Anda di halaman 1dari 8

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Islam budaya banjar Saifuddin, S.Ag,MA

DAERAH PEMUKIMAN
DAN PENYEBARAN BUDAYA BANJAR

Di susun oleh:

ALFIAN NOOR
22.01.11.1887

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-FALAH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARBARU
2023
Pendahuluan

Mendiskusikan Islam dan budaya lokal seolah-olah mencerminkan dua sisi yang
bersifat binary opposition, saling bertolak belakang. Kesan ini muncul dan
diperkuat oleh adanya image dari sebagian masyarakat bahwa Islam adalah agama
samawi (langit) yang diturunkan di tanah Arab, yang memiliki netralitas dan
terhindar dari pengaruh konteks sosio-budaya manapun. Pada sisi lain, Islam
dipahami sebagai agama universal yang memiliki fleksibilitas, selaras dengan
dinamika dan perkembangan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat, sehingga
muncul adagium Islam shohihun likulli makanai wa zamanin. Islam sebagai
sebuah agama universal (rahmatan lil ‘alamin), yang adaptable, acceptable serta
capable untuk tumbuh dan berkembang secara dinamis di segala tempat dan waktu
bersifat konfirmatif dan adaptatif. Konfirmatif dalam arti Islam selalu selektif
dalam mengadopsi nilai budaya dan tradisi yang berkembang di tengah-tengah
kehidupan masyarakat lokal. Jika sekiranya nilai budaya dan tradisi lokal itu
bertentangan dengan nafas Islam, maka dalam konteks inilah Islam melakukan
reformasi budaya (cultural reform) sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam
budaya lokal tetap selaras dengan nilai-nilai Islam (Islamisasi budaya). Hal
tersebut diperlukan lantaran pengaruh lokalitas dan tradisi dalam kelompok suatu
masyarakat bangsa sulit dihindari. Namun demikian, partikularitas dan
universalitas Islam tentu tidak akan luntur hanya karena dinamika tradisi dan
budaya masyarakat lokal. Islam yang universal tetap menjadi pedoman dalam
segala aspek kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam dan budaya lokal itu
berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal
suatu agama berkenaan dengan tata caranya (technicalities). Islam yang dalam
sejarahnya lahir di tanah Arab, tetapi dalam dinamikanya, seperti kita semua
saksikan, tidak harus terikat oleh budaya Arab, melainkan senantiasa beradaptasi
(menyesuaikan diri) dengan segala lingkungan sosial di mana Islam dipraktikkan
dan dikembangkan. Dalam kaitannya dengan budaya lokal, Islam memiliki
kekuatan koersif dalam mengintegrasikan budaya lokal sesuai dengan sistem nilai
dan sistem simbol dalam Islam dengan berpijak pada prinsip theocentric-humanis.
Abstrak

Dewasa ini kearifan lokal semakin digiatkan kembali oleh pemerintah sebagai
identitas sebuah budaya lokal. Karena setiap budaya akan menghasilkan produk
budaya baik itu tradisi maupun kesenian yang mencerminkan identitas dari
budaya tersebut. Dalam budaya Banjar pun banyak tradisi lokal yang bersentuhan
dengan Islam. Ketika agama datang ke satu masyarakat, tentu masyarakat tersebut
telah memiliki kebudayaan yang dijadikan petunjuk dalam bertindak walaupun
bersifat lokal, tidak universal. Ada atau tidak ada agama, pedoman tersebut akan
digunakan oleh masyarakat selama masih dianggap baik. Oleh karena itu, agama
yang mempunyai kesesuaian dengan budaya setempat akan mudah diterima dan
cepat berkembang. Sebaliknya, agama yang berlawanan secara diametral (garis
pemisah) dengan kebudayaan akan ditolak oleh masyarakat.
Daerah pemukiman dan penyebaran
Sebagian besar orang Banjar membangun rumah-rumah mereka di pingir
sungai atau tidak jauh dari sungai. Sehingga beberapa bagian tepi sungai di
wilayah Kalimantan Selatan tampak penuh sesak dengan rumah-rumah penduduk
dan bahkan menjadi sebuah pemukiman yang padat. Seperti di tepian Sungai
Martapura, Nagara dan Tabalong. Menurut pandangan orang Banjar, rumah yang
ideal adalah rumah yang bagian belakang menghadap sungai dan bagian depan
mengahadap jalan. Pemukiman ini khususnya didirikan di tebing-tebing sungai
yang relatif tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang umumnya berupa
rawa-rawa.
Namun belakangan ini keadaannya sedikit berubah. Rumah-rumah di tepian
sungai sudah tidak begitu diminati lagi oleh masyarakat Banjar. Keputusan
masyarakat Banjar untuk tinggal dan menetap serta membangun pemukiman di
tepian sungai dan kemudian bergeser ke wilayah yang sedikit agak jauh dari
sungai memperlihatkan temuan yang menarik dari sudut pandang evolusi
khususnya evolusi pola pemukiman.
Pada masa awal terbentuknya masyarakat Banjar, sebagian orang Banjar
masih ada yang tinggal secara nomaden di perahu-perahu mereka. Sampai sekitar
akhir tahun 70-an, orang-orang yang tinggal dan menjalani kehidupan di atas
perahu atau yang disebut “orang perahu” ini masih ditemukan berkeliaran di
sekitar sungai Martapura. Selain memiliki mata pencaharian meramu hasil hutan
mereka juga menangkap ikan. Pada periode ini mereka lebih banyak melakukan
aktifitas perburuan sebagai tuntutan kebudayaan, karena sebagiamana masyarakat
pemburu-meramu, mereka berupaya untuk terus mengembangkan tehnik-tehnik
penangkapan ikan dan meramu makanan agar dapat terus beradaptasi dengan
perkembangan alam.
Orang perahu tidak mengenal proses pembudidayaan, sehingga untuk tetap
mempertahankan rasio sumber daya dan populasi, mereka mengenal institusi
pengendalian kesuburan, baik lewat obat ramu-ramuan maupun dengan mambalik
paranakan. Pengetahuan tentang kontrasepsi tradisional ini biasanya didapat dari
orang Meratus. Orang Banjar menganggap orang Meratus tahu benar soal
kontrasepsi. Jika mereka memiliki surplus hasil hutan ataupun tangkapan, mereka
biasanya menjualnya pada orang lain. Aktifitas tukar menukar ini biasanya
dilakukan antar perahu. Sisa-sisa kebudayaan ini masih bisa dilihat di beberapa
tempat yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan “pasar terapung” seperti di
wilayah Kuin dan Lokbaintan Kabupaten Banjar.
Sekitar tahun 80-an, orang perahu yang hidup mengembara di atas perahu-
perahu ini hampir sudah ditemukan lagi di sungai-sungai Kalimanatan Selatan.
Yang muncul kemudian adalah rumah-rumah lanting yang terbuat dari kayu tanpa
tiang penyangga ke tanah. Rumah-rumah ini dibiarkan mengapung di atas air
dengan bertumpukan pada beberapa batang kayu agar tetap mengapung. Selain
rumah lanting, di Kalimantan Selatan juga banyak ditemukan rumah panggung
yang terbuat dari kayu yang didirikan di tepian sungai. Kondisi ini juga ditemukan
Thing (1998) ketika ia melakukan penelitian terhadap orang-orang Meratus yang
tinggal di daerah Kalimantan Selatan. Rumah-rumah ini biasanya didirikan secara
berkelompok. Orang-orang yang membangun rumah ini tampaknya sebagian
besar merupakan orang-orang yang sebelumnya hidup di perahu. Perkembangan
populasi menyebabkan perahu tidak lagi dapat menampung keluarga yang
semakin banyak. Dengan demikian pilihan untuk tinggal menetap di tepian sungai
dan meninggalkan kehidupan nomaden di perahu merupakan sebuah bentuk
adaptasi terhadap adanya tekanan populasi.
Sampai awal abad ke-20, terdapat alasan-alasan ekonomis yang kuat
untuk proses konglomerasi kota: lokasi bahan mentah, jalur-jalur transportasi, dan
tenaga kerja. Sejarah kota kemudian mulai dijelaskan dengan logika transportasi.
Kota tradisional mencoba memecahkan masalah transportasi yang lambat dan
mahal dengan memusatkan konsentrasi manusia dan sumber daya alam pada
sebuah titik. Mendirikan rumah di tepian sungai dapat memberikan kemudahan
bagi penghuninya untuk mengakses keperluan hidup yang dibawa para pedagang
lewat perahu.
Kebudayaan material Kalimantan selatan berupa bangunan rumah adat
banjar yaitu :
1. Rumah Adat
Rumah adat suku Banjar yang terkenal adalah “Bubungan Tinggi”. Pada
zaman dahulu, Bubungan Tinggi merupakan rumah adat khusus keluarga
kerajaan, namun seiring perkembangan kemudian diadopsi oleh
masyarakat Banjar secara umum yang kemudian menjadi ikon kebanggaan
suku Banjar. Disebut “Bubungan Tinggi” karena konstruksi bangunan
rumah memiliki bagian yang menjulang lancip ke atas. Secara umum
“Bubungan Tinggi” terdiri dari beberapa konstruksi ruangan, yaitu :
2. Pelatar
Pelatar merupakan ruangan yang ada pada bagian paling depan rumah.
Biasanya terdapat setelah menaiki tangga rumah.

3. Paciran
Paciran merupakan ruangan penghubung. Paciran terbagi menjadi paciran
dalam dan paciran luar. Biasanya paciran ini digunakan sebagai ruang untuk
menyimpan peralatan pertanian atau pertukangan.
4. Panampik
Panampik merupakan ruangan yang digunakan sebagai tempat untuk
menerima dan menjamu tamu yang berkunjung.
5. Palindangan
Palindangan merupakan bagian ruangan yang digunakan sebagai tempat
untuk beristirahat dan tidur.
6. Padapuran
Padapuran berada di bagian paling belakang rumah dan berfungsi sebagai
tempat untuk memasak maupun menyimpan berbagai perabot memasak.

Daftar Putaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 1997. “Arkeologi Pemukiman: Asal Usul dan
Perkembangannya” dalam Jurnal Humaniora V/ 1997
Budiyono, Suko. 1983. “Transmigrasi dan Pembangunan di Indonesia: Studi
Kasus Pemukiman di Kalimantan Barat” dalam Dr. Colin MacAnrrews (ed.)
Pemukiman di Asia Tenggara Transmigrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar. Jakarta: Rajawali Pers
___________ . 2000. “Perilaku Orang Banjar dalam Berbagai Tata Pergaulan”,
dalam Makalah Sosial Budaya yang disampaikan pada Musyawarah Besar
Pembangunan Banua Banjar Kalimantan Selatan tanggal 10-13 Agustus
Humaidi. 2002. “Tradisi Demokrasi dalam Budaya Banjar”, dalam Jurnal Islam,
Politik dan Demokrasi, Postra, No. 06 (Agustus-September)
Rindos, David. 1980. “Symbiosis, Instability, and The Origins and Spread of
Agricultural: A New Model” dalam Current Anthropology. Vol. 21 (6). Chicago:
The University of Chicago Press
Riwut, Cilik. 1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Rosenberg, Michael. 1998. “Cheating at Musical Chairs: Territoriality and
Sadentism in An Evolutionary Contexs” dalam Current Anthropology. Vol. 39
(5). Chicago: The University of Chicago Press
Saleh, Idwar. 1982. Lukisan Peran Banjar 1859-1865. Banjarbaru: Depdikbud
Salim, Hairus. 1996. “ Islam Banjar, Relasi antar Etnik dan Pembangunan” dalam
Kisah dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama, Resmi dan
Pembangunan. Yogyakarta: Interfidei
Santoso, Jo. 2006. (Menyiasati) Kota Tanpa Warga. Jakarta: Penerbit KPG dan
Centropolis
Suprapti, MC. 1980. Pola Pemukiman Pedesaan. Banjarmasin: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah.
Suryadikara, Fudiat. 2000. Struktur Sosial Masyarakat Banjar dan Perubahan
Sosial” dalam Makalah yang dipresentasikan pada acara Musyawarah Besar
Pembangunan Banua Banjar Kalimantan Selatan di Banjarmasin tanggal 10- 13
Agustus
Thing, Anna Lowenhaupt. 1998. Dibawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses
Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing. Jakarta: Yayasan Obor
Yowono, Pujo Semedi. 1995. “Evolusi Tehnologi Subsistensi” dalam Materi
diskusi yang disampaikan pada Pelatihan Tenaga Penelitian Kebudayaan, Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional se Indonesia
Saifuddin S.Ag, M.A Buku diklat islam budaya banjar halaman 8 & 9

Anda mungkin juga menyukai