Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

TOKOH TASAWUF DI KALIMANTAN DAN AJARANNYA

Disusun Oleh:
Yusant Noor Yulia 15230111

Dosen Pengampu
Dr. Amirul Bakhri

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) PEMALANG

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah ‫ﷻ‬, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul "Tokoh Tasawuf di
Kalimantan dan Ajarannya". Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda
Rasulullah Muhammad ‫ﷺ‬, yang telah menjadi suri tauladan bagi umat manusia.

Makalah ini disusun dalam rangka memahami dan menggali lebih dalam tentang
keberadaan serta kontribusi tokoh-tokoh tasawuf yang bermunculan di wilayah Kalimantan.
Wilayah ini, dengan kekayaan budaya dan sejarahnya yang kaya, ternyata juga menjadi tempat
berkembangnya pemikiran tasawuf yang menginspirasi dan memperkaya khazanah
spiritualitas umat Islam di Indonesia.

Tasawuf, sebagai dimensi dalam agama Islam yang menekankan pada aspek spiritual
dan mistis, telah mengilhami banyak individu untuk menelusuri jalan menuju Allah ‫ ﷻ‬dengan
cinta dan kepasrahan yang mendalam. Dalam konteks Kalimantan, banyak tokoh yang telah
menorehkan jejaknya dalam perjalanan tasawuf, membawa pesan-pesan kebijaksanaan dan
kebenaran kepada umat.

Dalam makalah ini, kami mencoba untuk menggambarkan beberapa tokoh tasawuf
yang terkenal di Kalimantan beserta ajaran-ajaran yang mereka sampaikan. Penyusunan
makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, terutama dosen pembimbing kami
yang senantiasa memberikan arahan dan bimbingan yang berharga.

Tentu saja, makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan penulisan yang lebih baik
di masa mendatang.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan pemahaman yang lebih
luas tentang eksistensi tasawuf di Kalimantan serta warisan kebijaksanaan yang telah
ditinggalkan oleh para tokohnya. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran yang berharga
dari perjalanan spiritual mereka, dan semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dari Allah ‫ﷻ‬
dalam setiap langkah kita menuju-Nya.

Malang, 13 Maret 2024

Yusant Noor Yulia

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................... 3

1.3 Tujuan .............................................................................................................................. 4

1.4 Manfaat .......................................................................................................................... 4

BAB 2 PEMBAHASAN ........................................................................................................ 5

2.1 Perkembangan Islam di Kalimantan ............................................................................... 5

2.2 Khazanah Tasawuf Lokal di Kalimantan Selatan ……………… ................................. 5

2.3 Khazanah Tasawuf di Kalimantan Barat ……………………………………………… 9

2.4 Khazanah Tasawuf di Kalimantan Tengah ..................................................................... 10

2.5 Syekh Muhammad Nafis al Banjari ................................................................................ 12

2.6 KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani .............................................................................. 19

2.7 Panglima Utar ................................................................................................................. 21

2.8 Syekh Abdul Hamid Abulung al Banjari ........................................................................ 27

2.9 Syekh Ahmad Khotib as Sambasi .................................................................................... 29

2.10 Syekh Muhammad Arsyad al Banjari ............................................................................ 30

2.11 KH. Haderanie HN......................................................................................................... 33

BAB 3 PENUTUP ................................................................................................................. 41

3.1 Simpulan .......................................................................................................................... 41

3.2 Saran ................................................................................................................................ 41

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 42

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kalimantan Selatan merupakan salah provinsi di pulau Kalimantan yang dihuni
oleh mayoritas suku Banjar. Orang Banjar dikenal sebagai pemeluk agama Islam.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah pemeluk Islam di Kalimantan
Selatan mencapai 3.505.846 jiwa atau sekitar 96, 67%. Prosentasi jumlah yang besar ini
tentu bukan sesuatu hal yang terwujud secara tiba-tiba. Ia adalah hasil dari usaha-usaha
dakwah para tokoh agama Islam, terutama mereka yang disebut “ulama”1.
Tidak ada informasi yang rinci mengenai siapa ulama yang pertama kali
mengajarkan agama Islam di wilayah Banjar. Islam diperkirakan masuk ke daerah ini pada
abad ke- 16. Riwayat yang didapatkan dalam Hikajat Bandjar menyebutkan, Sultan Banjar
pertama yang memeluk agama Islam adalah Pangeran Samudera, yang kelak disebut Sultan
Suriansyah (w. 1550). Ketika itu, sang pangeran ingin merebut kembali kekuasaan dari
pamannya, Tumenggung. Karena merasa tidak mungkin mengalahkan pasukan pamannya,
ia kemudian meminta bantuan Kerajaan Demak di Jawa. Demak menyatakan siap
membantu dengan syarat sang pangeran mau memeluk Islam. Pangeran Samudera pun
bersedia memeluk Islam2. Maka dikirimlah pasukan dari Demak bersama seorang penghulu
bernama Khatib Dayyan, yang akan mengajarkan agama Islam. Singkat cerita, sang
pangeran akhirnya berhasil meraih kekuasaan. Gelar Sultan Suriansyah untuk sang
pangeran, konon diberikan oleh seorang ulama keturunan Arab, yang namanya tak
disebutkan.3
Sebagaimana juga terjadi di berbagai daerah lainnya di Indonesia, Islam masuk
ke Kalimantan Selatan bersama paham tasawuf, bahkan mengarah pada sufi-akidah
(mistik). Dalam piagam Kerajaan Banjar yang berbentuk segi empat, di tengah-tengahnya
tersusun angka-angka dan huruf Arab, suatu kebiasaan yang ‘dipercaya mengandung

1
Ulama umumnya didefinisikan secara intelektual sebagai orang yang memiliki kelebihan pengetahuan
tentang agama Islam. Pada perkembangannya di Indonesia, term ulama mengalami gradasi makna. Ulama
tidak lagi hanya dipahami sebagai orang yang faqih (menguasai secara mendalam ilmu-ilmu Islam) tetapi
diperuntukkan juga untuk cendekiawan Islam yang memiliki pengetahuan mendalam tentang disiplin ilmu
tertentu. Berikutnya, ulama juga didefinisikan sebagai ahli fiqih dan atau mubaligh yang fasih berceramah di
atas mimbar, radio, ataupun televisi. Bahkan anggota MUI yang diangkat berdasarkan kepentingan penguasa
juga disebut ulama. (Baca: Jajat Burhanudin (ed), Ulama Perempuan Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), h. 291.
2
Baca: J.J. Ras, Hikayat Bandjar: A Study in Malay Histeriography (The Hague: Martinus Nijhoof, 1968).
3
Amir Hasan Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan (Bandjarmasin: Pertjetakan Fadjar, 1953), h. 14-15.

1
kekuatan gaib dan digunakan dalam aliran magic dan dinamisme di Persia, dan pada
samping bawah batu tertulis “La Ilaha illallahua, Allahu maujud aku”, kalimat yang biasa
dipergunakan oleh sebagian pengikut aliran wihdatul wujud. Bahkan Khatib Dayyan yang
dikirim sebagai wakil Demak ke Banjar juga merupakan seorang sufi.
Meski Islam dinyatakan sudah masuk ke wilayah Banjar sejak abad ke-16, namun
Islamisasi yang intensif baru dimulai di abad ke-18 dengan tokoh sentralnya Muhammad
Arsyad al Banjari (1712-1810), tepatnya setelah beliau pulang dari Mekkah, tempat beliau
menuntut ilmu agama selama lebih dari 30 tahun. Selain menjabat sebagai penasihat sultan,
Arsyad al Banjari juga mengajarkan agama Islam di masyarakat, baik secara lisan ataupun
tulisan. Walaupun karya-karya beliau yang dapat ditemukan semisal Tuhfah al Raghibin
dan Sahil al Muhtadin lebih menyorot pada bidang akidah dan syari’ah, bukan berarti beliau
awam dengan tasawuf. Beliau adalah teman seperguruan Abd al Shamad al Palimani,
pengarang kitab tasawuf berbahasa Melaya, Hidayat al Salikin dan Sair al Salikin, serta
murid dari pendiri Tarekat Sammaniyah, Muhammad Samman al madani (1719-1775).
Tentunya keilmuan beliau di bidang tasawuf tidak perlu diragukan, walaupun pada
faktanya, beliau lebih suka mengajarkan masalah akidah dan syari’ah karena beliau
berdakwah untuk masyarakat awam yang baru mempelajari Islam.
Tokoh sufi sezaman dengan Arsyad namun berusia lebih muda adalah
Muhammad Nafis bin Idris al Banjari, dilahirkan di Martapura pada 1735 M dalam
keluarga bangsawan, dan dikenal luas sebagai pengarang kitab tasawuf berbahasa Melayu
yang berjudul al Durr al Nafis fi Bayan wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Shifat wa al
Dzat al Taqdis (Mutiara yang Indah Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat, dan
Zat yang Disucikan). Martin van Bruinessen menyatakan bahwa Nafis adalah orang
pertama yang menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan, bukan Arsyad al
Banjari.
Dari berbagai sumber yang bisa dilacak, dapat disimpulkan bahwa sejak
penghujung abad ke-18, tasawuf sudah dikenal dan dipraktikkan secara luas oleh
masyarakat Banjar. Di abad selanjutnya, abad ke 19, tasawuf tampaknya berkembang pesat,
tidak hanya di masyarakat Banjar saja, melainkan juga di kalangan Dayak Bakumpai (yang
dikenal sebagai Dayak Muslim di Kalimantan Selatan).
Dalam perkembangannya, Kalimantan Selatan dikenal sebagai wilayah dengan
basis kultur keislaman tradisional yang cukup kuat. Corak tasawuf tidak bisa dilepaskan
dari kultur keberislaman tradisional ini. Ia menjadi karakteristik yang melekat dan
dipraktikkan dalam kehidupan keberagaman masyarakat Banjar, baik dalam bentuk wirid-
2
wirid harian yang dibaca secara nyaring sesudah sholat maupun amaliah lainnya pada
waktu-waktu tertentu.
Catatan sejarah Islam di Kalimantan Selatan merekam berbagai figur tokoh
agama (ulama) yang juga merupakan pengamal ajaran tasawuf, baik yang lurus maupun
yang kontroversial. Tokoh lurus misalnya Muhammad Arsyad al Banjari sebagai figur awal
Islam Banjar, di samping ahli fikih juga dikenal sebagai tokoh sufi dan murid dari pendiri
tarekat Samaniyyah. Keturunan beliau, K.H. Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul), tokoh
ulama kharismatik abad ke-20 juga pengikut tarekat Sammaniyah. Sementara figur
kontroversial Banjar yang identik dengan Syekh Siti Jenar dalam tradisi Islam Jawa adalah
Datu Abulung yang dianggap mengajarkan tentang paham wahdatul wujud dan nur
muhammad.
Figur ulama Banjar karismatik masa kini yang memiliki jamaah pengajian ribuan
orang seperti Guru Danau (Guru Asmuni), Guru Bachiet, dan Guru Zuhdi juga dikenal
sebagai ulama dengan kecenderungan sufistik yang kental. Guru Danau dan Guru Zuhdi
memiliki amaliah rutin bersama jamaahnya yang identik dengan Guru Sekumpul.
Sedangkan Guru Bachiet dikenal sebagai pengamal tarekat Alawiyyah.
Sejumlah penelitian, baik dalam bentuk penelitian tesis, skripsi, penelitian dosen
maupun artikel jurnal dan buku, telah dilakukan untuk menggambarkan dimensi tasawuf
yang hidup di Kalimantan Selatan, baik itu yang mencakup wacana pemikiran yang
meliputinya maupun deskripsi realitas amaliah yang dapat ditemukan di bumi Banjar ini.
Namun sayangnya, karya-karya tersebut tidak mendapatkan publikasi yang cukup
disebabkan oleh berbagai alasan, sehingga masyarakat luas umumnya, dan para akademisi
di luar pelaku penelitian khususnya, tidak dapat mengambil manfaat dari adanya karya-
karya tersebut. Padahal karya-karya tersebut seyogyanya menjadi bahan penting untuk
diketahui khalayak luas sehingga kajian terhadap fenomena tasawuf di Kalimantan Selatan
terus berkesinambungan dan berkembang, tidak terkesan jalan di tempat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, makalah ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran singkat mengenai beberapa tokoh tasawuf di Kalimantan dan ajarannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf yang berasal dari Kalimantan dan bagaimana kontribusi
mereka dalam pengembangan tasawuf di wilayah tersebut?
2. Bagaimana latar belakang kehidupan dan perjalanan spiritual para tokoh tasawuf tersebut
di Kalimantan?

3
3. Apa saja ajaran-ajaran utama yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh tasawuf tersebut kepada
masyarakat Kalimantan, dan bagaimana pengaruhnya terhadap praktik keagamaan dan
kehidupan sosial di wilayah tersebut?
4. Bagaimana hubungan antara ajaran-ajaran tasawuf yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh
tersebut dengan nilai-nilai lokal dan budaya Kalimantan?
5. Bagaimana relevansi ajaran-ajaran tasawuf yang dibawa oleh tokoh-tokoh Kalimantan
dengan konteks kehidupan umat Islam di Indonesia pada umumnya?
6. Bagaimana pandangan masyarakat lokal terhadap tokoh-tokoh tasawuf tersebut dan
bagaimana peran mereka dalam membentuk identitas spiritual dan keagamaan masyarakat
Kalimantan?
1.3 Tujuan
1. Memahami Peran Tokoh Tasawuf: Menjelaskan peran dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf
yang berasal dari Kalimantan dalam pengembangan tasawuf di wilayah tersebut serta dalam
konteks kehidupan umat Islam secara luas.
2. Menggali Ajaran Tasawuf: Mendalami ajaran-ajaran utama yang diperkenalkan oleh
tokoh-tokoh tasawuf tersebut kepada masyarakat Kalimantan, termasuk prinsip-prinsip,
praktik-praktik, dan nilai-nilai spiritual yang mereka anut.
3. Menghubungkan dengan Konteks Lokal: Menjelaskan hubungan antara ajaran-ajaran
tasawuf yang dibawa oleh tokoh-tokoh Kalimantan dengan nilai-nilai lokal dan budaya di
Kalimantan, serta bagaimana ajaran-ajaran tersebut diinterpretasikan dan diterapkan dalam
konteks kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.
4. Menganalisis Relevansi dan Pengaruh: Menganalisis relevansi ajaran-ajaran tasawuf dari
tokoh-tokoh Kalimantan dengan konteks kehidupan umat Islam di Indonesia pada
umumnya, serta pengaruhnya terhadap praktik keagamaan dan kehidupan sosial di
Indonesia.
5. Menghargai Warisan Kebijaksanaan: Menghargai dan mengapresiasi warisan
kebijaksanaan spiritual yang ditinggalkan oleh tokoh-tokoh tasawuf Kalimantan, serta
menggali nilai-nilai yang dapat dijadikan inspirasi dalam pembentukan identitas spiritual
dan keagamaan individu maupun masyarakat.
1.4 Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui perkembangan
tasawuf di daerah Kalimantan beserta tokoh dan ajarannya.

4
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Perkembangan Islam di Kalimantan
Berdasarkan prasasti-prasasti yang ada di sekitar abad V di Kalimantan Timur telah ada
kerajaan Hindu yakni Kerajaan Kutai. Sedangkan kerajaan-kerajaan Hindu yang lain adalah
kerajaan Sukadana di Kalimantan Barat dan Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan.
Pada abad XVI Islam memasuki daerah Kerajaan Sukadana. Bahkan pada tahun 1590
Kerajaan Sukadana resmi menjadi Kerajaan Islam, yang menjadi sultan pertamanya adalah
Sultan Giri Kusuma. Setelah itu digantikan oleh putranya Sultan Muhammad Syafiuddin.
Beliau banyak berjasa dalam pengembangan agama Islam karena bantuan seorang muballigh
bernama Syekh Syamsudin.
Di Kalimantan Selatan pada abad XVI masih ada beberapa kerajaan Hindu antara lain
Kerajaan Banjar, Kerajaan Negaradipa, Kerajaan Kahuripan dan Kerajaan Daha. Kerajaan-
kerajaan ini berhubungan erat dengan Majapahit.
Ketika Kerajaan Demak berdiri, para pemuka agama di Demak segera menyebarkan
agama Islam ke Kalimantan Selatan. Raja Banjar Raden Samudra masuk Islam dan berganti
nama dengan Suryanullah. Sultan Suryanullah dengan bantuan Demak dapat mengalahkan
Kerajaan Negaradipa. Setelah itu agama Islam semakin berkembang di Kalimantan.
Di atas telah diutarakan, bahwa Kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia dan
merupakan sebuah kerajaan Hindu. Dengan pesatnya perkembangan Islam di Gowa, Tallo dan
terutama Sombaopu, maka Islam mulai merembas ke daerah Kutai. Mengingat Kutai terletak
di tepi Sungai Mahakam maka pada pedagang yang lalu lalang lewat Selat Makassar juga
singgah di Kutai. Sebagai muballigh mereka tidak menyia-nyiakan waktu untuk berdakwah.
Islam akhirnya dapat memasuki Kutai dan tersebar di Kalimantan Timur mulai abad XVI.
2.2. Khazanah Tasawuf Lokal di Kalimantan Selatan
Pada artikel yang dimuat di Jurnal Kanz Philosophia, Mujiburrahman, Dosen Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora mencatat bahwa perkembangan pesat kajian tasawuf di
Kalimantan Selatan berkembang marak sejak abad ke-18 hingga abad ke-21 masehi. Pada abad
ke-18 ada figur seperti Syekh Arsyad al Banjari dan Muhammad Nafis bin Idris al Banjari,
kemudian adalagi figur kontroversial Abdul Hamid Abulung. Pada abad ke-19 ada gerakan
beratib baamal dan gerakan mistik Aling. Pada abad ke-20 hingga sekarang berkembang pesat
tasawuf yang merupakan kesinambungan dan perkembangan dari khazanah tasawuf pada masa
sebelumnya.

5
Pada figur Syekh Muhammad Arsyad al Banjari yang diangkat dalam penelitian Bayani
Dahlan, disebutkan bahwa corak pemikiran tasawuf al Banjari adalah tasawuf sunni. Ia
memadukan antara pandangan syariat dengan pandangan hakikat dan selalu aktif dalam
rekonstruksi sosio moral masyarakatnya. Sehingga tidak berlebihan kiranya kalau dikatakan
bahwa ia adalah salah satu tokoh yang mengembangkan neo sufisme di Kalimantan Selatan.
Sementara figur Abdul Hamid Abulung yang diangkat oleh Mufidatun Nisa dijelaskan
bahwa Abulung adalah orang yang sangat berjasa dalam menyiarkan Islam di Kalimantan
Selatan dan ia adalah tokoh sufi yang telah mewarnai dinamika islam di tanah Banjar. Ia sangat
berpegang teguh pada kebenaran ajaran yang diyakininya dan karena teguhnya itulah yang
membawanya pada kematian. Pertemuan Abulung dengan Khidir merupakan titik balik dari
kehidupannya. Walau ada beberapa versi tentang kematian Abulung namun ada kesamaan dari
semua cerita itu yaitu darah yang mengalir dari tubuhnya itu bertuliskan kalima la ilaha illallah
sehingga disimpulkan berdasarkan manaqib Abulung bahwa beliau seorang wali.
Selanjutnya setelah abad ke-18, kajian tokoh yang diangkat adalah figur-figur pada
abad ke-20 yang memang dikenal sebagai tokoh masyarakat, memiliki karya di bidang tasawuf.
Figur-figur yang dimaksud yaitu K.H. Hasan Basri, Haji Gusti Abdul Muis, M. Rafi’ie Hamdie,
dan H. Abdul Muthalib Muhyiddin.
Figur K.H. Hasan Basri merupakan tokoh Banjar yang menasional dan aktif di Majelis
Ulama Indonesia Pusat. Sajian yang diangkat oleh St Rosna tentang tokoh ini bahwa beliau
banyak bicara tentang tasawuf akhlak, meliputi kesyukuran, kesabaran, keikhlasan dan juga
mengenai kezuhudan. Pemikiran tasawuf ini dalam simpulan peneliti sejalan dengan kehidupan
keseharian K.H. Hasan Basri yang tenang dengan kesederhanaan, sejuk dengan
kepemimpinannya dan berkarya sampai akhir hayatnya.
Sementara figur Haji Gusti Abdul Musi adalah tokoh Muhammadiyah asal martapura
yang banyak bicara tentang tasawuf. Dalam penelitian Rabiatul Aslamiyah diungkapkan bahwa
beliau mendekati tasawuf, dari segi praktis fungsionalnya sebagai suatu cara untuk
mendekatkan diri kepada Allah, mingisi sisi-sisi peribadatan yang hanya dipenuhi oleh gerak
lahiriyah semata namun kosong, dari nilai-nilai ruhaniyah dan memperbaiki akhlak dengan
dilandasi oleh nilai-nilai tauhid yang murni serta mengembalikan tasawuf kepada pangkalnya
yaitu Al Qur’an dan Sunnah. Simpulan peneliti bahwa tasawuf tersebut dikategorikan bercorak
tasawuf sunni.
Adapun M. Rafi’ie Hamdie yang diangkat oleh Sahriansyah menyebutkan bahwa beliau
dikenal sebagai ulama yang berpikiran modern, dai yang kondang dan juga mengamalkan

6
ajaran tasawuf secara intens, juga pengikut tarikat Syadziliyah. Adapun corak tasawufnya
mengutamakan ciri puritan (zuhud) dan akrif (amaliah) atau dengan istilah lain tasawuf sunni.
Terakhir figur H. Abdul Muthalib Muhyiddin yang ditulis oleh Hj. Nurul Djazimah
disebutkan bahwa corak pemikiran tasawuf H. Abdul Muthalib Muhyiddin bercorak tasawuf
akhlaki dan amali yang beraliran sunni. Dari segi akhlak pribadinya dan pendapatnya tentang
istiqamah dan tawakkal ditambah dengan latar belakang pendidikan, jabatan-jabatan yang ia
pangku dan pemahamannya tentang esensi agama, maka pemikiran tasawufnya juga mengarah
ke pemikiran neo sufisme, yakni mengintegrasikan tasawuf dengan tauhid dan syariat.
Dari empat figur tasawuf pada abad ke-20 yang diangkat dalam kajian tasawuf
memberikan simpulan yang hampir serupa bahwa corak tasawuf dari masing-masing tokoh
adalah tasawuf sunni, yang karenanya dapat diterima oleh masyarakat di Kalimantan Selatan.
Klasifikasi tasawuf menjadi corak sunni dan falsafi pada dasarnya memiliki implikasi
tidak langsung. Ketika suatu tasawuf dianggap sunni berarti bisa diamalkan dan lurus,
sedangkan apabila bercorak falsafi maka harus dihindari dan diwaspadai. Dengan asumsi ini,
sangat sulit diharapkan ada yang berani ketika mengangkat pemikiran tokoh kontemporer yang
berani memberikan simpulan yang keluar dari mainstreaming umat di Kalimantan Selatan.
Kitab karya ulama tasawuf Kalimantan Selatan yang pernah dikaji adalah tulisan karya
Abdurrahman Shiddiq, Muhammad Sarni, dan M. Asywadie Syukur.
Kitab Asrar al Shalah karya Abdurrahman Shiddiq merupakan kitab tasawuf sekaligus
kitab fikih, yang pembelajarannya memerlukan ahlinya dalam bidang fikih dan tasawuf. Fikih
Abdurrahman Shiddiq dapat dikatakan penganut aliran Ahl al Sunnah wa al Jama’ah dengan
bermazhab Syafi’i, dan pada aspek tasawuf, bercorak tasawuf sunni, akhlaki, dan amali
walaupun ada kecenderungan tasawuf falsafi.
Sementara pada kitab Amal Ma’rifah yang ditulis oleh H. Mugeni Hasar disimpulkan
bahwa Abdurrahman Siddiq berusaha memadukan antara tauhid dengan tasawuf sebagai suatu
bagian yang tak terpisahkan dari syariat. Dalam tauhid sufistik beliau mengenalkan konsep
wahdaniyat af’al, wahdaniyat asma, wahdaniyat sifat dan wahdaniyat zat. Keempat bentuk
wahdaniyah ini sarat dengan ajaran tasawuf falsasi yang beraliran wahdat al syuhud, di mana
ajaran beliau banyak dipengaruhi oleh ajaran/pendapat tokoh sufi seperti Abu Bakar al Syibli,
Junaid al Baghdadi dan al Ghazali. Sementara pada ajaran tasawuf akhlaki yang ditawarkan
mengacu kepada pendapat para tokoh sufi seperti Hasan al Bisri, Rabiah al Adawiyah, Ibrahim
bin Adham, Junaid al Baghdadi, Imam al Ghazali, dan Syeikh Abdul Karim Samman al
Madani. Bersamaan dengan tasawuf akhlaki tersebut, Abdurrahman Siddiq berusaha
memadukan antara ajaran tasawuf dengan syariat atau neo-sufisme.
7
Pada figur Muhammad Sarni, kitab yang diulang yaitu tentang sembilan wasiat menuju
jalan awliya dalam Tuhfah ar Raghibin. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemikiran Haji
Muhammad Sarni tentang sembilan wasiat menuju jalan awliya dalam kitab Tuhfah ar
Raghibin adalah Taubat, Qana’ah, Zuhud, Ta’allum al ‘Ilm asy Syar’iy (mempelajari ilmu
syariah), Muhafazah ‘ala as sunan (melaksanakan ibadah sunah), Tawal, Ikhlas, ‘Uzlah, dan
Hifz al Awqat (memanfaatkan waktu dengan baik). Pemikiran-pemikiran tasawuf Haji
Muhammad sarni disimpulkan bercorak akhlaki atau ‘amaliy, bukan falsafi. Hal ini dilihat dari
kitab-kitab rujukan yang dia gunakan, di samping adanya persamaan pemikiran tasawufnya
dengan pemikiran ulama sufi yang mengutamakan aspek amal dan akhlak.
Sementara pada figur M. Asywadie Syukur, Kursani Ahmad membandingkan antara
pemikiran tasawuf beliau pada Ilmu Tasawuf II dengan kitab al Risalah al Qusyairiyah.
Kesimpulan penulis bahwa pemikiran tasawuf m. Asywadie pada substansinya sama dengan
kitab al Risalah al Qusyairiyah. Keduanya sama mengajarkan ajaran tasawuf yang bertujuan
untuk mewujudkan keseimbangan antara dimensi kehidupan duniawi dan ukhrawi, menjaga
keharmonisan hubungan antara hamba dengan Allah (habl min Allah) dan hubungan antar
sesama manusia (habl min al-nas). Adapun perbedaan yang nampak hanya dalam sistematika
uraian pada masing-masing buku.
Pemikiran M. Laily Mansur menempatkan kajian tasawuf sebagai diskursus tentang
etika praktis (amali) yang disandarkan pada pengalaman spiritual personal seseorang dalam
mengaktualisasikan keimanannya. Adapun sumber utama yang dijadikan dasar normatif dan
historis adalah al Qur’an dan sunnah Rasulullah ‫ﷺ‬. M. Laily Mansur melihat aliran tasawuf
versi Sunni sebagai aliran tasawuf yang menggambarkan otentitas ajaran esoterisme Islam.
Sedangkan dalam penekanan pada aspek etika praktis, dalam konteks pemikiran modern, beliau
menempatkan tasawuf sebagai sesuatu yang historis dan sosial.
Berikutnya figur K.H. Abdul Muin Hidayatullah, yang diangkat sebagai tesis oleh
Murjani Sani. Hasil dari penelitian bahwa Tarikat Sufiyah islam dibangun oleh KH. Abdul
Muin Hidayatullah tahun 1955 setelah dia bertemu secara gaib dengan Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬,
Nabi Musa, Nabi Adam dan sejumlah tokoh pimpinan negara Islam. Menjelang kematian, dia
membai’at KH. Abdullah al Mahdi anaknya menjadi mursyid selanjutnya, diamanahi untuk
membina dan mengembangkan tarekat ini hingga sekarang dengan wirid sebagaimana yang
dikembangkan mursyid sebelumnya.
Figur berikutnya yang diangkat adalah Syaikh Abdurrahman Shiddiq al Banjari yang
ditulis oleh Bahran Noor Haira. Penulis dalam hal ini mengangkat seputar ajaran tasawuf dari
sang tokoh. Dari penelitian ini diketahui, bahwa konsepnya tentang taubah, zuhud, tawakkal,
8
shabat, ridha, shiddiq, mahabbah, zikir al maut, adalah mengandung ajaran tasawuf bercorak
akhlaki. Penelitian ini juga berkesimpulan bahwa ajaran tasawuf Abdurrahman Shiddiq adalah
bercorak tasawuf wahdat al syuhud (Mysticisme of Personality). Sebab pandangannya terhadap
Tuhan merupakan hubungan antara Khalik dengan makhluk, bukan hubungan emanasi. Serta
kebersatuannya hanya menawarkan kerangka persepsi (syuhud).
Selain pada sisi figur sebagaimana dikemukakan di atas, penelitian lainnya juga
mengangkat pemikiran sejumlah orang tentang satu permasalahan. Tulisan Azhari tentang
zuhud dalam era modern menurut ulama Banjarmaasin. Temuan penelitian ini umumnya ulama
kota Banjarmasin memandang bahwa zuhud itu ditandai dengan pengendalian diri terhadap
dunia, bahwa dunia itu dengan segala perhiasannya seperti kekayaan dan kedudukan letaknya
hanya di tangan, bukan di hati, dalam arti dunia boleh dimiliki, tetapi tidak boleh sampai
melalaikan taat ibadah dan ingatan kepada Allah. Dalil yang dikemukakan oleh para ulama
kota Banjarmasin adalah Al Qur’an seperti surah al Hadid ayat 23 dan al Qashash ayat 77,
perilaku keseharian Nabi ‫ ﷺ‬yang dilihat dari hadits-hadits, dan perilaku para sahabat dan para
ahli sufi seperti al Ghazali, Abu yazid al Bistami dam lain-lain. Zuhud penting dan dapat
diterapkan dalam segala situasi keadaan dan masa baik di masa dahulu maupun lebih-lebih di
masa sekarang, walaupun sulit.
Pandangan ulama Banjarmasin lainnya disoroti oleh Arni terkait dengan kasyf sufistik.
Temuan ilmiah dari penelitian ini adalah bahwa konsepsi ulama di daerah ini tentang kasyf
dalam dunia tasawuf, secara umum ada perbedaan dengan ajaran tasawuf secara teoretis selama
ini. Secara teori pembinaan akhlak mulai hingga memperoleh kelebihan dari Allah, setelah
melalui apa yang disebut takhalli, tahalli, dan tajali. Sedang umumnya ulama di daerah ini
berpandangan sebaliknya yaitu dengan keikhlasan melakukan muahadah, khalwat/uzlah, wirid
dan zikir yang berkepanjangan sekaligus akan menghapus segala noda dan dosa, dan bisa
berlanjut kepada tajalli.
Terakhir tulisan H. Muhammad Yusuf yang menulis tasawuf dalam kehidupan modern
menurut pandangan dosen ilmu akhlak dan tasawuf di IAIN Antasari Banjarmasin. Para dosen
Ilmu Tasawuf berpandangan bahwa ajaran tasawuf dalam kehidupan sekarang sangat urgen
dipraktikkan sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan hidup yang terjadi, karena
tasawuf dengan segala bentuknya diyakini dapat berperan dalam menyelamatkan kemanusiaan
dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual serta dapat memberikan
penegasan bahwa aspek esoteris dalam islam ini sangat urgen sebagai jantung ajaran Islam.

9
2.3. Khazanah Tasawuf di Kalimantan Barat
Kalimantan Barat, sebagai bagian dari Nusantara yang agung, sedikit banyaknya
memiliki kesamaan sejaran dalam bingkai kenusantaraan yang luas. Islam di Kalimantan Barat,
tidak lepas dari akar sejarah Islam Nusantara. Termasuk di dalamnya tasawuf, di mana salah
seorang tokoh besarnya berasal dari wilayah ini, yaitu Syekh Ahmad Khatib al Sambasi,
perumus ajaran Tarekat Qadiriyah wa al Naqsyabandiyah. Hanya saja peran para sufi lain
khususnya di wilayah Kalimantan Barat masih “sunyi” dalam literatur. Padahal mereka
memegang peranan penting dalam penyebaran Islam di wilayahnya.
Sebenarnya tokoh-tokoh lain yang tak kalah penting perannya di Kalimantan Barat
cukup banyak, antara lain Habib Husein al Qadri, seorang pendakwah yang aktif dan arif dalam
bidang agama, yaitu ahli fikih dan tasawuf (Hermansyah, 2006: 3), yang berdakwah di wilayah
Kerajaan Matan, Ketapang dan di Kerajaan Mempawah. Tokoh sufi yang juga memegang
peran penting dalam penyebaran Islam di wilayah ini adalah Syeikh Ismail Mundu, mufti
Kerajaan Kubu (sekarang berada di wilayah Kabupaten Kubu raya). Ia juga merupakan guru
dari Wahid Hasyim (menteri agama Republik Indonesia yang pertama). Ketokohannya dalam
bidang tasawuf dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul Kitab Zikir Tauhidiyah (Riyadhi,
2011: 55).
Selain tokoh-tokoh diatas, masih banyak tokoh lain yang memiliki peran penting,
terutama dalam tasawuf, seperti KH. Aburrani Mahmud. Tokoh ini cukup berperan dalam
mempertahankan eksistensi tasawuf dalam bentuk Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di
Kalimantan Barat, melalui jalur mursyid dari Suryalaya. Keberadaan tokoh sufi di wilayah
Kalimantan Barat ini juga dapat dilacak melalui beberapa karya yang ditemukan, khususnya
karya-karya yang berbicara mengenai kehidupan sufi, baik yang tercantum nama pengarangnya
maupun yang tak tertulis. Tokoh-tokoh tasawuf seperti Haji Abdul Malik Krui di Jongkong
(Naskah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah), Syeikh Muhammad Sa’ad di Selakau
(Naskah Syarah Kitab al Hikam), dan Syeikh Nurdin di Tekarang (Mursyid Tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah, murid langsung Syeikh Ahmad Khatib Sambas, tidak punya naskah),
sangat berperan dalam menghidupkan ajaran tasawuf di Kalimantan Barat.
Berdasarkan salah satu naskah kuno yang ditemukan di Kalimantan Barat, naskah Arab
Melayu berbahasa Bugis, Lontara Attorioloang ri Wajo. Naskah ini berisi tentang tasawuf dan
tarekat yang menggunakan aksara Arab-Jawi, tetapi dengan bahasa Bugis. Naskah ini
diperkirakan ditulis setelah masuknya Islam di Kalimantan Barat, dan penulisnya telah
mendapat pengaruh Melayu yang sangat kuat sehingga naskah berbahasa Bugis ditulis dengan
aksara Arab-Jawi (Patmawati dan Wahida, 2017: 35-36). Naskah ini ditulis dalam dua aksara
10
yakni aksara lontara/ bahasa Bugis dan aksara hijaiyah/ bahasa Arab. Pembahasan dalam
naskah tersebut walau bercampur, tetapi pada persoalan wujud qidam dan baqa tampak
mengupas tentang konsep ketuhanan yang bernuansa tasawuf.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ada banyak sekali tokoh yang
menyebarkan agama Islam di Kalimantan Barat yang merupakan para ahli tasawuf. Karenanya,
sangat memungkinkan bahwa penyebaran Islam di Kalimantan Barat juga melalui ajaran
tasawuf. Terlebih lagi, hingga saat ini dapat dilihat bahwa ajaran tasawuf mampu bertahan dan
terus berkembang.
2.4. Khazanah Tasawuf di Kalimantan Tengah
Secara historis tasawuf masuk di Kalimantan Tengah saat wilayahnya masih menjadi
bagian dari Kalimantan Selatan, yang dibawa oleh para penyiar Islam yang didominasi oleh
ulama sufi, yang merupakan bagian dari pendakwah Walisongo di Pulau Jawa (Zuhri, 1981:
389; Saleh,1978: 20-21; Syamsyu As, 1996: 95). Menurut Saksono (1995: 103), para wali
(baca: walisongo) itu sejiwa, yaitu jiwa Islam, seideologi dan sealiran, yaitu tasawuf dan
mistik; dan sejalan pikiran, yaitu jalan pikiran Ahlu al Sunnah wa al Jama’ah. Mazhab ini, di
samping mengutamakan soal-soal batin, seperti tasawuf, mistik, dan akhlak, juga tidak
melalaikan soal-soal lahir seperti syariat (Saksono, 1995: 168). Menurut Noor Taibah (2014:
121) tasawuf Walisongo ini mengikuti pemikiran tasawuf al Ghazali, yang berhasil
mengintegrasikan tasawuf ke dalam pemikiran keagamaan mazhab Ahlu al Sunnah wa al
Jama’ah, walaupun tidak menutup kemungkinan berkembang tasawuf dengan corak warna
yang lain.
Corak tasawuf dalam interval waktu dari Islamisasi awal hingga reformasi islam yang
dilakukan oleh Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari pada abad XVI/XVII di Kalimantan
adalah paham wahdah al wujud. Tokoh yang dianggap otoritatif dalam mengembangkan paham
ini adalah Abdul Hamid Abulung. Ia menjadi ‘rival’ paling kontroversial bagi Arsyad al
Banjari (Steenbrink, 1983: 96). Abulung disebut sebagai al Hallajnya Kalimantan karena ia
mengambil posisi ekstrim dalam ajaran tasawufnya, karena sebagian ajarannya dianggap
melanggar syariat, maka atas rekomendasi Arsyad al Banjari akhirnya Sultan memutuskan
untuk menghukum mati abulung (Bruinessen, 1994: 202-203).
Kematian Abdul Hamid Abulung tidak serta merta berakhirnya paham sang sufi
tersebut. Para muridnya kemudian menyebarkan ajarab tasawuf sang guru ke pedalaman
Kalimantan hingga kemudian muncul beberapa penyimpangan yang ditemukan oleh KH.
Haderanie HM dan berusaha meluruskan penyimpangan tersebut dan mengembalikan tasawuf
ke relnya.
11
KH. Haderanie HN dapat dikelompokkan sebagai salah seorang tokoh sufi kontemporer
terkemuka di Kalimantan Tengah yang muncul dengan ajaran tasawufnya. Keberadaannya
merepresentasikan dinamika pemikiran tasawuf baru (neo-sufisme) di era modern. Ia
mengarahkan ajaran-ajaran spiritualitas Islam ini pada upaya pemurnian dari unsur-unsur dan
praktik-praktik yang menyimpang dari Islam murni yang tumbuh subuh di kalangan
masyarakat Muslim Kalimantan Tengah (Rahman, 2004:1). Padahal tasawuf telah
mempengaruhi kehidupan keagamaan Muslim di Kalimantan, sejak abad ke-18 hingga
sekarang. Kecenderungan untuk menggabungkan tasawuf etis al Ghazali dan tasawuf metafisis
Ibn ‘Arabi, merupakan penghormatan terhadap tokoh-tokoh sufi dalam ritual pembacaan
manakib, dan munculnya kelompok-kelompok tasawuf sempalan, semua ini dapat ditemukan
sepanjang sejarah Islam di daerah ini (Mujiburrahman, 2013: 153).
Secara genealogis pemikiran, KH. Haderanie HN termasuk ulama yang konsisten untuk
mengembalikan tasawuf di relnya yang benar sebagaimana yang sudah dilakukan dua ulama
Banjar, yakni Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari dan syaikh Muhammad Nafis al Banjari,
dan sekaligus menghidupkan tasawuf di era modern. Alasan utama KH. Haderanie HN
menghidupkan tasawuf adalah kenyataan bahwa akal saja tidak akan mampu mencapai arti dan
makna hakikat Allah. Tentu saja tasawuf tidak bermaksud membahasa hakikat wujud Allah,
karena suatu yang mustahil untuk dibicarakan dicari karena sudah ada kepastian ‘laisa
kamitslihi syai’un’ (tidak sesuatu pun yang semisal-Nya) (Haderanie, tthb: 45). Alasan lainnya,
adalah upaya KH. Haderanie HN untuk membersihkan tasawuf dari negativisme ke arah
aktivisme, dan unsur-unsur lokal yang bertentangan dengan tasawuf sejati.
2.5. Syekh Muhammad Nafis al Banjari
Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husin, demikian nama lengkapnya. Tanggal
kelahirannya sampai sekarang belum diketahui secara pasti, namun dalam buku Seri Manakib
Syekh Muhammad Nafis al Banjari dituliskan kelahiran Syekh Muhammad Nafis sekitar tahun
1148 H/1735 M. Dilahirkan di salah satu desa Martapura yang terletak di Kabupaten Banjar,
Provinsi Kalimantan Selatan. Dari kalangan keluarga bangsawan atau kesultanan Banjar yang
bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527 – 1548 M).
Dalam beberapa riwayat lain disebutkan bahwa Syekh Muhammad Nafis al Banjari
hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad al Banjari. Maka Syekh Muhammad Nafis
al Banjari ini mengalami masa-masa pemerintahan Sultan Tahlilullah, Raja Banjar XIV (1745
– 1745 M), dan Sultan Tamjidillah, Raja Banjar XV (1745 – 1778 M), serta Sultan Tahmidillah,
Raja Banjar XVI (1778 – 1808 M).

12
Sampai sekarang keturunan beliau masih banyak, mereka ada yang bertempat tinggal
di Kelua, Tanjung, Amuntai, Martapura, Banjarmasin, Kota Baru, Malaysia, Makkah,
Madinah, dan kota-kota lainnya. Kebanyakan dari keturunan beliau sekarang bergelar Gusti.
Syekh Muhammad Nafis al Banjari diberikan gelar kehormatan oleh para pengagumnya
yaitu Maulana al ‘Alamah al Fahamah al Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad
Nafis bin Idris al Banjari. Walau begitu gelar itu bukan atas keinginannya sendiri, beliau
seorang sufi yang selalu menghindari gelar-gelar kehormatan dan hal-hal yang bersifat
keduniaan, karena hal itu bisa menyebabkan sombong dan tinggi hati. Syekh Muhammad Nafis
al Banjari bahkan menyebut dirinya sebagai “seorang faqir yang hina dan semiskin-miskin
hamba”.
Pengakuan Syekh Muhammad Nafis al Banjari atas dirinya tidak bisa diartikan dalam
arti kata sebenarnya, bahwa seorang yang hina dan semiskin-miskin hamba. Tetapi pernyataan
seorang sufi yang selalu bersifat merendahkan diri agar terhindar dari sifat pamer, sombong
dan membanggakan diri. Hal ini sesuai dengan ajaran tasawufnya pada bagian awal kitabnya,
bahwa seseorang yang berusaha menjalani kehidupan kesufian akan gagal meraih keridhaan
Allah apabila di dalam dirinya terdapat Syirikh Khafi (syirik yang tersembunyi). Syirik khafi
dicontohkan Syekh Muhammad Nafis al Banjari seperti riya’ (pamer), sum’ah
(memperdengarkan diri), ‘ujub (membanggakan diri).
Untuk memperjelas gambaran siapa sebenarnya Syekh Muhammad Nafis al Banjari,
melihat pada pengakuan atau pernyataan beliau sendiri dalam kitabnya al Dur al Nafis sebagai
berikut:

“Yang menghimpun akan risalah ini, hamba faqir lagi hina, lagi mengaku dengan
dosa dan taqsir, lagi yang mengharap kepada ampunan Tuhan yang Amat Kuasa,
yaitu yang terlebih faqir dari pada segala hamba kepada Allah Ta’ala yang
menjadikan segala makhluk, yaitu Muhammad Nafis bin Idris al Husein, negeri
Banjar tempat jadi, dan negeri Makkah diamnya, dan Syefi’I akan mazhabnya,
yaitu pada fikih, dan Asy’ari I’tiqadnya, yaitu pada Ushul al Din, dan Junaidi
ikutannya, yaitu pada tasawuf, dan Qadiriyah tarekatnya, dan Sattariyah
pakaiannya, dan Naqsabandiyah amalannya dan Khalwatiyah makanannya dan
Samaniyah minumannya.”

Guru-Guru Syekh Muhammad Nafis al Banjari:


1. Abdullah bin Hijazi al Syarqawi
2. Shidiq bin Umar Khan
3. ‘Abdul al Rahman bin Abdul al Aziz
4. Muhammad bin Ahmad al Jawhari

13
5. Milawi
6. Yusuf al Arzi al Misri
7. Yusuf Abu al Dzarra al Misri
Perjalanan Dakwah
Setelah beberapa lama menetap dan belajar di Makkah dan Madinah, Muhammad Nafis
pulang ke kampung halamannya di Martapura. Tidak ada informasi yang pasti mengenai kapan
Muhammad Nafis pulang ke kampung halamannya.
Di Kalimantan Selatan beliau sering melakukan aktivitas dakwah berpindah-pindah
dari satu daerah ke daerah lainnya, terutama daerah-daerah terpencil yang mempunyai
kedudukan strategis dalam upaya penyebaran Islam. Oleh karena itu, beliau terkenal sebagai
seorang guru pengembara yang memainkan peran penting dalam perkembangan penyebaran
agama Islam di wilayah Kesultanan Banjar. Sebagai hasil dari dakwahnya itu, wilayah Kelua
di abad ke-19 telah menjadi pusat penyebaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan.
Sebagai seorang ulama besar beliau mendapat gelar kehormatan sebagai Maulana al ‘Alamah
al Fahamah al Mursyid ila Tariq al Salamah (yang mulia, yang berilmu tinggi, yang terhormat,
pembimbing ke jalan keselamatan).
Menurut sebagian tokoh masyarakat setempat, Syekh Muhammad Nafis al Banjari
pindah ke Kelua dari Martapura, karena dia tidak senang dengan penjajah Belanda yang pada
waktu itu mulai kasak-kusuk di dalam keraton Kesultanan Banjar. Sedangkan Kelua
merupakan daerah strategis untuk menyebarkan ajaran Islam, karena tempat tersebut terletak
di bagian Utara Kerajaan Banjar, yaitu di perbatasan antara Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Kelua abad ke-18 dan ke-19 merupakan bagian penting dari pusat aktivitas perdagangan
dan penyiaran Islam. Dalam kurun waktu tersebut komunitas Kelua membangun jaringan sosial
dengan komunitas Bakumpai, Negara dan Alabio dalam bentuk relasi perdagangan, dari anak-
anak sungai pedalaman di Kelua ke muara-muara sungai menuju pusat perdagangan di Bandar
Niaga Banjarmasin.
Ajaran-ajaran tasawufnya diterima sebagian besar komunitas Maanyan dan Bukit.
Daerah Kelua, terkenal dengan mitos buaya jadi-jadian, sebuah ilmu yang dimiliki Datu
Kartamina, tokoh Maanyan dari Kerajaan Gagelang. Namun berkat tarekat yang diamalkan
Syekh Muhammad Nafis al Banjari, komunitas Maanyan dan Bukit di sekitar Kelua
sepenuhnya menerima Islam. Bentuk konkrit islamisasi di Kelua terdapat di Banua Lawas yang
dibangun masjid bernama Masjid Banua Lawas yang masih bertipe bangunan Balai Pemujaan
dari etnis Maanyam.
14
Sebagian etnis Maanyan masih menganggap tanah Masjid Banua Lawas merupakan
tanah leluhur sehingga jika mereka hendak membangun rumah, mereka mengambil sebagian
dari tanah di sekitar masjid tersebut. Dengan demikian medan dakwah Syekh Muhammad Nafis
al Banjari cukup luar biasa penuh tantangan, namun karena memiliki bekal ilmu tasawuf dan
tarekat serta selalu meminta perlindungan kepada Allah, ia berhasil melakukan islamisasi pada
sebagian komunitas Dayak di sekitar daerah tersebut.
Tantangan para ulama Islam dalam melakukan dakwah pada masyarakat Dayak
sebelum abad ke-19 adalah kuatnya ilmu magis yang dimiliki komunitas Dayak. Mereka
melakukan cobaan-cobaan secara gaib dalam bentuk serangan jarak jauh sehingga hanya
dengan tingkat kekuatan ilmu batin yang disertai dengan ibadah serta dzikrullah segala
serangan tersebut dapat terhindarkan.
Muhammad Nafis al Banjari adalah seorang pengajar dan aktivis jihad, yang
merupakan ciri utama neo-sufisme. Karena itu, pemerintah kolonial Belanda pernah melarang
masyarakat Indonesia membaca buku-buku karangannya, karena dikhawatirkan buku-buku
tersebut dapat mendorong masyarakat untuk melakukan jihad melawan penjajahan Belanda
ketika itu. Sebagian ulama yang dekat dengan kolonial Belanda sempat mengeluarkan fatwa
bahwa kitab al Dur al Nafis adalah bidah lagi menyesatkan. Menurut Hawwas Abdullah
pelarangan kitab tersebut beredar di masyarakat sebagai siasat Belanda, karena Belanda
mengetahui bahwa paham sufi seperti Syekh Muhammad Nafis yang ditulis dalam kitabnya al
Dur al Nafis bisa membuat masyarakat tidak takut mati dan akan muncul keinginan berjihad.
Belanda pun mengetahui bahwa sufi mengajarkan anti terhadap kafir, yang berarti anti kepada
Belanda karena tidak beragama Islam tetapi beragama Kristen.
Syekh Muhammad Nafis al Banjari wafat sekitar tahun 1812 M dan dimakamkan di
daerah Kalimantan Selatan.
Ajaran Syekh Muhammad Nafis dalam Kitab al Dur al Nafis
Pada bagian muqaddimah atau pendahuluan terbagi atas dua pokok pembahasan.
Pembahasan pertama menjelaskan tentang hal-hal yang merusak usaha seorang salik (orang
yang berusaha menjalankan kehidupan kesufian untuk mencapai keridhaan Allah). Hal-hal
tersebut antara lain:
1. Kasal yaitu malas mengerjakan ibadah dalam keadaan mampu
2. Futur yaitu lemah pendirian dan tidak mempunyai tekad yang kuat untuk
melakukan ibadah karena tergoda oleh kehidupan duniawi
3. Malal yaitu cepat merasa bosan dalam melakukan ibadah

15
Pokok bahasan kedua dari pendahuluan tersebut adalah berisi penjelasan-penjelasan tentang
hal-hal yang bisa mengakibatkan gagalnya seseorang dalam mencapai tujuan (Allah). Hal
tersebut adalah syirik khafi (Syirik tersembunyi) yang terdiri atas riya’ (pamer), sum;ah
(memperdengarkan ibadahnya kepada orang lain agar memperoleh kebesaran nama), ‘ujub
(bangga diri) dan hijab (dinding) maksudnya ibadahnya menjadi pembatas antara dirinya dan
Tuhan karena ia terpesona dengan keindahan ibadahnya itu, di samping itu dia kemudian
berhenti beribadah karena menganggap bahwa dia sudah sampai kepada Allah. Oleh karena
itu, Syekh Muhammad Nafis al Banjari mengingatkan bahwa untuk mencapai tujuan salik atau
sufi harus meyakini betul bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah dari Allah.
Dalam bagian kedua terdapat empat pasal, yaitu:
1. Tauhid al Af’al. pada tingkatan ini cara mengesakan perbuatan Tuhan yaitu dengan
berkeyakinan segala yang terjadi di seluruh alam ini baik itu kejadian yang baik
ataupunk ejadian yang buruk adalah tindakan atau perbuatan Allah. Perbuatan pada
bagian ini dijelaskan dengan berbagai arti sesuai dengan madzhab yang ada. Pada
pengesaan perbuatan diajarkan bahwa pengesaan perbuatan tidak menghilangkan atau
menggugurkan syari’at.
2. Tauhid al Asma’. Segala sesuatu yang ada di alam raya ini mempunyai nama. Namun
semua nama yang ada pada hakikatnya bersumber pada Allah. Setiap benda yang ada
di alam ini mempunyai nama dan setiap yang mempunyai nama pasti mempunyai
wujud, dalam hakikat yang wujud hanyalah Allah. Karena segala sesuatu yang wujud
selain Allah adalah khayal (imajinasi) atau wahm (ilusi) belaka.
3. Tauhid al Shifat, yaitu fana (hilangnya) seluruh sifat yang ada pada makhluk termasuk
dirinya sendiri, di dalam sifat Allah. Sifat-sifat seperti berkuasa, berkehendak,
mengetahui, hidup, mendengar, melihat dan berbicara adalah sifat-sifat Allah. Sifat-
sifat itu yang dimiliki makhluk hanya semu. Pada tahapan ini seorang salik sudah
mencapai tarah baqa’ fi sifat Allah yang menimbulkan perasaan bahwa pendengarannya
adalah pendengaran Allah, penglihatannya adalah penglihatan Allah, dan seterusnya.
Dengan demikian seluruh sifat Tuhan bertajalli (menjelma) dalam sifat-sifat makhluk.
4. Tauhid al Dzat, tahapan ini adalah tahapan terakhir atau tujuan akhir dari setiap usaha
seorang sufi. Sufi yang mencapai peringkat ini akan melihat bahwa tidak ada yang
maujud (benar-benar ada) kecuali wujud Allah, wujud yang selain wujud Allah adalah
fana (lenyap) di dalam wujud Allah.
Kemudian kitab tersebut diakhiri dengan pembahasan tentang martabat tanazzul (martabat
tujuh) serta keterangan-keterangan tentang karomah, dan keutamaan membaca shalawat.
16
Pengaruh Ajaran Tasawufnya
Pengaruh ajaran tasawuf Muhammad Nafis cukup luas di kalangan masyarakat. Melalui
karya tulisnya al Dur al Nafis, ajaran tasawufnya dikenal oleh kaum muslimin di berbagai
negara Asia Tenggara yang berbahasa Melayu.
Abad ke-19, Oktober 1861, muncul sebuah gerakan nativisme yang dipimpin oleh
Penghulu Rasyid. Gerakan ini berpusat di Amuntai dan banua Lawas-Kelua. Di Masjid Banua
Lawas mereka berkumpul dan melakukan amalan. Oleh sebab itu, gerakan ini disebut sebagai
gerakan Baratib-Baamal atau Baratib Bailmu.
Gerakan baratib Baamal merupakan gerakan untuk menentang Belanda. Mereka
mengamalkan wirid dengan tujuan memperoleh ilmu kebal dan keberanian. Mereka berpakaian
putih atau kuning. Serangan mereka terhadap Belanda diketahu, jika mereka melakukan wirid
yang biasanya bersambung beberapa hari. Format wirid sebagai berikut:

La ilaha illa Allah, menadah kepada Tuhan, rizki minta murahkan, bahaya minta
jauhkan, umur minta panjankan, serta iman. La ilaha illa Allah, tummat Makkah
ka Madinah, di situ tempat Rasulullah. La ilaha illa Allah, tumat Makkah ka
Madinah, di situ tempat Siti Fatimah. La ilaha illa Allah, hati yang siddiq. Iya
maulana, iya Muhammad Rasulullah. La ilaha illa Allah, hati yang mu’min bait
Allah. La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad hamba Allah. La ilaha illa Allah, Nabi
Muhammad pesuruh Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. La ilaha illa
Allah, Muhammad sifat Allah. La ilaha illa allah, Muhammad auliya Allah. La
ilaha illa Allah, Maujud Allah. La ilaha illa Allah.

Pelaksanaan zikir yang dilakukan pengikut Baratib Baamal merupakan sebuah


pelaksanaan tarekat dengan paham wujudiyyah. Kemungkinan besar, sebagai pengikut aliran
terakat dalam gerakan baratib Baamal masih ada hubungannya dengan Syaikh Muhammad
Nafis al Banjari. Karena itu, pada masa pemerintahan Belanda, kitab al Dur an nafis termasuk
kitab yang dilarang dan diawasi pemakaiannya, mengingat ajarannya cenderung menimbulkan
rasa berani bagi orang yang membacanya untuk menentang pemerintahan Belanda.
KH. Muhammad Djanawi mengatakan bahwa ajaran tasawuf kitab al Dur al Nafis
sangat berpengaruh di kalangan masyarakat, sehingga apabila orang sudah mempelajari ajaran
tasawuf di dalam kitab ini, orang itu merasa bangga. Ia juga berpendapat sebagai akibat dari
mempelajari ajaran tasawuf yang ada di dalam kitab tersebut orang kadang-kadang:
1. Bisa meninggalkan usaha kehidupanduniawi, karena ada kepercayaan di dalam dirinya
bahwa rizki sudah ditentukan sebelumnya oleh Allah.
2. Bisa juga menyebabkan orang yang mempelajarinya meninggalkan ibadah, karena ia
merasa hatinya belum terbuka memperbuatnya.

17
3. Bisa tidak menyesali kesalahan yang diperbuatnya, karena ia berpendapat bahwa kufur
dan maksiat itu baik saja menurut pandangan hakikat, karena semuanya berasal dari
Allah.
4. Bisa membuat seseorang berani berbuat maksiat, karena ia berpendapat bahwa maksiat
itu akan dinilai oleh Allah berdosa, apabila orang yang memperbuatnya itu menyadari
melakukannya.
5. Bisa membuat seseorang mengatakan bahwa semua benda itu Tuhan, karena adanya
kepercayaan pada dirinya terhadap adam al-kaun (tidak adanya alam semesta)
6. Bisa membuat seseorang mengatakan bahwa Nur Muhammad itu mesra menyatu
dengan tubuh manusia.
2.6. KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani
Latar Belakang Keluarga
KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau guru Ijai, Abah Guru dan yang masyhur
Guru Sekumpul sewaktu kecil dikenal dengan nama Qusyairy. Ia adalah anak pertama dari dua
bersaudara, hasil perkawinan Abdul Ghani bin H. Abdul Manaf dengan Hj. Masliah binti H.
Mulya, adiknya bernama Hj. Rahmah. Qusyairy kecil dilahirkan di Tunggul Irang, Martapura
pada tanggal 27 Muharram 1361 H atau 11 Februari 1942. Ia keturunan ke-8 dari Syekh
Muhammad Arsyad al Banjari.
Qusyairy kecil dikenal sebagai anak yang disiplin, pendiam, qana’ah, tidak suka
mengadu, teliti, suka menolong, dan kreatif. Semasa kecil beliau hidup dalam suasana yang
sangat agamis dan penuh kasih sayang. Selain bimbingan orang tua dan paman, akhlak mulia
yang dimiliki Qusyairy adalah juga hasil didikan neneknya (Salbiah) yang selalu bercerita
mengenai kehidupan Nabi dan Rasul serta orang-orang saleh di masa lau. Sudah menjadi
kebiasaan setelah shalat Isya, Qusyairy kecil ditemani neneknya menuju tempat tidur.
Kemudian neneknya menidurkan cucunya dengan bacaan:

Ya nafsiyah al salbiyah, ma’ani ma’nawiyyah ma fi qalbi ghairullah. La ilaha illahu


Muhammad al Rasulullah, fi kulli lamhatin wa nafasin ‘adada ma’wasi’ahu
ilmullah

Suatu malam Qusyairy bermimpi, merasakan seolah-olah berada di sebuah padang pasir, tegak
di samudera pasit yang luas terdapat satu bangunan yang menunjukkan sebuah temoat tinggal.
Mendekati bangunan tersebut, langkahnya terhenti. Tiba-tiba di tingkat atas muncul seorang
wanita Arab yang melemparkan sesuatu kepadanya. Qusyairy memungut benda itu sambil
hatinya bertanya-tanya. Namun keheranannya itu tidak membuatnya surut untuk terus
melangkah. Di tengah kebingunan yang mengitari pikirannya, Qusyairy tiba-tiba dikejutkan

18
oleh goncangan, bumi yang dipijak terasa bergetar. Tidak jauh dari bangunan itu dia bertemu
dengan dua orang pemuda, tegap dan tampan. Dua orang itu berkata “Kamu kami beri nama
Zainal Abidin.” Qusyairy hanya terdiam mendengarnya, lalu ia melihat tanah yang berada di
samping bangunan tiba-tiba bergerak. Qusyairy bertanya kepada keduanya, “Kenapa bumi tadi
bergetar?” “Itu adalah makam ayahanda Ali bin Abi Thalib.” Kemudian Qusyairy bertanya lagi
kepada mereka berdua tentang perempuan yang melempar sesuatu kepadanya. “Kalau
perempuan yang di atas bangunan tadi, Ibunda Fathimah,” jawab mereka berdua. Atas dasar
mimpi inilah, Qusyairy meminta kepada orang tuanya untuk memberinya nama baru yaitu
Muhammad Zaini.

Guru-Guru KH. Muhammad Zaini

Di antara 179 guru beliau, di antaranya:

1. Guru Sulaiman, wali kelas I Tahdiri PP Darussalam


2. Guru H. Abdul Hamid Husain,
3. Guru H. Mahali Abdul Qadir
4. Guru H. Muhammad Zein
5. Guru H. Muhammad Rafi’i
6. Guru HM. Husein Dahlan
7. Guru Syahran
8. Guru H. Syarwani Abdan (Guru Bangil)

Aktivitas Dakwah

KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani mulanya membuka pengajian di Kampung


Keraton di rumah pondokan yang sekarang dekat dengan makan ayahnya. Beliau mulai
menghidupkan shalawat burdah dan maulid habsyi sebagai cikal bakal pengajian Sekumpul.

Di tahun 1988, KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani pindah ke Sekumpul Martapura
dan membangun sejumlah bangunan, di antaranya kompleks pemukiman yang berjumlah 17
buah. Kompleks Sekumpul masih berada di Kelurahan Jawa, Kecamatan martapura. Di dalam
kompleks inilah KH. Muhammad Zaini mengadakan dan memimpin pengajiannya, sehingga
Sekumpul lebih dikenal dengan tempat majelis ta’lim yang dipimpin KH. Muhammad Zaini.
Pengajian ini diikuti oleh jamaah dengan usia rata-rata 12 hingga 60 tahun dengan latar
belakang pendidikan dan pekerjaan yang berbeda-beda, mulai dari santri, mahasiswa, dosen,

19
pedagang, pengusaha, pegawai negeri dan swasta, petani, pensiunan, guru agama, bahkan
pejabat pemerintahan.

Penekanan yang paling utama dalam pengajian Sekumpul adalah menyampaikan ajaran
akidah atau keimanan, keyakinan kepada Allah dengan paham yang dibawa oleh Abu al Hasan
al Asy’ari dan Abu Mansur al maturidi, tentang syariat, ibadah dan muamalah yang berkaitan
dengan permasalahan kehidupan menurut paham Imam al Syafi’I, kemudian ajaran tasawuf
berupa akhlak (etika) mengikuti pendapat imam al Ghazali.

Kitab yang digunakan dalam pengajiannya antara lain:

a. Tafsir al Qur’an dan Hadits: Tafsir Jalalain, Tafsir al Munir, Shahih al Bukhari,
Riyadhus Shalihin
b. Fikih: Perukunan Besar, Sabil al Muhtadin, Syarh Sittin, Syarh matan al Zubad, Bajuri
ala Ibn al Qasin, Syarh Matn Hadramy, Qalyubi wa Umairah Syarh Minhaj Imam
Nawawi
c. Akhlak tasawuf: Si’aru al Salikin, Ta’lim al Muta’allim, Minhatul Akyas fi Husnizhun
Binnas, Kifayatu al Atqiya, Risalah Muawwanah, Tanbihul Mughrattin, Nashaihul
‘Ibad, Nashaihuddiniyyah, Sullamu at Taufiq, Syarkhul ‘Ainiyyah, al Arba’in fi
Ushuliddin, Risalah Zadul Muttaqin, Syarh Jauhar at Tauhid, al Fusul al Ilmiyyah wa
al Ushul al Hikmiyyah
d. Shirah Nabawiy dan sejarah: Mukhtashar fi Shirat al Nabawiyyah, al Syamai al
Nabawi, Tabaqat al Kubra, Masyra’ al Rawi Mahawib al Quddus fi Manaqib al
‘Aidarus, Fath al Rahman al Rahim fi Manaqib al Syekh al ‘Arif Billah al Quthb al
Ghaus al ‘Aidarus, Kawakib al Durriyah, Qatr al Nida, Syarh Ibn Aqil.

Beliau menghidupkan kembali tarekat Sammaniyah pada masyarakat Banjar Kalimantan


Selatan. Tarekat Sammaniyah berasal dari Syekh Muhammad Ibn Abd al Karim al samman al
madani. Tarikat ini adalah gabungan dari beberapa tarekat seperti Khalwatiyyah, Qadiriyyah,
Naqsabandiyyah, ‘Adiliyyah, dan Syaziliyyah.

Karya dan Pemikiran KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani

1. Kitab al Risalatun Nuraniyah fi Syarhit tawassulatis Samaniyyah


Kitab ini terdiri dari pendahuluan, tawassul sammaniyah, syarh tawassul sammaniyah,
dan penutup. Dalam kitab ini disebutkan mengenai kebolehan bertawassul, istighatsah,
dan memohon syafaat kepada Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, para nabi dan rasul lainnya, para

20
wali Allah, dan orang shaleh. Bertawasul dan istighatsah mempunyai arti memohon
berkat dengan menyebut nama ulama yang sudah meninggal ataupun yang masih hidup.
Orang mukmin yang bertawasul meyakini dalam hatinya bahwa mereka yang
ditawasuli tidaklah memberi bekas dan yang memberi bekas pada hakikatnya hanya
Allah semata. Sedangkan mereka yang dijadikan perantara dan diminta berkahnya
adalah dikarenakan kedekatan mereka dengan Allah. Terhadap perantara kepada orang
yang masih hidup dan yang telah meninggal pada dasarnya tidak ada perbedaan.
2. Al Imdad fi ‘Aurad Ahl al Widad.
Kitab ini berisi amalan harian yang dapat diamalkan oleh muslimin dan muslimat. Di
antaranya berisi surat al kahfi, surat Yasin, surat al Fath, surat Al Waqi’ah, surat al
Mulk, Wirid al Lathif li al Habib ‘Abd Allah bin ‘Alwi al Haddad, Wirid al Syukran li
al Habib Abi Bakr al Syukran, Tarib al Haddad li al Habib ‘Abd Allah bin ‘Alwi al
Haddad, Ratib al ‘Aththas li al Habib ‘Umar bin Abd al rahman al Aththas, Qashidah
al Burdah li al Imam Bushairi, Qashidah li al Habib Abi Bakr al Idris al ‘Adani,
Qashidah li al Habib ‘Abd Allah bin Hasein dan lainnya.
3. Risalah Mubarakah Manaqib as Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al Qadiri al
Hasani al Samman al Madani.
Berisi pendahuluan, bagian inti manakib Syekh Samman yang membicarakan tentang
kepribadian Syekh Samman, dan wasiat-wasiat Syekh Samman di antaranya
laksakanlah shalat lima waktu dengan berjamaah, shalat Jumat, memperbanyak zikir,
membaca Al Qur’an, musyahadah wahdat al af’al, wahdat al shifat, wahdat al dzat,
muraqabah dan lainnya.

2.7. Panglima Utar

Biografi

Panglima Utar mempunyai nama asli Mukhtar bin Abdurrahim. Karena ia aktif sebagai
ulama yang memimpin para tokoh agama di Kumai (saat itu masih merupakan wilayah
keresidenan Kesultanan Kotawaringin), maka lebih akrab dipanggil sebagai Panglima Utar.
Mengenai tanggal kelahiran Panglima Utar tidak ada informasi yang otoritatif. Satu-satunya
sumber yang bisa memberikan informasi tentang tempat asal Panglima Utar adalah manuskrip
yang ditulisnya. Di bagian awal manuskrip disebutkan sebagai berikut:

‘Bism Allah al Rahman al Rahim. Mukhtar bin Abdurrahim yang punya ini kitab
dan keluarnya pada sanah 1324H (1906M). asalnya daripada Khathib Tarif
Margasari, Banjarmasin.: (Mukhtar, 1906: 27)

21
Dari kutipan di atas ada dua kemungkinan mengenai asal usul Panglima Utar. Pertama,
ia berasal dari Margasari, setelah ia mempelajari ilmu agama, khususnya tasawuf, bermigrasi
ke wilayah Kesultanan Kotawaringin saat itu dan menetap di Kumai. Kedua, ia memang asli
Kumai tetapi memperdalam ilmu agama, khususnya ilmu tasawuf, di Margasari. Margasari
merupakan kota besar setelah Martapura (Rahmadi dkk., 2010; Mujiburrahman, 2012).

Dari tahun penulisan ini diperoleh sedikit petunjuk untuk menelusuri tanggal kelahiran
Panglima Utar. Merujuk pada tradisi masyarakat Melayu Banjar dalam mempelajari ilmu
tasawuf bahwa tasawuf hanya boleh dipelajari ketika seseorang telah dianggap matang usianya
dan telah mapan pula pelaksanaan syariatnya. Patokan umur kematangan ini antara 30-40
tahun. Berdasarkan patokan ini dapat diperkirakan tahun kelahiran panglima Utar berkisar
antara 1876 sampai 1866 M.

Dalam catatan sejarah, Panglima Utar adalah seorang pahlawan Muslim yang gagah
berani. Semangat ajaran tasawuf benar-benar dihayatinya, sehingga ia mampu menggerakkan
umat Islam dalam wilayah Kesultanan Kotawaringin untuk mengusir penjajah Belanda dan
Jepang. Atas jasanya dalam menggerakkan umat Islam di Kotawaringin, Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Moh. Hatta meminta kepada Gubernur Kalimantan untuk membawa
Panglima Utar dan kawan-kawan ke Jakarta untuk memberikan informasi langsung mengenai
perjuangan masyarakat Kotawaringin dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Informasi lain yang melekat pada sosok Panglima Utar adalah ‘urang keramat” (orang
yang mempunyai karamah). Menurut beberapa informan, Panglima Utar mempunyai
kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa gaib. Bagi para sufi, kemampuan ini disebut ksyf,
yakni tersingkap atau terbuka dari tabir. Kasyf merupakan uraian tentang apa yang tertutup
bagi pemahaman, kemudian tersingkap bagi seseorang seakan-akan dia melihat dengan mata
telanjang meskipun pada hakikatnya adalah mata batin. Kasyf merupakan keterbukaan rahasia-
rahasia pengetahuan hakiki (Solihin dan Anwar, 2002: 146). Dituturkan, kedatangan pasukan
belanda yang akan menjajah wilayah Kumai dan Pangkalanbun telah diketahui Panglima Utar,
dan ia meminta kepada penduduk untuk segera mengungsi ke tempat-tempat aman. Orang-
orang dewasa laki-laki untuk mempersenjatai diri menghadang gerak pasukan Belanda. Pada
hari Senin, 14 Januari 1946 terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Kumai melawan
pasukan Belanda. Pada saat pertempuran itulah Panglima Utar menunjukkan karamah dirinya,
yang dilukiskan oleh teman seperjuangannya, Tuan Guru Haji Said Budin sebagai berikut:

22
“Panglima Utar mengambil air wudhu di pantai laut Kumai, menghunus pedang
memasuki kapal perang Belanda. Di kapal itulah Belanda dibuat terheran-heran
dan bingung. Panglima Utar berubah menjadi lima orang. Ketika Belanda
menembak Panglima Utar, tiba-tiba dari belakang Panglima Utar menebaskan
pedangnya. Hampir satu kapal dibunuh oleh Panglima Utar.” (Said Budin, 2017)

Karamah yang dimiliki oleh Panglima Utar tersebut bukanlah tujuan utama ia
mempelajari tasawuf dan juga bukan pula untuk menunjukkan ketinggian ilmunya, tetapi lebih
pada karunia Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Kalangan sufi bersepakat menetapkan
tentang adanya keramat para wali. Mereka mengkategorikan keramat para wali ini termasuk
dalam mukjizat. Para sufi menganggap cerita-cerita ajaib yang dialami oleh seorang sufi
haruslah dianggap sebagai cerita-cerita yang benar. Alasan mereka, karena Al Qur’an
memberikan ilustrasi mengenai adanya ‘makhluk yang telah diberikan ilmu dari kitab Allah’
sehingga mampu memindahkan singgasana dari satu tempat ke tempat lain (lihat: Surat an
Naml ayat 40, Ali Imran ayat 37).

Ajaran Tasawuf Panglima Utar

Satu-satunya manuskrip Panglima Utar yang memberikan informasi mengenai


pemikiran tasawufnya adalah sebuah naskah tulisan tangannya yang berjudul Ini Suatu Jalan
Daripada Jalan Kepada Allah Ta’ala Zat yang Wajib al Wujud Adanya. Naskah ini diselesaikan
penulisnya pada tahun 1906 di Margasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kondisi naskah
dalam kondisi baik menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Melayu. Tebal naskah 113
halaman.

Dengan merujuk bagian awal manuskrip, Panglima Utar mengaku bahwa naskah itu
disalin dari Khathib Tarif yang berlokasi di Margasari, Banjarmasin. Jika merujuk keterangan
Wikipedia, Margasari termasuk dalam kota besar pada abad XIX. Secara historis,
perkembangan tasawuf di wilayah Kalimantan Selatan, sejak awal berdirinya Kerajaan Banjar,
mulai dari Sultan Suriansyah (1527-1545 M) hingga periode awal pemerintahan Sultan
Tamhidullah II (1761-1801 M) ajaran tasawuf yang dominan ialah tasawuf aliran wahdah al
wujud, bahkan sempat menjadi paham resmi kerajaan yang dianut oleh para sultan dan
masyarakat ramai. Nama-nama seperti Datu Syuban, Datu Sanggul, Syeikh Muhammad Nafis
al Banjari (w. 1786 M) dan Datu Abulung atau Syeikh Abdul Hamid Abulung (w. 1780 M)
disebut-sebut sebagai para tokoh yang membawa pemikiran tasawuf wahdah al wujud di
kalangan masyarakat Islam Banjar melalui paham Nur Muhammad (Kolis, 2012: 175).

23
Dengan kenyataan di atas, maka dapat dipahami bahwa Panglima Utar selama belajar
di margasari telah mempelajari juga paham ini dan telah menganutnya sebagai bagian integral
dalam pemikiran tasawufnya. Bukti kuatnya pengaruh paham ini pada Panglima Utar
dikonfirmasi dalam manuskripnya sendiri: “Ana min Allah wa kulli syai’in minhu artinya aku
(Muhammad) daripada Allah dan segala sesuatu daripada aku.” Lebih jauh Panglima Utar
menulis:

“Karena tubuh kita yang kasar ini sekali-kali tiada dapat akan mengenal Allah
Ta’ala melainkan dengan nur Muhammad ‫ﷺ‬. Maka jangan engkau menduakan
perbuatan yang lain daripada nur tiap-tiap yang datang kepada kamu seperti
firman Allah Ta’ala di dalam al Qur’an, “Qad jaakum min Allah nur [QS. Al
Maidah: 15] artinya brang yang datang kepada kamu yaitu hak daripada Tuhan
yaitu nur, dan lagi firman Allah Ta’ala qad jaakum al haqq min rabbikum [QS.
Yunus: 108] artinya barang yang datang kepada kamu yaitu hak daripada Tuhan
kamu maka yaitu nur dan kepada nur yaitulah perhentian. Dan perjalanan segala
awliya dan segala anbiya mursalin mengenal Allah Ta’ala dan mula-mula sampai
pendapat arif billah pada martabat itu mula-mula tajalli pada martabat itu maka
hendaklah engkau ingatkan bahwasanya nur itu elah nyata daripada Allah Ta’ala
dan ilmu ini sekalian nyata jadi daripada nur Muhammad ‫ ﷺ‬seperti firman Allah
Ta’ala di dalam hadits qudsi khalaqtuka liajlika wa khalaqtu illa saya’i ajlika,
artinya Aku jadikan engkau dengan karena-Ku. Aku jadikan semesta sekalian
alam ini karenamu ya Muhammad. Maka sembah Nabi ‫ﷺ‬: ana min Allah wa al
‘alam minni, artinya aku daripada Allah dan sekalian alam daripadaku adanya.”
(Mukhtar, 1906: 60-61).

Dalam sejarah pemikiran tasawuf, tema tentang Nur Muhammad mula-mula


dibincangkan oleh al Tustari meskipun dalam bentuknya yang sederhana. Al Tustari
memahami kata matsalu nurihi (perumpamaan cahaya/nur-Nya) sebagai Nur Muhammad
(Bowering, 1980: 149). Selain al Tustari, sufi agung Diral Nun al Mishri (w. 283 H/ 860 M),
juga berpendapat bahwa “asal mula ciptaan Allah (makhluk) ialah Nur Muhammad.” (al Syibi,
1969: 365).

Pemikiran al Tustari kemudian dikembangkan oleh Mansur al Hallaj. Al Hallaj


mengkonstruksi gagasan Nur Muhammad sebagai dasar teori hulul dan wahdah al adyan.
Karena gagasan itu, al Hallaj didaulat sebagai bapak teori Nur Muhammad (Fattah, 1987: 186;
Kolis, 2012: 174). Dari gagasan al Hallaj, teori Nur Muhammad kemudian diformulasikan oleh
Syaikh al Akbar Ibn ‘Arabi yang memadukan tasawuf dengan filsafat dalam konsep wujudiyah,
yakni hakikat wujud ini hanya satu, yaitu wujud Tuhan yang Maha Esa, segala apa yang tampak
ada ini bukanlah wujud hakiki karena hanya sekadar tajalli Tuhan saja. Ajaran tasawuf Ibn

24
‘Arabi kemudian mempengaruhi pemikiran al Hilli dalam teori Insan Kamil dan al Burhanfuri
dalam teori martabat Tujuh.

Gagasan-gagasan itu kemudian sampai pula ke alam pemikiran tasawuf di Nusantara


dengan tokoh utamanya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dan sampai ke wilayah
Kalimantan Selatan berkat adanya interaksi yang intens antara kerajaan Banjar dan kerajaan
Aceh, antara ulama Banjar dan ulama Aceh pada abad XVII dan XVIII. Pada abad ke XVII
muncul dua tokoh tasawuf penting Syekh Ahmad Syamsuddin al Banjari dan pada abad XVIII
muncul Syekh Abdul Hamid Abulung. Berdasarkan fakta ini, ajaran tentang Nur Muhammad,
Insan Kamil, dan Martabat Tujuh sudah sangat luas pengaruhnya dalam alam pemikiran
tasawuf di Kalimantan Selatan dan Kalimantan pada umumnya. Dari sinilah ajaran tersebut
mempengaruhi pemikiran tasawuf Panglima Utar, dan kemudian ia sebarkan di wilayah
Kesultanan Kotawaringin dan jejak pengaruh ajarannya itu dapat dilacak hingga saat ini.

Ajaran Panglima Utar

1. Pentingnya Guru
Dalam manuskripnya, Panglima Utar mengingatkankepada mereka yang akan
mempelajari tasawuf agar mencari guru sejati, bukan sembarang guru.
Bagi para sufi, keberadaan guru (mursyid, darwis) merupakan persyaratan mutlak bagi
mereka (salik, murid) yang sedang menempuh dan menjalani lakon spiritual. Tanpa
kehadiran guru, seseorang dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam kesesatan. Karena
di kalangan sufi sudah disepakati bahwa “barangsiapa tidak mempunyai syaikh, setan
yang akan menjadi syaikhnya.” (Michon, 2002: 367). Guru ini mempunyai kekuatan
yang dapat membebaskan salik dari dirinya sendiri dari jiwa jasmaniahnya sehingga
memampukannya mendekatkan diri kepada Alam yang hakiki dan masuk kembali ke
dalam samudra Eksistensi Universal, kematian (Nasr, 1972: 58).
2. Wirid dan Zikir
Panglima Utar memulai uraiannya secara singkat mengenai beberapa bentuk doa dan
zikir serta shalat-shalat sunnah yang harus dilakukan. Berkaitan dengan shalat sunnah,
ia menyebutkan shalat sunnah rawatib yang berjumlah 22 rakat dan di antaranya 10
rakaat sunnah muakad. Ia juga menambahkan bahwa salat sunnah witir setelah shalat
Isya yang rakaatnya sekurang-kurangnya satu rakaat.

25
Panglima Utar menjelaskan tentang keutamaan salawat Nariyah yang berkaitan dengan
keperluan untuk memperoleh rezeki dari Allah. Berkenaan dengan shalawat ini, ia
menjelaskan sebagai berikut:

Ini shalawat (Nariyah) diamalkan tujuh malam lebih dahulu waktunya dimulai
pada tengah malam Jumat kemudian sampai tujuh malam, tiap-tiap tengah
malam bangun baca shalawat ini tujuh kali dan tiap-tiap satu kali baca shalawat
ini satu kali pintanya, pintanya dituntutkan rezeki dan yang lainnya boleh rupa-
rupa hajat kita maksud, boleh sebutkan ini shalawat dan amat besar faidahnya.
Tiada habis disebutkan di sini, terlalu panjang perkhabarannya. (Mukhtar, 1906:
98).

Ditambahkan Panglima utar, hendaknya salawat Nariyah diamalkan sungguh-sungguh,


yakni mengamalkan setiap malam atau setiap selesai shalat lima waktu. Buah dari
pengamalan yang terus menerus ini adalah Allah akan mendatangkan rezeki pada
seseorang yang takkan pernah putus-putusnya, dihindarkan dari berbagai kejahatan
dunia dan diberikan pula kelapangan hidup lainnya.
Selain itu, manuskrip juga menjelaskan tentang dzikir berjenjang sesuai dengan tingkat
entelektualitas dan kualitas spiritualitas seseorang. Mengenai tingkatan dzikir ini
dijelaskan Panglima Utar sebagai berikut:

Pasal diketahui pula olehmu daripada zikir lidah tatkala sehat badan laa ilaha illa
Allah artinya tiada Tuhan hanya Allah, atau tiada yang lain yang disembah
sebenar-benarnya hanya Allah; dan jikalau lidah kelu tiada dapat mengata
demikian itu [dapat dilakukan dengan] membilangkan ingat akan maknany akan
yang ada yang disembah hanya Allah. Dan zikir tatkala diam Hu Allah artinya,
aku dijadikan Allah. Adapun zikir hati tatkala sunyi Allah Allah Allah, artinya aku
serta Allah. Adapun zikir sirr itu ah artinya aku adapun artinya maka tiadalah
engkau rahasiakan Daku selama belum engkau lenyap di dalamKu dan tiada
engkau lenyap selama engkau belum melihat rupaKu seperti firman Allah “wa ma
khalaqtu al jinn wa al ins illa li ya’buduni, artinya telah Kujadikan jin dan manusia
akan menyembah Daku dan mengenal Daku, dan kata Abu Bakar: “ma-ra-aitu
syai’an illa ra-aitu Allah qablahu” artinya tiada aku lihat sesuatu hal (melainkan)
aku lihat Allah sebelumnya. Dan kata Umar bin Khattab, “ma ra-aitu syai’an illa
ra-aitu Allah ba’dahu” artinya tiada aku lihat sesuatu hal melainkan aku lihat
Allah kemudiannya. Dan kata Usman bin Affan “ma ra-aitu syai’an illa ra-aitu
Allah ma’ahu” artinya tiada aku lihat akan sesuatu hal melainkan aku lihat Allah
besertanya. Dan kata Ali bin Abi Talib “ma ra-aitu syai’an illa ra-aitu Allah fiih”
artinya tiada aku lihat akan sesuatu padahal aku lihat Allah di dalamnya.
(Mukhtar, 1906: 67)

3. Ajaran tentang Ma’rifah Allah


Ma’rifat Allah adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat
melihat Tuhan (Nasuiton, 1992: 75). Syekh Muhammad Amin al Kurdi dalam Tanwir

26
al Qulub mengatakan bahwa pengenalan diri adalah suatu hal yang penting bagi setiap
pribadi. Karena sesungguhnya siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia dapat mengenal
Tuhannya. Ia mengenal dirinya yang hina, lemah serta fana. Dari sini ia dapat mengenal
Tuhannya yang bersifat mulia, kuasa dan kekal abadi. Siapa yang jahil terhadap dirinya
berarti jahil pula terhadap Tuhannya. (al Kurdi, 1995: 483).
Menurut Panglima Utar bahwa untuk mengetahui Allah, jalan satu-satunya adalah
menilik pada diri sendiri. Karena pada dasarnya di dalam diri inilah Allah itu berada.
Panglima Utar merujuk firmal Allah dalam al Qur’an surat Adz Dzariyat ayat 56:
“Telah Kujadikan jin dan manusia akan menyembah Daku dan mengenal Daku.” Di
sini, Panglima Utar sangat menekankan pada “keserba-Tuhan-an” dalam diri hamba.
Hal ini bisa dirujuk kepada doktrin wahdah al wujud yang memposisikan manusia
sebagai “shatih” (citra-Nya) sehingga pada hakikatnya manusia itu adalah tempat tajalli
zat, sifat dan af’al Allah.

2.8. Syekh Abdul Hamid Abulung al Banjari

Legenda tentang ajaran dan meninggal Syekh Abulung sampai sekarang masih
kontroversial. Kemunculan dan kepergiannya dianggap sangat mengejutkan dan
menggempatkan berbagai kalangan dan masyarakat luas karena ajaran tasawuf wahdatul
wujudnya. Pengaruhnya sangat besar ketika ia menyatakan bahwa syariat yang diajarkan pada
masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat dan menyatakan statement baru bahwa
“Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku
adalah Dia”. Walaupun tidak meninggalkan karya tulis dan lebih bersifat tokoh lokal, namun
ketokohan Abdul Hamid diakui dan ajarannya -yang dikenal dengan istilah Ilmu Sabuku-
disampaikan oleh orang-perorang hingga sekarang secara lisan.

Dalam salah satu riwayat hasil penelitian Sahriansyah dan Syafruddin (2003) berkenaan
dengan Studi Naskah Risalah Tasawuf Syekh Abdul Hamid Abulung dikatakan bahwa Abdul
Hamid bukanlah asli orang Banjar, tetapi ia berasal dari negeri Yaman dan lahir pada tahun
1148 H/ 1735 M dan wafat 12 Dzulhijjah 1203/1788 M. sementara, ketika hukuman mati
diputuskan pada tanggal 12 Dzulhijjah 1203 H/1788 M atas perintah Sultan Tahmidullah UU
(1785-1808 M) di Martapura ia telah berusia 55 tahun. Riwayat lain menjelaskan hukuman
mati tersebut atas perintah Sultan Adam, karena pada masa inilah syariat Islam dalam bentuk
Undang-Undang Sultan Adam atau UUSA diterapkan di seluruh wilayah kerajaan Islam

27
Banjar. Syekh Abulung kemudian dimakamkan di Kampung Abulung Sungai Batang
Martapura.

Pendapat lain mengungkapkan bahwa Syekh Abdul Hamid Abulung yang dikenal juga
dengan sebutan Syekh Abulung hidup sezaman dengan Datu Kalampayan adalah asli orang
Banjar, beliau dilahirkan di Kampung Abulung, Sungai Batang, Martapura, yang bersebelahan
dengan Kampung Dalam Pagar.

Menelisik dari gelar yang dilekatkan padanya, sebagaimana dijelaskan oleh Humaidy
(Kandil, 2003), secara kultural sebenarnya mengisyaratkan bahwa Abdul Hamid adalah
seorang otkoh masyarakat Banjar yang disegani, mempunyai kekuatan magis dan supranatural,
dan kedudukan sejajar dengan Kepala Adat (termasuk Kepala Suku dan Dukun). Demikian
juga dengan predikat Syekh yang melekat pada namanya, menunjukkan status ketinggian ilmu
yang dikuasainya, terutama dalam ilmu agama sekaligus pula meliputi ketinggian ibadah dan
akhlaknya.
Sementara, membaca riwayat hidupnya, sejarah hidup Abdul Hamid mirip dengan versi
cerita Syekh Siti Jenar, yang ajarannya juga dianggap meresahkan masyarakat sehingga harus
dilenyapkan. Pihak kerajaan Banjar sesudah mendengar berbagai laporan tentang ajaran Syekh
Abdul Hamid yang meresahkan merasa perlu untuk memanggil dan menguji kebenaran ilmu
yang diyakininya. Panggilan yang disampaikan kepadanya dijawab persis seperti jawaban yang
dikemukakan oleh Syekh Siti Jenar. Namun pada akhirnya Abdul Hamid mau menghadap
sultan, yang akhirnya oleh kerajaan ia divonis hukuman dimasukkan dalam kerangkeng besi
dan ditenggelamkan ke sungai, namun ia tidak mati bahkan menurut cerita selama dalam
kurungannya tersebut ia sempat memberikan pelajaran kepada sepuluh orang yang dikenal
sebagai orang sepuluh. Kematian Abdul Hamid menurut versi yang beredar adalah dipenggal
leher oleh senjatanya sendiri sebagaimana wasiat yang disampaikannya kepada Sultan Banjar.
Menurut Ahmad Basuni (1986:49-51) keputusan menghukum mati Abdul Hamid
Abulung tersebut didasarkan fatwa Syekh Muhammad Arsyad al Banjari yang mengatakan
bahwa ajaran tasawuf yang diajarkan Syekh Abdul Hamid Abulung kepada orang awam dapat
menyesatkan akidah, membawa kepada syirik dan merusak kehidupan beragama. Namun
menurut Abu Daudi, penulis buku Maulama Syekh Muhammad Arsyad al Banjari: Tuan Haji
Besar, bahwa keputusan hukum bunuh terhadap Syekh Abdul Hamid Abulung bukanlah
keputusan atau restu Syekh Muhammad Arsyad al Banjari sebagaimana pendapat dari sebagian
orang.

28
Kupasan yang dikemukakan oleh Humaidy (Kandil 2003) bahwa tasawuf Abdul Hamid
bukan wahdatul wujud yang ekstrim sebagaimana yang dianut oleh Abu Yazid Bustami, ibnu
‘Arabi, ataupun Husein Manshur al Hallaj. Menurut Humaidy, ajaran tasawuf Abdul Hamid
tidak bisa dimasukkan dalam aliran ittihad, karena ia masih dalam tingkat fana wal baqa, itulah
sebabnya ia hanya menyatakan: “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku
melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”, sementara ittihad Abu Yazid menyatakan
“Aku adalah Engkau dan Engkau adalah aku” atau pula jika dibandingkan dengan paham
hululnya al Hallaj, karena Abdul Hamid telah melenyapkan diri dan menyatakan yang ada
hanya wujud Tuhannya, sementara Al Hallaj menyatakan bahwa dirinya telah melebur ke
dalam diri Tuhannya. Begitu pula dengan tasawuf Ibnu ‘Arabi yang sudah memakai kata
“Engkau” untuk menunjukkan kedekatan dirinya, sedangkan Abdul Hamid masih memakai
kata “Dia”.
2.9. Syeikh Ahmad Khotb as Sambasi
Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah seorang ulama yang mendirikan perkumpula
Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah. Perkumpulan thariqah ini merupakan penyatuan dan
pengembangan terhadap metode dua thariqat sufi besar, yakni Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan
Barat pada bulan Shafar 1217 H bertepatan dengan tahun 1803 M dari seorang ayah bernama
Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Sejak kecil Ahmad Khatib Sambas
diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad Khatib
Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, berguru dari satu
guru ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Kemudian orangtuanya mengirimkan
Abdul Khatib Sambas untuk meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya
Makkah. Maka pada tahun 1820 M, Ahmad Khatib Sambas pun berangkah ke tanah suci,
menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah sampai wafat
pada tahun 1875 M.
Beliau memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kehidupan keagamaan
di Nusantara, meskipun sejak kepergiannya ke tanah suci, ia tidaklah pernah kembali lagi ke
tanah air. Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syaikh Sambas, melalui
ajaran-ajarannya setelah mereka kembali dari makkah. Syeikh Sambas merupakan ulama yang
sangat berpengaruh dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqih
dan tafsir, termasuk Syeikh Nawawi al Bantani.
Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Sambas adalah sebagai
seorang ulama (dalam arti intelektual) yang juga sebagai seorang sufi (dalam arti pemuka
29
thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara. Hal
ini dikarenakan perkumpulan Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah yang didirikannya telah
menarik perhatian sebagai masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura,
Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei
Darussalam.
Peranan dan Karya
Thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah mempunyai peranan penting dalam
kehidupan muslim Indonesia, terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat
Indonesia. Para pengikut kedua thariqat ini adalah para pejuang yang dengan gigih senantiasa
mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan
sosial keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Ajaran Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karya Fathul
Arifin yang merupakan notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang
muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tahun
1295 H, kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir, muqarabah, dan silsilah
Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan
pengikut Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi
peribadahan khusus mereka. Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai
seorang tokoh sufi, namun beliau juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang
berupa manuskrip risalah Jum’at, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas
mengenai hukum penyembelihan secara Islam.
2.10. Syekh Muhammad Arsyad al Banjari
Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari Kamis dinihari 15 Shafar 1122 H
bertepatan dengan 19 Maret 1710 M. Ayahnya bernama Abdullah bin Abu Bakar dan ibu beliau
bernama Siti Aminah.
Di antara kepandaian Syekh Muhammad Arsyad saat kecil adalah seni melukis dan seni
tulis. Pada saat Sultan Tahlilullah sedang berkunjung ke Kampung Lok Gabang, Sultan melihat
hasil lukisan Muhammad Arsyad yang masih berumur 7 tahun. Karena kagumnya, tersirat di
hati Sultan untuk memelihara dan memberikan kesempatan belajar kepada beliau. Atas izin
dan restu dari kedua orang tuanya, maka Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari menetap di
istana guna belajar ilmu agama dan ilmu lainnya. Ia mendapat pendidikan penuh di istana
hingga usia 30 tahun dan dinikahkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.

30
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintas di hati Muhammad Arsyad
keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Makkah. Di tanah suci, Muhammad
Arsyad berguru kepada banyak guru, antara lain Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al Mishry, al
Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi dan al ‘Arif Billah Syekh Muhammad bin
Abdul Karim al Samman al Hasani al Madani. Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru
Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, di mana di bawah bimbingannyalah Muhammad
Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan
sebagai khalifah.
Selama menuntut ilmu di tanah suci, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan
dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad al Falimbani, Syekh Abdurrahman
Misri al Jawi, dan Syekh Abdul Wahab Bugis sehingga mereka dikenal sebagai Empat
Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu). Setelah kurang lebih 35 tahun menuntut ilmu di Makkah
dan Madinah, timbullah niat untuk menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan kepada
guru mereka, Syekh menyarankan kepada keempat muridnya ini untuk pulang ke Indonesia
untuk berdakwah di negerinya masing-masing.
Karya Tulis dan Pemikiran
Dalam menyampaikan dakwahnya, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari menggunakan
berbagai metode dan sarana. Di antara metode yang beliau gunakan yakni Metode Dakwah
Bilhal, Metode Dakwah Billisan, dan Metode Dakwah Bilkitabah. Tahun kedua setelah
kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dari Makkah, yakni tahun 1188 H atau 1774
M, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari mulai aktif menulis kitab-kitab yang mencakup semua
ajaran Islam dalam Bahasa Melayu. Menurut H. Irsyad Zein dalam bukunya Maulana Syekh
Muhammad Arsyad al Banjari, karya beliau ada 11:
1. Sabilul Muhtadin
2. Kitab Faraidh
3. Kitab Falak
4. Kitab Nikah
5. Luqthotul ‘Ajlan
6. Fatawa Sulaiman Kurdi
7. Kitab Ushuluddin
8. Tuhfaturroghibin
9. Al Qaulul Mukhtashor fi ‘Alamatil Mahdi al Muntazhor
10. Kanzul Ma’rifah
11. Mushaf Al Qur’an Al Karim
31
Sedangkan menurut H.M. Shogir Abdullah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari mempunyai
16 karya tulis.
Pemikiran Tasawuf Syekh Muhammad Arsyad al Banjari
Dalam ilmu tasawuf hubungan antara syari’ah, tarekat, dan hakikat sangat erat dan tidak
dapat dipisahkan baik pemahamannya maupun pengamalannya. Menurut al Banjari, setiap
yang zhahir itu pasti ada batinnya, syariah merupakan ibadah zhahir, tarekat adalah ibadah
zhahir batin dan hakikat merupakan ibadah batin. Ketiga-tiganya merupakan ibadah zhahir dan
batin dan harus diamalkan bersama-sama.
Pandangan ini sepaham dengan pandangan al Qusyairy bahwa syariah (amalan laihir)
adalah menegakkan perintah-Nya, menepati ibadah yang telah dituntunkan rasulullah atau
kewajiban yang mempunyai hukum-hukum sendiri. Sementara itu hakikat (ibadah batin)
sebagai pegangan aqidah yang diyakini di saat mengamalkan suatu amal ibadah yaitu melihat
keabadian Allah dengan mata hati. Itulah dilakukan ketika salik bermusyahadah dengan sifat
Rububiyah-Nya. Maksud ibadah zhahir yaitu amal ibadah yang nampak oleh indera, ibadah
batin adalah perbuatan hati yang tidak nampak oleh indera. Istilah ini hanya digunakan oleh
ulama sufi yang masyhur seperti al Junaid, Abu Yazid dan Ibn al ‘Arabi.
Menurut al Banjari, pencapaian sufi (salik) menuju ma’rifat Allah harus ditempuh
dengan menerusi ibadah syariah bersamaan dengan hakikat, dan kedua-duanya harus berlazim-
laziman. Keduanya, syariah dan hakikat itu sebagai shay’ ma’nawi, artinya satu makna yang
tidak dapat dipisahkan. Apabila seseorang itu mengerjakan syariah maka pada waktu
bersamaan ia juga menghayati maknanya. Oleh karena itu yang melakukan syariah tanpa
hakikat disebut orang awam.
Hubungan syariah, tarekat dan hakikat diibaratkan seperti anak tangga (sullam) yang
harus dilalui oleh mereka yang ingin mencapai derajat ma’rifah atau menjadi golongan ‘arif.
Anak tangga pertama adalah syariah. Anak tangga kedua adalah tarekat, yaitu sistem atau
tatacara pelaksanaan syariah/ ibadah seperti yang telah ditunjukkan Rasulullah, sahabat serta
para wali Allah yang shalih. Anak tangga ketiga adalah hakikat, yaitu ruh (jiwa) dari
pelaksanaan syariah sebagai perwujudan makna ihsan dalam ibadah.
Dari pendapat Arsyad al Banjari itu dapat dipahami bahwa ketiga unsur ini (syariah,
tarekat dan hakikat) harus dilalui karena ketiganya merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Dalam pengalaman para sufi apabila seseorang itu mengamalkan syariah dan
tarekat ini secara terus menerus dengan segala kesungguhan maka ia akan mencapai hakikat.
Syekh Arsyad al Banjari juga menjelaskan bahwa amal syariah itu bermasa atau terbatas,
adapun hakikat tidak bermasa dan tidak terhingga. Syariah adalah perintah mengikuti kehendak
32
Allah yang diamalkan dengan tulus dan benar, artinya mengerjakan sesuatu dengan ikhlas
karena Allah. Adapun hakikat adalah kesaksian kepada yang disembah disertai dengan usaha
mencari karunia Allah Ta’ala, karena karunia hanya ada kepadaNya dan diberikan kepada siapa
yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian)Nya lagi Maha Mengetahui.
Menurut al Banjari mengerjakan syariah tanpa hakikat adalah hampa, demikian juga
hakikat tanpa syariah adalah sia-sia. Beliau mengumpamakan ketiganya dengan buah kelembar
(buah kelapa), syariah adalah kuliatnya, tarekat adalah isi yang tersembunyi di dalam kulit,
adapun hakikat adalah seperti minyak yang tersembunyi di dalam isi. Tidaklah seseorang itu
akan sampai kepada isinya melainkan ia memecah kulitnya, dan tidaklah seseorang itu
mendapati minyaknya kecuali dengan mengupas, memarut dan memeras isinya.
Menurut al Banjari, orang yang telah mengenal Allah secara hakikat, ia akan dapat
memperoleh ma’rifat, dan ini harus melalui jalan syariah, tarekat dan hakikat. Peringkat inilah
maqam yang harus dilewati oleh seorang sufi agar dapat dicapai sampai pada ma’rifat Allah.
Apabila seorang telah mencapai ma’rifat Allah, maka atas izin Allah akan terbuka hijab (ilmu
kasyf/ ilmu ladunni) yang senantiasa menyelubungi antara hamba dan Pencipta.
Syariat dan hakikat diwajibkan oleh Allah untuk mencapai ma’rifat Allah. Maka syariat
dan hakikat harus dilakukan bersamaan. Apabila mencapai hakikat berarti ia telah ma’rifah
kepada Allah, karena itu hakikat sama dengan ma’rifah.
2.11. KH. Haderanie HN
Biografi
KH. Haderanie bin H. Nawawi bin H. Abdul Hamid lahir dari keluarga Melayu Banjar-
Bakumpai pada 16 Agustus 1933 di Puruk Cahu, sebuah kawedanan di Kabupaten Barito,
Provinsi Kalimantan sebelum Kalimantan terbagi menjadi lima provinsi. Ia adalah putera
kesepuluh dari pasangan H. Nawawi bin H. Abdul Hamid asal Negara dengan masudah binti
H. Adam asal Bakumpai. Ia berasal dari keluarga elite-religius yang kental dengan nuansa
Islam hingga pengajaran agama Islam pun secara penuh didapatnya di lingkungan keluarganya,
dari belajar “ngaji” (membaca Al Qur’an) hingga belajar ilmu-ilmu dasar agama Islam lainnya.
Di Sekolah Menengah Islam Pertama, ia mengikuti Pendidikan Kilat Muballigh yang
dipimpin KH. Asnawi Hadisiswoyo. Ia direkomendasikan oleh Tuan Guru Haji Suriansyah
untuk mengikuti pendidikan Kulliyah Muballighin di Semarang, Jawa Tengah. Selanjutnya ia
berguru antara lain kepada KH. Zainan Ilmi (Martapura), KH Hanafi Gobet (Banjarmasin), dan
KH. Abdussamad (Alabio). Selanjutnya meneruskan pendidikan pada Madrasah Muballighin
dan Kulliyah Muballighin di Semarang dengan Prof. KH. Saifudin Zuchri. Tahun 1955,
Haderanie bersama Usman Rafiq, Mawardi Yasin, Tarmizi, dan Gusti Muhammad Yusuf
33
membangun organisasi Nahdlatul Ulama di Muara Teweh, Barito. Pengurus Dewan Pimpinan
Wilayah NU Kalimantan Tengah sejak berdiri hingga tahun 1005 ini juga merupakan anggota
Mustasyar Pengurus Besar NU periode 1999-2004. Ketika berusia 23 tahun, dalam
pemerintahan menjabat Ketua DPRD Tk. II Barito, Wk. Ketua Dewan Pemerintahan Kab.
Barito, sebelum terbaginya Kalimantan menjadi 4 provinsi. Di tahun 1967 beliau diangkat
sebagai anggota Badan Pemerintahan Harian Tk. I Kalimantan Tengah dengan tugas membantu
Gubernur, sampai akhir masa jabatan tahun 1972. Ia menikahi Mastian Ruslim binti Asran bin
Ahmad, yang kemudian dikaruniai 9 anak.
Sebagai guru, KH. Haderanie HN pernah mengajar di SMRP Negeri dan SMA Negeri
di Muara Teweh, dengan mata pelajaran Bahasa Inggris dan Tata Buku. Selain itu, ia juga
pernah menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam (IAIN) Antasari Cabang
Palangkaraya dengan mata kuliah Tauhid dan Tasawuf. Sebagai pendakwah, ia memimpin
pengajian khusus Tauhid dan Tasawuf di Banjarmasin (1966-1967), Palangkaraya, Muara
Teweh, sampai pelosok-pelosok pedalaman Barito Utara, terutama di daerah Puruk Cahu
(sekarang menjadi Kabupaten Murung Raya) dan juga Surabaya. Di bidang politik, pada tahun
1955 beliau aktif dalam Partai Politik NU. Tahun 1972, ia pindah dan bermukim di Surabaya
dan selama bermukim di sana ia tetap mengajar Tauhid dan Tasawuf serta menulis dan
menerbitkan beberapa buku antara lain:
1. Ma’rifat, Musyahadah, Mukasyafah, dan Mahabbah
2. Asmaul Husna Sumber Ilmu Tauhid/Tasawuf
3. Permata yang Indah (penerjemah dan pensyarah atas al Durr al Nafis karya Nafis al
Banjari)
4. Maut dan Dialog Suci (terjemahan Mukhtashar at Tadzkira karya al Qurthubi)
KH. Haderanie HN meninggal dunia hari Ahad, 28 Desember 2008 di Rumah Sakit Ulin
Banjarmasin.
Neo-Sufisme KH. Haderanie HN
Pembaharuan tasawuf (neo-sufisme) yang dilakukan oleh KH. Haderanie HN baik
langsung maupun tidak langsung merupakan kesinambungan dan keberlanjutan gerakan
pembaharuan di Kalimantan pada abad XVII dan XVIII melalui apa yang disebut oleh
Azyumardi Azra (1994) dengan ‘jaringan ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara’. Ciri
paling menonjol dari gerakan pembaharuan pada saat ini adalah saling pendekatan antara para
ulama yang berorientasi syariat (lebih khusus lagi, para fuqaha) dan para sufi mencapai
puncaknya. Konflik yang berlangsung lama antara kedua kelompok cendekiawan muslim
tampaknya telah banyak berkurang; sikap saling pendekatan atau rekonsiliasi di antara mereka
34
-yang diajarkan dengan gigih oleh ulama seperti al Qusyairi dan al Ghazali beberapa abad
sebelumnya- banyak dijalankan para ulama. Sebagian besar mereka adalah ahl al syariah
(fuqaha) dan ahl al haqiqah (sufi) sekaligus. Sikap saling pendekatan antara syariat dan tasawuf
(sufisme) dan masuknya para ulama ke dalam tarekat mengakibatkan munculnya ‘neo-sufisme’
(Azra, 1994: 109).
Istilah neo-sufisme sendiri diperkenalkan oleh Fazhur Rahman. Menurut Rahman, neo-
sufisme mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode
dzikir dan muraqabah (konsentrasi kerohanian) guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi
konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi (ortodoks) dan bertujuan untuk meneguhkan
keimanan kepada akidah yang benar dan kemurnian moral dari jiwa. Melucuti dari ciri dan
kandungan ekstatik dan metafisiknya dan digantikan dengan kandungan yang sesuai dengan al
Qur’an dan Sunnah (Rahman, 1979: 205-206). Tasawuf model baru ini menekankan dan
memperbarui faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan
mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang.
Sasaran pembaharuan tasawuf lainnya ditujukan pula untuk meluruskan penghormatan
berlebihan kepada wali Allah, dan tradisi atau pemikiran yang diklaim sebagai manifestasi dari
tasawuf, antara lain, konsep Ilmu Alif yang dianggap sebagai bagian dari ajaran tasawuf.
Dipercayai bahwa manusia di alam akhirat akan wujud dalam berbagai keadaan. Supaya badan
manusia berwujud seperti keadaannya di dunia, maka diamalkanlah Ilmu Alif. Ilmu ini
diamalkan setiap shalat. Jika seseorang tidak mengingatnya, maka ia akan kehilangan anggoa
tubuh di akhirat.
“Alif antara dua keningku baitullah di badanku. Ba kening kananku. Ta kening kiriku. Tsa
dahiku. Jim ubun-ubunku pintu Ka;bah di badanku. Ha bahu kananku. Kha bahu kiriku. Dal
kaki kananku. Dzal kaki kiriku. Ra rusuk kananku. Zai rusuk kiriku. Sin dada kananku. Syin
dada kiriku. Shad telinga kananku. Dlad telinga kiriku. Tha mata kananku. Zha mata kiriku.
‘Ain tangan kananku. Ghain tangan kiriku. Fa pinggang kananku. Qaf pinggang kiriku. Kaf
belakang kananku. Lam belakang kiriku. Mim mukaku. Nun otakku. Wawu pusatku, batu
bergantung di badanku. Ha hatiku Ka’bah di badanku. Lam alif sulbiku, ‘Arsy dan Kursi di
badanku. Hamzah jantungku. Ya nyawaku utama Muhammad rahasia Allah di badanku.”
(Hermansyah, 2010: 197-198).
Boleh jadi kekeliruan pemahaman tasawuf seperti di atas akibat dari cara pengajaran
tasawuf yang dianggap sebagai ilmu yang spesial yang sangat rahasia, sehingga tidak
sembarang orang mempelajarinya. KH. Haderani HN menyayangkan jika tasawuf dianggap
sebagai rahasia; memperlajari tasawuf-Ketuhanan haruslah sudah matang dalam hal-hal
35
syariat, mendalam ilmu fikihnya, harus tahu segala hukum secara terperinci (tafsili). Selain itu,
ada yang mengatakan. “Janganlah kita berikan ilmu rahasia ini kepada orang yang selain itu.”
(Haderanie, ttbh: 187). Akibatnya, menurut Haderanie, banyak pengajian tasawuf dilakukan
sembunyi-sembunyi dan diajarkan oleh orang yang bukan ahlinya. Ia lebih jauh mengingatkan:

“Manusia ingin mencari kepuasan batin dengan mencari ilmu ke arah itu, akan
tetapi bila diberati dengan bermacam syarat dan ketentuan yang dirasa sulit
untuk dilaksanakan, akhirnya mereka muncur teratur atau timbul kecenderungan
untuk pengisian batin itu dengan cara-cara yang praktis, yang malah timbul hasil
sebaliknya tidak sesuai dengan ajaran yang ada. Tapi apa mau dikata, namun
mereka merasa mendapat pengisian batin sesuai hajat mereka. Kita jangan
heran, bahwa orang yang berada di tempat padang pasir yang sedang kehanisan
air dan tidak menemui apa-apa untuk pelepas haus dahaga, di saat-saat
demikian, air yang kotor bagaimana pun akan diminum. Sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah ‘Kadza al faqru yurist al kufra’ (hampir saja orang
yang fakir itu menderita kekafiran).

Guru-guru saya dan saya sendiri tidak berpendapat, bahwa untuk menuntut ilmu
ini harus serba lengkap dengan ilmu-ilmu yang lain. Pengertian yang dikatakan
‘ahlinya’ ialah orang-orang yang memiliki kecerdasan dan intelejensia untuk
mendalami masalah kebatinan. Tentu saja mereka harus mengerti mana yang
baik dan mana yang buruk, meskipun pengertia mereka secara ijmali (global).
Sebagai seorang muslim, mereka tentu mengerti dan mengucapkan kalimat
syahadat, shalat, puasa, dan sebagainya yang mereka laksanakan.” (Haderania,
tt: 188)

Meskipun ada keharusan mengajarkan tasawuf secara terbuka di atas, KH. Haderanie
mengakui adanya ungkapan-ungkapan dan rumus serta isyarat di dalam ilmu ini banyak sekali
yang harus dimengerti. Menghadapi ini, Haderanie menekankan pentingnya seorang guru
untuk membantu mengungkap makna dari ‘ungkapan, rumus, dan isyarat’ tasawuf tersebut.
Tanpa guru banyak kemungkinannya salah pengertian yang berakibat malah menyesatkan.
Karena itu, sekali lagi, Haderanie menegaskan:

“Guru bukanlah seseorang yang pasti bisa mengantar muridnya untuk sampai
kepada Allah. Sama sekali tidak. Guru hanyalah sekadar menunjukkan jalan,
memberi pengertian dan pemahaman. Namun semua itu adalah tergantung
seluruhnya kepada kehendak Allah sendiri. Apalagi bila sampai kepada
pengertian hakiki tentang makrifat ialah ‘Allah sendiriyang memperkenalkan diri-
Nya”. (Haderanie, tt: 178).

Meluruskan Konsep Ma’rifah Allah (Mengenal Allah)


Sejak abad III H atau abac IX M tasawuf mulai mendapat bentuknya yang jelas sebagai
mistik Islam (Baisuni, 1969; 5-25; Karamustafa, 2007). Pada waktu itu para sufi telah
membicarakan ma’rifah. Yang dimaksud dengan ma’rifah adalah mengenal Tuhan secara

36
langsung, dengan pandangan batin atau mata hati yang telah mendapat sinar-Nya, dan
tenggelam dalam keesaan_nya yang Mutlak itu sedemikian rupa, sehingga yang dilihat sufi
ketika itu hanya Dia (Nasution, 1985; 51-67; Isa, 2001: 45).
Arsyad al Banjari dalam Kanz al Ma’rifah juga membahas ma’rifat ini dengan merujuk
pada hadits Nabi: “Barangsiapa mengenali akan diri, niscaya mengenal ia akan Tuhannya.”
Mengenal Tuhan, menurutnya, hanya bisa dengan makrifah yang diberikan Tuhan kepada
seseorang yang berusaha mengenal-Nya, karenanya memperoleh makrifah dari Tuhan
merupakan puncak tasawuf al Banjari. Seseorang bisa memperoleh makrifah dari Tuhan
apabila dia sudah mengenal dirinya sendiri. Untuk ini, al Banjari menegaskan ada tiga hal yang
disebutnya sebagai hakikat oleh seseorang itu, yaitu: Pertama, mengenal asal kejadian diri
yakni Nur Muhammad. Dalam hal ini dia tidak memperluaskan tentang teori Nur Muhammad,
seperti pada kitab-kitab tasawuf lainnya, seperti Sair al Salikin oleh al Palimbani dan al Durr
al Nafid oleh Muhammad Nafis al Banjari. Kedua, mematikan diri sebelum mati yang
sebenarnya. Al Banjari menjelaskan bahwa seseorang harus meyakini dalam hatinya bahwa tak
ada yang mempunya sifat seperti kuasa, kehendak, hidup dan sebagainya (termasuk dirinya)
kecuali Allah. Ketiga, memfanakan sekalian diri itu dalam qudrat, iradat, dan ilmu Allah. Inilah
maqam tertinggi seseorang yang dibagi dua, yaitu fanasi hamba dari segala sifat basyariyahnya
yang juga disebut dengan qurb al nawafil, dan fanasi hamba dari selain Allah dan kulliyah
dirinya, yang disebut jgua dengan qurb al fara’id (Shariansyah, 2003; 15-26; Sabda, 2005; 170).
KH. Haderanie HN menulis buku khusus yang berbicara tentang empat konsep penting
dalam tasawuf: ma’rifah, musyahadah, mukasyafah, mahabbah (4M). yang menarik dari buku
ini adalah ketika sang penulis mengawali pembahasannya tentang konsep ma’rifah yang agak
“ganjil” di kampung halamannya, yang berbeda dari konsep tasawuf di atas. Ia menuturkan
pengalamannya berguru kepada seorang guru yang mengajarinya hakikat ma’rifah.

“Uluh ji jida maku mangatawani kungaie, sama beh dengan lanjung buang. Itah
tuh harus mangatawani, narai asal kunge, narai aran asli kungetuh, kueh anakaie
petak asal Nabi Adam si huang kunge, dan narai aran petak jite. Alam semesta
tuh ada si huang kunge ada matan andau huang kunge, matan andau ji bagerek
dan ji jida bagerek, ada angin, ada danum, sungai, petak, wasi, wasi kuning,
naraka, sorga uras ada si guang kunge itah kabuat. Yaweh ji jida katawan sorga
huang kunge dan aran sorga te, ela harap ie mengekeme ji aran sorga. Jibril,
Mikail, Izrail, Israfil, ataupun Abu bakar, Umar, Usman, Ali, samandeah e ada si
huang kunge dan ada arai e masing-masing. Yaweh ji handak jagaa, harus
katawan narai aran asli Izrail pencabut nyawa, dan aran Saidina Ali ji asli e. harus
katawan si kueh andakai e si kungan itah. Ka’bah ada si huang kunge, yaweh
katawan andakai e dan aran asli e, biar jida usah mandai Haji kan Makah, sama
beh dengan mandai haji….”

37
“Orang yang tidak mau mengetahui dirinya, sama saja dengan sebuah karung
kosong melompong. Kita ini harus tahu, apa asal diri dan apa nama asli diri ini. Di
mana letaknya tanah asal Nabi Adam yang ada di dalam diri dan apa nama
tanah itu. Alam semesta semuanya ada di dalam diri, ada matahari pada diri,
matahari yang bergerak dan tidak bergerak, ada angin, ada air, ada sungai,
tanah, besi, besi kuning, neraka, sorga, semuanya itu, janganlah dia berharap
untuk dapat merasakan sorga. Jibril, Mikail, Izrail, Israfil ataupun Abu Bakar,
Umar, Usman, Ali, semuanya berada di dalam diri dan ada pula nama asli
masing-masing. Siapa yang ingin jagoan, haruslah mengetahui apa nama asli
Izrail Pencabut nyawa dan nama asli Saidina Ali, dan harus tahu di mana letaknya
pada diri. Ka’bah juga ada di dalam diri kita sendiri. Siapa yang mengetahui
letaknya pada diri dan nama asli Ka’bah itu, meskipun tidak pergi haji ke
Makkah, sama saja nilainya dengan naik haji.” (Haderani; tha: 14-15)

Mengkaji ilmu di atas cukup tiga malam berturut-turut. Syaratnya adalah mengetahui
nama-nama yang dimaksudkan sang guru dan mengetahui di mana semuanya itu letaknya
dalam tubuh (Rahman, 2004; 12). Ajaran sang guru ini setelah dipahami secara seksama
ternyata sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu makrifat atau ilmu tasawuf seperti
yang ada dalam Islam, bahkan justru ada bagian-bagian tertentu yang mengarah pada
kesesatan. Misalnya, paham Ka’bah dalam diri yang memungkinkan seseorang, sekalipun telah
mempunyai kemampuan menurut syarak, untuk meninggalkan rukun Islam yang terakhir, yaitu
menunaikan ibadah haji ke tanah suci (Haderanie, ttha: 16). Padahal, tasawuf tidak bisa
dipisahkan dengan syariat. KH. Haderanie HN menegaskan: “Apabila ada ajaran yang
mengatakan bahwa ajaran itu adalah ajaran tasawuf yang asli dan sejati tetapi meninggalkan
hukum syarak, maka jelaslah ajaran yang sesat” (Haderani, tthb: 43); “apabila sekitanya Anda
sampai berkeyakinan/beriktikad, gugur taklif syarak (atau tidak bersyariat lagi) maka jatuhlah
Anda ke dalam golongan yang dinamakan kafir zindik” (Haderanie, tt: 27).
Menurut KH. Haderanie, ajaran tasawuf adalah ajaran kebersihan batin dan
menyangkut aspek esoteris Islam yang semata-mata mengarahkan pencarinya untuk bisa
memasuki hadrat al qudsiyah (hadrat kesucian) dengan ma’rifah (pengenalan) yang sempurna
agar bisa musyahadah (menyaksikan) dan mukasyafah (terbuka mata batin) dengan siraman
mahabbah (cinta) dari-Nya (Haderanie, ttha: 13). Ma’rifah atau gnosticakan didapat sepanjang
ajaran yang dipakai adalah ajaran yang benar yang memberi pengaruh yang besar terhadap
pembinaan diri seseorang serta dapat menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji
(mahmudah) sekaligus pula akan mampu menghindarkan diri dari sifat-sifat yang tercela
(mazmumah) (Haderani, tt: 14). Dengan demikian, pengenalan diri ini akan mengantarkan
manusia untuk terus menerus menelusuri kesejatian dirinya yang berujung pada hanya
menampilkan akhlak yang terpuji. Karena akhlak inilah cahaya Tuhan akan masuk ke dalam

38
hatinya. Jadi, tidak ada seorang manusia pun yang mampu untuk mengenal-Nya dalam arti
hakiki kecuali dengan kehendak-Nya (Haderanie, tthb: 181). Dia sendiri yang akan
memperkenalkan diri-Nya (Haderanie, tt: 118).
Aktivisme: Usaha-Ikhtiar Hamba
Ciri dari neo-sufisme lainnya adalah aktivisme dan menjaduhi hidup isolatif. Berkaitan
dengan ini, KH. Haderanie HN menegaskan bahwa hidup ini haruslah sesuai dengan ajaran
Rasulullah. Selama hidup di dunia ini banyak tuntunannya untuk dapat menerapkan kehidupan
keakhiratan. Hal ini berdasarkan pesan Nabi kepada dua sahabatnya, Umar dan Ali, agar kelak
menemui seorang yang bernama ‘Uwais al Qarni, seorang yang diberi gelar oleh Nabi sebagai
‘seorang manusia penduduk langit’ yang bermakna bahwa ada jalan menempuh hidup
keakhiratan selagi masih hidup di permukaan bumi ini’ (Haderanie, tt: 139). Hidup keakhiratan
ini, menurut Haderanie, dapat pula disebut dengan ‘kehidupan alam malakut’ yang dengan
sendirinya memperhatikan bagaimana hidupnya para malaikat.
KH. Haderanie HN mengingatkan adanya tarik menarik antara dua kehidupan akhirat
dan kehidupan dunia. Apabila dia tertarik oleh unsur malakiyah atau samawi, maka
beruntunglah manusia itu. Sebaliknya, jika tarikan unsur hayawani atau arai (kehidupan
duniawi) lebih kuat, niscaya rugilah manusia (Haderanie, tthb: 140-141). Berkaitan dengan ini,
Haderanie menawrkan agar manusia mengharmonikan kedua kehidupan tersebut, ia menulis:
“Ambillah contoh Nabi Sulaiman yang kaya raya tapi tidak tersangkut hati dengan kekayaan,
hatinya benar-benar rumah Allah, selalu dzikir dan puji kepada Allah, kekayaan dan harya
bukan tempatnya di hati. Ambillah contoh pada Nabi Yusuf, berpangkat dan rebutan wanita.
Tanda pangkat hanya sekeping perak atau tembaga atau hanya sekadar emas sepuhan, bukan
letaknya di hati tetapi terletak di bahu kanan atau kiri, bisa dilepas bisa dipasang, tidak pula
beliau tersangkut hati pada wanita dan tidak meletakkan wanita dalam hatinya, karena ini
mutlak sepenuhnya tempat dzikir kepada Allah.” (Haderanie, tt: 141).
Pernyataan Haderanie di atas menegaskan bahwa seorang hamba Allah tetap harus
memikirkan kehidupan duniawinya, namun tidak sampai merusak hatinya. Sebab, hidup ini
adalah amanah Allah. Allah sebagai pemilik amanah telah menentukan apa yang harus
diperbuat terhadap amanah-Nya. Untuk melaksanakan amanah-Nya, Allah memberi manusia
akal, tenaga, dan kemampuan, sehingga semua tugas akan dapat terlaksana (Haderanie, tt: 81).
Karena, keniscayaan bagi manusia untuk berusaha dan berikhtiar menjalankan amanah tersebut
(Haderanie, tt: 44). Dengan demikian, yang paling dipentingkan di sini adalah nilai
keseimbangan (mizan atau tawazun), sehingga prinsip utama hidup ideal seorang muslim
adalah orang dengan lurus menghadapi dirinya sendiri kemudian memenuhi hak badannya dan
39
hak ruhnya, maka ia telah berbuat adil kepada kemanusiaannya, sejalan dengan sunnatullah,
dan hidupnya dengan dama di dunia dan di akhirat. Jika ia cenderung hanya kepada salah satu
dari dua jurusan itu, sambil berpalingd ari yang lain, maka ia telah berbuat zalim kepada
dirinya, dan menghadapkan dirinya itu menentang sunnatullah. Barangsiapa menghadapkan
dirinya menentang Kebenaran tentu hancur.
Dengan uraian di atas, jelaslah bahwa tasawuf KH. Haderanie mengikuti konsep neo-
sufisme yang sudah dilakukan oleh para ulama sufi Nusantara sejak abad XVII dan XVIII.
Selain itu, aktivisme tasawuf juga dibuktikan oleh KH. Haderanie dengan terlibat aktif di
berbagai organisasi keagamaan dan politik. Kenyataan ini merupakan posisi yang unik, yang
membuktikan kemampuan seorang sufi modern dalam mengaktualisasikan dirinya di tengah-
tengah masyarakat. Ini juga menjadi bukti bahwa seorang sufi bukanlah ia yang mengisolasi
diri di sebuah tempat yang sunyi, melainkan justru berkontribusi bagi masyarakatnya. Keadaan
ini sekaligus membuktikan kebenaran dari pernyataan Haderanie: “Ilmu tanpa amal sama sekali
tidak ada gunanya.”

“Seyogyanyalah Anda mengamalkan segala ilmu yang Anda ketahui agar


Anda mendapat kemenangan dunia dan akhirat, karena Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,
“Sesungguhnya manusia yang mendapat adzab yang paling hebat di Hari Kiamat
ialah seorang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya.’” (Haderanie, tt: 179).

40
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari makalah di atas, dapat kita simpulkan bahwa ulama tasawuf memiliki peranan
yang besar dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang di daerah Kalimantan dan
memiliki peran yang signifikan serta berpengaruh luas terhadap penyebaran agama Islam di
Nusantara khususnya Kalimantan.
3.2. Saran
Persebaran tasawuf di Indonesia sudah tersebar luas di seluruh nusantara salah satunya
yaitu tersebar di Kalimantan dengan berbagai pemikiran yang dibawa oleh tokoh-tokohnya.
Untuk itu perlu kiranya penelitian lebih mendalam guna mendudukkan posisi masing-masing
tarekat ini di dalam sudut pandang Islam sesuai pemahaman para salafus shalih.

41
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daudi (H.M. Irsyad Zein), Al’Alimul ‘Allamah Al’Arif Billah As-Syekh H. Muhammad
Zaini Abdul Ghani, (Martapura: Yapida, 2012), h. 10.
Al-AdYaN/Vol.VIII, N0.2/Juli-Desember /2013 hlm. 91-102
Arsyad al-Banjārī, Syaikh Muhammad. 1323 H. Kanz al-Ma‘rifah. Manuskrip tanpa nama
penyalin. Banjarmasin: tp.
Azra, Azyumardi. 2002. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor
Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Bruinessen, Martin van. 1994. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan.
Haderani HN., KH. Tt. Ma`rifat, Musyahadah, Mukasyafah, Mahabbah. Surabaya: CV. Amin.
Haderanie HN, KH. Tt. Ilmu Ketuhanan: Permata Yang Indah. Surabaya: CV. Amin.
Kolis, Nur. 2012. “Nur Muhammad dalam Pemikiran Sufistik Datu Abulung di Kalimantan
Selatan”. Jurnal al-Banjari, Vol. 11, No. 2, Juli 2012: 171–196.
Nafīs al-Banjārī, Syaikh Muḥammad Nafīs ibn Idrīs. Tt. Al-Durr al-Nafīs fī Bayān waḥdah al-
Af‘āl wa al-Asmā’ wa al-Ṣifāt wa al-Żāt alTaqdīs. Singapura: al-Ḥaramain.
Rahman, Fadli. 2004. “Ajaran Tasawuf K.H. Haderanie H.N: Sebuah Paradigma Baru
Mistisisme Islam di Kalimantan Tengah.” Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Volume 1,
Nomor 1, Juni 2004.
Mirhan, KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani di Martapura Kalimantan Selatan…, h. 94
Safwan, abu nazla.2007.100 Tokoh Kalimantan.Kandangan: Toko Buku Sahabat
Sulaiman. 2017. “Tasawuf Lokal Panglima Utar di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah”.
Jurnal UIN, Vol. 15, No. 1, Mei 2017: 96-111.
Vieya, Idhank. 2013. “Cerita K.H. Haderani”, http://kisahlawas.blogspot.com/2013/03/ cerita-
kh-haderani.html.
id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nafis_al-Banjari
taufik79.wordpress.com/2008/.../
mefadhil4699.blogspot.com/.../tokoh-tokoh-penyebar-agama-islam-di.html
nelusur-jejakulama-di-tanah-borneo

42

Anda mungkin juga menyukai