Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas berkatrahmat


dan hidayahnya akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
‘Dakwah Islam di Nusantara’. Berdasarkan sumber-sumber yang kami dapat dari
luar maupun dari dalam, walaupun masih banyak kekurangan. Makalah ini dimaksudkan
untuk memberikan informasi mengenai dakwah Islamdi Nusantara (Indonesia),
juga memberikan penjelasan yang jelas mengenai proses masuknya islam ke Nusantara
serta menjelaskan Islam pada masa yang akan datang.

Diharapkan bahwa makalah ini membantu pembaca untuk memahami dengan lebih baik
tentang sejarah masuknya islam ke Nusanara. Kami menyadari bahwa makalah ini belum
sempurna, disebabkan karena terbatasnya kemampuan kami, oleh karena itu saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat kami perlukan dari pembaca terutama dari Bapak Dosen Mata
Kuliah Islam Nusantara. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Temanggung, 26 September 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................1

Daftar Isi .........................................................................................................2

BAB I Pendahuluan .......................................................................................3

1.1 Latar Belakang...........................................................................................3


1.2 Tujuan ....................................................................................................... 3

BAB II Pembahasan ......................................................................................4

2.1 Sejarah Dakwah Islam di Nusantara .........................................................4


2.2 Tokoh-Tokoh Perkembangan Islam di Nusantara ....................................12
2.3 Lima Pilar Islam Nusantara ......................................................................15

BAB III Kesimpulan ......................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................19

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Nusantara dikenal sebagai
pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah
ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan
berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar
Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian,
terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan
menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan
cengkeh yang berasal dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk
kemudian dijual kepada para pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di
Sumatra dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi para pedagang
asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa
dan Gresik di Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur
Tengah. Mereka tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi
ada juga yang berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama
Islam telah ada di Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab
tersebut. Meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulsan makalah ini yaitu untuk menjelaskan dan
membahas tentang :
1) Sejarah dakwah islam di nusantara
2) Tokoh-tokoh perkembangan islam di nusantara
3) Lima Pilar Islam Nusantara

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Dakwah Islam di Nusantara

Islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw pada
sekitar abad ke-7 Masehi yang berpusat di Mekah-Madinah. Agama ini
berkembang dengan begitu cepat setelah kurang lebih 23 tahun dari kelahirannya.
Setelah Rasulullah wafat kepemimpinan umat Islam diganti oleh Khalifah Abu
Bakar al-Siddiq, lalu dilanjutkan Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa Umar
Islam mulai tersebar ke Syam, Palestina, Mesir, dan Irak. Kemudian pada masa
khalifah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Bani Umayah, dan Bani
Abasiyyah Islam telah menyebar ke Tiongkok Cina bahkan ke seluruh penjuru
dunia.
Islam sebagai agama rahmatan li al-‘ālamīn diterima di masyarakat karena
ajaran yang dibawa mudah dimengerti yakni tentang aqidah, syariah, dan akhlak.
Di dalamnya tidak terdapat perbedaan antara suku, ras, dan negara. Semuanya
satu dalam naungan Islam. Ajaran ini tersebar melalui perdagangan, pendidikan,
dan budaya bukan dengan menjajah. Hal ini yang membedakan dengan ajaran lain
sehingga membutuhkan waktu lama untuk diterima oleh masyarakat.
Bersamaan dengan itu, Islam menyebar luas, sampai pula ke Nusantara, Asia
Selatan, Afrika, China, dan Eropa, lewat para ulama, sufi, pendidik, dan penyebar
Islam. Para pendakwah mendasarkan pada pegangan al-Qur’an, sunnah,
kesepakatan para sahabat, pendapat-pendapat pendahulu Islam, dan kreativitas
mereka dalam mengajarkan Islam di tanah-tanah yang dijangkau; dan pada saat
yang sama, di antara para pendakwah itu ada yang terus mempraktikkan tradisi
dzikir yang diperoleh dari pendahulunya sampai kepada Nabi Muhammad, berupa
dzikir-dzikir tarekat, di samping tetap melakoni dzikir-dzikir yang diajarkan Nabi
Muhammad yang didokumentasi oleh kitab-kitab hadits.
Perluasan wilayah Islam yang membentang itu, di mana- mana mewujud,
ada yang dalam bentuk dan ekspresi keIslaman yang sama, tetapi juga ada corak-
corak tertentu yang menjadi karakternya di wilayah-wilayah tertentu, terutama
karena menghadapi masyarakat, adat, dan situasi politik-ekonomi- budaya yang

4
berbeda-beda. Islam yang dikembangkan dengan berpijak pada tradisi gurun, akan
berbeda dengan yang berpijak dari tradisi sungai-sungai, pertanian, dan pesisir,
seperti misalnya di Nusantara ini.
Dalam hal demikian, Isnus menjadi bagian dari nubuatan Islam rahmatana
lil `alamin yang diberitakan al-Qur’an dan dibawa Nabi Muhammad, yang sampai
ke wilayah Nusantara. Islam yang datang di wilayah ini berpijak pada
masyarakat yang bercorak pesisir dan agraris sekaligus, bercorak sungai-sungai,
dipisah-pisahkan oleh laut. Di samping itu, Nusantara telah didahului oleh agama-
agama lain, yaitu Hindu-Budha dan keyakinan-keyakinan lama yang masih ada.
Islam datang kemudian dikembangkan dengan cara yang sesuai keadaan dan corak
masyarakatnya, sehingga diterima dan mampu berkembang secara apik,
meskipun di sana-sini juga sering dijumpai titik-titik lemahnya.
Isnus menjadi ekspresi orang-orang Nusantara yang beragama Islam yang
mengikuti Nabi Muhammad, lewat al-Qur’an, as-sunnah, Ijma, qiyas, kata-kata dan
pendapat para salaf yang shalih, lewat mimpi-mimpi yang benar dan mukasyafah;
yang diterapkan dalam konteks Nusantara oleh para pembawanya, para
penyebarnya, dan para ulama sufi yang menopangnya, yang bergulat dengan
keadaan, dengan politik, budaya, dan keadaan di Nusantara, sesuai dengan
tantangannya yang membawakan satu corak tertentu, corak yang tetap memiliki
kekentalan warna Nusantara-nya.
Bisa saja corak Isnus nilai-nilainya ada di tempat lain dan memiliki
kesamaan, meski bentuk-bentuk dan ekspresi olahan tradisinya berbeda; metode-
metode yang dilakukan para pembawanya berbeda; dan karya-karya yang
dihasilkannya berbeda. Dan, hal demikian tidak masalah, karena justru
membuktikan nubuatan Islam rahmatan lil 'alamin di dalam al-Qur’an semakin
memperoleh kenyataan di berbagai belahan dunia. Apalagi sudah jelas, Isnus
bukan sebuah keunikan yang dihadapkan dengan keantikan-keantikan lain.
Isnus adalah sebuah pandangan hidup, keyakinan-keyakinan, dan seperangkat
khazanah yang dimiliki oleh masyarakat pendukung Isnus.
Seiring luasnya area perdagangan, Islam mulai memasuki Nusan-tara, dan
mulai tersebar ajarannya. Untuk bisa mengetahui kapan dan di mana
penyebarannya harus merujuk kepada sejarah. Sejarah Islam Nusantara

5
merupakan sebuah topik yang sering diperbincangkan. Meskipun demikian masih
banyak kerancuan fakta tentang masuknya pengaruh Islam ke Nusantara
(Indonesia). Dimulai dari kapan masuknya dan di mana tempatnya. Hal ini
merupakan pertanyaan yang sulit diungkap karena terdapat fakta-fakta yang tidak
tertulis, sehingga menimbulkan perbedaan penda- pat para ahli sejarah.

Teori Masuknya Islam ke Nusantara


Sejak awal abad masehi telah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antar
pulau atau antar daerah. Kawasan timur yang meliputi kepulauan India Timur dan
Pesisir Selatan Cina sudah memiliki hubungan dengan dunia Arab melaluia
perdagangan. Pedagang Arab datang ke Nusantara melalui jalur laut dengan rute
dari Aden menyisir pantai menuju Maskat, Raisut, Siraf, Guadar, Daibul, Pantai
Malabar yang meliputi Gujarat, Keras, Quilon, dan Kalicut kemudian menyisir
pantai Karamandel seperti Saptagram ke Chitagong (pelabuhan terbesar di
Bangladesh), Akyab (sekarang wilayah Myanmar), Selat Malaka, Peureulak
(Aceh Timur), Lamno (pantai barat Aceh), Barus, Padang, Banten, Cirebon,
Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel, Makasar, Ternate, dan Tidore.
Barang dagangan yang populer adalah nekara perunggu (dari Vietnam).
Nekara ini tersebar hingga ke seluruh pelosok nusantara. Per- dagangan nekara ini
bersumber dari berita Cina pada awal abad masehi yang menyebut Sumatera,
Jawa, serta Kalimantan. Dan yang terpenting adalah Maluku merupakan wilayah
yang menarik bagi para pedagang. Maluku merupakan penghasil rempah-rempah
yakni pala dan cengkeh. Dalam proses penjualan rempah-rempah tersebut dibawa
ke pulau Jawa dan Sumatera. Kemudian dipasarkan kepada pedagang asing dan
dibawa ke negeri asalnya.
Kapur barus menjadi dagangan yang terkenal. Hal ini bersumber dari India
kuno bahwa semenjak permulaan abad ma- sehi sampai abad ke-7 Masehi terdapat
pelabuhan yang sering disinggahi oleh pedagang asing antara lain Lamuri (Aceh),
Barus dan Palembang. Sedangkan di Pulau Jawa antara lain Sunda Kelapa dan
Gresik. Sejak tahun 674 M telah ada kolonial Arab di bagian barat Pulau
Sumatera. Ini merupakan berita dari Cina yang menyebutkan bahwa terdapat
seorang Arab yang menjadi pemimpin di koloni bangsa Arab di pantai barat

6
Sumatera. Besar kemungkinan pantai barat Sumatera tersebut ialah Barus yang
menghasilkan kapur Barus.
Dari uraian di atas dapat diperkirakan bahwa Islam sudah masuk ke
Nusantara sejak awal abad Hijriah. Meskipun sifatnya masih dianut oleh bangsa
asing dan belum ada pengakuan dari pribumi yang beragama Islam. Jelaslah
sejarah bagaimana Islam datang ke Indonesia akan tetapi yang menjadi pertanyaan
di atas ialah kepastian asal kedatangan, pemba- wanya, tempat yang didatangi,
waktu, dan bukti sejarah. Perbedaan sudut pandang dan bukti-bukti tersebut
menyebabkan beragamnya teori-teori masuknya Islam ke Indonesia. Berdasarkan
tempat terdapat lima teori tentang masuknya Islam ke Nusantara, sebagaimana
uraian berikut.
Pertama, teori Arab. Teori ini menyatakan bahwa Islam dibawa dan
disebarkan ke Nusantara langsung dari Arab pada abad ke-7/8 M, saat Kerajaan
Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya. Tokoh-tokoh teori ini adalah
Crawfurd, Keijzer, Niemann, de Hollander, Hasymi, Hamka, Al-Attas,
Djajadiningrat, dan Mukti Ali. Bukti-bukti sejarah teori ini sangat kuat. Pada abad
ke-7/8 M, selat Malaka sudah ramai dilintasi para pedagang muslim dalam
pelayaran dagang mereka ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur.
Berdasarkan berita Cina Zaman Tang pada abad tersebut, masyarakat
muslim sudah ada di Kanfu (Kanton) dan Sumatera. Ada yang berpendapat
mereka adalah utusan-utusan Bani Umayah yang bertujuan penjajagan
perdagangan. Demikian juga Hamka yang berpendapat bahwa Islam masuk ke
Indonesia tahun 674 M. Berdasarkan Catatan Tiongkok, saat itu datang seorang
utusan raja Arab bernama Ta Cheh atau Ta Shih (kemungkinan Muawiyah bin
Abu Sufyan) ke Kerajaan Ho Ling (Kalingga) di Jawa yang diperintah oleh Ratu
Shima. Ta-Shih juga ditemukan dari berita Jepang yang ditulis tahun 748 M.
Diceritakan pada masa itu terdapat kapal-kapal Po-sse dan Ta-Shih K- Uo.
Menurut Rose Di Meglio, istilah Po-sse menunjukan jenis bahasa Melayu
sedangkan Ta-Shih hanya menunjukan orang-orang Arab dan Persia bukan
Muslim India. Juneid Parinduri kemudian memperkuat lagi, pada 670 M, di Barus
Tapanuli ditemukan sebuah makam bertuliskan Ha- Mim. Semua fakta tersebut
tidaklah mengherankan mengingat bahwa pada abad ke-7, Asia Tenggara memang

7
merupakan lalu lintas perda- gangan dan interaksi politik antara tiga kekuasaan
besar, yaitu Cina di bawah Dinasti Tang (618-907), Kerajaan Sriwijaya (abad ke-
7-14), dan Dinasti Umayyah (660-749).
Dari uraian di atas dapat dipastikan bahwa bangsa Arab berperan penting
dalam perdagangan. Dan telah ditemukan bukti-bukti yang me- nunjukan bahwa
telah terjadi interaksi perdagangan antara Cina, Arab dan Nusantara. Sehingga
Islam sudah mulai masuk ke dalam kepulauan Nusantara.
Kedua, teori Cina. Dalam teori ini menjelaskan bahwa etnis Cina Muslim
sangat berperan dalam proses penyebaran agama Islam di Nusan- tara. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya pada teori Arab, hubungan Arab Muslim dan
Cina sudah terjadi pada Abad pertama Hijriah. Dengan demikian, Islam datang
dari arah barat ke Nusantara dan ke Cina berba- rengan dalam satu jalur
perdagangan. Islam datang ke Cina di Canton (Guangzhou) pada masa
pemerintahan Tai Tsung (627-650) dari Dinasti Tang, dan datang ke Nusantara di
Sumatera pada masa kekuasaan Sriwijaya, dan datang ke pulau Jawa tahun 674 M
berdasarkan kedatang- an utusan raja Arab bernama Ta cheh/Ta shi ke kerajaan
Kalingga yang di perintah oleh Ratu Sima.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Islam datang ke
Nusantara berbarengan dengan Cina. Akan tetapi teori di atas tidak menjelaskan
tentang awal masuknya Islam, melainkan peranan Cina da- lam pemberitaan
sehingga dapat ditemukan bukti-bukti bahwa Islam da- tang ke Nusantara pada
awal abad Hijriah.
Ketiga, teori Persia. Berbeda dengan teori sebelumnya teori Persia lebih
merujuk kepada aspek bahasa yang menunjukan bahwa Islam telah masuk ke
Nusantara dan bahasanya telah diserap. Seperti kata “Abdas” yang dipakai oleh
masyarakat Sunda merupakan serapan dari Persia yang artinya wudhu. Bukti lain
pengaruh bahasa Persia adalah bahasa Arab yang di- gunakan masyarakat
Nusantara, seperti kata-kata yang berakhiran ta’ marbūthah apabila dalam
keadaan wakaf dibaca “h” seperti shalātun dibaca shalah. Namun dalam bahasa
Nusantara dibaca salat, zakat, tobat, dan lain-lain.
Keempat, teori India. Teori ini menyatakan Islam datang ke Nusantara
bukan langsung dari Arab melainkan melalui India pada abad ke-13. Dalam teori

8
ini disebut lima tempat asal Islam di India yaitu Gujarat, Cambay, Malabar,
Coromandel, dan Bengal.11 Teori India yang menjelaskan Islam berasal dari
Gujarat terbukti mempunyai kelemahan- kelemahan. Hal ini dibuktikan oleh G.E.
Marrison dengan argumennya “Meskipun batu-batu nisan yang ditemukan di
tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari Gujarat atau Bengal,
seperti yang dikatakan Fatimi. Itu tidak lantas berarti Islam juga didatangkan dari
sana”. Marrison mematahkan teori ini dengan menuujuk pada kenyataan bahwa
ketika masa Islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698
H/1297 M, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian
Gujarat ditaklukan oleh kekuasaan muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam,
pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Malikush
Shaleh. Dari teori yang dikemukakan oleh G.E. Marrison bahwa Islam Nusantara
bukan berasal dari Gujarat melainkan dibawa para penyebar muslim dari pantai
Koromandel pada akhir abad XIII.
Teori yang dikemukakan Marrison kelihatan mendukung pendapat yang
dipegang T.W. Arnold. Menulis jauh sebelum Marrison, Arnold ber- pendapat
bahwa Islam dibawa ke Nusantara, antara lain dari Koromandel dan Malabar. Ia
menyokong teori ini dengan menunjuk pada persamaan mazhab fiqh di antara
kedua wilayah tersebut. Mayoritas muslim di Nusantara adalah pengikut Mazhab
Syafi‟i, yang juga cukup dominan di wilayah Koromandel dan Malabar, seperti
disaksikan oleh Ibnu Batutah (1304-1377), pengembara dari Maroko, ketika ia
mengunjungi kawasan ini. Menurut Arnold, para pedagang dari Koromandel dan
Malabar mem- punyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan
Nusantara. Sejumlah besar pedagang ini mendatangi pelabuhan-pelabuhan dagang
dunia Nusantara-Melayu, mereka ternyata tidak hanya terlibat dalam per-
dagangan, tetapi juga dalam penyebaran Islam.
Kelima, teori Turki. Teori ini diajukan oleh Martin Van Bruinessen yang
dikutip dalam Moeflich Hasbullah. Ia menjelaskan bah- wa selain orang Arab dan
Cina, Indonesia juga diislamkan oleh orang- orang Kurdi dari Turki. Ia mencatat
sejumlah data. Pertama, banyaknya ulama Kurdi yang berperan mengajarkan
Islam di Indonesia dan kitab- kitab karangan ulama Kurdi menjadi sumber-sumber
yang berpengaruh luas. Misalkan, Kitab Tanwīr al-Qulūb karangan Muhammad

9
Amin al- Kurdi populer di kalangan tarekat Naqsyabandi di Indonesia. Kedua, di
antara ulama di Madinah yang mengajari ulama-ulama Indonesia terekat
Syattariyah yang kemudian dibawa ke Nusantara adalah Ibrahim al- Kurani.
Ibrahim al-Kurani yang kebanyakan muridnya orang Indonesia adalah ulama
Kurdi. Ketiga, tradisi barzanji populer di Indonesia dibaca- kan setiap Maulid
Nabi pada 12 Rabi‟ul Awal, saat akikah, syukuran, dan tradisi-tradisi lainnya.
Menurut Bruinessen, barzanji merupakan nama keluarga berpengaruh dan syeikh
tarekat di Kurdistan. Keempat, Kurdi merupakan istilah nama yang populer di
Indonesia seperti Haji Kurdi, jalan Kurdi, gang Kurdi, dan seterusnya. Dari fakta-
fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa orang-orang Kurdi berperan dalam
penyebaran Islam di Indonesia.
Dari teori-teori tersebut tampak sekali bahwa fakta-fakta Islami- sasi
diuraikan dengan tidak membedakan antara awal masuk dan masa perkembangan
atau awal masuk dan pengaruh kemudian. Kedatangan Islam ke Nusantara telah
melalui beberapa tahapan dari individualis, kelompok, masyarakat, negara
kerajaan, sampai membentuk mayoritas.
Teori Persia, India, Cina, dan Turki semuanya menjelaskan ten- tang
pengaruh-pengaruh setelah banyak komunitas dan masyarakat muslim di
Nusantara. Jadi, sebenarnya teori tersebut tidak menggugurkan atau melemahkan
teori sebelumnya, tetapi melengkapi proses Islamisasi.

Strategi Penyebaran Islam di Nusantara


Dalam penyebaran Islam di Nusantara terdapat strategi yang di- lakukan
sehingga Islam lebih mudah diterima dibandingkan dengan aga- ma lain. Strategi
yang dilakukan bermacam-macam dan tidak terdapat unsur paksaan. Di antara
strategi penyebaran islam tersebut adalah:
Pertama, melalui jalur perdagangan. Awalnya Islam merupakan komunitas
kecil yang kurang berarti. Interaksi antar pedagang muslim dari berbagai negeri
seperti Arab, Persia, Anak Benua India, Melayu, dan Cina yang berlangsung lama
membuat komunitas Islam semakin ber- wibawa, dan pada akhirnya membentuk
masyarakat muslim. Selain ber- dagang, para penyebar agama Islam dari berbagai

10
kawasan tersebut, juga menyebarkan agama yang dianutnya, dengan
menggunakan sarana pela- yaran.
Kedua, melalui jalur dakwah bi al-hāl yang dilakukan oleh para muballigh
yang merangkap tugas menjadi pedagang. Proses dakwah ter- sebut pada mulanya
dilakukan secara individual. Mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban syari‟at
Islam dengan memperhatikan kebersihan, dan dalam pergaulan mereka
menampakan sikap sederhana.
Ketiga, melalui jalur perkawinan, yaitu perkawinan antara peda- gang
Muslim, muballigh dengan anak bangsawan Nusantara. Berawal dari kecakapan
ilmu pengetahuan dan pengobatan yang didapati dari tun- tunan hadits Nabi
Muhammad Saw. ada di antara kaum muslim yang be- rani memenuhi sayembara
yang diadakan oleh raja dengan janji, bahwa barang siapa yang dapat mengobati
puterinya apabila perempuan akan dijadikan saudara, sedangkan apabila laki-laki
akan dijadikan menantu. Dari perkawinan dengan puteri raja lah Islam menjadi
lebih kuat dan ber- wibawa.
Keempat, melalui jalur pendidikan. Setelah kedudukan para peda- gang
mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar seperti Gresik.
Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan
penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam di kerajaan Samudra
Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan
mengirim muballigh lokal, di antara- nya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke
Jawa.
Kelima, melalui jalur kultural. Awal mulanya kegiatan islamisasi selalu
menghadapi benturan denga tradisi Jawa yang banyak dipengaruhi Hindu-Budha.
Setelah kerajaan Majapahit runtuh kemudian digantikan oleh kerajaan Islam. Di
Jawa Islam menyesuaikan dengan budaya lokal sedang di Sumatera adat
menyesuaikan dengan Islam.
Islam terus berkembang dan menyebar dari masa ke masa hingga sekarang
melalui tahapan-tahapan dan jasa para mubaligh. Meskipun demikian masih
terdapat perbedaan-perbedaan dalam cara ibadah disebabkan oleh faktor kultural.
Maka apa yang harus dilakukan oleh para penerus bangsa Indonesia untuk dapat
menyatukan pemahaman tentang Islam.

11
2.2 Tokoh-tokoh Perkembangan Islam di Nusantara

1. K.H. Abdurrahman Wahid

Pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai Islam Nusantara yakni: Islam


Nusantara menurut Abdurrahman Wahid, lebih cenderung menyebutnya sebagai
pribumisasi Islam. Hal demikian diperlukan karena itu adalah kebutuhan
masyarakat Nusantara, bukan Jawanisasi atau sinkretisme, namun pribumisasi
Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan
budaya, sebab polarisasi demikian memang tak terhindarkan. Lebih lanjut
pribumisasi Islam menurut Abdurrahman Wahid sebagai kebutuhan untuk
mempertimbangkan kebutuhaan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-
hukum agama, tanpa menambah hukum itu sendiri. Juga bukan untuk
meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu mampu
menampung kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang
disediakan oleh variasi nash dengan tetap memberikan peranan kepada usul fiqh
dan kaidah fiqh. Pribumisasi Islam bagi Wahid adalah bagian dari sejarah Islam,
baik di negeri asalnya maupun negara lain, termasuk Indonesia.

Sebagai contoh; haramnya berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan


yang non-mahram. Namun ketika ketentuan ini masuk di Indonesia masyarakat
telah memiliki berbagai macam kebudayaan, misalnya orang Sunda memiliki
budaya jabat tangan dengan menyentuh ujung jari. Adapun pendekatan yang
digunakan oleh Abdurrahman Wahid untuk membahas pribumisasi Islam yakni
pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini penting untuk memahami masalah-
masalah dasar yang dihadapi bangsa dan bukan berusaha memaksakan agendanya
sendiri. Pada intinya pribumisasi Islam ataupun Islam Nusantara adalah
bagaimana mengkomunikasikan antara ajaran nash dengan budaya-budaya yang
ada di Nusantara tanpa menghilangkan esensi dari sumber ajaran umat Islam, dan
tetap memperkokoh kembali akar budaya dengan tetap menciptakan masyarakat
taat beragama.

12
2. Prof. Azyumardi Azra

Islam Nusantara bagi Prof Azymardi Azra, bukan wacana yang baru
namun Islam Nusantara juga mengacu pada Islam di gugusan kepulauan atau
benua maritim, yang tidak hanya mencakup Indonesia, tetapi juga mencakup
wilayah muslim Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura. Bagi Prof
Azymardi Azra secara mendasar Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga
unsur. Pertama, kalam teologi Asy‘ariyah; Kedua, fikih Syafi‘i meski juga
menerima tiga mazhab fiqih sunni lain; Ketiga, tasawuf al-Ghazali. Di samping
itu, Islam Nusantara tidak hanya pada konteks tradisi dan praktek keislaman yang
kaya dan penuh nuansa, tetapi juga dalam kehidupan sosial, budaya dan politik.
Karena itu, penyebutan Islam Nusantara dengan memandang praktek keagamaan
menjadi valid.Islam bagi Prof Azymardi Azra tetap satu hanya pada level
alQur‘an, namun dalam Islam tidak bisa terlepas dari konteks pembaruan budaya
yang ada di Nusantara.

Sebagai contoh Prof Azymardi Azra mengungkapkan bahwa ketika abad


17 para ulama‘ Jawi (Nusantara) yang kembali dari Mekkah dan Madinah-pusat
jaringan ulama kosmopolitan di mana mereka termasuk dalam
mengkonsolidasikan doktrin dan praksis ortodoksi Islam Nusantara sampai saat
ini. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa Islam Nusantara telah berbaur
dengan kondisi politik, sosial, ekonomi, masyarakat Nusantara, oleh karenanya
Islam Nusantara telah terbentuk menjadi ranah budaya Islam (Islamic cultural
spheres). Nusantara mengandung sejumlah faktor pemersatu yang membuat kaum
muslimin Indonesia dari bermacam suku, etnis, tradisi dan budaya. Adapun faktor
pemersatu itu adalah adanya tradisi keulamaan dan keilmuan Islam yang sama,
bahasa Melayu sebagai lingua franca. Lebih lanjut Azra mengatakan Islam
Nusantara harus memiliki sifat yang inklusif, akomodatif, toleran dan dapat hidup
berdampingan secara damai baik secara internal kaum muslimin maupun dengan
umat yang lain.

13
3. Prof. Din Syamsudin
Islam Nusantara bagi Din Syamsudin memiliki basis yang sangat kuat di
negara ini, karena bagaimana melihat pembentukan negara bertumpu pada dua
konsensus bangsa, yaitu cita-cita bangsa dan ideologi negara. Hal ini termaktub
dalam trilogi cita-cita nasional yaitu wujudnya: (1) Negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; (2) Berkehidupan kebangsaan
yang bebas dan; (3) Pemerintahan negara Indonesia untuk melindungi segenap
bangsa dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Indonesia memang negara majemuk dan multi-etnis, namun Islam


Nusantara hadir untuk merangkul itu semua dengan terus memegang landasan
bersama common platform dan acuan bersama common denominator. Menurut
Din Syamsudin Pancasila adalah common platform dan common denominator
bagi bangsa Indonesia. Meminjam istilah dalam al-Qur‘an, bahwa Pancasila dapat
dipandang sebagai kalimatun sawa' pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk.
NKRI sebagai negara yang majemuk oleh karenanya semua warga negara dituntut
untuk memberikan pengabdian dan selalu menjaga perdamaian, menghargai
kebudayaan yang ada, berdialog sebagai identitas Islam yang hidup di Nusantara.

4. K.H. Sahal Mahfudh

Islam Nusantara dalam pandangan Kyai Sahal yakni Islam yang memiliki
bungkus Indonesia namun isinya Islam. Di samping itu juga dari sikap
keterbukaan dalam menghadapi globalisasi dengan indigenisasi, menekankan
keunikan budaya. Islam Nusantara adalah Islam yang berkemajuan. Islam
Nusantarayakni cara muslim hidup di Nusantara di era sekarang ini dalam
menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh, bukan hanya pada wilayah ubudiyah
tapi juga muamalah dan awâid. Dalam domain ubudiyah aturan bersifat permanen
tak memberi tempat bagi inovasi. Sedangkan wilayah muamalah dan awâid
aturannya bersifat fleksibel dan dinamis seiring dengan dinamika perubahan ruang
waktu dengan tetap berporos pada kemaslahatan. Mereka menghargai konteks

14
lokal semangat zaman memastikan bahwa maslahat sebagai tujuan syari‘ah betul-
betul membumi untuk kemanusiaan.

5. Prof. K.H. Said Aqil Siroj

Kyai Said Aqil Siroj berangkat dari pemahaman Aswaja dalam


menyebarkan Islam Nusantara. Ia melihat penyebaran Islam yang dilakukan oleh
nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Begitu juga Ahlussunnah Waljamaah
dapat dilihat pada konteks penyebaran Islam di Nusantara. Paham Aswaja sangat
terkait dengan Islam Nusantara, hal ini dapat dilihat pada konteks kehidupan
beragama di masyarakat Indonesia.20 Paham Aswaja tidak bertentangan dengan
Islam Nusantara, karena jiwa kebangsaan NU mengacu pada kekayaan sejarah dan
budaya Nusantara.

Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi,


pluralitas, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. NU sejak
awal berdirinya tidak pernah menyingkirkan nilai-nilai lokal. Sebaliknya ia
berakulturasi dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat. Proses akulturasi
tersebut melahirkan Islam yang berwajah yang ramah terhadap nilai budaya
setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi dan kepercayaan serta
warisan Nusantara. Lebih lanjut Said Aqil Siroj, mengatakan kemampuan praktis
NU memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas dalam kehidupan
beragama melahirkan wawasan dan orientasi politik subtantif.

2.3 Lima Pilar Islam Nusantara


Isnus dapat berkembang, hidup, dan didinamiskan terus di jagad Nusantara,
karena memiliki pilar-pilar yang menyangganya, dengan segala kelemahan dan
kelebihannya. Pilar-pilar Isnus ini menjadi pusat pengembangan Islam rahamatan
lil `alamin di seluruh Nusantara. Adapun lima pilar tersebt antara lain:
1) Masjid (Surau, Tajug, Langgar, dan Sejenisnya)
Di masa lalu, masjid atau bangunan sejenis yang lebih kecil seperti surau,
tajug, dan langgar, menjadi pusat kebudayaan dan penggemblengan kader, di
samping menjadi tempat menjalankan ritual. Masjid menjadi alternatif untuk
membangun gerakan masyarakat Isnus. Memang peran masjid saat ini mulai

15
bergeser, karena banyak perkembangan baru di kalangan masyarakat. Akan
tetapi masjid tetap menjadi penting dan menjadi pusat kegiatan masyarakat Isnus.
2) Dayah (Pesantren dan gedung pendidikan lainnya)
Dayah atau pesantren merupakan pilar kedua yang menyangga Isnus.
Dari dayah ini, nilai-nilai Isnus diilmui dan ditransformasikan. Dari dayah pula,
kaderisasi pemimpin masyarakat Isnus terus dilakukan. Peran pesantren untuk
mengembangkan Isnus luar biasa besarnya. Oleh karena itu, perhatian
terhadap pesantren harus dilakukan secara serius dan kuat. Karena pilar yang
dimiliki masyarakat Isnus banyak bertumpu pada pesantren, yang biasanya
bersebelahan dengan masjid. Baru setelah itu, diperhatikan hal-hal lain, tentang
dunia pendidikan, sekolah, kursus, universitas, dan yang lain. Tanpa ada perhatian
yang serius secara terorganisir terhadap dayah dan pesantren, Isnus tentu akan
mengalami degradasi, involusi, dan al-azmah al- iqtishadiyah, kemunduran.
3) Makam
Makam merupakan pilar penting dalam Isnus, karena dari makam inilah
dikonstruksi pengetahuan dan nilai-nilai Isnus, baik berupa pengetahuan
mukasyafah-musyahadah, pengokohan adat, atau pusat pengembangan
spiritualitas; dan bahkan pusat pertahanan kebudayaan. Memelihara dan
menjadikan makam-makam para wali, para leluhur dan orang- orang tua di
kalangan masyarakat Isnus, akan ikut menentukan hidup dan matinya Isnus di
tengah masyarakat. Di tengah situasi pertumbuhan kalangan non Isnus yang
menyasar makam-makam keramat dan wali, memperhatikan makam merupakan
bagian inheren dalam mempertahankan pilar- pilar Isnus. Mempertahankannya
berarti mengilmui kembali tentang makam dan menempatkannya sebagain bagian
gerakan kebudayaan di dalam Isnus, dengan seperangkat tradisi Isnus yang ada
4) Tarekat
Tarekat menjadi pilar penting untuk mencetak kader pemberani
sekaligus spiritualis di kalangan Isnus. Jumlahnya sangat banyak dan diorganisir
dari desa-desa sampai kota di seantero masyarakat Isnus. Kehidupan mereka
menampakkan ketenangan, tetapi sekaligus juga keberanian. Seperti gunung, pada
dasarnya mereka terus menerus bergerak walau kelihatan semilir di permukaan.

16
Para pemberani, pejuang, dan mujahid Isnus banyak tumbuh dari lingkungan
mereka ini. Para wali juga banyak muncul dari tempaan dunia tarekat.
Yang diperlukan berkaitan dengan tarekat adalah memelihara terus menerus
hubungan kerjasama di antara mereka untuk membentengi nilai-nilai Isnus, yang
inheren adalah nilai-nilai tarekat; berhadapan dengan upaya-upaya merusaknya,
lewat politik praktis dan lewat gempuran Islam- Islam anyaran yang anti tradisi.
5) Tradisi
Pilar tradisi memainkan hal vital dalam Isnus. Dari tradisi inilah hasil-
hasil dari peradaban Isnus bisa dilihat dan dikembangkan. Tradisi-tradisi ini
bisa berupa tradisi-tradisi rakyat, seni, ritual, ngaji kitab, dan hasil-hasil karya yang
dibuat para imam-alim-wali di kalangan pemimpin dan cendekiawan Isnus yang
mesti diperlihara dan dikembangkan. Perbedaaan satu sama lain memang ada,
tetapi itu justru akan menambaha kekayaan warisan dan peradaban Isnus. Menjaga
mereka di tengah gempuran keadaan dan tantangan, tidak hanya upaya
mempraktikkan terus menerus tradisi yang ada, tetapi juga mengilmui kembali
dengan cara-cara baru yang selaras dengan hal-hal lama.
Kelima pilar dalam masyarakat Isnus ini, sekarang tetap bertahan dan
berkembang, menjadi penyangga pengembangan Islam yang rahamtan lil `alamin.
Dari mereka lahir banyak kader-kader baru dan karya-karya baru. Meskipun di
sana- sini ada tantangan dari dunia moderen dan dari faham-faham non Isnus,
tetapi justru tantangan ini menjadikan pilar-pilar tersebut mestilah disentuh
dalam dinamisasi di kalangan generasi Isnus, bukan malah ditinggalkan. Jelas ini
tilikan yang penting bagi generasi baru.

17
BAB III

KESIMPULAN

Islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw pada
sekitar abad ke-7 Masehi yang berpusat di Mekah-Madinah. Agama ini
berkembang dengan begitu cepat setelah kurang lebih 23 tahun dari kelahirannya.
Islam sebagai agama rahmatan li al-‘ālamīn diterima di masyarakat karena ajaran
yang dibawa mudah dimengerti yakni tentang aqidah, syariah, dan akhlak. Islam
menyebar luas, sampai pula ke Nusantara, Asia Selatan, Afrika, China, dan Eropa,
lewat para ulama, sufi, pendidik, dan penyebar Islam.

Terdapat lima teori masuknya Islam di Indonesia  yang mengungkapkan


tentang asal mula Islam  berkembang di Nusantara, diantaranya adalah teori
Gujarat, teori Persia, teori Makkah, teori China, teori Maritim. Islam menyebar di
Indonesia melalui berbagai cara, yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf,
pendidikan, budaya, dakwah. Serta beberapa tokoh yang berjuang dalam dawah
Islam di Nusantara antara lain K.H. Abdurrahman Wahid. Prof. Azyumardi Azra,
Prof. Din Syamsudin, K.H. Sahal Mahfudh, dan Prof. K.H. Said Aqil Siroj.

Islam Nusantara dapat berkembang, hidup, dan didinamiskan terus di jagad


Nusantara, karena memiliki pilar-pilar yang menyangganya, dengan segala
kelemahan dan kelebihannya. Lima pilar tersebut diantaranya adalah masjid
(Surau, Tajug, Langgar, dan Sejenisnya). dayah (Pesantren dan gedung
pendidikan lainnya), makam, tarekat, tradisi. Kelima pilar dalam masyarakat
Islam Nusantara ini, sekarang tetap bertahan dan berkembang, menjadi penyangga
pengembangan Islam yang rahamtan lil `alamin. Dari mereka lahir banyak kader-
kader baru dan karya-karya baru.

18
DAFTAR PUSTAKA

JNM. 2015. Gerakan Kultural Islam Nusantara. Mukhtamar ke-33 Nahdlatul


Ulama, Yogyakarta: xvi + 344 hlm. 70.

Syafrizal, A. 2015. Sejarah Islam Nusantara. Islamuna 2 (2): 235-253 hlm. 54.

Fahrurozi. 2017. Model-model Dakwah di Era Kontemporer. Mataram: LP2M


UIN Mataram.

19

Anda mungkin juga menyukai