Anda di halaman 1dari 173

SANG ZAHID

Mengarungi Sufisme Gus Dur


KH. HUSEIN MUHAMMAD
PEii&AiifAil! ALiSSA WAliiD

sang •

el
!:lo>

I
'Cl

i
I MENGARUNGI
�; SUFISME GUS DUR
LK[S
SANG ZAHID: MENGARUNGI SUFISME GUS DUR
KH. Husein Muhammad
C> LKiS, 2012

xviii + 164 halaman; 14,5 x 21 cm


1. Sufisme Gus Dur 2. Zahid
3. Sufi-sufi besar dunia Islam
ISBN: 979-25-5381-9
ISBN 13: 978-979-25-5381-9

Kata Pengantar: Alissa Wahid


Penyelaras akhir: Ahmala Arifin
Rancang sampul: Morenk
Penata isi: Santo

Penerbit & Distribusi:


LKiSYogyakarta
Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul
JI. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta
Telp.: (0274) 387194
Faks.: (0274) 379430
http://w.ww lkis.co.id
e-mail: lkis@lkis.co.id

Anggota IKAPI

Cetakan I: 2012

Percetakan:
PT. LKiS Printing Cemerlang
Salakan Baru No. 3 Sewon Bantul
JI. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta
Telp.: (0274) 41 7762
e-mail: elkisprinting@yahoo.co.id
PENGANTAR REDAKSI

Barangkali buku ini layak disebut sebagai testimoni paling


otoritatif tentang sosok Gus Dur yang sesungguhnya, yang ditulis
oleh seorang yang paham betul kehidupan Gus Dur secara per­
sonal, dari keseharian Gus Dur yang sederhana hingga gagasan
dan kerja-kerja kemanusiaannya. Sebuah testimoni yang
menemukan pendasarannya dalam spiritualitas Sufi-sufi Agung
dunia Islam, dari Ibnu Athaillah al-Sakandari, Mawlana Jalauddin
Rumi, Ibn Arabi, hingga kaum rohaniawan dan intelektual dunia
Islam dan Barat. Suatu perspektif yang bernas dan berkelas yang
justru lebih ingin dikedepankan oleh penulis, Kiai Husein
Muhammad.

Tentu saja penulis, dari apa yang didedahkan secara cukup


mumpuni dan mendalam dalam buku ini, tidak berpretensi pada
upaya pengultusan ataupun pemitosan sosok Gus Dur. Gus Dur
tetaplah Gus Dur dengan segala atribut yang disematkan setiap
orang terhadapnya. Biarlah, menurut penulis, suatu fenomena luar
biasa yang berbicara, yakni tentang rasa kehilangan rakyat akan
sosok Gus Dur, yang bisa dilihat dari antusiasme ribuan hingga
jutaan rakyat dari strata yang paling bawah hingga kalangan elite,
dari pelbagai elemen masyarakat agama, suku, dan etnis, yang tak
henti-hentinya berziarah ke makam Gus Dur. Sebuah fenomena
yang mungkin akan terjawab, tapi entah kapan.

v
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Dari fenomena yang luar biasa tersebut, kita bisa saja


mengatakan bahwa Gus Dur adalah manusia yang paling
dibutubkan oleb bangsa dan negara seperti Indonesia, yang plural
dalam banyak bidang, yang akrab dengan konflik keagamaan dan
kemanusiaan. Apesnya, kita baru memahaminya setelah Gus Dur
berpulang, dan absennya figur yang mampu menggantikan
perannya, semakin menebalkan rasa kehilangan yang sangat besar
dalam keseharian kita.

Maka bukan sesuatu yang mengherankan kalau kaum


Nahdbiyyin, simpatisan, murid-murid setianya, seperti misalnya
sang penulis sendiri, menyebut Gus Dur sebagai mahaguru,
waliyullah, manusia yang dikaruniai kecerdasan spiritual, sosial,
dan intelektual. Manusia dengan ragam dimensi kesalehan.
Namun, sekali lagi, penulis tidak ingin memosisikan Gus Dur
sebagai mitos. Dan sebagaimana halnya mitos, ia bukanlah suatu
dongeng yang eksistensinya kita dengar lamat-lamat. Bukankah
Gus Dur suatu hari pernah bilang, "Aku hanya pulang, bukan
pergi?!"

Oleh karena itulah, bertepatan dengan Seribu Hari Berpulang­


nya Gus Dur, kami menganggap inilah momen yang tepat untuk
menghadirkan karya tentang Gus Dur pada sisi yang lain, yang
belum banyak dieksplorasi secara mendalam sejauh ini.

Akhirul kalam, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar­


besarnya kepada Kiai Husein Muhammad, yang telah memercaya­
kan penerbitan karyanya kepada kami. Dan kepada sidang
pembaca yang budiman, kami sampaikan selamat mengarungi
cahaya putih spiritualitas Gus Dur. Selamat membaca!

vi
KATA PENGANTAR
Oleh: Alissa Wahid

Membaca naskah buku ini, bagi saya, memerlukan waktu yang


cukup lama dan keteguhan hati untuk menyelesaikannya. Berkali­
kali huruf-huruf memburam oleh air mata, sehingga saya harus
berhenti dan mengulang kembali. Dengan gaya Kiai Husein
menyampaikan, kalimat demi kalimat membawa kenangan yang
manis, sekaligus membawa kelu justru karena ia berwujud
kenangan dan tak lagi nyata.

Tak terasa iooo hari sudah berlalu sejak Gus Dur pulang
kepada Pemilik yang dicintainya. Pulang dengan penuh suka cita­
kata Kiai Husein dalam buku ini. Hampir tak terasa, karena setiap
hari masih tersebut namanya di ruang-ruang seminar yang ilmiah,
di celetukan-celetukan via media sosial, dalam artikel-artikel dan
buku-buku, di warung-warung kopi, di acara-acara ibadah kaum
tersingkir dan pejuang kemanusiaan, bahkan di lagu-lagu para
pedangdut koplo. Wajahnya masih terpampang dalam poster­
poster, kaos-kaos, gantungan kunci, dan avatar para pengguna
Facebook dan Twitter, serta gambar-gambar yang beredar di
media massa dan internet.

Jejaknya ada di mana-mana, dengan segala bentuknya.


Mencoba menelusurinya tak cukup hanya dengan melihat warisan­
warisan besarnya: imlek dan kaum Tionghoa yang termerdekakan,
kembalinya nama Papua yang menandai penghormatan pada

VII
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

identitas warganya, terpisahnya Kepolisian dan TNI, lembaga­


lembaga negara seperti KPK, Mahkamah Konstitusi, Komisi
Yudisial, Kementerian Kelautan, forum-forum kerukunan umat
beriman, dan lain-lainnya.

Warisannya menembus batas negara, dan dimensi. Kisah­


kisah perjumpaan dan persentuhan dengan Gus Dur bermunculan
dari santri pondok pesantren di pucuk gunung, sampai di sudut
dunia yang lain. Waiau sudah terbiasa dengan berbagai kisah ini,
saya masih tercengang membaca twit Wahyu Susilo, aktivis
Migrant Care mengisahkan pengalamannya makan di sebuah
restoran di Australia. Oleh pemilik restoran, ia ditanya berasal
dari mana. Setelah Wahyu menjawab dari Indonesia, sang pemilik
restoran menyebut-nyebut Gus Dur. Ia ucapkan apresiasi karena
Gus Dur demikian gigih membela dan memperjuangkan kaum
muslim di Uighur China, yang tentunya adalah kelompok minoritas
di sana.

Bagaimana membaca sepak terjang Gus Dur yang sepertinya


tak berbentuk, sehingga sebagian kalangan menyebutnya The
Drunken Master van Indonesia? Banyak yang telah membahas
spektrum atau dimensi sepak terjang yang sedemikian luas. Apakah
sumber yang menyebabkan Beliau bisa bergerak sedemikian?

Kiai Husein Muhammad menyelaminya dengan sangat


menyeluruh di dalam buku ini. Walaupun banyak membahas
perjuangan Gus Dur, penyimpulan-penyimpulan diambil lebih
banyak dari perilaku-perilaku keseharian Gus Dur yang tampak
remeh, tapi sesungguhnya membangun sebuah pemahaman yang
utuh dan integratf
i terhadap spiritualitas Gus Dur. Bagaimana Gus
Dur di meja makan, bagaimana Gus Dur saat membimbing santri­
santri Ciganjur mengaji kitab-kitab bahasa dan sastra klasik, kitab­
kitab Tasawuf dan Ushul al-Fiqh (teori-teori dan metodologi fiqh),
bagaimana Gus Dur saat menginap di rumah orang-orang lain;

viii
Kata Pengantar

menjadi bahan-bahan penting bagi Kiai Husein untuk memahami


Gus Dur.

Ini berbeda dari analisis yang dilakukan oleh penulis-penulis


lain, yang biasanya memfokuskan pada pemikiran dan pencapaian
Gus Dur yang spektakuler dan membawa perubahan yang besar di
Indonesia, dan bahkan dunia. Karena spektrum sepak terjang Gus
Dur yang sungguh luas, analisis sedemikian cenderung memotret
Gus Dur secara parsial. Ini seringkali justru membuat kita
kebingungan memahami Gus Dur secara utuh karena perilakunya
yang berbeda di dalam konteks yang berbeda; atau bahkan perilaku
yang berbeda dalam konteks yang sama di kurun waktu yang
berbeda. Misalnya mengapa Gus Dur yang gigih memperjuangkan
NU agar kembali ke Khittah 1926 akhirnyajustru mendirikan Partai
Kebangkitan Bangsa di penghujung rezim Orde Baru? Mengapa Gus
Dur yang sangat demokratis bisa memutuskan untuk menjadi
Ketua PBNU untuk tiga periode?

Kiai Husein, sebagaimana sifat dan sikap para pelaku tasawuf,


melepaskan diri dari perangkap-perangkap parsial dan menajam­
kan pandangannya kepada esensi yang mendasari sebuah laku dan
pemikiran. Sepak terjang Gus Dur yang oleh banyak orang diper­
kirakan hanya berasal dari pergaulan Gus Dur yang kosmopolitan,
ditarik justru kepada esensi spiritualisme Islam. Kiai Husein
membahas tuntas bagaimana spiritualitas itulah yang menggerak­
kan Gus Dur, sebagaimana ia menggerakkan para tokoh dalam
sejarah Islam berabad-berabad lamanya. Bahkan agaknya, Kiai
Husein justru menggunakan Gus Dur sebagai gerbang untuk
mengeksplorasi khasanah spiritualisme Islam.

Akhir tahun 2011, keluarga Ciganjur berinisiatif mengundang


beberapa sahabat Gus Dur untuk berdiskusi bersama murid-murid
Gus Dur dari berbagai latar belakang. Tujuan diskusi ini adalah
untuk bersama-sama menyimpulkan nilai-nilai luhur yang kiranya

ix
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

menjadi sumbu sepak terjang Gus Dur selama ini. Ibarat cahaya
putih, spiritualitas Gus Dur memasuki sebuah prisma yang
kemudian merefleksikan sang cahaya menjadi spektrum yang
berwarna-warni, yaitu sepak terjangnya di berbagai dimensi
kehidupan.

Pertemuan tersebut menyimpulkan bahwa dalam konteks apa


pun, segala keputusan, pemikiran, dan tindakan Gus Dur selalu
bersumbu pada beberapa nilai luhur: Ketauhidan sebagai awalnya,
yang membias pada Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan,
Pembebasan, Persaudaraan, Kesederhanaan, Keksatriaan, dan
Kearifan Lokal.

Kita, misalnya, melihat Kemanusiaan, Keadilan, Persaudara­


an dalam pembelaan Gus Dur kepada korban konflik '65. Kita
melihat Keadilan dan Kesetaraan dalam sepak terjang Gus Dur di
ranah kesetaraan gender. Kita menyaksikan Kesetaraan dan
Pembebasan dalam pembelaan Gus Dur pada Inul Daratista yang
ditindas oleh Bang Haji Rhoma Irama dan masyarakat. Kita melihat
Kearifan Lokal pada bagaimana Gus Dur sangat gigih menguatkan
praktik-praktik tradisi Nusantara, sekosmopolitan apapun
pergaulannya. Kita melihat nilai luhur yang sama dalam paradigma
Gus Dur dalam membumikan Islam dan menggerakkan tradisi
Pesantren.

Keksatriaan adalah istilah yang kita gunakan untuk meng­


gambarkan ciri-ciri karakter Gus Dur yang penuh integritas, kuat,
berani tak mengenal takut, tak kenal lelah membela yang benar
dan yang lemah; yang selama ini sering dipuja-puji. Dalam berbagai
legenda, sifat-sifat inilah yang menjadi karakter ksatria.

Dan tentu saja tak sulit untuk melihat bagaimana Keseder­


hanaan menjadi jalan hidup Gus Dur. Tak sekadar penampilan
fisiknya, teta pi juga cara berpikir substantif yang terabadikan
dalam kalimat "Gitu Saja Kok Repot!" yang mengingatkan kita untuk

x
Kata Pengantar

selalu kembali pada pokok persoalan sehingga segalanya menjadi


sederhana.

Buku Kiai Husein ini melengkapi kajian tentang nilai-nilai


luhur Gus Dur ini pada titik yang paling penting: mengurai cahaya
putih spiritualitas Gus Dur. Melalui buku ini, kita menemukan
pembahasan yang menyeluruh asal-muasal semua nilai yang
dihidupi Gus Dur, yang pada ujungnya menghidupi semua yang
telah disentuhnya sepanjang perjalanannya di dunia. Sebuah buku
yang wajib dibaca oleh mereka yang ingin memahami Gus Dur
secara utuh, apalagi oleh mereka yang membaiat dirinya sendiri
sebagai GUSDURian atau murid Gus Durdan ingin merawat warisan
nilai, pemikiran, dan perjuangannya bagi dunia ini.

Terima kasih untuk tulisan yang sangat indah ini, Kiai Husein.
Sebuah hadiah istimewa untuk memperingati iooo hari
berpulangnya Gus Dur. Tak hanya sebagai sebuah perayaan, tetapi
sebagai momen untuk kembali mengambil inspirasi dari perjalanan
hidup Gus Dur. Semoga Allah Subhanallahu wa Ta'ala mengampuni
segala dosanya, merahmatinya dengan sebesar-besar rahmat,
menaikkan derajatnya setinggi-tingginya derajat, dan mendekap­
nya dalam cinta abadi berlipat kali cintanya pada kemanusiaan.
Amin.

Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.

Alissa Wahid

xi
SEPATAH KATA PENULIS

Puji dan syukur hanya untuk Allah, Tuhan seluruh umat


manusia. Salam sejahtera dan keselamatan untuk Nabi terkasih
dan untuk kita semua.

Buku ini ditulis dalam rangka memperingati 1000 hari K.H.


Abdurrahman Wahid, Gus Dur. Ia sesungguhnya merupakan
perluasan melalui penambahan di sana sini dari tulisan saya yang
pernah dimuat dalam buku Bertahta dalam Sanubari, kumpulan
tulisan tentang Gus Dur yang diterbitkan pada 40 hari beliau
pulang. Saya menulis epilog dalam buku itu. Begitu saya membaca
ulang tulisan tersebut, sangatlah terasa bagi saya, betapa masih
terlampau banyak yang tertinggal dari ingatan dan kenangan saya
membaca dan bersama beliau dalam ruang dan waktu yang
berbeda dan beragam.

Sampai hari ini, telah lima belas tahun, saya masih berada di
rumah beliau, bersama-sama menjalin persahabatan, kekeluarga­
an, dan keakraban dengan orang-orang terkasih beliau: lbu Shinta
Nuriyah, Alissa, Yenny, Nita, dan Ney. Pada hari-hari tertentu
saya masih makan, minum, bercanda, berceloteh dan berdiskusi,
nonton film dalam Gala Premier, atau makan malam bersama
mereka. Betapa banyak hari-hari yang saya lalui di rumah itu, baik
ketika Gus Dur masih di sana maupun hari-hari sesudah beliau
pindah rumah untuk selama-lamanya. Ini tentu saja banyak hal
yang terekam dalam memori saya yang bisa ditulis.

xiii
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Kenangan itu begitu manis, dan saya selalu ingin menulis­


kannya lagi untuk menjadi dokumen pribadi saya sendiri, maupun
mungkin saja bermanfaat bagi teman-teman, sahabat-sahabat,
para pengagum, pecinta, dan para Gusdurian.

Telah beratus buku tentang Gus Dur dengan seluruh dimensi­


nya ditulis dan dipublikasikan, termasuk dimensi sufismenya
sebagaimana yang saya tulis dalam buku ini, oleh banyak orang.
Meski demikian, saya ingin mengambil bagian lain dari dimensi
ini yang mungkin saja masih tercecer. Melalui buku ini saya ingin
menghubungkan sufisme Gus Dur dengan para sufi besar lain yang
melegenda, menguasai, mempengaruhi atau menginspirasi pikiran
dan kebudayaan manusia di dunia sampai hari ini, meski telah
berlalu berjuta hari dan beribu tahun. Beberapa di antara mereka
adalah Abu Yazid al-Bisthami, Husein Manshur al-Hallaj, Abu
Hamid al-Ghazali, Ibn Arabi, Jalal al-Din Rumi, lbnu Athaillah al­
Sakandari, dan lain-lain. Mereka adalah ikon-ikon dan para master
dalam mistisisme Islam. Karya-karya mereka maupun cerita­
cerita tentang mereka masih dibaca dan didendangkan berjuta­
juta orang di banyak ruang dan waktu, dalam situasi bernuansa
sakralitas yang melankolis maupun profan yang hingar-bingar.

Saya juga ingin mengambil corak lain yang dalam bacaan saya
belum terlalu banyak ditulis orang. I a adalah puisi, syair atau
aforisme-aforisme yang relevan. Saya menuliskannya meningkahi
narasi prosais. Ini adalah corak yang hampir selalu ada dalam
tulisan para sufi dan para bijak-bestari besar. Mereka adalah
manusia-manusia yang terns mencari dan mencari asal usul segala
dan acapkali menemukan realitas-realitas dalam semesta yang
menakjubkan, sekaligus menggelisahkan dan mendebarkan.
Puncak dari segala ketakjuban mereka adalah keniscayaan Realitas
Tunggal yang tak termaknai, tan kinaya apa pun. Dia adalah Tuhan
Yang Maha Esa. Penemuan sekaligus pertemuan dengan Sang

xiv
Sepatah Kata Penulis

Realitas seringkali tak bisa mereka ungkapkan dengan narasi­


narasi prosais. Bahkan memang sering tak masuk akal.

Untuk kerja penulisan ini saya ingin menyampaikan terima


kasih sebesar-besarnya kepada istri saya tercinta, Lilik Nihayah
Fuady yang telah memberikan waktu bagi saya yang semestinya
saya berikan kepadanya. Terima kasih yang besar juga saya
sampaikan kepada anak-anak saya: Hilyah Awliya, Layali Hilwah,
Muhammad Fayyaz Mumtaz, Najla Afaf Hammada, dan Fazla
Muhammad. Mereka adalah buah hati yang selalu memberikan
saya kegembiraan, kedamaian, dan daya spiritualitas untuk
pengembaraan saya untuk waktu yang tak pasti. Semoga Tuhan
senantiasa membimbing mereka dalam menempuh dan
menemukan kehidupan yang damai dan menjadi saleh. Semoga
Allah memberkati mereka semua.

Tidak lupa terima kasih saya sampaikan kepada teman-teman


Fahmina, para santri, dan para mahasiswa lnstitut Studi Islam
Fahmina, tempat saya bisa berbagi cerita dan menumpahkan
kegelisahan intelektual dan spiritualitas saya. Betapa saya selalu
berharap mereka meneruskan cita-cita saya: membangun
kehidupan bersama dalam cinta dan kasih. Ini adalah pesan utama
yang saya terima dari Gus Dur.

Terakhir ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Ibu


Shinta Nuriyah, orang yang sangat saya hormati dan yang selama
14 tahun menyambut saya dengan tulus serta memberi ruang
kepada saya untuk mengenal Gus Dur dari dalam rumahnya.
Demikian juga kepada putri-putri tercinta beliau: Alissa
Qotrunnada, Zannuba Arifah Chafsah, Anita Hayatunnufus, Inayah
Wulandari. Gus Dur mencintai mereka. Saya mencintai Gus Dur.
Maka saya mencintai orang-orang kepada siapa Gus mencintainya.
Secara khusus terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Alissa,
yang sudah berkenan memberikan pengantar untuk buku ini.

xv
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Kepada semua orang yang sudah saya sebut dari awal hingga
akhir, semoga Allah menganugerahi mereka kebahagiaan dan
keberkaban yang melimpab. Semoga mereka tetap setia dengan
seluruh ketabahannya melanjutkan jejak langkah suami dan ayah
mereka: bekerja bagi kemanusiaan.

Husein Muhammad

xvi
DAFTAR ISi

Pengantar Redaksi os v
Kata Pengantar: Alissa Wahid os vii
Sepatah Kata Penulis os xiii
Daftar Isi os xvii

Prolog
GUS DUR, SANG IKON PECINTA MANUSIA os 1

#1
MATAHARI TELAH PULANG os 11

#2
MEMPEREBUTKAN MAKNA GUS DUR os 19

#3
RELA MENANGGUNG LUKA os 37

#4
PLURALISME GUS DUR, GAGASAN PARA SUFI os 51

#5
"SANG ZAHID" DI RUMAHNYA � 67

XVII
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

#6
SANG ZAHID SERING TAK PUNYA UANG ca 93

#7
ZUHUD DAN ZAHIDca 101

#8
MISTERI SANG ZAHID ca 107

#9
TAREKAT DAN DOA-DOA GUS DUR ca 117

#10
ZIARAH GUS DUR ca 131

#11
DOA UNTUK SANG ZAHID ca 141

Epilog
SANG PENGEMBARA: SELAMAT DATANG ca 149

DAFfAR BACAAN ca 159


TENTANG PENULIS cs 163

xviii
Prolog
GUS DUR, SANG IKON PECINTA
MANUS IA

Sulit untuk dapat disangkal bahwa Gus Dur adalah simbol dan
ikon pembaruan dalam pemikiran dan kehidupan sosial dalam
dunia muslim, khususnya di Indonesia. Hampir seluruh hidupnya
diabdikan bagi kepentingan ini. I a hadir dengan pikiran dan
gagasan yang sungguh-sungguh mengagumkan, mencerahkan
sekaligus menggairahkan bagi upaya-upaya pembaruan ini.
Sumber-sumber intelektualismenya sangat luas, mendalam, dan
terbuka. Gus Dur tidak hanya menguasai khazanah keilmuan Islam
klasik yang menjadi basis pengetahuan awalnya, tetapi juga
pengetahuan sosial, budaya, seni, sastra, politik, dan agama-agama
dunia. Pengetahuan Gus Dur melampaui sekat-sekat primord ial­
isme. la membaca dengan lahap dan menyerap dengan riang
pikiran-pikiran para tokoh dunia, klasik maupun modern, tanpa
melihat asal usul dan keyakinan mereka. Gus Dur bukan hanya
memahami semuanya itu dengan sangat baik, melainkan juga
mengapresiasi dengan sepenuh hati.

Sebagai ikon, simbol atau kode, Gus Dur dimaknai secara


beragam dan warna-warni. Selalu ada yang mengagumi dan dalam
waktu yang sama ada pula yang mengecamnya, tetapi ada juga
yang diam, tak paham dan kebingungan. Ikon selalu menyimpan
kebesaran, dan Gus Dur adalah tokoh besar dalam dunia Islam.
Namanya dikenal di banyak tempat di dunia. S e bagian

1
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

menempelkan namanya dalam karya arsitektur atau jalan raya.


Seperti tokoh besar pada umumnya, pikiran dan gagasannya acap
mengejutkan dan membingungkan banyak orang. I a dianggap
sering menyampaikan pikiran-pikiran yang kontroversial dan
inkonsisten. Teramat banyak para pengkaji Gus Dur, apalagi
masyarakat pada umumnya, terperangkap dalam kegalauan yang
luar biasa untuk bisa menangkap dan memahami pikiran-pikiran,
gagasan-gagasan, dan langkah-langkahnya yang kontroversial itu.
Kegalauan ini tampaknya bukan hanya karena Gus Dur memiliki
pandangan yang beragam, berwarna, dan berbeda-beda atas
masalah yang sama. Inkonsistensinya juga bukan karena dia ingin
memuaskan semua pihak dengan kualitas intelektual yang
beragam dan bertingkat, meskipun mungkin saja demikian. Alih­
alih dia punya hasrat ingin dikenal dan populer sebagaimana
dikatakan dengan sinis oleh sebagian orang. "Khalif Tu'raf',
berbedalah, engkau pasti populer, kata mereka. Gus Dur yang
kontroversial itu boleh jadi lebih karena dia sendiri mengalami
pergulatan intelektual dalam dirinya tanpa bisa dihentikan.
Pikirannya terus saja berjalan, menjelajah, dan mengejar-ngejar
setiap waktu dan dalam kadar yang sangat dinamis, sejalan dengan
gerak kehidupan umat manusia. Situasi-situasi ini menghadirkan
kenyataan-kenyataan yang berubah dan berkembang. Mungkin
juga karena Gus Dur, seolah tak sabar, ingin mempersembahkan
pengetahuannya bagi perubahan sosial yang dikehendaki. Yakni,
sebuah wujud sosial yang adil dan sejahtera, sebelum masyarakat
siap menerimanya. Tidaklah mengherankan jika, karena itu, tidak
sedikit orang sering menyebut pikiran dan gagasan Gus Dur
melampaui zamannya. Banyak orang tidak memahami jalan
pikirannya ketika ia disampaikan. Tetapi, dengan berjalannya
waktu dan kehidupan makin cerdas, pikiran-pikiran itu baru dapat
dipahami. Ini bagi saya memperlihatkan tanda seorang "hakim"
(arif, bijak bestari), seorang sufi atau "wali' sebagaimana sembilan

2
Prolog

wali dalam konteks Indonesia. Mengenai pelampauan pikirannya


yang mendahului zaman ini, saya ingin mengutip syair seorang
sufi besar yang nama dan pikirannya sering disebut Gus Dur, lbnu
Athaillah al-Sakandari:

"Cahaya para bijak-bestari mendahului kata-katanya. Ketika batin


telah tercerahkan, kata-kata mereka sampai."'

Inkonsistensi Gus Dur bagi saya adalah hanya pada isu-isu


partikular, dan ini adalah situasi yang wajar dan selalu dihadapi
oleh siapa saja. Imam al-Ghazali, misalnya, pemikir, teolog, ahli
hukum, dan sufi besar yang sering disalahpahami dan dianggap
atau bahkan dikecam banyak orang sebagai tokoh paling
inkonsisten. Dia mengkritik dan menyerang para filosof di satu
sisi dan mengapresiasi logika Aristotelian di sisi lain. Sekali lagi,
hal ini terjadi karena selalu dia harus dalam situasi yang berubah­
ubah, audien yang berbeda-berbeda, dan hal-hal lain yang
memaksanya untuk bicara dengan bijak. Akan tetapi, dia sungguh­
sungguh konsisten pada tujuannya, yaitu menghidupkan dunia
kemanusiaan, melalui beragam mekanismenya: antara lain,
penegakan Hak-Hak Asasi Manusia, Pluralisme, Demokrasi, dan
puncaknya adalah Cinta.

Memikirkan Manusia
Sebagaimana para sufi besar, Gus Dur adalah seorang yang
selalu berkehendak hidupnya diabdikan sepenuhnya bagi manusia
dan kemanusiaan. la tak memikirkan dirinya sendiri. Justru Gus
Dur sepertinya tak peduli terhadap dirinya sendiri dan keluarga­
nya, meski dia tetap mencintai dan menyayangi mereka. Ia

' Baca: lbnu Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam, No. 182.

3
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

memiliki sumber inspirasi bagi gagasan ini sebagaimana para sufi


memilikinya. Salah satunya adalah teks suci kenabian (hadits
Qudsi):

•Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, sebuah misteri.


Aku rindu untuk dikenal. Maka aku ciptakan makhluk. Lalu berkat
Aku mereka mengenal-Ku.•

Makhluk dalam hadits ini tidak lain adalah manusia sebagai


mikrokosmos, meski sesungguhnya i a juga mencakup makro­
kosmos, alam semesta. Dalam bahasa pesantren, makhluk adalah
Ma SiwaAllah (selain Tuhan). Hadits ini ingin menyatakan bahwa
Tuhan mencintai manusia. Cinta Tuhan kepada manusia adalah
untuk seluruh manusia di manapun ia berada dengan segala
macam identitas primordial yang diciptakan-Nya sendiri. Meski
manusia mendurhakai-Nya, Tuhan tetap saja memberi kegembira­
an dan menganugerahinya segala yang diperlukan bagi hidupnya.
Huwa Alladzi Khalaqa Lakum Mafi al-Ardhi Jami'an (Dialah Yang
Menciptakan untuk kalian semua apa yang ada di bumi), kata al­
Qur'an. Maka dalam pikiran Gus Dur: mengapa manusia tidak
mencintai sesamanya? Mengapa ada manusia yang tidak mencintai
saudaranya dalam kemanusiaan? Manusia adalah juga makhluk
Tuhan yang terhormat dan berharga, karena Dia menghormatinya
dan menghargainya. Mengapa ada manusia tidak saling meng­
hormati dan menghargai sesamanya, hanya karena identitas­
identitasnya yang berbeda semata? Dia mengunggulkannya dari
ciptaan-Nya yang lain. Mengapa ada manusia yang merendahkan
manusia lainnya?

Manusialah, karena itu semua, yang kemudian memperoleh


mandat-Nya untuk mengatur kehidupan manusia di muka bumi.
Manusia adalah Khalifah Allah fi al-Ardh (Mandataris Tuhan di

4
Prolog

muka bumi). Manusialah penerima amanat atau mandat Tuhan


untuk mengelola bumi manusia beserta segala keperluannya. Di
atas landasan spiritualitas inilah Gus Dur berpikir, bergerak, dan
bertindak. Ia selalu saja ingin agar manusia dihargai dan dihormati
sebagaimana Tuhan menghormatinya. Sebagai makhluk Tuhan,
manusia adalah setara di hadapan-Nya. Maka identitas-identitas
asal yang diciptakan Tuhan dan label-label yang dilekatkan
masyarakat kepada manusia; ras, warna kulit, jenis kelamin, asal­
usul, agama/keyakinan atau kepercayaan (bila orang ingin
membedakannya), tempat tinggal, kebangsaan, dan lain-Iain, telah
hilang dari perhatian dan penilaiannya. Perhatian dan penilaian
Tuhan ditujukan hanya pada tingkah laku, hati nurani manusia,
kesetiaan mereka kepada Tuhan, dan penghargaan mereka pada
sesamanya. Gus Dur selalu berharap agar manusia senantiasa
bersikap rendah hati.

Manusia dan kemanusiaan adalah fokus pikiran dan perhatian


utama Gus Dur, berhari-hari, siang dan malam dan pada setiap
napas yang berhembus. Ia mencintai manusia. Untuk ini ia bekerja
keras menerjemahkan prinsip-prinsip kemanusiaan ini, baik
melalui tulisan-tulisannya, ceramah-ceramahnya maupun dalam
sikap hidupnya sehari-hari di manapun dan kapanpun. Ia acapkali
menyampaikan di hadapan publik bahwa manusia, apapun latar
belakangnya wajib dilindungi hak-hak dasarnya. Dan untuk hal ini
ia sering paling tidak menyebut lima hak dasar manusia yang harus
dilindungi dan diselamatkan itu. Hak-hak dasar perlindungan ini
diadopsi Gus Dur dari teori Ushul Fiqh (Dasar-dasar Hukum) yang
ditemukannya dalam kitab klasik pesantren. Ia populer disebut
Al-Kulliyyat al-Khams (Lima Prinsip Kemanusiaan Universal). Ini
pertama kali diperkenalkan oleh ahli hukum sekaligus sufi besar,
Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa min
'Ilm al-Ushul dan diurai panjang lebar oleh ahli hukum dari Granada
yang terkenal, Abu Ishaq al-Syathibi dalam bukunya Al-

5
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

MuwafaqatJi Ushul al-Syari'ah. Lima prinsip dasar kemanusiaan


tersebut adalah Hifzh al-Din (hak beragama/berkeyakinan), Hifzh
al-Nafs (hak hidup), Hifzh al-Aql (hak berpikir dan meng­
ekspresikannya), Hifz al-Irdh wa a.l-Nasl (hak atas kehormatan
tubuh dan kesehatan reproduksi), dan hifzh al-Mal (hak
kepemilikan atas harta/benda). Hak-hak ini bersifat universal atau
al-'Alamiyyah. Menurut Abed al-Jabiri, istilah Al-'Alamiyyyah
atau universal mengandung arti bahwa hak-hak tersebut ada dan
berlaku bagi semua orang di mana saja, tanpa membedakan jenis
kelamin Oaki-laki-perempuan), ras (warna kulit), status sosial
(kaya-miskin), dan sebagainya. Oleh sebab itu, HAM tidak
terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban apapun (la yuatstsir
fiha ikhtilaf al-Tsaqafat wa al-Hadharat), melintasi batas ruang
dan waktu (ta'lu 'ala al-Zaman wa al-Tarikh). HAM adalah hak
setiap manusia karena dia melekat pada diri manusia ('ala al-Insan
ayyan kana wa anna kana).•
Dr. Abd Allah Darraz dalam pengantarnya mengatakan: "Ia
adalah dasar-dasar pembangunan peradaban manusia pada semua
aliran keagamaan yangjika tidak ada hal ini, dunia tidak akan stabil
dan tidak membawa kebahagiaan di akhirat."

Adalah menarik bahwa interpretasi Gus Dur atas lima prinsip


di atas banyak berbeda dengan interpretasi konvensional
sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab klasik, termasuk dua buku
yang sudah disebut. Jika interpretasi konvensional tampak
memperlihatkan makna-makna eksklu sivitasnya, Gus Dur justru
memaknainya secara lebih luas, inklusif, dan kontekstual. Ia tak
selalu patuh pada tafsir-tafsir konvensional-konservatif, meski
tetap menghargainya dan mengadopsinya untuk mendukung
sebagian pikiran-pikirannya. Dalam tafsir-tafsir konvensional, hak

' Mohammad Abed al-Jabiri, Al-Dimuqrathiyyah wa Huquq a/-/nsan, cet. ke-2,


(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-'Arabiyyah, 1997), him. 145-146.

6
Prolog

perlindungan atas agama/keyakinan (hijzh al-din), misalnya,


memiliki konsekuensi kewajiban jihad, larangan murtad (pindah
agama) dan bid'ah. Jihad dalam terma konvensional hampir selalu
dimaknai perang militeristik dengan seluruh agresivitasnya. Gus
Dur justru memaknainya dengan sebaliknya. Untuk tema ini ia
memperjuangkan sistem sosial antikekerasan, penghapusan
hukuman mati, kebebasan beragama/berkeyakinan, dan meng­
hargai inovasi-inovasi dan kreativitas kebudayaan yang beragam.
Komitmen Gus Dur untuk hal ini ditunjukkan, antara lain dengan
keputusannya memberikan hak hidup agama Kong Hu Cu. Ia juga
tidak memaknai Jihad sebagai perang militeristik, tetapi sebuah
perjuangan dalam maknanya yang luas. Keberaniannya mengusul­
kan pencabutan TAP MPRS XXV tahun 1966, misalnya, jelas
menunjukkan atas perjuangan visi tersebut. Meski usulan ini
mengundang kontroversi hebat di tengah-tengah masyarakat dan
Gus Dur dituduh sebagai orang yang hendak menghidupkan
komunisme yang ateis, ia tetap teguh dengan pendiriannya. Dalam
wacana konvensional tentang hifzh al-nafs (hak hidup/life right),
diinterpretasikan antara lain sebagai kewajiban Qisas (hukuman
yang sama), sementara Gus Dur justru menentang hukuman mati.
Tentang hifzh al-'aql dimaknai secara konvensional memiliki
konsekuensi larangan mengonsumsi minuman keras dan hal-hal
yang memabukkan serta segala yang merusak aka!, Gus Dur justru
menerjemahkannya lebih jauh dari itu dan lebih mendasar. Ia
memaknainya sebagai hak atas kebebasan berpikir, berpendapat,
dan berekspresi, hak berorganisasi, dan sebagainya. Gus Dur juga
satu-satunya orang yang membela Tabloid Monitor ketika
dibredel pemerintah, gara-gara tulisan Arswendo Atmowiloto
yang dianggap banyak orang menghina Nabi Muhammad Saw. Bagi
Gus Dur, negara tidak berhak ikut campur dalam pilihan-pilihan
masyarakat atas suatu ideologi atau pikiran/pendapat. Hal yang
sama juga terjadi pada kasus Salman Rushdie yang menulis buku

7
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

paling kontroversial: The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan).


Baginya buku ini adalah sebuah buku novel yang bagus, meski
dari segi isi dia tak setuju. Dia ingin mengajak orang untuk
membaca karya sastra ini dengan jernih. "Mari kita lihat lebih
Iapang. Ini sebuah novel, karya sastra yang harus dipahami secara
sendiri. Membaca novel tidak sama dengan membaca statement.
Soal isinya yang menghina Nabi, saya sendiri juga tidak setuju,"
ungkap Gus Dur. "Dengan cara itulah seharusnya kita melihat novel
itu. Saya tidak percaya ada orang murtad karena membaca buku
Satanic Verses." Gus Dur memang keberatan bila hanya karena
soal ini sebuah buku dan setiap karya intelektual harus dilarang
oleh negara.

Ketika masih banyak ulama menerjemahkan hifzh al-nasl


sekadar anjuran menikah, berketurunan, melarang perzinahan dan
proteksi ketat atas tingkah laku perempuan serta ketabuan atas
hak-hak seksualitas mereka, Gus Dur memaknainya secara lebih
luas dan mendalam. Hifzh al-nasl baginya bermakna perlindungan
atas hak-hak seksualitas dan atas kesehatan reproduksi. Ia
menerima dengan tangan terbuka orang semacam Dorce yang
harus berganti kelamin dan Inul Daratista yang lihai menggoyang­
goyangkan bagian tubuhnya. Ia juga bersedia menjadi penasehat
kelompok dengan orientasi seksual yang tidak laziin, tidak umum,
tidak mainstream.
Melalui interpretasi-interpretasi Gus Dur yang genuine,
mendasar, dan kontekstual sebagaimana contoh di atas, tampak
sekali bagaimana ia dan betapa komitmennya dalam memper­
juangkan terwujudnya penghargaan dan penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia. Bagi Gus Dur prinsip-prinsip kemanusiaan
universal atau hak-hak asasi manusia tersebut sejalan dengan dan
tidak lain adalah visi agama-agama, terutama Islam. Dari basis
pikiran-pikiran ini, lalu mengalirlah gagasan-gagasan Gus Dur yang
lain: Pluralisme, Toleransi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan

8
Prolog

tema-tema kemanusiaan lainnya. Oleh karena itu, Pancasila dan


Konstitusi Negara Republik Indonesia yang di dalamnya
mengandung semua isme dalam pandangannya adalah kompetibel
dengan Islam.

Gus Dur tak henti-hentinya mengerahkan tenaga dan


pikirannya memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan
universal ini dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat. Perjuangan itu dilakukannya dengan setulus hati.
Baginya nilai-nilai tersebut adalah akar bagi sebuah bangunan
masyarakat yang adil dan sejahtera. Dan pada akhirnya ia
merupakan komitmen yang nyata bagi penegakan prinsip funda­
mental Islam: Tauhid, Ke-Esa-an Tuhan. Dengan begitu, Gus Dur
adalah seorang Muwahhid-Mukhlish (seorang yang mengesakan
Tuhan dengan setulus-tulusnya). Jika sufi, martir-legendaris, al­
Hallaj berteriak: "Akulah Kebenaran," maka Gus Dur mungkin
bilang: "Akulah Kemanusiaan." Ya, Gus Dur adalah sang pecinta
manusia sebagai manusia dengan seluruh makna kemanusiaannya.

Hari ini dan seterusnya, ketika relasi antarmanusia di negeri


ini sedang memasuki sirkuit kemelut, bagai benang kusut dan
mencemaskan, kita sungguh-sungguh sangat membutuhkan
lahirnya orang-orang dan pemimpin-pemimpin seperti Gus Dur.
Meski ia harus menanggung duka Iara karena pikiran dan aksi­
aksinya yang mengundang kecemasan, kegeraman, dan kebencian
sebagian orang, atau bahkan sebagian besar orang di negerinya,
ia tetap berjalan dengan tegap dan tenang disertai kewibawaan
yang penuh dan kharismanya yang mengagumkan. Mereka boleh
saja dan memang berhak untuk tidak setuju dengan eksistensi Gus
Dur, namun sejarahlah yang akan mencatat dan menyampaikan
kabarnya.

9
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Saya selalu mengingat kata-kata pemikir al-Qur'an dari Mesir,


Dr. Amin al-KhuJi:3

•rerkad a ng sebu ah pem i kiran d i angga p sebagai kekafiran,


diharamkan dan diperangi, tetapi ia kemudian seiring dengan gerak
zaman pemikiran itu menjadi mazhab, keyakinan dominan, dan
gagasan perbaikan di mana dengannya kehidupan terus mela ngka h
ke depan.••

Manakala Gus Dur sudah pergi dan tak lagi bersama kita
secara fisikal, maka kita tetap mengharapkan lahirnya orang-orang
yang meneruskan semangat dan ruhnya. Ruh Gus Dur tetap hidup.
Ia ada di mana-mana, dalam tulisan-tulisannya sendiri, tulisan­
tulisan orang lain yang menerjemahkannya, dalam pikiran para
pengagumnya maupun dalam cerita-cerita teman-teman dan
murid-muridnya yang setia dan mengerti.

' Amin al-Khuli adalah Amin lbn Ibrahim Abdul Baqi' lbn Amir lbn Ismail lbn
Yusuf al-Khuli. Lahir 1895 d i Mesir. la dikenal sebagai pembaru dalam kajian
metodologi tafsir al-Qur'an. Al-Khuli, suami ahli tafsir perempuan, Aisyah bint
al-Syathi, adalah orang kedua yang diutus Universitas al-Azhar, Kairo, mengikuti
seminar internasional tentang agama-agama di Brussel. Namanya dikenal sebagai
pelopor kajian tfsir dengan pendekatan sastra (al-Manhaj al-Adaby). Karya-karyanya
antara lain: Fi al-Adab al-Mishri dan Fann al-Qawl dan Manahij al-Tajdid fi
an Nahwi wa al Balaghgha wa al Tafsir wa al Adab. la meningga l tahun 1 966.
• Amin al-Khuli, Manah ij al-Tajdid fi an Nahwi wa al Balaghgha wa al Tafsir wa al
Adab, (Ka i ro: Hai'ah Mishriyyah al-'Ammah I i al-Kitab, Kairo, 1995).

10
#1
MATAHARI TELAH P ULANG

LangitDesemberyangMurung
Pukul 19.00, satu hari menjelang tahun 2009 berganti, HP
tiba-tiba berdering dan bergetar-getar, mengganggu makan
malam gratis saya di rumah makan "Jepun", di bilangan kampus
IAIN Syeikh Nurjati, Cirebon, milik Nur, sahabat saya. Jay,
wartawan Koran Sindo mengonfimasi kabar mengejutkan.
"Bagaimana Gus Dur, aku dengar beliau wafat," katanya tegang.
Dengan dada berdegup, saya segera menghubungi A.W. Maryanto,
teman yang selalu mendampingi Gus Dur di rumah sakit.
Jawabannya tak meyakinkan. Katanya, "Aku baru saja istirahat
dari rumah sakit, dan sekarang sedang makan. Pukul 17.00 tadi,
18 orang dokter khusus telah memeriksa kesehatan Bapak dan
beliau sudah membaik." Tetapi saya penasaran. Yenny, putri
kedua Gus Dur, saya kontak. "Bapak wafat, Mbak Yenny di dalam,"
suara Inayah, putri bungsunya, lirih bergetar, tersekat dan singkat.
Dan saya terkulai lemas. Langit 30 Desember 2009 tiba-tiba
menjadi murung. Saya segera SMS Ibu Shinta, istri tercinta Gus
Dur. "Ibu, saya sangat menyesal tidak berada di samping Bapak,
seperti sebelumnya, mohon maaf." Ya seperti sebelumnya ketika
Gus Dur beberapa kali berada di Rumah Sakit Cipto Mangun­
kusumo, saya menjenguknya sekaligus mendoakan kesembuhan­
nya dengan segera. Dan saya merasa mendapat kehormatan, ketika

11
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

pada suatu saat beliau meminta saya berdoa bagi kesehatannya.


Manakala saya berdoa di hadapannya, dengan tetap berbaring di
tempatnya, didampingi Ibu Shinta, istrinya yang setia dan orang­
orang yang hadir, Gus Dur dan mereka mengamininya.

"Kita barns berangkat ke Jakarta sekarang juga," kata saya


kepada istri saya, Lilik Nihayah Fuadi. Tanpa berkata apa-apa, dia
segera berpakaian dan membawa barang-barang seperlunya.
Sepanjang jalan dari Cirebon ke Ciganjur, SMS teman-teman dari
segala macam identitas diri; kiai, santri, abangan, pendeta, romo,
bhikku, penganut Konghuchu dan Ahmadiyah, terus berhamburan
masuk ke HP saya. Mereka menyatakan duka nestapa teramat
dalam dan rasa kehilangan atas kepergian orang yang dicintainya.
Saya tak mengerti mengapa mereka mengirim SMS, selain ingin
mengabari saya tentang wafatnya Gus Dur dan mendoakan bagi
orang yang mereka kagumi dan keluarga yang ditinggalkannya.
Saya membalasnya singkat: "Dia yang selalu membagi kegembi­
raan, cinta, dan harapan kepada bangsa, negara, dan mereka yang
tak berdaya, telah kembali kepada Kekasihnya, dalam damai
abadi."

Perjalanan Cirebon-Jakarta terasa begitu amat sangat lambat,


meski tak ada aral melintang; antrian kendaraan yang panjang
akibat truk yang berhenti di tengah jalan atau perbaikan jalan
Pantura yang hampir sepanjang tahun berlubang-lubang. Dini hari
yang sejuk, pukul 03.00, ketika saya tiba di mulut jalan Warung
Sila, saya melihat sepanjang jalan sampai rumah duka, karangan
bunga berwarna-warni, tanda duka cita, berjejer tak berjarak,
berserak dan bertumpuk, bagi "Presiden ke-4", bukan "Mantan
Presiden". Saya tak bisa menghitung jumlahnya. Suasana duka
sangat terasa di jalan itu, meski sudah lebih lengang daripada jam­
jam sebelumnya. "Beberapa jam sebelumnya jalan ini macet total.
Ratusan kendaraan dan pejalan kaki seakan tak bergerak. Stagnan,"
ujar teman yang saya temui di situ. Semuanya sengaja datang ke

12
Matahari telah Pulang

Ciganjur, ke rumah Gus Dur, menyambut kedatangannya dan


menyampaikan ta'ziyah kepada keluarganya. Ta'ziyah adalah kata
Arab yang mengandung arti ucapan rasa duka cita dan mengharap
ketabahan, kesabaran, dan ketulusan bagi keluarga yang
ditinggalkan. Ketika saya tiba di pintu masuk, ratusan orang masih
berjaga di ruang-ruang di sekitar rumah. Masjid al-Munawwaroh,
tempat Gus Dur mengaji kitab al-Hikam (Kearifan-kearifan), karya
lbnu Athaillah dari Iskandariah, seorang sufi besar, dan kitab­
kitab yang lain, masih gemuruh dengan bacaan ayat-ayat suci al­
Qur'an, khususnya Surat Yasin. Saya segera masuk rumah. Jenasah
sudah dibaringkan. Wajah Gus Dur yang tertutup kelambu putih
yang tipis, terlihat jelas, seakan-akan sengaja dibiarkan demikian
agar para pelayat bisa melihatnya. Saya segera mendapat giliran
entah untuk yang keberapa puluh kali, memimpin shalat jenasah,
"Kullu Nafsin Dzaiqah
tahlil dan berdoa. Dan saya berucap lirih:
al-Maut. Wa Innama Tuwaffauna Ujurakum Yawm al-Qiyamah.
Fa Man Zuhziha 'an al-Nar Fa Qad Faaza. Wa Ma al-Hayah Illa
Mata'al-Ghurur" (Tiap-tiap yang berjiwa akan mengalami
kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan, {Q.S. al-Baqarah [2]:185}).

Di hadapan tubuh yang masih utuh itu, saya tiba-tiba saja


teringat kata-kata bijak dalam sebuah buku tasawuf: "Ketika jiwa
pergi dalam keadaan bersih, tanpa membawa serta bersamanya
hasrat-hasrat rendah duniawi yang menciptakan ketergantungan,
yang selama hidupnya selalu dihindari dan tak pernah dibiarkan
menguasi diri; menjadi diri sendiri dan menempatkan perpisahan
jiwa dari badan sebagai tujuan dan bahan permenungan. Maka
jiwa itu telah siap untuk memasuki wilayah kasat mata ('Alam al­
Musyahadah) di mana para bijak-bestari tinggal."

13
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Ya, itulah jiwa yang telah matang. Ia yang hatinya telah


menjadi hati orang-orang yang ditinggalkannya, yang disayangi
dan dicintainya. Ia yang telah membagi cinta kepada mereka yang
hatinya remuk-redam, tak berdaya, dan tanpa gantungan. Ia yang
bicara begitu bebas, tanpa beban, polos, karena tak punya hasrat
rendah apapun dan tak tergantung pada siapapun, kecuali kepada
Tuhan. Ia yang tak pemah peduli dengan gelar-gelar kehormatan
yang dianugerahkan dunia kepadanya. Ia yang pikirannya mampu
menjangkau masa depan dan melampaui zaman, tetapi yang tetap
bisa bertahan dengan kokoh menjalani tradisinya. Ia yang tak
pernah gentar untuk melawan setiap tangan tiranik dan korup. Ia
yang tak mau kompromi terhadapnya dan tak peduli pada cibiran,
cemooh, dan sumpah serapah orang kepadanya.

Begitu usai, saya masuk ke bagian dalam rumah yang kamar­


kamarnya sudah lama saya hapal, baik yang lama maupun yang
sekarang ditempati. Mencari Ibu Shinta. Thu ternyata sudah di
dalam kamarnya yang tampak remang, didampingi tiga putriya,
tentu dalam rinai tangis yang mengiris. Saya tak bisa menemui
beliau untuk ta'ziyah, membesarkan hatinya dengan kesabaran
dan ketulusan melepas suami tercintanya, orang yang selalu
bersamanya dalam suka maupun duka selama berpuluh tahun
beribu hari. Begitu cara berta'ziyah yang saya terima dari
pesantren. Saya hanya bertemu Lissa, putri pertamanya dan
menyampaikan ta'ziyah itu. Matanya masih tampak Iebam dengan
wajah sendu, tak bergairah, meski tetap bisa senyum. Saya diminta
mengantarnya untuk melihat ayahnya, membuka tirai yang
menutup wajahnya, Ialu membaca tahlil dan berdoa di depan
tubuhnya yang tak Iagi bisa bergerak-gerak. Lissa tertunduk lesu
dan terisak-isak lirih. Kami melihat dengan jelas wajah Gus Dur,
sungguh, tampak ceria, tenang, dan teduh. "Wahai jiwa yang
tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan tulus dan diridhai­
Nya. Amin." Ayat suci ini saya baca berulang.

14
Matahari telah Pulang

Masih dalam posisi berdiri sambil menunduk, saya segera


teringat kembali syair yang acapkali ditembangkan Gus Dur:

Ketika ibu melahirkanmu, Wahai anak cucu Adam


Engkau menangis, sedang orang-orang di sekitarmu
Menyambutmu dengan riang
Maka, bekerjalah sungguh-sungguh untukmu sendiri
ketika engkau tak lagi bersama mereka selamanya,
mereka menangis tersedu-sedu
Sedang engkau pulang sendiri
Dengan senyuman menawan

Seperti bunyi syair di atas, ribuan orang di seluruh negeri,


malam itu, berduka dan menangis tersedu-sedu. Sebagian histeris,
meski tak dibolehkan Nabi, dan sebagian lagi diam, membisu,
dengan wajah lesu, tak bergairah. Sementara Gus Dur memang
pulang sendirian dengan riang. Beliau akan segera memasuki
gerbang rumah abadi yang damai. Usai shalat subuh dan ketika
matahari beranjak naik, jenasah dibawa dan diantar dengan
kehormatan kenegaraan, menuju Bandara Halim Perdana Kusuma
dan terus ke rumah asal Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang, Jawa Timur. Di sana jenasah akan diistirahkan untuk
selama-lamanya di samping ayah; K.H. Wahid Hasyim dan
kakeknya; Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari. Para santri biasa
menyebut Gus Dur, ayah dan kakeknya yang amat dihormati
dengan "al-Karim Ibn al-Karim Ibn al-Karim" (Orang yang mulia
putra orang yang mulia putra orang yang mulia). Kaum bangsawan

15
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Jawa mungkin menyebutnya: "Gus Dur adalah seorang darah biru


putra seorang darah biru putra seorang darah biru."

Ketika matahari pagi telah bertengger sedepa, jenasah yang


sudah dibungkus rapi dengan rangkaian bunga khas diletakkan di
atasnya, itu dibawa ke luar rumah ketika Presiden Susilo Bambang
Yudoyono datang. Pasukan segera disiapkan dan penghormatan
kenegaraan dilakukan di bawah komando presiden. Seluruh
hadirian menundukkan wajahnya. lbu Shinta dan keempat anaknya
mengiringi di belakang peti jenasah dengan wajah tanpa gairah.
Saya terlambat mendaftar untuk ikut bersama rombongan naik
pesawat menuju Surabaya lalu ke Jombang. Maka saya bersama
ratusan orang lainnya yang menunggu dengan setia keberangkatan
jenasah hanya melepaskan beliau dari depan rumah duka itu sambil
terus berdoa untuk keselamatan jenasah dan para pengantarnya
sampai tempat tujuan. Langit biru bening dilapisi awan putih
berarak, bergerak pelan-pelan mengantar pesawat yang membawa
jasad Gus Dur.

Di Kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang, tempat peristi­


rahatannya yang terakhir, beberapa saat lagi, sebelum tubuhnya
diturunkan ke bumi, Gus Dur mungkin masih membagi kegem­
biraan dan pesan kepada para pengantarnya untuk tidak menangisi
kepulangannya, seperti pesan Maulana Jalaluddin Rumi.1

' Jalal a-Din Rumi, lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul
Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 M. la wafat 1 6
Desember 1273 di Konya, Anatolia, Turki. Mawlana Rumi adalah seorang penyair
sufi terbesar sepanjang sejarah. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama
Bahauddin Walad. lbunya berasal dari keluarga Kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi
seorang cendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang
syaikh terkenal di Balkh. Rumi menu I is sejumlah karya sastra; puisi dan prosa.
Antara lain: Matsnawi, kumpulan puisi, terdiri dari 26 ribu bait. lni karya
terbesarnya. Karya lainnya: Diwan Syams-i Tabrizi, Ruba'iyyat, dan Fihi Ma Fihi
yang dalam bahasa lnggris diartikan sebagai 'Discourses•. lni karya prosa Rumi
yang terpenting.

16
Matahari telah Pulang

Jangan menangis: •Aduhai kenapa pergi!•


Dalam pemakamanku
Bagiku inilah pertemuan yang bahagial
,

� , .; ,.
"J J'-'• !I ,. ��
>•

_,ri �lJ .:;;..; 1

!�_µ.!.:.l\ J10'i1 ;Wt;


Jangan katakan, •selamat tinggai•
Ketika aku dimasukkan ke liang lahat
ltu adalah tirai rahmat yang abadi!

Kau telah melihat tubuhku diturunkan


Tapi Iihatlah,
sekarang ia naik ke puncak cakrawala. (091 1)

Di lain tempat Rumi mengatakan:

Bila datang ke makamku


Untuk mengunjungiku
Jangan datang tanpa genderang
Karena pada perjamuan Tuhan,
Orang berduka tidak diberi tempat

Saya merenung-renung kata-kata Rumi itu. Mengapa orang


tak boleh menangisi kepergian seorang kekasih? Siapapun dan di
manapun akan mengatakan bahwa perpisahan, kepergian, dan
lambaian tangan kekasih akan selalu seperti tak punya perasan,

17
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

menyakitkan dan menitipkan duka. Akan tetapi, saya segera


menemukan pelajaran dari banyak teks suci bahwa kematian
bukanlah kematian. Ia adalah sekadar pindah atau meninggalkan
tempat saja menuju ke tempat lain.

Kata orang di dunia Barat yang beriman: "Death is the gate of


life" (Kematian adalah pintu gerbang kehidupan). Ini mengingatkan
kita pada kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sahabat dan
pengganti Nabi yang ke-4:

•Manusia di dunia ini sesungguhnya sedang tidur. Manakala


mati, mereka bangun."

Dan saya begitu yakin, Gus Dur akan mengatakan sebagaimana


kata-kata yang diucapkan sang martir rindu Tuhan, Husain
Manshur al-Hallaj, menjelang kematiannya yang mengenaskan:2

. ....Ju,.j\ ;,.;.
; .,,
,{.�t ....J,, tifl\
.11.. � ,; "f 11..
l) '-!.• /.;.-:..; J$'
; .

•o, Tuhanku, aku kini telah berada di Rumah ldaman. Aku


melihat betapa banyak keindahan yang mengagumkan.•

•cukuplah kematian jadi pintu permenungan."

2 Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah
seorang sufi besar. Lahir di kota Thur di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada
tanggal 26 Maret 866 M. la terkenal karena kata-katanya: •Ana Al-Haqq• (Akulah
Kebenaran). Ucapan ini dipahami mayoritas masyarakat muslim sebagai
"Pantheisme•. Akibatnya, ia dieksekusi mati, pada tanggal 27 Maret 922 M. Para
pengagumnya menyebut dia sebagai "Syahid al-lsyq al-llahi", Sang Martir Rindu
Tuhan. Di Indonesia, paham ini dikembangkan oleh SyaikhSiti Jenar, dan ia pada
akhirnya mengalami akhir hayat sebagaimana Al·Hallaj, berdasarkan vonis para
ulama.

18
#2
MEMPEREBUT KAN MAKNA
GUS DUR

Gus Dur, nama yang akan dikenang rakyat Indonesia berhari­


hari, berbulan-bulan dan bertahun tahun dan untuk rentang waktu
yang panjang. Boleh jadi ia akan menjadi ikon dan legenda dalam
sejarah Indonesia, bangsa muslim terbesar di dunia ini. Beberapa
orang meramalkan Gus Dur untuk satu atau dua abad kemudian
akan berubah menjadi pribadi yang dimitoskan. Kuburnya akan
dikunjungi banyak orang setiap hari, seperti para Walisanga.
Mungkin ini pandangan yang berlebihan bagi manusia yang hidup
hari ini, tetapi masa depan yang panjang adalah kemungkinan­
kemungkinan yang tak terpikirkan. Ketika pikiran-pikirannya
ditulis sebagai babad, sejarah hidupnya didongengkan kepada
anak-anak dan pesan-pesannya dipahat di mana-mana, serta
ketika puisi-puisinya disenandungkan di surau-surau, ia sangat
mungkin menjadi sarat makna mitis, menjadi Sang Legenda.

Ramalan di atas bukan tanpa alasan. Tanda-tandanya telah


nampak. Lihatlah, hari ketika ia wafat. Puji-pujian dan kekaguman­
kekaguman kepadanya mengalir begitu deras dari berbagai sudut,
pojok, pusat lingkaran, dan pinggir sosial yang tak terjamah oleh
tangan kekuasaan. Bunga warna-wami yang wangi dan tertata rapi
menyebar dan berhamburan ke dan di setiap jalan yang dilaluinya,
menumpuk bagai di taman bunga, lalu sebagian daripadanya
ditebarkan di atas tanah, pusara, tempat istirahnya yang terakhir

19
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

dan abadi. Sangatlah terasa dan terlihat dengan kasat mata, pujian
dan kekaguman yang disampaikan orang ketika Gus Dur pulang
begitu besar, tak terbayangkan dan melampaui kematian orang
besar siapapun di negeri ini. Ribuan orang di berbagai kota dan
desa menangis tersedu-sedu, pada hari ditinggal Gus Dur dan hari­
hari sesudahnya. Mereka berduka sambil komat-kamit memanjat­
kan doa ampunan dan rahmat baginya. Lihatlah, ribuan para
peziarah, perempuan dan laki-laki, tua, muda, dan anak-anak, dari
berbagai desa dan kota datang ke tempat peristirahatan terakhir­
nya di Tebuireng. Latar pesantren dan masjid di sana tak lagi
menampungnya. Sekitar 40 ribu orang hadir di sana. Masjid-masjid
di seluruh pelosok negeri segera menyelenggarakan shalat ghaib,
membaca ayat-ayat suci al-Qur'an, Surat Yasin dan Tahlil. Mereka
berdoa agar Tuhan memaafkan kesalahan dan dosanya serta
memohon agar beliau ditempatkan di Pangkuan-Nya dalam
dekapan kasih yang menghangatkan dan mengalirkan kedamaian.
Pahala bacaan-bacaan suci itu dihadiahkan atau dimohonkan
kepada Tuhan untuk beliau. Tuhan Maha Mendengar, Maha Kasih,
dan Maha Mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya. Gereja­
gereja mendentangkan loncengnya, untuk menyelenggarakan
ritual dan doa khusus bagi Gus Dur. Boleh jadi mereka juga
membaca kitab suci: lnjil. Kuil-kuil, Sinagog-sinagog, Vihara­
vihara, Pura-pura, Klenteng-klenteng, dan tempat-tempat
penyembahan kepada Tuhan yang lain, apapun namanya, juga
menyelenggarakan ritual, mantra, dan doa untuknya. Kata mereka,
Gus Dur adalah orang suci, Sang Santo. Ketika kaum Kristiani, umat
Budha, umat Hindu atau jama'at Ahmadiyah, atau berbagai aliran
kepercayaan atau yang lain ditanya tentang Gus Dur, mereka akan
mengatakan: "Apa yang dikatakan dan dijalani Gus Dur, itulah yang
difirmankan Yesus, diajarkan Moses, dituturkan Sang Budha,
disabdakan dalam Baghawad Gita, disabdakan dalam Tipitaka dan
diceramahkan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Melalui beliau

20
Memperebutkan Makna Gus Dur

kata-kata Yesus, Moses (Nabi Musa), Budha Gautama, Gita, dan


Hazrat Mirza, menjadi hidup kembali."

Llhatlah, latar Tugu Proklamasi, di bilangan Menteng, Jakarta


Pusat, sore itu, 31 Desember, tiba-tiba temaram dan memper­
lihatkan wajah sendu. Langit jingga segera memasuki kamar
berganti baju hitam. Tak ada lagi keriangan sebagaimana sore­
sore sebelumnya. Bahkan langit itu kemudian menurunkan hujan
rinik-rintik,
t mengiringi para pecinta Gus Dur yang datang satu­
satu ke tempat itu. Tetesan-tetesan air hujan itu tak mampu
menghalangi mereka untuk hadir di sana. Di saku mereka terselip
lilin yang kelak siap dinyalakan. Di beberapa sudut ada spanduk
bertuliskan "Sejuta Lilin Duka Llntas Iman untuk Gus Dur."

Mereka yang hadir malam itu mengenakan baju keyakinan


yang berwarna-warni, bagai pelangi, indah sekali. Para tokoh itu
di antaranya Ulil Abshar Abdalla, Djohan Efendi, Pendeta Albertus
Pati, Romo Beni Susetya, BM Billah, Todung Mulya Lubis, Syafii
Anwar, dan Sudhamek. Ketika kemudian lilin-lilin dinyalakan satu­
satu, latar Tugu itu kini berubah dan berganti wajah, menjadi
terang benderang, meski hujan saja masih turun. Semua yang hadir
itu menunduk, berdoa ke Hadirat Yang Maha Esa, dengan nama,
sebutan-Nya, dan bahasa yang berbeda-beda, untuk beliau; Gus
Dur. Orang-orang yang paling rasional dan mungkin tak pernah
taat dalam ritual-ritual agama atau kepercayaan, tiba-tiba hanyut
dalam emosi melankoli tak terkendali, termangu, dan menunduk
begitu khusyuk. Logika rasional tiba-tiba membeku di hadapan
realitas kematian bapak bangsa itu. Fakta kematian manusia
memang membingungkan dan mencemaskan para filsuf.

Di tempat lain, di Kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang,


ketika matahari merekah cerah, lihatlah, para bikhu (bhiksu) dan
bhikuni dengan pakaian khas mereka, kuning kunyit tua, ber­
simpuh di depan tanah liat tempat Gus Dur dibaringkan dan
diistirahatkan, sambil menunduk dan menggumamkan doa-doa

21
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

dan puja-puji kudus. Saya dan mungkin kita, tak pernah


menyaksikan pemandangan indah dan mengharukan seperti ini di
manapun di negeri ini.

Lihatlah, bendera merah putih berkibar setengah tiang


selama tujuh hari, memberi hormat kepadanya. Para pemimpin
bangsa dari berbagai belahan dunia segera menyampaikan
belasungkawa, terima kasih, dan harapan-harapan agar cita-cita
Gus Dur diteruskan oleh siapa saja yang masih hidup. Doa-doa,
wirid-wirid, zikir-zikir, dan mantra-mantra mereka bergemuruh
berhari-hari memenuhi ruang maya, menembus langit demi langit
biru bening sampai ujung tanpa batas. Bukan hanya Yusuf Kalla,
mantan Wakil Presiden, atau beberapa tokoh masyarakat, tapijuga
beribu-ribu orang, yang bersaksi bahwa: "Sepanjang sejarah
bangsa ini tak ada orang yang kematiannya diantarkan dengan
kehormatan yang penuh dan didoakan oleh orang dengan beragam
identitas dan dalam jumlah yang begitu massif, kolosal, kecuali
beliau: Abdurrahman Wahid, Gus Dur."

Bagaimana kita bisa memahami fenomena kepulangan Gus


Dur seperti itu? Suara-suara apakah gerangan yang membisikkan
ke telinga dan menggerakkan hati nurani beribu bahkan berjuta
orang untuk mengantar kepulangannya dan berziarah di
pusaranya yang bersahaja itu? Siapakah gerangan yang merasuk
dan menyentuh relung hati beribu orang termasuk para Pendeta,
Romo, Kardinal, Bhiku-Bhikuni, para pengikut Buddha, penganut
Kong Hu Cu, Ahmadi, Bahai, para pengamal dan penghayat
kebatinan-kepercayaan, dan lain-lain, sehingga mereka menangisi
kepulangan Gus Dur? Akal manakah yang sanggup menjelaskan
fenomena kepiluan, kerinduan, dan mabuk kepayang seperti
fenomena kepiluan terhadap orang besar yang satu ini? Tak ada
jawaban rasional dan logis. la mungkin hanya bisa dijelaskan oleh
para bijak-bestari, para sufi, dan orang-orang yang hatinya bening
dan memancarkan cahaya Ketuhanan.

22
Memperebutkan Makna Gus Our

Prosesi pemakaman Gus Dur dengan seluruh fenomenanya


yang menggetarkan seperti itu mengingatkan saya pada seorang
sufi-penyair terbesar sepanjang masa, dari Konya, Turki: Maulana
Jalal al-Din Rumi. Begitu Rumi wafat, 16 Desember 1273, semua
penduduk Konya larut dalam duka, nestapa yang panjang. Mereka
menyelenggarakan ritual, menyenandungkan suasana hati yang
hancur luluh berkeping-keping, menundukkan kepala sambil
mulutnya komat-kamit berdoa baginya dengan penuh khidmat,
berhari-hari selama 40 hari penuh. Jalan-jalan padat dalam
suasana hiruk-pikuk yang luar biasa, konon, "bagai suasana Harl
Kebangkitan." Orang-orang Muslim, Kristen, Yahudi dan sekte­
sekte keagamaan yang lain bergabung untuk memberikan
penghormatan terakhir pada upacara pemakamannya. Kucing
kesayangan Maulana Rumi ikut bersedih. Kucing itu tak mau makan
dan minum sejak Maulana wafat. Akhirnya kucing itu mati
seminggu kemudian, dan dimakamkan oleh Malika Khatun, putri
Maulana dari istri kedua, Kira Khatun, di sebelah makam Maulana
Rumi. Cerita kucing yang mati bersama Maulana Rumi ini juga
pernah saya dengar di ruang dalam rumah ketika menunggu
jenasah Gus Dur diberangkatkan dari rumahnya di Ciganjur.

Saya ingin mencoba menjawab fenomena dahsyat di atas,


dalam perspektif sufisme, yang saya mengerti, meski orang tak
mempercayainya atau menganggapnya sebagai "bid'ah" atau
"khurafat" (penyimpangan dalam agama). Saya ingin mengutip
kata-kata Tuhan dalam bahasa Nabi Saw. (hadits Qudsi):

t ' ' ::.. ' i � ,,$


JI ;
.• ,,.
,__..
. ,,.. .:,,I
.,J oJI
.
� · j•·
.
,�
'f'
· - · , l��I\
' ?:
;J
. ',. w
.•·.,o'
' �' ··•f.
· '.)w
�,, ..
. . tt-t
�· '
'� -
•; '"�
. , ,
.. .

. ' ''I
,o

·1..:�) J

23
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

•sungguh, jika Tuhan mencintai hamba-Nya, Dia memanggil


Jibril. Tuhan mengatakan: •Aku mencintai fulan, maka cintailah dia.
Lalu Jibril mencintainya. jibril memanggil penghuni langit. Kepada
mereka Jibril mengatakan: "Tuhan mencintai fulan, maka cintailah
dia. Lalu para penghuni langit mencintainya. Maka dia dicintai para
penghuni bumi."'

Atau seperti kata Nabi Muhammad Saw.:

•Aduhai, betapa bahagia mereka yang berhati tuIus, mereka yang


ketika hadir tak dikenal (tak dimengerti), manakala pergi mereka dicari
ke sana kemari, mereka itulah obor-obor yang menerangi jalan lurus.
Melalui mereka, tampak terang benderang segala fitnah orang-orang
zalim," (H.R. Al-Baihaqi).

Ya, gelombang manusia yang tak berhenti bergerak


menziarahi dan mendoakan Gus Dur, adalah karena Tuhan
mencintainya, karena Gus Dur mencintai lebih <lulu. Mencintai
Tuhan adalah mencintai semua dan segala ciptaan-Nya. Pikiran­
pikiran dan perjalanan hidup Gus Dur adalah kerinduan-kerinduan
kepada Tuhan dan kepada seluruh ciptaan-Nya. Maka sangatlah
wajar jika Dialah yang membimbingnya. Ketika Dia membimbing­
nya, maka mereka (manusia) pun mencintainya. Ini karena Gus
Dur menumpahkan cintanya kepada mereka lebih dahulu dengan
seluruh hainya.
t Jika sudah demikian, maka getaran-getaran cinta
itu kemudian menebar bagai cahaya, menerobos dan menembus
relung-relung jiwa mereka. Ya, Gus Dur adalah juga cahaya. I a
memancarkan gelombang-gelombang elektrik halus dengan
getarannya yang begitu kuat, lalu menjalari partikel-partikel ruh

' Imam Malik bin Anas, Al-Muwatha', him. 209.

24
Memperebutkan Makna Gus Our

orang-orang yang mendengar atau melihatnya. Gelombang


cahaya yang dijalarkan dari jiwa yang bening akan berpendar,
menyeruak dan meresap ke ruang-ruang gelap, lalu menjadi terang
benderang.

Segera sesudah itu, begitu reflektif dan tanpa diminta, ribuan


orang berebut memberi makna padanya. Gus Dur adalah "Ulama
Besar'', "Guru Bangsa", "Bapak Pluralisme", "Bapak Demokrasi",
"Sang Humanis Sejati", "Pelindung kaum Minoritas'', Pembela
kaum Tertindas", "Sang Pembebas", "Negarawan Paripurna",
"Bapak Bhineka Tunggal Ika", "Intelektual Sejati", "Budayawan
Besar'', "Waliyullah", dan masih beratus sebutan lainnya.

Aku sendiri ingin menyebutnya "Sang Sufi Besar" atau "Sang


Zahid". Sufi adalah orang yang mempraktikkan prinsip-prinsip
tasawuf. Masyarakat Barat menerjemahkan kata ini sebagai
"mistisisme Islam", meski boleh jadi tidak tepat benar. Annemarie
Schimmel telah memberikan definisi yang terbaik mengenai
terminologi ini sambil mengakui bahwa "Untuk menulis, katanya,
"tentang sufisme atau mistisisme Islam adalah tugas yang hampir
mustahil." Menurutnya mistisisme mencakup suatu misteri yang
tidak bisa dicapai dengan cara-cara atau upaya-upaya biasa.
Mistisisme berasal dari kata "mystic" dan "mystery" (bahasa Latin)
yang berarti "menutup mata". Dalam pengertiannya yang lebih
luas, Mistisisme mungkin bisa didefinisikan sebagai kesadaran
akan Realitas Tunggal yang bisa dinamakan Kebijaksanaan, Cahaya,
Cinta atau Ketiadaan."2

Para sufi adalah matahari-matahari dan Gus Dur dalam


pandangan saya adalah "Matahari Dhuha" yang cahaya spirituali­
tasnya menebarkan kehangatan cinta, kesegaran, kegairahan
sekaligus mencerahkan dan menyuburkan bumi manusia. "Gus

' Lihat, Leonard Lewishohn, (ed.), Warisan Sui' f Warisan Suisme


f Persia Abad
Pertengahan (1 150-1500), cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004), him. 437-438.

25
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Dur bagaikan gunung berapi yang menyimpan magma spiritualitas


begitu dahsyat. Magma itu tak pernah berhenti bergolak dan begitu
aktif yang seringkali meletup-letup, menumpahkan lahar panas,
mengaliri tanah kering-kerontang. Manakala telah dingin, tanah
berubah menjadi subur, bumi menghijau menyembulkan bunga
warna-warni, indah dan menebarkan wewangian."

Sahabat saya, Marzuki Wahid, penulis buku Beyond the


Symbols, Jejak Antropoligis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur,
dalam sebuah momen refleksi 100 tokoh atas Gus Dur, di Institute
Agama Islam Nur Jati (IAIN), Cirebon, menyampaikan kata
pamungkas yang mendebarkan: "Gus Dur bukanlah "Guru Bangsa",
bukan "Bapak Pluralisme", bukan "Ulama", bukan "Seorang
Humanis", bukan "Waliyullah", bukan "Negarawan Paripurna",
dan bukan seterusnya. Sampai di sini, hati yang hadir berdegup­
degup kencang, tersekat-sekat. "Ini anak tak tahu diri dan
keterlaluan," kata hati mereka, sambil menahan emosi. "Tetapi
Gus Dur adalah semuanya," kata Marzuki Wahid menuntaskan
bicaranya. Dan suasana spontan berubah gemuruh, menghentikan
jantung yang berdegup, meredakan emosi yang tertahan, lalu
menciptakan suasana yang mengharu-biru, mengalirkan
kehangatan air mata yang lalu menetes pelan-pelan.

Begitulah setiap orang telah dan akan terns memaknai Gus


Dur dengan ungkapan dan cara yang berbeda-beda, berdasarkan
pada apa yang dilihat, didengar, diingat, dan dirasakannya. Dan
ini adalah hak mereka mengatakannya. Siapapun tak berhak
melarangnya. Pemaknaan atas sesuatu memang selalu lahir dari
pengalaman masing-masing. Eskpresi-ekspresi intelektual dan
idiom-idiom psikologis selalu merupakan produk dari ruang dan
waktunya sendiri-sendiri, produk pengalaman diri pemberi
makna. Tak ada seorang pun yang mampu menghadang peng­
alaman spiritual setiap orang. Pengalaman, menurut Imam al­
Ghazali, adalah kebenaran sejati, meski tak bisa diraba, tak bisa

26
Memperebutkan Makna Gus Our

dianalisis dengan nalar. Ia melampaui pandangan indera dan


kecerdasan nalar. Pemaknaan yang beragam atas Gus Dur telah
cukup menggambarkan betapa di dalam dirinya sarat dengan
makna besar. Dan kebesarannya bukan karena ia pernah menjadi
presiden dari berjuta-juta rakyat, dan bukan karena hal-hal lain di
luarnya, melainkan karena dirinya sendiri. Ia telah mencari
kebesaran itu dari dalam dirinya sendiri.

Meski banyak orang memuji dan memberi penghormatan


begitu tinggi kepada Gus Dur, saya meyakini Gus Dur tak akan
pernah meminta diberi sebutan apapun. Ia akan mengatakan "aku
bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Aku hanyalah hamba
Allah." la tak pernah terganggu oleh sebutan-sebutan duniawi
apapun. Lebih dari 10 gelar kehormatan akademis tertinggi yang
diterimanya dari berbagai universitas prestisius dunia, tak pernah
membanggakannya, tak pernah dipakainya, dan tak pernah
disandangnya, bahkan bingkai-bingkainya tak dipasang di
rumahnya. Entah mengapa pula orang jarang menyebutnya
"Doktor Gus Dur," melainkan lebih sering Kiai Haji Abdurrahman
Wahid. Dan meski berbagai penghormatan lain, seperti "Man of
The Year'', "Nobel Tokoh Perdamaian Dunia" dari Ramon
Magsasay, dan lencana yang dipersembahkan kepadanya dari
sejumlah negara dan institusi sosial, budaya, politik, agama, dan
media, Gus Dur tak pernah berbangga-bangga diri dan men­
ceritakannya kepada teman-temannya. Ketika saya, suatu hari,
memasuki salah satu kamar di rumahnya, saya melihat, bingkai­
bingkai bertuliskan kata "penghargaan akademis" yang prestisus
tersebut, hanya ditata rapi di atas meja. Demikian pula bingkai­
bingkai atau lencana-lencana kehormatan lainnya. Gus Dur, tak
seperti yang lain yang mengejar gelar-gelar kehormatan itu untuk
membesarkan dirinya atau agar membuat orang lain dan
masyarakat menghormatinya bahkan meski dengan membayar
berapapun. Gus Dur sudah besar dan terhormat, meski tak diberi

27
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

sebutan kebesaran dan kehormatan apapun, termasuk gelar


pahlawan. Untuk apa? Terhadap penyebutan kehormatan di atas,
Gus Dur mungkin akan menyanyikan syair ini:

•Masing-masing mengaku kekasih 'Laila'


Tetapi 'Laila' tak mengakui semua itu.•

Ya, Gus Dur, mungkin geleng kepala saja. Baginya, itu semua
untuk apa? Pujian-pujian, bingkai-bingkai, dan lencana-lencana
kehormatan itu untuk apa? Gus Dur bebas dan bersih dari
keinginan-keinginan rendah dan hina. Ia tak menginginkan apapun
dan tak iri hati kepada siapapun. Ia tak mengharap-harap dan
meminta puja-puji apapun dan dari siapapun. Ia menerima apapun
yang terjadi. Ia ridha (rela) atas segala yang dianugerahkan Tuhan
kepadanya. "Aku telah lama menerima dengan tulus segala
pemberian Tuhan," katanya suatu saat. Jiwanya tak tergantung
pada apa-apa dan pada siapa-siapa. Gelar-gelar kehormatan tak
menjadikannya lebih besar. Gus Dur hanya akan mengatakan
dalam hatinya: "Aku sudah bekerja." "Aku sudah berjuang." "Aku
sudah berperang." "Aku sudah memberikan." "Aku sudah membagi
cinta." "Aku sudah membagi kegembiraan," dan "Aku sudah
memaafkan." "Itu sudah cukup. Selebihnya terserah Tuhan."

Itu tentu karena Gus Dur telah membaca kitab suci al-Qur'an
dan telah lama merenungkan maknanya:

•Katakan (wahai Muhammad): "Bekerjalah kamu, maka Allah


dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu

28
Memperebutkan Makna Gus Our

itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui


akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu
apa yang telah kamu kerjakan • (Q.S. al-Taubah, [9):105).
,

Mengenai jawaban dan skap


i Gus Dur tersebut saya ingat guru
mengaji, seorang kiai sepuh, di sebuah pesantren, ketika saya
bertanya soal makna Ikhlas. Guru itu bilang, ada berpuluh makna
untuk kata yang satu ini; Ikhlas, tapi bagiku a
i adalah: "Kamu telah
bekerja untuk orang lain dan telah memberikan kegembiraan
kepada mereka, tetapi kamu sendiri telah lupa, tak pernah ingat
telah melakukannya." Ini mengingatkan saya pada seorang sufi
besar; Dzhunun al-Mishri ketika ia mengatakan:

•Ada tiga tanda keikhlasan seseorang: jika ia menganggap pujian


dan celaan orang sama saja, jika ia melupakan pekerjaan baiknya
kepada orang lain, dan jika ia lupa hak kerja baiknya untuk
memperoleh pahala di akhirat. "3

Suatu hari Nabi Saw. bertanya kepada Jibril makna Ikhlas. Ia


menjawab:

•Aku tel ah menanyakan hal ini kepada Tuhan, dan Dia


menjawab: "ltu rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba­
Ku yang Aku cintai."4

3 Abu al-Qasim al-Qusyairi, Al Risa/ah al-Qusyairiyyah, him 361 .


- .

• Ibid.

29
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Lalu adakah orang yang memberi makna sebaliknya terhadap


Gus Dur? Adakah orang yang membencinya dan senang atas
kematiannya, atau paling tidak orang yang tak ambil peduli atas
kepergian dan kematiannya? Seperti kehidupan yang warna-warni,
Tuhan juga menciptakan keanekaragam individu dengan sifat
kualitatif yang berbeda-beda, dengan budi dan pikiran dan dengan
kecenderungan hati yang berbeda-beda. Keragaman ini akan terus
ada sepanjang kehidupan belum selesai, seperti yang sering
disampaikan Gus Dur. Keragaman adalah keniscayaan alam
semesta, keniscayaan hukum Tuhan atas alam ciptaan-Nya.
Keragaman adalah anugerah Tuhan. Maka pandangan yang tak
suka kepada Gus Dur adalah hal yang niscaya pula.

Saya membaca di dunia maya beragam komentar sinis


terhadapnya. Gus Dur yang sudah selesai menjalani hidupnya,
tetap saja dicaci-maki dan dicemooh oleh sejumlah orang, seperti
ketika ia masih dan sedang menjalaninya. Kematiannya disyukuri
dan disambut gembira oleh mereka. Beberapa di antaranya
menulis:

•Mengucapkan Inna Lillahi wa Inna llaihi Raji'un ketika Gus


Dur meninggal, adalah kesalahan besar. Kematian Gus Dur bukanlah
musibah, tetapi bagian dari pertolongan Allah Al-Aziz kepada kaum
Muslimin di Indonesia.•
•ounia teramat senang dengan matinya gusdur, manusia paling
hina di muka Bumi ini. Dunia diperlihatkan Tuhan tidak peduli dengan
matinya sang gusdur. Dunia bahkan sama sekali tidak menangisinya.
Sebaliknya dunia tertawa terbahak-bahak dan puas ketika tubuh
gusdur membeku dingin menanti saat untuk dimakamkan ke dalam
tanah sekian kali sekian meter untuk selama-lamanya."

Seorang "tokoh" populer sekaligus pemimpin organisasi


Islam yang menyebut dirinya pembela keesaan Tuhan, dengan
cap ortodoks radikal, dan para pengikutnya mengatakan bahwa
Abdurrahman Wahid tak pantas dipanggil Gus, karena ini panggilan
untuk anak kiai yang saleh, yang taat kepada Tuhan. Lebih tepat

30
Memperebutkan Makna Gus Our

bila ia disebut "Mr. Dur" atau sebutan lainnya saja. Bahkan Mr.
Dur, kata mereka, sebaiknya tak layak disebut-sebut lagi namanya.
Meski tak sampai menyebut Gus Dur bukan lagi bagian dari umat
Islam, tetapi tokoh dan para pengikut fanatiknya tadi mengatakan
bahwa Mr. Dur telah melukai hati umat dan menjual agamanya.
Orang itu mengingat apa yang pernah diucapkan dan dilakukan
Gus Dur semasa hidupnya yang, kata mereka begitu banyak
mengandung kekafiran, kesesatan (bid'ah), dan kemusyrikan
(menyekutukan Tuhan). Kehadirannya di sejumlah gereja dan
rumah ibadah non-Islam lainnya, tentang pendapatnya agar
"Assalamu'alaikum" diganti dengan "Selamat pagi", "Selamat
siang" atau "Selamat sore", persahabatannya dengan Yahudi,
Israel, bahkan menjadi penasehat Yayasan Simon Peres, serta
pembelaannya yang begitu kuat kepada non-muslim adalah
bentuk-bentuk kekafiran Gus Dur sekaligus melukai umat Islam.
Begitu juga prakarsanya untuk mencabut TAP MPRS No. XXV/
1966 tentang larangan Komunisme, Leninisme, dan Marxisme,
serta konsistensinya yang luar biasa untuk menghargai
keberagaman keyakinan manusia (pluralisme) dan sejuta soal
lainnya. Itu semua, kata mereka, adalah cacat-cacat Gus Dur yang
tidak bisa dimaatkan. Untuk soal pluralisme, gagasan utama yang
diusung Gus Dur, mereka menganggap bahwa ia adalah paham
yang sesat dan menyesatkan bahkan merupakan kemusyrikan
(menyekutukan Tuhan). Pluralisme bertentangan dengan hukum
Tuhan. Karena pluralisme, menurut mereka, merupakan
pengakuan atas kebenaran semua agama dan semua keyakinan
manusia. Dan ini dosa maha besar yang tidak akan diampuni.
Mereka menyebut kata-kata Tuhan dalam al-Qur'an: "Tuhan
sungguh mengampuni segala dosa, kecuali syirik (menyekutukan
Tuhan)." Pluralisme adalah "Sinkretisme (pencampuradukkan
keyakinan), dan ini amatlah menyesatkan dan mengajak orang
masuk neraka," kata mereka. Orang-orang itu juga menyebarkan
video yang merekam Gus Dur yang seakan akan sedang dibaptis

31
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

sebagai Kristen di sebuah gereja besar. Masih banyak lagi isu-isu


lain tentang Gus Dur yang tak mereka setujui, yang mereka tentang,
dan yang mereka sesatkan.

Hal yang paling menyedihkan hati orang yang berpikir sehat


dan berbudi luhur adalah manakala kebencian orang kepadanya
diungkapkan melalui pernyataan-pernyataan yang mengenai
tubuhnya, fisiknya. Ya mengenai mata Gus Dur yang buta
(disable). Cara penilaian atas tubuh seperti itu juga pernah
disebarkan mereka ketika Nurcholish Madjid, sang pembaru dan
teman baik Gus Dur, wafat. Mereka bilang: "Wajah Nurcholish
semakin hitam-legam, ketika dia meninggal dunia. Ini merupakan
hukuman Tuhan atas pikiran-pikiran sesatnya."

Di kutub yang lain lagi, saya melihat ada sejumlah orang yang
tak bicara apa-apa. Mereka diam, membisu, tanpa kata-kata, tanpa
ekspresi, atau hanya bilang "no comment", geleng-geleng kepala
dan membiarkan saja Gus Dur pergi. Ada pula yang berucap
singkat: "Ah, dia orang biasa saja!" "Peduli amat!" Apakah makna
diam dan ekspresi mereka seperti itu? Tak mengerti apa-apa?
Apakah ia adalah ekspresi kebencian yang tak bisa meledak?
Apakah ia adalah luapan senang yang tersekat atas kematiannya?
0, apakah sesungguhnya makna diam mereka? Simbol ter­
perangah? Terkejut-kejutkah? Terbengong-bengongkah? Tak
pahamkah? Atau memang karena mereka tak lagi mampu mau
bicara apa sesudah menyaksikan peristiwa maha dahsyat itu? Diam
memang menyimpan sejuta makna yang tak bisa kita pahami hari
ini. Mungkin kita akan menemukan makna diam mereka kelak. Kita
tunggu saja.

Begitulah orang berebut memberi makna atas Gus Dur. Ber­


beda-beda: mengagumi, mencaci maki, dan membisu. Keber­
bedaan temyata berlaku di mana-mana, termasuk dalam penilaian
orang atas kematian seseorang. Keberagaman tak dapat dinafikan

32
Memperebutkan Makna Gus Dur

oleh siapapun, karena ia adalah nyata adanya. Maka setiap orang


memaknai objek-subjek apa saja. Saya membaca karya Jalaluddin
Rumi, sang maestro penyair sufi; "Fihi Ma Fihi." Ia mengatakan
"Al-Kalam Zhill al-Haqiqah" (Kata-kata adalah bayang-bayang
dari realitas). "Apabila "bayangan" saja dapat menawan hati,
betapa memesona kekuatan realitas yang ada di balik bayangan
itu." la mengatakan demikian ketika mengomentari alam semesta
ciptaan Tuhan yang beragam dan warna-warni. Dalam konsep
sufisme, alam adalah 'Tajalliyyat" manisfestasi-Nya. Ia sedang
memuji Tuhan. Ucapan Rumi itu mengingatkan pada pertanyaan
saya kepada seorang teman di Facebook: "Apakah keelokan sang
kekasih ada padanya atau pada matahati sang penatap? Dia
menjawab: "Sepertinya pada matahati yang menatapnya." Ya, apa
yang ada dalam imaji sesorang itulah yang menciptakan keelokan
atau ketakelokan dia. Dan Rumi melanjutkan bicaranya kepada
para darwis yang mengelilinginya:

•Kata-kata hanyalah pra-teks. Aspek simpatilah yang dapat


menarik hati seseorang pada orang yang lain, bukan kata-kata. Unsur
simpati itulah yang mengguncangkan dan menggelisahkan seseorang.
Bila ia tidak ada maka warna kuning padi di sawah tak akan
memesonakannya. la adalah gambaran mental dari segala sesuatu
yang hinggap di kepala manusia yang akan membawanya kepada
hal itu. Gambaran tentang •taman bunga• akan membawa manusia
ke sebuah taman bunga itu. Tetapi terdapat suatu muslihat tersembunyi
di dalam gambaran mental tersebut. Seringkali kita mengalami ketika
pergi ke suatu tempat. Tiba-tiba saja kita mendapati tempat itu tak
seperti yang ada dalam gambaran kita. Citraan-citraan itu bagaikan
kain kafan. Sesorang dapat bersembunyi di balik kain kafan:5

Begitu pula sebaliknya, bayangan itu bisa juga memuakkan


hati yang melihatnya sehingga dalam pandangannya betapa
buruknya rupa sang realitas itu. Pandangan ini tentu saja karena
ia antipati terhadap objek-subjek itu. Ya, "bila tidak ada (simpati),

5 Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Pasal 2, him. 35.

33
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

maka warna kuning padi di sawah tak akan memesonakannya,"


mengulangi kata-kata Rumi di atas.

Sampai di sini saya teringat kembali sebuah syair Imam al­


Syafi'i ketika saya di pesantren, mengenai hal tersebut:

Mata sang pecinta buta


pada bopeng wajah kekasih
Tetapi mata pembenci
melihatnya selalu buruk rupa.•

Tetapi, apakah yang menciptakan citraa-citraan tersebut?


Begitu tanya teman tadi, mengejar. Saya hanya menjawab singkat:
"Pengetahuan, keterlibatan, kebersamaan dengan yang dicitrakan,
serta akal-budi di dalam otaknya." Adakalanya pengetahuan dapat
diperoleh dari dekat, adakalanya dari jauh. Adakalanya dari yang
dicitrakan sendiri, adakalanya dari orang lain atau dari kabar-kabar
yang melintas di telinga sang pencitra. Mereka yang terlibat dan
bersama yang dicitrakan akan tahu siapa dan bagaimana dia. Dan
pada akhirnya adalah pikiran dan perspektif yang ada dalam
otaknya.

Perbincangan soal ini, tidak hanya untuk menilai fenomena


Gus Dur, tetapi juga untuk segala fenomena, simbol, kode, kata­
kata. Sebab semuanya makhluk bisu. Ia tidak berkata-kata sendiri.
Tetapi manusialah yang mengatakannya.

Kita biarkan saja hari-hari akan mencatat semuanya. Ya,


biarkan sejarah yang akan berbicara mengenainya. Atau kita
biarkan saja, sampai kelak "mata, tangan, dan kaki akan men-

6 Diwan al-SyMi'iy, him. 9.

34
Memperebutkan Makna Gus Our

ceritakannya di hadapan Tuhan. Gus Dur juga acap mengatakan


demikian: "Ketika orang yang lagi mau mengerti, tak mau paham,
maka biarkan saja, sejarahlah yang akan menjawabnya."

Saya sangat percaya pada ucapan orang-orang saleh: "Apabila


engkau berbicara baik kepada orang lain, maka kebaikan itu akan
kembali padamu. Dan apabila engkau berkata-kata buruk kepada
orang lain, maka ia juga akan kembali padamu." Dan ini sejalan
dengan kata-kata Allah dalam al-Qur'an:

•sarangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka


(pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan
perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali
tidaklah Tuhan-mu menganiaya hamba-hambaNya, (Q.S. Fusshilat
(41):46). Dan: •sarangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya pula,"(Q.S. al-Zilzalah [99):7-8).

35
#3
RELA MENANGGUNG LUKA

Gus Dur bukan hanya dikagumi dan dirindukan banyak orang.


Ia juga dibenci, dicaci-maki, dan disumpahserapahi sebagian
orang. Caci maki, sumpah serapah, dan kutukan-kutukan para
pembenci Gus Dur, tidaklah membuatnya menjadi rendah, tak
menjadi kecil dan membuatnya terkucil. Itu tak menggentarkan
hatinya. Sikap seperti itu justru semakin mengukuhkan kebesar­
annya, meneguhkan perjuangannya dan semakin mengalirkan
simpati kepadanya. Gus Dur menanggung semuanya dengan diam.
Ia tetap terus menapaki jalan yang ditempuhnya menuju cita­
citanya: Keadilan bagi semua dan persaudaraan atas dasar
kemanusiaan. Ia adalah orang besar yang namanya akan dicatat
sejarah peradaban sebagai pejuang kemanusiaan.

Kita sudah membaca sejarah umat manusia dan sejarah orang­


orang besar. Orang-orang besar selalu mengandung dualitas yang
paradoks: dikagumi dan dicemooh dalam waktu yang sama. Ka'ab
al-Ahbar, seorang ahli tafsir berbagai kitab suci, bilang:

•rak ada tokoh bijak-bestari di sebuah komunitas kecuali selalu


saja ada orang--0rang/kelompok yang mencaci-maki dan mendengki
dia."

37
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Jalal al-Din al-Suyuthi, ulama besar, seorang ensiklopedis


dengan ratusan karya tulisnya, mengatakan hal yang sama, tetapi
dengan redaksi bahasa yang sedikit berbeda:

•ridak ada tokoh besar pada setiap zaman kecuali dicaci-maki


orang-orang bodoh. Orang-orang terhormat selalu diuji oleh orang­
orang pinggiran. Dulu Nabi Adam dilawan lblis, Nabi Nuh lawan
Ham dan lainnya, Nabi Daud musuh Jalut dan pasukannya, Nabi
Sulaiman lawan Sakhr, Nabi Isa lawan Bukhtanshir, Nabi Ibrahim
lawan Namrud, Nabi Musa lawan Firaun, dan seterusnya sampai
Nabi Muhammad Saw. Beliau dilawan Abu Jahal.•

Para tokoh bijak-bestari (hukama) dalam sejarahnya, memang,


bukan hanya disumpah serapah dan dibenci, tetapi juga dikafirkan,
dibid'ahkan, dizindikkan (dituduh ateis) dan ingin dilenyapkan oleh
mereka yang tidak matang secara intelektual dan spiritual, atau
oleh mereka yang pikirannya tergantung pada bentuk-bentuk
kredo formal dan teks-teks literal keagamaan atau oleh fanatisme
pada kebenaran diri sendiri dan buta pada kebenaran yang lain.
Imam al-Ghazali, sang sufi besar menyebut mereka "orang-orang
yang memiliki pengetahuan terbatas. Seyogyanya keterbatasan
pengetahuan itu hanya bagi dirinya sendiri dan tak boleh
dipaksakan kepada yang lain. Mereka memang tak mengerti bahwa
setiap kata-kata suci mengandung beribu makna."•
1
Imam al-Chazali, lhya Ulumiddin, Juz I, him. 289.

38
Rela Menanggung Luka

Abd Allah Sahal al-Tustari,2 sufi agung, mengatakan:

"Andai hamba Tuhan dianugerahi seribu mengerti makna untuk


satu hurufal-Qur'an, dia tak bisa menjangkau seluruh tanda kehendak
Tuhan yang ditinggalkan dalam kitab-Nya. Karena ia adalah "Kalam
Allah•(firman) yangadalah Sifat-Nya. Oleh karena Tuhan tak terbatas,
maka juga tak ada batas mengerti makna firman-Nya. Setiap orang
hanya bisa mengerti sebatas yang diberikan-Nya.''

Boleh jadi, mereka yang mengaku atau mengkalim paling


benar sendiri sambil menololkan orang lain itu, melukai dan
menyerang orang lain, sesungguhnya tak lebih dari orang-orang
yang gelisah atas kondisi ketakberdayaan diri dan ketakutan yang
berlebih. Fanatisme, radikalisme, atau ekstremisme, kata seorang
psikolog, adalah gaya berpikir untuk lari dari rasa ketidakpastian,
dari kebingungan yang akut, dari kecemasan yang menghantui
dadanya, dan rasa ketidakmampuan mengatasinya.

Lihatlah, tokoh sufi legendaris Abu Manshur al-Hallaj. Ia


harus berdiri di atas tiang gantungan untuk mengakhiri hidupnya.
Eksekusi dijatuhkan terhadapnya menyusul fatwa sejumlah ulama
yang berkolusi atau berselingkuh dengan para penguasa, konon,
demi membela Tuhan. Mereka menilai pandangan al-Hallaj tentang

2 Abu Muhammad Sahl ibn Abdullah ibn Yunus ibn Isa ibn Abdullah. Lahir di
Tustar. la belajar kepada Zhun Nun al Misri, seorangsufi besar. la adalah guru al­
Hallaj. la menulis Tafsir al-Qur'an al-'Azhim dalam perspektif sufisme. Meninggal
pada tahun 283 H.
' Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al Qur'an, (1/9).

39
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

"Wahdah al-Wujud" (Kesatuan Eksistensi) atau "Hulul"


(Manunggal) merupakan ajaran yang sesat, menyesatkan,
kekafiran dan kemusyrikan yang nyata. Maka tak ada keraguan
bahwa dia orang yang halal darahnya untuk ditumpahkan. Al­
Hallaj antara lain pernah bilang begini:

j�
, y ..?.: 1 · �1 , , 0 � 1
JJ J �»
,
� r -

� � J • �

� 'Jjll ��� .;;,:J-1 tJ

Ruh-Mu bercampur ruhku


Bagai anggur
Bercampur air bening
Bila sesuatu menyentuh-Mu
la menyentuhku
Engkau adalah aku
Dalam segala ruang dan waktu

Teorinya tentang Kesatuan Wujud (Wahdah al-Wujud) pada


dasamya juga merupakan pengakuan terhadap eksistensi agama­
agama, kepercayaan-kepercayaan, keyakinan-keyakinan, dan
pada saat yang sama memproklamirkan keharusan untuk
menoleransi seluruh agama-agama dan segala kepercayaan yang
ada di muka bumi. Al-Hallaj kokoh dengan keyakinannya itu. Tetapi
dia membiarkan orang lain dengan pikiran atau keyakinan sendiri.
Dia tidak punya minat menyerangnya, malah dia mendoakan
mereka. Sebelum ajal menjemput, di hadapan ribuan pasang mata
yang merah-padam, al Hallaj mengadu kepada Tuhan:

40
Rela Menanggung Luka

J. J I

,,
,. c _,, J o ,, ,,..,
. �"I· �., �I sl!,
� -' •l��': �
r.r- ., �I 611'

•o, Tuhanku, mereka adalah hamba-hamba-Mu. Mereka telah


berkumpul untuk membunuhku, karena semangat menggebu mereka
untuk membela agama-Mu dan ingin dekat dengan-Mu. Ampunilah
mereka. Andai saja Engkau singkapkan kepada mereka seperti apa yang
telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan mela­
kukannya. Andai saja Engkau membutakan mataku, seperti membuta·
kan mata mereka, niscaya aku tidak akan mengalami cobaan seperti
ini. Hanya bagi·Mu lah segala puji atas apa yang Engkau putuskan,
dan hanya bagi-Mu lah segala puji atas apa yang Engkau kehendaki.·•

Al-Hallaj menjalani kematian dengan riang. Ia seperti


Socrates, sang filsuf atau sebagaimana Yesus dalam keyakinan
umat Kristiani. Demi kebenaran dan keadilan, mereka rela
menanggung Iuka dan nestapa. Ibnu Arabi, Sang Guru Terbesar
kaum sufi (al-Syaikh al-Akbar), juga harus menerima beragam
tuduhan dari sebagian masyarakat sebagai orang kafir, musyrik,
murtad, dan sebagainya. Sebuah kisah menceritakan bahwa ketika
dia sedang berada di pondokannya di Mesir, ratusan orang dengan
pedang terhunus di tangan, menyerbu ke tempat itu untuk mencari
Ibnu Arabi lalu membunuhnya. Sahabatnya, Syaikh Bujayah,
menyelamatkan dia. Katanya kepada mereka yang marah:
"Muhyiddin memang sedang "gila". Kalian mau membunuh "orang
gila?" Kata "gila" dipahami mereka sebagai hilang akal dalam arti
sebagaimana dipahami orang pada umumnya. Tetapi, tidak bagi
Syaikh. Ia memaknainya sebagai "ekstase'', Syathahat, atau
"Jadzab", akibat rindu mabuk kepayang sampai tak sadarkan diri.

• Ahmad Amin, Zhuhr al-Islam, cet. V, Juz ll, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1 969),
him. 74.

41
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Tuduhan dan serbuan terhadapnya itu, gara-gara lbnu Arabi


mengemukakan pandangan pluralisme keagamaan yang
diungkapkan dalam bait-bait puisinya menawan. Ia menuliskannya
dalam Diwan (kumpulan puisi)nya yang terkenal: "Tmjuman al
Asywaq" (Senandung Kerinduan). Di situ ia bersenandung lagu
rindu:

-1 ',," '
' ' "I" ,,· ?"" �
I,) IJ-_- ' •' 0
.._JI...,.:?
,, ' 1,_i1·
�J..1 '- ·
._, •
·

t< .I
· '

Kemarin aku tak bersahabat


Bila keyakinannya tak sama keyakinanku
Kini jiwaku telah siap menyambut
Segala fenomena semesta
Padang rumput bagi kawanan rusa
Kuil-kuil para Rahib
Rumah berhala-berhala
Ka'bah orang yang mengelilingi
Lempengan-lempengan Taurat
Lembaran-lembaran suci Al-Qur'an
0, Akulah penganut agama Cinta
Ke manapun gerobak
pembawa Cinta bergerak
Aku mengejarnya
Aku pemabuk Cinta-(Mu)5

5 lbn Arabi, Tarjuman al-Asywaq, him. 43-44.

42
Rela Menanggung Luka

Abu Yazid al Bisthami (w. 804 M),6 tokoh sufi Persia, yang
terkenal dengan teori mistiknya: "Jana" (ketiadaan) dan "baqa"
(kekal), diusir dari rumahnya berkali-kali dan disiksa berulang­
ulang. Ucapannya yang terkenal "aneh" adalah: "Subhani, Subhani
Ma A'zhama Sya'ni" (Mahasuci aku, Mahasuci aku, alangkah
agungnya aku). Dzunnun al-Mishri, sufi besar dari Mesir, digiring
dan diseret dengan tangan dirantai dari rumahnya di Mesir menuju
Baghdad. Mereka berkali-kali menuduhnya "zindiq" (ateis). Ia
dituduh demikian lantaran sering mengucapkan kata-kata dan
pikiran-pikiran yang tak umum "Kalimat Gharibah" (kata-kata
aneh). Para peneliti melihat pikiran-pikiran Dzunnun, mirip sekali
pikiran-pikiran Plato. Alasan lain adalah karena ia bisa mengubah
kerikil jadi permata. Ia memang seorang ahli kimia.7

Samnun al-Muhib8 dilempari tulang belulang kotor kering.


Sahl al-Tustari, guru al-Hallaj, diusir dari rumahnya, dari tanah
airnya ke Basrah, Irak. Abu al-Qasim al-Junaidi,9 berkali-kali

6 Abu Yazid al-Bisthami, Abu Yazid al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu
Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Lahir sekitar tahun 200 H (813 MJ di
Bustam, bagian Timur Laut Persia. Meninggal dunia pada tahun 261 H (875 MJ.
Abu Yazid dipandang sebagai pembawa paham a/-fana' (kehancuran diri) dan
al-Baqa' (Kelanggengan) serta sekaligus pencetus paham al-lttihad (Penyatuan/
Manunggal dengan Tuhan).
7 Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin Ibrahim al-Mishri. Lahir di
lkhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M. dan wafat pada tahun
246 H./856. Dzun Nun al-Mishri adalah sufi pertama yang memperkenalkan
teori ma'rifat. Teori-teori ma'rifat Dzun Nun al-Mishri dianggap menyerupai
gnosisme ala Neo-Platonik. Teori ini pada intinya adalah memadukan antara
teori Wahdat al-Syuhud dan Al-lttihad. Dia dipandang orang yang pertama
mamasukkan unsur filsafat ke dalam tasawuf.
8 Abu al-Hasan Samnun bin Hamzah, lahir dan besar di Bashrah, lrak. la tokoh sufi
Sunni terkemuka abad ke-3 H. Samnun dijuluki "al-Muhib" (Pecinta), karena
selalu mendendangkan nyanyian cinta kepadaTuhan. la sendiri menyebut dirinya
"Samnun al-Kazzab' (Samnun Pendusta). la sukajalan-jalan sambil mengatakan
kepada bocah-bocah yang mengikutinya: "Panggil aku, pamanmu ini, al-Kazzab,
pendusta.• Sehari semalam Samnun melakukan shalat 500 rakaat. la meninggal
dunia tahun 298 H di Baghdad.
9 Nama lengkapnyaadalah Abu al-Qasim al-Junayd ibn Muhammad ibn Junayd al­
Baghdadi. la acap dipanggil al-Junayd al-Baghdadi. la tokoh sufi dengan gelar

43
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

dituduh kafir. Dia terpaksa tak keluar rumah selama berbulan­


bulan dan bertahun-tahun sampai kematian menjemputnya.
Syaikh Abu al-Hasan al-Syadizili, pendiri tarekat Syadziliyah,
diusir dari Mesir. Dia dituduh ateis. Taj al Din al-Subki, ahli fiqh
Syafi'i terkemuka, dikafirkan. Dia ditangkap lalu dengan tangan
diborgol diarak ramai-ramai dari Syam (Siria) ke Mesir. Ibnu Rusyd
al-Hafid, diusir dan diasingkan ke Alisan, sebuah kampung dekat
Cordoba, yang sempat menjadi perkampungan kaum Yahudi.
Banyak alasan mengapa ia dihukum demikian. Salah satunya
adalah gara-gara bukunya: Fashl al-Maqalfi Ma Baina al-Syari'ah
wa al-Hikmah min al-Ittishal (Kata Putus hubungan antara Agama
dan Filsafat). Dari buku itu ia dituduh mengunggulkan akal atas
teks agama (naql). Padahal a
i mengatakan: "Al-Hikmah Shahib al­
Syari'ah wa Ukhtuha al-Radhi'ah" (Filsafat adalah teman agama
dan saudara sesusunya).

Guru besar ahli tafsir al-Qur'an: Imam Ibnu Jarir Al-Thabari.1°


Suatu saat Al-Thabari mengritik pandangan keagamaan kaum
tekstualis, pengikut Ahmad bin Hanbal, soal tafsir "tempat yang
terpuji" sebagaimana yang tertulis dalam ayat al-Qur'an, surat Al­
Isra, 79:

pangeran sufi. Al-Junayd lahir di Kota Nihawand, Persia, dan wafat pada 298 H/
910 M. Dalam disiplin sufi, ia adalah murid pamannya, Syaikh Sari al-Saqati (w.
253 H/867 H), saudara kandung dari ibunya sendiri. Di samping belajar dengan
al-Saqati, ia berguru juga kepada Abu Abd Allah al-Haris ibn Asad al-Basri al­
Baghdadi al-Muhasibi (1 65 H-243 H/781-857 M), seorang sufi yang terkemuka
di Baghdad ketika itu. la juga guru Husein Manshul al-Hallaj, sang martir.
10
Nama lengkap al-Tabari adalah Abu Ja'far Muhammad lbnu Ja'far lbnu Yazid
lbnu Katsir. Lahir di Amul ibukota Tabaristan, salah satu propinsi di Persia dan
terletak d i sebelah utara GunungAlburz, selatan laut Qazwin, tahun 224/225H
atau sekitar tahun 839-840. la dikenal dengan sebutan 'Syaikh al-Mufassirin,•
guru besar para ahli tafsi r. Tafsirnya: Jami'a al-Bayan 'an Ta'wil Ayi al-Qur'an,
menjadi rujukan para ahli tafsir sesudahnya. Dia juga seorang sejarawan. Karyanya
untuk bidang ini adalah Tarikh a/-Umam wa al-Muluk.

44
Rela Menanggung Luka

l)>" 0 ) ,.,.
. .)..�
"Dan pada sebagian malam hari, shalat tahajjudlah kamu
(Muhammad). Mudah-mudahan Allah mengangkatmu ke tempat yang
terpuji." (Q.S. Al-lsra,(1 7):79).

Apakah yang dimaksud dengan "Maqam Mahmud" (tempat


yang terpuji)? Para pengikut Ahmad bin Hanbal berdasarkan
pendapat Imamnya, menafsirkan ayat tersebut sebagai: "Allah
mendudukkan Nabi Muhammad Saw. bersama-Nya di atas Arasy.
Ini sebagai balasan atas Tahajjudnya." Pendapat lainnya tidak
sepakat dengan tafsir ini. Imam Ibnu Jarir al-Thabari menjadi juru
bicara pandangan ini. Dalam suatu kesempatan pengajian
Jum'atan dia menyampaikan bahwa duduknya Nabi bersama
Tuhan di atas Arasy (Singgasana Tuhan) adalah mustahil, tidak
masuk aka!. Katanya:

Maha Suci Dia Yang tak punya teman intim


Dan di Singgasana-Nya tak ada teman bicara

Para pengikut fanatik Ahmad bin Hanbal (Hanabilah) yang


mendengar kata-kata Imam ahli tafsir ini kemudian menyerang­
nya dengan kasar. Sebagian di antara mereka menumpahkan tinta
ke muka al-Thabari dan melemparinya dengan tulang-tulang. Ahli
tafsir ini segera masuk ke rumahnya. Tetapi mereka mengejarnya,
menyerbu rumah al-Thabari dan melemparinya dengan batu,
sampai hancur berantakan. Mereka baru berhenti merusak setelah
ribuan polisi dikerahkan untuk mencegah aksi kekerasan mereka.

Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam al Syafi'i,


Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Jalal al-Din al-Rumi,
Syuhrawardi al-Maqtul, Abu Sa'id al Kharraz, Abu Bakar al-Syibli,

45
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

"sang waktu", Abu Bakar al-Nablusi, Syaikh Abu Madyan, Izz al­
Din bin Abd al-Salam, sultan para ulama, dan lain-lain juga
mengalami "mihnah" (inkuisisi) dengan cara yang beragam.
Mereka, seperti diketahui banyak orang, adalah tokoh-tokoh
legendaris, para mahaguru pencerahan, filsuf, sufi besar, para
pendiri mazhab besar, para ulama, kaum cendikiawan, para
pejuang kemanusiaan.

Apakah gerangan makna dari semua hiruk-pikuk kengerian


sosial di atas? Mungkin kita bisa mendengarkan puisi ini:


&�
�·�1 .
'
·
'll1 r
•;
' � �� l�l� •!• 1J,.1J·
T ) •,T
.
J.Jl\
)J I� ·�Ci'
_r'-"'.
Mereka
Mengafirkan,
Menyesatkan, dan memusyrikkan
Bila para bijak-bestari mengajak berpikir

Dengarkan pula puisi elegi sang cucu Nabi, putra Husein bin
Ali bin Abi Thalib, guru para sufi, Ali Zainal Abidin al-Saijad ini:

Aduhai, betapa banyak mutiara pengetahuan


Andai aku sebarkan
Niscaya aku dibilang: "kau pemuja berhala!•
Niscaya mereka menghalalkan darahku
Mereka kira
Kerja buruk mereka
Adalah kebaikan semata"

11
Baca: Syaikh Abd Allah al-Syarqawi, Al-lttihaf bi Hubb al-Asyraf, him. 50.

46
Rela Menanggung Luka

Meskipun para bijak-bestari dan para mahaguru pencerahan


itu harus mengalami nestapa dan luka karena pandangan­
pandangan agamanya yang dinilai sesat oleh keputusan fatwa
institusi agama, atau vonis kekuasaan otoritarian dan despotik,
mereka tetap saja tegar dan siap melawan sakit dan menanggung
kengerian. Nama mereka tetap hidup sepanjang sejarah, sepanjang
masa, sepanjang zaman. Pikiran-pikirannya tak pernah usang dan
terus menjadi inspirasi bagi banyak cendekiawan sesudahnya.
Buku-buku dan tulisan-tulisan mereka terus dibaca, dikaji,
didiskusikan, diseminarkan, dan disimposiumkan, selama berabad
dan berkurun-kurun. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang
"rumah"nya masih dikunjungi dan diziarahi beribu orang, sampai
hari ini dan untuk hari-hari depan yang panjang. Meski telah pergi,
mereka tetap memberi berkah (grace) dan kegembiraan kepada
orang-orang yang datang menjenguk dan yang menjaga pusaranya
yang penuh bunga. Demi nilai-nilai yang luhur, demi kebenaran
dan kejujuran, dan demi keadilan dan cinta, mereka melawan tirani
dan melawan luka.

Seperti mereka, begitulah eksistensi Gus Dur. Ia dimaknai


secara beragam dan kontroversial, baik ketika ia hadir di muka
bumi maupun sesudah ia menghilang untuk pulang dan tak kembali
lagi. Ia dikagumi, dicintai, dan dihormati oleh begitu banyak
manusia, dan darinya mereka memperoleh inspirasi dari gagasan­
gagasannya, untuk menjalani hidup dengan penuh gairah. Dalam
bahasa santri; "Mereka memperoleh "berkah" atau "barokah"
(grace) Gus Dur." Tetapi dalam waku yang sama ia juga dituduh
sesat, disingkirkan, dikafirkan, dan dimusyrikkan oleh orang­
orang yang tak mengerti. Di Purwakarta, saat berceramah lintas­
iman, ia diserbu segerombolan orang yang mengaku diri pembela
terdepan Islam. Mereka ingin melukai Gus Dur. Alhamdulillah,
Gus Dur selamat. Rumahnya pernah diteror orang tak dikenal.
Entah sudah berapa kali. Mengenai peristiwa ini, ia tak pernah

47
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

bercerita kepada siapapun. Gus Dur mungkin hanya bilang: "Ah,


biarkan saja, tidak apa, semoga Allah memberi mereka penge­
tahuan dan petunjuk." "Al-Insan A'daa-u Ma Jahilu." Manusia
(orang) memusuhi apa yang tak diketahuinya. "Mereka memusuhi
yang lain, karena mereka tidak mengerti," kata pepatah kaum bijak.

Ini mengingatkan kita pada kata-kata Nabi Muhammad ketika


dirinya dilukai, disakiti, dihinakan, dan dikejar-kejar oleh anak­
anak muda sambil dilempari batu sampai beliau harus keluar
kampungnya sendiri, menuju Taif, sebuah kota, pusat musim panas
di luar Makah. Ia masuk ke kebun orang Yahudi dan duduk di
bawah pohon kurma. Melihat kekasih Allah itu diperlakukan
sedemikian rupa, Jibril menawarkan bantuannya. "Jika engkau
berkenan, 0, kekasih, aku akan jungkir balikkan bumi dan
menimpakan dua gunung ini ke atas punggung mereka yang terus
melukaimu," kata Jibril. Tetapi apa jawab Nabi? Beliau mengata­
kan: "Oh, tidak,jangan! Sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang belum mengerti saja. Oh, Tuhan, berilah mereka petunjuk.
Semoga kelak dari mereka akan lahir orang-orang yang meng-E.sa­
kan-Mu." Usai demikian, Nabi Saw. masih di bawah pohon itu,
berdoa dengan seluruh hatinya.

48
Rela Menanggung Luka

Wahai Tuhan,
Kepada-Mu jua aku mengadukan kelemahanku
Kurangnya kemampuanku
Hinaku di hadapan manusia
0, Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang
Engkaulah Yang melindungi orang-orang yang lemah
Engkaulah Pelindungku
Kepada siapakah Engkau akan menyerahkan diri hamba-Mu ini?
Kepada yang jauh yang melihatku dengan muka masamkah,
atau kepada mereka yang membenci aku?
]ika saja Engkau tiada memurkaiku, aku tak peduli
Tetapi maaf-Mu Yang Mahaluas-lah yang sangat aku dambakan.
Kami berlindung di bawah Cahaya Kasih-Mu
Yang menerangi semua kegelapan,
Dan atasnyalah semua urusan kehidupan di dunia dan akhirat
Akan menjadi baik.
Janganlah Engkau turunkan murka-Mu kepadaku
Atau Engkau timpakan kepadaku
Engkaulah yang berhak menegurku
Hingga Engkau rela padaku
Tiada daya, tiada upaya,
Selain karena Engkau jua.12

Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wa al-Nihayah


mengatakan bahwa doa tak membalas, tetapi memohon ampunan
dan petunjuk agar dibukakan pintu hati yang mengerti tersebut

12
Ba<;a: lbnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, dan dalam Tafsir al-Qur'an al­
'Azhim, Juz IV, him. 176.

49
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

juga yang dikatakan oleh Nabi Isa, atau Yesus dalam sebutan umat
"YaAbataah, Ighfir
Kristiani. Ketika ia akan disalib, ia mengatakan:
Lahum Li Annahum La Ya'lamun Ma Dza Yafalun" (O, Bapa,
ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka
perbuat," (Lukas, 23:34).

50
#4
PLURALISME GUS DUR,
GAGASAN PARA S UFI

Gus Dur adalah Bapak Pluralisme, terserahjika ada orang yang


tidak suka atau berbeda pendapat dengan sebutan ini, termasuk
para pecintanya sendiri. Konon, Djohan Efendi, sahabat setia Gus
Dur, pernah diminta Gus Dur agar jika ia kelak wafat, nisannya
ditulis "Di sini dikubur Sang Pluralis." Terlepas pesan itu benar
diucapkan Gus Dur atau tidak, dan tak peduli masyarakat
memperdebatkan maknanya, tetapi beliau orang yang selalu ingin
memandang manusia, siapapun dia dan di manapun dia berada,
sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan. Sebagaimana Tuhan
menghormatinya, Gus Dur juga ingin menghormatinya.
Sebagaimana Tuhan mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur juga ingin
mengasihinya. "Takhallqu bi Akhlaq Allah" (Berakhlaklah dengan
akhlak Allah), kata pepatah sufi. Sejauh yang saya tahu, Gus Dur
tak banyak bicara soal wacana pluralisme berikut dalil-dalil
teologisnya. Tetapi ia mengamalkan, mempraktikkan, dan
memberi mereka contoh atasnya. Pluralisme jauh lebih banyak
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Gus Dur dibanding
diwacanakan. Kalaupun ia diminta dalil agama, ia akan
menyampaikan ayat suci al-Qur'an ini: "Wahai manusia, Aku
ciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Aku
jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian
saling mengenal. Sesungguhnya manusia yang paling mulia di

51
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

antara kalian di mata-Ku, ialah orang yang paling bertaqwa


kepada-Ku," (Q.S. Al-Hujurat, [49]:12).
"Li Ta'arafu" (saling mengenal), tidak sekadar tahu nama,
alamat rumah, nomor telepon atau handphone, atau tahu wajah
dan bagian-bagian tubuh yang lain. Saling mengenal adalah
memahami kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran, hasrat-hasrat
yang lain, yang berbeda, yang tak sama. Lebih dari segalanya, "Ii
ta'arafu" berarti agar kalian saling menjadi arif bagi yang lain,
menjadi bijaksana dan rendah hati. Dalam konteks sufisme, terma
ini dimaknai lebih menukik ke dalam. Kaum sufi memaknainya
sebagai orang yang menyerap pengetahuan ketuhanan melalui
intuisi dan perjuangan batin.

Yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah yang paling takwa,


bukan yang paling gagah atau cantik, bukan yang paling kaya atau
rumah megah. Takwa bukan sekadar dan hanya berarti sering
datang ke masjid atau menghadiri secara rutin majlis ta'lim,
membaca kitab suci, memutar-mutar tasbih, bangun malam, atau
puasa saban hari. Tetapi, lebih dari itu, takwa adalah mengendali­
kan amarah, hasrat-hasrat rendah, menjaga hati, tidak melukai,
tidak mengancam, ramah, sabar, rendah hati, dan sejuta makna
kebaikan kepada yang lain, manusia, dan kepada alam semesta.

Dalam sejumlah kesempatan Gus Dur menyampaikan makna


takwa dengan menyitir ayat-ayat al-Qur'an ini:

JLJ1 _}h ;:_:,,:.,,:11,


J /
.,
,. .£..(
..
.A.}.� ;_<0'.>\.JIJ• r':°'i·, ,. · i
,, ..; ,, .,. "' ;\� J
,,
- i< J11 <,.,.T ,,
..
.
;, �

I I i ' ' I,. < �'I ' ,


. .
'-'\ .J.tl.:.J\'
·,, :,, ;..r-;- <
J. -' ....
� � if"-::' ' J
1 ·h
, �·11' ' '' J;.
,..r- ' ...;>,:i �
'

- .

!S� �� �,J�� �L.5)1 ._,li'J �'.>L� I fLifJ yLljll ..})


:; <-"' 1 1 ° •,
.'.,t.Ul
- .
ill •
, ,,/ ! <./l.::. ll '-'- , � � �
'"->' \I!-'.) f l..:. U l
.
. .• J-
',?, � ' 1 1''
!';.· L..;2J
< ) , I "...
I'.>..;. '.>'

52
Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi

•sukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu


suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi,
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak­
anak yatim, orang-<Jrang miskin, musafir (yang memerlukan pertolong­
an) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang­
orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa,' (Q.S. al-Baqarah, [2:]177).

Semua itulah makna takwa yang dipahami Gus Dur. Ia acapkali


menyebut ayat-ayat ini dalam berbagai kesempatan yang relevan.
Dari ayat al-Qur'an ini Gus Dur sering mengatakan bahwa Islam
itu terdiri dari 3 rukun (pilar): Rukun Iman, Rukun Islam, dan
Rukun Tetangga. Saya kira apa yang dimaksud Gus Dur tentang
rukun yang ketiga ini adalah Rukun Kemanusiaan. Gus Dur tentu
bukan tidak tahu rukun ini dalam konteks tradisi Islam disebut
Ihsan (budi baik). Tetapi, Ihsan dalam pengertiannya yang luas
adalah nilai-nilai kemanusiaan tadi. Ihsan adalah moralitas luhur,
budi pekerti mulia, dan hati nurani yang bersih. Ihsan adalah
puncak keberagamaan seseorang.

Dengan begitu itu, Gus Dur ingin menggugah kesadaran kaum


muslimin agar tidak mengabaikan atau mereduksi rukun tersebut,
sekaligus mengingatkan bahwa a
i menjadi tujuan dari agama dalam

kehidupan manusia di dunia. Untuk ini Gus Dur, sering bicara


tentang kejujuran, ketulusan dalam bekerja, keteguhan, kesabaran
dalam berjuang, menghargai orang dan mengadvokasi siapa saja
yang menderita dan yang ditindas. Lebih dari itu, ia bukan hanya
sekadar menghargai atau menghormati manusia yang berbuat
baik, melainkan juga menyambutnya dengan rendah hati dan
rengkuhan yang hangat. Sebaliknya, ia akan menentang siapa saja
yang merendabkan martabat manusia, apalagi menyakiti,
mengurangi, dan menghalangi hak-hak mereka. Ia akan membela

53
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

mereka yang martabat kemanusiaannya direndahkan, mereka


yang hak-haknya dikurangi, dipasung, disakiti, dan ditelantarkan.
Ketika para pengikut Ahmadiyah diusir dan masjid-masjid mereka
dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Ketika gereja-gereja
dilempari batu, ia berteriak "jangan". Ketika Inul Daratisna dihujat
ramai-ramai karena dia bergoyang-goyang dan meliuk-liukkan
tubuhnya bagai bor, ia "memeluk"nya dengan hangat. Ketika Dorce
Gamalama disorak-sorai karena berganti kelamin, ia mengajaknya
bicara dengan lembut dan penuh kasih. "Jika itu adalah dirimu,
teruslah bekerja dan lakukan hal-hal yang baik untuk orang lain,"
katanya. Ketika urusan gambar tubuh polos perempuan
(pornografi) hendak diserahkan kepada negara, ia berdemonstrasi
bersama istri tercintanya; Shinta Nuriyah dan bersama-sama
mereka yang menghargai kemanusiaan. Saya masih mengingat
dengan baik, beberapa menit menjelang demo menentang RUU
tersebut, saya dan Gus Dur bicara di hadapan wartawan. Kami
berdua sepakat bahwa menentang RUU tidaklah berarti
menyetujui pornografi. Kami tidak setuju terhadap pornografi,
tetapi ia tak perlu diundangkan. RUU itu menyebut definisi
pornografi yang tak jelas, ambigu, sehingga setiap orang bisa
memaknainya sesuai pikiran dan otaknya. Jika yang memaknainya
orang-orang yang memegang kekuasaan politik dan dibenarkan
untuk menghukum, maka amat mungkin dia menjebloskan yang
tak bersalah ke dalam penjara. Apalagi politik kekuasaan menjadi
panglima. Ketika orang-orang Thionghoa meminta hari raya Imlek
dan Barongsae, ia memberikannya dengan tulus. Mereka, menurut
Gus Dur, berhak menjalankan tradisi keagamaan mereka, seperti
umat yang lain. Meski tak bisa melihat dengan mata lahiriahnya,
ia hadir menyaksikan tarian-tarian singa itu dan bertepuk tangan.
Mata hatinya melihatnya dengan amat jelas. Gus Dur senang.

Seringkali kita melihat sikap perlawanan dan pembelaan itu


dilakukannya seorang diri. Ia berjalan sendiri, tak ada siapa-siapa

54
Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi

di sampingnya, meski ia harus mempertaruhkan jiwanya. Ia tak


peduli. Dalam perlawanannya terhadap pembredelan Tabloid
Monitor dan pembelaannya terhadap Salman Rushdi dalam kasus
bukunya The Satanic Verses, yang bikin heboh itu, karena
merendahkan dan mencipakan citra amat buruk Nabi, misalnya,
Gus Dur tak menemukan mata Iain yang penuh pengertian. Ia
tampil sendirian saja. Tokoh besar yang lain tak cukup berani
melakukannya. Seorang sufi mengatakan, "Ia yang jiwanya telah
mencapai kesadaran yang matang, bantuan eksternal tak Iagi
diperlukan." Dan Gus Dur sanggup menjalaninya seorang diri
dengan tegar, karena ia telah matang. "La Yakhaf Laumata Laa­
im" (Ia tak pernah gentar pada mata mereka yang membenci).
"Ditempatkan di urutan manapun, Muhammad bin Abdullah tetap
saja sang penghulu para nabi dan utusan Tuhan, Insan Kamil,"
katanya mengomentari urutan Nabi pada posisi ketiga di antara
orang-orang yang dikagumi masyarakat Indonesia.

Bagi Gus Dur, semua manusia adalah sama, tak peduli dari
mana asal usulnya, apa jenis kelamin mereka, warna kulit mereka,
suku mereka, ras dan kebangsaan mereka. Yang Gus Dur lihat
adalah bahwa mereka manusia seperti dirinya dan yang lain. Yang
ia lihat adalah niat baik dan perbuatannya, seperti kata Nabi;
"Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahrnu, melainkan perilaku dan
hatimu." Gus Dur bukan tidak paham bahwa ada yang keliru, ada
yang tidak ia setujui atau ada yang salah dari mereka yang
dibelanya. Gus Dur tetap saja membela dan menemani mereka. Ia
membela karena tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena
baju agamanya yang berwarna lain, harta mereka dirampas
semaunya, ekspresi-ekspresi diri mereka dihentikan secara paksa
oleh negara atau direnggut dengan pedang oleh otoritas dominan
dan kehormatan mereka diinjak-injak. Padahal mereka tak
melakukan perbuatan apa-apa yang melanggar hukum. Orang
seharusnya bercermin diri. Menyakiti orang lain sesungguhnya

55
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

menyakiti diri sendiri. Apakah dan bagaimanakah bila orang lain


menyakiti dirimu padahal dirimu tak melakukan kejahatan apapun
terhadapnya dan hanya karena engkau berbeda keyakinan
dengannya? Membela kehormatan manusia adalah perjuangan
besar dan perjuangan para nabi dan orang-orang besar.

Bagi Gus Dur, ekspresi-ekspresi diri, personal, individual, yang


dianggap sebagian orang sebagai tak bermoral, tak boleh
melibatkan negara, tak boleh diintervensi kekuasaan, tetapi harus
diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan cara-cara yang
mereka miliki, tanpa kekerasan dan tanpa menghakimi sendiri.
''La Hukma liAhad 'ala al-Qalb"(Tak seorang pun bisa menghakimi
hati), dan dengan mengaji yang sungguh-sungguh, sampai khatam
dan dengan ketulusan. Ada cara-cara yang diajarkan kitab suci al­
Qur'an bagaimana seharusnya mengajak orang untuk mengerti dan
berperilaku baik, beretika dan santun.

"Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu melalui pengetahuan yang


tinggi (hikmah), berkata-kata yang baik dan berdiskusi dengan cara
yang lebih baik."

Bagi Gus Dur, keyakinan dan pikiran tak bisa dinamai, tak
bisa diberi tanda. Pikiran dan hati adalah misteri yang tersembunyi.
Ia bagaikan burung yang terbang di langit lepas. Ia dapat menge­
lana ke mana-mana. Karena burung itu bisa naik-turun, belok
kanan-kiri, maka ia sulit ditangkap. Kata Rumi dalam Fihi Ma Fihi:

"Tak ada kemampuanmu menjauhkan pikiran-pikiran itu meski


dengan seratus ribu kali rekayasa berkeringat.•1

' Fihi Ma Fihi, Pasal 23, him. 153.

56
Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi

Bawalah pisau tajam. Lalu gunakan pisau itu untuk membelah


dada orang dan memisahkannya, lalu carilah pikiran dan gagasan
dia dengan cara mengambilnya bagian demi bagian, niscaya kau
tidak akan pernah bisa menemukan pikiran dan gagasan apapun
di sana. Engkau juga tak akan menemukannya pada darah maupun
saraf-sarafnya.

Tuhanlah yang menganugerahkan pikiran dan kata hati pada


hamba-hamba-Nya. Dialah Pemilik napas setiap yang hidup dan
Dialah yang akan menanyainya kelak, bila tiba masanya napas dan
hati itu kembali. Karena itu, hanya Dialah yang berhak menamainya
dan menghakiminya, tidak yang lain dan tak mungkin yang lain.

Itulah sikap seorang yang telah memiliki batin yang bebas.


ltulah sifat seorang sufi, seorang bijak-bestari yang jiwanya
mampu menembus kedalaman makna kata-kata Tuhan. Kata-kata­
Nya memiliki dan menyimpan berjuta makna dan pengertian tak
terbatas. Pemaksaan atas pikiran dan keyakinan orang tak akan
menghasilkan apa-apa, tindakan sia-sia, tak berguna, selain
membuat orang dan keluarganya menjadi sakit, menderita, Iuka
hati dan menghambat kreativitas, kemajuan kebudayaan dan
peradaban manusia. Tak ada cara lain untuk menundukkan orang
lain kecuali melalui bicara manis, tanpa marah-marah dan dengan
otak yang cerdas. Jika tak tunduk, biarkan masing-masing berjalan
sendiri-sendiri, sambil katakan saja: "Anda adalah anda dan aku
adalah aku. Wassalam!"

Tindakan dan sikap itu, menurut Gus Dur, sesungguhnya telah


diajarkan oleh Islam, oleh para nabi dan para bijak-bestari sejak
ribuan tahun lalu. Ia sering menguip
t sumber literatur Islam klasik
yang bicara mengenai hak-hak individu. Salah satunya adalah Al­
Mustashfa, karya Imam Abu Hamid al-Ghazali.2 Sufi besar ini

' Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, lahir di Thus, tahun 405 H,
sebuah daerah di Persia, Iran. la dikenal sebagai *Huiiah al-Islam• (Argumentartor

57
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

mengatakan bahwa tujuan aturan agama adalah memberikan


jaminan keselamatan keyakinan orang, keselamatan fisik,
keselamatan profesi, kehormatan tubuh dan pemilikan harta. Al­
Ghazali menyebut lima prinsip dasar perlindungan ini sebagai ''.Al­
Kulliyyat al-Khams". Orang sering menyebutnya "Maqashid al­
Syari'ah" (tujuan-tujuan pengaturan kehidupan). Lima prinsip ini
merupakan pemberian Tuhan pada setiap manusia yang tak ada
seorang manusia pun berhak mengurangi atau menghilangkannya.
Inilah basis fundamental (Al-Rukn al-Asasl) pikiran-pikiran dan
Iangkah-langkah Gus Dur. "Lima prinsip perlindungan ini, kata Dr.
Abd Allah Darraz, merupakan dasar-dasar pembangunan masya­
rakat yang diajarkan dalam setiap agama. Tanpa dasar-dasar ini
dunia tidak akan tegak dan keselamatan manusia pasti terancam."3

Ketika suatu hari, tahun i997, saya sedang membaca di kamar


atas di rumahnya, dan Gus Dur masih belum pulih benar dari
sakitnya yang cukup panjang, beliau diberitahu ada saya di kamar
atas. Dan saya dipanggil menemuinya di kamarnya. Beliau
mengenakan celana di bawah lutut dan kaos, dan berbaring saja.
Sesudah tanya-jawab silaturrahim, saya memberanikan diri
bertanya: "Apakah politik?" Gus Dur menjawab yang saya
terjemahkan sebagai : "Berpikir menemukan jalan dan bekerja
sampai batas tak tertanggungkan bagi kebahagiaan sebanyak­
banyak manusia."

Meskipun Gus Dur membaca, mengerti, dan memahami


dengan baik, ia tidak selalu mengutip pandangan atau sumber dari
Barat atau Yahudi, seperti dituduhkan sebagian orang, meski
mungkin saja memeroleh inspirasi darinya. Jarang sekali beliau

Islam). la menu I is lebih dari 100 buku bermutu dalam banyak disiplin. Karyanya
yang sangat terkenal, lhya Ulumuddin, Al-Munqizd min al-Dha/al, Tahafut a/­
Falasifah. Pandangan-pandangannya menjadi rujukan kaum Ahlussunnah wal
Jama'ah. Al-Ghazali dianggap sebagai sufi ierbesar sepanjang sejarah.
3 Muqaddimah al Muwafaqat, I, him. 4.

58
Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi

mengutip panjang lebar ucapan filsuf atau pemikir Barat. Ia


banyak menggali pikiran dan tindakannya dari sumber tradisi
Islam sendiri, sekaligus mampu menginterpretasikan dengan cara­
cara yang memukau dan genuine, sejalan dengan konteks
kehidupan sosialnya yang selalu bergerak dan tak pemah berhenti.
Khazanah intelektual Islam itu memang sangat kaya dengan
referensi tradisi Islam klasik ini berikut perangkat analisisnya:
bahasa, sastra, logika, sejarah, filsafat sosial, dan metode-metode
keilmuan.

Melalui penjagaan atas Hrna prinsip dasar kemanusiaan uni­


versal tersebut, Gus Dur memimpikan berkembang dan tersebar­
nya persaudaraan manusia atas dasar kemanusiaan (Ukhuwwah
Insaniyyah), tanpa dibatasi sekat-sekat primordial. Ini menurut
saya sesungguhnya merupakan gagasan para sufi besar. Para sufi
yang sejumlah namanya disebutkan di atas, adalah orang-orang
yang paling vokal menyuarakan gagasan pluralisme dan
persaudaraan universal itu. Tak ada keraguan sedikit pun di hati
mereka pada prinsip uta.ma agama bahwa tidak ada di alam semesta
ini kecuali Tuhan Yang Satu yang ke hadapan-Nya seluruh yang
mawjud tunduk. Dan seluruh yang mawjud (ada) sejak ia ada
sampai keberadaannya tercabut, selalu dan terus mencari-cari
Dia melalui jalan dan bahasa yang berbeda-beda.

,, • J l "· -: .• �
d.· . '1 !.lb J J I' < 1 '.• ' · = "• "',,, I''"-
,, J , )


• .
J
,
.'->·
11 · ,,
'<


•• ...1.>
• -' �, '->"'""' w'.J�

Bahasa kita begitu beragam


tetapi Engkaulah Satu-satunya yang lndah
Dan kita masing-masing menuju
kepada Keindahan Yang Satu itu

Para mahaguru kearifan sering ditanya para santrinya: "Ada


berapakah jalan manusia menuju Tuhan? Mereka selalu bilang:
"Ada seribujalan menuju Tuhan." Sufi lain bilang: "Sebanyakpikiran

59
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

manusia." Sufi lain lagi mengatakan: "Sebanyak partikel pada alam


semesta." Dan dengarlah apa kata Rumi mengenai ini:

• ;.;;._.
,. <JI
,

•Meski jalan yang d itempuh manusia bisa berbeda-beda, tujuan­


nya satu. Tidakkah kalian lihat ada begitu banyak jalan menuju
Ka'bah? Sejumlah orang datang dari Anatolia, sebagian dari Syam
(Siria, Palestina), sebagian dari Persia, sebagian dari Cina, sebagian
menyeberang melalui laut (atau darat atau udara). Bila kalian
merenungkan berbagai jalan yang dipilih orang, kalian akan melihat
begitu banyak jalan. Akan tetapi, bila kalian melihat/memper­
timbangkan tujuan, maka kalian akan mel ihat semuanya sama dan
sepakat menuju Ka'bah.'4

Dan mereka sepakat sebagaimana dikatakan sufi besar Abi


Sa'id lbn Abi al-Khair,s bahwa:

4 Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Pasal 23, him. 153.


s Abi Sa'id lbn Abi al-Khair. Nama lengkapnya adalah Abu Sa'id Fadhl Allah ibn
Abi al-Khair, lahir pada 1 Muharram 357 H (atau 967 M) di Khawaran, Khurasan .

Ayahnya, Abu al-Khair, atau dikenal sebagai Babu Bu al-Khair adalah dokter yang
saleh dan religius, serta akrab dengan syariat dan tarekat. Syaikh Abu Said al­
Khair adalah sufi dan penyair masyhur, tokoh sufi pertama yang merancang
pri nsip-prinsip aturan lembaga kerohanian atau tarekat bagi para pengikutnya.
Beliau dianggap sebagai penemu pertama metode khalwat yang disebut sebagai
chilla·yi ma'kus, yakni khalwat selama empat puluh hari dengan posisi badan
terbalik, kepala tergantung di bawah-metode yang kelak dipakai oleh mursyid
tarekat Chistiyah di India.

60
Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi

"Tak ada jalan yang terpendek, terbaik, dan tercepat menuju


Dia, selain memberi rasa nyaman pada orang lain."

Maka kebhinekaan realitas alam semesta ini seharusnya tidak


menghalangi setiap manusia untuk memahami pikiran, bahasa,
dan kehendak-kehendak manusia yang lainnya. Para sufi
memandang alam semesta yang beragam dan yang seluruhnya
mengandung keindahan sebagai "tajalli" Tuhan, perwujudan
rahmat dan keagungan-Nya di alam semesta. Keberanekaan berasal
dari Tuhan. Dialah Sang Penciptanya. Ibnu Athaillah, nama sufi
besar yang dikagumi Gus Dur, banyak bicara soal Kesatuan
Semesta, meneruskan gagasan Ibnu Arabi. lbnu Ajibah mengo­
mentari gagasan itu dalam syaimya yang indah:

..J
..
'
j5'
L::...._; I .
'
.•
lJ
, ,.

Lihatlah Keindahan-Ku
Tampak pada semua manusia
Air mengalir,
menembus
pokok dahan dan ranting
Engkau mendapatinya
Berasal dari satu mata air
Padahal bunga berwarna-warni

Nab, lagi-lagi di sini kita menemukan jalan yang ditempuh


Gus Dur. Gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan pluralismenya
ternyata berangkat dari radisinya
t sendiri. Ia tekun mengaji kia
t b­
kitab klasik raksasa dan primer sampai khatam. Sayang, kitab-kitab

61
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

ini amat jarang dibaca orang atau dibaca tetapi hanya sampai kulit
luar, yang tertulis, yang literal, harfiah, dan tak khatam, tak selesai.
Maka hanya orang-orang yang mampu membaca dan memahami
kitab-kitab tersebut dengan baiklah yang mengerti pikiran-pikiran
Gus Dur, meski tidak selalu punya pendapat yang sama dengannya.

Gus Dur bagi saya adalah seorang sufi besar. Apa yang
disampaikan dan dilakukannya memperlihatkan gagasan, pikiran,
dan perilaku para sufi. Sebagian daripadanya sebagaimana sudah
disebutkan. Kelompok ini dalam berbagai sejarah peradaban
manusia merupakan kelompok paling toleran terhadap siapa saja
dan agama apa saja. Mereka sering berseberangan dengan
kelompok ahli hukum (fuqaha). Kesalahpahaman antara keduanya
sering dan hampir selalu terjadi di segala zaman dan tempat.
Perbedaan ini sesungguhnya lebih pada cara pendekatan
memahami kehendak-kehendak Tuhan. Kaum sufi memahaminya
melalui pendekatan "batin", substansi yang dalam bahasa mereka
sering disebut sebagai "Qalb" (hati) atau "Lubb" (biji). Sementara
kaum fuqaha mendekatinya melalui fenomena atau fakta lahiriah
dari tindakan manusia, atau legal-formal. Dalam bahasa kaum sufi
ia adalah "Qasyr" (kulit). Mereka mengritik kaum fuqaha dengan
mengatakan: "Khudz al-Lubb wa Alqi al-Qasyr" (Ambillah bijinya
dan buang kulitnya). Imam al-Ghazali, sufi terbesar, mengatakan:

•oia (mereka) yang tercerahkan, mencari kebenaran pada makna


bukan pada kata. Dia yang lemah melakukan sebal iknya; mencari
kebenaran dari kata bukan dari makna."6

6 Abu Hamid al-Ghazali, Misykat al-Anwar, Abu al-'Ala 'Afifi (ed.), (Kairo: al­
Maktabah al-Arabiyah, 1964), him. 66.

62
Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi

Jika harus diringkas bagaimana pandangan kaum sufi terhadap


realitas dunia dan relasi antarmanusia di atas bumi, maka dalam
catatan Ahmad Amin, paling tidak adalah sebagai berikut:

• ., J. �

..l!l J� J�_;JI
�f j1�,; ,11 j} ,:ho; ��� ,j_;.l. iJG .'· i\S' \�� .D

63
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

1. Tuhan hanyalah Satu, Esa, Tunggal. Dia Eksistensi Yang Abadi,


Eternal. Tidak ada tuhan selain Dia. Meski nama-Nya berbeda­
beda, karena keberagaman bahasa, tetapi Dia adalah Dia.
2. Tak ada hakim atas semesta, kecuali Allah. Dialah yang memberi
cahaya bagi setiap jiwa. Dialah yang membebaskan manusia dari
kegelapan menuju cahaya. Dialah sumber segala pengetahuan.
3. Semua agama adalah jalan atau cara mendekati Tuhan. Sebagian
ada yang lebih maju dari yang lainnya sesuai dengan konteks
zamannya. Semua agama menuntun manusia untuk melakukan
proses menuju Eksistensi Paling Tinggi, yakni Allah.
4. Meskipun dalam kenyataannya agama-agama berbeda-beda
dalam ritus-ritusnya, akan tetapi tujuannya adalah sama; mencapai
kedekatan dengan Tuhan. Seorang sufi menurut lbnu Arabi
•Melihat Tuhan di Ka'bah, di Masjid, di Gereja.•
5. Memang ada banyak jalan mendekati Tuhan, akan tetapi ada satu
jalan yang lurus. Yaitu meniadakan egoisme dan kepentingan diri.
6. Tidak ada persaudaraan selain persaudaraan atas dasar
kemanusiaan. Maka di bumi ini hanya ada satu kehidupan, yakni
kehidupan bersama. Keberbedaan yang ada hanyalah fenomena
belaka. Seorang manusia adalah menyatu dengan yang lain dalam
relasi dalam keluarga, lalu dalam kebangsaan, kemudian dalam
kemanusiaan universal. Seorang sufi tidak suka terhadap orang
yang mengklaim kebenarannya sendiri. Karena baginya yang lain
adalah sama dalam kemanusiaannya.
7. Tidak ada kode moral tertinggi, selain cinta yang mengingkari
Ego dan mengembangkan kebaikan. Meskipun ada banyak kode
moral, akan tetapi dasar utamanya adalah cinta. Cintalah yang
melahirkan harapan, kesabaran, ketabahan, toleran dan semua
moral baik. Penghormatan, toleransi, memberikan kebaikan
semua lahir dari cinta.7
' Baca: Ahmad Amin, Zhuhr al-Islam, cet. V, Juz II, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi),
him. 79-81.

64
Pluralisme Gus Dur, Gagasan para Sufi

Al-Hallaj, sang sufi legendaris, seperti Syaikh Siti Jenar di


Indonesia, mengungkapkan pandangannya dalam puisinya yang
terkenal:
...-;, ... , " ... � , ;
- , ) . ' <-
1l.A7" � "
-.;. ,,, '\.I "
Y . 1 1�
. ''-P


,

.- t
i ,,

:·-;11L...'..! •••. � . ,,•·"J 11


, �::c_ J>;- U�.)
-
� -;
,
-
J ...:.:JJ:,
:,; "
' ,

) ., .,
1- ..,
'
·. " , 'I'_, V:l...
I'' " 'I '

.. · ;J�· , .lt.,..q,.J �
\..:-- ···
· ·
. ·

·
·-4

Sungguh, aku telah merenung amat panjang


agama-agama
Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang
Jangan kau meminta orang memeluk satu saja
Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam
Seyogyanya biar saja akar itu membimbingnya
Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan
dan makna-makna luhur
Maka dia akan mengerti
(Diwan al-Hallaj, 50)

Ajaran-ajaran tentang pluralisme di atas sesungguhnya telah


beribu tahun, hadir dalam Bhagawad Gita. Saya yakin Gus Dur
sudah lama membacanya, karena dia juga sangat mengagumi
Mahatma Gandhi. Gita menyatakan: "Meski ada banyak dan
beragam keyakinan dan praktik keagamaan, kesadaran spiritual
yang mereka tuju pada dasarnya adalah satu dan sama."

65
#5
"SANG ZAHID" DI R UMAHNYA

La.ntunanAl-Qur'an di Pagi. Hari


Sampai detik ini, sudah tiga belas tahun, atau tepatnya sejak
tahun 1997, saya mondar-mandir, datang dan pergi ke rumah Gus
Dur, di Ciganjur. Ketika rumah di Ciganjur direnovasi dan pindah
sementara di Jalan Paso, saya juga datang dan pulang. Kedatangan
saya ke rumah Gus Dur, tak pasti. Kadang sebulan sekali, kadang
dua bulan dan kadang tak bisa dihitung dengan hari. Semua
tergantung kesepakatan sebelumnya. Di rumah itu saya pada
awalnya datang untuk mengaji kitab kuning: "Uqud al-Lujain Ji
Bayan Huquq al-Zawjain", karya ulama besar Indonesia: Kiai
Nawawi al-Bantani, bersama teman-teman, dipimpin Ibu Shinta
Nuriyah. Tetapi dengan berjalannya waktu, ada ruang terbuka bagi
saya untuk bercanda-canda, tertawa riang dan tergelak-gelak,
berdebat panjang, mendengar dongeng-dongeng, anekdot­
anekdot, cerita-cerita epos, dengan keluarga Gus Dur, Ibu Shinta
(istrinya), empat putrinya: Lissa, Yenny, Anita dan Inay, sahabat­
sahabat dan orang-orang yang ada di rumah itu. Ketika belum ada
kamar tamu, saya tidur di dalam rumah di kamar lantai 1 atau di
kantor Puan, untuk satu atau dua malam, lalu pulang lagi ke
Cirebon. Semuanya adalah hari-hari yang menyenangkan dan
selalu merindukan. Tetapi memang saya jarang bertemu Gus Dur,
apalagi terlibat dalam "ngobrol" panjang, atau "ketawa-ketiwi",

67
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

kecuali hanya beberapa kali saja. Bukan apa-apa, tetapi karena


beliau memang jarang tinggal lama-lama di rumah, meski selalu
pulang untuk istirahat dua atau tiga jam, paling lama empat jam.
Gus Dur sering datang dini hari, tanpa jam yang pasti. Manakala
orang-orang di rumah sudah mimpi indah beliau datang. Kadang
pukul 24.00, pukul 01.00 atau 02.00, tetapi beliau selalu bangun
pukul 04.00, sebelum Subuh. Saya tak tahu pasti apa yang
dilakukannya setelah bangun. Setiap saya keluar kamar dan turun,
Gus Dur sudah tidak ada lagi di rumah itu. Entah ke mana. Yang
saya temukan adalah lantunan suara-suara merdu Syaikh al­
Hushari, Syaikh Sudaisi atau Syaikh Abdul Basit Abdussahamat.
Mereka adalah para Qari (pelantun al-Qur'an) terkemuka dunia
dengan suaranya yang amat merdu dan indah. Suara-suara bacaan
al-Qur'an itu dibiarkan melantun-lantun memenuhi dan menghiasi
setiap ruang di dalam rumah itu sampai cahaya matahari pagi yang
hangat menembus jendela kamar. Begitu indah, sejuk, ramah dan
menciptakan kedamaian di hati. "Gus Dur sendiri yang meminta
kaset al-Qur'an itu diputar saban pagi, usai shalat Subuh," kata ibu
Shinta. Gus Dur memang amat senang mendengar al-Qur'an
dibacakan dengan suara yang indah. Bila ada ayat yang mengesan­
kan hatinya ketika itu, ia kemudian acap menyampaikannya
dengan memberi tafsir atasnya menurut pikirannya. Bukan hanya
melalui kaset yang diputar setiap pagi, melainkan juga
mengundang "Huffazh" (para penghafal al-Qur'an). Hampir setiap
bulan beliau mengundang mahasiwa-mahasiswi dari Perguruan
Tinggi llmu al-Qur'an (PTIQ) dan lnstitut Ilmu al-Qur'an (IIQ)
untuk "sema'an". "Sema'an" diambil dari kata Arab "Sima"', atau
"Sami'a" yang secara literal berarti mendengarkan. Tetapi entah
sejak kapan kata itu telah menjadi istilah bagi suatu ritual membaca
al-Qur'an oleh para penghafal al-Qur'an (hafiz/hafizhah) di
hadapan orang lain yang mendengarkannya (mustamiin) sambil
membuka Mushaf dan mengamati huruf-huruf suci itu yang sedang

68
uSang Zahidu di Rumahnya

diperdengarkan para qari tersebut. Mereka bukan hanya orang­


orang yang hapal al-Qur'an 30 juz, melainkan juga, untuk sebagian,
adalah para "Qari-Qari'ah" yang dianugerahi Tuhan suara indah
dan merdu. Perguruan Tinggi Al-Qur'an yang disebut pertama
adalah almamater saya, sejak 1973 sampai 1980.

Tidur diAtas LzntaiMendekap Banta/


Sering, ketika tamu sudah pulang, malam telah sepi dan bulan
di langit tertatih-tatih berjalan ke barat untuk beberapa jam
kemudian tenggelam, Gus Dur tak langsung masuk kamar untuk
isirahat,
t tidur. Beliau lebih suka tidur di ruang depan, di ruang
tamu atau di ruang terbuka di mana saja yang dirasanya nyaman.
Jika pun sudah di dalam kamar ia acap keluar kamar sendirian,
sambil meraba-raba tembok lalu mencari kursi. Ia duduk-duduk
di situ sambil tangannya tetap seperti mengetuk-ngetuk. Atau ia
mengambil tempat di lantai dan merebahkan tubuhnya begitu saja
atau melingkar sambil memeluk bantal. Ia tak pernah memilih
tempat untuk tubuhnya. Kebiasaan ini tidak hanya ketika ia di
rumahnya, tetapi juga di tempat atau rumah orang lain. Pada saat
a
i ke pesantren saya di Cirebon dalam rangka "diadili" para ulama,
ia makan sambil duduk di lantai yang hanya dilapisi tikar. Lalu
ketika ia singgah dan menginap di rumah Kiai Fuad Hasyim (aim.),
Buntet Pesantren, Cirebon, ia juga melakukan kebiasaan itu. "Gus
Dur sering mampir ke sini untuk sekadar cari teman ngobrol
ngalor-ngidul, kadang sampai dini hari yang dingin, sambil
lesehan, leyeh-leyeh. Jika sudah ngantuk beliau langsung
merebahkan tubuhnya di lantai, begitu saja, kadang melepaskan
bajunya dan tidur dalam keadaan tubuh atas terbuka." Ini cerita
Alm. Kiai Fuad kepada saya suatu hari di rumahnya. Kiai ini adalah
orang yang mengerti pikiran-pikiran saya dan tempat saya bisa
berbagi cerita sekaligus tempat saya berlindung.

69
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Bagi Gus Dur, tempat di mana-mana sama saja, sebab tubuh


sangat tergantung pada jiwa. Tubuh mengikuti jiwa, bukan
sebaliknya. Tanpa jiwa, bentuk adalah benda padat yang tak
berguna. Seorang sufi berkata: "Khudz al_Lubb in Kunta min Uli
al-Albab," Ambillah saripati jika engkau seorang cendekia.
Kadang, "kenikmatan tubuh sering melalaikan Tuhan," kata para
sufi. Di desa atau di dalam hutan, di dataran yang rendah atau di
atas bukit, di manapun para darwis atau para bhikku tinggal,
tempat-tempat itu tetap saja menyenangkan. Para sufi besar selalu
memilih mengutamakan jiwa, ruh dan bukan tubuh. Gus Dur
pastilah sudah membaca sejarah hidup Nabi atau pernah
mendengar cerita ayahnya. Ibnu Mas'ud sering melihat Nabi tidur
di rumahnya. Sahabat Nabi ini bercerita:

� ,, ' ) ,,
� )1 :J� fW j.� � �' � .:ill � �1 Jr) fLl '

J 1_;" :Jill .�U.j d \j�J1 jl .&! Jy.5 � d�� '�/>..


..,

•Nabi tidur di atas tikar. Ketika bangun, tampak di tubuhnya


bekas cetakan tikar. Aku bilang: "Nabi, bolehkah kami ambilkan kasur
untukmu?" Nabi mengatakan: •Apalah artinya aku dan kehidupan di
dunia ini. Di sini aku hanyalah bagai penunggang unta yang bernaung
sementara di bawah pohon. Sesudah itu berangkat lagi dan
meninggalkan tempat itu.•1

Dengan begitu Gus Durjuga seakan-akan tak lagi memikirkan


dirinya sendiri. Tak memikirkan tubuhnya harus diletakkan di
mana. Ia tak peduli akan direbahkan di mana saja. Ia tak
memanjakan tubuhnya. Baginya, tak ada bedanya tidur di atas
kasur yang empuk atau di atas lantai yang keras. Untuk yang

' Imam Nawawi, Riyadh al-Shalihin, HR. Tirmizi.

70
NSang ZahidN di Rumahnya

terakhir ini ia sudah lama menjalaninya ketika di pesantren.


Jiwanya seakan-akan selalu bergelora, resah, berdesir sarat rindu
kepada orang lain. Apakah yang ada dalam pikiran dan jiwanya?
Saya mengira-ngira saja. Ya, saya hanya mengira-ngira: bahwa
yang ada dalam pikirannya, jiwanya, dan relung hatinya adalah
manusia. Si A, B, C sebagai manusia. Ya manusialah yang selalu
menjadi pikirannya, terutama terhadap mereka yang hatinya Iuka,
terkoyak, dan hancur. Gus Dur boleh jadi selalu ingat kata-kata
Nabi kepada para sahabatnya suatu saat: "Temani mereka yang
hatinya Iuka. Jika kalian mencariku, datanglah ke tempat
kumpulan orang-orang yang hatinya Iuka." Kata-kata Nabi itu
lengkapnya adalah:

•Abu Hurairah berkata bahwa Nabi Saw. pemah bersabda: •Allah,


pada hari kiamat akan mengatakan: 'Wahai anak Adam, Aku sakit
tetapi kamu tidak menjengukk-Ku. • Si hamba bertanya: •sagaimana
aku harus menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi alam
semesta?" Allah menjawab: •Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba­
Ku si FuIan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Seandainya
kamu menjenguknya pasti kamu temui Aku di sisinya." Dia bertanya
lagi: •Hai anak Adam, Aku lapar, tetapi kamu tidak beri Aku makan.•
Si hamba menjawab: "Wahai Tuhan, bagaimana aku memberi makan
Engkau, padahal Engkau adalah Tuhan alam semesta?" Dia mengata­
kan: "Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan minta makan
kepadamu, tetapi tidak kamu beri makan? Seandainya kamu beri
makan si Fulan, niscaya kamu dapati Aku berada di sisinya." Allah
bertanya lagi: "Hai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tapi
kamu tidak beri Aku minum.' Si hamba menjawab: •sagaimana aku
memberi-Mu minum, sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?"
Allah mengatakan: •Hamba-Ku si Fulan meminta minum kepadamu
tapi kamu tidak memberinya minum. Seandainya kamu memberinya
minum, niscaya kamu akan mendapati dan menemui Aku di sisinya,•
(Hadits Qudsi).

Tak Memikirkan Pakaian


Sering saya melihat, Gus Dur, di rumahnya, hanya mengena­
kan kaos dan celana sebatas bawah lutut, dari bahan yang tak

71
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

tampak berkualitas. Seperti yang sudah aku ceritakan, ketika ia


masih sakit, tahun 1997, saya dipanggilnya masuk kamarnya.
Sastro Ng, mungkin mengabarinya saya ada di kamar atas di
romahnya. Di kamar itu ia mengenakan pakaian seperti itu: celana
dan kaos seperti tadi. Saya tak melihat logo "Polo" atau sejenisnya
pada dada kaos itu. Ya seperti pakaian yang dikenakannya ketika
ia berdiri di depan istana, sambil melambai-lambaikan tangan
kepada ratusan umatnya yang menunggunya menjelang ia
dilengserkan dengan paksa dan inkonstitusional dari kursi kepresi­
denan. Tak ada bedanya, ketika ia di istana maupun di romahnya.
Gus Dur memang tak memikirkan atau tak lagi terpikirkan soal
bahan apa dan warna apa yang patut dipakai, meski ia mampu
merabanya. Ia juga tak peduli bikinan siapa untuk pakaiannya,
bikinan dalam negeri atau luar negeri, buatan orang Islam atau
orang kafir, dan sedang menjadi presiden atau menjadi orang
biasa. Ia menerima saja apa yang diberikan kepadanya. Tetapi
tentu saja, ibu, anak-anaknya atau saudara-saudaranya memper­
hatikan untuk memilihkan apa yang pantas bagi suami, bapaknya
atau kakaknya atau saudara-saudaranya. Merekalah yang
memilihkan pakaian untuk suami/ayahnya/kakaknya, apa pakaian
yang pantas baginya di suatu tempat dan untuk momen-momen
yang dihadirinya. Sungguh, saya tak pernah melihat Gus Dur
memakai sarong, seperti kiai pada umumnya, padahal ia adalah
kiai besar, kecuali di foto yang tersimpan di album foto keluarganya
atau di tempat lain, saya tak ingat. Padahal saya dulu, ketika masih
mondok di pesantren, menganggap sarong adalah pakaian Islam.
Tak sah rasanya jika shalat atau menghadiri akad nikah, tidak pakai
sarong. Jika saya masuk masjid untuk shalat dengan pakai sarong
bersama orang lain yang memakainya, maka saya dianggap tidak
pantas menjadi imam shalat. Tidak afdol, katanya. Bila saya
menghadiri akad nikah orang di kampung dan saya tidak memakai
kain sarong, wali nikah dalam beberapa kasus, tak meminta saya

72
uSang Zahidu di Rumahnya

mewakili menikahkan anaknya atau menyampaikan khutbah nikah.


Budaya kita acap melihat "sarung" sebagai tanda kesalehan
seseorang. Paling tidak lebih saleh dari orang yang memakai celana
panjang. Mungkin saja, ini akibat negeri ini pernah dijajah Belanda.
Para penjajah selalu memakai celana dan dasi. Maka celana
cenderung memiliki makna identitas penjajah. Konon, pemah ada
fatwa haram memakai celana, karena alasan tersebut. Gus Dur,
tentu juga paling paham soal budaya ini. Saya memperoleh cerita
dari murid-muridnya ketika di Pesantren Tebuireng, Jombang,
Jawa Timur. Manakala Gus Dur mengajar di kelas, ia mengenakan
celana panjang, dan tidak pernah sekalipun memakai sarung seperti
sebagian guru yang lain. Dalam perjalanan ke mana-manapun, ia
tak memakai sarung, apalagi dengan sorban hijau panjang yang
diletakkan di bahunya, sebagaimana beberapa kiai lainnya.

Kiai A.Wahid Maryanto, atau yang akrab dipanggil Kiai Acung,


santri Gus Dur ketika di Pesantren Tebuireng, suatu saat bercerita
kepada saya bahwa Gus Dur sering tak betah sendirian di rumah,
baik ketika malam maupun ketika siang. Ia sering mencari-cari
teman untuk sekadar menjadi tempat menyalurkan hasrat­
hasratnya; bicara ngalor-ngidul tentang politik, partai, negara,
dunia, bangsa, tentang NU dan umat, atau bercerita yang ringan­
ringan dan tak ketinggalan joke-joke menyegarkan dan membuat
perut jadi sakit, sambil memijat-mijat kaki dan tubuhnya yang
kelelahan. KiaiAcung bilang, dirinya sendiri, terutama pada malam
hari, jika ada di sana, sering dipanggil "bapak" untuk keperluan
yang sama. Bila "bapak" telah tidur, dia pamit. "Meski tidur sampai
mendengkur kecil, "bapak" tahu kalau aku meninggalkannya,
pulang ke kamar tamu di depan," katanya. "Hmm, kamu pulang
Cung," kata Gus Dur pada Kiai Acung. Dan ia hanya menjawab
singkat: "Inggih, Pak." Dan Gus Dur membiarkannya pulang,
meninggalkannya sendiri. "Bapak" adalah panggilannya kepada
Gus Dur.

73
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Bila Gus Dur tak bisa tidur nyenyak dan tubuhnya terlihat
bagai orang yang sedang resah di tempat tidur, saya amat paham.
Bagi tubuh yang menyimpan magma spiritual yang bergolak,
kesendirian kadang amat menyiksa. Magma itu selalu ingin
ditumpahkannya lalu mengaliri siapa saja yang ditemuinya. Dan
Gus Dur selalu ingin menemui orang di mana saja untuk bicara apa
saja atau sekadar untuk bercanda atau menumpahkan humor­
humor segar-cerdas yang baru saja melintas dalam pikirannya.
Ibu Shinta bercerita kepada saya, "Sering pada malam-malam yang
telah sepi, ketika tak ada lagi orang yang jaga, Gus Dur, tiba-tiba
meminta, setengah memaksa, untuk pergi ke suatu tempat yang
jauh, di Jawa Timur. Ketika disampaikan "Mas, ini sudah malam,
sudah larut, sudah jam dua dini hari, dan tak ada pesawat, beliau
barn berhenti meminta, meski tampak beliau sangat kecewa." Ibu
sebenarnya paham bahwa Gus Dur, malam itu, pasti sedang
mengingat dan memikirkan orang-orang di Jawa Timur yang ingin
sekali bertemu beliau. Ibu diceritai soal itu siangnya. Dan Gus Dur
tak ingin mengecewakan mereka. Ia ingin memberikan
kegembiraan atau menghibur hati mereka. Boleh jadi mereka
sedang dirundung nestapa, mungkin sedang berharap mem­
peroleh kegembiraan dari Gus Dur, mungkin pula ingin
memperoleh "berkah" darinya. Atau mungkin karena alasan yang
lain. Tetapi apapun alasannya, Gus Dur ingin tak mengecewakan
mereka yang berharap.

Hal yang sama juga terjadi ketika Gus Dur dirawat di Rumah
Sakit di Luar Negeri. Ia selalu saja ingin bangkit dari tempat
tidurnya dan melepaskan selang yang menempel di lubang
hidungnya. Ia sepertinya merasa menderita dengan keadaan itu.
Tetapi bukan lantaran tak menerima sakit yang dideritanya. Ia tak
pernah mengeluh soal ini. Ia gelisah pada soal tak bisa bicara
dengan orang lain. Keluarga yang dengan setia menunggu dan
menjaganya sering mengingatkan larangan dokter untuk mencabut

74
uSang Zahidu di Rumahnya

selang tersebut dan beranjak dari tempatnya. Mereka juga sering


"kelabakan'', seperti hilang akal manakala melihat ayahnya
demikian gelisah. Tetapi berhari-hari seperti itu membuat mereka
merasa kasihan pada Gus Dur. Konon, kadang, sesekali "bapak"
juga menunjukkan raut muka marah, atau kesal. Lalu apa akal?
Aha, "kita perlu mengundang para mahasiswa dan kawan-kawan
Indonesia yang ada di kota ini," kata salah seorang anaknya,
mengusulkan ide cemerlang dan disepakati. Maka mereka datang
dengan suka cita, karena bisa bertemu orang besar ini. Begitu
mereka datang Gus Dur tampak "sumringah". Ia seperti tak sedang
sakit dan harus dirawat dengan pengawasan yang ketat. Maka
berlangsunglah "ngobrol ngalor ngidul," bercerita tentang politik,
budaya dan sastra, musik dan memberi kegembiraan kepada
mereka. Suara "gerr", berderai-derai acap kali menguasai di ruang
itu. Sesungguhnya Gus Dur sangat berharap waktu ngobrol dengan
mereka berlangsung lama, tetapi dokter selalu mengingatkan
keluarganya agar tak lama-lama bersamanya, karena perlu
istirahat yang cukup, dan tak boleh diganggu dengan pikiran­
pikiran yang berat. Gus Dur juga sangat berharap mereka, para
mahasiswa selalu berada bersamanya. Tetapi tentu harapan itu
tak mungkin. Bila mereka telah kembali ke rumahnya masing­
masing, Gus Dur seperti sembuh.

Begitulah cerita orang rumah yang disampaikan mereka


kepada saya ketika di sana, beberapa hari setelah Gus Dur kembali
dalam keadaan sehat.

Santap Ma/am yangBersahaja


Saya sering makan di rumah itu, pagi, siang atau malam, baik
usai mengaji atau tidak. Apabila sarapan pagi atau makan siang,
ibu Shinta hanya menemani saya dan teman yang ikut ngaji
bersama saya di rumah itu. lbu tak pernah ikut makan bersama,
karena beliau puasa tiap hari dan itu dilakoninya selama bertahun-

75
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

tahun, sejak masih mondok di Jombang dan berkenalan dengan


suaminya itu. Lauk-pauknya tak ada yang istimewa. Begitu
sederhana; tempe, tahu, samba!, lalap, sayur bening atau lodeh,
atau rawon atau soto Lamongan, rujak cingur, pecel, telor, daging
kering, cumi-cumi dan kerupuk. Cuci mulutnya pisang, jeruk, es
cendol, atau es campur. Begitulah isi meja makan di rumah itu,
begitu bersahaja, tak ada kemewahan, tak ada yang istimewa, dan
tak ada yang berlebih-lebihan. Bukan hanya di rumah ini menu
seperti itu, tetapi juga ketika di istana, selama dua tahun. Saya
sama sekali tak bisa membandingkan dengan menu makanan para
pembesar yang lain di rumah mereka, di Menteng atau di Cikeas,
karena tak pernah makan di sana, karena orang kecil, konon,
dilarang masuk.

Ada satu malam yang tak akan pernah saya lupakan. Itu
adalah ketika saya, usai mengaji dari siang sampai sore di rumah
Gus Dur. Saya tiba-tiba diajak makan malam bersama Gus Durdan
keluarganya di rumah itu. Saya amat senang karena beliau ada di
rumah dan berkumpul bersama keluarganya, apalagi mengajak
makan bersamanya. Saya amat jarang menyaksikan pemandangan
seperti ini, ya seperti malam itu. Di meja makan itu saya adalah
satu-satunya "orang asing" di keluarga itu. Di samping Gus Dur
dan Ibu Shinta Nuriyah adalah empat orang anaknya. Menu
makanan yang dihidangkan tetap saja tak terlalu istimewa,
sederhana saja, seperti yang sudah disebut di atas. Saya duduk
berhadapan dengan Gus Dur yang duduk di samping istrinya, lbu
Shinta Nuriyah. Di sebelah kanan dan kiri saya adalah anak­
anaknya. Dari tempat duduk itu saya melihat dengan amat jelas
bagaimana dan dengan apa Gus Dur makan. Manakala nasi di atas
piring diletakkan di depannya, ia meraba-raba. Saya tidak melihat
dia meminta diambilkan. Dan ketika lauk pauk ditaruh di atasnya,
saya melihat beliau membiarkannya saja. Ia tak bertanya apa­
apa, tak menampik/menolak lauk apa yang diberikan kepadanya.

76
NSang ZahidN di Rumahnya

Beliau menerima saja, lalu mengunyah pelan-pelan sambil


menikmatinya. Sepertinya tak ada makanan yang tak disukainya.
Saya kira ibu dan anak-anaknya telah tabu dengan persis apa
kesukaan suami dan ayahnya itu. Manakala nasi habis dan
ditambahi anaknya, beliau diam saja dan melahapnya. Tapi
manakala telah cukup, beliau bilang cukup.

Usai makan yang "penuh berkah" itu, dengan tetap berada di


depan meja, Gus Dur mulai melemparkan cerita-cerita unik dan
humor-humor baru yang membuat semuanya tergelak-gelak.
Lemparan humor Gus Dur disambut dengan humor-humor dari
yang lainnya, kecuali saya, dengan humor-humor yang tak kalah
lucu dan sanggup meledakkan tawa riuh rendah yang tak habis­
habis. Dan perut saya tiba-tiba tak lagi penuh, karena terguncang­
guncang yang tak pernah mau berhenti. Saya sendiri tak punya
bahan apa-apa untuk bisa membuat orang bergembira, terbabak­
bahak atau terkekeh-kekeh, seperti mereka.

Sayang sekali, saya bukan orang yang bisa menyimpan cerita


atau lelucon itu dalam otak saya, bingga semuanya jadi lupa, tak bisa
diingat lagi. Akan tetapi saya membaca di buku-buku tentang
"Humor Gus Dur" atau dibuku lain yang sejenis. Dan saya menemukan
sebagian cerita-cerita lucu yang menyegarkan di meja makan itu.

MendengarMusik Klasik
Bila malam telah larut, anak-anak telah menempati kamarnya
masing-masing dan dapur tak lagi berasap karena ditinggal mereka
yang bekerja di sana untuk istirabat, maka rumah besar itu menjadi
begitu sepi. Di luar, di masjid al-Munawwarah juga sepi. Dalam
situasi seperti itu Gus Dur selalu saja memperlihatkan diri tak
betah. Dia segera mencari-cari teman yang barangkali ada yang
belum tidur dan berjaga-jaga di depan rumah. Teman saya si Acung
(KH. Abdul Wahid Maryanto) biasanya ada di sana dan duduk-

77
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

duduk saja, menjaga gurunya itu dengan setia. Mengetahui ada


dia, Gus Dur memintanya masuk untuk ngobrol barang beberapa
menit. Kadang juga menyuruhnya memutarkan kaset atau CD
musik klasik. Bila ini yang terjadi, maka Gus Dur akan mengambil
tempat di ruang tamu atau di bangku lesehan. Kata Pak Acung:
"Bapak menyimpan dan mengkoleksi banyak kaset dan CD musik
klasik, wayang dan musik-musik yang lain baik Barat maupun Indo­
nesia." Beberapa nama komponis musik klasik dunia antara lain
adalah Ludwig van Beethoven, Wolfgang Amadeus Mozart, Johan
Sebastian Bach, Frederic Chopin, Frans Schubert, Peter Ilich
Tchaikovsky dan lain-lain. Akan tetapi Gus Dur amat suka pada
Shimponi 9 in D minor karya besar sang maestro; Beethoven. Dia
sering bercerita soal ini. Katanya pada suatu saat: Simfoni No. 9
ini menggambarkan kehidupan Beethoven yang penuh dengan
perubahan-perubahan dan perjuangan keras. Ia menggapai
kegembiraan dengan mengarungi badai kesulitan. Para pendengar­
nya menyebut simfoni ini sebagai "the inhuman voice."

Tetapi ia bukan satu-satunya. Seorang pendeta dari Papua


(saya lupa mencatat namanya) bercerita dalam sebuah simposium
bahwa ketika malam telah larut "Gus Dur minta dicarikan CD
Sebastian Bach dan diputar."

Selain musik-musik klasik Barat, Gus Durjuga menyukai lagu­


lagu Ummi Kultsum, penyanyi legendaris dari Mesir yang dijuluki
"Kaukab al-Syarq" (Bintang Timur). Banyak lagunya yang bagus
dan indah. Ketika belajar di Kairo Gus Dur pasti sering men­
dengarkan alunan merdu Ummi Kultsum ini. Di sana ada stasiun
radio yang khusus memutar lagu-lagunya sepanjang hari. Beberapa
lagunya yang sering disebut adalah "Wulidal Huda" dan "Rabi'ah
al-'Adawiyah" sang sufi agung perempuan.2 Lagu "Wulidal Huda",

' Rabi'ah Al-Adawiyah lahir di kota Bashrah tahun 94 H dan meni nggal sekitar
tahun 185 H dan dimakamkan di ternpat yang sama. Rabi'ah adalah sufi pertama

78
NSang ZahidN di Rumahnya

karya Ahmad Syauqi, penyair Arab terkemuka, menceritakan


tentang kelahiran Nabi Muhammad. Sementara lagu "Rabi'ah al­
'Adawiyah" bercerita tentang puisi-puisi cinta Rabi'ah yang sangat
terkenal itu. Perempuan ini adalah ikon mistisisme cinta. Syair­
syair cinta yang ditulis sufi perempuan dari Basrah, Irak, ini telah
mengilhami banyak sufi besar lainnya. Salah satu syaimya yang
terkenal adalah:

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta


Cinta karena hasrat diriku
Dan cinta karena hanya Engkau yang memilikinya
Cinta hasrat, karena aku selalu sibuk menyebut nama-Mu
Cinta karena Diri-Mu saja,
Dan tidak yang lain
Karena aku selalu berharap-harap
Engkau singkapkan Tirai Wajah-Mu
Biar aku menatap-Mu seluruh
Tak ada puja-puji bagi yang ini atau yang itu
Seluruh puja-puji untuk-Mu saja

Kegemaran Gus Dur pada musik klasik ini mengingatkan saya


sekali pada Mawlana Jalal al-Din Rumi. Sufi penyair besar ini
menggemari musik dengan mengambil suara "Ney", seruling. Ney
ditiup untuk mengiringi tarian-tarian yang diciptakannya yang
populer disebut "Sama"'. Ia adalah tarian spiritual dengan cara
berputar-putar. Di dunia Barat tarian spiritual ini disebut "Whirling
Dervishes." Nada-nada "Ney" yang mendayu-dayu, berayun-ayun,
dan menyayat-nyayat hati bagai nyanyi sunyi seseorang yang
ditinggal kekasih, menciptakan nuansa-nuansa religiusitas yang
amat kuat dan menggetarkan. Saat memutar-mutarkan tubuhnya,
penari menanggalkan semua emosinya serta pikiran-pikiran

yang memperkenal kan ajaran Mahabbah (Cinta) llahi, sebuah fase perjalanan
seorang salik (pejalan/pengembara menuju Tuhan). la lahir dari keluarga sangat
miskin, pernah menjalani kehidupan sebagai penyanyi Bar di kotanya dan menjadi
hamba sahaya.

79
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

duniawi. Jiwanya hanyut, tenggelam, dan larut dalam kerinduan


dan kecintaan yang meluap-luap kepada Tuhan. "Setiap orang yang
berada di tempat yang jauh dan terpisah dari asalnya akan selalu
merindu untuk kembali ke asal." Sampai pada akhir hayatnya, 17
Desember 1273 M, Rumi tak pernah berhenti untuk menari
"Sama'" karena beliau tak pernah berhenti untuk mencintai Allah,
tempat segala mengada. Tarian dengan iringan Ney ini sering
disebut sebagai "tarekat" Maulawiyah.

Sungguh hasrat Gus Dur kepada musik klasik dengan iringan


simfoni gubahan para maestro musik klasik dunia tersebut
sangatlah tidak umum bagi para ulama. Banyak ulama fiqh yang
justru mengharamkan nyanyian dan tarian. Alat-alat yang
digunakan mengiringi nyanyian juga mereka haramkan. Nyanyian
dan tari-tarian adalah tradisi orang-orang kafir, Yahudi, dan
Nasrani. Fatwa-fatwa mereka menyebutkan bahwa mendengarkan
musik dan menikmatinya adalah suatu kemaksiatan, suatu dosa
besar (min al-Kaba-ir). "Al-Sima' Fisq wa al-Taladzdzudz biha
Kufr" (Mendengarkan musik merupakan perilaku buruk dan
menikmatinya adalah kekufuran). Bunyi seruling itu, adalah tiupan
mulut setan, iblis yang selalu mengajak untuk menarik hasrat­
hasrat rendah, menipu, melalaikan, dan mencelakakan.

Berbeda dengan mereka, Imam al-Ghazali, sang sufi terbesar,


justru memberi apresiasi demikian inggi
t atasnya. Dia menyampai­
kan kata-kata indah seperti ini:
• • '< q • � � ,} ·'
,�l�i �� j(i ,6.JU;� �_,.ij1_, ,�jU.jlj �j·, U::4 t �

;.. �� � .,_j
� ..... ..

•orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga­


bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan
jiwanya yang sulit terobati.•3

3 Al-Ghazali, lhya Ulumiddin, Juz 11, him. 275.

80
NSang ZahidN di Rumahnya

Bagi al-Ghazali musik dapat meningkatkan gairah jiwa. Ia


mengajak para pembacanya untuk merenungkan suara-suara
burung nuri atau burung-burung yang lain. Suara-suara itu begitu
indah, merdu dan menciptakan kedamaian di hati pendengarnya.
Seruling yang ditiup, piano yang ditekan satu-satu, biola yang
digesek-gesek atau rebana yang ditabuh adalah suara-suara. Suara­
suara ini hadir mengekspresikan lubuk hati yang dalam. Suara-suara
itu tak ada bedanya dengan nyanyian para penyanyi. Katanya:

•Mendengarkan suara-suara ini mustahil haram. Bagaimanapun


ia adalah suara-suara yang indah dan berirama. Tak seorang pun
yang mengharamkan suara burung nuri dan burung-burung yang
lain. Tak ada beda antara tenggorokan satu dan tenggorokan yang
lain, antara benda tak bergerak dan binatang. Maka seyogyanya suara
burung nuri disamakan suara-suara manusia, atau suara-suara bambu,
genderang, rebana, dan lain-lain:•

Di tempat lain dia mengatakan dengan penuh kearifan:


"Mendengarkan musik penting bagi seorang yang hatinya dikuasai
oleh cinta kepada Tuhan, supaya api cintanya berkobar-kobar.
Tetapi, bagi orang yang hatinya dipenuhi cinta hasrat duniawi yang
fana, mendengarkan musik merupakan racun yang mematikan,
dan karena itu haram."

• Ibid., him. 271 ·275.

81
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Kata-kata al-Ghazali ini ingin menjelaskan bahwa tidak semua


jenis musik dan alat-alat yang digunakannya adalah haram,
sebagaimana pandangan para ulama fiqh. Ia sangat tergantung
pada motif. Bila gairah akan keindahan dari musik itu diarahkan
kepada Tuhan, gairah cinta kepada-Nya akan semakin kuat. Musik
adalah tangga jiwa menuju Tuhan. Tetapi bila a
i diarahkan untuk
hasrat-hasrat duniawi ia akan mengarahkan kepada rangsangan­
rangsangan keburukan dan kejahatan.

Tokoh sufi lain yang menghubungkan musik dengan


spiritualitas Islam adalah Ruzbihan Baqli Syirazi. Dalam Risalah
al-Quds, dia menjelaskan signifikansi musik, kriteria orang-orang
yang boleh mendengarkan dan jenis musik yang pantas untuk
dimainkan dan didengarkan.

Intelektual muslim modern terkemuka, seorang perenialis


Seyyed Hossein Nasr mengemukakan, bahwa "Musik di dunia
Islam adalah salah satu media paling universal dan berpengaruh
untuk mengekspresikan hal yang terkandung di dalam inti Islam,
yakni perwujudan "Keindahan Wajah Tuhan" dan kepasrahan pada
Realitas ini, Realitas yang sekaligus adalah Keindahan dan
Kedamaian, Kasih Sayang, dan Cinta itu sendiri."s

Bagi kaum sufi, musik berfungsi menenangkan pikiran dari


beban urusan kemanusiaan, menghibur kecenderungan alamiah
manusia dan menstimulasinya untuk melihat rahasia ketuhanan
(asrar rabbam). Dengarlah ungkapan Sa'd al-Din Hamuyah:

Ketika hati rnenikrnati konser rnusik spiritual (Sarna')


la rnerasakan kehadiran Sang Kekasih
Membawa jiwa ke ruang Rahasia-rahasia-Nya
Melodi adalah tunggangan jiwamu

5 Sayyed Hossein Nasr, The Hear ofIslam: Pesan-Pesan Islam untuk Kemanusiaan,
cet. I, (Bandung: Mizan, 2003), him. 281.

82
NSang ZahidN di Rumahnya

la membimbingmu dengan riang


Ke dunia Sang Sahabat.6

Al-Isfahani, dalam bukunya yang terkenal, Al-Aghani


(Nyanyian), mengatakan bahwa selama penyebaran Islam di
berbagai wilayah: Arabia, Persia, Turki, dan India, musik
berkembang sangat pesat, sebagai sarana dakwah. Di Indonesia,
Sunan Kalijaga, seorang sufi besar adalah orang yang berhasil
mengislamkan masyarakat Jawa yang masih menganut agama
Hindu dan Budha, melalui musik. Lirik-lirik lagu yang dicipta­
kannya, seperti Lir-ilir atau Tombo Ati berisi nilai-nilai
spiritualitas yang tinggi dan mengungkapkan ajakan kemuliaan
hidup berdasarkan ajaran-ajaran Agama.

Maka meski Beethoven, Mozart, Chopin, Bach, Debbusi atau


yang lain-lain hanya mengalunkan dengan gesekan-gesekan biola,
atau dengan menekan tuts-tuts pianonya, tanpa kata-kata, suara­
suaranya menyembunyikan makna-makna yang dalam tentang
kehidupan, kehidupannya, dan tentang semesta. Boleh jadi ia jauh
lebih memberikan makna yang tak mungkin dituliskan dengan
huruf-hurufdan dilukiskan oleh kata-kata. Ia sanggup menciptakan
imajinasi-imajinasi intelektual dan spiritual yang luar biasa.
Memahami suara-suara seperti itu memang tak mudah bagi pada
umumnya orang. Akan tetapi tidak bagi pikiran-pikiran yang jauh
dan bagi jiwa-jiwa yang tercerahkan. Gus Dur adalah bagian dari
kelompok ini. Baginya gubahan-gubahan musik klasik para maestro
dunia di atas mengandung makna-makna spiritual yang mendalam.
Lebih dari sekadar kesenangan pribadi pada musik-musik seperti
ini, bagi Gus Dur, mengutip kata-kata Beethoven, "Seni menyatukan
semua orang." Musik, seperti dikatakan banyak orang, adalah
universal. Ia dapat dinikmati siapa saja dan di mana saja, di setiap

• Sayyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, cet. I, (Bandung: Mizan, 1 993),
him. 180.

83
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

bangsa dan negara dan budaya. Ia merupakan kekuatan untuk


menyatukan dunia. Dan Gus Dur dan Mawlana Jalal al-Din Rumi
terlalu berhasrat pada cita-cita ini.

Mengaji Kitab Sastra dan Tasawuf


Jika Gus Dur tak pergi ke mana-mana, atau memang ada
jadwal mengaji kitab kuning di masjidnya, beliau mengaji atau
memberikan kuliah kepada para santrinya, sambil duduk di kursi
yang sudah disediakan untuknya. Sementara para santrinya duduk
bersila dalam posisi melingkar membentuk arena. Ini yang populer
disebut santri di pesantren sebagai �halaqah". Gus Dur biasanya
menentukan hari Sabtu untuk mengaji kitab kuning itu. Banyak
kitab yang sudah dibaca Gus Dur, di hadapan para santrinya,
terutama kitab-kitab bahasa dan sastra klasik, kitab-kitab tasawuf
(mistisisme) dan Ushul al-Fiqh (teori-teori dan metodologi fiqh)
atau al-Qawa'id al Fiqhiyyah (kaedah-kaedah fiqh). Menurut Kiai
Abdul Wahid Maryanto, santri yang biasa mendampingi atau
membacakan kitab, Gus Dur pernah membacakan kitab Qathr al­
Nada, sebuah kitab tata bahasa Arab karya Ibnu Hisyam. Lalu
kitab Al-Mu'allaqat al-Sab', kumpulan puisi Imri al-Qais, raja
penyair Arab pra-Islam. Secara literal, Al-Mu'allaqat al-Sab'
adalah tujuh puisi yang digantung di dinding Ka'bah. Bila sebuah
puisi sudah digantung di situ, maka ia adalah yang terseleksi dan
terbaik dari sekian banyak puisi. Mereka menuliskannya secara
reflektif, spontan, seketika, alias tidak mempersiapkan jauh-jauh
hari sebelumnya. Seleksinya dilakukan di hadapan publik di arena
sastra di pasar seni Ukaz, mungkin semacam pasar malam puisi
dan sastra di Taman Ismail Marzuki atau di pusat-pusat
kebudayaan yang lain.

Gus Dur juga membacaDiwan Al-Buhturi, Maqamat a/­


Hariri, dan Diwan al-Mutanabbi. Antologi terakhir ini telah
menginspirasi banyak tokoh sufi sastrawan besar, semacam Jalal

84
NSang ZahidN di Rumahnya

al-Din Rumi. Lalu ia juga menyebut kitab Nuzhah Alibba Ji


Thabaqat al-Udaba (Taman Para Cendikia; Biografi Para
Sastrawan) karya Abu al-Barakat al-Anbari. Buku yang terakhir
ini, menurut cerita Gus Dur, masih tersimpan di lemari kakeknya;
Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy'ari. Ia membacanya ketika masih
sangat muda. Semuanya adalah kitab sastra Arab klasik yang
bermutu tinggi dan menjadi acuan penulisan sastra Arab-Islam
sesudahnya. Kitab lain yang dibacanya adalah Al-Asybah wa al­
Nazhair, sebuah kitab tentang kaedah-kaedah hukum (fiqh), karya
Imam Abd al-Rahman al-Suyuthi, seorang ensiklopedis (mausu'z),
penulis ratusan kitab kuning dalam berbagai disiplin. Caranya
mengaji kitab-kitab itu tidak sebagaimana di pesantren. Gus Dur
tidak membaca seluruh isinya. Ia hanya membaca awalnya dan
beberapa kalimat saja yang dibacakan oleh salah seorang santri,
lalu menjelaskan kandungannya. Di tengah-tengah mengaji kitab­
kitab tersebut beliau juga menyinggung tentang kitab lainnya dan
bercerita panjang lebar ke sana ke mari. Gus Dur juga membaca
kitab-kitab tasawwuf. Pada bulan puasa Gus Dur membaca kitab
Al-Hikam al-'Athaiyyah (Mutiara-mutiara Kebijaksanaan) karya
sufi besar Ibnu Athaillah al-Sakandari.7 Ia menyinggung dan
memperkenalkan antara lain kitab Al-Jnsan al-Kamil (Manusia
Paripuma), buku tasawuf yang amat terkenal, karya sufi besar Abd
al-Karim al-Jilli.8 Tetapi dari banyak sekali kitab klasik tasawuf

' Ahmad ibn Muhammad lbn Athaillah as Sakandary (w. 1 350 M), dikenal seorang
sufi sekaligus muhaddits yang menjadi faqih dalam mazhab Maliki serta tokoh
ketiga dalam tarikat al-Syadzili. Penguasaannya akan had its dan fiqh membuat
ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nash dan akar syariat yang kuat.
Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, di antaranya Al­
Hikam. Kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan
murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah al-Falah Wa Mishbah Al Arwah (Kunci
Kemenangan dan Cahaya Spiritual), Kitab al-Tanwir Fi lsqath al Tadhbir (Cahaya
Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri).
8 Abd al-Karim al-Ji Ii, 'Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn 'Abd al-Karim ibn Khalifah
ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Lahir di Baghdad, 767 H/1365 M. la sering
disebut dengan gelar 'Qutb al-Din' (Poros Agama). jili adalah pembela gigih al-

85
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

tersebut, Gus Dur tampaknya sangat terkesan pada kitab al-Hikam


al-'Athaiyyah tadi. Kitab ini sangat dikenal luas di kalangan ulama
pesantren dan selalu diajarkan di sana sampai hari ini. Kitab al­
Hikam al-'Athaiyyah adalah referensi utama sufisme Sunni, selain
Qut al-Qulub (Energi Hati) karya Abu Thalib al-Makki,9 al-Risalah
al-Qusyairiyyah (risalah) karya al-Abu al-Qasim al-Qusyairi,1° dan
tentu saja lhya Ulum al-Din (menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama)
karya puncak Imam al-Ghazali. Gus Dur tampak amat menyenangi
kitab al-Hikam, mungkin karena karya ini ditulis dalam bentuk
sastra puisi yang sangat indah dengan isinya yang penuh mutiara
kebijaksanaan. Salah satu puisi Ibnu Athaillah yang sering
disampaikan Gus Dur adalah syair "Id.fin" ini:

Sembunyikan wujudmu
pada tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
dari biji yang tak ditanam
tak berbuah sempurna"

Syaikh al-Akbar Muhyiddin lbn 'Arabi. Karyanya yang sangat terkenal: A/-/nsan
Al-Kami/ Fi Ma'rifat-1 'L-Awakhir Wa 'L-Awa'il. Karyanya yang lain: Al-Durrah
Al-'Ayniyah Fi a/-Syawahid Al-Chaybiyah, Al-Kahf Wa al-Raqim Fi Syarh Bi
Ismii/ah Al-Rahman Al-Rahim, Lawami Al-Barq, Maratib Al-Wujud, Al-Namus
Al-Aqdam.
9 Muhammad bin Ali bin Athiyyah, Abu Thalib al-Makky, lahir di desa Jabal,
daerah antara Baghdad dan Wasith, lrak. Dia seorang sufi besar dan penulis buku
tasawufterkenal: Qut al-Qulub fi Mu'amalat al-Mahbub. Buku ini menjadi rujukan
utama Imam Abu Hamid al-Ghazali, dalam kitab magnum opusnya: lhya
Ulumuddin. la meninggal pada tahun 386 H di Baghdad.
10 Al-Qusyairi, nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abd a/­
Malik bin Thalhah, Abu al-Qasim al-Qusyairi. la imam dalam tasawuf, ahli tafsir,
had its, dan sastra. la dikenal sebagai *Zain al-Islam• (Hiasan Islam). Bukunya
yang sangat terkenal dan menjadi pegangan utama para penganut tasawuf Sunni:
Al-Risa/ah al-Qvsyairiyah. Karyanya yang lain; Lathaifal-lsyarat fi Taf
s ir al-Qvr'an,
Kitab al-Qulub al-Shaghir, dan puluhan kitab lainnya.
11
lbn Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam, hikmah No. 1 1 .

86
NSang ZahidN di Rumahnya

Soal puisi (syair) di atas, Prof. Dr. Zaki Mubarak, sarjana


tasawuf terkemuka dari Mesir, mengatakan:

•syair ldfin itu amat memukau. la begitu indah. Aku tak pernah
menemukan yang sepertinya di tempat lain. Di dalamnya tersimpan
gejolak spiritualisme yang amat kuat. Sang penulis, agaknya,
menemukan ma knanya ketika ia melakukan permenungan dalam
sunyi, bening dan dalam situasi ekstasi, lalu merasuki jiwanya, maka
ia menjadi kata-kata indah nan abadi, sepanjang zaman.•12

Puisi tersebut bicara soal perlunya menjauhkan hasrat dan


ambisi akan popularitas, kemasyhuran diri, dan politik pencitraan.
Arti puisi itu kira-kira begini: "Simpanlah hasratmu akan
popularitas, karena hasrat yang demikian tak akan membuat
dirimu tumbuh dan berkembang sempurna." Hasrat akan
kemasyhuran akan menyibukkan diri pada urusan-urusan yang
tak berguna dan mengabaikan kerja-kerja yang bermanfaat bagi
manusia. Cinta pada kemasyhuran mendorong orang untuk
mengurusi dirinya sendiri dan tak peduli pada orang lain. Hasrat
ini mungkin sekarang populer disebut "politik pencitraan". Saya
pernah membaca buku karya Yasraf Amir Piliang, Posrealitas. Ia
bilang: "Citra merupakan bentuk manipulasi realitas untuk
kepentingan tertentu, dan pada titik yang ekstrem, tercerabut sama
sekali dari dunia realitas. Citra tak lagi merupakan cermin realitas,
melainkan cermin dari kepentingan. Yang tercipta adalah
fatamorgana sosial yang di dalamnya tanda-tanda (simbol-simbol)
telah tercerabut dari kebenaran." Dengan lugas Yasraf bilang:
"Citra memangsa dunia realitas dan membunuh kebenaran."
Makna lain dari kata-kata bijak Ibnu Athaillah di atas adalah
perlunya ketulusan dan keikhlasan. "Sepi ing pamrih, rame ing
gawe," kata pepatah Jawa.

12
Zaky Mubarak, Af-Tashawwufaf-lslami fi af-Adab wa af-Akhlaq, him. 108.

87
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

"Pecinta sejati," kata Rumi, "mengorbankan dirinya sendiri


dan tidak mencari apapun demi imbalan."

Ia adalah lilin dengan api yang menyala. Ia membiarkan api


itu terus menyinari ruang-ruang gelap dan dirinya terbakar.

Puisi lain dari sufi agung yang juga amat sering disampaikan
Gus Dur dalam banyak kesempatan dan ruang, adalah:

,,.
)
" , .
'•
' 0
",, "
"'
Ia&· ..

cl.Jl> l J
• ,
·....- < >"
, ' , • -
'
\m.r ,,. LJ •

,, ,, \ ,, !. ' ;
�Ll.; �\ -fa �-� 'i'
Tak usahlah kau temani
Mereka yang tak membangkitkan lakumu
Dan yang kata-katanya
tak membimbingmu
kepada Tuhan'J

Kata-kata di atas juga disampaikan para bijak-bestari dari


berbagai agama.

Jangan lah kau berteman setia dengan orang-orang jahat


Atau mereka yang berjiwa rendah
Tetapi bertemanlah dengan orang-orang baik
Dan mereka yang berbudi luhur

lkutilah orang yang pandai dan bijaksana


Bagai bulan mengikuti peredaran galaksi

Gus Dur, sering menyampaikan di hadapan umatnya, bahwa


syair inilah yang mengilhami para ulama/kiai pesantren, pada
1926, untuk memberi nama organisasi mereka: "Nahdlatul Ulama'',
yang berarti Kebangkitan Ulama. Kini ia menjadi organisasi

'3 lbn Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam, Hikmah No. 43.

88
uSang Zahidu di Rumahnya

keagamaan terbesar di dunia, dengan berjuta-juta pengikut setia


yang hari demi hari terus bertambah. Ada tokoh NU yang
menyebut, jumlah pengikut NU adalah semua warga Negara Indo­
nesia, selain Muhammadiyah. Ukurannya mudah saja; sepanjang
orang masih tahlil pada hari kematian, maka dia orang NU. Ini
mungkin saja sekadar berkelakar. Kakek Gus Dur adalah pimpinan
tertinggi pertama dengan sebutan "Rois Akbar". Predikat ini hanya
disandang beliau. Gus Dur, sang cucu, kemudian melanjutkan,
membesarkan dan membuat organisasi ini dikenal luas di dunia
Barat maupun di dunia Timur. Gus Dur telah memimpin organisasi
ini selama 15 tahun, dan di bawah kepemimpinannya NU kembali
berwibawa dan disegani banyak orang, termasuk pemerintah.
Banyak orang bilang NU telah menjadi Gus Dur. "Gus Dur adalah
NU." Mengenai kata-kata ini saya ingat ucapan Rumi.

Aku telah begitu banyak berdoa


Hingga aku telah berubah menjadi doa itu sendiri
Setiap orang yang melihat diriku
Meminta doa dariku

Dengan kata-kata bijak dari Ibu Athaillah di atas, Gus Dur


juga telah membangkitkan pikiran para santri dan umatnya,
sehingga mereka banyak yang kemudian menjadi cerdas, kritis,
dan bergairah.

Tak ada kekuatan apapun di bumi


Yang mampu menundukkan bangsa.
J ika saja mereka bangkit

Setiap mendengar Gus Dur membaca kalimat-kalimat puitis


di atas, terutama syair "Id.fin", saya tak tahan untuk bersedu sedan
sendiri. Ia begitu indah. Pesan-pesan itulah rupanya yang
menuntun dan membimbing Gus Dur sepanjang hidupnya. Beliau
selalu membuang hasrat-hasrat kemasyhuran diri dan lebih
banyak bekerja daripada bicara. Beliau menanam begitu banyak

89
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

pohon di dalam hati dan pikirannya, tanpa banyak orang


mengetahuinya. Beliau bicara jika memang harus bicara. Meskipun
gemar humor atau melucu, tetapi humor-humornya selalu
memberi makna yang berguna bagi orang. Humor-humornya
bukan asal-asalan, tetapi menyimpan makna-makna spiritual yang
membangkitkan dan kritikal. Gus Dur selalu ingin dan memang
sering menemui orang-orang yang direndahkan dan disisihkan
hanya karena mereka miskin, papa, tak penting, tak berharga, dan
tak terjangkau pusat kekuasaan. Dia ingin menemani mereka,
memberi kegembiraan, membangkitkan sehingga dapat menatap
dan menjalani hari-harinya dengan optimis. Dia tak seperti para
pemimpin yang lain yang suka mengeluh dan ingin selalu didengar.
Baginya, orang-orang miskin dan mereka yang disisihkan itu
adalah orang-orang yang telah memberi makna, kepada dirinya
dan kepada kehidupan ini. "Innama Tunsharun wa Turzaqun bi
Dhu'afa-ikum" (Kalian sesungguhnya ditolong dan diberi rizki oleh
orang-orang yang lemah di antara kalian), kata Nabi. Pada sisi lain
Gus Dur juga tahu persis bahwa kemiskinan acapkali menjadi
sumber paling potensial yang menghancurkan moral orang,
seperti kata Nabi: "Kada al-Faqr an Yakuna Kufran." Saya
memaknai hadits ini: "Kefakiran bisa mengantarkan orang pada
sikap anti (mengingkari) kebenaran dan keadilan," dan bukannya
"kefakiran mendekatkan orang pada kekafiran/murtad," meski
makna ini mungkin saja. Ketika orang tak lagi punya apa-apa untuk
dimakan bagi diri, istri dan anak-anaknya, maka dia bisa jadi gelap
mata dan moral menjadi runtuh. Bila perempuan-perempuan
menjadi miskin, maka adalah sangat mungkin bila mereka terpaksa
menjajakan tubuhnya untuk keperluan menahan perutnya yang
sakit, atau anaknya yang terns menerus menangis minta air susu.
Kelaparan merupakan penyakit yang paling berbahaya. Manakala
negara telah membiarkan kaum miskin terns lapar dan kaum
kapitalis bergembira ria di atas penderitaan mereka, situasi sosial
yang kacau pasti akan terjadi. Para cendikiawan mengatakan bahwa

90
NSang ZahidN di Rumahnya

kemiskinan dan kelaparan bukanlah semata-mata karena mereka


malas berkerja. Kemiskinan tak dikehendaki siapapun. Kebijakan
politik negara turut serta menciptakannya.

Gus Dur pada suatu saat mengatakan bahwa realitas


keterasingan manusia yang menderitakan itu tak boleh terjadi.
Jika itu terjadi maka kewajiban utama orang-orang bijak adalah
mengubah dunia menjadi lebih baik dan menyejahterakan semua
atau sebanyak-banyak manusia. Tindakan untuk keadilan adalah
mendukung dan memperjuangkan hak-hak mereka yang tak
beruntung. Keterasingan dan situasi alienasi manusia ada dalam
kehidupan bersama, bukan di luarnya. Keterasingan manusia
harus dicari di sana. Keterasingan itu adalah anak kandung sistem
ekonomi kapitalistik.

Gus Dur juga ingin tak ada Iagi marjinalisasi dan alienasi atas
mereka. Mereka harus diberi ruang yang sama untuk memperoleh
kesejahteraan, dibangkitkan dan dimajukan. Mereka harus
diberikan ruang dan akses yang sama untuk memperoleh
kebahagiaan dan pengetahuan yang tinggi. Betapa banyak sudah
anak-anak muda miskin diberinya bantuan, dan betapa banyak
anak muda yang diberi kesempatan untuk maju dan menjadi
pemimpin. Mereka mendapatkan bimbingan intelektual dan spiri­
tual Gus Dur. Beliau menyambut mereka dengan gembira dan tak
mengharap balas jasa. Gus Dur tak peduli, mereka mau berterima
kasih atau tidak.

91
#6
SANG ZAHID SERING TAK P UNYA
UANG

Dulu, ketika Gus Dur masih memimpin NU, Surahman,


tetangga desa saya, pernah bekerja membantu beliau di PBNU.
Saban hari menunggu kantor PBNU, sekaligus membersihkan
kamar di mana Gus Dur duduk berkantor. Sebelumnya, dia,
beberapa tahun membantu di rumah Kiai Fuad Amin (alm.),
pengasuh Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, mertua saya,
sambil mengaji. Lalu Kiai Fuad menugaskannya di PBNU. Surahman
pernah bercerita kepada saya mengenai pengalamannya bekerja
di PBNU dan menemani (melayani) Gus Dur. Katanya, setiap hari
Gus Dur menerima banyak sekali surat dari warga dan umatnya di
daerah-daerah; ada pengurus NU, kiai, santri, petani, nelayan,
tukang kebun, pedagang kelontong, dan lain-lain. Surat-surat itu
dibacanya satu persatu. Kebanyakan isinya adalah permohonan
bantuan dana untuk keperluan yang beragam, baik untuk fasilitas
organisasi, pembangunan masjid, mushalla, madrasah, pesantren
atau untuk diri sendiri dan keluarganya yang sedang kekurangan
biaya hidup. Gus Dur membacanya satu persatu dengan teliti. Ia
lalu mengambil kartu pos wesel yang sengaja disiapkan dan ditaruh
di lacinya. Kemudian ia menulis dengan tangannya sendiri. Di
dalamnya ia menuliskan angka rupiah tertentu dan berbeda-beda.
Gus Dur mengambil honor-honor yang diperolehnya dari tulisan
yang dimuat atau dari seminar yang dihadirinya, Jalu dibagi
menurut pertimbangannya sendiri. Gus Dur lalu memanggil

93
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Surahman dan memintanya membawa pos-pos wesel itu ke kantor


pos dan mengirimkannya ke alamatnya masing-masing. Bersama
dengan kartu-kartu pos wesel itu Gus Dur juga menyerahkan
uangnya. Saat itu tidak ada orang lain di situ, kecuali dirinya
(Surahman). Pengurus PBNU yang lain tak pemah tahu soal yang
satu ini. Jika kemudian ada yang tahu, maka pastilah dari mulut
Surahman sendiri, tidak yang lain. Bukan sekali saja Surahman
diminta mengerjakan tugas pribadi tersebut, dan dia tidak tahu
Gus Dur masih punya uang lagi atau tidak, sesudah itu.

Adik saya, sekaligus keponakan Gus Dur; Nanik Zahiro, juga


bercerita kepada saya. Dia pernah kuliah di Institute Ilmu Al
Qur'an (IIQ), Jakarta, awal tahun 90-an, dengan biaya dari Gus
Dur. Setiapa bulan dia datang ke PBNU untuk bertemu pamannya
itu, mengambil uang kost dan biaya kuliahnya. Suatu hari dia
pemah kehabisan uang, karena uang dari Gus Dur digunakan untuk
keperluan lain yang tidak terduga. Dia sudah minta kiriman dari
ayahnya di Tambak Beras, Jombang, tetapi belum juga tiba. Dia
datang ke Gus Dur di kantor PBNU untuk meminta bantuan
tambahan dan mendadak. Tetapi ketika itu Gus Dur sedang tak
punya uang. Namun beliau tak menolaknya. Ia mengatakan:
"Tunggu sebentar ya, Nan? Saya akan pergi <lulu sebentar." Ia pergi
ke tempat sebuah seminar yang hari itu kebetulan harus
dihadirinya. Tidak lama sesudah itu beliau kembali dan
menyerahkan amplop honor seminar yang masih tertutup rapat
itu kepada keponakannya itu. "Ambil seperlunya saja ya?"
katanya. Nanik menerimanya dengan senang. Dia membuka
amplop itu. Tetapi sesudah menghitung isi amplop tersebut, dia
bilang bahwa keperluannya adalah seluruh isi amplop itu. Gus Dur
diam saja. "Ya sudah, gak apa-apa."

Suatu hari, di tengah mengaji kitab kuning, Ibu Shinta


bercerita tentang keadaan keuangan organisasinya: "Puan Amal
Hayati" yang makin berkurang dan tidak mencukupi untuk

94
Sang Zahid Sering Tak Punya Uang

membiayai kegiatannya pada bulan-bulan berikutnya. Puan adalah


organisasi yang didirikan untuk pemberdayaan kaum perempuan
pesantren. lbu Shinta menginisiasi pendirian ini, tahun 2000, dan
saya ikut bersama mendirikannya dan hingga kini masih menjadi
wakil beliau. Salah satu aktivitasnya adalah mengaji Kitab Kuning,
antara lain: Uqud al-Lujai Ji Bayan Huquq al-Zawjain, karya
Syaikh Nawawi al-Bantani. Kitab ini membicarakan hak dan
kewajiban suami-istri dan menjadi salah satu kitab yang diajarkan
di pesantren-pesantren di Indonesia. Keadaan keuangan Puan
yang kembang kempis itu kemudian diketahui Gus Dur. Saya tidak
tahu dari mana, tetapi sangat mungkin lbu Shinta menceritakannya
kepada beliau ketika berdua di kamar tidurnya. Tak lama setelah
itu, Gus Dur, kata lbu, segera mengambil honor artikel-artikelnya
di media. Lalu uang itu seluruhnya diberikan untuk organisasi istri
tercintanya itu. Dalam laporan keuangan Puan yang kemudian
disampaikan kepada pengurus, saya membaca dengan jelas:
"Bantuan Gus Dur, bantuan Gus Dur, bantuan Gus Dur, sumbangan
Gus Dur, dan nama itu disebut berkali-kali berikut nominalnya.
Oh, Gus Dur! Saya mendesah panjang.

Gus Dur sering tak punya uang, karena setiap punya uang a
i
bagikan kepada orang lain atau pihak yang memerlukannya.
Banyak cerita orang dekat Gus Dur yang menyampaikan soal
kelakuannya seperti itu, termasuk ketika ia menjadi presiden. Pak
Mahfud MD, antara lain, bercerita ketika mendampinginya dan
menjadi pembantunya sebagai menteri. Gaji Gus Dur sebagai
presiden sering diberikan kepada orang-orang yang memerlukan­
nya atau yang menurutnya membutuhkan meskipun tak diminta,
termasuk kepada menterinya. Gus Dur, kata Pak Mahfud, pernah
memberikan sebagian gaji pertamanya kepada Alwi Shihab, sambil
mengatakan: "Nih Alwi, untuk beli jas, masa menteri jasnya jelek
begitu." Ia rupanya tahu jas yang dipakai Pak Alwi Shihab. Hal
yang sama juga dilakukan kepada anak muda yang diangkat sebagai

95
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

menterinya: AS. Hikam. Sambil menyerahkan sebagian uang


gajinya, kepadanya Gus Dur bilang: "Nih untuk beli sepatu, masa
menteri sepatunya butut." Gus Dur lagi-lagi sepertinya tahu sepatu
A.S. Hikam, meski matanya tak bisa melihat.

Kebiasaannya memberi kepada orang-orang yang memerlu­


kannya, dilakukan Gus Dur tanpa menanyakan apakah mereka
benar-benar membutuhkannya atau hanya pura-pura saja. Ia tak
peduli. Gus Dur juga tak pernah meminta orang lain menyelidiki­
nya. Ia juga memberikan tanpa melihat siapakah dia. Ia memang
dalam segala keadaan tak pernah bertanya-tanya mengenai
identitas primordial seseorang. Baginya semua orang sama saja,
hamba Allah. Ia bahkan juga memberikan kepada orang yang
pemah dan masih terus mengritik pikiran-pikirannya, baik secara
bisik-bisik maupun terbuka. Teman saya yang sudah disebut,
pernah menceritakan orang tipe yang tertakhir ini. Ia dulu adalah
santri dan temannya di Pesantren Tebuireng, sekaligus mengaji
kitab kuning kepada Gus Dur. Jadi ia adalah santrinya sendiri. Kini
ia menjadi kiai terkenal dan mempunyai pesantren cukup besar
dan terkenal di Jakarta. Sang kiai suatu hari datang menemui Gus
Dur di Ciganjur dan memohon bantuannya untuk pengembangan
pesantrennya. Ia menceritakan dengan cukup detail tentang
pesantrennya yang semakin berkembang dan tak lagi mencukupi.
Ia lalu menyebutkan angka tertentu. Gus Dur mendengarkannya
dengan tekun, lalu bilang kepada kiai tersebut: "Saya tak punya
uang sebesar itu, tapi Insya Allah saya akan berusaha mencari­
kannya. Sampeyan ikut berdoa saja ya?" Saya tak tahu lagi kabar
setelah itu, apakah usaha Gus Dur tersebut berhasil atau tidak,
atau apakah ketika berhasil, ia memberikannya semuanya, sesuai
yang dibutuhkan atau sebagian saja. Tetapi terlepas dari itu, satu
hal yang sangat mengesankan adalah bahwa Gus Dur selalu saja
tak pernah ingin mengecewakan mereka yang memohon bantu­
annya.

96
Sang Zahid Sering Tak Punya Uang

Isu PesawatAWAir
Suatu hari usai mengaji di rumah Gus Dur, saya pulang naik
taksi menuju kost, tempat tinggal manakala saya di Jakarta. Kepada
supir taksi itu saya bercerita sedikit tentang beliau. Tentu saja
saya menceritakan hal yang dalam pikiran saya akan ditanggapi
dengan positif dan dengan penuh kekaguman. Ya, soal
kebersahajaan Gus Dur dan seringnya beliau tak punya uang. Tetapi
saya salah berpikir. Supir taksi itu malahan mengritiknya. Katanya:
"Gus Dur itu orang kaya raya, rumahnya bagus dan dia punya
perusahaan/maskapai penerbangan namanya "AW Air". Pak supir
bicara dengan sangat yakin. "AW" itu pasti singkatan dari
Abdurrahman Wahid. Saya mencoba bertanya dari mana dia tahu
itu. Ia menjawab pernah membaca koran dan mendengar cerita
teman-temannya, dulu. Dan saya diam sambil senyum-senyum
saja, tak hendak mendebatnya. Dalam hati saya ingin mengatakan
kepada pak supir taksi itu bahwa saya tahu dengan mata kepala
sendiri, beliau tak memiliki perusahan apapun, apalagi maskapai
penerbangan. Lalu pikiran saya melayang ke Muktamar III Partai
Kebangkitan Bangsa (versi Gus Dur) di Surabaya, 27-28 Desember
2010, dua hari menjelang Haul 1 Gus Dur. Saya menghadirinya. Di
Bandara banyak orang menawarkan pesawat itu dengan tiket
murah. Di sana memang berhembus isu bahwa pemilik pesawat
itu adalah Gus Dur sambil menyebut kepanjangan AW, sebagai
Abdurrahman Wahid. Saya mafhum dengan isu, karena memang
situasi politik perseteruan antara PKB kubu Abdurrahman Wahid
di bawah kepemimpin putrinya Yenny dan keponakannya
Muhaimin lskandar amatlah keras.

Tiga]uta Modal]adi Presiden


Manakala Gus Dur menyampaikan dirinya akan menjadi
presiden, jauh hari, mungkin setahun atau beberapa bulan,

97
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

sebelum benar-benar jadi presiden, ia ditanya sahabat dekatnya,


tentang jumlah uang yang dipersiapkan untuk menjadi orang
nomor satu di negerinya. Menurutnya bila orang mau jadi pejabat
negara di level manapun pastilah sudah mempersiapkan sejumlah
uang besar untuk "membeli suara" para pemilihnya. Tak peduli
dari mana dia memperoleh uang tersebut. Apalagi untuk menjadi
presiden. Sahabat Gus Dur itu sangat paham "tradisi" memberi
amplop itu. Gus Dur kemudian, tanpa pikir panjang, bilang: "Tiga
juta". Hah, sang sahabat tadi terperangah, tak percaya, lalu
tersenyum-senyum getir, sambil mengatakan: "Tiga juta rupiah
itu untuk beli Aqua bagi anggota MPR saja tidak cukup, Gus."
Mendengar itu Gus Dur hanya bilang dengan tenang: "Ya sudah,
kalau gak jadi presiden juga gak apa-apa. Wong saya gak punya
uang kok." Dan Gus Dur pun benar-benar menjadi presiden ke-4,
tanpa mengeluarkan uang satu rupiah pun. la memenangkan
perebutan kursi presiden atas Megawati.

Membagi.Amplop Transport
Hari-hari Gus Dur adalah hari-hari yang padat agenda
bertemu banyak orang untuk keperluan yang beragam. Di samping
menghadiri seminar, diskusi, memimpin rapat-rapat, menulis,
mengaji, menghadiri dan menjadi saksi pernikahan atau
menikahkan, ia juga berziarah atau mengunjungi banyak tempat
yang baik dan mengingatkan dirinya. Setiap Gus Dur ke suatu
daerah, ia selalu menyempatkan diri bertemu kiai, ulama atau
tokoh setempat. Kadang tak ada yang ingin disampaikannya,
kecuali sekadar bersilaturahmi dengan mereka. Gus Dur juga
menghadiri undangan Hafiah Imtihan di pesantren-pesantren.
Hafiah Imtihan adalah istilah untuk upacara perayaan usai ujian
dan mengakhiri kegiatan selama setahun di pesanten. Teman saya
yang setia mendampingi Gus Dur bercerita kepada saya. Suatu
hari Gus Dur hadir untuk memberikan ceramah hafiah imtihan di

98
Sang Zahid Sering Tak Punya Uang

sebuah pesantren di Cirebon. Usai ceramah, panitia menyalaminya


sambil mencium tangannya bolak balik. Lalu menyalaminya sekali
lagi untuk memberi amplop. "Ngapunten Gus, niki kangge trans­
port, sakwontene" (Maaf Gus, ini transportnya, seadanya),
ujarnya. Begitu ia menerimanya, ampop itu segera diberikan
kepada teman saya si pendamping tadi dan berpesan agar
dibagikan untuk siapa saja yang menyertainya dalam perjalanan,
termasuk untuk makan dan bensin kendaraan. Setiap Gus Dur
menerima amplop, ia tak pernah membukanya dan tak pernah
bertanya berapa isinya. la juga tak pernah menceritakan kepada
siapapun soal rizki yang sudah dibagikannya untuk mereka yang
memerlukannya itu, kecil maupun besar.

Suatu hari, dalam obrolan di rumahnya di Ciganjur, beberapa


waktu sesudah Gus Dur pulang, beberapa orang teman
menceritakan tentang keinginan atau niat "bapak" yang belum
dipenuhi dan diwujudkannya, sampai kepulangannya tanggal 30
Desember 2009 itu. Entah di mana tempatnya, dalam obrolan
malam di rumah atau di perjalanan, "bapak", kata mereka, bercita­
cita ingin membuatkan rumah untuk orang-orang yang
membantunya selama ini. Konon, bapak sudah bertanya-tanya
soal harga tanah di suatu tempat. Bila kelak a
i punya uang, tanah
itu akan dibelinya, lalu dibangunkan rumah sederhana untuk
mereka. Ya, mereka yang setia menunggu malam-malam sambil
menjaganya, yang siap dipanggil kapan saja jika "bapak"
memerlukannya, yang menuntun dan membawanya ke mana saja,
yang menjaga rumahnya. Salah seorang di antara mereka bertanya
kepada saya: "Apakah itu nazar atau wasiat?" Saya bilang: bukan,
tetapi keinginan yang sungguh-sungguh. Ini karena beliau tak
menyebut "Ini aku nazar" secara eksplisit agar tidak menimbulkan
tafsir yang berbeda-beda.

99
#7
ZUHUD DAN ZAHID

Maka Gus Dur memang sering tak punya uang, meski ketika ia
menjacli presiden. la seorang zahid, seorang darwis. Sang Zahid di
manapun sering tak punya uang, sebab uang baginya punya uang
atau harta benda bisa akan dan sering mengganggu pikiran dan
jiwanya, melalaikannya dari tugas mengabdi dan mengingat
Tuhan. Gus Dur pernah suatu saat menyampaikan ayat "Alhakum"
atau "al-Takatsur". "Kehidupan glamor telah melalaikan kamu.
Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Oh tidak! Kamu pasti akan
tahu. Kamu pasti akan melihat dengan mata kepalamu. Kemuclian,
hari itu, kamu pasti akan ditanyai tentang kenikmatan yang
melalaikan itu."

Uang bahkan bisa dan acap bikin malapetaka, bikin cemburu,


bikin fitnah dan lain-lain. Betapa banyak kisah dalam kehidupan
masyarakat di mana uang jacli akar masalah permusuhan, konflik
dan perceraian suami-istri. Betapa banyak kisah pula dalam
kehidupan sosial di mana ketergantungan orang pada uang bisa
membuatnya melampaui batas-batas hukum, menciptakan
kerakusan dan memicu kezaliman. Gus Dur sangat memahami ini.
Lalu apakah seorang zahid harus tidak memerlukan uang?

Suatu hari saya bertanya kepadanya, dalam suatu


kesempatan, soal makna "zuhud" (asketik). Saya bilang, ketika saya
mengaji di pesantren, setiap kitab kuning menyebut kata "zuhud"

101
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

selalu dimaknai para kiai sebagai membenci dunia, tidak menyukai


dunia. Maksudnya tidak suka hal-hal yang berbau materi. Ketika
ditanya itu, Gus Dur hanya bilang "zuhud itu banyak maknanya.
Tapi maksudnya adalah hidup sederhana, bersahaja, dan tendah
hati." Saya lalu mencari sendiri kata-katanya. Para ulama memang
mendefinisikannya secara berbeda-beda. Zahid (orang yang
zuhud) bukannya tidak boleh punya uang, pakaian atau kendaraan
yang bagus. Tetapi semua benda itu tak boleh mengganggu hati
dan pikirannya. Jika ada, dia mensyukurinya, dan jika hilang, dia
tak memikirkannya, dia tidak gelisah atas kehilangan itu apalagi
membuatnya jadi marah-marah. Seorang sufi bilang: "Zuhud
adalah "Adam al-Huzn 'ala Ma Faat" (Tidak berduka ketika
kehilangan). Dan Imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan:

•zahid adalah orang yang tidak merasa senang manakala diberi


rizki lebih dan tidak merasa susah manakala berkurang."

Kesenangan atau kenikmatan yang diperoleh dalam hidup


tak membuat sang zahid lupa diri dan tidak pula membuatnya
disibukkan atau dikendalikan oleh kenikmatan dan kesenangan
duniawi itu seraya melupakan orang lain, apalagi melupakan
Tuhan. Intinya, seperti dikatakan Gus Dur, zuhud adalah sikap
hidup bersahaja serta kemampuan diri mengelola hati dan jiwanya
untuk tidak terjerumus pada hal-hal yang pragmatis, yang bernilai
sesaat, rendah dan mementingkan diri sendiri. Gus Dur tentu sudah
membaca kitab al-Aghani, karya raksasa Abu al-Faraj al-Ishfahani,
terdiri dari 40 lebih jilid tebal itu. Buku ini merekam berbagai
peristiwa kehidupan masyarakat sejak masa Nabi, para khalifah
dari segala dinasti, ulama-ulama, para cendikiawan, para
budayawan, seniman, para pemimpin rakyat, humoris, dan lain­
lain, berikut pikiran-pikiran dan tingkah laku mereka. Di dalamnya
terdapat cerita-cerita keseharian mereka, bait-bait puisi, kasidah

102
Zuhud dan Zahid

dan syair-syair dari yang klasik sampai masa penulisnya. Salah


satunya adalah nyanyian gubahan penyair besar Abu al-Atahiyah,
seperti ini:

Jika orang tak bisa bebaskan jiwanya dari harta


Harta itu pasti akan menjeratnya
lngatlah, hartanya adalah apa yang sudah dia berikan
Bukan yang dia simpan di rumah
Jika engkau punya harta
Berikan segera kepada yang perlu
Jika tidak, bencana akan menghancurkanmu

Bait-bait syair di atas mengingatkan saya pada peringatan


Tuhan dalam al-Qur'an. Saya acap menyampaikan ayat ini pada
khutbah Jum'at atau pada saat mengaji dengan para santri. Gus
Dur pasti juga mengingat ayat-ayat ini.

"Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak­


anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan
kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di
antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak
menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang
menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang­
orang yang saleh? Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan

103
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

(kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya.


Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan," (Q.S, Al­
Munafiqun, [63]:9-11).

]ika la Tak Punya la Memberi Kegembiraan


Jika tak ada lagi yang bisa diberikan Gus Dur, karena memang
benar-benar sedang tak punya, ia akan menyampaikan kata-kata
yang menggembirakan dan memberikan ketenangan. Gus Dur,
selalu tak ingin membuat orang yang memintanya kecewa atau
pulang ke rumahnya dengan wajah murung, tangan yang pulang
dengan hampa dan hati duka. la membayangkan jika orang yang
mengharap pertolongannya pulang lalu menemui anak-anak dan
istrinya yang menangis. Hatinya amat peka dan pilu mendengar
orang lain yang sering susah. Ya, dalam keadaan tak bisa
memberikan uang, Gus Dur akan berpesan kepada mereka seperti
nasehat Ibnu Athaillah al-Sakandari ini:

•seyogyanya, tertundanya pemberian sesudah engkau meng­


ulang-ulang permintaan kepada Tuhan, tidak membuatmu patah hati
atau putus asa. Dia menjamin pemenuhan permintaanmu sesuai
dengan apa yang Dia pilih bukan yang kamu pilih, dan pada waktu
yang Dia kehendaki, bukan pada saat yang engkau kehendaki.''

Jika begitu Gus Dur adalah Sang Zahid. Ia seorang yang


bersahaja, yang selalu rela atas pemberian Tuhan, yang tak
mengeluh, apalagi protes pada-Nya ketika tak punya apa-apa. Ia
tak pernab gelisab ketika kebilangan kemegaban, kebormatan,

' lbn Athaillah al-Sakandari, Al-Hikam, Hikmah No. 6.

104
Zuhud dan Zahid

kedudukan, dan kenikmatan benda-benda. Karena ia tahu dan


mengerti sungguh, sejak awal, setiap orang, sejatinya, tidak punya
apa-apa, lalu Tuhan memberinya dengan cuma-cuma, gratis. Ia
yang percaya bahwa Tuhan menjamin hidup makhluk-Nya, asal
mau berusaha dan berdoa. "Tidak ada makhluk di muka bumi
kecuali Allah menanggung rizkinya," kata al-Qur'an. Lihatlah
burung-burung di pepohonan itu: "Yaghdu Khimashan wa
Yaruhu Bithanan." "Pagi hari lapar, lalu terbang dan pulang
kandang dengan perut kenyang." Seorang zahid mengerti benar
bahwa semuanya adalah anugerah dari Tuhan yang seyogyanya
dan sepatutnya disyukuri. Jika kemudian dia tak lagi punya apa­
apa, seharusnyajuga tidak apa-apa, tidak mengeluhkan kehilangan
itu. Mengapa harus cemas? Mengapa harus gelisah? Mengapa harus
repot? dan mengapa harus marah-marah? Seorang zahid adalah
dia yang tak pernah bergantung pada makhluk Tuhan. Zahid adalah
orang yang selalu memulangkan segala keputusan kepada Allah,
karena semuanya, dalam keyakinannya, sungguh-sungguh adalah
milik Dia dan karena itu ia akan selalu berterima kasih kepada­
Nya dan bersabar bila terlambat ada. Bila orang tak sabar atau tak
rela atas pemberian Tuhan, maka kepada siapakah lagi dia akan
berharap? Nabi pernah mengatakan kepada para sahabatnya:

'Siapa saja yang tak rela atas keputusan-Ku, silakan cari Tuhan
selain Aku.'

Gus Dur juga begitu. Ia mengerti bahwa rizki manusia adalah


apa yang sudah dipakai atau dikeluarkan untuk membuatnya
hidup, ia mengerti pula bahwa seluruh kekayaan adalah amanat
Tuhan yang harus dibagi-bagi untuk kepentingan makhluk-Nya,
dan pada akhirnya ia juga mengerti bahwa kekayaan itu tak akan
memberinya manfaat manakala ia kelak dihadapkan kepada Tuhan,
suatu hari kelak, dengan hati bersih, seperti dikatakan al-Qur'an:

105
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

ll/ • ...� r;. ,.. ',.. .,.


'I' . ..__.ll, :.11 1 "l ! ' �I .; 0
.)• ·' Y J. t; � 'j
,,.
" '
r ; ; ..s .Y t .H � '- . rY-

•(vai1ui hari di mana harta dan anak tak lagi memberi manfaat
apapun, kecuali orang yang datang dengan hati yang bersih."

•Qalb SalimH (hati yang bersih, bening) adalah hati dan jiwa yang
larut dalam cinta yang luruh dan seluruh kepada-Nya.

106
#8
MISTERI SANG ZAHID

Terlampau sering kita mendengar atau membaca cerita/kisah


tentang hal-hal yang aneh dan sepertinya tak masuk akal yang
muncul dari Gus Dur. Sebagian orang menyebutnya sebagai
"misteri Gus Dur." Beberapa orang menyebutnya pemikiran "yang
melampaui zaman." Hal ini karena pemikiran atau gagasannya tak
dapat dipahami banyak orang pada masanya. Dia bahkan harus
menerima caci maki dan kebodohan. Tetapi seiring berjalannya
waktu orang kemudian paham bahwa apa yang dikatakannya
adalah benar adanya.

Cerita-cerita itu disampaikan oleh orang-orang yang menemani


atau menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri. Sebagian
dari mereka adalah orang-orang terkemuka, tokoh agama,
pemimpin masyarakat, intelektual, mereka yang selalu berpikir
rasional dan kritis, dan lain-lain. Sebut saja misalnya, Profesor
Mahfud MD, (kini ketua MK), Mohammad Sobari (budayawan),
Marsillam Simanjuntak (Alm., mantan Sekertaris Kabinet), Dr.
Daniel Dhakidae (budayawan), Prof. Alwi Shihab, dan lain-lain.

Hal yang sepertinya tak masuk akal itu dikemukakan Gus Dur
dalam celotehan-celotehan atau canda-canda atau yang lain.
Banyak orang yang tak percaya ketika Gus Dur menyampaikannya,
tetapi ia terbukti benar adanya pada saat yang lain. Celotehan
yang populer misalnya soal DPR yang disebutnya seperti Taman

107
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Kanak-Kanak. Atau soal pernyataan dirinya akan jadi presiden.


Dalam Simposium Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 16-18 Nopember
2011 yang saya hadiri, Daniel Dhakidae kembali menceritakan:
"Sekitar Juli 1999, dalam pertemuan Forum Demokrasi, Gus Dur
menyampaikan: "Kalau beredar isu saya mau jadi presiden, itu
bukan dari saya. Karena saya tidak berencana untuk menjadi apa
yang diisukan itu. Kalau itu benar, maka itu panggilan dari langit."
Semua teman-temannya tak mempercayainya, dengan cara dan
gayanya yang berbeda-beda. Ada yang tertawa karena meng­
anggap Gus Dur sedang melucu seperti biasanya, ada yang tertawa
mengejek, dan ada yang "merinding" karena menganggap Gus Dur
sudah tak waras. Bila di kemudian hari Gus Dur benar-benar
menjadi presiden, sebagian mereka masih juga tak percaya, atau
katakanlah "aneh" dan "tak masuk akal." Betapapun anehnya, atau
sebutan apapun, akan tetapi nyata. lrwan David, teman Gus Dur
yang pada awalnya menganggapnya sebagai celotehan yang
ngawur, kemudian mengatakan: "Bagi kami, orang Katolik, Gus
Dur itu seperti santo yang oleh orang Islam disebut wali."

Misteri Gus Dur yang lain dan sering dibicarakan orang adalah
soal tidur Gus Dur. Ia dikenal suka tidur atau tukang tidur. Ia mudah
sekali lenyap dan masuk dalam mimpi-mimpi, di mana saja dan
dalam forum apa saja, termasuk dalam forum seminar
internasional yang berkelas pemikir besar dunia. Lalu Gus Dur
bangun dan segera memberikan tanggapan atau jawaban atas
pertanyaan yang dilontarkan audiens kepadanya. Menakjubkan.
Tanggapan dan jawaban Gus Dur, mengarah, mendalam, dan
memperlihatkan kecerdasan dan kegeniusan pikirannya. Gus Dur
sepertinya mendengar dengan tekun seluruh pembicaraan mereka,
meski dalam tidur nyenyak.

Salah satu yang mengesankan saya adalah kisah Dr. Jalaluddin


Rahmat. Kang Jalal, begitu ia biasa dipanggil sahabat dan teman­
temannya, suatu saat menyertai Gus Dur dalam perjalanannya ke

108
Misteri Sang Zahid

Iran untuk sejumlah pertemuan ilmiah dengan para ilmuan, para


pakar dan ulama terkemuka di negeri itu, termasuk dalam
pertemuan dengan Presiden Iran. Dalam sejumlah pertemuan
ilmiah itu, Gus Dur, selalu menyempatkan tidur lelapnya, dan
membiarkan forum berjalan sendiri. Kang Jalal, tampak sangat
kecewa, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia sangat segan untuk
membangunkannya. Suatu hari Gus Dur dan rombongan Indo­
nesia hadir dalam pertemuan amat penting, dengan pembicara
seorang kepala negara di istananya. Kang Jalal, sebagaimana ditulis
dalam bukunya, membisiki Gus Dur: "Tolong ya Gus, sekali ini
jangan tidur. Yang kemarin-kemarin bolehlah, tapi yang bakal kita
temui kali ini adalah Presiden Iran. Jadi tolong ditahan, dong,
kantuknya."

Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, sang Presiden itu, mendapat


giliran untuk tampil bicara. Ia mengurai dengan bangga sejarah
revolusi Iran, capaian-capaian pembangunan yang membangga­
kan dan prospek-prospek yang menjanjikan bangsa Iran ke depan.
Audien dengan khusyuk mendengarkannya. Tetapi Gus Dur? Duuh!
Kang Jalal melihatnya dalam kelakuan yang belum berubah. Tidur.
Rupanya Gus Dur tak mengindahkan bisikan yang baru saja
disampaikannya. Ia lelap dan mendengkur lirih di atas kursinya.
Kang Jalal merasa kali ini harus membangunkannya. Gus Dur tak
boleh membuat malu bangsa Indonesia. Dan Gus Dur bangun tanpa
merasa ada yang keliru atau tak sopan dari dirinya. Ia segera
menganggapi pembicaraan Presiden Rafsanjani itu dengan lancar
dan cerdas. Dan ia menyampaikannya dalam bahasa Arab yang
bagus. Applaus panjang bergema, begitu Gus Dur, menutupnya
dengan salam. Maka Kang Jalal dan teman-teman yang ikut
bersamanya pun "sumringah". Wajah mereka berbinar-binar.
Keresahan dan kegalauan mereka tak tampak lagi. Dan tentu saja
mereka bangga.

109
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Itu adalah satu saja dari sekian banyak cerita aneh Gus Dur
yang sudah ditulis sejumlah orang dan masih menjadi bahan
pembicaraan yang menarik di banyak ruang sampai hari ini. Banyak
orang kemudian, terutama komunitas muslim tradisionalis dan
orang-orang Jawa menyebutnya sebagai: "Weruh Sakdurunge
Winarah" (Mengetahui sebelum terjadi). Ini biasa dialamatkan
kepada orang yang dikenal dalam masyarakat pesantren sebagai
"waliyullah", kekasih Tuhan.

MemahamiMisteri Tidur Gus Dur /tu


Suatu hari di rumahnya, Ciganjur, saya bertanya kepada Ibu
Shinta Nuriyah, istrinya, dalam suatu pertemuan rutin di sana.
Katanya: "Gus Dur memang sering ditanya orang soal sebutan tadi,
yang dianggap aneh atau misteri itu, berikut kesaksian-kesaksian
orang mengenainya. Mas Dur hanya menjawab: "Wah, itu
sebetulnya begini: saya mendengar apa yang dikatakan pembicara
pada kalimat pertamanya dan topiknya. Lalu saya tidur, karena
dari situ saya tahu apa akhirnya, apa kesimpulannya."

Nab. Jawaban Gus Dur tersebut boleh jadi dapat dipahami,


karena ia memang sangat cerdas dengan otak yang telah
menyimpan segudang informasi dari banyak buku yang dibacanya
sejak lama dan bertahun-tahun atau dari kebiasaannya berdiskusi,
berbicara, dan bertemu banyak orang. Orang dengan otak dan
kecerdasan intelektual yang demikian, serta dengan kebiasaan
mendengar orang lain bicara, mampu dan bisa membaca ke mana
arah pikiran orang sejak ia menyampaikan kata pembukaannya.
Kata-kata pembukaan untuk sebuah forum bicara, acap menunjuk­
kan isinya. Dalam dunia pesantren, pada kajian sastra Arab yang
populer disebut Ilmu Balaghah, itu disebut "Bara'ah al-Istihla/".

110
Misteri Sang Zahid

"
,, � ,,
,, .; t ,,. � ' 'S: � .;
I •1
•, ' . - <
�� .�j
" , rJ',, .J':'
) - I'--J '-,- �y�
.• 11 _J• 1 �� I-· �

._
)Goa
I
..- "I r�
,
' '' .I
I.).

•Pengarang/penulis/pembicara atau penyair, menyebut dalam


pendahuluan buku atau kasidah (syair-puisi)nya beberapa kata atau
kalimat yang mengisyaratkan dengan cara yang amat halus pokok
krusial yang menjadi inti karya tulis/pidato atau sastra puitisnya.'

Kita semua tentu melihat manusia mempunyai kapasitas


intelektual dan kecerdasan yang berbeda-beda dan bertingkat
dalam memahami sesuatu. Sebut saja memahami isi sebuah buku.
Ada orang yang baru bisa memahami isinya sesudah ia membaca
halaman demi halaman buku itu sampai selesai. Sebagian orang
bisa memahaminya dengan membaca beberapa bagian dari isi
buku tersebut. Sebagian lain merasa paham dengan membaca
judul pasal demi pasal sebagai yang tertulis pada daftar isinya dan
kesimpulan. Dan sebagian yang lain lagi telab cukup mengerti dan
pabam dengan banya membaca judulnya saja. Saya kira Gus Dur
adalah manusia dalam kapasitas yang terakhir ini. Ketika orang
memilih satu judul tertentu atas buku atau makalah, maka ia
berbarap judul tersebut telab mencakup apa yang ingin
disampaikan. Ia adalah simbol dari isi. Para sufi acap mengeluar­
kan kata-kata ringkas, tetapi padat. Ia adalah kata-kata mutiara,
kata-kata bijak, atau kata-kata aneh bagi awam. Untuk memahami
kata-kata ini diperlukan proses pendakian pikiran yang panjang,
lama, terjal, dan berliku-liku.

Kalau demikian, sesungguhnya tak lagi ada yang aneh dari


ucapan-ucapan Gus Dur, meski sering dipahami sebagai aneh. Itu
semacam refleksi otak cerdas saja, atau refleksi intuitif. Gus Dur
memang punya otak cemerlang dan genius yang dianugerahkan
Tuhan kepadanya. Kecerdasan itu sudah lama dikenal orang sejak

111
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

ia masih muda. Ia juga seorang yang gemar membaca buku-buku,


kitab-kitab, komik-komik, anekdot-anekdot, kisah-kisah mitologi,
menonton film, wayang, drama, musik klasik dan sebagainya. Gus
Dur telah begitu banyak membaca karya sastra Arab, karena
memang ia pernah kuliah di Fakultas Sastra, ketika di Mesir
maupun di Baghdad, Irak. Ia, sebagaimana sudah disebut di atas,
telah membaca beberapa buku-buku Dawawin (kumpulan puisi/
Antologi), di antaranya: Diwan al-Nabighat, Diwan Abi Tamam,
Diwan al-Buhturi, Diwan al-Mutanabbi, Diwan Abu Nuwas,
Diwan al-Farazdaq, Diwan al-Imam al-Syafi'i, Diwan Nahj al­
Balaghah karya Imam Ali bin Abi Thalib, dan karya pusi paling
klasik karya penyair besar Arab pra-lslam Al-Mu'al/aqat al-Sab'
karya raja penyair Arab: Imri al-Qais. Bahkan sebelum berangkat
ke Kairo, ia sudah membaca karya-karya sastra tersebut, termasuk
kitab sastra Nihayah al-Arbab Ji Funun al-Adab karya Syihab al­
Din al-Nuwairi, dan Al-Aghani, karya Abu al-Faraj al-Ishfahani.

Di luar buku-buku klasik raksasa berbahasa Arab itu, Gus Dur


juga telah melahap buku-buku berbahasa Inggris. Dia telah
menguasai bahasa ini sejak masih di sekolah menengah. Beberapa
di antaranya adalah: karya Ernest Hemingway, John Steinbach,
dan William Faulkner. Ia juga membaca beberapa karya Johan
Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset, dan beberapa karya
penulis Rusia, seperti Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail
Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant
yang berjudul The Story of Civilazation, Das Kapital-nya Karl
Marx, filsafat Plato, Aristo, Thales, Ferdinand de Saussure, dan
lain-lain.

Tetapi baiklah demikian jawaban yang mungkin masuk akal.


Namun demikian, boleh jadi ada jawaban lain. Kelakuan Gus Dur
yang dianggap aneh tersebut mungkin adalah tanda lain dari
pribadi seorang zahid yang dimilikinya.

112
Misteri Sang Zahid

Maulana Jalal al-Din Rumi, sufi penyair agung dari Konya,


Turki, mengajarkan kepada para darwis di majelisnya, bahwa:

•seorang zahid adalah seorang yang mampu melihat masa


depan. Sejak pandangannya jatuh pada awal/permulaan sesuatu, dia
tahu bagaimana akhirnya sesuatu itu. Bagai seorang ahli tanaman
gandum, dia akan tahu bahwa biji gandum itu akan tumbuh menjadi
gand um. Ketika seorang zahid melihat sesuatu pada pandangan yang
pertama, meski dia tak melihat bagaimana wujud akhirnya dari sesuatu
itu, dia men getahu i apa yang terjad i pada akhirnya Mereka yang
.

dapat mengetahui sesuatu sampai ke akhir hanyalah sedikit."'

Akan tetapi, pemaknaan di atas bukanlah satu-satunya. Jika


Gus Dur mengatakan atau menyatakan sesuatu yang tak dapat
dipahami para pendengarnya ketika dia mengatakan atau
menyatakannya, meskipun acap dibenarkan mereka pada saat
yang lain dalam berberapa waktu kemudian, maka boleh jadi kata­
katanya itu memang lahir dari lubuk hatinya yang paling dan
disampaikan dengan seluruh ketulusan. Dan lubuk hati itu
menyimpan cahaya-cahaya ketuhanan. Pemilik hati yang
bercahaya seperti ini, adalah para kaum bijak-bestari, para zahid,
kaum sufi, dan para wali. Ketika mereka hendak mengatakan atau
menyatakan sesuatu hal, cahaya tersebut telah menyebar terlebih
dahulu beberapa waktu, beberapa jam, beberapa hari, beberapa
bulan atau beberapa tahun. Maka manakala para pendengar telah
tercerahkan, kata-kata mereka pun terhubung, sampai di pikiran
dan hati mereka {para pendengar). Inilah yang dikatakan oleh sufi
besar, legendaris, Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandari, orang yang
sangat dikagumi Gus Dur. Kitabnya: Al-Hikam al-'Athaiyyah
(Kebijaksanaan-kebijaksanaan atau Kearifan-kearifan Ibnu
Athaillah), selalu menjadi bacaannya baik untuk pengajian
Ramadlan di masjidnya di Ciganjur, maupun untuk forum

' Baca: )alaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Pasal 5, him. 53.

113
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Kongkow-nya di Utan Kayu. Pada hikmah ke-182 kitab ini


menyebutkan:

•cahaya orang-orang bijak-bestari mendahului kata-katanya.


Maka ketika batin telah tercerahkan, kata-kata mereka sampai (ke lubuk
hati pendengarnya)."

Salah seorang pensyarah (komentator) hikmah ini


mengatakan:

·sesungguhnya, orang-0rang yang arif (yang mengenal Tuhan­


nya) yang sering disebut sebagai •hukama• (orang-orang bijak-bestari),
bila mereka hendak memberikan petunjuk kepada para hamba Allah,
mereka menghadap-Nya dengan seluruh hatinya. Mereka berharap
agar kata-kata mereka diterima dan dipahami para audiens (hamba­
hamba Allah). Manakala mereka melakukan demikian, maka
memancarlah partikel-partikel cahaya dari lubuk hati mereka yang
terdalam, lalu menyebar cepat sebelum kata-kata disampaikan. Dan
manakala ia terhubung dan menembus ke dalam pikiran dan hati
audiens yang telah tercerahkan, maka mereka pun paham, mem­
benarkan dan mengikuti kata-kata para bijak-bestari itu.•

Ketika pada suatu saat saya menyampaikan kebijaksanaan


Ibnu Athaillah di atas di hadapan publik, seorang sahabat dari
Hindu menemui saya. Dia mengatakan: "Apa yang barusan anda

114
Misteri Sang Zahid

sampaikan itu, sesuai benar dengan kata-kata Sidarta Gautama.


Dalam Bhagawadgita, dia mengatakan: "Selama hati manusia
bekerja untuk kemanusiaan dan persahabatan yang tulus, Tuhan
akan menunjukkan rahasia-rahasia-Nya. Sejauh hati kita bersih
dari segala kepentingan dan merindukan kehadiran Dia, maka
perkabaran Yang Ilahi akan selalu mungkin."

115
#9
TAREKAT DAN DOA-DOA GUS DUR

Orang-orang yang dekat Gus Dur, bercerita, jika tak ada teman
yang diajak bicara dan beliau sendirian, maka dalam waktu yang
sunyi sepi itu ia membaca surat al-Fatihah, entah berapa kali, lalu
membaca "shalawat" atas Nabi, "tawassul" dan berdoa untuk
dirinya sendiri, kedua orangtua, keluarga, untuk para wali (para
kekasih Tuhan), para ulama yang telah wafat dan untuk bangsa
dan negara yang dicintainya. Ada juga orang yang bercerita: "Jika
tangan Gus Dur tak pernah berhenti bergerak-gerak, seperti
mengetuk-ngetuk, sebenarnya dia sedang berzikir: Allah, Allah,
Allah. Tangan itu menggantikan tasbih." Itulah jalan spiritual
(thariqah)nya. Saya sendiri tak pernah tahu atau mendengar dan
tak pernah bertanya, Gus Dur mengamalkan tarekat tertentu,
seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah, Mawlawiyah,
Rifa'iyyah atau yang lainnya. Saya mengira dia tak terikat pada
satu tarekat. Boleh jadi dia juga tak mau berkomentar soal
"mu'tabarah" (diakui) atau "ghair mu'tabarah" (tidak diakui)
dalam hal ini. Baginya semua tarekat baik adanya, karena ia adalah
jalan spiritual yang ditemukan oleh seseorang dengan peng­
alamannya masing-masing. Dalam sejumlah kesempatan Gus Dur
juga mengagumi cara-cara spiritual yang dijalani oleh para
pengikut agama-agama yang ada di dunia. Cerita seorang teman
mengatakan bahwa beliau telah memperoleh "Jjazah", semacam
perkenan mengamalkan suatu tarekat, atau "pemberkatan" dari

117
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

banyak sekali guru-guru atau "mursyid" tarekat, bukan hanya dari


dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri. Gus Dur terlalu
sering berziarah ke tempat-tempat peristirahatan para pendiri
tarekat, seperti Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani dan lain-lain.

Tarekat (Thariqah) adalah cara atau jalan menuju Tuhan


berdimensi esoterik, batin, spiritual. Para pengikut tarekat
biasanya menempuh perjalanan menuju Tuhan ini melalui aktivitas
ritual-ritual zikir (mengingat dan menyebut) Tuhan, permenungan
dalam keheningan malam, ketika segala aktivitas manusia berhenti
dan pintu-pintu rumah telah terkunci dan sepi. Zikir-zikir kepada
Tuhan itu diucapkan mereka berkali-kali, puluhan dan ratusan kali,
hingga Dia melekat di hatinya. Ketika Dia telah melekat dan
menyatu di hatinya, maka Dia menjadi matanya, menjadi
pendengarannya, menjadi tangan dan kakinya. Ini disebutkan
dalam hadits Qudsi. Imam al-Bukhari, master hadits terkemuka
menulis:

•Manakala hambaku mendekati-Ku, dengan selalu mengingat­


Ku, sampai Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, maka dia
melihat dengan Mata-Ku, mendengar dengan Pendengaran-Ku,
memukul dengan Tangan-Ku, berjalan dengan Kaki-Ku. Bila dia
meminta, Aku akan mengabulkannya dan bila dia memohon
perlindungan-Ku, Aku melindunginya.•1

Dalam tradisi di kalangan masyarakat umum, zikir-zikir, doa­


doa, dan Istighatsah (memohon pertolongan Tuhan), dilakukan
sebagai upaya melepaskan segala kegalauan, kecemasan, kerisauan
dan kemelut-kemelut kehidupan atau untuk meminta sesuatu yang
diimpikannya. Ini berbeda dengan para kaum sufi. Doa dan segala
zikir dipanjatkan lebih dalam rangka memohonkan ampunan
Tuhan atas dosa dan kesalahan yang diperbuatnya sehingga
segalanya diridhai dan ia menjadi orang yang dicintai-Nya. Bagi

' Hadits Sahih Bukhari.

118
Tarel<at dan Doa-Doa Gus Dur

mereka apa pun yang dilakukan dalam kehidupan, tak ada


maknanya, tanpa kerelaan dan cinta Tuhan.

Pada tradisi masyarakat pesantren, di samping doa, mereka


juga biasanya memulai dengan membaca shalawat (pujian dan
doa) atas Nabi dan menjadikan beliau sebagai wasilah (penengah/
juru bicara) kepada Tuhan. Di berbagai negeri muslim tradisi ini
telah berlangsung sangat lama. Mereka memandang wasilah patut
dilakukan. Karena berkat, atas peran dan melalui beliaulah manusia
mengerti tentang Tuhan dan ajaran-ajaran-Nya. Bahkan dalam
tradisi sufisme bahwa demi Muhammad Saw. lab Tuhan
menciptakan semesta. Mereka menyebutkan kata-kata Tuhan
dalam hadits Qudsi: Lawlaka Lawlaka Ma Khalaqtu al-Ajlak
(Andai tak karena kamu (Muhammad), ya, Andai tak karena kamu,
Aku tak menciptakan cakrawala). Maka masih menurut mereka:
Awwal Ma Khalaqa Allah, Nur Muhammad (Ciptaan Tuhan yang
pertama adalah "Nur (cahaya) Muhammad." Mereka juga meyakini
bahwa Nabi Saw. adalah al-Syafi' (sang penolong), sebagaimana
beliau menolong umat manusia ketika dalam kegelapan zaman
Jahiliyah. Berkat beliaulah umat manusia mendapatkan cahaya
dan tercerahkan. Al-Qur'an menyatakan hal ini:

.11 ..:.ilJWI
\.).- ,.
<
(...,� ,:_<::...,. J.j
I -! ...,
�')i.;,�
,.·
-� �
I
f. �,.
"
,,- .J1
' �

J-

•Dialah yang memberi rahmat kepadamu (Muhammad) dan


malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia
mengel uarkan (membebaskan) mereka dari kegelapan (kebodohan
kepada cahaya (ilmu pengetahuan). Dan adalah Dia Maha Penyayang
kepada orang-<>rang yang beriman: (Q.S. Al-Ahzab, (33):43).

"Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu


sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi

119
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling


(dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak
ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia
adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." (Q.S. Al-Taubah,
[9]: 128-129).

Pada awalnya, shalawat atas Nabi dianggap sebagai doa bagi


Nabi, karena kecintaan kepadanya. Akan tetapi dalam perjalanan­
nya ia kemudian dipandang sebagai puji-pujian dan penghormatan
untuk Nabi yang hidup di samping Tuhan. Praktik ini memperoleh
legitimasi dari kitab suci al-Qur'an. Tuhan mengatakan: "Jika
engkau mencintai Tuhan, maka ikutilah Nabi. Maka Tuhan akan
mencintaimu." Dan bukan hanya manusia yang dianjurkan Tuhan
untuk membaca shalawat (penghormatan) untuknya, melainkan
juga Tuhan sendiri dan para malaikat. Tuhan mengatakan:

•\<.
,... �
f,
- '1 �'l �..:;..J1 I�
� .....,-..
��t �
.. ��lj l.S"""
. f;;._"" ,)_,f' :.;5:;j;
,,�
.. ,,, �- i,u 1 VeI
q
.
,

•sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat


untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu
untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya," (Q.S.
Al-Ahzab (33]:56).

Shalawat dianggap syarat penting agar doa dikabulkan.


"Permohonan (doa) akan dianggap berada di luar pintu langit
sampai orang yang berdoa itu mengucapkan shalawat untuk Nabi."

Penyair Turki abad pertengahan, Asyiq Pasha, mengingatkan


orang-orang senegerinya tentang eksistensi primordial Nabi
Muhammad Saw., yang menjadi suatu segi yang begitu penting
dalam profetologi mistikal:

120
Tarel<at dan Doa·Doa Gus Dur

Adam masih berupa debu dan lempung


Muhammad telah menjadi Nabi
Dia telah dipilih Tuhan
Ucapkan shalawat untuknya'

Kaum sufi di manapun berada selalu membaca shalawat


berkali-kali, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam
jama'ah (kumpulan/kelompok), untuk mengantarkan permohon­
annya kepada Tuhan. Mereka gemar sekali menyenandungkan doa
shalawat itu dalam bentuk puisi-puisi yang indah. Annemarie
Schimmel, pakar mistisisme Islam, pengagum berat Ibn Arabi dan
Rumi, menginformasikan bahwa di beberapa kalangan Afrika
Utara orang bisa mendatangi pertemuan-pertemuan shalawat di
mana orang itu ikut serta dalam doa bersama untuk Nabi dan
berharap agar permintaan yang diucapkan dalam pertemuan
semacam itu akan segera dikabulkan. Salah satu doa shalawat yang
populer di sana adalah Doa Pelipur Cordova.3

•wahai Allah, berkahilah dengan berkah yang istimewa tuan


kami, Muhammad, yang olehnya segala kesulitan terpecahkan, segala
kesedihan terhiburkan, segala masalah terselesaikan, yang melaluinya
hal yang di ingi nkan dapat dicapai dan yang dari air mukanya yang
mulia awan meminta hujan, dan berkahilah keluarganya dan sahabat­
sahabatnya.•

Betapa pentingnya shalawat atas Nabi Saw. untuk mengawali


doa kepada Tuhan, mengingatkan saya pada Qasidah Burdah, karya
sufi penyair Imam Bushairi.• Bushairi, sastrawan sufi legendaris

2 Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Tuhan, him. 145.


3 Ibid., him. 143.
• Syarafuddin Abu Abdullah Muhammad ibn Sa'id al-Bushairi. la lahir tahun 608
H/1 2 1 2 M di Dalas, Maroko, dibesarkan d i Bushair, Mesir. la penganut tarekat
Syadziliyah. Di samping seorang penyair, ia juga penulis kaligrafi indah. Karya
ini dipandang paling cermerlang dan terkenal d i seluruh dunia muslim. Karya ini
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, antara lain: Persia, Turki,
Urdu, Punjab, Melayu, Sindi, Indonesia, dan lain-lain. Terjemahan dalam bahasa

121
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

abad ke-13, menulis kasidah ini ketika dia mengalami sakit


berkepanjangan, stroke. Sepanjang hari sepanjang malam dia
berdoa sampai begitu lelah dan tertidur. Suatu malam ia bermimpi
bertemu Nabi. Nabi yang mulia mengusapkan tangannya ke wajah
Bushairi lalu menyerahkan selendangnya (burdah). Bushairi
terjaga dari mimpinya dan melihat dirinya tak lagi sakit. Semula
kumpulan Nazham (puisi-sajak) dengan akhir huruf mim (karena
Al-Mimiyah) diberi judul panjang: Al-Kawakib
itu biasa disebut;
al-Durriyyah Ji Mad-hi Khairi al-Bariyyah (Bintang-Gemintang
Berpendar Gemerlap yang Memuji Manusia Paripurna). Akan
tetapi, karena terlalu panjang hingga menyulitkan orang menyebut
dan mengingatkannya, maka diambillah kata "Al-Burdah al­
Bushairi" (Selimut atau Selendang). Ketika saya ke Iskandariyah,
Mesir, tahun 1982, saya menyempatkan diri ziarah dan berdoa di
pusara penyair sufi besar ini, tidak jauh dari makam sufi besar;
Said Mursi. Di pesantren, saya sempat menghapalnya meski serba
sedikit. Tetapi banyak santri yang hapal di luar kepala. Di Univer­
sitas Kairo, kasidah ini diajarkan pada setiap hari Kamis dan Jum'at.

Di bawah ini adalah beberapa saja dari bait puisi Bushairi


yang seluruhnya berisi 160 bait, yang masih saya hapal. Sebuah
puisi yang memperlihatkan kerinduan Bushairi kepada Nabi Saw.
Kasidah ini didendangkan dengan Bahar (nada dan ritme) Basith:
Mustafilun fa'ilun.

Indonesia ditulis oleh banyak orang, tetapi terjemah paling menarik ditulis oleh
Syu'bah Asa.

122
Tarekat dan Doa-Doa Gus Dur

�1"
>..l.!�
-

.....
...
..x _, .· ,
· , ..:;
"'/" 1 • " -:.
I.A.A j
::. .;_y
, -:··
\,· ·'
••

., .
_ _,.
_

� .�I > ""� LlJ


• � 01
G .•l
- l '
Il• I l;•
..)
,,
.�
' '-
-.

,,
1 1 , ' �,.. J,l
� � �
�l ·•;
)
r,..r,;- •
....-
• •
� ,..
- � . '-' � � ·
• �

I
, • •

..-.
....
....
'_ __,", .jljl <-
' .u .:::,__;' i
,, . �"', J

_/ ,,
'1·,·

' '
��
,.,,�.. . � ,,

�'-')lJ ->:jAI :._;. � i..s;., 1-.;;


...z o �� c

�)II;
,,
, ,.
::_, 1.WI '�
....,
� ;'�.
,,
...
' h•
_,

Aduhai, apakah karena kau rindu


pada tetangga di kampung Dzi Salam
Air bening menetes satu-satu
Dari sudut matamu
Bercampur darah

123
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Ataukah karena semilir angin


yang berhembus
dari Kazhimah
Dan kilatan cahaya
dalam pekat malam

Apakah kekasih mengira


Api cinta yang membara di dada
Dapat dipadamkan air mata?
Andai bukan karena cinta
Puing-puing tak mungkin basah air mata

Andai bukan karena cinta


Matamu tak mungkin jaga sepanjang malam
Membayangkan keindahan gunung gemunung
Dan semerbak pohon kesturi
Dan tinggi semampai pohon pinus

Mana mungkin kau ingkari cintamu


Padahal ada saksi menyertaimu
Ketika air matamu berderai-Oerai
Dan kau jatuh sakit begitu memelas
Dukamu menggoreskan
Tetes air mata dan Iuka
Bagai mawar kuning dan merah
Pada dua pipi ranummu

Ya, aku melihat kekasihku


Mondar-mandir ketika malam muram
Hingga mataku selalu terjaga
Cinta telah mengganti riang jadi nestapa

Seluruh doa, zikir (mengingat Tuhan) dan shalawat atas Nabi


ditujukan kepada Allah, hanya kepada Dia, tidak kepada yang lain,
termasuk tidak kepada Nabi Muhammad Saw. Karena hanya Dialah
Pemilik segala, hanya Dialah Penguasa atas semesta raya dan hanya
Dialah Yang Mengabulkan segala permohonan hamba-hamba-Nya.
Dialah Titik Pusat dari segala. Pengaduan kepada manusia,
siapapun dia, akan kegundahan dan curahan hati karena kemelut
hidup yang acapkali datang menghempaskan jiwa dan pikiran,

124
Tarel<at dan Doa-Doa Gus Dur

seringkali mengecewakan. Mereka tak mampu memberi jalan


terang, dan tak bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan yang terns
dan terns mengalir bagai air yang sangat deras. Mereka acapkali
juga sibuk dengan urnsan dan kegalauannya sendiri-sendiri. Mereka
juga membutuhkan kepentingan hidup yang juga terus mengejar
mereka siang dan malam. Tetapi tidak bagi Tuhan. Dia tidak
membutuhkan apa-apa dan siapa-siapa. Sebaliknya, Dialah Yang
selalu Memberi. Dia bahkan amat senang jika hamba-hamba-Nya
meminta.

l ah sangat mengenal bait-bait puisi Burdah


Gus Dur pasti al­
Bushiri di atas, bahkan sebagian atau semuanya mungkin dihapal
dengan baik. Saya meyakini hal itu pada Gus Dur, karena kedua
Qasidah Burdah di atas amat populer di kalangan para santri.
Mereka menghapalnya lalu mendendangkannya dengan nada-nada
lagu yang indah dalam acara-acara yang relevan. Hal yang sama
juga dilakukan mereka dalam Burdah Madaih atau Na'tiyah, karya
Ka'ab bin Zuhair. Burdah ini berisi penghormatan dan pujian
kepada Nabi. Ia dikenal dengan Qasidah "Banat Su'ad" (Putri-putri
Su'ad). Ini karena qasidah burdah yang terdiri dari 58 bait ini
diawali dengan kalimat:

.
' •• - ..,,,,,.
,.
,
Jii ·� 'l.:
1WO , ' I '1 o

'-'· , ../•
.,_
, "",,- " -"
,," ,l
' ' - ,
J1 •••• Jr."' iy.J' -..,!>. � ..:;..., :
• •

- "
• '

I
• � •

Ka'ab Bin Zuhair, adalah seorang penyair terkenal pada masa­


nya. Ia suka sekali mencaci maki Nabi. Sikap itu membuat hidupnya
jadi galau. Ia lalu menemui Nabi dan menyanyikan qasidah ter­
sebut di hadapan beliau. Nabi begitu senang mendengamya, lalu
memberinya selendang (burdah) yang sedang dikenakannya. Kiai
Sa'id Aqil Siraj, Ketua Umum PBNU, terlalu sering menyanyikan
puisi-puisi ini manakala memberikan pengajian umum di berbagai
pesantren dan pada komunitas warganya; Nahdlatul Ulama. Ia
hapal di luar kepala kedua qasidah burdah itu.

125
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Sebagian orang, sebut saja antara lain kelompok Wahabi di


Saudi Arabia, menyebut "tawassul" dengan shalawat seperti ini
sebagai praktik kemusyrikan (menyekutukan Tuhan). Tawassul,
menurut mereka berarti meminta kepada manusia, meskipun ia
seorang Nabi dan kekasih-Nya, bukan kepada Tuhan. Muhammad
bin Abd al Wahhab, pendiri gerakan Wahabi, menganggap siapa
saja yang mengagungkan para 'shalihin' (orang-orang saleh, wali)
tidak berbeda dengan kaum Nasrani. Tuduhan serupa terus
diulang-ulang oleh para penerusnya/pengikutnya hingga kini.
"Istighatsah", yang berarti memohon wali menjadi perantara
kepada Allah, menurut Syaikh Abd al-'Aziz bin Baz, tokoh Wahabi
kontemporer, termasuk al-Syirk al-Akbar (syirik besar). Kita telah
maklum kaum Wahabi adalah kelompok tekstualis, puritan dan
kaum ortodoks garis keras. Mereka memaknai segala teks secara
harfiah, literalistik dan konservatif. Mereka tidak setuju dengan
pemaknaan metaforis (majaz) dan aforisme-aforisme sufistik.
Menurut mereka memaknai teks-teks Tuhan secara metaforis sama
saja dengan tidak mempercayai kata-kata Tuhan itu. Biarkan saja,
tak mengapa. Itu hak mereka. Dan itu, sebagaimana sudah
dikatakan Imam al-Ghazali, menunjukkan batas pengetahuan
mereka. Tetapi kita tentu amat menyesalkan bila kemudian mereka
memaksakan pandangannya kepada orang lain, melalui cara-cara
kekerasan, "hate speech" atau bahkan dengan menghunuskan
pedang atau meledakkan born.

Tawassul dan doa-doa Gus Dur itu kini telah menyebar di


mana-mana, dikasetkan, di-CD-kan, di-Youtube-kan, atau disim­
pan di HP, diputar berulang-ulang, didengarkan dengan penuh
khusyu' di kendaraan-kendaraan pribadi, dan dilantunkan para
pengagumnya di berbagai kesempatan menghormat atau men­
diskusikan Gus Dur. Beliau menyanyikannya dengan nada-nada
elegi dini yang sendu, bagai sembilu yang menyayat-nyayat kalbu.
Bait-bait doa, shalawat dan tawassul yang disenandungkan Gus

126
Tarekat dan Doa-Doa Gus Dur

Dur itu sesungguhnya tidaklah asing bagi para santri. Ia telah


berabad ditembangkan di pesantren-pesantren dan surau-surau.
Suara Gus Dur memang tak semerdu suara Hadad Alwi atau Abdul
Halim Hafiz, penyanyi kondang dari Mesir atau lainnya. Tetapi
lantunan Gus Dur, meski bersahaja, terasa memiliki makna ke­
indahan mitis dan magis yang menghunjam kalbu dan menyimpan
rindu-rindu. Ini tentu karena Gus Dur melantunkannya dengan
suara hatinya yang bening dan ketulusan cintanya yang penuh.

Di bawah ini adalah doa-doa yang selalu dibaca Gus Dur di


samping doa-doa yang lain. Semua orang pesantren dan kaum
Nahdiyyin mungkin sudah tahu atau bahkan hapal doa-doa itu.
Doa-doa ini seluruhnya mengandung permohonan ampunan
Tuhan. Doa pertobatan yang secara literal berarti kembali kepada
Tuhan. Ada juga di dalamnya yang memohon petunjuk ke arah
jalan lurus (amal saleh) dan anugerah ilmu yang bermanfaat.
Sebagian ada yang diawali dengan tawassul melalui Al-Musthafa,
Nabi Muhammad Saw. Doa yang terakhir konon ditulis oleh Abu
Nawas, sang cendikiawan dan sastrawan terkemuka yang jenaka,
tetapi amat cerdas itu. Hampir semua orang mengenal cerita-cerita
jenaka orang ini dan mendongengkannya kepada anak-anak
mereka, terutama menjelang tidur. Ia, ketika muda, konon, pemah
menjalani kehidupan glamour, mabuk dan urakan, tetapi cara itu
kemudian disadarinya akan mencelakakannya kelak. Tahun-tahun
terakhir hidupnya Abu Nawas bertobat dan menjalani hidupnya
sebagai seorang zahid, asketik.s

Dengan doa-doa itu, kita tentu paham bahwa Gus Dur selalu
mohon ampunan kepada Tuhan. Para nabi, orang-orang arif, kaum
sufi, dan orang-orang yang rendah hati setiap hari mohon
ampunan-Nya, ratusan dan ribuan kali.

5 Abu Nawas adalah nama panggilan. Nama sebenarnya adalah Al-Hasan bin Hani,
lahir di Ahwaz, Kazakstan, Baral Selatan Iran, 145/762 M. Dia termasuk penyair
paling terkenal pada masa Dinasti Abbasiah. Dia juga dikenal sebagai 'Penyair
Arak".

127
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Doa Pertobatan (1)

Wahai Tuhanku,
Anugerahi kedamaian dan keselamatan
Selama-lamanya
Pada sang kekasih-Mu: Ahmad
Ciptaan-Mu yang terbaik dari semuanya

Berkat al-Musthafa, sampaikan maksud-maksudku


Ampunilah dosa-dosa yang lewat
Wahai Yang Maha Mulia
Al-Musthafa, dialah sang kekasih
Pertolongannya diharap-harap
Bagi setiap kegelisahan yang memuncak

Doa Pertobatan (2)

128
Tarel<at dan Doa-Ooa Gus Our

Wahai Tuhanku
Aku bukan orang yang pantas menempati surga-Mu
Tetapi aku juga tak sanggup tinggal di neraka-Mu
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Dan ampuni dosa-dosaku
Karena hanya Engkaulah
Satu-satunya yang bisa memberi ampun
dosa-dosa besar

Dosa-dosaku bak jumlah butir pasir di bumi


Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Wahai Yang Maha Agung

Umurku berkurang setiap hari


Tetapi dosaku benambah-tambah saja
Bagaimana aku sanggup menanggungnya
Wahai Tuhanku,
Hamba-Mu yang berdosa
Telah datang, telah datang
Mengakui begitu banyak dosa
Dan ia telah sungguh-sungguh meminta-Mu

Bila Engkau mengampuniku


Karena hanya Engkaulah yang bisa mengampuni
Tetapi bila Engkau menolakku
Kepada siapa lagi aku bisa berharap

Doa (3)
Pertobatan, Amal saleh, dan Ilmu Yang bermanfaat

Aku mohon ampunan Tuhan


Tuhan seluruh ciptaan-Nya
Aku mohon ampunan Tuhan
Dari segala kesalahan
Tunjuki aku kerja yang baik
Tuhanku,
Tambahi aku pengetahuan yang berguna

129
SANG ZAHID: Menganmgi Sufisme Gus Dur

Dalam berbagai kesempatan bersama Gus Dur, manakala


diminta berdoa, beliau seringkali berdoa ini:

•wahai Tuhan kamil Anugerahilah kami rahmat dari sisi-Mu dan


tuntunlah kami pada jalan keselamatan • (Q.S. al-Kahfi, (18):10).
,

Dan diakhiri dengan doa paling populer:

•wahai Tuhan, anugerahi kami kebaikan hidup di dunia dan


kebaikan hidup di akhirat, dan lindungi kami dari siksa neraka: (Q.S.
Al-Baqarah, [2]:201).

130
#10
ZIARAH GUS DUR

Pada awal tulisan ini saya mengatakan bahwa nama Gus Dur
masih akan terus disebut-sebut para pengagumnya, meski dia
sendiri sudah menyampaikan selamat tinggal. Apa yang pernah
dikatakan, dilakukan atau yang keluar dari Gus Dur masih terus
menjadi perbincangan di mana-mana. Berbagai diskusi, seminar,
simposium, kajian, ceramah dan sejenisnya masih terus
diselenggarakan. Beberapa waktu yang lalu, Alissa Wahid, putri
pertamanya, menggelar simposium bertajuk "Kristalisasi
Pemikiran Gus Dur." Sejumlah besar orang yang mengenal, dekat
maupun jauh hadir dan memberikan kesaksian atas pikiran dan
langkah-langkah Gus Dur. Dalam waktu yang sama para santri muda
yang pernah bersentuhan secara intelektual, politik, kebudayaan,
dan seni di Pesantren Ciganjur, menyelenggarakan "sekolah
pemikiran Gus Dur" dengan seperangkat modul dan atau kuri­
kulum dengan perspektif pemikiran Gus Dur. Mereka bekerja sama
dengan program Kristalisasi Gus Dur di bawah komando Alissa
merumuskan "mazhab Gus Dur" atau "Gusdurianisme." Dengan
begitu mereka berharap gagasan pemikiran dan langkah-langkah
Gus Dur semasa hidupnya akan terus hidup dan berkembang. Para
pengikut dan pecinta Gus Dur dengan bangga menyebut diri
sebagai "Gusdurian". Mereka melakukan berbagai pertemuan baik
untuk sekadar kongkow maupun mendiskusikan berbagai isu
sosial, politik kebangsaan, ekonomi, budaya, dan keagamaan. Pada

131
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

saat negara seperti kehilangan pemimpin yang melindungi semua


warganya, banyak orang yang merindukan Gus Dur. Saya sering
mendapat keluh kesah kerinduan mereka yang teraniaya kelompok
lain yang dominan dan dibiarkan saja oleh pemerintah, "Andaikata
saja masih ada Gus Dur." Itu semua adalah fenomena gerakan
masyarakat: kaum elite, kaum terpelajar, para sarjana, budaya­
wan, dan pemikir progresif yang mengagumi tokoh anutannya.

Sementara itu, pada lapisan bawah, fenomena kecintaan pada


sosok Bapak Bangsa itu, muncul secara luar biasa dalam prosesi
"Ziarah". Ya ziarah ke makamnya di Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang. Sejak Gus Dur beristirahat abadi di tempat itu, setiap
hari ribuan orang datang ke sana baik secara sendiri-sendiri
maupun dalam rombongan, baik dengan jalan kaki maupun
berkendaraan dalam berbagai jenisnya. Informasi yang diperoleh
dari penjaga makam menyebutkan ada sekitar 3 ribu orang peziarah
pada hari-hari biasa, dan 7 sampai 8 ribu peziarah pada hari-hari
besar dan menjelang bulan Ramadlan. Teman saya yang kerap
ziarah ke makam-makam para wali, terutama Walisanga,
mengatakan: "Jumlah peziarah harian ke makam Gus Dur sudah
menandingi para peziarah Sunan Ampel, di Surabaya." Sebagian
peziarah adalah para tokoh masyarakat, pejabat tinggi negara
dalam dan luar negeri. Ada pula rombongan peziarah dari kalangan
siswa-siswa sekolah menengah. Tetapi mayoritas adalah
masyarakat awam dan secara ekonomi sangat sederhana. Mereka
datang dari berbagai penjuru negeri ini, bukan hanya dari pulau
Jawa, melainkan juga dari penjuru lain di tanah air dari Aceh
sampai Papua. Dan sebagaimana ketika Gus Dur pulang, para
peziarah itu bukan hanya dari kalangan masyarakat muslim,
melainkan juga dari berbagai pemeluk agama; Katholik, Protestan,
Hindu, Budha, Bahai, dan lain-lain. Betapa sering sejumlah orang
dengan pakaian kuning tua dan kepala tanpa rambut, bersimpuh
di depan makam Gus Dur sambil menggumamkan doa puja-puji

132
Ziarah Gus Our

dan permohonan ampunan Tuhan untuk penghuni makam ini. Ini


lagi-lagi mengingatkan saya pada makam sang sufi penyair
terbesar yang saya kagumi: Mawlana Jalaluddin Rumi di Konya,
Turki. Mereka datang ke sana dalam rangka mendoakan Gus Dur
sambil mencari berkah (grace) dari beliau.' Mereka telah meyakini
bahwa beliau adalah seorang waliyullah setaraf "maqom" para
Walisanga, para tokoh sufi dunia, dan para tokoh spiritual lainnya.
Maka kini orang telah sering menyebut bukan hanya "Ziarah
Walisanga" sebagaimana yang berlangsung selama ini, melainkan
"Ziarah Wali Sepuluh."

Saya sudah berziarah ke "maqbarah" (makam/kuburan) Gus


Dur dua kali. Pertama bersama Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman
Wahid dan kedua bersama putrinya yang kedua; Zannuba Arifah
Hafshah atau yang populer dipanggil Yenny bersama teman­
temannya, manakala mereka ke Jombang. Agak sulit dipercaya
mata publik bahwa pusara orang besar ini masih begitu sangat
sederhana seperti ketika tubuhnya diistirahkan. Sungguh-sungguh
mengharu-biru. Konon keberadaan pusara Gus Dur seperti ini
merupakan kehendak istri dan anak-anaknya. "Kebersahajaan
adalah khas kepribadian Bapak", ujar mereka.

Di atas tanah yang sedikit menonjol itu tampak bunga warna­


warni yang masih segar dan menebarkan aroma harum yang sangat
khas. Nisan di atas kuburan itu begitu sederhana dan tampak
seperti masih basah, seperti ketika tubuh penghuninya baru saja
diletakkan kemarin. Setiap peziarah selalu membawa bunga-bunga
itu dan menaburkannya di atas tanah tersebut. Seorang peziarah
dengan penuh kekaguman mengatakan: "Saya sudah ziarah ke

1 Berkah atau barakah adalah bertambah dan berlimpahnya kebaikan dan


kesejahteraan dalam hidup yang berasal dari kekuatan supranatural (Tuhan).
Berkah pada mulanya terpusat pada diri Nabi Muhammad Saw., dan kemudian
kepada para wali dan ulama kharismatis, karena mereka diyakini dapat
menyampaikannya kepada Tuhan.

133
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

makam Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur. Tapi makam Gus Dur
inilah yang paling sederhana. Padahal almarhum juga seorang
presiden." Bersebelahan dengan makam Gus Dur, terdapat makam
ayah dan kakeknya: K.H. Wahid Hasyim dan Hadratusyaikh K.H.
Hasyim Asy'ari yang juga amat bersahaja. Makam-makam itu
dibiarkan terbuka menghadap Iangit biru dan disinari terik
matabari. Tak ada bangunan cungkup di atasnya. Tak ada tembok
yang mengelilinginya.

Di atas pusara presiden RI ke-4 itu kami menaburkan bunga


lalu bersimpuh di hadapannya membaca surat Yasin, tahlil dan
berdoa untuk beliau. Di belakang kami, terdapat beberapa
rombongan lain yang juga melakukan hal yang sama. Suara
kalimat-kalimat suci al-Qur'an dan "La Ilaha Illa Allah" yang
diulang berkali-kali (umumnya 100 kali) menciptakan suasana
gemurub bagai genderang dalam Simfoni Requim karya Mozart.
Sebagian mata peziarah mengembang butir-butir air yang lalu
menetes pelan-pelan ke pipi mereka. Ada juga yang memanggil­
manggil nama Gus Dur dengan sedikit keras dan berulang-ulang.

Usai ziarah, saya pamit dan izin untuk memisahkan diri dari
rombongan keluarga itu. Saya sengaja kembali dengan mengambil
jalan yang dilalui masyarakat peziarah. Suasana jalanan dipenuhi
warung-warung dan toko-toko yang menjual barang-barang khas
di kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati atau makam Walisanga
yang lain: Mushaf al-Qur'an, kumpulan doa-doa dan tahlil, surat
Yasin, tasbih, sabuk, peci dengan berbagai corak dan modelnya,
sajadah, bunga-bunga; mawar, melati, kenanga dan kemboja dan
lain-lain, serta tak lupa kemenyan dan lain-lain. Jalanan itu
menjadi begitu sempit. Di bagian lain dari jalan itu banyak sekali
warung makanan dan minuman. "Gus Dur, masih memberi rizki
dan kebahagiaan kepada masyarakat, meski dia telah wafat," kata
saya dalam hati. Para wali adalah tokoh-tokoh yang "hadir dalam
ketidakhadiran;" mereka bukan hanya sebagai sosok-sosok

134
Ziarah Gus Our

historis, melainkan dirasakan masih hidup dan masih aktif di dunia


fana ini. Ruhnya masih bersama orang-orang yang mencintai dan
dicintainya.

"Kehadiran" Gus Dur telah merubah begitu dahsyat ruang­


ruang di kompleks pondok pesantren kuno dan besar itu. Kompleks
tersebut kini tak lagi sebagai tempat para santri mengaji al-Qur'an,
kitab-kitab kuning dan belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan,
tetapi berubah menjadi dan menambah pusat Wisata Ziarah Religi.
Maka pemerintah segera mengambil langkah renovasi berbagai
tempat di dalam dan menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat
memenuhi keperluan para peziarah. Antara lain perbaikan dan
penambahan sarana jalan dan pelataran parkir untuk ratusan
kendaraan.

Fenomena ziarah seperti di atas dengan segala suasana


kharismatik, magis, dan keramaian yang damai serta melankolis,
terjadi di mana-mana di berbagai bagian dunia muslim baik Sunni
maupun Syi'ah, dan dalam kurun waktu yang sangat panjang dalam
sejarah mereka. la ada di negeri-negeri Timur Tengah, Bilad al­
Syam (Suriah, Jordania, Palestina, Lebanon), Persia, Turki, Afrika,
Asia, kawasan Balkan dan sebagainya. Di Mesir, ada tokoh wali
besar: Sayyid Ahmad al-Badawi (w. 1276 M), pendiri Tarekat
Ahmadiyah. Makamnya di Tanta, diziarahi ribuan orang setiap
hari. Pada perayaan Maulid Nabi, makam ini dikunjungi oleh sekitar
dua juta manusia dari berbagai penjuru Mesir dan dunia lain. Di
Iskandiriah, Mesir, terdapat makam Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi
di dalam sebuah masjid megah. Ia menjadi tempat ziarah muslim
dari berbagai pelosok dunia. Abu al-Abbas kelahiran Andalusia
ini adalah wali Allah besar, murid Abu al-Hasan Al-Syadzili, pendiri
Tarekat Syadziliyah. Di Kairo, ibu kota Mesir, ada tokoh ahli fiqh
besar; Imam Syafi'i. Ia dimakamkan di dalam sebuah masjid yang
dikenal dengan "Masjid al-Imam". Setiap hari makam ini tidak
pernah sepi pengunjung, baik siang maupun malam. Mereka

135
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

bergerak mengelilingi makam ini bagai suasana thawaf di Ka'bah.


Sebagian mereka menulis surat dan meletakkannya di makam ini.
Surat-surat ini kemudian dikenal dengan sebutan "Rasail al­
Syafi'i. " (Surat-surat al-Syafi'i). Yang dimaksudkan tentu saja
adalah bukan kitab karya Teori dan Metodologi Fiqh (Ushul Flqh),
melainkan surat-surat untuk sang Imam. Di Konya, Turki, salah
satu makam yang setiap hari diziarahi orang dari berbagai penjuru
dunia adalah makam Mawlana Jalal al-Din Rumi. la dipandang
salah satu makam terpenting, semacam Ka'bah kedua, dan menjadi
pusat spiritual di Turki.

Di Baghdad, Irak, ada wali yang sangat terkenal: Syaikh Abd


al-Qadir al-Jilani (w. 1166M), pendiri tarekat yang mengambil
namanya "Qadiriyah". Martin Lings,2 penulis buku fenomenal
tentang sejarah Nabi Muham.mad. Buku itu berjudul Muhammad:
Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik, mengatakan bahwa
kompleks makam ini adalah kedua yang terpenting dari sudut
jumlah peziarah, sesudah makam Nabi Muhammad Saw. di
Madinah al-Munawwarah, Saudi Arabia. Di Indonesia ada
sejumlah makam para wali, terutama Walisanga (Wall Sembilan).3
Di dunia Syi'ah, fenomena ziarah yang spektakuler menyebar
di mana-mana, terutama di Najf, Iran. Di tempat ini ada tokoh
besar: Imam Ali bin Abi Thalib dan putranya yang terbunuh di
Karbala: Imam Husein bin Ali. Setiap hari kedua makam tidak
pernah sepi dari para peziarah dalam jumlah besar. Jumlah

2 Martin Lings yang setelah masuk Islam mengganti namanya menjadi Abu Bakr
Siraj Ad-Din, lahir di Burnage, Lancashire, Amerika Serikat, pada 24 Januari
1909. la adalah filsuf, sufi, dan penyair modern terkenal. Namanya sering
disejajarkan denganTitus Burckhardt, Rene Guenon, FritjhofSchuon. Tanggal 12
Mei 2005 lalu, Martin Lings menghembuskan napas terakhir dalam usia 96 tahun.
3 Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Raden Rahmat (Sunan
Am pell, Syaikh Syarif Hidayatullah (Sun an Gunung Jati), Raden Said (Sunan
Kalijaga), Raden Qasim (Sunan Derajat), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang),
Raden Umar Said (Sunan Murial, Raden Paku Ainul Yaqin (Sunan Giri), dan
Ja'far Shadiq (Sunan Kudus).

136
Ziarah Gus Our

peziarah terbesar, mencapai satu juta lebih, terjadi pada 10


Asyura/Muharram, hari kematian Imam Husein bin Ali.
Makamnya berada dalam sebuah masjid amat megah dengan kubah
dan menara yang terbuat dari emas. Konon kemegahannya tak
dapat ditandingi oleh makam wali manapun yang ada di dunia. Di
samping di Iran, ada pusat-pusat ziarah kubur bagi keturunan
Imam Ali bin Abi Thalib. Di Mesir makam Imam Husein bin Ali
juga ada di sana. Makamnya berada di seberang Universitas al­
Azhar, dan dalam masjid yang disebut dengan namanya: Masjid
Husein. Di Kairo juga ada makam Sayyidah Zaenab, putri Imam
Abi bin Abi Thalib, dan Sayyidah Nafisah, cucunya. Makam­
makam para Imam Syi'ah sangat ramai diziarahi masyarakat
muslim, bukan hanya dari kalangan Syi'ah, melainkan juga Sunni.
Mereka menghormati keturunan Nabi Muhammad Saw.

Ziarah dalam Pert:kbatan


Sepanjang sejarah ziarah itu, perdebatan mengenai halal dan
haramnya tak pernah berhenti. lbn al-Jauzi dalam "Talbis Iblis",
Ibn Taymiyah dan penerusnya Muhammad bin Abd al-Wahhab
dalam fatwa-fatwa mereka adalah beberapa tokoh besar yang
dengan gigih dan ekstrem menyerang praktik ziarah kubur tersebut
sambil menyebutkan bahwa ia merupakan praktik keagamaan yang
sesat (bid'ah) dan musyrik (menyekutukan Tuhan). Sementara
para ula.ma besar lain mendukung dan melakukan pembelaannya
dengan seluruh argumentasi keagamaannya. Imam Jalal al-Din
al-Suyuthi (w. 1505M), melancarkan kritik tajam terhadap
pandangan-pandangan Ibn Taymiyah. Dia menolak setiap gagasan
generalisasi terhadap bid'ah (inovasi), termasuk dalam isu Ziarah
Kubur ini. Bid'ah dan kemusyrikan harus dipandang berdasarkan
sifatnya menurut katagori lima hukum. Berdasarkan pikiran ini,
tidak setiap orang yang berziarah kubur bisa dicap sebagai pelaku
bid'ah dan syirik. Ini lebih berkaitan dengan niat atau maksudnya.

137
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Mengenai hal ini, saya teringat pada teman saya seorang dosen
Universitas Islam Indonesia (UIN) dan cendekiawan Muhamma­
diyah terkemuka. Ketika ditanya dalam wawancara di televisi,
apakah ziarah kubur termasuk syirik. Dia menjawab bahwa ziarah
kubur dianjurkan oleh Nabi: "Kuntu Nahaitukum 'an Zirarah al­
Qubur, Ala Fazuruha (Aku dulu memang pernah melarang orang
berziarah kubur, tetapi ketahuilah bahwa sekarang saya
memerintahkannya). Saya sendiri sering ziarah kubur. Di sana saya
berdoa dan saya tetap muslim yang baik." Tentu saja tidak hanya
Bachtiar, tetapi juga ada jutaan peziarah seperti dia, meski
mungkin ada pula yang tidak sepertinya.

Hajji Khalifah (w. 1657 M), tokoh moderat, menolak sikap


ekstrem Ibn Taymiyah dan para pengikutnya. Ia menulis buku
untuk ini: Mizan al-Haqq (Neraca Kebenaran). Abd al-Ghani al­
Nablusi (w. 1731M), melalui berbagai fatwanya membela mati­
matian para tokoh sufi falsafi semacam Ibn 'Arabi, Ibn al-Farid
dan lain-lain serta ziarah kubur ini. Tokoh ini membenarkan fungsi
wali sebagai perantara kepada Tuhan, baik mereka yang telah wafat
maupun ziarah ke makamnya. Yusuf al-Nabhani (w. 1931 M),
dalam bukunya Syawahid al-Haqq, mengumpulkan dokumen­
dokumen, setebal 6000 halaman untuk menyampaikan pembela­
annya atas praktik-praktik ziarah ini.

Makam wali adalah kawasan damai di tengah hiruk-pikuk dan


karut-marut kehidupan dunia. Di sana para peziarah menemukan
kedamaian dan kebebasan untuk mengungkapkan kegelisahan hati
dan keruwetan pikiran. Di banding masjid, yang acap kali kosong
dan mencekam, makam para wali menghadirkan kegembiraan,
bebas dari berbagai tekanan dan tempat permenungan serta
menumpahkan harapan. Di tempat itu semua sekat-sekat sosial
dan gender sirna, membaur. Hubungan antarmanusia berlangsung
dalam suasana persaudaraan yang akrab. Maka ziarah memiliki
makna kebersamaan kolektif dan menghidupkan keakraban yang

138
Ziarah Gus Our

amat jarang ditemukan dalam kehidupan di luar tempat itu. Para


peziarah yang tinggal untuk beberapa hari atau bahkan satu bulan,
dapat saling berkenalan dan membagi pengalaman hidupnya
dengan peziarah yang lain. Di tempat tinggal mereka, baik di masjid
maupun di rumah-rumah penduduk setempat, mereka menjalin
persahabatan, bahkan kekeluargaan. Mereka makan dan minum
serta berbagi cerita duka (curhat) maupun gembira dalam suasana
yang hangat bagai dalam satu keluarga.

Pada banyak pengalaman praktik berziarah ke tempat-tempat


para wali atau para sufi, aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh
para peziarah, baik laki-laki maupun perempuan sangatlah
beragam mulai dari yang bersifat informal, dan ini yang paling
umum, sampai yang terorganisasi dengan baik. Di samping berdoa
mereka juga membaca wirid, hizb, dan shalawat dengan irama­
irama yang teratur. Di sejumlah "mazar' (tempat ziarah), seperti
di makam Sayyid Ahmad Badawi di Tanta, Mesir atau di makam
Rumi di Konya, Turki, shalawat dan zikir dilakukan dengan cara
menari-nari. Bacaan-bacaan itu sebagian merupakan karya para
pendiri tarekat sendiri. Berkaitan dengan tarian berputar (Sama')
Rumi menulis banyak syair atau puisi. Antara lain:

Musik adalah hidangan pecinta Tuhan


Api cinta berkobar-kobar ketika nada musik mengalun indah
Mendengar nyanyian dan suara seruling ini
Jiwa menghimpun tenaga

Datang, Datanglah
Marilah kita berputar mengelilingi kebun mawar
Marilah kita berputar seperti jarum kompas
yang mengelilingi titik kemuliaan llahi
Kita telah menyebar banyak benih di tanah
Dan menanami tempat yang gersang
Marilah sekarang kita berputar
Mengelilingi padi yang tidak dapat dipahami lumbung.4

4 Lihat, Leonard Lewishohn, (ed.), Warisan Sufi' Warisan Sufisme, him. 121.

139
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Mereka yang pulang dari ziarah merasakan getar-getar


keindahan spiritual yang sulit diungkapkan. Mereka pulang dengan
riang dan menatap hidup ke depan dengan penuh gairah.

Di makam Gus Dur, suasana dan praktik-praktik ziarah seperti


di atas begitu terasa, meski baru saja iooo hari dia beristirahat di
sana. Masjid pesantren setiap hari ramai. Para peziarah yang
datang dari pulau-pulau yang jauh menginap di sana untuk
beberapa hari. Mereka bergerombol-gerombol sambil asyik
bercerita atau bercanda, menjalin persahabatan, bertukar alamat
dan nomor handphone. Suasana mistik dan cerita-cerita
"kekeramatan" Gus Dur selalu menjadi bahan obrolan mereka yang
tak pernah habis. Masing-masing orang membagi pengalamannya.
Boleh jadi di antara mereka ada yang menjalin kekeluargaan.
Sementara para penduduk telah merenovasi rumah-rumahnya
menjadi kamar-kamar sempit atau luas sebagai tempat menginap
ribath (pondok­
para tamu peziarah. Boleh jadi kelak akan ada
pondok persinggahan), zawiyah-zawiyah atau khanaqah­
khanaqah, tempat permenungan para pencari Tuhan.
Hari ini saya mencoba membayangkan masa depan kompleks
di mana Gus Dur dimakamkan ini. Kompleks pesantren bersejarah
itu akan hilang. Kompleks itu akan berubah menjadi pusat
keramaian dan pertemuan ribuah manusia, laki-laki dan
perempuan, dengan strata sosial yang beragam dan bertingkat­
tingkat sebagaimana makam-makam para wali yang lain? Mungkin
saja pondok-pondok tempat para santri mengaji dan belajar kitab
kuning akan berubah menjadi "zawiyah-zawiyah" (tempat berzikir
dan merenungkan diri sendiri), dan pesantren itu akan dipindahkan
ke tempat yang lain.

140
#11
DOA UNTUK SANG ZAHID

Dalam setiap Haul (ulang tahun kematian) Gus Dur, ribuan


orang pengagumnya hadir. la diselenggarakan tidak hanya di
Ciganjur dan di Tebuireng, Jombang, tempat Gus Dur dimakamkan,
tetapi juga di berbagai tempat di tanah air. Mereka yang hadir
tidak hanya dari kalangan muslim, tetapi juga dari berbagai agama
dan kepercayaan. Beberapa di antaranya adalah Katholik,
Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, Bahai, Sunda Wiwitan,
Kuningan Cirebon, dan Ahmadiyah. Para tokoh agama-agama itu
hadir di sana untuk menyampaikan doa bagi Gus Dur. Dan saya
merasa terhormat ketika diminta panitia membacakan doa
mewakili Islam, pada haul beliau di Ciganjur. Inilah doa yang saya
bacakan:

Segala dan seluruh pujian hanya bagi Tuhan Pencipta dan


Pemilik semesta. Keselamatan dan kedamaian semoga dilimpah­
kan kepada kekasih-Nya: Muhammad bin Abd Allah, kepada para
sahabat dan para pengikutnya.

Wahai Tuhan Alam semesta


Wahai Tuhan semua manusia
Hari ini, seribu hari yang pergi
Hamba-Mu yang Mencintai-Mu
dan yang kami cintai
Abdurrahman Wahid
Telah pulang, kembali kepada-Mu

141
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Memenuhi panggilan-Mu
Kami, hamba-hamba-Mu yang hadir di sini
Memohon kepada-Mu,
Ampuni, maafkan dan sayangi dia
Tempatkan dia di atas Pangkuan-Mu,
Dan dalam Rengkuhan Kasih-Sayang-Mu

Bagi kami, dia, Abdurrahman Wahid


Adalah hamba-Mu yang tulus memenuhi
Ajakan-ajakan-Mu
Dia yang selalu meminta kepada-Mu
Sepanjang hari, sepanjang malam
Agar kami tak lagi bertengkar hanya karena pikiran kami beda
Agar kami damai, bersaudara dan menjalin kasih
Biarpun baju kami beda
Agar kami membangun negeri ini bersama-sama,
Meski dengan seluruh kebiasaan kami yang beda-beda
Agar negeri ini selalu utuh, damai,
Diliputi keadilan dan sejahtera lahir dan batin

Wahai Tuhan
Yang tak ada tuhan selain Engkau
Meski dia telah tak lagi bersama kami
Dia selalu ada di dekat kami
Dan kami selalu ingin bersamanya
Melanjutkan mimpi-mimpinya yang indah
Bagi bangsa dan negeri kami
Yang kami cintai

Wahai Tuhan,
Engkaulah Pencipta kami semua
Pencipta alam semesta
Dalam keragaman yang indah
Yang begitu elok
Kami semua hamba-Mu,
Kami berasal dari-Mu
dan akan kembali kepada-Mu jua
Ampuni kami jika kami salah
dan tak sopan kepada-Mu

***

142
Doa untuk Sang Zahid

Ya Allah, aku mohon kepada-Mu


Penuhi relung hati kami dengan cinta kepada-Mu,
dengan keimanan dan keyakinan kepada-Mu,
dengan mabuk rindu pada-Mu
dan rasa cemas berpisah dengan-Mu

Ya Allah, Tuhan kami


Bawalah kami dalam bahtera-Mu
Karuniakan kami kenikmatan intim bersama-Mu
Curahkanlah cinta-Mu
Dan rasa manisnya kasih-Mu
Jadikan perjuangan kami hanya di jalan-Mu
Tumbuhkan hati kami
kegembiraan mengabdi kepada-Mu
Tuluskan niat kami dalam bekerja hanya untuk-Mu
Sesungguhnya kami rindu bersama-Mu dan untuk-Mu
Dalam perjumpaan yang intim

(Dikutip dari doa Ali Zainal Abidin)

***

143
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Tuhanku,
Orang-orang yang meminta telah tiba di depan pintu-Mu
Orang-orang fakir telah berlindung di dekat-Mu
Perahu orang-orang miskin telah tiba
Di pantai lautan kemuliaan-Mu
Mereka berharap-harap segera menyeberang
Menuju kasih dan anugerah-Mu

Tuhanku,
Jika saja Engkau tiada memuliakan
kecuali mereka yang setia dan tulus mengabdi kepada-Mu
Kepada siapa pendosa yang lalai dapat selamat
Ketika dia tenggelam dalam lautan dosa

144
Doa untuk Sang Zahid

Tuhanku
Jika Engkau tiada menyayangi
Kecuali pada mereka yang taat kepada-Mu
Siapakah yang akan menyayangi
Orang yang durhaka kepada-Mu
Jika Engkau tiada menerima
Kecuali mereka yang mematuhi perintah-Mu
Siapakah yang akan menerima orang yang nakal

Tuhanku
Beruntunglah mereka yang percaya kepada-Mu
Berbahagialah mereka yang bangun malam menyembah-Mu
Selamatlah mereka yang tulus mengabdi-Mu

Kami adalah orang-orang yang berdosa kepada-Mu


Anugerahi kami Kasih-Mu
Berilah kami kemuliaan dan nikmat-Mu
Ampuni kami semua
Selamat dan sejahtera untuk kekasih-Mu
Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya

***

,,,,,, 0 ) � ,,,,, J. ,, '


J�-'
4�
� "
J' ''
'-,?'
� 1 1 - 11
,,._I �
,,
- -1- }�
. ... � 4�
..:... .
J'I
... �

... �·
._
I -'.. J- '\
• _,;;J
4;,J
.. ' ,,· :
..:,... .u

11. 'l . 1...:i:h 0"'¥$ �


�I
·, "'
u,, . �
J , - • . ...,.'- .-� ,..."' l>-

Semua mata telah tertidur


Bintang-gemintang pun telah berada di puncak langit
Engkau Maharaja, Yang Hidup, Yang Jaga

145
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Tuhan kami, raja-raja telah menutup pintunya


Dan para punggawa telah siap berjaga-jaga
Tetapi pintu-Mu selalu terbuka bagi para peminta
Kami datang pada-Mu, Kami datang
Agar Engkau menatap kami dengan Cinta

Wahai Yang Maha Kasih


Wahai Yang memperkenankan
Permohonan orang-orang yang kesulitan,
yang berada dalam kegelapan yang pekat
yang ingin lepas dari bencana,
dari derita dan sakit
Kami datang kepada-Mu, Kami datang
Ampuni dan Kasihi kami
J ika maaf-Mu tak lagi diharap para pendurhaka pada-Mu
Maka siapa lagi yang akan memberi kegembiraan
kepada mereka

Wahai, Dia Yang menyambut orang--0rang yang datang


Yang memberi anugerah kepada mereka dengan kasih
Yang menyayangi orang-orang yang lupa menyebut-Nya
Yang Maha Kasih dan Maha Penyayang

146
Doa untuk Sang Zahid

Juga pada mereka yang berpaling menuju pintu-Nya


Yang Maha Mencinta dan Yang Maha Lembut

Wahai Tuhan
Kami mohon kepada-Mu
Berikan bangsa kami pengawasan-Mu
Selamatkan bangsa dan negara kami dari kehancuran
Jaga kami dari segala kegalauan
Lindungi kami dari malapetaka
Turunkan kepada kami kedamaian
Sinari wajah kami dari Cahaya Cinta-Mu
Yang menuntun kami kepada kokohnya benteng-Mu
Dan yang melindungi kami dengan Rengkuhan Kasih-Mu
Wahai Yang Maha Kasih, Maha Sayang

(Dikutip dari doa Al-Sajjad)

Wahai Tuhan
Anugerahi kami kebaikan hidup di dunia
Dan kebaikan hidup di akhirat
Jaga dan jauhkan kami dari siksa neraka

Tuhan, perkenankan doa kami


Tuhan, kabulkan, kabulkan

147
Epilog
SANG PENGEMBARA:
SELAMAT DATANG

Gus Dur adalah satu dari sedikit para pengembara (ghuraba).


Sebagaimana umumnya pengembara, ia sering menjadi subjek
yang aneh, asing, dicurigai atau bahkan dimusuhi oleh mereka
yang tak mengerti, tak paham, tak cerdas atau tak tercerahkan.
Manakala sang pengembara memasuki suatu perkampungan, ia
akan dianggap aneh atau asing oleh orang-orang di kampung itu,
bukan hanya pakaian dan perilakunya, tetapi juga pikiran­
pikirannya yang tak umum. Maka ia acap dianggap pribadi yang
aneh atau "nyleneh" atau boleh jadi "orang gila". Jika ia kemudian
mengungguli otoritas yang ada di sana, karena daya tariknya yang
luar biasa dan setapak demi setapak langkahnya menyedot semakin
banyak pengikut yang mengaguminya, maka ia akan segera
dianggap mengganggu kenyamanan dan kemapanan otoritas sosial.

Kaum pengembara (Ghuraba) akan selalu hadir pada setiap


situasi sejarah sosial yang sarat konflik, menjelang runtuh atau
ketika jalan sejarah tak lagi lurus. Mereka hadir untuk
mendakwahkan, mengajak, dan menawarkan kepada masyarakat
manusia untuk kembali ke ide keasalan dan janji primordial
manusia, ketika mereka belum mewujud. Tuhan mengatakan:
"Alastu bi Rabbikum? Qalu Bala" (Bukankah Aku Tuhanmu?
Mereka menjawab: Ya, Engkau Tuhan kami). Para pengembara
tersebut memproklamirkan kembali tauhid, tentang Kemahaesaan

149
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Tuhan kepada siapa semua eksistensi di muka bumi harus


menyerah, bersimpuh, dan menundukkan diri. Mereka juga
menjajakan tentang kehanifan (kejujuran, ketulusan, dan jalan
lurus). Di atas landasan itu, mereka, para pengembara itu, lalu
tampil gagah untuk memberangus praktik-praktik kekuasan yang
despotik, tiranik dan membodohi rakyat jelata yang acap
berlindung di bawah ketiak apa saja yang dianggap memiliki
otoritas, termasuk agama dan nilai-nilai moral. Pada saat yang
sama mereka hadir untuk menancapkan kembali pilar-pilar
kemanusiaan yang terkikis, hilang atau diberangus oleh otoritas­
otoritas sosial, politik, dan keagamaan demi kepentingan diri,
keluarga, kelompok atau golongannya. Ide-ide kemanusiaan yang
ditawarkan para pengembara itu tak pelak mengguncang dan
merontokkan setiap otoritas politik, kebudayaan dan keagamaan
tersebut. Para pemegang otoritas itu lalu menggunakan tangan
kekuasaannya untuk menggerakkan massa awam guna melawan
sang pengembara. Mereka bukan tak mengakui kehebatan,
kebenaran dan kecemerlangan pikiran-pikiran dan gagasan­
gagasan cerdas pengembara, melainkan karena semata-mata
cemburu buta kepadanya.

Sang pengembara seperti itu, boleh jadi dalam sejarahnya


kemudian, menjadi seorang wali, kekasih Tuhan. Al-Syaikh al­
Akbar Muhyiddin Ibn Arabi, sang maestro dalam sufisme,
menyebut, pengembara itu harus selalu hadir pada setiap zaman
sampai dunia berakhir dan hancur lebur. Tak boleh ada situasi
kosong tanpa sang pengembara, sang wali. Ini karena mereka
adalah para penerus dan pewaris risalah kenabian. Mereka adalah
para penjaga bumi dan dunia kemanusiaan. Bila mereka tak hadir,
maka dunia kacau balau, porak-poranda, dan chaos. Al-Hujwiri
mengatakan:

150
Epilog

} ,, � .� , �·' ·� ::. �,, ,, ;)


.,,,.-._,
.:. ·�• ..('?J ')" .,..:, ,�
·;.J;''
I"' ' ...,_, · · ...,, ,),)"I )�
, ,�_.: ....
, , ,.,...., J-1'+'�
·::' '

•Allah menjadikan mereka para wali dunia, sehingga hujan akan


turun dari langit (lalu menyuburkan tanah-tanah yang gersang) berkat
kehadiran mereka, dan menumbuhkan pepohonan dari tanah berkat
kejernihan hati mereka. Berkat semangat mereka, orang-orang yang
menyerahkan diri kepada keputusan Tuhan (a/-Mus/imun) akan
mengalahkan musuh-musuh mereka yang ingkar kepada kebenaran
(a/-Kuffar). Andaikata merekatak hadir, sistem dunia akan luluh-lantak,
dan menjadi chaos bagaikan negara tanpa pemerintah, tanpa polisi
dan tanpa tentara."'

Para sufi, wali, dan zahid adalah para pengembara di belantara


raya bumi manusia. Mereka seperti tak pernah lelah berjalan dan
terus berjalan, mengelana ke mana-mana, ke negeri antah­
berantah, menuruni lembah-lembah, mengarungi gurun pasir
yang kering kerontang dan gersang, mendaki gunung-gemunung
yang terjal dan meliuk-liuk, menapaki jalan setapak yang lengang,
atau menerobos rimbaraya yang penub onak-duri dan
menggentarkan. Di sana mereka melihat keindahan-keindahan
sekaligus juga kengerian-kengerian yang menantang. Mereka telah
siap dan rela menanggung penderitaan caci-maki, pengucilan dan
pengusiran dari orang-orang yang tak suka dan membencinya.

Gus Dur adalah salah seorang pengembara itu untuk dunia


hari ini, paling tidak di sini, di negeri ini. Dia telah meninggalkan
jejak di mana-mana, bukan hanya di bumi tempat ia dilahirkan,
melainkan juga di beberapa negeri yang jaub, dengan cara yang

' Lihat, Muhammad Abed al-Jabiri, Naqd al-'Aql al-'Arabi; Bunyah al-'Aql al­
'Arabi, cet. V, (Beirut-Libanon, Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyyah, 1 996),
him. 364.

151
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

begitu mengesankan. Dia telah menitipkan pikiran-pikirannya


kepada mereka yang mengaguminya. Meski kata sebagian orang
pikiran-pikiran itu asing, aneh, dan "menyimpang", tetapi
sesungguhnya ia, seluruhnya, adalah pikiran-pikiran para bijak­
bestari, para wali, kekasih Tuhan, orang-orang yang diberikan
kebijaksanaan ketuhanan (Hikmah Ilahiyyah) dan para zahid yang
hadir dengan sayap-sayap yang diturunkan ke bumi, rendah hati
dan bersahaja.

IslampadaAwalnyaAsing
Maka dengarkanlah apa kata Nabi yang agung, Muhammad
bin Abd Allah, Saw., tentang kehadiran para pengembara itu:

•1slam hadir bagai orang asing, (bagai pengembara). Dan ia akan


kembali asing, seperti pada awalnya. Maka berbahagialah wahai
orang-orang asing (yang mengembara).•

Imam Muslim mencatat hadits ini dalam buku Sahihnya.


Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya dan sejumlah ahli hadits
menyebutkan validitas hadits ini. Para komentator hadits ini
mengatakan: "Islam ketika ia hadir pertama kali di Makah, adalah
narasi atau wacana yang asing. Hal ini karena Nabi Muhammad
mendeklarasikan Ke-Esa-an Tuhan." Wacana ini menjadi titik tolak
bagi pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan,
mencanangkan kesetaraan manusia dan penegakan keadilan.
Gagasan ini ingin menegaskan bahwa tidak ada kekuasaan manusia
atas manusia. Karena itu tak boleh ada penindasan manusia atas
manusia. Dan ia hanya diminati oleh segelintir orang saja. Nabi
Muhammad yang membawakannya dicaci maki, disumpah
serapah dan distigma masyarakatnya sendiri sebagai orang gila
(majnun), tukang sihir (sahir), dan pendongeng mitologi-mitologi

152
Epilog

kuno (asathir al-awwalin) yang amat lihai. Nabi dituduh mereka


sebagai laki-laki yang sesat dan menyesatkan. Ia diasingkan,
dikucilkan, dibenci lalu mereka mengusir dan berusaha
membunuhnya. Nabi yang mulia bersama pengikutnya yang
sedikit itu kemudian pindah ke Madinah. Di tempat yang baru itu,
meski ada pertolongan penduduknya, beliau juga masih dianggap
"gharib" (asing). Dinasti Quraisy di Makah yang merasa legitimasi­
nya terancam oleh kehadiran Nabi, tetap tak ingin membiarkan
dia hidup. Mereka tahu bahwa Muhammad (Saw.) adalah penakluk
pikiran yang ulung. Kata-katanya yang berupa ajakan kepada jalan
hidup baru yang menjanjikan keselamatan amatlah indah dan
memukau pendengarnya. Jika dibiarkan saja, dia bisa membangun
kekuatan besar di Madinah dan bisa mengancam. Maka meski Nabi
telah meninggalkan tempat kelahirannya, dia dan para pengikut­
nya masih tetap saja harus menghadapi berbagai tekanan dan
ancaman. Dia dan para pengikutnya berkali-kali harus terlibat
dalam perang maha dabsyat dan mereka harus mempertahankan
diri. Pertumpahan darah sama sekali tak dikehendaki, namun hidup
wajib dipertahankan dan gagasan dan misi Keesaan Tuhan harus
tetap hidup sepanjang zaman. Dan mereka yakin Tuhan pasti akan
menolong dan memberinya kemenangan pada saat yang
dikehendaki-Nya.

Maka sang Nabi, orang asing itu, terns saja melangkah setapak
demi setapak. Dengan tetap memperlihatkan kejujuran,
kebersahajaan, ketulusan, ketenangan, dan kesabaran yang penuh,
ia memperoleb makin banyak simpati masyarakatnya. Perangai
dan budi pekertinya yang luhur itu membuat masyarakat di
sekitarnya satu-satu dan diam-diam jatub cinta pada ajaran-ajaran
yang dibawanya. Dan dalam tempo amat singkat, sesudab itu,
ketika ia pulang kembali ke tempat kelahirannya di Makab, situasi
tak dibayangkan dan mencengangkan pun hadir. Orang-orang yang
beberapa tahun sebelumnya mengucilkan, membenci, dan

153
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

memusuhinya di sana, tiba-tiba saja tersentak, situasi mental galau


meliputi mereka dan terdiam seribu basa. Nabi berdiri saja sambil
mengulum senyum menyaksikan pemandangan yang indah itu.
Mereka mengatakan: "Anta Akh Karim, Ibn Akh Karim, (Engkau
saudara yang mulia putra saudara yang mulia). Nabi Saw. dengan
tetap menunjukkan kharismanya yang luar biasa, mengatakan
sambil mengutip kata-kata Nabi Yusuf:
-,, -4 .t<>f-; •
t< "
� } / ,,

�Wk)t �il I� "\\ · �


''.);. . tr.' ;- " '-;-./.(" J
, •

·, .

•Hari ini, tidak ada balas dendam atas kalian. Pergilah ke mana
kalian suka. Kalian orang-orang yang bebas."

Ucapan itu sungguh-sungguh menggetarkan hati mereka, dan


tak lama sesudah itu secara berbondong-bondong mereka jatuh
dalam pelukan Nabi, lalu mencintainya. Al-Qur'an mencatat
peristiwa ini:

•Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenan gan Dan .

kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong­


bondong. Maka Mahasucikan Dia dengan memuji-Nya. Dan
mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penerima taubat," (Q.S. Al Nashr, [1 01):1-3).
-

Para penafsir hadits kemudian menjelaskan makna "al­


Gharib" (orang asing) atau "al-Ghuraba" (orang-orang asing).

154
Epilog

Orang-orang asing itu,


adalah mereka yang selalu konsisten,
yang teguh pada prinsip kemanusiaan
Bagi mereka adalah surga dan kebahagiaan
Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki kehidupan sosial
Ketika telah rusak
Ketika keadaan tak lagi damai
Ketika segalanya jadi tak lagi jelas

Mereka adalah orang-orang yang bekerja baik


Yang tetap berjalan di alas kebenaran
Yang teguh pada keyakinan yang benar
Yang Meng-Esa-kan Tuhan
Yang tulus mengabdi kepada-Nya
Mereka adalah orang-orang asing

Dan merekalah yang disebut-sebut Tuhan:

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami


ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka
malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah
kamu takutdan janganlah merasa sedih; dan kabarkan kepada mereka
berita gembira, dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,•
(Q.S. Fusshilat, [41):30).

155
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

"Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia


dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu
inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu
minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang," (Q.S. Fusshilat, [41]:31-32).

.,� /
� 1 , ' � �i ...,.,, � ' .;' � , ,., �. I �
, .o,, :. ., ,, "
' •
._. . .... ....- 't..J,. .._, ci o,,_
-
,_... "--'- -' • .;..t. • ,-. I
.I .. ...:.....o ..u I I.:>' .u•
•�
.,.J
I .. ,,
,
... _; � � .,_..-.
,
, _ • • •'

•siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang


menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
•sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara
dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar, "(Q.S.
fusshi/at, [41): 33-35).

jadilah SangPengembara
Suatu hari di masjidnya di Madinah, Ibn Umar, sahabat Nabi,
menemuinya. Nabi menyambutnya dengan hangat. Kedua orang
ini terlibat dalam obrolan serius tapi disampaikan dengan santai.
Sambil memegang pundak sahabatnya itu, Nabi yang mulia
kemudian mengatakan:

•jadilah bagai pengembara atau peziarah."

156
Epilog

Nabi yang mulia lalu mengatakan:

•Apalah aku ini dan kehidupan dunia ini. Perumpamaanku dan


dunia ini adalah bagaikan seorang pengendara. la tidur (istirahat)
sebentar di siang hari, di bawah pohon, lalu meninggalkannya dan
berjalan lagi. •

Menjadi pengembara adalah menjadi dia yang hadir untuk


membangun peradaban berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan;
menghargai dan menyambut siapa saja dengan kegembiraan,
membebaskan penderitaan manusia dan menjadi saksi untuk
keadilan sekaligus menegakkannya.

Gus Dur
Sang pengembara itu, telah pulang, Selamat Jalan!
Orang asing itu telah pergi, Selamat Jalan!
Orang aneh itu telah berangkat, Selamat Jalan!
Hari ini orang hanif itu telah pindah. Selamat Jalanl
Dunia mengantarmu dengan doa. Selamat Jalanl
Suara-suara riang di langit menyambutmu: Marhabanl
Selamat Datang!

Bila hari-hari telah pergi, biarkan


Katakan saja: Pulanglah
Aku tak khawatir engkau pulang
Karena engkau masih di sini
Wahai, yang tak ada orang sepertimu
(Rumi, Matsnawi, 1/15)

Jiwa-jiwa para pecintamu merinduimu


Dan kelezatan bertemu engkau
Membuat jiwa mereka damai
(Suhrawardi)

157
DAFTAR BACAAN

Al-Qur'an al-Karim.
Ibn Jarir al-Thabari. Jami'a al-Bayan 'an Ta'wil Ayi al-Qur'an.
Musthafa al-Babi al-Halabi. Mesir. Cet. III. 1968.

Ibn Katsir. Tafsir al-Qur'an al-'Azhim. Dar al-Ma'rifah. Beirut.


1969.

Jalal al-Din Rumi. Fihi Ma Fihi, Ahadits Mawlana Jalal al-Din.


Terj. Isa Ali al-'Akubi, Dar al-Fikr al-Mu'ashir. Beirut.

Al-Qusyairi, Abu al-Qasim. AI-Risalah, Abd al-Halim Mahmud.


Dar al-Sya'ab. Kairo. 1989.

Ibn Athaillah al-Sakandari. ,Al-Hikam al-'Athaiyyah.


Amin Banani, Richard Hovannisian dan Georges Sabagh (eds.).
Kidung Rumi, Puisi dan Mistisime dalam Islam. Risalah
Gusti. Surabaya. Cet. I. 2001.

Luis Masignon. Diwan al-Halla}.


Annemarie Schimmel. Dan Muhammad Adalah Utusan Allah,
Penghormatan terhadap Nabi Sa., dalam Islam. Mizan.
Bandung. Cet. I. 1991.

Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot (eds.). Ziarah dan Wali


di Dunia Islam. Serambi Ilmu Semesta. Cet. I. 2007.

159
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Ahmad Amin. Zhuhr al-Islam. Dar al-Kitab al-Arabi. Beirut,


Llbanon. Cet. V. 1969.

Abu Hamid al-Ghazali. Misykat al-Anwar. Abu al-'Ala 'Afifi (ed.).


Maktabah Arabiyyah. Kairo. 1964.

-----. Ihya Ulum al-Din. Dar al-Ma'rifah. Beirut, Lebanon.


1983.

Zaki Mubarak. Al-Tasawwuf al-Islamy Ji al-Adab wa al-Akhlaq.


Dar al-Kutub. cairo.

Ibn 'Arabi. TaTjuman al-Asywaq. Dar al-Shadir. Beirut. 1966.

Amin al-Khuli. Manahij al-Tajdidfi al-Nahwi wa al-Balaghah wa


al-Tafsir wa al-Adab. Hai'ah Mishriyyah al-'Ammah Ii
al-Kitab. Kairo. 1995.

Al-Zarkasyi. Al-Burhanfi 'Ulum al-Qur'an. Dar al-Ma'rifah. Beirut.


Cet. II.

Al-Jabiri, Muhammad 'Abid. Bunyah al-'Aql al-'Arabi. Markaz


Dirasah al-Wahdah al-Arabiyyah. Beirut, Libanon. Cet.
v. 1996.

Al-Bushairi. Burdah.
Yasyraf Amir Piliang. Posrealitas. Jalasutra. Yogyakarta.
Al-Ashifi, Muhammad Mahdi. Al-Hubb al-Ilahifi Ad'iyah Ahl al­
Bait. Majma' Ahl al-Bait.
Al-Syathibi. Al-Muwafaqat. Al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra.
Kairo. Mesir. t.t.

Nawawi, Abu Zakariya Yahya, Syaraf al-Din. Riyadh al-Shalihin


Min Kalam Sayyid al-Mursalin.
Seyyed Hossein Nasr. Spiritualitas dan Seni Islam. Mizan.
Bandung. Cet. I. 1993.

160
Daftar Bacaan

----. The Heart ofIslam, Pesan-pesan Universal Islam untuk


Kemanusiaan. Mizan. Bandung. Cet. I. 2003.
----. William C. Chittick, and Leonard Lewisohn (eds.). Warisan
Sufi. Pustaka Sufi. Surabaya. Cet. I. 2003.

161
TENTANG PENULIS

... . KH. Husein Muhammad. Lahir di


Cirebon, 9 Mei 1953. Setelah menyelesaikan
pendidikannya di Pondok Pesantren
Lirboyo Kediri Jawa Timur (1973), dia
melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi
Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) Jakarta Oulus 1980).
Kemudian meneruskan belajar di Al-Azhar
Kairo, Mesir.

Kiai Husein juga aktif di berbagai


kegiatan diskusi dan seminar keislaman. Ia juga menulis di
sejumlah media massa dan menerjemahkan beberapa buku. Selain
menjadi direktur pengembangan wacana di LSM RAHIMA, Kiai
Husein juga aktif di Puan Amal Hayati, Komisioner Komnas
Perempuan Jakarta, pendiri Institut Studi Islam Fahmina (ISIF)
Cirebon, dan pendiri Fahmina Institue, lembaga yang bergerak di
bidang pengembangan gerakan keagamaan kritis berbasis tradisi
keislaman pesantren untuk perubahan sosial.

Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun,


Cirebon, Jawa Barat ini pemah dianugerahi penghargaan Award
for Heroism dari Pemerintah AS untuk Heroes Acting to End
Modern-Day Slavery (Trafficking in Person) pada 2006.

163
SANG ZAHID: Mengarungi Sufisme Gus Dur

Karya-karyanya yang berupa buku telah banyak dipubli­


kasikan, di antaranya adalahKiai Husein Membela Perempuan
(LKIS), Fiqh Perempuan Rejleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender (LKiS), dan Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru
Pencerahan (Mizan).

164

Anda mungkin juga menyukai