Anda di halaman 1dari 281

ALIDA

Syair Fakih Saghir: Sosial Status dan Ritual Kematian


di Minangkabau Abad ke-19

KHABIBI MUHAAD LUTI


Cerita Nabi Muhammad Berhempas
dengan Abu Jahil Karya Buya Abdus
Salam:
Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Islam

MUHAAD ARDIANSAH Fatḥul ‘Ārifīn dan Tasawuf yang Terpinggirkan: Suluk Bait Duabelas Syekh
Kemuning dan Perlawanan terhadap Islam Mainstream di Jember Awal Abad XX | IBNU FIRI Naskah
Shahadat Sekarat: Konstruksi Nalar Sufistik atas Kematian dan Eskatologi Islam di Jawa | SIDI Mulḥaq fī
Bayān Al-Fawā’id Al- Nāfi’ah fī Al-Jihād fī Sabīlillāh: Aktualisasi Jihad dan Purifikasi Azimat | MUtI ALI
Sejarah Cirebon: Ekperimen Pribumisasi Islam-Sufistik Syekh Nurjati | MUHAAD NIDA’ FADLAN Naskah Kuno
untuk Kawula Muda
Vol. 5, No.2, 2015
ISSN: 2252-5343
Jurnal Manassa
Volume 5, Nomor 2, 2015

PENANGGUNG JAWAB
Ketua Umum Manassa

DEWAN EDITOR
Achadiati, Al Azhar, Annabel Teh Gallop, Dick van der Meij, Ding Choo Ming,
Edwin Wieringa, Henri Chambert-Loir, Jan van der Putten, Mujizah, Lili Manus,
Nabilah Lubis, Roger Tol, Siti Chamamah Soeratno, Titik Pudjiastuti,
Tjiptaningrum Fuad Hasan, Yumi Sugahara, Willem van der Molen

EDITOR EKSEKUTIF
Oman Fathurahman, Tommy Christomy

SEKRETARIS
Munawar Holil, Pitria Dara

STAF EDITOR
Asep Saefullah, Asep Yudha Wirajaya, Elmustian Rahman, Hasaruddin, I Nyoman Weda Kusuma,
Latifah, M. Adib Misbachul Islam, Muhammad Abdullah, Mukhlis Hadrawi, Pramono,
Saefuddin, Sarwit Sarwono, Sudibyo, Titin Nurhayati Makmun, Trisna Kumala Satya Dewi

TATA USAHA
Amyrna Leandra Saleh

TATA LETAK & DESAIN SAMPUL


Muhammad Nida’ Fadlan

ALAMAT REDAKSI
Sekretariat Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA)
Gedung VIII, Lantai 1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok,
16424 Telp/Faks. (021) 787062fi, Website. www.manassa.org atau
http://situs.opi.lipi.go.id/manassa/, Email. manassa@ymail.com

MANUSKRIPTA (ISSN 2252-5343 ) adalah jurnal ilmiah yang dikelola oleh Masyarakat Pernaskahan
Nusantara (Manassa), asosiasi profesi pertama dan satu-satunya di Indonesia yang memperhatikan
preservasi naskah nusantara. Jurnal ini dimaksudkan sebagai media pembahasan ilmiah dan
penyebarluasan hasil penelitian di bidang filologi, kodikologi, dan paleografi. Terbit dua kali dalam
setahun.
Daftar Isi

Artikel

197 Alfida
Syair Fakih Saghir: Sosial Status dan Ritual Kematian
di Minangkabau Abad ke-19

237 Khabibi Muhammad Lutfi


Cerita Nabi Muhammad Berhempas
dengan Abu Jahil Karya Buya Abdus Salam:
Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai
Islam

273 Muhammad Ardiansyah


Fatḥul ‘Ārifīn dan Tasawuf yang Terpinggirkan:
Suluk Bait Duabelas Syekh Kemuning dan
Perlawanan terhadap Islam Mainstream
di Jember Awal Abad XX

303 Ibnu Fikri


Naskah Shahadat Sekarat:
Konstruksi Nalar Sufistik atas Kematian
dan Eskatologi Islam di Jawa

327 Sidik
Mulḥaq fī Bayān Al-Fawā’id
Al-Nāfi’ah fī Al-Jihād fī Sabīlillāh:
Aktualisasi Jihad dan Purifikasi Azimat

349 Mukti Ali


Sejarah Cirebon: Ekperimen Pribumisasi
Islam-Sufistik Syekh Nurjati
Review Buku

379 Muhammad Nida’ Fadlan


Naskah Kuno untuk Kawula Muda
Muhammad Ardiansyah

Fatḥul ‘Ārifīn dan Tasawuf yang Terpinggirkan:


Suluk Bait Duabelas Syekh Kemuning dan
Perlawanan terhadap Islam Mainstream
di Jember Awal Abad XX

Abstract: Fatḥul ‘Ārifīn is the text describing ideas, doctrines, and


spiritual experiences that must be conducted by anyone will get the
highest truth and merging with the God. One of the terms existed in
Fatḥul ‘Ārifīn is Bait Duabelas compiled by Syekh Kemuning. Bait
Duabelas is “ilmu ilham” gained after Syekh Muhammad Nur was
performing khalwah suluk mujahadah during 9 years, since 1910 until
1919. Bait Duabelas can be categorized as one of the Islamic literature
from traditional Javanese. This manuscript was written by Pegon script.
This study will give some contribution for composing the alternative
historiography about Islam in Jember, East Java. The conclusion of this
study is that the function and meaning of Baik Duabelas for the readers is
the existence of ngalap barokah element and the high level of trust on
the text impact.

Keywords: Fatḥul ‘Ārifīn, Bait Duabelas, Syekh Kemuning, Javanese-


Islamic Literature, Suluk.

Abstrak: Fatḥul ‘Ārifīn adalah teks yang menguraikan gagasan, ajaran,


dan pengalaman kerohanian yang harus dijalankan oleh siapapun yang
ingin mencapai kebenaran tertinggi dan berusaha melebur dengan
rahasia Sang Wujud. Salah satu bahasan yang terdapat di dalamnya
adalah Bait Duabelas yang disusun oleh Syekh Kemuning. Bait
Duabelas merupakan “ilmu ilham” yang diperoleh setelah Syekh
Muhammad Nur melaksanakan khalwah suluk mujahadah selama 9
tahun, dari 1910 hingga tahun 1919. Bait Duabelas dapat dikategorikan
sebagai sastra keislaman yang lahir dalam dunia Jawa tradisional.
Naskah ini ditulis dengan huruf pegon. Studi ini dapat memberikan
kontribusi bagi penulisan historiografi alternatif tentang Islam di
Jember, Jawa Timur. Studi ini menyimpulkan bahwa fungsi dan makna
Bait Duabelas bagi para pembacanya adalah adanya unsur ngalap barokah
dan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap khasiat teks tersebut.

Kata Kunci: Fatḥul ‘Ārifīn, Bait Duabelas, Syekh Kemuning, Sastra Islam-
Jawa, Suluk.
273
Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015
Fatḥul ‘Ārifīn dan Tasawuf yang Terpinggirkan

A
da suasana yang khas ketika berkunjung ke Pesantren Nahdhatul
Arifin di Desa Kemuningsari Lor, Kecamatan Panti Kabupaten,
274
Jember. Selepas salat Isya, para santri dengan khusyuk membaca
“Bait Duabelas”, sebuah naskah suluk yang disusun oleh pendiri
pesantren, Syekh Muhammad Nur. Mereka membaca di serambi
masjid pesantren, di hadapan Kiai Arjuni, salah seorang pengasuh di
pesantren tersebut.
Sebagaimana laiknya nadhoman, para santri membaca Bait Duabelas
dengan cepat dan berintonasi. Di luar pembacaan tembang-tembang,
minimal dibutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk sebuah
ritual pembacaan nadhom Bait Duabelas. Dalam sehari semalam,
santri diwajibkan membaca Bait Duabelas secara berjamaah minimal
tiga kali, yakni setelah salat asar, setelah isya, dan setelah subuh.
Dengan cara itulah suluk Bait Duabelas yang lahir pada awal abad
20 tersebut tetap bertahan hingga kini. Dari generasi ke generasi,
para santri membacanya, memahami kandungan maknanya, dan
menjadikannya pedoman dalam mengarungi kehidupan di dunia.
Meskipun pembacaan secara personal atas naskah Bait Duabelas lebih
diutamakan, tetapi pembacaan pada umumnya dilakukan secara aural
yang diperdengarkan kepada publik dan karenanya, bersifat populis.
Bait Duabelas merupakan “ilmu ilham” yang diperoleh setelah
Syekh Muhammad Nur melaksanakan khalwah suluk mujahadah
selama 9 tahun, dari 1910 hingga tahun 1919. Laku suluk yang
terekam dalam naskah Fatḥul ‘Ārifīn ini terdiri dari dua tahapan.
Tahap pertama disebut suluk abrar, terdiri dari suluk irodah dan suluk
hidayah, yang dilaksanakan selama enam tahun. Masa sisanya, selama
tiga tahun, disebut suluk muqarrabin. Bait Duabelas lahir pada
momen akhir pelaksanaan khalwah suluk mujahadah.
Ada tiga aspek menyangkut signifikansi studi tentang Bait Duabelas
ini. Pertama, suluk berbasis bilangan yang susunannya menimbulkan
teka-teki ini menyimpan suatu semesta pengatahuan yang luas. Oleh
karena itu, upaya untuk mengungkap struktur, kandungan makna, dan
segi kesastraan naskah tersebut menjadi penting secara filologis. Naskah
yang berbentuk nadhom dan gubahan metrum-metrum macapat ini
juga memberikan wawasan mengenai dunia sastra yang melingkupinya,
sastra Jawa tradisional.1
Kedua, suluk itu pernah “diadili” dalam sebuah kongres ulama yang
dipimpin oleh salah seorang ulama besar saat itu, KH. Abdul
Wahab
Hasbullah2 dari Tambak Beras Jombang. Sebagai teks keagamaan,
Bait Duabelas dianggap menyimpang dari normativitas agama,
ilmu setan, dan karenanya, sesat. Ada upaya peminggiran, eksklusi 275
sebuah komunitas keagamaan oleh kelompok mayoritas, mainstream
keagamaan.
Ketiga, kelestarian dan keterbacaan naskah melalui komunitas-
komunitas pembaca Bait Duabelas merefleksikan dinamika dan dialektika
Bait Duabelas di masyarakat. Naskah suluk Bait Duabelas bukanlah
naskah mati, melainkan naskah hidup (living manuscript) yang
keterbacaannya hingga kini mengandaikan suatu “pembangkangan”,
negosiasi, bahkan dalam batas tertentu, kompromi dengan Islam
mainstream.
Studi ini dapat memberikan kontribusi bagi penulisan historiografi
alternatif tentang Islam di Jember. Penulisan historiografi
konvensional hampir tidak memberi tempat bagi keberadaan kaum
splinter dan pinggiran. Historiografi Islam juga nyaris tidak menyajikan
historical accounts–periwayatan sejarah− tentang komunitas yang
menyimpang dari tradisi mainstream Islam. Oleh karena itu, paralel
dengan aktualitas sosio-historis dan kultural mereka yang
terpinggirkan, sejarah mereka pun terpinggirkan dan sekadar
menempati “margin of history”. Dengan menyuarakan suara-suara
pinggiran, studi ini diharapkan dapat menawarkan diskursus
alternatif bagi “pusat”. Suluk Bait Duabelas, harus dibawa ke atas
panggung sejarah (center of history) Islam Jember, tidak untuk dinista,
melainkan diterima secara arif sebagai bagian dari keragaman Islam.

Bait Duabelas dalam Tradisi Sastra Jawa:


Resistensi Terhadap “Pusat”.
Tradisi pernaskahan di dunia Melayu-Indonesia berhubungan
erat dengan proses Islamisasi yang terjadi di wilayah setempat.3
Pada umumnya naskah-naskah tersebut ditulis untuk kepentingan
penyebaran dan transmisi pengetahuan keislaman melalui lembaga-
lembaga pendidikan keagamaan, misalnya pesantren, surau, dayah,
rangkang, dan lain-lain.4 Sebuah kajian atas naskah keislaman pun
dengan sendirinya akan memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap berbagai upaya rekonstruksi Islam, baik menyangkut sejarah
sosial maupun intelektualnya.
Untuk naskah-naskah Nusantara, sepanjang sejarahnya, keberadaan
naskah-naskah tersebut sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tradisi
Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015
besar Islam yang sejak abad ke-7 sudah mulai merembes masuk ke
wilayah Melayu-Nusantara. Dalam hal ini, Islam diyakini membawa
276
tradisi tulis di kalangan masyarakat Melayu-Nusantara sehingga dalam
perkembangannya tradisi Islam ini turut mendorong lahirnya sejumlah
besar naskah, khususnya naskah-naskah keagamaan. Melalui tradisi
Islam ini misalnya, masyarakat Melayu-Nusantara mulai memiliki
kebiasaan untuk mencatatkan berbagai pemikiran dan hal penting
lainnya dengan menggunakan tulisan Jawi (bahasa Melayu dengan
aksara Arab) atau bahasa Pegon (bahasa Jawa dan Sunda dengan aksara
Arab), di samping tentunya dengan bahasa Arab itu sendiri.
Namun, keberadaan naskah-naskah bernapaskan Islam “kurang
mendapat tempat” dalam tradisi filologi kolonial. Dalam konteks
kajian naskah Jawa, misalnya, filologi kolonial memberi gambaran atas
sastra Jawa yang dianggap mencapai zaman keemasan dengan ditulisnya
teks- teks kakawin oleh para pujangga keraton Jawa pada zaman
klasik, yaitu abad ke-9 sampai abad ke-14. Teks-teks itu merupakan
puncak dari kebudayaan Hindu-Budha. Menurut gambaran itu, zaman
emas sastra Jawa tersebut diakhiri dan hancur oleh kedatangan Islam
pada akhir abad ke-15.5
Pergulatan Nancy K. Florida terhadap naskah-naskah Kuno
menjadi model pembacaan naskah Bait Duabelas ini. 6 Ia membuka
perspektif baru analisis tentang “kedalaman” sastra Jawa dan bagaimana
peran kolonial Belanda dalam politik kebudayaan di Jawa. Karyanya
merupakan kontraposisi terhadap versi resmi tentang kesusastraan
Jawa dalam hal substansi yang dapat diamati, sambil menunjukkan
keragaman substansi budaya tandingan, hal yang tidak akan dijumpai
dalam “bacaan” wajib tentang kebudayaan Hindu-Budha sebagai
budaya tinggi (high culture) yang disederhanakan dan diagungkan.
Nancy K. Florida menyajikan perspektif yang berbeda dari tradisi
filologi kolonial yang dianggapnya gagal ”melihat” signifikansi Islam
dalam teks-teks Jawa, bahkan Jawa yang dikategorikan dalam zaman
keemasan. Salah satu sumbangan penting Nancy adalah upayanya
membongkar apa yang disebut sebagai “naskah keraton”. Sebelum
Nancy, penulisan tradisional Jawa7 selalu identik dengan naskah
keraton dan lahir dari pujangga keraton. Lewat penelitiannya, Nancy
menemukan fakta bahwa sastra keraton tidak semata lahir dari keraton
dan dibacakan untuk komunitas yang terbatas di dalam tembok keraton.
Banyak “naskah keraton” justru lahir dari tradisi tekstual pesantren.
Tak dapat dipungkiri bahwa pesantren menjadi tempat penting bagi
produksi dan penyebarluasan tulisan tradisional Jawa. 8 Harus dicatat
bahwa hingga awal abad ke-19, pesantren memonopoli pembuatan 277
kertas pribumi di Jawa.9
Bait Duabelas merupakan sastra keislaman (baca: pesantren)
yang lahir dalam dunia Jawa tradisional. Ia tidak lahir dari pujangga
keraton, tetapi digoreskan oleh seorang kiai desa terpencil di bagian
utara Jember, yang merupakan pendatang dari pesisir utara Jawa Barat.
Meski demikian, salah satu ciri sastra Keraton seperti kisah dunia
peawayangan juga terdapat dalam Suluk Bait Duabelas.10 Bait
Duabelas digubah dalam metrum-metrum macapat, yang dahulu
(maupun sekarang) dimaksudkan untuk dibacakan (dilagukan) secara
lisan dan karenanya untuk dikonsumsi lewat pendengaran (aural)
sebagai lagu.11 Naskah suluk ini dibacakan untuk pendengar yang
beragam, meliputi laki-laki dan perempuan, dan terdiri atas kiai,
santri, dan masyarakat di sekitar pesantren tempat pembacaan itu.
Dalam beberapa hal, Suluk Bait Duabelas memiliki ciri
sebagaimana ditemukan dalam tradisi sastra Pesisir, meskipun tidak
bisa begitu saja diidentifikasi sebagai bagian dari sastra Pesisir. Meski
ditulis dalam huruf pegon yang menjadi salah satu karakteristik sastra
Jawa pesisiran, namun Bait Duabelas tidak mengandung istilah-
istilah atau idiom- idiom khas pesisiran. Metrum tembang
Asmaradana yang khas sastra Pesisir juga terdapat dalam suluk Bait
Duabelas, selain bait pembuka wadana seperti “Ingsun amiwiti amuji,
aněbut namaning Suksma.” Namun, Suluk Bait Duabelas tidak
mengandung cerita-cerita lisan sebagaimana dijumpai dibanyak
naskah-naskah pesisiran, seperti Sěrat Ambiya, Sěrat Yusuf, Sěrat
Abdul Kadir Jaelani.12
Tentang Fatḥul ‘Ārifīn
Fatḥul ‘Ārifīn bukanlah naskah sejarah, meski di dalamnya tergurat
sepenggal kisah upaya peminggiran dan pembungkaman terhadap
ajaran Suluk Bait Duabelas. Di luar itu, ia menguraikan gagasan,
ajaran, dan pengalaman kerohanian yang harus dijalankan oleh
mereka yang ingin mencapai kebenaran tertinggi dan berusaha melebur
dengan rahasia Sang Wujud.
Naskah ini ditulis tahun 1963/1383 H oleh KH. Shirotol Mustaqim,
salah seorang murid sekaligus sahabat dari sosok sentral yang kisah dan
ajarannya, Bait Duabelas, tertuang dalam naskah ini: Syekh Kemuning.
Naskah Fatḥul ‘Ārifīn ditulis atas permintaan beberapa murid Syekh
Kemuning yang menginginkan adanya buku induk tentang hal
278
ihwal riwayat dan ajaran sang guru. KH. Shirotol Mustaqim dianggap
orang yang paling otoritatif untuk menuliskannya. Maklum, pada
tahun 1383 H/ 1963, saat penulisan naskah ini, KH. Shirotol Mustaqim
merupakan satu-satunya saksi sejarah atas kehidupan Syekh
Kemuning.13
Naskah yang ditulis di kertas bergaris produksi Leces ini beraksara
pegon dan beberapa teks berbahasa Arab, dengan ukuran kertas
15x20 cm. Kondisi naskah sendiri cukup memprihatinkan: tidak ada
sampul dan banyak lembaran kertas yang terlepas dan tampak lusuh.
Meski secara umum naskah ini masih bisa dibaca dengan baik,
tetapi di beberapa tempat terdapat tumpahan tinta yang
mengaburkan teks. Kini, naskah tersebut menjadi koleksi pribadi
Kiai Supriadi, cucu KH. Shirotol Mustaqim Tanggul Jember.
Naskah setebal 344 halaman ini terbagi ke dalam dua jilid. Secara
umum, jilid pertama memuat kerangka teoritik-normatif bagi muatan
naskah jilid kedua. Pembahasan dalam jilid ini di antaranya mencakup
konsep keimanan, mukjizat, tentang kaum ‘arifi{>n, hakikat dan ciri-
ciri wali, karomah, hingga konsep ilham dan mukasyafah. Selain itu,
dalam jilid ini juga terdapat deskripsi yang cukup detail terkait
tahapan laku suluk dan pencapaian mukasyafah Syekh Kemuning yang
tertuang dalam Bait Duabelas. Bahasa yang digunakan dalam jilid
pertama ini adalah bahasa Arab dengan menyertakan terjemahannya
dalam bahasa Jawa aksara pegon.
Jilid kedua terutama memuat riwayat hidup Syekh Kemuning,
rincian suluk Bait Duabelas, dan kontroversi yang melingkupinya.
Dalam jilid kedua ini pembahasan tentang pencapaian mukasyafah
diulas kembali secara lebih elaboratif dan analitis, mencakup misalnya
persyaratan menjalankan suluk sebagaimana yang dicontohkan oleh
Syekh Kemuning, juga tentang ‘aqāid mukasyafah. Di akhir naskah
terdapat kolofon yang cukup unik, yakni penggabungan sistem
penanggalan Arab, Masehi, dan ḥisāb al-jumāl (chologram):
“...Tammat fī yaum al-jum’ah al-fāhīn ṣafar hilāl tis’un. Al-
salāmu‘alaikum wa raḥmatu Allāhi wa barakātuhu wa magfiratuhu wa
riḍwānuhu. ‫ ﺻﻔﺮ‬: ‫ا ط‬
٤٨٣١ :٩ :‫ غ ث ف د ﺻﻔﺮ‬1964-6-19 ‫ ﻳﻮﻧﻴﻪ‬.
Dalam pengantar jilid kedua, KH. Shirotol Mustaqim
mengemukakan alasan mengapa menulis naskah ini dalam bahasa Jawa
n tembung Jowo ngoko Jowo kasar
g
o
k
o
,

J
a
w
a

k
a
s
a
r
:


D
e
n
e

i
k
i

r
i
s
a
l
a
h

i
k
u
coro Jowo Wetan rodo menengah. Perlu kangge nerusne risalah ingkang
coro Arab, supoyo gampang olehe ngertine (risalah ini ditulis dalam
bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa kasar, bahasa yang digunakan di 279
Jawa bagian timur agak ke tengah agar mudah dipahami)”.14 Selain
itu, capaian mukasyafah Syekh Kemuning dan perolehan ilhamnya
juga berupa bahasa Jawa.
Alasan penulisan naskah dalam bahasa Jawa ini juga dikuatkan
dengan mengutip pernyataan KH. Sholeh Darat Semarang yang
menyontohkan bagaimana kitab Syu’batu al-Imān awalnya ditulis
dalam bahasa Faris oleh Sulaiman Al-Farisi, disalin ke bahasa Cina,
ditulis ke dalam bahasa Arab, kemudian oleh ulama Banjar di tulis
dalam bahasa Melayu, lalu oleh KH. Sholeh Darat disalin ke bahasa
Jawa. Oleh karena itu, KH. Shirotol Mustaqim menulis: “Iki risalah
sun arani risalah Fatḥul ‘Ārifīn. Asale lughot Jowo lajeng dipun alih lughot
Arab perlune lil-istikmāl” (risalah ini saya namai risalah Fatḥul ‘Ārifīn.
Asalnya berbahasa Jawa kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa
Arab).15
Lalu, siapa sebenarnya KH. Shirotol Mustaqim, sang penulis
naskah Fatḥul ‘Ārifīn? KH. Shirothol Mustaqim lahir di Banyuwangi
tahun 1871.16 Pada tahun 1880 ia mengikuti pamannya, KH.
Muhammad Anwar, yang menjabat Penghulu Hakim di Lumajang
dan menyelesaikan sekolah dasarnya (SR) di sana. Riwayat pendidikan
selanjutnya identik dengan pendidikan pesantren, mulai dari
Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Pesantren Sono, Pesantren Jasermo
Wonokromo Surabaya. Terakhir, pada 1908-1912, KH. Shirotol
Mustaqim belajar di Pesantren Syaikhuna M. Kholil Bangkalan.
Pesantren terakhir ini sangat menentukan jalan hidup KH. Shirotol
Mustaqim hingga akhir hayatnya. Suatu ketika, saat hendak pulang
setelah menyelesaikan pendidikan selama empat tahun, KH. Kholil
berpesan mengenai empat hal:
“Jika kamu pulang ke Jawa,17 singgahlah dulu ke masjid Ampel dan
bermalamlah di sana. Sampaikan salam saya kepada kaum muslimin-
muslimat Serbet dan sekitarnya. Jika kamu hendak kawin, carilah
perempuan yang nasabnya dari Beru Pamekasan Madura. Dan dengarkan
ada di daerah Ning-ning Jember Kyai Tapa yang lamanya sembilan tahun,
dan Allah mengangkat derajatnya sebagai sulthon auliyā’ al-quthub. Pergilah
kamu ke sana sebab ilmu ilhamnya tanpamu tidak akan tersebar luas.”18
Perjumpaan KH. Shirotol Mustaqim dengan Syekh Kemuning
juga dilatarbelakangi oleh kegelisahannya dalam mencari jalan terbaik
menuju Tuhan. Dalam pengembaraannya sebagai salik, KH. Shirotol
Mustaqim mempelajari berbagai tarekat, dari tarekat Syattariah,
280
Naqsyabandiyah, Akmaliyah Ahmadiyah, Tijaniyah, Ghozaliyah
dan lain-lain hingga mencapai empat belas tarekat, tak satu pun bisa
membuatnya yakin akan kebenarannya, hingga akhirnya bertemu
dengan Syekh Kemuning.19
Tanggal 3 Syawal 1339 H (10 Juni 1921), KH. Shitothol
Mustaqim tiba di Kemuningsari Lor, bertepatan dengan waktu salat
asar dan ia pun ikut salat berjamaah. Usai salat, ia menemui Syekh
Kemuning. Setelah menyampaikan maksud kedatangannya untuk
mencari tarekat yang benar, Syekh Kemuning mengatakan:
“Di zaman sekarang ini kamu tidak bisa mengamalkan tarekat-tarekat itu
dan aku tidak mengizinkan mengamalkan tarekat Naqsyabandiah, karena
tidak sesuai dengan tarekatku, juga tidak ada mufakat ulama terkait
tarekat ini. Dalam kitab Adzkiya’ diterangkan bahwa idhlā dalīla ‘alā
ṭarīqi ilā al-ilāhi illā mutāba’ata al-rasūli al-mukmalā fī ḥālihi wa fi’ālihi
wa maqālihi fatatabba’anna wa tābi’an lā ta’dīlā (tidak ada dalil yang benar
atas perjalanan menuju Allah, melainkan harus mengikuti jejak Rasulullah
saw yang sempurna, yaitu mengikuti dalam perilakunya, perbuatannya,
perkataannya dan ikuti dan jangan sampai tidak diikuti).”20

Kisah perjumpaan KH. Shirotol Mustaqim dengan Syekh Kemuning


sekaligus pernyataan tokoh yang disebut terakhir tentang berbagai
tarekat, khususnya tarekat Naqsyabandiah, merefleksikan kontestasi
tarekat pada awal abad 20 di Jawa Timur, khususnya antara tarekat
Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan Tijaniyah. Dalam
perkembangannya, kontestasi yang mengarah ke konflik
menyebabkan perpecahan dalam organisasi induk tarekat “ortodoks”,
Jam’iyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu’tabarah.21

Syekh Kemuning: Dari Santri Kelana


Hingga Khalwah Suluk Mujahadah
Dilahirkan dengan nama kecil Abu Bakar, Syekh Kemuning
hidup dalam keluarga yang sederhana dan taat menjalankan
ibadah. Ia lahir pada tanggal 12 bulan Maulud tahun 1808 di Desa
Patalangan Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Jawa Barat
dan wafat di Kemuningsari Lor Jember pada tahun 1946.
Pendidikannya diperoleh dari berbagai pesantren yang terbentang
dari Jawa Barat hingga Jawa Timur.
Guru-guru dan pesantren-pesantren tempat menimba ilmu Syekh
Kemuning di antaranya: Imampuro Patalangan Cilimus Kuningan Jawa
Barat, Kiai Damsuki Pesantren Randubawa Kecamatan Mandirancan 281
Kabupaten Kuningan (pengamal tarekat Syattariah), Kiai Abdullah
Pesantren Tegal Gubuk Desa Halimpu Kecamatan Beber Kabupaten
Cirebon (pengamal tarekat Naqsyabandiah), Kiai Jauhari Pesantren
Bale Rante Desa Cikadane Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon
(ahli dalam ilmu Nahwu dan Sharaf), Kiai Langkir Kediri, Mbah
Yugo Kesamben Wlingi Kabupaten Blitar, Kiai Keling (Kiai Nawawi)
Pesantren Wringin Agung Pare Kediri, Kiai Waliyul Ashghor Pesantren
Al-Badar Sidoresmo, Desa Mojosarmo, Wonokromo Surabaya, Kiai
Abdullah Faqih Kebon Agung Kabupaten Pasuruan yang berasal
dari Cianjur Parahiyangan Jawa Barat (ahli tarekat), Pesantren
Kedayunan Banyuwangi, Kiai Imam Sibaweh, Kiai Imampuro, dan Kiai
Surgi Desa Gempeng Pacangaan Bangil, dan tabarukan dzikir tarekat
Haddadiyah ke Sayyid Yahya.22
Genealogi intelektual Syekh Kemuning tersebut mencerminkan
betapa warna tasawuf begitu kental dalam membentuk intelektualnya.
Unsur-unsur ajaran tasawuf pun beragam. Namun, dalam banyak
hal, unsur ajaran tasawuf Ibnu Arabi tampaknya kuat mempengaruhi
ajaran Syekh Kemuning sebagaimana tertuang dalam Bait Duabelas.
Syekh Kemuning, misalnya, mengutip hadis qudsi: “man ‘arafa
nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (barang siapa yang mengenal dirinya
sendiri, maka ia akan mengenal Tuhannya).” 23 Hadis ini kemudian
dijabarkan dalam konsep serba satu kesatuan secara manunggal
sebagai berikut:
“Kang aran ingsun iku moto, irung, cangkem, kuping, tangan, farji, sikil,
dhate satu. Kang nebut asmane sukmo qudroh, irodah, ‘ilmu, ḥayat, sama’,
baṣar, kalam, dhate satu. Kang paring murah ingdalem dunya mangke
lanang, wadon, syetan, syahwat, beras, maling, pajek, dzate satu. Kang
paring asih ing akherat kanjeng nabi Adam, ibu Hawa, syetan, syahwat,
wohe khuldi, suwargo, neroko, dzate satu”.
(Yang disebut “aku/diri” adalah mata, hidung, mulut, telinga, kelamin,
kaki: semua itu zat-nya satu. Yang kita puji adalah Allah yang memiliki
sifat qudrat, iradat, ‘ilmu, ḥayat, sama’, baṣar, kalam: semua itu zat-
nya satu. Yang Maha Pengasih di dunia, yaitu isinya berupa laki-laki,
perempuan, setan, syahwat, beras, pencuri, pajak: semua itu zat-nya
satu. Yang Maha Pengasih di akhirat, yaitu terciptanya Nabi Adam, Ibu
Hawa, setan, syahwat, buah khuldi, surga, neraka: semua itu zat-nya
satu).
Tasawuf Ibnu Arabi memang cukup kuat mempengaruhi tasawuf
Nusantara, khususnya terkait konsep wahdatul wujud yang dalam
282
dunia Jawa paralel dengan konsep manuggaling kawulo kelawan gusti.
Konteks ini pula yang membentuk tasawuf Syekh Kemuning, melalui
pengembaraannya ke pesantren-pesantren yang bernuansa tasawuf.
Guru-gurunya di pesantren pun memiliki afiliasi dengan tarekat yang
beragam, dari Syattariah, Naqsyabandiah, hingga Akmaliyah.
Pada tahun 1900 Abu Bakar menetap di Kemuningsari Lor Jember
dan mendirikan sebuah langgar yang digunakan sebagai pusat
kegiatan keagamaan di sekitar rumahnya. Pada tahun 1903, Syekh
Kemuning menunaikan rukun Islam kelima selama lebih kurang
tujuh bulan lamanya. Di tanah suci Makkah Abu Bakar berbaiat
tarekat Ghozaliyah di Jabal Qubais. Karena itu, Syekh Kemuning
pun mendirikan pondok-pondok penginapan berupa bilik-bilik bambu
yang mengitari masjid. Pesantren ini kemudian diberi nama
“Pesantren Nahdlatul Arifin”. Selain masyarakat sekitar Kemuningsari
Lor sendiri, santri juga berdatangan dari berbagai daerah di luar
Jember, seperti Banyuwangi, Bondowoso, Jawa Tengah, Jawa Barat,
bahkan Sumatera.
Pada 1910 Syekh Kemuning mulai melaksanakan khalwah suluk
mujahadah. Tepat pada hari Jumat tanggal 26 Maulud 1340 H/
1919 M, setelah sembilan tahun melaksanakan khlawah suluk
mujahadah, Syekh Kemuning tiba-tiba pingsan selama lebih kurang
1 jam 45 menit lamanya.24 Peristiwa ini disebut wushul (sampai)
kepada Robbul ‘Izzati. Maqam inilah yang dinamakan maqam
“ma’rifah musyahadah bil ayani”, sebagaimana tertulis dalam kitab
Kifāyat al-Adhkiyā’ bait ke-8: “wa ḥaqīqotun lawuṣūluhu li al-maqṣadi,
wa musyāhidun nur al-tajallī bi injilā” (hakikat ialah sampainya salik
kepada yang dituju dan bersaksi (melihat) akan adanya Nur Tajalli
(Allah),25 melihatnya dengan jelas dan itulah nikmat yang paling
agung.
Apa yang dialami oleh Sykeh Kemuning tersebut, menurut naskah
Fatḥul ‘Ārifīn, mengacu pada kitab Al-Hikam, dinamakan “sālikina”
atau “majdhubina”.26 Di dalamnya dijelaskan bahwa orang yang telah
wushul (sampai) kepada Allah dibagi menjadi dua. Pertama disebut
sālikin, yaitu mereka yang mengambil dalil setelah melihat kekuasaan
Allah dan mereka berkata: “saya melihat Allah setelah saya melihat
kekuasaan-Nya (roaitu allaha ta’ala ba’da kulli syai’: athar al-‘aliyyi
ibni abi ṭālib. Kedua disebut majdhubīn, yakni mereka yang mengambil
d n mereka berkata: “saya melihat
a
l
i
l

s
e
b
e
l
u
m

m
e
l
i
h
a
t

k
e
k
u
a
s
a
a
n

A
l
l
a
h

d
a
Allah sebelum saya melihat kekuasaan Allah (roaitu allaha ta’āla
qobla kulli syai’in): atsar abi bakri ash-shiddiq.27
Pencapaian Syekh Kemuning tersebut dinamakannya sendiri sebagai 283
ilmu mukasyafah atau ilmu ilham yang terlihat di Lauḥul Maḥfūẓ
dengan angka abjad:28
‫ﯾﺞ‬ ‫ج‬ ‫ج‬ ‫د‬ ‫ج‬
‫ز‬ ‫ج‬ ‫ﯾﺪ‬ ‫د‬ ‫ه‬
‫ﯾﮫ‬ ‫و‬ ‫ﯾﮫ‬ ‫و‬
‫د‬ ‫ح‬ ‫د‬ ‫ج‬ ‫ل‬ ‫ن‬
Rumusan di atas sebenarnya merupakan ringkasan dari ratusan
kalimat dan ribuan huruf yang harus diamalkan dan dibaca dengan
artinya sekaligus. Kini, rumusan tersebut telah tersusun menjadi sebuah
kitab yang dinamakan “Bait Duabelas”. Ilmu ilham atau mukasyafah
tersebut diterima oleh Syekh Kemuning secara bertahap dan
dituliskan oleh KH. Shirotol Mustaqim dari tahun 1924 hingga
1945.29

Struktur, Makna dan Aspek Lokalitas Suluk Bait Duabelas


Suluk Bait Duabelas bukan ilmu anggitan atau nukilan dari
kitab- kitab sebelumnya. Ilmu ini diyakini sebagai ilmu ilham, yang
diperoleh Syekh Kemuning saat wuṣūl, melihatnya di Lauḥ Maḥfūẓ.
Saat itu ia melihat langsung al-Quran dan Bait Duabelas. Bahkan, Bait
Duabelas dianggap memiliki status yang lebih tinggi ketimbang al-
Qur’an.
Bait Duabelas merupakan rumusan ajaran ilham yang diperoleh
Syekh Kemuning yang tertuang dalam dua belas rumus/nomor yang
merupakan penjumlahan dari 1-7-4: 1 tentang hakikat keesaan Allah,
7 menyangkut sifat-sifatnya (qudrah, irādah, ‘ilmu, ḥayāh, sama‘, baṣar,
kalām), dan 4 tentang pekerjaan Allah (jism, jirm, jauhar, ‘ard). Dua
belas nomor atau rumus tersebut turunkan lagi ke dalam rumusan-
rumusan yang secara garis besar dijabarkan sebagai berikut:
Nomor satu tiga: al-awwal satu, wa al-thānī pitu, wa al-thālith empat.
Satu awwal dhātu Allāhfi0 tegese dzate Allah sewiji: Allah waḥdahu qul
huwa Allāhu aḥad. Pitu thānī sifate Allah: qudrah, irādah, ‘ilmu, ḥayāh,
sama‘, baṣar, kalām. Empat thālith af‘ālu Allah/ pendamelane Allah:
jism, jirm, jauhar, ‘arḍ.
Nomer dua empat: al-awwal satu, wa al-thānī lima belas, wa al-thālithu
pitu, wa al-rābi‘ empat. Satu awwal dhātu al-insān, tegese awak sekujur
ora nono tunggale maneh. Lima belas thāni: kang jeneng insan kolowahu
ono endase, ono awake, ono uringe. Endas: endas, moto, irung,
cangkem,
kuping. Awake: endas, gulu, awak, pokang,31 sikil. Uringe: kulit,
daging, getih, balung, nyowo. Pitu thālis rahasiane awak/asrore awak,
284 tegese ingkang duweni roso pangroso: moto, irung, cangkem, kuping,
tangan, farji, sikil. Empat rabi‘ batine awak, dzat wājib al-wujūd gusti
Allah, nuraniyah jisime malaikat, rafīqatan jisime syetan, laṭīfan jisime
menungso. Semono akehe iku bekakase menungso siji durung asrore
asror, durung qalbu wa al-fu’ād : opo dene al-qalbu wa al-fu’ād iku
podo duwe bolo dewe-dewe. Wes sarehane menungso mau
dinadekaken koyo mengkono lengkape dipun tetepi perintah ingkang
penting, ingkang tan keno ora. Perintah kolowahu dipun dowohaken
ono ing ilham kaping telu rupane.
Nomer tiga tiga: al-awwal telu, wa al-thānī telu, wa al-thālith pitu.
Telu awwal: kudu weruh dzate Allah, kudu weruh sifate Allah, kudu
weruh fi‘ile Allah. Telu thānī: kudu weruh hukum adat, kudu weruh
hukum akal, kudu weruh hukum syara‘. Pitu thālith: kudu weruh gusti
Allah, kudu weruh malaikat, kudu weruh syaiton, kudu weruh poro
anbiya, kudu weruh poro auliya, kudu weruh poro ulama, kudu weruh
wong awam. Iki kabeh perkoro ingkang jumlahe telu tafsile: telulas
iku kewajiban sebagian kullu menungso kudu weruh lan ngerti. Lamun
ora weruh ora ngerti mongko iku dudu menungso ingdalem batin, bal
huwa ḥayawānun nāṭiqun. Mulo kudu pateng ngaji mumpung lagi
urip, supoyo ojo den padaake kaliyan kebo ‹lan› sapi.
Nomer empat tiga: al-awwal limo, wa al-thānī telu, wa al-thālith limo.
Limo awwal kudu weruh gusti Allah, lan weruh nabi Muhammad, lan
weruh malaikat Jibril: gowo wahyu Qur’an saking Allah. Perlune
konkon weruh Qur’an supoyo weruh dzate Allah, weruh sifate Allah,
weruh fi’ile Allah, weruho maning marang bapak Adam ibu Hawa’,
syaiton, syahwat, woh khuldi. Onodene iki ilham lamun dinaẓar serto
kongang tumandango ngaji kitab bab hadis ingkang ahli al-sunnah wa al-
jama’ah ben ora gendeng.
Nomer lima tiga belas: al-awwal telu, wa al-thānī telu, wa al-thālith telu,
wa al-rābi‘ telu, wa al-khāmis satu. Telu awal sempurnane menungso
manggon ono ing alam dunyo iku: nyambut gawe tani, nyambut gawe
dagang, nyambut gawe buruh.32 Tapi awas, telu thānī: kudu anut
perintah negoro, ngedohi larangan negoro, ngetoaken paweton
negoro. Telu thālith: anut perintahe gusti Allah, ngedohi cegahe gusti
Allah, ngetoaken pawetone gusti Allah. Telu rābi’: ngajiyo Qur’an anut
Rasulullah ittifāqu athār al-ṣaḥābah. Satu khāmis: nuwun cukup
sandang pangan.
Nomer enam limo: al-awwal limo, wa al-thanī limo, wa al-thālith limo,
wa al-rābi’ pitu, wa al-khāmis wolu. Iki bab asal-asale maknane ugo ono.
Atapi sareng gantang dino gantang sasi lajeng dawuh dadi iki nomer
dikonkon gawe sak bait maneh ugo rolas nomer maneh dadi makna
ingkang asal banjur ora diuneaken sebab wes tanpo guno besuk bakal
d afah ingkang rolas iki insyaallāh ta’ālā.
i
c
a
t
u
r

f
ī

b
ā
b
i
h
ā

y
e
n

n
g
u
t
u
k

o
l
e
h
e

m
o
c
o

m
u
k
a
s
y
Nomer tujuh empat: al-awwal satu, wa al-thānī sebelas, wa al-thālith N
songo, wa al-rābi’ limo. Satu awwal: kun kullu syai’ hālikun illā wajhah/ o
biḥaithu liman al-malik al-yaum lillāh al-waḥid al-qahhār. Sebelas thānī m
kun hidāyatan: alastu birabbikum qālū balā/ alastu birabbikum/ wolu e
qudrah, irādah, ‘ilmu, ḥayāh, sama‘, baṣar, kalām, wujūd. Qālū balā telu: r
nuraniyyah, raqīqah, laṭīfah: fī ālam al-‘ahdi wa al-mithāq. Songo thālith s
kun wilāyatan: Allāh khalaqakum wa mā ta‘malūn. Khalaqa papat: e
‘arasy, kursi, bumi pitu, langit pitu. Kum niro kabeh papat: jin, syaiton, p
malaikat, menungso, Gusti Allah kang gawe. Limo rābi’ kun fayakūn: u
jism, jirm, jauhar, ‘araḍ. Limo gusti Allah ingkang gawe thumma i’lam: l
mongko keri- keri becik weruho siro iki mukasyafah inkisyāf al-mubtadī u
arane: artine fi al-azal menungso durung maujud ‘inda Allāh kabeh h
kudu mengkunu māsyā Allāh kāna: Ba’dane iki nomer mulahi nomer
wolu iku diarani ‘ilmu al-muntahī arane: mungguh ibarat sepeur kereta t
api rel wes diatur koyo mengkunu sareng sepur wes melaku mung kari u
melaku nurut opo jare kenceng menggoke rel. Sepur ora biso menggok j
anging kelawan miturut menggoke rel. Dadi ‘ilmu al-muntahī owahe ilmu u
al-mubtadī gampangane wujude alam dunyo lan sak isine iki uwohe h
alam jabarut/ rancangan membangun pendirian wes den gambar ing :
zaman ‘ahdi wa al-mīthāq/ poro malaikat ingkang weruh lan nyekseni A
ing alam nasarut jabarut iku ngarep-ngarep ngenten-ngenteni kepingine l
doyo-doyo weruho yang gebyare ing zaman iku/ koyo opo rupane koyo -
opo kahanane. a
Nomer delapan empat belas: al-awwal limo, wa al-thānī limo, wa al- w
thālis| papat. Al-awwal limo wa al-thānī limo wa al-thālithu empat: Limo w
awwal: al-awwal beras, wa al-thāni bako, wa al-thālithu kopi, wa al-rābi‘ a
gulo/ wa al-khāmis teh. Limo thāni: al-awwal ngeliwet, wa al-thāni pecel, l
wa al- thālithu mangan, wa al-rābi‘ turu/ wa al-khāmis nyambut brujul. s
Empat thālis: al-awwal lengo, wa al-thāni uyah, wa al-thālithu lanang, a
wa al-rābi‘ wadon. Iki hukum adat luk ojo keliru paham hukum t
‘adiyun ingkang kesebut al-ladhī yaṣiḥḥ}u al-takhallufu ma‘a ṣiḥḥati al- u
tikrār abadan/ dudu hukum gāliban atawa hukum ‘ādat ‘urfan/ atawa ,
hukum adat biasa/ hukum ‘ādiyyun al-ladhī yaṣiḥḥ}u al-takhallufu ma’a w
ṣiḥḥati al-tikrār abadan/ fa farriq baina ‘ādiya al-thalāthah wa al- a
wāḥidah.
a
Nomer sembilan tiga: Al-awwal wolu, wa al-thānī empat, wa al-thālith satu. l
Wolu awwal sifate Allah ta‘ala qudrah, irādah, ‘ilmu, ḥayaḥ, sama‘, baṣar,
-
kalām: dzate Allah satu. Iki wajib akal/ ‘aqliyyun. Empat thāni sifat jaiz
t
Allah agawe: jism, jirīm, jauhar, ‘araḍ. Satu thālith muḥāl loro telu: Allāh
h
waḥdah lā syarīkalah. Utawi iki nomer iku nerangaken bab ḥukmun
ā
‘aqliyyun (dadi mestine). Dadi mestine ḥukmun ‘aqliyyun iku telu: yo iku
n
wajib, muhal, jaiz. Ora hukum akal coro biasa. Akal biasa iku den arani
i
ḥillah/ hukum hilah iku ora masuk maring iki bab/ taammal/ fafham/ lā
s
tajhal.
a
tu, wa al-thālithu
satu, wa al-rābi‘ satu, wa al-khāmis satu/ wa al-sādis satu/ wa al-sābi‘ satu/
285
ya‘nī hukum syara‘ bima‘nā wajib (1), sunnah (2), wenang (3), haram (4),
makruh (5), sah (6), batal (7)
286
Rumosoku yen bab hukum syara’ koyo-koyo ora nono sakdurunge ora
nono kang madani ingdalem unen-unene. Faṭlub fī al-fiqh jamī‘an.
Nomer sebelas enam: Al-awwal lima puluh, wa al-thāni tiga puluh, wa
al-thālithu tiga, wa al-rābi‘ empat, wa al-khāmis delapan/ wa al-sādis
empat. Iki bab unine keterangane wes mari diwoco ingdalem bab ingkang
pertama ingkang keriyin ing dalem bab ‘aqā’id. Farji‘.
Nomer dua belas: Terisi lima belas bi al-tafṣīl atawa telu bi al-ijmāl iyo iku
enam enam tiga. Enam awal selamete ing dunyo: nyambuto gawe tani/
nyambuto gawe dagang/ nyambuto gawe buruh/ anut perintah negoro/
ngedohi larangan negoro/ ngetokaken pawetone negoro. Enam thānī
selamete akherat: anut perintahe Allah/ ngedohi cegahe Allah/
ngetoaken pawetone gusti Allah/ serto nuwun-nuwun mati Islam/ serto
tetep iman/ sinapuro duso. Telu thālith: i‘timād: biso nganggo hukum
adat, biso nganggo hukum akal, biso nganggo hukum syara‘.
Intahā kalām bait ingkang rolas larik ingkang awal iyo iki bait: ‘ilmu
inkisyāf al-ilhām ingkang mulai pertama kali kebukae ilhame romo guru
Kemuning bakdane yaṣ’udu al-kalimu al-ṭayyibu wa al-‘amalu al-ṣāliḥ
yarfa‘uhu (faidah ‘ājibah).33
Bait pertama menjelaskan hakikat Allah; bait kedua menjelaskan
tentang hakikat manusia; bait ketiga menjelaskan kewajiban manusia
untuk mengenal Allah dan hukum-hukum dalam kehidupan manusia
(hukum akal, hukum syara’, dan adat); bait keempat menjelaskan
kewajiban mengetahui Allah, malaikat, rasul-Nya, juga Al-Qur’an; bait
kelima menjelaskan apa yang harus dilakukan manusia di dunia; bait
keenam kurang jelas apa yang diajarkan; bait ketujuh menjelaskan
keberadaan Allah dan makhluk-makhluknya; bait kedelapan menjelaskan
hukum adat, bait kesembilan menjelaskan hukum akal; bait kesepuluh
menjelaskan hukum syara’; bait kesebelas tidak jelas menjelaskan apa;
menjelaskan perintah kepada manusia untuk bekerja mencari bekal
hidup, kewajiban terhadap negara, dan kewajiban untuk taat terhadap
Allah.
Selain nazam Bait Duabelas di atas, Bait Duabelas juga mencakup
tembang-tembang macapatan dengan menggunakan metrum Jawa
Asmaradana, Sinom, Pangkur, Kinanti, dan Dandanggula. Tembang-
tembang ini merupakan bagian dari Bait Duabelas yang berfungsi
memberikan nasehat-nasehat kehidupan, juga menceritakan riwayat
dan penghormatan terhadap Syekh Kemuning. Berikut salah satu
tembang dengan metrum pangkur:
Wonten kiyahi setunggal Ada seorang ulama d
Abu Bakar asal nami Abu Bakar namanya u
Kang topo ing kidul gunung Yang bertapa di selatan gunung n
Kang dados tukang ngladeni Yang menjadi pelayan)
Gusti Allah Kang Moho Agung Gusti Allah Yang Maha
i
Agung Sareng sampun ketrimo Setelah diterima oleh Allah a
Derajat sampun dumugi Naiklah derajatnya
i
Tembang ini bercerita Syekh Kemuning yang bernama asli Abu n
Bakar. Syekh Kemuning melaksanakan mujahadah di selatan gunung i
Argopuro, yaitu didesa Kemuning Sari Lorselama sembilan tahun dan ,
menjadipelayan Allah (selalu bermujahadah) sehingga memperoleh d
inkisyaf (penyingkapan tabir) dan Allah mengangkat derajatnya sebagai a
wali Quṭbul Ghauṭ. l
Suluk Bait Duabelas merefleksikan suatu pergulatan ajaran a
sufisme dan realitas kehidupan manusia sehari-hari yang sarat dengan m
konteks lokalitasnya. Tidak seperti pada umumnya, suluk yang lebih
mementingkan kesalehan individual dan eskapis, Bait Duabelas a
mencerminkan suatu upaya transformasi tasawuf ke dalam realitas j
kemanusiaan, upaya untuk membumikan tasawuf. Manusia, misalnya, a
untuk bisa melangsungkan kehidupannya di dunia dan menjalankan r
ibadah, maka ia harus melakukan berbagai ikhtiar di antaranya: a
ngeliwetun, yang maksudnya ialah bahwa menurut hukum adat kalau n
beras ingin dibuat nasi haruslah dimasak dulu, agar tembakau bisa
dihisap haruslah dibakar dulu, kopi gula dan teh agar enak B
diminum airnya haruslah dimasak dulu. a
Nyambelun, maksudnya ialah kalau nasi ingin lebih enak di makan i
perlu ditambah/dibarengi lauk–pauk, minimal dengan sambal. t
Manganun, maksudnya menurut adat kalau perut ingin kenyang maka D
nasi itu harus dimakan, kopi dan teh itu harus diminum. Turuwun, u
maksudnya kalau kita lelah, maka dianjurkan untuk beristirahat/ a
tidur. Minya’un, maksudnya ialah agar api bisa menyala haruslah b
ada minyaknya; agar mobil bisa berjalan haruslah ada bensinnya; e
agar pesawat bisa terbang haruslah ada avturnya; agar makanan bisa l
digoreng haruslah ada minyak gorengnya, begitulah seterusnya. a
Brujulun, maksudnya ialah jika manusia ingin mendapat beras, kopi, s
gula, teh dan tembakau, maka dia harus bekerja/menjalankan ikhtiar. ,
Uyaun maksudnya ialah agar makanan atau minuman lebih sedap h
rasanya maka ia harus diberi garam.34 a
Unsur tasawuf falsafi kuat mewarnai ajaran ini. Segala sesuatu di r
u
s dikembalikan kepada Allah.
287
”Berhati–hatilah kalian semua dalam menggunakan hukum–hukum
tersebut, luruskanlah hati kalian jangan sampai mengatakan nasi/beras
288 yang bisa mengenyangkan; tembakau, kopi, gula dan teh yang bisa
menyegarkan dan lain sebagainya. Kalau kalian mengatakan seperti
itu maka hukumnya kafir. Dan kalau kalian mengatakan nasilah yang
mempunyai kekuatan bisa mengeyangkan; tembakau kopi gula dan teh
yang mempunyai kekuatan bisa menyegarkan, maka hukumnya bid’ah.”

Gambaran tentang ragam pekerjaan masyarakat lokal/pinggiran


juga terepresentasikan dalam Bait Duabelas. “Nyambut gawe tani,
nyambut gawe dagang, nyambut gawe buruh”, merupakan pekerjaan
mayasrakat tradisional, memang, untuk konteks saat itu.
Kemuningsari Lor memang daerah pertanian dan perkebunan. Petani
dan buruh tani/ perkebunan adalah pekerjaan kebanyakan masyarakat
di desa tersebut. Konsep manunggaling kelawan gusti memberi
spirit terhadap kehidupan politik masyarakat Jawa tradisional.35 Demi
keberlangsungan dan keselerasan kehidupan dunia, dituntut
ketaatan total tiap-tiap individu dalam terhadap negara. Konsep
integrasi individu dengan negara ini terefleksikan dalam ungkapan
“perintae negoro, cegae negoro, pawetoni negoro”. Dalam konsepsi ini
hubungan antara rakyat dan penguasa merupakan satu kesatuan
organik. Rakyat harus patuh pada perintah negara, larangan negara,
juga melaksanakan kewajiban sebaga
warga negara, seperti membayar pajak.
Konsep tentang manusia dalam Bait Duabelas mencerminkan
kesatuan wujud dalam keragaman, konsep yang sangat dipengaruhi
kuat oleh tradisi sufisme Ibnu Arabi tentang wahdatul wujud dan
insan kamil. Zat manusia, misalnya, dideskripsikan secara anatomis
terkait dengan berbagai organ tubuh manusia yang kesemuanya
membentuk kesatuan integral. “Dzatul insan (badan manusia) yang
sempurna terdiri dari limabelas unsur, yakni 1. Kepala, yang juga terdiri
dari lima unsur: endas (kepala), moto (mata), irung (hidung), cangkem
(mulut), kuping (telinga); 2. Badan, yang terdiri dari lima unsur: endas
(kepala), gulu (leher), awak (badan), pukang (paha), sikil (kaki); 3.
Unsur kehidupan manusia, yang juga terdiri dari lima unsur: kulit
(kulit), daging (daging), getih (darah), belung (tulang), nyowo
(nyawa).36
Lokalitas dan spirit pribumisasi tasawuf dalam Suluk Bait Duabelas,
dengan demikian, memiliki fungsi etis-transformatif dalam ruang
sosial masyarakat Kemuningsari Lor. Syekh Kemuning, melalui Bait
D berusaha membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural,
u politik, dan keagamaan orang-
a
b
e
l
a
s

d
a
n

P
e
s
a
n
t
r
e
n

N
a
h
d
h
a
t
u
l

A
r
i
f
i
n
,
orang Jawa di pedesaan, khususnya di Kemuningsari Lor. Bait a
Duabelas tidak hanya mengajarkan bagaimana mencapai kebahagiaan j
di akhirat dengan menjalani laku suluk, tetapi juga mengajarkan a
pentingnya kehidupan dunia dan tertib sosial sebagai sarana r
mencapai akhirat. a
Meski suluk Bait Duabelas lahir di Kemuningsari Lor Jember, tetapi n
Cilimus Kuningan harus mendapat tempat khusus dalam konteks n
sosio-kultural Bait Duabelas. Idiom-idiom lokal dan konsep y
“hukum adat” dalam Suluk Bait Duabelas merepresentasikan lokalitas a
yang bisa kita jumpai baik dalam konteks sosio-kultural Jember Jawa .
Timur maupun Kuningan Jawa Barat. Jember, selain daerah P
persawahan, juga merupakan daerah perkebunan yang dibuka e
pertama kali sejak era kolonial Belanda. Sejak abad ke-19, beberapa r
komoditas perkebunan yang laku di pasaran Eropa bisa dijumpai di n
sini, di antaranya tebu, tembakau, teh dan kopi.37 Kuningan pun y
demikian, daerah ini menjadi salah satu sentra perkebunan Belanda di a
wilayah Jawa Barat dengan produk perkebunan yang sama dengan t
Jember.38 a
a
Pengadilan Terhadap Bait Duabelas: n
Kasus Syekh Kemuning, Kiai Imampuro, dan Kiai Sambelun
Terutama sejak akhir abad ke-19, walaupun sudah dimulai sejak abad s
17, Islam Nusantara yang bernuansasufistik mulaitergeserolehcorak Islam e
formalistik atau Islam syariat.39 Islam yang bercorak sufistik c
sebenarnya masih berkembang, tetapi keberadaannya semakin a
terpinggirkan oleh warna Islam syariat yang semakin dominan. Gerakan r
Islam reformis yang berlangsung seiring dengan semakin banyaknya a
orang Nusantara yang pergi haji ke Mekkah sekaligus belajar Islam di
sana semakin kuat untuk menjadi gerakan Islam mainstream di t
Nusantara.40 e
Dalam konteks sosio-historis itulah Bait Duabelas lahir. Warna r
sufisme Ibnu Arabi dalam ajaran-ajaran Syekh Kemuning. Gesekan b
antara Islam sufistik dan Islam syariat menjadi latar kesejarahan Bait u
Duabelas. Corak Islam sufistik, yang telah lama mem-pribumi dan k
menyatu dengan kearifan (local wisdom) dan pengetahuan lokal (local a
knowledge) terepresentasikan dalam ajaran-ajaran Syekh Kemuning.
Namun, justru nuansa lokalitas yang sangat kental itulah yang d
membuat Syekh Kemuning harus menghadiri beberapa sidang i
“pengadilan” keagamaan dalam rangka klarifikasi (tabayyun) ajaran- d
epan umum oleh santri-santri Syekh Kemuning bahwa ia merupakan
seorang wali Quthubul Ghouts dengan
289
karomah terbesarnya Bait Duabelas menimbulkan kontroversi di
masyarakat. Dialog bahkan perdebatan yang berujung pada mujadalah
290
(ketegangan) seringkali terjadi. Kontroversi Bait Duabelas terkonsentrasi
pada tiga hal, yaitu bahasanya yang tidak lazim, sistem bacaannya,
dan predikat ilmu ilham yang dilekatkan padanya. Untuk
menghindari ketegangan yang berkepanjangan, para ulama se-Jawa
yang diprakasai KH. Muzayyin Rambipuji mengadakan dialog dengan
Syekh Kemuning untuk mengklarifikasi ajaran-ajaran dalam Bait
Duabelas.
Peristiwa yang terjadi pada tahun 1933 itu dilaksanakan di Kantor
Kawedanan Rambipuji yang difasilitasi oleh Wedono saat itu, Said
Hidayat, dan dihadiri pula oleh kontralir (bupati) Jember serta 173
ulama se-Jawa. Dalam forum itu Syekh Kemuning menjawab berbagai
pertanyaan yang diajukan para ulama yang hadir. Melalui penjelasan
yang lugas dan meyakinkan, sang Wedana akhirnya memutuskan
bahwa ajaran Bait Duabelas tidak ada yang bertentangan dengan syariat
Islam. Syekh Kemuning pun terus mengajarkan Bait Duabelas kepada
para santrinya, bahkan memproklamirkan diri sebagai wali dengan
gelar Quṭubul Ghauth.41
Forum “pengadilan” Bait Duabelas ternyata tidak berhenti di
situ, tapi terjadi beberapa kali di beberapa tempat, di antaranya di
Banyuwangi, pihak komunitas Bait Duabelas di wakili oleh Kiai
Imampuro, salah seorang sahabat Syekh Kemuning, berhadapan
dengan para ulama Banyuwangi yang dipimpin oleh KH. Abdul
Wahab Hasbullah Jombang.42 Bersama salah seorang muridnya, Kiai
Imampuro menghadiri kongres tersebut. Ketika muridnya
membacakan Bait Duabelas, pada bacaan Bait kedelapan KH. Abdul
Wahab Hasbullah, yang dalam naskah ini digambarkan oleh KH.
Shirotol Mustaqim seperti Dasamuka Sinwaka adik dari Patih
Rahwana Umba Karna, memintanya berhenti sambil mengatakan
bahwa Bait Duabelas dilarang dibaca kembali karena ia tak lain
adalah ilmu syetan, tidak sejalan dengan ajaran Ahli Sunnah wal
Jamaah: “Iki ilmu keliru, ilmu luput, ilmu ora bener. Koq ono ilmu
bicoro beras, bako, kopi, gulo, eteh. Wes, ora oleh diunek-unekaken
maleh. Iki ilmu dudu ilmune menungso, ilmune syaiton (ini ilmu keliru,
ilmu salah, ilmu tidak benar. Koq ada ilmu bicara tentang beras,
tembakau, gula, teh. Sudah, jangan dibaca lagi. Ini bukan ilmu
manusia, tetapi ilmu setan).”43
Pulang dari kongres, Kiai Imampuro menghadap Syekh
K inya di arena kongres. Syekh
e
m
u
n
i
n
g

d
a
n

m
e
n
c
e
r
i
t
a
k
a
n

a
p
a

y
a
n
g

d
i
a
l
a
m
Kemuning mendengarkan dengan seksama lalu berucap: “pak kiyahi
Imampuro pun kuwatos kiyahi Abdul Wahab la yaḍurru wa lā yanfa’/
kulo diungkiri wong sak alam dunyo koq bakal maraake kuru mboten 291
maraake wurung suwargo mboten maraake wurung dados kaum āfirīn
mboten maraake ciloko akhirat mboten/ pun pun pun pak kiyahi ampun
susah (pak kiai Imampuro tidak perlu khawatir. Kiai Abdul Abdul
Wahab Hasbullah itu tidak la yaḍurru wa lā yanfa’.44 Meskipun
manusia di seluruh dunia menolak saya, itu tidak akan membuat saya
gagal masuk surga, tidak membuat saya gagal menjadi kaum arifin, juga
tidak membuat saya celaka di dunia maupun di akhirat. Sudahlah, Kai
Imampuro tidak perlu sedih).”45
Kasus yang dialami Kiai Sambelun di Karangsari Cirebon lebih
berat dibanding Syekh Kemuning di Jember dan Kiai Imampuro
di Banyuwangi. Kiai Ishaq, yang kemudian popular dengan nama
Kiai Sambelun”46 Karangsari Cirebon, sempat “menghilang” akibat
penyerbuan dan perusakan masjid di pesantrennya pada tahun 1945
oleh ulama dan masyarakat sekitar pesantren. Mereka menganggap
{Kiai Sambelun mengajarkan paham sesat. Akibat penyerbuan itu,
Kiai Sambelun melarikan diri dan kembali lagi ke Karangsari sekaligus
membangun kembali masjid yang telah dihancurkan massa pada 1955
dan memberinya nama Masjid Pancakusuma Rahayu.
Apa yang dialami Kiai Sambelun tidak membuatnya menyerah dan
meninggalkanajaranSulukBait Duabelas,tetapijustrumengukuhkannya
dengan berafilisasi dengan RH Sugandhi Kartosubroto, pendiri
sekaligus Ketua Umum Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
(MKGR). Dengan bergabungnya Kiai Sambelun dan Pesantren
Mukasyafah Arifin Billah ke MKGR, berbagai ancaman dan intimidasi
dari mereka yang menolak Bait Duabelas perlahan mulai teredam.
Bahkan, hingga kini Pesantren Mukasyafah Arifin Billah tetap berada
di bawah naungan bendera MKGR.47
Dinamika Bait Duabelas dari sejak kelahirannya hingga kini
tidaklah berjalan mulus. Banyak konflik terjadi terkait perkembangan
komunitas pembaca Bait Duabelas. Namun, berkat terbitnya sertifikat
keabsahan dan afiliasi dengan MKGR tersebut, mereka merasa lebih
aman dibanding sebelum sertifikat tersebut terbit. Sebagaimana
dikatakan Kiai Wagimin, pengasuh Pesantren Mukasyafah Arifin Billah
Karangsari Cirebon, afiliasi dengan MKGR dan Golkar menjadi bagian
dari strategi komunitas Bait Duabelas untuk menghindari gesekan
dengan masyarakat yang anti terhadap Bait Duabelas. Tidak hanya
itu, menurut Kiai Wagimin, komunitas pembaca Bait Duabelas sudah
292
seharusnya mendirikan ormas keagamaan Bait Duabelas,
sebagaimana yang dilakukan LDII yang juga berafiliasi ke MKGR.
Terakhir, klarifikasi dilakukan dihadapan Menteri Agama dan
ajudan presiden Sukarno, Sugandi, pada tahun 1961 di Jakarta. Dalam
forum inilah kemudian Menteri Agama menerbitkan sertifikat
keabsahan Bait Duabelas dan terdaftar di Departemen Agama RI
Bagian “K” Kepala Seksi IV tertanggal 14 Pebruari 1961 sebagai
Keluarga Besar Arifin Billah dengan ilmu mukasyafah Syekh
Kemuning yang diberi nama Bait Duabelas.

Transmisi dan Jaringan Komunitas Pembaca Bait Duabelas


Sejak diterbitkan sertifikat keabsahannya, Bait Duabelas mulai
menyebar di masyarakat, meskipun dalam ruang sosial yang terbatas,
melalui komunitas-komunitas pembaca Bait Duabelas. Komunitas-
komunitas ini terbentuk seiring dengan banyaknya alumni Pesantren
Nahdhatul Arifin yang terjun ke tengah-tengah masyarakat. Di
daerahnya masing-masing, mereka secara istiqomah membaca Bait
Duabelas. Meskipun pada awalnya pembacaan dilakukan secara
personal, namun banyak juga santri-santri yang belajar agama di
musala-musala milik santri alumni Pesantren Nahdhatul Arifin yang
tertarik untuk membacanya. Terutama dari sinilah transmisi dan
penyebaran Bait Duabelas berlangsung.
Naskah yang berusia hampir satu abad ini agaknya dapat
menggambarkan salah satu model Islamisasi dan jalur transmisi
pengetahuan keislaman, khususnya di wilayah Jember. Tingkat
persebaran komunitas pembaca Bait Duabelas yang cukup luas dan
masif tersebut berjalan berkelindan dengan beragamnya daerah asal
santri yang menuntut ilmu di pesantren Nahdlatul Arifin di bawah
bimbingan Syekh Kemuning.
Santri alumni Pesantren Nahdhatul Arifin sendiri tersebar di
berbagai daerah, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Kalimantan, hingga Sumatera. Dari hasil survei dan wawancara,
khusus di wilayah Jember, komunitas pembaca Bait Duabelas dapat
dijumpai di antaranya di Dukuh Dempok dan Grobyok Wuluhan,
Kesilir dan Gedongkaji Ambulu, Grenden Puger, Curahbamban
Tanggul, Gebang, Jubung, Cakru Kencong, Sumbersari, Wonosari
Kasiyan, Glantangan
Tempuran, Badean dan Kemuningsari Lor sendiri sebagai pusat
penyebarannya.
Di Luar Jember, komunitas ini dapat dijumpai di antaranya di 293
Karanganom Senduro Lumajang, Glenmore dan Muncar Banyuwangi,
Ngawi, Madiun, Blitar, Gombong, Rembang, Cirebon, Magelang,
Cilacap, Lampung, Bengkulu, Palembang, dan Kalimantan.48 Untuk
mempererat tali silaturrahim di kalangan komunitas Bait Duabelas,
setiap tiga bulan sekali diadakan reuni Keluarga Besar Nahhatul Arifin
(KBNA). Reuni diselenggarakan berpindah-pindah, sesuai permintaan
salah satu komunitas. Inti dari forum ini adalah pembacaan secara
bersama-sama Bait Duabelas antar berbagai komunitas. Melalui
forum ini Bait Duabelas dapat terlestarikan sekaligus memperkuat
ikatan komunal komunitas pembaca Bait Duabelas.
Meskipun tingkat melek huruf cukup besar di kalangan masyarakat
Kemuningsari terutama di kalangan generasi tua, tapi audien “melek
huruf” bagi teks tertulis tidaklah sekecil yang mungkin dibayangkan.
Teks bait duabelas digubah dalam metrum-metrum macapat yang
memang ditujukan untuk dibacakan (dilagukan) secara lisan dan
karenanya untuk dikonsumsi lewat pendengaran (aural) sebagai lagu
dan disajikan secara publik. Karena sifat publik dan lisan bait duabelas
itulah maka konsep kemampuan membaca tidak bisa dipahami dalam
arti sempit istilah tersebut. Audiens pembaca Bait Duabelas di masa
lalu meliputi orang-orang yang “membaca” melalui penyimakan yang
terlatih dan sensitif sehingga menjadi sangat akrab dengan nuansa
kesastraan Bait Duabelas.
Lantas, kapan dan di mana ritual-ritual pembacaan bait duabelas
dilakukan? Siapakah audiennya? Pembacaan naskah Bait Duabelas
dilakukan dalam waktu dan konteks yang beragam. Di Pesantren
Nahdhatul Arifin Kemuningsari Lor, pembacaan dilakukan pada
waktu-waktu tertentu. Setiap harinya, santri diwajibkan membaca Bait
Duabelas secara berjamaah minimal tiga kali, yakni setelah salat asar,
setelah isya, dan setelah subuh. Pembacaan dilakukan di serambi
masjid di hadapan Kiai Suja’i49 atau Kiai Arjuni.50 Pembacaan itu hanya
sebatas nadzam Bait Duabelas, yang membutuhkan waktu sekitar satu
jam untuk pelaksanaannya. Untuk pembacaan tembang, yang
membutuhkan waktu lebih lama, dilakukan setiap hari Jum’at setelah
salat subuh.
Di Pesantren Nahdlatul Arifin Gedongkaji, pembacaanm Bait
Duabelas dilaksanakan secara rutin setiap malam Jumat di Masjid
Pesantren. Pembacaan dilakukan oleh warga sekitar, kebanyakan
generasi tua. Santri pesantren tidak diwajibkan ikut dalam pembacaan
294
tersebut. Namun, selain dibaca di Masjid secara rutin, pembacaan Bait
Duabelas juga dilakukan pada acara-acara seperti selamatan kelahiran
bayi, sunatan, kematian, dan sebagainya.
Meskipun naskah yang dibaca sama, pembacaan Bait Duabelas
tidaklah tunggal. Masing-masing komunitas memiliki gaya dan
lagu tersendiri. Di Kesilir, pengaruh ludrukan cukup kental karena
banyak pembaca/penembang berlatar belakang pemain ludruk.
Untuk di wilayah Grobyok Wuluhan, macapat Jawa Tengah-an cukup
mempengaruhi warna bacaan. Keragaman ini lahir dari perbedaan
konteks kultur dan latar belakang pembaca/penembang Bait Duabelas.
Khusus di Cirebon, Suluk Bait Duabelas memiliki karakteristik
tersendiri yang harus dibedakan dengan yang terdapat di Jember dan
berbagai daerah lainnya. Selain dialek yang digunakan adalah dialek
Cirebonan, bacaannya pun memiliki perbedaan dengan bacaan Bait
Duabelas di Jember. Jika di Jember Bait Duabelas dibaca dengan
intonasi yang datar dan cepat dalam dialek Jawa timuran, maka di
Cirebon justru lamban dan dilagukan dengan dialek Cirebonan.
Tidak hanya itu, ada beberapa pembacaan yang berbeda satu sama
lain. Dalam Bait Duabelas versi Jember hukum enam awwal (untuk
keselamatan di dunia), misalnya, didahului oleh “nyambut gawe tani,
dagang, buruh, lalu dilanjutkan perintahe negoro, cegahe negoro, pawetone
negoro”. Versi Cirebon justru sebaliknya, dimulai dari “perintahe negara,
cegahe negara, pawetane negara, kemudian dilanjutkan nyambut gawe
tani, dagang, buruh”.51

Haul Syekh Kemuning dan Kiai Sambelun:


Membangun Citra, Mengukuhkan Legitimasi
Sebagaimana lazimnya tradisi yang berkembang di kalangan
Muslim tradisional, peringatan atas wafatnya seorang tokoh agama
yang dianggap terhormat dan berjasa dalam proses penyebaran dan
pengajaran keislaman seakan menjadi suatu kewajiban. Peringatan
atas wafatnya seorang ulama atau yang lebih populer disebut
haul dimaksudkan untuk mengenang jasa-jasa seorang ulama dan
meneladaninya.
Syekh Kemuning bukan tidak hanya diyakini sebagai seorang
wali dengan pangkat Quṭubul Ghouṭ, tetapi juga seorang
mujadid
(pembaharu). Dalam naskah lain, mengutip perkataan Suhrowardi m
inna Allāh yub’athu fī hādhā al-ummah fī kulli miati sanatin man e
yujaddidu lahā dīnahā, bahwa sejak wafatnya Rasulullah, dari lahirnya m
agama Islam hingga kini mencapai 14 abad, dalam setiap seratus b
tahunnya muncul seorang pembaharu sehingga Islam mampu e
bertahan di muka bumi. Para pembaharu sepanjang 14 abad tersebut r
adalah: abad pertama Umar bin Abdul Aziz, abad kedua Abu Bakar i
Bagalani Mesir, Abad ketiga Umar Imam Kadzim Abu Laits as- k
Samarqandi, abad keempat Imam Ghazali, abad kelima Abdul a
Wadir al-Jailani, abad keenam Ali Abi Hasan as-Syadzili, abad n
ketujuh Mahmud Abu Qasim al-Junaid, abad kedelapan Abdullah
Abu Yazid al-Bistami, abad kesembilan Muhammad bin Abdullah s
Az-Zajuli, abad kesepuluh Abdullah bin Ibrahim Istambul, abad u
kesebelas Muhammad bin Muhammad bin Hasan al-Hanafi, abad m
keduabelas Muhammad al-Fasi as-Syadali, abad ketigabelas Abdullah b
bin Alwi al-Haddad, dan abad keempatbelas Syekh Kemuning a
Jember.52 n
Sebagai sosok mujaddid, Syekh Kemuning diperingati melalui g
acara haul yang diselenggarakan setahun sekali, setiap tanggal 26 a
n
Maulud, tanggal lahirnya Bait Duabelas. Acara haul Syekh
Kemuning tidak pernah sepi dan selalu dihadiri oleh ribuan
a
jamaah. Mereka datang dari berbagai wilayah sekitar Jember
l
maupun dari luar Jember, khususnya mereka yang tergabung dalam
a
komunitas pembaca Bait Duabelas. Pelaksanaan haul dipusatkan di
Pesantren Nahdhatul Arifin Kemuningsari Lor. Seluruh rangkaian acara
k
haul berlangsung selama dua hari berturut-turut.
a
Haul diawali pawai ta’aruf pada hari pertama yang melibatkan d
ribuan warga sekitar Kemuningsari Lor di jalanan desa a
Kemuningsari Lor. Pawai ini sekaligus sebagai woro-woro (siaran) r
bahwa puncak acara haul Syekh Kemuning dilaksanakan esok harinya, n
pada tanggal 26 Maulud. Layaknya menyambut 17 Agustus, berbagai y
atraksi dipertontonkan kepada masyarakat sekitar, seperti jaranan, a
drumband, tari-tarian, ondel- ondel, dan berbagai bentuk kreativitas .
lainnya. Pawai dimulai dari Balai Desa Kemuningsari Lor dan berakhir S
di halaman pesantren Nahdhatul Arifin. Pawai ta’aruf pada tanggal 25 u
Maulud tersebut kemudian ditutup dengan acara slametan di serambi m
masjid. Ratusan berkat diletakkan di tengah-tengah lingkaran b
puluhan orang yang duduk bersila. a
Partisipasi warga cukup tinggi. Secara sukarela mereka n
gan berupa kayu bakar, pisang, dan
295
beberapa bahan makanan pokok dari beberapa perusahaan perkebunan
di sekitar Panti, di antaranya perkebunan Widodaren, Banjarsari,
296
Kedaton. Jamaah yang hadir pun berasal dari berbagai daerah, dari
Palembang, Bengkulu, Samarinda, Magelang, Wonosobo, Kebumen,
Gombong, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Madiun, Blitar,
Ngawi, Cirebon, Semarang, dan Lumajang.
Bagaimana respon negara (baca: pemerintah) terhadap haul? Sejauh
ini Bupati Jember saat ini, MZA Djalal tidak pernah menghadiri
acara haul. Namun, Jalal pernah berkunjung sekali ketika kebetulan
ada kegiatan kedinasan di Kemuningsari Lor. Berbeda dengan Bupati
sebelumnya, Samsul Hadi, yang justru cukup memberi perhatian
terhadap Pesantren Nahdhatul Arifin dan hampir selalu datang pada
acara haul. Pihak Pesantren Nahdhatul Arifin sendiri mengaku tidak
pernah mengundang unsur pemerintah dalam setiap acara haul, kecuali
mereka mau datang sendiri.53
Lalu, apa fungsi dan makna Bait Duabelas bagi para pembacanya?
Unsur ngalap barokah dan kepercayaan bahwa dengan membaca
Bait Duabelas dapat mendatangkan banyak rezeki sangatlah kuat.
Kiai Supardi, salah satu sesepuh komunitas pembaca Bait Duabelas
dari Gedongkaji mengatakan bahwa sejak membaca Bait Duabelas,
masyarakat Gedongkaji merasa aman, tidak pernah terjadi pencurian
atau krimininalitas lainnya. Bahkan, ekonomi masyarakat Gedongkaji
semakin meningkat. Khusus di Gedongkaji, pada peringatan haul
Syekh Kemuning, ada tradisi seluruh masyarakat (termasuk perangkat
desa), mulai anak-anak hingga dewasa, datang menghadiri haul. Arti
penting haul bagi masyarakat Gedongkaji ini sebagaimana
diungkapkan Supardi:
“Setiap tahun sembilan puluh persen masyarakat Gedongkaji menghadiri
haul Syekh Kemuning, dan yang sepuluh persen menjaga desa. Mereka
percaya dengan menghadiri haul akan mendapat barokah Syekh
Kemuning dan melimpah rezekinya. Hal itu terbukti bahwa ekonomi
masyarakat Gedongkaji tercukupi, tidak kekurangan dan tidak
berlebihan. Mereka juga percaya bahwa sejak mereka membaca Bait
Duabelas, desa Gedongkaji menjadi aman. Hampir tidak ada pencurian
di sini.”

Di Cirebon, haul juga diadakan untuk memperingati hari wafatnya


Kiai Ishaq, atau yang dijuluki Kiai Sambelun. Haul diselenggarakan
di Pesantren Mukasyafah Arifin Billah, setiap tanggal 14 Syawal.
Ratusan orang menghadiri acara ini, khususnya dari kalangan alumn
d elas. Inti acara haul ini
a
n

j
a
r
i
n
g
a
n

k
o
m
u
n
i
t
a
s

p
e
m
b
a
c
a

B
a
i
t

D
u
a
b
pun sama dengan di Jember, yakni pembacaan riwayat singkat Kiai
Sambelun dan pembacaan Bait Duabelas.
Berbeda dengan di Jember, di Cirebon lebih bernuansa politis. 297
Afiliasinya ke MKGR dan Golkar membuatnya dijuluki Pesantren
Golkar. Golkar sendiri sangat sadar akan potensi jaringan komunitas
Bait Duabelas sebagai “lumbung suara”. Di Karangsari, dalam setiap
Pemilu Partai Golkar mendulang suara terbesar. Perlu diketahui, pada
tanggal 4 Juli 2012, bertepatan dengan haul Kiai Sambelun, Ir. H.
Aburizal Bakrie dan beberapa pejabat teras Golkar datang berkunjung
ke Pesantren Mukasyafah Arifin Billah. Dalam sambutan mewakili
tuan rumah, salah seorang pengurus pesantren menyatakan
kesiapannya memenangkan Aburizal Bakrie dan Golkar dalam
Pemilu 2014.54
Catatan Kaki
1. Lihat Nancy K. Florida, h. 16.
298 2. KH. Abdul Wahab Hasbullah merupakan, Lihat Jajat Burhanudin, Ulama dan
Kekuasaan, Mizan…
3. Uka Tjandrasasmita, 1999, hlm. 201.
4. Hasan Muarrif Ambary, 1995, hlm. 166.
5. Untuk memperdalam sejarah dan kajian filologi Belanda atas sastra Jawa, lihat
Theodore G. Th. Pigeaud, Literature of Java, 4 jilid (Den Haag: Nijhoff, 1967-
1980).
6. Nancy K. Florida, Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in
Colonial Java (Durham & London: Duke University Press, 1995). Diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia Nancy K. Florida, oleh Revianto B. Santosa dan Nancy K.
Florida
dengan judul Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat
di Jawa Masa Kolonial (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 28-29.
7. Jawa Tradisional, yang dilawankan dengan Jawa Modern, dalam dunia sastra adalah
“…dunia diskursif yang tak tunggal, yang di dalam dan melaluinya masyarakat
Jawa yang cukup heterogen hidup sepanjang sekitar masa 250 tahun yang berakhir
pada bulan Maret 1942, dengan penyerbuan Jepang ke Jawa yang secara mendadak
mengakhiri penjajahan Belanda”. Lihat Nancy, Menyurat Yang Silam…, hlm. 13.
8. Menyurat Yang Silam … hlm. 16.
9. Lihat C. Guillot, “Dluwang ou Papier Javanais”, Archipel 26 (1984): 105-115.
10. Dalam Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, misalnya, ada kisah tentang KH. Shirotol Mustaqim,
sebelum berjumpa dengan Syekh Kemuning, menyebut berbagai tokoh pewayangan
seperti Gatot Kaca dan Antareja untuk menggambarkan Syekh Kemuning. Lihat
Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 45. Tak hanya itu, ada kisah juga bagaimana Syekh
Kemuning menyebut KH. Abdul Wahab Hasbullah, salah satu pendiri NU, seperti
Prabu Dasamuka Sinawaka. Lihat Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, hlm. 54.
11. Khusus mengenai tembang, beberapa studi telah dilakukan, misalnya oleh Margaret
Kartomi dalam Matjapat Songs in Central and West Java (Canberra: Australian
National University Press, 1973). Studi perbandingan yang dilakukan Bernard Arps
memberikan wawasan mendalam mengenai tradisi macapatan di Jawa Tengah dan
mocoan di Banyuwangi Jawa Timur. Lihat Bernard Arps, Tembang in Two Traditions:
Performance and interpretation of Javanese Literature (London: School of Oriental and
African Studies, 1992).
12. Bambang Purnomo, “Sastra Pesisir”, dalam Edi Sedyawati, dkk. (Ed.), Sastra Jawa:
Suatu Tinjuan Umum (Jakarta: Pusat Bahasa Balai Pustaka, 2001), hlm. 443-457.
Bandingkan dengan Karsono H. Saputradkk. (ed.), Naskah-naskah Pesisiran (Jakarta:
Perpustakaan Nasional RI, 2010 ).
13. Lihat Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid 2, hlm. 3. Ada kemungkinan terdapat beberapa
naskah yang terserak sebelum penulisan naskah Fathul Arifin ini. Namun, naskah
ini saya anggap sebagai naskah terbaik dan menjadi semacam taḥqiqul qiṣṣah
tentang Riwayat dan Ajaran Syekh Kemuning.
14. Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, hlm. 4.
15. Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, hlm. 5.
16. Kisah sang penulis naskah Fatḥul ‘Ārifīn terekam dalam naskah lain yang ditulis oleh
salah seorang putranya, H. Muhammad Sholihin, ayah kandung dari Kiai Supriadi.
Naskah ini ditulis menggunakan aksara pegon. Di dalamnya tidak hanya bercerita
tentang sosok KH. Shirotol Mustaqim, tapi juga sepenggal riwayat Syekh Kemuning.
Dari kolofon naskah ini diketahui tanggal selesainya penulisan: 24-4-1986.
17. “Jawa” bagi orang Madura adalah pulau Jawa minus Madura.
18. Naskah Sejarah KH. Shirotol Mustaqim, hlm. 5-6.
19. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 43.
20. Ibid., hlm. 47.
21. Lebih lanjut mengenai tarekat di Nusantara lihat Martin van Bruinessen, 45. N
Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995) dan Tarekat a
Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung, Mizan, 1996). s
22. Ibid., Jilid II, hlm. 9-10. k
23. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 77. Jadul dalam Taswirul Afkar, Islam Nusantara… a
menyebutkan bahwa hadis ini menjadi salah satu ciri khas tasawuf wahdatul wujud. h
24. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 66.
25. Istilah Nur Tajalli merupakan istilah yang khas dalam tasawuf falsafi Ibnu ‘Arabi. F
Tajalli adalah istilah tasawuf yang biasanya diterjemahkan sebagai theophany atau a
“perwujudan diri Tuhan”. Istilah ini banyak dijumpai dalam kitab Insān Kāmil- t
nya Al-Jilli, seorang sufi pengikut faham Ibnu Arabi. Lihat Martin van Bruinessen, ḥ
Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 29. u
26. Al-Hikam, hlm. 74. l
27. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 77-78. ‘
28. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid I, hlm. 81. Ā
29. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, hlm. 7. r
30. Dalam naskah tertulis al-insān. Menurut penyunting, al-insān tidak tepat dan i
mungkin kesalahan yang tidak disengaja. f
31. “Pokang” adalah bahasa Madura untuk paha. ī
32. Perkejaan yang masih sederhana dalam konteks jember. Juga bukan kerja birokrasi n
(priyayi), memang bukan masyarakat kraton. ,
33. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, 50-63. J
34. Akhiran “un” untuk kata-kata Jawa “nyambelun”, “manganun”, “turuwun”, il
“minyaun”, “brujulun”, dan “minyaun” agaknya merefleksikan usaha “mengarabkan” i
bahasa Jawa d
. Akhiran “un” dalam gramatika Arab menjadi tanda nakiroh (kata benda umum)
dan i’rob rofa’ (bunyi “u” di akhir kalimat). Bahasa Jawa, dibanding dengan bahasa- I
bahasa etnis lainnya di Pulau Jawa, juga sarat dengan bunyi “u”. Dengan demikian I
kata-kata tersebut menjadi dekat dengan atau bernuansa Arab, bahasa yang identik ,
dengan Islam. 5
35. Untuk konsep Manunggaling Kelawan Gusti di Jawa lihat P.J. Zoetmulder, 6
Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, .
terj. Dick Hartoko (Jakarta: Gramedia dan KITLV-LIPI, 2000).
36. Penjelasan tentang manusia ini merupakan upaya tafsir
37. Sekilas tentang sejarah perkebunan di Jember, lihat J.O.S Hafid, Perlawanan Petani:
Kasus Tanah Jenggawah (Bogor: Pusataka Latin, 2001).
38. Sekilas tentang sejarah perkebunan di Kuningan, lihat Imas Emalia, Gerakan Politik
Keagamaan Di Karesidenan Cirebon 1911-1942 (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2011).
39. Sekadar survey tentang Islam pada Abad 19 di Nusantara, lihat Karel A . Steenbrink,
Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad 19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
40. Lebih jauh tentang gerakan ini, lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama (Bandung:
Mizan, 1995).
41. Kiai Sambelun yang nama aslinya Kiai Muhammad Ishaq merupakan sahabat
sekaligus khalifah Syekh Kemuning untuk wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kiai
Sambelun memperoleh kewenangan untuk mengajarkan Suluk Bait Duabelas di
pesantrennya.
42. Kongres dan Pengadilan terhadap Bait Duabelas oleh KH. Wahab Hasbullah perlu
dilihat dalam konteks upaya konsolidasi KH. Wahab Hasbullah yang mewakili
NU dengan para ulama dari pesantren-pesantren tradisional yang saat itu sedang
menghadapi arus deras gerakan purifikasi Islam yang dilancarkan oleh Muhammadiyah
dan gerakan Islam modernis lainnya.
43. Naskah Fatḥul ‘Ārifīn, Jilid II, 55.
44. La yaḍurru wa lā yanfa’ dalam konteks ini bisa diparalelkan dengan pepatah “anjing
menggongong kafilah tetap berlalu, apa pun yang dikatakan KH. Wahab Hasbullah
tidaklah berguna, tidak berarti apa-apa.”
299
46. Kini pesantren tersebut berganti nama menjadi Pesantren Mukasyafah Arifin Billah.
47. Wawancara dengan Kiai Wagimin, salah satu pengasuh Pesantren Mukasyafah Arifin
300 Billah Karangsari Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon.
48. Wawancara dengan Gus Mahfudz, salah satu pengasuh Pesantren Nahdlatul Arifin,
Kemuningsari Lor, Panti, Jember. .
49. Kiai Sujai adalah salah seorang murid Syekh Haji Moh. Nur dan salah satu sesepuh
Keluarga Besar Nahdhatul Arifin.
50. Kiai Arjuni adalah salah satu pengasuh Pesantren Nahdhatul Arifin Kemuningsari Lor.
51. Wawancara dengan Kiai Wagimin, 8 September 2012.
52. Naskah Sejarah KH. Shirotol Mustaqim, hlm. 2-3.
53. Wawancara dengan Ahmad Junaedi, Kepala Pondok Pesantren Nahdhatul Arifin
Kemuningsari Lor Panti Jember.
54. Lihat VCD “Ceramah Motivasi Para Santri Mencapai Sukses Kehidupan”, oleh Ir.
H. Aburizal Bakrie, Rabu, 4 Juli 2012 di Pesantren Mukasyafah Arifin Billah Karangsari
Kabupaten Cirebon.

Bibliografi
Arps, Bernard. 1992. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of
Javanese Literature. Routledge.
Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara
Abad 17 Dan 18. Bandung: Mizan.
Bruinessen, Martin Van. 1992. Tarekat Naqsyabandiyah Di Indonesia: Survei
Historis, Geografis, Dan Sosiologis. Mizan.
Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat:
Tradisi- Tradisi Islam Di Indonesia. Mizan.
Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama Dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim Dalam
Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
“Fatḥul ‘Ārifīn Jilid 1 Dan 2.”
Florida, Nancy K. 2003. Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang:
Sejarah Sebagai Nubuat Di Jawa Masa Kolonial. Bentang Budaya.
Geertz, Clifford. 1981. Santri, Priyayi, Abangan Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Guillot, Claude. 1983. “Le Dluwang Ou «papier Javanais».” Archipel 26(1):
105– 16.
Hafid, Joko Suyono. 2001. Perlawanan Petani: Kasus Tanah Jenggawah. Latin.
Kartomi, Margaret J. 1973. Matjapat Songs in Central and West Java. Australian
National University Press.
Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak, Etika, Subaltern Dan Kritik Penalaran
POSKOLONIAL. Yogyakarta: Pararaton.
Pigeaud, Theodore Gauthier Th. 1970. Literature of Java: Catalogue Raisonné of
301
Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public
Collections in eNetherlands. Martinus Nijhoff.
Saputra, Karsono H. 2010. Naskah-Naskah Pesisiran. Jakarta: Perpustakaan
Nasional RI.
Sedyawati, Edi. 2001. Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum. Pusat Bahasa.
“Sejarah KH. Shirotol Mustaqim.”
Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad
Ke-
19. Bulan Bintang.
Zoetmulder, Petrus Josephus. 1991. Manunggaling Kawula Gusti: Pantheïsme
Dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa: Suatu Studi Filsafat. KITLV, LIPI,
dan Gramedia.

Muhammad Ardiansyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)


Jember, Indonesia. Email: ardonkuye@yahoo.com.
KETENTUAN PENGIRIMAN TULISAN

Jenis Tulisan
Jenis tulisan yang dapat dikirimkan ke Manuskripta ialah:
a. Artikel hasil penelitian mengenai pernaskahan Nusantara
b. Artikel setara hasil penelitian mengenai pernaskahan Nusantara
c. Tinjauan buku (buku ilmiah, karya fiksi, atau karya populer)
mengenai pernaskahanNusantara
d. Artikel merupakan karya asli, tidak terdapat penjiplakan
(plagiarism), serta belum pernah ditebitkan atau tidak sedang dalam
proses penerbitan

Bentuk Naskah
1. Artikel dan tinjauan buku ditulis dalam bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku.
2. Naskah tulisan dikirimkan dalam format Microsoft Word dengan
panjang tulisan 5000-7000 kata (untuk artikel) dan 1000-2000
kata (untuk tinjauan buku).
3. Menuliskan abstrak dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia
sebanyak 150-170 kata.
4. Menyertakan kata kunci (keywords) dalam bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia sebanyak 5-7 kata.
5. Untuk tinjauan buku, harap menuliskan informasi bibliografis
mengenai buku yang ditinjau.

Tata Cara Pengutipan


1. Sistem pengutipan menggunakan gaya American Political Sciences
Association (APSA).
2. Penulis dianjurkan menggunakan aplikasi pengutipan standar
seperti Zotero, Mendeley, atau Endnote.
3. Sistem pengutipan menggunakan body note sedangkan catatan akhir
digunakan untuk menuliskan keterangan-keterangan terkait artikel.
Sistem Transliterasi
Sistem alih aksara (transliterasi) yang digunakan merujuk pada
pedoman Library of Congress (LOC).

Identitas Penulis
Penulis agar menyertakan nama lengkap penulis tanpa gelar
akademik, afiliasi lembaga, serta alamat surat elektronik (email) aktif.
Apabila penulis terdapat lebih dari satu orang, maka penyertaan
identitas tersebut berlaku untuk penulis berikutnya.

Pengiriman Naskah
Naskah tulisan dikirimkan melalui email: jmanuskripta@gmail.com.

Penerbitan Naskah
Manuskripta merupakan jurnal ilmiah yang terbit secara elektronik
dan daring (online). Penulis akan mendapatkan kiriman jurnal dalam
format PDF apabila tulisannya diterbitkan. Penulis diperkenankan
untuk mendapatkan jurnal dalam edisi cetak dengan menghubungi
email: jmanuskripta@gmail.com.
Naskah Kuno untuk Kawula Muda

Menyadari Budaya Lama Sejak Dini: Catatan Penutup


386 Meskipun buku ini menyajikan pengetahuan berbasiskan pergaulan
anak muda, nyatanya buku ini dapat dimanfaatkan oleh setiap kalangan
tanpa berbatas usia. Buku ini utamanya ditujukan bagi siapa saja yang
berkeinginan untuk mengetahui khazanah kebudayaan masa lampau
melalui naskah kuno. Bagi kalangan akademisi, dosen misalnya, buku
ini dapat digunakan sebagai materi awal perkuliahan sehingga dapat
menarik minat mahasiswa untuk mengikuti materi berikutnya.
Buku ini ingin menyampaikan pesan kepada setiap masyarakat
bahwa kebudayaan bangsa harus diperkenalkan sejak dini. Abai
terhadap kebudayaan bangsa berarti menanam ranjau yang akan
meluluhlantahkan bangsa saat ia terinjak. Pada masa globalisasi saat
ini, segenap elemen bangsa dituntut untuk dapat menampilkan
kreativitas dan semangat untuk menunjukkan kemampuan di berbagai
bidang yang dimilikinya tidak terkecuali menampilkan potensi-potensi
kebudayaan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Sayangnya, buku ini tidak diterbitkan secara populer oleh penerbit-
penerbit yang dianggap kredibel di bidangnya. Buku ini hanya
diterbitkan secara terbatas oleh Program Studi Sastra Daerah untuk
Sastra Jawa pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas
Indonesia. Dampak dari ide yang baik ini tentu akan menguap begitu
saja apabila tidak mendapatkan respon positif dari banyak kalangan.
Tinjauan buku ini adalah salah satu apresiasi positif atas penerbitan
Skriptorium ini. Buku ini adalah modal penting agar segenap warga
negara Indonesia mulai menghargai capaian leluhurnya.

Muhammad Nida’ Fadlan, Pusat Pengkajian Islam dan


Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Indonesia. Email: m.nida@uinjkt.ac.id.

Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015


Naskah Kuno dan Potensi Wisata Lokal
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Kira-kira itulah 385
ungkapan yang dapat menggambarkan kekayaan isi buku ini.
Selain memberikan pengenalan awal mengenai naskah kuno kepada
khalayak muda, Skriptorium juga memberikan gambaran lain
mengenai potensi pariwisata lokal yang ada di Yogyakarta. Buku
ini memberikan perspektif lain bagi sosok satu-satunya “Propinsi
Istimewa” di Indonesia ini.
Penyajian buku ini dalam bentuk novel perjalanan meniscayakan
penulisnya untuk menampilkan detil perjalanan yang dilalui oleh sang
tokoh utama yakni Kanya. Meskipun sang tokoh utama menggunakan
sarana transportasi pesawat terbang, namun demikian buku ini
memberikan sarana transportasi alternatif lainnya apabila di antara
pembaca ingin memulai perjalanan ke Yogyakarta dari Jakarta. Tiga
sarana transportasi alternatif disampaikan mulai dari pesawat
terbang, kereta api, hingga bus. Lebih detil lagi, diberikan juga
informasi lain mengenai jadwal keberangkatan masing-masing moda
transportasi tersebut hingga harga tiket yang harus dibayarkannya.
Setibanya di Yogyakarta, pembaca juga disajikanmengenai keragaman
dan kekayaan kuliner khas Yogyakarta. Kanya memperkenalkan
Warung Soto Kadipiro di kawasan Jalan Wates yang sudah terkenal
sejak lama, Bakmi Jawa Mbah Geno di bilangan Pasar Prawirotaman,
wedang ronde, hingga menikmati suasana malam di Alun-alun Selatan
Yogyakarta ditemani dengan beberapa tusuk bakso bakar.
Keramahan masyarakat Yogyakarta dan keunikan akses
transportasi juga menjadi catatan perjalanan Kanya selain
menampilkan objek- objek wisata. Buku ini menampilkan karakter
masyarakat Yogyakarta yang sangat santun dalam menerima warga
pendatang. Menaiki becak yang diiringi dengan keakraban
pengemudinya adalah sisi lain yang ditampilkan dalam Skriptorium.
Buku ini telah menggiring opini bahwa Yogyakarta adalah tujuan
wisata yang aman bagi setiap kalangan baik yang berasal dari dalam
maupun luar negeri, tua maupun muda, serta laki-laki maupun
perempuan. Dengan segala potensinya, Yogyakarta menyuguhkan
berbagai kekayaan wisata bagi siapa saja yang berkepentingan untuk
mengunjunginya karena Yogyakarta sejak lama dikenal memiliki
peninggalan budaya, keindahan pantai, hingga kekayaan kuliner.
Film yang disutradarai oleh Yohanes Aditya ini menampilkan
tokoh utama bernama Kanya yang diperankan sendiri oleh Sasrita
384
Kanya Pramasvati. Selain itu ada Munawar Holil yang berperan
sebagai Ayah Kanya serta Fauzy Rizky Laurens dan Muhammad
Abdurrosyid sebagai dua pria misterius yang membuntuti Kanya.
Selain itu, Ery Sustiyadi (Museum Sonobudoyo), Yohanes Widodo
(Perpustakaan Universitas Sanata Dharma), Sri Ratna Saktimulya
(Pura Pakualaman), dan R.W. Surya Anantya (Keraton Yogyakarta)
melakoni peran-perannya sebagai pemandu Kanya dalam mengunjungi
tempat penyimpanan naskah kuno. Dalam film ini menampilkan
ekspresi yang sangat mencolok apabila dibandingkan dengan
cerita yang ada di novel. Disarankan bagi siapa saja yang hendak
menonton film singkat ini agar terlebih dahulu membaca novel
Skriptorium. Hal ini akan membantu audience untuk merangkai
berbagai pengembangan informasi dalam novel yang ditampilkan
dalam film. Pengembangan yang mencolok misalnya, penonton
akan disajikan bagaimana Sri Ratna Saktimulya sebagai pemandu
naskah kuno di Pura Pakualaman memberikan panduan- panduan
yang sangat standar bagi para pemula yang hendak memegang naskah
kuno. “Naskah kuno adalah benda yang rapuh sehingga
dibutuhkan kehati-hatian dalam membukanya” demikian perintah
Ibu Sakti saat mengarahkan Kanya untuk membuka naskah kuno.
Disamping itu, film ini memperlihatkan upaya-upaya Kanya untuk
membaca naskah kuno beraksara Jawa Hanacaraka dengan
didampingi
oleh para pemandu.
Sebagaimana versi novelnya yang ditujukan untuk kalangan pemula,
demikian juga dengan film singkat ini. Untuk meraih dukungan
dari kalangan muda, tokoh utama ditampilkan dalam sosok mahasiswi
yang berpenampilan layaknya anak muda masa kini. Lagu-lagu
bercirikhaskan anak muda juga ikut memperkuat suasana bahwasanya
film ini memang ditujukan untuk kawula muda. Di akhir cerita, film
ini juga memperlihatkan kesimpulan atas pencarian ‘harta karun’
yang dilakukan oleh Kanya. Dua pria misterius melaporkan kondisi
perjalanan yang dialami oleh Kanya kepada ayahnya. Bagi mereka,
Kanya belum cukup peka untuk memahami apa yang sesungguhnya
terjadi dalam petualangannya. Ini adalah sebuah kewajaran bagi halnya
seorang pemula sehingga diperlukan upaya yang berkesinambungan
agar kalangan muda makin menikmati kehidupan budaya masa
l
a
m
p
a
u

d
i

s
e
k
e
l
i
l
i
n
g
n
y
a
.
pengawetan kandungan informasi (teks) dalam naskah kuno agar p
tidak lapuk atau hilang dimakan usia. Namun demikian dalam e
pembahasan kali ini, dua istilah yang dimaksudkan di atas tidak n
ditujukan untuk hal digitalisasi naskah kuno melainkan untuk g
menggambarkan hal baru yang ditampilkan dalam buku Skriptorium u
ini. n
Selain memperkenalkan naskah kuno melalui novel, buku ini j
menawarkan perspektif yang lain dalam bentuk media digital. Tim u
Penulis juga mengabadikan perjalanan mereka dalam bentuk film n
dokumenter. Pembuatan film ini dapat dipastikan mengikuti trend g
masa kini yang mengangkat tema-tema lokal agar menjadi populer.
Layaknya film dokumenter pada umumnya, film Skriptorium ini s
berdurasi singkat selama 23 menit yang di dalamnya merupakan versi e
audio-visual atas novel yang telah dibahas sebelumnya. r
t
a

p
a
r
a

p
e
n
a
b
u
Tampilan CD film Skriptorium h
Perjalanan dimulai pada tanggal 1 Februari 2014 dari Gedung VII di
g
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Selain empat
a
tempat yang menjadi tujuan utama di atas, tempat-tempat lain yang
m
menjadi objek dalam film ini diantaranya adalah Bandar Udara Soekarno-
e
Hatta di Jakarta, Bandar Udara Adi Sutjipto di Yogyakarta, serta hotel
l
tempat Kanya menginap. Semua latar tempat yang disajikan dalam film
a
ini bersifat alami, artinya tidak dilakukan rekaan terhadap keadaan yang
n
ada di dalam tempat-tempat yang dipertunjukkan. Pada saat Kanya
mengunjungi Keraton Yogyakarta misalnya, dipertontonkan keramaian
y
ang menyambut kehadiran wistawan.
383
yangharus dipegang oleh raja. Serat Suryajaya juga hanya dibuka
untuk dibersihkan pada upacara adat Jamasan di bulan Sura.
382
Istimewa! Itulah ekspresi kepuasan Kanya atas penjelasan abdi
dalem itu.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Jakarta, Kanya mulai
berpikir keras mengenai maksud petualangannya ini. Secara fisik
ia tidak mendapatkan keberadaan harta karun sebagaimana yang
dibayangkannya. Dari hasil renungannya, ia menyimpulkan
bahwasanya harta karun yang dimaksud adalah naskah kuno itu
sendiri yang di dalamnya terdapat berbagai macam pengetahuan yang
jarang diketahui oleh manusia di zaman modern. Baginya, harta karun
sesungguhnya bukanlah emas atau permata melainkan nilai-nilai
pengetahuan adalah harta karun yang lebih berharga dari
keduanya.
Perjalanan Kanya ke Yogyakarta rupanya telah disusun rapi oleh
Ayah Kanya. Selain mengirimkan Kanya untuk berpetualang, Ayahnya
juga mengirimkan beberapa orang untuk mengikuti, mengarahkan,
dan memandu Kanya selama berada di Yogyakarta. Pengiriman
orang-orang itu tanpa disadari oleh Kanya hingga pada saat kembali
ke Jakarta ia mendapati orang-orang yang ditemuinya di Yogyakarta
sedang bertemu akrab dengan Ayahnya.
Dari rangkaian cerita di atas terlihat bahwa pangsa pasar buku
ini adalah kalangan muda yang memiliki karakter ambisius dalam
mencari jati diri. Sehingga, buku ini pun ditampilkan dalam sebuah
novel perjalanan yang ditulis menggunakan bahasa-bahasa yang
ringan dan ‘gaul’ agar mudah dicerna dan diterima oleh kalangan
muda. Karenanya, dalam pengantarnya, Tim Peneliti mengungkapkan
tujuan utama penulisan buku ini yakni untuk menjembatani
pengetahuan masyarakat terutama kalangan muda mengenai
keberadaan ‘harta karun’ yang berwujud naskah kuno. Semangat
penulisan buku ini juga diutarakan yakni untuk mengajak kawula
muda untuk menyadari bahwa Indonesia di masa lalu adalah bangsa
yang besar dan diperhitungkan di kancah global.

Memperkenalkan Naskah Kuno melalui Media Digital


Bagi pengkaji naskah kuno, membaca dua istilah ‘naskah kuno’
dan ‘digital’ adalah dua hal yang sudah tidak asing lagi. Akhir-akhir
ini dunia pernaskahan sedang gandrung oleh istilah ‘digitalisasi
n an naskah kuno menjadi bentuk digital fotografi. Digitalisasi
a dimaksudkan untuk melakukan
s
k
a
h

k
u
n
o

y
a
n
g

b
e
r
m
a
k
n
a

p
e
n
g
a
l
i
h
m
e
d
i
a
bosan dengan kegiatan liburannya. Di tengah kebingungannya itu,
Ia berinisiatif untuk mengunjungi tempat dimana ayahnya bekerja
sebagai seorang dosen ilmu budaya. Di tempat itu, Kanya mendapati 381
kenyataan bahwa ayahnya sering melakukan ekspedisi ke Gunung
Padang yang diyakini oleh Kanya sebagai sebuah situs purbakala yang
memendam peninggalan berupa harta karun. Sebuah pertanyaan besar
pun mengemuka, apakah harta karun benar-benar ada?
Rasa penasaran pun dijawab oleh Ayah Kanya dengan memberi
Kanya sebuah permainan yang mengharuskannya pergi ke Yogyakarta.
Selain diberi sarana transportasi dan akomodasi, Kanya juga dibekali
secarik kertas yang berisi catatan singkat mengenai tempat-tempat yang
harus dikunjunginya. Museum Sonobudoyo, Perpustakaan Universitas
Sanata Dharma, Pura Pakualaman, dan Keraton Yogyakarta adalah
tempat-tempat yang direkomendasikan untuk didatangi oleh Kanya.
Mengapa harus keempat tempat tersebut? Pertanyaan inilah yang
melingkupi pikiran seorang Kanya. Tempat-tempat itu serasa tidak
sesuai dengan bayangannya sebagai tempat-tempat yang berpotensi
menyimpan harta karun layaknya situs Gunung Padang di Cianjur,
Jawa Barat. Ia menganggap bahwa mengunjungi tempat-tempat
tersebut tidak ubahnya seperti perjalanan liburan biasa tanpa ada sensasi
petualangan sebagaimana yang ia harapkan. Namun catatan penutup
ayahnya, “jangan banyak tanya, ikuti saja permainan ini” membuat
Kanya rela untuk mengunjungi empat tempat tersebut.
Secara berurutan, satu-persatu dari tempat-tempat itu
dikunjunginya. Di setiap tempat yang dikunjunginya selalu saja
Kanya diarahkan untuk memasuki tempat khusus dimana koleksi
naskah kuno disimpan. Kanya mengamati secara detil tentang latar
belakang penyimpanan naskah-naskah kuno itu disimpan, teknik-
teknik perawatan naskah kuno, hingga ia menanyakan apa
menariknya isi cerita yang terdapat dalam naskah kuno. Adakah
sebenarnya harta karun yang dicarinya itu?
Sampai pada akhirnya Kanya mendapatkan sebuah penjelasan dari
seorang abdi dalem penjaga koleksi naskah di Keraton Yogyakarta. Serat
Suryajaya adalah judul naskah yang ditunjuknya untuk dipertanyakan
kepada sang penjaga itu. Dijelaskannya bahwa Serat Suryajaya adalah
salah satu naskah yang masuk dalam kategori benda pusaka di
Keraton Yogyakarta. Naskah itu hanya boleh dibaca oleh Sultan atau
calon Sultan karena berkaitan dengan isinya mengenai sikap hidup
Selama ini, terutama pada kalangan muda-akademis, naskah kuno
diperkenalkan melalui cara-cara yang sangat tradisional. Naskah kuno
380
yang dikenalkan kepada kalangan muda hanya terbatas pada mahasiswa
yang mengambil program perkuliahan ilmu budaya terkhusus
kajian naskah kuno (filologi). Naskah kuno hanya diperkenalkan
secara tradisional dengan cara mengajak peserta didiknya untuk
‘membayangkan’ naskah kuno melalui buku-buku teori filologi, karya-
karya suntingan teks, termasuk ditambahi kreativitas dosen yang
menampilkan gambar-gambar naskah kuno. Ekspresi pun beragam.
Bagi mereka yang kini sedang gandrung dengan fasilitas serba canggih
merasa bahwa perkuliahan filologi sangat membosankan.
Merespon keluh kesah sang penanya, para pembicara memberikan
apresiasi yang sangat baik agar para pemerhati naskah kuno mulai
berpikir untuk menjawab tantangan tersebut. Namun pada sisi yang
lain, seolah mempertegas apa yang telah disampaikan oleh narasumber,
Munawar Holil, M.Hum sebagai moderator diskusi menyampaikan
kata-kata penutup sekaligus juga dalam rangka menceritakan apa
yang telah dilakukannya untuk menjawab keluhan sang penanya.

Memperkenalkan Naskah Kuno melalui Novel


Munawar Holil bersama Dwi Woro Retno Mastuti dan Amyrna
Leandra Saleh (alm) telah melakukan perjalanan penting dalam rangka
memperkenalkan naskah kuno kepada peserta didiknya. Ketiga dosen
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia tersebut
membimbing Rizky Ramadhani, Fauzy Rizky Laurens, Yohanes
Aditya, Muhammad Abdurrosyid, dan Sasrita Kanya Pramasvati untuk
memperkenalkan khazanah naskah kuno Nusantara terutama yang
menjadi koleksi beberapa lembaga di Yogyakarta.
Perjalanan selama dua hari tersebut ditampilkan dalam sebuah karya
unik. Buku Skriptorium: Perjalanan Mencari Harta Karun adalah karya
yang dimaksud. Judulnya memang terkesan serius, namun pembaca
akan disuguhkan pemandangan unik saat membuka lembaran demi
lembaran di dalamnya. Sebagaimana yang tertulis dalam pengantarnya,
buku ini disusun untuk menyajikan pengetahuan awal tentang naskah
kuno kepada kalangan muda. Naskah kuno diperkenalkan sebagai
‘harta karun’ yang membuat anak muda penasaran untuk mencarinya.
Sederhana. perjalanan panjang cerita ini bermula dari kegelisahan
seorang mahasiswi semester awal, bernama Kanya, yang merasa
Review Buku

Naskah Kuno untuk Kawula Muda

Muhammad Nida’ Fadlan


Tim Peneliti Naskah Jawa di Yogyakarta FIB UI. 2014. Skriptorium:
Perjalanan Mencari Harta Karun, Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia

T
anggal 18-20 September 2014, Masyarakat Pernaskahan
Nusantara (Manassa) mengadakan forum internasional bertajuk
Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara. Simposium
yang rutin dilaksanakan setiap dua tahun sekali ini merupakan
forum akademik yang mempertemukan para pemerhati naskah kuno
dari berbagai belahan dunia. Pada pertemuan yang ke-15 kali ini
dilaksanakan di Hotel Grand Inna Muara, Padang, Sumatera Barat
dengan mendiskusikan sebuah tema besar “Naskah dan Relevansinya
dalam Kehidupan Masa Kini”.
Dalam diskusi turunannya dengan tema “Naskah sebagai Objek
Penelitian: Pembicaraan Teoretis dalam Dunia Filologi”, salah
seorang peserta diskusi melontarkan keluh kesahnya kepada empat
narasumber pada sesi tersebut yaitu Drs. Sudibyo, M.Hum dari
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr. Junaidi dari
Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, Dr. Arba’iyah Moh Noor
dari Universitas Malaya Kuala Lumpur, dan Mardiana Nordin yang
juga dari Universitas Malaya. Dalam pernyataannya, ia
mengungkapkan keluhannya tentang minimnya perhatian kaum
muda terhadap pelestarian budaya Nusantara terutama terhadap
keberadaan naskah kuno. Dengan semangatnya, peserta diskusi yang
berasal dari Medan tersebut menyampaikan usulannya agar para
pengkaji naskah mulai memberikan terobosan dalam
memperkenalkan khazanah naskah kuno kepada kalangan muda. Ia
menyesalkan pada perilaku kalangan muda di masa kini sudah tidak
mengetahui apalagi memperdulikan keberadaan peninggalan
sejarah masa lalu disekitarnya. 379
Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015
Mukti
Ali

Suluk Jawa, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. I, 2000, hal. 284-286
25. Lihat: http://www.wattpad.com/94004-kitab-kuno-bab-1-ajian?p=5
378 26. Qs ar-Ra’dlu: 13
27. Naskah: ora lana
28. Qs An-Nisa: 59
29. Lihat dan bandingkan; Mukti Ali el-Qum, Spirit Islam Sufistik; Tasawuf
Sebagai Instrumen Pembacaan Terhadap Islam, Bekasi: Pustaka Isfahan, cet. I, hal.
2011, hal. 91-92
30. Naskah: al-ghaniyyun. Kalimat Lil al-ghaniyyun tidak tepat, karena ada huruf Lam yang
berfungsi meng-jar-kan kalimat al-ghaniy, sehingga yang tepat adalah lil al-ghaniyyin,
dengan dibaca jar. Tanda jar-nya adalah dengan menyertakan huruf Ya dan Nun.
31. Qs al-A’raf: 96

Bibliografi
Afifi, Abu al-Ala’, dalam pengantar kitab Misykat al-Anwar karya Abu Hamid
al- Ghazali, Cairo: Lajnah al-Ta’if wa al-Nasr
AG, Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal; Potret dari Cirebon,
Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, cet. I, 2001
El-Mawa, Mahrus, Rekonstruksi Kejayaan Islam Di Cirebon; Studi Historis Pada
Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568), dimuat di Jurnal Jumantara,
Jakarta: Perpusnas RI., vol. 3, No. 1, 2012
Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara; Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, cet. I, 2006, hal. 39-40
Naskah “Sejarah Cirebon al-Haj Mahmud Rais”, jilid
II Naskah Sejarah Cirebon, jilid. I
Necholson, Reynold A., Fî al-Tashawwuf al-Islami wa Târîkhihi, diarabkan
oleh Dr. Abu al-‘Ala ‘Afifi, Cairo, Lajnah Ta’lif Wa al-Nashr, 1969
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, terjemahan A History of Modern
Indonesia, diindonesiakan oleh Drs. Dharmono Hardjowidjono, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, cet. III, 1993

Mukti Ali, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah


Jakarta; Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab), Indonesia.
Email: mukti. rumahkitab@yahoo.com.
Catatan Kaki
1. Pilihan saya pada salah satu dari 16 juz dari naskah Sejarah Cirebon pertimbangannya
adalah agar kajian lebih fokus pada satu topik pembahasan, tidak mengambang dan 377
tidak bersifat umum.
2. Wawancara penulis bersama Musta’in, 8 September 2012
3. Wawancara dengan beberapa narasumber, seperti Mamay Mudjahid, salah satu dari
putri kyai Buntet, 24 Agustus 2012
4. Lihat: Naskah Sejarah Cirebon, jilid. I, hal. 1
5. Wawancara, 24 Agustus 2012
6. Dr. Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal; Potret dari Cirebon, Jakarta:
PT Logos Wacana Ilmu, cet. I, 2001, hal. 311-312
7. Abdurrahman Wahid, Pergumulan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta:
Desantara, 2001, hal. 111
8. Dr. ‘Athif Jaudah Nashar, al-Ramz al-Syi’ir ‘inda al-Shûfiyyah, Cairo, Maktabah Mishr
li al-Tauzi’ al-Matbu’ah, cet. I. 1998, hlm. 134
9. Dr. Ghanami Hilal di dalam buku Layla wa al-Majnun bayna Adab al-‘Arabi wa Adab
al-Fârisi, yang telah dikutip oleh Dr. ‘Athif Jaudah Nashar. (Lihat: hlm. 134).
10. Reynold A. Necholson, Fî al-Tashawwuf al-Islami wa Târîkhihi, diarabkan oleh
Dr. Abu al-‘Ala ‘Afifi, Cairo, Lajnah Ta’lif Wa al-Nashr, 1969, hlm. 80-81.
11. Lihat; Jurnal Tashwirul Afkar, Islam Pribumi; Menolak Arabisme, Mencari
Islam Indonesia, Edisi No. 14, 2003, hal. 10
12. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terjemahan A History of Modern
Indonesia, diindonesiakan oleh Drs. Dharmono Hardjowidjono, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, cet. III, 1993, hal. 56
13. Mahrus El-Mawa, Rekonstruksi Kejayaan Islam Di Cirebon; Studi Historis Pada
Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568), dimuat di Jurnal Jumantara, Jakarta: Perpusnas
RI., vol. 3, No. 1, 2012, hal. 101
14. Dr. Muhaimin AG, ibid., hal. 235
15. Dr. Muhaimin AG, ibid., hal. 244-245
16. Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil; Perjalanan Ruhani Syekh Siti Jenar, Yogyakarta:
Pustaka Sastra LkiS, cet. XI, 2010, hal. 10-53, Lihat juga Agus Sunyoto, Walisongo,
2012, dan Dr. Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal; Potret dari
Cirebon, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, cet. I, 2001, hal. 244
17. Naskah Sejarah Cirebon, juz. II., hal. 4-5
18. Qs. At-Thalaq: 2-3
19. 1Qs. Al-Taubah: 04
20. Qs. Al-Hijr: 15
21. Naskah “Sejarah Cirebon al-Haj Mahmud Rais”, hal. 4-7
22. Abu al-Ala’ Afifi, dalam pengantar kitab Misykat al-Anwar karya Abu Hamid al-
Ghazali, Cairo: Lajnah al-Ta’if wa al-Nasr, hal. 3
23. Setelah ditemukannya Kulkas, Kendil sudah tidak dipakai secara massif, kecuali bagi
masyarakat miskin yang tak mampu membeli Kulkas dan sebagian rumah makan
tradisional yang khas. Di Cirebon masih ada beberapa daerah yang memproduksi
Kendil. Seperti daerah Posong Arjawinangun dan Budur Ciwaringin, sebagian
masyarakatnya masih memproduksi Kendil, dan kerajinan tangan lainnya yang
terbuat dari tanah liat seperti Genting dan Celengan (sejenis tempat penyimpanan
uang, sebagai tabungan bagi masyarakat tradisional). Kalau kita jalan-jalan di desa
Posong Arjawinangun dan Budur Ciwaringin, kita menemukan deretan Kendil yang
terserak dengan rapih sedang dijemur di depan rumah, lantaran sejenis home industri
(industri rumahan). Meski ada juga yang memproduksinya di tanah khusus bagi yang
memiliki modal yang kuat.
24. P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti; Pantheisme dan Monisme dalam Sastra

Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015


Lalu, eksoterik pun disimbolisasikan dengan tujuh anggota sujud,
yang bermakna adanya fungsi-fungsi kebajikan yang dapat dilakukan
376
oleh tujuh anggota sujud.
Lan malih sira paringi pekakas Golok Cabang. Wateke iku bisa ngomong kaya
jalma. Tur bisa mabur, tur bisa metu geni. Singa kang katibanan lebur
ajur senajan due tan midad ya tegese ora kuat. Gunung-gunung kundur
kabeh, segara asat. Yakni lafadz Golok Cabang iku ay khuliqa li-sab’ati asya’a,
tegese den dadekaken pitung perkara.
(Lalu, engkau juga diberi Golok Cabang yang dapat berbicara seperti
manusia, dapat berbang, dan bisa mengeluarkan api. Singa yang
kejatuhan hancur lebur, ya tidak kuat. Gunung-gemunung menyingkir
dan hengkang pulang, dan menyurutkan (mengeringkan) air lautan yang
sedang meluap- luap. Nama Golok Cabang itu berasal dari perkataan
khuliqa li-sab’ati asyaa, artinya dijadikan untuk tujuh perkara).
Dadi yen sira kepengen katurutan kekarepan apa bae, maka iya sira kudu
netepi katetepane anggauta pitu kang wis kasebut a’dlaus-sujudi sab’atun.
Tegese yeng sira kepengen katurutan segala-galahe iya sira iku kudu tunduk
ing pengaturane gusti Allah, li-qaulihi ta’ala, {wa lau anna ahla al-Qura
amanu wa at-taqau, la-fatahna ‘alaihim barakatin min as-samai //9// wa
al-ardli}fi1. Ugi malih wangkid dawuh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam,
(man hafidzha as-shalati, ay shalawa al-khamsi akramahul-Lahi bi-
khamsi khishalin: yurfa’u ‘anhu dliyqu al-‘isyu, wa ‘adzabu al-qabri, wa
yu’tihi kitabuhu bi-yamini, wa yamurru ‘ala as-hirati kal-barqi, wa
yadkhulu al- jannata bi-ghayri khisabin). Iku kabeh faidah-faidah metu
saking Golok Cabang.
(Maksudnya jika engkau menghendaki mendapatkan apa yang engkau
kehendaki, maka engkau harus menghadapi ketetapan anggota badan
yang tujuh, yaitu anggota sujud. Jelasnya, jika engkau ingin mencapai
segala sesuatu, hendaknya engkau tunduk sujud kepada Allah).

Penutup
Naskah Sejarah Cirebon jilid kedua yang saya kaji cukup
menarik untuk diungkap dan dibaca melalui pendekatan dan
perspektif sufistik. Menarik, lantaran di satu sisi ia menawarkan
konsep tasawuf yang khas para sufi Sunni yang menyeimbangkan antara
syariat dan tasawuf, akan tetapi pada saat yang sama ia merupakan
seperti sufi falsafi yang bersifat akomodatif terhadap keafiran lokal dan
pandangan yang liyan.
diusap-usap di kening, yang berfungsi agar diikuti oleh orang banyak
dan disayangi, tidak bosan-bosan dan tidak pernah dibenci, yaitu bunyi
tulisannya demikian; kirang mimang ing batuk insun sari sedana ing 375
lambe ingsun amanat pengucapan ingsun iku wong sekabeh tua gede cilik pada
welas pada asih kabeh maring ingsung kelawan berkahe kalimat La ilaha
illallahu Muhammad ar-Rasulullah. Kalimat thayyibah ini sebaiknya
dibaca sampai ke hati sanubari. Itulah makna dari Ilmu Kapilisan).

Ilmu Kapilisan ditafsiri dengan yang berfungsi agar seseorang bisa


disayang oleh sesama ditafsiri bahwa poros dari tindakan yang salih
yang bisa menarik setiap orang untuk menyayanginya bersumber dari
pemaknaan dan penghayatan pada arti dari Syahadat, La ilaha illallahu
Muhammad ar-Rasulullah. Jika kalimat ini bisa dihayai sampai di
hati sanubari dan diaplikasikan dalam tindakan maka seseorang yang
mengamalkan akan dapat membebaskan diri dari belenggu ego-
kedirian, sentimen golongan, pemberhalaan ideologi, dan menjadi
manusia bebas menebarkan kebajian dan kebaikan untuk sesama tanpa
memandang perbedaan apapun. Dalam syahadat terdapat spirit teologi
pembebasan dari kedzaliman dan kenistaan. Nilai esoterik dari syahadat
berorientasi pada aplikasi riil-eksoterik yaitu mengaplikasikan makna.
Fa laysa lil al-insani nisyanu ad-dzikri. Tegese yen sira kepengen didemeni
maring sekabehe manusa iya sira aja lali-lali maring gusti Allah.
(Yang diambil dari perkataan falaysa lil insaani nisyaanudz dzikri, yang
artinya tidak patut bagi seseorang manusia melupakan dzikir kepada
Allah SWT.)
Ketuhanan diselaraskan dengan kemanusiaan. Kesalihan sosial,
berupa menebarkan dan menularkan kemaslahatan dan kebajikan
bagi sesama, segaris dengan kesalihat individu. Mengingat Tuhan yang
bersifat privatif, relasi yang paling rahasia antara Tuhan dan individu
manusia, masuk pada kesalihan individu, meniscayakan adanya
dampak positif pada kesalihan sosial.
Lan malih sira diparingi ilmu kateguhan wateke ora mempan ning apa-
apa iya bener sebab iku ilmu anane ing jero ati. Ay falaysa lil al-
ghaniyyinfi0 bakhilun. Tegese yen sira kepengen teguh iya loman aja
kumed. Miturut wangkid dawuh “as-sakhiyyu habibul-Lah, qaribun min
an-nasi, qaribun min al-jannati, ba’idun min an-nari, wa al-bakhilu
‘adluwwul-Lahi, ba’idun min //8// an-nasi, ba’idun min al-jannati,
qaribun min an-nari”.

Salah satu dari kesalihan sosial adalah sikap loman (dermawan) pada
sesama, khususnya pada pihak-pihak yang berhak menerimanya.
berislam pada saat memahami dan mengamalkan Islam secara literalis
apa adanya yang terdapat dalam teks primer agama, yaitu al-Quran
374
dan hadits. Islam dianggap hanya memiliki makna tunggal; harfiyah.
Sedangkan golongan yang lain, seperti para sufi, meyakini bahwa
kesempurnaan dalam berislam terletak pada pemaksimalan diri dalam
mengurai lapisan-lapisan makna yang tertimbun di dalam teks, setelah
berhasil diurah dan difahami secara maksimal lalu diaplikasikan. Para
sufi meyakini bahwa Islam mempunyai multi-makna. Makna harfiyyah
adalah makna terrendah saja menurut sufi, bukan makna yang sudah
final, lantaran masih ada lapisan makna lain yang ada di dalamnya.
Seperti halnya tubuh kita, yang terkonstruk dengan badan kasar,
panca indera, akal, hati, lubbuh hati, dan lainnya. Singkat kata,
tubuh kita terdapat dua aspek, yaitu perangkat kasar yang ada di luar
(eksoterik) seperti panca indera dan perangkat lunak yang ada di dalam
(esoterik) seperti ruh, hati dan akal. Demikian juga agama, terdapat
di dalamnya dimensi eksoterik dan esoterik. Dimensi agama yang
bersifat eksoterik dikenal dengan syariah dan dimensi esoterik dikenal
dengan tasawuf.29 Agama memiliki dua dimensi, eksoterik dan esoterik,
lantaran agama diperuntukkan untuk manusia yang juga memiliki dua
dimensi yang sama, yaitu jiwa dan raga.
Tradisi ilmiyah berupa pensinergian antara sufisme dan syariah
dirintis oleh Imam al-Qusyairi dalam kitabnya al-Risalah dan Lathaif
al- Isyarah, Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya Ihya
Ulumuddin, al-Makky dalam Qut al-Qulub, Suhrawardi dalam
‘Awarif al-Ma’arif, dan sufi-sufi setelahnya banyak yang mengikuti
jejak tradisi ilmiyah ini.
Lebih menarik lagi dalam naskah Sejarah Cirebon disebutkan Syekh
Nurjati hendak mensinergikan kedua aspek agama, dimensi eksoterik-
syariah dan esoterik-bathini, sebagai khas dari para sufi, dalam bingkai
kebudayaan lokal Cirebon. Demikian tuturkatanya;
“Lan malih sira diparingi zimat ilmu kapilisan dienggohi, diusap-
usapaken ing batuk wateke diluluti maring wong akeh tur diasihi lan ora
bosen-bosen lan ora sengit-sengit iku unine tulisan mengkenen; kirang
mimang ing batuk ingsun sanari; sedana ing lambe ingsun amanis pengucap
iku wong sekabeh tua, gede, cilik pada welas pada asih kabeh maring ingsun
kelawan berkahe kalimat La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah.
Olihe maca kalimat thayyibah kang sampe terus ning ati sanubari.
Artine ilmu kapilisan iku artine.
(Dan engkau juga menerima zimat Ilmu Kapilisan, dengan dipakaikan,
kang wani iya iku bener, jalaran ing kono ana tulisan unine mengkenen (udl’u u
ilalLahi ‘ala jami’I an-nasi bit-taqwa). Tegese yen sira kepengen disuyudi s
maring sekabehe makhluk ya aja bosen ajak-ajak bagus, adu-adu perkara ala
a
maring para menusa, supaya nurut peraturane Allah lan peraturane Rasulul
lan peraturane pemerintah sekira cocok karo hukume Allah lan Rasul jalaran i
ujare wangkid dawuh dalem kang muliya mengkene {athi’ul-Laha wa ati’ur- .
rashula wa ulil-amri minkum}28. S
Keenam, Kelambi Warung. e
b
Lan malih sira diparingi kelambi Waring, wateke bisa mabur, iya iku bener a
sebab ingkono ana tulisan unine mengkene (qalbun khasyi’, mabrurun).
Tegese yen sira kepengen dongani dikabul, iya iku atine kudu khusyu’, aja
g
lokan derigal-derigul. i
a
Ketujuh, umbul-umbul waring. n
Lan malih sira paring umbul-umbul waring. Wateke rahayu saking sekabehe;
senjatane musuh tur bisa //13// ngapesaken tenagane musuh; tegese yen sira g
kepengen dunyane awet tur selamet iya iku kudu ngati-ngati olehe kasab,
o
jalaran ing kono ana tulisane mengkene unine (ya ayyuna an-nas khudzu al-
amwala bil-wara’i) tegese luruh benda iku kang ngati-ngati kang alus l
kang apik aja padu olih bahe. o
n
Kedelapan, ilmu Pangirutan.
g
Lan malih sira diparingi ilmu pangirutan; artine ilmu kanggo peranti a
narik atine menusa supaya tutut tunduk ora wani juwa ala apa-apa. Tegese yen n
sira kepengen ditutburi maring sekabehe menusa iya iku aja lok ngersola
apa-apa kang sekira ana susah disangka adem, disangka kelawan sabar, iku
artine ilmu pangirutan. m
e
Ilmu-ilmu kesaktian, yang dikenal dengan ilmu kanuragan, n
merupakan tradisi lokal yang telah diberi asupan makna yang konstruktif g
dalam pandangan Islam. Selain itu, mantra-mantra dan tatacaranya a
pun pada akhirnya digubah dan diselaraskan dengan doa-doa dan n
dzikir serta puasa memohon kepadaNya agar apa yang diinginkan dan g
yang dicita-citakan dipenuhi. Terkadang jika mantranya dianggap tidak g
bernuansa menyekutukan Tuhan meski berbahasa Jawa Cirebon atau a
bahsa Sunda tetap dipertahankan, tidak diganti dengan Arab. p
Lantaran yang terpenting adalah substansi yang terdapat di dalam
mantranya. b
Mengingat Tuhan dengan Dua Dimensi a
h
Kesempurnaan dalam berislam seringkali diperdebatkan oleh w
umat Islam. Pro-kontra tak berkesudahan sampai hari ini tak kunjung a
kesempurnaan dalam
373
netepi apa saujare hukum, supaya selamet. Sebab miturut wangkid dawuh
mengkene {innal-Laha la yughayyiru ma bi-qaumin hatta yughayyiru ma
372 bi-anfusihim}26.
(Dan engkau diberi zimat Ilmu Tini Murti. Fungsinya dapat mengetahui
sesuatu yang susah bisa menjadi mudah. Ya itu benar, sebab menurut ujaran
demikian; fa’ti bi-ma umurtu. Artinya jika engkau ingin mempermudah
sesuatu yang susah-susah, maka engkau harus mendatangi atau melakukan
apa yang dikatakan oleh hukum-hukum pemerintah. Jangan berani-
beraninya mengkhianati orang yang menjadi wakil pemerintah, yaitu
harus jujur dan sukses menjalankan apa yang dikatakan dalam hukum
agar selamat. Sebab menurut doktrin diucapkan demikian; innal-Laha la
yughayyiru ma bi-qaumin hatta yughayyiru ma bi-anfusihim.

Ketiga, zimat Ilmu Aji Dipa sebagai ilmu kesaktian yang


berfungsi mengetahui dan memahami segala jenis ucapan hewan.
Keyakinan ini ditafsirkan kembali oleh Syekh Nurjati dengan diberi
asupan makna bahwa seseorang yang bisa memahami segenap bahasa
harus berbuat yang bermanfaat bagi sesama.
Lan malih sira diparingi Jimat ilmu Aji Dipa. Wateke weruh ing segala
omongan-omongan, kaya omongane sato hewan iku ira bener, sebab miturut
wangkid dawuh mengkenen (fa’ti bi-ma anfa’a an-nasi), tegese yen sira
kepengen ngerti ing segala omongane sato hewan iya sira kudu gawea bagus
gawea manfaat maring sekabehe apa-apa kang ana ing bumi, khusushon
para menusa jalaran miturut dawuh dalem mengkene (irhamu man fil-ardli,
yarhamukum man fis-samai).

Keempat, zimat Topong Waring yang berfungsi bagi seseorang yang


mengamalkannya maka tidak bisa kelihatan oleh siapapun. Ditafsiri
oleh Syekh Nurjati bahwa jika seseorang yang hendak tidak terlihat
aib dan tidak kelihatan kejelekannya di mata manusia, maka ia harus
menepati janji, tingkah lakunya yang baik, tidak sembarangan, dan
taat peraturan.
Lan malih sira paringi Jimat Topong Waring, wateke yen dienggo iku mantek
ora bisa katon ing sapa bahe iku iya bener, jalaran miturut wangkid
dawuh mengkene (ufi biha umirtu bil-wara’i). tegese yen sira kepengen ora
katon alane maring sekabehe menusa iya sira kudu nuhoni janji barang
kang wus diperintahaken dening pemerintah tur kang bener laku-laku nira,
aja serabat serabut kaduwene wong liyan iku bisa //12// selamet ora katon
alane.

Kelima, Batok Bolu


Lan malih sira diparingi Badong Batok Bolu. Wateke sinuyudan maring
s kabeh pada wedi ora ana27
e
k
a
b
e
h
e

s
i
l
u
m
a
n

d
e
d
e
m
i
t
-
d
e
d
e
m
i
t
,

J
i
n
,

s
y
e
t
a
n
Lan malih sira diparingi Jimat ilmu Limunan, wateke bisa ngumpet ing uga
sajerone padang. Iya bener, sebab miturut wangkid para leluhur (la ta’man won
‘ala muruatika). Tegese yen sira kepengen aja ana kang guna sira atawa g
kanggo apa pegawean atawa kelungguhan atawa dagangan iya sira kudu kan
aja ngaku bener dewek bahe, kudu bener jare hukum. g
dadi
(Dan engkau juga diberi zimat Ilmu Limunan, yang berfungsi bisa
wak
menghilang di dalam terang. Ia betul. Sebab menurut wejangan (doktrin)
il
para leluhur, nenek moyang, bahwa la ta’man ‘ala muruatika. Artinya
pem
jika engkau ingin tidak ada yang guna-guna (diarah oleh orang dengan
erin
kekuatan magis dan sihir), atau ingin mendapatkan pekerjaan, atau
tah
kedudukan, atau dagangan, maka engkau seharusnya jangan merasa benar
iya
sendiri, harus benar menurut hukum).
iku
Aji Limunan atau biasa disebut Panglimunan adalah ilmu yang //11
sangat sakti dan hebat, sangat jarang manusia yang bisa memilikinya. //
kud
Umumnya pemilik ilmu ini hanyalah para pendekar-pendekar sakti. u
Dengan memiliki ilmu ini maka seseorang akan memiliki kekuatan juju
sakti yang dapat membuat diri anda raib tanpa bekas dari dunia, r
menghilang tidak kelihatan, dan tidak dapat ditemukan oleh musuh. lan
Seseorang yang memilikinya, pada saat dibacakan mantra-mantranya, lulu
ia seperti makhluk yang di antara ada dan tiada. Di samping itu, s
ilmu ini juga dapat digunakan untuk menghilangkan benda-benda
nyata.25 Seperti itulah Panglimunan dimaknai sebagai ilmu mistik.
Syekh Nurjati dapat menangkap tujuan seseorang melakukan
pengamalan terhadap ilmu tersebut yang tujuannya dengan memiliki
ilmu itu agar dirinya selamat dari usikan musuh atau pihak yang
membencinya, mendapatkan pekerjaan, kedudukan, atau
dagangannya laku. Syekh Nurjati menyarankan bahwa semua yang
diinginkan seseorang itu tercapai bisa dengan sikap tidak egois, tidak
merasa benar sendiri dan harus benar di mata hukum.
Kedua, zimat ilmu Tinimurti salah satu ilmu kesaktian yang
berfungsi
bisa mempermudah sesuatu yang sulit menjadi mudah. Ditafsiri oleh
Syekh Nurjati bahwa yang membikin mudah sesuatu yang sulit adalah
dengan melaksanakan dan mensukseskan hukum dan undang-undang
pemerintah yang dalam bahasa Islam sebagai ulul al-amri.
Lan malih sira paringi Jimat ilmu Tini Murti. Wateke bisa ngaweruhi ing
barang kang angel-angel bisa dadi gampang. Iku iya bener, sebab miturut
iwah-iwah mengkenen; fa’ti bi-ma umirtu. Tegese yen sira kepengen
gampangaken barang kang angel-angel iya iku sira kudu nekani atawa
ngelakoni apa saujare hukum-hukum pemerintah. Aja wani-wani nyidrai
371
Perumpamaan wayang digunakan merupakan gejala yang khas
Jawa, sebab wayang sebelum dijadikan oleh para sufi sebagai media
370
pemaknaan Islam, juga bernuansa religis-Kejawen. Sebab dalam
pewayangan, menurut pandangan P.J.Zoetmulder, selaras dengan
artikulasi manunggaling kawula gusti Ibnu Arabi. Sebagaimana
dalam wayang terdapat penampilan gambar dan dalang. Selaras
dengan itu, Ibnu Arabi berpandangan bahwa manusia atau makhluk
adalah bayangan Tuhan di bumi. Wayang pun adalah gambaran dari
representasi sang dalang.24
Pandangan sufistik yang sedemikian sistematis telah dipaparkan
melalui budaya lokal Cirebon. Segena azimat yang awalnya memiliki
makna literalis sesuai dengan fungsinya, dijadikan media penyampai
makna, justru dengan memberi makna baru pada azimat itu sendiri
sebagai media. Seperti halnya al-Ghazali yang memberi makna cahaya
dengan makna baru yang berbeda dengan makna sebelumnya, yaitu
makna cahaya versi Zoroaster.

Dari Mistiko-Kejawen Menuju Mistiko-Religius


Ada banyak ilmu kesaktian dan ilmu kanuragan yang bernuansa
mistik dan bahkan berbau “kelenik” di bumi Jawa pada umumnya dan
khususnya di Cirebon. Pada umumnya, bagi yang meyakininya bahwa
ilmu kesaktian berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
yang memilikinya. Keinginan manusia yang bersifat prinsipil atau
non-prinsipil, rasional atau irasional, dapat dipenuhi dengan bantuan
ilmu-ilmu tersebut. Lantaran masing-masing ilmu diyakini memiliki
fungsinya sendiri. Biasanya untuk dapat memilikinya harus melakukan
ritual-ritual tertentu dan mempunyai sugesti yang sangat besar.
Keduanya, ritual dan sugesti, sangat menentukan seseorang sukses atau
tidak dalam meraihnya.
Namun, tradisi dan keyakinan mistik ini, tidak serta merta digerus
dan diperlakukan sebagai yang dituduh negatif dan sesat bahkan
oleh Syekh Nurjati dibiarkan eksis dan diberi makna yang lebih
substantif. Ada banyak ilmu mistik yang dituturkan Walangsungsan
yang diganti dengan nama Shamadullah kepada Syekh Datuk Khafi.
Sementara Syekh Datuk Khafi meresponnya dengan memberi
tafsiran berupa makna-makna ajaran universal Islam. Di antaranya
pertama, ilmu limunan atau pangelimunan ditafsiri agar tidak egois
dan taat hukum:
dengan sentuhan tangan secara tradisional, tidak dengan alat t
teknologi modern, setelah terbentuk lalu dijemur di bawah terik e
matahari, dan setelah mengering lalu dibakar. Air yang tersimpan r
dalam Kendil biasanya tetap terjaga kejernihan dan kesegarannya s
serta tidak cepat membusuk. Bahkan dalam tradisi Cirebon— e
mungkin juga tradisi di beberapa tempat lain—Kendil tidak sekedar b
tempat penyimpan air untuk minum atau untuk membasuh muka u
atau badan yang terkena debu atau kotoran an sich, bahkan Kendil t
juga dalam tradisi masyarakat kuno (juga sampai sekarang) berfungsi ,
menyejukkan dan mendinginkan air; sejenis Kulkas bagi masyarakat s
kuno di Cirebon.23 y
Agama dianalogikan bagaikan Kendil, atau Kendil dimaknai sebagai a
simbolisasi agama yang hak, bisa diletakkan pada kerangka analogi (qiyas) r
yang meniscayakan adanya al-jami’ (titik persamaan/titik temu) i
sebagai perekat antara maqis dan maqis ‘alaihi. Titik temu keduanya, a
agama dan Kendil, adalah kedua-duanya memberi kemanfaatan yang t
paling prinsip bagi umat manusia, sebagai kebutuhan yang paling ,
mendasar; agama sebagai mataair penyejuk jiwa-jiwa yang kerontang t
nan dahaga, membasuhi kedirian dari ahklak yang buruk. Dengan a
meneguk ajaran agama, jiwa menjadi tenang, damai, dan memiliki r
tujuan hidup yang jelas serta meyakini adanya permulaan (al-mabda’) e
dunia sebagai media penyemaian kebajikan dan tempat kembali (al- k
ma’ad). a
Lalu, agama yang hak tersebut dianalogikan dengan Bareng. t
Bareng adalah kotak tempat penyimpanan segenap alat pewayangan, ,
seperti gunungan, wayang, lentera dan kain sebagai beackground. h
agama yang ditopang oleh empat ilmu sebagai dimensi-dimensi yang a
sejatinya ada di dalam internal agama, yaitu syariat, tarekat, hakikat k
dan makrifat. Keempatnya adalah lapisan-lapisan yang menyatu dalam e
satu entitas. Ada banyak ilustrasi, di antaranya bahwa syariat ibarat k
lautan yang di atasnya ada sampan (perahu) yang dinaiki seseorang. a
Perahu ibarat tarekat. Jika seseorang yang menaiki perahu tarekat t
ingin mencapai hakikat, maka ia harus menceburkan diri masuk ke d
dasar lautan. Setelah masuk ke dasar lautan, ia baru meraih hakikat a
yang sebenarnya, dan jika ternyata sudah sampai di dasar lautan ia n
mendapatkan mutiara maka sama halnya ia telah mencapai makrifat.
Atau diilustrasikan seperti buah kelapa. Kulit luar (tepes) adalah m
diibaratkan syariat, batok adalah tarekat, kelapa adalah hakikat, dan a
santen adalah makrifatnya. Jika disederhanakan keempat aspek k
rifat, terdapat dalam dua aspek saja yaitu aspek eksoterik dan
esoterik.
369
Apa yang dilakukan al-Ghazali tersebut juga dilakukan oleh Syekh
Nurjati dengan menginterpretasi dan re-interpretasi keyakinan dan
368
terma Kejawen dengan memasukkan makna baru dengan menggunakan
perspektif sufisme Islam ke dalamnya.
Spirit akulturasi atau bahkan asimilasi yang dilakukan oleh para
sufi dengan mengadopsi keafiran lokal terinspirasi dari perkataan Ali
bin Aby Thalib Karamallahu Wajhah, yaitu “khudzil al-hikmah walau
min ayyi wi’âin ukhrijat, walau min fasiqîen aw min kafirîen” (Ambillah
wisdom dari bejana manapun ia keluar, meski dari orang fasik atau
bahkan kafir).
Akulturasi Islam di Nusantara yang selama ini dikenal melalui sosok
para sufi seperti Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, sedangkan di
Cirebon dilakukan oleh Syekh Datuk Kahfid atau yang dikenal dengan
Syekh Nurjati, guru dan dai yang mendahului Sunan Gunung Jati
dalam mengislamkan masyarakat Cirebon.

Relasi Syariah, Tarekat, Hakikat dan Makrifat


Bagi Syekh Nurjati, Islam memiliki lapisan-lapisan doktrin yang
satu dengan yang lainnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya,
inhern. Lapisan-lapisan yang dimaksudkan yaitu lapisan syariat,
tarekat, hakikat dan makrifat. Pengamalan Islam yang paling minimal
adalah berislam dalam lapisan paling atas yaitu syariat. Jika ingin
maksimal, maka masuk ke dalam lapisan berikutnya yaitu lapisan
tarekat, hakikat dan makrifat. Sehingga, seperti yang dikatakan al-
Ghazali bahwa pengamalan tersebut meniscayakan adanya hierarki
kesalihat seseorang, yaitu seorang awam, khas, khawasil al-khawas.
Demikian kisah Sykeh Nurjati;
“Lan malih sira diparingi Kendil. Artine maka dituduhaken sira maring
dedalan agama kang hak. Lan malih sira iku diparingi Bareng. Artine sira
iku kon netepi ilmu patang perkara, 1). Ilmu syariah, 2). Ilmu tharekat, fi).
Ilmu hakekat, 4). Ilmu makrifat.”
(Dan kemudian engkau dianugerahi Kendil. Artinya maka engkau
diberi petunjuk ke arah agama yang hak. Dan engkau juga itu diberi
Bareng. Artinya engkau harus menguasai dan mengamalkan empat
perkara, yaitu 1). Ilmu syari’ah, 2). Ilmu tharekat, 3). Ilmu hakikat, dan
4). Ilmu makrifat).

Agama yang hak menurut Syekh Nurjati adalah bagaikan Kendil,


tempat air minum yang terbuat dari tanah liat, dibentuk langsung
Islam yang menyatakan dualisme Tuhan; cahaya (nur) dan kegelapan I
(dzulum). s
Setelah peradaban Persia terislamkan, dan banyak dari putra wilayah l
menjadi intelektual, filsuf, dan ulama Islam, mereka tidak menghapus a
ke-Persia-annya; bahasa, budaya, tradisi dan kearifan lokal diapresiasi m
dengan melalui adaptasi ajaran Islam diinternalisasi ke dalam narasi .
besar Persia tersebut. Sebagaimana filsafat isyraqiyyah (Illuminasi)
yang ada di Persia, dihidupkan kembali oleh filsuf Islam Persia,
yaitu Sihabuddin Suhrawardi al-maqtul (sang martir), pada abad
ke-7 Hijriyah. Bahkan dua abad sebelumnya, abad ke-5, al-Ghazali
dengan karyanya, Misykat al-Anwar, telah merintis ke arah filsafat
illuminasi, dan dimatangkan oleh Suhrawardi sang martir—meski
dengan pola pikir dan pandangan serta produk pemikiran yang
berbeda.
Namun, yang membedakan antara Persia kuno dan para filsuf
Islam seperti al-Ghazali dan Suhrawardi Sang Martir dalam hal entitas
cahaya dan kegelapan yang disematkan pada dzat Tuhan. Jika
Persia kuno menganggap bahwa ada dualisme Tuhan; Tuhan cahaya
dan Tuhan kegelapan, yang berdiri sendiri dan independen.
Sedangkan para filsuf Islam menganggap bahwa cahaya hakiki adalah
Tuhan, sedangkan kegelapan bisa mewujud karena jauh dari sumber
cahaya yaitu Tuhan. Jadi hakikat cahaya sekaligus sumber cahaya
adalah Tuhan. Cahaya yang disematkan pada selain Tuhan adalah
sebatas penisbatan yang tidak hakiki (majazi), sebagaimana pendapat
yang dikemukakan al- Ghazali dalam kitab Misykat al-Anwar. Tidak
ada dualisme cahaya. Abu al-Ala’ Afifi, seorang pakar sufisme,
menuturkan;
“...kesamaan antara illuminasi al-Ghazali dan filsafat Persia dan Yunani
kuno hanya sebatas pada tataran istilah dan terminologi, seperti terma nur
(cahaya) dan kegelapan (dzulm). Sedangkan esensi atau substansi wacana
dan pemikiran yang terkandung sangat berbeda. Dengan demikian, tidak
tepat jika ada asumsi bahwa filsafat illuminasi di Islam adalah adopsi
dari tradisi filsafat Persia dan Yunani kuno”.22
Dengan lain ungkapan, bahwa al-Ghazali memasukkan makna
baru dengan pelalui kerja-kerja interpretasi dan sekaligus re-interpretasi
atas filsafat illuminasi Persia dengan perspektif Islam. Ada semacam
“Islamisasi Persia” dalam aspek substansi doktrin illuminasi, dan
pada saat yang sama ada semacam “Persianisasi Islam” dalam aspek
pemunculan kembali filsafat cahaya sebagai mainstream pemikiran
367
Para sufi, sebagaimana juga Syekh Nurjati, dalam menyikapi yang
liyan berupa pandangan, keyakinan, agama dan kepercayaan lokal
366
tidak menggunakan nalar dan logika oposisi-biner, hitam-putih, benar-
salah. Para sufi lebih memilih bersikap akomodatif pada pandangan
liyan. Lantaran para sufi tidak mau terjebak pada tataran retorika
literalistik, permukaan, kulit luar, dan eksoterik yang membuat
perbedaan semakin mencolok dan berhenti pada narasi yang dangkal
yang berakibat hilangnya sikap arif dan munculnya ego-religius.
Justru sebaliknya, sufi lebih menekankan pada aspek substansi sebuah
keyakinan atau pandangan liyan. Sehingga sufi tidak memposisikan
diri sebagai misionaris Islam yang berminat menghabisi sehabis-
habisnya pandangan liyan yang hidup subur dalam bumi dimana
sufi sendiri berada, bahkan mengapresiasi dan menganggapnya
sebagai kekayaan local wisdom (kearifan lokal).
Sekurang-kurangnya dalam menyikapi dialektika antara ajaran
agama dan kearifan lokal, sufi bersikap dengan dua cara. Pertama,
akulturasi. Sebentuk sikap apresiasi dengan memberikan ruang yang
sama antara ajaran agama dan kearifan lokal, dan jika secara substansial
keduanya (ajaran agama dan kearifan lokal) ada titik-sama meski secara
prosedural dan tataran luar berbeda maka keduanya bersinergi dalam
satu entitas bangunan tradisi.
Kedua, asimilasi. Sikap ini lebih mendalam daripada sikap
akulturasi tersebut. Asimilasi semacam sikap pencampuradukkan antara
keduanya (ajaran agama dan kearifan lokal) sehingga keduanya
melebur menjadi entitas yang tunggal dan tidak bisa dipisahkan
atau dibedakan.
Kedua cara tersebut, meski ada sedikit perbedaan, hal ini telah
membuktikan bahwa sufi tidak mendelet keyakinan dan kebudayaan
liyan, tidak pula menggusurnya dari peradaban Jawa, bahkan
sebaliknya menghargai sebagai sebuah nilai lokal yang luhur. Salah
satu cara sufi mengapresiasi tradisi dan kepercayaan lokal dengan
mempertahankannya sembari berkontribusi dalam memberikan makna
dari sudut pandang spiritualisme Islam melalui setrategi-setrategi
interpretasi dan re-interpretasi. Mempertahankan keberadaannya
sekaligus memperkaya dengan makna dan perspektif baru.
Proses akulturasi dan asimilasi sejatinya sudah dirintis oleh para
master sufi Islam klasik. Khususnya para master sufi yang berkebangsaan
Persia. Sebagai misal teori pencahayaan (illuminasi) sebagai dasar dari
keyakinan agama Zoroaster yang ada pada masa Persia kuno pra-
keyakinan yang teguh, ia akan mempunyai keteguhan hati maka tidak S
akan takut apa-apa. Sebab satu atau banyak di hadapan Tuhan tidak ada u
bedanya. Oleh sebab itu, jika engkau ingin mempunyai keberanian dalam
h
menegakkan kebenaran, maka harus mengamalkan ayat tersebut).
r
Jika krisis keberanian melanda umat manusia, maka tidak ada lagi a
nilai-nilai kemuliyaan yang dijunjung dan dihormati. Keberanian w
adalah syarat mutlak bagi seseorang yang memiliki komitmen pada a
kebenarannya tinggi. Lantaran hanya omong kosong belaka jika r
dikatakan kebenaran ditegakkan dengan tanpa keberanian. Mungkin d
kita perlu membedakan antara keberanian dengan kekerasan atau yang i
lainnya yang berkonotasi negatif. Keberanian adalah sebentuk sikap a
tegas dalam memandang sesuatu dengan setara, tanpa ada perbedaan l
yang berujung diskriminatif. -
Keenam, relasi ilmu dan amal yang harus selaras dan seirama. M
Lan malih sira diparingin zimat Sang Yang Nago zimat ilmu kadiran iku a
artine al-‘ilmu dawau ad-din. Tegese wong nyekel agama iku kudu weruh q
ilmu kerana nurut. Wangkid mengkenen “fa kullu man bi-ghayri ‘ilmin t
ya’malu# a’maluhu mardudatun la tuqbalu”. Tegese wong nyekel agama iku
u
pada karo nyekel negara, dadi enggawa arti yen wong bisa nyekel agama mesti
bisa nyekel negara. Beda karo //7// wong bisa nyekel negara ora mesti bisa l
nyekel agama.”21 (
S
Selain dari Hyang Danuwarsih, engkau juga medapatkan beberapa a
pusaka dari Sang Hyang Naga berupa azimat Ilmu Kadewa. Namanya n
itu diambil dari perkataan Dwaaul ad-diini, artinya obatnya agama. g
Dalam hal ini yang dimaksud bahwa orang yang beragama itu harus
berilmu. Ada syair Arab yang artinya, “Barang siapa yang berbuat M
sesuatu tidak berdasarkan ilmu, maka amal perbuatannya itu tidak a
akan diterima disisi Allah”. Sedikit keterangan bahwa orang yang r
memegang agama itu sama dengan orang yang memegang negara. t
Apabila ia dapat memegang agama, maka ia dapat memegang negara. i
Tetapi tidak sebaliknya, orang yang dapat memegang negara belum r
tentu ia akan dapat memegang). )
Korelasi ilmu dan amal meniscayakan inhern. Lantaran ilmu tanpa s
praktik adalah omong kosong. Sedangkan praktik tanpa ilmu adalah e
buta. Para sufi berpandangan bahwa ilmu adalah imam dan amal adalah b
makmumnya. Sehingga ilmu adalah lebih tinggi derajatnya di atas a
amal. Akan tetapi amal yang dilandasi dengan ilmu pun akan g
menghasilkan ilmu-ilmu baru, sebab ada proses-proses penghayatan dan a
permenungan dalam segenap amal. Hal ini diistilahkan oleh i
ilmu al-hudhuri (knowlende by present).
365
perbedaan gender, baju laki-laki dan baju perempuan. Akan tetapi
baju yang paling prinsip adalah simbol cinta, cinta pada diri, lantaran
364
tanpa baju maka manusia akan hilang penghargaan orang pada
dirinya, hilangnya rasa empati dan cinta. Bahkan, tanpa baju, di mata
orang lain—pada umumnya—seseorang tak ada bedanya dengan
binatang. Karena itu baju kememayan ditafsiri dengan makna
cintakasih.
Cinta kasih adalah salah satu doktrin sufistik yang paling ramai
didiskusikan oleh para master sufi. Di antara master sufi yang
mengusung cinta kasih sebagai mainstream sufistiknya yaitu Rabi’ah
al-‘Adawiyah, Abu Manshur al-Hallaj, Ibnu Arabi, Jalaluddin al-
Rumi, al-Ghazali, dll. Syekh Nurjati terinspirasi dari para master sufi
itu, yang mengasumsikan bahwa agama Islam adalah agama
cintakasih, bukan agama kebencian dan dendam. Lalu,
Lan malih sira diparingi kelambi pengasihan wateke disulu diarteni
diturut maring sekabehe makhluk, Jin-Jin, syetan, merengkayangan,
dedemit, siluman-siluman kabeh suyud lan tunduk iya bener, sebab iku
kelambi ana tulisane ayat kang muliya, mengkenen unine Inna al-Laha
yuhiibu al-muttaqin.19 Mila sira yen kepengen disuyudi, diturut maring
sekabehe makhluk ya iku cekelana kang bener-bener lan ngamalna iku
tulisan mahu.
(Lalu engkau menerima juga Baju Pengasihan yang gunanya agar semua
makhluk, baik jin maupun setan siluman apa saja, tunduk kepadamu.
Itu betul, sebab baju itu ada tulisan ayat yang muliya, begini bunyinya
inna al-Laha yuḥibbu al-muttaqīn (sesungguhnya Allah mencintai orang-
orang yang bertakwa). Jika engkau ingin ditakuti dan dipatuhi oleh
semua makhluk, maka hendaklah berpegang teguh pada kebenaran dan
mengamalkan ayat yang tertulis itu).
Kelima, komitmen dan konsisten terhadap kebenaran dengan
ketegasan dan keberanian, tidak dengan kekerasan.
Lan malih sira diparingi kelambi pengayaran ateke wani ing musuh, tegese
ningali musuh akeh lan kidik pada bae, iya bener sebab iku kelambi ana
tulisane ayat ingkang mulya, mengkene unine; {wa-‘bud rabbaka ḥatta
ya’tiyaka al-yaqīn20. //6// Dadi pancen yen sira bener-bener nyekale iku ayat
mangka ora wedi apa-apa, sebab siji lan akeh mungguh pengeran iku ora
beda. Permila yen sira kepengen wani ingatase bener iya kudu diamalaken
ayat mahu.
(Dan engkau menerima lagi Baju Pengabaran yang antara lain
kepentingannya engkau tidak mempunyai rasa takut menghadapi musuh
yang bagaimanapun banyaknya, karena pada baju tersebut ada tulisan ayat
y sehingga keyakinan telah datang”. //6// Sedangkan orang yang berpegang
a pada ayat tersebut dengan
n
g

a
r
t
i
n
y
a
;


D
a
n

b
e
r
i
b
a
d
a
h
l
a
h

k
e
p
a
d
a

T
u
h
a
n
m
u
Manfaat adalah maslahat baik bagi diri sendiri, lingkungan dan s
orang lain. Ada satu doktrin dari Nabi yang sangat relevan dikutip o
disini, yaitu “khayru al-nas anfa’uhum li al-nas” (Sebaik-baik manusia s
adalah yang bermafaat bagi sesamanya). i
Madharat merupakan kebalikannya, yaitu yang merugikan diri a
sendiri, lingkungan dan orang lain. Sudah pasti madharat harus l
dihindari sebisa mungkin. Bahkan jika dalam keadaan dilematispun a
seseorang harus memilih kerugian yang lebih kecil, akhdzu akhaffu al- t
dzhararayn (mengambil kerugian yang lebih kecil). a
Inti dari segenap doktrin Islam adalah mengambil yang bermanfaat u
dan menghindar dari yang merugikan. Dalam konteks ini, misi
Islam pun merumuskan sekurang-kurangnya ada lima hal yang harus i
dijaga, tidak boleh terancam, yaitu menjaga agama (ḥifdhu al-dīn), d
menjaga jiwa (ḥifdhu al-nafs), menjaga akal (ḥifdhu al-‘aql), menjaga e
keturunan (ḥifdhu al-nasl), dan menjaga harta (ḥifdhu al-māl). n
Menjaga kelima hal ini oleh para ulama, khususnya oleh sufi t
terkemuka Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa dan i
oleh Al-Syathibi dalam kitab al-Muwāfaqāt, sebagai kebutuhan t
primer (al-ḍaruriyāt). a
Keempat, doktrin cintakasih. s
“lan malih diparingi kelambi kamemayan wateke diasihi maring sekabehe s
makhluk iku iya bener. Jalaran ing kono ana tulisan ayat ingkang mulya o
mengkenen unine; {wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja wa s
yarzuqhu min ḥaytsu layaḥtasib18, mila pancen sira kepengen aja disengiti i
ning sekabehe makhluk supaya diasihi iya iku cekelana ayat kang mulya iku
a
kelawan bener- bener, sebab ora ana pengasihan kang luih-luih sangking
iku. l
,
(Dan engkau menerima Baju Kememayan yang antara lain
s
kepentingannya adalah agar engkau disayang oleh segenap makhluk. Itu
memang betul karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya begini; e
“barang siapa yang takut kepada Allah, Allah akan memberinya jalan p
keluar dari kesempitan hidupnya dan memberi rizki dengan tak terduga- e
duga dan tanpa susah payah”. Kalau engkau ingin tidak dibenci orang, r
pegang teguhlah ayat tersebut untuk pedoman dalam langkah t
hidupmu).
i
Baju atau pakaian—disebutkan Baju Kememayan—seringkali b
dijadikan simbol dalam tradisi Jawa dan Cirebon. Seperti dalam syair a
Lir-Ilir, “dodot iro-dodot iro kumitir bedah ing pinggir” (baju engkau j
yang bedah di sampingnya). Baju adalah simbol kemuliaan dan u
keagungan seseorang. Sering kali baju juga merupakan simbol kelas
kebesaran ulama, kyai, santri, raja, prajurit, presiden, dll. Selain itu,
baju juga memberi makna pada
363
Setelah mengenal Tuhan. Maka muslim harus mengikuti dan
meneladani para ulama sebagai pewaris sah para Nabi. Ulama sebagai
362
marja’ al-dini (rujukan keagamaan) dalam hierarki Islam diposisikan
setelah Tuhan dan Nabi. Lantaran ulama adalah seseorang yang
menafsirkan, menginterpretasikan, berdakwah dan menulis doktrin
Islam untuk umat, menegakkan amar makruf dan nahi munkar,
peduli pada nasib umat, dan orang yang senantiasa mendekatkan diri
kepadaNya. Dengan kata lain, ulama adalah sekelompok orang yang
mendapatkan hal istimewa untuk melakukan ijtihad. Sudah barang
pasti bagi orang pada umumnya mengikuti fatwa dan produk ijtihad
para ulama adalah sebuah keniscayaan. Meski pintu ijtihad tidak pernah
ditutup, karena sekarang belum ada yang mencoba membukanya. Akan
tetapi, ijtihad merupakan mesin produktif ulama dalam menciptakan
agama bukan seperti mesin yang sudah “mogok” dan tidak berjalan,
justru sebaliknya bahwa dengan ijtihad mengandaikan agama agar tetap
hidup dan menjadi solusi bagi kemaslahatan kehidupan umat
manusia.
Ketiga, mengenal dan merealisasikan yang bermanfaat dan menjauhi
yang madharat.
“sira diparingi ratu ali-ali ampal wateke kanggo penerangan lan kanggo
rawat-rawat lan kanggo ngaweruhi barang-barang kang gaib iku bener
kabeh, artine wong kang nyekel agama, iku kudu nekani barang kang
manfaat- manfaat lan ngadohi barang kang cecegah-cecegah, artine watu
ali-ali ampal ira; fa’ī mā anfa’a al-nās”,
(Dalam pertemuan dengan Sang Hyang Danuwarsih, engkau berhasil
menerima pusaka berupa Cincin Ampal yang kepentingannya ialah untuk
mengetahui perkara gaib itu benar. Artinya orang yang memegang
agama harus melakukan segenap sesuatu yang bermanfaat dan menjauhi
segenap sesuatu yang dilarang. Artinya batu Cincin Ampal anda;
diambil dari perkataan f ’tī bi mā anf’a al-nās, bawalah segenap sesuatu
yang bermanfaat bagi manusia).

Cincin Ampal yang awalnya berorientasi mitis, berkasiat untuk


mengetahui alam gaib, direinterpretasikan dengan sudut pandang
Islam; alam gaib menurut Islam pun sejatinya ada. Namun kalimat
“Ampal” merupakan plesetan lidah Jawa dari kalimat “anfa’”
(bermanfaat) yang tentu saja menjadi bermakna bermanfaat.
Doktrin universal sufistim, bahkan juga Islam, adalah melakukan
dan merealisasikan bahkan memperjuangkan yang bermanfaat dan
menjauhi sesuatu yang membahayakan atau mengancam keselamat
(
m
a
d
h
a
r
a
t
)
.
substansinya merupakan runutan doktrin Islam dalam perspektif
sufisme yang bersifat prinsipil bagi setiap muslim. Pertama, mengenal
Tuhan. 361
“Lan mulane sira didawuhi kon enjujug gunung Merapi iku artine mengkene
terange; Awwalu wajibin ‘ala al-insani ma’rifatul al-ilahi bil-istiqoni.
Artine kawitan wajibe manusa iku ngaweruhi pengeran kelawan dalil, //5//
imma dalil tafshil, imma dalil jumlah.” 17
(dan engkau disuruh datang ke Gunung Merapi. Artinya begini
jelasnya; pertama kali yang wajib diketahui bagi manusia adalah
mengenal Tuhan dengan dalil, argumentasi. Adakalanya dalil tafsili
(argumentasi terperinci) dan adakalanya dalil jumlah (argumentasi
gelobal)).
Mendatangi Gunung Merapi sebagai kebudayaan lokal yang
bertujuan untuk merenungi keindahan alam semesta dan hijaunya
Gunung, yang akhirnya meniscayakan diri agar menjaga dari
kerusakan dan tidak mengotori dengan polusi. Lantaran salah satu
doktrin Kejawen masa kuno adalah harmoni bersama alam. Hal ini
diinterpretasikan dengan memberi dimensi makna teologisnya, yaitu
bahwa mengenal alam semesta untuk mengenal Tuhan. Lantaran alam
semesta merupakan tanda-tanda (ayat) dan argumentasi (dalil) atas
keberadan Tuhan.
Dalil mengenal Tuhan, menurut para sufi dan teolog Muslim, dapat
diperkuat dan dibangun dengan dua argumentasi, yaitu dalil jumlah
(argumentasi global) dan dalil tafshili (argumentasi globa). Dalil
jumlah adalah teks al-Quran dan hadits. Sedangkan dalil tafshili
termasuk di dalamnya adalah menggali makna teks primer agama (al-
Quran dan hadits) dan merenungi keberadaan alam kecil, manusia,
mikrokosmos, dan manusia besar yaitu semesta, makrokosmos. Dengan
demikian, ayat Tuhan ada dua, ayat qauliyyah (ayat retorik) berupa
firmanNya dalam kitab Suci dan ayat kauniyyah (ayat kosmologi)
berupa alam semesta. Sehingga tidak berlebihan jika muncul doktrin
di kalangan sufi bahwa man ‘arafa nafsah ‘arafa rabbahu (barang
siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya).
Kedua, bertemu dan meneladani para pewaris Nabi.
Nuli mula-mula ketemu karo Sang Yang Danuwersi; iku artine sira bakal
ketemu karo warits ingsun, ya’ni al-‘Ulama waritse waratsah al-anbiya’,
(Dan bertemu dengan Sang Hyang Danuwarsih itu mengandung hikmah
yang penting, yaitu bahwa engkau akan bertemu dengan alim ulama
yang menjadi pewaris ambiyā (para Nabi).
tersebut berbentuk prosa, diantaranya: Carita Purwaka Caruban
Nagari, dan Babad Tanah Sunda. Serta naskah yang berbentuk tembang
360
di antaranya Carub Kanda, Babad Cirebon, Babad Cerbon terbitan
S.Z. Hadisutjipto, Wawacan Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga,
Naskah Kuningan dan Naskah Pulasaren. Dari sekian banyak naskah
hanya naskah Babad Cirebon terbitan Brandes saja yang tidak memuat
tentang Syekh Nurjati. Sedangkan naskah tertua yang menulis tentang
Syekh Nurjati dibuat oleh Arya Cerbon pada tahun 1706 M. Sehingga
melihat dari data-data yang ada dapat dikatakan bahwa Syekh Nurjati
bukan tokoh mitos, melainkan tokoh riil yang ada dalam sejarah
Cirebon.
Akan tetapi apa yang tertulis dalam manuscrip Sejarah Cirebon al-
Haj Mahmud Rais juz ke-2 tersebut merupakan doktrin yang diyakini
oleh masyarakat Cirebon sebagai doktrin yang diwariskan dari Syekh
Nurjadi secara turun temurun dari budaya lisan, dan bukan tulisan
Syekh Nurjati sendiri secara langsung.
Syekh Nurjati, tidak sekedar sukses mengislamkan ibunda Sunan
Gunung Jati dan pamandanya, yaitu Walangsungsang dan
Rarasantang, tapi juga sekaligus sebagai guru dan pembimbing
spiritualnya. Dalam diri Syekh Nurjati terdapat jiwa yang arif nan
bijaksana. Ia seorang pendakwah Islam yang berbasis sufisme. Selain
mengajarkan tentang pengetahuan dasar Islam dan iman, seperti
memberikan wejangan- wejangan dua kalimat syahadat, membaca al-
Quran, ibadah-ibadah yang termasuk rukun Islam dan mengetahui
rukum iman, Syekh Nurjati memberikan makna terhadap azimat
yang telah diperoleh Walangsungsangg (Walangsungsang diberinama
Shamadullah setelah berguru dengan Syekh Nurjati) dari guru Pendeta
Budha dan Kejawen di beberapa tempat sebelum memeluk agama
Islam. Dengan kata lain, Syekh Nurjati memberi wejangan, ajaran dan
nasehat berupa re- interpretasi ajaran-ajaran non-Islam yang telah
merasuki cara pandang dan keyainan Shamadullah menurut
perspektif dan pemaknaan Islam. Syekh Nurjati tidak berpretensi
menghapus secara radikal budaya dan doktrin pra-Islam di Cirebon,
melainkan tetap dipertahankan dan diapresiasi dengan cara
memberinya asupan makna yang bernuansa Islam.
Dialektika budaya dan doktrin pra-Islam, Budha dan Kejawen,
yang dipaparkan oleh Walangsungsa, dan Islam dipaparkan Syekh
Datuk Khafi, yang terdapat dalam naskah “Sejarah Cirebon”. Ternyata
dan kearifan lokal, dengan menanggalkan partikularitasnya berupa
Arabisme. Islam bukanlah Arab. Saya akan menampilkan “bentuk-
bentuk pribumisasi” Syekh Datuk Khafi di Cirebon. 359

Akulturasi Islam Sufisme dan Kearifan Lokal Syekh Nurjati


Islam Cirebon diidentikkan dengan salah seorang dari anggota Wali
Songo, yaitu Syekh Syarif Hidayatullah, yang dikenal dengan nama
Sunan Gunung Jati. Namun jika bicara soal Islamisasi di Cirebon, jauh
sebelum Sunan Gunung Jati, masyarakat Cirebon sudah dalam proses
Islamisasi.
Sebagaimana yang dipaparkan M.C. Ricklefs, seorang pakar
sejarah Indonesia, bahwa di Jawa bagian barat, Demak mendukung
pertumbuhan Banten dan Cirebon. Pada akhir abad XV tampaknya
Cirebon diduduki oleh orang-orang yang sudah memeluk agama
Islam. Tetapi masa kejayaannya secara tradisional dikaitkan dengan
salah seorang dari kesembilan wali (wali songo), Sunan Gunung Jati
(meninggal 1570).12
Sebelum Sunan Gunung Jati, ada beberapa generasi yang telah
mendahulinya dalam konteks proses Islamisasi Cirebon. Seperti
Cirebon pernah dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479)
yang merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan asas Islam.13
Cakrabuana adalah julukan Walangsungsang, paman Sunan Gunung
Jati.14 Syekh Dzat al-Khafi dikenal juga dengan nama Datuk Kafi
dan Syekh Idhofi Mahdi adalah seorang dai yang mendakwahkan
Islam di Cirebon dan berhasil mengislamkan Walangsungsang dan
Rarasantang sebagai putra dan putri mahkota Raja Pajajaran.
Dikisahkan bahwa Syekh Datuk Khafi (Syekh Datoe Khafi) dari
Baghdad bersama rombongan imigran Arab yang dipimpin oleh
Maulana Abdul Rahman yang hendak bermukim di Jawa. Maulana
Abdul Rahman setelah bertempat di Panjunan, akhirnya dikenal
dengan nama Pangeran Panjunan. Syekh Datuk Khafi setelah
bermukim di Amparan Jati akhirnya dikenal dengan nama Syekh
Nurjati.15 Bahkan, menurut Agus Sunyoto bahwa Syekh Datuk Khafi
adalah guru Abdul Jalal yang dikemudian hari dikenal dengan
nama Syekh Siti Jenar dan Sunan Gunung Jati.16
Bukan hanya naskah Sejarah Cirebon jilid ke-2 dari 16 jilid, an
sich cerita tentang Syekh Nurjati dijumpai juga dalam naskah-naskah
tradisi Cirebon yang merupakan bukti sekunder. Naskah-naskah
ukhrijat, walau min fasiqîen aw min kafirîen” (Ambillah wisdom dari
bejana manapun ia keluar, meski dari orang fasik atau bahkan kafir).
358
Ujaran arif ini mengandaikan sebuah toleransi radikal, dan Imam
Ali menyadari sepenuh hati bahwa semua ilmu dan kebijaksanaan
yang ditemukan manusia adalah bersumber dari Dzat Yang Maha
Tahu dan Mengetahui. Karena itu, ilmu dan kebijaksanaan
sejatinya tak mengenal identitas keterkotak-kotakan yang dikonstruk
oleh letak geografis, agama atau ras. Ia (baca: ilmu dan kebijaksanaan)
bersifat lintas-batas, dan terlalu luas untuk disematkan kepadanya
satu “jenis kelamin” tertentu, lantaran ia bersumber dari Dzat Yang
Maha Luas, yang mana keluasannya tak bisa terjangkau oleh otak
kerdil manusia. Dan inilah yang disadari betul oleh para teosuf
Islam.
Dalam konteks Indonesia, khususnya Jawa, segenap para teosuf yang
dikenal dengan para wali songo, telah berusaha mengakulturasikan
dan mengkompromikan Islam dengan budaya dan keyakinan lokal.
Di antara yang dikenal dan terkenal melakukan akulturasi yaitu
Sunan Bonang dengan menggubah Gamelan Jawa yang pada masanya
kental dengan estetikan Hindu “digubah” menjadi bernuansa dzikir
yang mendorong kecintaan pada Tuhan dan kehidupan spiritual-
transendental, menggubah lakon dan tafsir khas Islam dalam pentas
pewayangan seperti perseteruan Pandawa dan Kurawa ditafsiri sebagai
perseteruan antara nafiy (peniadaan) dan itsbat (peneguhan); Sunan
Kalijaga menciptakan baju takwa, perayaan Sekatenan, Grebeg
Maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja; Sunan
Kudus memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha yang
digunakan masyarakat Kudus, seperti arsitektur masjid Kudus, Bentuk
Menara, gerbang dan pancuran atau padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha.11 Lalu pertanyaan yang
muncul dalam benak saya, bahwa apakah ada pola-pola
pengadaptasian Islam dan kearifan lokal yang dilakukan oleh tokoh
sufi selain Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Kudus? Kalau
ada salah satu tokoh sufi yang telah melakukannya, pertanyaan
susulannya adalah bahwa apa saja pernak- pernik produk
pemikirannya? Saya menemukan jawabannya dari naskah “Sejarah
Cirebon” juz ke-2, yang dengan jelas ada salah satu tokoh sufi,
namanya Syekh Datuk Khafi, yang melakukan sebentuk pribumisasi
berupa akulturasi dan pengadaptasian doktrin Islam dengan keafiran
lokal. Pribumisasi berorientasi pada upaya merembeskan atau
m slam ke dalam budaya
e
n
g
i
n
t
e
r
n
a
l
i
s
a
s
i
k
a
n

d
o
k
t
r
i
n

u
n
i
v
e
r
s
a
l

I
lebih umum sastra Arab ke sastra Persia. 9 Dan masih banyak lagi para
sufi yang bengupayakan adanya akulturasi sufisme dan budaya yang
tidak disebukan di sini. 357
Wajar jika pemikiran sufistik mereka dicurigai keotentikannya.
Karena sejatinya adalah hal yang mustahil adanya sebuah orisinalitas
dalam sebuah konstruksi pemikiran dan spiritualitas mana pun.
Mensintesakan semua pemikiran dan spiritualitas yang dilakukan
kaum teosof adalah sikap arif dan inklusif. Barangkali sudah
merupakan rahasia umum bahwa referensi yang dipakai kaum teosof
bukan hanya dari tradisi Islam (al-Qur`an dan hadits) an sich, akan
tetapi dari semua penjuru dunia spiritual dan pemikiran, di samping
dari pergolakan spiritual dan keresahan pemikiran yang timbul
dari pengalaman panjang dalam mencari kebenaran sejati.
Meski mereka seringkali, dalam panggung sejarah, diposisikan
sebagai kelompok subaltern (sempalan yang termarjinalkan), karena
dianggap mereka cenderung meninggalkan ortodoksi dan literalisme
Islam, namun justru hal ini adalah langka yang positif. Karena dengan
“menjaga jarak” darinya (ortodoksi dan literalisme Islam) telah
memberi “ruang bebas gerak’’ untuk diisi dengan berfikir, berintuisi
dan berkontemplasi secara dinamis. Karena itu, bukan hal yang
mengada- ada kalau dikatakan “bahwa mereka, para teosof adalah
ibnu waqtihi (ikon bagi zamannya).”10
Tidak diragukan lagi kalau kita katakan bahwa, bukan teosof,
jika berhadapan dengan ide-spiritualitas Liyan dihadapi dengan
sinis, sarkasme dan anarkisme. Para teosof, dalam menghadapi
ide-spiritualitas liyan, akan selalu mengedepankan sikap adaptif,
dialogis, apresiatif dan bahkan tidak segan-segan mengadopsi untuk
dielaborasi dengan perenungan dirinya serta tetap dengan pijakan
tradisi Islam. Namun di sini, kita tidak sedang menegaskan bahwa,
tidak ada orisinilitas pemikiran. Akan tetapi di sini kita hanya ingin
membuktikan betapa mereka dalam mengadakan perenungan tidak
ada kata alergi untuk mengakui bahwa ada kebenaran wisdom (hikmah/
kebijaksanaan) di luar Islam. Ada yang bisa dipelajari dan diambil.
Dengan berprinsipkan pada sebuah “jargon” yang sangat terkenal, yang
oleh para pakar dianggap sebagai perkataan sahabat Nabi Saw., yang
menjadi idola para teosof dan dinobatkan oleh Nabi sebagai “babul
al- ‘ilmi” (pintu ilmu), yaitu Imam Agung Sayyidina Ali bin Abu
Thalib Karamallahu Wajhah, yang berupa: “khudzil al-hikmah walau
min wi’âin
adiluhung yang bernuansa sufistik, dan inter-teks untuk melihat
konteks lokalitasnya sebuah teks.
356
Eksperimentasi dan pengalaman spiritual bersifat individualistik.
Ada pergulatan kuat yang tersimpan rapi di ruang privat, yang
membentuk gelombang imajinasi yang memicu kontemplasi dan
berfikir bebas, dengan mengabaikan sekat-sekat doktrin dan ortodoksi
agama. Hal ini adalah napak tilas kaum teosof Islam, di mana yang
diandaikan adalah membangun “agama baru” di dalam agama (Islam).
Sebuah agama masa depan bagi manusia. Kado dari individu-individu
para teosof untuk semua manusia.
Pergumulan ide dan imajinasi kreatif dengan pemikiran liyan
(lain), budaya dan agama lokal telah didayagunakan secara arif dalam
dialog produktif. Lain halnya para mutakallimin dan ahli fikih yang
ketika berhadapan dengan ide dan keyakinan di luar Islam cenderung
menonjolkan dialog radikal, yang tidak empati. Para teosof dalam
menghayati, merenung, dan memikirkan Islam yang dianut, tidak
serta-merta menggusur habis-habisan ide atau spiritual liyan dan agama
lokal, bahkan mereka dengan cantik mengadopsinya dalam upaya
mensistematiskan dan mengisi nilai-nilai spiritual yang ada pada lokus
Islam.
Sebagai misal pergumulan dunia sufisme, spiritalitas Islam, dan
budaya lokal tercermin pada kontribusi budaya lokal pada dunia sufi,
seperti pengalaman cinta Qais kepada Laila selaras dengan pengalaman
cinta al-Hallaj kepada Tuhannya. Adalah Qais, seorang yang mabuk
kepayang cinta kepada seorang perempuan Layla, yang mulutnya
telah menyemburatkan ribuan syair cinta. Dalam pengalam cintanya,
dia seakan adalah Layla sendiri. Dia majnun (gila) dalam cinta,
sehingga di alam imajinasinya, Layla, perempuan yang dia cintai selalu
menjelma, tidak ada makna yang bermakna selain Layla, semua
sesuatu yang dilihatnya adalah Layla, dan sampai dia berkata “Aku
adalah Layla” (Ana Layla), ini adalah perkataan klimaks dalam
bergulat dengan cintanya kepada Layla. Tanpa lelah. Dan
perkataan Qais “Ana Layla” serupa dengan perkataan al-Hallaj, yaitu
ana al-Haq (aku adalah yang Haq), yang sama-sama (Qays dan al-
Hallaj) mengindikasikan cinta yang menuju ittihad (penyatuan
pecinta dan sang kekasihnya) dan fana.8 Dan ini adalah indikasi
adanya pengaruh dari budaya lokal Arab, yaitu syair, terhadap para
sufi. Dan bahkan menurut Dr. Ghanami Hilal bahwa para sufilah
yang telah mentransformasikan syair Qais dan
saksi sejarah atas perjalanan sejarah Cirebon yang dituturkan dalam
budaya lisan dari generasi ke generasi. Meski orang-orang Buntet
merupakan kekuatan pengontrol terhadap kebijakan keraton pada 355
masanya, khususnya pada masa kolonialisme Belanda yang dianggap
keraton sudah berkualisi dengan Belanda yang tidak disetujui oleh
mereka yang ada di Buntet.

Sufisme Sebagai Perspektif dan Landasan Akulturasi


Pendekatan yang akan saya gunakan untuk membaca, menganalisa
dan mendedahkan naskah yang saya kaji, Sejarah Cirebon al-Haji
Mahmud Rais jilid ke-II, dengan pendekatan sufistik. Perspektif sufistik
akan saya gunakan untuk membaca dan menginterpretasikannya. Sudah
pasti saya akan merefer kitab-kitab tasawuf klasik dan pandangan-
pandangan para sufi.
Sufisme sebagai perspektif mengandaikan apa yang diistilahkan
Gus Dur dengan “Pribumisasi”, sebagaimana yang saya gunakan
dalam judul artikel saya ini. Yakni bahwa Islam bukan Arab, meski
Islam datang dari Arab akan tetapi Islam sebagai agama dan sistem
nilai berbeda dengan dan bukan bagian dari Arab. Sehingga dalam
perspektif sufisme yang segaris dengan semangat pribumisasi
membedakan antara Islamisasi dan Arabisme atau Arabisasi. Gus Dur
berpandangan bahwa pribumisasi sebentuk Islam yang mengapresiasi
dan mengadopsi budaya-budaya lokal, mengkolaborasikan Islam
budaya, dimanay pribumisasi bukan upaya mengindarkan timbulnya
perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi
justru agar budaya itu tidak hilang.7 Karena itu, inti pribumisasi
Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara
agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian tidak
terhindarkan.
Arabisasi seperti truk buldoser yang akan menggerus dan meluluh
lantahkan kekayaan budaya dan menghancurkan kearifan lokal.
Dalam perspektif nalar pribumisasi, kita sebagai insan Nusantara yang
memiliki kekayaan budaya dan kearifan lokal sendiri sebagai identitas
kulturalnya secara kebetulan beragama Islam. Tidak sebaliknya,
sebagaimana yang diyakini golongan yang berideologi Arabisme yang
berasumsi bahwa seseorang yang beragam Islam yang secara kebetulan
hidup di bumi Nusantara.
Menggunakan perspektif sufistik untuk menguak makna terdalam
dari sebuah substansi teks yang bertutur tentang wejangan-wejangan
Madrais yang kyai Buntet itu menulis sejarah Cirebon yang
kental sekali dengan sejarah kewalian dan bernuansa keraton sentris.
354
Ini menarik, seorang yang berada di luar keraton, menulis sejarah
Cirebon. Penulis menjadi menarik untuk mengajukan pertannyaan
yang menggelitik, apakah ada korelasi historis antara Buntet
Pesantren dan keraton Cirebon?
Jika ditelisik aspek historisitas Pesantren Buntet, maka menjadi
jelas bahwa antara Pesantren Buntet dan Keraton Cirebon memiliki
korelasi historis yang cukup kuat. Sebagaimana dalam sejarah pendiri
Pesantren Buntet yang sangat erat kaitannya dengan sejarah keraton.
Pesantren Buntet pertama kali didirikan oleh Kyai Muqayim bin Abdul
Hadi pada tahun 1750. Kyai Muqayim dikenal dengan nama Mbah
Muqayim adalah seorang Penghulu Keraton atau Mufti istana
Kanoman. Beliau menentang dan tidak setuju dengan campur tangan
Belanda dalam urusan keraton dan menyaksikan betapa sebagian
bangsawan keraton telah terjebak dalam aturan Belanda—banyak
di antara mereka malah berprilaku bertentangan dengan syari’ah,
seperti berdansa- dansi dan minum alkohol—meninggalkan keraton
dan memutuskan tinggal di luar lingkungan keraton. Ia mendirikan
sebuah masjid dan pemondokan di desa tempatnya menetap
bersama pengikutnya dan memulai pengajaran agama Islam.
Menyandang nama baik sebagai mantan Penghulu Keraton dengan
ilmu agamanya yang luas serta teladan yang baik, ia menarik minta
banyak siswa, sehingga pondoknya segera penuh oleh orang-orang yang
berminat belajar. Akhirnya mereka harus mendirikan lebih banyak
pondok lagi. Pada akhirnya, tempat itu menjadi pusat pendidikan
Islam dan berkembang menjadi kompleks pendidikan hingga
mencapai bentuknya yang sekarang.6
Setelah itu, pesantren Buntet menjadi semacam civil society,
sebuah komunitas masyarakat yang mandiri, independen, tidak
menggantungkan nasibnya pada eksistensi keraton, bahkan menjadi
pengontrol atas kelakuan keraton yang “dikangkangi” oleh kekuatan
koloni Belanda.
Menjadi jelas bahwa komunitas Pesantren Buntet, yang di dalamnya
juga ada seorang Madrais, merupakan para pelaku sejarah yang
bersentuhan langsung dengan pergulatan dan perhelatan wacana Islam,
budaya lokal dan politik yang bermuara pada Keraton. Sejarah
panjang ke belakang menjadi merasa berhak ditulis oleh mereka,
termasuk juga Madrais, lantaran para pendahulu, orang-orang kuno di
B
u
n
t
e
t

a
d
a
l
a
h
meski tidak menghilangkan pesan yang sesungguhnya dan tidak e
melenceng dari substansi. n
Selain sang pendongeng, Haji Madrais juga dikenal sebagai seorang d
kyai yang sufi dan asketis. Kedua karakter, yaitu pendongeng dan asketis, e
tercermin dalam satu ungkapannya dalam mukaddimah naskah; s
“Pinten-pinten ikhwan ugi para ba’dlu al-ashdiqa’ katah ingkang sami nuhun a
dipun damelaken hikayat babad Cirebon ingkang jelas. Dados manih kula .
gerigah, lajeng tumandang shalat Istikharah sepindah ping kalih ping tiga,
kepaksa kula damel miturut saking dongeng-dongen ceritane para sepuh-
sepuh angsal nukil saking pinten-pinten sejarah-sejarah babad kuna”
(Beberapa saudara dan juga sebagian teman, banyak yang memohon
dibuatkan hikayat babad Cirebon yang jelas. Jadi saya tergugah. Lalu saya
melakukan shalat Istikharah terlebih daulu, setiap melakukan tiga kali.
Akhirnya dengan terpaksa saya membuatkannya dari dongeng-dongen
ceritanya para sesepuh yang didapatkan dengan menukil beberapa
sejarah babad kuno).4

Jelas bahwa naskah yang ditulisnya merupakan sebuah permintaan


dari kalangan keluarganya sendiri dan para sahabat-sahabatnya.
Dalam tradisi penulisan di kalangan para ulama dan kyai, biasanya
yang dimaksud dengan sahabat-sahabatnya yang menyampaikan aspirasi
agar sang ulama menulis sebuah karya itu adalah para santri-santrinya
yang setia mengaji, mendengarkan pengajiannya dan pengikut
lantaran sang ulama dianggap sebagai soko guru yang patut diteladani.
Dalam konteks naskah ini, jelas bahwa karena sang penulis, Madrais,
merupakan kyai yang pandai mendongeng, maka para santri dan
murid-muridnya— baik murid dari kalangan keluarganyan sendiri
atau dari pihak non- keluarga, dan baik santri kalong atau santri
yang mukin di bilik-bilik pesantren Buntet—menyampaikan
aspirasinya agar dongeng-dongen yang pada saat itu hanya
disampaikan melalui lisan dituliskan dalam satu karya.
Meski demikian, Madrais bukan kyai yang bertanggungjawab
terhadap kemajuan sebuah pesantren tertentu yang ada di Buntet.
Dengan kata lain bukan kyai utama dan bukan pengasuh utama di
sebuah pesantren. Ia seorang kyai yang sebagian besar waktunya
untuk mengajar ngaji di tengah-tengah masyarakat, meski sesekali waktu
untuk ngajar di pesantren.5 Sejenis kyai yang bisa menggelarkan
pengajian di semua lini, semua kelas sosial yang ada. Jika kita sepakat
dengan tipologi ada kyai pesantren dan ada kyai endesa (desa), maka
Madrais adalah lebih cenderung cocok dikategorikan sebagai kyai
353
sya’biyyah). Keberadaannya dalam tradisi tutur, ia bersifat bebas dan
inklusif. Bebas dari penambahan dan pengurangan dari sebuah proses
352
pemaparan sebuah kronologi sejarah; inklusif dari kekayaan interpretasi
dan penafsiran.
Namun teks yang tercecer dalam tradisi tutur dipungut, digabung-
gabungkan, dan dikonstruksi atau bahkan rekonstruksi dalam satu
narasi sejarah oleh Haji Mahmud Rais. Haji Mahmud Rais yang
tercatat dalam kolofon naskah, ia adalah seorang kyai yang hidup di
lingkungan pesantren yang berusia tua. Ia hidup di Mertapada, Buntet
Pesantren. Buntet adalah nama salah satu daerah yang ada di
Cirebon, yang karena penduduknya mayoritas adalah santri maka
Buntet pun dinamai dengan “Buntet Pesantren”.
Dari hasil wawancara dengan komunitas masyarakat Buntet,
khususnya dengan kalangan putra-putri keluarga pesantren, mereka
cukup akrab dengan nama Haji Mahmud Rais. Sosok Haji Mahmud
Rais sampai sekarang masih diceritakan oleh masyarakat Buntet,
khususnya di kalangan keluarga kyai. Sekarang Haji Mahmud Rais
dikenal dengan nama Madrais. Dalam tradisi Cirebon, khususnya di
Cirebon bagian yang berbahasa Jawa, terdapat tradisi mempersingkat
nama agar mudah dihafal, enak diucapkan, akrab dan sebagai
gambaran dari sebuah akulturasi “penjawaan nama”. Nama-nama
yang tersusun dengan diawali nama Mahmud atau Muhammad, maka
sering kali disingkat dengan sedemikian rupa. Seperti Mahmud Rais
disingkat menjadi Madrais, nama Mahmud Rafi’i disingkat dengan
nama Madrafi, nama Muhammad Husein disingkat Madhusein atau
Madkusen, Muhammad Ali disingkat Madngali.
Ia, Haji Mahmud Rais (panggilan akrabnya Madrais), dikenal
sebagai seorang kyai yang senang mengajarkan Kitab Kuning dan
ajaran-ajaran Islam dengan cara mendongeng. Mendongeng
merupakan metode yang ia gunakan, menjadikan apa yang
disampaikan menarik simpati audiens. Ibu-ibu, bapak-bapak, dan
apalagi anak-anak, bersemangat menghadiri pengajian demi
pengajiannya. Lantaran sistem dongengnya yang unik, tidak kaku,
tidak berjarak, dan kontekstual.3
Dongeng memang membutuhkan kemampuan dan bakat
tersendiri. Sang pendongeng memiliki kemampuan menggubah kisah
yang terkesan datar-datar saja menjadi hidup, sesuatu yang normatif
diimprofisasi dan digubah menjadi satu adegan sejarah atau kisah
yang terkesan, menarik dan terkesan bagi para pembaca dan
p
e
n
d
e
n
g
a
r
n
y
a
Awalnya saya bingung dan bimbang apakah saya “nekad” mengkaji
naskah ini atau cari naskah lain? Kebimbangan ini disebabkan status
naskah ditinjau dari aspek deskripsinya masih belum terlacak. Namun 351
keraguan itu segera terkikis ketika setelah saya tahu bahwa ternyata
naskah ini merupakah salah satu naskah koleksi Pusat Naskah Klasik
Cirebon, sebuah lembaga legal yang dikelola oleh seorang filolog dan
pecinta naskah Cirebon terkemuka yaitu drh. Bambang Irianto, BA.
Naskah ini merupakan koleksi pribadi drh. Bambang Irianto, BA.
Sehingga status naskah ditinjau dari berbagai aspek, khususnya aspek
filologis, sudah dapat dipertanggung jawabkan dan statusnya pun
jelas. Diperkuat dengan kenyataan riil bahwa ternyata naskah salinan
miliki Musta’in sama persis dengan naskah koleksi Bambang
Irianto.
Dalam deskripsi Naskah yang saya kaji yang terdapat pada koleksi
Bambang Irianto masuk pada dideskripsi naskah yang ke-20 (dua
puluh). Dinyatakan naskah belum terpublikasikan dalam katalog atau
sumber apa saja judul naskah itu disebut. Kode dan nomor naskah
34 (T-3). Judul naskah “Sejarah Cirebon H. Mahmud Rais. Tidak
disebutkan nama penulisnya. Sedangkan penulisnya adalah H.
Mahmud Rais. Tahun penyalinan 15 Desember 1957. Tempat
penyimpanan di Koleksi pribadi drh. H. Bambang Irianto. Asal
naskah H. Mahmud Rais. Pemilik asal Mustakim. Jenis kertas alas
naskah adalah kertas folio bergaris. Kondisi naskah; tulisan terbaca
baik, kertas baik dan utuh. Penjilidan dengan benang di samping,
bersampul kertas dan kain warna biru. Cap kertas (watermark)
tidak ada. Garis tebal dan tipis tidak ada. Jarak garis tebal pertama
s.d keenam tidak ada. Jumlah garis tipis dalam 1 cm tidak ada. Jumlah
kuras dan lembar kertas: 14 kuras; 20 lembar. Penomoran halaman: di
sebelah kiri atas. Jumlah halaman: total 558 halaman, halaman tidak
terisi 61. Jumlah baris dalam setiap halaman: 29. Ukuran naskah
dalam cm (p x I): 21 x 16 cm. ukuran teks dalam cm (p x I): 17,5 x 15
cm. Kata alihan (catchword) tidak ada. Ilustrasi atau illuminasi tidak
ada. Aksara dan bahasa yang digunakan adalah Arab (Pegon), bahasa
Jawa Cirebon dan bahasa Arab. Warna tinta hitam. Ringkasan isi cerita
dalam teks tentang sejarah Cirebon dan doa-doa.
Meletakkan Konteks Penulis dan Teks: Kearifan Kyai Pesantren
Teks “Sejarah Cirebon” adalah teks babad, yang berisi tentang
sejarah Cirebon yang awalnya berserakan dalam tradisi tutur (qissah
N
askah yang saya kaji merupakan naskah sejenis Babad. Seperti
pada umumnya karakter penulisan Babad, teks menjelaskan
350
masa silam yang disampaikan dalam tradisi lisan (pitutur),
diturunkan secara oral dari generasi ke generasi selanjutnya, sehingga
eksistensi alur sejarahnya tetap terjaga di satu sisi, dan pada saat yang
sama berpotensi adanya reduksi baik penambahan atau pengurangan
dari sejarah yang sebenarnya. Akan tetapi substansinya di dalam teks
babad mengandung nilai-nilai adiluhung yang bersifat luhur, local
wisdom (kearifan lokal), ajaran atau doktrin yang didakwahkan sang
aktor dan menceritakan latar-lokalitasnya.
Babad yang dalam naskah ini diistilahkan atau diberi judul
“Sejarah”, dari masa dimana sejarah itu dituturkan dalam tradisi lisan
ke penulisan naskah terdapat jedah masa yang cukup panjang, satu
atau dua abad lamanya. Akan tetapi prinsip-prinsip fundamental yang
bersifat substantif masih tetap terjaga, bahkan terasa ada penambahan
pun berfungsi memperkuat prinsip-prinsip itu. Dari Naskah Sejarah
Cirebon yang berjumlah 16 juz, saya memilih juz ke-2 saja yang telah
saya transkrip, terjemah, sunting dan saya kaji.1 Naskah juz ke-2
menjelaskan tentang doktrin Islam yang dituturkan Syekh Nurjati yang
bernuansa sufisme yang cenderung adaptif dan akomodatif terhadap
budaya dan kearifan lokal Cirebon.
Saya mendapatkan naskah ini dari seorang sahabat saya, Musta’in.
Ia memiliki naskah ini, sebagai naskah copian dari naskah salinan, yang
didapatkan dari ayahandanya yang pernah berprofesi menjadi imam
Masjid Astana Gunung Jati Cirebon. Bapaknya dari bapaknya lagi, atau
kakeknya Musta’in yang bernama embah Mudeni. Sedangkan kakek
Mudeni dari istrinya yang bernama Nyai Saeri, yang berarti neneknya
Musta’in. Nyai Saeri mendapatkan naskah tersebut dari neneknya
yang bernama Niyah, yang berarti buyutnya Musta’in. Kakek
Mudenilah yang menjaga, membaca dan “meyakini” isi dari naskah
tersebut. Lantaran kakek Mudeni pada zamannya merupakan seorang
Kuncen/Kemit/ Keraman di Pesambangan Gunung Jati. Kemit atau
kuncen dalam tradisi Cirebon klasik adalah seseorang orang menjaga
segala urusan Komplek Makam Sunan Gunung Jati. Di samping itu,
beliau juga sebagai Keraman sehingga sering mengisi khutbah di
Masjid Kanoman dan Kasepuan. Beliau juga sebagai Ketib di Masjid
Agung Gunung Jati, yang diberi nama Masjid Dog Jumeneng. Dengan
kata lain, kakek Mudeni bertugas menjaga keluhuran tradisi dan
agama sekaligus.2
Mukti Ali

Sejarah Cirebon: Ekperimen Pribumisasi Islam-Sufistik Syekh Nurjati

Abstract: This article examines the second volume of the manuscript


Sejarah Cirebon, written by H. Mahmud Rais. According to the copied
version that also collected by Bambang Irianto, this manuscript was
copied on December 15, 1957 and was written with the Cirebonese-
Javanese and Arabic language. In summary, this text describes the
Islamic doctrines delivered by Syekh Nurjati that tend to be adaptive and
accommodating towards the local culture of Cirebon. Using the
approach of sufism, in order to uncover the local context of the text,
this article sets that there were six very substantial teaching to be done
by Muslims. First, regarding the aspect of the God. Second, follow those
who inherited the prophets. Third, do the beneficial and stay away from
the forbidden things. Fourth, the teachings of love. Fifth, be consistent
with the truth. Sixth, the balance between ilmu and amal.

Keywords: Sejarah Cirebon, H. Mahmud Rais, Syekh Nurjati, Local


Context.

Abstrak: Artikel ini mengkaji jilid kedua dari naskah Sejarah Cirebon
yang ditulis oleh H. Mahmud Rais. Dalam salinan yang juga dimiliki
oleh Bambang Irianto, naskah ini disalin pada 15 Desember 1957 dan
ditulis dengan aksara Pegon serta bahasa Jawa-Cirebon dan Arab. Secara
ringkas, teks ini menjelaskan doktrin-doktrin keislaman yang disampaikan
oleh Syekh Nurjati yang cenderung adaptif dan akomodatif terhadap
kebudayaan lokal Cirebon. Doktrin-doktrin tersebut dianggap sebagai
wejangan yang bernilai luhur dan bernilai sufistik. Dengan menggunakan
pendekatan sufistik, dalam rangka mengungkap konteks lokal teks
tersebut, artikel ini memaparkan bahwa terdapat enam ajaran yang
sangat substansial yang harus dilakukan oleh umat Islam. Yaitu, pertama,
mengenai aspek ketuhanan. Kedua, meneladani para pewaris Nabi.
Ketiga, melakukan hal yang bermanfaat dan menjauhi hal yang dilarang.
Keempat, ajaran saling mengasihi. Kelima, konsisten dalam kebenaran.
Keenam, keseimbangan antara ilmu dan amal.

Kata Kunci: Sejarah Cirebon, H, Mahmud Rais, Syekh Nurjati, konteks


lokal.
349
Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015
Sidi
k

Persada. 1996.
Sriyanti. “Naṣīhah al-Muslimin wa Tadhkirah al-Mu’minin Ta’lif ‘Abd al-Ṣamad
al-Jāwī al-Palimbānī Taḥqīquha wa Takhrīju Aḥādithiha al-Nabawiyyah Fīha”.
347
Skripsi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008,
tidak diterbitkan.
Al-Palembānī, Syeikh Abd aṣ-S{amād. t.t. Mulḥaq fī Bayān al-Fawā’id an-Nāfi’ah
fī al-Jihād fī Sabīl Allāh. t.tp: t.np.
. Anīs al-Muttaqīn, Tahqiq Ahmada Luthfi, (Jakarta: Balitbang Kemenag
R.I),
Yani, Zulkarnain. Al-Urwah Al-Wuthqa Karya Al-Palimbani: Tradisi dan Ritual
Tarekat Sammaniyah di Palembang. Jakarta: Penamadani. 2011.

Sidik, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, Indonesia. Email:


sidik_hasan76@yahoo.com.

Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015


Bibliografi
346 Abdullah, Wan Mohd Shaghir, Syeikh Abdus Shamad Palembang: Ulama Shufi
dan Jihad Dunia Melayu, (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1996).
. Hidayatus Salikin Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Cet. 2 (Kuala
Lumpur: Khazanah Fataniyah, 2000).
Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapanan. 1987.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana. 2004.
. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina,
1999).
Anonim. “Syeikh Abdul Samad Al-Falimbani: Ulama, Sufi, dan Syuhada”.
Dalam http://taufikirawan.wordpress.com/2011/11/0fi/syeikh-abdul-samad-al-
falimbani-ulama-sufi-dan-syuhada/. 2011. Diakses 14 Juni 2012.
Anonim. “Syeikh Samman Sang Pendiri Sammaniyah”. Dalam http://
yayasannururrahman.wordpress.com/2011/03/17/syekh-samman-sang-
pendiri-sammaniyah/. Diakses 31 Juli 2012.
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. 1995.
. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan
Sosiologis (Bandung: Mizan, 1992).
Esposito, Jhon L. dan Mogahed, Dalia. Saatnya Muslim Bicara: Opini Umat
Muslim tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-isu Kontemporer
Lainnya. Bandung: Mizan, 2008.
Hegghammer, Thomas, Jihad in Saudi Arabia: Violance and Pan Islamism Since
1979 (New York: Cambridge University Press, 2010).
Luthfi, Ahmad. “Naṣīhah al-Muslimin wa Tadhkirah al-Mu’minin fī Faḍā’il al-
Jihād fi Sabīlillāh wa Karāmah al-Mujāhidīn fī Sabīlillāh”. Tahqiq. Jakarta:
Kementerian Agama Repbulik Indonesia, 2009.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cet. 8.
Jakarta: LP3ES, 1996.
Purwadaksi, Ahmad. Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman:
Suntingan Naskah dan Kajian Isi. Jakarta: Djambatan, 2004.
Saefullah, Asep. “Keutamaan Jihad dan Kemuliaan Mujahidin Menurut al-
Palimbani (Kajian Naskah Naṣīḥah al-Muslimīn wa Tazkirah al-Mu’minīn)”,
Penelitian pada Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama R.I., 2008, tidak dipublikasikan.
Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Isi, (Jakarta: Djambatan, 2004); Anonim, “Syeikh Samman Sang Pendiri
Sammaniyah”, dalam http://yayasannururrahman.wordpress.com/2011/03/17/syekh-
samman-sang- pendiri-sammaniyah/. Diakses 31 Juli 2012.
18. Zulkarnain Yani, Al-Urwah..., hlm. 94, 100, dan 103. 345
19. Martin van Bruinessen, Tarekat..., hlm. 16; Martin van Bruinessen, Kitab Kuning
Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995),
hlm. 337.
20. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cet. 8 (Jakarta:
LP3ES, 1996), hlm. 20.
21. Martin van Bruinessen, Kitab..., hlm. 338-339.
22. Al-Palimbānī, Naṣīḥat..., hlm. 46.
23. Azyumardi Azra, Jaringan..., hlm. 363-366.
24. Lihat Ibid.
25. Lihat Ahmad Luthfi, “Naṣīhah...”.
26. Lihat Mulḥaq (Jawi).
27. Lihat Ahmad Luthfi, “Naṣīhah...”.
28. Lihat Mulḥaq (Jawi).
29. Martin van Bruinessen, Kitab..., hlm. 331; Zulkarnain Yani, Al-Urwah..., hlm. 92.
30. Wan Mohd Shaghir Abdullah, Syeikh Abdus Shamad Palembang: Ulama Shufi dan
Jihad Dunia Melayu (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1996), hlm. 96-97.
31. Al-Palimbānī, Naṣīḥat..., hlm. 12-13.
32. Anonim, “Syeikh Abdul Samad Al-Falimbani: Ulama, Sufi, dan Syuhada”, dalam
http://taufikirawan.wordpress.com/2011/11/0fi/syeikh-abdul-samad-al-falimbani-ulama-
sufi-dan-syuhada/, 2011. Diakses 14 Juni 2012.
33. Azyumardi Azra, Jaringan..., hlm. 358-364.
34. Wan Mohd Shaghir Abdullah, Syeikh..., hlm. 72-78.
35. Martin van Bruinessen, Kitab..., hlm. 331.
36. Azyumardi Azra, Jaringan...; Wan Mohd Shaghir Abdullah, Syeikh...; dan
Zulkarnain Yani, Al-Urwah...
37. Zulkarnain Yani, Al-Urwah..., hlm. 37-38.
38. Anonim. “Syeikh Samman...”.
39. Azyumardi Azra, Jaringan...
40. Wan Mohd Shaghir Abdullah, Syeikh...
41. Ibid.
42. Al-Palimbānī, Naṣīḥat..., hlm. 105-107.
43. Azyumardi Azra, Jaringan...
44. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapanan, 1987).
45. Lihat Al-Palimbānī, Mulḥaq fī Bayān al-Fawā’id an-Nāfi’ah li al-Jihād fī Sabīlillāh,
(ttp.: tnp., t.t).
46. Al-Palimbānī, Mulḥaq...
47. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, Hidayatus Salikin Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani,
Cet. 2 (Kuala Lumpur: Khazanah Fataniyah, 2000), hlm. 105-106.
48. Al-Palimbānī, Anīs al-Muttaqīn, Tahqiq Ahmada Luthfi, (Jakarta: Balitbang
Kemenag R.I), hlm. 90.
49. Wan Mohd. Shaghir Abdullah, Hidayatus..., hlm. 106-107.
50. Ibid.
51. Lihat al-Palimbānī, Mulḥaq...
52. Lihat Ibid.
53. Lihat Ibid.
54. Lihat Ibid.
Catatan Kaki
• Artikel ini disarikan dari Laporan Akhir Short Course Metodologi Penelitian Filologi,
344 Kerjasama Diktis Kemenag-PPIM UIN Jakarta-Manassa, Juni-September 2012 di
Jakarta. Terima kasih yang setinggi-tingginya saya sampaikan pada Kemenag atas
kesempatan yang diberikan pada penulis untuk mengikuti Short Course yang baru
pertama kali dilaksanakan bagi Dosen PTAI/PTAIS ini. Terimakasih yang tidak
terhingga saya persembahkan kepada Dr. Oman Fathurahman, Dr. Fu’ad Jabali, Dr.
Saiful Umam, Jajang Jahroni, MA, Munawar Holil, M. Hum, dan M. Adib Misbachul
Islam, M. Hum atas kritik dan saran mereka selaku mentor dalam short course
tersebut. Secara khusus, terima kasih saya tujukan kepada Dr. Saiful Umam atas
bimbingan yang diberikannya hingga penyusunan artikel ini menjadi lebih mudah dan
mungkin untuk diselesaikan. Terima kasih juga saya persembahkan untuk para
narasumber atas bekal ilmu yang sangat kaya yang telah diberikan. Last but not least,
terima kasih pula pada seluruh sahabat, peserta pelatihan, atas inspirasi dan
dukungannya. Terlepas dari persinggungan dengan berbagai pihak yang telah
disebutkan, substansi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.
1. Jhon L. Esposito dan Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara: Opini Umat Muslim
tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-isu Kontemporer Lainnya
(Bandung: Mizan, 2008), hlm. 42; Thomas Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia:
Violance and Pan Islamism Since 1979 (New York: Cambridge University Press,
2010), hlm. 7.
2. Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam
(Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 47-48.
3. Al-Palimbānī, Naṣīḥat al-Muslimīn wa Tadhkirāt al-Mu’minīn fī Faḍā’il al-Jihād fī
Sabīlillāh wa Karāmah al-Mujāhidīn fī Sabilillāh, Tahqiq Ahmad Luthfi, (Jakarta:
Kementerian Agama Repbulik Indonesia, 2009).
4. Aselih Asmawi, “Nasihat al-Muslimin wa Tadhkirat al-Mu’minin fi Fada’il al-Jihad fi
Sabil Allah”, Skripsi di Universitas Indonesia (UI), 1985, tidak diterbitkan.
5. Sriyanti, “Naṣīhah al-Muslimin wa Tadhkirah al-Mu’minin Ta’lif ‘Abd al-Ṣamad al-
Jāwī al-Palimbānī Taḥqīquha wa Takhrīju Aḥādithiha al-Nabawiyyah Fīha”, Skripsi di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, tidak diterbitkan.
6. Asep Saefullah, “Keutamaan Jihad dan Kemuliaan Mujahidin Menurut al-Palimbani
(Kajian Naskah Naṣīḥat al-Muslimīn wa Tadhkirat al-Mu’minīn)”, Penelitian pada
Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama R.I.,
2008, tidak dipublikasikan.
7. Ahmad Luthfi, “Naṣīhah al-Muslimin wa Tadhkirah al-Mu’minin fī Faḍā’il al-Jihād
fi Sabīlillāh wa Karāmah al-Mujāhidīn fī Sabīlillāh”, Tahqiq, Jakarta: Kementerian
Agama Repbulik Indonesia, 2009.
8. Konfirmasi penyusun dengan Asmawi (via telepon) pada Senin 16 Juli 2012.
9. Lihat Sriyanti, “Naṣīhah...”.
10. Konfirmasi penyusun dengan Saefullah (via telepon) pada Senin 16 Juli 2012.
11. Lihat Ahmad Luthfi, “Naṣīhah...”.
12. Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis,
Geografis, dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1992).
13. Martin van Bruinessen, Tarekat..., hlm. 15.
14. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 35.
15. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004).
16. Martin van Bruinessen, Tarekat..., hlm. 15.
17. Zulkarnain Yani, Al-Urwah Al-Wuthqa Karya Al-Palimbani: Tradisi dan Ritual Tarekat
Sammaniyah di Palembang, (Jakarta: Penamadani, 2011), hlm. 93; Ahmad
Purwadaksi, Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman: Suntingan
Naskah dan Kajian
Penutup
Jihad, berdasarkan naskah Mulḥaq, pada dasarnya merupakan 343
doktrin keagamaan yang harus senantiasa diaktualisasikan sesuai konteks
sosialnya. Dalam konteks sosial politik di bawah belenggu penjajah,
jihad dalam bentuk perlawanan fisik adalah suatu keharusan. Dalam
konteks ini, ia bukanlah bentuk radikalisme. Sebaliknya, ia merupakan
aktifitas positif dalam rangka mempertahankan bangsa. Hanya saja,
dalam kondisi kekurangan persenjataan, untuk mengaktualisasikan
jihad, keberanian untuk melakukannya harus senantiasa dikobarkan.
Dalam kondisi demikian, azimat berupa doa dan bacaan yang dapat
menumbuhkan keberanian jihad, menjadi penting. Namun, agar tidak
terjebak dalam animisme dan dinamisme, azimat yang bersumber pada
teks-teks Al-Qur’an dan Sunah perlu dijadikan rujukan.
Semangat aktualisasi jihad dan strategi mengaktualisasikannya
melalui purifikasi azimat penting bagi masyarakat saat ini. Di
antaranya dengan mengupayakan aktualisasi jihad dan strateginya yang
bersifat non-fisik sehingga mampu memberi kontribusi positif bagi
pembangunan negara-bangsa.
ketergantungan para pelaku jihad pada kecenderungan azimat
tradisional yang bersifat material yang berkembang di masyarakat.
342
Seperti diketahui, sebagian kalangan tradisional mengembangkan
konsepsi azimat yang bertumpu pada benda material. Hal ini
kemudian, tidak jarang dipahami, bahwa benda-bendalah yang
memberikan perlindungan dan pertolongan. Keyakinan demikian
pada akhirnya dapat menggiring seseorang pada kepasrahan yang
menyimpang.
Konseptualisasi azimat semacam ini memiliki makna kontekstual
dan diperlukan oleh masyarakat, khususnya di tengah keterbatasan
persenjataan dalam menghadapi kolonial. Melalui azimat ini
diharapkan tumbuh keberanian untuk melakukan jihad. Ini
disebabkan karena dengan berbekal azimat, akan muncul keyakinan
dalam diri seseorang bahwa dirinya memiliki kekebalan dan
keselamatan jiwanya terjamin, serta terhindar dari kematian. Hanya
saja, di hadapan neo-sufisme, persoalan azimat itu mengalami
pergeseran dari sekadar azimat yang bersifat perantara berupa
benda-material, menjadi azimat yang dilandasi nilai-nilai syariat yang
bersumber pada ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi, berupa doa dan
amalan tertentu.
Bagi masyarakat saat ini, hal demikian bermakna bahwa semangat
jihad harus senantiasa ditumbuhkan untuk kemudian diaktualisasikan
sesuai konteks kebutuhannya. Jika pada era kolonial, ulama semisal al-
Palimbani mengaktualisasikan jihad dalam bentuk perlawanan fisik,
maka dalam konteks saat ini, aktualisasi jihad seharusnya lebih
bersifat non-fisik. Ini disebabkan karena tindakan-tindakan non-
fisik itulah yang lebih aktual untuk dilakukan.
Jika pada masa kolonial, di tengah keterbatasan persenjataan,
tindakan aktual untuk menumbuhkan keberanian perlawanan fisik
adalah dengan menumbuhkan keyakinan dan kepasrahan kepada
Tuhan--dan bukan kepada benda material sebagai wujud purifikasi
azimat--melalui sejumlah amalan dan zikir, maka saat ini harus
dicari cara untuk menumbuhkan keberanian bagi jihad non fisik.
Misalnya saja, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui
pendidikan dan kemandirian ekonomi. Dengan pemaknaan demikian,
jihad diharapkan tidak menjadi doktrin yang senantiasa direduksi
maknanya sebatas perang dan icon kekerasan atas nama agama. Jihad
dapat dipandang sebagai doktrin yang positif bagi kemanusiaan dan
pembangunan sesuai konteks yang berkembang.
mudarat yang telah menimpanya. Misalnya, berusaha berobat bagi
orang yang sedang sakit.50
Selanjutnya, melalui Mulh{aq, juga dapat dipahami bahwa bentuk 341
tawakal yang diusung al-Palimbānī tidak hanya terkait pada lingkup
individual, tetapi juga meliputi keluarga dan orang-orang di
sekitarnya. Hal ini tergambar dari bentuk lafal doa yang dirujuknya:
“H{arastu nafsī wa ahlī wa mālī wa man ḥaḍaranī aw ghāba ‘annī bi
al-ḥayyi al- ladhī lā yamūtu”. Lebih dari itu, tawakkal dalam
pandangannya juga tidak berbatas ruang dan waktu. Ini terlihat dari
pilihan lafal do’a: “... Wa aṣbaḥtu wa amsaitu fī jiwāri-llāhi...”.51
Dengan kata lain, bentuk kepasrahan diri kepada Tuhan itu meliputi
diri dan orang di sekitarnya, di mana pun dan kapan pun.
Selanjutnya, melalui naskah Mulḥaq, dapat dipahami pula bahwa
secara keseluruhan, tumbuhnya sikap tawakal demikian ini, menurut
al-Palimbānī, didorong oleh beberapa hal, di antaranya:52
1. Karena adanya kesadaran bahwa Tuhanlah pemilik segala yang di
langit dan di bumi. Ini tergambar dari lafal “...wa huwa rabbu
al- ‘arsyi al-‘aẓīmi...”sebagaimana termuat dalam ayat 129 Q.S.
al- Taubah yang dirujuk al-Palimbānī. Juga sebagaimana
tergambar pada lafal semakna dalam redaksi doa: “...rabbī wa
rabbu al- samāwāti wa al-arḍi...”.
2. Sikap tawakal juga didorong oleh kesadaran bahwa Tuhanlah
penguasa di hari Akhir. Ini terlihat dari redaksi doa: “...Yā
mālika yaumi al-dīni...”.
3. Sikap tawakal juga didorong oleh kesadaran bahwa Tuhanlah
yang Maha Pelindung. Sebagaimana terkandung dalam redaksi
doa: “...fa-llāhu khaīru ḥifẓan...”.
4. Sikap tawakal juga didorong oleh kesadaran bahwa tidak ada
kekuatan selain milik Allah. Ini terlihat dalam lafal doa: “...lā
ḥaula wa-lā quwwata illā bi-llāhi...”.53
Selain membangun kesadaran tawakal (kepasrahan) kepada Tuhan,
substansi naskah Mulḥaq juga tampak membangun optimisme bagi pelaku
jihad. Namun, optimisme yang ingin dibangun didasarkan atas kepasrahan
kepada Tuhan. Dalam konteks jihad, bantuan Tuhanlah yang hanya
mampu mengalahkan segala rintangan. Hal ini tersirat dari lafal doa yang
dirujuk al- Palimbānī: “...Allāhumma ij’al kaidahum fī nukhūrihim...”. 54
Berangkat dari konsepsi tawakal dan optimisme sebagaimana
dijelaskan, dapat dipahami bahwa al-Palimbānī hendak melepaskan
jihad. Aspek yang disentuh oleh al-Palimbānī dalam konteks ini
adalah aspek batiniyah pelaku jihad. Aspek batiniyah yang dimaksud
340
adalah keyakinan dan kepasrahan dalam hati bahwa Tuhan lah tempat
berserah diri (tawakkal). Hal ini tercermin dari lafal ‘alaihi tawakkaltu
(kepada-Nya aku berserah diri) dalam ayat 129 Q.S. al-Taubah yang
dirujuk al-Palimbānī. Begitu juga dengan lafal doa semisal “ḥarastu...
bil-ḥayyi al-ladhi lā yamūtu”; “...a‘uzu bika...”; dan “ḥasbiyallāhu wa
kafā”.46 Tawakal seperti ini bermakna menyandarkan segala aktifitas
seseorang kepada Tuhan. Maksudnya, segala urusannya diserahkan dan
dipercayakan kepada Tuhan. Sementara hatinya tidak berpaling kecuali
kepada-Nya.47 Tawakal juga berarti sabar atas segala musibah dan tidak
meminta bantuan kepada manusia. 48 Maksudnya, hanya meminta dan
bergantung kepada-Nya.
Di dalam kitab Hidāyah al-Sālikīn, al-Palimbānī lebih jauh membagi
tawakal ke dalam tiga tingkatan:
1. Berserah diri kepada Allah sebagaimana ia percaya kepada
seseorang yang dikenal dan dikasihinya. Mereka ini senantiasa
mengupayakan agar tumbuh kepasrahan kepada Tuhan dan
senantiasa meminta kepada-Nya.
2. Percaya kepada Allah sebagaimana seorang anak bergantung
kepada ibunya. Kepasrahan kepada Tuhan telah menyatu dalam
dirinya tanpa ia mengupayakannya, namun ia masih meminta
kepada-Nya.
3. Berserah diri kepada Allah sebagaimana sosok mayat di
hadapan pengurusnya. Ia sebagaimana kalangan kedua, namun
perbedaannya, mereka ini kalangan yang menghindari meminta
kepada Tuhan. Ini karena ia telah rida terhadap apapun yang
diberikan Tuhan kepadanya. Inilah tingkatan siddiqīn, yang
dirinya telah fana’ kepada Allah.49
Tawakal, menurut al-Palimbānī lebih lanjut, tidaklah menegasikan
seseorang untuk berusaha. Seseorang tetap saja boleh berusaha
memenuhi sesuatu yang tidak ia miliki. Misalnya, berusaha memenuhi
kebutuhan sandang pangan. Seseorang juga boleh berusaha memelihara
apa yang sudah ia miliki. Misalnya, menyimpan harta untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya dalam jangka tertentu. Seseorang
juga boleh berusaha menghindari mudarat yang akan menimpanya.
Misalnya, menghindari serangan binatang buas yang dapat
membahayakan dirinya. Terakhir, seseorang juga boleh berusaha
menghilangkan
Allahumma ṣalli ‘alā sayyidinā Muḥammadin wa ‘alā ālihi wa ṣaḥbihi
ajma’īna wa sallama. Bismillāhirraḥmānirraḥīmi. Yā mālika yaumi al-dīni.
Iyyāka na’budu wa-iyyāka nasta’īnu. Allāhumma kuffa ‘annī syarra man 339
yu‘ẓīnī fa-innaka asyaddu ba’san wa asyaddu tankīlan. Allāhumma innī
a‘ūẓu bi-ka min syarri nafsī wa min syarri kulli dābbatin anta ākhiẓun
bi- nāṣiyatiha. Inna rabbī ‘alā ṣirāṭin mustaqīmin wa lā ḥaula wa lā
quwwata illā bi-llāhi al-‘aliyyi al-‘aẓīmi.
Ya Allah, salawat dan salam semoga dilimpahkan atas Nabi Muhammad
dan keluarganya beserta para sahabatnya. Dengan Nama Allah yang
Maha Pemurah, Maha Penyayang. Wahai Tuhan yang menguasai Hari
Pembalasan. Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-
Mu lah kami meminta pertolongan. Ya Allah, jagalah aku dari kejahatan
orang-orang yang menyakitiku, karena Engkau sesungguhnya sangat
pedih siksanya dan amat besar kekuatannya. Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari kejahatan diriku, dan dari kejahatan setiap binatang
melata, karena Engkau yang menguasai ubun-ubunnya. Sesungguhnya
Engkaulah yang dapat menunjukkan pada jalan yang lurus. Tidak ada
daya dan kekuatan kecuali hanya bersama Engkau Yang Mahatinggi dan
Mahaagung.

Keempat, Doa untuk membinasakan musuh dan kaum kafir serta


terhindar dari kejahatan mereka. Dibaca setelah sembahyang fardu
lima waktu. Yaitu:
Bismillāhi, wa-bi-llāhi, wa-mina-llāhi, wa-ilā-llāhi, wa ‘ala-llāhi, fa-l-
yatawakkali al-mu’minūna. Allāhumma ij’al kaidahum fī nukhūrihim wa
ikfinā syurūrahum, ḥasbiyallāhu wa kafa,> sami’allāhu li-man da‘ā. Laisa
warā’a-llāhi muntahā, ḥasbunā-llāhu wa ni’ma al-wakīl.
Dengan berkat nama Allah SWT aku meminta doa. Dan dengan
pertolongan Allah SWT, aku meminta tolong bagi membinasakan akan
seteru ku dan akan segala orang kafir. Dan daripada Allah SWT segala
kebajikan dan segala nikmat. Dan kepada Allah SWT aku kembali. Dan
atas Allah SWT aku berpegang dan menyerahkan diriku. Maka hendak
lah orang-orang mukminin bertawakkal kepada Allah SWT. Hai Tuhanku
jadikan olehmu akan tiap-tiap pedaya mereka itu, akan mengerat di
dalam batang leher mereka. Dan tolakkan oleh-Mu daripada kami akan
segala kejahatan mereka. Cukuplah Allah ta’ala bagi diriku. Dan Ia
mencukupkan diriku. Allah SWT mendengar orang yang meminta do’a
kepada-Nya. Tiada di belakang Allah SWT kehinggaan. Cukuplah Allah
SWT bagi kami. Dan Allah SWT adalah sebaik-baik tempat kamu
berpegang.

Memerhatikan substansi bacaan doa dan zikir yang terdapat dalam


Mulḥaq di atas tampak bahwa al-Palimbānī hendak membangun
keberanian dan rasa percaya diri masyarakat agar mau melakukan
dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang Mukmin (128). Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka
338 katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia.
Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang
memiliki ‘Arsy yang agung (129).
Kedua, doa membentengi diri dari senjata dan kejahatan musuh,
serta memperpanjang umur. Lafalnya adalah sebagai berikut:
Bismillāhi al-raḥmāni al-raḥīmi. Wa ṣalla-llāhu ‘alā sayyidinā wa
maulānā muḥammadin, wa ‘alā ālihi wa ṣaḥbihi dā’iman. H{arastu nafsī
wa ahlī wa mālī wa man ḥaḍaranī aw ghāba ‘annī bi al-ḥayyi al-la ẓī lā
yamūtu. Wa al-ḥayātu ẓahri fī ḥifẓi ẓālika li al-ḥayyi al-qayyūmi. Wa
aṣbaḥtu wa amsaitu fī jiwāri-llāhi al-laẓī lā yarāmu wa-lā yastabāḥu wa fī
ẓimmatihi wa ḍammānihi al-laẓī lā yakhfiru ḍammāna ‘abdihi. Fa-
istamsaktu bi- ‘urwati-llāhi al-wuthqā, rabbī wa rabbu al-samāwāti wa
al-arḍi, lā ilāha illā huwa, fa-itakhiẓu wakīlān, tawakkaltu ‘ala-llāhi
wa-’taṣamtu bi-llāhi, wa-fawwaḍtu amrī ilā-llāhi, ni’ma al-qādiru fa-
llāhu khaīru ḥifẓan, wa huwa arḥamu al-rāḥimīn. Wa-ṣalla-llāhu ‘alā
sayyidinā Muḥammadin, wa ‘alā ālihi ‘adada khalqihi wa riḍā nafṣihi wa
zinata ‘arsyihi wa midāda kalimātihi.
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah, Maha Penyayang. Salawat
dan salam semoga senantiasa dilimpahkan atas Nabi Muhammad dan
keluarganya beserta para sahabatnya. Aku serahkan diriku, keluargaku,
hartaku, dan orang di sekitarku maupun yang jauh dariku, kepada
yang Mahahidup dan yang tidak akan Mati. Dan aku sandarkan
nasibku di dalam peliharaan-Nya, Tuhan yang hidup yang berdiri dengan
sendirinya. Dan adalah pagiku dan petangku di dalam peliharaan
Tuhan, yang tiada putus peliharaan-Nya itu dan tiada diharuskan akan
putusnya itu. Dan aku di dalam tanggungan Allah dan di dalam akuan-
Nya yang tiada membatalkan Ia akan akuan-Nya bagi hamba-Nya itu.
Dan aku berpegang pada pegangan Allah SWT yang amat teguh. Yaitu
Tuhan ku dan Tuhan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi. Tidak
ada Tuhan kecuali hanya Allah. Maka jadikanlah Dia tempat engkau
berpegang dan tempat engkau berserah. Dan aku berpegang kepada
Allah SWT. Dan aku meminta perlindungan kepada Allah SWT. Dan
aku serahkan seluruh urusanku kepada Allah SWT. Sebaik-baik yang
kuasa itu adalah Allah SWT. Maka Allah SWT itu yang terbaik
pemeliharaannya terhadap segala hambanya. Dia Maha Penyayang
daripada segala orang yang penyayang. Dan rahmat Allah atas penghulu
kita Nabi Muhammad dan atas keluarganya berbilang makhluknya dan
sebilang riḍa dirinya dan sebilang timbangan ‘arasy dan sebilang suratan
kalimat Allah SWT itu.

Ketiga, doa untuk mengalahkan musuh dan terhindar dari


ancamannya. Dibaca 7x di antara salat sunat subuh dan salat fardu subuh.
Mulḥaq, Aktualisasi Jihad, dan Purifikasi Azimat Sun
ggu
Naskah Mulḥaq secara keseluruhan berisi bacaan Al-Qur’an dan h
doa-doa yang dipercaya berazimat (berkhasiat) untuk melindungi diri tela
dari senjata musuh dan terhindar dari kematian serta kemampuan h
menaklukkan musuh. Kondisi demikian sangat dibutuhkan untuk data
ng
menumbuhkan keberanian dalam melaksanakan jihad fi sabilillah.
kep
Naskah ini memiliki makna penting, baik secara internal ada
maupun eksternal. Secara internal, keberadaan naskah ini menjadi mu
pelengkap bagi naskah Mulḥaq beraksara Arab. Keberadaannya seor
berfungsi sebagai penerjemah bagi teks yang beraksara Arab itu ke ang
dalam bahasa Melayu. Ini, tentu saja, memudahkan bagi pembaca Ras
ul
Melayu yang tidak memahami bahasa Arab. Secara eksternal, dari
keberadaan naskah Mulḥaq berakasara Jawi ini penting untuk kau
memahami konteks dibutuhkannya pelecut/motivasi jihad itu. Dalam mm
hal ini, motivasi jihad penting untuk ditumbuhkan, khususnya u
terhadap kaum kafir (penjajah) yang terang- terangan bermaksud sen
diri,
menguasai wilayah kekuasaan Muslim. Dalam konteks demikian,
bera
jihad dihukumi fardu ‘ain bagi setiap Muslim. Dalam kondisi t
begitu, tidak berani melakukan jihad sama artinya dengan rela tera
menyerahkan kebebasan dan kehidupan kepada penjajah dan rela sa
berada dalam belenggunya. oleh
Guna melecut keberanian berjihad di tengah keterbatasan nya
pen
perlengkapan perang itu, tidak cukup jika hanya bermodalkan
derit
“wejangan” normatif-doktriner. Namun, dibutuhkan pula azimat aan
berupa amalan zikir dan doa yang diyakini dapat menimbulkan mu,
kekebalan dan perlindungan diri dari resiko kematian, sehingga sang
melahirkan keberanian untuk melakukan jihad. at
Adapun amalan bacaan Al-Qur’an, zikir, dan doa-doa yang men
ging
dimaksud, terdiri atas empat macam sebagaimana berikut ini:45
nka
Pertama, membaca dua ayat terakhir Q.S. al-Taubah [9]: 128- n
129. Amalan ini berazimat untuk membentengi diri dari cidera dan (kei
memanjangkan umur. Ia dibaca 10x setiap selesai salat fardu atau man
dibaca pada suatu hari baik siang atau malam. Ayat dimaksud adalah an
sebagai berikut:
Laqad jā’akum rasūlun min anfusikum ‘azīzun ‘alaihi mā ‘anittum ḥarīṣun
‘alaikum bi al-mu’minīna ra’ūfun raḥīmun (128). Fa-’in tawallaw fa-qul ḥasbiya-
llāhu lā ilāha illā huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbu al-‘arsyi al-‘aẓīmi
(129).
337
pada tasawuf. Di antara gurunya di bidang ini yang cukup masyhur
adalah Syekh al-Sammān, pendiri Sammaniyah. Ia kemudian juga
336
dikenal sebagai penyebar pertama tarekat ini di Nusantara.38
Meski lebih banyak berdomisili di Timur Tengah, al-Palimbānī
senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat Muslim di Nusantara.
Termasuk informasi di sekitar penjajahan kolonial. Informasi ini
didapatkannya dari para jamaah haji asal Nusantara yang singgah di
Tanah Suci ataupun dari murid-muridnya asal tanah Jawa. 39 Menurut
Abdullah, ia juga pernah berkunjung ke Nusantara sebanyak dua kali.
Pada kunjungan pertamanya, ia singgah di Banten. Namun, saat itu, ia
sempat diperlakukan sebagai tahanan oleh Belanda karena dipandang
sebagai perusuh pasca kasus pembenaran arah kiblat. Berkat kelihaian
argumentasinya, lanjut Abdullah, al-Palimbānī akhirnya dipulangkan
ke tanah Palembang, kampungnya. Sedang kunjungan keduanya,
ia singgah di Kedah. Kepulangannya kali ini dalam rangka turut
serta dalam jihad membantu saudara-saudaranya di Kedah melawan
penjajah. Konon, di dalam perang inilah ia wafat.40
Sejak kunjungan pertamanya, kebencian al-Palimbānī terhadap
kolonial semakin menjadi. Hal itu yang memaksanya kembali ke Tanah
Suci. Kebenciannya terhadap penjajah kemudian diperlihatkannya dalam
karyanya Naṣīḥāt.41 Dalam karyanya itu, ia menjelaskan landasan normatif
jihad dan memotivasi masyarakat agar berani turun ke medan jihad.
Melalui naskah Naṣīḥāt, al-Palimbānī hendak mengingatkan masyarakat
Muslim Nusantara tentang landasan normatif, keutamaan, dan
pentingnya jihad melawan kaum kafir. Jihad dalam konteks
normatifnya ini, menurutnya, wajib dilakukan kepada kaum kolonial
yang dengan tegas hendak menjajah dan menguasai wilayah Islam.
Baginya, tidak layak kaum kafir memimpin wilayah Islam.42 Sedangkan
pada bagian lampiran Naṣīḥāt (Mulḥaq), ia hendak menumbuhkan
motivasi dan keberanian melakukan jihad. Motivasi dan keberanian
itu ditumbuhkannya dengan menumbuhkan kepasrahan (tawakkal)
terhadap Tuhan melalui serangkaian amalan doa dan zikir. Dari sisi ini,
jadilah Mulḥaq sebagai corong al-Palimbānī menarasikan jihad
secara sufistik.
Melalui karyannya ini, sebagaimana dikemukakan oleh Azra, al-
Palimbānī telah menjadi salah satu inspirator awal gerakan jihad di
Nusantara pada abad ke-18 M, selain Syekh Yusuf al-Makassari. 43
Lebih dari itu, sebagaimana disampaikan Alfian, karya ini juga telah
menginspirasi para pejuang di Aceh dalam melakukan perang sabil.44
keterlibatan al-Palimbānī dalam mengusung semangat jihad di (
Nusantara. Hal itu dibuktikan melalui karya yang ditulisnya dan surat- M
surat himbuan jihad yang dikirimnya kepada beberapa Sultan. 34 Selain e
Azra dan Abdullah, Bruinessen dengan mengutip M. Chatib Quzwain, k
juga menyebutkan hal senada.35 a
Dari bukti substantif dan beberapa bukti lainnya sebagaimana h
dikemukakan di atas, maka Mulḥaq beraksara Jawi tersebut dapat
dikaitkan dengan al-Palimbānī. Al-Palimbānī dilahirkan di Palembang. d
Informasi pasti tentang tanggal kelahirannya masih terdapat perbedaan. a
Ini disebabkan karena terdapat perbedaan informasi dari beberapa n
sumber. Merujuk pada Tarīkh Salāsilah Negeri Kedah, Quzwain
menyebut al-Palimbānī lahir sekitar tiga atau empat tahun setelah M
tahun 1112 H/1700 M. Sementara Azra, merujuk pada sumber a
yang sama, menyebut al-Palimbānī lahir pada tahun 1116 H/1704 d
M. Sedangkan Abdullah, tidak menentukan secara pasti tanggal i
kelahiran al-Palimbānī, namun ia mengeritik pandangan Quzwain n
dan Azra. Selanjutnya, merujuk pada Faiḍa al-Iḥsān, Andi a
Syarifuddin menyebut al-Palimbānī lahir pada tahun 1150 H/1736 M. h
Berdasarkan ke-empat informasi itu, Zulkarnain Yani memilih )
mengikuti pendapat terakhir. Alasannya, karena pandangan Quzwain .
dan Azra dibantah Abdullah, sementara Abdullah sendiri tidak I
menyebut secara pasti.36 a
Sebagaimana kelahirannya, kepastian wafatnya juga terdapat
perbedaan. Quzwain memperkirakan al-Palimbani wafat pada tahun j
1203 H/1788 M, beberapa waktu setelah ia menulis Siyār al- u
Sālikin. Hal sama dikemukakan oleh Azra merujuk pada al-Baiṭar. g
Menurut Azra, usianya sekitar 85 tahun. Merujuk pada manuskrip a
salinan Haji Mahmud bin Muhammad Yusuf Trengganu, murid al-
Palimbānī, Abdullah menyebut bahwa al-Palimbānī terlibat dalam m
perang antara Kedah-Fatani melawan Siam setelah tahun 1203 H/ e
1788 M. Meski begitu, Abdullah juga tidak menyebut secara pasti m
kapan wafatnya.37 i
Memerhatikan perbedaan pandangan sekitar waktu lahir dan l
wafatnya al-Palimbānī, guna memudahkan kajian ini, penyusun i
cenderung untuk menggeneralisir bahwa al-Palimbani hidup pada k
abad ke-18 M, dengan perkiraan bahwa ia lahir sekitar dua perempat i
pertama abad ke-18 M dan wafat pada penghujung abad ke-18 M. k
Ia memperoleh pendidikan awal dari ayahandanya, Syekh Abd al- e
Rahman. Setelah itu, ia lebih banyak menuntut ilmu di Tanah Arab c
enderungan keilmuwan
335
Sedang redaksi sebagaimana pada judul naskah Mulḥaq beraksara Arab,
dijadikan sebagai redaksi faidah pertama dalam Mulḥaq beraksara Jawi.
334
Namun, di luar perbedaan tersebut, sebenarnya secara keseluruhan,
dari sisi isinya, kedua naskah Mulḥaq tersebut sama. Artinya,
keduanya dipastikan merupakan pemikiran al-Palimbānī. Hanya
saja, naskah Mulḥaq beraksara Jawi tampaknya merupakan
terjemahan atas teks Arab yang ada dalam Mulḥaq beraksara Arab.
Hal ini juga menandakan bahwa Mulḥaq beraksara Jawi itu diduga
muncul setelah Mulḥaq beraksara Arab (1186 H). Lebih dari itu,
keberadaan terjemahan itu tampaknya juga dimaksudkan untuk
memudahkan masyarakat
Nusantara dalam memahami substansinya lebih jauh.
Selain faktor kesamaan substansinya sebagaimana dikemukakan,
penempatan Mulḥaq beraksara Jawi sebagai karya al-Palimbānī juga
didasarkan atas beberapa argumen berikut:
Pertama, teks ini menyebut nama al-Sammān, pendiri tarekat
Sammaniyah, sebagai guru bagi penulisnya. Seperti diketahui, di
Nusantara, tarekat ini disebarkan pertama kali oleh al-Palimbānī, yang
juga merupakan salah satu murid Syekh al-Sammān asal Indonesia. 29
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika mengaitkan teks ini dengan
al- Palimbānī.
Kedua, terdapat beberapa tulisan yang menunjukkan bahwa
naskah Mulḥaq merupakan satu di antara daftar karya al-Palimbānī.
Di antaranya, tulisan Wan Mohd Shaghir Abdullah yang berjudul
Syeikh Abdus Shamad Palembang: Ulama Shufi dan Jihad Dunia
Melayu. Ia meletakkan Mulḥaq pada urutan kesembilan dari lima
belas (keseluruhan) karya al-Palimbānī.30 Kemudian, karya tahqiq
yang ditulis oleh Ahmad Luthfi juga menyebut Mulḥaq sebagai salah
satu karya al-Palimbānī.31 Begitu juga sebuah artikel anonim yang
ditautkan oleh Taufik Irawan berjudul “Syaikh Abdul Samad Al-
Falembani: Ulama, Sufi, dan Syuhada”.32
Ketiga, terdapat beberapa karya yang menyebut bahwa al-Palimbānī
merupakan salah seorang tokoh utama pada abad ke-18 M., selain al-
Fatānī, yang menonjol dalam menganjurkan jihad terhadap kolonial
(Belanda). Di antaranya adalah karya Azyumardi Azra dan
Abdullah. Azra misalnya, menyebutkan bahwa al-Palimbānī,
sekalipun ia berdomisili di Mekah hingga akhir hayatnya, ia berupaya
mendorong sahabat-sahabatnya dan tokoh-tokoh masyarakat di
Nusantara untuk melakukan jihad.33 Senada dengan Azra,
A
b
d
u
l
l
a
h

j
u
g
a

m
e
n
y
e
b
u
t
kata yang penulisannya terkadang sedikit bertumpuk tetapi tidak
mengurangi kemudahannya untuk dibaca. Kemudahan membaca teks,
khususnya teks Arabnya, didukung pula oleh keberadaan harakat yang 333
dibubuhkan.
Sayangnya, teks ini tidak membubuhkan kolofon dan redaksi
apapun terkait pengarang dan waktu penulisannya. Selain itu, karena
penyusun hanya mendapatkan bentuk foto kopi naskah, aspek
kodikologinya juga tidak bisa diketahui dengan pasti. Akibatnya,
penyusun tidak dapat secara langsung menentukan siapa pengarang
naskah ini dan kapan ia ditulis. Namun, karena substansinya sama
benar dengan teks Mulḥaq beraksara Arab yang menjadi lampiran dari
teks Naṣīḥat karya ‘Abd al-S{amād al-Palimbānī, dan didukung
bukti-bukti lain seperti akan dijelaskan nanti, maka penyusun
cenderung memosisikannya sebagai karya al-Palimbānī.
Secara substantif, naskah Mulḥaq beraksara Jawi ini sama dengan
naskah Mulḥaq beraksara dan berbahasa Arab lampiran naskah Naṣīḥat.
Namun, struktur judul dan sub judulnya sedikit berbeda dibanding
dengan naskah Mulḥaq beraksara Arab itu. Dalam naskah Mulḥaq
beraksara Arab yang terdapat dalam Naṣīhat; pada redaksi judul,
setelah lafal mulḥaq, ia diikuti kalimat: fī dzikri ḥirzin nāfi’in wa ḥirsin
māni‘in wa ḥiṣyin dāfi‘in. 25 Sedangkan pada naskah Mulḥaq beraksara
Jawi, setelah lafal mulḥaq, ia diikuti kalimat: fī bayāni al-fawā’idi an-
nāfi‘ati fī al-jihādi fī sabīlillāhi.26
Sementara terkait sub judul, pada naskah Mulḥaq beraksara Arab
terdapat tiga faidah (baca: bahasan). Faidah pertama terkait amalan doa
terhindar dari senjata dan ancaman musuh. Faidah kedua, terkait doa
dan amalan untuk mengalahkan musuh dan terhindar dari kejahatan
mereka. Faidah ketiga, terkait bacaan dan doa untuk melumpuhkan
musuh dan kaum kafir.27 Sedangkan di dalam Mulḥaq beraksara
Jawi, terdapat empat faidah. Faidah pertama terkait amalan bacaan
dari Syekh Sammān tentang dua ayat terakhir Surah al-Taubah yang
bermanfaat untuk menangkal cedera. Sementara faidah kedua hingga
keempat isinya sama dengan faidah pertama hingga ketiga yang ada
dalam naskah Mulḥaq beraksara Arab.28
Dengan demikian, perbedaan struktur judul dan sub judul itu
terjadi karena pada naskah Mulḥaq beraksara Arab, redaksi yang
seharusnya menjadi faidah pertama, dijadikan sebagai redaksi judul.
Sementara pada Mulḥaq beraksara Jawi, redaksi judul merupakan
tambahan.
jimat dan semacamnya, tumbuh subur di kalangan masyarakat. Hal
ini, sebagaimana dikemukakan Deliar Noer, disebabkan oleh tabiat
332
alam pikiran Indonesia dan oleh pengaruh berabad-abad ajaran
agama Hindu dan Buddha.20 Keberadaan tarekat seiring masuknya
Islam di Nusantara, kemudian menjadi alternatif pilihan masyarakat
untuk memiliki kekuatan spiritual semisal jimat. Bermodal
“kelebihan- kelebihan” spiritual semacam inilah, masyarakat berani
melakukan pemberontakan dan perlawanan terhadap penguasa
kolonial.21
Perlawanan terhadap kolonial selain bermodalkan bekal spiritual-
mistik, juga dibungkus oleh semangat syariat (doktrin normatif) jihad.
Jihad dipahami sebagai perang terhadap kaum kafir. Sementara yang
dimaksud dengan kaum kafir dalam konteks ini adalah kaum kolonial.
Berjihad melawan kaum kafir kolonial yang berniat menguasai wilayah
Nusantara (wilayah Islam) ini, dipandang sebagai kewajiban agama.22
Pandangan-pandangan soal jihad di kalangan ulama Nusantara
pada abad ke-18 M seperti di atas, menurut Azra, merupakan
kecenderungan baru yang diinisiasi oleh pemikiran-pemikiran al-
Palimbānī yang kemudian juga terlihat dalam pemikiran al-Fatānī.
Hal ini, menurut Azra, lebih disebabkan karena konteks sosial ketika
itu yang cenderung berkembang ke arah politisasi dan radikalisasi
aktifitas sufisme sebagai dampak pengaruh kehadiran kolonialisme.23
Hanya saja, jika dicermati, baik al-Palimbānī maupun al-Fatānī,
hemat penyusun, tidaklah seutuhnya bermaksud mengembangkan
radikalisme. Ini terlihat dari pandangan keduanya yang hanya
mewajibkan perlawanan jihad kepada pihak kafir (kolonial) yang
secara nyata melakukan ekspansi dan menguasai wilayah Muslim
(Nusantara). Adapaun upaya-upaya jihad yang bersifat ekspansif guna
memperluas wilayah Islam, menurut kedua ulama itu, bukanlah
sebuah kewajiban.24 Dengan kata lain, wacana jihad yang mereka
kembangkan pada dasarnya lebih bersifat mempertahankan diri
(defensif ) dan tidak radikal.
Tentang Mulḥaq: Narasi Sufistik Jihad Al-Palimbānī
Teks Mulḥaq yang menjadi sumber kajian dalam artikel ini
terdiri dari 11 halaman, dengan rincian: 6 recto dan 5 verso. Masing-
masing halaman terdiri atas 17 baris. Teks ini ditulis dalam aksara
Arab yang diikuti dengan aksara Jawi (Arab Melayu) sebagai
terjemahannya. Sedang jenis tulisan (khaṭṭ) yang digunakannya
a teks tertulis dengan baik. Hanya satu-dua
d
a
l
a
h

K
h
a
t

N
a
s
k
h
i
.

S
e
c
a
r
a

k
e
s
e
l
u
r
u
h
a
n
,
pesatnya perkembangan Islam di Nusantara (abad k-18 M.), model
sufisme yang tengah dominan tumbuh adalah model yang berupaya
mempertemukan (rapprochement) antara kecenderungan syariat dan 331
tasawuf.15 Model demikian dikenal dengan istilah neo-sufisme. Model
inilah yang sedikit banyak memengaruhi pula pemikiran tokoh-tokoh
Muslim Nusantara.16 Satu di antaranya tampak dalam pemikiran al-
Palimbānī.
Pemikiran al-Palimbānī yang dipandang sebagai neo-sufisme terlihat
misalnya pada kecenderungan tarekat yang dikembangkannya.
Seperti diketahui, tarekat merupakan wadah bagi para sufi dalam
melakukan laku-laku spiritual. Al-Palimbānī dalam hal ini
mengembangkan tarekat Sammāniyah, sebuah aliran tarekat yang
didirikan oleh Syekh al- Sammān yang menekankan pemaduan laku-
laku spiritual dan syariat. Para pengikut tarekat Sammāniyah ini
biasanya melakukan zikir. Zikir ini biasa dilakukan hingga larut malam.
Mula-mula dibacakan dalam keadaan duduk, hingga akhirnya berdiri
sambil menggerakkan kepala dan meliukkan badan. Makin lama
makin keras hingga tidak sadarkan diri. Aktifitas seperti ini biasa
dikenal dengan sebutan ratib Sammān dan hikayat Sammān.
Aktifitas demikian, oleh pengikutnya, sering dipandang sebagai
ibadah. Lebih dari itu, ia diyakini memiliki khasiat. Misalnya adalah
mengatasi kesulitan dan menyembuhkan penyakit.17
Pada kondisi tertentu, bacaan ratib Sammān sering juga dilakukan
untuk kepentingan konfrontasi menghadapi Belanda. Ia memiliki
pengaruh yang luar biasa bagi perjuangan umat Islam. Di Palembang,
misalnya, tampak pada sebuah perang pada tahun 1818 M. sebagaimana
termaktub dalam syair Perang Menteng. Di Kalimantan Selatan,
terlihat pada tahun 1861 M., dalam pemberontakan di Telaga Itar
Kelua. Sedangkan di Banten, ia juga menjadi pegangan masyarakat
untuk keperluan kesaktian dan kekebalan.18
Menurut Bruinessen, tarekat pada umumnya, termasuk tarekat
Sammāniyah, diminati oleh masyarakat karena adanya daya tarik yang
berbau spiritual-mistik. Masyarakat tertarik mempelajarinya dengan
tujuan memiliki kekebalan dan kedigdayaan, 19 sebuah keadaan yang
diyakini dapat meningkatkan status individu dan keberanian, lebih-
lebih di tengah situasi sosial politik kolonialisme.
Kecenderungan masyarakat seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh
pada masa itu. Warisan budaya mistik animisme-dinamisme yang
ditandai antara lain dengan adanya kepercayaan pada kekuatan spiritual
Luthfi, juga baru sebatas penyuntingan teks dari naskah berbahasa
Arab dan belum secara khusus menganlisis substansi Mulḥaq.11
330
Artikel ini secara khusus mencoba mengisi kekosongan analisis
terhadap substansi naskah Mulḥaq dalam aksara Jawi. Secara khusus,
artikel ini dirahkan pada dua pertanyaan berikut. Pertama, dalam
kerangka apakah konsep azimat dalam naskah Mulḥaq itu dikemukakan
al-Palimbānī, apa makna keberadaan naskah Mulḥaq dalam konteks
persoalan jihad ketika itu?; dan, kedua, apa maknanya bagi konteks
masyarakat saat ini?

Neo-Sufisme, Azimat, dan Jihad pada Abad Ke-18 di Nusantara


Persoalan neo-sufisme, azimat, dan jihad pada abad ke-18 M. di
Nusantara, merupakan persoalan-persoalan yang saling terkait satu
sama lain. Di satu pihak, kultur azimat (jimat) telah lama berkembang
di Nusantara. Di pihak lain, hadirnya sufisme (mistik Islam), pada
perkembangannya menjadi alternatif baru bagi masyarakat untuk
memperoleh kemampuan spiritual semisal azimat. Selanjutnya, di
tengah dominasi kolonial, jalinan antara kultur azimat dan mistik Islam
(sufisme) itu kemudian menemukan wadahnya dalam bentuk aktifitas
perlawanan politik (jihad) terhadap kolonial.
Seperti diketahui, Islam yang berkembang pertama kali di
Indonesia menurut sebagian kalangan diyakini bernuansa sufisme.12
Sufisme merupakan corak keislaman yang menekankan laku-laku
batiniyah guna mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Corak
keislaman yang demikianlah yang justru menjadi faktor mudahnya
Islam diterima dan berkembang di kalangan masyarakat Nusantara.
Hal ini disebabkan karena ia dinilai lebih dekat dengan kultur mistik
yang lebih dulu tumbuh di Tanah Air.13 Sufisme dalam konteks ini
dipandang sebagai bentuk mistik Islam. Selain itu, seperti
dikemukakan oleh Simuh, sufisme mampu mengantarkan seseorang
menggapai predikat insan kamil yang menguasai pengetahuan
mendalam terhadap agama (karamah).14 Dengan kata lain, melalui
sufisme, persoalan-persoalan mistik tersebut mengalami proses
Islamisasi.
Dengan demikian, tidak aneh jika pemikiran dan karya tokoh-
tokoh Muslim awal di Nusantara senantiasa diwarnai oleh pemikiran
sufisme. Sebut saja misalnya Nūruddīn al-Ranīrī (Aceh), Hamzah al-
Fansūrī (Aceh), Yūsuf al-Makassarī (Sulawesi), dan ‘Abd al- S{amad
al-Palimbānī (Palembang). Hanya saja, pada masa-masa
Sementara, secara keseluruhan, teks Nasīḥāt ini merupakan salah
satu teks yang pada masanya menjadi sumber inspirasi dan motifasi
bagi lahirnya gerakan-gerakan jihad di Nusantara. Teks Nasīḥāt pada 329
dasarnya merupakan sikap seorang ulama yang mencoba menjawab
tantangan sosial politik di bawah kolonialisme yang dihadapainya. Di
dalam bingkai iklim neo-sufisme, ia mencoba memberikan pemahaman
kepada masyarakat akan pentingnya jihad, baik dari sisi syari’at
maupun dari sisi tasawuf. Dari sisi syari’at, sebagaimana terekam dalam
Naṣīḥāt, ia menekankan landasan normatif jihad dan keutamaannya.
Sedangkan dari sisi tasawuf, sebagaimana tergambar pada lampirannya
(Mulḥaq), ia menekankan pentingnya menumbuhkan keyakinan dan
kepasrahan (tawakkal) kepada Tuhan agar muncul keberanian untuk
melakukan jihad.3 Dalam kerangka menumbuhkan keyakinan dan
kepasrahan terhadap Tuhan sehingga muncul keberanian berjihad itu,
al-Palimbānī menawarkan amalan-amalan berupa doa dan zikir yang
berazimat (berkhasiat) bagi perlindungan dan keselamatan diri serta
terhindar dari ancaman kematian, yang amat dibutuhkan dalam jihad.
Lebih-lebih di tengah minimnya perlengkapan persenjataan dalam
menghadapi musuh.
Kajian terhadap karya al-Palimbānī, khususnya terkait naskah
jihadnya, sudah dilakukan sejumlah kalangan. Di antaranya oleh Aselih
Asmawi,4 Sriyanti,5 Asep Saefullah,6 dan Ahmad Luthfi.7 Namun,
kajian-kajian tersebut seluruhnya didasarkan pada naskah berbahasa
Arab yang terdapat dalam koleksi Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia (PNRI). Sementara naskah yang penyusun kaji dalam artikel
ini merupakan naskah Mulḥaq yang ditulis dalam aksara Jawi. Lebih
dari itu, keempat karya di atas, belum secara khusus menitikberatkan
kajiannya atas substansi teks Mulḥaq. Asmawi misalnya, mengaku
belum mengetahui keberadaan Mulḥaq dalam teks beraksara Jawi
dan belum menganalisis substansi Mulḥaq.8 Sementara Sriyanti, juga
begitu. Kajiannya baru sebatas pada penyuntingan dan takhrij atas
ayat dan hadis yang dirujuk oleh al-Palimbānī dalam Naṣīḥāt. Ia juga
tidak secara khusus mengkaji substansi Mulḥaq.9 Sementara Saefullah,
juga mengaku belum secara khusus menganalisis substansi Mulḥaq
dan mengaku belum mengetahui teks Mulḥaq beraksara Jawi.
Kajiannya dititikberatkan untuk menganalisis latar belakang
penggunaan bahasa Arab oleh al-Palimbānī dalam menulis naskah
Naṣīḥāt. Ia juga menganalisis keutamaan jihad menurut al-
Palimbānī.10 Sedangkan
oktrin jihad saat ini sering disalahartikan oleh sebagian

D
kalangan, baik Muslim maupun non Muslim. Bagi
328
kalangan Muslim tertentu, jihad direduksi maknanya
sebatas perang
atas nama agama terhadap kaum kafir.1 Sedangkan bagi sebagian non-
Muslim, doktrin ini sering juga direduksi untuk mendiskreditkan
Islam sebagai agama yang identik dengan teror dan kekerasan. Akibat
pemaknaan demikian, terjadi pengkerdilan terhadap konsepsi jihad dan
sekaligus potensial melahirkan kondisi yang kontra produktif di tengah
masyarakat. Di antara fakta yang ada saat ini adalah friksi
antarsesama Muslim dan hubungan yang tidak harmonis dengan
non-Muslim.
Sudut pandang reduktif demikian bukan tidak mungkin juga dapat
memengaruhi penilaian seseorang atas teks-teks jihad klasik warisan
ulama Nusantara. Akibatnya, di satu sisi, tidak tertutup kemungkinan,
teks-teks jihad ulama itu diposisikan sebagai sumber inspirasi dan
legitimasi bagi tindakan perang atas nama agama. Namun, di sisi lain,
bukan tidak mungkin pula, teks-teks tersebut diposisikan oleh
sebagian kalangan sebagai eksemplar narasi radikalisme yang
dilakukan oleh para ulama. Pandangan yang menempatkan karya ulama
sebagai narasi radikalisme seperti ini, misalnya terlihat dalam karya
Azra; Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Menurut
Azra, dalam konteks jihad, ulama Nusantara pada abad ke-18
cenderung mengembangkan teologi aktif dan radikal. Dalam istilah
lain, Azra menegaskan bahwa neo-sufisme pada abad ke-18
mengusung semangat aktivisme dan radikalisme.2
Untuk menghindari penilaian demikian, maka teks-teks jihad
warisan ulama itu perlu dibaca sesuai semangat sosial politik yang
membidani kelahirannya. Melalui pembacaan demikian diharapkan
muncul pemahaman yang proporsional terhadap teks-teks jihad
warisan ulama klasik itu. Dalam kerangka ini, penting untuk membaca
teks Mulḥaq (beraksara Jawi), yang notabene merupakan teks jihad abad
ke-18. Substansi teks ini (Mulḥaq beraksara Jawi) sama persis dengan
teks Mulḥaq beraksara Arab yang menjadi lampiran dari teks Nasīḥāt
al-Muslimīn wa Tadhkirāt al-Mukminīn fī Faḍā’il al-Jihād fī
Sabīlillāh (selanjutnya diringkas Nasīḥāt), karya al-Palimbānī. Karena
kesamaan substansinya ini dan beberapa bukti sebagaimana akan
dikemukakan nanti, penyusun menempatkan teks Mulḥaq beraksara
Jawi yang tidak secara eksplisit menyebutkan nama penyusunnya ini,
s alimbānī.
e
b
a
g
a
i

l
a
m
p
i
r
a
n

t
e
k
s

N
a
s
ī

ā
t

k
a
r
y
a

a
l
-
P
Sidik

Mulḥaq fī Bayān Al-Fawā’id


Al-NāP’ah fī Al-Jihād fī Sabīlillāh:
Aktualisasi Jihad dan Purifikasi Azimat

Abstract: The term of jihad is often associated to radical and terrorist


acts. As a result, the meaning of jihad into a dwarf, limited, and further
potential countra-productive conditions in the community. Thus, it is
important to reread ang reinterprate the meaning of jihad. One source
that can be lifted is the text of Mulḥaq fī Bayān Al-Fawā’id Al-Nāfi’ah fī
Al-Jihād fī Sabīlillāh, which is attachment of the work of Shaykh
Abdussamad al-Palimbani entitled Nasīḥāt al-Muslimīn wa Tadhkirāt al-
Mukminīn fī Faḍā’il al-Jihād fī Sabīlillāh, which is written in 18th
century. According to the text of Mulḥaq, jihad is a religious doctrine
that must be actualized appropriate social context. In the context of the
socio-political under colonial shackles, jihad in the form of physical
resistance is a religious obligation, and it is not radicalism. This paper,
therefore, trays to elaborate on the meaning of jihad itself, and on the
other hand on the use of amulets as a source of power which is purified
by reading verses of the Qur’an, prayer and remembrance.

Keywords: Mulḥaq, Jihad, Radicalism, Abdussamad al-Palimbani,


Remembrance, Amulets, Neo-Sufism.

Abstrak: Terma jihad sering diasosiasikan pada tindakan radikal dan teror.
Akibatnya, makna jihad menjadi kerdil, terbatas, dan lebih lanjut berpotensi
menimbulkan kondisi yang kontra produktif di masyarakat. Dengan demikian,
teks terkait jihad menjadi penting dibaca dan dimaknai kembali. Salah satu
sumber yang dapat diangkat adalah teks Mulḥaq fī Bayān Al-Fawā’id Al-Nāfi’ah
fī Al-Jihād fī Sabīlillāh, yang merupakan lampiran dari karya Syekh
Abdussamad al-Palimbani yang berjudul Nasīḥāt al-Muslimīn wa Tadhkirāt
al-Mukminīn fī Faḍā’il al-Jihād fī Sabīlillāh, yang ditulis pada abad ke-18 M.
Berdasarkan naskah Mulḥaq, jihad merupakan merupakan doktrin
keagamaan yang harus diaktualisasikan sesuai konteks sosialnya. Dalam
konteks sosial politik di bawah belenggu penjajah, jihad dalam bentuk
perlawanan fisik adalah suatu keharusan, dan itu bukanlah radikalisme.
Tulisan ini, dengan demikian, mengelaborasi pemaknaan jihad itu sendiri,
dan di sisi lain tentang penggunaan azimat sebagai sumber kekuatan yang
dipurifikasi dengan bacaan ayat Al-Qur’an, doa dan zikir.

Kata Kunci: Mulḥaq, Jihad, Radikalisme, Abdussamad al-Palimbani, Z


Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015
ikir, Azimat, Neo-sufisme.

327

Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015


Naskah Shahadat Sekarat

Khalim, Samidi. 2008. Islam Dan Spiritualitas Jawa. Semarang: Rasail.

326 Magnis-Suseno, Franz. 1993. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Syeh Siti Jenar: Pergumulan Islam Jawa.
Bintang Budaya.
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. Kodikologi Melayu Di Indonesia. Universitas
Indonesia.
Mulyati, Sri, ed. 2004. Mengenal Dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di
Indonesia. Jakarta: Kencana (Prenada Media).
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup
Jilid II.(edisi Ke-5). Jakarta: Erlangga.
Shihab, Alwi. 2001. Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini
Di Indonesia. Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraish. 2001. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga
Dan Ayat-Ayat Tahlil. Lentera Hati.
Sholikhin, Muhammad. 2004. Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat
Dan Suluk Siti Jenar. Yogyakarta: Narasi.
Simuh. 1982. “Mistik Islam Kejawan Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi
Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati.” IAIN Sunan Kalijaga.
Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-
19. Jakarta: Bulan Bintang.
Suyono, R. P. 2008. Ajaran Rahasia Orang Jawa. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi
Aksara.
Tim Penyusun. 1990. 3658 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Zazuli, Mohammad. 2011. Syekh Siti Jenar: Mengungkap Misteri
Dan Rahasia
Kehidupan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Ibnu Fikri, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo


Semarang, Indonesia. Email: ibnoee@yahoo.com.
tentang prinsip-prinsip penafsiran (eksegesis) yang benar. Hermeneutika sendiri
bukan penafsiran terhadap kitab suci melainkan prinsip-prinsip yang melandasi
penafsiran. Kata “hermeneutika” dalam konteks biblikal ditemukan pertama kali
dalam buku karya J.C Dannhauer berjudul “Hermeneutica Sacra Sive Methodus
325
Exponendarum Sacrarum Litterarum” (1654). Dalam buku tersebut hermeneutika
ditegaskan sebagai teori eksegesis.
16. Gadamer, Hans Georg. 2011. Truth and Method. New York, Continuum
17. Donny Gahral Adian, Hermeneutika: Sebuah Pengantar, Makalah dipresentasikan
dalam Short Course Metodologi Penelitian Filologi 2012, Departemen Filsafat
Universitas Indonesia
18. Hurlock, Elizabeth. (1990), Psikologi Perkembangan edisi kelima, Jakarta: Erlangga

Bibliografi
Adian, Donny Gahral. 2012. “Hermeneutika: Sebuah Pengantar.” Presented at
the Short Course Metode Penelitian Filologi.
Ali, Mukti. 2011. Spirit Islam Sufistik: Tasawuf sebagai Instrumen Pembacaan
terhadap Islam. Bekasi: Pustaka Isfahan.
Al-Jumaili, Sayyid. 2011. Dahsyatnya Sakaratul Maut: Detik-Detik Perjumpaan
Manusia Dengan Malaikat Maut Ketika Akan Dicabut Nyawanya. Jakarta:
Cahaya Ilmu.
Al-Qodli, Imam Abdurrahman bin Ahmad. Terjemah “Daqoiqul Akbar”
(Detik- Detik Berita Dari Surga Dan Neraka). Semarang: Karya Toha Putra.
Anasom, and Musahadi. 2004. Membangun Negara Bermoral: Etika Bernegara
dalam Naskah Klasik Jawa-Islam. Semarang: Pusat Pengkajian Islam &
Budaya Jawa (PP-IBJ), IAIN Walisongo.
Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara
Abad 17 Dan 18. Bandung: Mizan.
Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat:
Tradisi- Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Darmaningtyas. 2002. Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri Di
Gunungkidul. Yogyakarta: Salwa Press.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Gadamer, Hans-Georg. 2011. Truth and Method. New York: Continuum.
Hidayat, Komaruddin. 2011. Psikologi Kematian Mengubah Ketakutan Menjadi
Optimis. Jakarta: Mizan Publika.
Hurlock, Elizabeth B. 1990. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015


Catatan Kaki
1. Azyumardi Azra, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
324 abad XVII dan XVIII : Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia, Bandung Mizan.
2. Syech Siti Jenar adalah Wali penyebar Islam abad ke-15 di Jawa yang menganut aliran
SufiFalsafi sebagaimana al-Halaj di Iraq. Dalam melakukan dakwah, ia menggunakan
ajaran-ajaran sufistik yang terkesan menyimpang dari meinstream dominan yang
bangun Walisongo seagai elit agamawan pada saat itu. Pemikiran Siti Jenar dianggap
terlalu Liberal dan kontroversial. Oleh karena itulah, Siti Jenar mendapatkan hukuman
atas penyimpangan yang dilakukan. Dalam buku Abdul Munir Mulkhan, 2002, Syekh
Siti Jenar, Pergumulan Islam-Jawa, (hlm. 173) dijelaskan bagaimana Sunan
Kalijogo seagai representasi Walisongo mengeksekusi Syech Siti Jenar hingga
menemui ajal.
3. Beberapa contoh karya sastra Islam – Jawa yang dapat penulis sebut antara lain;
Serat Kanda, Serat Wulang Reh, Serat Cabolek, Serat Wirid Hidaat Jati, Suluk Wujil,
Suluk Garwa Kencana, dan lain-lain. Anasom, dkk. 2004, Membangun Negara
Bermoral, Etika Bernegara dalam Naskah Klasik Jawa – Islam, Semarang: Rizqi Putra.
hlm. 16
4. Karel A. Steenbrink, 1988:173, dan Zamakhsari Dhofier, 1985:40, menengarai bahwa
Islam yang datang ke Indonesia pertama kali merupakan bagian dari Islam Sufisme.
Pendapat ini juga disepakati para ahli sejarah di Indonesia. Sebab Tarekat merupakan
aspek kehidupan beragama yang populer dalam masyarakat pedesaan Jawa. Hal ini
terjadi sejak kedatangan Islam di Jawa, di mana para sufi memainkan peranan penting
dalam penyebaran Islam.
5. Sholihin, Muhammad, 2004. Sufisme Syech Siti Jenar. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
6. Mohammad Zazuli, 2011, Syekh Siti Jenar: Mengungkap Misteri dan Rahasia Kehidupan,
Serambi Ilmu Semesta, Jakarta
7. Alwi Shihab, 2001, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini
di Indonesia, Mizan: Bandung.
8. Van Bruinessen, Martin, 1988, Kitab Kuning: Pesantren dan ariqat, Bandung:
Mizan.hlm. 70
9. Ahmad Syafi’i Mufid, 2006. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Jakarta: Yayasan Obor.
10. Pada halaman terdapat penulis naskah memberi berjudul Shahadat Sekarat. Bahasan
yang tertuang dalam halaman tersebut mengarah pada proses tercerabutnya nyawa
(ruh) dari badan, proses kejadian manusia, surga dan neraka, serta do’a-do’a kematian.
Penulis mengambil judul bab tersebut sebagai judul naskah karena beberapa bagian
teks juga masih memiliki kaitan dengan masalah kematian.
11. Istilah kodikologi berasal dari kata Latin ‘codex’ (jamak ‘codies’) yang dalam bahasa
Indonesia berarti ‘naskah’. Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1994, mengatakan kata ’caudex’
atau ‘codex’ dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai
alas tulis yang pada dasarnya kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata ‘codex’
kemudian di berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam
bentuk naskah. Selanjutnya kodikologi dalam filologi adalah ilmu yang mempelajari
seluk beluk atau semua aspek naskah meliputi; bahan, umur, tempat penulisan,
perkiraan penulis naskah. Sementara pengertian tentang kolofon (cholophon) adalah
informasi yang menjelaskan tentang pengarang dan penanggalan naskah ditulis.
12. Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi
terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, UI Press, Jakarta. Hlm. 2-3.
13. Darmaningtyas, 2002, Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung
Kidul, Salwa Press, Yogyakarta.
14. Ramlan (ed), Ajaran Rahasia Orang Jawa: Capt. R. P. Surono, LKiS Jogjakarta.
15. Rumusan pertama tentang hermeneutika merujuk pada prinsip-prinsip penafsiran
b menuntut sebuah perumusan
i
b
l
i
k
a
l
.

B
a
n
y
a
k
n
y
a

p
e
n
a
f
s
i
r
a
n

t
e
r
h
a
d
a
p

k
i
t
a
b

s
u
c
i
dalam menghadapi kematian. Oleh karena, kematian menjadi momok
yang menakutkan sehingga orang cenderung menghindar darinya.
Setelah adanya ajaran Islam sufistik yang mengangkat tema kematian 323
sebagai salah satu jalan menuju kehadirat Tuhan tersebar, manusia
Jawa sadar bahwa mati adalah niscaya yang harus dialami oleh setiap
manusia. Dengan demikian, menghadapi kematian tidak harus dengan
perasaan takut dan menghindar. Namun, mati dalam ajaran ilmu
sejati yang tertuang dalam manuskrip tersebut menjadi kebutuhan,
karena proses kematian yang diawali dengan sekarat bagaikan
seseorang bertemu dengan dzat yang dirindukan, yaitu Tuhan. Oleh
karena itu, naskah Shahadat Sekarat yang menguraikan tentang
proses kematian merupakan negasi dari sindrom masyarakat Jawa
yang selama ini takut akan datangnya kematian.
Dalam rangka itu pula, manuskrip yang penulis temukan telah
membuka tabir bagi masyarakat waktu itu untuk memerangi sindrom
322
terhadap kematian. Oleh karena, penjelasan yang tertuang di dalam
naskah ini memberi informasi tentang indahnya kematian. Bagaimana
proses kematian itu menuntun orang yang mati ke jalan Tuhan
Allah swt. Bagi orang yang beramal saleh maka surgalah tempatnya
dengan aneka kenikmatan. Sementara itu, bagi mereka yang kafir,
nerakalah tempatnya. Selain itu, berdasarkan hasil analisa yang
penulis lakukan, bahasa yang cenderung banyak bahasa ngoko (kasar)
dan sedikit kromo inggilnya (bahasa sopan). Struktur seperti ini telah
memberi informasi bahwa, manuskrip tersebut memang
disuguhkan untuk kalangan masyarakat biasa (proletar).
Selain itu, ada asumsi bahwa apa yang tertulis merupakan ajaran
yang disampaikan Syek Siti Jenar. Menurutnya pangkal dari segala
ciptaan adalah Dzat Wajibul Wujud yang tidak terdefiniskan, yang
diberi istilah “awang uwung” (ada tetapi tidak ada, tidak ada tetapi
ada) yang keberadaannya hanya mungkin ditandai oleh kata “tan kena
kinaya ngapa” yang disebut dalam al-Quran “laisa kamithlihi shay’un”
artinya “tidak bisa dimisalkan dengan sesuatu”. Inilah tahap Ahadiyah.
Dari keberadaan yang tak terdefinisikan itulah dzat wajibul wujud.
Yang tak terdefinisikan mewahyukan diri sebagai pribadi Ilahi yang
disebut Allah. Inilah tahap Wahdah yang tak terdefinisikan
mewahyukan diri menjadi Rabbul Arbab. Dari tahap wahdah ini
kemudian mewahyukan diri sebagai Nur Muhammad. Inilah tahap
wahidiyah ketika yang tak terdefinisikan mewahyukan diri sebagai
Rabb. Nur Muhammad ini kemudian mewahyukan diri menjadi
semua ciptaan yang disebut mahluk, baik yang kasat mata
maupun tidak kasat mata.

Penutup
Berdasarkan paparan yang diurai di atas, dapat disimpulkan bahwa
karya-karya ulama Nusantara yang membahas tentang kematian dan
eskatologi Islam cenderung menggunakan bahasa-bahasa sufistik.
Naskah Shahadat Sekarat adalah salah satu karya tersebut yang
penulis temukan. Sebagai proses awal dari kematian dalam rangka
menuju kehidupan eskatologi yang dimanifestasikan pada ajaran
sufistik Islam di Jawa memiliki peranan penting dalam kehidupan
masyarakatnya. Naskah yang usianya lebih dari satu abad ini
merupakan karya yang ditulis agar menjadi penerang dan petunjuk
b
a
g
i

s
i
a
p
a

s
a
j
a

u
n
t
u
k

t
e
g
u
s
mencampurkan antara yang lampau dan yang sekarang. t
Bagi Gadamer, penafsiran bukan sesuatu yang bersifat ofensif e
terhadap teks. Praanggapan yang melingkupi penafsir bukan sesuatu n
yang mutlak. Penafsir harus bersedia untuk dipersoalkan oleh teks itu a
sendiri. Ini bukan berarti penafsir sepenuhnya dikendalikan oleh teks. n
Kesediaan mendengar klaim yang diajukan teks berarti membiarkan g
klaim itu menampilkan dirinya sebagaimana adanya. Dalam interaksi ,
antara penafsir dan teks (fusi horison) penafsir mendengar d
pertanyaan yang memanggil teks untuk tampil mewujudkan a
dirinya.17 n
Dalam kerangka ini, penulis mengajukan sebuah realitas yang
terjadi ketika teks ditulis. Walaupun teks-teks naskah Shahadat p
Sekarat merupakan teks anonimus yang pengarang atau penulisnya e
tidak disebutkan, namun teks tersebut tidak mengurangi otentisitas r
untuk dikaji lebih dalam. Hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, a
naskah tersebut merupakan karya original seseorang yang memiliki s
otoritas tentang kematian dan eskatologi sehingga, naskah tersebut a
dapat menjadi referensi bagi setiap orang yang membacanya. Kedua, a
naskah Shahadat Sekarat yang sampai di tangan penulis ini adalah n
hasil salinan atau turunan dari naskah original sebelumnya.
Penulisan ulang itu dimaksudkan untuk menyebarluaskan doktrin y
yang tertuang dalam naskah. Akan tetapi, dari kedua kemungkinan di a
atas menurut penulis cenderung berasumsi pada kemungkinan n
pertama. Hal ini disebabkan, terdapat banyak coretan dan g
pengulangan kata dalam naskah yang memberikan kesan bahwa si
penulis memang melakukan perenungan yang ditorehkan dalam t
kertas tanpa watermark itu. i
Adapun penjelasan tentang kontekstualisasi naskah dilandasi dari d
sindrom masyarakat tentang kematian. Secara psikologis kecemasan a
akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu k
sendiri dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa
sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian. Oleh b
karena itu, pemahaman dan pembahasan yang mendalam tentang a
kecemasan lansia penting untuk diteliti, khususnya lansia yang i
mengalami penyakit kronis, dalam menghadapi kematian. Hal ini k
disebabkan, kecemasan bisa menyerang siapa saja. Namun, ada
spesifikasi bentuk kecemasan yang didasarkan pada kematian. a
Umumnya, kecemasan ini merupakan suatu pikiran yang tidak t
menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, rasa tidak a
u tidak enak yang tidak dapat dihindari oleh seseorang18
321
Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh
Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu menempuh laku
320
manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang
berupa syahadat tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh laku
manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar.
Kematian bukan masalah kapan ajalnya datang. Kematian termasuk
dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula
Gusti dan sebaliknya
Demikian halnya Kitab Walisongo, yang dikutip oleh Van Hien
dalam De Javanesce Gesten. Kitab tersebut memberi keterangan bahwa
ketika orang meningga, sebenarnya roh dan badan halusnya masih
terikat pada Wethala sehingga roh tidak dapat meninggalkan bumi.
Namun, bila orang meninggal semasa hidupnya berkelakuan baik dan
akhirnya meninggal secara mendadak maka rohnya tetap berada dalam
keadaan tidur sampai Wethala-nya musnah. Akan tetapi, jika orang
yang meninggal semasa hidupnya berkelakuan buruk dan mengumbar
kesenangan dan nafsu, akibatnya menjadi lain. Roh dari orang yang
berkelakuan buruk tersebut terbangun dari tidur kematiannya karena
masih memendam keinginan dan nafsu dalam kematian.14

Interpretasi Kontekstual Shahadat Sekarat.


Konsepsi spiritual yang tertuang dalam naskah Shahadat Sekarat
ini memiliki kaitan erat dengan fenomena yang terstuktur dalam
masyarakat pada waktu itu. Setidaknya, jika dilihat dalam
hermenutika modern, bahwa keberadaan sebuah teks merupakan
hasil akumulasi interpretasi dari sebuah konteks. Dengan demikian,
ada sebuah konstruksi yang membungkus keberadaan masyarakat
yang terjadi pada waktu itu.15
Pengamatan penulis dalam memahami yang terjadi saat naskah
Shahadat Sekarat itu ditulis harus memperlakukan teks-teks sebagai
sebuah penjelasan. Analisis yang kuat untuk menjelaskan hal tersebut
didasarkan pada teori hermenotika yang disusun oleh Gadamer. 16 Tugas
hermeneutika bagi Gadamer sejatinya adalah memahami teks dan
bukan pengarang. Pemahaman ini adalah sebuah partisipasi penafsir
dalam perkara yang dikomunikasikan teks. Partisipasi ini menekankan
kenyataan bahwa penafsir (dalam menafsirkan) tidak dapat keluar
dari dunianya sehingga teks menyapanya dalam kekinian. Penafsirkan
bukan proses subjektif melainkan perkara menempatkan penafsir di
dalam tradisi. Penafsiran adalah partisipasi di dalam arus tradisi yang
itulah dirinya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian
manusia merupakan proses aktif sang al-Ḥayy (Yang Maha Hidup),
sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, 319
manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup
yang tidak terkena kematian.
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana
telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep
marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining
manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat
astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.”
(Wedha, hlm. 54). Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati
roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya
kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada
Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia,
yaitu wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana
Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah (Wedha,
hlm. 54).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki
fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak berhubungan
dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat
yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk meneguhkan
hati akan tauhid al-wujud.“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating
nyawa), yang meliputi empat perkara:
1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai
pada pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, “la ilaha illalah,
Muhammad rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat
rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.
3. Kemudian, roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha
illa Hwa”.
4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah
tidak mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih
lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-
akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam
keadaan seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga
kebanyakkan kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan
keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika
rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat
setan, maka syahadatnya roh adalah “la ilaha illa Ana”.
pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya
rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep
318
jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing
Pangeran.” [Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang
terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa
kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa
kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak
lain adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah
hakikat Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening,
hilang keheningan menyatu- tunggal menempati secara abadi
memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan] (mantra
Wedha, hlm. 54).
Syahadat sekarat hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur
Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia adalah bagian
dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa kematian
manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif,
dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam
pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju
kemanunggalan dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad.
Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang tersebut
tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang
buana menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya, keadaan
kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian
makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafa’at sang
Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat
Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap pribadi
dalam menuju kemanunggalannya sehingga Nur Muhammad itulah
merupakan pengalaman kematian oleh manusia. Hal ini bagi Syekh
Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif atau kematian yang
negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana
yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu merupakan sesuatu aktivitas yang aktif. Hal ini
disebabkan ia hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam
ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum awam (orang
yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti
secara sempurna), nampak bahwa dalam kematian seseorang tetap
tidak kehilangan kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat
Muhammadnya ia tetap sadar dalam pengalaman kematian itu,
bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui
l
o
r
o
n
g
tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) k
idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada e
yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena n
kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53). a
Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan n
atau samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir i
dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung n
kemanunggalan, ketika jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah g
semua nafs dalam dirinya mengalami kasyaf.
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun,
satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa
kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah –
Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan
dan nyawa seluruhnya). Hal inilah yang disebut Syahadat Sajati.
Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya bersifat biasa-
biasa saja. Ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya, sehingga dari
ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan
tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan
sekedar pengenalan akan nama-nama Allah. “Sakarat pujine pati,
maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing
ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring
dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang
bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah
Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora
ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang
kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sekarat iku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas
munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam,
yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag,
kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah
sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang
berwujud Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad
sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah
Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang
tunggal saja, yang agung dan dikasihi.” Ini adalah syahadat sakarat
permulaan kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya,
maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan
dan mengamalkan “syahadat sakarat wiwitane pati” ini.“Ashadu
ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan
317
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika
tidak tahu maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidup,
316
dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah :
“Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya
jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa,
lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat
sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah,
kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.”
(Wedha, bab 205, hlm. 53).
Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat (menjelang dan
proses datangnya pintu kematian), sudah nyata penuh kesempatan
hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal. Keselamatan dan
kesentosaan itu sejatinya kehidupan. Tunggal sejatinya hidup, hidup
sejatinya rasa. Dzat sejatinya dzat pasti dalam keberadaan kelanggengan
tidak terkena perubahan. Dzat sekarat roh menghadap hati memuji
nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat
raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci.
Syahadat Sakarat adalah syahadat atau persaksian menjelang
kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh
Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri
dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Dengan
demikian, apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri
manusia yang manunggal seingga orang yang sudah meninggal
mencapai al-Insan al-Kamil, Ia dapat mengetahui kapan saatnya dia
meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan
sejati di akhirat untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat
sekarat yang terpapar di atas merupakan syahadat sakarat yang bersifat
umum, sebab nanti masih ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang
diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian atau dzikir, terutama
saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap berada
dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun, syahadat-
syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan. Pada saat
pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak
mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang
berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam
sukma.
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur
nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur
rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang
l
a
n
g
g
e
n
g
merupakan proses kehidupan manusia seperti pergerakan, sensasi, dan
pemikiran. Inrrevesity adalah muktamad dan tidak boleh diobati
sesuatu keadaan yang disebabkan proses dalam atau biologikal. 315
Kehilangan status merupakan satu keadaan kehidupan yang biasa
dilalui, lalu hilang hilang semua ciri-ciri yang mewakili kehidupan
lalunya, dan kematian somatik adalah matinya semua sel dalam
badan.
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang melalui pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada
tubuh mayat. Perubahan itu akan terjadi dari mulai terhentinya suplai
oksigen. Manifestasinya akan dapat dilihat setelah beberapa menit, jam,
dan seterusnya. Setelah beberapa waktu, timbul perubahan pascamati
yang jelas memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti (Simpson,
1985). Teori kematian di atas, dalam suluk yang amat terkenal juga
memberi peranan untuk menjelaskan tentang kematian. Secara historis,
siapa pengarang yang mengawali suluk ini memang sulit ditemukan.
Akan tetapi seluruh masyarakat di Jawa hampir pernah mendengar suluk
berikut:
Transkripsi Teks Terjemah Teks
Ojo siro banget-banget Lamun mati sekarate gampang Ora
nggonmu bungah ono ndonyo kroso babar pisan
Malaikat juru pati
nglirak nglirik marang
siro Nggone nglirik
malaikat arep njabut
nyowoniro Yen wes teko
titi mongso
kudu budal gak keno semoyo
Larane sekarat pati
Sewu loro dadi siji
Mergo uripe podo lali
Marang tuntunan agami
Ninggal solat ninggal ngaji
Mung maksiat sing dilakoni
Mulo urip sing ati-ati
Tembe mburi ben ora rugi
Sopo wonge gelem iman
Taat mring dawuh pangeran
Uripe tekun sembahyang
Ora lali nderes qur’an
Rino wengi seneng wiridhan
Amal sunah dadi pakulinan
Janganlah engkau keterlaluan
Dalam kebahagiaan
duniawi Malaikan
pencabut nyawa Sedang
mengawasimu setiap saat
Adapun malaikat
mengawasi itu Hendak
mencabut nyawamu
Pada saat yang
ditentukan
Harus mau dan tak bisa
menolak Sakitnya
Sekarat Maut
Seribu sakit
dijadikan satu
Sebab hidupnya
lupa Terhadap
tuntunan Agama
Meninggalkan shalat dan
mengaji Hanya
kemaksiatan yang
dilakukan Makanya
berhati-hatilah dalam
hidup
Agar dibelakang
tidak tugi Siapa
yang mau Iman
Taat kepada Tuhan
Hidupna tekun
sholat
Tidak lupa membaca
al-Qur’an Saat malam
selalu wirid
Amal sunnah menjadi
kebiasaan Kalaupun
meninggal akan mudah
Tak terasa sama sekali
Islam Santri merupakan konsep doktrin yang didasarkan pada hukum
syariat Islam. Penganut doktrin ini adalah mereka yang pernah belajar di
314
pondok pesantren maupun yang tidak pernah. Sementara kepustakaan
Islam kejawen merupakan konsep doktrin yang memuat perpaduan
antara tradisi Jawa dan unsur-unsur Islam. Biasanya sajian kepustakaan
Islam Kejawen memuat doktrin-doktrin tasawuf dan budi pekerti luhur.
Adapun beberapa nama yang sering digunakan dalam kepustakaan Islam
kejawen di antaranya; Primbon, Serat, Wirid dan Suluk.12
Mendiskusikan tentang kematian dan eskatologi Islam dalam referensi
Islam Jawa harus dimulai dengan pemahaman tentang mistisisme
Islam dan Jawa. Konstruksi pemahaman yang tidak linier akan
semakin memberi kesan kontroversif dan justifikasi pejoratif
(pelecehan). Salah satunya terdapat dalam serat Wirid Hidayat Jati
gubahan Raden Ngabehi Ronggowarsito yang membicarakan masalah
kematian. Dalam serat tersebut, Simuh menjelaskan bahwa mati itu
memiliki proses saat perkawinan “Kawulo – Gusti.” Adapun Serat
Wedhatama menyebutkan bahwa mati adalah perjalanan Pulang (mulih
marang Yang Maron)13.
Perlu dijelaskan pula bahwa kematian dalam pemahaman masyarakat
Jawa adalah oncating sukmo (lepasnya sukma dari raga). Dalam istilah
pewayangan, kematian memiliki tiga kategori, yaitu mati Utama, Mati
Madya, dan Mati Nista. Adapun ang dimaksud dengan Mati Utama
adalah mati terhormat, kategori mati seperti ini diberikan kepada mereka
yang menjadi kesatria atau seorang pahlawan yang gugur di medan
pertempuran. Adapun kategori mati madya, yaitu mati yang disandangkan
pada orang yang mati secara wajar, seperti halnya mati karena tua, sakit
dan atau musibah yang terjadi pada diri seseorang. Lalu, makna mati
nista adalah mati yang diberikan kepada orang-orang yang karena bunuh
diri.
Secara umum kematian dapat dikatakan sebagai lenyapnya proses
biologikal, psikologikal, dan pengalaman sosial dalam sebuah budaya
kehidupan. Selain itu, kematian juga bisa dikatakan terpisahnya roh
dari jasad. Seseorang boleh diisytiharkan mati apabila pernafasan dan
degupan jantungnya terhenti untuk satu jangka masa tertentu dan
aktivitas otaknya tidak berfungsi lagi. Menurut Kalish (1987), kematian
sebagai berhentinya fungsi kognitif dengan andaian ia tidak akan
berfungsi kembali. Manusia juga mengalami hilang kebolehan untuk
mengalami perkara seperti berfikir, bertingkah laku, dan mempunyai
perasaan. Menurut Speece dan Brant (1984), kematian berlaku
k entian dalam kehidupan yang
e
p
a
d
a

e
m
p
a
t

k
o
m
p
o
n
e
n
,

d
i

a
n
t
a
r
a
n
y
a

p
e
r
h
Shahadat Sekarat yang terpapar merupakan syahadat yang bersifat
umum, sebab masih ada beberapa syahadat yang lain. Semua syahadat
yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian atau zikir, 313
terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap
berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun,
syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat
pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak
mengheningkan daya cipta, rasa, dan karsa, sehingga lafal-lafal yang
berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam
sukma, sebagaimana dalam teks berikut:
Transkripsi Teks Terjemah Teks
/35/. Angerasani ilmu hak ing Merasakan ilmu haq (hakekat)
hale ora weruh rasane huruf, iya dengan tidak melihat rasa tiga
tigang dasa iku pesti wongiku ora puluh tersebut pasti orang itu
weruh rahsane ilmu hakikat, wong tidak dapat merasakan ilmu
iku kerana setuhune huruf tigang hakekat.
doso iku perabot ing dumadi Sebab, sesungguhnya tiga puluh
kabeh, tamat, Wallahu a’lam. huruf tersebut alat untuk menuju
Maka shahadate dzat langgeng kemulyaan. Tamat. Wallahu a’lam.
mulya jati urip tankena ing pati Shahadat itu langgeng, mulya,
yā hwa illa Allah. Punika dunga mulya hidupnya sampai mati,
Shofi Muluk kafiyate lamun yā hwa illa Allah. Ini adalah do’a
andunga, amacaha sholawat ping Shofi Muluk, kaifiyahnya apabila
tiga, ikilah dungane Shalawat berdo’a, bacalah Sholawat 3x.
Allahumma Salli wa salim ala Inilah do’anya: Allahumma Salli
Muhammad wa barik wa sallim wa salim ala Muhammad wa
ping tiga Bismillahir Rohmaanir barik wa sallim ping tiga
Rohiim, Azza man ta’azaza billahi Bismillahir Rohmaanir Rohiim,
Azza man ta’azaza billahi
Dalam perkembangannya, karena naskah ini membicarakan
masalah ilmu sejati (Sufistik), keberadaannya hanya tersimpan dan
tidak diajarkan secara luas. Sang pemilik Haji Khasani memahami
bahwa di tengah-tengah masyarakat, seperti yang sudah dijelaskan di
atas-ilmu yang terdapat naskah ini tidak bisa diajarkan. Hal ini karena
dominasi Islam di wilayahnya didasarkan pada mainstream fiqh. Oleh
karena itu, puluhan tahun silam manuskrip ini hanyalah kertas yang
tidak memiliki otoritas untuk dikaji dan diajarkan.

Doktrin Islam Sufistik di Jawa tentang Kematian dan Eskatologi


Dalam tradisi Islam Jawa terdapat dua konsep yang membedakan
kepustakaansebagaireferensikehidupan masyarakatnya. Diantaranya,
yaitu kepustakaan Islam Santri dan kepustakaan Islam Kejawen.
Kepustakaan
Transkripsi Teks Terjemah Teks

312 Utawi /19/. kedadehane menusa manfa’ate tamat. Wa Allahu a’lam.


iku tetelu nauqot ghoib. Tegese
mani, wadi, madi juhar awal
jisim| pengucap| utawi kang dadi
pengambu pengerungu peningal
pengerasa iku ireng-irenge mani
lan kang dadi nyawa iku
peputihe mani lan kang dadi
badan iku kuninge mani. Sabda
Nabi Salla Allahu ‘alahi wa
sallam utawi anapun banyu iku
uripe saking sirah ing dalem
sirah iku utek ingdalem utek iku
mani ingdalem
mani iku nefsu ing dalem nefsu iku
budi ing dalem budi iku jinem ing
dalem jinem iku sukma ing dalem
sukma iku sir. Utawi anapun
badan iku |wigati| /20/. Lebur
dadi nyawa iku lebur dadi rasa lan
rasa iku lebur dadi sirna muleh
maring asale. Anapun ananing
manusa
iku limang perkara lan lima saking
Allah ta’ala iya iku rupane kaya
pengucap, peningal, pengambu,
pengerungu, pengerasa, lan papat
saking malaikat ya iku rupane
mani, madi, wadi manikem lan
papat saking nabi ya ikulah rupane
iman, tauhid, ma’rifat, islam. Lan
papat saking bapa ya ikulah
rupane balung getih, daging,
kulit, lan patang perkoro saking
biyung iya ikulah rupane /21/. Lan
patang perkoro saking biyung iya
ikulah rupane otot, kringet,
sungsum, banyu. Lan patang
perkara saking awake dewe rupane
nafas, anfas, tanafas, nufus. Maka
lamun ora weruh maka dadi ora
mu fa’at pengagone dadi anawan
kambu belaka. Maka dadi angaku-
aku belaka maka ora tinemu
A ghoib yakni mani, wadi, yakni: Dan empat perkara dari sang
d madi juhar awal jisim | ibu berupa otot, kringat, sumsum,
a perkataan. air. Dan empat hal dari diri kita
p Adapun yang menjadi sendiri berupa nafas,
u alat penciuman, anfas, tanafas, nufus. Maka lamun
n pendengaran, penglihat ora weruh maka dadi ora mu fa’at
dan perasa adalah pengagone dadi anawan kambu
/ hitamnya mani. Dan belaka. Maka dadi angaku-aku
1 yang jadi nyawa itu belaka maka ora tinemu manfa’ate
9 putihnya mani. Dan tamat. Wa Allahu a’lam.
/ yang jadi badan itu
. kuningnya mani.
Sabda Nabi Salla
k Allahu ‘alahi wasalam
e adapun air hidupnya
j dari kepala. Di dalam
a kepala itu otak. Di
d dalam otak itu mani.
i Didalam mani iku
a nafsu. Di dalam nafsu
n ituu budi. Didalam
budi itu jinem. Di
m dialam jinem
a itu sukma. Di dalam
n sukma itu sir. Adapun
u jasad itu niscaya. Lebur
s jadi nyawa iku lebur jadi
i rasa dan rasa itu
a melebur jadi sirna
kembali ke asalnya.
i Adapun terjadinya
t manusia itu karena 5
u hal. Lima dari Allah
ta’ala sebagaimana:
pengucapan,
t
penglihatan,
i
penciuman,
g
pendengaran, peraba.
a
Empat dari malaikat
yaitu mani, madi, wadi
n
manikem. Empat dari
a
Nabi berupa iman,
u
tauhid, ma’rifat, islam.
q
Empat dari bapak
o
berupa tulang, darah,
t
daging, kulit. Lalu
empat hal dari sang ibu
meninggalkan alam kematian di dunia ini, kapan menuju alam
kehidupan sejati di akhirat, dan kapan menyatu selamanya dengan
Allah. 311
Selain menguraikan tentang shahadat kematian, naskah Shahadat
Sekarat ini terdapat beberapa pembahasan yang meliputi konsep
kejadian manusia, konsep tauhid yang dikemas dalam doktrim tasawuf,
serta do’a-do’a dalam Ilmu Sejati yang mengarah pada konstruksi
martabat tujuh, dan sebagainya. Seluruh pembahasan yang terdapat
dalam naskah, menurut penulis merupakan rangkaian bab yang saling
mendukung antara penjelasan yang satu dengan yang lain. Berikut ini
merupakan bagian naskah yang menjelaskan tentang do’a:
Transkripsi Teks Terjemah Teks
Punika dunga Shofi Muluk Ini adalah do’a Shofi Muluk,
kafiyate lamun andunga, amacaha kaifiyahnya apabila berdo’a,
sholawat ping tiga, ikilah dungane bacalah Sholawat 3x. Inilah
Shalawat Allahumma Salli wa do’anya: Allahumma Salli wa
salim ala Muhammad wa barik salim ala Muhammad wa
wa sallim ping tiga Bismillahir barik wa sallim ping tiga
Rohmaanir Rohiim, Azza man Bismillahir Rohmaanir Rohiim,
ta’azaza billahi/36/. wa dala Azza man ta’azaza billahi wa
man tajabbaro billahi al-azizul dala man
jabbaril ladzi ta’azazatihi wa tajabbaro billahil al-azīzul jabbaril
Allahul qudrotu wa Allahul ‘izzatu ladzi ta’azazatihi wa Allahul
wal qudrotu was sulthooni ‘ala qudrotu wa Allahul ‘izzatu wal
jami’i kholqihi yaf ’alu allohu qudrotu was sulthooni ‘ala jami’i
man yasyaa-u wa yahkumu may kholqihi yaf ’alu allohu man
yuridu laa haula wala quwwata illa yasyaa-u wa yahkumu may yuridu
billahil aliyyi al-azhim. laa haula wala quwwata illa
billahil aliyyi al-azhīm.
Dari isi yang terkandung dalam naskah Shahadat Sekarat
ini dapat dipetik nilai-nilai ajaran sufisme. Setidaknya dapat
dipahami bahwa kematian merupakan satu perkara yang lazim
dan nyata kepada manusia. Setiap manusia akan menghadapinya.
Namun, corak kematian manusia berbeda-beda sesuai kondisi dan
situasi. Berlakunya kematian memiliki berbagai sebab-musabab,
seperti kematian karena penyakit, kematian yang tidak diduga,
kematian yang boleh terjadi akibat kemalangan, bencana, mati
ketika tidur, kematian karena perkembangan umur atau usia dan lain-
lain. Dalam manuskrip juga dijelaskan tentang proses kejadian
manusia:
Ketertarikan penulis terhadap naskah tersebut didasarkan pada isi
naskah yang membicarakan tentang misteri kematian dan eskatologi
310
dalam bingkai khasanah Jawa. Secara umum tema-tema yang
dibicarakan cukup banyak disinggung dalam beberapa karya ilmiah.
Akan tetapi, misteri kematian dan eskatologi Islam jawa yang berbasis
manuskrip memang hampir tidak ada. Di tambah lagi, Shahadat
Sekarat ini merupakan ajaran untuk menuju kesempurnaan diri bagi
pengembang ajaran Islam Sufistik atau Ilmu Sejati di Tanah Jawa.
Penulis meyakini, bahwa naskah ini lahir dan muncul di Jawa
karena tulisan yang dipakai adalah tulisan Arab Pegon (tulisan yang
berhuruf Arab namun menggunakan bahasa Jawa).
Kesulitan yang paling mendasar dalam melakukan pengamatan
terhadap naskah Shahadat Sekarat ini pada kodikologi dan kolofonnya.11
Memang dalam naskah tidak disebut secara eksplisit siapa pengarang,
kapan naskah itu ditulis, serta watermark (cap kertas) yang tidak tampak
satupun. Selain itu, penulis juga belum menemukan naskah serupa pada
katalog-katalog perpustakaan maupun museum di beberapa tempat.
Oleh sebab itu, sebelum memberi kesimpulan bahwa naskah
Shahadat Sekarat merupakan satu-satunya naskah yang ditemukan,
dalam tulisan ini penulis memperlakukan naskah tersebut ke dalam
kategori naskah tunggal (codexus uniques).
Penulis menengarai bahwa naskah yang tebalnya 84 halaman ini
berasal dari ajaran sufistik Syech Siti Jenar. Berdasarkan pelacakan
penulis, naskah tersebut awalnya didapat dari seorang polisi di
Kabupaten Kendal bernama Anwar Salafudin. Penulis kemudian
menelusuri jejak-jejak asal naskah dan mendapatkan petunjuk bahwa
Anwar mendapatkan naskah tersebut dari seorang bekel (Perangkat
Desa) yang bernama alm. Haji Kasani, di Desa Sukomulyo
Kaliwungu Selatan, Kendal, Jawa Tengah. Kesimpulan sementara
penulis, Naskah tersebut oleh Haji Kasani didapat dari seorang guru
yang mengajarkan kehidupan sufistik.
Shahadat Sekarat merupakan persaksian menjelang kematian.
Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar,
yaitu kemampuan memadukan irādah dan qudrah diri dengan
irādah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Dengan
demikian, apa yang menjadi ilmu Allah maka itu akan menjadi ilmu
diri manusia yang manunggal sehingga orang yang sudah meninggal
mencapai al-Insān al-Kāmil. Ia juga mengetahui kapan saatnya
dia
Makna Simbolik Shahadat Sekarat
Sebagaimana telah singgung di atas bahwa Shahadat Sekarat 309
bukanlah judul yang terdapat pada manuskrip yang penulis kaji.
Pengambilan judul tersebut disebabkan kondisi naskah yang
ditemukan tidak sepenuhnya utuh. Penulis mendapatkan naskah tersebut
memang sudah banyak yang hilang, terutama di bagian sampul,
sehingga kolofonnya sulit ditentukan. Akan tetapi, lembaran-
lembaran kertas yang menuangkan gagasan tentang kematian dan
eskatologi dalam huruf Arab berbahasa Jawa memang masih utuh
walau terlihat lusuh. Pemberian judul Shahadat Sekarat pada naskah
tersebut didasarkan pada salah satu judul bab di halaman 1610 yang
menyatakan:
Transkripsi Teks Terjemah Teks
/16/. Bismillahi al-rahmān al- uwung-uwung. Tamat. Wa
rahīm. Ikilah Shahadat Sekarat Allāhu a’lam.
lamun tutukana nyawa-nyawa
iku den wiwiti saking pegelangan
ing suku roro [lā ya’rifu illa
Allah] lamun tutuk cengku [lā
yadhkuru illa Allah] lamun tutuk
dada [hua illa Allah] lamun
tutuk puser [lā mawjud illa
Allah] lamun tutuk tengkuk [yā
hwa
illa Allah] lamun telu [haqqu illa
Allah] lamun tutuk bun-bunan
[martsudadatu Allah]. Sawuse
pejah maka nuli amuji [yā hwa
nur al-rahman] maka nuli amaca
sahadat [shahidnā ‘ala anfusina]
iya iku sahadat mutawasitah lan
angucapaken nyawa iku [ya hwa
wa wujud Allah nur al-ruh nur
al- wahid] lan amuji ing badan
malih lan maca sahadat ikilah
[ashadu anna] ningsun ilaha
rupaningsun
/17/. Illa Allah pengiraningsun.
Nuli amaca shahadat [Ashadu
anna Lā ilaha illa Allāh wa
ashadu annā Muhammada rasūl
Allāh] iya iku maka aningali
/16/. Bismillahi al-rahmān al-
rahīm. Inilah Shahadat Sekarat
ketika nyawa-nyawa itu sudah
sampai, dimulai dari
pegelangan pada dua mata kaki
[lā ya’rifu illa Allah], ketika
sampai tenggorokan [la
yadhkuru illa Allah] ketika
sampai dada [hua
illa Allah] ketika sampai puser
[la maujud illaallah] ketika
sampai tengkuk [ya hua illa
Allah], ketika pada jakun
[haqqu illa allah] ketika sampai
di bun-ubun [martsudadatu
Allah]. Setelah meninggal
nyawa itu memuji
[ya hwa nur al-rahman] dan
membaca sahadat [shahidna ‘ala
anfusina] sahadat mutawasitah.
Berkatalah nyawa tersebut [yā
hwa wa wujud Allah nur al-ruh
nur al-wahid], kemudian memuji
badan lagi dan membaca sahadat
ini [ashadu anna] ningsun ilaha
diriku Illa Allah Tuhanku. Lalu
membaca shahadat [Ashadu anna
Lā ilaha illa Allah wa ashadu
anna muhammada rasul Allah]
demikianlah maka melihat ke
atas. Tamat. Wa allahu a’lam.
Gujarati, yang merupakan anggota jamaah karamah al-Auliya’. Aliran
kelompok ini, yaitu Syi’ah Ismailiyyah. Syekh Siti Jenar cukup lama
308
tinggal di Gujarat sehingga keilmuan dan pemikirannya sangat
dipengaruhi oleh kelompok Syi’ah Ismailiyyah. Syekh Siti Jenar dalam
menyebarkan faham dengan membuat ajaran tarekat Al-Akmaliyah.
Prinsip utama ajaran ini ialah manunggaling kawula Gusti. Menurut
ajaran ini, derajat tertinggi bisa tercapai ketika manusia benar-benar
lepas dari basyar (tubuh)-nya. Tak ada wirid dengan bilangan tertentu,
jamaahnya selalu diingatkan untuk wajib mengingat Allah kapan pun,
di manapun, sembari melakukan aktivitas apa saja. Tak ada desah
napas tanpa menyebut asma Allah. Semua orang bebas untuk
bertemu Allah, tanpa ada guru, kyai, atau mursyid. Inti dari ajaran
tarekat Al- Akmaliyah adalah pengetahuan tentang prinsip sangkan,
paran, dan dumadi.
Berkembangnya aliran kebatinan memang tidak lepas dari
beberapa pengaruh baik internal maupun eksternal. Pengaruh
internal, yaitu background masyarakat Jawa yang animisme dan
dinamisme yang menjadi kultur dasar corak masyarakat Indonesia
seperti yang terlihat terutama di Jawa (Cirebon, Surakarta, dan
sebagainya). Pengaruh eksternal masukan pemahaman dari luar
(Timur Tengah) yang berkembang pula di negeri asalnya pada periode
adanya wacana filosofi Yunani yang mempengaruhi pola pikir ilmuwan
Islam. Pada masa itu, pengaruh ini dibawa ke Indonesia (Jawa) oleh
Syekh Siti Jenar atau tarekat al-Akmaliyah ini sampai sekarang masih
terdapat di wilayah Jawa, mereka tergabung dalam kelompok-
kelompok kecil, di Nganjuk, Banyuwangi, Malang, Kediri, Madura,
dan Tulung Agung, termasuk Yogyakarta, Klaten, dan Banten,
Hal yang wajar apabila dalam perkembangan dakwah Islam
selanjutnya tasawuf dan thariqat mempunyai pengaruh besar
dalam berbagai kehidupan sosial, budaya, dan pendidikan yang
banyak tergambar dalam dinamika dunia pesantren (pondok). Pada
umumnya tradisi pesantren bernafaskan sufistik, karena banyak
ulama yang berafiliasi dengan thariqat. Mereka mengajarkan kepada
santri dan pengikutnya tentang amalan sufistik. Kondisi semacam ini
mempermudah tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi
thariqat yang berkembang di dunia Islam. Di Indonesia banyak sekali
tarikat yang berkembang dan tersebar di berbagai daerah termasuk
Jawa.
sejalan dengan ideologi mainstream. Sebut saja Ahmadiah, JIL A
(Jaringan Islam Liberal), Abu Bakar Musadiq (dalam kasus Nabi palsu), b
Lia Eden (mendapat wahyu dari Jibril), Yusman Roy (salat berbahasa d
Indonesia), dan sebagainya yang merupakan korban justifikasi sesat u
yang sampai saat ini masih menyisakan keprihatinan. l
Dari wacana di atas, maka ada benarnya jika Abdurrahman Wahid G
(Gus Dur) dalam pengantar buku Islam Sufistik karya Alwi h
Shihab7 menguraikan adanya dua kutub sufisme yang muncul saat a
Islam masuk dan berkembang di Nusantara terutama Pulau Jawa. f
Keduanya tidak pernah sepi dalam konflik, antara aliran Islam u
Sufistik Sunni dan Islam Sufistik Falsafi. Representasi dari Islam r
Sufistik Sunni adalah Walisongo, sedangkan Islam Sufistik Falsafi a
adalah Syekh Siti Jenar. Pada perkembangannya, tasawuf falsafi tidak l
ubahnya seperti anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan -
seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak
dari perseteruan itu tatkala Siti Jenar dieksekusi mati oleh dewan wali
(Walisongo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam
murni.
Dalam konteks ini, patut dijelaskan pula bahwa penyebaran
tarekat di pulau Jawa dilakukan pasca berkembangnya di Aceh.
Sebagian peneliti seperti Bruinessen, mensinyalir bahwa Walisongo
menganut tarekat Qadiriyyah. Sebab dalam Babad Tanah Jawi
dikatakan Sunan Kalijaga mengajarkan Ilmu Syekh Qadir. 8 Lalu
pada masa- masa berikutnya perkembangan tarekat disebarkan
melalui lembaga pesantren di seluruh Jawa dan tarekat
Naqsabandiyah -pada abad ke- 19- pernah mendominasi. Doktrin-
doktrin tarekat ini dibawa oleh pada ulama yang telah kembali dari
tanah suci. Hal ini terjadi karena Naqsabandiyah dianggap lebih
berorientasi syariat dbandingkan dengan tarekat lainnya. Namun,
saat ini berbagai tarekat, selain Naqsabandiyah juga berkembang
pesat di Jawa. Bahkan beberapa di antaranya seperti merupakan
tarekat lokal (istilah Brunessen). Tarekat lokal ini yakni tarekat yang
sanadnya tidak bersambung kepada Nabi Muhammad SAW.9
Teologi sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh faham-faham
puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, di samping karena proses pencarian
spiritualnya, yang memiliki ujung pemahaman yang mirip dengan al-
Hallaj dan secara filosofi mirip dengan al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.
Dalam perjalanan ke Jawa Syekh Siti Jenar berhenti di daerah
Ahmadabad Gujarat, di sana dia berkenalan dengan Syekh
307
Walisongo dalam penyebaran Islam tidak hanya pada praktik dakwah
secara kultural, tetapi juga telah mengarah pada sisi politik
306
kekuasaan. Sunan Kudus, Sunan Giri, dan Sunan Gunung Jati misalnya,
ketiganya merupakan wali yang menjadi penguasa di masing-masing
wilayah di Jawa. Sementara sebagian lainnya juga memiliki otoritas
yang sama sebagai qadhi atau semacam Hakim pada kerajaan saat itu,
sebagaimana Sunan Kalijaga dan Sunan Ampel.
Berbeda dengan Walisongo, gerakan dakwah para sufi yang tidak
menggunakan jalur politik pada saat itu juga memiliki peranan
penting dalam menyebarkan Islam di Jawa. Terdapat nama syekh Siti
Jenar yang menggunakan cara-cara dakwah kultural murni. Syekh
Siti Jenar merupakan ulama yang pertama kali mengusung gagasan al-
Hallaj dan terutama al-Jili, sedangkan para wali pada saat itu
menyebarkan ajaran Islam syar’i madzhabi yang ketat. Beberapa kitab
serta doktrin Syekh Abdul Karim al-Jili inilah yang sangat terkesan
bagi Syekh Siti Jenar, sehingga mempengaruhi corak dakwahnya di
Tanah Jawa. Oleh karena itu, dalam menyebarkan ajarannya Syekh
Siti Jenar mengemukakan ilmu sangkan paran sebagai titik pangkal
paham kemanunggalan dengan konsep-konsep, pamor, lumbuh, dan
manunggal.5
Menurut Mohammad Zazuli,6 doktrin Islam sufistik yang
disuguhkan Syekh Siti Jenar memang bisa dikatakan kontroversial. Di
saat para Walisongo menanamkan Islam lewat model akulturasi,
Syekh Siti Jenar justru membangun Islam secara asimilasi, yang
kemudian melahirkan Islam kejawen. Pandangan sufistik Islam ia ramu
dengan mistik jawa sehingga melahirkan Islam yang tidak berwajah
keras, tapi memancarkan kesejukan dan kedamaian. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika kemudian ajaran yang berkembang dengan
cepat melebihi dakwah yang dilakukan Walisongso. Hal ini dapat
dipahami karena memang ketika itu masih banyak masyarakat
Jawa yang menganut agama dan paham bercorak Hindu-Budha.
Perkembangan ajaran Syekh Siti Jenar yang semakin lama semakin
diterima masyarakat luas ketika itu, membuat para Walisongo pun
kemudian bersepakat untuk mengeluarkan ‘fatwa’ sesat dan
menyesatkan kepada ajaran Syekh Siti Jenar dan menuding pelakunya
sebagai wali yang murtad dan kafir. Mungkin situasi saat itu hampir
sama ketika MUI dan beberapa ormas Islam di Indonesia
menjustifikasi sesat serta men-takfir (pengkafiran) pada kelompok
maupun individu yang tidak
membutuhkan interpretasi khusus untuk memahaminya. Bagi m
kalangan Islam formal (syari’at) kajian ini memang tidak terlalu e
problematis dan jarang disinggung. Namun, bagi kalangan Islam sufi m
falsafi, kematian adalah password atau pintu masuk untuk i
menjalani kehidupan sebenarnya hingga menyatu dengan Tuhan l
(Manunggale Kawulo Gusti). Apalagi konstruksi ajaran yang diusung i
banyak dielaborasi dengan bahasa-bahasa sastra pada zamannya. Ini k
tercermin pada karya- karya ulama sufi di Jawa pada masa awal i
Islam yang memproduk tulisan dalam bentuk serat, suluk serta o
cerita-cerita bernuansa Islam. 3 Tentunya, fenomena ini memberi kesan t
bahwa ulama-ulama sufi falsafi memiliki kelebihan dalam berfikir o
kreatif dan kaya akan imajinasi. r
Jika ada pertanyaan mengapa para ulama sufi Nusantara menulis i
tentang kematian dan eskatologi, maka jawabanya akan membutuhkan e
analisis serta argumen-argumen teoritik. Memang sebelum abad ke- t
19 kajian-kajian itu jarang sekali muncul di publik. Hal ini disebab, a
eksistensi doktrin ini hanya berlaku secara exlusive sebagai konsumsi s
komunitas tertentu (privat). Oleh karena itu, tulisan ini mencoba i
mengungkap sinergi antara teks dan konteks melalui kajian filologis p
dengan pendekatan hermenutik. o
Masih terkait kajian di atas, penulis telah menemukan serpihan l
manuskrip tua di daerah Kendal Jawa Tengah beberapa waktu lalu. i
Untuk memudahkan penamaan naskah tanpa sampul, pengarang t
(anonim), dan tahun penulisan (kolofon) penulis memberi judul i
naskah Shahadat Sekarat. Manuskrip yang juga membahas misteri k
kematian dan eskatologi Islam berbahasa Arab pegon ini dalam
analisisnya akan didasarkan pada kerangka kajian filologis. Adapun d
untuk lebih mempertajam interpretasi manuskrip sekaligus agar dapat a
dipahami, penulis menempatkan hermenutik sebagai pendekatan. n
Dengan demikian, tanpa mereduksi arti naskah Shahadat Sekarat
tersebut, karya-karya ulama di Jawa abad ke-17 hingga abad ke-19 k
akan menjadi dasar bandingan atas manuskrip yang telah penulis e
temukan. k
u
Pergumulan Islam Sufistik di Jawa a
Sejak Islam masuk dan berkembang di pulau Jawa, peran tokoh- s
tokoh sufi banyak mendominasi wilayah kekuasaan dan politik. 4 a
Dalam konteks ini, Walisongo–sembilan wali penyebar Islam di a
wilayah Jawa–merupakan salah satu representasi para sufi di Jawa yang n
pada abad ke-15. Peranan
305
D
iskursus awal tentang kematian dan eskatologi Islam di
Nusantara sudah mulai terlihat sejak awal abad ke-17.
304
Memang pada saat itu pola keberagamaan yang
berkembang banyak didominasi oleh tradisi tasawuf dengan
berbagai varian tarekatnya. Di kawasan Sumatra, terdapat karya
sastra eskatologis tulisan Hamzah Fansuri (w.1610), Nurudin al-Raniri
(w. 1644) dalam “Akhbār al-Ākhirah fī Aḥwāl al-Qiyāmah,”Abdul Rauf
al-Singkel dalam kitab Sakarat al-Maut serta Syamsuddin al-
Sumatrani (w. 1630 M) dalam Mir’at al-Īmān atau Kitab Baḥr al-Nūr.
Berdasarkan pendapat Azra (1994), stuktur keilmuan mereka di atas
juga tersambung dengan ulama-ulama Nusantara lainnya, seperti
Syech Yusuf al-Makassari (w.1699), serta Syeh Ahmad Khatib
Sambas (w. 1875) yang juga menganut teologi sufisme.1
Sementara, jauh sebelum ulama-ulama di atas, juga terdapat
karya- karya tentang kematian dan eskatologi di Jawa pada abad ke-
15 yang disinyalir merupakan ajaran Syech Siti Jenar.2 Namun, pasca
Syekh Siti Jenar, generasi sufistik Islam di Jawa berikutnya mulai
redup, seakan terputus akibat trauma pemberangusan doktrin atau
pemberian sanksi terhadap Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat.
Menjelang paruh abad ke-18, generasi sufistik Islam di Jawa mulai
nampak, di antaranya seperti Syech Abdul Muhyi Pamijahan (w.
1738), Haji Hasan Mustafa Garut (w. 1930), KH. Ahmad Mutamakin
Pati (w. sekitar 1749), serta Raden Ng. Ranggawarsito Surakarta
(w. 1873). Adapun nama yang terakhir ini juga menjadi pujangga
Jawa terkemuka yang juga menulis kematian dan eskatologi dalam
serat Wirid Hidayat Jati.
Kematian dan eskatologi memang menjadi bagian klimaks dari
doktrin yang diusung pengikut Islam sufistik. Dalam konteks ini,
tasawuf yang berkembang di Nusantara pada khususnya,
sebagaimana yang juga berkembang di dunia Islam pada umumnya,
dapat dipetakan ke dalam dua tipologi, yaitu tasawuf falsafi dan
sunni. Tasawuf falsafi merujuk pada konsep tasawuf yang
dihubungkan dengan mistisisme panteistik Ibnu Arabi. Tasawuf
sunni dihubungkan dengan model pengamalan al-Ghazali. Oleh
karena itu, dapat difahami bawa karya- karya ulama Nusantara di atas
merupakan bagian dari tipologi tasawuf falsafi, sehingga corak
pemahamannya sangat kental dengan nuansa sinkretik, terutama
karya-karya sufi di wilayah Jawa.
Terlepas adanya dogma yang telah tertulis dalam al-Qur’an dan
H di kalangan tasawuf falsafi
a
d
i
t
s

N
a
b
i

s
a
w
.
,

k
e
m
a
t
i
a
n

d
a
n

e
s
k
a
t
o
l
o
g
i
Ibnu Fikri

Naskah Shahadat Sekarat:


Konstruksi Nalar Sufistik atas Kematian
dan Eskatologi Islam di Jawa

Abstract: This article discusses the manuscript of Shahadat Sekarat that


was found in the Sukomulyo village at South Kaliwungu, Kendal, Central
Java. This article expresses on the mystery of death and Islamic eschatology
based on Javanese culture. In addition to describing shahadat of death,
Shahadat Sekarat also was writing on the human being concept, the
tauhid concept in Sufism context, and some prayer indicated to
Martabat Tujuh conception. The death and eschatology terms which are
included in this manuscript are the part of Sufism theory that need
special inpretation to understand it. Therefore, this article applies the
philology and hermeneutics as methodology. This article concluded that
Shahadat Sekarat is the doctrine towards the perfection for Islamic
Sufism agents in Java. The spiritual conception in Shahadat Sekarat has
close of a relationship with the structured Javanese society during this
manuscript was written.

Keywords: Mystery of Death, Eschatology, Sufism, Hermeneutics.

Abstrak: Artikel ini membahas naskah Shahadat Sekarat yang ditemukan


di Desa Sukomulyo, Kalingwungu Selatan, Kendal, Jawa Tengah. Tulisan
ini mengungkap misteri kematian dan eskatologi Islam dalam bingkai
khazanah Jawa. Selain menguraikan tentang shahadat kematian, naskah
Shahadat Sekarat ini membahas konsep kejadian manusia, konsep tauhid
yang dikemas dalam doktrin tasawuf, serta do’a-do’a yang mengarah
pada konstruksi martabat tujuh. Topik kematian dan eskatologi yang
terdapat dalam naskah ini merupakan bagian dari materi tasawuf yang
membutuhkan interpretasi khusus untuk memahaminya. Berkaitan
dengan itu, artikel ini menggunakan kajian filologis dan pendekatan
hermeunetik sebagai metodologi. Artikel ini menyimpulkan bahwa
Shahadat Sekarat merupakan ajaran untuk menuju kesempurnaan diri
bagi pelaku ajaran Islam Sufistik di Tanah Jawa. Konsepsi spiritual yang
tertuang dalam naskah Shahadat Sekarat ini memiliki kaitan erat dengan
fenomena yang terstuktur dalam masyarakat Jawa pada saat naskah ini
dibuat.

Kata Kunci: Misteri Kematian, Eskatologi, Tasawuf, Hermeunetik.


Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015
303

Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015


Cerita Nabi Muhammad Berhempas dengan Abu Jahil

Muchlas Samani dan Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mudyahardjo, Redja. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan; Suatu Pengantar. Bandung:
271
Rosda Karya.
Nurgiyantoro, B. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
Universitas Press.
Rahmanto Hartoko, Dick dan B. Rahmanto, 1998. Pemandu di Dunia Sastra.
Jakarat: Pustaka Anggrek
Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang.
Sadullah, Uyoh. 2011. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:
Alfabeta. Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta:
Pustaka Jaya
Tim Ilmu Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Ilmu
Pendidikan. Bandung: Imperial Bakti Utama.
Zuhdi, Masjfuk. 199fi. Studi Islam Jilid III : Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Internet
http://kampus.okezone.com/read/2012/08/31/373/683436/95-koruptor-ri-
lulusan-perguruan-tinggi. diakses 5 September 2012 pukul 13.00 WIB.

Wawancara
Hasil wawancara dengan Apria Putra, Pengkoleksi Naskah, di gedung Teknologi
Informasi Komputer Nasional UIN Jakarta, 3 Agustus 2012, pukul 19.00
WIB.
Hasil wawancara dengan Yusri Akhimuddin, Peneliti di Sumatera Barat, di
gedung Teknologi Informasi Komputer Nasional UIN Jakarta, 3 Agustus
2012, pukul
19.00 WIB.

Khabibi Muhammad Lutfi, Institut Pesantren Mathali’ul Falah, Pati,


Indonesia. Email: habi2_86@yahoo.com.

Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015


Bibliografi
270 Buku
Abdul Majid dan Dian Andayani. 2012. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
Achsin, Amir. 1986. Media Pendidikan. Ujungpandang: Penerbit IKIP Press.
Amir, Adriyetty. 2009. Kapita Selekta Sastra Minangkabau. Padang: Minagkabau
Press Fakultas Sastra Andalas
Anismatta, M. 2012. Membentuk Karakter Secara Islam. Jakarta: al-I’tishom
Cahaya Umat.
Arifin. M. 1993. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Azra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bagus, Loren. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Baried, Siti Baroroh. dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Daryanto. 1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Apollo.
Dharma Kusuma dkk. 2011. Pendidikan Karakter; Kajian teori dan Praktik di
Sekolah. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Djamaris, Edwar. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Pusat Bahasa.
Echols, John M. dkk, 1996. Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia: Jakarta.
Fathurahman dkk.. Oman. 2010. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta: Puslibang
Lektur Keagamaan.
Fitri, Agus Zaenul. 2012 Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Fuad Amsyari. 1995. Islam Kafa’ah: Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Gema Insani Press.
M. Ali Hasan & Mukti Ali. 200fi. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya.
Majdid, Nurcholish. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Mu’in, Fatchul. 2012. Pendidikan Karakter; Kontruksi Teoritik dan Praktik.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Karya, 2010), h. 59
17. John M. Echols dkk., Kamus Inggris-Indonesia, (Gramedia: Jakarta. 1996), h. 107
18. Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), h. 11 269
19. M. Anismatta, Membentuk Karakter Secara Islam, (Jakarta: al-I’tishom Cahaya
Umat, 2002), h. 6
20. Dharma Kusuma dkk., Pendidikan Karakter; Kajian teori dan Praktik di Sekolah
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), h. 80
21. Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model…, h. 43
22. Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter; Kontruksi Teoritik dan Praktik (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2012), h. 160
23. Meski demikian, bila diteliti lebih-dalam pendidikan karakter justru lahir sebagai
kritik dan kekecewaan terhadap model pendidikan sebelumnya yang mirip yang hanya
bergerak pada ranah kognitif (pola berfikir) saja. Pendidikan karakter menawarkan
konsep baru intergratif dalam menginternalisasi nilai terhadap pesera didik yang
mencakup pola berfikir, pola sikap dan pola tingkah laku. Lihat, Agus Zaenul Fitri,
Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), h. 89
24. Dharma Kusuma dkk., Pendidikan Karakter; Kajian Teori dan Praktik di Sekolah.,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011), h. 27
25. Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter…, h. 31-36
26. Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Apollo, 1998), h. 412
27. Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 71fi
28. Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. fi8
29. Tim Ilmu Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, Ilmu dan Aplikasi Ilmu
Pendidikan, )Bandung: Imperial Bakti Utama, 2007), h. 45
30. Tim Ilmu Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, Ilmu dan Aplikasi…, h. 50 dan
5fi
31. Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III : Muamalah. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 199fi), h. fi
32. Nurcholish Majdid, Islam Doktrin dan Peradaban, )Jakarta: Paramadina, 2000),
h. 550-554
33. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. fi0
34. Shobron Sudarno (editor), Studi Islam I, (Surakarta: Lembaga Studi Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta, t.th.), h. 89-90.
35. Hal ini untuk menghindari “penyalahan” terhadap Tuhan, karena jika karakter itu
bawaan (pemberian Tuhan) manusia bisa saja tidak mau mengakui kesalahannya
manakala ia berkarakter tidak baik. Bukankah itu pemberian Tuhan? Andaikan Tuhan
memberikan karakter baik niscaya kita akan baik.
36. Dick Rahmanto Hartoko dan B. Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra. (Jakarta:
Pustaka Anggrek, 1998), h. 17
37. Dalam konteks pendidikan cerita dipandang sebagai media untuk menyampaikan
pesan moral yang ada di dalamnya. Analisis terhadap proses penciptaan teks,
hubungan dengan pengarang dan konteks sosialnya tidak dilakukan. Apabila merujuk
pada kajian sastra analisisnya mirip dengan teori struktural.
38. Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1992), h. 161
39. B. Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 178
40. B. Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 70
Catatan Kaki
1. Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung:
268 Remaja Rosda Karya, 2011), h. 10-12
2. http://kampus.okezone.com/read/2012/08/31/373/683436/95-koruptor-ri-lulusan-
perguruan-tinggi. Diakses 5 September 2012 pukul 13.00 WIB.
3. Hasil karya otentik Abdus Salam ini diilham dari berbagai sumber sejarah Nabi
Muhammad. Ia merupakan salah seorang ulama lokal, alumni Madrasah Tarbiyah
Islamiyah Candung, Darmasyraya, Sumatera Barat. Pertama kali yang menyimpan
naskah setelah Abdus Salam meninggal adalah Istrinya. Oleh ahli waris istrinnya
naskah CNMBAJ diserahkan kepada Aprlia. Kemudian, dari koleksi pribadi Apria
peneliti mendapatkannya. Hasil wawancara di gedung Teknologi Informasi Komputer
Nasional UIN Jakarta, 3 Agustus, pukul 19.00 WIB.
4. Hasil wawancara di gedung Teknologi Informasi Komputer Nasional UIN Jakarta,
3 Agustus, pukul 19.00 WIB.
5. Puisi nadaman cerita lain yang juga tersebar di Sumatera Barat misalnya cerita
Nabi bercukur, cerita nabi mebelah bulan, nadam kanak-kanak dan lain-lain. Hasil
wawancara di gedung Teknologi Informasi Komputer Nasional UIN Jakarta, 13
september 2012, pukul 19.00 WIB.
6. Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: Gunung Larang, 1982), h. 1fi6
7. Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra…, h. 1fi6
8. Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra…, h. 10
9. Media pendidikan dalah genre-genre yang digubah dalam bentuk syair yang berisi
tentang riwayat hidup nabi Muhammad SAW. Adriyetty Amir, Kapita Selekta Sastra
Minangkabau, (Padang: Minagkabau Press Fakultas Sastra Andalas, 2009), h. 26
10. Media Pendidikan adalah setiap orang, bahan, alat atau kejadian yang mementapkan
kondisi memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap.
Lihat, Amir Achsin, Media Pendidikan, (Ujungpandang: Penerbit IKIP Press, 1986),
h. 9
11. Hasil wawancara di gedung Teknologi Informasi Komputer Nasional UIN Jakarta, 13
september 2012, pukul 19.00 WIB.
12. M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (New York: Holt, Rinehart and Winston,
1981), h. Bahkan menurut Darma (1981) sastra dianggap baik jika memberikan
pesan kepada pembaca agar berbuat baik. Dalam konteks ini pesan atau biasa disebut
amanat yang dimaksud oleh pengarang sebagai seorang pendidik agama Islam adalah
nilai-nilai Islam.
13. B. Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press,
2000), h. fi20-fi21
14. Pemaknaan lewat cerita karakter tokoh seperti ini pada dasarnya dapat dilihat dari
berbagai persektif, tidak hanya sastra. Apabila merujuk pada latar historis perspektif
pendidikanlah yang hemat peneliti lebih tepat untuk mengkaji “isi”nya.Sedangkan
ditinjau dari keaslian linguistik dan stilistika puisi nadamnya kajian filologislah yang
cukup tepat. Karena filologi merupakan ilmu yang mempunyai tujuan menyunting
teks klasik dengan tujuan mengenalinya sesempurna-sesempurnanya. Oman
Fathurahman dkk., Filologi dan Islam Indonesia, (Jakarta: Puslibang Lektur
Keagamaan, 2010),
h. 22, lihat juga, Siti Baroroh Baried dkk., Pengantar Teori Filologi, (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1985), h. 5
15. Menurut Lackuna penyebabnya adalah pengaruh paham filsafat positivistik dan teori
evolusi Darwin yang menganggap moralitas dan nilai tidak penting lagi. Kalaupun
membicarakan, konsep moral yang ditawarkan bersifat personalisme, pluralisme dan
sekularis. Lebih jelasnya lihat, Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model
…, h. 11
16. Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan; Suatu Pengantar, (Bandung: Rosda
dalam berbagai kehidupan, bahkan harus disertai tindakan. Dengan
begitu, akan tampak praktik tidak hanya ditujukan pada peserta didik
melainkan pendidik dalam mengajarkan nilai juga mampu 267
memberikan contoh dan bisa jadi contohnya adalah pendidik itu
sendiri.

Penutup
Nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam Naskah CNMBJA
adalah kesabaran, keberanian, pemaaf, optimis, kerja keras, syukur,
kesederhanaan, musyawarah, empati, motivasi, dermawan, tolong
menolog, keadilan, penghormatan, prinsip, ketaatan, kasih sayang
dan rendah hati. Nilai-nilai ini dapat dijadikan sebagai basis nilai
dalam pendidikan karakter yang meliputi akhlak feeling, knowing, dan
action yang dalam prakteknya dilakukan secara teratur dan
berurutan. Akan tetapi, yang perlu digaris bawahi, pengaplikasian
dalam tulisan ini merupakan contoh penerapan beberapa nilai
yang digali dari Islam berbasis manuskrip. Akan menjadi
“sombong” manakala tulisan ini bermaksud menggenalisir. Sangat
disadari bahwa nilai-nilai islam yang terkandung dalam manuskrip
begitu banyak dan luas. Sementara nilai yang terdapat dalam naskah
ini merupakan serpihan dan cuil-cuilannya. Dengan demikian,
menjadi tugas bersama menggali nilai- nilai Islam berbasis
manuskrip yang masih terhidden kemudian mengaplikasikannya
dalam pendidikan karakter sebagai pembuktian bahwa Islam
ditujukan kepada semua umat manusia, rahmah li-al- “alamin.
Selain tentunya berusaha merumuskan konsep nilai-nilai Islam itu
sendiri menjadi mapan, agar mampu mewarnai bahkan bisa jadi
mengintervensi epistemologi pendidikan karakter, sehingga akhlaklah
yang menjadi basis, bukan moral atau etika.
pseserta didik diberi pemahaman tentang nilai-nilai moral dan etika
yang diapakai manusia secara umum, baik yang bersifat filosofis
266
maupun normatif. Level ketiga adalah nilai-nilai praksis yang
tergambar dari prilaku tokoh dalam CNMBAJ dijadikan sebagai
contoh aplikatif dalam daerah tertentu, dalam konteks ini
padang. Artinya dalam memberikan pengetahuan nilai, peserta didik
langsung diberikan contoh yang sifatnya lokal setempat. Model
percontohan seperti ini secara psikologis mempermudah memahami
nilai yang bersifat abstrak. Yang terahir adalah aplikasi dari kedua
akhlak tersebut yang disebut akhlak action. Secara lahiriyah
pembelajaran nilai ini dapat dideteksi dari kompetensi, keinginan dan
kebiasaan. Kemampuan kognitif tentang nilai ini harus dikuasai dan
dipahami peserta didik. Bahkan dalam akhlak action ini
pemahaman tidak cukup. Setelah paham peserta didik diajarkan agar
berkeinginan menerapakan pengetahuan tentang nilai- nilai itu.
Langkah terahir adalah Peserta didik diajarkan dan dibiasakan untuk
selalu mempraktekan nilai-nilai di atas. Dalam mempraktekan ini
tentunya peserta didik harus mempunyai pengetahuan dan sikap
terhadap nilai-nilai itu. Dengan kata lain, internalisasi nilai-nilai itu
terlebih dahulu bersifat afektif dan kognitif, sedangkan psikomotorik
harus didorong dan disadari penuh oleh peserta didik berdasarkan
afektif-kognitif. Pembiasaan diawali dengan mengikuti contoh yang
berada pada level ketiga di akhlak knowing. Dalam konteks naskah
ini adalah contoh prilaku yang dilakukan Nabi dan sahabat. Secara
kompetensi mereka memunyai nilai-nilai Islam dan berkeinginan
untuk selalu melakukan nilai tersebut. Misalnya nilai pemberani,
Nabi dalam setiap duel selalu memegang nilai ini. Nabi tidak
pernah mundur, apalagi lari. Abu Jahil dihadapi dengan pantang
menyerang. Hal ini didasarkan atas keyakinan bahwa apa yang
dilakukan nabi merupakan sebuah kebenaran. Sementara prilaku
Abu jahil dan konco- konco merupakan prilaku yang harus dihindari
dan dijadikan sebagai
kebiasaan dalam kehidupan.
Dengan sistem cerita, teks ini jika ditarik dalam akhlak action ini
ingin menunjukkan bahwa puncak pendidikan karaker adalah praktik
dari nilai tersebut. Praktik dalam cerita tersebut digambarkan secara
detail, bahkan cenderung teori tentang nilai itu hanya terungkap
secara eksplisit. Dalam konteks pengajaran, pendidik dituntut harus
mampu memvisualisasi pengetahuan nilai dalam ranah paraktis, atau
m an aplikasi nilai tersebut
a
m
p
u

b
e
r
f
i
k
i
r

l
i
t
e
r
a
l

u
n
t
u
k

m
e
n
g
e
m
b
a
n
g
k
Dengan mempertimbangkan muatan nilai dalam cerita CNMBJA
peserta didik diajarkan tentang sikap yang juga melibatkan unsur
ilahiyah. Sikap yang tidak melulu mepertimbangkan aspek hubungan 265
manusia saja. Tuhan dalam kondisi apapun adalah muara dari
sikap-sikap itu. Bahkan pertimbangan untuk bersikap juga didasari
hubungannya dengan alam. Alam sebagaimana yang terbaca dalam
naskah ini berperan aktif dalam konstalasi kehidupan manusia. Jika
ia diperlakukan baik, maka ia pun baik. Bahkan ikut serta mendoakan
terhadap kebaikan manusia itu. Jadi sikap yang berdasarkan pada
nilai- nilai ini merupakan aspek afektif yang harus menjadi pondasi
awal dalam pembelajaran pendidikan karakter.
Dalam pada itu, sistematisasi pendidikan dilanjutkan dengan
mengajarkan nilai-nilai itu secara rasional kognitif (akhlak knowing).
Nilai-nilai ini menjadi semacam pengetahuan yang sistematis bagi
peserta didik. Mengeja dari teks ini, sudah sepatutnya nilai-nilai di
atas secara kompetensi pengetahuan diajarkan berdasarkan gradasi
tingkatan. Ketiga tingkatan ini dijadiakan sebagai cara pengambilan
keputusan dan bagaimana memposisikan posisi diri. Sedangkan sudut
padangnya berada dalam ketiga level ini. Level pertama adalah nilai
yang dianggap universal adalah nilai-nilai yang dalam pengertian
ontologis. Peserta didik diajarkan bahwa semua pengetahuan tentang
nilai-nilai di atas berbasis pada ketauhidan yang mengintegrasikan
hubungan Allah, manusia dan alam. Konsep nilai seperti inilah
yang harus terpatri dalam rasio dan kesadaran anak. Anak
di”doktrinasi” bahwa nilai-nilai ketauhidan inilah yang bersifat
objektif-universal sebagaimana termaktub dalam kitab suci, bahwa
Islam diperuntukan untuk kemaslahatan alam, bukan hanya muslim.
Di samping itu, perlu adanya pembelajaran nilai yang menggunakan
logika abduktif. Artinya nilai-nilai yang dipelajari harus ada
berdasarkan nash dari al-Qur’an atau hadis di satu sisi dan di sisi lain
mengindentifikasi serpihan- serpihan nilai-nilai dari prilaku manusia.
Setelah itu, mengintegrasikan hasil dari kedua logika berfikir ini. Level
kedua adalah nilai instrumental yang berupa definitif dari nilai-nilai
itu diajarkan kepada peserta didik sebagai upaya untuk menjalin
harmonisasi antar manusia. Dalam konteks kehidupan keberagaman
yang bersifat sosiologis nilai- nilai intrumental inilah yang
ditampakkan, hal ini sebagai usaha meminimalisir ketegangan antar
manusia yang cenderung mempunyai perbedaan, baik agama
maupun pemikiran. Dalam tataran ini pula
Sedangkan nilai secara ontologis, konsep nilai-nilai instrumental dan
praktis tersebut bermuara pada pentauhidan kepada Allah dengan dasar
264
al-Qur’an. Nilai instrumental yang berbentuk definitif di atas digali dari
wacana keseluruahn teks. Sementara nilai praktis diwujudkan dalam
bentuk contoh konkrit yang disuguhkan oleh pengarang. Pada tataran
nilai instrumental ini bisa jadi akan sama dengan nilai-nilai lain di luar
Islam karena sifatnya yang cenderung umum, namun secara ontologis
belum tentu sama, kecuali yang merekayasa adalah muslim. Sementara
dalam nilai praktik yang berupa contoh merupakan gambaran real yang
mencerminkan nilai instrumental dan ontologis di daerah tertentu.
Nilai-nilai Islam yang terkandung dalam teks sebagaimana analisa
sebelumya dalam tulisan ini coba diaplikasikan dalam ranah
pendidikan karakter. Aplikasi ini dalam pengertian nilai-nilai itu
dijadikan dasar dalam pengembangan pendidikan karakter. Pintu
masuk kajian ini melalui konseptualisasi dalam pendidikan karanter
seperti penjelasan sebelumnya yang terdiri dari akhlah feeling, akhlak
knowing dan akhlak action yang dilakukan secara berurutan.
Mengacu pada konten teks, sitematisasi pendidikan nilai dimulai
dari akhlak feeling. Ini tergambar dari penggunaan puisi nadaman
yang bersifat emotif-afektif. Peserta didik dirasuki terlebih dahulu
perasaannya, sehingga ia merasa dengan mudah ikut merasakan dan
bersikap sebagaimana nilai-nilai tertentu. nilai yang dimaksud dalam
naskah ini adalah pemaaf, syukur, musyawarah, empati, motivasi,
dermawan, kasih sayang, penghormatan dan tolong-menolong.
Selain nilai yang merepresantasikan hubungan antar manusia yang
lain, juga diajarkan tentang nilai yang berkaitan dengan sikap
terhadap diri sendiri yaitu keberanian, opimisme, prinsip, dan
keadilan. Keempat nilai ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan
diri. Dalam menyikapi suatu hal peserta didik mampu bersikap
sebagaimana tercermin dalam nilai-nilai ini. Selain tentunya, sikap
ini dibarengi dengan sikap yang berkaitan dengan pengendalaian
diri yaitu kesabaran. Puncak dari sikap terhadap diri sendiri yang
berelasi dengan manusia lain adalah rendah hati. Bagaimana bersikap
meskipun merasa memiliki kelebihan tetap merendahkan diri nan
tidak merasa kekurangan di depan orang lain sehinggga berusaha
menghidari sikap sombong atau meremehkan orang lain, karena
karena pada hakikatnya semua milik Allah. Jika hamba bisa rendah
hati maka Tuhan akan selalu menyertainya.
2000: 187). Sementara itu Stanton mengartikan bahwa tema adalah
makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar
unsurnya dengan cara yang sederhana. 40 Tema menurutnya kurang 263
lebih bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama
(central puprpose). Nilai isi atau konten merupakan hasil kesimpulan
dari berbagai macam nilai-nilai yang ada dalam karakter tokoh dan
nilai yang didasarkan pada bahasa yang digunakan pengarang.
Nilai yang hendak diungkapkan pengarang CNMBAJ adalah
tentang rendah hati. Sikap dan prilaku yang menerima apa adanya
atas pemberian Tuhan dengan tanpa merasa lebih hebat daripada orang
lain serta tidak pula meremehkan orang lain walaupun itu musuh
Allah. Orang yang berendah hati selalu akan mengalah, bukan kalah
(Q.S al- A’rāf: 199). Hal ini dibuktikan dari cerita CNMBAJ yang
diperankan oleh nabi yang selalu dapat mengatasi persoalan walaupun
secara kasat mata tidak mempunyai bekal apapun. Akan tetapi karena
kerendahan hati, beliau ditolong oleh Allah dengan selalu bisa
mengatasi persoalan, bahkan dalam setiap duel selalu menang.
Sahabat-sahabat Nabi selalu ada dikala Nabi membutuhkan.
Kerendahan nabi tercermin dalam sikap dan prilaku. dalam setiap
menghadapi kesulitan tidak mengambil keputusan sendiri. Nabi
meminta petimbangan kepada Abi Talib. Ini menunjukkan bahwa
walaupun diberi mukjizat oleh Allah secara langsung tetapi nabi
juga mempertimbangkan sisi kebaikan bersama. Dalam konteks ini
nabi mencoba menyeimbangkan antara hubungannya dengan Allah
sastu sisi dan dengan manusia pada sisi yang lain. Nabi tidak merasa
paling bisa dan paling hebat, walaupun ia adalah utusan Allah. Begitu
pula saat melawan Abu Jahil, Nabi tidak pernah merendahkan atau
meremehkannya. Nabi selalu dalam keadaan siaga, bahkan dalam titik
tertentu nabi sangat memperhitungkan kekuatan lawan, sehingga
menjadi hal yang lumrah ketika ia hatus berdialog dan berdiskusi
dengan pamannya untuk mengimbangi kekuatan musuh. Demikian
sebaliknya, sifat sombong yang ditapilkan oleh Abu Jahil justru
membawa malapetaka bagi dirinya. Meskipun secara kasa mata
semua fasilititas untuk memenangkan duel ada tetapi itu tidak
menolongnya dari kekalahan. Karena pada hakikatnya yang bisa
menolong adalah Allah.
Yang perlu digaris bawahi dalam analisis ini adalah nilai-nilai yang
dianalisis ini merupakan nilai dalampengertian instrumental dan
praktis.
Nabi memiliki sahabat yang dalam teks ini dilukiskan sebagai
orang- orang yang selalu taat kepada Nabi. Mereka digambarkan
262
memiliki nilai-nilai kataatan kepada pemimpi. Yaitu sikap dan
prilaku yang selalu menuruti perintah dan nasehat pemimpin.
Tentunya nasehat dan perintah tersebut sesuai dengan standar
Islam (Q.S al-Nisā’: 59). Apapun yang dilakukan Nabi itulah yang
dinamakan standar Islam sendiri. Dalam mengungkapkan kataatan
ini naskah CNMBAJ memakai redaksi “manurut”. Selain itu hubungan
sahabat dengan Nabi juga dibagun berdasarkan nilai kasih kasih
sayang. Sebuah sifat dan prilaku yang halus dan baik terhadap sesama
(Q.S al-‘Ankabūt: 8). Nilai musyawarah juga diungkapkan dengan
sangat tegas. Musyawarah adalah pencapaian suatu keputusan
berdasarkan mufakat. Antar pengambil keputusan tidak ada yang
merasa dirugikan. Karena, selain rasional dasar dari pengambilan
keputusan itu adalah rasa kasih sayang dan ketaatan terhadap
pemimpin. Konsep ini sebagaiman termaktub dalam naskah yang
berbunyi:
Karena berjalan junjungan kita
Kanak-kanak empat puluh menurut juga
Hendak menopang apa bicara
Semua itu kasih tidak terkira (hlm.: 2)
Nilai syukur kepada Allah bagi Abdus Salam merupakan suatu
keharusan. Setelah menyelesaikan isi cerita CNMBAJ pengarang
memanjatkan puji dan syukur kepada Allah. Tumbuh kesadaran bahwa
“rampung”nya tulisan ini karena atas pertolongan dan karunia Allah
yang maha kaya, tanpa itu tidak mungkin tulisan ini akan selesai.
Syukur ini sekaligus sebagai pelengkap isi cerita. Dalam cerita syukur
yang dilakukan Nabi dengan tindakan, sedangkan dalam struktur
puisi berbentuk lisan, yakni dengan menggunakan redaksi “puji dan
syukur”. Rasa terimakasih ini juga diungkapkan sekalian kepada Nabi
Muhammad, para sahabat dan Tabi’in (orang yang selalu memgikuti
Sahabat). Kesemuanya itu didendangkan dalam gaya bahasa puisi
nadaman untuk mengahiri cerita.
Ketiga, nilai konten “isi” adalah nilai-nilai Islam yang tekandung
dalam teks CNMBAJ berdasarkan makna suatu pernyataan yang
diungkapakan pengarang secara keseluruhan. Makna yang dikandung
dalam cerita secara keseluruhan atau yang biasa diistilahkan dalam
kajian sastra dengan istilah tema. Tema adalah makna yang dilepaskan
o kan dalm suatu cerita (Sayuti,
l
e
h

s
u
a
t
u

c
e
r
i
t
a

a
t
a
u

m
a
k
n
a

y
a
n
g

d
i
t
e
m
u
juga menggunakan benda-benda alam yang digunakan untuk perang, Ana
misalnnya batu. k
Kedua, nilai linguistik adalah nilai-nilai Islam yang terkandung diba
wa
dalam teks CNMBAJ berdasarkan pemilihan diksi dan gaya bahasa ke
yang digunakan dalam cerita. Analisis ini digali dari pilihan kata yang teng
digunakan pengarang dalam menceritakan tokoh atau pernyataan di ah-
luar cerita yang sifatnya tambahan dalan puisi nadaman. Jadi nilai ini teng
murni dari nilai-nilai yang anut pengarang tanpa melibatkan isi cerita. ah
Dalam nadaman pembuka pengarang mengajarkan tentang nilai Keh
ada
penghormatan, yaitu sikap memberikan apresiasi dan respek pan
terhadap hal-hal yang baik (Q.S al-Qamar: 17). Pada baris pembukaan Abu
pengarang mengajarkan tentang penghormatan kepada Nabi Jahil
Muhammad dengan pengunaan diksi “junjungan”. Kata ini lakn
mengandaikan bahwa sebagai orang Islam harus memberikan at
hormat kepada Nabi sebagai pembawa risalah Islam, sehingga Alla
h
apapun yang dikerjakannya adalah wahyu yang harus ditauladani. Ini
(hl
sekaligus sebagai upaya pengarang untuk memberikan sugesti m. :
kepada pelantun nadaman ini agar selalu mengikuti tindakan 27)
Muhammad sebagaimana yang tergambar dalam
nadaman puisi.
Pemilihat diksi “laknat Allah” yang hampir selalu dilekatkan pada
Abu Jahil mengajarkan bahwa sebagai orang muslim harus memiliki
nilai prinsip yaitu berpenderian dan berkayakinan terhadap suatu
kebenaran dengan pasti (Q.S. al-Baqarah: 249). Dalam konteks
beragama pelabelan terhadap seseorang harus jelas tanpa ada kompromi.
Manakala ia bukan muslim berarti kafir. Abu Jahil sebagai representasi
orang kafir dengan sangat jelas akan dilaknat Allah. Ini bukan dalam
pengertian menagajarkan tentang kejelekan atau menjelekkan orang
lain, melainkan usaha untuk memantapkan keyakinan dan prinsip
sebagai muslim dalam hubungannya dengan Allah. Berikut beberapa
baris yang menggunakan redaksi itu:
Lima puluh kota di bawah perintah
Anaknya Abu Jahal laknat Allah (hlm. :
2)
Berjalan Nabi ke kampung bit{āh{ah
Bertemu Abu Jahil laknat Allah (hlm. 4)
Budak hitam itu langsung melangkah
Menjelang Abu Jahil laknat Allah (hlm. :
17)
261
juga disumbangkan. Yang membedakan dari keduanya adalah tujuan
memberikan pertolongan. Raja Hisyam tujuannya adalah keeguisan
260
pribadi agar keluarganya tidak malu karena kalah dengan Muhammad
yang berasal dari keluarga takmampu. Dan sekedar pembelaan
terhadap anaknnya. Sementara Abu Talib dan Khadijah bertujuan
untuk kebaikan dengan membela Nabi yang teraniaya.
Hamzah yang merupakan paman Nabi adalah tokoh pembantu
yang mencerminkan memiliki nilai keadilan. Keadilan dalam hal ini
adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya secara prosedural dan
proposional (Q.S al-Nah{l: 90). Hamzah selalu menolak manakala
setelah Muhammad memenagkan duel, Raja Hisyam bermaksud
menyerangnya. Dalam padangan Hamzah, kesepakatan antara
Muhammad dan Abu Jahil adalah duel satu lawan satu. Jadi siapapun
yang kalah tidak boleh dibantu temannya. Tokoh pembantu pratagonis
lain yang juga andil dalam pensuksesan kemenangan Muhammad
tidak merujuk pada seseorang melainkan pada sekelompok orang dan
sekelompok di luar manusia. Sekelompok yang pertama diistilahkan
sebagai sahabat Nabi. Para sahabat memberikan motivasi kepada nabi
saat bertempur dengan Abu Jahil. Tidak jauh berbeda dengan sahabat,
istrilah askar merupakan pasukan yang selalu mendampingi Abu Jahil
dalam pertempuran. Fungsi kedua-duanya sama namun mempunyai
tujuan berbeda-beda. Sedangkan kelompok yang kedua adalah
burung, langit bumi dan malaikat. Kelompok ini diilustraiskan
memmiliki nilai tolong menolong dalam konteks non-materi. Artinya
mereka merusaha menolong Nabi dengan cara berdoa kepada Allah
agar memenangkan duel. Perhatikan kutipan puisi nadaman ini
Nabi hampir akan bertemu
Di langit pertama terbuka lah pintu
Malaikat mendoa menyeru-nyeru
Rasul yang kecil tolong olehMu (hlm. : 27)
Burung memandang di atas awan
Selalu mendoa kepada Tuhan
Malaikat meminta kepada Tuhannya
Menghujankan batu pada atasnya (hlm. : 28)
Secara umum ini menunjukkan hubungan yang mesra antara alam
dan lingkungan dengan manusia. Jika alam diperlakukan dengan baik
maka alampun akan baik dengan kita. Selain itu, dalam naskah ini
adalah ibu Nabi Muhammad, Aminah. Perempuan ini digambarkan
mengusahakan untuk menyediakan makanan kepada para sahabat
nabi dalam rangka syukur kemenangan. Padahal di dalam rumah 259
tidak ada makanan sedikitpun. Selain dengan empati yang bersifat
perasaan, Abu Talib juga memberikan nilai motivasi kepada nabi.
Motivasi adalah dorongan yang ditujukan kepada orang lain agar
melakukan tindakan (Q.S Ibrahim: 7). Tindakan dalam konteks ini
adalah tindakan kebajikan untuk melawan kejahatan yang dilakukan
tokoh antagonis. Setiap kali musyawarah Muhammad diberi dorongan
untuk memberikan pelajaran kepada Abu Jahil agat tidak sombong.
Nilai empati dan motivatif ini diperankan pula oleh Abu Bakar dengan
cara ikut menyaksikan dan memberikan motivasi kepada Muhammad
ketika berduel dengan Abu Jahil.
Tokoh pembantu kedua yang sangat andil dalam menyokong
tokoh utama adalah khadijah. Khadijah dideskripsikan mempunyai
karakter dermawan yaitu sikap dan prilaku memberikan sesuatu
dengan suka rela tanpa pamrih untuk kepentingan kebaikan (Q.S
al-Fath{: 29). Istri Nabi ini memberikan hartanya untuk kepentingan
pemenangan duel Muhammad dengan Abu Jahil. Tanpa
mengaharap imbalan ia memberikan pakaian dan harta kepada
Muhammad agar mampu mengimbangi apa yang dimiliki tokoh
antagonis. Dalam konteks ini pula, karakter yang ditampilkan
Khadijah mengandaikan adanya nilai-nilai tolong-menolong dalam
kebaikan (Q.S al-baqarah: 2). Oleh pengarang representasi nilai-nilai
ini digambarkan dengan apik di dalam nadam berikut:
Datanglah takdir daripada Allah
Berkat kebesaran Muhammad āmin Allāh
Datang seorang pesusur Khadijah
Menghantarkan pakaian intan bertatah
Kain dan baju tatahnya intan
Di negeri Makah tidak bandingan
Sedang elok ku neteng lakat di badan
Orang melihat tumbuhlah heran (hlm. : 21-22)
Adalah Raja Hisyam tokoh pembantu pemeran antagonis yang
juga memiliki karakter seperti Abu Talib dan Khadijah. Ayah Abu
Jahil ini selalu membantu kesusahan Abi Jahil. Tidak hanya dalam
bentuk materi, non-materi seperti cara menyiasati memenangkan
duel
Karena mendapat bantuan dari Khadijah, dalam konteks pakaian pun
nabi lebih ungul.
258
Tiba di rumah lalu berkata
Kapada Abu Talib wahailah bapa
Abu Jahil keluar memakai mahkota
Diarak penghulu serta raja
Manalah kain pakaian hamba
Hamba berjanji di hari nangka
Carikan pakaian serupa dia
Janganlah malu kita padanya
Mendengar kata Nabi yang habīb
Heran tercengang rupa Abi Talib (hlm. : 20)
Dalam beberapa fragmen, Muhammad juga digambarkan sebagai
tokoh yang mengedapankan nilai-nilai musyawarah yaitu pencarian
keputusan berdasarkan kesepakatan bersama (Q.S al-Syūra: 38).
Kutipan nadaman di atas, merupakan salah satu fragmen yang
menceritakan diskusi Nabi ketika ditantang untuk duel pada seri
ketiga oleh tokoh antagonis, ia berdiskusi dahulu dengan Abi Talib
untuk menyusun strategi duel. Bahkan nilai musyawarah ini juga
terdapat pada karaketer antagonis dan secara kuantitas lebih banyak.
Tokoh atagonis, pasca kekalahan duel pertama, selalu mengajak
berdiskusi raja untuk menyusun starategi balas dendam.
Tampak dari analisa di atas nilai-nilai yang dibagun oleh pengarang
dengan cara pencitraan tokoh selalu dilandasai dengan pola hubungan
manusia dan Allah. Apapun yang dilakukan manusia harus bertujuan
kepadaNya. Tindakan-tindakan di dunia ini harus dikorelasikan
dengan Allah.
Tokoh pratagonis ini dibantu oleh beberapa tokoh yang memiliki
karakter masing masing. Setidaknya terdapat enam tokoh yang disebut,
namun yang secara implisit digambarkan membantu langsung hanya
lima. Adalah Abu Talib yang merupakan paman Nabi adalah tokoh
yang mengedapankan nilai empati yaitu sikap merasa bersatu dengan
orang lain ketika merespon dan menyertai mereka (Q.S al-Qas{as{:
55). Abu Talib digambarkan selalu menerima keluh kesah dan curahan
hati nabi ketika mengalami kesusahan, terutama ketika ditantang duel
Abu Jahil yang penuh dengan harta, sementara nabi kekurangan
harta. Tokoh pembantu pratagonis lain yang mencerminkan karakter
empati
pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapan yang baik (Q.S n
Hūd: 115). Dalam konteks ini ia yakin bahwa akan ditolong Allah a
dengan menang di setiap duel. Dan itu memang terbukti. Sebagai b
Tokoh antogonis, Abu Jahil juga mempunyai optimisme yang kuat. i
Dan secara material optimisme yang sangat rasional, karena didukung m
dana dan kekuasaan. Tidak disitu saja, Abu Jahil memiliki tipe nilai e
kerja keras yaitu menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam n
mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan persolaan dengan c
sebaik-baiknnya (Q.S al-Ankabut: 69). Ini dibuktikan dengan o
latihan duel dengan Budak. Lagi-lagi, Hanya saja dia lupa bahwa b
harapan dan keinginan yang mengabulkan adalah Tuhan. Manusia a
hanya bisa berusaha.
Kemenangan Muhammad diekspresikan dalam bentuk nilai syukur, m
yaitu sikap dan perilaku berterimakasih atas pemberian sesuatu (Q.S e
al-Nisā’: 147). Nilai syukur ini tidak hanya dengan lisan kepada Tuhan n
an sich melainkan dengan tindakan. Tindakannya pun tidak berbentuk g
berfoya-foya melainkan sekedar memberikan makan kepada para i
sahabat ala kadarnya yang ada tersedia di rumah. m
Takdir Allah Tuhan yang satu b
Berdaun berbuah sebentar a
itu n
Buahnya lebat itu lamak dimakan g
Diambil buah lalu disimpan i
Di panggil rakyat akan memakan d
Semuanya puas kenyanglah badan (hlm: 5) e
n
Meskipun Abu Jahil tidak pernah menang dalam duel, namun
g
ekspresi kemengangan bisa tercermin ketika mampu mengalahkan
a
budak. Syukur yang dipakai pemeran antagonis ini justru mengkufuri
n
nikmat. Dengan gaya sombongnya ia memanggil seluruh penduduk
negeri untuk menyaksikan duel balas dendamnya dengan Muhammad
g
dan dengan penuh keyakinan akan mengalahkannya.
a
Selain itu, ketika akan bertempur Abu Jahil selalau menonjolkan
y
gaya berpaiakan dan harta yang cenderung berlebih-lebihan. Sementara
a
nabi dengan selalu berusaha tampil apa adanya dengan dasar nilai-
nilai kesederhanaan. Kesederhanaan yang diajarkan di sini bukan
b
dalam pengertian apa adanya tanpa melihat sekeliling atau orang
e
yang dihadapi (Q.S al-An’am: 141). Nilai kesederhaan di sisi adalah
r
mencoba mengimbangi lawan main. Dalam teks diceritakan bahwa
p
akaian ala Abu Jahil.
257
Kesabaran ini juga oleh nabi dibarengi dengan nilai keberanian
yaitu sikap dan perilaku yang tidak takut terhadap ketidakbenaran
256
(Q.S al- Anbiyā’: 60). Kerena merasa benar, Muhammad selalu
menyanggupi tantangan duel tokoh antagonis. Namun begitu,
penyanggupan ini tidak secara langsung. Muhamad selalu menunggu,
manakala diserang terlebih dahulu baru ikut menyerang. Abu Jahil
juga ditampilkan sebagai pemberani. Hanya saja nilai keberanian
yang ada padanya tidak untuk kebenaran, melainkan disalahgunakan
untuk menantang dan merendahkan Muhammad. Nabi diaggap orang
yang lemah dan miskin, sehingga tidak layak menjadi pemenang.
Tidak itu saja, dalam teks, Muhammad digambarkan sebagia sosok
yang membawa nilai-nilai pemaaf, yaitu sikap dan prilaku memberikan
ampunan atas kesalahan orang lain baik yang disengaja maupun
tidak (Q.S al-Baqarah: 109). Meskipun ditantang dan disakiti terus
menerus Muhammad menyikapinya dengan tidak memikirkan atau
memasukkan ke hati. Hal ini dibuktikan setiap kali bertemu tokoh
antogonis, Muhammad tidak mendahului untuk menyerang dalam
pengertian balas dendam. Sementara Abu Jahil selalu mendahului
menyerang baik secara lisan maupun tindakan. Bahkan duel yang
terjadi sampai tiga kali sebagaiamana diceritakan di dalam teks
merupakan inisiatif dari Abu Jahil semua. Setiap kali kalah bertanding,
rasa dendam semakin menggebu-gebu. Berikut puisi nadaman yang
mengilustrasikan kejadian tersebut.
Lama sebentar Muhammadpun lalu
Abu Jahil itu lalu menyeru
Wahai Muhammad hendaklah mari
Jikalau sungguh engkau laki-laki
Cobalah bongkar batuku ini
Muhammad memandang hendaklah
lari
Hendak pergi ketempat lain
Ke Jabal Qubais Hendak bermain
Abu Jahil memanggil sangatlah rajin
Kelihatan lari muhammad yatim
Abu Jahil bersorak sama rakyat
Umpama guruh mengiringi kilat (hlm. : 8-9)
Perlawanan Muhammad terhadap Abu Jahil juga dilandasi dengan
nilai-nilai optimisme yaitu sikap yakin akan kemampuan diri terhadap
dalam kajian sastra cerita inilah yang digunakan sebagai medium N
untuk mewadahi konsep-konsep nilai tersebut. Pembicaaraan sastra a
dalam konteks ini berfungsi untuk menempatkan posisi cerita dalam b
bentuk puisi nadaman dalam kancah displin keilmuan Pendidikan. 37 i
Tepatnya sastra sebagai media pendidikan, sehingga yang dianalisis .
dalam konteks pendidikan adalah karakter tokoh, bahasa yang N
digunakan dan tema cerita. Setelah mengalisa teks CNMBAJ dengan a
analisis filosofis- edukatif secara mendalam nilai-nilai islam yang dapat m
dipetik dapat dipetakan sebagai berikut: u
Pertama, nilai ketokohan adalah nilai-nilai Islam yang tekandung n
dalam teks CNMBAJ berdasarkan katarakter tokoh dalam cerita.
Penokohan adalah proses penciptaan citra tokoh yang terdapat dalam s
sebuah karya sastra, pembaca cenderung mengklasifikasikan tokoh a
dengan tokoh protagonis dan antagonis.38 Tokoh antagonis adalah y
tokoh penyebab terjadinya konflik. Tokoh protagonis adalah tokoh a
yang memegang pimpinan di dalam cerita dan menjadi pusat sorotan n
di dalam cerita.39 Di samping itu keduanya ada beberapa tokoh g
pembantu dan figuran. ,
Di dalam teks CNMBAJ tokoh pratagonisnya adalah s
Muhammad. Dari ketokohan Muhammad nilai-nilai yang dapat i
diperoleh adalah kesabaran yaitu sikap dan prilaku yang menerima f
cobaan dengan berserah diri namun “aktif” (Q.S Hud: 115). a
Muhammad digambarkan sebagai tokoh yang tidak reaktif dalam t
menyikapi tindakan penghinaan dan tantangan dari tokoh antagonis. t
Bahkan sabar dalam menjalani kenyataan hidup yang telah e
diberikan Allah karena dilahirkan dari keluarga yang miskin. Nilai- r
nilai yang bertolak belaka diilustrasikan dalam diri tokoh g
antagonis, yaitu Abu Jahil. Tokoh ini dalam memutuskan suatu e
tindakan setelah mengalami cobaan tidak didasari atas berserah diri. s
Motif yang ada dalam dirinya adalah ingin cepat- cepat segera a
mengalahkan Muhammad. -
Abu Jahil laknat mufakat pula g
Sehari lagi perang dicoba e
Dicari hari nan baik ketika s
Supaya jangan kanai senjata (hlm: 5) a
Kutipan di atas mencerminkan sikap Abu Jahil yang tidak sabar
i
ingin cepat-cepat menundukkan Muhammad. Bahkan sehari setelah
n
dikalahkan dia berharap hari berikutnya harus sudah mengalahkan
i
justru menjadikan bomerang dan kekalahan bagi Abu Jahil.
255
Jika menelisik teori Barat konsep ini mirip dengan teori
konvergensi yang mencoba mensintesakan antara nativisme dengan
254
empirisme. Teori ini mengatakan bahwa karakter merupakan bawaan
dan bentukan dari lingkungan. Meski demikian teori ini pada
hakikatnya berbeda dengan konsep Islam. Kecenderungan baik atau
buruk merupakan bentukan lingkungan, sementara Tuhan hanya
memberikan potensi. Dengan begitu ada saling melengkapi antara
potensi dan lingkungan. Lingkungan tidak akan berpengaruh apa-apa
tanpa potensi begitu sebaliknya potensi tidak akan berkembang tanpa
ada keterpengaruhan dari lingkungan. Nah, dalam konteks sebagai
”lingkungan” inilah pendidikan karakter memfasilitasi untuk
mengarahkan prilaku manusia agar menjadi baik. Selain itu teorotisasi
dari Barat berbasis pada nilai- nilai moral yang hanya berdasarkan
logika berfikir, sedangkan konsep akhlak dalam Islam mengandung
unsur-unsur ilahiyah yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis.
Dengan argumentasi inilah seharusnya nilai- nilai Islam dijadikan
sebagai dasar atau pilar nilai dalam pendidikan karakter. Bukan
bermaksud menafikan nilai-nilai yang lain. Bisa jadi nilai-nilai lain
sama dengan nilai-nilai Islam. Namun sebagaimana teoritisasi nilai-
nilai Islam di atas, kesamamaannya hanya pada nilai- nilai
instrumental, sedangkan nilai-nilai secara ontologis Islam harus
meng”intervensi”. Bahkan dalam pelaksanaannya justru nilai-nilai
Islam qauliyah harus berkolaborasi dengan nilai lain, terutama nilai-
nilai kauniyah.
Berdasarkan analisis ini maka menjadikan nilai-nilai Islam \ sebagai
dasar dalam pendidikan karakter merupakan suatu keniscayaan bagi
orang muslim yang mempercayai Islam sebagai rahmat li-al-’ālamīn.
Nilai-nilai moral yang dianggap universal berada di bawah nilai ini,
sehingga perincian nilai-nilai moral yang dikonsep Likcona selayaknya
ditambah dengan respect and responsibility to god. Tidak hanya to
man and to nature. Inilah yang membedakan dengan pendidikan
karakter secara umum. Lebih jauh god dalam pengertian Allah.
Sementara konseptual metodologisnya bergeser menjadi akhlak
knowing, akhlak feeling dan akhlak action.

Nilai-nilai Islam sebagai Basis Pendidikan Karakter dalam Teks CNMBAJ


Di dalam membicarakan karya sastra, terutama cerita, menurut
Rahmanto (1998) hal yang terpenting adalah menemukan nilai-nilai
yang dibalut di dalam karakter tokoh-tokohnya.36 Karena dengan
dan membimbing komunikasi dan interaksi antar manusia. Hanya saja y
pengertian akhlak dalam konteks ini agak berbeda dengan konsep a
etika dan moral. Etika dan moral merupakan representasi dari nilai- n
nilai kauniyah an sich, sedangkan akhlak berasal dari al-Qur’an dan g
Hadis.34 Ketiga, pola hubungan yang dipahami berdasarkan hubungan
antara manusia dengan alam (h{abl min-al-‘Alam). Pola ini b
menggambarkan harmonisasi antara manusia yang memperlakukan e
alam dengan layak dan baik. Alam dijadikan sebagai ibrah untuk r
menganal Tuhan. Di sisi lain alam juga dimanfaatkan untuk u
kehidupan manusia (Q.S Hud: 61). Dengan pengertaian lain, alam p
dijadikan eksperimen dalam rangka membantu mememunhi a
kebutuhan manusia. Dan puncaknya nilai inilah yang mendorong
pengembangan ilmu pengatahuan yang bermuara pada keyakinan dan p
keagungan Tuhan pencipta kosmos. o
Ketiganya merupakan konsep pola hubungan dalam nilai-nilai t
Islam yang menjadi satu kesatuhan utuh. Ketiganya tidak bisa e
bergerak secara sendiri-sendiri, melainkan harus seimbang. Perpaduan n
hubungan pola tersebut membentuk insān kamīl yang mempunyai s
semangat transenden-humanis-scientis, nilai-nilai ketuhanan yang i
menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Secara .
3
breakdown-parsial ketiga melahirkan nilai-nilai Islam yang begitu kaya.
5
Mulai dari yang sangat privasif seperti ketekunan, keihlasan, ketulusan,
kebahagiaan, kemandirian sampai amat publikasif seperti keadilan,
keberagaman, kesopanan, tanggungjawab dan lain sebagainya.
Mengenai hubungan nilai-nilai Islam dengan pendidikan karakter
berdasarkan teoritisasi beberapa tokoh pendidikan karakter di atas.
Pendidkan karakter yang berbasis pada moral nurture dan nature tidak
selaras dengan konsep akhlak dalam Islam yang terbagi menjadi tauqifiyah
dan iktisabiyah. Tauqifiyah adalah potensi yang merupakan pemberian
Tuhan dan iktisabiyah adalah berarti sifat yang sebelumnya tidak ada, dan
diperoleh melalui lingkungan pengalaman, alam, sosial, pendidikan,
dan lain-lain. Dalam konsep Islam, karakter bukan merupakan bawaan,
Tuhan ketika melahirkan manusia ke dalam dunia hanya membekali
potensi karakter, yang dalam bahasa komputer disebut hardware.
Hardware manusia menurut al-Gazali ada tiga, yaitu fisik, akal dan
hati. Hardware inilah yang dalam prosesnya bisa diinstal software
kebaikan atau keburukan (Q.S. al-Syams: 8). Artinya, kebaikan atau
keburukan yang ada pada karakter seseorang tidak hanya diakibatkan
oleh lingkungan semata, melainkan ada unsur campur tangan Tuhan
253
Jadi, Konsep nilai-nilai Islam di atas dibagun berdasarkan logika
deduktif-induktif atau biasa disebut abduktif dari nilai-nilai Qur’ani
252
dan fikrī (hasil pemikiran manusia). Sedangkan model integrasi
keduannya disebut integrasi-interfensif. Artinya, model integrasi ini
secara hierarki menempatkan nilai-nilai Islam quliyah di atas nilai-nilai
kauniyah, bahan nilai-nilai qauliyah inilah yang akan mempengaruhi
dan mewarnai nilai-nilai kauniyah, terutama pada tataran ontologis.
Berdasarkan konseptulasiasi di atas nilai-nilai Islam dibangun
berdasarkan tiga pola hubungan, yaitu h{abl min-Allāh, h{abl min-al-
‘Alam dan h{abl min-al-Nās.. Pemetaan ini berdasarkan pada posisi
sentral manusia dan islam sebagi rahmat li-al’alamīn. Pertama, pola
hubungan yang dipahami berdasarkan hubungan antara manusia
dengan Tuhan (h{abl min-Allāh). Nilai ini didasarakan pada penciptaan
manusia yang diberi tugas sebagai khalifah atau wakil Tuhan di Bumi
(Q.S al-Baqarah: 30) dan hamba Allah (Q.S al-Z{āriyāt: 56). Kedua
kedudukan ini harus dibarengi dengan Akidah yang mengharuskan
manusia mempunyai keyakinan. Dengan dasar keyakinan ini pulalah
manusia melakukan seluruh aktifitas khalifah dan pengabdian, baik
secara batiniyah (hati, akal) maupun lahiriyah (fisik). Oleh
Azyumardi (2002) keyakinan ini mengikat manusia sehingga
terlahirlah ketentraman, optimisme dan semangat hidup.33 Termasuk
di dalam bingkai pola ini adalah hubungan antara manusia dengan
dirinya sendiri. pengertian ini megandaikan bahwa apapun yang ada
dalam diri manusia hanya manusia sendiri dan Tuhan yang tahu,
pola seperti ini misalnya akan melahirkan nilai jujur, bertanggung
jawab, bergaya hidup sehat dan lain-lain. Kedua, pola hubungan yang
dipahami berdasarkan hubungan antara manusia dengan manusia
yang lain (h{abl min-al-Nās). pola hubungan yang dibangun atas
mutualisme simbiosisme antar manusia. Pola hubungan yang
berdimensi sosial. Artinya, antara satu manusia dengan manusia yang
lain sama terjadi hubungan yang sinergis, yang membedakan hanya
ketaqwaannya (Q.S al-H{ujurāt: 13). Konsep pola hubungan ini
dibagi lagi menjadi tiga, yaitu ukhuwah basyariyah “persaudaraan antara
manusia dengan manusia yang lain” (Q.S al-Kāfirūn: 1-6), ukhuwah
wathaniyah “persaudaraan antar Negara, baik secara nasional maupun
internasional” (Q.S al-Māidah: 8) dan ukhuwah islamiyah “persaudaraan
antara sesama muslim dengan muslim lain (Q.S al-H{ujurāt: 11). Dalam
konsep inilah pola hubungan habl min-al-nās bisa berbentuk akhlak.
Akhlak menjadi seperangkat sistem nilai abstrak yang dapat mengarahkan
tujuan dari nilai tesebut. Nilai qauliyah bertujuan kepada Tuhan, k
sedangkan nilai kauniyah bisa jadi hanya beriorentasi pada hubungan a
antar manusia dan manusai dan alam. Tekadang secara ontologis nilai u
Islam kauniyah dan Qauliyah mempunyai persamaan tujuan kepada n
Tuhan. Hanya saja yang menjadi perbedaan maksud Tuhan dalam nilai i
Islam kauniyah adalah tuhan dengan “t” kecil, sedangkan dalam nilai y
Islam adalah Allah ayau Tuhan dengan “T” besar. a
Di samping itu, patut disebutkan bahwa nilai-nilai kauniyah yang h
berbentuk instrumental dan prakis juga bersifat temporal dan nisbi.
Namun begitu, kenisbian dan temporalitas ini tidak membedakan y
secara substantif, melainkan hanya menerangkan bahwa bentuk a
material dari sebuah nilai dalam konteks dan lokal tertentu berbeda n
dengan yang lain. Dengan catatan, selama nilai kauniyah ini tidak g
melenceng dari sumber utama. Meminjam konsep istilah Nurcholis
Madjid (2000) nilai-nilai lokal-baca nilai kauniyah-yang digali dari m
tradisi juga harus dikritisi jika tidak sesuai dengan agama.32 Bahkan e
nilai-nilai kauniyah yang bersifat partikular ini bisa merupakan n
intrumen untuk mencapai atau yang membangun nilai-nilai Islam d
secara ontologis. Dengan pengertian lain, dalam titik universalime o
kemanusiaan model seperti ini sering sekali nilai-nilai qauliyah m
mempunyai kesamaan dengan nilai-nilai kauniyah. Keduanya i
mempunyai tujuan sebagai pegangan hidup oleh umat manusia. Ini n
sekaligus sebagai konterisasi dan pengecualian terhadap pemahaman a
ateis dan nilai-nilai yang menyimpang dari kedua ajaran tersebut. s
Dengan demikian, keduanya bisa diintegrasikan dalam pengertian i
tujuan nilai-nilai kauniyah ditambah dengan tujuan nilai-nilai qauliyah .
yang mengharuskan ada tanggungjawab terhadap Tuhan dan sesuai
dengan dua pilar Islam. Dalam konteks ini nilai-nilai kauniyah
ditambah dan dikembangkan oleh Nilai qauliyah. Untuk pengertian
lain, secara ontologis nilai-nilai qauliyah juga bisa merubah nilai-nilai
kauniyah yang melenceng dengan kitab suci, sedangkan secara
instrumental bisa jadi tetap sebagaimana di lokal tertentu. Kalaupun
ada perubahan sifatnya dialogis-harmonis. Perbedaan dalam nilai-
nilai instrumental dan praksis merupakan hal yang wajar dan bukan
merupakan esensial. Yang terpenting adalah nilai-nilai ontologis
tersebut. Hal ini dikarenakan, nilai instrumental dan praksis merupakan
ejawantah dari nilai ontologis yang bersifat abstrak. Dan pengertian
nilai dalam tulisan ini adalah merujuk pada yang abstrak tersebut.
Bahkan dalam praktiknya bisa jadi, nilai-nilai instrumental dari
251
sebuah kehidupan, surga. Jadi standar dalam mengukur baik buruk
prilaku dan tindakan adalah nilai-nilai yang digali dari kedua sumber
250
primer itu.
Meskipun demikian, dalam titik selanjutnya nilai-nilai Islam baik
yang murni dan tahap pertama akan mengalami pergeseran. Pergeseran
ini diakibatkan dari sifat sosial manusia yang ingin menjalin hubungan
dengan manusia lain. Sementara nilai tahap pertama merupakan hasil
subyetifitas-transendenitas dengan Tuhan an sich. Nah, dalam konteks
inilah adanya interaksi dan dialogiasasi antar manusia yang kemudian
dihubungkan dengan Tuhan. Maka muncullah nilai-nilai Islam kedua.
Nilai islam kedua ini merupakan hasil ijtihad dan kesepakatan manusia
dengan manusia yang dibangun di atas pilar al-Qur’an dan hadis. Nilai-
nilai yang dihasilkan inipun masih terbatas pada komunitas sesama
muslim, sehingga ketika berhadapan dengan komunitas non-muslim
mengalami pergeseran. Maka munculllah nilai-nilai Islam tahap ketiga.
Sebuah nilai yang dibagun berdasarkan sintesa kompleksitas kehidupan
yang di dasarkan al-Qur’an hadis. Pada nilai ini juga hubungan
manusia tidak hanya sekedar dengan manusia dan Tuhan melainkan
didasarkan dengan lingkungan bahkan alam jagad raya.
Adapun nilai hasil rekayasa manusia merupakan nilai yang dibagun
berdasarkan logika induktif. Keterbalikan dari nilai-nilai Islam. Hanya
saja nilai-nilai ini dibangun tanpa ada dasar agama. Semua murni hasil
logika dan sintesa manusia. Atau bisa jadi konsep yang “menunda”
nilai-nilai islam pertama, sebelum adanya dialogiasasi dengan manusia
dan alam. Sebuah nilai yang dibagun di atas pondasi hubungan antar
manusia dan antara manusia dan alam (lingkungan). Selain itu,
modelnya juga tidak linier (breakdown dari kitab suci) sebagaimana
yang terdapat dalam nilai Islam, melainkan sejajar antara manusia
dengan alam, manusia dan Tuhan. Jika model sejajar ini mampu
mencapai atau menyamai pada tingkatan murni, maka nilai-nilai
rekayasa inipun sama dengan nilai-nilai Islam. Hanya pada proses saja
yang membedakan. Yang pertama berdasarkan ayat-ayat qauliyyah dan
yang kedua ayat-ayat kauniyah. Jadi, Nilai Islam yang didasarkan ayat
kauniyah merupakan nilai yang dibangun oleh manusia yang diserap
dari dialogiasasi antara lingkungan (alam), dan manusia sendiri.
Perbedaan nilai Islam kauniyah dan qauliyah ini berada pada tataran
nilai instrumental dan praksis, sedangkan secara ontologis bisa jadi
sama dan bisa jadi berbeda. Keduanya berbeda dalam sisi ending atau
nilai yang dikonsep oleh Kaelan (2002) jika ditelisik secara mendalam n
kedua nilai ini pada tataran ontologis dalam titik tertentu memiliki i
kesamaan. Sebuah nilai universal yang menyangkut keadaan secara l
obyektif yang dimiliki seluruh manusia. Keduanya baru berbeda dalam a
tataran nilai instrumental, yaitu nilai suatu pedoman yang dapat diukur i
dan diarahkan yang diturunkan dari nilai ontologis. Bahkan, semakin -
tampak berbeda sekali, tataran yang kedua ini diturunkan lagi menjadi n
nilai praktis, yaitu penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental i
dalam bentuk konkritisasi atau nilai yang sudah berwujud l
tindakan.30 a
Memang secara ontologis kedua nilai ini juga bisa dibedakan. i
Dalam pengertian bahwa keberlanjutan (ending, gayah) nilai-nilai i
yang diberikan Tuhan akan dikembalikan dan ada pertanggung n
jawaban kepada Tuhan lagi, jadi tidak hanya terhenti di manusia saja i
sebagaimana nilai hasil rekayasa manusia. Dengan l
mempertimbangkan perbedaan ini, tampaknya antara kedua nilai ini a
pada dasarnya bisa didialogisasikan, bahkan diintegrasikan. h
Dalam konteks agama Islam, nilai-nilai Islam masuk dalam kategori
nilai pemberian Tuhan. Secara etimologi Islam berasal dari bahasa Arab y
yang bermakna keselamatan, perdamaian, dan penyerahan diri a
kepada Tuhan. Ketiga pengertian ini terwadahi dalam konsep Islam, n
sehingga dengan memeluk Islam (berserah diri) diharapkan g
keselamatan dan perdamaian seluruh umat manusia di bumi ini. 31
Nilai Islam disarikan dari al-Qur’an dan hadis secara langsung dan a
murni. Dua dasar inilah yang menghubungkan antara manusia dan k
Tuhan. Dalam memahami nilai Islam ini manusia menggunakan a
logika berfikir deduktif. Teks- teks keagamaan ditafsirkan secara n
tektual-kontekstual. Sementara realitas dibagun dari hasil tafsir
tersebut. Pada tataran selanjutnya, nilai juga bisa muncul dari hasil m
pengalaman-pengalaman keagamaan secara subyektif. Pengertian ini e
mengisyaratkan bahwa nilai Islam pada awalnya lahir dari Tuhan itu m
sendiri yang diberikan kepada manusia, terutama lewat kitab suci. b
Setelah memahami nilai tersebut dan membangun hubungan dengan i
Tuhan secara pribadi, manusia menemukan nilai- nilai Islam lain yang m
merupakan kelanjutan nilai Islam murni. Pada tataran ini nilai b
dibangun pada tahapan pertama. Pada tataran nilai- nilai Islam i
pertama ini keterpengaruhan lingkungan sekitar sangat minim, n
bahkan bisa jadi tidak ada. Semua kehidupan dibagun atas nilai g
Islam pertama dan kedua ini. Karena ada sebuah keyakinan bahwa
manusia menuju akhir dari
249
pribadi yang mampu mengamalkan nilai-nilai positif tersebut dalam
ranah nyata bagi seluruh masyarakat dengan berbagai perbedaan
248
latar belakang.
Untuk konseptulaisasi nilai-nilai Islam, setidaknya harus dikaji
secara mendalam apa pengertian dari keduanya, yakni “nilai” dan
“Islam”. Secara etimologi nilai berasal dari bahasa Latin “valare” yang
berarti harga. Dalam bahasa Inggris disebut “value”, bahasa Perancis
“valare” dan dalam bahasa Indonesia sebagaimana diungkapakan
Daryanto (1998) diartikan harga, ukuran, prestasi dan sifat-sifat
penting bagi kehidupan manusia.26 Sementara dalam Kamus Filsafat,
Lorens Bagus (2000) nilai didefinisikan berguna, mampu, berdaya,
berlaku dan kuat.27 Dalam kajian filsafat nilai merupakan kajian utama
dari salah satu tiga pilar filsafat ilmu, yakni aksiologi. Aksiologi adalah
kajian yang membahas seluk beluk tentang teorisasi nilai. 28 Meskipun
banyak filusuf yang menolak mengenai nilai, dalam tulisan ini ingin
menegaskan bahwa nilai merupakan metafisika yang selalu integral
dengan sesuatu. Secara termonologis nilai akan bermakna manakala
dihubungkan dengan subyek. Nah, dalam hal inilah kemudian, nilai
yang terkandung dalam suatu obyek itu multi-tafsir, karena sudut
padang yang digunakan oleh subyek dalam melihat obyek berbeda-
beda, namun begitu sebagaimana diungkapkan Bartens (2004) nilai
selalu tampil dalam konteks praktis. Selain itu, oleh Theodorson nilai
merupakan sesuatu yang abstrak yang dijadikan sebagai pedoman hidup
dan prinsip umum dalam bertindak. 29 Bagi subyek, nilai dijadikan
pegangan agar hidupnya selalu selaras dengan nilai yang dianut. Jadi,
dalam kondisi apapun nilai akan selalu mempengaruhi tindakan yang
diambil oleh subyeknya. Dalam konteks inilah nilai juga dimaknai
sebagai standar baik atau buruk tentang suatu obyek yang bukan dalam
pengeratian material.
Menurut Subino (1986) sumber nilai dibagi menjadi dua, yaitu
pemberian dari yang maha kuasa dan rekayasa manusia. Nilai yang
pertama merupakan nilai universal yang diturunkan Tuhan melalui
agama, sedangkan nilai kedua adalah hasil dialektika antara manusia
dengan sesama manusia dan lingkungan sekitar. Pada dasaranya
kedua nilai ini sama-sama bersumber dari Tuhan yang saling
melengkapi. Hanya saja dalam perkembangan berikutnya, keduanya
terkadang saling berbenturan. Ini dikarenakan katamakan manusia
dalam menggapai sesuatu, padahal ia dalam keadaan terbatas. Dengan
meminjam hieraki
macam pendapat. Pertama pemikiran para filusuf. Hasil pemikiran m
filusuf yang berbentuk konsep-konsep universal dijadikan sebagai dasar a
dalam membangun nilai pendidikan karakter. Nilai ini murni dibangun u
dari tradisi berfikir, terutama filsafat Barat. Kedua Agama. Nilai agama p
dijadikan sebagai pilar pendidikan karakter karena agama merupakan u
ajaran suci yang menjadi pegangan umatnya. Ketiga budaya atau n
kearifan lokal. Bagi beberapa tokoh nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisi lokal harus diutamakan, karena nilai-nilainya sudah menyatu a
dengan masyarakat baik dalam pengetahuan, sikap dan prilaku, f
sehingga pendidikan karakter harus berbasis padanya. Keempat ideologi. e
untuk kepentingan tertentu nilai ideologi merupakan pegangan yang k
akan mengarahkan manusia menjadi lebih baik sesuai dengan ajaran t
di dalammnya. Kelima konvensi bersama. Konvensi bersama ini i
biasanya merupakan konsep yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh f
pendidikan baik dalam bentuk teoritisasi maupun sudah s
dimplementasikan dalam peraturan pemerintah. Nah, nilai-nilai e
yang sudah dikonsep ini kemudian dijadikan sebagai pilar h
pendidikan karakter. Keenam perpaduan. Dasar-dasar yang telah i
disebutkan tadi dianggap bisa saling melengkapi dan masing-masing n
terdapat kekurangan. g
Untuk konseptualiasi metodologis nilai yang bersifat epistemologi g
dalam pendidikan karater adalah pengaplikasian nilai-nilai moral a
tersebut ke dalam tiga ranah sebagaimana diungkapkan Lickona
yaitu; Pertama, moral knowing adalah pengetahuan tentang moral m
yang terdiri dari enam pokok yaitu kesadaran moral, pengetahuan e
nilai-nilai moral, penentuan sudut padang, logika/penalaran moral, n
pengambilan keputusan dan pengenalan diri sendiri. Kedua moral j
feeling adalah perasaan atau sikap mental tentang moral yang terdiri a
dari lima hal yang perlu ditanamkan kepada peserta didik yaitu d
percaya diri, kepekaan terhadap orang lain, cinta kebenaran, i
pengendalian diri dan kerendahan hati. Ketiga moral action adalah
perilaku yang didasari pertimbangan nilai-nilai moral yang merupakan
ejawantah dari dua moral sebelumnya yang ditunjukkan dalam
tindakan nyata dalam kehidupan. Aspek moral yang terahir ini dalam
dunia pendidikan bisa dipahami lewat kompetensi, keinginan dan
kebiasaan peserta didik.25 Sedangkan secara aksiologis kegunaan atau
tujuan dari pendidikan nilai ini adalah memberikan, membentuk,
menanamkan, mefasilitasi, dan mengembangkan nilai-nilai positif
yang bersifat universal pada peserta didik baik secara kognitif
247
Definsi yang cukup lengkap dikemukakan oleh Muchlas Samani
dan Hariyanto (2011), karekater adalah nilai dasar yang membangun
246
pribadi seseorang terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun
pengaruh lingkungan yang membedakannya dengan orang lain, serta
diwujudkan dalam sikap dan prilakunya dalam kehidupan sehari-
hari.21 Definisi ini mengandaikan bahwa karakter adalah suatu ciri
khas di dalam diri seseorang yang dijadikan sebagai standar baik atau
buruk. Karakter bisa jadi merupakan bawaan bisa pula merupakan
bentukan lingkungan sekitar. Karakter bisa dideteksi dari prilaku
seseorang. Konsep ini diperjelas lagi oleh Simon Philip (2011) dengan
pengertian bahwa karakter merupakan kumpulan tata nilai menuju
suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap dan prilaku yang
ditampilkan. 22 Definisi yang terahir ini sangat tepat dan sesuai dengan
tujuan pendidikan secara umum yang menyangkut kognitif, afektif
dan psikomotorik. Dengan pemahaman ini pula karakter dipahami
tidak hanya sebatas pada prilaku, sikap atau pengetahuan melainkan
suatu sistem yang ada pada diri manusia yang melandasi ketiganya
itu. Jadi pendidikan karakter adalah Usaha sadar dari berbagai lapisan
masyarakat untuk mempersiapkan seseorang menjadi manusia yang
baik berdasarakan nilai-nilai tertentu sebagai persiapan masa depan
dengan cara bimbingan yang bersifat afektif, pengajaran dengan
penekanan pada sisi kognitif, dan latihan-latihan dalam
pengembangan psikomotorik baik di sekolah maupun di luar sekolah
yang berlangsung
sepanjang hayat.
Bila merujuk historis pendidikan di Indonesia secara substantif
pendidikan karakter sebenarnya sudah ada, namun berwujud berbeda
seperti pendidikan budi pekerti, pendidikan akhlak, pendidikan
kewarganegaraan dan pendidikan Moral. Pengertian subtantif ini
dalam arti pendidikan yang berbasis pada nilai.23
Dengan memperhatikan konsep di atas pendidikan karakter pada
hakikatnya adalah pendidikan yang berbasis pada nilai. Nilai dijadikan
dasar untuk membentuk kepribadian sesorang agar berbuat baik. Secara
ontologis oleh bapak pendidikan karakter, Lickona, yang dimaksud
dengan nilai dalam konteks ini adalah nilai-nilai moral yaitu nilai yang
bersifat obligatory, bukan nilai dalam pengertian seni atau keindahan
yang hanya bersifat apresiatif. Moral olehnya diperinci menjadi
respect and responsibility to man and to nature.24 Sementara sumber
pengetahuan tentang nilai itu dalam pendidikan karakter ada berbagai
Hubungan Pendidikan Karakter dengan Nilai-nilai Islam b
Secara etimologis pendidikan karakter tediri dari dua kata yaitu a
“pendidikan” dan “karakter”. Pendidikan secara terminoilogis n
sebagaimana diungkapkan Redja Mudyahardjo (2010) adalah usaha y
sadar dari berbagai lapisan masyarakat untuk mempersiapkan peserta a
didik menjadi manusia seutuhnya sebagai persiapan masa depan k
dengan cara bimbingan, pengajaran, dan latihan-latihan baik di
sekolah maupun di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat. 16 k
Inilah definisi yang menjadi jalan tengah perdebatan antara a
pengertian pendidikan hanya sebagai sistem yang diwakili kelompok r
behavior dengan tokohnya Skiner dan pendidikan yang disamakan a
dengan kehidupan yang didengungkan kelompok humanisme dengan k
tokoh utama Ivan illich. Adapun karakter secara etimologis berasal dari t
bahasa Latin “kharakter, kharassein dan kharax” yang berarti tool for e
making to engrave and pointed stake. Pada abad ke-14 kata ini sering r
gunakan dalam bahasa Perancis dan kemudian diadopsi bahasa j
Inggris sehingga menjadi “caractere” yang bermakna watak, karakter u
atau sifat (Echol, 1996: 107).17 g
Adalah Thomas Lickona (1991) yang dianggap sebagai a
muassis
konsep pendidikan karakter melalui karyanya e Return of Character d
Education. Dalam karya ini Lickona menyadarkan masyarakat Barat i
tentang artinya pendidikan karakter.18 Oleh Anismata (2002) p
pengertian karakter disamakan dengan akhlak. Menurutnya secara e
terminolgi karakter adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap n
mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk g
tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Bagi a
Anismata karakter bukan merupakan barang jadi atau pemberian r
Tuhan semata, melainkan sebuah proses pembentukan dengan u
melalui berbagai tahapan. Jadi karakter seseorang bisa diupayakan h
dengan berbagai macam pelatihan yang sistematis. Namun dengan i
catatan nilai yang dijadikan sebagai sumber karater tersebut benar- b
benar bisa dihayati oleh individu yang sedang belajar.19 Sementara a
bagi Dharma koesoema (2010) karakter disinonimkan dengan w
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau a
gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari a
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan dan juga bawaan n
sejak kecil.20 Pengertian Dharma ini mengandaikan bahwa sedikit
(
natural pemberian dari alam atau Tuhan).
245
nilai merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga membutuhkan suatu
media metafor dan contoh nyata alam kehidupan agar nilai itu dapat
244
ditangkap dengan mudah oleh peserta didik. Dengan menggunakan
puisi cerita, pesan nilai-nilai Islam ini dapat dipahami melalui
penafsiran cerita, mengikuti pendapat Kenny, terutama lewat tokoh-
tokoh di dalamnya.13 Dengan brilian pengarang ingin mengajarkan
tentang karakter tokoh-tokoh di dalamnya yang mengusung nilai-
nilai Islam, sehingga peserta didik bisa mengambil hikmah. Mana
karakter tokoh yang perlu ditauladani dan mana pula yang perlu
dihindari.14
Melihat kandungan teks dan fungsi naskah yang sedemikian itu,
hemat peneliti sangat laik manakala nilai-nilai universal-ilāhī tersebut
ikut nimbrung memberikan sumbangsih nilai-nilai sebagai pilar
pendidikan karakter. Dengan kata lain, berusaha memberikan nilai-
nilai Islam yang termaktub dalam manuskrip ke dalam pendidikan
karakter. Hal ini berangkat dari pijakan dasar pendidikan karakter
adalah nilai. Dan puisi nadaman cerita merupakan salah satu media
yang cukup efektif untuk mengajarkan nilai absrak tersebut agar
lebih membumi. Dewasa ini pendidikan akhlak, etika dan moral di
Indonesia hanya terfokus pada ranah kognitif yang melulu teoritisasi,
akibatnya peserta didik kurang cerdas dalam aplikatifnya. Nah, naskah
ini memberikan tawaran sebaliknya, yakni dengan contoh aplikatif
dulu dalam bentuk karakter yang mencerminkan nilai-nilai Islam yang
dikemas dalam suatu cerita, sehingga peserta didik dengan mudah
mencerna dan mempraktekannya. Bahkan menjadi kebiasaan sehari-
hari. Dengan begitu, pada gilirannya secara pelan-pelan namun pasti
sikapnya terhadap nilai-nilai pun terbentuk dengan otomatis. Selain
itu, jika mencermati realitas sekarang tampaknya pendidikan karakter
terbius dengan pemikirian yang diusung Barat. Sebuah pemikiran
intelektual yang memfokuskan pada kecerdasan kognitif dan cenderung
mengabaikan afektif-psikomotorik.\ 15 Pendidikan dengan paradigma
ini dianggap sementara orang gagal membentuk insān yang berkarakter.
Memang kesalahan tidak hanya dari satu indikator ini saja. Akan
tetapi problem nilai merupakan masalah yang sangat krusial, sehingga
segera harus ditangani. Dan nilai-nilai yang terkandung dalam naskah
klasik ini bisa jadi menjadi salah satu penawar dahaga nilai-nilai
transedental- religius dalam dunia pendidikan Indonesia. Bahkan
dalam bahasa yang ekstrim CNMBAJ mampu menyumbangkan
tatanan nilai yang bisa dijadikan sebagai basis pendidikan
k
a
r
a
k
t
e
r
.
Bagi masyarakat Sumatera Barat CNMBAJ selain didendang dan p
dihafal juga mempunyai makna tersendiri. Puisi nadaman cerita ini a
digunakan media untuk mengingat kembali sejarah kepahlawanan r
Muhammad dalam mensiarkan ajaran Islam. Tantangan dan problem a
yang dihadapi Rasulullah pada saat itu. Hal ini juga sebagai pelecut
untuk selalu menjalankan dan mengamalkan syariat Islam. Di samping p
itu, CNMBAJ ini dijadikan sebagai warisan intektual ajaran keislaman e
yang ditulis oleh masyarakat lokal setempat, sehingga layak dijadikan s
sebagai uswah dalam mengajarkan agama Islam. Bahkan bila perlu, e
menjadikannya bagian dari tradisi Islam lokal-klasik yang harus r
dipelihara. Sebagaimana diketahui bersama, tidak hanya di Sumatera t
Barat, di hampir seluruh Nusantara dewasa ini puisi nadaman tidak a
lagi didendangkan. Masyarakat umum, terutama anak-anak lebih suka
dengan nyanyian-nyanyian nasional dan lagu-lagu polpuler baik dari d
domestik maupun manca Negara seperti K-Pop. i
Sebagai salah satu media pendidikan, di dalam naskah ini d
pengarang tentunya memasukkan nilai-nilai agama Islam. Yang secara i
khusus pada awal kelahirannya hanya ditujukan kepada peserta didik k
yang tinggal di sekitar Madrasah. Ini berangkat dari Abdus Salam
d
sendiri merupakan guru-baca kyai dalam tradisi Jawa-di madrasah
a
tersebut. Bahkan ia adalah salah satu muassisnya. Hanya saja, oleh
l
alumninya ketika pulang ke kampung halaman, puisi ini disebar luaskan
a
di tempat masing-masing, sehingga menyebar ke berbagai wilayah dan
m
digunakan secara umum oleh masyarakat setempat. Awal dari naskah
ini merupakan tulisan, namun pada tahap perkembangannya puisi
m
nadaman dalam naskah ini didendangkan dalam tradisi oral-lisan-
e
hafal. Jika mencermati latar historis penciptaan naskah ini tampaknya m
pengarang ingin membekali nilai-nilai agama Islam kepada peserta a
didik dengan lewat media puisi nadaman riwayat yang dilantunkan. h
Hal ini sejalan dengan fungsi Puisi nadaman sebagai salah satu bentuk a
genre sastra diktatis atau sastra pendidikan. Sastra diktatis m
sebagaimana didefinisikan Abrams (1981) adalah karya sastra yang i
didesain utuk menjelaskan suatu cabang ilmu, baik yang bersifat n
teoretis maupun praktis, atau mungkin juga untuk mengukuhkan i
suatu tema atau doktrin moral, religi, atau filsafat dalam bentuk l
fiksional, imajinatif, persuasif, dan impresif.12 a
Penggunaan puisi nadaman cerita yang benafaskan Islam sebagai i
media -
pembelajaran oleh Abdus Salam dimaksudkan untuk memudahkan n
ilai Islam. Sebagaimana diketahui
243
Tulisan ini sangat menarik karena dasar yang menjadi rujukan
dalam naskah ini berasal dari scound Islam yaitu hadis nabi.
242
Itupun tidak disertai dengan seabreg standar ilmiah seperti sanad.
Pengarang lebih banyak berimprofisasi dengan gaya imaginatif. Hal ini
bisa dimaklumi dengan pengertian bahwa yang menjadi titik tekan
sebuah cerita dalam konteks pendidikan adalah bukan faktual
melainkan pesan moral atau nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Dalam konteks ini adalah nilai-nilai Islam yang
diejawantahkan melalui cerita karakter tokoh, bahasa yang digunakan
dan konten cerita secara keseluruhan.
Naskah ini merupakan naskah yang masih hidup. Artinya,
sbagaimana diungkapkan Yusri Akhimuddin, peneliti di daerah
Sumatera Barat, bagi masyarakat padang Sumatra Barat tepatnya di
Damasyraya masih didendangkan dan dinyanyikan dengan atau tanpa
rebana, sehingga naskah ini menjadi bacaan popular di tengah-tengah
masyarakat.5 Puisi nadaman CNMBAJ jarang sekali dideklamasikan
dalam pembacaan di depan khalayak ramai sebagaimana sajak,
melainkan hanya didendangkan di madrasah, masjid, surau dan acara
keagamaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Yus Rusyana (1982)
dan Iskandar wassid (1996) bahwa puisi nadaman berbeda dengan
puisi- puisi lain dikarenakan isinya yang khusus menyangkut
keagamaan.6 Dengan meminjam konsep yang dikutip Yus Rusyana
dari Edmund Hurke, mengatakan bahwa puisi nadaman ini
merupakan idea kolektif mengenai hubungan manusia dengan
Tuhan.7 Puisi nadaman atau disebut puisi “papujian” dalam bahasa
Sunda, dinamakan puisi “diktatis” dalam kajian Barat adalah puisi yang
lebih mengutamakan gasagasan daripada bentuk.8 Dalam tradisi
sastra Sumatera Barat, khusunya, puisi model ini disebut baikayaik.9
Puisi nadaman merupakan salah satu bentuk puisi di Sumatera Barat
yang digunakan sebagai media pendidikan10, dakwah, dan kajian
sastra murni.
Oleh Abdus Salam secara umum puisi nadaman ini difungsikan
sebagai media pendidikan yang ditujukan kepada masyarakat
Damasyraya Sumatra Barat, dan kepada anak didik di madrasah
Direktorin Pondok Pesantren Sumatera Barat yang dipimpinnya.
Sebagai media pendidikan, CNMBAJ merupakan karya sastra yang
berisi cerita tentang Nabi Muhammad yang kemudian dinadamkan
dengan maksud agar masyarakat dan peserta didik mudah menghafal
cerita Nabi yang biasanya panjang. Maka tak heran jika sampai sekarang
n
a
s
k
a
h

i
n
i

m
e
n
j
a
d
i

b
a
c
a
a
n

p
o
p
u
l
a
r
.

1
Khusus teks CNMBAJ terdiri dari 33 halaman, 17 verso dan 16
recto. Setiap halaman terdiri dari 12 baris, kecuali yang dikurangi
judul. pada teks CNMBAJ di halaman pertama hanya terdiri dari 8 241
dan 3 baris di halaman akhir. Di antara larik terdapat gambar
lingkaran kecil sebagai penanda. Terkadang berwarna hitam atau
biru. Tidak ditemukan gambar apapun, kecuali kotak-kotak yang di
dalamnya terdapat judul teks dan inipun hanya berjumlah dua.
Secara umum naskah ini berisi tentang cerita nabi Muhammad
yang berduel dengan Abu Jahil dalam bentuk sajak. Cerita dalam
naskah ini dibagi menjadi beberapa macam fragmen secara runtut
bedasarkan kronologi sejarah. Hanya saja tahun terjadinya peristiwa
tidak disebutkan. Fragmen kronologis cerita tersebut adalah
Pertama, kelahiran Nabi Muhammad, kedua, Nabi berumur empat
belas tahun, ketiga, kedudukan Abu Jahil sebagai anak raja Hisyam,
keempat, pertempuran Nabi dengan Abu Jahil seri pertama, kelima,
rasa syukur setelah menang bertempur dan baground keluarga Nabi,
keenam, Abu Jahil berencana balas dendam dengan meminta bantuan
Ayahnya, ketujuh, Nabi dan Abu Jahil berduel seri kedua, kedelapan,
rencana balas dendam Abu Jahil dan Raja atas kekalahan kedua,
kesembilan, publikasi duel antara Muhamamd dan Abu Jahil seri
ketiga, kesepuluh, prediksi masyarakat mengenai duel tersebut,
kesebelas, latihan duel Abu Jahil dengan Budak yang disaksikan raja dan
undangan, keduabelas, Abu Jahil menantang Nabi berduel, ketiga
belas, nabi berdiskusi dengan Abu Thalib tentang persiapan melawan
Abu Jahil, keempat belas, baground Khadijah dan batuannya terhadap
Nabi, kelima belas, tanggapan masyarakat dan raja tentang bantuan
khadijah, keenam belas, duel Muhammad dan Abu Jahil seri ketiga,
ketujuh belas, ekspresi kemenangan Muhammad dan kekalahan raja.
Melihat gambaran umum di atas, Isi teks dari naskah ini adalah
cerita sejarah Nabi Muhammad dan lika-likunya dengan Abu Jahil.
Di dalamnya banyak tergambarkan karakter-kerakter tokoh, baik yang
jahat maupun yang baik. Tentu saja, karakter ini merupakan representasi
dari nilai-nilai yang dibawa Islam. Nilai Islam disini dipahami dan
diangkat oleh pemeluknya yang notabene bukan Arab asli, melainkan
dari Nusantara atau lokalitas masayarakat Sumatera Barat. Meksipun
naskah ini bersifat klasik, tetapi jika ditinjau dari sisi nilai-nilai yang
diusung muatan teksnya selalu up to date dan bisa dikatakan bersifat
universal dengan tanpa menafikan unsur-unsur ilāhī.
lagi. Hal ini juga diperkuat oleh penyataan ahli waris sebagaimana
dikutip oleh Apria bahwa naskah ini belum ada yang pernah menyalin.
240
Kalaupun ada yang menyalin sifatnya hanya untuk konsumsi pribadi
yang dilakukan oleh murid-murid Abdus Salam ketika masih belajar di
Madrasah.3 Di samping itu, masih menurut Apria, naskah CNMBAJ
ini belum pernah ada yang menyunting dan mengkaji secara khusus
berdasarkan kontekstualisasi bidang displin ilmu tertentu.
Naskah CNMBAJ ini menggunakan bahan kertas leces berwarna
putih bergaris semi biru dengan model kotak memanjang yang
berjumlah 29. Naskah berukuran 21 x 15,5 cm, sedangkan teks
berukuran 17,5 x 14,5 cm. Diduga sampul yang digunakan Naskah
ini berwarna biru Tua. Hal ini sebagaimana diungkapkan ahli waris
yang dikutip Apria. Selain itu, dugaan ini diperkuat bahwa rata-rata
kertas leces biasanya bersampul warna biru tua. Naskah yang diperoleh
peneliti ini tidak dalam bentuk asli benda konkrit, melainkan berupa
micro film. Micro film ini sudah terpotong-potong berdasarkan teks
(kandungan isi berdasarkan judul cerita). Di dalam naskah terdapat
tiga teks. Pertama, peneliti tidak menemukan judulnya dan Apria
sendiri tidak mengetahui membahas tentang apa. Hanya saja di atas
judul teks kedua ditemukan dua bait penutup. Kedua, adalah Cerita
Nabi Muhammad SAW. Berhempas dengan Abu Jahil (CNMBAJ).
Ketiga, Cerita tiga ekor binatang dengan auliya’ Allah. Pengarang dari
naskah ini adalah Abdus salam yang wafat tahun 80an. Sementara
naskah ini sendiri ditulis sekitar tahun 1950-1960an. Hal ini
didasarkan pada informasi yang diperelah dari Ahli waris
sebagaimana diungkapkan Apria.4 Pernyataan awal ini juga
dikarenakan naskah ini tidak ada kolofon, sehingga peneliti sendiri
belum bisa memastikan secara pasti hari, tanggal dan tahun penulisan
naskah. Melayu-Arab merupakan bahasa yang digunakan dalam
menulis. Terkadang disertai campur kode, pengarang menyerpihkan
beberapa leksikal bahasa Arab. Media bahasa yang digunakan
menggunakan puisi nadam riwayat atau sejarah yang berima
“aaaabbbb” dan setiap baris terdapat 8-12 suku kata. Ditinjau dari
bahasanya CNMBAJ ini merupakan jenis puisi nadam bebas dengan
ketukan nada 8-13. Menggunakan tinta hitam dan biru serta terkadang
ada beberapa coretan yang berwarna merah. Naskah ketika ditemukan
dalam keadaan baik dan jelas, meski terjadi beberapa coretan, namun
coretan yang sifatnya tidak mengganggu pembacaan.
Melihat nilai-nilai religius-Islami yang bersifat afektif-psikomotorik S
di atas sedikit demi sedikit mulai tegerus, maka usaha untuk a
menanggulangi persoalan di atas sudah mulai digalakkan. Mulai dari l
memasukkan nilai-nilai Islam murni dari al-Qur’an, nilai-nilai Islam- a
lokal, bahkan nilai-nilai lokalitas ke dalam pendidikan, terutama m
dalam ranah afektif dan psikomotorik. Dalam kajian dewasa ini, usaha
tersebut dikonseptualisasikan dalam bentuk pendidikan karakater. s
Pendidikan yang berusaha menginternalisasi akhlak, etika dan moral a
peserta didik yang tidak hanya terhenti dalam ranah intelektual saja, m
melainkan dalam ranah aplikatif. Hanya saja, sepanjang pengetahuan p
penulis, untuk kajian yang spesifik menggali nilai-nilai islam lewat a
naskah (manuskrip klasik) dan menjadikannya basis dalam pendidikan i
karakter belum pernah dilakukan. s
Berdasarkan analisa di atas dalam tulisan ini akan mencoba sedikit e
memberikan sumbangsih terhadap pendidikan di Indonesia dengan k
menjadikan nilai-nilai Islam dalam naskah Cerita Nabi Muhammad a
Berhempas dengan Abu Jahil (selanjutnya disingkat CNMBAJ) r
Karya Abdus Salam menjadi basis pendidikan karakter. Dasar ini, bisa a
dicermati dalam konsep Islam bahwa pendidikan karakter secara n
substantif sudah ada dalam kehidupan beragama dan bemasyarakat g
Indonesia sejak dahulu dalam bentuk akhlak dan moral. Pada
zamannya, karya Abdus Salam ini bermaksud mengajarkan nilai-nilai m
tersebut dengan media puisi nadam cerita. Adapun secara a
metodologis tulisan ini awalnya merupakan penelitian filologis s
terhadap naskah tunggal yang dianalisis dengan edisi kritis, kemudian i
dilanjutkan konten analisis menggunakan pendekatan filosofis- h
edukatif.
d
Puisi Nadam Hikayat Sebagai Media Pendidikan Islam di Sumatera i
Barat h
Naskah CNMBAJ ini langsung ditulis oleh pengarangnya sendiri a
dan berjumlah satu serta belum pernah disalin oleh siapapun. Asumsi f
ini didasarkan pada umur naskah yang relatif muda dan hanya a
disimpan oleh ahli waris dalam konteks ini Istri pengarang sendiri. l
Selanjutnya, naskah ini diserahkan kepada Apria Putra. Melalui k
Apria Putra inilah peneliti mendapatkan Naskah CNMBAJ. Jadi a
naskah ini merupakan salah satu koleksi pribadi Apria Putra. n
Asumsi ini juga di perkuat bahwa teks ini oleh murid-murid Abdus
d
an didendangkan. Selain itu secara bahasa tulisannya cukup jelas, rapi
dan enak dibaca, sehingga kecil kemungkinan disalin
239
D
i era postmodernism ini paradigma pendidikan akhlak
atau moral di Indonesia lebih mengutamakan pada
238
pengembangan kognitif. Peserta didik digiring untuk
menguasi teori-teori abstrak, sehingga lemah dalam aplikasinya. Para
pendidik menyajikan seabreg materi moralitas yang harus dihafal,
tanpa mempertimbangkan bagaimana meng-aksi-kannya. Kalaupun
ada evaluasi dalam pendidikan, itu hanya sebatas legal-formal berupa
tes tulis dan lisan. Ranah afektif dan psikomotorik dari peserta didik
diabaikan. Lebih ironisnya, basis materi pengetahuan kepribadian
yang diajarkan justru didominasi hasil pemikiran Barat. Pengetahuan
akan dianggap lebih bermakna jika datang dari mereka. Tokoh dan
referensi yang dirujuk didominasi filosof Renaissan yang notabene
sekular-materialistik. Hal ini juga diamini oleh tokoh Barat sendiri,
Beach (1992), Kilpatrick (1992), Lickona (1993), McDonell (1999),
Canada (2000) dan Slate (2009) yang merasah gerah dengan sistem
pendidikan di Amerika yang mengabaikan tentang nilai-nilai moral
objektif.1
Dalam konteks ini, pendidikan di Indonesia sudah tercerabut dari
karakter dan identitas akarnya. Nilai-nilai Islam yang merupakan
pegangang mayoritas peserta didik Indonesia mulai diabaikan.
Padahal sebagai muslim seharusnya nilai-nilai Islam transenden-
relegius dijadikan pilar pendidikan tersebut. Hal ini bukan berarti
menafikan dialogiasasi dengan pengetahuan di luar Islam, melainkan
sebagai usaha intropeksi untuk mengembalikan jati diri pendidikan
Indonesia. Pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang mampu
menerapkan nilai-nilai Islam yang mampu berdialog dengan lokalitas.
Pesantren misalnya yang mampu menyeimbangkan antara materi
akhlak dengan prilaku sehari-hari yang sudah mulai dibentuk di
pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan. Pendidikan formal
Indonesia hari ini masih dianggap “gagal” dalam menciptakan Insan
yang berkarakter baik secara agama –baca Islam-maupun bangsa.
Bukti konkrit asumsi ini adalah Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi
budaya baru yang sudah mendarah daging dari mulai level akar
rumput sampai elit, sehinga menjadi hal yang lumrah, manakala
alumni dari berbagai institut pendidikan Indonesia pintar
beretorika tentang etika tapi nihil beraksi. Statemen seperti ini
selaras dengan pernyataan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD
yang mengatakan 95 % koruptor di Indonesia berasal dari
Perguruan Tinggi.2
Khabibi Muhammad Lutfi

Cerita Nabi Muhammad Berhempas


dengan Abu Jahil Karya Buya Abdus
Salam:
Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Islam

Abstract: This article discusses the manuscript of Cerita Nabi


Muhammad Berhempas dengan Abu Jahil (CNMBAJ) by Abdus Salam.
This paper reveals the history of the Prophet Muhammad and their
interaction with Abu Jahil in which many of the depicted characters,
both good and evil. The manuscript is the private collection of Apria
Putra from West Sumatera. This article has been contributed to the
discourse of education in Indonesia through the making Islamic values
existed in the CNMBAJ as the basis for character education. At the time,
CNMBAJ teaches these values in the stories written as poetry. For the
people of Minangkabau, the text is sung, remember, and used as a
medium for studying Islamic history. This article is a philological
research applying the method of single manuscript and edited using a
critical edition. After the editing text has been obtained, the research
continued with the analysis of the content using the philosophical and
educational approaches.

Keywords: Values, Islamic Story, Education, Character.

Abstrak: Artikel ini mendiskusikan naskah Cerita Nabi Muhammad


Berhempas dengan Abu Jahil (CNMBAJ) karya Abdus Salam. Naskah
ini menceritakan sejarah Nabi Muhammad dan interaksinya dengan Abu
Jahil yang di dalamnya banyak digambarkan karakter-karakter tokoh,
baik yang jahat maupun yang baik. Naskah ini merupakan koleksi pribadi
milik Apria Putra dari Sumatera Barat. Artikel ini memberikan
kontribusi terhadap pendidikan di Indonesia dengan menjadikan nilai-
nilai Islam dalam naskah CNMBAJ menjadi basis pendidikan karakter.
Pada zamannya, CNMBAJ mengajarkan nilai-nilai tersebut dalam cerita
yang ditulis dalam bentuk puisi. Bagi masyarakat Minangkabau, teks ini
didendangkan, dihafalkan, dan digunakan sebagai media untuk
mengingat sejarah keislaman. Artikel ini merupakan penelitian filologi
yang menerapkan metode naskah tunggal yang disunting secara kritis.
Setelah dihasilkan suntingan teks, penelitian ini dilanjutkan dengan
melakukan analisis konten dengan menggunakan pendekatan filosofis-
edukatif.

Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015


Kata Kunci: Nilai, Cerita, Islam, Pendidikan, Karakter.

237

Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015


Alfid
a

in Buddhist Laos. History of Religions, Vol. 9, No. 1 (Aug., 1969)


Samad, Duski. Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau. Padang:
The Minangkabau
235
Saunders, Peter. Social Class and Stratification. New York: Routledge,
1990. 21
Schimmel, Annemarie dan Carl W. Ernst. Mystical Dimensions of Islam. USA:
University of Carolina Press, 1975.
Sjarifoedin, Amir Tj A. Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai
Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Gria Media, 2011
Suryadi. Syair Sunur: Teks dan Konteks Otobiografi seorang ulama Minangkabau
abad ke-19. Padang. Citra Budaya Indonesia, 2002.
Sutarga, Amir dkk. Katalog Naskah-Naskah Melayu Nusantara. Jakarta:
Perpustakaan nasional, 1972
esaurus of Indonesian Islamic Manuscripts. http://tiim.ppim.or.id/
Trimingham, Spencer e Sufi Orders in Islam. USA: Oxford University Press,
1998
Van Baal, Jan. “Offering, Sacrifice and Gift” dalam Understanding Religious
Sacrifice: A Reader diedit oleh Jeffrey Carter. New York: Continuum, 2000
Van Gennep, Arno .e Rites of Passage. New York: Routledge, 2004.
Wedgwood, Camilla H.. Death and Social Status in Melanesia. e Journal of the
Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol.57 (Jul. -
Dec.,
1927)
Woodward, Jennifer. e eatre of Death: e Ritual Management of Royal
Funerals in Renaissance. New York: The Boydell Press, 1997
Yusuf, Muhammad. Katalog Naskah dan skriptorium Minangkabau. Padang:
Universitas Andalas dan Tokyo University of Foreign Studies TUFS-CDATS
Jepang, 2006.
Zuriati. Nazam Ratap Fatimah: Dari Rumah Duka ke Surau Sari 25 (2007).

Alfida, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,


Indonesia. Email: alfida@uinjkt.ac.id.

Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015


H.A.R Gibb. Islam dalam lintasan sejarah. Djakarta: Bhratara, 1961.
Mohammedanism
234
Hamka. Ayahku: Riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan
perjuangan kaum agama di Sumatera. Padang:Umminda, 1982.
. Ayahku: riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Umminda, 1982
Harun Mat Piah. Traditional Malay Literature. Malaysia: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 2002
Hubert, Henri, Marcel Mauss. Sacrifice: Its Nature and Function. Great
Britain: Evans-Pritchard, 1964
Jamaris, Edwar. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001.
Jamhari, Arif Rituals of Islamic Spirituality: a Study of Majlis Dhikr Groups in East
Java. Australia: The Australian University, 2010
Keddie, Nikki R.. “Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East:
Comparative Reflections”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast
Asia, Vol. 2, No. 1 (Feb. 1987)
Khatib, Adrianus. Kaum Paderi dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau.
Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991.
Kratz, E. Ulrich dan Adriyetti Amir. Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan
Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002
Latif, Sanusi M. Gerakan Kaum Tua Di Minangkabau. Disertasi IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 1988
Liaw Yock Fang. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011.
Metcalf, Peter dan Richard Huntington. Celebration of Death: The Anthropology
of Mortuary Ritual. New York: Cambridge University Press, 1991
Mohammad Dahlan Mansoer. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara, 1970.
Mullin, Molly H.. “Mirrors and Windows: Sociocultural Studies of Human-
Animal Relationships”.Annual Review of Anthropology, Vol. 28 (1999)
Pearson, Michael Parker. “Mortuary Practices, Soviety and Ideology: an
Ethnoarcaelogy Study” dalam Symbolic and Structural Archaelogy. Ian
Hodder (editor), New York: Columbia University Press, 1982.
Peter Metcalf. Meaning and Materialism: The Ritual Economy of
Death. Man, New Series, Vol. 16, No. 4 (Dec., 1981)
Reynolds, Frank. Ritual and Social Hierarchy: An Aspect of Traditional Religion
67. A.A Navis. Alam Terkembang 167
68. Hamka: Ayahku: riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum
Agama di Sumatera. 10
69. Elizabeth E. Graves. Asal-usul elite Minangkabau modern: respons terhadap kolonial
233
Belanda abad ... Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.16
70. Mohammad Dahlan Mansoer. Sejarah Minangkabau.......67

Bibliografi
A A Navis. Alam terkembang jadi guru: adat dan kebudayaan Minangkabau.
Jakarta: Grafiti Press, 1984
Abdullah, Taufik. “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau”.
Indonesia, No. 2 (Oct., 1966)
Amran, Rusli Padang Riwayatmu Dulu. Yasaguna, 1988
Azyumardi Azra. Surau: Pendidikan Islam Tradisionla dalam Transisi dan
Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003
Braginsky, V.I. Yang Indah, berfaedah dan kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam
Abad 7-19. Jakarta: INIS, 1998.
Chambert-Loir, Henri dan Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Dunia Islam.
Jakarta: Komunitas Bambu, 2010
Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the
Nineteenth Century. Modern Asian Studies, Vol. 8, No. 3 (1974)
Dorléans, Bernard. Orang Indonesia dan orang Prancis: dari abad XVI sampai
dengan abad XX.344
Effendi, Djohan.Pembaruan tanpa membongkar tradisi: wacana keagamaan di
kalangan generasi 63
Elizabeth E. Graves. Asal-usul elite Minangkabau modern: respons terhadap kolonial
Belanda abad Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Fathurahman, Oman. Tarekat syattāriyyah di dunia Melayu-Indonesia: kajian atas
dinamika dan perkembangannya melalui naskah-naskah di Sumatra Barat.
Disertasi Universitas Indonesia, 2003
Firth, Raymond Offering and Sacrifice: Problems of Organization. e Journal of
the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol.93, No. 1
(Jan. - Jun., 1963).
Frederick William Dillistone. e Power Of Symbols.Jakarta: Kanisius, 2002.
Ganesh Umakant Thite. “Animal-Sacrifice in the Brāhmana texts”. Numen,
Vol.
17, Fasc. 2 (Aug., 1970)
42. Lihat Duski Samad. Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau. Padang: The
Minangkabau Foundation, 2002. 137
232 43. Adrianus Khatib. Kaum Paderi dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau. Disertasi
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991. 136
44. Zuriati. Nazam Ratap Fatimah: Dari Rumah Duka ke Surau. Sari 25 (2007). 268
45. H.A.R Gibb. Mohammedanism. Djakarta: Bhratara, 1961.
46. Zuriati. Nazam Ratap Fatimah: Dari Rumah Duka ke Surau Sari 25 (2007) 270
47. Frederick William Dillistone. e Power Of Symbols.Jakarta: Kanisius, 2002. 15
48. Lihat Jan Van Baal. “Offering, Sacrifice and Gift” dalam Understanding Religious
Sacrifice: A Reader diedit oleh Jeffrey Carter. New York: Continuum, 2003. 278
49. Duski Samad. Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau
(Syarak Mendaki Adat Menurun). Padang: The Minangkabau Foundation, 2002. 109
50. Penyelenggaraan acara tahlil dan zikir bukan hal yang istimewa bagi sekelompok
masyarakat di Indonesia.Apapun bentuk praktik ritual, dasarnya adalah prinsip
proses pertukaran antara peziarah dan wali: permohonan (thalab)-penyerahan,
pemberian, pertukaran kata, jadi pertukaran material dan spiritual. Ritual kematian
ini merupakan rentetan ritus dan unsurnya yang paling pokok adalah acara bersuci,
berdoa, menyerahkan pemberian dan kurban. Suatu rentetan pertukaran lain yang
berlangsung di antara sesama pengunjung (bertukar kata/kalimat, nasehat, saling
membantu, berbagi makanan) Lihat. Peter Metcalf. Celebration of Death
51. Hikayat jalaluddin
52. Talqin adalah upaya pembacaan doa yang mengandung pedoman jawaban bagi si
mayit dalam menjawab pertanyaan malaikat di alam kubur. Biasanya hal ini dilakukan
seorang ulama sedera setelah penguburan seorang mayat.
53. Jennifer Woodward. e eatre of Death: e Ritual Management of Royal Funerals
in Renaissance. New York: The Boydell Press, 1997. 18
54. M. Madchan Anies. Tahlil dan kenduri: tradisi santri dan kiai. Jakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 2009
55. Henri Hubert, Marcel Mauss. Sacrifice: Its Nature and Function. Great Britain:
Evans- Pritchard, 1964. 9
56. Raymond Firth. Offering and Sacrifice: Problems of Organization. e Journal of the
Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol.93, No. 1 (Jan. -
Jun., 1963). 41
57. Ganesh Umakant Thite. “Animal-Sacrifice in the Brāhmana texts”. Numen, Vol. 17,
Fasc. 2 (Aug., 1970), pp. 143-158
58. Amir Sjarifoedin.321
59. Michael v. Angrosino. 129
60. M.D Mansoer.34
61. Molly H. Mullin. “Mirrors and Windows: Sociocultural Studies of Human-Animal
Relationships”.Annual Review of Anthropology, Vol. 28 (1999). 14
62. Menaburkan berasa rending, melepas tembakan bedil atau senapan, memukul gong
dan menabuh gendang. Ada pula prosesi unik terkait kematian datuk di Salimpauang
ini. Menurut Uwo Suna(60), seorang mamak adat apabila dikabarkan meninggal dan
berita mening galnya itu akan disampaikan dengan memukul gong. “ Gong adalah
alat yang digunakan untuk prosesi adat, segala macam prosesi adat akan menggunakan
gong untuk memberitahu seluruh masya rakat kampung. Suara gong yang dipukul
keras akan membuat seisi kampung mendengarnya dan mencari tahu dari mana
datangnya suara itu,
63. Bernard Dorléans. Orang Indonesia dan orang Prancis: dari abad XVI sampai dengan
abad XX.344
64. Rusli Amran. Padang Riwayatmu Dulu. Yasaguna, 1988
65. Peter Metcalf. Celebration of death. 46
66. A.A Navis. Alam Terkembang 101
24. Nikki R. Keddie. “Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East:
Comparative Reflections”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 2,
No. 1 (Feb. 1987)
25. Fakih Saghir dalam Hikayat Djalaluddin 231
26. Taufik Abdullah. “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau”.
Indonesia, No. 2 (Oct., 1966). 17 Hamka. Ayahku 9
27. Azyumardi Azra. Surau: Pendidikan Islam Tradisionla dalam Transisi dan
Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003.46
28. Muhammad Dahlan Mansoer. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Brathara,
29. Taufik Abdullah. Adat........24
30. Hamka. Ayahku..........
31. Christine Dobbin. Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the
Nineteenth Century. Modern Asian Studies, Vol. 8, No. 3 (1974)
32. M. Yusuf. Katalog Naskah dan skriptorium Minangkabau. Padang: Universitas Andalas
dan Tokyo University of Foreign Studies TUFS-CDATS Jepang, 2006. 14-20
33. Lihat esaurus of Indonesian Islamic Manuscripts. http://www.ppim.or.id/main/
agenda/detail.php?artikel=20120126132703
34. Amir Sutarga dkk. Katalog Naskah-Naskah Melayu Nusantara. Jakarta: Perpustakaan
nasional, 1972
35. Fakih Saghir adalah murid dari Tuanku Nan Tuo Cangking yang hidup sekitar
tahun 1721-1830. Sebagaimana dijelaskannya dalam naskah Surat Syeikh Jalaluddin
bahwa ia seusia dengan temannya Tuanku Nan Renceh. Maka diperkirakan ia hidup
dalam abad ke-19. Lihat E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir. Surat Keterangan Syeikh
Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002
dan Oman Fathurahman. Tarekat Syattariyah di Dunia Melayu: Kajian atas Dinamika
dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatera Barat. Disertasi Universitas
Indonesia, 2003. Lampiran silsilah Burhanuddin Ulakan.
36. Bagi orang Melayu, apa yang diungkapkan dalam sebuah biografi lebih menyangkut
hati daripada hal-hal yang terkait dengan aturan dan sistematis. Lihat Suryadi. Syair
Sunur: Teks dan Konteks Otobiografi seorang ulama Minangkabau abad ke-19. Padang.
Citra Budaya Indonesia, 2002. 79
37. Syair adalah salah satu bentuk puisi lama yang terdiri dari empat baris, setiap baris
mengandung empat kata yang sekurng-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua
belas suku kata. Syair tidak mempunyai unsur-unsursindiran di dalamnya. Aturan
sanjak akhir adalah aaaa dan sanjak dalam tidak ada. Liaw Yock Fang. Sejarah
Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011. 563
38. Nazham juga salah satu puisi lama yang menyerupai nasyid yang berasal dari Parsi.
Nazham terdiri dari dua baris, dan panjangnya tidak menentu. Secara umum rimanya
adalah a/a. terkadang rima berada pada baris kedua a/a c/b. Lazimnya, isi nazam
berunsurkan keagamaan, seperti ibadat, syurga, neraka, ajal, amal, nabi dan malaikat,
yang semuanya mengandungi pujian kepada kebesaran Tuhan lihat Harun Mat Piah.
Traditional Malay Literature. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002
39. Syair semacam ini disebut dengan puisi-puisi tirade. Bentuk sem,acam ini
mengandung rima-rima atau asonansi yang bersinambung, dan menyatukan baris-
baris dalam kelompok-kelompok yang tak sama panjangnya. Puisi-puisi tirade dikenal
oleh banyak tradisi puisi rakyat Melayu Nusantara (Minangkabau, Iban, Toraja Bare’e,
Mualang Dayak, Jawa mulai abad ke-18. Lihat V.I Braginsky. Yang Indah, berfaedah
dan kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS, 1998. 229
40. Dalam puisi lama seperti sanjak, sering ditemukan larik yang diakhiri dengan
penulisan yang sama karena menggunakan aksara Jawi. Namun bila dibaca dengan
bunyi bahasa Indonesia, maka rimanya tidak sama. Contoh dalam teks SFS adalah
duapuluh dan ahadiyah, sama-sama diakhiri dengan huruf ha aksara Jawi.
41. Edwar Jamaris. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001.10
Catatan Kaki
1. Arno van Gennep.e Rites of Passage. New York: Routledge, 2004. 12
230 2. Camilla H. Wedgwood. Death and Social Status in Melanesia. e Journal of the Royal
Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol.57 (Jul. - Dec., 1927)
3. Peter Metcalf. Meaning and Materialism: The Ritual Economy of Death. Man, New
Series, Vol. 16, No. 4 (Dec., 1981
4. Frank Reynolds. Ritual and Social Hierarchy: An Aspect of Traditional Religion in
Buddhist Laos. History of Religions, Vol. 9, No. 1 (Aug., 1969
5. Peter Saunders. Social Class and Stratification. New York: Routledge, 1990. 21
6. Michael Parker Pearson. “Mortuary Practices, Soviety and Ideology: an
Ethnoarcaelogy Study” dalam Symbolic and Structural Archaelogy. Ian Hodder
(editor), New York: Columbia University Press, 1982. 112
7. Diane O. Bennett. ‘Bury Me in Second Class: Contested Symbols in a Greek
Cemetery”. Anthropological Quarterly, Vol. 67, No. 3, Symbols of Contention: Part 2
(Jul., 1994). 131
8. Spencer Trimingham. e Sufi Orders in Islam. USA: Oxford University Press, 1998.54
9. Annemarie Schimmel dan Carl W. Ernst. Mystical Dimensions of Islam. USA:
University of Carolina Press, 1975. 4
10. Salik adalah para pengamal tarekat. Mereka meyakini bahwa maqam insan kami atau
makrifat kepada Allah tak akan pernah terjamah melalui usaha yang mereka lakukan
sendiri. Sehingga guru atau syeikh menduduki tempat yang sangat signifikan atas
upaya mereka. Lihat Seyyed Hossein Nasr. Sufi Essays. New York: George Allen dan
Unmin, 1972. 34
11. Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Dunia Islam.
Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. 35
12. Sebagaimana hadis Nabi Orang yang mencintai seseorang akan berkumpul di akhirat
dengan seseorang yang mereka cintai.
13. Arif Jamhari. Rituals of Islamic Spirituality: a Study of Majlis Dhikr Groups in East
Java. Australia: The Australian University Press, 2010
14. Hadis-hadis nabi yang terkait dengan ziarah kubur di antaranya: dari Abdullah bin
Umar meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa pun yang mengunjungi
makamku, ia berhak mendapat syafaatku, Siapa pun yang melaksanakan ibadah haji,
kemudian mengunjungi makamku setelah kematianku adalah sama seperti orang
yang mengunjungiku sewaktu aku hidup. Lihat Sunan Baihaqi, jilid 5 hal. 246 dalam
Yacoob Jafry. Mencintai Kekasih Allah: Jalan Menuju AmpunanNya. Jakarta: Zahra
Publishing House, 2002. 55
15. Lihat Woodward dalam Wacana vol 9 no. 2 oktober 2007
16. Mohammad Dahlan. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara, 1970. 9
17. Hamka. Ayahku: Riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan perjuangan kaum
agama di Sumatera. Padang:Umminda, 1982. 19
18. M. Sanusi Latif. Gerakan Kaum Tua Di Minangkabau. Disertasi IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 1988. 48
19. Azyumardi Azra. Surau, pendidikan Islam tradisional dalam transisi dan
modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2003. 46
20. Tergantung pada besar kecil pengaruh dan wibawa yang dipunyai, seorang ulama
bergelar tuanku imam, tuanku “syeikh”. Lihat AA Navis. Alam terkembang jadi guru:
adat dan kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press, 1984. 43
21. A.A Navis. Alam terkembang jadi guru: adat dan kebudayaan Minangkabau. Jakarta:
Grafiti Press, 1984. 51
22. Djohan Effendi.Pembaruan tanpa membongkar tradisi: wacana keagamaan di kalangan
generasi ...63
23. A.A Navis. Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta:
Grafiti Press, 1984
Kesimpulan
Kematian merupakan bagian yang sangat penting dalam siklus 229
kehidupan manusia. Kematian tidak semata-mata persoalan
behentinya fungsi-fungsi biologis dan mikanis organ-organ tubuh,
tetapi terkait dengan keyakinan tentang tahapan-tahapan perjalanan
manusia menghadap tuhannya. menyikapi peristiwa kematian dengan
cara tidak biasa, dengan ritual-ritual yang dilakukan post dan pasca
penguburan. Adanya keyakinan bahwa kemtaian merupakan gerbang
menuju kehidupan yang lain. Ritual kematian yang diselenggarakan
oleh masyarakat terkait dengan keyakinan, sehingga memunculkan
nilai-nilai yang diyakini dan dipraktekkan oleh masyarakat. Ritual
itu juga diyakini sebagai jaminan persiapan bekal yang cukup dari
pihak keluarga dan masyarakat agar jenazah memperoleh kesenangan
dengan kehidupannya yang baru.
Memahami perwujudan ritual kematian di Minangkabau pada
abad ke-19 ini berarti kita sedang melihat kekhasan Islam dan budaya
lokal dalam akulturasi budaya dalam penyebaran Islam masa lampau.
Pandangan, konsep, tindakan dan ritual yang terkait dengan kematian
secara intrinsik terhubung dan dipengaruhi oleh posisi, atau status
seorang muslim, nilai-nilai budaya dan simbol dari masyarakat mereka
bersama dengan prinsip-prinsip struktur sosial. Pada saat yang sama
ritual-ritual itu pun membentuk pengakuan kekhususan budaya
dengan mengadopsi perspektif analitis yang berbeda.
Dalam melaksanakan ritual kematian untuk seorang syeikh ini,
Fakih Saghir seolah menggambarkan bahwa umat Islam sedang
terlibat dalam dialog antara pesanan budaya yang berpotensi
bertentangan yaitu keharusan Islam sebagaimana aturan-aturan yang
terkandung dalam al Qur’an dan hadis, dan nilai-nilai yang
tertanam dalam masyarakat tertentu. Ketidakberdayaan kaum
agama dalam memasuki hirarki pemerintahan sebagaimana posisi
penghulu pada masa itu, tampaknya menjadi alasan bagi Fakih
Saghir untuk memposisikan syeikhnya bak meninggalnya seorang
raja di kerajaan kecil tempat mereka berkontemplasi.
Dengan demikian, Prosesi kematian yang digambarkan oleh Fakih
Saghir menempatkan tokoh dalam syair dalam konteks budaya yang
lebih luas dan bagi kitalah upaya rekonstruksi makna menurut ritual
kontemporer dianalisa.
Ziarah merupakan cara ampuh untuk memperoleh barakah melalui
doa dan permohonan. Nabi Muhammad tidak pernah secara eksplisit
228
menyebutkan praktek ziyara ke makam, tetapi tradisi dimana Nabi
mengunjungi makam sahabat mati dan memohon Tuhan untuk berdoa
untuk mereka, yang beberapa Muslim menafsirkan memperbolehkan
ziarah. Ziyara ke orang-orang suci memungkinkan jamaah untuk
mencari bentuk pemenuhan spiritual yang lebih tinggi, melalui doa,
doa, kontemplasi dan pengabdian. Dalam kata-kata Peter Brown,
ziarah merupakan terapi melalui jarak.
Ziarah ke makam orang-orang suci ini juga dianggap sebagaimana
orang ziarah ke tanah suci Mekkah. Namun perjalanan semacam ini
bernilai mahal bagi orang-orang dengan tingkat ekonomi rendah.
Karena tindakan haji dan ziarah sangat mirip dengan ritual di Mekah.
Ignaz Goldziher berpendapat bahwa Nabi melarang pembangunan
monumen di atas makam orang mati. Nabi melarang monumen di
atas kuburan dalam upaya untuk mencegah imitasi dari orang-orang
Yahudi memuja orang mati. Realitas sejarah menunjukkan bahwa
muslim dari semua lapisan masyarakat dilindungi dan memberikan
kontribusi untuk pembangunan makam. Ziarah memperkuat ikatan
emosional kepada para ulama.
Ziarah semacam ini juga tak dilakukan kepada orang biasa. Hal
ini mengingatkan kita pada contoh yang paling dekat “Gus Dur”.
Setelah wafat, banyak peziarah yang datang ke kuburannya. Dan hari
meninggalnya selalu menjadi ingatan masyarakat sebagai momen
pelaksanaan ritual.
Dalam wasiatnya, syeikh meminta agar ia dimakamkan di tempat di
manadiamengajar. Halinimenunjukkankemudahanbagimurid-muridnya
untuk mengunjunginya. Sebelum meninggal, syeikh membangun
sistem kelembagaan yang akan mengingatkan orang padanya. Sosok
pribadi syeikh menjadi inti kewaliannya, mengalami proses disebabkan
nilai yang aada dalam pertalian syeikh dengan silsilah wali-wali
sebelumnya. Karena telah meninggal, sudah lebih dari padanya berada
di balik tirai, namun tetap berpengaruh di dunia ini. Bagi para
muridnya:
Wasiatkan bersungguh-sungguh
sekalian Kitab ku ini aku waqafkan
Masjid ku ini jangan disinikan
Keliling tempat ini seperti demikian
Pada sisi tempat ini jua aku
tanamkan
Maka hal ini dipelajari sebagai fenomena religious yang bersifat marginal m
dan terutama menjadi objek penelitian sejarah sosial. Praktik ziarah i
ke makam wali amat beragam bentuknya, dapat merupakan kegiatan m
individu dan kolektif; dapat merupakan kegiatan informal maupun p
kegiatan yang diselenggarakn dalam kerangka pertemuan ritual pengikut i
wali dan pertemuan dengan waktu-waktu yang telah terjadwal. .
Di Sumatera, misalnya, perayaan keagamaan tersebut dilakukan
setiap tahun selama minggu kedua Safar pada kalender Islam di
makam Sheikh di Ulakan. Adanya kepercayaan bahwa mengunjungi
makam Syekh Burhanuddin Ulakan di tujuh kali adalah setara dengan
mengunjungi sekali ke Mekah.
Ada kaitan antara ziarah dengan ortodoksi atau kesahihan Islam;
namun di lain pihak ada fenomena yang terpadu dengan kepercayaan
kepada dewa-dewa Hindu. Makam keramat adalah pusat dari
tradisi ziarah sesungguhnya. Ketika para pengunjung tiba, mereka
mengucapkan salam kepada sang wali dengan penuh cinta dan takwa.
Beberapa ahli membenarkan permintaan bantuan kepada wali
sebagai perantara dengan berlandaskan pada “orang yang sedang butuh
memperlakukan orang yang dihadapi dan didekati yaitu syeikh
sebagai wasilah atau alat dengan mengacu pada al qur’an 5:35 “
hai orang- orang yang beriman , bertaqwalah kepada Allah dan
carilah sarana
untuk mendekatkan diri kepadaNya”.
Para peziarah berduyun-duyun ke makam orang-orang kudus
untuk menghormati dan meniru mereka, tapi, peziarah terutama,
mencari berkat orang-orang kudus ‘- yang dikenal dalam bahasa Arab
sebagai baraka. Baraka dapat diterjemahkan “ kebajikan diberkati
dan potensi spiritual untuk kekuasaan dan bahkan keberuntungan,”
dan baraka adalah “kekuatan bawaan yang nabi dan orang suci yang
dimiliki, seperti halnya benda-benda dan tempat-tempat yang mereka
datang di kontak.” Allah memberikan orang kudus dengan baraka,
yang mengirimkannya ke beriman. The santa barakah ulama dicari
oleh para peziarah dan pemohon sehingga dapat ditularkan beberapa
cara. Pertama, dan yang paling umum, dapat ditularkan melalui
kontak langsung - baik melalui kontak fisik dengan santo atau melalui
kontak dengan makam suci dan kuil. Kedua, seseorang dapat
memperoleh barakah orang suci dengan memiliki peninggalan atau
obyek, seperti pakaian, terkait dengan suci, dan, ketiga, seseorang
dapat menerima baraka dengan datang kepada orang suci dalam
227
dikebumikan dan diziarahi pada waktu tertentu oleh anak cucu dan
kaum kerabat. Dengan masuk dan berkembang pengaruh kebudayaan
226
dari India, ziarah ke makam makin ramai dilakukan. Sesudah meluas
ajaran Islam di Minangkabau, ziarah ke makam masih lazim diadakan
walaupun dilarang agama. Kebiasan turun temurun lebih kuat
daripada ancaman hukuman agama, yang menganggap kebiasaan dari
zaman jahiliyah.70
Ada keterkaitan yang kompleks antara ziarah ke makam wali dan
penghormatan wali yang masih hidup. Guru-guru sufi dianggap telah
mampu menguasai naluri inderawinya sehingga bagi mereka tidak ada
lagi perbedaan antara keadaan hidup dan mati. Bentuk penghormatan
kepada Syeikh baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah tidak
dibedakan antara syeikh yang masih hidup dan ketika sudah mati.
Ketika seorang syekh menerima tamu, ia mengajukan berbagai
pertanyaan kepada tamunya dan lama mendengarkan mereka
sebelum menanggapi masalah yang dihadapi berupa nasehat,
bantuan, permohonan supaya sukses, kesembuhan, permohonan untuk
mengusir setan, atau sekedar untuk dapat berkah. Sebagai balasannya
sitamu menyerahkan pemberian berupa lilin, wewangian, kain,
makanan dan terutama uang. Pemberian itu tidak sekedar imbalan
biaya konsultasi tapi suatu pemberian simbolis.
Kita larangkan pula menumpahkan
darah Berkah syekh kita dipeliharakan
Allah Ghalib orang ziarah
Sebulan tuanku sampai bilangan
Doa dan sedekah tidak berkeputusan
Luhak dan ranah meminta doakan
Demikian jua hingga akhir zaman
Prosesi kematian seorang ulama pengamal tarekat Qadiriyah,
misalnya tahlil zikir, selama sebulan, pemberian sedekah bagi kaum
miskin dengan memotong kambing dan kerbau ayam dan itik. Apa
simbol dari semua itu. Sebagai syekh yang mampu menyembuhkan
orang-orang sakit dengan doanya dan dengan menyentuh pasien.
Sebagai perantara Allah, dia dianggap mampu memenuhi
permohonan pengunjungnya, yang menyangkut baik kehidupan di
dunia maupun di akhirat. Itulah syarat untuk dianggap wali oleh
masyarakat.
Praktik ziarah ke makam wali menjadi pantangan setelah
kemerdekaan, namun diketahui tetap dilakukan dalam berbagai
r
a
n
g
k
a
.
dari keberadaan sajalah yang mampu melaksanakan acara semacam p
ini. e
Pengganti tetap berlaku, karena tradisi yang telah melekat. m
Merujuk kepada adat, maka tindakan ini pun sangat lazim dilakukan u
oleh berbagai masyarakat dalam versi yang berbeda, lengkap atau j
tidak lengkap. Namun jika dalam jumlah tamu yang banyak tentu a
hal ini menjadi pertimbangan. Teks ini juga menggambarkan adanya a
budaya timbal balik bagi pelayat yang memberikan sejumlah bahan n
untuk keperluan makanan. Tak kalah penting lagi adalah ahli bait yang
menjamu isi negeri dengan makanan-makanan yang dihidangkan. a
Fakih Saghir dalam hal syairnya menyampaikan r
w
Sampailah pula akan tujuh hari
Anak kemenakan berganti-ganti a
Disebembelih pula kerbau dan h
jawi Diperjamukan pula isi
negeri n
Oleh karena itu, keberadaan seseorang secara ekonomi telah e
membuat makanan yang disediakan menjadi berbeda. Mitos ini n
e
berbicara tentang pentingnya upacara negara, ritual makanan, dan
k
kelangsungan Hindu dan Islam. Ini berfokus pada konsep interpretasi
sosial penyatuan hamba dan Tuhan dan pada teori politik / agama
m
bahwa upacara negara berkontribusi menuju kemakmuran dan
o
ketenangan. Hal ini menunjukkan pelestarikan tema kuno dalam
y
agama masa lampau. Mitos ini juga mengacu pada proses yang dilalui
a
pra-Islam. Slametan ini memberikan contoh kompleksitas lokal Islam.
n
Hal ini masuk akal untuk menunjukkan bahwa Islams lokal lainnya g
sama-sama kompleks.
Fakir dan miskin hendak kita i
himpunkan Doa dan tahlil kita a
sempurnakan Sedekah jariyah kita
l
tunaikan
Wasiat tuanku kita sampaikan a
h
Ziarah
m
Banyak alasan mengapa tradisi ziarah ke makam orang-orang suci
a
masih tetap melekat kuat bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
k
Selain untuk melakukan perjalanan spiritual, ziarah juga dimaksudkan
a
untuk mendapatkan barakah dari orang yang diziarahi.
m
Peninggalan kebudayaan megalitium yang berhubungan erat dengan ,
tempat nenek moyang
225
Adapun tata caranya meliputi Seperti slametan dan kenduri itu
meliputi pembacaan bagian dari Al Qur’an, distribusi makanan berkah,
224
dan doa untuk orang-orang kudus dan masyarakat lokal. Pada slametan
kematian, doa diikuti dengan dzikir yang dapat berlangsung selama
beberapa jam. Tuan rumah dan semua dari para tamu melafalkan
kalimah lailahaillallah. Pembacaan ini dimaksudkan untuk memberi
manfaat bagi masyarakat dan jiwa orang mati.
Orang Minangkabau sangat biasa melakukan kenduri atau
semacamnya pada berbagai kesempatan. Ada yang dikaitkan dengan
kepercayaan non-Islam seperti peristiwa kematian. Orang yang tidak
melakukannya dipandang sebagai orang yang telah jatuh miskin
dan sebagai orang yang tidak mau bergaul. Falsafah hidup mereka
mengajarkan agar tampil untuk dihargai. Sebagaimana petuah: nak
mulia bertabur urai, artinya bila mau dihormati orang, perlihatkanlah
kedermawanan. Upacara kematian seorang anggota kaum yang
dihormati harus sama agungnya dengan upacara perkawinan ataupun
kematian. Orang Minangkabau sangat biasa melakukan kenduri atau
yang semacamnya pada berbagai kesempatan.66
Namun, jenis dan jumlah bahan yang digunakan untuk melakukan
ritual amatlah bervairiasi. Sehingga, tidak semua orang mampu
melakukannya. Hal ini yang menunjukkan status sosial sang jenazah.
Hal ini pula yang menyebabkan bahwa. Dengan kemapanan sosial dan
ekonomi, hal ini bisa dilaksanakan.
Sejak abad ke-19, isu tentang boleh atau tidaknya sedekah pada
saat meninggal semakin melebar. Para ulama kaum muda
menganggap kenduri pada saat kematian adalah riya dan bid’ah, tapi
dilaksanakan juga oleh salah satu tokoh kaum muda ini. 67
Penyelidikan lebih mendalam terhadap agama menyatakan
bahwasanya kenduri karena kematian adalah haram hukumnya.68
Kata Fakih Saghir jangan begitu
Sedekah ini bukan karena sesuatu sekalian
Belanja ini peninggalan tuan
Hutang karena mentaslimkan
Mengingat jumlah dana yang harus digunakan untuk melakukan
ritual ini, maka menggadaikan harta pusaka karena biaya yang besar
dalam upacara kematian seorang kepala keluarga atau mamak juga
terjadi, karena upacara ini tergolong pada proses yang menggunakan
biaya yang besar.69 Bila demikian adanya status sosial yang tercermin
Selain sebagai rasa syukur, makanan dan minuman yang disediakan
dimaksudkan sebagai sedekah. Kemudian pahala sedekah ini
dihadiahkan kepada arwah orang yang sudah meninggal. Kenduri 223
arwah. menyelenggarakan selamatan kematian/kenduri kematian/
tahlilan/yasinan (karena yang biasa dibaca adalah surat Yasin) di hari ke
7, 40, 100, dan 1000 harinya.
Sepanjang abad, kembang api, tembakan senjata, terompet, dan
sirine selalu ada menemani keberadaan gendang, bell, dan gong.
Namun untuk apa semua itu? Pada suku-suku tertentu, alat-alay itu
hanya dimainkan hanya pada saat acara kematian. Walau terkadang
sulit menjelaskan penggunaan alat-alat itu, mereka (Alat-alat itu)
menambah nuansa misteri dan kekuatan. Jika tubuh manusia dalam
hidup menyediakan seperti reservoir representasi moral, ini tubuh yang
sama setelah kematian membawa kemungkinan sendiri untuk
ekspresi simbolik.65
Alat perjamuan seperti demikian jua
Baqara dan kambing disembelih pula
Tahlil dan zikir ganda berganda
Umpama hujan tiada reda
Kebiasan menjamu tamu telah melekat dalam berbagai tradisi di
Indonesia. Istilah-istilah untuk mengungkapkan konsep ini seperti
slametan, kenduri, dll. Di Jawa ada budaya slametan sebagai sebuah
ritual makan di mana doa dibacakan dan makanan ditawarkan
kepada Nabi Muhammad, orang-orang kudus, dan nenek moyang,
yang memohon untuk kelimpahan berkat di masyarakat. Geertz
mengidentifikasi slametan sebagai “inti ritual” dalam budaya Jawa
dan sebagai ritus animisme dimaksudkan untuk memperkuat
solidaritas desa, slametan merupakan contoh dari sebuah ritual
kompleks yang menghubungkan berkat dan makanan dari Arab ke
Asia Tenggara.
Tujuan perjamuan ini, bagi Islam adalah memberi makan orang
miskin, kerabat dan tetangga akan menghasilkan barakah bagi pemberi.
Al-Qur’an dan Hadis menekankan tindakan kebajikan seseorang
terhadap sesama manusia.
Beberapa ahli bait berupaya untuk mengajak orang miskin
untuk ikut serta dalam acara kenduri atau slametan, atau sekedar
mengirimkan makanan kepada mereka. Sebaliknya, banyak pula yang
menyumbangkan bahan mentah dan makanan lain untuk menambah
jumlah makanan sakral yang didistribusikan pada ritual.
orang-orang keramat di dalam peperangan, memberi nama orang
keramat itu pada senjata yang dipakai. Selain itu, pada zaman
222
penjajahan, berbagai peperangan yang terjadi baik di wilayah laut
dan darat menggunakan meriam. Penggunaan alat yang satu ini
karena dianggap kokoh karena terbuat dari besi dan perunggu, serta
mampu menembak musuh dari jarak jauh. Alat ini dikenal di
Indonesia sejak abad ke-16, dibawa oleh bangsa Portugis.
Melihat beberapa penggunaan meriam dalam berbagai upacara,
nyatalah bahwa alat ini hanya digunakan pada kesempatan kesempatan
khusus dan oleh orang-orang dengan status sosial yang tinggi.
Upacara kematian Syeikh sebagai seorang elit, mempertontonkan
letusan meriam yang mengiringi prosesinya. Sebagaimana bunyi
teks:
Sampailah pula kepada esok hari
Berhimpunlah pula tiap-tiap negeri
Lepaslah meriam berganti-ganti
Inilah mula tuanku meninggalkan ahli
Walau teks tidak menjelaskan jumlah dentuman meriam yang
dilakukan. Melihat sejarah dan apa yang berlangsung saat ini, jelaslah
bahwa dentuman meriam pada acara kematian tidak dilakukan pada
orang biasa. Hanya orang yang punya status sosial tinggi lah hal itu
terjadi.

Menjamu Isi Negeri


Memelihara dan mengembangkan nilai-nilai tradisional yang
mengakar dalam masyarakat sering dilakukan dengan cara mencari
justifikasi atas kaidah-kaidah ushuliyah yang dirintis oleh imam
mazhab. Upacara-upacara slametan atau kenduri disajikan sedemikian
rupa menjadi berbagai bentuk walimah yang diisi dengan kegiatantahlil,
doa, zikir, manakiban, sedekah. Selain berfungsi memlihara
persaudaraan dan toleransi , juga menjadi alat perekat yang
menumbuhkan solidaritas kelompok.
Adanya ritual menjamu pada saat kematian dikenal dengan
kenduri. Ini adalah istilah Persia, arti harfiahnya adalah taplak meja,
digunakan dalam hukum untuk merujuk ke pesta yang diadakan
untuk menghormati Nabi Muhammad, orang-orang kudus, dan orang
meninggal disertai dengan pemberian makanan.
Mengundang orang untuk diminta keberkahan doanya, lalu
disuguhi makan dan minum yang halal adalah wujud tanda syukur.
Letusan Meriam d
Tradisi tembakan penghormatan duka dan pernyataan suka dalam i
sebuah upacara agama maupun negara selalu menggunakan bunyi l
suatu alat, seperti suara meriam, bedil, gong,62 tabuh, dll. Meriam juga i
merupakan salah satu alat yang digunakan dalam mempertahankan n
diri dalam beberapa tradisi. d
Penggunaan alat-alat yang menimbulkan bunyi seperti letusan u
meriam kiranya telah menjadi simbol pada upacara duka seperti n
kematian orang tertentu. Pierre Dubois, seorang Prancis menulis g
sepucuk surat kepada koresponden Perancis ketika menyaksikan i
upacara kremasi di daerah Badung dan Denpasar. Ia melihat bagaimana o
prosesi kematian seorang pangeran dibarengi dengan suara sayup-sayup l
kidung agamis dan diselingi dengan dentuman meriam, tembakan e
bedil, dan alunan gamelan. 63 Golongan bangsawan dalam masyarakat h
suku saluan didepan rumah duka dipasang bendera adat dan biasanya
dibunyikan meriam tiga kali, Dalam melaksanakan. tulah cerita
mengenai Sutan Iskandar, regen terpenting sesudah Orangkayo Kaciak
dulu dalam rentetan kira-kira 25 orang regen semenjak 1667, dengan
Marah Uyub upacara pemakaman secara adat tradisional disampaikan
oleh para dubalang (penggawa) ke seluruh daerah. Penyampaian ini
dilakukan dengan suara beduk ditabuh terus-menerus, disela oleh
tembakan-tembakan meriam.64
Suara meriam ini pun digunakan pada saat suasana yang
menyenangkan. Sebagai penghormatan, Cut Nyak Dien disambut
oleh Belanda dengan tujuh dentuman meriam. Negeri Sembilan
malaysia, juga diputuskan dalam rapat lembaga apabila berlaku
kematian, maka ditetapkan satu upacara Tabal ke Bawah. Apabila siap
alat-alat kebesaran dipasang, tembakan meriam sebanyak sembilan das
dilepaskan. Dalam kesempatan lain tembakan penghormatan digunakan
untuk meyakinkan raja atau tamu kehormatan bahwa mereka secara
fisik aman. Pada abad keenam belas, dalam adegan Hamlet, tembakan
kehormatan dilakukan berkali-kali. Dalam naskah Sadjarah Banten juga
diungkapkan bagaimana upacara penyambutan utusan Banten dan surat
dari Sultan Mekah berlangsung sangat meriah, diramaikan oleh bunyi
senapan, meriam dan gamelan.
Perkataan meriam biasa dipakai untuk menyebut nama sebuah
senjata yang ditinggalkan bangsa Portugis, berasal dari kata Santa
Mariam (Mariam yang keramat). Orang-orang Portugis yang ingin
221
kerbau. Selain itu, hal ini juga dilakukan pada saat acara kematian
seseorang. Kalau kita melongok ke simbol kerbau yang beradu untuk
220
rumah adat Minangkabau dan kata kabau yang artinya kerbau, maka hal
ini menunjukkan betapa bernilainya binatang ini dalam adat Minang.
Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dijelaskan bagaimana penggunaan
simbol binatang ini mendapatkan posisi kemenangan dari kerbau
Majapahit. Kerbau mempunyai fungsi sosial untuk mengerjakan
sawah dan fungsi religius, hewan yang mempunyai unsur-unsur
tertentu. Tanduk kerbau mempunyai nilai magis.60
Nilai-nilai ekonomi dan simbolis dari hewan tidak dapat
dipisahkan.61 Jenis dan jumlah hewan untuk penyembelihan pada
upacara kematian menunjukkan status sosial jenazah. Bagi kalangan
tertentu, korban yang paling tepat adalah binatang kerbau, babi atau
sapi. Bagi golongan yang tidak beruntung secara ekonomi atau status,
maka pemotongan mentimun adalah penggantinya. sebagaimana
yang dilakukan oleh orang Romawi, bila tidak menemukan rusa
maka menggantinya dengan domba. Penggantian hewan untuk
disembelih, yang seolah-olah menjadi korban hewan menunjukkan
keseriusan untuk memperoleh makna dari pengorbanan itu sendiri.
Hingga kini pun, di Minangkabau penyembelihan hewan dilakukan
pada acara-acara penting termasuk ketika pengangkatan posisi atau
gelar baru untuk seorang penghulu dan orang-orang dengan status
sosial yang tinggi. Teks menggambarkan bahwa penyembelihan
hewan dengan nilai yang tinggi dilakukan untuk seorang elite
agama.
Sampailah pula akan tujuh hari
Anak kemenakan berganti-ganti
Disebembelih pula kerbau dan
jawi Diperjamukan pula isi
negeri
Alat perjamuan seperti demikian jua
Baqara dan kambing disembelih pula
Tahlil dan zikir ganda berganda
Umpama hujan tiada reda

Bait di atas menunjukkan bahwa bagi masyarakat biasa, hewan


yang lebih kecil tentu menjadi pengganti seperti ayam, dan binatang
semacamnya. Tapi bagi orang dengan status sosial yang tinggi, maka
kerbau dan sapi adalah pilihan penyembelihan.
Oleh karena itu, penyembelihan bukan berarti kerugian material,
karena benda komunal yang nilai ekonominya tertinggi dianggap
sebagai yang paling tepat untuk pengorbanan. 56 Hal ini dapat dilihat 219
pada tradisi pesta adat kematian di Tana Toraja atau disebut dengan
Rambu Solo’ yang digunakan untuk menghormati para leluhur mereka
dan untuk mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju
alam roh. Tradisi ini juga terdapat dalam ritual kematian terdapat pada
teks Brahmana yang ditemukan dalam agama Hindu.57
Masyarakat Minangkabau pada masa lalu memiliki kepercayaan
bahwa segala sesuatu memiliki roh. Cara untuk menenangkan roh-
roh jahat itu adalah dengan melakukan persembahan korban. Ada
kebiasaan orang-orang Minangkabau, bila hendak naik ke puncak
ke Gunung Merapi, maka lebih dulu mengadakan penyembelihan
kerbau untuk menenangkan roh-roh di gunung. 58 Mitos merupakan
cara berkomunikasi, yang meliputi orang dan level sosial. Mitos itu
menghubungkan orang dengan tekanan supernatural, karena mitos
harus dilihat sebagai bagian proses yang aktif yang menyatakan
kepercayaan dan menjelaskan aktifitas ritual yang paling penting dari
sebuah kepercayaan.59 Ada kepercayaan bahwa, pelaksanaan ritual
dengan menyembelih binatang, biasanya kerbau dan babi, maka
perjalanan spirit si mayit akan berjalan mulus.
Minangkabau tak semewah Toraja dalam melaksanakan ritual
kematian. Dengan kemewahan itu, hanya dari kelas-tertinggi lah yang
dapat melaksanakan semua langkah-langkah bertahap mengarah pada
keilahian. digunakan untuk menegaskan peringkat dari jenazah.
Penggunaan simbol-simbol sangat berperan penting, salah satunya
adalah penggunaan simbol kerbau sebagai syarat utama dalam upacara
kematian. Kerbau dalam beberapa masyarakat dianggap sebagai hewan
yang memiliki makna yang tinggi, suci dan melambangkan tingkat
kemakmuran seseorang. Di banyak tempat di Asia, kerbau seperti
halnya gajah dan kuda juga berperan penting dalam usaha tani. Selain
menjadi hewan penghela, kerbau juga menjadi daging konsumsi yang
umum selain babi dan ayam. Secara umum, orang Toraja menilai
kerbau dari tanduk,
Kerbau di Minangkabau adalah binatang terhormat dan dijadikan
lambang Minangkabau. Kerbau telah dijinakkan sejak zaman
neoliticum dan berhubungan erat dengan kebudayaan pra sejarah.
Upacara adat menegakkan penghulu disertai dengan menyembelih
Selain itu, ada juga kelompok pengajian atau tahlilan yang siap
untuk dipesan oleh keluarga jenazah untuk mengadakan yasinan,
218
istighosah, dan do’a serta kostum sesuai permintaan. Semakin banyak
materi yang dapat dikeluarkan maka semakin banyak orang yang bisa
diajak untuk mendo’akan. Semakin banyak yang mendo’akan berarti
diasumsikan semakin banyak bekal yang dipersembahkan kepada
jenazah atau pahala melakukan tahlil, doa dan zikir akan mendapat
barakah dari bacaan surat al Fatihah pada saat tahlil dimulai. Setelah
tahlil berakhir, biasanya pihak keluarga atau ahlul bait menyediakan
makanan untuk diberikan kepada orang yang diundang dan diminati
bantuan bacaan tahlil dengan niat sebagai sedekah. Pahala sedekah
itu juga diniatkan untuk arwah yang dituju. 54

Penyembelihan Hewan
Kebiasaan membuat persembahan religius melalui penyembelihan
hewan hampir terjadi di semua agama dan merupakan bagian dari
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mentransfer sesuatu berupa
benda atau makanan ke orang lain. Teori-teori yang terkait dengan
persembahan dengan cara penyembelihan hewan dilakukan untuk
tujuan-tujuan seperti pengganti pemberi korban, penebus dosa, hadiah
kepada dewa agar terhindar dari kemarahannya dan mendapatkan
persahabatannya. Selain itu untuk mengambil darah manusia, karena
pemahaman bahwa hewan bersekutu dalam darah. Pengorbanan ini
dianalogikan dengan darah yang merupakan persembahan khusus
orang Ibrani. Hal ini terkait dengan penegasan Hubert dan Mauss
55
tentang aspek penyucian, pelepasan diri, penolakan sesuatu untuk
diri, yang tampaknya terlibat dalam setiap tindakan pengorbanan. Ada
bentuk komunikasi yang mendominasi dalam kegiatan penyembelihan.
Tindakan simbolis menunjukkan bahwa upaya makan bersama dari
hewan yang disembelih adalah bentuk penyerapan kembali energi
yang dilepaskan oleh korban. Untuk Levi-Strauss, hewan menawarkan
klasifikasi sosial, terutama yang berkaitan dengan praktek sosial nya,
serta dengan sistem kekuasaan, ketidaksetaraan, dan nilai.
Penyembelihan juga merupakan pemberian diri atau bagian dari
diri yang disimbolkan dengan berbagai jenis objek material yang
memiliki makna dan nilai sosial. Selain itu, ritual penyembelihan juga
menunjukkan simbol persatuan anggota kelompok atau ikatan sosial
yang signifikan bagi para pelakunya.
Banyaklah khabar orang berulang d
Mengkhabarkan syekh kita sampai berpulang a
Murid yang jauh sukar menjalang
n
Dipintakan doa di kampung seorang-seorang
a
Adapun, ritual-ritual seperti pembacaan talqin52 yang dilakukan setelah
proses penguburan berlangsung, dianggap sebagai bentuk bantuan y
kepada si mayit. Mazhab Syafii dan Hambali menempatkannya sebagai a
suatu rekomendasi, sedangkan Maliki menganggapnya perbuatan n
makruh. g
Oleh karena itu, ketika seorang elit agama seperti syeikh
meninggal pelayatpun banyak menjalang. Mereka datang untuk b
mendapatkan konpensasi barakah. Sehingga jumlahnya pun sangat i
berbeda dengan orang biasa. Kerumunan pelayat dan peziarah s
ditentukan oleh status sosial ulama. Masih terbayang oleh kita a
bagaimana banyaknya jumlah peziarah ketika Gus Dur (mantan
presiden) meninggal hingga sekedar ziarah ke kuburannya. Hal ini d
membuktikan makin tinggi sosial status maka makin banyak pula i
pelayat yang datang. a
Status juga ditandai oleh jumlah dalam salah satu kelompok pelayat. l
Contohnya jumlah pelayat bervariasi tergantung pada posisi sosial si o
jenazah. Apakah ia meninggalkan jejak kebaikan bagi setiap orang k
yang pernah mengenalnya, atau bersentuhan dengannya. kejernihan a
hati, dan kebersihan jiwa, kata-kata yang lembut,penampilan s
menawan, serta caranya berdialog dan berdebat yang menarik hati. i
Randle Holme mendaftar jumlah pelayat pada pemakaman tergantung k
pada tingkat dan estate dari apapun mati hubungan pribadi pelayat a
dengan almarhum.53 Ritual pemakaman selalu menjadi bagian penting n
dari proses reintegrasi kelompok sosial. kemeriahan upacara pemakaman
sebagai simbolisasi status sosial bisa berlaku. Kemeriahan prosesi o
tersebut ternyata bukan hanya dipengaruhi oleh akhlak si jenazahnya l
saja, tetapi juga bisa bergantung pada “kebaikan” orang-orang e
terdekat jenazah. Pasangan hidup yang baik, dan atau anak yang h
baik ternyata juga mampu mendongkrak pamor jenazah yang aslinya
bukan orang “baik”. Apalagi kalau si jenazah semasa hidup, anaknya, k
atau keluarganya adalah orang kaya dan punya kedudukan di e
lingkungannya. Status sosial jenazah ternyata ikut menjadi faktor l
dominan kemeriahan prosesi. Orang yang shalih bisa kalah pamor, u
kalah meriah dari yang tidak shalih. Kalah banyak pelayatnya. a
Apalagi perbedaan penanganan biasanya terjadi akibat perbedaan r
ga jenazah untuk prosesi tersebut.
217
pengikut dari tarekat tertentu melakukan ritual doa yang berbeda
di mana mereka mengarahkan doa-doa mereka kepada Allah untuk
216
mengenang jiwa berangkat suci yang mendirikan persaudaraan
mereka.
Dalam tradisi tarekat, zikir dan wirid merupakan ciri utama ajaran
tarekat sebagai bentuk ungkapan cinta. Zikir sebagai pengulangan secara
kolektif satu kalimat pendek seperti kalimat syahadat oleh murid-murid
yang duduk mengelilingi seorang guru. Tradisi ini pula sudah dilakukan
pada masa syekh Burhanuddin. Sebelum Syekh Burhanuddin, jika ada
yang meninggal dunia, maka keluarga yang ditinggal dikunjungi oleh
ipar-bisan dan dilaksanakan dengan membawakan kata-kata indah,
yang mirip dengan berbalas pantun selama hari pertama sampai hari ke
tujuh, hari keempat belas, hari keempat puluh, hari keseratus dengan
makan dan minum. Budaya semacam ini kemudian diganti dengan
zikir dan bacaan tertentu dalam bentuk doa kepada mayat. Doa dan
bacaan-bacaan dibuat berbalas-balas antara dua orang Tuanku, labia,
Khatib dan petugas agama nagari. Ini merupakan pelaksana utama
dari kegiatan ini. Setelah mengaji, maka dihidangkan makanan dan
sedekah kepada pelaksana.
Naskah SFS yang menerangkan bagaimanan zikir dan tahlil dan
doa ini bukanlah sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh masyarakat
Indonesia. Kuantitas orang yang melakukan zikir adalah hal yang
penting dalam menunjukkan bahwa seseorang yang sedang didoakan
dan atau dimohonkan berkahnya adalah bukan orang biasa. Dalam
beberapa kesempatan, ada orang melakukan tahlil karena undangan
atau permintaan dari ahlul bait agar dapat turut serta dalam acara
tahlil. Setelah acara berlangsung, maka sang empunya memberikan
sajian ataupun hadiah berupa uang, pakaian untuk para pentahlil.
Teks ini tidak menjelaskan motivasi orang bertahlil. Tapi jelas sekali
menunjukkan jumlah orang yang berlimpah.
Salam tuanku di dalam tanah
Tiap-tiap dusun tahlil zikrullah
Tuanku lah berpulang ke
rahmatullah Kita berajar inilah
nafkah
Tiap-tiap negeri pun mentahlilkan
Luhak dan ranah pun lalu
kelawatan Guruh gempa nabun
pendengaran Umpama guruh
keturunan hujan
Dalam kehidupan manusia ada hukum timbal-balik yang berlaku a
sebagai bentuk pertukaran jasa yang terus-menerus. Sebuah w
kelompok masyarakat memiliki ikatan emosional, sosial, dan a
financial yang kekuatannya yang bervariasi tergantung pada afiliasi l
atau kekuatan ikatan lainnya. Seorang pemimpin terkait erat dengan y
semua orang secara sosial, politik, dan ekonomi. Sehingga orang lain a
tergantung pada mereka, dan menempatkannya pada posisi yang n
tinggi dibanding orang lain yang tidak memiliki ikatan sosial dan g
emosional. Sifat yang sangat praktis diterima oleh masyarakat adalah
ketika seseorang meninggal dunia masyarakat menderita kerugian t
yang sangat nyata. Sehingga Beberapa bukti yang menunjukkan e
bahwa hidup dan mati sama-sama membentuk satu komunitas, dan l
upacara pemakaman hanyalah ritual. a
Terlepas dari kewajiban sebagai umat Islam terhadap orang h
meninggal, dan perbedaan anggapan terhadap ritual kematian,
prosesi kematian dikarenakan perbedaan sosial status sering tak m
terelakkan. Hal ini memunculkan garis demarkasi antara proses yang e
dilakukan oleh elit dan non elit. Penegasan kemsyhuran syeikh di mata n
mayarakat pun tercermin dalam upacara kematian yang y
e
diselenggarakan untuknya. sebagaimana petikan syair:
b
Martabah syekh kita waliyullah yang a
pilihan Imam syari’ah sempurna ikutan
Mempunyai hukum memeluk pekerjaan
r
Sempurnalah Syekh kita bernama d
sultan i
N
Doa, Tahlil dan Zikir u
Acara menujuh hari, meningga hari dsb yang diselenggarakan s
dengan iringan bacaan doa, zikir dan tahlil sudah menjadi hal yang biasa a
dilakukan oleh masyarakat Indonesia di manapun pada saat kematian n
seseorang. Ritual ini dilakukan sebagai upaya untuk mengirim doa t
atau pahala kepada orang yang meninggal agar mereka mendaatkan a
r
kelapangan di dalam kubur. Jumlah orang yang membacakan doa dan
a
zikir pun bervariasi sangat ditentukan oleh siapa orang yang meninggal.
Dalam beberapa kesempatan, seorang elit meninggal banyak dikunjungi
s
oleh pelayat yang mebacakan doa, entah karena diberi kompnesasi atau
e
lainnya. yang pasti banyak pula pelayat yang karena konpensasi itu
j
maka datang untuk melaksanakan ritual zikir, dls.
a
Secara historis, ritual doa adalah warisan dari mistisisme Islam
k
abad ke enam. Para
215
fakta dan kondisi manusia, khususnya untuk kebutuhan
berkomunikasi dengan dunia lebih luas. Agama merupakan ekspresi
214
keinginan bawaan manusia untuk berkomunikasi dalam alam, dan
untuk mencegah ketidakpastian serta memperoleh rasa nyaman.
Kepercayaan pada semua tingkah laku yang berhubungan dengan
kenyataan supernatural seperti doa, praktek pemakaman memberikan
kenyaman dan memberi arti akan keberadaan manusia.48 Simbol-
simbol budaya yang dimiliki oleh tiap suku dan kaum ini memainkan
peran sosial, ekonomi, kekerabatan, religius dan identitas kolektif.
Maka penyelenggaraan ritual kematian dilakukan sebagai bentuk
penggunaan simbol.
Upacara kematian pada masyarakat Minangkabau adalah sesuai
dengan ajaran agama Islam yaitu mati dalam Islam. Maka melaksanakan
fardhu kifayah, seperti mengumumkan kematian orang yang meninggal
kepada orang lain, memandikannya dan mengkafani, menyalatkan,
serta menguburkannya dilakukan untuk mengkomunikasikan
kematian tersebut.
Adat kematian yang dikenal luas dalam masyarakat Pariaman sampai
sat ini yaitu: meningga hari, menujuh hari, mendua kali tujuh,
mengempat puluh, dan menyeratus hari, adalah suatu tradisi yang sudah
masuk dalam tatanan sosial masyarakat atau sudah menjadi tradisi
yang mapan dan sulit dihilangkan. Ada alasan atas semua ini yaitu
keluarga merasa malu atau aib jika tidak melakukannya. 49 berbagai
bentuk ritual kematian dilakukan sebagai bentuk komunikasi dan
simbol yang digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan
kesedihan atau semacamnya kepada sang mayit maupun kepada
masyarakat yang datang. Banyak pula ritual kematian yang tidak
memerlukan biaya mahal. Namun, ada pula upacara besar dan
upacara yang membuat perhatian banyak orang. Sehingga, komitmen
untuk penggunaan sumber daya material menjadi hal yang penting
sebagai bentuk fenomena ekonomi ritual.50
Perbedaan yang mencolok dalam prosesi kematian di
Minangkabau adalah kematian seorang raja atau penghulu. Praktek-
praktek ritual kematian syeikh tergambar dalam beberapa simbol
yang digunakan. Sosok yang digambarkan oleh Faqih Saghir dalam
teks ini sebenarnya bukan seorang penghulu, bukan pula seorang raja
di pemerintahan. Namun, seorang syeikh, ulama yang karena
keahliannya dalam bidang syariat dan tasawuf telah mendapat julukan
Sultan ‘Alim Awliya’Allah, yang menjadi pemimpin seluruh ulama
M jama’ah. 51
i
n
a
n
g
k
a
b
a
u

g
o
l
o
n
g
a
n

a
h
l

a
l

s
u
n
n
a
h

w
a

a
l
curahan kemurahan dari Allah Swt. Selain itu, dimintakan pula doa
pada murid atau masyarakat bila mereka berada pada tempat yang jauh
dan tidak dapat datang dari Luhak dan ranah. Keempat, perjamuan isi 213
negeri dengan penyembelihan kerbau, sapi dan kambing, dilengkapi
dengan peralatan. Pemberian sedekah kepada fakir miskin. Kelima,
mengelilingi jenazah sambil menangis. Tradisi marotok memang ada di
Padang. Dalam bahasa Minangkabau, ratap disebut dengan ratok dan
meratap disebut dengan maratok. Meratap adalah kebiasaan menangisi
mayat sampai histeris, sambil berucap hal-hal yang baik tentang
mayat itu atau berupa penyesalan atas kematiannya. Umumnya,
maratok dilakukan dengan cara menyakiti diri, seperti menepuk dan
memukul dada dan badan mereka, atau dengan mengelus badan si
mayat.46 Selain itu, terdapat suara yang menyertai proses, berupa
ledakan meriam beberapa kali. Pada bagian akhir penulis
menyebutkan beberapa nama seperti baginda Ali, Imam syafi’i, Abu
Hasan As’ari, Abdul Qadir al-Jilani, Syekh Abdurrauf, Tuanku di
Ulakan yaitu Burhanuddin. Nama-nama yang mencerminkan
perpaduan tarekat Syattariyah dan Qadiriyyah.Syair ini juga
mengenalkan nilai budaya yang menonjol seperti mufakat atau
musaywarah serta konsep menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku.

Simbol-Simbol dalam Ritual Kematian


Kebutuhan untuk berkomunikasi telah membuat simbol menjadi
hal yang penting. Oleh karena itu, masyarakat hampir mungkin tidak
ada tanpa simbol.47 Karena mereka berkomunikasi. Pelaksanaan ritual
kematian merupakan salah satu bentuk penggunaan simbol, sehingga
simbol dijadikan sebagai sarana komunikasi. Penggunaan simbol
dapat menghantarkan seseorang ke dalam gagasan atau konsep masa
depan maupun masa lalu. Simbol dapat berupa gambar, bentuk, atau
benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu.
Simbol merupakan sebuah sarana komunikasi, seperti
berbagi perasaan
internal. Kematian merupakan bentuk persatuan ranah sakral dan
sosial. Dengan menganalisa keduanya dalam perspektif yang utuh
maka pemahaman tentang masayarakat Minangkabau dapat diperoleh.
Dalam ritual apapun namanya, orang-orang menggunakan simbol
untuk membuat struktur sosial yang eksplisit, agar makna dapat
diinterpretasi dalam kehidupan sehari-hari. Van baal menganggap bahwa
kepercayaan dan praktek agama merupakan respon mendasar terhadap
Sebagai tindakan balas budi, tanda putihnya hati kepada guru,
bakti kepada syeikh, serta ucapan terima kasih atas bimbingan berupa
212
ilmu dan amal-amal yang pernah diajarkan serta nasehat yang diberikan
sebagai pegangan hidup, para pengunjung membawa oleh-oleh yang
digambarkan dalam teks sebagai ayam, itik, dan sapi. semampunya atau
membawa benda kesukaan sang guru atau uang sedekah sekedarnya.
Fakih Saghir juga menyebutkan bahwa syeikhnya itu sebagai
Imam ahlussunnah. Waliyullah sultan. Perannya, bila ada perselisihan,
syekh lah tempat orang datang untuk berunding, meminta petuah.
menceritakan kondisi syekh yang sudah sangat lemah meminta berkat
dari syekh, sebelum wafatnya beliau pada hari kamis. syekh
membaiat. keberlangsungan orang belajar walaupun syekh dlam
keadaan sakit. syekh memebrikan wasiat agar ia dimakamkan di sekitar
mesjid tempat ia biasa beribadah. Kemudian menyerahkan kitab yang
digunakannya kepada muridnya. Selain penggambaran sosok syeikh
yang sangat dikagumi, diteladani oleh murid dan masyarakat tidak
saja di daerah Minangkabau dan Sumatera, penulis teks ini
menyelipkan beberapa ritual yang dilakukan terhadap wafatnya sang
syeikh. Pertama, ada proses untuk mencari pengganti sang syeikh.
Karena selama ini syeikh lah tepat pengaduan. Untuk melakukan hal
ini, dilakukanlah mufakat para tokoh dan ulama yang ada di Luhak
Nan tigo. Kedua, pembacaan tahlil dan talqin menjelang wafatnya
sang Syeikh. Talqin sebagaimana ritual tarekat dijelaskan oleh al
Qusyasayi dalam kitab Simt al-Majid. Sebagaimana diketahui bahwa di
dalam komunitas Surau, koneksi guru dan murid menjadi sangat
penting. Dengan hubungan inilah nantinya terjadi polarasi keilmuan
dan transmisi yang berlanjut kepada generasi selanjutnya.
Selanjutnya, pemberian wasiat pada muridnya agar tetap menjaga
kehadirannya di mesjid, menurunkan kitab, dan meminta tempat
penguburan, yaitu di sekitar mesjid agar murid-muridnya dapat
senantiasa berkunjung atau ziarah. Tahlil dan zikir adalah bagian
lain yang dilakukan dalam beberapa waktu, seperti 7 hari yang
disebutkan oleh penulis ‘tanpa henti’. Hal ini mirip dengan ritual
Basapa sebagaimana Manaqib yang maksud dan tujuannya sama,
yaitu membaca kalimat taiyibah yang berlangsung semalam dengan
maksud mengharapkan turunny arahmat yang melimpah dan berkah
yang banyak. Karena menyebut-menyebut hal ikhwal para ulama
waliyullah tersebut, maka terbukalah barakah dari pintu langit yang
tertinggi juga
Banyak alasan mengapa tradisi mengunjungi ulama atau syeikh o
dilakukan oleh orang-orang dari dulu hingga sekarang, di antaranya r
adalah untuk belajar ilmu agama, mengadu nasib, mencari a
peruntungan, dan lain-lain. Setidaknya itulah yang ingin disampaikan n
oleh penulis teks ini. Penghormatan terhadap guru. Untuk mendapatkan g
berkat dari guru, maka wajiblah menghormatinya. Penghormatan itu -
tidak saja dilakukan ketika syeikh masih hidup, karena menurut o
pemahaman tarekat ini yang mati itu hanyalah tubuh kasar, sedangkan r
ruhnya tetap hidup di alam barzah, dan sewaktu-waktu membantu atau a
memurkai murid-muridnya yang masih hidup jika melakukan hal-hal n
yang salah atau menyalahi ajaran-ajaran agama. Syeikh adalah orang g
mukmin yang takwa yang menjalankan hidup di dunia di bawah sinar
hidayah Ilahi. Tokoh semacam ini juga adalah manusia sempurna p
setingkat di bawah derajat Rasul dan Nabi. Oleh karena itu, makamnya a
perlu diziarahi sebagai bentuk bakti atas segala ajarannya yang telah d
memberi tuntunan bagi kehidupan. a
Bagi kalangan kaum tarikat, seperti tarikat Syattariyah di Pariaman
bahwa menghormati guru adalah etika paling utama yang s
dibudayakan pada setiap pribadi, khususnya kepada guru-guru y
penyampai ajaran Islam. Seperti pernyataan al-Ghazali bahwa murid- e
murid tak boleh tidak harus mempunyai syekh yang k
memimpinnya..45 h
Teks diawali dengan memperkenalkan sang penulis dan tempat
penulisan yaitu di Batu Tabal Koto Tuo. Pengertian ttg ilmu syariat s
dan hakikat. Batu tabal adalah tempat dimana Fakih saghir membuat e
hikayat. Upaya seorang murid untuk membuat kenang-kenangan h
terhadap guru yang dicintainya. Koto Tuho juga ama tempat. Umur i
syekh yang sudah tua kira-kira 150 tahun, dengan bahasa lokal yang n
menunjukkan tangah dua ratus tahun. Konsep tajalli. Dalam hal ini g
Fakih juga Ulama yang karamah. Bahasa arkais luhak dan arkais yang g
menunjukkan popularitas ulama. Barakah tiap negeri. Walau banyak a
ulama yang berada pada saat itu, namun dengan keberkahannya, syekh
berbeda ari yang lainnya. Sifatnya yang penyayang, sabar, berhati lapang b
sehingga banyak dikunjungi orang. Orang yang berkunjung dengan e
bermacam-macam kepentingan. Adakalanya hanya memberikan l
sedekah dan ada juga karena nazar. Diungkapkan pula bagaimana i
banyak dan bervariasinya pemberian orang kepada syekh. Walau banyak a
hadiah yang diberikan orang, namun syekh memberikannnya kembali u
kepada fakir miskin. Hal ini menggambarkan bagaimana kagumnya
menjadi tujuan kedatangan.
211
kekerasan, dan berakhir dengan kedatangan orang Belanda yang
diterima dengan baik oleh kelompok yang moderat sebagai salah satu
210
cara untuk mengakhiri perselisihan. Sebagaimana disampaikan oleh
Hollander bahwa teks SKSJ hanya mengenai beberapa kegiatan syeck
Djilal atau Fakih Saghir demi kegiatan penyebaran agama dan untuk
mencegah sabung ayam, perdagangan budak dan minuman keras di
pulau sumatera.
Kedua, sebagai gambaran pelaksanaan upacara adat kematian dalam
masyarakat Minangkabau. Ini sekaligus menunjukkan identitas dan
integritas. memiliki fungsi tertentu untuk dipahami masyarakat pada
masanya.
Ketiga, sebagai karya tulis sebuah syair yang tidak mengikuti
konvensi; nilai sejarah. sangat bernilai sebagai contoh dialek bahasa
Minangkabau. Teks ini semacam perpaduan biografi, teologi, sejarah
dan budaya dalam keindahan susastra yang mewakili ciri-ciri zamannya.
Bak sebuah lukisan, penulis ingin agar pembaca seolah-olah ikut
merasa, melihat dan menikmati objek yang dilukiskannya. Berupa
hasil tulisan yang berupaya menjelaskan sesuatu kepada pembaca
dengan menunjukkan berbagai bukti baik konsep tempat dan waktu
dengan tujuan menambah pengetahuan. Ada kecendrungan untuk
meyakinkan bagaimana posisi timbal balik guru dan murid dalam
budaya tarekat.
Tidak ada sumber informasi yang menyebutkan bahwa naskah
menjadi pedoman penyelenggaraan ritual kematian di wilayah
minang. Juga penegasan tentang fungsi surau yang begitu kompleks
terhadap perkembangan keilmuwan Islam pada saat itu.
Naskah ini sebagai salah satu sumber informasi yang menegaskan
tentang kepemimpinan seorang tokoh Tuanku Nan Tuo Cangking
dalam. Naskah ini merupakan sumber penting dalam rekonstruksi
sejarah sosial masyarakat. Telaah kedudukan dan fungsi naskah dalam
kehidupan sosial budaya tempatnya tumbuh sangat perlu.
Ini menunjukkan cara bentuk simbolis yang melembagakan
upacara kematian di wilayah ini bergema ke seluruh konteks sosial
dan budaya. Pada saat kematian, Identitas juga merupakan hal yang
penting dalam kehidupan sosial. Begitulah cara bagaimana mereka
membuat batasa antara kehidupan dan kematian yang digunakan
dengan pernyataan simbolis. Cara ini dapat dilihat sebagai sarana
amat penting untuk memupuk rasa kesinambungan budaya pada
saat hilangnya para anggota masyarakat.
Kesaksian Fakih Saghir hanya tergambar dalam beberapa catatan
yang terekam lewat naskah Surat Syekh Jalaluddin dan Syair Fakih
Saghir ini. Walaupun dalam beberapa hal, subyektifitas seorang murid 209
begitu nyata tergambar, namun catatan ini telah menjadi dokumen
penting untuk melihat pertentangan antara kaum tua dan muda di
wilayah ini.
Oleh karena itu, naskah tulisan Fakih Saghir ini perlu diteliti
untuk melihat budaya atau ritual yang dilakukan untuk seorang elit
sebagaimana seorang syeikh yang wafat ketika itu. Pada saat yang sama
kita juga bisa melihat seberapa jauh tradisi itu masih teraktualisasi
dalam masyarakat. Keberadaan teks ini disamping karya Fakih Saghir
lainnya menunjukkan bahwa ia memiliki dokumentasi yang baik
tentang gurunya. Dari sejumlah tokoh Paderi, Fakih Saghir
memiliki catatan pribadi yang keasliannya dapat diakui. Karena
sifatnya sebagai catatan pribadi, tokoh yang dianggap paling dekat
dengannya yang ia ceritakan.43
Satu hal lain yang tampaknya menonjol dalam teks ini adalah bahasa
daerah Minangkabau yang sangat banyak mewarnai dalam setiap
bait. Sehingga membacanya tampak menjadi alat untuk mempelajari
beberapa kata yang digunakan dalam bahasa di daerah ini. misalnya
penggunaan lah untuk menyebutkan telah. Layur pengganti lemas.
Ritual kematian yang mirip juga dengan ini adalah ratap Fatimah yang
dikenal dengan tradisi banazam atau banalam. 44
Hadirnya naskah ini tentu tidak dalam ruang hampa, tapi ia
merupakan hasil proses berfikir dan cita-cita yang ditimbulkan
oleh keadaan lingkungan suatu masyarakat dan budaya. Lalu balik
berinteraksi denga berbagai aspek lingkungan tempat ia lahir. Melihat
bentuknya setidaknya kita bisa berkata bahwa SFS diturunkan dalam
dua tradisi yang menjadi fungsinya dalam wilayah Minangkabau.
Pertama, menegaskan gambaran kehidupan tarekat yang
ditampilkan dengan konsep karamah seorang guru serta barakah yang
selalu diharapkan oleh murid atau masyarakat sekitarnya. Beberapa
kalimat dalam teks SFS sama dengan Teks SKSJ yang ditulis oleh Fakih
Saghir atau pada tahun 182. Jika SKSJ menggambarkan ketegangan
dan permusuhan antara kaum adat dan kamum paderi, melukiskan
secara terperinci konflik antara kaum paderi yang tidak sefaham
dalam menentukan tindakan yang patut diambil untuk menangani
penyebaran faham wahabi, menyatakan ketidaksetutjuannya akan
penggunaan
bersajak aaaa dan keempat barisnya berupa isi. Ada beberapa syair
Minangkabau, seperti syair Mamalah Bulan, Syair Abdulkadir, Syair
208
Gampo Alam Dunia, Syair si Patjo Mati Dua Kali, dll.
Teks SFS ini hadir berdampingan dalam satu folder dengan 9 teks
lainnya, yaitu teks khatimah zikir, soal jawab tentang bismilah, kitab
hadhorah, kumpulan teks tasawuf. Al-maklumat, syair fakih saghir.
Syair johan perkasa syah alam dari paninjauan, kitab tentang baik dan
jahat, khawas ajaib, dan risalah 7fi golongan. Tampaknya teks-teks ini
disatukan karena kandungannya tentang tasawuf dan belum tentu
terkait dengan teks SFS tersebut.
Asal usul naskah.Teks Syair Fakih Saghir diperoleh atas upaya
digitalisasi naskah-naskah di surau Calau Sijunjung Minangkabau yang
dilakukan oleh Tim Kajian Poeitika Universitas Andalas bekerjasama
dengan Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) dan Tokyo
University of Foreign Studies TUFS-CDATS Jepang, dengan kode:
CL.SJJ.2011.67F.
Surau Calau yang dipimpin oleh Syekh Abdul Wahab atau
Tuanku di bawah Manggis merupakan salah satu surau yang bergerak
dalam pengembangan tarekat Syattariyah yang dibawa oleh Syeikh
Burhanuddin Ulakan ke wilayah Minangkabau. Sebagaimana
kebanyakan surau yang berada di Minangkabau, surau ini melakukan
kegiatan-kegiatan bersifat akademik seperti mengaji dan menyalin
kitab. Surau Calau Muaro Sijunjung ini merupakan sentra tarekat
Syattariyah di Sawahlunto, dan merupakan salah satu tempat yang
selalu dikunjungi pada saat acara Basapa dari khalifah di Tanjung
Medan Ulakan.42
Teks ini sangat signifikan untuk dibaca. Secara umum, penekanan
yang tampak adalah gambaran sosok karismatik yang dikagumi oleh
seorang murid terhadap gurunya. Ungkapan ini ia terjemahkan lewat
prosesi yang dilakukan oleh masyarakat sebelum dan terlebih pada
saat syeik wafat. Tergambar pula konteks sufisme yang kental di dalam
melihat ikatan guru dan murid. Banyak pengikut mengharapkan
intervensi syeikh dalam kehidupan mereka. Di mata pengikutnya,
kemampuan syeikh sesungguhnya tak terpisahkan dari
kemahakuasaan dan ketergapaian Allah. Dengan mata batinnya dia
dapat juga mendiagnosa penyakit dengan cepat dan menganjurkan
terapi yang tepat. Berkah dapat berupa pengobatan, keuangan,
kemandulan, dan lain-lain. Sang syeikh dianggap berkuasa atas
kehidupan pribadi muridnya.
tempat lain. Mengingat upaya penelusuran disesuaikan dengan masa
berjalannya short course, maka peneliti memperlakukan naskah ini
sebagai naskah tunggal. Oleh karena itu, langkah perbandingan teks 207
sebagaimana tahap penelitian filologi tidak dilakukan dalam penelitian
ini.
Sumber informasi dari tim digitalisasi naskah Syair Fakih Saghir ini
menyebutkan bahwa teks ini berasal dari surau Calau di Minangkabau,
dengan judul Fakih Saghir. Peneliti menambahkan kata Syair dalam
judul, selain karena isi teks berbentuk syair, hal ini juga sebagai upaya
untuk membedakan teks lain yang ditulis oleh Fakih Saghir dengan
judul Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir.
Ukuran naskah ini adalah 17 x 12 cm dan blok teks 14 x 8 cm,
ditulis dengan tinta hitam. Cover teks dibuat dari karton tebal dengan
warna yang tidak diketahui. Alas naskah adalah kertas Eropa dengan
watermark Pro Patria. Teks dengan jumlah 13 baris setiap halamannya
ini tidak memiliki tahun penulisan/penyalinan. Walaupun tidak
memiliki hubungan yang jelas, teks ini disatukan dengan teks Fikih,
berupa hukum-hukum sholat dari hasil percakapan Muhammad dan
setan dengan penulis yang tidak diketahui. Beda teks SFS dan teks
Fikih tersebut adalah bentuk tulisan serta lebar kertas. Melihat
konteks isi teks dan penulis, maka diperkirakan bahwa teks ditulis
pada abad ke-19.35
Bentuk teks seperti karangan prosa, tapi bunyi-bunyi kalimatnya
memberikan gambaran sebuah syair. Fakih Saghir pada awal teks
menyebutnya sebagai syair atau nazam. 36 Walaupun kedua konsep
syair dan nazham berbeda makna, tapi penulis menggunakan istilah-
istilah itu secara bergantian dengan pemahaman bahwa syair 37 sama
dengan nazham38. Selain itu, teks tidak selalu diakhiri dengan
fungtuasi dalam kalimat-kalimatnya. Mengingat bunyi teks
mengikuti rima, maka peneliti menyusunnya menjadi bait-bait
sebagaimana rima dari setiap larik. Jumlah larik dalam setiap bait
tidak konsisten. Ada yang berjumlah delapan, empat, tiga dan dua.
39

Ada larik yang tampak berdiri sendiri, namun jika disandingkan


dengan larik-larik lainnya tampak seperti sama. 40 Bunyi akhir larik
yang sama tidak selalu dengan frase yang sama, misalnya ahadiyah,
martabah, hakikah dan makrifah. Puisi dalam sastra Minangkabau
digolongkan dalam beberapa jenis yaitu, mantra, pantun, talibun,
pepatah dan syair.41 Syair adalah puisi yang terdiri dari empat baris,
apatis di beberapa bagian masyarakat menjadi momen yang sangat
penting. 29
206
Tinjauan Naskah
Tak banyak sumber yang mengungkapkan riwayat sang penulis.
Hamka menggambarkan bahwa Fakih Saghir adalah putera dan murid
Tuanku Nan Tuo Koto Tuo itu, yang berfaham wahabi tetapi tidak
menyetujui sepak terjang Harimau nan salapan yang suraunya pernah
dibakar oleh Kaum Adat kerana menentang fahamnya. Karena tidak
ikut peperangan, Belanda mengajak kerjasama. Kemudian ia diangkat
menjadi Regen di Luhak Agam, menggantikan datuk Baginda
Chatib yang tidak disukai oleh kaum Adat. Ia bergelar Tuanku Sami
setelah tua usianya.30
Ini menunjukkan bahwa teks ditulis oleh seseorang wakil
pembaharuan Paderi yang moderat. Penulis tidak menjelaskan tujuan
penulisan, tetapi setidaknya dapat dilihat bahwa ia sedang berupaya
untuk memberi peringatan atau kenangan untuk murid anak dan cucu
supaya wasiat Tuanku Nan Tuo tetap hidup. Selain itu, tampaknya ia
berupaya mengcounter ketidakberdayaan syeikhnya dalam menghadapi
Harimau Nan Salapan merubah cara dakwah kelompok pembaharu
di Minangkabau. Yang jelas ia merupakan dokumen sejarah unik
yang dapat dibandingkan dengan karangan berbentuk biografi atau
otobiografi. Sebuah pelaksanaan ritual memberikan kesempatan
untuk mendefinisikan realitas, dan Fakih Saghir tentu memanfaatkan
kesempatan ini. Fakih Saghir memperoleh gelar Sultan Alim dari
kegiatannya bersama Tuanku Nan Tuo karena keahliannya di bidang
sunnah dan syariat. Dia menjadi Fakih di Negeri di Kota Lawas
dekat Kuta Tuo. Dalam menjalankan tugasnya, Fakih selalu mencoba
meyakinkan muridnya untuk mengikuti syariat Islam agar masyarakat
Islam dapat terwujud. 31
Dalam melakukan inventarisasi naskah, melalui penelusuran
katalog naskah yang terkait dengan Minangkabau seperti Katalog
Naskah dan skriptorium Minangkabau 32, peneliti tidak menemukan
teks Fakih Saghir ini, begitu pula penelusuran pada database thesaurus
naskah nusantara33 yang dihimpun oleh Fathurahman dkk.
Penelusuran juga dilakukan pada katalog naskah melayu nusantara 34
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, karena usia naskah yang
sudah cukup lama. Namun tidak diperoleh indikasi bahwa naskah
tersebut ada di
Namun ulama yang reaksioner mengembangkan tren modern dalam d
bidang pendidikan. Ulama Minangkabau mulai merumuskan adat e
untuk merasionalisasi situasi baru yang diciptakan oleh penyerapan n
Islam. 24 g
Pada pergantian abad ke-19, berbagai pertunjukkan demoralisasi a
sosial sebagaimana yang digambarkan oleh Fakih Saghir dalam n
Hikayat Djalaluddin25. Sementara tradisi kekuatan sakral raja itu telah
sangat merusak, pusat-pusat agama terlalu sibuk dengan praktek k
kontemplasi sebagai pelarian yang efektif. Inilah kebuntuan kaum tua e
yang tiba- tiba berubah dengan adanya gerakan Padri. 26 Masa ini pula, b
dengan konsep menuju kesempurnaan masyarakat Islam, terdapat u
gerakan yang menggoncang pada tatanan lama atau kelompok t
Syattariyah yang dianggap sebagai bentuk ajaran kuno yang merusak u
dan mengandung banyak mistisisme. Pengenalan ajaran-ajaran Islam h
yang lebih murnioleh para tokoh keagamaan Minangkabau yang kembali a
dari rantau, terutama dari pusat Islam seperti Mekah, Medinah, Kairo, n
telah menciptakan dinamika dan konflik di kalangan masyarakat
Minangkabau. Ini pula yang membawa gerakan pembaharuan Islam m
di Minangkabau dan wilayah-wilayah nusantara lainnya.27Tak dapat a
dihindari pergeseran terjadi kepada tarekat Qadiriyyah wa s
Naqsyabandiyyah yang pada saat itu popular di Mekkah. Gerakan y
pembaharuan pada abad 19 karena segolongan dari masyarakat yang a
menganggap dirinya kompeten, tapi tidak mendapat tempat dan r
kedudukan yang wajar dalam ranah politik di Minangkabau itu. a
Menurut Schrieke gerakan Paderi hanya sebuah revolusi pemimpin k
agama yang frustrasi dengan hidup dalam suatu masyarakat yang a
tidak memberi mereka tempat dalam hirarki sosial. Posisi agama t
sebagai sistem kepercayaan semakin diperkuat. 28 ,
Sejak masa ini, pusat keagamaan yang sebelumnya sebagai bagian dari s
rakyat jelata, di bawah kepemimpinan Tuanku mulai menjadi agama e
kantong dalam masyarakat. Mobilitas murid agama dari satu r
madrasah t
ke madrasah lain membuat pusat agama dalam kesederhanaannya a
tersebar dan berpotensi menantang kekuasaan pemerintah. Konflik
potensial kelembagaan antara dua wakil penuntut berdampak kecil p
terhadap masyarakat secara keseluruhan sampai akhir abad ke-18. e
Mereka mempelajari banyak ilmu dari negeri Mekah dan memberikan n
banyak perubahan kepada negeri. Pemindahtanganan para pemimpin c
agama, seperti guru agama dan haji, dan penguatan status quo sesuai i
ptaan suasana stagnasi dan
205
Kisah syeikh Minangkabau selalu dikaitkan dengan kehadiran
syeikh Burhanuddin Ulakan. Sejarah menunjukkan bahwa ualam ini
204
telah banyak kiprahnya terhadap perkembangan Islam di
Minangkabau. Walau masih kental udara ketidakmurnian Islam
ortodoks di wilayah ini Kedudukan syeikh adalah sangat sentral.
Burhanuddin adalah ulama penting pertama mendirikan sebuah pusat
keagamaan dan telah menghasilkan empat tuanku 20sebagai hasil
didikannya, salah satunya adalah Tuanku Nan Tuo Cangking. Ia
menentang cara kekerasan yang dilancarkan bekas muridnya dengan
membakar surau hingga menjadi abu. Tak lama kemudian, ia
meninggal karena sedih dan usia yang lanjut.21 Ketika mereka
menyelesaikan studi mereka, mereka kembali ke daerah mereka
sendiri dan mendirikan pusat-pusat keagamaan baru. Dengan
demikian, sebelum kematian Tuanku dari Ulakan sudah ada
beberapa pusat agama di pedalaman. Setelah kematiannya kuburan
dari Tuanku dari Ulakan dibuat menjadi tempat suci. Sampai
munculnya gerakan Padri itu masih kutukan bagi guru-guru agama di
Minangkabau mempertanyakan otoritas keagamaan dari Ulakan.
Fenomena yang paling mencolok dalam kehidupan agama dan sosial
di Minangkabau setelah masuknya Islam, tampaknya diduduki oleh
sosok ulama dengan berbagai panggilan, yang mengemban pelayanan
spiritual masyarakat. Panggilan syeikh di depan nama seorang ulama
oleh masyrakat tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada proses hubungan
yang berkembang antara ulama dan masyarakat berkembang. Sebagai
seorang ulama, seorang kiai dipercayai sebagai mata rantai yang
menghubungkan para santrinya kepada ulama terdahulu dan terus
berlanjut sampai kepada imam mazhab.22
Sebelum perang Paderi, kedudukan ulama tidak sama seperti
penghulu. Golongan agama sebagai kaum intelek karena faham
tulis baca, hanya berperanan sebagai pendidik generasi muda dan
pembimbing kehidupan rohani masyarakat. Elit agama, sebagaimana
ulama Minangkabau, sementara dihormati, tidak memiliki peran
untuk menjadi kaya atau berkuasa seperti layaknya ulama di negara-
negara Timur Tengah. Pemerintah membatasi peran politik ulama
Minangkabau. Pemasukan unsur keulamaan ke dalam struktur
kekuasaan yang diwujudkan dalam keanggotaan di dalam balai adat,
hanya merupakan pelebaran dari elite kekuasaaan. Keulamaan yang
bertolak dari penguasaan ilmu dan pengakua sosial, akan bisa terlibat
dalam proses pewarisan jabatan dengan memakai patokan matrilineal.23
tradisi musyawarah dalam mencapai mufakat, serta dakwah agama yang
dilaksanakann dengan cara yang bijaksana oleh para penganjurnya18.
Tahap Islamisasi Minangkabau dapat dilacak dalam pepatah adat 203
yang berubah. Sebelum masuknya Islam adalah “Adat bersendi alur
dan patut”. Setelah Islam diperkenalkan, kemudian diganti dengan
rumusan baru “Adat bersendi alur, syara’ bersendikan dalil”.
Islamisasi selanjutnya tercermin dalam ungkapan “Adat bersendi
syara’, syara’ bersendi adat”. Rumusan terakhir dilakukan secara lebih
jauh pada Perang Paderi (1821-1838) yaitu Adat bersendi syara’,
syara’ bersendi Kitabullah”. Dalam hal ini, Al Quran, Hadis dan
hukum alam yang sesuai dipandang sebagai prinsip-prinsip spiritual
abadi yang membimbing manusia dalam kehidupan.19
Abad ke-16 merupakan periode yang amat penting dalam sejarah
Minangkabau, karena mencakup awal institusionalisasi Islam dalam
struktur sosial Minangkabau. Konversi Alam Minangkabau ke dalam
Islam pada umumnya merupakan buah karya para sufi tarekat, karena
dalam keseluruhan penafsiran mereka atas Islam sesuai dengan latar
belakang Minangkabau yang banyak dipengaruhi sinkretisme Hindu-
Belanda dan tradisi setempat.
Dalam beberapa hal, Sufi tarekat sangat toleran terhadap pemakaian
dan pemikiran tradisional yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Sehingga Islam pada masa awal di Minangkabau sebagai sinkretis dan
mistis. Terserapnya Islam ke dalam sistem kepercayaan dan struktur
sosial Minangkabau tidak menggantikan adat, tetapi lebih memperkaya
Alam Minangkabau itu sendiri. Gerakan sufi bergandengan tangan
dengan kristalisasi seperangkat doktrin dan praktek sufi. Mulailah
pertumbuhan tasawuf menjadi praktek yang melembaga.
Sejarah bangsa Indonesia sejak berabad-abad pernah diisi dengan
lembaran yang melukiskan peran besar ulama sebagai langkah
gerakan pembaharuan Islam yang di dalamnya berhadapan berbagai
aliran. Ulama-ulama masa ini berjuang demi mempertahankan pola
hidup Islami. Maka, Islam di sini harus menghadapi situasi kultural
yang sangat kompleks dan beragam. Mereka memainkan peran
dengan mengintegrasikan masyarakat muslim. Di satu pihak suatu
aliran agama tradisional mencoba memanusiakan konsep ketauhidan
dengan penyatuan pada kebutuhan keseharian. Di lain pihak ada saja
kehendak reformis yang berusaha merasionalisasikan perilaku keagamaan
dengan memberantas pola permohonan manusia yang mereka anggap
salah.
lah pihak yang tak terpisahkan dari Kemahakuasaan dan ketergapaian
Allah hanya mampu dilakukan melalui syeikh. Praktek ini pun pernah
202
dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. 14 Konsep keramat, menurut
Woodward menjadi dasar kepercayaan yang berkaitan dengan hidup
sesudah mati dan kuluts kematian. Jiwa setelah mati berada di suatu
alam yang berbeda dengan alam dunia dan tempat itu dinamakan
alam barzah. Namun perndapat lain mengatakan bahwa roh itu tetap
berada di kuburan yang memungkinkan mereka untuk berhubungan
dengan orang hidup. 15

Islam, Sufisme dan Syeikh di Minangkabau


Untuk melihat tradisi pengabdian syeikh di Minangkabau, bijak
kalau kita melihat konteks penyebaran Islam di wilayah ini dalam
kaitannya dengan bagaimana masuknya Islam ke wilayah ini. Termasuk
di dalamnya berkembangnya tarekat syattariyah dan
naqsyabandiyyah dan bagaimana kedudukan syeikh dalam pandangan
masyarakat Minangkabau.
Sejarah masuknya agama Islam di Minangkabau muncul dalam
berbagai pendapat. Ada yang mengatakan pada abad ke 7, pada saat
para pedagang Arab dan China datang ke daerah-daerah penghasil
lada di nusantara termasuk Minangkabau. Sri Maharaja Srindra
warman di Muara Sebak telah menganut agama Islampada tahun
718.16Selain itu, adapula yang menyebutkan bahwa penyebaran
agama Islam sudah dimulai sejak tahun 632. 17 Sultan Alif Raja Alam di
pagaruyung menyatakan dirinya memeluk agama Islam pada akhir
abad ke-16. Proses perkembangan Islam di daerah ini dipercepat oleh
masuknya Islam di kalangan raja dan istana. Hal ini diperkuat oleh
kehadiran pasukan Aceh di pesisir Panjang dan bekal ilmu yang
dibawa oleh putra Minang dari Mekah ke wilayah ini. Gelombang
besar perpindahan ke agama Islam di kalangan penduduk
Minangkabau bertepatan dengan berkembangnya sufisme di
wilayah ini.
Proses perkembangan Islam yang tergolong tidak lama ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu agama Islam datang dibawa
oleh pedangang yang bergaul dengan masyarakat setempat, agama
Islam tidak mengalami rintangan yang berarti dari agama yang masuk
sebelumnya, Hindu dan Budha. Selain itu, Islam menghargai adat
istiadat penduduk setempat yang didatanginya, beberapa prinsip pokok
dalam adat Minangkabau sesuai dengan prinsif-prinsif Islam, seperti
daerah. Para anggota tarekat menganggap syeikh yang terbaik. Ini a
pula yang menunjukkan bahwa syeikh mempunyai pengaruh yang d
meliputi seluruh masyarakat. Hubungan emosional yang didasari a
dengan warna keagamaan antara syeikh dan para pengikutnya n
tampak sangat jelas. y
Peranan yang dimainkan ulama bukan sekedar sebagai seorang a
ahli agama muslim, tapi sebagai pemimpin umat Islam. Sering dari
mereka adalah para tokoh terpelajar yang memberikan bimbingan c
kepada umat Islam mengenai seluk beluk masalah agama. Mereka a
juga orang- orang bijak tempat masayarakat berkonsultasi untuk m
memecahkan masalah. Maka kepribadian ulama bukan hanya p
pengetahuan yang sangat penting bagi salik dan masyarakat. Tapi u
karisma seorang ulama sangat dominan sebab kepribadiannyalah r
yang menjadi magnet yang menarik orang menjadi pengikutnya. t
Itu pula yang memunculkan konsep tawasul sebagai pintu dan a
perantara doa untuk menuju Allah SWT. Dengan ini pengabulan doa n
oleh Allah pun menjadi gampang. Hal ini disebabkan karena ulama g
atau syeikh pada umumnya dekat dengan Allah, mereka dapat mencapai a
tahap karamah. Maka Allah lebih cepat mengabulkan permintaan n
mereka baik untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain. Status
sosial pemberi barakah menjadi kuat karena martabat religius yang s
diperoleh dari hubungan dengan lingkungan tarekat. y
Syeikh yang memiliki karamah menjadi icon raja, karena dengan e
kekuasaan informal, orang-orang datang untuk memperoleh i
barakah.12 Dalam konteks tarekat ini juga muslim yang mencari k
barakah (tabarruk) adalah orang-orang yang sedang menginginkan h
sesuatu yang telah atau belum dimilikinya agar dapat mengalami
peningkatan, baik berupa kekayaan, keturunan ataupun d
kesuksesan. a
Setelah kematian syeikh, para pengikut tarekat tidak jarang meminta l
doa agar diberikan keselamatan. Mengapa mencari barakah melalui a
orang-orang suci semacam ini pada saat mereka hidup dan setelah m
kematian? Mati dalam dunia tasawuf dianggap sebagai perpindahan
satu ke tempat ke tempat lainnya. Pada dasarnya, eksistensi orang- k
orang tersebut masih tetap ada. Orang-orang suci seperti syeikh e
memiliki status yang tinggi. Dengan status yang tinggi tersebutlah h
mereka layak untuk didekati.13 Karena kedekatannya pada Allah, i
kemampuan yang dimilikinya sangat luas. Kedatangan para pengikut d
ajaran yang disampaikan oleh syeikh adalah suatu bentuk harapan u
pan mereka. Karena syeikh
201
dunia Islam. Kekhasan tersebut tampak pada strategi yang mereka,
sebagai orang-orang suci berdamai dengan pengaruh agama-agama
200
sebelum Islam yang datang ke suatu wilayah. Sehingga mereka
mampu menciptakan suasana untuk berdialog antara tradisi
masyarakat dan agama yang terkadang berseberangan satu dengan
lainnya.
Teori komprehensif tentang ulama dan suci serta kesucian
dikembangkan pada beberapa abad setelah kematian Nabi. Doktrin
Islam tentang konsep kesucian itu adanya kepercayaan bahwa sejak
masa Nabi, sahabat, orang-orang suci dan saleh sebagai orang-orang
yang paling dekat dan dicintai Tuhan. Kebanyakan muslim meyakini
bahwa orang-orang semacam ini memiliki kekuatan supranatural, atau
kekuatan yang luar biasa karena keintimannya dengan Sang Pencipta.
Istilah ini pun dianggap sebagai sifat yang dilekatkan kepada seorang
suci yang mampu memindahkan pertolongan Allah kepada orang yang
membutuhkannya. Mereka dianggap menjembatani kesenjangan besar
antara orang-orang beriman dan Allah.
Pemujaan orang-orang suci dalam Islam sering dikaitkan dengan
sufisme. Dalam kaitan ini makna dan fitur yang menonjol dari sufisme
diilustrasikan dengan berbagai cara. Trimingham mendefinisikan
bahwa mistisisme merupakan pendekatan terhadap realitas dengan
memanfaatkan bagian intuisi dan emosi spiritual yang dapat
dilakukan melalui pelatihan melalui bentuk bimbingan.8 Schimmel
9
menambahkan bahwa sufisme merupakan arus spiritual dalam arti
yang lebih luas dan menganggap bahwa ini merupakan kesadaran
realitas yang sering disebut dengan kebijaksanaan, cahaya, cinta. J.
Arberry berpendapat bahwa tasawuf adalah gerakan mistik dalam Islam,
dan sufi adalah orang yang terafiliasi dalam kelompok ini dengan upaya
pencarian batin agar terjadi persatuan mistis dengan Allah.
Dalam tradisi tarekat, keterhubungan antara salik 10dan sederet
nama yang ada dalam daftar silsilah tarekat sebagai orang-orang dengan
status tinggi, martabat, dan kehormatan di mata Allah menjadi hal yang
penting. Orang-orang yang ada dalam silsilah tarekat memiliki
kekuatan spiritual sebagai bentuk pewarisan satu sama lainnya sampai ke
nabi dan sampai pula ke Allah. Maka dapat dikatakan bahwa
kehidupan tarekat dipenuhi dengan suasana hirarkis. Sang syeikh
dianggap berkuasa atas kehidupan pribadi muridnya. Catatan yang
dilakukan oleh Chambert- Loir11 tentang wali di beberapa negara
menunjukkan bahwa kesyeikhan tampak seperti kerajaan kecil, yang
p
e
n
g
i
k
u
t
n
y
a

b
e
r
a
s
a
l

d
a
r
i

b
a
n
y
a
k
tercermin dalam ritual kematian yang sangat khas. Ada kelompok y
yang bisa memanfaatkan materi karena ketergapaiannya dengan a
aspek ekonomi, ada yang mampu meraup perhatian banyak orang, n
karena memiliki posisi elit. Akadalanya pula, hanya menampakkan g
tontonan yang biasa saja.
Sejarah membuktikan bahwa ulama memiliki kedudukan yang k
penting dalam pemerintahan atau kerajaan. Karena mereka adalah figur h
yang secara simbolis merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan a
Tuhan kepada manusia dalam penyampai ajaran-ajaran wahyu. Selain s
dianggap sebagai pewaris para nabi dalam membimbing, mendidik, p
dan memberikan teladan kepada umat manusia, mereka pun memiliki a
status dan pengaruh sosial yang sangat tinggi karena mereka memiliki d
pengetahuan agama dan kecakapan dalam hubungan sosial. Oleh a
karena itu, penghormatan dan pengkultusan kepada seorang ulama
bukanlah hal yang aneh
Dalam tradisi tarekat, penghormatan karena status sosial ulama
lebih mencolok. Syekh, terlebih dimata muridnya memiliki banyak
kekuatan. Sebagaimana wali atau ulama, syekh adalah sosok yang
sangat berpengaruh terutama dalam kehidupan orang-orang yang
terafiliasi dengannya. Oleh karena itu, penghormatan kepada mereka
pun terjadi pada saat mereka hidup, dalam proses kematian, dan sering
sekali setelah mereka mati yang terwujud dalam bentuk ziarah kubur.
Keberkahan dan karamah orang-orang semacam ini membuat mereka
berada pada posisi yang lebih elit dari yang lain.
Minangkabau adalah suatu suku yang sering dikaji karena pola
matrilinealnya. Tak banyak perhatian tentang bagaimana prosesi
kematian seseorang diungkap sebagaimana hal itu terjadi di daerah
Toraja dan Bali. Namun, masih ada bukti bahwa ritual kematian
dari seorang elite agama yang terjadi pada abad ke 19, mencerminkan
status sosial yang berbeda. Dengan pendekatan simbolik ritual
kematian, tulisan ini membahas tentang pengaruh status sosial
terhadap pelaksanaan ritual kematian di wilayah Minangkabau.
Tulisan ini akan menekankan pada peran syeikh dalam tradisi
tarekat.
Status Sosial, Karamah dan Barakah
Fenomena kewalian baik dari kajian-kajian sejarah, sosial dan
politik telah menarik perhatian banyak peneliti. Hal ini ditengarai
karena wali atau ulama sebagai elite agama telah memberikan warna
199
K
ematian adalah suatu transisi sakral yang memerlukan ritual-
ritual khusus untuk menghormati atau mengenang jenazah. 1
198
Selain dilihat sebagai unsur formal dalam eksistensi manusia,
ritual kematian dapat dilihat sebagai pemanfaatan bentuk keyakinan
yang mengekspresikan materi dan sebagai perwujudan hubungan
ideal antara individu atau kelompok dalam masyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan penggunaan berbagai jenis bahan sebagai
persembahan dalam berbagai ritual, cara-cara digunakan dalam
persembahan jenazah, dan pilihan lokasi pemakaman dan seremoni
yan dilakukan.
Studi-studi yang dilakukan oleh beberapa sarjana tentang ritual
kematian menegaskan bahwa penyelenggaraan prosesi kematian dalam
kehidupan individu atau kelompok dalam masyarakat berhubungan
erat dengan status sosial jenazah saat berada dalam dunia kehidupan.
Di Melanesia, Wedgwood 2 mencatat bahwa perbedaan status sosial
seseorang atau kelompok sangat terlihat pada saat kematian. kekayaan,
keberanian, magis, kekuasaan sekuler, keanggotaan kelompok
merupakan hal-hal penting dalam ritual. Peter Metcalf3 menyoroti
hubungan strata ekonomi dan ritual kematian. Frank Reynolds
mengilustrasikan bagaimana hirarki sosial telah mempengaruhi
upacara kematian.4 Saunders juga menganalisa stratifikasi sosial
yang bersangkutan untuk memahami bagaimana ketidaksetaraan ini
berdampak dalam ritual kematian seseorang. 5 Pearson menyebutkan
bahwa ritual kematian di Inggris pada abad ke-19 memperlihatkan
perlakuan terhadap yang mati berdasarkan hubungan antara budaya
materi terkait dengan praktek kematian dan bentuk organisasi sosial. 6
Sedangkan Bennet menganggap bahwa representasi simbolisme
dalam kematian dalam suatu masyarakat tidak selamanya menjelaskan
tingkat ekonomi yang terjadi di masyarakat sama. Peran agama dan
sejarah telah menempatkan suatu masyarakat tertentu untuk
bertindak sama agar dapat mempertahankan kontrol lokal.7
Status sosial sering dilihat dari kekuasaan, keberanian, ekonomi,
keanggotaan dalam kelompok, dan prestasi individu. Hubungan
antara nilai sosial individu dan perlakuan kepada seseorang pada
saat dan
setelah kematian seseorang adalah sangat erat. Sehingga, ada kalanya
masyarakat merasa sangat berduka atau tidak berduka atas wafatnya
seseorang, karena faktor kekerabatan dalam keanggotaan kelompok
akan menjadi faktor penentu. Di Indonesia kita banyak menemukan
b rbedaan hirarki sosial yang
e
b
e
r
a
p
a

s
u
k
u

a
t
a
u

a
d
a
t

y
a
n
g

m
e
m
i
l
i
k
i

p
e
Alfida

Syair Fakih Saghir:


Sosial Status dan Ritual Kematian
di Minangkabau Abad ke-19

Abstract: This article examines the digital manuscript entitled Syair Fakih
Saghir of Surau Calau collection, Sijunjung City, West Sumatra. This
manuscript has been digitized by Tim Kajian Poetika of Andalas University
in collaboration with the Indonesian Association of Nusantara Manuscripts
(Manassa) and Tokyo University of Foreign Studies (TUFS-CDATS),
Japan, with code CL.SJJ.2011.67F. Syair Fakih Saghir contains an overview
about the figure of the charismatic shaykh and greatly admired by his murid.
In the context of this text, the murid is Fakih Saghir who admired his shaykh,
Tuanku Nan Tuo Koto Tuo. This admiration was shown in a homage ritual
that is celebrated by the society when the shaykh has died. Therefore, this text
has shown the importance of the social status of ulama among the society
symbolized by the cult at the time of their death ritual celebration. Through
such depictions, the text shows the identity, integrity, and text functions in
society.

Keywords: Syair Fakih Saghir, Minangkabau, Social status, Death


ritual, The text function.

Abstrak: Artikel ini mengkaji naskah digital yang berjudul Syair Fakih
Saghir koleksi Surau Calau, Sijunjung, di Sumatera Barat. Naskah ini
didigitalkan oleh Tim Kajian Poetika Universitas Andalas bekerjasama
dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dan Tokyo
University of Foreign Studies (TUFS-CDATS), Jepang, dengan kode
CL.SJJ.2011.67F. Syair Fakih Saghir berisi gambaran sosok syekh yang
kharismatik dan sangat dikagumi oleh muridnya. Dalam konteks teks
ini, murid yang dimaksud adalah Fakih Saghir yang mengagumi
gurunya yaitu Tuanku Nan Tuo Koto Tuo. Ungkapan kekaguman ini
diperlihatkan melalui ritual penghormatan yang dilakukan oleh
masyarakat saat sang guru meninggal dunia. Oleh karena itu, teks ini
telah memperlihatkan pentingnya status sosial ulama di kalangan
masyarakat yang disimbolkan dengan pemujaan pada saat perayaan
ritual kematian terhadap ulama. Melalui penggambaran tersebut teks
ini memperlihatkan identitas, integritas, serta fungsi teks dalam
masyarakat.

Kata Kunci: Syair Fakih Saghir, Minangkabau, Status Sosial, Ritual K


Manuskripta, Vol. 5, No. 2, 2015
ematian, Fungsi Teks.

197

Anda mungkin juga menyukai