Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Tasawuf dan Tarekat
Dosen Pengampu:
Dr. H. Asep Achmad Hidayat, M.Ag.
Amung Ahmad Syahrir Muharam, M.Ag.
Disusun Oleh:
1. Agesta Nurprayoga (1215010004)
Dalam penyusunan makalah ini terdapat beberapa kendala dan hambatan, akan tetapi atas
usulan dan bantuan dari beberapa pihak kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan
semestinya. Oleh karena itu, kami mengucapkan kepada berbagai pihak yang turut membantu
kami dalam pembuatan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini berguna dalam menambah wawasan serta ilmu
pengetahuan kita terkait “Sejarah Perkembangan Tasawuf dan Tarekat di Hindia-Belanda pada
Abad ke-18 M”. Makalah ini tentunya memiliki berbagai kekurangan, maka dari itu kami
membuka saran yang seluas-luasnya supaya dalam pembuatan makalah berikutnya bisa
diperbaiki kekurangan yang ada pada makalah ini.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................................4
1.3. Tujuan...............................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
2.1. Penyebaran Tarekat di Nusantara.....................................................................................6
2.2. Tarekat pada Abad 17-18..................................................................................................8
2.3. Tarekat Sebagai Senjata Melawan Penjajah...................................................................10
BAB III.........................................................................................................................................12
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................13
3
BAB I
PENDAHULUAN
Tarekat berasal dari bahasa Arab, “thariqah”, jamaknya adalah “tara’iq”. Secara
etimologi, tarekat yaitu; (1) jalan, cara (alkaifiyyah); (2) metode, sistem (al-uslub); (3)
madzhab, aliran, haluan (al-madzhab); Secara istilah, tarekat adalah perjalanan seorang yang
saleh (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang
harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.
Dalam tasawuf, seringkali dijumpai dengan istilah “thariqah”, yang berarti jalan, jalan yang
dimaksud yaitu jalan untuk mencapai keridhaan Allah SWT.
Perkembangan tarekat di Indonesia bermula dari adanya ajaran tasawuf yang dipadukan
dengan ajaran sufistik India dan sufistik pribumi, kemudian dianut oleh kalangan masyarakat
Islam di Indonesia. Di sisi lain, para wali pun menyebarkan agama Islam melalui tasawuf
yang dipadukan dengan kearifan lokal, salah satu contohnya adalah dengan budaya. Dengan
adanya proses tersebut, secara berangsur-angsur tarekat mulai berkembang di Indonesia
hingga pada abad ke-18 M, berbagai macam tarekat bermunculan dan mempunyai banyak
pengikut.
Tarekat pada masa awal kaum sufi menunjukkan adanya pelatihan rohani secara gradual
(bertingkat-tingkat) yang selalu dalam pengawasan sang Guru (mursyid). Pelatihan rohani ini
antara lain seperti amalan dzikir, muraqabah dan proses takhalli, tahalli dan tajalli yang
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta.
4
2. Bagaimana ajaran dan pola tarekat pada abad 17-18?
3. Mengapa tarekat menjadi sebuah senjata bagi para penjajah?
1.3. Tujuan
1. Memahami bagaimana tarekat menyebar ke Nusantara.
2. Mengetahui bagaimana ajaran dan pola tarekat pada abad 17-18.
3. Mengetahui alasan mengapa tarekat menjadi sebuah senjata bagi para penjajah.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Martin van Bruinessen, Islamisasi Indonesia mulai dalam masa ketika tasawuf
merupakan corak pemikiran yang dominan di dunia Islam. Pikiran-pikiran para sufi
terkemuka, Ibn Al-Arabi dan Abu Hamid Al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap
1
Asep Achmad Hidayat, Harto Juwono, Tarekat Masa Kolonial, (Garut: PKUB Dep. Agama Republik Indonesia,
2009), cet. ke-1, hlm. 1.
2
Ibid., hlm. 1-2.
6
pengarang-pengarang Muslim generasi pertama di Indonesia. Apalagi, hampir semua
pengarang Muslim di Indonesia pada saat itu adalah pengikut sebuah tarekat (ordo sufi) atau
lebih. 3
Secara relatif, kata Martin van Bruinessen, tarekat merupakan tahap paling akhir dari
perkembangan tasawuf, tetapi menjelang penghujung abad ke-13, ketika orang Indonesia
mulai berpaling kepada Islam, tarekat justru sedang berada di puncak kejayaannya. Beberapa
sejarawan mengemukakan karena faktor tasawuf dan tarekatlah Islamisasi di Asia Tenggara
(Nusantara), termasuk di Indonesia, dapat berlangsung dengan damai.
Senada dengan Martin van Bruinessen, Azyumardi Azra menyatakan bahwa penyebaran
Islam tahap awal di Indonesia (Nusantara) sangat diwarnai aspek tasawuf (tarekat) atau
mistik ajaran Islam. Namun, lanjut Azra, ini bukan berarti aspek hukum (syariah) yang
terabaikan sama sekali. Pendulum Islam tidak pernah berhenti bergerak di antara
kecenderungan sufisme dengan panutan yang lebih taat kepada syari’ah. Dengan mengutip
pernyataan John Bousfield dalam "Islam in Southeast Asia: Problems of Perspective", Azra
menunjukkan bagaimana Nurudin al-Raniri yang lebih berorientasi pada syari’ah dengan
dukungan penguasa yang dengan kata lain, "membersihkan Aceh" khususnya dari gagasan-
gagasan filosofis, sufistik Hamzah Fansuri dan Syams al-Din yang dianggapnya menyimpang
terutama karena pandangan "wahdat al-wujud" yang berbau panteisme itu. Abd al-Ra'uf al-
Singkili, pemimpin (Syeikh) tarekat Sattariyah, tidak kurang pula menekankan pentingnya
syari'ah dalam menempuh jalan tasawuf (tarekat).
Meskipun demikian, lanjut Azra, secara umum Islam tasawuf tetap unggul pada tahap
pertama Islamisasi ini, setidaknya sampai akhir abad ke-17. Hal ini karena Islam tasawuf
yang datang ke Nusantara, dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap
Islam, dalam beberapa segi tertentu "cocok" dengan latar belakang masyarakat setempat yang
dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan lokal. Juga terhadap
kenyataan bahwa tarekat-tarekat sufi mempunyai kecenderungan bersikap toleran terhadap
pemikiran dan praktek tradisional semacam, itu, yang sebenarnya bertentangan dengan
praktek-praktek unilitarianisme Islam.4
3
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992) cet. ke-1, hlm. 15.
4
Asep Achmad Hidayat, Harto Juwono., Op.cit., hlm. 3-4.
7
Ketua Mahasiswa Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyyah (MATAN), DKI
Jakarta, sekaligus Sekretaris Awwal Jam'iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah
(Jatman), KH. Ali M Abdillah ini menjelaskan, jejak-jejak tasawuf di Nusantara sudah mulai
ada sejak abad ke-14. Hal itu dapat ditelusuri dari beberapa penelitian di Leiden, Belanda,
mengenai manuskrip yang ditulis oleh salah satu murid Sunan Bonang mengenai tasawuf.
Memang, yang paling banyak ditemukan pada masa kini berupa peninggalan-peninggalan
seperti wayang dan beberapa alat budaya yang digunakan untuk menyampaikan ajaran
tasawuf. Menurut Kiai Ali, pada abad ke-16 dan ke-17 para ulama sufi mulai aktif menyebar
ke seluruh penjuru Nusantara untuk mengajarkan tasawuf dan tarekat kepada masyarakat.
Diantaranya adalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh ulama tasawuf falsafi yang
menerjemahkan ajaran-ajaran tasawuf ke dalam bentuk prosa dan menggunakan simbol-
simbol lokal dalam menyampaikannya.
Kiai Ali menyadari, setiap ajaran tentu tak lepas dari kesalahpahaman pengkajinya.
Penyimpangan di level pengikut pun tak dapat dihindari. Seperti pengkafiran yang dilakukan
oleh Nuruddin ar-Raniri bagi pengikut Hamzah Fansuri. Kemudian Abdurrauf as-Sinkili
mengintegrasikan tasawuf falsafi dengan tasawuf amali menjadi satu kesatuan. Ajarannya itu
kemudian diturunkan kepada murid-muridnya. “Hingga abad ke-18, tasawuf integratif
tersebut tersebar ke berbagai penjuru Nusantara. Bahkan sampai ke Mindanao Fillipina,"
terangnya.5
Tarekat Qadiriyyah yang di bawa oleh Hamzah Fansuri, ulama dan sastrawan sufi
kontroversial dari Aceh. Meski banyak meninggalkan karya tulis, namun sang sufi yang
sempat berkelana ke negeri-negeri di Asia Selatan dan Tenggara itu diyakini tidak
menyebarkan tarekatnya kepada khalayak umat Islam. Jejaknya hanya diikuti oleh murid
utamanya, Syamsudin al-Sumatrani, yang belakangan justru menyebarkan Tarekat
5
Nuri Farihatin, Muchlishon, “Dulu, Tasawuf Menjadi Kekuatan untuk Melawan Penjajahan”,
https://www.nu.or.id/nasional/dulu-tasawuf-menjadi-kekuatan-untuk-melawan-penjajahan-fPN5C diakses pada 19
Oktober 2022 pukul 06.54.
8
Syathariyyah. Ijazah kemursyidan Syathariyyahnya diperoleh dari sufi asal Gujarat, Syekh
Muhammad Bin Fadhlullah Burhanpuri.6
Meskipun berbeda tarekat, guru dan murid itu mempunyai kesamaan kecenderungan,
yakni mengajarkan faham “wahdatul wujud”, yang kemudian memicu konflik tajam dengan
sufi lain yang menjadi mufti kerajaan Aceh, yakni Syekh Nuruddin Al-Raniri. Usaha
kelompok Al-Raniri dalam memerangi ajaran pantaisme ala Syamsuddin itu tidak main-
main. Selain pembakaran kitab pegangan dan zawiyyah-zawiyyahnya (tempat tinggal para
sufi dalam menjalankan ritual/ibadahnya), al-Raniri juga berhasil meyakinkan pemerintah
untuk menghukum bakar Syamsuddin serta para pengikutnya.
Sepeninggal al-Raniri, jejaknya diteruskan oleh Syekh Abdul Ra’uf al-Singkili asal
Singkel, Aceh. Ulama muda yang pernah belajar di Tanah Suci selama 19 tahun itu
membawa Tarikat Syattariyyah yang lebih bercorak tasawuf ahklaki. Ijazah kemursyidan
Syekh Abdul Rau'f Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah, Syekh Ahmad al-Qusasy
(w.1660) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1691).
Syekh Abdul Rauf Singkel memiliki beberapa murid yang mengikuti jejaknya
menyebarkan agama Islam dan Tarekat Syattariyyah. Yang paling terkenal di antara mereka
adalah Syekh Burhanuddin Ulakan, yang berdakwah serta berjuang melawan kolonialis
VOC dan wafat di Pariaman, Sumatera Barat. Melalui ulama sufi dan juga pernah berguru
kepada Syekh Ahmad al-Kusasi di Mekkah, Tarekat Syattariyyah kemudian menyebar di
Sumatra Barat.
Tokoh lain yang hidup semasa Syekh Abdul Rauf Singkel dan pernah juga berguru
kepada Syekh Ibrahim al-Kurnia serta ulama sufi lainnya di Timur Tengah adalah Syekh
Yusuf al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah mengembara hingga ke
6
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, (Yogyakarta : Gading Publishing, 2015), cet. ke-2, hlm.94 dan 192-195.
9
Damaskus, Syekh Yusuf pulang ke Nusantara dengan mengantongi ijazah kemursyidan dari
tarekat Naqsabandiyah, Qadiriyyah, Syattariyyah, Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah. 7
Di Makassar, Syekh Yusuf lalu mengajarkan Tarekat Khalwatiyyah yang dipadu dengan
beberapa ritual tarekat lain yang dikuasainya, dan dikenal kemudian dengan nama
Khalwatiyyah Yusufiyyah. Pengikut tarekat ini juga dikenal sangat militan. Beberapa kali
merekat terlibat bentrokan dengan penjajah dan ditangkap. Syekh Yusuf sendiri kemudian
hijrah ke kesultanan Banten, ikut membantu perjuangan rakyat Banten sekaligus
mengajarkan Khalwatiyyahnya.
Sepeninggal Sultan Ageng yang gugur di penjara komponi Belanda, Syekh Yusuf
membangun basis pertahanan di sekitar Tangerang. Namun raja Banten berikutnva
cenderung membela penjajah, perjuangan Syekh Yusuf pun semakin melemah hingga
akhirnya tertangkap pada tahun 1683 M. Setelah dipindah-pindahkan dari penjara Cirebon ke
Batavia, akhirnya pada tanggal 12 September 1684 M, Ia dibuang ke Ceylon, Afrika Selatan.
Di negeri itu ia menghabiskan sisa usianya dengan berdakwah, mengajarkan dan menulis
kitab. Hingga kini masyarakat Ceylon masih mengangap sang Syekh sebagai wali dan
pahlawan kebanggaan mereka.8
10
“Oleh karenanya kekuatan Belanda sehebat apapun tak akan pernah membuat para penganut
tarekat jera," ungkapnya.
Setelah mengetahui hal itu, imbuh Kiai Ali, pihak kolonial Belanda kemudian mengatur
strategi dengan mendekati ulama Betawi bernama Sayyid Utsman. Dari pendektannya itu,
pihak kolonial Belanda menghasilkan suatu kebijakan bahwa ajaran hakikat (tasawuf dan
tarekat) itu haram. Kebijakan ini juga berdampak terhadap pengajaran tasawuf di pesantren-
pesantren dimana kitab tertinggi yang diajarkan adalah Ihya Ulumiddin dan Hikam.
Sementara kitab dan ajaran Ibnu Arabi tidak lagi diajarkan.“Inilah yang membuat ajaran
hakikat pada abad ke -19 mulai tenggelam,” katanya.9
9
Nuri Farihatin, Muchlishon., Loc.cit.,
11
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Tasawuf dan tarekat merupakan hal yang sangat krusial dalam penyebaran Islam di kawasan
Nusantara, karena melalui jalur tersebut para penyebar Islam di Nusantara dapat dengan
mudah membujuk masyarakat Nusantara yang sebelumnya menganut paham Hindu-Buddha
beralih menjadi Islam. Hal ini tentu bukan hal yang mudah, mengingat para penjajah yang
datang ke Nusantara dengan prinsip Gold, Glory, Gospel, yang berarti mereka datang selain
ingin menguasai Nusantara, mereka sekaligus ingin menyebarkan paham agamanya,
sehingga banyak penjajah yang berkonflik dengan para penguasa yang memang sudah
menganut Islam. Para penjajah tentu kesulitan menghadapinya, hingga membuat mereka
penasaran, apa yang menjadikan masyarakat Islam di Nusantara sangat kuat menghadapi para
penjajah. Demikian hal tersebut terjawab bahwa adanya nilai tasawuf dan tarekat yang
melekat kuat pada diri masayarakat Islam di Nusantara, sehingga mereka dapat menahan
berbagai gempuran dari para penjajah.
12
DAFTAR PUSTAKA
Awaludin, (2016), Sejarah dan Perkembangan Tarekat di Nusantara, El-Afkar, Vol. 5, No. 11.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, (Yogyakarta : Gading Publishing, 2015), cet. ke-2.
Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992) cet. ke-1.
Farihatin, Nuri, Muchlishon, “Dulu, Tasawuf Menjadi Kekuatan untuk Melawan Penjajahan”,
https://www.nu.or.id/nasional/dulu-tasawuf-menjadi-kekuatan-untuk-melawan-penjajahan-
fPN5C
Hidayat, Asep Achmad, Juwono, Hartono, Tarekat Masa Kolonial, (Garut: PKUB Dep. Agama
Republik Indonesia, 2009), cet. ke-1.
13