Dosen Pengampu:
Bpk. H. Sa’dan, M.Ag.
KELOMPOK XI
DAFTAR ISI
COVER................................................................................................................
KATA PENGANTAR…………….........................………....………................
DAFTAR ISI …………………………...............................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………....................….…..…………….............................
B. Rumusan Masalah …………............……………....………………..........….
C. Tujuan Penulisan ………………..........................…........................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Tasawuf Di Indonesia …………….......................... ..
B. Tokoh-Tokoh Tasawuf Di Indonesia beserta Ajarann……......………............
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.....…………………….......……….................…………......……
B. Saran ………………………..….................................................……….........
DAFTAR PUSTAKA ………...............................…............…………......……..
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tasawuf di Indonesia tidak akan lepas dari pengkajian proses Islamisasi di kawasan
ini, sebab penyebaran Islam di Nusantara sebagian besar merupakan jasa para Sufi tersebut.
Perlu kita ketahui bahwa dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari Sumatra,
berorientasi Sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang
cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lainnya,kita bisa melihat
pengaruh yang sangat besar oleh para Sufi ini di Tanah Aceh, Kalimantan,Sulawesi,
Sumatra bagian Selatan, maupun di tanah Jawa. Antara lain Hamzah Fansuri(sekitar Abad
ke-17M) yang terkenal dengan karyaya yang berjudul Asrar Al-Arifin dan syarab Al-
Asyikin serta beberapa kumpulan syair sufistiknya.
Perkembangan Islam di Jawa digerakkan oleh ulama yang diketahui dan dikenal
dengan panggilan Wali Songo atau Wali Sembilan. Sebutan itu sudah viral dan terkenal
dalam perkembangan Islam di Indonesia dan hal itu adalah penghayat tasawuf sampai pada
derajat wali.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
PEMBAHASAN
Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat
dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi SAW. Sebelum
diangkat mnjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di Gua Hira’, terutama pada bulan
Ramadhan. Disana Nabi SAW banyak berdzikir dan bertafakkur dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT.
Tercapai ketika melakukan Isra’ dan Mi’raj itu Nabi SAW. Telah sampai ke Sidratul
Muntaha (tempat terakhir yang di capai Nabi SAW. Ketika Mi’raj di langit ke tujuh),
bahkan telah sampai ke hadirat Ilahi dan sempat berdialog dengan Allah SWT mengenai
perkara sholat. Perikehidupan (sirah) Nabi SAW. Juga merupakan benih-benih Tasawuf,
yaitu pribadi Nabi SAW. Yang sederhana, Zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh
kemewahan dunia.
Mengenai keberadaan tasawuf di Nusantara tidak bisa lepas dari pengkajian proses
islamisasi di kawasan ini. Sebab, tidaklah berlebihan kalau di katakan, bahwa tersebar
luasnya islam di Indonesia sebagian besar adalah karena jasa para sufi. Akan tetapi,
belakangan ini sufisme yang melandasi etos kerja mereka itu, kelihatannya hampir
terlupakan, kecuali di kalangan tertentu saja. Tasawuf menjadi unsur yang cukup dominan
dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula di tunjuk bagaimana peranan
ulama dalam struktur kekuasaaan kerajaan-kerajaan islam di Aceh sampai pada masa Wali
Songo di Jawa.
Perkembangan Islam di Jawa untuk selanjutnya, umumnya digerakkan oleh ulama yang
diketahui dan dikenal dengan panggilan Wali Songo atau Wali Sembilan. Semenjak
penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, kelihatannya secara pelan
terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang berakibat
bergesernya nilai keislaman sufisme karena telah tergantikan oleh model spiritualis
nonreligious. Maka kehidupan di Indonesia secara berangsur bergeser dari garis lurus yang
diletakkan para sufi terdahulu. Sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan ketimbang
sufismenya sendiri.
Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, secara perlahan-
lahan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal. Karena
faktor-faktor internal dan eksternal tersebut, kehidupan sufisme di Indonesia secara
berangsur-angsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi terdahulu sehingga
warna kejawen lebih tampil ke depan daripada sufismenya.
Nama lengkapnya adalah syekh Abdur Rauf bin ‘Ali Al-Fansuri. Menurut Hasyimi,
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, Ayah As-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke
Samudera Pasai pada akhir abad ke-13 dan kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah kota
pelabuhan tua di pantai barat Sumatra. Pendidikannya dimulai dari ayahnya di Simpang
Kanan (Sinkili). Kepada ayahnya, ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa Arab, filsafat,
Sastra Arab/ Melayu, dan Bahasa Persia. Pendidikannya kemudian dilanjutkan ke Samudera
Pasai dan belajar di Dayah Tinggi pada Syekh Syamsuddin As-Sumatrani.
Karya-karya As-Sinkili antara lain:
1. Mir’at Ath-Thullab (fiqih Syafi’i bidang muamalat)
2. Hidayat Al-Baligha (fiqih tentang sumpah, kesaksian,peradilan,pembuktian, dan
lain-lain)
3. ‘Umdat Al-Muhtajin (tasawuf)
4. Syams Al-Ma’rifah (tasawuf tentang makrifat)
5. Kifayat Al-Muhtajin (tasawuf)
6. Daqa’iq Al-Huruf (tasawuf)
7. Turjuman Al-Mustafidh (tafsir), dan lain-lain.
Sebelum As-Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran
tasawuf falsafi, yaitu tasawuf wujudiyyah, yang kemudian dikenal dengan nama wahdad
Al-wujud. Ajaran tasawuf As-Sinkili yang lain bertalian dengan martabat perwujudan
Tuhan. Pertama, martabat Ahadiyyah atau La ta’ayyun, yaitu alam pada waktu itu masih
merupakan hakikat gaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua martabat wahdah
atau ta’ayyun awwal, yang sudah tercipta haqiqat muhammadiyah atau ta’ayyun tsani, yang
di sebut ‘ayan tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta.
2. Yusuf Al-Maqassari
Nama lengkapnya adalah Syaikh Muhammad Khatib bin Abdul Ghaffar As-Sambasi
Al-Jawi. Ia lahir di Kampung Asam,Sambas,Kalimantan Barat. Ahmad Khatib Sambas
adalah tokoh sufi asli Indonesia yang mendirikan tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Ia lahir pada tahun 1217 Hijriah(1802 M). Setelah menyelesaikan pendidikan agama di
tingkat dasar di kota asalnya, ia pergi ke Mekah pada umur 19 tahun untuk melanjutkan
studi dan menetap di sana sampai wafatnya pada tahun 1289 Hijriah (1872 M).
Pengaruh tarekat Qadriyyah wa Naqsyabandiyyah sangat berpengaruh di Melayu dan
Indonesia. Di jawa,terekat ini banyak memperoleh pengikut.Tiga pesantren besar dijawa
merupakan pusat terekat ini,yaitu pesantren suryalaya di tasikmalaya,jawa barat ;pesantren
futuhiyah di Mranggen,Jawa tengah;dan pesantren Darul Ulum di Peterongan,Jawa Timur.
Menurut Naguib Al-Attas, Khatib Sambas adalah seorang syaikh dari dua terekat,yaitu
Qadiriyyah dan Naqsyanbandiyyah. Ia tidak mengajarkan kedua tarekat tersebut secara
terpisah,tetapi mengombinasikan keduanya. Tarekat kombinasinya ini merupakan tarekat
yang baru,berbeda dari kedua tarekat asalnya. Khatib Sambas mengikuti prosedur dari
afirmasi dan negasi,yaitu tidak ada Tuhan selain Allah(dzikir an-nafi wa al-itsbat),seperti
dipraktikkan oleh tarekat Qadiriyyah. Ia juga mengubah sedikit amalan tarekat
tersebut.Untuk menambah ilmu tasawuf,Ia juga belajar kepada Syaikh Nawawi Al-Bantani
dan Syaikh Abdul Karim Al bantani yang kelak menjadi pemimpin terekat Qadiriyyah dan
Naqsyabandiyyah.
Ia adalah seorang ulama terkemuka pada zaman Sultan Najamuddin. Dia salah seorang
penasehat Sultan bidang keagamaan. Karya tulisnya antara lain sebagai berikut.
1) Terjemahan dari kitab bahasa Arab Jauharut at-Tauhid karya Ibrahim al-Laqani
(w,1613 M) kitab syair berisi tentang syahadat dan kepercayaan.
2) Risalah, yang didasarkan kepada kitab Risalah fiat – Tauhid karya Syekh Ruslam
ad-Dimasyqi dan Fath ar-Rahman karya Zakariya al-Anshari. Risalah ini tasawuf.
3) Aqidat al-Payan, tentang sifat Allah yang dua puluh.
5. Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar adalah sosok penting dalam sejarah tasawuf di jawa. Soewarno
menyebutkan keterkaitan antara Pangeran Carbon, Desa Lemah Abang, dengan Siti Jenar.
Dari sumber Cirebon diceritakan ada seorang penyebar Islam yang bernama Syekh
Jabantara yang kemudian dikenal dengan Syekh Siti Jenar bukan penduduk asli jawa.
Awalnya menuntut ilmu di Bagdad dan kembali ke Malaka, kemudian pindah ke jawa dan
bermukim di Bukit Amparan Jati kemudian pindahke Carbon Girang dan pindah lagi ke
Pengging.
Syekh Siti Jenar adalah penganut paham Wujudiyah dalam dimana
paham Wujudiyah adalah paham yang kemudian dianggap sebagai paham tasawuf yang
menyimpang dari pakem tasawuf Sunni. Paham Wujudiyah ini juga sekaligus menjadi
penyebab Syekh Siti Jenar akhirnya diadili dan dihukum mati oleh pengadilan Wali Songo.
Paham Wujudiyah inilah yang dikemudian membawa banyak pengaruh terhaap
perkembangan dan pertumbuhan paham Wujudiyah di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa.
Nama lengkap dari Syekh Muhammad Nafis al-Banjari adalah Syekh Muhammad Nafis
bin Idris bin Husein al-Banjari. Dia mendapatkan gelar kehormatan dengan Maulana al-
Allamah al-Fahamah al-Mursyid ila Thariq as-Salamah. Dia segenerasi dengan Syekh
Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari.
Dia adalah salah seorang tokoh berpengaruh dalam bidang tasawuf di wilayah Melayu.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari banyak menjalankan kegiatan dakwah di kawasan
pedalaman seperti di Kalua. Syekh Nafis al-Banjari telah mengarang berbagai kitab tasawuf
dan membawa tarekat Sammaniyyah masuk ke Kalimantan Selatan. Syekh Nafis al-Banjari
dikenal sebagai penganut paham tasawuf wujudiyah. Ajaran tasawuf yang peganginya
diperoleh dari beberapa gurunya, diantara lain :
o Syekh Muhammad bin Abdul Karim Saman al-Madani,
o Syekh Abdu ar-Rahman bin Abdul Aziz al-Maghribi, dan
o Syekh Muhammad bin Ahmad al-Jauhari.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA