebelum dijadikan oleh para sufi sebagai media
370
pemaknaan Islam, juga bernuansa religis-Kejawen. Sebab dalam
pewayangan, menurut pandangan P.J.Zoetmulder, selaras dengan
artikulasi manunggaling kawula gusti Ibnu Arabi. Sebagaimana
dalam wayang terdapat penampilan gambar dan dalang. Selaras
dengan itu, Ibnu Arabi berpandangan bahwa manusia atau makhluk
adalah bayangan Tuhan di bumi. Wayang pun adalah gambaran dari
representasi sang dalang.24
Pandangan sufistik yang sedemikian sistematis telah dipaparkan
melalui budaya lokal Cirebon. Segena azimat yang awalnya memiliki
makna literalis sesuai dengan fungsinya, dijadikan media penyampai
makna, justru dengan memberi makna baru pada azimat itu sendiri
sebagai media. Seperti halnya al-Ghazali yang memberi makna cahaya
dengan makna baru yang berbeda dengan makna sebelumnya, yaitu
makna cahaya versi Zoroaster.
a
r
t
i
n
y
a
;
“
D
a
n
b
e
r
i
b
a
d
a
h
l
a
h
k
e
p
a
d
a
T
u
h
a
n
m
u
Manfaat adalah maslahat baik bagi diri sendiri, lingkungan dan s
orang lain. Ada satu doktrin dari Nabi yang sangat relevan dikutip o
disini, yaitu “khayru al-nas anfa’uhum li al-nas” (Sebaik-baik manusia s
adalah yang bermafaat bagi sesamanya). i
Madharat merupakan kebalikannya, yaitu yang merugikan diri a
sendiri, lingkungan dan orang lain. Sudah pasti madharat harus l
dihindari sebisa mungkin. Bahkan jika dalam keadaan dilematispun a
seseorang harus memilih kerugian yang lebih kecil, akhdzu akhaffu al- t
dzhararayn (mengambil kerugian yang lebih kecil). a
Inti dari segenap doktrin Islam adalah mengambil yang bermanfaat u
dan menghindar dari yang merugikan. Dalam konteks ini, misi
Islam pun merumuskan sekurang-kurangnya ada lima hal yang harus i
dijaga, tidak boleh terancam, yaitu menjaga agama (ḥifdhu al-dīn), d
menjaga jiwa (ḥifdhu al-nafs), menjaga akal (ḥifdhu al-‘aql), menjaga e
keturunan (ḥifdhu al-nasl), dan menjaga harta (ḥifdhu al-māl). n
Menjaga kelima hal ini oleh para ulama, khususnya oleh sufi t
terkemuka Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa dan i
oleh Al-Syathibi dalam kitab al-Muwāfaqāt, sebagai kebutuhan t
primer (al-ḍaruriyāt). a
Keempat, doktrin cintakasih. s
“lan malih diparingi kelambi kamemayan wateke diasihi maring sekabehe s
makhluk iku iya bener. Jalaran ing kono ana tulisan ayat ingkang mulya o
mengkenen unine; {wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja wa s
yarzuqhu min ḥaytsu layaḥtasib18, mila pancen sira kepengen aja disengiti i
ning sekabehe makhluk supaya diasihi iya iku cekelana ayat kang mulya iku
a
kelawan bener- bener, sebab ora ana pengasihan kang luih-luih sangking
iku. l
,
(Dan engkau menerima Baju Kememayan yang antara lain
s
kepentingannya adalah agar engkau disayang oleh segenap makhluk. Itu
memang betul karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya begini; e
“barang siapa yang takut kepada Allah, Allah akan memberinya jalan p
keluar dari kesempitan hidupnya dan memberi rizki dengan tak terduga- e
duga dan tanpa susah payah”. Kalau engkau ingin tidak dibenci orang, r
pegang teguhlah ayat tersebut untuk pedoman dalam langkah t
hidupmu).
i
Baju atau pakaian—disebutkan Baju Kememayan—seringkali b
dijadikan simbol dalam tradisi Jawa dan Cirebon. Seperti dalam syair a
Lir-Ilir, “dodot iro-dodot iro kumitir bedah ing pinggir” (baju engkau j
yang bedah di sampingnya). Baju adalah simbol kemuliaan dan u
keagungan seseorang. Sering kali baju juga merupakan simbol kelas
kebesaran ulama, kyai, santri, raja, prajurit, presiden, dll. Selain itu,
baju juga memberi makna pada
363
Setelah mengenal Tuhan. Maka muslim harus mengikuti dan
meneladani para ulama sebagai pewaris sah para Nabi. Ulama sebagai
362
marja’ al-dini (rujukan keagamaan) dalam hierarki Islam diposisikan
setelah Tuhan dan Nabi. Lantaran ulama adalah seseorang yang
menafsirkan, menginterpretasikan, berdakwah dan menulis doktrin
Islam untuk umat, menegakkan amar makruf dan nahi munkar,
peduli pada nasib umat, dan orang yang senantiasa mendekatkan diri
kepadaNya. Dengan kata lain, ulama adalah sekelompok orang yang
mendapatkan hal istimewa untuk melakukan ijtihad. Sudah barang
pasti bagi orang pada umumnya mengikuti fatwa dan produk ijtihad
para ulama adalah sebuah keniscayaan. Meski pintu ijtihad tidak pernah
ditutup, karena sekarang belum ada yang mencoba membukanya. Akan
tetapi, ijtihad merupakan mesin produktif ulama dalam menciptakan
agama bukan seperti mesin yang sudah “mogok” dan tidak berjalan,
justru sebaliknya bahwa dengan ijtihad mengandaikan agama agar tetap
hidup dan menjadi solusi bagi kemaslahatan kehidupan umat
manusia.
Ketiga, mengenal dan merealisasikan yang bermanfaat dan menjauhi
yang madharat.
“sira diparingi ratu ali-ali ampal wateke kanggo penerangan lan kanggo
rawat-rawat lan kanggo ngaweruhi barang-barang kang gaib iku bener
kabeh, artine wong kang nyekel agama, iku kudu nekani barang kang
manfaat- manfaat lan ngadohi barang kang cecegah-cecegah, artine watu
ali-ali ampal ira; fa’ī mā anfa’a al-nās”,
(Dalam pertemuan dengan Sang Hyang Danuwarsih, engkau berhasil
menerima pusaka berupa Cincin Ampal yang kepentingannya ialah untuk
mengetahui perkara gaib itu benar. Artinya orang yang memegang
agama harus melakukan segenap sesuatu yang bermanfaat dan menjauhi
segenap sesuatu yang dilarang. Artinya batu Cincin Ampal anda;
diambil dari perkataan f ’tī bi mā anf’a al-nās, bawalah segenap sesuatu
yang bermanfaat bagi manusia).
d
o
k
t
r
i
n
u
n
i
v
e
r
s
a
l
I
lebih umum sastra Arab ke sastra Persia. 9 Dan masih banyak lagi para
sufi yang bengupayakan adanya akulturasi sufisme dan budaya yang
tidak disebukan di sini. 357
Wajar jika pemikiran sufistik mereka dicurigai keotentikannya.
Karena sejatinya adalah hal yang mustahil adanya sebuah orisinalitas
dalam sebuah konstruksi pemikiran dan spiritualitas mana pun.
Mensintesakan semua pemikiran dan spiritualitas yang dilakukan
kaum teosof adalah sikap arif dan inklusif. Barangkali sudah
merupakan rahasia umum bahwa referensi yang dipakai kaum teosof
bukan hanya dari tradisi Islam (al-Qur`an dan hadits) an sich, akan
tetapi dari semua penjuru dunia spiritual dan pemikiran, di samping
dari pergolakan spiritual dan keresahan pemikiran yang timbul
dari pengalaman panjang dalam mencari kebenaran sejati.
Meski mereka seringkali, dalam panggung sejarah, diposisikan
sebagai kelompok subaltern (sempalan yang termarjinalkan), karena
dianggap mereka cenderung meninggalkan ortodoksi dan literalisme
Islam, namun justru hal ini adalah langka yang positif. Karena dengan
“menjaga jarak” darinya (ortodoksi dan literalisme Islam) telah
memberi “ruang bebas gerak’’ untuk diisi dengan berfikir, berintuisi
dan berkontemplasi secara dinamis. Karena itu, bukan hal yang
mengada- ada kalau dikatakan “bahwa mereka, para teosof adalah
ibnu waqtihi (ikon bagi zamannya).”10
Tidak diragukan lagi kalau kita katakan bahwa, bukan teosof,
jika berhadapan dengan ide-spiritualitas Liyan dihadapi dengan
sinis, sarkasme dan anarkisme. Para teosof, dalam menghadapi
ide-spiritualitas liyan, akan selalu mengedepankan sikap adaptif,
dialogis, apresiatif dan bahkan tidak segan-segan mengadopsi untuk
dielaborasi dengan perenungan dirinya serta tetap dengan pijakan
tradisi Islam. Namun di sini, kita tidak sedang menegaskan bahwa,
tidak ada orisinilitas pemikiran. Akan tetapi di sini kita hanya ingin
membuktikan betapa mereka dalam mengadakan perenungan tidak
ada kata alergi untuk mengakui bahwa ada kebenaran wisdom (hikmah/
kebijaksanaan) di luar Islam. Ada yang bisa dipelajari dan diambil.
Dengan berprinsipkan pada sebuah “jargon” yang sangat terkenal, yang
oleh para pakar dianggap sebagai perkataan sahabat Nabi Saw., yang
menjadi idola para teosof dan dinobatkan oleh Nabi sebagai “babul
al- ‘ilmi” (pintu ilmu), yaitu Imam Agung Sayyidina Ali bin Abu
Thalib Karamallahu Wajhah, yang berupa: “khudzil al-hikmah walau
min wi’âin
adiluhung yang bernuansa sufistik, dan inter-teks untuk melihat
konteks lokalitasnya sebuah teks.
356
Eksperimentasi dan pengalaman spiritual bersifat individualistik.
Ada pergulatan kuat yang tersimpan rapi di ruang privat, yang
membentuk gelombang imajinasi yang memicu kontemplasi dan
berfikir bebas, dengan mengabaikan sekat-sekat doktrin dan ortodoksi
agama. Hal ini adalah napak tilas kaum teosof Islam, di mana yang
diandaikan adalah membangun “agama baru” di dalam agama (Islam).
Sebuah agama masa depan bagi manusia. Kado dari individu-individu
para teosof untuk semua manusia.
Pergumulan ide dan imajinasi kreatif dengan pemikiran liyan
(lain), budaya dan agama lokal telah didayagunakan secara arif dalam
dialog produktif. Lain halnya para mutakallimin dan ahli fikih yang
ketika berhadapan dengan ide dan keyakinan di luar Islam cenderung
menonjolkan dialog radikal, yang tidak empati. Para teosof dalam
menghayati, merenung, dan memikirkan Islam yang dianut, tidak
serta-merta menggusur habis-habisan ide atau spiritual liyan dan agama
lokal, bahkan mereka dengan cantik mengadopsinya dalam upaya
mensistematiskan dan mengisi nilai-nilai spiritual yang ada pada lokus
Islam.
Sebagai misal pergumulan dunia sufisme, spiritalitas Islam, dan
budaya lokal tercermin pada kontribusi budaya lokal pada dunia sufi,
seperti pengalaman cinta Qais kepada Laila selaras dengan pengalaman
cinta al-Hallaj kepada Tuhannya. Adalah Qais, seorang yang mabuk
kepayang cinta kepada seorang perempuan Layla, yang mulutnya
telah menyemburatkan ribuan syair cinta. Dalam pengalam cintanya,
dia seakan adalah Layla sendiri. Dia majnun (gila) dalam cinta,
sehingga di alam imajinasinya, Layla, perempuan yang dia cintai selalu
menjelma, tidak ada makna yang bermakna selain Layla, semua
sesuatu yang dilihatnya adalah Layla, dan sampai dia berkata “Aku
adalah Layla” (Ana Layla), ini adalah perkataan klimaks dalam
bergulat dengan cintanya kepada Layla. Tanpa lelah. Dan
perkataan Qais “Ana Layla” serupa dengan perkataan al-Hallaj, yaitu
ana al-Haq (aku adalah yang Haq), yang sama-sama (Qays dan al-
Hallaj) mengindikasikan cinta yang menuju ittihad (penyatuan
pecinta dan sang kekasihnya) dan fana.8 Dan ini adalah indikasi
adanya pengaruh dari budaya lokal Arab, yaitu syair, terhadap para
sufi. Dan bahkan menurut Dr. Ghanami Hilal bahwa para sufilah
yang telah mentransformasikan syair Qais dan
saksi sejarah atas perjalanan sejarah Cirebon yang dituturkan dalam
budaya lisan dari generasi ke generasi. Meski orang-orang Buntet
merupakan kekuatan pengontrol terhadap kebijakan keraton pada 355
masanya, khususnya pada masa kolonialisme Belanda yang dianggap
keraton sudah berkualisi dengan Belanda yang tidak disetujui oleh
mereka yang ada di Buntet.
a
d
a
l
a
h
meski tidak menghilangkan pesan yang sesungguhnya dan tidak e
melenceng dari substansi. n
Selain sang pendongeng, Haji Madrais juga dikenal sebagai seorang d
kyai yang sufi dan asketis. Kedua karakter, yaitu pendongeng dan asketis, e
tercermin dalam satu ungkapannya dalam mukaddimah naskah; s
“Pinten-pinten ikhwan ugi para ba’dlu al-ashdiqa’ katah ingkang sami nuhun a
dipun damelaken hikayat babad Cirebon ingkang jelas. Dados manih kula .
gerigah, lajeng tumandang shalat Istikharah sepindah ping kalih ping tiga,
kepaksa kula damel miturut saking dongeng-dongen ceritane para sepuh-
sepuh angsal nukil saking pinten-pinten sejarah-sejarah babad kuna”
(Beberapa saudara dan juga sebagian teman, banyak yang memohon
dibuatkan hikayat babad Cirebon yang jelas. Jadi saya tergugah. Lalu saya
melakukan shalat Istikharah terlebih daulu, setiap melakukan tiga kali.
Akhirnya dengan terpaksa saya membuatkannya dari dongeng-dongen
ceritanya para sesepuh yang didapatkan dengan menukil beberapa
sejarah babad kuno).4
Abstrak: Artikel ini mengkaji jilid kedua dari naskah Sejarah Cirebon
yang ditulis oleh H. Mahmud Rais. Dalam salinan yang juga dimiliki
oleh Bambang Irianto, naskah ini disalin pada 15 Desember 1957 dan
ditulis dengan aksara Pegon serta bahasa Jawa-Cirebon dan Arab. Secara
ringkas, teks ini menjelaskan doktrin-doktrin keislaman yang disampaikan
oleh Syekh Nurjati yang cenderung adaptif dan akomodatif terhadap
kebudayaan lokal Cirebon. Doktrin-doktrin tersebut dianggap sebagai
wejangan yang bernilai luhur dan bernilai sufistik. Dengan menggunakan
pendekatan sufistik, dalam rangka mengungkap konteks lokal teks
tersebut, artikel ini memaparkan bahwa terdapat enam ajaran yang
sangat substansial yang harus dilakukan oleh umat Islam. Yaitu, pertama,
mengenai aspek ketuhanan. Kedua, meneladani para pewaris Nabi.
Ketiga, melakukan hal yang bermanfaat dan menjauhi hal yang dilarang.
Keempat, ajaran saling mengasihi. Kelima, konsisten dalam kebenaran.
Keenam, keseimbangan antara ilmu dan amal.
Persada. 1996.
Sriyanti. “Naṣīhah al-Muslimin wa Tadhkirah al-Mu’minin Ta’lif ‘Abd al-Ṣamad
al-Jāwī al-Palimbānī Taḥqīquha wa Takhrīju Aḥādithiha al-Nabawiyyah Fīha”.
347
Skripsi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008,
tidak diterbitkan.
Al-Palembānī, Syeikh Abd aṣ-S{amād. t.t. Mulḥaq fī Bayān al-Fawā’id an-Nāfi’ah
fī al-Jihād fī Sabīl Allāh. t.tp: t.np.
. Anīs al-Muttaqīn, Tahqiq Ahmada Luthfi, (Jakarta: Balitbang Kemenag
R.I),
Yani, Zulkarnain. Al-Urwah Al-Wuthqa Karya Al-Palimbani: Tradisi dan Ritual
Tarekat Sammaniyah di Palembang. Jakarta: Penamadani. 2011.
j
u
g
a
m
e
n
y
e
b
u
t
kata yang penulisannya terkadang sedikit bertumpuk tetapi tidak
mengurangi kemudahannya untuk dibaca. Kemudahan membaca teks,
khususnya teks Arabnya, didukung pula oleh keberadaan harakat yang 333
dibubuhkan.
Sayangnya, teks ini tidak membubuhkan kolofon dan redaksi
apapun terkait pengarang dan waktu penulisannya. Selain itu, karena
penyusun hanya mendapatkan bentuk foto kopi naskah, aspek
kodikologinya juga tidak bisa diketahui dengan pasti. Akibatnya,
penyusun tidak dapat secara langsung menentukan siapa pengarang
naskah ini dan kapan ia ditulis. Namun, karena substansinya sama
benar dengan teks Mulḥaq beraksara Arab yang menjadi lampiran dari
teks Naṣīḥat karya ‘Abd al-S{amād al-Palimbānī, dan didukung
bukti-bukti lain seperti akan dijelaskan nanti, maka penyusun
cenderung memosisikannya sebagai karya al-Palimbānī.
Secara substantif, naskah Mulḥaq beraksara Jawi ini sama dengan
naskah Mulḥaq beraksara dan berbahasa Arab lampiran naskah Naṣīḥat.
Namun, struktur judul dan sub judulnya sedikit berbeda dibanding
dengan naskah Mulḥaq beraksara Arab itu. Dalam naskah Mulḥaq
beraksara Arab yang terdapat dalam Naṣīhat; pada redaksi judul,
setelah lafal mulḥaq, ia diikuti kalimat: fī dzikri ḥirzin nāfi’in wa ḥirsin
māni‘in wa ḥiṣyin dāfi‘in. 25 Sedangkan pada naskah Mulḥaq beraksara
Jawi, setelah lafal mulḥaq, ia diikuti kalimat: fī bayāni al-fawā’idi an-
nāfi‘ati fī al-jihādi fī sabīlillāhi.26
Sementara terkait sub judul, pada naskah Mulḥaq beraksara Arab
terdapat tiga faidah (baca: bahasan). Faidah pertama terkait amalan doa
terhindar dari senjata dan ancaman musuh. Faidah kedua, terkait doa
dan amalan untuk mengalahkan musuh dan terhindar dari kejahatan
mereka. Faidah ketiga, terkait bacaan dan doa untuk melumpuhkan
musuh dan kaum kafir.27 Sedangkan di dalam Mulḥaq beraksara
Jawi, terdapat empat faidah. Faidah pertama terkait amalan bacaan
dari Syekh Sammān tentang dua ayat terakhir Surah al-Taubah yang
bermanfaat untuk menangkal cedera. Sementara faidah kedua hingga
keempat isinya sama dengan faidah pertama hingga ketiga yang ada
dalam naskah Mulḥaq beraksara Arab.28
Dengan demikian, perbedaan struktur judul dan sub judul itu
terjadi karena pada naskah Mulḥaq beraksara Arab, redaksi yang
seharusnya menjadi faidah pertama, dijadikan sebagai redaksi judul.
Sementara pada Mulḥaq beraksara Jawi, redaksi judul merupakan
tambahan.
jimat dan semacamnya, tumbuh subur di kalangan masyarakat. Hal
ini, sebagaimana dikemukakan Deliar Noer, disebabkan oleh tabiat
332
alam pikiran Indonesia dan oleh pengaruh berabad-abad ajaran
agama Hindu dan Buddha.20 Keberadaan tarekat seiring masuknya
Islam di Nusantara, kemudian menjadi alternatif pilihan masyarakat
untuk memiliki kekuatan spiritual semisal jimat. Bermodal
“kelebihan- kelebihan” spiritual semacam inilah, masyarakat berani
melakukan pemberontakan dan perlawanan terhadap penguasa
kolonial.21
Perlawanan terhadap kolonial selain bermodalkan bekal spiritual-
mistik, juga dibungkus oleh semangat syariat (doktrin normatif) jihad.
Jihad dipahami sebagai perang terhadap kaum kafir. Sementara yang
dimaksud dengan kaum kafir dalam konteks ini adalah kaum kolonial.
Berjihad melawan kaum kafir kolonial yang berniat menguasai wilayah
Nusantara (wilayah Islam) ini, dipandang sebagai kewajiban agama.22
Pandangan-pandangan soal jihad di kalangan ulama Nusantara
pada abad ke-18 M seperti di atas, menurut Azra, merupakan
kecenderungan baru yang diinisiasi oleh pemikiran-pemikiran al-
Palimbānī yang kemudian juga terlihat dalam pemikiran al-Fatānī.
Hal ini, menurut Azra, lebih disebabkan karena konteks sosial ketika
itu yang cenderung berkembang ke arah politisasi dan radikalisasi
aktifitas sufisme sebagai dampak pengaruh kehadiran kolonialisme.23
Hanya saja, jika dicermati, baik al-Palimbānī maupun al-Fatānī,
hemat penyusun, tidaklah seutuhnya bermaksud mengembangkan
radikalisme. Ini terlihat dari pandangan keduanya yang hanya
mewajibkan perlawanan jihad kepada pihak kafir (kolonial) yang
secara nyata melakukan ekspansi dan menguasai wilayah Muslim
(Nusantara). Adapaun upaya-upaya jihad yang bersifat ekspansif guna
memperluas wilayah Islam, menurut kedua ulama itu, bukanlah
sebuah kewajiban.24 Dengan kata lain, wacana jihad yang mereka
kembangkan pada dasarnya lebih bersifat mempertahankan diri
(defensif ) dan tidak radikal.
Tentang Mulḥaq: Narasi Sufistik Jihad Al-Palimbānī
Teks Mulḥaq yang menjadi sumber kajian dalam artikel ini
terdiri dari 11 halaman, dengan rincian: 6 recto dan 5 verso. Masing-
masing halaman terdiri atas 17 baris. Teks ini ditulis dalam aksara
Arab yang diikuti dengan aksara Jawi (Arab Melayu) sebagai
terjemahannya. Sedang jenis tulisan (khaṭṭ) yang digunakannya
a teks tertulis dengan baik. Hanya satu-dua
d
a
l
a
h
K
h
a
t
N
a
s
k
h
i
.
S
e
c
a
r
a
k
e
s
e
l
u
r
u
h
a
n
,
pesatnya perkembangan Islam di Nusantara (abad k-18 M.), model
sufisme yang tengah dominan tumbuh adalah model yang berupaya
mempertemukan (rapprochement) antara kecenderungan syariat dan 331
tasawuf.15 Model demikian dikenal dengan istilah neo-sufisme. Model
inilah yang sedikit banyak memengaruhi pula pemikiran tokoh-tokoh
Muslim Nusantara.16 Satu di antaranya tampak dalam pemikiran al-
Palimbānī.
Pemikiran al-Palimbānī yang dipandang sebagai neo-sufisme terlihat
misalnya pada kecenderungan tarekat yang dikembangkannya.
Seperti diketahui, tarekat merupakan wadah bagi para sufi dalam
melakukan laku-laku spiritual. Al-Palimbānī dalam hal ini
mengembangkan tarekat Sammāniyah, sebuah aliran tarekat yang
didirikan oleh Syekh al- Sammān yang menekankan pemaduan laku-
laku spiritual dan syariat. Para pengikut tarekat Sammāniyah ini
biasanya melakukan zikir. Zikir ini biasa dilakukan hingga larut malam.
Mula-mula dibacakan dalam keadaan duduk, hingga akhirnya berdiri
sambil menggerakkan kepala dan meliukkan badan. Makin lama
makin keras hingga tidak sadarkan diri. Aktifitas seperti ini biasa
dikenal dengan sebutan ratib Sammān dan hikayat Sammān.
Aktifitas demikian, oleh pengikutnya, sering dipandang sebagai
ibadah. Lebih dari itu, ia diyakini memiliki khasiat. Misalnya adalah
mengatasi kesulitan dan menyembuhkan penyakit.17
Pada kondisi tertentu, bacaan ratib Sammān sering juga dilakukan
untuk kepentingan konfrontasi menghadapi Belanda. Ia memiliki
pengaruh yang luar biasa bagi perjuangan umat Islam. Di Palembang,
misalnya, tampak pada sebuah perang pada tahun 1818 M. sebagaimana
termaktub dalam syair Perang Menteng. Di Kalimantan Selatan,
terlihat pada tahun 1861 M., dalam pemberontakan di Telaga Itar
Kelua. Sedangkan di Banten, ia juga menjadi pegangan masyarakat
untuk keperluan kesaktian dan kekebalan.18
Menurut Bruinessen, tarekat pada umumnya, termasuk tarekat
Sammāniyah, diminati oleh masyarakat karena adanya daya tarik yang
berbau spiritual-mistik. Masyarakat tertarik mempelajarinya dengan
tujuan memiliki kekebalan dan kedigdayaan, 19 sebuah keadaan yang
diyakini dapat meningkatkan status individu dan keberanian, lebih-
lebih di tengah situasi sosial politik kolonialisme.
Kecenderungan masyarakat seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh
pada masa itu. Warisan budaya mistik animisme-dinamisme yang
ditandai antara lain dengan adanya kepercayaan pada kekuatan spiritual
Luthfi, juga baru sebatas penyuntingan teks dari naskah berbahasa
Arab dan belum secara khusus menganlisis substansi Mulḥaq.11
330
Artikel ini secara khusus mencoba mengisi kekosongan analisis
terhadap substansi naskah Mulḥaq dalam aksara Jawi. Secara khusus,
artikel ini dirahkan pada dua pertanyaan berikut. Pertama, dalam
kerangka apakah konsep azimat dalam naskah Mulḥaq itu dikemukakan
al-Palimbānī, apa makna keberadaan naskah Mulḥaq dalam konteks
persoalan jihad ketika itu?; dan, kedua, apa maknanya bagi konteks
masyarakat saat ini?
D
kalangan, baik Muslim maupun non Muslim. Bagi
328
kalangan Muslim tertentu, jihad direduksi maknanya
sebatas perang
atas nama agama terhadap kaum kafir.1 Sedangkan bagi sebagian non-
Muslim, doktrin ini sering juga direduksi untuk mendiskreditkan
Islam sebagai agama yang identik dengan teror dan kekerasan. Akibat
pemaknaan demikian, terjadi pengkerdilan terhadap konsepsi jihad dan
sekaligus potensial melahirkan kondisi yang kontra produktif di tengah
masyarakat. Di antara fakta yang ada saat ini adalah friksi
antarsesama Muslim dan hubungan yang tidak harmonis dengan
non-Muslim.
Sudut pandang reduktif demikian bukan tidak mungkin juga dapat
memengaruhi penilaian seseorang atas teks-teks jihad klasik warisan
ulama Nusantara. Akibatnya, di satu sisi, tidak tertutup kemungkinan,
teks-teks jihad ulama itu diposisikan sebagai sumber inspirasi dan
legitimasi bagi tindakan perang atas nama agama. Namun, di sisi lain,
bukan tidak mungkin pula, teks-teks tersebut diposisikan oleh
sebagian kalangan sebagai eksemplar narasi radikalisme yang
dilakukan oleh para ulama. Pandangan yang menempatkan karya ulama
sebagai narasi radikalisme seperti ini, misalnya terlihat dalam karya
Azra; Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Menurut
Azra, dalam konteks jihad, ulama Nusantara pada abad ke-18
cenderung mengembangkan teologi aktif dan radikal. Dalam istilah
lain, Azra menegaskan bahwa neo-sufisme pada abad ke-18
mengusung semangat aktivisme dan radikalisme.2
Untuk menghindari penilaian demikian, maka teks-teks jihad
warisan ulama itu perlu dibaca sesuai semangat sosial politik yang
membidani kelahirannya. Melalui pembacaan demikian diharapkan
muncul pemahaman yang proporsional terhadap teks-teks jihad
warisan ulama klasik itu. Dalam kerangka ini, penting untuk membaca
teks Mulḥaq (beraksara Jawi), yang notabene merupakan teks jihad abad
ke-18. Substansi teks ini (Mulḥaq beraksara Jawi) sama persis dengan
teks Mulḥaq beraksara Arab yang menjadi lampiran dari teks Nasīḥāt
al-Muslimīn wa Tadhkirāt al-Mukminīn fī Faḍā’il al-Jihād fī
Sabīlillāh (selanjutnya diringkas Nasīḥāt), karya al-Palimbānī. Karena
kesamaan substansinya ini dan beberapa bukti sebagaimana akan
dikemukakan nanti, penyusun menempatkan teks Mulḥaq beraksara
Jawi yang tidak secara eksplisit menyebutkan nama penyusunnya ini,
s alimbānī.
e
b
a
g
a
i
l
a
m
p
i
r
a
n
t
e
k
s
N
a
s
ī
ḥ
ā
t
k
a
r
y
a
a
l
-
P
Sidik
Abstrak: Terma jihad sering diasosiasikan pada tindakan radikal dan teror.
Akibatnya, makna jihad menjadi kerdil, terbatas, dan lebih lanjut berpotensi
menimbulkan kondisi yang kontra produktif di masyarakat. Dengan demikian,
teks terkait jihad menjadi penting dibaca dan dimaknai kembali. Salah satu
sumber yang dapat diangkat adalah teks Mulḥaq fī Bayān Al-Fawā’id Al-Nāfi’ah
fī Al-Jihād fī Sabīlillāh, yang merupakan lampiran dari karya Syekh
Abdussamad al-Palimbani yang berjudul Nasīḥāt al-Muslimīn wa Tadhkirāt
al-Mukminīn fī Faḍā’il al-Jihād fī Sabīlillāh, yang ditulis pada abad ke-18 M.
Berdasarkan naskah Mulḥaq, jihad merupakan merupakan doktrin
keagamaan yang harus diaktualisasikan sesuai konteks sosialnya. Dalam
konteks sosial politik di bawah belenggu penjajah, jihad dalam bentuk
perlawanan fisik adalah suatu keharusan, dan itu bukanlah radikalisme.
Tulisan ini, dengan demikian, mengelaborasi pemaknaan jihad itu sendiri,
dan di sisi lain tentang penggunaan azimat sebagai sumber kekuatan yang
dipurifikasi dengan bacaan ayat Al-Qur’an, doa dan zikir.
327
326 Magnis-Suseno, Franz. 1993. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Syeh Siti Jenar: Pergumulan Islam Jawa.
Bintang Budaya.
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. Kodikologi Melayu Di Indonesia. Universitas
Indonesia.
Mulyati, Sri, ed. 2004. Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di
Indonesia. Jakarta: Kencana (Prenada Media).
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup
Jilid II.(edisi Ke-5). Jakarta: Erlangga.
Shihab, Alwi. 2001. Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini
Di Indonesia. Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish. 2001. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga
Dan Ayat-Ayat Tahlil. Lentera Hati.
Sholikhin, Muhammad. 2004. Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat
Dan Suluk Siti Jenar. Yogyakarta: Narasi.
Simuh. 1982. “Mistik Islam Kejawan Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi
Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati.” IAIN Sunan Kalijaga.
Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-
19. Jakarta: Bulan Bintang.
Suyono, R. P. 2008. Ajaran Rahasia Orang Jawa. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi
Aksara.
Tim Penyusun. 1990. 3658 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Zazuli, Mohammad. 2011. Syekh Siti Jenar: Mengungkap Misteri
Dan Rahasia
Kehidupan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Bibliografi
Adian, Donny Gahral. 2012. “Hermeneutika: Sebuah Pengantar.” Presented at
the Short Course Metode Penelitian Filologi.
Ali, Mukti. 2011. Spirit Islam Sufistik: Tasawuf sebagai Instrumen Pembacaan
terhadap Islam. Bekasi: Pustaka Isfahan.
Al-Jumaili, Sayyid. 2011. Dahsyatnya Sakaratul Maut: Detik-Detik Perjumpaan
Manusia Dengan Malaikat Maut Ketika Akan Dicabut Nyawanya. Jakarta:
Cahaya Ilmu.
Al-Qodli, Imam Abdurrahman bin Ahmad. Terjemah “Daqoiqul Akbar”
(Detik- Detik Berita Dari Surga Dan Neraka). Semarang: Karya Toha Putra.
Anasom, and Musahadi. 2004. Membangun Negara Bermoral: Etika Bernegara
dalam Naskah Klasik Jawa-Islam. Semarang: Pusat Pengkajian Islam &
Budaya Jawa (PP-IBJ), IAIN Walisongo.
Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara
Abad 17 Dan 18. Bandung: Mizan.
Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat:
Tradisi- Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Darmaningtyas. 2002. Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri Di
Gunungkidul. Yogyakarta: Salwa Press.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Gadamer, Hans-Georg. 2011. Truth and Method. New York: Continuum.
Hidayat, Komaruddin. 2011. Psikologi Kematian Mengubah Ketakutan Menjadi
Optimis. Jakarta: Mizan Publika.
Hurlock, Elizabeth B. 1990. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
B
a
n
y
a
k
n
y
a
p
e
n
a
f
s
i
r
a
n
t
e
r
h
a
d
a
p
k
i
t
a
b
s
u
c
i
dalam menghadapi kematian. Oleh karena, kematian menjadi momok
yang menakutkan sehingga orang cenderung menghindar darinya.
Setelah adanya ajaran Islam sufistik yang mengangkat tema kematian 323
sebagai salah satu jalan menuju kehadirat Tuhan tersebar, manusia
Jawa sadar bahwa mati adalah niscaya yang harus dialami oleh setiap
manusia. Dengan demikian, menghadapi kematian tidak harus dengan
perasaan takut dan menghindar. Namun, mati dalam ajaran ilmu
sejati yang tertuang dalam manuskrip tersebut menjadi kebutuhan,
karena proses kematian yang diawali dengan sekarat bagaikan
seseorang bertemu dengan dzat yang dirindukan, yaitu Tuhan. Oleh
karena itu, naskah Shahadat Sekarat yang menguraikan tentang
proses kematian merupakan negasi dari sindrom masyarakat Jawa
yang selama ini takut akan datangnya kematian.
Dalam rangka itu pula, manuskrip yang penulis temukan telah
membuka tabir bagi masyarakat waktu itu untuk memerangi sindrom
322
terhadap kematian. Oleh karena, penjelasan yang tertuang di dalam
naskah ini memberi informasi tentang indahnya kematian. Bagaimana
proses kematian itu menuntun orang yang mati ke jalan Tuhan
Allah swt. Bagi orang yang beramal saleh maka surgalah tempatnya
dengan aneka kenikmatan. Sementara itu, bagi mereka yang kafir,
nerakalah tempatnya. Selain itu, berdasarkan hasil analisa yang
penulis lakukan, bahasa yang cenderung banyak bahasa ngoko (kasar)
dan sedikit kromo inggilnya (bahasa sopan). Struktur seperti ini telah
memberi informasi bahwa, manuskrip tersebut memang
disuguhkan untuk kalangan masyarakat biasa (proletar).
Selain itu, ada asumsi bahwa apa yang tertulis merupakan ajaran
yang disampaikan Syek Siti Jenar. Menurutnya pangkal dari segala
ciptaan adalah Dzat Wajibul Wujud yang tidak terdefiniskan, yang
diberi istilah “awang uwung” (ada tetapi tidak ada, tidak ada tetapi
ada) yang keberadaannya hanya mungkin ditandai oleh kata “tan kena
kinaya ngapa” yang disebut dalam al-Quran “laisa kamithlihi shay’un”
artinya “tidak bisa dimisalkan dengan sesuatu”. Inilah tahap Ahadiyah.
Dari keberadaan yang tak terdefinisikan itulah dzat wajibul wujud.
Yang tak terdefinisikan mewahyukan diri sebagai pribadi Ilahi yang
disebut Allah. Inilah tahap Wahdah yang tak terdefinisikan
mewahyukan diri menjadi Rabbul Arbab. Dari tahap wahdah ini
kemudian mewahyukan diri sebagai Nur Muhammad. Inilah tahap
wahidiyah ketika yang tak terdefinisikan mewahyukan diri sebagai
Rabb. Nur Muhammad ini kemudian mewahyukan diri menjadi
semua ciptaan yang disebut mahluk, baik yang kasat mata
maupun tidak kasat mata.
Penutup
Berdasarkan paparan yang diurai di atas, dapat disimpulkan bahwa
karya-karya ulama Nusantara yang membahas tentang kematian dan
eskatologi Islam cenderung menggunakan bahasa-bahasa sufistik.
Naskah Shahadat Sekarat adalah salah satu karya tersebut yang
penulis temukan. Sebagai proses awal dari kematian dalam rangka
menuju kehidupan eskatologi yang dimanifestasikan pada ajaran
sufistik Islam di Jawa memiliki peranan penting dalam kehidupan
masyarakatnya. Naskah yang usianya lebih dari satu abad ini
merupakan karya yang ditulis agar menjadi penerang dan petunjuk
b
a
g
i
s
i
a
p
a
s
a
j
a
u
n
t
u
k
t
e
g
u
s
mencampurkan antara yang lampau dan yang sekarang. t
Bagi Gadamer, penafsiran bukan sesuatu yang bersifat ofensif e
terhadap teks. Praanggapan yang melingkupi penafsir bukan sesuatu n
yang mutlak. Penafsir harus bersedia untuk dipersoalkan oleh teks itu a
sendiri. Ini bukan berarti penafsir sepenuhnya dikendalikan oleh teks. n
Kesediaan mendengar klaim yang diajukan teks berarti membiarkan g
klaim itu menampilkan dirinya sebagaimana adanya. Dalam interaksi ,
antara penafsir dan teks (fusi horison) penafsir mendengar d
pertanyaan yang memanggil teks untuk tampil mewujudkan a
dirinya.17 n
Dalam kerangka ini, penulis mengajukan sebuah realitas yang
terjadi ketika teks ditulis. Walaupun teks-teks naskah Shahadat p
Sekarat merupakan teks anonimus yang pengarang atau penulisnya e
tidak disebutkan, namun teks tersebut tidak mengurangi otentisitas r
untuk dikaji lebih dalam. Hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, a
naskah tersebut merupakan karya original seseorang yang memiliki s
otoritas tentang kematian dan eskatologi sehingga, naskah tersebut a
dapat menjadi referensi bagi setiap orang yang membacanya. Kedua, a
naskah Shahadat Sekarat yang sampai di tangan penulis ini adalah n
hasil salinan atau turunan dari naskah original sebelumnya.
Penulisan ulang itu dimaksudkan untuk menyebarluaskan doktrin y
yang tertuang dalam naskah. Akan tetapi, dari kedua kemungkinan di a
atas menurut penulis cenderung berasumsi pada kemungkinan n
pertama. Hal ini disebabkan, terdapat banyak coretan dan g
pengulangan kata dalam naskah yang memberikan kesan bahwa si
penulis memang melakukan perenungan yang ditorehkan dalam t
kertas tanpa watermark itu. i
Adapun penjelasan tentang kontekstualisasi naskah dilandasi dari d
sindrom masyarakat tentang kematian. Secara psikologis kecemasan a
akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu k
sendiri dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa
sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian. Oleh b
karena itu, pemahaman dan pembahasan yang mendalam tentang a
kecemasan lansia penting untuk diteliti, khususnya lansia yang i
mengalami penyakit kronis, dalam menghadapi kematian. Hal ini k
disebabkan, kecemasan bisa menyerang siapa saja. Namun, ada
spesifikasi bentuk kecemasan yang didasarkan pada kematian. a
Umumnya, kecemasan ini merupakan suatu pikiran yang tidak t
menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, rasa tidak a
u tidak enak yang tidak dapat dihindari oleh seseorang18
321
Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh
Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu menempuh laku
320
manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang
berupa syahadat tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh laku
manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar.
Kematian bukan masalah kapan ajalnya datang. Kematian termasuk
dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula
Gusti dan sebaliknya
Demikian halnya Kitab Walisongo, yang dikutip oleh Van Hien
dalam De Javanesce Gesten. Kitab tersebut memberi keterangan bahwa
ketika orang meningga, sebenarnya roh dan badan halusnya masih
terikat pada Wethala sehingga roh tidak dapat meninggalkan bumi.
Namun, bila orang meninggal semasa hidupnya berkelakuan baik dan
akhirnya meninggal secara mendadak maka rohnya tetap berada dalam
keadaan tidur sampai Wethala-nya musnah. Akan tetapi, jika orang
yang meninggal semasa hidupnya berkelakuan buruk dan mengumbar
kesenangan dan nafsu, akibatnya menjadi lain. Roh dari orang yang
berkelakuan buruk tersebut terbangun dari tidur kematiannya karena
masih memendam keinginan dan nafsu dalam kematian.14
e
m
p
a
t
k
o
m
p
o
n
e
n
,
d
i
a
n
t
a
r
a
n
y
a
p
e
r
h
Shahadat Sekarat yang terpapar merupakan syahadat yang bersifat
umum, sebab masih ada beberapa syahadat yang lain. Semua syahadat
yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian atau zikir, 313
terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap
berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun,
syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat
pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak
mengheningkan daya cipta, rasa, dan karsa, sehingga lafal-lafal yang
berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam
sukma, sebagaimana dalam teks berikut:
Transkripsi Teks Terjemah Teks
/35/. Angerasani ilmu hak ing Merasakan ilmu haq (hakekat)
hale ora weruh rasane huruf, iya dengan tidak melihat rasa tiga
tigang dasa iku pesti wongiku ora puluh tersebut pasti orang itu
weruh rahsane ilmu hakikat, wong tidak dapat merasakan ilmu
iku kerana setuhune huruf tigang hakekat.
doso iku perabot ing dumadi Sebab, sesungguhnya tiga puluh
kabeh, tamat, Wallahu a’lam. huruf tersebut alat untuk menuju
Maka shahadate dzat langgeng kemulyaan. Tamat. Wallahu a’lam.
mulya jati urip tankena ing pati Shahadat itu langgeng, mulya,
yā hwa illa Allah. Punika dunga mulya hidupnya sampai mati,
Shofi Muluk kafiyate lamun yā hwa illa Allah. Ini adalah do’a
andunga, amacaha sholawat ping Shofi Muluk, kaifiyahnya apabila
tiga, ikilah dungane Shalawat berdo’a, bacalah Sholawat 3x.
Allahumma Salli wa salim ala Inilah do’anya: Allahumma Salli
Muhammad wa barik wa sallim wa salim ala Muhammad wa
ping tiga Bismillahir Rohmaanir barik wa sallim ping tiga
Rohiim, Azza man ta’azaza billahi Bismillahir Rohmaanir Rohiim,
Azza man ta’azaza billahi
Dalam perkembangannya, karena naskah ini membicarakan
masalah ilmu sejati (Sufistik), keberadaannya hanya tersimpan dan
tidak diajarkan secara luas. Sang pemilik Haji Khasani memahami
bahwa di tengah-tengah masyarakat, seperti yang sudah dijelaskan di
atas-ilmu yang terdapat naskah ini tidak bisa diajarkan. Hal ini karena
dominasi Islam di wilayahnya didasarkan pada mainstream fiqh. Oleh
karena itu, puluhan tahun silam manuskrip ini hanyalah kertas yang
tidak memiliki otoritas untuk dikaji dan diajarkan.
N
a
b
i
s
a
w
.
,
k
e
m
a
t
i
a
n
d
a
n
e
s
k
a
t
o
l
o
g
i
Ibnu Fikri
Muchlas Samani dan Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mudyahardjo, Redja. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan; Suatu Pengantar. Bandung:
271
Rosda Karya.
Nurgiyantoro, B. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
Universitas Press.
Rahmanto Hartoko, Dick dan B. Rahmanto, 1998. Pemandu di Dunia Sastra.
Jakarat: Pustaka Anggrek
Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang.
Sadullah, Uyoh. 2011. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:
Alfabeta. Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta:
Pustaka Jaya
Tim Ilmu Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Ilmu
Pendidikan. Bandung: Imperial Bakti Utama.
Zuhdi, Masjfuk. 199fi. Studi Islam Jilid III : Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Internet
http://kampus.okezone.com/read/2012/08/31/373/683436/95-koruptor-ri-
lulusan-perguruan-tinggi. diakses 5 September 2012 pukul 13.00 WIB.
Wawancara
Hasil wawancara dengan Apria Putra, Pengkoleksi Naskah, di gedung Teknologi
Informasi Komputer Nasional UIN Jakarta, 3 Agustus 2012, pukul 19.00
WIB.
Hasil wawancara dengan Yusri Akhimuddin, Peneliti di Sumatera Barat, di
gedung Teknologi Informasi Komputer Nasional UIN Jakarta, 3 Agustus
2012, pukul
19.00 WIB.
Penutup
Nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam Naskah CNMBJA
adalah kesabaran, keberanian, pemaaf, optimis, kerja keras, syukur,
kesederhanaan, musyawarah, empati, motivasi, dermawan, tolong
menolog, keadilan, penghormatan, prinsip, ketaatan, kasih sayang
dan rendah hati. Nilai-nilai ini dapat dijadikan sebagai basis nilai
dalam pendidikan karakter yang meliputi akhlak feeling, knowing, dan
action yang dalam prakteknya dilakukan secara teratur dan
berurutan. Akan tetapi, yang perlu digaris bawahi, pengaplikasian
dalam tulisan ini merupakan contoh penerapan beberapa nilai
yang digali dari Islam berbasis manuskrip. Akan menjadi
“sombong” manakala tulisan ini bermaksud menggenalisir. Sangat
disadari bahwa nilai-nilai islam yang terkandung dalam manuskrip
begitu banyak dan luas. Sementara nilai yang terdapat dalam naskah
ini merupakan serpihan dan cuil-cuilannya. Dengan demikian,
menjadi tugas bersama menggali nilai- nilai Islam berbasis
manuskrip yang masih terhidden kemudian mengaplikasikannya
dalam pendidikan karakter sebagai pembuktian bahwa Islam
ditujukan kepada semua umat manusia, rahmah li-al- “alamin.
Selain tentunya berusaha merumuskan konsep nilai-nilai Islam itu
sendiri menjadi mapan, agar mampu mewarnai bahkan bisa jadi
mengintervensi epistemologi pendidikan karakter, sehingga akhlaklah
yang menjadi basis, bukan moral atau etika.
pseserta didik diberi pemahaman tentang nilai-nilai moral dan etika
yang diapakai manusia secara umum, baik yang bersifat filosofis
266
maupun normatif. Level ketiga adalah nilai-nilai praksis yang
tergambar dari prilaku tokoh dalam CNMBAJ dijadikan sebagai
contoh aplikatif dalam daerah tertentu, dalam konteks ini
padang. Artinya dalam memberikan pengetahuan nilai, peserta didik
langsung diberikan contoh yang sifatnya lokal setempat. Model
percontohan seperti ini secara psikologis mempermudah memahami
nilai yang bersifat abstrak. Yang terahir adalah aplikasi dari kedua
akhlak tersebut yang disebut akhlak action. Secara lahiriyah
pembelajaran nilai ini dapat dideteksi dari kompetensi, keinginan dan
kebiasaan. Kemampuan kognitif tentang nilai ini harus dikuasai dan
dipahami peserta didik. Bahkan dalam akhlak action ini
pemahaman tidak cukup. Setelah paham peserta didik diajarkan agar
berkeinginan menerapakan pengetahuan tentang nilai- nilai itu.
Langkah terahir adalah Peserta didik diajarkan dan dibiasakan untuk
selalu mempraktekan nilai-nilai di atas. Dalam mempraktekan ini
tentunya peserta didik harus mempunyai pengetahuan dan sikap
terhadap nilai-nilai itu. Dengan kata lain, internalisasi nilai-nilai itu
terlebih dahulu bersifat afektif dan kognitif, sedangkan psikomotorik
harus didorong dan disadari penuh oleh peserta didik berdasarkan
afektif-kognitif. Pembiasaan diawali dengan mengikuti contoh yang
berada pada level ketiga di akhlak knowing. Dalam konteks naskah
ini adalah contoh prilaku yang dilakukan Nabi dan sahabat. Secara
kompetensi mereka memunyai nilai-nilai Islam dan berkeinginan
untuk selalu melakukan nilai tersebut. Misalnya nilai pemberani,
Nabi dalam setiap duel selalu memegang nilai ini. Nabi tidak
pernah mundur, apalagi lari. Abu Jahil dihadapi dengan pantang
menyerang. Hal ini didasarkan atas keyakinan bahwa apa yang
dilakukan nabi merupakan sebuah kebenaran. Sementara prilaku
Abu jahil dan konco- konco merupakan prilaku yang harus dihindari
dan dijadikan sebagai
kebiasaan dalam kehidupan.
Dengan sistem cerita, teks ini jika ditarik dalam akhlak action ini
ingin menunjukkan bahwa puncak pendidikan karaker adalah praktik
dari nilai tersebut. Praktik dalam cerita tersebut digambarkan secara
detail, bahkan cenderung teori tentang nilai itu hanya terungkap
secara eksplisit. Dalam konteks pengajaran, pendidik dituntut harus
mampu memvisualisasi pengetahuan nilai dalam ranah paraktis, atau
m an aplikasi nilai tersebut
a
m
p
u
b
e
r
f
i
k
i
r
l
i
t
e
r
a
l
u
n
t
u
k
m
e
n
g
e
m
b
a
n
g
k
Dengan mempertimbangkan muatan nilai dalam cerita CNMBJA
peserta didik diajarkan tentang sikap yang juga melibatkan unsur
ilahiyah. Sikap yang tidak melulu mepertimbangkan aspek hubungan 265
manusia saja. Tuhan dalam kondisi apapun adalah muara dari
sikap-sikap itu. Bahkan pertimbangan untuk bersikap juga didasari
hubungannya dengan alam. Alam sebagaimana yang terbaca dalam
naskah ini berperan aktif dalam konstalasi kehidupan manusia. Jika
ia diperlakukan baik, maka ia pun baik. Bahkan ikut serta mendoakan
terhadap kebaikan manusia itu. Jadi sikap yang berdasarkan pada
nilai- nilai ini merupakan aspek afektif yang harus menjadi pondasi
awal dalam pembelajaran pendidikan karakter.
Dalam pada itu, sistematisasi pendidikan dilanjutkan dengan
mengajarkan nilai-nilai itu secara rasional kognitif (akhlak knowing).
Nilai-nilai ini menjadi semacam pengetahuan yang sistematis bagi
peserta didik. Mengeja dari teks ini, sudah sepatutnya nilai-nilai di
atas secara kompetensi pengetahuan diajarkan berdasarkan gradasi
tingkatan. Ketiga tingkatan ini dijadiakan sebagai cara pengambilan
keputusan dan bagaimana memposisikan posisi diri. Sedangkan sudut
padangnya berada dalam ketiga level ini. Level pertama adalah nilai
yang dianggap universal adalah nilai-nilai yang dalam pengertian
ontologis. Peserta didik diajarkan bahwa semua pengetahuan tentang
nilai-nilai di atas berbasis pada ketauhidan yang mengintegrasikan
hubungan Allah, manusia dan alam. Konsep nilai seperti inilah
yang harus terpatri dalam rasio dan kesadaran anak. Anak
di”doktrinasi” bahwa nilai-nilai ketauhidan inilah yang bersifat
objektif-universal sebagaimana termaktub dalam kitab suci, bahwa
Islam diperuntukan untuk kemaslahatan alam, bukan hanya muslim.
Di samping itu, perlu adanya pembelajaran nilai yang menggunakan
logika abduktif. Artinya nilai-nilai yang dipelajari harus ada
berdasarkan nash dari al-Qur’an atau hadis di satu sisi dan di sisi lain
mengindentifikasi serpihan- serpihan nilai-nilai dari prilaku manusia.
Setelah itu, mengintegrasikan hasil dari kedua logika berfikir ini. Level
kedua adalah nilai instrumental yang berupa definitif dari nilai-nilai
itu diajarkan kepada peserta didik sebagai upaya untuk menjalin
harmonisasi antar manusia. Dalam konteks kehidupan keberagaman
yang bersifat sosiologis nilai- nilai intrumental inilah yang
ditampakkan, hal ini sebagai usaha meminimalisir ketegangan antar
manusia yang cenderung mempunyai perbedaan, baik agama
maupun pemikiran. Dalam tataran ini pula
Sedangkan nilai secara ontologis, konsep nilai-nilai instrumental dan
praktis tersebut bermuara pada pentauhidan kepada Allah dengan dasar
264
al-Qur’an. Nilai instrumental yang berbentuk definitif di atas digali dari
wacana keseluruahn teks. Sementara nilai praktis diwujudkan dalam
bentuk contoh konkrit yang disuguhkan oleh pengarang. Pada tataran
nilai instrumental ini bisa jadi akan sama dengan nilai-nilai lain di luar
Islam karena sifatnya yang cenderung umum, namun secara ontologis
belum tentu sama, kecuali yang merekayasa adalah muslim. Sementara
dalam nilai praktik yang berupa contoh merupakan gambaran real yang
mencerminkan nilai instrumental dan ontologis di daerah tertentu.
Nilai-nilai Islam yang terkandung dalam teks sebagaimana analisa
sebelumya dalam tulisan ini coba diaplikasikan dalam ranah
pendidikan karakter. Aplikasi ini dalam pengertian nilai-nilai itu
dijadikan dasar dalam pengembangan pendidikan karakter. Pintu
masuk kajian ini melalui konseptualisasi dalam pendidikan karanter
seperti penjelasan sebelumnya yang terdiri dari akhlah feeling, akhlak
knowing dan akhlak action yang dilakukan secara berurutan.
Mengacu pada konten teks, sitematisasi pendidikan nilai dimulai
dari akhlak feeling. Ini tergambar dari penggunaan puisi nadaman
yang bersifat emotif-afektif. Peserta didik dirasuki terlebih dahulu
perasaannya, sehingga ia merasa dengan mudah ikut merasakan dan
bersikap sebagaimana nilai-nilai tertentu. nilai yang dimaksud dalam
naskah ini adalah pemaaf, syukur, musyawarah, empati, motivasi,
dermawan, kasih sayang, penghormatan dan tolong-menolong.
Selain nilai yang merepresantasikan hubungan antar manusia yang
lain, juga diajarkan tentang nilai yang berkaitan dengan sikap
terhadap diri sendiri yaitu keberanian, opimisme, prinsip, dan
keadilan. Keempat nilai ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan
diri. Dalam menyikapi suatu hal peserta didik mampu bersikap
sebagaimana tercermin dalam nilai-nilai ini. Selain tentunya, sikap
ini dibarengi dengan sikap yang berkaitan dengan pengendalaian
diri yaitu kesabaran. Puncak dari sikap terhadap diri sendiri yang
berelasi dengan manusia lain adalah rendah hati. Bagaimana bersikap
meskipun merasa memiliki kelebihan tetap merendahkan diri nan
tidak merasa kekurangan di depan orang lain sehinggga berusaha
menghidari sikap sombong atau meremehkan orang lain, karena
karena pada hakikatnya semua milik Allah. Jika hamba bisa rendah
hati maka Tuhan akan selalu menyertainya.
2000: 187). Sementara itu Stanton mengartikan bahwa tema adalah
makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar
unsurnya dengan cara yang sederhana. 40 Tema menurutnya kurang 263
lebih bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama
(central puprpose). Nilai isi atau konten merupakan hasil kesimpulan
dari berbagai macam nilai-nilai yang ada dalam karakter tokoh dan
nilai yang didasarkan pada bahasa yang digunakan pengarang.
Nilai yang hendak diungkapkan pengarang CNMBAJ adalah
tentang rendah hati. Sikap dan prilaku yang menerima apa adanya
atas pemberian Tuhan dengan tanpa merasa lebih hebat daripada orang
lain serta tidak pula meremehkan orang lain walaupun itu musuh
Allah. Orang yang berendah hati selalu akan mengalah, bukan kalah
(Q.S al- A’rāf: 199). Hal ini dibuktikan dari cerita CNMBAJ yang
diperankan oleh nabi yang selalu dapat mengatasi persoalan walaupun
secara kasat mata tidak mempunyai bekal apapun. Akan tetapi karena
kerendahan hati, beliau ditolong oleh Allah dengan selalu bisa
mengatasi persoalan, bahkan dalam setiap duel selalu menang.
Sahabat-sahabat Nabi selalu ada dikala Nabi membutuhkan.
Kerendahan nabi tercermin dalam sikap dan prilaku. dalam setiap
menghadapi kesulitan tidak mengambil keputusan sendiri. Nabi
meminta petimbangan kepada Abi Talib. Ini menunjukkan bahwa
walaupun diberi mukjizat oleh Allah secara langsung tetapi nabi
juga mempertimbangkan sisi kebaikan bersama. Dalam konteks ini
nabi mencoba menyeimbangkan antara hubungannya dengan Allah
sastu sisi dan dengan manusia pada sisi yang lain. Nabi tidak merasa
paling bisa dan paling hebat, walaupun ia adalah utusan Allah. Begitu
pula saat melawan Abu Jahil, Nabi tidak pernah merendahkan atau
meremehkannya. Nabi selalu dalam keadaan siaga, bahkan dalam titik
tertentu nabi sangat memperhitungkan kekuatan lawan, sehingga
menjadi hal yang lumrah ketika ia hatus berdialog dan berdiskusi
dengan pamannya untuk mengimbangi kekuatan musuh. Demikian
sebaliknya, sifat sombong yang ditapilkan oleh Abu Jahil justru
membawa malapetaka bagi dirinya. Meskipun secara kasa mata
semua fasilititas untuk memenangkan duel ada tetapi itu tidak
menolongnya dari kekalahan. Karena pada hakikatnya yang bisa
menolong adalah Allah.
Yang perlu digaris bawahi dalam analisis ini adalah nilai-nilai yang
dianalisis ini merupakan nilai dalampengertian instrumental dan
praktis.
Nabi memiliki sahabat yang dalam teks ini dilukiskan sebagai
orang- orang yang selalu taat kepada Nabi. Mereka digambarkan
262
memiliki nilai-nilai kataatan kepada pemimpi. Yaitu sikap dan
prilaku yang selalu menuruti perintah dan nasehat pemimpin.
Tentunya nasehat dan perintah tersebut sesuai dengan standar
Islam (Q.S al-Nisā’: 59). Apapun yang dilakukan Nabi itulah yang
dinamakan standar Islam sendiri. Dalam mengungkapkan kataatan
ini naskah CNMBAJ memakai redaksi “manurut”. Selain itu hubungan
sahabat dengan Nabi juga dibagun berdasarkan nilai kasih kasih
sayang. Sebuah sifat dan prilaku yang halus dan baik terhadap sesama
(Q.S al-‘Ankabūt: 8). Nilai musyawarah juga diungkapkan dengan
sangat tegas. Musyawarah adalah pencapaian suatu keputusan
berdasarkan mufakat. Antar pengambil keputusan tidak ada yang
merasa dirugikan. Karena, selain rasional dasar dari pengambilan
keputusan itu adalah rasa kasih sayang dan ketaatan terhadap
pemimpin. Konsep ini sebagaiman termaktub dalam naskah yang
berbunyi:
Karena berjalan junjungan kita
Kanak-kanak empat puluh menurut juga
Hendak menopang apa bicara
Semua itu kasih tidak terkira (hlm.: 2)
Nilai syukur kepada Allah bagi Abdus Salam merupakan suatu
keharusan. Setelah menyelesaikan isi cerita CNMBAJ pengarang
memanjatkan puji dan syukur kepada Allah. Tumbuh kesadaran bahwa
“rampung”nya tulisan ini karena atas pertolongan dan karunia Allah
yang maha kaya, tanpa itu tidak mungkin tulisan ini akan selesai.
Syukur ini sekaligus sebagai pelengkap isi cerita. Dalam cerita syukur
yang dilakukan Nabi dengan tindakan, sedangkan dalam struktur
puisi berbentuk lisan, yakni dengan menggunakan redaksi “puji dan
syukur”. Rasa terimakasih ini juga diungkapkan sekalian kepada Nabi
Muhammad, para sahabat dan Tabi’in (orang yang selalu memgikuti
Sahabat). Kesemuanya itu didendangkan dalam gaya bahasa puisi
nadaman untuk mengahiri cerita.
Ketiga, nilai konten “isi” adalah nilai-nilai Islam yang tekandung
dalam teks CNMBAJ berdasarkan makna suatu pernyataan yang
diungkapakan pengarang secara keseluruhan. Makna yang dikandung
dalam cerita secara keseluruhan atau yang biasa diistilahkan dalam
kajian sastra dengan istilah tema. Tema adalah makna yang dilepaskan
o kan dalm suatu cerita (Sayuti,
l
e
h
s
u
a
t
u
c
e
r
i
t
a
a
t
a
u
m
a
k
n
a
y
a
n
g
d
i
t
e
m
u
juga menggunakan benda-benda alam yang digunakan untuk perang, Ana
misalnnya batu. k
Kedua, nilai linguistik adalah nilai-nilai Islam yang terkandung diba
wa
dalam teks CNMBAJ berdasarkan pemilihan diksi dan gaya bahasa ke
yang digunakan dalam cerita. Analisis ini digali dari pilihan kata yang teng
digunakan pengarang dalam menceritakan tokoh atau pernyataan di ah-
luar cerita yang sifatnya tambahan dalan puisi nadaman. Jadi nilai ini teng
murni dari nilai-nilai yang anut pengarang tanpa melibatkan isi cerita. ah
Dalam nadaman pembuka pengarang mengajarkan tentang nilai Keh
ada
penghormatan, yaitu sikap memberikan apresiasi dan respek pan
terhadap hal-hal yang baik (Q.S al-Qamar: 17). Pada baris pembukaan Abu
pengarang mengajarkan tentang penghormatan kepada Nabi Jahil
Muhammad dengan pengunaan diksi “junjungan”. Kata ini lakn
mengandaikan bahwa sebagai orang Islam harus memberikan at
hormat kepada Nabi sebagai pembawa risalah Islam, sehingga Alla
h
apapun yang dikerjakannya adalah wahyu yang harus ditauladani. Ini
(hl
sekaligus sebagai upaya pengarang untuk memberikan sugesti m. :
kepada pelantun nadaman ini agar selalu mengikuti tindakan 27)
Muhammad sebagaimana yang tergambar dalam
nadaman puisi.
Pemilihat diksi “laknat Allah” yang hampir selalu dilekatkan pada
Abu Jahil mengajarkan bahwa sebagai orang muslim harus memiliki
nilai prinsip yaitu berpenderian dan berkayakinan terhadap suatu
kebenaran dengan pasti (Q.S. al-Baqarah: 249). Dalam konteks
beragama pelabelan terhadap seseorang harus jelas tanpa ada kompromi.
Manakala ia bukan muslim berarti kafir. Abu Jahil sebagai representasi
orang kafir dengan sangat jelas akan dilaknat Allah. Ini bukan dalam
pengertian menagajarkan tentang kejelekan atau menjelekkan orang
lain, melainkan usaha untuk memantapkan keyakinan dan prinsip
sebagai muslim dalam hubungannya dengan Allah. Berikut beberapa
baris yang menggunakan redaksi itu:
Lima puluh kota di bawah perintah
Anaknya Abu Jahal laknat Allah (hlm. :
2)
Berjalan Nabi ke kampung bit{āh{ah
Bertemu Abu Jahil laknat Allah (hlm. 4)
Budak hitam itu langsung melangkah
Menjelang Abu Jahil laknat Allah (hlm. :
17)
261
juga disumbangkan. Yang membedakan dari keduanya adalah tujuan
memberikan pertolongan. Raja Hisyam tujuannya adalah keeguisan
260
pribadi agar keluarganya tidak malu karena kalah dengan Muhammad
yang berasal dari keluarga takmampu. Dan sekedar pembelaan
terhadap anaknnya. Sementara Abu Talib dan Khadijah bertujuan
untuk kebaikan dengan membela Nabi yang teraniaya.
Hamzah yang merupakan paman Nabi adalah tokoh pembantu
yang mencerminkan memiliki nilai keadilan. Keadilan dalam hal ini
adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya secara prosedural dan
proposional (Q.S al-Nah{l: 90). Hamzah selalu menolak manakala
setelah Muhammad memenagkan duel, Raja Hisyam bermaksud
menyerangnya. Dalam padangan Hamzah, kesepakatan antara
Muhammad dan Abu Jahil adalah duel satu lawan satu. Jadi siapapun
yang kalah tidak boleh dibantu temannya. Tokoh pembantu pratagonis
lain yang juga andil dalam pensuksesan kemenangan Muhammad
tidak merujuk pada seseorang melainkan pada sekelompok orang dan
sekelompok di luar manusia. Sekelompok yang pertama diistilahkan
sebagai sahabat Nabi. Para sahabat memberikan motivasi kepada nabi
saat bertempur dengan Abu Jahil. Tidak jauh berbeda dengan sahabat,
istrilah askar merupakan pasukan yang selalu mendampingi Abu Jahil
dalam pertempuran. Fungsi kedua-duanya sama namun mempunyai
tujuan berbeda-beda. Sedangkan kelompok yang kedua adalah
burung, langit bumi dan malaikat. Kelompok ini diilustraiskan
memmiliki nilai tolong menolong dalam konteks non-materi. Artinya
mereka merusaha menolong Nabi dengan cara berdoa kepada Allah
agar memenangkan duel. Perhatikan kutipan puisi nadaman ini
Nabi hampir akan bertemu
Di langit pertama terbuka lah pintu
Malaikat mendoa menyeru-nyeru
Rasul yang kecil tolong olehMu (hlm. : 27)
Burung memandang di atas awan
Selalu mendoa kepada Tuhan
Malaikat meminta kepada Tuhannya
Menghujankan batu pada atasnya (hlm. : 28)
Secara umum ini menunjukkan hubungan yang mesra antara alam
dan lingkungan dengan manusia. Jika alam diperlakukan dengan baik
maka alampun akan baik dengan kita. Selain itu, dalam naskah ini
adalah ibu Nabi Muhammad, Aminah. Perempuan ini digambarkan
mengusahakan untuk menyediakan makanan kepada para sahabat
nabi dalam rangka syukur kemenangan. Padahal di dalam rumah 259
tidak ada makanan sedikitpun. Selain dengan empati yang bersifat
perasaan, Abu Talib juga memberikan nilai motivasi kepada nabi.
Motivasi adalah dorongan yang ditujukan kepada orang lain agar
melakukan tindakan (Q.S Ibrahim: 7). Tindakan dalam konteks ini
adalah tindakan kebajikan untuk melawan kejahatan yang dilakukan
tokoh antagonis. Setiap kali musyawarah Muhammad diberi dorongan
untuk memberikan pelajaran kepada Abu Jahil agat tidak sombong.
Nilai empati dan motivatif ini diperankan pula oleh Abu Bakar dengan
cara ikut menyaksikan dan memberikan motivasi kepada Muhammad
ketika berduel dengan Abu Jahil.
Tokoh pembantu kedua yang sangat andil dalam menyokong
tokoh utama adalah khadijah. Khadijah dideskripsikan mempunyai
karakter dermawan yaitu sikap dan prilaku memberikan sesuatu
dengan suka rela tanpa pamrih untuk kepentingan kebaikan (Q.S
al-Fath{: 29). Istri Nabi ini memberikan hartanya untuk kepentingan
pemenangan duel Muhammad dengan Abu Jahil. Tanpa
mengaharap imbalan ia memberikan pakaian dan harta kepada
Muhammad agar mampu mengimbangi apa yang dimiliki tokoh
antagonis. Dalam konteks ini pula, karakter yang ditampilkan
Khadijah mengandaikan adanya nilai-nilai tolong-menolong dalam
kebaikan (Q.S al-baqarah: 2). Oleh pengarang representasi nilai-nilai
ini digambarkan dengan apik di dalam nadam berikut:
Datanglah takdir daripada Allah
Berkat kebesaran Muhammad āmin Allāh
Datang seorang pesusur Khadijah
Menghantarkan pakaian intan bertatah
Kain dan baju tatahnya intan
Di negeri Makah tidak bandingan
Sedang elok ku neteng lakat di badan
Orang melihat tumbuhlah heran (hlm. : 21-22)
Adalah Raja Hisyam tokoh pembantu pemeran antagonis yang
juga memiliki karakter seperti Abu Talib dan Khadijah. Ayah Abu
Jahil ini selalu membantu kesusahan Abi Jahil. Tidak hanya dalam
bentuk materi, non-materi seperti cara menyiasati memenangkan
duel
Karena mendapat bantuan dari Khadijah, dalam konteks pakaian pun
nabi lebih ungul.
258
Tiba di rumah lalu berkata
Kapada Abu Talib wahailah bapa
Abu Jahil keluar memakai mahkota
Diarak penghulu serta raja
Manalah kain pakaian hamba
Hamba berjanji di hari nangka
Carikan pakaian serupa dia
Janganlah malu kita padanya
Mendengar kata Nabi yang habīb
Heran tercengang rupa Abi Talib (hlm. : 20)
Dalam beberapa fragmen, Muhammad juga digambarkan sebagai
tokoh yang mengedapankan nilai-nilai musyawarah yaitu pencarian
keputusan berdasarkan kesepakatan bersama (Q.S al-Syūra: 38).
Kutipan nadaman di atas, merupakan salah satu fragmen yang
menceritakan diskusi Nabi ketika ditantang untuk duel pada seri
ketiga oleh tokoh antagonis, ia berdiskusi dahulu dengan Abi Talib
untuk menyusun strategi duel. Bahkan nilai musyawarah ini juga
terdapat pada karaketer antagonis dan secara kuantitas lebih banyak.
Tokoh atagonis, pasca kekalahan duel pertama, selalu mengajak
berdiskusi raja untuk menyusun starategi balas dendam.
Tampak dari analisa di atas nilai-nilai yang dibagun oleh pengarang
dengan cara pencitraan tokoh selalu dilandasai dengan pola hubungan
manusia dan Allah. Apapun yang dilakukan manusia harus bertujuan
kepadaNya. Tindakan-tindakan di dunia ini harus dikorelasikan
dengan Allah.
Tokoh pratagonis ini dibantu oleh beberapa tokoh yang memiliki
karakter masing masing. Setidaknya terdapat enam tokoh yang disebut,
namun yang secara implisit digambarkan membantu langsung hanya
lima. Adalah Abu Talib yang merupakan paman Nabi adalah tokoh
yang mengedapankan nilai empati yaitu sikap merasa bersatu dengan
orang lain ketika merespon dan menyertai mereka (Q.S al-Qas{as{:
55). Abu Talib digambarkan selalu menerima keluh kesah dan curahan
hati nabi ketika mengalami kesusahan, terutama ketika ditantang duel
Abu Jahil yang penuh dengan harta, sementara nabi kekurangan
harta. Tokoh pembantu pratagonis lain yang mencerminkan karakter
empati
pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapan yang baik (Q.S n
Hūd: 115). Dalam konteks ini ia yakin bahwa akan ditolong Allah a
dengan menang di setiap duel. Dan itu memang terbukti. Sebagai b
Tokoh antogonis, Abu Jahil juga mempunyai optimisme yang kuat. i
Dan secara material optimisme yang sangat rasional, karena didukung m
dana dan kekuasaan. Tidak disitu saja, Abu Jahil memiliki tipe nilai e
kerja keras yaitu menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam n
mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan persolaan dengan c
sebaik-baiknnya (Q.S al-Ankabut: 69). Ini dibuktikan dengan o
latihan duel dengan Budak. Lagi-lagi, Hanya saja dia lupa bahwa b
harapan dan keinginan yang mengabulkan adalah Tuhan. Manusia a
hanya bisa berusaha.
Kemenangan Muhammad diekspresikan dalam bentuk nilai syukur, m
yaitu sikap dan perilaku berterimakasih atas pemberian sesuatu (Q.S e
al-Nisā’: 147). Nilai syukur ini tidak hanya dengan lisan kepada Tuhan n
an sich melainkan dengan tindakan. Tindakannya pun tidak berbentuk g
berfoya-foya melainkan sekedar memberikan makan kepada para i
sahabat ala kadarnya yang ada tersedia di rumah. m
Takdir Allah Tuhan yang satu b
Berdaun berbuah sebentar a
itu n
Buahnya lebat itu lamak dimakan g
Diambil buah lalu disimpan i
Di panggil rakyat akan memakan d
Semuanya puas kenyanglah badan (hlm: 5) e
n
Meskipun Abu Jahil tidak pernah menang dalam duel, namun
g
ekspresi kemengangan bisa tercermin ketika mampu mengalahkan
a
budak. Syukur yang dipakai pemeran antagonis ini justru mengkufuri
n
nikmat. Dengan gaya sombongnya ia memanggil seluruh penduduk
negeri untuk menyaksikan duel balas dendamnya dengan Muhammad
g
dan dengan penuh keyakinan akan mengalahkannya.
a
Selain itu, ketika akan bertempur Abu Jahil selalau menonjolkan
y
gaya berpaiakan dan harta yang cenderung berlebih-lebihan. Sementara
a
nabi dengan selalu berusaha tampil apa adanya dengan dasar nilai-
nilai kesederhanaan. Kesederhanaan yang diajarkan di sini bukan
b
dalam pengertian apa adanya tanpa melihat sekeliling atau orang
e
yang dihadapi (Q.S al-An’am: 141). Nilai kesederhaan di sisi adalah
r
mencoba mengimbangi lawan main. Dalam teks diceritakan bahwa
p
akaian ala Abu Jahil.
257
Kesabaran ini juga oleh nabi dibarengi dengan nilai keberanian
yaitu sikap dan perilaku yang tidak takut terhadap ketidakbenaran
256
(Q.S al- Anbiyā’: 60). Kerena merasa benar, Muhammad selalu
menyanggupi tantangan duel tokoh antagonis. Namun begitu,
penyanggupan ini tidak secara langsung. Muhamad selalu menunggu,
manakala diserang terlebih dahulu baru ikut menyerang. Abu Jahil
juga ditampilkan sebagai pemberani. Hanya saja nilai keberanian
yang ada padanya tidak untuk kebenaran, melainkan disalahgunakan
untuk menantang dan merendahkan Muhammad. Nabi diaggap orang
yang lemah dan miskin, sehingga tidak layak menjadi pemenang.
Tidak itu saja, dalam teks, Muhammad digambarkan sebagia sosok
yang membawa nilai-nilai pemaaf, yaitu sikap dan prilaku memberikan
ampunan atas kesalahan orang lain baik yang disengaja maupun
tidak (Q.S al-Baqarah: 109). Meskipun ditantang dan disakiti terus
menerus Muhammad menyikapinya dengan tidak memikirkan atau
memasukkan ke hati. Hal ini dibuktikan setiap kali bertemu tokoh
antogonis, Muhammad tidak mendahului untuk menyerang dalam
pengertian balas dendam. Sementara Abu Jahil selalu mendahului
menyerang baik secara lisan maupun tindakan. Bahkan duel yang
terjadi sampai tiga kali sebagaiamana diceritakan di dalam teks
merupakan inisiatif dari Abu Jahil semua. Setiap kali kalah bertanding,
rasa dendam semakin menggebu-gebu. Berikut puisi nadaman yang
mengilustrasikan kejadian tersebut.
Lama sebentar Muhammadpun lalu
Abu Jahil itu lalu menyeru
Wahai Muhammad hendaklah mari
Jikalau sungguh engkau laki-laki
Cobalah bongkar batuku ini
Muhammad memandang hendaklah
lari
Hendak pergi ketempat lain
Ke Jabal Qubais Hendak bermain
Abu Jahil memanggil sangatlah rajin
Kelihatan lari muhammad yatim
Abu Jahil bersorak sama rakyat
Umpama guruh mengiringi kilat (hlm. : 8-9)
Perlawanan Muhammad terhadap Abu Jahil juga dilandasi dengan
nilai-nilai optimisme yaitu sikap yakin akan kemampuan diri terhadap
dalam kajian sastra cerita inilah yang digunakan sebagai medium N
untuk mewadahi konsep-konsep nilai tersebut. Pembicaaraan sastra a
dalam konteks ini berfungsi untuk menempatkan posisi cerita dalam b
bentuk puisi nadaman dalam kancah displin keilmuan Pendidikan. 37 i
Tepatnya sastra sebagai media pendidikan, sehingga yang dianalisis .
dalam konteks pendidikan adalah karakter tokoh, bahasa yang N
digunakan dan tema cerita. Setelah mengalisa teks CNMBAJ dengan a
analisis filosofis- edukatif secara mendalam nilai-nilai islam yang dapat m
dipetik dapat dipetakan sebagai berikut: u
Pertama, nilai ketokohan adalah nilai-nilai Islam yang tekandung n
dalam teks CNMBAJ berdasarkan katarakter tokoh dalam cerita.
Penokohan adalah proses penciptaan citra tokoh yang terdapat dalam s
sebuah karya sastra, pembaca cenderung mengklasifikasikan tokoh a
dengan tokoh protagonis dan antagonis.38 Tokoh antagonis adalah y
tokoh penyebab terjadinya konflik. Tokoh protagonis adalah tokoh a
yang memegang pimpinan di dalam cerita dan menjadi pusat sorotan n
di dalam cerita.39 Di samping itu keduanya ada beberapa tokoh g
pembantu dan figuran. ,
Di dalam teks CNMBAJ tokoh pratagonisnya adalah s
Muhammad. Dari ketokohan Muhammad nilai-nilai yang dapat i
diperoleh adalah kesabaran yaitu sikap dan prilaku yang menerima f
cobaan dengan berserah diri namun “aktif” (Q.S Hud: 115). a
Muhammad digambarkan sebagai tokoh yang tidak reaktif dalam t
menyikapi tindakan penghinaan dan tantangan dari tokoh antagonis. t
Bahkan sabar dalam menjalani kenyataan hidup yang telah e
diberikan Allah karena dilahirkan dari keluarga yang miskin. Nilai- r
nilai yang bertolak belaka diilustrasikan dalam diri tokoh g
antagonis, yaitu Abu Jahil. Tokoh ini dalam memutuskan suatu e
tindakan setelah mengalami cobaan tidak didasari atas berserah diri. s
Motif yang ada dalam dirinya adalah ingin cepat- cepat segera a
mengalahkan Muhammad. -
Abu Jahil laknat mufakat pula g
Sehari lagi perang dicoba e
Dicari hari nan baik ketika s
Supaya jangan kanai senjata (hlm: 5) a
Kutipan di atas mencerminkan sikap Abu Jahil yang tidak sabar
i
ingin cepat-cepat menundukkan Muhammad. Bahkan sehari setelah
n
dikalahkan dia berharap hari berikutnya harus sudah mengalahkan
i
justru menjadikan bomerang dan kekalahan bagi Abu Jahil.
255
Jika menelisik teori Barat konsep ini mirip dengan teori
konvergensi yang mencoba mensintesakan antara nativisme dengan
254
empirisme. Teori ini mengatakan bahwa karakter merupakan bawaan
dan bentukan dari lingkungan. Meski demikian teori ini pada
hakikatnya berbeda dengan konsep Islam. Kecenderungan baik atau
buruk merupakan bentukan lingkungan, sementara Tuhan hanya
memberikan potensi. Dengan begitu ada saling melengkapi antara
potensi dan lingkungan. Lingkungan tidak akan berpengaruh apa-apa
tanpa potensi begitu sebaliknya potensi tidak akan berkembang tanpa
ada keterpengaruhan dari lingkungan. Nah, dalam konteks sebagai
”lingkungan” inilah pendidikan karakter memfasilitasi untuk
mengarahkan prilaku manusia agar menjadi baik. Selain itu teorotisasi
dari Barat berbasis pada nilai- nilai moral yang hanya berdasarkan
logika berfikir, sedangkan konsep akhlak dalam Islam mengandung
unsur-unsur ilahiyah yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis.
Dengan argumentasi inilah seharusnya nilai- nilai Islam dijadikan
sebagai dasar atau pilar nilai dalam pendidikan karakter. Bukan
bermaksud menafikan nilai-nilai yang lain. Bisa jadi nilai-nilai lain
sama dengan nilai-nilai Islam. Namun sebagaimana teoritisasi nilai-
nilai Islam di atas, kesamamaannya hanya pada nilai- nilai
instrumental, sedangkan nilai-nilai secara ontologis Islam harus
meng”intervensi”. Bahkan dalam pelaksanaannya justru nilai-nilai
Islam qauliyah harus berkolaborasi dengan nilai lain, terutama nilai-
nilai kauniyah.
Berdasarkan analisis ini maka menjadikan nilai-nilai Islam \ sebagai
dasar dalam pendidikan karakter merupakan suatu keniscayaan bagi
orang muslim yang mempercayai Islam sebagai rahmat li-al-’ālamīn.
Nilai-nilai moral yang dianggap universal berada di bawah nilai ini,
sehingga perincian nilai-nilai moral yang dikonsep Likcona selayaknya
ditambah dengan respect and responsibility to god. Tidak hanya to
man and to nature. Inilah yang membedakan dengan pendidikan
karakter secara umum. Lebih jauh god dalam pengertian Allah.
Sementara konseptual metodologisnya bergeser menjadi akhlak
knowing, akhlak feeling dan akhlak action.
i
n
i
m
e
n
j
a
d
i
b
a
c
a
a
n
p
o
p
u
l
a
r
.
1
Khusus teks CNMBAJ terdiri dari 33 halaman, 17 verso dan 16
recto. Setiap halaman terdiri dari 12 baris, kecuali yang dikurangi
judul. pada teks CNMBAJ di halaman pertama hanya terdiri dari 8 241
dan 3 baris di halaman akhir. Di antara larik terdapat gambar
lingkaran kecil sebagai penanda. Terkadang berwarna hitam atau
biru. Tidak ditemukan gambar apapun, kecuali kotak-kotak yang di
dalamnya terdapat judul teks dan inipun hanya berjumlah dua.
Secara umum naskah ini berisi tentang cerita nabi Muhammad
yang berduel dengan Abu Jahil dalam bentuk sajak. Cerita dalam
naskah ini dibagi menjadi beberapa macam fragmen secara runtut
bedasarkan kronologi sejarah. Hanya saja tahun terjadinya peristiwa
tidak disebutkan. Fragmen kronologis cerita tersebut adalah
Pertama, kelahiran Nabi Muhammad, kedua, Nabi berumur empat
belas tahun, ketiga, kedudukan Abu Jahil sebagai anak raja Hisyam,
keempat, pertempuran Nabi dengan Abu Jahil seri pertama, kelima,
rasa syukur setelah menang bertempur dan baground keluarga Nabi,
keenam, Abu Jahil berencana balas dendam dengan meminta bantuan
Ayahnya, ketujuh, Nabi dan Abu Jahil berduel seri kedua, kedelapan,
rencana balas dendam Abu Jahil dan Raja atas kekalahan kedua,
kesembilan, publikasi duel antara Muhamamd dan Abu Jahil seri
ketiga, kesepuluh, prediksi masyarakat mengenai duel tersebut,
kesebelas, latihan duel Abu Jahil dengan Budak yang disaksikan raja dan
undangan, keduabelas, Abu Jahil menantang Nabi berduel, ketiga
belas, nabi berdiskusi dengan Abu Thalib tentang persiapan melawan
Abu Jahil, keempat belas, baground Khadijah dan batuannya terhadap
Nabi, kelima belas, tanggapan masyarakat dan raja tentang bantuan
khadijah, keenam belas, duel Muhammad dan Abu Jahil seri ketiga,
ketujuh belas, ekspresi kemenangan Muhammad dan kekalahan raja.
Melihat gambaran umum di atas, Isi teks dari naskah ini adalah
cerita sejarah Nabi Muhammad dan lika-likunya dengan Abu Jahil.
Di dalamnya banyak tergambarkan karakter-kerakter tokoh, baik yang
jahat maupun yang baik. Tentu saja, karakter ini merupakan representasi
dari nilai-nilai yang dibawa Islam. Nilai Islam disini dipahami dan
diangkat oleh pemeluknya yang notabene bukan Arab asli, melainkan
dari Nusantara atau lokalitas masayarakat Sumatera Barat. Meksipun
naskah ini bersifat klasik, tetapi jika ditinjau dari sisi nilai-nilai yang
diusung muatan teksnya selalu up to date dan bisa dikatakan bersifat
universal dengan tanpa menafikan unsur-unsur ilāhī.
lagi. Hal ini juga diperkuat oleh penyataan ahli waris sebagaimana
dikutip oleh Apria bahwa naskah ini belum ada yang pernah menyalin.
240
Kalaupun ada yang menyalin sifatnya hanya untuk konsumsi pribadi
yang dilakukan oleh murid-murid Abdus Salam ketika masih belajar di
Madrasah.3 Di samping itu, masih menurut Apria, naskah CNMBAJ
ini belum pernah ada yang menyunting dan mengkaji secara khusus
berdasarkan kontekstualisasi bidang displin ilmu tertentu.
Naskah CNMBAJ ini menggunakan bahan kertas leces berwarna
putih bergaris semi biru dengan model kotak memanjang yang
berjumlah 29. Naskah berukuran 21 x 15,5 cm, sedangkan teks
berukuran 17,5 x 14,5 cm. Diduga sampul yang digunakan Naskah
ini berwarna biru Tua. Hal ini sebagaimana diungkapkan ahli waris
yang dikutip Apria. Selain itu, dugaan ini diperkuat bahwa rata-rata
kertas leces biasanya bersampul warna biru tua. Naskah yang diperoleh
peneliti ini tidak dalam bentuk asli benda konkrit, melainkan berupa
micro film. Micro film ini sudah terpotong-potong berdasarkan teks
(kandungan isi berdasarkan judul cerita). Di dalam naskah terdapat
tiga teks. Pertama, peneliti tidak menemukan judulnya dan Apria
sendiri tidak mengetahui membahas tentang apa. Hanya saja di atas
judul teks kedua ditemukan dua bait penutup. Kedua, adalah Cerita
Nabi Muhammad SAW. Berhempas dengan Abu Jahil (CNMBAJ).
Ketiga, Cerita tiga ekor binatang dengan auliya’ Allah. Pengarang dari
naskah ini adalah Abdus salam yang wafat tahun 80an. Sementara
naskah ini sendiri ditulis sekitar tahun 1950-1960an. Hal ini
didasarkan pada informasi yang diperelah dari Ahli waris
sebagaimana diungkapkan Apria.4 Pernyataan awal ini juga
dikarenakan naskah ini tidak ada kolofon, sehingga peneliti sendiri
belum bisa memastikan secara pasti hari, tanggal dan tahun penulisan
naskah. Melayu-Arab merupakan bahasa yang digunakan dalam
menulis. Terkadang disertai campur kode, pengarang menyerpihkan
beberapa leksikal bahasa Arab. Media bahasa yang digunakan
menggunakan puisi nadam riwayat atau sejarah yang berima
“aaaabbbb” dan setiap baris terdapat 8-12 suku kata. Ditinjau dari
bahasanya CNMBAJ ini merupakan jenis puisi nadam bebas dengan
ketukan nada 8-13. Menggunakan tinta hitam dan biru serta terkadang
ada beberapa coretan yang berwarna merah. Naskah ketika ditemukan
dalam keadaan baik dan jelas, meski terjadi beberapa coretan, namun
coretan yang sifatnya tidak mengganggu pembacaan.
Melihat nilai-nilai religius-Islami yang bersifat afektif-psikomotorik S
di atas sedikit demi sedikit mulai tegerus, maka usaha untuk a
menanggulangi persoalan di atas sudah mulai digalakkan. Mulai dari l
memasukkan nilai-nilai Islam murni dari al-Qur’an, nilai-nilai Islam- a
lokal, bahkan nilai-nilai lokalitas ke dalam pendidikan, terutama m
dalam ranah afektif dan psikomotorik. Dalam kajian dewasa ini, usaha
tersebut dikonseptualisasikan dalam bentuk pendidikan karakater. s
Pendidikan yang berusaha menginternalisasi akhlak, etika dan moral a
peserta didik yang tidak hanya terhenti dalam ranah intelektual saja, m
melainkan dalam ranah aplikatif. Hanya saja, sepanjang pengetahuan p
penulis, untuk kajian yang spesifik menggali nilai-nilai islam lewat a
naskah (manuskrip klasik) dan menjadikannya basis dalam pendidikan i
karakter belum pernah dilakukan. s
Berdasarkan analisa di atas dalam tulisan ini akan mencoba sedikit e
memberikan sumbangsih terhadap pendidikan di Indonesia dengan k
menjadikan nilai-nilai Islam dalam naskah Cerita Nabi Muhammad a
Berhempas dengan Abu Jahil (selanjutnya disingkat CNMBAJ) r
Karya Abdus Salam menjadi basis pendidikan karakter. Dasar ini, bisa a
dicermati dalam konsep Islam bahwa pendidikan karakter secara n
substantif sudah ada dalam kehidupan beragama dan bemasyarakat g
Indonesia sejak dahulu dalam bentuk akhlak dan moral. Pada
zamannya, karya Abdus Salam ini bermaksud mengajarkan nilai-nilai m
tersebut dengan media puisi nadam cerita. Adapun secara a
metodologis tulisan ini awalnya merupakan penelitian filologis s
terhadap naskah tunggal yang dianalisis dengan edisi kritis, kemudian i
dilanjutkan konten analisis menggunakan pendekatan filosofis- h
edukatif.
d
Puisi Nadam Hikayat Sebagai Media Pendidikan Islam di Sumatera i
Barat h
Naskah CNMBAJ ini langsung ditulis oleh pengarangnya sendiri a
dan berjumlah satu serta belum pernah disalin oleh siapapun. Asumsi f
ini didasarkan pada umur naskah yang relatif muda dan hanya a
disimpan oleh ahli waris dalam konteks ini Istri pengarang sendiri. l
Selanjutnya, naskah ini diserahkan kepada Apria Putra. Melalui k
Apria Putra inilah peneliti mendapatkan Naskah CNMBAJ. Jadi a
naskah ini merupakan salah satu koleksi pribadi Apria Putra. n
Asumsi ini juga di perkuat bahwa teks ini oleh murid-murid Abdus
d
an didendangkan. Selain itu secara bahasa tulisannya cukup jelas, rapi
dan enak dibaca, sehingga kecil kemungkinan disalin
239
D
i era postmodernism ini paradigma pendidikan akhlak
atau moral di Indonesia lebih mengutamakan pada
238
pengembangan kognitif. Peserta didik digiring untuk
menguasi teori-teori abstrak, sehingga lemah dalam aplikasinya. Para
pendidik menyajikan seabreg materi moralitas yang harus dihafal,
tanpa mempertimbangkan bagaimana meng-aksi-kannya. Kalaupun
ada evaluasi dalam pendidikan, itu hanya sebatas legal-formal berupa
tes tulis dan lisan. Ranah afektif dan psikomotorik dari peserta didik
diabaikan. Lebih ironisnya, basis materi pengetahuan kepribadian
yang diajarkan justru didominasi hasil pemikiran Barat. Pengetahuan
akan dianggap lebih bermakna jika datang dari mereka. Tokoh dan
referensi yang dirujuk didominasi filosof Renaissan yang notabene
sekular-materialistik. Hal ini juga diamini oleh tokoh Barat sendiri,
Beach (1992), Kilpatrick (1992), Lickona (1993), McDonell (1999),
Canada (2000) dan Slate (2009) yang merasah gerah dengan sistem
pendidikan di Amerika yang mengabaikan tentang nilai-nilai moral
objektif.1
Dalam konteks ini, pendidikan di Indonesia sudah tercerabut dari
karakter dan identitas akarnya. Nilai-nilai Islam yang merupakan
pegangang mayoritas peserta didik Indonesia mulai diabaikan.
Padahal sebagai muslim seharusnya nilai-nilai Islam transenden-
relegius dijadikan pilar pendidikan tersebut. Hal ini bukan berarti
menafikan dialogiasasi dengan pengetahuan di luar Islam, melainkan
sebagai usaha intropeksi untuk mengembalikan jati diri pendidikan
Indonesia. Pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang mampu
menerapkan nilai-nilai Islam yang mampu berdialog dengan lokalitas.
Pesantren misalnya yang mampu menyeimbangkan antara materi
akhlak dengan prilaku sehari-hari yang sudah mulai dibentuk di
pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan. Pendidikan formal
Indonesia hari ini masih dianggap “gagal” dalam menciptakan Insan
yang berkarakter baik secara agama –baca Islam-maupun bangsa.
Bukti konkrit asumsi ini adalah Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi
budaya baru yang sudah mendarah daging dari mulai level akar
rumput sampai elit, sehinga menjadi hal yang lumrah, manakala
alumni dari berbagai institut pendidikan Indonesia pintar
beretorika tentang etika tapi nihil beraksi. Statemen seperti ini
selaras dengan pernyataan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD
yang mengatakan 95 % koruptor di Indonesia berasal dari
Perguruan Tinggi.2
Khabibi Muhammad Lutfi
237
Bibliografi
A A Navis. Alam terkembang jadi guru: adat dan kebudayaan Minangkabau.
Jakarta: Grafiti Press, 1984
Abdullah, Taufik. “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau”.
Indonesia, No. 2 (Oct., 1966)
Amran, Rusli Padang Riwayatmu Dulu. Yasaguna, 1988
Azyumardi Azra. Surau: Pendidikan Islam Tradisionla dalam Transisi dan
Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003
Braginsky, V.I. Yang Indah, berfaedah dan kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam
Abad 7-19. Jakarta: INIS, 1998.
Chambert-Loir, Henri dan Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Dunia Islam.
Jakarta: Komunitas Bambu, 2010
Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the
Nineteenth Century. Modern Asian Studies, Vol. 8, No. 3 (1974)
Dorléans, Bernard. Orang Indonesia dan orang Prancis: dari abad XVI sampai
dengan abad XX.344
Effendi, Djohan.Pembaruan tanpa membongkar tradisi: wacana keagamaan di
kalangan generasi 63
Elizabeth E. Graves. Asal-usul elite Minangkabau modern: respons terhadap kolonial
Belanda abad Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Fathurahman, Oman. Tarekat syattāriyyah di dunia Melayu-Indonesia: kajian atas
dinamika dan perkembangannya melalui naskah-naskah di Sumatra Barat.
Disertasi Universitas Indonesia, 2003
Firth, Raymond Offering and Sacrifice: Problems of Organization. e Journal of
the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol.93, No. 1
(Jan. - Jun., 1963).
Frederick William Dillistone. e Power Of Symbols.Jakarta: Kanisius, 2002.
Ganesh Umakant Thite. “Animal-Sacrifice in the Brāhmana texts”. Numen,
Vol.
17, Fasc. 2 (Aug., 1970)
42. Lihat Duski Samad. Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau. Padang: The
Minangkabau Foundation, 2002. 137
232 43. Adrianus Khatib. Kaum Paderi dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau. Disertasi
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991. 136
44. Zuriati. Nazam Ratap Fatimah: Dari Rumah Duka ke Surau. Sari 25 (2007). 268
45. H.A.R Gibb. Mohammedanism. Djakarta: Bhratara, 1961.
46. Zuriati. Nazam Ratap Fatimah: Dari Rumah Duka ke Surau Sari 25 (2007) 270
47. Frederick William Dillistone. e Power Of Symbols.Jakarta: Kanisius, 2002. 15
48. Lihat Jan Van Baal. “Offering, Sacrifice and Gift” dalam Understanding Religious
Sacrifice: A Reader diedit oleh Jeffrey Carter. New York: Continuum, 2003. 278
49. Duski Samad. Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau
(Syarak Mendaki Adat Menurun). Padang: The Minangkabau Foundation, 2002. 109
50. Penyelenggaraan acara tahlil dan zikir bukan hal yang istimewa bagi sekelompok
masyarakat di Indonesia.Apapun bentuk praktik ritual, dasarnya adalah prinsip
proses pertukaran antara peziarah dan wali: permohonan (thalab)-penyerahan,
pemberian, pertukaran kata, jadi pertukaran material dan spiritual. Ritual kematian
ini merupakan rentetan ritus dan unsurnya yang paling pokok adalah acara bersuci,
berdoa, menyerahkan pemberian dan kurban. Suatu rentetan pertukaran lain yang
berlangsung di antara sesama pengunjung (bertukar kata/kalimat, nasehat, saling
membantu, berbagi makanan) Lihat. Peter Metcalf. Celebration of Death
51. Hikayat jalaluddin
52. Talqin adalah upaya pembacaan doa yang mengandung pedoman jawaban bagi si
mayit dalam menjawab pertanyaan malaikat di alam kubur. Biasanya hal ini dilakukan
seorang ulama sedera setelah penguburan seorang mayat.
53. Jennifer Woodward. e eatre of Death: e Ritual Management of Royal Funerals
in Renaissance. New York: The Boydell Press, 1997. 18
54. M. Madchan Anies. Tahlil dan kenduri: tradisi santri dan kiai. Jakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 2009
55. Henri Hubert, Marcel Mauss. Sacrifice: Its Nature and Function. Great Britain:
Evans- Pritchard, 1964. 9
56. Raymond Firth. Offering and Sacrifice: Problems of Organization. e Journal of the
Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol.93, No. 1 (Jan. -
Jun., 1963). 41
57. Ganesh Umakant Thite. “Animal-Sacrifice in the Brāhmana texts”. Numen, Vol. 17,
Fasc. 2 (Aug., 1970), pp. 143-158
58. Amir Sjarifoedin.321
59. Michael v. Angrosino. 129
60. M.D Mansoer.34
61. Molly H. Mullin. “Mirrors and Windows: Sociocultural Studies of Human-Animal
Relationships”.Annual Review of Anthropology, Vol. 28 (1999). 14
62. Menaburkan berasa rending, melepas tembakan bedil atau senapan, memukul gong
dan menabuh gendang. Ada pula prosesi unik terkait kematian datuk di Salimpauang
ini. Menurut Uwo Suna(60), seorang mamak adat apabila dikabarkan meninggal dan
berita mening galnya itu akan disampaikan dengan memukul gong. “ Gong adalah
alat yang digunakan untuk prosesi adat, segala macam prosesi adat akan menggunakan
gong untuk memberitahu seluruh masya rakat kampung. Suara gong yang dipukul
keras akan membuat seisi kampung mendengarnya dan mencari tahu dari mana
datangnya suara itu,
63. Bernard Dorléans. Orang Indonesia dan orang Prancis: dari abad XVI sampai dengan
abad XX.344
64. Rusli Amran. Padang Riwayatmu Dulu. Yasaguna, 1988
65. Peter Metcalf. Celebration of death. 46
66. A.A Navis. Alam Terkembang 101
24. Nikki R. Keddie. “Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East:
Comparative Reflections”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 2,
No. 1 (Feb. 1987)
25. Fakih Saghir dalam Hikayat Djalaluddin 231
26. Taufik Abdullah. “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau”.
Indonesia, No. 2 (Oct., 1966). 17 Hamka. Ayahku 9
27. Azyumardi Azra. Surau: Pendidikan Islam Tradisionla dalam Transisi dan
Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003.46
28. Muhammad Dahlan Mansoer. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Brathara,
29. Taufik Abdullah. Adat........24
30. Hamka. Ayahku..........
31. Christine Dobbin. Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the
Nineteenth Century. Modern Asian Studies, Vol. 8, No. 3 (1974)
32. M. Yusuf. Katalog Naskah dan skriptorium Minangkabau. Padang: Universitas Andalas
dan Tokyo University of Foreign Studies TUFS-CDATS Jepang, 2006. 14-20
33. Lihat esaurus of Indonesian Islamic Manuscripts. http://www.ppim.or.id/main/
agenda/detail.php?artikel=20120126132703
34. Amir Sutarga dkk. Katalog Naskah-Naskah Melayu Nusantara. Jakarta: Perpustakaan
nasional, 1972
35. Fakih Saghir adalah murid dari Tuanku Nan Tuo Cangking yang hidup sekitar
tahun 1721-1830. Sebagaimana dijelaskannya dalam naskah Surat Syeikh Jalaluddin
bahwa ia seusia dengan temannya Tuanku Nan Renceh. Maka diperkirakan ia hidup
dalam abad ke-19. Lihat E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir. Surat Keterangan Syeikh
Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002
dan Oman Fathurahman. Tarekat Syattariyah di Dunia Melayu: Kajian atas Dinamika
dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatera Barat. Disertasi Universitas
Indonesia, 2003. Lampiran silsilah Burhanuddin Ulakan.
36. Bagi orang Melayu, apa yang diungkapkan dalam sebuah biografi lebih menyangkut
hati daripada hal-hal yang terkait dengan aturan dan sistematis. Lihat Suryadi. Syair
Sunur: Teks dan Konteks Otobiografi seorang ulama Minangkabau abad ke-19. Padang.
Citra Budaya Indonesia, 2002. 79
37. Syair adalah salah satu bentuk puisi lama yang terdiri dari empat baris, setiap baris
mengandung empat kata yang sekurng-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua
belas suku kata. Syair tidak mempunyai unsur-unsursindiran di dalamnya. Aturan
sanjak akhir adalah aaaa dan sanjak dalam tidak ada. Liaw Yock Fang. Sejarah
Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011. 563
38. Nazham juga salah satu puisi lama yang menyerupai nasyid yang berasal dari Parsi.
Nazham terdiri dari dua baris, dan panjangnya tidak menentu. Secara umum rimanya
adalah a/a. terkadang rima berada pada baris kedua a/a c/b. Lazimnya, isi nazam
berunsurkan keagamaan, seperti ibadat, syurga, neraka, ajal, amal, nabi dan malaikat,
yang semuanya mengandungi pujian kepada kebesaran Tuhan lihat Harun Mat Piah.
Traditional Malay Literature. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002
39. Syair semacam ini disebut dengan puisi-puisi tirade. Bentuk sem,acam ini
mengandung rima-rima atau asonansi yang bersinambung, dan menyatukan baris-
baris dalam kelompok-kelompok yang tak sama panjangnya. Puisi-puisi tirade dikenal
oleh banyak tradisi puisi rakyat Melayu Nusantara (Minangkabau, Iban, Toraja Bare’e,
Mualang Dayak, Jawa mulai abad ke-18. Lihat V.I Braginsky. Yang Indah, berfaedah
dan kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS, 1998. 229
40. Dalam puisi lama seperti sanjak, sering ditemukan larik yang diakhiri dengan
penulisan yang sama karena menggunakan aksara Jawi. Namun bila dibaca dengan
bunyi bahasa Indonesia, maka rimanya tidak sama. Contoh dalam teks SFS adalah
duapuluh dan ahadiyah, sama-sama diakhiri dengan huruf ha aksara Jawi.
41. Edwar Jamaris. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001.10
Catatan Kaki
1. Arno van Gennep.e Rites of Passage. New York: Routledge, 2004. 12
230 2. Camilla H. Wedgwood. Death and Social Status in Melanesia. e Journal of the Royal
Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol.57 (Jul. - Dec., 1927)
3. Peter Metcalf. Meaning and Materialism: The Ritual Economy of Death. Man, New
Series, Vol. 16, No. 4 (Dec., 1981
4. Frank Reynolds. Ritual and Social Hierarchy: An Aspect of Traditional Religion in
Buddhist Laos. History of Religions, Vol. 9, No. 1 (Aug., 1969
5. Peter Saunders. Social Class and Stratification. New York: Routledge, 1990. 21
6. Michael Parker Pearson. “Mortuary Practices, Soviety and Ideology: an
Ethnoarcaelogy Study” dalam Symbolic and Structural Archaelogy. Ian Hodder
(editor), New York: Columbia University Press, 1982. 112
7. Diane O. Bennett. ‘Bury Me in Second Class: Contested Symbols in a Greek
Cemetery”. Anthropological Quarterly, Vol. 67, No. 3, Symbols of Contention: Part 2
(Jul., 1994). 131
8. Spencer Trimingham. e Sufi Orders in Islam. USA: Oxford University Press, 1998.54
9. Annemarie Schimmel dan Carl W. Ernst. Mystical Dimensions of Islam. USA:
University of Carolina Press, 1975. 4
10. Salik adalah para pengamal tarekat. Mereka meyakini bahwa maqam insan kami atau
makrifat kepada Allah tak akan pernah terjamah melalui usaha yang mereka lakukan
sendiri. Sehingga guru atau syeikh menduduki tempat yang sangat signifikan atas
upaya mereka. Lihat Seyyed Hossein Nasr. Sufi Essays. New York: George Allen dan
Unmin, 1972. 34
11. Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Dunia Islam.
Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. 35
12. Sebagaimana hadis Nabi Orang yang mencintai seseorang akan berkumpul di akhirat
dengan seseorang yang mereka cintai.
13. Arif Jamhari. Rituals of Islamic Spirituality: a Study of Majlis Dhikr Groups in East
Java. Australia: The Australian University Press, 2010
14. Hadis-hadis nabi yang terkait dengan ziarah kubur di antaranya: dari Abdullah bin
Umar meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa pun yang mengunjungi
makamku, ia berhak mendapat syafaatku, Siapa pun yang melaksanakan ibadah haji,
kemudian mengunjungi makamku setelah kematianku adalah sama seperti orang
yang mengunjungiku sewaktu aku hidup. Lihat Sunan Baihaqi, jilid 5 hal. 246 dalam
Yacoob Jafry. Mencintai Kekasih Allah: Jalan Menuju AmpunanNya. Jakarta: Zahra
Publishing House, 2002. 55
15. Lihat Woodward dalam Wacana vol 9 no. 2 oktober 2007
16. Mohammad Dahlan. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara, 1970. 9
17. Hamka. Ayahku: Riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan perjuangan kaum
agama di Sumatera. Padang:Umminda, 1982. 19
18. M. Sanusi Latif. Gerakan Kaum Tua Di Minangkabau. Disertasi IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 1988. 48
19. Azyumardi Azra. Surau, pendidikan Islam tradisional dalam transisi dan
modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2003. 46
20. Tergantung pada besar kecil pengaruh dan wibawa yang dipunyai, seorang ulama
bergelar tuanku imam, tuanku “syeikh”. Lihat AA Navis. Alam terkembang jadi guru:
adat dan kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press, 1984. 43
21. A.A Navis. Alam terkembang jadi guru: adat dan kebudayaan Minangkabau. Jakarta:
Grafiti Press, 1984. 51
22. Djohan Effendi.Pembaruan tanpa membongkar tradisi: wacana keagamaan di kalangan
generasi ...63
23. A.A Navis. Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta:
Grafiti Press, 1984
Kesimpulan
Kematian merupakan bagian yang sangat penting dalam siklus 229
kehidupan manusia. Kematian tidak semata-mata persoalan
behentinya fungsi-fungsi biologis dan mikanis organ-organ tubuh,
tetapi terkait dengan keyakinan tentang tahapan-tahapan perjalanan
manusia menghadap tuhannya. menyikapi peristiwa kematian dengan
cara tidak biasa, dengan ritual-ritual yang dilakukan post dan pasca
penguburan. Adanya keyakinan bahwa kemtaian merupakan gerbang
menuju kehidupan yang lain. Ritual kematian yang diselenggarakan
oleh masyarakat terkait dengan keyakinan, sehingga memunculkan
nilai-nilai yang diyakini dan dipraktekkan oleh masyarakat. Ritual
itu juga diyakini sebagai jaminan persiapan bekal yang cukup dari
pihak keluarga dan masyarakat agar jenazah memperoleh kesenangan
dengan kehidupannya yang baru.
Memahami perwujudan ritual kematian di Minangkabau pada
abad ke-19 ini berarti kita sedang melihat kekhasan Islam dan budaya
lokal dalam akulturasi budaya dalam penyebaran Islam masa lampau.
Pandangan, konsep, tindakan dan ritual yang terkait dengan kematian
secara intrinsik terhubung dan dipengaruhi oleh posisi, atau status
seorang muslim, nilai-nilai budaya dan simbol dari masyarakat mereka
bersama dengan prinsip-prinsip struktur sosial. Pada saat yang sama
ritual-ritual itu pun membentuk pengakuan kekhususan budaya
dengan mengadopsi perspektif analitis yang berbeda.
Dalam melaksanakan ritual kematian untuk seorang syeikh ini,
Fakih Saghir seolah menggambarkan bahwa umat Islam sedang
terlibat dalam dialog antara pesanan budaya yang berpotensi
bertentangan yaitu keharusan Islam sebagaimana aturan-aturan yang
terkandung dalam al Qur’an dan hadis, dan nilai-nilai yang
tertanam dalam masyarakat tertentu. Ketidakberdayaan kaum
agama dalam memasuki hirarki pemerintahan sebagaimana posisi
penghulu pada masa itu, tampaknya menjadi alasan bagi Fakih
Saghir untuk memposisikan syeikhnya bak meninggalnya seorang
raja di kerajaan kecil tempat mereka berkontemplasi.
Dengan demikian, Prosesi kematian yang digambarkan oleh Fakih
Saghir menempatkan tokoh dalam syair dalam konteks budaya yang
lebih luas dan bagi kitalah upaya rekonstruksi makna menurut ritual
kontemporer dianalisa.
Ziarah merupakan cara ampuh untuk memperoleh barakah melalui
doa dan permohonan. Nabi Muhammad tidak pernah secara eksplisit
228
menyebutkan praktek ziyara ke makam, tetapi tradisi dimana Nabi
mengunjungi makam sahabat mati dan memohon Tuhan untuk berdoa
untuk mereka, yang beberapa Muslim menafsirkan memperbolehkan
ziarah. Ziyara ke orang-orang suci memungkinkan jamaah untuk
mencari bentuk pemenuhan spiritual yang lebih tinggi, melalui doa,
doa, kontemplasi dan pengabdian. Dalam kata-kata Peter Brown,
ziarah merupakan terapi melalui jarak.
Ziarah ke makam orang-orang suci ini juga dianggap sebagaimana
orang ziarah ke tanah suci Mekkah. Namun perjalanan semacam ini
bernilai mahal bagi orang-orang dengan tingkat ekonomi rendah.
Karena tindakan haji dan ziarah sangat mirip dengan ritual di Mekah.
Ignaz Goldziher berpendapat bahwa Nabi melarang pembangunan
monumen di atas makam orang mati. Nabi melarang monumen di
atas kuburan dalam upaya untuk mencegah imitasi dari orang-orang
Yahudi memuja orang mati. Realitas sejarah menunjukkan bahwa
muslim dari semua lapisan masyarakat dilindungi dan memberikan
kontribusi untuk pembangunan makam. Ziarah memperkuat ikatan
emosional kepada para ulama.
Ziarah semacam ini juga tak dilakukan kepada orang biasa. Hal
ini mengingatkan kita pada contoh yang paling dekat “Gus Dur”.
Setelah wafat, banyak peziarah yang datang ke kuburannya. Dan hari
meninggalnya selalu menjadi ingatan masyarakat sebagai momen
pelaksanaan ritual.
Dalam wasiatnya, syeikh meminta agar ia dimakamkan di tempat di
manadiamengajar. Halinimenunjukkankemudahanbagimurid-muridnya
untuk mengunjunginya. Sebelum meninggal, syeikh membangun
sistem kelembagaan yang akan mengingatkan orang padanya. Sosok
pribadi syeikh menjadi inti kewaliannya, mengalami proses disebabkan
nilai yang aada dalam pertalian syeikh dengan silsilah wali-wali
sebelumnya. Karena telah meninggal, sudah lebih dari padanya berada
di balik tirai, namun tetap berpengaruh di dunia ini. Bagi para
muridnya:
Wasiatkan bersungguh-sungguh
sekalian Kitab ku ini aku waqafkan
Masjid ku ini jangan disinikan
Keliling tempat ini seperti demikian
Pada sisi tempat ini jua aku
tanamkan
Maka hal ini dipelajari sebagai fenomena religious yang bersifat marginal m
dan terutama menjadi objek penelitian sejarah sosial. Praktik ziarah i
ke makam wali amat beragam bentuknya, dapat merupakan kegiatan m
individu dan kolektif; dapat merupakan kegiatan informal maupun p
kegiatan yang diselenggarakn dalam kerangka pertemuan ritual pengikut i
wali dan pertemuan dengan waktu-waktu yang telah terjadwal. .
Di Sumatera, misalnya, perayaan keagamaan tersebut dilakukan
setiap tahun selama minggu kedua Safar pada kalender Islam di
makam Sheikh di Ulakan. Adanya kepercayaan bahwa mengunjungi
makam Syekh Burhanuddin Ulakan di tujuh kali adalah setara dengan
mengunjungi sekali ke Mekah.
Ada kaitan antara ziarah dengan ortodoksi atau kesahihan Islam;
namun di lain pihak ada fenomena yang terpadu dengan kepercayaan
kepada dewa-dewa Hindu. Makam keramat adalah pusat dari
tradisi ziarah sesungguhnya. Ketika para pengunjung tiba, mereka
mengucapkan salam kepada sang wali dengan penuh cinta dan takwa.
Beberapa ahli membenarkan permintaan bantuan kepada wali
sebagai perantara dengan berlandaskan pada “orang yang sedang butuh
memperlakukan orang yang dihadapi dan didekati yaitu syeikh
sebagai wasilah atau alat dengan mengacu pada al qur’an 5:35 “
hai orang- orang yang beriman , bertaqwalah kepada Allah dan
carilah sarana
untuk mendekatkan diri kepadaNya”.
Para peziarah berduyun-duyun ke makam orang-orang kudus
untuk menghormati dan meniru mereka, tapi, peziarah terutama,
mencari berkat orang-orang kudus ‘- yang dikenal dalam bahasa Arab
sebagai baraka. Baraka dapat diterjemahkan “ kebajikan diberkati
dan potensi spiritual untuk kekuasaan dan bahkan keberuntungan,”
dan baraka adalah “kekuatan bawaan yang nabi dan orang suci yang
dimiliki, seperti halnya benda-benda dan tempat-tempat yang mereka
datang di kontak.” Allah memberikan orang kudus dengan baraka,
yang mengirimkannya ke beriman. The santa barakah ulama dicari
oleh para peziarah dan pemohon sehingga dapat ditularkan beberapa
cara. Pertama, dan yang paling umum, dapat ditularkan melalui
kontak langsung - baik melalui kontak fisik dengan santo atau melalui
kontak dengan makam suci dan kuil. Kedua, seseorang dapat
memperoleh barakah orang suci dengan memiliki peninggalan atau
obyek, seperti pakaian, terkait dengan suci, dan, ketiga, seseorang
dapat menerima baraka dengan datang kepada orang suci dalam
227
dikebumikan dan diziarahi pada waktu tertentu oleh anak cucu dan
kaum kerabat. Dengan masuk dan berkembang pengaruh kebudayaan
226
dari India, ziarah ke makam makin ramai dilakukan. Sesudah meluas
ajaran Islam di Minangkabau, ziarah ke makam masih lazim diadakan
walaupun dilarang agama. Kebiasan turun temurun lebih kuat
daripada ancaman hukuman agama, yang menganggap kebiasaan dari
zaman jahiliyah.70
Ada keterkaitan yang kompleks antara ziarah ke makam wali dan
penghormatan wali yang masih hidup. Guru-guru sufi dianggap telah
mampu menguasai naluri inderawinya sehingga bagi mereka tidak ada
lagi perbedaan antara keadaan hidup dan mati. Bentuk penghormatan
kepada Syeikh baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah tidak
dibedakan antara syeikh yang masih hidup dan ketika sudah mati.
Ketika seorang syekh menerima tamu, ia mengajukan berbagai
pertanyaan kepada tamunya dan lama mendengarkan mereka
sebelum menanggapi masalah yang dihadapi berupa nasehat,
bantuan, permohonan supaya sukses, kesembuhan, permohonan untuk
mengusir setan, atau sekedar untuk dapat berkah. Sebagai balasannya
sitamu menyerahkan pemberian berupa lilin, wewangian, kain,
makanan dan terutama uang. Pemberian itu tidak sekedar imbalan
biaya konsultasi tapi suatu pemberian simbolis.
Kita larangkan pula menumpahkan
darah Berkah syekh kita dipeliharakan
Allah Ghalib orang ziarah
Sebulan tuanku sampai bilangan
Doa dan sedekah tidak berkeputusan
Luhak dan ranah meminta doakan
Demikian jua hingga akhir zaman
Prosesi kematian seorang ulama pengamal tarekat Qadiriyah,
misalnya tahlil zikir, selama sebulan, pemberian sedekah bagi kaum
miskin dengan memotong kambing dan kerbau ayam dan itik. Apa
simbol dari semua itu. Sebagai syekh yang mampu menyembuhkan
orang-orang sakit dengan doanya dan dengan menyentuh pasien.
Sebagai perantara Allah, dia dianggap mampu memenuhi
permohonan pengunjungnya, yang menyangkut baik kehidupan di
dunia maupun di akhirat. Itulah syarat untuk dianggap wali oleh
masyarakat.
Praktik ziarah ke makam wali menjadi pantangan setelah
kemerdekaan, namun diketahui tetap dilakukan dalam berbagai
r
a
n
g
k
a
.
dari keberadaan sajalah yang mampu melaksanakan acara semacam p
ini. e
Pengganti tetap berlaku, karena tradisi yang telah melekat. m
Merujuk kepada adat, maka tindakan ini pun sangat lazim dilakukan u
oleh berbagai masyarakat dalam versi yang berbeda, lengkap atau j
tidak lengkap. Namun jika dalam jumlah tamu yang banyak tentu a
hal ini menjadi pertimbangan. Teks ini juga menggambarkan adanya a
budaya timbal balik bagi pelayat yang memberikan sejumlah bahan n
untuk keperluan makanan. Tak kalah penting lagi adalah ahli bait yang
menjamu isi negeri dengan makanan-makanan yang dihidangkan. a
Fakih Saghir dalam hal syairnya menyampaikan r
w
Sampailah pula akan tujuh hari
Anak kemenakan berganti-ganti a
Disebembelih pula kerbau dan h
jawi Diperjamukan pula isi
negeri n
Oleh karena itu, keberadaan seseorang secara ekonomi telah e
membuat makanan yang disediakan menjadi berbeda. Mitos ini n
e
berbicara tentang pentingnya upacara negara, ritual makanan, dan
k
kelangsungan Hindu dan Islam. Ini berfokus pada konsep interpretasi
sosial penyatuan hamba dan Tuhan dan pada teori politik / agama
m
bahwa upacara negara berkontribusi menuju kemakmuran dan
o
ketenangan. Hal ini menunjukkan pelestarikan tema kuno dalam
y
agama masa lampau. Mitos ini juga mengacu pada proses yang dilalui
a
pra-Islam. Slametan ini memberikan contoh kompleksitas lokal Islam.
n
Hal ini masuk akal untuk menunjukkan bahwa Islams lokal lainnya g
sama-sama kompleks.
Fakir dan miskin hendak kita i
himpunkan Doa dan tahlil kita a
sempurnakan Sedekah jariyah kita
l
tunaikan
Wasiat tuanku kita sampaikan a
h
Ziarah
m
Banyak alasan mengapa tradisi ziarah ke makam orang-orang suci
a
masih tetap melekat kuat bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
k
Selain untuk melakukan perjalanan spiritual, ziarah juga dimaksudkan
a
untuk mendapatkan barakah dari orang yang diziarahi.
m
Peninggalan kebudayaan megalitium yang berhubungan erat dengan ,
tempat nenek moyang
225
Adapun tata caranya meliputi Seperti slametan dan kenduri itu
meliputi pembacaan bagian dari Al Qur’an, distribusi makanan berkah,
224
dan doa untuk orang-orang kudus dan masyarakat lokal. Pada slametan
kematian, doa diikuti dengan dzikir yang dapat berlangsung selama
beberapa jam. Tuan rumah dan semua dari para tamu melafalkan
kalimah lailahaillallah. Pembacaan ini dimaksudkan untuk memberi
manfaat bagi masyarakat dan jiwa orang mati.
Orang Minangkabau sangat biasa melakukan kenduri atau
semacamnya pada berbagai kesempatan. Ada yang dikaitkan dengan
kepercayaan non-Islam seperti peristiwa kematian. Orang yang tidak
melakukannya dipandang sebagai orang yang telah jatuh miskin
dan sebagai orang yang tidak mau bergaul. Falsafah hidup mereka
mengajarkan agar tampil untuk dihargai. Sebagaimana petuah: nak
mulia bertabur urai, artinya bila mau dihormati orang, perlihatkanlah
kedermawanan. Upacara kematian seorang anggota kaum yang
dihormati harus sama agungnya dengan upacara perkawinan ataupun
kematian. Orang Minangkabau sangat biasa melakukan kenduri atau
yang semacamnya pada berbagai kesempatan.66
Namun, jenis dan jumlah bahan yang digunakan untuk melakukan
ritual amatlah bervairiasi. Sehingga, tidak semua orang mampu
melakukannya. Hal ini yang menunjukkan status sosial sang jenazah.
Hal ini pula yang menyebabkan bahwa. Dengan kemapanan sosial dan
ekonomi, hal ini bisa dilaksanakan.
Sejak abad ke-19, isu tentang boleh atau tidaknya sedekah pada
saat meninggal semakin melebar. Para ulama kaum muda
menganggap kenduri pada saat kematian adalah riya dan bid’ah, tapi
dilaksanakan juga oleh salah satu tokoh kaum muda ini. 67
Penyelidikan lebih mendalam terhadap agama menyatakan
bahwasanya kenduri karena kematian adalah haram hukumnya.68
Kata Fakih Saghir jangan begitu
Sedekah ini bukan karena sesuatu sekalian
Belanja ini peninggalan tuan
Hutang karena mentaslimkan
Mengingat jumlah dana yang harus digunakan untuk melakukan
ritual ini, maka menggadaikan harta pusaka karena biaya yang besar
dalam upacara kematian seorang kepala keluarga atau mamak juga
terjadi, karena upacara ini tergolong pada proses yang menggunakan
biaya yang besar.69 Bila demikian adanya status sosial yang tercermin
Selain sebagai rasa syukur, makanan dan minuman yang disediakan
dimaksudkan sebagai sedekah. Kemudian pahala sedekah ini
dihadiahkan kepada arwah orang yang sudah meninggal. Kenduri 223
arwah. menyelenggarakan selamatan kematian/kenduri kematian/
tahlilan/yasinan (karena yang biasa dibaca adalah surat Yasin) di hari ke
7, 40, 100, dan 1000 harinya.
Sepanjang abad, kembang api, tembakan senjata, terompet, dan
sirine selalu ada menemani keberadaan gendang, bell, dan gong.
Namun untuk apa semua itu? Pada suku-suku tertentu, alat-alay itu
hanya dimainkan hanya pada saat acara kematian. Walau terkadang
sulit menjelaskan penggunaan alat-alat itu, mereka (Alat-alat itu)
menambah nuansa misteri dan kekuatan. Jika tubuh manusia dalam
hidup menyediakan seperti reservoir representasi moral, ini tubuh yang
sama setelah kematian membawa kemungkinan sendiri untuk
ekspresi simbolik.65
Alat perjamuan seperti demikian jua
Baqara dan kambing disembelih pula
Tahlil dan zikir ganda berganda
Umpama hujan tiada reda
Kebiasan menjamu tamu telah melekat dalam berbagai tradisi di
Indonesia. Istilah-istilah untuk mengungkapkan konsep ini seperti
slametan, kenduri, dll. Di Jawa ada budaya slametan sebagai sebuah
ritual makan di mana doa dibacakan dan makanan ditawarkan
kepada Nabi Muhammad, orang-orang kudus, dan nenek moyang,
yang memohon untuk kelimpahan berkat di masyarakat. Geertz
mengidentifikasi slametan sebagai “inti ritual” dalam budaya Jawa
dan sebagai ritus animisme dimaksudkan untuk memperkuat
solidaritas desa, slametan merupakan contoh dari sebuah ritual
kompleks yang menghubungkan berkat dan makanan dari Arab ke
Asia Tenggara.
Tujuan perjamuan ini, bagi Islam adalah memberi makan orang
miskin, kerabat dan tetangga akan menghasilkan barakah bagi pemberi.
Al-Qur’an dan Hadis menekankan tindakan kebajikan seseorang
terhadap sesama manusia.
Beberapa ahli bait berupaya untuk mengajak orang miskin
untuk ikut serta dalam acara kenduri atau slametan, atau sekedar
mengirimkan makanan kepada mereka. Sebaliknya, banyak pula yang
menyumbangkan bahan mentah dan makanan lain untuk menambah
jumlah makanan sakral yang didistribusikan pada ritual.
orang-orang keramat di dalam peperangan, memberi nama orang
keramat itu pada senjata yang dipakai. Selain itu, pada zaman
222
penjajahan, berbagai peperangan yang terjadi baik di wilayah laut
dan darat menggunakan meriam. Penggunaan alat yang satu ini
karena dianggap kokoh karena terbuat dari besi dan perunggu, serta
mampu menembak musuh dari jarak jauh. Alat ini dikenal di
Indonesia sejak abad ke-16, dibawa oleh bangsa Portugis.
Melihat beberapa penggunaan meriam dalam berbagai upacara,
nyatalah bahwa alat ini hanya digunakan pada kesempatan kesempatan
khusus dan oleh orang-orang dengan status sosial yang tinggi.
Upacara kematian Syeikh sebagai seorang elit, mempertontonkan
letusan meriam yang mengiringi prosesinya. Sebagaimana bunyi
teks:
Sampailah pula kepada esok hari
Berhimpunlah pula tiap-tiap negeri
Lepaslah meriam berganti-ganti
Inilah mula tuanku meninggalkan ahli
Walau teks tidak menjelaskan jumlah dentuman meriam yang
dilakukan. Melihat sejarah dan apa yang berlangsung saat ini, jelaslah
bahwa dentuman meriam pada acara kematian tidak dilakukan pada
orang biasa. Hanya orang yang punya status sosial tinggi lah hal itu
terjadi.
Penyembelihan Hewan
Kebiasaan membuat persembahan religius melalui penyembelihan
hewan hampir terjadi di semua agama dan merupakan bagian dari
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mentransfer sesuatu berupa
benda atau makanan ke orang lain. Teori-teori yang terkait dengan
persembahan dengan cara penyembelihan hewan dilakukan untuk
tujuan-tujuan seperti pengganti pemberi korban, penebus dosa, hadiah
kepada dewa agar terhindar dari kemarahannya dan mendapatkan
persahabatannya. Selain itu untuk mengambil darah manusia, karena
pemahaman bahwa hewan bersekutu dalam darah. Pengorbanan ini
dianalogikan dengan darah yang merupakan persembahan khusus
orang Ibrani. Hal ini terkait dengan penegasan Hubert dan Mauss
55
tentang aspek penyucian, pelepasan diri, penolakan sesuatu untuk
diri, yang tampaknya terlibat dalam setiap tindakan pengorbanan. Ada
bentuk komunikasi yang mendominasi dalam kegiatan penyembelihan.
Tindakan simbolis menunjukkan bahwa upaya makan bersama dari
hewan yang disembelih adalah bentuk penyerapan kembali energi
yang dilepaskan oleh korban. Untuk Levi-Strauss, hewan menawarkan
klasifikasi sosial, terutama yang berkaitan dengan praktek sosial nya,
serta dengan sistem kekuasaan, ketidaksetaraan, dan nilai.
Penyembelihan juga merupakan pemberian diri atau bagian dari
diri yang disimbolkan dengan berbagai jenis objek material yang
memiliki makna dan nilai sosial. Selain itu, ritual penyembelihan juga
menunjukkan simbol persatuan anggota kelompok atau ikatan sosial
yang signifikan bagi para pelakunya.
Banyaklah khabar orang berulang d
Mengkhabarkan syekh kita sampai berpulang a
Murid yang jauh sukar menjalang
n
Dipintakan doa di kampung seorang-seorang
a
Adapun, ritual-ritual seperti pembacaan talqin52 yang dilakukan setelah
proses penguburan berlangsung, dianggap sebagai bentuk bantuan y
kepada si mayit. Mazhab Syafii dan Hambali menempatkannya sebagai a
suatu rekomendasi, sedangkan Maliki menganggapnya perbuatan n
makruh. g
Oleh karena itu, ketika seorang elit agama seperti syeikh
meninggal pelayatpun banyak menjalang. Mereka datang untuk b
mendapatkan konpensasi barakah. Sehingga jumlahnya pun sangat i
berbeda dengan orang biasa. Kerumunan pelayat dan peziarah s
ditentukan oleh status sosial ulama. Masih terbayang oleh kita a
bagaimana banyaknya jumlah peziarah ketika Gus Dur (mantan
presiden) meninggal hingga sekedar ziarah ke kuburannya. Hal ini d
membuktikan makin tinggi sosial status maka makin banyak pula i
pelayat yang datang. a
Status juga ditandai oleh jumlah dalam salah satu kelompok pelayat. l
Contohnya jumlah pelayat bervariasi tergantung pada posisi sosial si o
jenazah. Apakah ia meninggalkan jejak kebaikan bagi setiap orang k
yang pernah mengenalnya, atau bersentuhan dengannya. kejernihan a
hati, dan kebersihan jiwa, kata-kata yang lembut,penampilan s
menawan, serta caranya berdialog dan berdebat yang menarik hati. i
Randle Holme mendaftar jumlah pelayat pada pemakaman tergantung k
pada tingkat dan estate dari apapun mati hubungan pribadi pelayat a
dengan almarhum.53 Ritual pemakaman selalu menjadi bagian penting n
dari proses reintegrasi kelompok sosial. kemeriahan upacara pemakaman
sebagai simbolisasi status sosial bisa berlaku. Kemeriahan prosesi o
tersebut ternyata bukan hanya dipengaruhi oleh akhlak si jenazahnya l
saja, tetapi juga bisa bergantung pada “kebaikan” orang-orang e
terdekat jenazah. Pasangan hidup yang baik, dan atau anak yang h
baik ternyata juga mampu mendongkrak pamor jenazah yang aslinya
bukan orang “baik”. Apalagi kalau si jenazah semasa hidup, anaknya, k
atau keluarganya adalah orang kaya dan punya kedudukan di e
lingkungannya. Status sosial jenazah ternyata ikut menjadi faktor l
dominan kemeriahan prosesi. Orang yang shalih bisa kalah pamor, u
kalah meriah dari yang tidak shalih. Kalah banyak pelayatnya. a
Apalagi perbedaan penanganan biasanya terjadi akibat perbedaan r
ga jenazah untuk prosesi tersebut.
217
pengikut dari tarekat tertentu melakukan ritual doa yang berbeda
di mana mereka mengarahkan doa-doa mereka kepada Allah untuk
216
mengenang jiwa berangkat suci yang mendirikan persaudaraan
mereka.
Dalam tradisi tarekat, zikir dan wirid merupakan ciri utama ajaran
tarekat sebagai bentuk ungkapan cinta. Zikir sebagai pengulangan secara
kolektif satu kalimat pendek seperti kalimat syahadat oleh murid-murid
yang duduk mengelilingi seorang guru. Tradisi ini pula sudah dilakukan
pada masa syekh Burhanuddin. Sebelum Syekh Burhanuddin, jika ada
yang meninggal dunia, maka keluarga yang ditinggal dikunjungi oleh
ipar-bisan dan dilaksanakan dengan membawakan kata-kata indah,
yang mirip dengan berbalas pantun selama hari pertama sampai hari ke
tujuh, hari keempat belas, hari keempat puluh, hari keseratus dengan
makan dan minum. Budaya semacam ini kemudian diganti dengan
zikir dan bacaan tertentu dalam bentuk doa kepada mayat. Doa dan
bacaan-bacaan dibuat berbalas-balas antara dua orang Tuanku, labia,
Khatib dan petugas agama nagari. Ini merupakan pelaksana utama
dari kegiatan ini. Setelah mengaji, maka dihidangkan makanan dan
sedekah kepada pelaksana.
Naskah SFS yang menerangkan bagaimanan zikir dan tahlil dan
doa ini bukanlah sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh masyarakat
Indonesia. Kuantitas orang yang melakukan zikir adalah hal yang
penting dalam menunjukkan bahwa seseorang yang sedang didoakan
dan atau dimohonkan berkahnya adalah bukan orang biasa. Dalam
beberapa kesempatan, ada orang melakukan tahlil karena undangan
atau permintaan dari ahlul bait agar dapat turut serta dalam acara
tahlil. Setelah acara berlangsung, maka sang empunya memberikan
sajian ataupun hadiah berupa uang, pakaian untuk para pentahlil.
Teks ini tidak menjelaskan motivasi orang bertahlil. Tapi jelas sekali
menunjukkan jumlah orang yang berlimpah.
Salam tuanku di dalam tanah
Tiap-tiap dusun tahlil zikrullah
Tuanku lah berpulang ke
rahmatullah Kita berajar inilah
nafkah
Tiap-tiap negeri pun mentahlilkan
Luhak dan ranah pun lalu
kelawatan Guruh gempa nabun
pendengaran Umpama guruh
keturunan hujan
Dalam kehidupan manusia ada hukum timbal-balik yang berlaku a
sebagai bentuk pertukaran jasa yang terus-menerus. Sebuah w
kelompok masyarakat memiliki ikatan emosional, sosial, dan a
financial yang kekuatannya yang bervariasi tergantung pada afiliasi l
atau kekuatan ikatan lainnya. Seorang pemimpin terkait erat dengan y
semua orang secara sosial, politik, dan ekonomi. Sehingga orang lain a
tergantung pada mereka, dan menempatkannya pada posisi yang n
tinggi dibanding orang lain yang tidak memiliki ikatan sosial dan g
emosional. Sifat yang sangat praktis diterima oleh masyarakat adalah
ketika seseorang meninggal dunia masyarakat menderita kerugian t
yang sangat nyata. Sehingga Beberapa bukti yang menunjukkan e
bahwa hidup dan mati sama-sama membentuk satu komunitas, dan l
upacara pemakaman hanyalah ritual. a
Terlepas dari kewajiban sebagai umat Islam terhadap orang h
meninggal, dan perbedaan anggapan terhadap ritual kematian,
prosesi kematian dikarenakan perbedaan sosial status sering tak m
terelakkan. Hal ini memunculkan garis demarkasi antara proses yang e
dilakukan oleh elit dan non elit. Penegasan kemsyhuran syeikh di mata n
mayarakat pun tercermin dalam upacara kematian yang y
e
diselenggarakan untuknya. sebagaimana petikan syair:
b
Martabah syekh kita waliyullah yang a
pilihan Imam syari’ah sempurna ikutan
Mempunyai hukum memeluk pekerjaan
r
Sempurnalah Syekh kita bernama d
sultan i
N
Doa, Tahlil dan Zikir u
Acara menujuh hari, meningga hari dsb yang diselenggarakan s
dengan iringan bacaan doa, zikir dan tahlil sudah menjadi hal yang biasa a
dilakukan oleh masyarakat Indonesia di manapun pada saat kematian n
seseorang. Ritual ini dilakukan sebagai upaya untuk mengirim doa t
atau pahala kepada orang yang meninggal agar mereka mendaatkan a
r
kelapangan di dalam kubur. Jumlah orang yang membacakan doa dan
a
zikir pun bervariasi sangat ditentukan oleh siapa orang yang meninggal.
Dalam beberapa kesempatan, seorang elit meninggal banyak dikunjungi
s
oleh pelayat yang mebacakan doa, entah karena diberi kompnesasi atau
e
lainnya. yang pasti banyak pula pelayat yang karena konpensasi itu
j
maka datang untuk melaksanakan ritual zikir, dls.
a
Secara historis, ritual doa adalah warisan dari mistisisme Islam
k
abad ke enam. Para
215
fakta dan kondisi manusia, khususnya untuk kebutuhan
berkomunikasi dengan dunia lebih luas. Agama merupakan ekspresi
214
keinginan bawaan manusia untuk berkomunikasi dalam alam, dan
untuk mencegah ketidakpastian serta memperoleh rasa nyaman.
Kepercayaan pada semua tingkah laku yang berhubungan dengan
kenyataan supernatural seperti doa, praktek pemakaman memberikan
kenyaman dan memberi arti akan keberadaan manusia.48 Simbol-
simbol budaya yang dimiliki oleh tiap suku dan kaum ini memainkan
peran sosial, ekonomi, kekerabatan, religius dan identitas kolektif.
Maka penyelenggaraan ritual kematian dilakukan sebagai bentuk
penggunaan simbol.
Upacara kematian pada masyarakat Minangkabau adalah sesuai
dengan ajaran agama Islam yaitu mati dalam Islam. Maka melaksanakan
fardhu kifayah, seperti mengumumkan kematian orang yang meninggal
kepada orang lain, memandikannya dan mengkafani, menyalatkan,
serta menguburkannya dilakukan untuk mengkomunikasikan
kematian tersebut.
Adat kematian yang dikenal luas dalam masyarakat Pariaman sampai
sat ini yaitu: meningga hari, menujuh hari, mendua kali tujuh,
mengempat puluh, dan menyeratus hari, adalah suatu tradisi yang sudah
masuk dalam tatanan sosial masyarakat atau sudah menjadi tradisi
yang mapan dan sulit dihilangkan. Ada alasan atas semua ini yaitu
keluarga merasa malu atau aib jika tidak melakukannya. 49 berbagai
bentuk ritual kematian dilakukan sebagai bentuk komunikasi dan
simbol yang digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan
kesedihan atau semacamnya kepada sang mayit maupun kepada
masyarakat yang datang. Banyak pula ritual kematian yang tidak
memerlukan biaya mahal. Namun, ada pula upacara besar dan
upacara yang membuat perhatian banyak orang. Sehingga, komitmen
untuk penggunaan sumber daya material menjadi hal yang penting
sebagai bentuk fenomena ekonomi ritual.50
Perbedaan yang mencolok dalam prosesi kematian di
Minangkabau adalah kematian seorang raja atau penghulu. Praktek-
praktek ritual kematian syeikh tergambar dalam beberapa simbol
yang digunakan. Sosok yang digambarkan oleh Faqih Saghir dalam
teks ini sebenarnya bukan seorang penghulu, bukan pula seorang raja
di pemerintahan. Namun, seorang syeikh, ulama yang karena
keahliannya dalam bidang syariat dan tasawuf telah mendapat julukan
Sultan ‘Alim Awliya’Allah, yang menjadi pemimpin seluruh ulama
M jama’ah. 51
i
n
a
n
g
k
a
b
a
u
g
o
l
o
n
g
a
n
a
h
l
a
l
s
u
n
n
a
h
w
a
a
l
curahan kemurahan dari Allah Swt. Selain itu, dimintakan pula doa
pada murid atau masyarakat bila mereka berada pada tempat yang jauh
dan tidak dapat datang dari Luhak dan ranah. Keempat, perjamuan isi 213
negeri dengan penyembelihan kerbau, sapi dan kambing, dilengkapi
dengan peralatan. Pemberian sedekah kepada fakir miskin. Kelima,
mengelilingi jenazah sambil menangis. Tradisi marotok memang ada di
Padang. Dalam bahasa Minangkabau, ratap disebut dengan ratok dan
meratap disebut dengan maratok. Meratap adalah kebiasaan menangisi
mayat sampai histeris, sambil berucap hal-hal yang baik tentang
mayat itu atau berupa penyesalan atas kematiannya. Umumnya,
maratok dilakukan dengan cara menyakiti diri, seperti menepuk dan
memukul dada dan badan mereka, atau dengan mengelus badan si
mayat.46 Selain itu, terdapat suara yang menyertai proses, berupa
ledakan meriam beberapa kali. Pada bagian akhir penulis
menyebutkan beberapa nama seperti baginda Ali, Imam syafi’i, Abu
Hasan As’ari, Abdul Qadir al-Jilani, Syekh Abdurrauf, Tuanku di
Ulakan yaitu Burhanuddin. Nama-nama yang mencerminkan
perpaduan tarekat Syattariyah dan Qadiriyyah.Syair ini juga
mengenalkan nilai budaya yang menonjol seperti mufakat atau
musaywarah serta konsep menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku.
b
e
r
a
s
a
l
d
a
r
i
b
a
n
y
a
k
tercermin dalam ritual kematian yang sangat khas. Ada kelompok y
yang bisa memanfaatkan materi karena ketergapaiannya dengan a
aspek ekonomi, ada yang mampu meraup perhatian banyak orang, n
karena memiliki posisi elit. Akadalanya pula, hanya menampakkan g
tontonan yang biasa saja.
Sejarah membuktikan bahwa ulama memiliki kedudukan yang k
penting dalam pemerintahan atau kerajaan. Karena mereka adalah figur h
yang secara simbolis merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan a
Tuhan kepada manusia dalam penyampai ajaran-ajaran wahyu. Selain s
dianggap sebagai pewaris para nabi dalam membimbing, mendidik, p
dan memberikan teladan kepada umat manusia, mereka pun memiliki a
status dan pengaruh sosial yang sangat tinggi karena mereka memiliki d
pengetahuan agama dan kecakapan dalam hubungan sosial. Oleh a
karena itu, penghormatan dan pengkultusan kepada seorang ulama
bukanlah hal yang aneh
Dalam tradisi tarekat, penghormatan karena status sosial ulama
lebih mencolok. Syekh, terlebih dimata muridnya memiliki banyak
kekuatan. Sebagaimana wali atau ulama, syekh adalah sosok yang
sangat berpengaruh terutama dalam kehidupan orang-orang yang
terafiliasi dengannya. Oleh karena itu, penghormatan kepada mereka
pun terjadi pada saat mereka hidup, dalam proses kematian, dan sering
sekali setelah mereka mati yang terwujud dalam bentuk ziarah kubur.
Keberkahan dan karamah orang-orang semacam ini membuat mereka
berada pada posisi yang lebih elit dari yang lain.
Minangkabau adalah suatu suku yang sering dikaji karena pola
matrilinealnya. Tak banyak perhatian tentang bagaimana prosesi
kematian seseorang diungkap sebagaimana hal itu terjadi di daerah
Toraja dan Bali. Namun, masih ada bukti bahwa ritual kematian
dari seorang elite agama yang terjadi pada abad ke 19, mencerminkan
status sosial yang berbeda. Dengan pendekatan simbolik ritual
kematian, tulisan ini membahas tentang pengaruh status sosial
terhadap pelaksanaan ritual kematian di wilayah Minangkabau.
Tulisan ini akan menekankan pada peran syeikh dalam tradisi
tarekat.
Status Sosial, Karamah dan Barakah
Fenomena kewalian baik dari kajian-kajian sejarah, sosial dan
politik telah menarik perhatian banyak peneliti. Hal ini ditengarai
karena wali atau ulama sebagai elite agama telah memberikan warna
199
K
ematian adalah suatu transisi sakral yang memerlukan ritual-
ritual khusus untuk menghormati atau mengenang jenazah. 1
198
Selain dilihat sebagai unsur formal dalam eksistensi manusia,
ritual kematian dapat dilihat sebagai pemanfaatan bentuk keyakinan
yang mengekspresikan materi dan sebagai perwujudan hubungan
ideal antara individu atau kelompok dalam masyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan penggunaan berbagai jenis bahan sebagai
persembahan dalam berbagai ritual, cara-cara digunakan dalam
persembahan jenazah, dan pilihan lokasi pemakaman dan seremoni
yan dilakukan.
Studi-studi yang dilakukan oleh beberapa sarjana tentang ritual
kematian menegaskan bahwa penyelenggaraan prosesi kematian dalam
kehidupan individu atau kelompok dalam masyarakat berhubungan
erat dengan status sosial jenazah saat berada dalam dunia kehidupan.
Di Melanesia, Wedgwood 2 mencatat bahwa perbedaan status sosial
seseorang atau kelompok sangat terlihat pada saat kematian. kekayaan,
keberanian, magis, kekuasaan sekuler, keanggotaan kelompok
merupakan hal-hal penting dalam ritual. Peter Metcalf3 menyoroti
hubungan strata ekonomi dan ritual kematian. Frank Reynolds
mengilustrasikan bagaimana hirarki sosial telah mempengaruhi
upacara kematian.4 Saunders juga menganalisa stratifikasi sosial
yang bersangkutan untuk memahami bagaimana ketidaksetaraan ini
berdampak dalam ritual kematian seseorang. 5 Pearson menyebutkan
bahwa ritual kematian di Inggris pada abad ke-19 memperlihatkan
perlakuan terhadap yang mati berdasarkan hubungan antara budaya
materi terkait dengan praktek kematian dan bentuk organisasi sosial. 6
Sedangkan Bennet menganggap bahwa representasi simbolisme
dalam kematian dalam suatu masyarakat tidak selamanya menjelaskan
tingkat ekonomi yang terjadi di masyarakat sama. Peran agama dan
sejarah telah menempatkan suatu masyarakat tertentu untuk
bertindak sama agar dapat mempertahankan kontrol lokal.7
Status sosial sering dilihat dari kekuasaan, keberanian, ekonomi,
keanggotaan dalam kelompok, dan prestasi individu. Hubungan
antara nilai sosial individu dan perlakuan kepada seseorang pada
saat dan
setelah kematian seseorang adalah sangat erat. Sehingga, ada kalanya
masyarakat merasa sangat berduka atau tidak berduka atas wafatnya
seseorang, karena faktor kekerabatan dalam keanggotaan kelompok
akan menjadi faktor penentu. Di Indonesia kita banyak menemukan
b rbedaan hirarki sosial yang
e
b
e
r
a
p
a
s
u
k
u
a
t
a
u
a
d
a
t
y
a
n
g
m
e
m
i
l
i
k
i
p
e
Alfida
Abstract: This article examines the digital manuscript entitled Syair Fakih
Saghir of Surau Calau collection, Sijunjung City, West Sumatra. This
manuscript has been digitized by Tim Kajian Poetika of Andalas University
in collaboration with the Indonesian Association of Nusantara Manuscripts
(Manassa) and Tokyo University of Foreign Studies (TUFS-CDATS),
Japan, with code CL.SJJ.2011.67F. Syair Fakih Saghir contains an overview
about the figure of the charismatic shaykh and greatly admired by his murid.
In the context of this text, the murid is Fakih Saghir who admired his shaykh,
Tuanku Nan Tuo Koto Tuo. This admiration was shown in a homage ritual
that is celebrated by the society when the shaykh has died. Therefore, this text
has shown the importance of the social status of ulama among the society
symbolized by the cult at the time of their death ritual celebration. Through
such depictions, the text shows the identity, integrity, and text functions in
society.
Abstrak: Artikel ini mengkaji naskah digital yang berjudul Syair Fakih
Saghir koleksi Surau Calau, Sijunjung, di Sumatera Barat. Naskah ini
didigitalkan oleh Tim Kajian Poetika Universitas Andalas bekerjasama
dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dan Tokyo
University of Foreign Studies (TUFS-CDATS), Jepang, dengan kode
CL.SJJ.2011.67F. Syair Fakih Saghir berisi gambaran sosok syekh yang
kharismatik dan sangat dikagumi oleh muridnya. Dalam konteks teks
ini, murid yang dimaksud adalah Fakih Saghir yang mengagumi
gurunya yaitu Tuanku Nan Tuo Koto Tuo. Ungkapan kekaguman ini
diperlihatkan melalui ritual penghormatan yang dilakukan oleh
masyarakat saat sang guru meninggal dunia. Oleh karena itu, teks ini
telah memperlihatkan pentingnya status sosial ulama di kalangan
masyarakat yang disimbolkan dengan pemujaan pada saat perayaan
ritual kematian terhadap ulama. Melalui penggambaran tersebut teks
ini memperlihatkan identitas, integritas, serta fungsi teks dalam
masyarakat.
197