Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ISLAM DI NUSANTARA
Dosen Pengampu: Nurson Petta Pudji,S.Ag.,M.Pdi

Disusun Oleh:
Kelompok 1

MUH. NASIR : 105711102323


NUR FAJRIANI : 105711101923
ST NURHALIZA : 105711101723

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

TA 2024/2025
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang melimpah rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Islam di nusantara dari sudut
pandang Madzhab Muhammad SAW ini.Shalawat dan salam selalu ditujukan kepada
Nabi Muhammad SAW, Rasulullah, Cahaya Kemanusiaan.
Tujuan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih
mendalam tentang sejarah dan kontribusi Islam, khususnya mazhab Muhammadiyah,
dalam konteks kepulauan Indonesia.Sebagai mahasiswa yang ingin memahami warisan
intelektual dan spiritual para pemikir Islam, disertasi ini kami kembangkan untuk
menggali akar sejarah dan memperdalam nilai-nilai yang terkandung dalam Islam di
nusantara.
Kami menyadari bahwa dokumen ini tidak akan lengkap tanpa dukungan dan
bimbingan dari berbagai pemangku kepentingan.Oleh karena itu, saya mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing dan seluruh pihak yang
terlibat atas bantuan, dukungan, dan inspirasinya selama penulisan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca yang ingin
memahami informasi lebih detail tentang Islam di nusantara dan menjadi sumber
inspirasi untuk penelitian dan pembahasan yang lebih komprehensif di masa
mendatang.

Makassar, 9 Maret 2024

Penyusun
Kelompok 1
Daftar Isi
BAB I..........................................................................................................................4
PENDAHULUAN.........................................................................................................4
A.Latar Belakang...............................................................................................................4
B.Rumusan Masalah..........................................................................................................4
C.Tujuan Penulisan............................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................5
PEMBAHASAN...........................................................................................................5
A.Teori Masuknya Islam Di Nusantara...............................................................................5
B.Proses Perkembangan Islam Di Nusantara....................................................................10
C.Corak Islam Di Nusantara.............................................................................................19
D.Kedatangan Dan Penjajahan Bangsa Asing Di Nusantara..............................................23
BAB III......................................................................................................................29
PENUTUP.................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................30
BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kemunculan Islam Nusantara merupakan ciri khas Indonesia, dimana Islam
Nusantara dinyatakan sebagai agama universal yang diwujudkan dalam ajarannya
meliputi hukum agama (fiqh), amanah (iman), dan etika (moral). Meskipun Islam
Nusantara memberikan suasana baru dalam Islam dengan mengasimilasi suatu budaya
ke dalam agama, namun cara ini tidak menulari kemurnian ajaran Islam dengan
menjadikan Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman dan arahan dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia. Islam mengajarkan sikap saling menghormati dan
toleransi timbal balik. Agama ini mengajarkan penganutnya untuk mencintai sesama,
menyayangi dan mengayomi tanpa memandang ras, kebangsaan, dan struktur sosial

B.Rumusan Masalah
1.Bagaimana teori masuknya islam di nusantara?
2.bagaimana proses perkembangan islam di nusantara?
3.bagaimana corak islam di nusantara?
4.bagaimana kedatangan dan penjajahan bangsa asing di nusantara?

C.Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui bagaimana teori masuknya islam di nusantara
2.Untuk mengetahui bagaimana proses perkembangan islam di nusantara
3.Untuk mengetahui bagaimana corak islam di nusantara
4.Untuk mengetahui bagaimana kedatangan dan penjajahan bangsa asing di nusantara
BAB II
PEMBAHASAN
A.Teori Masuknya Islam Di Nusantara
Sejak awal abad masehi telah ada rute-rute pelayaran dan perda-gangan
antar pulau atau antar daerah. Kawasan timur yang meliputi kepulauan India
Timur dan Pesisir Selatan Cina sudah memiliki hubu-ngan dengan dunia Arab
melaluia perdagangan. Pedagang Arab datang ke Nusantara melalui jalur laut
dengan rute dari Aden menyisir pantai me-nuju Maskat, Raisut, Siraf, Guadar,
Daibul, Pantai Malabar yang meliputiGujarat, Keras, Quilon, dan Kalicut
kemudian menyisir pantai Karamandel seperti Saptagram ke Chitagong
(pelabuhan terbesar di Bangladesh), Akyab (sekarang wilayah Myanmar), Selat
Malaka, Peureulak (Aceh Timur), Lamno (pantai barat Aceh), Barus, Padang,
Banten, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel, Makasar, Ternate, dan
Tidore.
Barang dagangan yang populer adalah nekara perunggu (dari Vietnam).
Nekara ini tersebar hingga ke seluruh pelosok nusantara. Per-dagangan nekara ini
bersumber dari berita Cina pada awal abad masehi yang menyebut Sumatera,
Jawa, serta Kalimantan. Dan yang terpenting adalah Maluku merupakanwilayah
yang menarik bagi para pedagang. Maluku merupakan penghasil rempah-rempah
yakni pala dan cengkeh. Dalam proses penjualan rempah-rempah tersebut dibawa
ke pulau Jawa dan Sumatera. Kemudian dipasarkan kepada pedagang asing dan
dibawa ke negeri asalnya.
Selanjutnya ialah kapur barus menjadi dagangan yang terkenal. Hal ini
bersumber dari India kuno bahwa semenjak permulaan abad ma-sehi sampai abad
ke-7 Masehi terdapat pelabuhan yang sering disinggahi oleh pedagang asing antara
lain Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang. Sedangkan di Pulau Jawa antara lain
Sunda Kelapa dan Gresik. Sejak tahun 674 M telah ada kolonial Arab dibagian barat
Pulau Sumatera. Ini merupakan berita dari Cina yang menyebutkan bahwa
terdapat seorang Arab yang menjadi pemimpin dikoloni bangsa Arab di pantai
barat Sumatera. Besar kemungkinan pantai barat Sumatera tersebut ialah Barus yang
menghasilkan kapur Barus
Dari uraian di atas dapat diperkirakan bahwa Islam sudah masuk ke
Nusantara sejak awal abad Hijriah. Meskipun sifatnya masih dianut oleh bangsa
asing dan belum ada pengakuan dari pribumi yang beragama Islam. Jelaslah sejarah
bagaimana Islam datang ke Indonesia akan tetapi yang menjadi pertanyaan diatas
ialah kepastian asal kedatangan, pemba-wanya, tempat yang didatangi, waktu, dan
bukti sejarah. Perbedaan sudut pandang dan bukti-bukti tersebut menyebabkan
beragamnya teori-teori masuknya Islam ke Indonesia. Berdasarkan tempat
terdapat lima teori tentang masuknya Islam ke Nusantara, sebagaimana uraian
berikut.
Pertama, teoriArab. Teori ini menyatakan bahwa Islam dibawa dan
disebarkan ke Nusantara langsung dari Arab pada abad ke-7/8M, saat Kerajaan
Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya. Tokoh-tokoh teori ini adalah Crawfurd,
Keijzer, Niemann, de Hollander, Hasymi, Hamka, Al-Attas, Djajadiningrat, dan
Mukti Ali. Bukti-bukti sejarah teori ini sangat kuat. Pada abad ke-7/8M, selat Malaka
sudah ramai dilintasi para pedagang muslim dalam pelayaran dagang mereka ke
negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita CinaZaman Tang
pada abad tersebut, masyarakat muslim sudah ada di Kanfu (Kanton) dan
Sumatera. Ada yang berpendapat mereka adalah utusan-utusan Bani Umayah yang
bertujuan penjajagan perdagangan. Demikian juga Hamka yang berpendapat bahwa
Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M. Berda-sarkan Catatan Tiongkok, saat itu
datang seorang utusan raja Arab ber-nama Ta Cheh atau Ta Shih (kemungkinan
Muawiyah bin Abu Sufyan) ke Kerajaan Ho Ling (Kalingga) di Jawa yang diperintah
oleh Ratu Shima. Ta-Shih juga ditemukan dari berita Jepang yang ditulis tahun 748 M.
Diceritakan pada masa itu terdapat kapal-kapal Po-sse dan Ta-Shih K-Uo. Menurut
Rose Di Meglio, istilah Po-sse menunjukan jenis bahasa Melayu sedangkan Ta-
Shih hanya menunjukan orang-orang Arab dan Persia bukan Muslim India. Juneid
Parinduri kemudian memperkuat lagi, pada 670 M, di Barus Tapanuli ditemukan
sebuah makam bertuliskan Ha-Mim. Semua fakta tersebut tidaklah mengherankan
mengingat bahwa pada abad ke-7, Asia Tenggara memang merupakan lalu lintas
perda-gangan dan interaksi politik antara tiga kekuasaan besar, yaitu Cina
dibawah Dinasti Tang (618-907), Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14), dan Dinasti
Umayyah (660-749).
Dari uraian diatas dapat dipastikan bahwa bangsa Arab berperan penting
dalam perdagangan. Dantelah ditemukan bukti-bukti yang me-nunjukan bahwa
telah terjadi interaksi perdagangan antara Cina, Arab dan Nusantara. Sehingga Islam
sudah mulai masuk ke dalam kepulauan Nusantara.
Kedua, teori Cina. Dalam teori ini menjelaskan bahwa etnis Cina Muslim sangat
berperan dalam proses penyebaran agama Islam di Nusan-tara. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya pada teori Arab, hubungan Arab Muslim dan Cina sudah terjadi
pada Abad pertama Hijriah. Dengan demikian, Islam datang dari arah barat ke
Nusantara dan ke Cina berba-rengan dalam satu jalur perdagangan. Islam datang
ke Cina di Canton (Guangzhou) pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650) dari
Dinasti Tang, dan datang ke Nusantara di Sumatera pada masa kekuasaan
Sriwijaya, dan datang ke pulau Jawa tahun674 M berdasarkan kedatang-an utusan raja
Arab bernama Ta cheh/Ta shi ke kerajaan Kalingga yang di perintah oleh Ratu Sima.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Islam datang ke Nusantara
berbarengan dengan Cina. Akan tetapi teori diatas tidak menjelaskan tentang
awal masuknya Islam, melainkan peranan Cina da-lam pemberitaan sehingga
dapat ditemukan bukti-bukti bahwa Islam da-tang ke Nusantara pada awal abad
Hijriah. Ketiga, teori Persia. Berbeda dengan teori sebelumnya teori Persia
lebih merujuk kepada aspek bahasa yang menunjukan bahwa Islam telah masuk ke
Nusantara dan bahasanya telah diserap. Seperti kata „Abdas‟ yang dipakai oleh
masyarakat Sunda merupakan serapan dari Persia yang artinya wudhu.
Bukti lain pengaruh bahasa Persia adalah bahasa Arab yang di-gunakan
masyarakat Nusantara, seperti kata-kata yang berakhiran ta’marbūthahapabila
dalam keadaan wakaf dibaca “h” seperti shalātundibaca shalah. Namun dalam
bahasa Nusantara dibaca salat, zakat, tobat, dan lain-lain.
Keempat, teori India. Teori ini menyatakan Islam datang ke Nusantara
bukan langsung dari Arab melainkan melalui India pada abad ke-13. Dalam teori
ini disebut lima tempat asal Islam di India yaitu Gujarat, Cambay, Malabar,
Coromandel, dan Bengal.11Teori India yang menjelaskan Islam berasal dari
Gujarat terbukti mempunyai kelemahan-kelemahan. Hal ini dibuktikan oleh G.E.
Marrison dengan argumennya “Meskipun batu-batu nisan yang ditemukan
ditempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari Gujarat atau
Bengal, seperti yang dikatakan Fatimi. Itu tidak lantas berarti Islam juga
didatangkan dari sana”. Marrison mematahkan teori ini dengan menuujuk pada
kenyataan bahwa ketika masa Islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya
wafat pada 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu.Barulah
setahun kemudian Gujarat ditaklukan oleh kekuasaan muslim. Jika Gujarat adalah
pusat Islam, pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian
Malikush Shaleh. Dari teori yang dikemukakan oleh G.E. Marrison bahwa Islam
Nusantara bukan berasal dari Gujarat melainkan dibawa para penyebar muslim
dari pantai Koromandel pada akhir abad XIII.
Teori yang dikemukakan Marrison kelihatan mendukung pendapat yang
dipegangT.W. Arnold. Menulis jauh sebelum Marrison, Arnold ber-pendapat bahwa
Islam dibawa ke Nusantara, antara lain dari Koromandel dan Malabar. Ia menyokong
teori ini dengan menunjuk pada persamaan mazhab fiqhdi antara kedua wilayah
tersebut. Mayoritas muslim di Nusantara adalah pengikut Mazhab Syafi‟i, yang juga
cukup dominan di wilayah Koromandel dan Malabar, seperti disaksikan oleh Ibnu
Batutah (1304-1377), pengembara dari Maroko, ketika ia mengunjungi kawasan
ini. Menurut Arnold, para pedagang dari Koromandel dan Malabar mem-punyai
peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah besar
pedagang ini mendatangi pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Nusantara-Melayu,
mereka ternyata tidak hanya terlibat dalam per-dagangan, tetapi juga dalam
penyebaran Islam.
Kelima, teori Turki. Teori ini diajukan oleh Martin Van Bruinessen yang
dikutip dalam Moeflich Hasbullah. Ia menjelaskan bah-wa selain orang Arab dan
Cina, Indonesia juga diislamkan oleh orang-orang Kurdi dari Turki. Iamencatat
sejumlah data. Pertama, banyaknya ulama Kurdi yang berperan mengajarkan Islam
di Indonesia dan kitab-kitab karangan ulama Kurdi menjadi sumber-sumber yang
berpengaruh luas. Misalkan, Kitab Tanwīr al-Qulūbkarangan Muhammad Amin al-
Kurdi populer dikalangan tarekat Naqsyabandi di Indonesia. Kedua, di antara
ulama di Madinah yang mengajari ulama-ulama Indonesia terekat Syattariyah yang
kemudian dibawa ke Nusantara adalah Ibrahim al-Kurani. Ibrahim al-Kurani yang
kebanyakan muridnya orang Indonesia adalah ulama Kurdi. Ketiga, tradisi barzanji
populer di Indonesia dibaca-kan setiap Maulid Nabi pada 12 Rabi‟ul Awal, saat akikah,
syukuran, dan tradisi-tradisi lainnya. Menurut Bruinessen,barzanji merupakan nama
keluarga berpengaruh dan syeikh tarekat di Kurdistan. Keempat, Kurdi merupakan
istilah nama yang populer di Indonesia seperti Haji Kurdi, jalan Kurdi, gang Kurdi,
dan seterusnya. Dari fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa orang-orang
Kurdi berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Dari teori-teori tersebut tampak sekali bahwa fakta-fakta Islami-sasi
diuraikan dengan tidak membedakan antara awal masuk dan masa perkembangan
atau awal masuk dan pengaruh kemudian. Kedatangan Islam ke Nusantara telah
melalui beberapa tahapan dari individualis,kelompok, masyarakat, negara kerajaan,
sampai membentuk mayoritas.
Teori Persia, India, Cina, dan Turki semuanya menjelaskan ten-tang
pengaruh-pengaruh setelah banyak komunitas dan masyarakat mus-limdi
Nusantara. Jadi, sebenarnya teori tersebut tidak menggugurkan atau melemahkanteori
sebelumnya,tetapi melengkapi proses Islamisasi.

B.Proses Perkembangan Islam Di Nusantara


Islam dinusantara pra reformasi
Kedatangan Islam ke Indonesia, pada awalnya melalui jalur perda-gangan,
dan penerimaannya memperlihatkan dua pola yang berbeda, yakni bottom up dan
top down.3 Para pendakwah Islam, datang di negara ini dengan menggunakan kapal
layar dan berlabu di bandar Perlak, bersama dengan pelaksana dakwah
berjumlah 100 orang terdiri dari orang Arab, orang Persia, dan orang India yang
dipimpin oleh nahkoda khalifah.4 Mereka ini menyebarkan agama dengan metode
ceramah di kampung-kampung dan metode kawin-mawin dengan keluarga
istana.5Dengan pendekatan kepada raja, maka Islam berkembang dengan cepat
sehingga dikenal Kerajaan Islam awal di Indonesia adalah Perlak, Samuri, dan Pasai.Di
samping itu, dikenal pula Kerajaan Siak I (Riau) memegang peranan sebagai
kerajaan di Selat Malaka yang menguasai arus perda-gangan antara India, China,
dan Singasari (Majapahit). Penyebaran Islam diperkirakan pada abad ke-12 M ini dapat
dilihat peninggalan kuburan Butaken (1128 M) yang bercorak Islam, yaitu kuburan
Nizamuddin al-
Dengan pola bottom up, Islam diterima terlebih dahulu oleh masyarakat
lapisan bawah, kemudian berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas
atau elit penguasa kerajaan. Sedangkan pola top down, Islam diterima langsung
oleh elit penguasa kerajaan, kemudian disosialisasikan dan berkembang ke
masyarakat bawah. Lihat Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa, Cet. II
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 86-87.
Salah seorang dari mereka, Sayyid Ali dari suku Quraisy kawin dengan putri
yaitu Makhdum Tansyuri, salah saorang adik dari Meurah Perlak bernama Syakir
Nuwi. Dari perkawinan ini lahir Sayid Abd. Azis putra campuran Arab-Perlak yang
kemudian setelah dewasa, dilantik menjadi raja di Kerajaan Islam Perlak yang pertama
pada tahun 225 H. Ibid., 2. Kamil Loksomawe dari Dinasti Fatimiah, Mesir
Pada Kerajaan Siak ini, memiliki penyiar agama dari negeri Arab di
antaranya Sayid Usman bin Syahabuddin, seorang ulama yang alim yang
berdakwah di Riau, karena raja menyukai akhlak beliau, maka dikawinkan dengan
Badaria putri Kerajaan Siak. Dari keturunannya menjadi pewaris Kesultanan di
Riau, dan selanjutnya melaksanakan dakwah ke Kalimantan barat sambil
mengajarkan ilmu agama kepada para penduduk.
Dilihat dari dinamika tersebarnya agama Islam di Aceh (Sumatera) bisa
dikatakan tidak menghadapi tantangan yang berarti, karena dengan pendekatan
kekeluargaan dengan penyesuaian diri secara autoplastisdan alloplastis dapat
mengislamkan para raja dan pemuka masyarakat sampai membentuk kerajaan
Islam. Hal ini tidak berbeda dengan cara berdakwah para Wali Songo di Jawa,
dengan metode dakwah kultural, saat itu sangat kental dengan tradisi Hindu dan
Budha. Di samping itu, Wali Songo membangun masjid sebagai sarana pusat atau
media penyia-ran agama.
Sama halnya di Sumatera dan Pulau Jawa, para ulama penyiar agama dari Arab
berdakwah ke Kalimantan dan mendekati para raja untuk memeluk Islam dan
menjadikan kerajaan Islam yang dipimpinnya. Di antaranya adalah kerajaan
Tanjuppuara, Kerajaan Sambas. Di Kali-mantan Barat dikenal Kerajaan Pontianak.
Demikian pula di Kalimantan Selatan dan Timur, Islam masuk ke wilayah ini sejak
zaman Raja Ali, Raja Mahkota (1526-1600 M).
Di samping itu, di Sulawesi Selatan dikenal Kerajaan Gowa, kerajaan terbesar
sesudah Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Agama Islam masuk pada
masa Raja Gowa IX, sekitar tahun 1583. Sultan Ba-bullah datang ke Kerajaan
Gowa dan menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan dan Tengah, bersamaan
dengan pedagang-pedagang Muslim yang berasal dari Johor, Pasai di Sumatera.
Tercatat pula dalam sejarah bahwa daftar nama raja-raja Gowa yang
pernah memerintah di Gowa sebanyak 36 orang.9 Dikenal nama I Manga’raungi Daeng
Manrabbia Raja Gowa XIV yang diberi gelar Sultan Alauddin. Mangkubumi Kerajaan
Gowa, I Malingkang Daeng Nyonri Karaeng Katangka (Raja Tallo) yang masuk
Islam pada 22 September 1605 bergelar Sultan Abdullah al-Islam, dan atas inisiatif
Sultan Alauddin bersama pengikut Muslim mendatangkan tiga orang ulama untuk
kera-jaan Gowa dalam upaya penyebaran Islam di wilayahnya.
Pada abad ke-16 masyarakat Sulawesi Selatan telah menganut agama Islam,
masa Raja Gowa XV yaitu Sultan Malik al-Said (1639-1653), ke-cuali Tanah Toraja. Saat
itu, Kerajaan Gowa menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara bagian Timur,
seperti Bima, Sumbawa, Timor, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara sampai ke Bali,
Brunei dan Kutai. Sedang raja Gowa XVI adalah raja I Mallombasi Daeng Tawang
Karaeng Bontomarannu yang dikenal dengan Sultan Hasanuddin—dengan
keberaniannya menentang penjajahan Belanda yang akhirnya raja ini mendapat
anugerah sebagai pahlawan nasional.
Dalam peta keagamaan, para ulama didukung oleh kerajaan menye-barkan
agama ke seluruh nusantara. Mereka telah mewakafkan dirinya di nusantara ini
sehingga dengan cepat agama Islam tersebar ke seluruh pelosok tanah air, sampai kita
merebut kemerdekaan tahun 1945. Kondisi setelah merdeka dengan dipimpin oleh
presiden yang nasionalis. Soekarno, menimbulkan berbagai problem bagi umat
Islam, kalaupun jauh sebelum merdeka sudah ada gerakan sosial keagamaan
seperti organisasi Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Umat Islam, dan
Perserikatan Umat Islam. Pada fase ini, penyebaran agama melalui lembaga
organisasi keagamaan dan partai politik Islam, di samping juga secara individual
kultural, penyebaran secara tradisional lewat ceramah-ceramah dan yang paling
berpengaruh dalam gerakan Islam ialah Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).
Hampir semua organisasi Islam sebagai dasar partai dan selalu ber-cita-cita
menegakkan ajaran Islam dalam masyarakat dan negara. Kaitan dengan ini,
Muhammad Natsir (Pimpinan Masyumi) dalam hal konsep mengenai hubungan antara
Islam dan negara tidak bergantung pada ada tidaknya Islam, tetapi pencapain
terhadap kemakmuran dan keadilan rakyat. Pandangan yang moderat ini, mampu
memberikan perspektif yang dingin ketika menghadapi Soekarno, seorang
presiden dan pem-impin nasionalis yang memperdebatkan tentang sikap gerakan
Islam terhadap Pancasila.
Beberapa pikiran dan dinamika gerakan Masyumi di antaranya, pan-dangannya
atas negara kesatuan yang merupakan jawaban atas politik pecah belah Belanda,
usulnya yang dikenal dengan nama “mosi integral” kemudian dipakai negara untuk
menetapkan bentuk negara kesatuan. Muhammad Natsir juga melibatkan diri
dalam Dewan Dakwah Islam (DDI) yang didirikan untuk melawan arus sekularisme
dan Kristenisasi. Selanjutnya patut dicatat kebajikan Masyumi dalam soal
perumusan dasar negara semula masalah ini bisa beres dengan pencutman tam-
bahan katakata dengan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.
Tetapi pada tanggal 18 Agustus 1945 kalimat yang populer dengan “Piagam Jakarta”
dihapus. Muhammad Natsir barisan pendukung ideologis Islam berhadapan kembali
dengan barisan nasionalis.
Dengan berbagai problematika Masyumi sebagai partai politik Islam,
dibubarkan dan beberapa tokohnya ditangkap15 dan diadakan penin-dasan, serta
dipenjara sampai terjadi persaingan antara kekuataan PKI dengan militer, dan
berakhir pada peristiwa G 30 September 1965. Masa ini dikenal dengan masa Orde
Lama. Kemudian di masa Orde Baru, masjid merupakan corong dakwah sebagai media
penyiaran agama dan acapkali menyuarakan protes pada beberapa langkah
restruktualisasi Orde Baru. Dalam istilah Kuntowijoyo muncul gejala pada masa ini
sebuah “Islamo-phobia” (fobia Islam) yang memandang Islam sebagai ancaman
negara, maka pada tahun 1984, di Jakarta Utara (Tanjung Priok) terjadi konflik terbuka
antara tentara dengan massa umat Islam yang menelan banyak korban, termasuk
seorang aktivitis 66 dan juga pengusaha Muslim yang sukses yakni Amir Bibi.
Pada pemerintahan Orde Baru, “kecurigaan” yang mewarnai pola pikir
umat, terutama antara Kristen dan Islam, misalnya tumbuh su-burnya
“Kristenisasi” dan pemanfaatan rumah sebagai tempat ibadah bagi umat Kristen,
dan umat Islam selalu dicurigai karena sering mem-berikan masukan kepada
pemerintah, misalnya tidak bisa mencegah pelanggaran antara lain tentang
pelanggaran SKB Mendagri dan Menag No. 1 tahun 1969, SK Menteri Agama Nomor 70
& 77 Tahun 1978 ten-tang Penyiaran Agama.
Di samping itu, perlu juga digarisbawahi bahwa dengan berbagai per-
masalahan yang terjadi, maka pemerintah (Orde Baru) mulai melakukan proses
perubahan di tubuh militer dan juga Golkar. Berbagai kebijakan yang ditempuh Orde
Baru untuk mendekatkan dengan kepentingan kalangan Muslim, seperti
disahkannya UU Pendidikan Nasional 1989 atau UU Pendidikan Agama (1989),
Kompilasi Hukum Islam (1991), kebijakan baru Jilbab (1991), serta penutupan SDSB
(1993).
Sebelumnya itu, sudah ada kebijakan Orde Baru dalam mengako-modasi
kepentingan politik Islam adalah pembentukan Bank Muamalat, serta didirikannya
ICMI (1990). Namun, kebijakan ini mengkhawat-irkan di kalangan sebagian umat,
tentang pembentukan negara Islam, dan sasaran kritik adalah ketergantungan
terhadap bantuan asing, dan jatuhnya korban serta hilangnya sejumlah
mahasiswa semakin menyudutkan presiden Soeharto. Maka, pada 21 Mei 1997
Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan presiden.
Islam di nusantara era reformasi
Reformasi menurut kamus ilmiah populer berarti perubahan, per-baikan
atau pembentukan baru.17 Artinya, perubahan yang dilakukan secara radikal
untuk perbaikan sosial, ekonomi, budaya, politik atau agama di suatu
masyarakat. Khusus dalam soal agama, yang dimaksud bukan perubahan atau
merubah syari’at, sebab syari’at selamanya tidak akan berubah. Akan tetapi, yang
diubah ialah pemikiran atau interpre-tasi terhadap syari’at itu sendiri sehingga
lebih cocok dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an. Sesungguhnya term-term
yang muncul di sekitar makna perubahan itu, seperti rekonstruksi (penyusunan
kem-bali), reaktualisasi (penyadaran kembali), reinterpretasi (penafsiran kembali)
dan berbagai term lainnya, juga berisi konsep-konsep perbaikan dan penataan
kembali hal-hal yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan
peradaban. Tuntutan perubahan muncul karena adanya kondisi sosial, ekonomi,
budaya dan politik yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan norma dan aturan-
aturan hukum yang berlaku di masyarakat.
Bila pengertian reformasi dikaitkan istilah era yang berarti waktu dan masa
yang sedang berlangsung, maka era refomasi yang dimaksud dalam konteks
keindonesiaan adalah bermula sejak Habibi menggantikan Soe-harto menjadi presiden.
Masa ini sangat dikenal seluruh masyarakat yang dianggap menjadi penyelamat bagi
kehidupan mereka, bahkan dianggap segala-segalanya. Ia muncul sebagai akibat
dari keterpurukan ekonomi yang berdampak pada semakin beratnya beban hidup
masyarakat. Di sisi lain, era reformasi boleh dikatakan sebagai hasil usaha
bersama kelompok nasionalis (abangan) dan Islam (santri), dengan tema sentral
memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Karena itu, di Era Reformasi, para tokoh Islam dituntut untuk mencermati
situasi global yang melahirkan beberapa revolusi karena dinamika era reformasi
mengakibatkan bangsa Indonesia mengha-dapi problematika besar, yakni belum
mampu keluar dari lilitan krisis ekonomi yang telah berlangsung demikian lama,
dalam waktu yang ber-samaan ancaman disintegrasi bangsa benar-benar
merupakan sesuatu yang sangat nyata di pelupuk mata.
Sejak Pemilu 7 Juli 1999 partai Islam belum bisa menempatkan dirinya
sebaga partai yang bisa diandalkan. Tanpa ada kebersamaan di antara umat
tersebut, agaknya sulit untuk mengembangkan dan membumikan dakwah Islam di
negara ini sebab mereka berkonsentrasi pada dinamika partai. Mula-mula partai
politik umat Islam kalah bersaing dengan PDI perjuangan yang dianggap sekuler;
PPP menjelma men-jadi partai jinak apalagi ketika sebagian anggotanya bergabung di
PBR; PKB yang mewakili NU juga terpecah; dan seterusnya. Terlepas dari
perpolitikan umat Islam Indonesia di era reformasi yang masih belum
menguntungkan, posisi kekuatan Islam untuk berkembang dalam segala aspek menarik
untuk dikaji.
Selanjutnya, dan yang menjadi dinamika utama perkembangan Islam di era
reformasi ini, situasi negara telah memunculkan gerakan sosial yang menuntut
pemberlakuan syariat Islam pada semua bentuk tatanan. Dalam konteks ini, maka
bermunculan organisasi seperti Forum Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Forum Komunikasi Ahli Sunnah Waljamaah (FKSW),
Hizbut Tahrir.19 Namun demikian, beberapa kalangan Muslim lainnya berpendapat
bahwa Islam “tidak meletakkan suatu pola baku tentanng teori negara yang berdasar
pada syariat Islam”. Terlepas dari perdebatan ini, yang jelas bahwa Islam semakin
mengalami perkembangan dengan segala problematikanya, terutama dari aspek
peta pemikiran, dan termasuk pengembangan nilai-nilai keagamaan.
Sehubungan dengan problematika era reformasi bagi bangsa Indo-nesia,
pada kenyataannya sangat menyangkut eksistensi perkembangan Islam itu sendiri
dan nasib masa depannya; apakah ajaran Islam akan semakin pudar bahkan
tersingkir dari percaturan hidup bangsa, ataukah sebaliknya akan terjadi revivalisasi
(kebangkitan) Islam atau lahirnya spirit baru kaum beragama di Indonesia. Dari
asumsi awal bahwa kebangkitan Islam adalah fenomena global yang ada
kaitannya dengan era reformasi. Hal ini disebabkan, dakwah Islam mengalami
perkembangan sejak memasuki era reformasi.
Islam di Indonesia memasuki era reformasi mengalami perkem-bangan
pesat dan dibuktikan dengan jumlah penduduk Muslim yang mencapai +88%.
Penyebaran Islam ke seluruh wilayah tanah air dari kota-kota besar sampai ke
daerah-daerah terpencil merupakan wujud dari kegiatan dakwah di era ini. Salah
satu ciri dari agama dakwah adalah tertanamnya rasa moral yang tinggi di kalangan
pemeluknya untuk menyebarkan dan memperkembangkan agamanya sebagai
kewajiban luhur yang diyakini akan mendatangkan ganjaran pahala yang besar dari
Tuhan, di samping memberi kepuasan batin bagi dirinya. Dalam Islam, kewajiban itu
mendapatkan legitimasi dari al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw berupa perintah
menjadi d ā’ i sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh setiap Muslim.
Umat Islam di Indonesia tampaknya memiliki rasa dan tanggung jawab
untuk mendakwahkan agama yang dipeluknya. Itulah sebabnya, kegiatan dakwah
baik dalam arti verbal (bi lisān al-maqāl) maupun dalam arti praktis (bi lisān al-
hāl) merupakan rutinitas umat. Dakwah yang sering diartikan sekadar ceramah
dalam arti sempit, minimal sekali kegiatan terlihat dalam bentuk majelis-majelis taklim,
khutbah-khutbah, kegiatan memperingati hari-hari besar Islam, pengajian-pengajian
agama pada momen-momen tertentu, seperti kematian, perkawinan, aqiqah,
hajatan haji, naik rumah baru dan semisalnya. Dalam skala yang lebih luas
kegiatan dakwah secara intens dilakukan melalui lembaga-lembaga sosial keagamaan
dari yang bertarap internasional, regional, nasional sampai kepada tingkat lokal.
Lembaga-lembaga pendidikan yang ber-label Islam dari tingkat paling rendah sampai
ke pendidikan tinggi juga aktif melakukan kegiatan-kegiatan dakwah.
Di kota-kota besar, kegiatan-kegiatan dakwah demikian marak karena
hampir setiap komunitas atau kelompok Muslim aktif melaksa-nakan dakwah.
Mulai dari lorong-lorong kumuh sampai ke hotel-hotel berbintang, dari kantor-
kantor pemerintah sampai perusahaan-peru-sahaan kecil dan raksasa, pada
umumnya mengadakan acara dakwah secara rutin. Bahkan kegiatan dakwah
melalui media massa demikian gencarnya sehingga setiap pagi umat Islam di
seluruh Indonesia dapat dengan bebas memilih saluran-saluran dakwah di radio dan
televisi dan atau membacanya melalui media-media cetak. Di era teknologi infor-
masi ini, internet merupakan media dakwah yang cukup menarik dan
menjanjikan di masa depan.
Kegiatan dakwah yang begitu gencar dan marak di negeri ini, dari satu
segi sangat menggembirakan karena bisa menjadi trade mark dari Islam
Indonesia di era reformasi. Tetapi dari segi lain, banyak hal yang belum memberi
kepuasan, misalnya dari aspek keberhasilan mening-katkan pemahaman
penghayatan, pengamalan, kesadaran, dan wawasan keislaman di kalangan umat Islam
itu sendiri. Yang menjadi kendala, dan sekaligus salah satu penomena menarik di
Indonesia era reformasi kini adalah munculnya d ā’ i - d ā’ i atau mubaligh-mubaligh
yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama secara formal, termasuk
artis-artis yang menjadi d ā’ i dadakan di bulan suci Ramadan. Tentu saja, plus
minus dari kemunculan artis-artis sebagai d ā’ i, meskipun pada umumnya mereka
tampil sebagai pembawa acara atau pemandu dari narasumber. Banyak kritik yang
ditujukan kepada mereka, baik dari segi kostum maupun dari segi pengetahuan agama
serta sikap dan perilaku mereka sehari-hari yang umumnya tidak sejalan dengan
tampilan mereka sebagai pembawa acara dakwah, termasuk dalam hal ini
pelawak-pelawak yang berakwah di media-media tertentu dan men-jadikan agama
sebagai bahan lawakan.
Ajaran-ajaran agama ditangkap dalam maknanya yang kaku dan tidak ada
ruang untuk interpretasi yang berbeda. Mereka seringkali membuat klaim-klaim yang
menempatnya diri dan fatwa-fatwanya sebagai yang paling benar sementara
orang atau kelompok lain diposisikan sebagai pihak yang salah dan tidak perlu
didengar, apalagi ditaati. Sikap seperti ini jelas sangat menghambat terjadinya proses
pengembangan ajaran-ajaran Islam mengikuti dinamika era reformasi yang berubah
terus-menerus.
Di sisi lain, munculnya kelompok-kelompok “sempalan” yang begitu semarak di
era reformasi merupakan problema tersendiri karena dinamika dari kelompok
tersebut begitu tinggi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya yang pada
gilirannya berdampak positif bagi pengembangan Islam. Di antara kelompok-
kelompok tersebut ada yang sangat berhasil melakukan proses “Islamisasi” khususnya
secara internal meskipun yang disentuh biasanya terbatas pada aspek ritual dan moral.
Segi negatif dari kelompok-kelompok ini adalah menyemarakkan kembali
eksklusivitas di tubuh Islam yang mestinya sedapat mungkin dihindari dan
menim-bulkan kesan semakin terpecahnya umat Islam dalam sekte-sekte.
Perpecahan umat Islam ke dalam aliran-aliran yang berdampak pada
renggangnya solidaritas dan ukhuwwah Islamiyyah merupakan masalah abadi yang
dihadapi oleh umat Islam. Bahkan boleh dikatakan bahwa masalah ini bersifat
universal untuk semua agama di dunia ini. Secara umum, khususnya di
Indonesia, kemajemukan tersebut memiliki nilai-nilai positif dan negatif. Segi
positifnya adalah terbukanya kesempatan untuk berkompetisi secara fair dalam
beramal sālih, ber-amar ma’rūf dan ber-nahi mungkar. Bahkan jalinan kerjasama
antara kelompok Islam bisa mewujudkan kekuatan Islam yang dahsyat dan
diperhitungkan. Kemaje-mukan itu juga menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang
memiliki khazanah ajaran yang sangat kaya dan memberi peluang yang luas bagi
umatnya untuk mengembangkan ajaran-ajaran agamanya sesuai dengan tuntutan
reformasi perspektif Islam. Perbedaan-perbedaan di kalangan umat Islam adalah
merupakan watak esensial dari agama yang di bawah Nabi Nabi Saw. Sisi negatifnya
adalah terbukanya potensi disintegrasi di kalangan umat Islam karena gesekan-
gesekan antar aliran dan kelompok seringkali tidak bisa dihindari. Gesekan-gesekan ini
terkadang mening-kat menjadi perseteruan tajam yang meretakkan hubungan
antar umat Islam. Sisi positif dari kemajemukan ini mestinya lebih ditonjolkan agar
umat Islam terbiasa dalam suasana perbedaan tanpa harus saling meng-klaim, benar
atau salah.
Dapat dirumuskan bahwa dalam pemetaan sejarahnya, perkem-bangan
Islam diyakini akan lebih baik di era reformasi ini dibandingkan dengan era
sebelumnya. Pada era reformasi ini organisasi-organisasi Islam semakin bertambah,
dan partai-partai Islam dalam konteks kene-garaan diberi peluang yang sangat bebas
menyampaikan aspirasinya.
C.Corak Islam Di Nusantara
Masa Kesulthanan
Di daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan hindu-buddha seperti
daerah aceh dan Minangkabau di sumatera utara dan banten di jawa,agama islam
secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama,sosial, politik penganut
penganutnya sehingga di daerah daerah tersebut agama islam itu telah menunjukkan
diri dalam bentuk yang lebih murni
Dikerajaan banjar,dengan masuknya islam raja,perekmbangan islam
selanjutnya tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan
kemudahn kemudahan lainnya dan hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat
banjar yang benar benar bersendikan islam.secara konkrit,kehidupan keagamman di
dikerajaan banjar ini di wujudkan dengan adanya mufti dan qadhi atas jasa
Muhammad arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di kerajaan ini,
telah berhasil pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada
hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam Undang-Undang
ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah Agung sekarang
yang bertugas mengontrol dan kalau perlu berfungsi sebagai lembaga untuk naik
banding dari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah Banjar, di berlakukannya hukum
bunuh bagi orang murtad, hukum potong tangan untuk pencuri dan mendera bagi
yang kedapatan berbuat zina. Guna memadu penyebaran agama Islam dipulau jawa,
maka dilakukan upaya agar Islam dan tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang
lainnya, serta dibangun masjid sebagai pusat pendidikan Islam.
Dengan kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa
kerajaan untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta
memasukkan syari'at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama
tersebut dan akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan
yang berada di bawah kekuasaannya. Ini seperti ketika di pimpin oleh Sultan Agung.
Ketika Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan
Mataram ikut pula masuk Islam seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan lain
sebagainya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan dengan
istilah-istilah keislaman, meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan arti sebenarnya.
Masa Penjajahan
Ditengah-tengah proses transformasi sosial yang relatif damai itu, datanglah
pedagang-pedagang Barat, yaitu portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan
Inggris. Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di
sepanjang pesisir kepulauan Nusantara ini.
Pada mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan
dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin
memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia. Apalagi
setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan
pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan
mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam
penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya
yang di kenal dengan politik Islam di Indonesia.
Dengan politik itu ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori,yaitu:
a.bidang agama murni atau ibadah
b.bidang sosial kemasyarakatan
c.politik
Terhadap bidang agama murni, pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan
kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak
mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan,
pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu
dicetuskanlah teori untuk membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie
yang maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan
dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam
membahas hukum Islam baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah yang menerangkan
tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan
Gerakan Dan Organisasi Islam
Akibat dari "resep politik Islam"-nya Snouck Hurgronye itu, menjelang
permulaan abad xx umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah
menghadapi tiga tayangan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide
etimpera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui
asosiasi. Namun, ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan
begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan menggunakan
taktik baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh
karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya
kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial
dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan
Islam di Mesir.
Akibat dari situasi ini, timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan
muncullah pemikir-pemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat
Islam itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama
Islamlah yang dapat di terima dalam organisasi tersebut, para pejabat dan
pemerintahan (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan antara partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan
antara pemimpin Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di
kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir yang
mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah
menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua
kubu: para cendekiawan Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama
tradisional. Selama pendudukan jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada
kaum muslimin dari pada golongan nasionalis karena mereka berusaha menggunakan
agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga perantara politik berikut ini yang
merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang yang menguntungkan kaum muslimin,
yaitu:
a. shumubu,yaitu kantor urusan agama yang menggantikan kantor urusan
pribumi zaman belanda
b. masyumi,yakni singkatan dari majelis syura muslimin Indonesia
menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943
c. hisbullah(partai allah dan angkatan allah),semacam organisasi militer
untuk pemuda pemuda muslimin yang di pimpin oleh zainul arifin.

D.Kedatangan Dan Penjajahan Bangsa Asing Di Nusantara


Kedatangan bangsa Portugis Di Nusantara
Bangsa Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan
Nusantara. Pencarian mereka untuk mendominasi sumber perdagangan rempah-
rempah yang menguntungkan pada abad ke-16 dan usaha penyebaran Katolik. Bangsa
Portugis mesuk ke Indonesia melalui Goa-India dan Malaka.
Tahun 1487, armada Portugis yang dipimpin Bartolomeus Dias mengitari
Tanjung Harapan dan memasuki perairan Samudra Hindia. Selanjutnya pada tahun
1498, pelayaran dilanjutkan di bawah pimpinan Vasco da Gama sampai di Calicut dan
Goa, India.
Kemudian pada tahun 1511 dari India, Portugis mengirim ekspedisinya di
bawah pimpinan Alfonso d’Alburquerque, mengikuti perjalanan para pedagang Islam
menuju Nusantara. Pada tahun itu juga Portugis berhasil menduduki Malaka, pusat
perdagangan Islam di Asia Tenggara.
Pada awalnya Bangsa Portugis hendak melakukan perjanjian dagang dengan
dengan Kerajaan Sunda di Parahyangan pada tahun 1512. Namun, hal itu gagal karena
mendapat penyerangan oleh raja-raja Islam di Jawa seperti Demak dan Banten yang
menguasai pantai utara Jawa.
Bangsa Portugis mengalihkan arah ke Kepulauan Maluku, yang terdiri atas
berbagai kerajaan daerah yang awalnya berperang satu sama lain. Kemudian Portugis
tiba di Ternate, Maluku tahun 1512. Awalnya masyarakat Maluku dan Sultan Ternate
menyambut baik kepada Portugis agar dapat membeli rempah-rempah dan membantu
Ternate menghadapi para musuhnya, terutama Kesultanan Tidore.

Pada saat itu, Kesultanan Ternate di Maluku diperintah oleh Kaicil Darus
meminta bantuan Portugis untuk mendirikan sebuah benteng agar terhindar dari
serangan daerah lain. Tahun 1522, Portugis mengabulkan permintaan sultan ternate
dengan mendirikan benteng Saint John. Benteng tersebut harus dibayar mahal dengan
perjanjian monopoli perdagangan rempah-rempah, perjanjian tersebut ternyata
menimbulkan kesengsaraan rakyat tidak boleh menjual rempah dengan harga bebas
karna harga sudah ditetapkan portugis dengan harga murah. Akibatnya terjadi
permusuhan antara Ternate dan Portugis.
Sebab-sebab perlawanan rakyat Ternate terhadap Portugis, antara lain:
1. Portugis melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate
sehingga merugikan rakyat.
2. Portugis memaksa Sultan Ternate mengakui kekuasaannya di Ternate.
3. Portugis membunuh Sultan Hairun sebagai raja Ternate.

Lalu Bangsa Spanyol pun tiba di Maluku, timbullah pertentangan antara bangsa
Portugis dan Spanyol, pertikaian tersebut sejalan dengan adanya pertentangan Sultan
Ternate dan Sultan Tidore. Untuk menyelesaikan pertikaian antara Portugis dan
Spanyol itu, pada tahun 1529 dilakukan perjanjian Saragosa. Isi perjanjian itu antara
lain:
1. Bumi ini dibagi atas dua pengaruh yaitu pengaruh bangsa Spanyol dan Portugis.
2. Wilayah kekuasaan Spanyol membentang Meksiko ke arah barat sampai ke
Kepulauan Filipina dan wilayah kekuasaan Portugis membentang dari Brazil ke
arah timur sampai ke Kepulauan Maluku
Kedatangan Bangsa Spanyol Di Nusantara
Bangsa Spanyol tertarik melihat keberhasilan bangsa Portugis menemukan jalur
pelayaran menuju daerah asal rempah-rempah. Semangat untuk menjelajahi samudra,
khususnya untuk mencari jalur pelayaran ke Asia terus dilakukan oleh bangsa Spanyol.
Penguasa Spanyol, Charles V, memerintahkan Ferdinand Magellan untuk menemukan
jalur langsung ke Kepulauan Maluku sebagai pusat penghasil rempah-rempah.

Berbekal pengetahuan yang dipelajarinya dari penjelajahan yang telah


dilakukan oleh Columbus dan penjelajah-penjelajah lainnya, Magellan memulai
pelayarannya dengan mengambil jalur ke arah barat-daya melintasi Samudra Atlantik,
dan sampai ke ujung selatan Benua Amerika dan melalui selat sempit yang sekarang
diberi nama Selat Magellan. Dari sana ia menyeberang ke Samudra Pasifik menuju arah
Barat dan sampai di Kepulauan Filipina pada tahun 1521.
Di kepulauan tersebut, Magellan terlibat konflik antar kerajaan. Dalam sebuah
perang, akhirnya Magellan mati terbunuh. Tewasnya Magellan tidak menjadikan
pelayaran berhenti. Akan tetapi, di bawah pimpinan Sebastian del Cano, pelayaran
terus dilakukan sampai tiba kembali di Spanyol pada tahun 1522.
Pada tahun 1521, armada dua kapal milik Spanyol berhasil mencapai Maluku
yang pada waktu itu sedang dilanda persaingan antara Ternate dan Tidore. Kondisi
demikian dimanfaatkan oleh Spanyol dengan memberikan dukungan kepada Tidore
dalam menghadapi Ternate yang juga didukung oleh kekuatan Portugis. Rombongan
Spanyol diterima baik oleh masyarakat dan dijadikan sekutu oleh Kerajaan Tidore. Hal
ini dikarenakan pada saat itu Tidore sedang bermusuhan dengan Kerajaan Ternate
yang bersekutu dengan Portugis.
Sebaliknya, kedatangan Spanyol di Maluku bagi Portugis merupakan
pelanggaran atas hak monopoli. Oleh karena itu, timbullah persaingan antara Portugis
dan Spanyol. Sebelum terjadi perang besar antara kedua bangsa tersebut yang
akhirnya diselesaikan dengan Perjanjian Saragosa. Berdasarkan perjanjian tersebut,
Spanyol harus keluar dari wilayah Maluku dan kembali ke Filipina. Sedangkan Portugis
tetap berkuasa di Maluku dan melakukan aktivitas monopoli perdagangan.
Kedatangan Bangsa Belanda Di Nusantara
Orang Belanda pertama kali masuk ke Nusantara pada tahun 1596, berpuluh-
puluh tahun setelah kedatangan Portugis dan Spanyol. Usaha pencarian rempah oleh
Belanda dipengaruhi oleh dominasi Spanyol dan Portugis, dua bangsa penguasa
terbesar pada masa itu. Awalnya, Belanda membeli rempah-rempah dari Lisbon,
Portugal. Namun, sejak Spanyol menguasai wilayah Belanda, mereka dilarang
menerima membeli rempah dari Portugis.
Sebenarnya, baik Spanyol dan Portugis mencoba merahasiakan keberadaan
kepulauan Nusantara dari bangsa lain di Eropa. Namun, terdapat awak kapal asal
Belanda dalam kapal Portugis yang melakukan penjelajahan. Orang-orang inilah yang
membuat catatan terperinci tentang seluk-beluk strategi, kelebihan, dan kekurangan
pelayaran yang dilakukan Portugis.
Kedatangan Pertama
Empat kapal Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman tiba di pelabuhan
Banten pada 27 Juni 1596. Praktik kolonialisme Belanda di Nusantara segera dimulai,
dan Cornelis de Houtman adalah pembuka jalannya. Dari Banten, rombongan ini
melanjutkan pelayaran ke arah timur dengan menyusuri pantai utara Jawa hingga ke
Bali.
Cornelis menjadi salah satu orang paling berpengaruh. Namun, Cornelis de
Houtman dikenal sebagai kapten kapal yang berperilaku buruk. Semula kedatangannya
diterima oleh orang-orang Nusantara dengan tangan terbuka. Namun, ulahnya
mengubah relasi itu menjadi perseteruan dan peperangan.
Meskipun begitu, rombongan Cornelis de Houtman berhasil kembali ke Belanda
pada 1597 dengan membawa serta banyak peti berisi rempah. Pelayaran pertama
Belanda untuk mencari rempah di Nusantara kemudian dianggap sukses.
Kedatangan Kedua
Keberhasilan rombongan de Houtman kemudian mendorong pelayaran-
pelayaran lain dari Belanda menuju wilayah Nusantara. Pada 1598, sebanyak 22 kapal
bertolak dari Belanda untuk mengikuti langkah rombongan Cornelis de Houtman.
Kapal-kapal tersebut bukan merupakan kapal pemerintah Republik Belanda (Belanda
berbentuk republik 1581 – 1806), melainkan milik perusahan-perusahaan swasta
Belanda.

Salah satu rombongan di gelombang pelayaran kedua tersebut dipimpin oleh


Jacob van Neck. Berbeda dengan de Houtman, van Neck bersikap lebih hati-hati dan
tidak mencoba melawan para penguasa lokal Nusantara. Pada Maret 1599, rombongan
van Neck berhasil mencapai Maluku yang kala itu menjadi penghasil utama rempah-
rempah dalam jumlah besar. Keberhasilan van Neck menjangkau Maluku membuatnya
untung besar saat kembali ke Belanda.
Kedatngan Ketiga
Pada tahun 1601, sebanyak 14 buah kapal dari Belanda kembali datang ke
Nusantara. Rangkaian pelayaran itu lantas diikuti dengan langkah orang-orang Belanda
memonopoli perdagangan rempah di sejumlah daerah Nusantara. Belanda sangat
berhati-hati dalam melakukan kerja sama dengan kerajaan-kerajaan daerah di
Nusantara. Mereka belajar dari kesalahan Portugis dan Spanyol. Hingga akhirnya
Belanda terbilang cukup sukses memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Dari ketiga gelombang kedatangan ini memunculkan persaingan dagang antara
perusahaan-perusahaan Belanda. Apalagi, orang-orang Belanda secara rutin
mengirimkan kapal dagangnya ke wilayah Nusantara. Persaingan ini yang mendorong
terbentuknya persatuan dagang Belanda yang disebut Vereenig de Oost Indische
Compagnie (VOC) pada tahun 1602.
Kedatangan Bangsa Inggris Di Nusantara
Bangsa Eropa yang paling akhir masuk ke Nusantara adalah Inggris. Pada waktu
itu Nusantara sudah dimonopoli oleh orang-orang Belanda. Namun, Inggris tidak
membeli rempah-rempah dari Belanda karena saat itu Belanda dikuasai oleh Spanyol
salah satu saingan Inggris. Inggris mengandalkan pembelian rempah-rempah dari
Portugal.

Namun, situasi itu tidak berlangsung lama. Setelah terjadi perang 80 Tahun
antara Inggris dan Portugal, Inggris tidak lagi mendapatkan rempah-rempah dari
Lisbon, Portugal. Orang-orang Inggris mulai melakukan pelayaran ke timur untuk
mencari rempah-rempah. Pelaut Inggris mengikuti jalur Portugis dan tiba di India.
Inggris kemudian berupaya memperkuat kedudukannya di India dengan membentuk
perusahaan dagang bernama East India Company (EIC) pada tahun 1600.
Pada awalnya Inggris telah memasuki Maluku dan tiba di Banda pada tahun
1601. Namun, di sana terjadi perselisihan dengan Belanda yang telah terlebih dahulu
tiba di Maluku.
Untuk memperkuat pengaruhnya, Pemerintah Inggris mengirim utusannya ke
Banten untuk mengadakan hubungan dagang. Rombongan Inggris yang sampai ke
Banten di tahun 1602 dipimpin oleh Sir James Lancaster. Sultan Banten kemudian
memberi izin kepada Inggris untuk mendirikan sebuah kantor dagang di daerah
Banten. Selain itu, Inggris juga berhasil mendirikan beberapa kantor dagang di daerah
lainnya seperti Ambon, Makasar, Jepara, dan Jayakarta pada tahun 1604.
BAB III
PENUTUP
a.Kesimpulan

Islam masuk ke wilayah Nusantara melalui jalur perdagangan maritim dari


dunia Arab. Para pedagang Arab berlayar dari Aden ke berbagai pelabuhan di
sepanjang anak benua India dan Asia Tenggara, termasuk Gujarat, Aceh, Jawa, dan
Kepulauan Maluku. Mereka memperdagangkan barang-barang populer seperti lonceng
perunggu dan rempah-rempah harum seperti pala dan cengkeh. Perdagangan rempah-
rempah ini sangat penting karena diangkut ke Jawa dan Sumatra untuk dijual kepada
pedagang asing. Selain itu, perdagangan kapur barus dari Barus di Sumatera dan
pelabuhan lain di Jawa memainkan peran penting dalam perdagangan wilayah
tersebut. Kehadiran koloni-koloni Arab di Sumatera bagian barat semakin mendukung
catatan sejarah pengaruh Arab di wilayah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
{Astuti2017ISLAMNS, title={ISLAM NUSANTARA: Sebuah Argumentasi Beragama dalam
Bingkai Kultural}, author={Hanum Jazimah Puji Astuti}, year={2017},
url={https://api.semanticscholar.org/CorpusID:148991105 } }
Syafrizal, A. (2015). Sejarah islam nusantara. Islamuna: Jurnal Studi Islam, 2(2), 235-
253.
Sauki, M. (2018). Perkembangan Islam di Indonesia Era Reformasi. Tasamuh: Jurnal
Studi Islam, 10(2), 443-458.
https://vanlith1.sdstrada.sch.id/2023/03/14/kedatangan-bangsa-bangsa-eropa-ke-
nusantara/

Anda mungkin juga menyukai