Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

“Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam”

Mata Kuliah : Islam dan Budaya Banjar


Dosen Pengajar : Akhmad Saihu, S.Ag, M.Pd.I

Di Susun Oleh Kelompok 1 :


Rahul (2020140144)
Muhammad Baihaqi (2020140169)
Saipul Rahman (2020140145)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN AKADEMIK 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul

“Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam” ini tepat pada

waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi

tugas yang diberikan oleh Bapak Akhmad Saihu, S.Ag, M.Pd.I pada mata kuliah

Islam dan Budaya Banjar. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah

wawasan tentang Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam

bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Akhmad Saihu, S.Ag,

M.Pd.I, selaku dosen mata kuliah Islam dan Budaya Banjar yang telah

memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan

sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata

sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan

demi kesempurnaan makalah ini.

Negara, Minggu 14 Maret 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................... 1


DAFTAR ISI ........................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 3
A. Latar Belakang .................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 3
C. Tujuan ............................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................... 5
A. Asal Usul Suku Banjar ...................................................................... 6
1. Asal Usul Suku Banjar menurut Wikipedia ...................................... 6
2. Asal Usul Suku Banjar menurut Jurnal Hasan (Dosen STIQ
Amuntai) ................................................................................................. 10
B. Sejarah Masuknya Islam di Banjar ................................................. 11
C. Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam ........ 14
D. Islam dan Budaya Banjar ................................................................ 17
1. Kelahiran dan kematian................................................................... 17
2. Pujian untuk Rasulullah SAW dalam Hadrah dan Rudat................ 18
3. Hari al-Syura (10 Muharram) dan Bubur al-Syura ......................... 19
4. Maulidan ......................................................................................... 20
5. Baayun Maulid ................................................................................ 22
6. Batampung Tawar ........................................................................... 24
7. Bapalas bidan .................................................................................. 26
8. Baarwahan dan Bahaulan ................................................................ 28
BAB III PENUTUP ........................................................................... 29
A. Kesimpulan ..................................................................................... 29
B. Saran ................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 31

2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dewasa ini kearifan lokal semakin digiatkan kembali oleh pemerintah

sebagai identitas sebuah budaya lokal. Karena setiap budaya akan menghasilkan

produk budaya baik itu tradisi maupun kesenian yang mencerminkan identitas dari

budaya tersebut. Dalam budaya Banjar pun banyak tradisi lokal yang bersentuhan

dengan Islam. Ketika agama datang ke satu masyarakat, tentu masyarakat tersebut

telah memiliki kebudayaan yang dijadikan petunjuk dalam bertindak walaupun

bersifat lokal, tidak universal. Ada atau tidak ada agama, pedoman tersebut akan

digunakan oleh masyarakat selama masih dianggap baik. Oleh karena itu, agama

yang mempunyai kesesuaian dengan budaya setempat akan mudah diterima dan

cepat berkembang. Sebaliknya, agama yang berlawanan secara diametral (garis

pemisah) dengan kebudayaan akan ditolak oleh masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Asal Usul Suku Bangsa Banjar

2. Bagaimana Sejarah Masuknya Islam di Banjar ?

3. Bagaimana Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam ?

4. Bagaimana Islam dan Budaya Banjar ?

3
C. Tujuan

1. Mengetahui Asal Usul Suku Bangsa Banjar

2. Mengetahui Sejarah Masuknya Islam di Banjar

3. Mengetahui Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam

4. Mengetahui Islam dan Budaya Banjar

4
BAB II PEMBAHASAN
Mendiskusikan Islam dan budaya lokal seolah-olah mencerminkan dua sisi
yang bersifat binary opposition, saling bertolak belakang. Kesan ini muncul dan
diperkuat oleh adanya image dari sebagian masyarakat bahwa Islam adalah agama
samawi (langit) yang diturunkan di tanah Arab, yang memiliki netralitas dan
terhindar dari pengaruh konteks sosio-budaya manapun. Pada sisi lain, Islam
dipahami sebagai agama universal yang memiliki fleksibilitas, selaras dengan
dinamika dan perkembangan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat, sehingga
muncul adagium Islam shohihun likulli makanai wa zamanin. Islam sebagai
sebuah agama universal (rahmatan lil „alamin), yang adaptable, acceptable serta
capable untuk tumbuh dan berkembang secara dinamis di segala tempat dan waktu
bersifat konfirmatif dan adaptatif.1
Konfirmatif dalam arti Islam selalu selektif dalam mengadopsi nilai budaya
dan tradisi yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat lokal. Jika
sekiranya nilai budaya dan tradisi lokal itu bertentangan dengan nafas Islam, maka
dalam konteks inilah Islam melakukan reformasi budaya (cultural reform)
sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya local tetap selaras dengan
nilai-nilai Islam (Islamisasi budaya).
Hal tersebut diperlukan lantaran pengaruh lokalitas dan tradisi dalam
kelompok suatu masyarakat bangsa sulit dihindari. Namun demikian,
partikularitas dan universalitas Islam tentu tidak akan luntur hanya karena
dinamika tradisi dan budaya masyarakat lokal. Islam yang universal tetap menjadi
pedoman dalam segala aspek kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam dan
budaya lokal itu berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip
umum dan universal suatu agama berkenaan dengan tata
caranya (technicalities).

1
Hasan, “ISLAM DAN BUDAYA BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN” 14, no. 25 (2016):
78–90.

5
Islam yang dalam sejarahnya lahir di tanah Arab, tetapi dalam dinamikanya,
seperti kita semua saksikan, tidak harus terikat oleh budaya Arab, melainkan
senantiasa beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan segala lingkungan sosial di
mana Islam dipraktikkan dan dikembangkan. Dalam kaitannya dengan budaya
lokal, Islam memiliki kekuatan koersif dalam mengintegrasikan budaya lokal
sesuai dengan sistem nilai dan sistem symbol dalam Islam dengan berpijak pada
prinsip theocentric-humanis.

A. Asal Usul Suku Banjar

1. Asal Usul Suku Banjar menurut Wikipedia

Suku Banjar (bahasa Banjar: Urang Banjar / ‫ )اورڠ بنجر‬adalah suku bangsa
yang menempati wilayah Kalimantan Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah
dan sebagian Kalimantan Timur. Populasi Suku Banjar dengan jumlah besar juga
dapat ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatra Utara dan Semenanjung Malaysia
karena migrasi Orang Banjar pada abad ke-19 ke Kepulauan Melayu.
Berdasarkan sensus penduduk 2010 orang Banjar berjumlah 4,1 juta jiwa.
Sekitar 2,7 juta orang Banjar tinggal di Kalimantan Selatan dan 1 juta orang
Banjar tinggal di wilayah Kalimantan lainnya serta 500 ribu orang Banjar lainnya
tinggal di luar Kalimantan.
Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yang merupakan pembauran
masyarakat beberapa daerah aliran sungai yaitu DAS Bahan, DAS Barito, DAS
Martapura dan DAS Tabanio. Dari daerah pusat budayanya ini suku Banjar sejak
berabad-abad yang lalu bergerak secara meluas melakukan migrasi secara
sentrifugal atau secara lompat katak ke berbagai daerah di Nusantara hingga ke
Madagaskar.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman meneliti DNA orang Dayak pada
tahun 2012 yang bertujuan memastikan kaitan antara Dayak Maanyan dan
Madagaskar.

6
Upaya-upaya sebelumnya untuk menemukan asal Asia Malagasi menyoroti
Kalimantan secara luas sebagai sumber potensial, tetapi sejauh ini tidak ada
populasi sumber tegas yang diidentifikasi. Telah dihasilkan data luas genom dari
dua populasi Kalimantan Tenggara, Banjar dan Ngaju, bersama-sama dengan data
yang dipublikasikan dari populasi di seluruh wilayah Samudra Hindia. Para
peneliti menemukan dukungan kuat untuk asal mula leluhur Asia Malagasi di
antara orang Banjar. Kelompok ini muncul dari keberadaan lama sebuah pos
perdagangan Kekaisaran Melayu di Kalimantan Tenggara, yang mendukung
pencampuran antara Melayu dan kelompok Borneo asli, Ma'anyan.
Menggabungkan data genetik, sejarah, dan linguistik, para peneliti menunjukkan
bahwa Banjar, dalam pelayaran yang dipimpin orang Melayu, adalah sumber Asia
yang paling memungkinkan di antara kelompok-kelompok yang dianalisis dalam
pendirian kumpulan gen Malagasi.
Hipotesis nenek moyang orang Madagaskar sempat diduga berasal dari
Suku Bajo, Bugis dan Dayak Maanyan, namun ternyata konfirmasi riset genetik
menunjukkan itu identik dengan Suku Banjar.
Mengapa Bahasa Madagaskar atau Malagasy 90 persen sama dengan
Bahasa Dayak Maanyan di Kalimantan Selatan walaupun orang Dayak Maanyan
genetiknya tidak sama dengan Madagaskar? Secara genetik, orang Madagaskar
jauh lebih dekat dengan orang Banjar. Dari riset genetik dan antropologi dapat
disimpulkan bahwa bahasa Dayak Maanyan dipakai orang Banjar dan dibawa
pergi ke Madagaskar 1200 tahun lalu.
Nicolas Brucato, peneliti dari Laboratorium Antropologi Molekuler dan
Sintesis Citra (AMIS), Universitas Toulouse, Prancis mengungkapkan bahwa
bedasarkan penelitian antropologi menunjukkan bahasa orang Malagasi berakar
dari bahasa orang Dayak Ma‟anyan yang ada di Kalimantan bagian tenggara.
Namun genetik orang Malagasi justru lebih dekat kepada orang Banjar, yang juga
berasal dari kawasan yang sama dengan Dayak Ma‟anyan. Hasil penelitian yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara warisan genetik dan
bahasa orang Dayak Ma‟anyan di masyarakat Malagasi.

7
Gen orang Madagaskar terdiri atas 37% gen orang Banjar (Kalimantan) dan
63% gen orang Bantu (Afrika Selatan). Percampuran ini sudah lebih dari tujuh
abad, sejak 1275 M.
Kelompok Ricaut telah menunjukkan bahwa keragaman genetik Malagasi
adalah 68 persen orang Afrika dan 32 persen orang Asia. Berdasarkan bukti
mereka, Banjar adalah populasi Asia yang paling mungkin melakukan perjalanan
ke Madagaskar. Penanggalan genetik mendukung hipotesis bahwa migrasi
Austronesia ini terjadi sekitar 1.000 tahun yang lalu, sedangkan migrasi Bantu
terakhir yang signifikan ke Madagaskar dimulai 300 tahun kemudian, mungkin
setelah perubahan iklim di Afrika. Pergeseran bahasa diduga telah terjadi di
Kalimantan Tenggara setelah migrasi Banjar ke Madagaskar. Diperkirakan bahwa
orang Banjar, yang saat ini berbicara bahasa Melayu, mungkin berbicara bahasa
yang lebih dekat dengan bahasa yang direkonstruksi untuk Proto-Malagasi.
Perubahan linguistik ini akan mengikuti campuran budaya dan genetik utama
dengan Melayu, didorong oleh pos perdagangan Kekaisaran Melayu di
Kalimantan Tenggara. Runtuhnya Kekaisaran Melayu selama abad ke-15 dan ke-
16 bisa bersamaan dengan berakhirnya campuran gen Melayu ke dalam populasi
Banjar.
Terdapat empat fase migrasi yang terjadi di Afrika Timur. Migrasi Banjar
'melahirkan' budaya baru karena berpadu dengan Afrika Timur di Madagaskar dan
Komoro terjadi pada fase kedua. Budaya tersebut berada dan hidup berdampingan
selama berabad-abad dan memunculkan budaya baru.
Secara genetika suku Banjar purba sudah terbentuk ribuan tahun yang lalu
yang merupakan pembauran orang Melayu purba sebagai unsur dominan dan
Dayak Maanyan. Suku Banjar yang memiliki genetik Melayu dominan ini telah
melakukan migrasi keluar pulau Kalimantan sekitar tahun 830 Masehi atau 1.200
tahun yang lalu menuju Madagasikara alias Madagaskar yang menurunkan bangsa
Malagasi.
Bahasa Malagasi menunjukkan unsur-unsur bahasa Banjar dan bahasa
Maanyan, misalnya varika dari warik (bahasa Banjar) dan rano dari kata ranu
(bahasa Maanyan). Adat pemakaman sekunder Dayak beragama Kaharingan yang

8
disebut aruh Buntang disebut Famadihana di Madagaskar. Tetapi di Madagaskar
tidak terdapat upacara Ijambe (kremasi/ngaben) maupun Aruh Baharin/Aruh
Ganal (upacara panen) yang masih dilakukan masyarakat Dayak Kaharingan di
Kalsel. Adat mengayau juga tidak dilakukan oleh penduduk Madagaskar. Selain
itu masih terdapat adat memberi makan buaya di Madagaskar dan yang juga
masih dilakukan orang Banjar di Kalimantan Selatan.
Suku bangsa Banjar adalah pembauran orang Melayu purba yang membawa
bahasa Melayik dengan Dayak Barito-Meratus dari suku Dayak Maanyan, Dayak
Meratus, dan sebagian rumpun Dayak Ngaju terutama yang tinggal di hilir
(disebut Dayak Ngawa: Berangas, Mendawai dan Bakumpai). Dan terakhir juga
dilakukan Dayak Abal (rumpun Lawangan), yang hampir seluruh anggota
sukunya bergabung dan berasimilasi dengan suku Banjar dan konversi ke agama
Islam serta meninggalkan bahasa ibunya. Namun saat mereka masih belum
diidentifikasikan sebagai Dayak. Dan sebelum Dayak dipakai sebagai penyebutan
pribumi asli Borneo.
Sekitar tahun 1526, ketika raja Banjar menerima dan memeluk Islam maka
diikuti seluruh kalangan penduduk Kerajaan Banjar untuk melakukan konversi
massal ke agama Islam, sehingga kemunculan suku Banjar dengan ciri
keislamannya ini bukan hanya sebagai konsep etnis tetapi juga konsep politis,
sosiologis, dan agamais. Kelompok masyarakat yang telah menganut Islam ini
disebut Oloh Masih dalam bahasa Dayak Ngaju atau Ulun Hakey dalam bahasa
Dayak Maanyan. Menurut Tjilik Riwut dalam "Kalimantan membangun, alam,
dan kebudayaan: 407" Bila tamu yang datang mengatakan oloh masih berarti tamu
yang datang beragama Islam. Untuk tamu yang beragama Islam, akan diserahkan
ayam hidup, telur dan sayur-sayuran untuk dimasak sendiri. Namun sebagian
penduduk yang masih ingin mempertahankan agama suku Kaharingan lebih
memilih untuk bermigrasi ke daerah perhuluan dan dataran tinggi yang sekarang
menjadi Dayak Maanyan dan Dayak Meratus.
Pada zaman dahulu, suku Banjar termasuk masyarakat bahari atau berjiwa
kemaritiman. Perjanjian tanggal 18 Mei 1747 dan Perjanjian 20 Oktober 1756
antara Sultan Banjar Tamjidillah I dengan VOC-Belanda tentang monopoli

9
perdagangan oleh VOC-Belanda di Kesultanan Banjar diantaranya mengatur
bahwa orang Banjar tidak boleh lebih berlayar ke sebelah timur sampai ke Bali,
Bawean, Sumbawa, Lombok, batas ke sebelah barat tidak boleh melewati
Palembang, Johor, Malaka dan Belitung.2

2. Asal Usul Suku Banjar menurut Jurnal Hasan (Dosen STIQ Amuntai)

Di Kalimantan Selatan, yang biasa disebut sebagai orang Banjar adalah


penduduk (asli) daerah sekitar kota Banjarmasin (wilayah Sungai Jingah, Kuin
dan Kampung Melayu). Daerah ini meluas sampai Kota Martapura, ibukota
Kabupaten Banjar dan wilayah sekitarnya.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Banjar adalah bahasa Banjar.
Bahasa Banjar sejatinya adalah pecahan dari bahasa Melayu. Karena diduga kuat
bahwasanya nenek moyang masyarakat Banjar adalah berintikan pecahan suku
bangsa Melayu yang dikembangkan oleh suku bangsa yang mendiami Sumatera
dan Tanah Semenanjung Melayu (sekarang Malaysia Barat) sekitar lebih dari
seribu tahun yang lalu berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan Kalimantan
khususnya Kalimantan Selatan (Alfani Daud, 1997; 65). Mereka memasuki
daerah-daerah Kalimantan dari arah Selatan, Laut Jawa, pada waktu daerah rawa-
rawa yang luas, yang membentuk provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah saat ini, masih merupakan teluk raksasa dengan pantai sebelah timurnya
berada di kaki pegunungan Meratus. Cikal bakal nenek moyang orang-orang
Banjar itu mendiami sungai-sungai yang bermuara di teluk raksasa dan
membangun pemukiman di tepi-tepi sungai yang semuanya
berhulu di kaki pegunungan Meratus.
Ketika mereka tiba di kawasan ini, mereka berjumpa dengan suku bangsa
yang lebih dulu dikenal dengan nama orang Dayak yaitu suku Dayak pegunungan
Meratus (suku Dayak Bukit), suku Dayak Manyan, suku Dayak Ngaju dan suku
Dayak Lawangan. Meskipun suku Dayak Bukit lebih mungkin sama asal usulnya
dengan cikal bakal nenek moyang Banjar, namun mereka tetap merupakan

2
“Suku Banjar,” accessed March 14, 2021, https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar.

10
kelompok terpisah dengan masyarakat Banjar. Karena semakin banyaknya
pindahan dari Sumatera maka terdesaklah orang Dayak tersebut dan mereka
berpindah ke daerah pegunungan Meratus.

B. Sejarah Masuknya Islam di Banjar

Kalimantan Selatan adalah salah satu pulau terbesar di dunia yang memiliki
hutan-hutan yang lebat dan menghasilkan hasil alam yang melimpah seperti
damar, rotan, kayu dan lain-lain. Oleh karena alasan tersebut, banyak sekali
pedagang dari luar Kalimantan berlayar ke sana untuk mendapatkannya.
Pedagang-pedagang tersebut selain berdagang mereka juga berusaha menyebarkan
agama yang dianutnya.
Sebelum Islam masuk ke pulau Kalimantan, penduduknya telah memeluk
agama Hindu-Budha atau memeluk kepercayaan Kaharingan yang tentu saja
sangat berbeda dengan ajaran Islam. Walaupun proses Islamisasi masyarakat
Kalimantan hingga kini terus berjalan melalui dakwah dan pendidikan, akan tetapi
bekas-bekas kepercayaan dan budaya agama sebelumnya, tidak sepenuhnya bisa
dikikis sehingga sebagian masih berpengaruh terhadap keberagamaan dan
kebudayaan umat Islam hingga sekarang ini (Kamrani Buseri, 2009; 65). Para ahli
sejarah (historian) belum dapat dengan pasti mengatakan tahun kedatangan Islam
di Kalimantan Selatan, dengan alasan kesulitan menemukan data untuk
mengungkap hal itu (Mukhyar Sani, 2003; 31). Akan tetapi mereka kebanyakan
mengatakan bahwa tahun 1540 M merupakan tahun di mana Islam diterima secara
resmi oleh raja kerajaan Banjar Pangeran Samudera yang kemudian berganti nama
dengan Pangeran Suriansyah.
Dalam makalah Hamka yang berjudul “Meninjau Masuknya Islam ke
Kalimantan Selatan” dan disampaikan dalam seminar Masuknya Islam tahun
1973, Hamka menyimpulkan bahwa:
1. Tersebarnya agama Islam ke Kalimantan Selatan sebenarnya terjadi lama
sebelum berdirinya kerajaan Islam Banjar di Banjarmasin, yitu diperkirakan
pada akhir abad ke 14 M.

11
2. Penyebar Islam adalah para pedagang sekaligus ulama sebagai hasil dari
hubungan timbal-balik antara Singapura-Malaka, kemudian Pasai dan Aceh
dengan tanah Banjar serta Marabahan (pelabuhan) yang ramai pada masa
pemerintahan Raden Sari Kaburangan dan Pangeran Temenggung.
3. Berdirinya kerajaan Islam di Demak (Jawa Tengah) pada sekitar tahun 1500 M,
dan adanya hubungan orang Islam dengan pantai antara Jawa Timur dan
Surabaya, semakin mempercepat proses berdirinya kerajaan Islam Banjar
(Saifuddin Zuhri, 1980; 399-402).
4. Ikatan kebudayaan bahasa Melayu yang dipakai sebagai bahasa pengantar
dengan tulisan Arab-Melayu (Pegon) dalam buku-buku pelajaran agama Islam
yang pertama dikarang yaitu Sabil al-Muhtadin dan Kitab Parukunan di
Kalimantan Selatan yang menunjukkan adanya hubungan erat dengan
Semenanjung Malaka.3

Proses penyebaran Islam di Kalimantan Selatan akan berpusat pada seorang


pewaris sah kerajaan Negara Daha yang bernama Raden Samudera. Ia
dinobatkan menjadi Raja Banjar oleh Patih Masih, Muhur, Balit dan Kuwin
(Poesponegoro dan Notosusanto, 1992: 86). Patih Masih hanyalah sebuah gelar
bagi pemimpin dalam sebuah kelompok. Pada masa ini patih belum termasuk
dalam struktur birokrasi kerajaan. Nama sebenarnya Patih Masih tak diketahui.
Istilah Patih Masih berasal dari istilah Oloh Ngaju, yakni sebutan untuk orang
Melayu atau Oloh Masi. Patih Masih tak lain dari Patih yang memerintah
orangorang Melayu (Noor, 2011: 107).
Proses penyebaran Islam di Kalimantan Selatan secara terangterangan
dimulai dengan kontak antara Pangeran Samudera dengan Kerajaan Demak.
Pada saat itu, Pangeran Samudera meminta bantuan pasukan ke Demak untuk
berperang melawan pamannya, Pangeran Tumenggung dalam merebut tahta
kekuasaan Negara Daha. Pada saat itu, ia menghadapi bahaya yang berat yaitu
kelaparan di kalangan pengikutnya. Atas usul Patih Masih, Pangeran Samudera
meminta bantuan kepada Demak yang merupakan kerajaan terkuat setelah

3
Hasan, “ISLAM DAN BUDAYA BANJAR DI KALIMANTAN SELATAN.”

12
Majapahit. Dalam hal ini, Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan
membawa 400 penggiring dan 10 buah kapal (Usman, 1995: 2).
Setibanya di Demak, Patih Balit langsung menghadap Sultan Demak
Trenggana dengan membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudera. Surat
tersebut ditulis dalam Bahasa Banjar dengan menggunakan Huruf Arab Melayu
yang berbunyi sebagai berikut:
“Salam sembah putera andika Pangeran di Banjarmasin datang kepada
Sultan Demak. Putera andika menantu nugraha minta tolong bantuan
tandingan lawan sampean karena putera andika berebut kerajaan lawan
parnah mamarina yaitu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada duadua
putera andika yaitu masuk mengula pada andika maka persembahan putera
andika intan 10 biji, pekat 1.000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000
kandi, jerangan 10 pikul dan lilin 10 pikul”.
Ada dua hal yang menarik dalam surat tersebut. Pertama, penggunaan
bahasa Arab-Melayu dalam penulisannya. Menurut A. Basuni dalam
makalahnya pada Prasaran Seminar Sejarah Kalimantan Selatan berjudul
Usaha Menggali Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan Selatan pada 1976
mengatakan bahwa huruf Arab telah dikenal oleh Pangeran Samudera yang
menunjukkan bahwa masyarakat Islam telah lama terbentuk di Banjarmasin.
Lahirnya kepandaian membaca dan menulis huruf Arab memerlukan waktu
yang cukup lama. Kedua, besarnya pemberian yang diberikan kepada Sultan
Demak tentunya memerlukan penyandang dana yang sangat besar guna
membeli semua barang tersebut. Dalam hal ini, kemungkinan besar Patih
Masih adalah saudagar kaya yang mempunyai akses dalam perdagangan ke
pedalaman Kalimantan.
Hubungan Banjar dan Demak telah terjalin dalam waktu yang lama,
terutama dalam hubungan ekonomi perdagangan yang kemudian berlanjut
dalam hubungan kemiliteran. Sultan Demak menyanggupi permintaan bala
bantuan tersebut dengan syarat apabila menang, Pangeran Samudera dan
pengikutnya mau memeluk agama Islam. Inilah awal dari penyebaran Islam
secara terang-terangan yang dilakukan oleh Demak ke Kalimantan Selatan.

13
Akhirnya, Pangeran Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung
dan berhasil merebut Negara Daha dan pelabuhan Muara Bahan. Peristiwa ini
terjadi pada 24 September 1526, yang kemudian diabadikan menjadi hari jadi
Kota Banjarmasin.
Salah satu episode penting dalam proses Islamisasi di Kalimantan yang
disebutkan dalam Hikayat Banjar adalah pembicaraan tentang hubungan Banjar
dan Demak. Disebutkan dalam hikayat, bahwasanya Raja Banjar Raden
Samudera telah ditasbihkan sebagai Sultan oleh Penghulu Demak dan oleh
seorang Arab diberi gelar Sultan Suryanullah. Penghulu Demak yang diutus
untuk mengislamkan Pangeran Samudera dikenal dengan nama Khatib Dayan.
Melihat dari jabatan kepenghuluan Demak, maka pada masa 1521-1524
penghulu Demak dipegang oleh Penghulu Rahmatullah (Ideham, 2003: 63).
Dengan demikian, Khatib Dayan bukanlah seorang penghulu Demak, tetapi
hanyalah seorang utusan dari penghulu Demak yang bertugas untuk
mengIslamkan Pangeran Samudera dan seluruh pengikutnya di Banjarmasin.4

C. Kebudayaan Masyarakat Banjar Sebelum Kedatangan Islam

Proses Islamisasi dan akomodasi kultural berhubungan dengan tiga kondisi


penting.
Pertama, proses Islamisasi dalam hubungannya dengan pembentukan
kebudayaan Islam berhadapan dnegan aneka warna kebudayaan lokal, tradisi, dan
adat lokal. Interaksi Islam dengan sistem nilai lokal ini pada gilirannya
melahirkan berbagai bentuk respons dan reaksi.
Kedua, Islam merupakan pendatang baru di dalam masyarakat di Kepulauan
Indonesia. Sebelum Islam masuk, telah ada sistem keyakinan, kepercayaan,
keagamaan, atau setidaknya tradisi spiritualitas yang dianut komunitas Lokal.
Ketiga, Islam bukan merupakan satusatunya sumber pengetahuan atau
sistem nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia karena selain kepercayaan lokal
4
Muhammad Azmi, “Islam Di Kalimantan Selatan Pada Abad Ke-15 Sampai Abad Ke -17,”
Yupa: Historical Studies Journal 1, no. 1 (2017): 38–47.

14
dan Hindu-Buddha, belakangan muncul pula pengaruh budaya Eropa (Barat) yang
mulai berkembang dalam waktu bersamaan dengan kedatangan dan penjajahan
bangsa Eropa di Asia Tenggara.
Di Kalimantan, upacara Tiwah, yaitu upacara pemujaan pada roh nenek
moyang dan tenaga alam, masih dilakukan hingga saat ini. Praktik tersebut
menunjukkan masih kuatnya pengaruh kepercayaan lokal di berbagai tempat yang
tidak begitu saja hilang setelah masuknya pengaruh asing yang datang kemudian.
Interaksi Islam dengan budaya, terutama budaya lokal Kalimantan,
khususnya Dayak, memberikan warna tersendiri yang khas. Kekhasan ini tecermin
dari budaya Oloh Salam sebagai manusia pendukungnya di tanah Dayak,
Kalimantan Tengah.
* Oloh Salam atau Uluh Salam adalah sebuah istilah yang mengacu kepada
seseorang atau sekelompok dari suku Dayak di Kalimantan Tengah yang memeluk agama
Islam. Tidak ada petunjuk yang jelas kapan munculnya istilah oloh salam dalam budaya
Dayak, akan tetapi dari berbagai sumber data, dapat diduga munculnya istilah oloh
salam dapat dilacak sejak awal masuknya Islam di Kalimantan, atau setelah kedatangan
para kolonial di Kalimantan.5

Beberapa aspek budaya oloh salam yang khas tersebut meliputi upacara
kehidupan disebut juga gawi belum dan upacara kematian atau gawi matei serta
aspek seni.
Misrita S Kalang dalam Oloh Salam: Rona Kehidupan Dayak Islam di
Kalimantan Tengah menjelaskan, tidak ada petunjuk yang jelas kapan munculnya
istilah oloh salam dalam budaya Dayak, tetapi dari berbagai sumber data dapat
diduga bahwa munculnya istilah oloh salam dapat dilacak sejak awal masuknya
Islam di Kalimantan atau setelah kedatangan para kolonial di Kalimantan.
Melalui politik pecah belahnya membedakan antara satu suku dan yang
lainnya, sebagaimana pembentukan Kampung Lemu Melayu yang didiami oleh
orang Dayak yang telah masuk Islam, sedangkan kampung yang didiami oleh
orang Kristen atau yang beragama helo disebut Kampung Lemu Dayak. Inilah

5
“Oloh Salam,” accessed March 14, 2021, https://id.wikipedia.org/wiki/Oloh_Salam.

15
salah satu bentuk polarisasi sistemik yang dilakukan oleh kolonial di bumi
Kalimantan.
Meski oloh salam sebagai orang Dayak sudah memilih jalan Islam, masih
terdapat sisa-sisa kepercayaan primitif tercampur dengan unsur-unsur agama yang
dahulu kala dianutnya.
Dalam upacara kelahiran, misalnya, upacara kelahiran dalam budaya oloh
salam merupakan salah satu upacara yang penting. Oleh karena itu, jika seorang
ibu telah mengandung tiga bulan, sejak itu dia sudah dihinggapi penyakit pantang.
Pantangan tersebut, di antaranya, dilarang keluar waktu senja, mandi waktu
matahari terbenam, dan duduk di ambang pintu. Ketika kandungan menginjak
enam bulan, pantangan menjadi tambah banyak.
Misalnya, tidak boleh berurai rambut, dilarang memaku, makanannya
terbatas, tidak boleh makan yang pedas-pedas atau sayuran yang mengandung
getah, makan kepiting, dan lain-lain.
Sang suami pun berpantang, tidak boleh menebang pohon, menghunjam
tiang, apalagi membunuh binatang. Pantangan ini dilakukan semata-mata karena
percaya takhayul bahwa di luar alam nyata ini, ada alam gaib yang berkeliaran
roh-roh baik dan jahat.
Roh-roh jahat selalu mencari mangsa, termasuk seorang ibu yang sedang
mengandung. Dengan berpantang ini, dapat melindungi sang bayi, baik yang
masih dalam kandungan maupun yang baru lahir, karena masih lemah agar tidak
dapat diganggu oleh roh jahat.6

6
Nashih Nashrullah, “Harmoni Budaya Dan Islam Di Kalimantan,” last modified 2016, accessed
March 14, 2021, https://republika.co.id/berita/ocm6g61/harmoni-budaya-dan-islam-di-kalimantan.

16
D. Islam dan Budaya Banjar

1. Kelahiran dan kematian

Bila perempuan oloh salam hendak melahirkan, seorang dukun perempuan


tua membantunya melahirkan bayinya. Karena, dukun beranak dianggap punya
kekuatan gaib.
Pembacaan doa secara Islam dilakukan dengan membakar kemenyan dan
menabur-nabur beras kuning sebagai penjagaan diri untuk menolak roh-roh jahat
yang akan mengganggu kelahiran bayi.
Selama dan setelah masa persalinan itu, sang suami membuat api di
halaman rumah dan menjaga agar api yang berkobar- kobar tetap menyala setiap
menjelang waktu Maghrib selama tujuh hari berturut- turut, hal ini dimaksudkan
agar tidak diganggu roh-roh jahat (kuyang) yang suka memakan darah orang yang
baru melahirkan.
Menjelang umur bayi tujuh hari, 40 hari bagi orang Dayak yang beragama
helo, diadakan upacara tasmiyah (Arab: tasmia "pemberian nama si bayi") yang
dilakukan menurut kemampuan keluarga saja.
Nama yang umumnya diberikan kepada bayi oloh salam merupakan
gabungan nama Islam dan Dayak, seperti Hidayatullah S Kurik, Fatah F Nahan,
Komarudin Usop, Wahyudin Usop, Durtje Durasit, Asriansyah S Mawung,
Rahmadi Lentam, dan sebagainya.
Dalam upacara tasmiyah, rambut bayi yang dipotong ditempatkan dalam
buah kelapa, selanjutnya anak diciprati air kembang yang dicampur wewangian
agar nama yang diberikan dapat memberikan keharuman laksana bunga sambil
didoakan agar sehat dan menjadi anak yang bertakwa.
Sementara, suatu tradisi dalam masyarakat Dayak jika mendengar berita
kematian warganya, mereka akan segera menghentikan pekerjaan yang sedang
mereka lakukan dan mendatangi rumah duka untuk memberikan dukungan moral
bagi keluarga yang ditinggalkan.
Mereka datang dengan membawa sumbangan duka berupa hasil bumi
mereka sendiri. Setelah datang di rumah duka, mereka mendekati dan melihat

17
wajah jenazah untuk terakhir kali karena melakukan hal ini diyakini akan
mendapat pahala.
Jenazah diletakkan di tengah-tengah rumah dan dikelilingi kaum kerabat
dan keluarga sebelum dimandikan. Karena, setelah dimandikan secara Islam dan
dikafani, jenazah sudah tidak boleh dibuka-buka lagi untuk dilihat oleh para
pelayat.
Pada saat jenazah dimandikan, di atasnya dibentangkan kelambu putih. Ini
dimaksudkan agar roh-roh jahat tidak dapat mengganggu upacara pemandian
jenazah.

2. Pujian untuk Rasulullah SAW dalam Hadrah dan Rudat

Sinoman hadrah dan rudat bersumber dari budaya yang dibawa oleh
pedagang dan pendakwah Islam dari Arab dan Parsi dan berkembang campur
menjadi kebudayaan pada masyarakat pantai pesisir Kalimantan Selatan hingga
Timur.
Ahmad Ananda Alim Pratama dalam Budaya di Kalimantan Selatan
menjelaskan, sebagai salah satu kesenian Islam yang sudah berusia puluhan tahun,
kesenian hadrah masih sering ditampilkan pada beberapa daerah di Kalimantan
Selatan. Pembinaan dan kegiatan lomba menjadi salah satu cara agar hadrah tetap
lestari dalam kesenian tradisional religius Banjar.
Hadrah ditampilkan dalam berbagai acara bernuansa keagamaan, seperti
sunatan, perayaan perkawinan, atau menyambut tamu kehormatan. Dalam
perkembangannya, kesenian hadrah ada pula di luar Kalsel, yaitu di darah yang
terdapat perantauan orang Banjar.
Menurut Ali Djamali bin Gr Taha Tokoh Muda Asli Alalak, seniman pelaku
hadrah lebih menikmati hadrah sebagai puja dan puji untuk Tuhan serta
Muhammad SAW.
Puja dan puji dalam bentuk syair dan pantun tersebut menjadi kasidah yang
pengiring dari gerakan dinamis hadrah.

18
Merdu kasidah diikuti gerakan tari yang menggunakan putaran payung
ubur-ubur (lambang keagungan dalam kehidupan tradisional) dan umbul-umbul di
antara ritmis pukulan musik tarbang.
Seniman pelaku hadrah lebih banyak ada di Martapura. Dalam
penampilannya, memadukan antara generasi tua dan anak muda. Untuk di
Banjarmasin, seniman hadrah banyak terdapat di Taluk Tiram dan kawasan Alalak
Utara dan Tengah. Namun, di sini generasi mudanya lebih sedikit, malah lebih
banyak didominasi seniman hadrah perempuan.
Di luar Kalimantan Selatan, hadrah turut hidup bersama orang-orang Banjar
yang menetap di sana. Seperti, Kalimantan Tengah di daerah Saruyan hingga
Pulau Jawa. Di mana ada komunitas orang Banjar, hadrah masih ditampilkan
dalam beragam perayaan.7

3. Hari al-Syura (10 Muharram) dan Bubur al-Syura

Muharram adalah bulan pertama dalam tahun Islam (Hijrah). Sebelum


Rasulullah berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib, penamaan bulan dibuat mengikuti
tahun Masehi. Hijrah Rasulullah memberi kesan besar kepada Islam sama ada dari
sudut dakwah Rasulullah, ukhuwah dan syiar Islam itu sendiri. Karena banyaknya
peristiwa-peristiwa yang menakjubkan di hari tersebut, maka agama menyuruh
(sunnat) untuk melaksanakan puasa di hari tersebut. Selain disunnahkan puasa,
kita juga disunnahkan untuk berbagi dengan anak yatim dan orang yang
membutuhkan lainnya.
Dalam masyarakat Banjar, masih banyak ditemukan pembuatan bubur al-
Syura yang dibuat bertepatan dengan tanggal 10 Muharram tiap tahunnya. Kenapa
dinamakan dengan bubur al-Syura, karena di hari itulah masyarakat Banjar
bergotong-royong membuatnya. Keistimewaan bubur al-Syura masyarakat Banjar
adalah bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Konon katanya,
bahan-bahan yang digunakan berjumlah lebih dari 40 buah macam bahan.
Biasanya bubur al-Syura terbuat dari beras yang dimasak dengan Santan dan

7
Ibid.

19
dicampur dengan segala sayur-sayuran. Menurut Daud, pembuatan bubur ini
merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa pada zaman dulu yang ketika itu
selalu dalam kekurangan makanan, dikumpulkanlah segala macam tumbuh-
tumbuhan yang ada di sekitar dan dicampur dengan segala persediaan bahan
makanan yang ada menjadi bubur (Alfani Daud, 1997; 330-331). Tidaklah heran
bahan bubur tersebut hampir 40 buah bahan.
Biasanya masyarakat Banjar mulai memasak bubur tersebut ketika siang
hari dan mulai dibagi-bagikan ke masyarakat ketika sore hari (sekitar jam 4-5
sore) untuk dijadikan makanan berbuka puasa. Hikmah yang dapat diambil dalam
pembuatan bubur ini adalah dapat dijadikan syiar Islam dan juga dapat
mempererat tali silaturrahim antar masyarakat Banjar pada khususnya.

4. Maulidan

Maulidan Berasal dari bahasa Arab maulid yang telah dibanjarkan untuk
menunjukkan pada sebuah acara perayaan yang dikenal sebagai maulid Nabi yang
berarti pada hari kelahiran Nabi Muhammad yang jatuh pada tanggal 12 Rabi‟ul
Awwal. Umat Islam banyak yang merayakannya dengan cara yang berbeda-beda,
sesuai dengan pola kebudayaan masing-masing. Seperti yang ada di daerah Jawa
misalnya di Keraton Yogyakarta, diadakan acara Grebek dengan dilengkapi acara
ritual-ritual Jawa seperti mengarak benda-benda bersejarah punya sultan,
mengarak makanan sampai ke masjid agung dan selanjutnya makanan tersebut
diperebutkan masyarakat. Bulan Rabi‟ul Awwal yang merupakan bulan kelahiran
nabi Muhammad tersebut oleh orang Banjar disebut bulan maulid dan ada juga
yang menyebutnya mulud. Kegiatan ini, meskipun tidak masuk dalam doktrin
agama, sifatnya kultural tetapi merupakan fenomena universal di kalangan umat
Islam di Kalimantan Selatan, Bahkan jika terdapat orang yang dalam ekonomi
berkecupan tidak melaksanakan maulidan di rumahnya, maka dianggap tidak baik
oleh orang sekitarnya.
Di daerah Kalimantan Selatan khususnya daerah Hulu Sungai (dari
Kabupaten Tapin sampai Kabupaten Tabalong) ada kegiatan yang sangat

20
mengagumkan, yaitu melaksanakan perayaan tahunan ini satu bulan penuh yang
dibagi per-kampung, supaya tidak terjadi dalam satu hari bersamaan perayaan
maulid dalam satu kampung. Keunikan tersendiri ialah perayaan maulid dalam
satu kampung dipusatkan di masjid agung. Salah satu masjid yang digunakan
sebagai tempat maulid akbar adalah masjid Keramat al- Mukarramah yang berada
di Desa Banua Halat, Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin.
Sebelum dilaksanakan maulid di masjid tersebut, orang kaya yang ada
dalam kampung tersebut mengadakan perayaan maulid sendiri-sendiri dengan
mengundang orang kampung sebelah mereka dan kerabat serta keluarga mereka di
rumah. Dalam rumah itu dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran dan setelah itu
dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Habsyi atau sering disebut dengan rawi
(pembacaan biografi dengan bahasa Arab) yang diselingi dengan qasidah-qasidah
yang menggunakan terbang sejenis marawis. Setelah selesai semua itu, ahlu al-
bait menyuguhkan makanan bagi yang hadir dalam rumah tersebut. Setelah
mereka selesai makan bersama-sama, mereka langsung menuju ke masjid agung
untuk mengikuti maulid akbar yang juga dibacakan ayat-ayat Al Quran, Maulid
Habsyi serta diadakan ceramah agama oleh kyai setempat atau dengan
mendatangkan penceramah dari luar kota.
Dana yang digunakan untuk acara maulid ini biasanya berasal dari swadana
masyarakat setempat yang dikumpulkan jauh-jauh hari sebelum acara tersebut
dilaksanakan. Biasanya dibentuk kepengurusan untuk pencarian dana yang akan
digunakan dalam acara tersebut. Selain dalam pencarian dana, mereka juga saling
membantu dan berbagi tugas, ada yang membersihkan masjid, ada yang menjadi
tukang masak, tukang parker dan lain sebagainya demi kelancaran acara maulid.
Masjid agung dijadikan sebagai tempat maulid karena masjid mempunyai makna
sebagai pemersatu masyarakat, serta alasan undangan yang berasal dari luar kota
dengan mudah menujunya.
Sebagaimana biasanya, dalam maulid yang di masjid agung itu diadakan
acara tahlilan dan ceramah agama yang berkaitan dengan maulid Nabi dengan
tema keselamatan dunia dan akhirat. Dijelaskan penceramah bahwa keselamatan

21
dunia dan akhirat dapat dicapai dengan apabila kita mencintai Nabi dengan
mengikuti perintah dan menjauhi larangan dari Allah dan Nabi.

5. Baayun Maulid

Baayun (mengayun anak) maulid dilaksanakan ketika pembacaan maulid

nabi saat bacaan yang harus dibaca dalam keadaan berdiri. Saat itulah anak

diayun-ayun untuk mengharapkan berkah dari nabi.

Berdasarkan tradisi asalnya, tata cara maayun anak dalam upacara baayun
maulid sebenarnya berasal tradisi bapalas bidan sebagai sebuah tradisi yang
berlandaskan kepada kepercayaan Kaharingan. Dan ketika agama Hindu
berkembang di daerah ini maka berkembang pula budaya yang serupa dengan
baayun anak yakni baayun wayang (didahului oleh pertunjukan wayang), baayun
topeng (didahului oleh pertunjukan topeng) dan baayun madihin (mengayun bayi
sambil melagukan syair madihin). Ketika Islam masuk dan berkembang, upacara
bapalas bidan tidak lantas hilang, meski dalam pelaksanaannya mendapat
pengaruh unsur Islam. Islam datang tidak langsung menghilangkan tradisi
Kaharingan dan Hindu sebelumnya tetapi tradisi yang dahulu itu disesuaikan
dengan ajaran Islam dengan tujuan untuk mempermudah Islam masuk dan
berkembang.
Keistemewaan dari ayunan yang digunakan ketika acara baayun mauled
adalah tali ayunan dipenuhi hiasan dari janur (daun kelapa muda) berbentuk
burung-burungan, ular-ularan, ketupat bangsur, halilipan, kambang sarai/hiasan
dari kertas yang dipintal, hiasan dari wadai/kue 41 seperti cucur, cincin, pisang,
nyiur dan lain-lain. Untuk tempat mengaitkan ayunan tersebut, panitia
menyiapkan bambu yang panjang, di satu bambu ada terdapat sampai puluhan
ayunan yang dikhususkan tempatnya untuk orang dewasa dan anak- anak.
Adapun dengan ayunannya dibuat tiga lapis, dengan kain sarigading
(sasirangan) pada lapisan pertama, kain kuning pada lapisan kedua dan kain
bahalai (sarung panjang tanpa sambungan) pada lapisan ketiga. Orang tua yang

22
melaksanakan baayun diharuskan menyiapkan piduduk (makanan) berupa beras,
gula habang (gula merah), nyiur (kelapa), hintalu hayam (telur ayam kampung),
banang (benang), jarum, uyah (garam) dan binggul (uang receh). Makanan ini
menjadi lambang filosofis, seperti gula habang diharapkan anak yang diayun itu
perkataan-perkataannya selalu memberikan kedamaian bagi orang yang
disekitarnya.
Pusat tempat dilaksanakan acara baayun maulid ini adalah di Masjid al-
Karamah desa Banua Halat Kabupaten Tapin. Peserta dalam acara ini tidak hanya
dari anak-anak balita, tapi juga pemuda, orang dewasa, dan bahkan ada juga yang
berusia sampai 100 tahun. Maksud mereka untuk mengikuti acara baayun maulid
ini juga bermacam-macam. Ada yang mengaku untuk mencari berkah maulid agar
anaknya pandai dan berbakti kepada orang tuanya dan ada juga yang melengkapi
nazar mereka. Terlepas dari motif masing-masing peserta baayun yang nota-bene
diikuti oleh orang-orang tua, maka maksud maayun anak bersamaan dengan
peringatan maulid nabi adalah untuk membesarkan nabi sekaligus berharap berkah
atas kemuliaan Nabi Muhammad Saw, disertai do‟a agar sang anak yang diayun
menjadi umat yang taat, bertaqwa kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, serta
kehidupannya sejak kecil maupun dewasa hatinya selalu terpaut untuk selalu
shalat berjama‟ah di mesjid. Total jumlah peserta yang mengikuti mencapai
ribuan orang, terdiri dari golongan anak-anak (balita) dan orang dewasa bahkan
ada berusia 60 tahunan. Bahkan tahun demi tahun peserta tersebut semakin
bertambah bahkan ada dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei.
Untuk di kota Banjarmasin-nya sendiri acara baayun mauled dilaksanakan
di komplek Makam Sultan Suriansyah, walaupun tidak sebesar yang ada di masjid
al-Karamah desa Banua Halat Kabupaten Tapin. Walaupun ada yang tidak
sepaham dengan komplek Makam Sultan Suriansyah tapi acara itu sudah ke tujuh
kalinya dilaksanakan di sana.

23
6. Batampung Tawar

Batampung tawar adalah acara semacam selamatan untuk menyambut


kelahiran seorang anak. Sama halnya dengan acara baayun maulid, ayunan yang
digunakan juga digantungi macam-macam. Nantinya gantungan yang ada akan
diperebutkan oleh orang-orang yang hadir.
Upacara Tepung Tawar sebagaimana dikenal masyarakat Indonesia dan
Malaysia diadopsi dari ritual agama Hindu yang sudah lebih dulu dianut
masyarakatnya. Ketika para pedagang dari Gujarat dan Hadralmaut membawa
ajaran Islam ke kawasan ini sejak abad ke-7 Masehi, mereka berhadapan dengan
kebiasaan animisme (kepercayaan pada kehidupan roh) dan dinamisme
(kepercayaan pada kekuatan ghaib benda-benda) – yang direstui agama Hindu –
yang sangat kuat di setiap lapisan masyarakat. Salah satunya adalah upacara
Tepung Tawar (disebut juga Tepuk Tepung Tawar). Upacara ini menyertai
berbagai peristiwa penting dalam masyarakat, seperti kelahiran, perkawinan,
pindah rumah, pembukaan lahan baru, jemput semangat bagi orang yang baru
luput dari mara bahaya, dan sebagainya. Dalam perkawinan, misalnya, Tepung
Tawar adalah simbol pemberian do‟a dan restu bagi kesejahteraan kedua
pengantin, di samping sebagai penolakan terhadap bala dan gangguan.
Dalam upacara ini, penepung tawar menggunakan seikat dedaunan tertentu
untuk memercikkan air terhadap orang yang ditepungtawari. Air tersebut terlebih
dahulu diberikan wangi-wangian seperti jeruk purut, dicelupkan emas ke
dalamnya, dan sebagainya. Selanjutnya, mereka menaburkan beras dan padi yang
sudah dicampuri garam dan kunyit ke atas orang yang ditepungtawari. Akhirnya,
mereka menyuapkan santapan pulut (atau lainnya) ke mulutnya. Ada anggapan
bahwa setiap jenis daun dan benda- benda yang digunakan mempunyai atau
merepresentasi kekuatan ghaib tertentu yang berfungsi menyelamatkan,
menyejukkan, menjaga, dan sebagainya. Terdapat beberapa varian upacara ini
untuk daerah yang berbeda (seperti Aceh, Melayu, Sambas dan lain-lain), tetapi
sumber dan tujuannya sama.

24
Demikianlah yang dilakukan masyarakat sebelum Islam datang di nusantara
dan demikian pulalah ritual yang sampai sekarang masih berlangsung dalam
agama Hindu. Lihat saja baik secara langsung atau lewat televisi ritual orang-
orang Hindu India atau Hindu Indonesia saat upacara keagamaan mereka. Karena
tidak mampu menghapuskan kebiasaan tersebut, para pembawa Islam yang
terdahulu berusaha memasukkan nilai-nilai Islami ke dalamnya. Misalnya, acara
Tepung Tawar diisi dengan pembacaan do‟a kepada Allah Swt. Mereka
menggiring masyarakat untuk menganggap bahwa Tepung Tawar itu hanya
sebatas adat istiadat, penyebab setiap acara, bukan lagi ritual. Tetapi yang terjadi
jauh panggang dari api. Upacara Tepung Tawar terus berlanjut dalam masyarakat
yang takut untuk meninggalkannya. Berhubung para ulama kalah oleh tradisi
(tidak berhasil menghilangkan kebiasaan tersebut), akhirnya masyarakat
menganggap bahwa para ulama pun telah membenarkan mereka.
Sebagian kalangan bahkan beranggapan bahwa praktik Tepung Tawar
memiliki sandaran agama. Beredar anggapan di tengah masyarakat bahwa praktik
semacam ini dijalankan juga oleh para nabi dan keluarganya, termasuk isteri Nabi
Imran a.s. yang menggunakan atau melemparkan suatu benda saat menazarkan
kelahiran anaknya Maryam dan Nabi Muhammad SAW yang “menepungtawari”
perkawinan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib.
Sebagian orang (termasuk oknum guru agama di kampung-kampung)
mengatakan upacara Tepung Tawar adalah sunnat berdasarkan riwayat di atas.
Tetapi sepengetahuan penulis, tidak ada ayat atau Hadits yang shahih tentang
riwayat-riwayat semacam itu. Bahkan, cerita-cerita tersebut kalau kurang hati-
hati cenderung kepada dosa besar karena mendustakan para nabi yang mulia.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah Hadits shahih bahwa barangsiapa
sengaja meriwayatkan darinya sesuatu yang tidak pernah beliau lakukan atau
katakan maka orang itu tempatnya di dalam neraka.

25
7. Bapalas bidan

Kelahiran dan kematian adalah siklus kehidupan manusia. Dalam


masyarakat Banjar dalam kelahiran seorang anak akan dimulai dengan beberapa
tradisi salah satunya bapalas bidan. Segera setelah lahir, tangkai pusat bayi
langsung dipotong dan kemudian dibungkus dengan kunyit bercampur kapur, bayi
dimandikan, diwudhui, perutnya diolesi dengan bedak beras (Alfani Daud, 1997;
230), ubun-ubunnya dikasai (diolesi) dengan ramuan beras dan garam lalu seluruh
tubuhnya dibalut dengan kain bersih termasuk kedua tanggannya (dibedong).
Tembuni bayi dibersihkan dan dicampurkan dengan garam, ada kepercayaan
masyarakat Banjar apabila tembuni seorang bayi dicampur dengan garam, maka
perkataan-perkataan bayi kelak akan masin (berpengaruh/penuh dengan hikmah)
(Alfani Daud, 1997; 232).
Masyarakat Banjar terkenal dengan agamis, terbukti ketika bayi baru lahir
diazankan di telinga sebelah kanan dan diiqamatkan di telinga sebelah kiri.
Masyarakat Banjar biasanya menambahkan surah al-Inshirah dan surah al- Qadr
kemudian ditiupkan dengan pelan ke telinga bayi. Hal demikian pun mereka
lakukan ketika sedang memandikan bayi sampai bayi berumur 40 hari. Apabila
azan maghrib berkumandang bayi yang sedang berbaring segera diangkat dan
diayun-ayun seraya membacakan surah al-Qadr sebanyak 3 kali dan kemudian
ditiupkan ke telinga bayi dengan niatan bayi tidak diganggu makhluk ghaib.
Masyarakat Banjar juga masih percaya dengan hal yang berbau mistis
seperti terlebih bayi masih berumur di bawah 40 hari maka diletakkan di
samping/dekat kepala bayi cermin, surah Yasin, bawang tunggal, daun jariangau
(jeringau) dan jeruk nipis. Hal itu dimaksudkan agar bayi tersebut tidak diganggu
kuyang dan hantu beranak serta saudara-saudara ghaibnya yang lain.
Menurut Daud seorang bayi yang baru lahir dinyatakan sebagai anak bidan
sampai dilaksanakannya upacara bapalas bidan, yakni suatu upacara pemberkatan
yang dilakukan oleh bidan terhadap si bayi dan ibunya. Selain dilaksanakan oleh
masyarakat Banjar yang tinggal di pedesaan, upacara bapalas bidan juga
dilaksanakan oleh orang Dayak Meratus. Setelah bayi lahir, orang Dayak Meratus

26
kemudian melaksanakan upacara bapalas bidan, yakni memberi hadiah (piduduk)
berupa lamang ketan, sumur-sumuran (aing terak), beras, gula dan sedikit uang
kepada bidan atau balian yang menolong. Biasanya sekaligus pemberian nama
kepada sang bayi. Termasuk nantinya saat anak sudah mulai berjalan (turun) ke
tanah dari rumah (umbun) juga dengan upacara mainjak tanah, tetap dipimpin
oleh balian. Pelaksanaan bapalas bidan, biasanya dilakukan ketika bayi berumur
40 hari.
Bapalas bidan selain dimaksudkan sebagai balas jasa terhadap bidan, juga
merupakan penebus atas darah yang telah tumpah ketika melahirkan. Dengan
pelaksanaan bapalas bidan ini diharapkan tidak terjadi pertumpahan darah yang
diakibatkan oleh kecelakaan atau perkelahian di lingkungan tetangga maupun atas
keluarga sendiri. Karena menurut kepercayaan darah yang tumpah telah ditebus
oleh si anak pada upacara bapalas bidan tersebut. Pada upacara bapalas bidan ini
si anak dibuatkan buaian (ayunan) yang diberi hiasan yang menarik, seperti
udang-udangan, belalang dan urung ketupat berbagai bentuk, serta digantungkan
bermacam kue seperti cucur, cincin, apam, pisang dan lain-lain. Kepada bidan
yang telah berjasa menolong persalinan itu diberikan hadiah segantang beras,
jarum, benang, seekor ayam (jika bayi lahir laki-laki, maka diserahkan ayam
jantan dan jika perempuan diberikan ayam betina), sebiji kelapa, rempah-rempah
dan bahan untuk menginang seperti sirih, kapur, pinang, gambir, tembakau dan
berupa uang. Karena memang berasal dari tradisi pra-Islam, maka di antara
perlengkapan baayun maulid seperti ayunan dan piduduk mempunyai persamaan
dengan perlengkapan langgatan pada acara tradisional aruh ganal yang
dilaksanakan orang Dayak Meratus.
Ketika Islam datang ke daerah ini, acara bapalas bidan dan maayun anak
tidak dilarang, hanya kebiasaan yang tidak sesuai sedikit demi sedikit
ditinggalkan. Begitu pula berbagai perlengkapan, maksud dan tujuan, dan
perlambang (simbolika) juga disesuaikan atau diisi dengan nilai-nilai Islam.
Perbedaan yang ada antara ritual Hindu dan Islam ketika melakukan ritual adalah
dalam Hindu selalu menggunakan mantra-mantra sedangkan dalam Islam selalu
disisipkan bacaan al-Quran dan shalawat kepada nabi Muhammad.

27
8. Baarwahan dan Bahaulan

Di kalangan masyarakat Banjar, peristiwa kematian umumnya tidak selesai


dengan dikuburkannya mayat. Ia diiringi dengan berbagai acara selamatan atau
aruh. Yaitu pada hari pertama (manurun tanah), hari ketiga (manigahari), ketujuh
(mamitunghari), kedua puluh lima (manyalawi), ke empat puluh (maampatpuluh
hari), ke seratus (manyaratus), sesudah setahun dan setiap tahunnya.
Dalam acara tersebut selalu ada bacaan al-Quran, shalawat kepada Nabi
serta tahlil yang hadiahnya ditujukan kepada mayat yang bersangkutan. Dan
diakhiri dengan bacaan do‟a haul atau arwah. Do‟a arwah berisi permohonan
kepada Allah agar apa yang dibaca berupa bacaan Al-Qur‟an, shalawat kepada
Nabi serta tahlil diberikan pahala yang besar, dan menghadiahkan pahala tersebut
kepada Nabi Muhammad, kepada orang-orang suci (wali), kepada roh orang tua,
seluruh kaum muslimin dan muslimat serta mukminin dan mukminat khususnya
kepada ruh (biasanya disebutkan namanya dengan jelas atau juga dalam hati di
pembaca do‟a).
Undangan yang menghadiri acara ini biasanya (dihari pertama sampai hari
keseratus) merupakan kerabat dari si mayat. Adapun acara haul undangan yang
menghadiri lebih diperluas lagi tidak sekedar dari pihak keluarga si mayat tapi
orang kampung sebelah mereka pun ikut diundang juga.

28
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan

Di Kalimantan Selatan, yang biasa disebut sebagai orang Banjar adalah

penduduk (asli) daerah sekitar kota Banjarmasin (wilayah Sungai Jingah, Kuin

dan Kampung Melayu). Daerah ini meluas sampai kota Martapura, ibukota

kabupaten Banjar dan wilayah sekitarnya. Bahasa yang digunakan oleh

masyarakat Banjar adalah bahasa Banjar.

Bahasa Banjar sejatinya adalah pecahan dari bahasa Melayu. Karena diduga

kuat bahwasanya nenek moyang masyarakat Banjar adalah berintikan pecahan

suku bangsa Melayu yang dikembangkan oleh suku bangsa yang mendiami

Sumatera dan Tanah Semenanjung Melayu (sekarang Malaysia Barat) sekitar

lebih dari seribu tahun yang lalu berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan

Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan.

Sebelum Islam masuk ke pulau Kalimantan, penduduknya telah memeluk

agama Hindu-Budha atau memeluk kepercayaan Kaharingan yang tentu saja

sangat berbeda dengan ajaran Islam. Walaupun proses Islamisasi masyarakat

Kalimantan hingga kini terus berjalan melalui dakwah dan pendidikan, akan tetapi

bekas-bekas kepercayaan dan budaya agama sebelumnya, tidak sepenuhnya bisa

dikikis sehingga sebagian masih berpengaruh terhadap keberagamaan dan

kebudayaan umat Islam hingga sekarang ini.

29
B. Saran

Islam dan budaya Banjar merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan

dalam kehidupan bermasyarakat beragama mereka seperti Hari al- Syura (10

Muharram) dan bubur al-Syura, maulidan, baayun maulid, batampung tawar,

bapalas bidan, baarwahan dan bahaulan. Tradisi di atas yang semakin jarang

ditemui adalah bapalas bidan. Sebaiknya tradisi ini diperkenalkan kembali kepada

masyarakat Kalimantan Selatan khususnya masyarakat suku Banjar baik itu

dilakukan oleh pemerintah maupun tokoh masyarakat sehingga tradisi terjaga.

Demikianlah makalah yang telah kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi

semua pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh

karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kami dapat

menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

30
DAFTAR PUSTAKA
Azmi, Muhammad. “Islam Di Kalimantan Selatan Pada Abad Ke-15

Sampai Abad Ke -17.” Yupa: Historical Studies Journal 1, no. 1

(2017): 38–47.

Hasan. “ISLAM DAN BUDAYA BANJAR DI KALIMANTAN

SELATAN” 14, no. 25 (2016): 78–90.

Nashih Nashrullah. “Harmoni Budaya Dan Islam Di Kalimantan.”

Last modified 2016. Accessed March 14, 2021.

https://republika.co.id/berita/ocm6g61/harmoni-budaya-dan-

islam-di-kalimantan.

“Oloh Salam.” Accessed March 14, 2021.

https://id.wikipedia.org/wiki/Oloh_Salam.

“Suku Banjar.” Accessed March 14, 2021.

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar.

31

Anda mungkin juga menyukai